Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial Budaya

Volume 23, Nomor 1, Januari - Juni 2017

Demokratisasi Desa dan Partisipasi Politik: Menurunnya Partisipasi dan


Dukungan Warga dalam Pelaksanaan “Politik Lokal” di Bulungan-Pati

Ibnu Mujib
Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi
IKIP Budi Utomo Malang
Jalan Simpang Arjuno 14 B Malang
ibnu_mudjib78@yahoo.com

Abstract: This study wants to keep track of public participation in responds to development of uncertaintly
local democratic. This idea is based on an assumption of declining public participation in the previous elec-
tions of 2004. This study tries to observe how the development of democracy at the grassroots level can be
influenced by extends political effect for imaging virtually designed and shaped by political pragmatism
practices as conducted by the politicians in general. The findings of this study explained that the democra-
tization at the level of village/local is not understood as an urgent need, therefore the political participation
of society is still in the category of “anut grubyuk” participation profess that is not based on the ideals and
demands the real political rights of citizenship. The forms of participation are thus precisely met the drying
times of democracy itself. It means that the future death of village democratization not only addressed be-
cause of the laziness of residents to political participation, but the attitude of the political elite is also partly
responsible, especially in negotiating the political choices to rural communities in general.

Keywords: village democracy, public participation, local politics, and citizen support, and political prag-
matism

Pada dasarnya masyarakat desa adalah tidak terpilih, calon favorit tidak lulus ujian
masyarakat yang bersifat egaliter (di Jawa tulis, calon tersangkut OT (organisasi terlarang),
dikenal dengan konsep sami-sami, padha-padha) penghitungan suara dilakukan dua kali (secara
(Suhartono, 1999). Secara historis masyarakat terbuka dan secara tertutup), kelebihan suara
desa mengalami proses transformasi sosial pemilih (ada pemilih tidak sah), dan aksi boikot
sejak masa pra kolonial (zaman kerajaan), masa (sebagian pemilih sengaja tidak memberikan
kolonial, Orde Lama, Orde Baru, hingga kini suaranya) [Kompas 1997].
(sebut saja “Orde Transisi Menuju Demokrasi”). Pada era reformasi, situasi desa ditandai
Pada masa colonial melalui system kekuasaan oleh berbagai pergolakan politik menyangkut
indirect rule partisipasi rakyat desa telah di- isu: pemilihan kepala desa (Pilkades), masalah
bypassed guna melancarkan eksploitasi kolonial penguasaan tanah, kasus tuntutan pencopotan
lewat penguasa lokal. Pemerintah kolonial jabatan (mulai dari kepala desa sampai bupati),
telah menutup “partisipasi demokratis” rakyat munculnya semacam gerakan tandingan yang
desa dan mengubahnya ke bentuk “partisipasi efeknya memecah-belah dan menggelisahkan
kolektif-otoriter”, yang mau tidak mau masyarakat.2 Masyarakat desa menuntut para
mengakibatkan rakyat harus tergantung pada kepala desa beserta perangkatnya yang selama
perkebunan dan pemerintah. masa Orde Baru aktif membantu mengumpulkan
Gejolak sosial-politik masyarakat desa suara untuk Golkar agar mengundurkan diri.
pada era Orde Baru antara lain dapat dilihat Demikian pula kepada para camat yang dinilai
dari peristiwa pemilihan kepala desa (Pilkades) telah melakukan tindak korupsi, kolusi, dan
[Fattah 1994]1. Penelitian yang dilakukan oleh nepotisme (KKN) “dipaksa” oleh rakyat desa
Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum untuk melepaskan jabatannya (Soetrisno 1999).
(BP3U 1988) menunjukkan bahwa penyebab Selain itu, gejolak sosial rakyat desa makin
munculnya gejolak dalam masyarakat desa saat meninggi sejak diimplementasikannya undang-
diselenggarakannya Pilkades, antara lain: jumlah undang otonomi daerah pada Januari 2001.
pemilih tidak memenuhi kuorum, calon tunggal Respon masyarakat desa terutama difokuskan
18 | Ibnu Mujib, Demokratisasi Desa dan Partisipasi Politik: ...

pada isu perubahan posisi dan fungsi selain Islam di desa ini (wawancara dengan pak
pemerintahan desa, pemilihan anggota BPD, Dzikron 20 Mei 2008). Bahkan dapat disebut
dan pengisian perangkat desa. bahwa masyarakat desa Bulungan memiliki
Di tingkat akar rumput, paling tidak ada basis islam tradisionalis yaitu NU. Namun
tiga sikap yang berkembang dalam menanggapi secara politik mereka mengambil tempat atau
implementasi UU No.22/1999, khususnya dalam posisi yang kadang berhadap-hadapan, meski
hal pembentukan BPD. Pertama, kelompok di antara mereka komitmen komunalitas yang
masyarakat yang “menentang” dibentuknya ia tunjukkan sebelumnya justru menjadi perekat
BPD.3 Kedua, kelompok yang bersikap kritis- atas perbedaan politik di kalangan elit lokal.
skeptis, Ketiga, kelompok yang menyambut Keharmonisan itu ditunjukkan oleh misalnya
dengan antusias kebijakan pembentukan BPD. kedua tokoh partai yaitu antara pak Dzikron
Studi ini antara lain ingin melihat (PDIP) dengan Pak Muhammad Zain (PKB) sama-
perkembangan perubahan demokratisasi sama dari komunitas penghafal Quran mereka
masyarakat di akar rumput atau pedesaan, justru memiliki perbedaan pandangan politik
khususnya pada masyarakat Bulungan, Tayu, yang tegas. Yang demikian ini menunjukkan
Kabupaten Pati. Selain juga dinamika politik bahwa komunalitas di pedesaan lebih mampu
lokal yang demikian kompleks merupakan mendasari perbedaan antarkelembagaan politik
gejala sosial-politik yang dapat dilihat sebagai yang ada.
bentuk demokratisasi dalam konteks pedesaan. Komunalitas masyarakat pedesaan
Pada perkembangan itu masyarakat desa telah Bulungan ini juga tampak pada bagaimana
memiliki bentuk, ekspresi serta respon yang meraka menjaga kekompakan dalam merespon
tentu berbeda dengan masyarakat perkotaan partisipasi dan dukungan sosial–politik di era
atau dikalangan masyarakat elit menengah. demokratisasi desa yang demikian meluas ini.
Tuntutan yang demikian baru ini juga sekaligus Warung-warung kopi yang ada di setiap pojok
memunculkan persoalan yang tidak saja administrasi kewilayahan desa ini telah menjadi
ditangggung warga sendiri tapi juga negara (the komoditi politik yang secara tidak disadari
village becomes part of the state) (Hirsch 1989:1) kelembagaan–kelembagaan sosial non formal
di antaranya adalah partisipasi masyarakat ini justru dijadikan pusat berbagai informasi dan
di dalam proses demokratisasi. Belum lagi diskusi warga mengenai banyak hal, termasuk
kesiapan warga serta dukungan sosial politik isu pergantian kepala desa. Menariknya, meski
yang tidak stabil akan mengakibatkan minimnya isu tersebut tidak secara terbuka diinformasikan
respons publik terhadap proses demokratisasi ke publik, tetapi melalui ruang demikian ini
itu sendiri. kalangan akar rumput desa mengenali tipologi
serta berbagai ciri calon kepala desa yang akan
menjadi jago di desa mereka. Oleh karena itu,
PROFILE BULUNGAN DAN PELUANG peran warung-warung kopi tidak saja sebagai
DEMOKRATISASI DESA tempat “leyeh-leyeh” (setelah pagi hari bekerja),
tetapi juga sangat membantu melihat bagaimana
Bulungan merupakan sebuah desa yang
proses sosial–politik masyarakat Bulungan
memiliki perubahan tingkat jumlah penduduk
disosialisasikan, khususnya sebagai penanda
yang relatif cepat. Data paling terakhir
media tumbuhnya demokratisasi desa di tingkat
menunjukkan bahwa Bulungan memiliki
lokal. Itu artinya tradisi oral telah mendominasi
3765 yang terdiri dari 1661 laki-laki, dan 1904
pilihan komunikasi politik masyarat di tingkat
dihuni oleh perempuan. Secara administratif,
desa.
penduduk desa Bulungan terbagi kedalam 3
Potret demokratisasi desa di era 60-80 an,
RW dan 21 RT, pembagian yang demikian ini
seperti di tunjukkan oleh Husken “Masyarakat
dapat dikategorikan sebagai penduduk yang
Desa dalam Perubahan Zaman” kebo gedhe menang
relatif padat. Hampir 80% masyarakat Bulungan
berike (Husken 1989:1). Selain dapat dilihat dari
berprofesi petani, baik petani buruh, petani
berbagai media di atas, demokratisasi desa juga
penggarap maupun pemilik tanah. Sementara
dapat dilihat dari kelas sosial. Kelas sosial di
20% penduduk yang lain bekerja pada ranah
desa Bulungan misalnya adalah bagian dari
guru, PNS dan pedagang.
representasi kelas atau kelompok masyarakat
Masyarakat Bulungan juga terhitung
berdasarkan setting ekonomi desa. Kekuasaan
sebagai masyarakat homogin, perbedaan di
berarti juga kekayaan atau mereka yang
tingkat etnis atapun agama tidak tampak di
menepati kelas sosial tertinggi. Yang demikian
desa ini, paling hanya satu yang beragama
itu berarti bahwa kekuasaan selain diproduksi
Ibnu Mujib, Demokratisasi Desa dan Partisipasi Politik: ... | 19

melalui relasi antarkelas sosial yang ada, ia politik yang berbeda dalam berdemokratisasi.
juga digambarkan sebagai tokoh atau elit lokal Sebut saja soal BPD (Badan perwakilan desa)
yang merepresentasi kemenangan politik dan yang dinilai gagal merawat demokratisasi di
ekonomi. Oleh karena itu, kekuasaan di tingkat desa. Oleh karena itu, tidak heran jika perubahan
desa tidak dibentuk oleh pemaknaan masyarakat pada tingkat fungsi dan bentuk BPD ikut
atas figur kepemimpinan yang dipilih dengan menandai proses demokratisasi di aras lokal.
ukuran-ukuran atau kemenangan partai politik
tertentu, tetapi figur kepeminpinan di desa
diukur dari kapital yang dimiliki calon dan akses PERGESERAN FUNGSI BPD LAMA KE BPD
kapital bagi orang-orang yang ada di bawah BARU
kelas sosial calon. Itu artinya ketergantungan
pemilih terhadap calon yang berkapital tinggi Sebuah Ruang Baru atau Kegagalan
menjadi ukuran demokratisasi di tingkat desa. Demokratisasi Desa?
Pada saat penelitian ini dilakuakan, Beberapa indikator penting yang menandai
demokratisasi Bulungan yang juga bagian terbukanya ruang demokratisasi desa pasca
dari konstruksi negara, tidak luput dengan reformasi di antaranya, pertama, pemisahan
terjadinya gesekan-gesekan sosial-politik antara fungsi eksekutif dan fungsi legislatif dalam
khususnya di tingkat elit lokal Bulungan. Sebut pemerintahan desa. Fungsi eksekutif dijalankan
saja misalnya, konflik kepala desa yang hingga oleh pemerintah desa, yang terdiri dari kepala
hampir setahun terakhir ini belum menunjukkan desa dan perangkat desa, sedangkan fungsi
tanda-tanda perbaikan. Kepala Desa yang legislatif dijalankan oleh Badan Perwakilan
konon diberhentikan karena habis masa kerja, Desa (BPD). Kedua, Anggota dan pimpinan BPD
hingga kini pemberhentian tidak diindahkan tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai
dengan baik olehnya, meski Bupati Pati telah kepala desa dan perangkat desa. Ketiga, dalam
mengangkat pejabat semantara yaitu Carik melaksanakan tugas dan kewajibannya kepala
atau sekretaris desa. Namun karena belum ada desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui
serah terima jabatan dari kepela desa yang lama, BPD. Keempat, Kepala desa yang bersikap
kata Carik, maka melalui camat Tayu, surat dan bertindak tidak adil, diskriminatif dan
pengangkatan PJS dikembalikan ke Bupati. Carik mempersulit dalam memberikan pelayanan
desa Bulungan yang sekarang melanjutkan studi kepada masyarakat diberikan teguran dan atau
setrata satu pada fakultas hukum di Malang itu peringatan tertulis oleh BPD. Kelima, Kepala desa
mengatakan bahwa operasinal desa sementara dipilih langsung oleh penduduk desa, dan yang
di hendle oleh Carik, sedangkan kebijakan- mendapat suara terbanyak ditetapkan oleh BPD
kebijakan yang membutuhkan tandatangan dan disahkan oleh bupati. Keenam, Anggota BPD
langsung kepala desa tidak dapat dilakukan, dipilih dari dan oleh penduduk desa. Ketujuh,
termasuk urusan anggaran desa yang selama BPD dapat mengusulkan pemberhentian
setahun terakhir ini–karena kasus itu—tidak kepala desa. Kedelapan, Pemerintah desa berhak
dapat cair. Masih menurut carik desa ini, Bupati menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang
sebagai yang punya otoritas pengangkatan tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan
struktur di bawahnya, sampai detik ini belum prasarana, serta sumber daya manusia.4
melakukan tindakan apapun. Aturan main yang ditata sedemikian detiil
Konflik lokal yang demikian kompleks ini, di atas tidak lain untuk mengawali sebuah
di satu sisi secara tidak langsung telah menjadi babak baru konstruksi Negara atas tatanan
pelajaran berharga bagi masyarakat desa, demokratisasi di tingkat desa. Melalui aturan
khususnya meningkatnya pendidikan politik main ini, masyarakat di tingkat desa dituntut
di tingkat lokal. Namun di sisi lain, pendidikan untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik
politik yang demikian berharga ini justru menjadi di desa, termasuk ikut menentukan kebijakan-
beban psikologis bagi warga atau masyarakat kebijakan politik dan pemerintahan. Namun
terhadap peluang demokratisasi desa, demikian perlu diakui bahwa aturan main yang demikian
itu ditunjukkan oleh warga dengan menurunnya lengkap itu tidak selamanya berproses
bentuk-bentuk partisipasi dan dukungan politik sesuai dengan yang direncanakan atau yang
pada proses-proses politik belakangan ini. Oleh diidealkan. Kasus pembentukan BPD misalnya,
karena itu, konstruksi demokratisasi desa yang yang semula sebagai badan perwakilan desa
dikembangkan oleh negara tidak selalu memiliki atau sebagai lembaga legislatif pada tingkat
dampak positif pada ranah lokal. Melainkan desa dengan fungsi sebagai pengawas lembaga
masyarakat pedasaan memilki cara dan expresi eksekutif desa, karena itu BPD dipilih langsung
20 | Ibnu Mujib, Demokratisasi Desa dan Partisipasi Politik: ...

oleh rakyat desa sebagai bentuk perwakilan dari berada pada tahap awal. Ada dua hambatan yang
berbagai representasi lembaga atau struktur segera muncul pada titik ini. Pertama, kenyataan
di bawah desa. Namun belum genap satu landasan formal (UU No.22/1999) demokrasi
dasawarsa keberadaan BPD–yang dinilai ideal desa baru diberlakukan secara efektif beberapa
untuk demokarasi desa—kini sudah mengalami tahun terakhir ini. Kedua, terputusnya proses
perubahan fungsi, bahkan keberadaanya pendidikan politik rakyat desa dalam rentang
tidak lagi sebagai lembaga perwakilan desa, waktu yang cukup lama (usia satu generasi,
tetapi sudah menjadi lembaga atau Badan 1966-1998) menjadikan kondisi kognitif dan
Permusyawaratan Desa.5 emosi rakyat desa nyaris tak berdaya dalam
Dengan bergesernya fungsi dan bentuk urusan partisipasi politik.7 Oleh karena itu,
kelembagaan legeslatif desa ini, maka itu perlu upaya keras dan sungguh-sungguh untuk
artinya semangat demokratisasi desa di satu meningkatkan keberdayaan politik rakyat desa.
sisi telah mengalami kegagalan proses-proses Termasuk lahirnya “otonomi desa” juga
demokrasi, di mana sebuah badan atau lembaga setidaknya dipicu oleh aspek sosial budaya,
yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas seperti rakyat desa mengalami kesenjangan sosial
lembaga exekutif desa, kini berubah menjadi yang kian meluas, merenggangnya solidaritas
badan yang tidak memiliki kekuatan dan otoritas sosial, bergesernya orientasi hidup pada hal-
yang sama. Namun di sisi lain pergeseran itu bisa hal yang bersifat material (segala sesuatu mulai
jadi merupakan pilihan expresi atau pola yang diukur dengan uang), dan juga mengalami
memang dikehendaki oleh masyarakat di akar apa yang saya sebut sebagai “kelambanan
rumput atau desa. Oleh karena itu, dengan basis sosial” (social inertia). Gejala kelambanan sosial
komunalitas yang kuat di desa, seperti semangat ini ditandai (dan disebabkan) oleh sulitnya
gotong royong, lebih mengutamakan harmonis penduduk desa melakukan usaha atau bekerja
atau rukun dari pada konflik, lebih-lebih istilah di desa, sehingga mengakibatkan keputusasaan
“mangan ora mangan sing penting ngumpul“,6 (hopelessness) (Kartodirdjo 1987:221); di samping
maka sangat rasional bila pergeseran fungsi dan itu secara sosial politik mengalami keengganan,
bentuk kelembagaan itu terjadi. Pernyataan kemalasan, ketidakpedulian, dan akhirnya
ini didukung oleh Carik desa Bulungan yang ketakutan menghadapi dan menanggapi isu-isu
mengaku bahwa banyak pengurus BPD belum sosial politik yang berkembang di sekitarnya.
memahami substansi aturan main BPD sendiri,
sehingga yang terjadi justru saling curiga,
bahkan konflik. (wawancara dengan Carik Partisipasi Politik dan Dukungan Masyarakat
Bulungan, 20 Mei 2008), meski pernyataan tidak Bulungan
senada dipertanyakan oleh salah satu pengurus
Prinsip dasar suatu kehidupan yang
BPD Bulungan.
demokratis ialah tiap warga negara ikut aktif
Basis social yang demikian kuat itu dalam proses politik. Dengan kata lain, anggota
tidak lain adalah konstruksi budaya (cultural masyarakat ikut serta (partisipasi) dalam
construction) masyarakat desa, di mana desa menyusun agenda politik yang dijadikan landasan
sebagai sebuah institusi social yang kuat tentu bagi pengambilan keputusan pemerintah.
memiliki sistem sendiri, yang berbeda dengan Demokrasi bisa berjalan jika masyarakat sadar
system yang ada di luar desa. Oleh karena itu, bahwa mereka memiliki hak untuk mengontrol
kebijakan apapun yang terkait dengan masalah jalannya pemerintahan. Demokrasi baru bisa
pedesaan harus memiliki akar kebudayaan yang berjalan kalau pencapaian tujuan-tujuan dalam
kuat. Hal senada diungkap secara sepontan oleh masyarakat diselenggarakan oleh wakil-wakil
salah satu pengurus PKB Bulungan, bahwa mereka (representative government), yang dibentuk
“demokratisasi” di dalam konteks desa belum berdasarkan hasil pemilihan umum (Antlöv
bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa, 2002: 43). Prinsip dasar pelaksanaan demokrasi
karena itu kadang sistem demokrasi tidak cocok di Indonesia ialah “musyawarah untuk
untuk masyarakat di tingkat lokal (Wawancara mufakat”. Prinsip musyawarah mengandung
dengan tokoh agama sekaligus pengurus PKB dimensi proses (“demokrasi substansial”),
Bulungan Bpk. Muhamad zain). sedangkan prinsip mufakat mengandung
Sejalan dengan hal itu, “Proyek” dimensi tujuan (“demokrasi formal”). Dalam
demokratisasi desa perlu diakui masih berada praktik, pelaksanaan demokrasi di Indonesia
dalam status “demokrasi formal/ prosedural”. lebih menitikberatkan pada pencapaian tujuan
Ini artinya posisi gerak demokratisasi desa masih (aspek formalitas demokrasi) ketimbang
Ibnu Mujib, Demokratisasi Desa dan Partisipasi Politik: ... | 21

pada proses pencapaiannya (aspek substansi muda, baik dengan cara golput (golongan
demokrasi). Dari sisi status demokrasi, “proyek” Putih), merusak kertas suara, maupun tidak
demokratisasi desa jelas baru masuk pada tahap terlibat sama sekali dalam pemilu. Pernyataan
“demokrasi formal” (Djadijono 1994:31). serupa diakui pula oleh pak Dzikron yang juga
Demokratisasi formal desa di Bulungan ketua PDIP Bulungan menyatakan bahwa gairah
tampak pada bagaimana masyarakat menyikapi partisipasi masyarakat terhadap pemilu 1999-
dukunganya pada pemilihan umum 2004 2009 tinggi, tapi pada pemilu 2009 partisipasi
misalnya. Ketika pilihan politiknya gagal warga menurun dan itu ditunjukkan bahwa
merumuskan kebutuhan masyarakatnya, angka perolehan PDIP menurun. Pernyataan
artinya pemerintah tidak merespon kebutuhuan pak Dzikron dan Yudi ketika di warung Bu
dasar masyarakat pemilih, maka logika politik Supinah Bulungan ini tidak saja menandai
masyarakt desa berbalik 180 derajat yaitu lemahnya partisipasi politik warga, tetapi bahwa
dengan mengimbangi sikap politik elit, yaitu demokratisasi desa baru diimplementasikan
dengan malas-malasan terlibat proses politik di sebatas formalitas aturan main demokrasi, di
desa. Demikian itu tampak pada menurunnya mana substansi demokrasi desa masih belum
partisipasi masyarakat desa pada pemilihan dirasakan manfaatnya. Kerianggembiraan
umum presiden 2004. Tidak kurang dari 95% kolektif warga dalam demokratisasi desa hanya
perserta pemilih ikut dalam partisipasi politik ditunjukkan secara formalitas sebagai bagian
pemilihan presiden 1999. Tetapi hampir 45% dari tuntutan Negara atas masyarakat di tingkat
masyarakat pemilih tidak menggunakan hak desa. Demokratisasi belum dipahami oleh
pilihnya, dengan alasan bahwa keterlibatanya masyarakat desa sebagai kebutuhan yang urgen,
hanya ketika para elit membutuhkan dukungan karena itu partisipasi politik masyarakatpun
saja, ungkap salah satu pemuda Bulungan (Yudi masih dalam kategori partisipasi “anut grubyuk”
20 tahun). Ungkapan itu dibenarkan oleh carik (ikut-ikutan).
Bulungan yang mengatakan bahwa pada pemilu
2009 lalu masyarakat Pati pada umumnya
tergolong memiliki tingkat partisipasi politik Pragmatisme Politik Anak Muda dan Politik
paling rendah dibanding kabupaten-kabupaten “Dorong Mobil”
yang ada di Jawa tengah lainya. Tabel di bawah Pernyataan di kalangan anak muda
ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Bulungan khususnya tentang politik lokal adalah
desa Bulungan berpartisipasi dalam pemilihan merupakan bagian dari pembicaraan atau kojah
umum. warungan hari-hari. Baik mengenai politik lokal,

Tabel 1 Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu 2009 Desa Bulungan-Tayu-Pati


Masyarakat yang Tidak Menggunakan Hak Pilih Suara tidak sah
Representasi TPS Laki-laki Perempuan Jumlah
TPS I 40 23 63 4
TPS II 30 19 49 2
TPS III 46 23 69 -
TPS IV - - - -
TPS V 39 32 71 5
TPS VI 28 21 49 17
TPS VII 26 25 51 3
TPS VIII 46 24 70 9
Jumlah 412 47

Tabel di atas menggambarkan bahwa dari partai politik, hingga hubungan antara wong
total pemilih 2459 orang, 412 orang pemilih tidak sugih (mewakili kelas ekonomi elit) dan wong
menggunakan haknya. Menurut pernyataan cilik (kelas sosial di bawahnya). Warung “kopi”
beberapa pemuda dan pejabat di Bulungan, di desa Bulungan tidak saja sekedar tempat orang
pemilu 2009 adalah pemilu yang tidak banyak jual beli kopi cangkiran yang sehabis minum lalu
diikuti oleh warga Bulungan, khususnya anak pergi, tatapi warung kopi hampir di beberapa
22 | Ibnu Mujib, Demokratisasi Desa dan Partisipasi Politik: ...

tempat di desa Bulungan selalu menandai yang tidak mengenal bagaimana masyarakatnya
ekxpresi, pola hidup, informasi, bentuk-bentuk memilki cara bernegosiasi politik sekaligus
representasi kelas lokal serta hubungan timbal tidak memikirkan masadepan demokratisasi di
balik antarkelompok juga terjadi di komunitas tingkat lokal menemui kamatiannya.
warung itu. Sebut saja misalnya warung pak Expresi serupa juga muncul dari Mas Waloyo
Hartolo, menurut tutur beberapa orang warga (warga Bulungan yang biasa menjadi buruh tani
desa Bulungan, warung ini kerap kali menjadi di desa ini). Ungkap Mas Waloyo mengenai isu
tempat ngobrol bidang “politik”, bahkan ada politik, dia lebih memilih untuk tidak terlibat
salah satu warga yang tidak mau pergi ke warung dalam pelaksanaan proses politik di desanya,
itu hanya dengan alasan bicaranya (ngobrolnya) itu artinya mas Waloyo tidak ikut dalam proses
banyak mengenai politik. Oleh karena itu warung pemilihan, baik pilpres, pilkada (bupati) maupun
pada tingkaat tertentu menjadi tempat curhat pilihan politik yang lain. Alasannya, daripada ia
politik sekaligus pendidikan politik warga yang konflik dengan teman sekerjanya, lebih baik ia
secara pelan tapi pasti akan menumbuhkan tidak berafiliasi dengan partai politik apapun.
semangat demokratisasi arus bawah. Beberapa Sebab memilih pilihan politik berarti membuat
orang –pada saat wawancara dilakukan-- yang kelompok atasnama politik, dan itu artinya ia
kerap kali janggol di warung ini antaralain: harus melepaskan pertemanan yang selama ini
pak Joyo Supardji, Maduri, Matsuri dll. Bahkan dibangun. Oleh karena itu, di sinilah makna dan
warung secara umum juga tempat bertemunya perwujudan bahwa komunalisme desa lebih
lapisan kelas sosial yang kadang tidak bisa mampu mendasari sikap politik di suatu imagi
bertemu dalam satu forum khusus, mereka ada politik masyarakat tertentu, daripada kelompok-
yang dari kelas wong cilik, ada juga yang dari kelompok atau institusi-institusi politik baru
kalangan guru PNS. yang belum bisa dirasakan manfaatnya secara
Situasi yang demikian itu setidaknya pragmatis oleh kelas tertentu.
menggambarkan bagaimana masyarakat Keengganan berpolitik masyarakat desa
Bulungan dalam kelas tertentu menunjukkan Bulungan merupakan fenomena baru pasca
pemahaman atau setidaknya memiliki cara bebeberapa kali pemilu atau pilkada di
sendiri dalam mensosialisasikan makna politik lakukan di desa ini. Masing-masing kelas sosial
dalam kelas desa. Oleh karena itu tidak heran memiliki cara yang berbeda dalam merespon
jika profokasi-profokasi politik di tingkat lokal demokratisasi desa termasuk pilihan-pilihan
mempengaruhi kelas-kelas sosial yang lain, politik masyarakat di tingkat lokal. Jika terjadi
bahkan warung juga menjadi mediasi perluasan kemunduran demokratisasi di pedesaan, itu
implementasi perkembangan politik praktis bukan saja karena sistem demokratisasi yang
yang sangat subur. ditawarkan tidak sesuai dengan mekanisme
Berkaitan dengan hal ini, sebagai bentuk komunitas di pedesaan, tetapi tingkah atau sikap
sosialisasi politik masyarakat desa Bulungan elit politik yang tidak fair dalam menegosiasikan
adalah sikap pragmatisme anak muda yang pilihan-pilihan politik kepada publik juga
dinilai bagian dari proses demokratisasi di desa. dinilai akan merusak spirit demokratisasi dalam
Logika politik yang sederhana akan menjadi konteks masyarakat desa.
ukuran bagaimana di tingkat anak muda lokal
mendeskripsikan expresi politiknya. Seperti
yang ditegaskan Yudi (20 thn) bahwa dia KESIMPULAN
sekarang tidak mau ikut-ikutan politik, dia Gambaran kekuasaan di tingkat desa tidak
malas karena seringkali dibohongi oleh para dibentuk oleh pemaknaan masyarakat atas figur
politisi. Pada saat kampanye, mereka janji akan kepemimpinan yang dipilih dengan ukuran-
memberi uang, tetapi ternyata setelah dukungan ukuran atau kemenangan partai politik tertentu,
politik diberikan, ternyata tidak jadi diberi tetapi figur kepeminpinan di desa diukur dari
uang entah dengan alasan itu lah, bangkrut lah kapital yang dimiliki calon dan akses kapital bagi
(wawancara dengan Yudi juga pak Joyo), lanjut orang-orang yang ada di bawah kelas sosial calon.
Yudi mereka malah sudah tidak lagi mengenal Itu artinya ketergantungan pemilih terhadap
kita, masih kata Yudi dan Prasetyo, ikut politik calon yang berkapital tinggi menjadi ukuran
atau nyoblos pemilu samahalnya dengan demokratisasi di tingkat desa. Memetakan desa
disuruh dorong mobil, yang habis dorong –kota dalam konteks politik dan demokrasi
orangnya pergi. Begitulah pelajaran politik yang tidak berarti sama sekali melibatkan perdebatan
diberikan elit kepada masyarakat bawah, yaitu teoritis yang strik, malainkan Desa ataupun
pembohongan yang luarbiasa dilakukan para elit
Ibnu Mujib, Demokratisasi Desa dan Partisipasi Politik: ... | 23

kota dalaam konteks demokrasi ini seharusnya DAFTAR RUJUKAN


tidak dibangun atas dasar politik. Antlöv, H. 2002. “Epilog 2002 : Warisan Orde Baru
Ruang demokratisasi desa di Bulungan juga dan Tumbuhnya Demokrasi Lokal”,
bisa kita lihat pada arena politik konflik kepala dalam Negara Dalam Desa: Patronase
desa yang demikian kompleks itu. Oleh karena Kepemimpinan Lokal. Yogyakarta:
itu, di satu sisi secara tidak langsung telah Lappera Pustaka Utama.
menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat ........... 2003. “Village Government And Rural
desa, khususnya meningkatnya pendidikan Development In Indonesia : The New
politik di tingkat lokal. Namun di sisi lain, Democratic Framework”, Bulletin of
pendidikan politik yang demikian berharga ini Indonesian Economic Studies, Vol. 39, No.
justru menjadi beban psikologis bagi warga atau 2:193-214.
masyarakat terhadap peluang demokratisasi Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum
desa, demikian itu ditunjukkan oleh warga (BP3U). 1988. Analisis Isi Surat Kabar Isu
dengan menurunnya bentuk-bentuk partisipasi Sentral Bulan Juni 1988 di D.I. Yogyakarta
dan dukungan politik pada proses-proses dan Jawa Tengah: Pemilihan Kepala Desa.
politik belakangan ini. Basis sosial yang dimiliki Laporan Penelitian. Yogyakarta: BP3U
desa (“akar komunalisme desa”) harus dilihat Deppen.
sebagai landasan kebijakan dalam melihat gagal
Data survey dan wawancara di Bulungan,
tidaknya sebuah demokratisasi di desa. Sebagai
Tayu, Pati, mulai taggl 19, 20, 21 Mei
contoh pergeseran fungsi dan wewenang
2009. Narasumber, Pak Dzikron, Pak
BPD, seharusnya tidak saja dinilai sebagai
Muhammad Zain, Mas Yudi, Mas
bentuk-bentuk kegagalan demokratisasi desa,
Waloyo, Mas Prass, Bu Darti, Pak
tetapi keberadaan BPD–sebagai konsep yang
Carik, Bu Carik, pak Joyo Supardji, Mas
dikonstruksi dari bentuk demokratisasi secara
Maduri, Mas Matsuri dll dan tentunya
global- memeng perlu dilakukan evaluasi.
4 sekawan.
Terlebih, pilihan BPD baru merupakan pilihan
Djadijono, M. 1994. Arus Bawah Dalam Dinamika
warga yang jauh dari bentuk-bentuk gesekan
Kehidupan Politik di Indonesia. CSIS
sosial baru yang akan berujuk pada konflik-
Occasional Papers Series, M116.
konflik komunal.
Eep, S.F. 1994. “Unjuk Rasa, Gerakan Massa
Oleh karena itu, demokratisasi desa baru
dan Demokratisasi: Potret Pergeseran
diimplementasikan sebatas formalitas aturan
Politik Orde Baru”. Prisma, No.4, XXIII,
main demokrasi, di mana substansi demokrasi
April.
desa masih belum dirasakan manfaatnya.
Kerianggembiraan kolektif atau partisipasi Hirsch, P. 1989. “The State in the Village:
warga dalam demokratisasi desa hanya Interpreting Rural Development in
ditunjukkan secara formalitas sebagai bagian Thailand”. Development and Change,
dari tuntutan Negara atas masyarakat di tingkat Vol. 20 (1).
desa. Demokratisasi belum dipahami oleh Hüsken, F. 1989. Masyarakat Desa dalam
masyarakat desa sebagai kebutuhan yang urgen, Perubahan Zaman, Sejarah Diferensiasi
karena itu partisipasi politik masyarakatpun Sosial di Jawa 1830-1980.
masih dalam kategori partisipasi anut grubyuk ............. 2001. “Pemilihan (Kepala Desa, pen) di
yang tidak dilandasi oleh idealisme dan tuntutan Desa di Jawa Tengah: Kendali Negara
hak sipil kewargaan yang sesungguhnya. Masa atau Demokrasi Lokal ?”, dalam
depan demokratisasi desa yang seharusnya Hans Antlöv dan Sven Cederroth
ditunjukkan melalui bentuk-bentuk partisipasi penyunting), Kepemimpinan Jawa:
masyarakat, khususnya anak muda, di dalam Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter.
konteks desa justru menemui ajalnya. Kematian Jakarta: Yayasan Obor.
masa depan demokratisasi desa tidak saja Kartodirdjo, S. 1987. “Transformasi Struktural
dialamatkan kepada malasnya warga terhadap di Pedesaan: Beberapa Pokok
partisipasi politik, tetapi sikap elit politik juga Permasalahan”, dalam Prospek Pedesaan
harus bertanggungjawab, khususnya dalam 1987, P3PK UGM.
menegosiasikan pilihan-pilihan politik kepada Kuntowijoyo. 1990. “Perubahan Sosial dan
masyarakat desa secara umum. Budaya Politik : Prospek Demokrasi
24 | Ibnu Mujib, Demokratisasi Desa dan Partisipasi Politik: ...

di Pedesaan”, dalam Mubyarto dkk., Soetrisno, L. 1999. “Current Social and Political
Prospek Pedesaan 1990. P3PK UGM. Conditions of Rural Indonesia”, dalam
“Pemilihan Kepala Desa: Kepentingan Birokrasi Geoff Forrester (ed.), Post-Soeharto
atau Pengembangan Demokrasi”. Indonesia : Renewal or Chaos ?
Kompas, 14 Desember 1997. Singapore, Institute of Southeast Asian
“Reformasi di Jawa: Kebangkitan Rakyat Studies.
Pedesaan”. Kompas, 24 Desember 1998.

(Endnotes)
1 Eep Saefulloh Fatah (1994) mencatat bahwa periode akhir 1980-an adalah “periode awal keterbukaan
politik”, yang ditandai oleh banyaknya aksi demonstrasi dan protes yang dilakukan oleh buruh, kaum
muda, mahasiswa, kalangan LSM serta komunitas masyarakat desa dan kota yang terpinggirkan oleh
pembangunan.
2 Bagi masyarakat desa, era reformasi dilihat sebagai suatu eforia besar. Rakyat pedesaan yang sekian
lama merasa tertekan mendadak merasa memegang kedaulatan, dan bangkit menuntut apa yang menurut
mereka menjadi haknya, menentang atau menuntut perubahan kebijakan yang menurut mereka tidak adil
atau merugikan. Lihat “Reformasi di Jawa : Kebangkitan Rakyat Pedesaan”. Laporan koresponden Kompas
dari berbagai daerah. Ibid.
3 Seorang guru SMP di Bulungan berpendapat bahwa pendirian BPD hanya akan menimbulkan suasana
“gontok-gontokan” di desa. Oleh karena itu, dengan nada sinis, ia tidak sepakat dengan pendirian BPD (badan
Perwakilan Desa) yang dulu. BPD lebih efektif dengan perannya yang sekarang (Badan Permusyawaratan
Desa) Wawancara dengan pak Supardji, 21 Mei 2008. Pernyataan serupa diperkuat oleh Carik desa Bulungan
yang juga mengungkapkan BPD format lama telah kehilangan fungsi semula, yang terjadi justru konflik
wawancara, 21 Mei 2010.
4 Sumber : Himpunan Lembaran daerah Kabupaten Pati tentang pemerintahan Desa tahun, 2001.
5 Fungsi dan wewenang BPD (Badan Permusyawaratan Desa) dijelaskan dalam Himpunan Lembaran
Daerah Kabupaten Pati tentang pemerintah desa tahun 2007. Adapun fungsi BPD kali ini membahas rancangan
peraturan desa bersama kepala desa, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan atau
keputusan kepala desa, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa, membentuk panitia
pemilihan kepala desa, menggali, menampung, menghimpun , merumuskan dan menyalurkan aspirasi
masyarakat, dan menyususn tata tertib BPD.
6 Istilah ini merupakan prinsip hidup sebagian besar masyarakat jawa, meski tidak semua kelas social
memakai logika ini, termasuk masyarakat yang ada di wilayah perkotaan.
7 Dengan merujuk pada sejarah pedesaan surakarta, kuntowijoyo berpendapat bahwa perkembangan
pendidikan politik di pedesaan terputus secara tiba-tiba (akibat peristiwa G-30-S PKI 1965), sebelum mencapai
tujuannya yaitu terciptanya sebuah “masyarakat yang berkeadaban” (civic culture). tiba-tiba saja sejarah politik
terputus. sebagai akibatnya, keterlibatan politik secara massal di masa lalu (orientasi komunal) digantikan
oleh keterlibatan para elit desa saja (orientasi subjek-elitis). hanya pada saat-saat menjelang pemilihan
umum, masyarakat mengenal (dan mengenang) kembali partisipasi politik mereka. terjadi pergeseran bentuk
partisipasi politik, dari yang semula berorientasi komunal (parochial-participant political culture) berganti
orientasi pada subjek tertentu atau elit desa/ negara saja (subject-participant political culture). akibat lebih lanjut
dari terjadinya pergeseran orientasi politik masyarakat desa ini ialah munculnya birokrasi (mewakili kekuatan
negara yang amat dominan) yang memainkan peran yang amat penting dalam kehidupan politik di tingkat
desa. birokrasi desa beserta elit birokrasi desa yang pada masa pra-1965 diremehkan oleh partai-partai politik
di tingkat desa (karena dikalahkan oleh pengaruh pimpinan partai politik di tingkat desa), namun setelah
1965 kembali memegang peranan yang penting (lihat Kuntowijoyo 1990:59-60.

You might also like