Professional Documents
Culture Documents
Take Home Uas Keperawatan Anak Ii
Take Home Uas Keperawatan Anak Ii
(1, 2017)
1, W. R. (2017). Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang. STUDI KASUS SARANA TERAPI OKUPASI
DENGAN TAMAN EDUKASI, Jurnal Care Vol .5, No2.
Anisa hidir, A. (2010). S.Kp., M.Kep2. TERAPI MODALITAS LINGKUNGAN: MUSIK TERHADAP.
Fathnur Rohman, O. (2020, desember 14). Kasus HIV/AIDS di Kota Cirebon Meningkat Selama Pandemi
Covid-19. Retrieved desember 15, 2020, from
https://news.okezone.com/read/2020/12/14/525/2327269/kasus-hiv-aids-di-kota-cirebon-
meningkat-selama-pandemi-covid-19: https://news.okezone.com/
Riza Mahdalena1, M. S. (2020). Universitas Negeri Surabaya. Melatih Motorik Halus Anak Autis Melalui
Terapi Okupasi, VOLUME 6 NOMOR : 1- 6.
Abstrak
Terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi isu di banyak negara. Masyarakat menggunakan terapi ini dengan alasan keyakinan,
keuangan, reaksi obat kimia dan tingkat kesembuhan. Perawat mempunyai peluang terlibat dalam terapi ini, tetapi memerlukan
dukungan hasil-hasil penelitian (evidence-based practice). Pada dasarnya terapi komplementer telah didukung berbagai teori,
seperti teori Nightingale, Roger, Leininger, dan teori lainnya. Terapi komplementer dapat digunakan di berbagai level pencegahan.
Perawat dapat berperan sesuai kebutuhan klien.
Abstract
Complementary therapy has emerged as a common health issue in the countries worldwide. People choose the complementary
therapy based on many reasons such as belief, financial, avoiding the chemical reaction from medicine, and positive healing
outcome. Nurse has great opportunity to deliver and develop complementary therapy supported by scientific evidences. Basically,
the complementary therapy theoretical justification has been established by several nursing theory, as the Nightingale’s,
Roger’s, Leininger’s and many others. Complementary therapy can be delivered in various prevention level. In accordance to
the purpose, nurse should perform his/her role based on particular client’s needs.
PENDAHULUAN
Perkembangan terapi komplementer akhir- pengambilan keputusan dalam pengobatan dan
akhir ini menjadi soro tan banyak negara. peningkatan kualit as hidup dibandingkan
Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan
bagian penting dalam pelayanan kesehatan di adanya reaksi efek samping dari pengobatan
Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder & konvensional yang diterima menyebabkan memilih
Lindquis, 2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002).
juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan
Terapi komplementer yang ada menjadi salah
386 juta o rang yang mengunjungi prakt ik
satu pilihan pengobatan masyarakat. Di berbagai
konvensional (Smith et al., 2004). Data lain
tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien
menyebutkan terjadi peningkatan jumlah pengguna
bertanya tentang terapi komplementer atau
terapi komplementer di Amerika dari 33% pada
alternatif pada petugas kesehatan seperti dokter
tahun 1991 menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg,
ataupun perawat. Masyarakat mengajak dialog
1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002).
perawat untuk penggunaan terapi alternatif (Smith
Klien yang menggunakan terapi komplemeter et al., 2004). Hal ini terjadi karena klien ingin
memiliki beberapa alasan. Salah satu alasannya mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan
adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, pilihannya, sehingga apabila keinginan terpenuhi
yaitu adanya harmoni dalam diri dan promosi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapat
kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan menjadi peluang bagi perawat untuk berperan
lainnya karena klien ingin terlibat unt uk memberikan terapi komplementer.
54 Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 12, No. 1, Maret 2008; hal 53-57
Peran yang dapat diberikan perawat dalam berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang
terapi komplementer atau alternatif dapat umum di masyarakat atau budaya yang ada
disesuaikan dengan peran perawat yang ada, sesuai (Complementary and alternative medicine/CAM
dengan batas kemampuannya. Pada dasarnya, Research Methodology Conference, 1997 dalam
perkembangan perawat yang memerhatikan hal ini Snyder & Lindquis, 2002). Terapi komplementer
sudah ada. Sebagai contoh yaitu American Holistic dan alternatif termasuk didalamnya seluruh praktik
Nursing Association (AHNA), Nurse Healer dan ide yang didefinisikan oleh pengguna sebagai
Profesional Associates (NHPA) (Hitchcock et al., pencegahan atau pengobatan penyakit atau promosi
1999). Ada pula National Center f or kesehatan dan kesejahteraan.
Complementary/Alternative Medicine (NCCAM)
yang berdiri tahun 1998 (Snyder & Lindquis, 2002). Definisi t ersebut menunjukkan terapi
komplemeter sebagai pengembangan terapi
Kebutuhan masyarakat yang meningkat dan tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan
berkembangnya penelitian t erhadap terapi terapi modern yang mempengaruhi keharmonisan
komplementer menjadi peluang perawat untuk individu dari aspek biologis, psikologis, dan
berpartisipasi sesuai kebutuhan masyarakat. spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi
Perawat dapat berperan sebagai konsultan untuk tersebut ada yang telah lulus uji klinis sehingga
klien dalam memilih alternatif yang sesuai ataupun sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini
membantu memberikan terapi langsung. Namun, sesuai dengan prinsip keperawat an yang
hal ini perlu dikembangkan lebih lanjut melalui memandang manusia sebagai makhluk yang
penelitian (evidence-based practice) agar dapat holistik (bio, psiko, sosial, dan spiritual).
dimanfaatkan sebagai terapi keperawatan yang
lebih baik. Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu
didukung kemampuan perawat dalam menguasai
berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk
TERAPI KOMPLEMENTER terapi komplementer. Penerapan terapi
komplementer pada keperawatan perlu mengacu
Terapi komplementer dikenal dengan terapi kembali pada teori-teori yang mendasari praktik
tradisional yang digabungkan dalam pengobatan keperawatan. Misalnya teo ri Rogers yang
modern. Komplementer adalah penggunaan terapi memandang manusia sebagai sistem terbuka,
tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews kompleks, mempunyai berbagai dimensi dan
et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi energi. Teo ri ini dapat mengembangkan
modalitas atau aktivitas yang menambahkan pengobatan tradisional yang menggunakan energi
pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan misalnya tai chi, chikung, dan reiki.
(Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga
ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan
Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang dasar bagi perawat dalam mengembangkan terapi
mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu komplementer misalnya teori transkultural yang
sebuah keharmonisan individu untuk dalam praktiknya mengaitkan ilmu fisiologi,
mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal ini
kesatuan fungsi (Smith et al., 2004). didukung dalam catatan keperawatan Florence
Nightingale yang telah menekankan pentingnya
Pendapat lain menyebut kan terapi mengembangkan lingkungan untuk penyembuhan
komplementer dan alternatif sebagai sebuah dan pentingnya terapi seperti musik dalam proses
domain luas dalam sumber daya pengobatan yang penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer
meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik dan meningkatkan kesempatan perawat dalam
ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara menunjukkan caring pada klien (Snyder &
Lindquis, 2002).
Terapi komplementer dalam keperawatan (Widyatuti) 55
Hasil penelitian terapi komplementer yang Terapi komplementer dengan demikian dapat
dilakukan belum banyak dan tidak dijelaskan diterapkan dalam berbagai level pencegahan
dilakukan oleh perawat atau bukan. Beberapa yang penyakit.
berhasil dibuktikan secara ilmiah misalnya terapi
sentuhan untuk meningkatkan relaksasi, Terapi komplementer dapat berupa promosi
menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan, kesehat an, pencegahan penyakit ataupun
mempercepat penyembuhan luka, dan memberi rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya
kontribusi positif pada perubahan psikoimunologik memperbaiki gaya hidup dengan menggunakan
(Hitchcock et al., 1999). Terapi pijat (massage) terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi
pada bayi yang lahir kurang bulan dapat sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur akan
meningkatkan berat badan, memperpendek hari meningkatkan kesehatan tubuh. Intervensi
rawat, dan meningkatkan respons. Sedangkan komplementer ini berkembang di tingkat
terapi pijat pada anak autis meningkatkan perhatian pencegahan primer, sekunder, tersier dan dapat
dan belajar. Terapi pijat juga dapat meningkatkan dilakukan di tingkat individu maupun kelompok
pola makan, meningkatkan citra tubuh, dan misalnya untuk strategi stimulasi imajinatif dan
menurunkan kecemasan pada anak susah makan kreatif (Hitchcock et al., 1999).
(Stanhope, 2004). Terapi kiropraksi terbukti dapat Pengobatan dengan menggunakan terapi
menurunkan nyeri haid dan level plasma komplementer mempunyai manfaat selain dapat
prostaglandin selama haid (Fontaine, 2005). meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh
Hasil lainnya yang dilaporkan misalnya juga lebih murah. Terapi komplementer terutama
penggunaan aromaterapi. Salah satu aromaterapi akan dirasakan lebih murah bila klien dengan
berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat penyakit kronis yang harus rutin mengeluarkan
untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur (Buckle, dana. Pengalaman klien yang awalnya meng-
2003). Minyak lemon thyme mampu membunuh gunakan terapi modern menunjukkan bahwa biaya
bakteri streptokokus, stafilokokus dan tuberkulosis membeli obat berkurang 200-300 dolar dalam
(Smith et al., 2004). Tanaman lavender dapat beberapa bulan setelah menggunakan terapi
mengontrol minyak kulit, sedangkan teh dapat komplementer (Nezabudkin, 2007).
membersihkan jerawat dan membat asi Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi
kekambuhan (Key, 2008). Dr. Carl menemukan komplementer ataupun yang masih tradisional
bahwa penderita kanker lebih cepat sembuh dan mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
berkurang rasa nyerinya dengan meditasi dan banyaknya pengunjung praktik terapi
imagery (Smith et al., 2004). Hasil riset juga komplementer dan tradisional di berbagai tempat.
menunjukkan hipnoterapi meningkatkan suplai Selain itu, sekolah-sekolah khusus ataupun kursus-
oksigen, perubahan vaskular dan t ermal, kursus terapi semakin banyak dibuka. Ini dapat
mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, dan dibandingkan dengan Cina yang telah memasukkan
mengurangi kecemasan (Fontaine, 2005). terapi tradisional Cina atau traditional Chinese
Hasil-hasil tersebut menyat akan terapi Medicine (TCM) ke dalam perguruan tinggi di
komplementer sebagai suatu paradigma baru negara tersebut (Snyder & Lindquis, 2002).
(Smith et al., 2004). Bentuk terapi yang digunakan Kebutuhan perawat dalam meningkatnya
dalam terapi komplementer ini beragam sehingga kemampuan perawat untuk praktik keperawatan
disebut juga dengan terapi holistik. Terminologi juga semakin meningkat. Hal ini didasari dari
kesehatan holistik mengacu pada integrasi secara berkembangnya kesempatan praktik mandiri.
menyeluruh dan mempengaruhi kesehat an, Apabila perawat mempunyai kemampuan yang
perilaku positif, memiliki tujuan hidup, dan dapat dipertanggungjawabkan akan meningkatkan
pengembangan spiritual (Hitchcock et al., 1999). hasil yang lebih baik dalam pelayanan
keperawatan.
56 Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 12, No. 1, Maret 2008; hal 53-57
Anisa_hidir@yahoo.co.id1, Antia@esaunggul.ac.id2
ABSTRACT
The prevalence of mental health problems reaches 13% of the disease as a whole and may grow to 25% by
2030. Social isolation is a state in which an individual person experiences a decline or even inability to interact
with others around him. One method to overcome social isolation is by exercising music therapy (dangdut). This
study aims to identify the analysis of the effect of environmental modality therapy: music on social skills at
Psychiatric Hospital Dr. Soeharto Heerdjan West Jakarta. The design of this study was pre-experiment with one
group pre-post test design approach, 25 samples of samples with total sampling technique. The results showed
pre-test 11.12 and post-test 35.12. Result of hypothesis test of Paired Sample T-Test at significance level 95% (α
= 0,05) shows that value of ρ-value = 0,000). The value of ρ-value <α, that is 0.000 <0.05 means that Ho is
rejected and Ha is accepted indicating that there is an effect of music therapy on socializing ability in social
isolation patient. Suggestions for further research can conduct a preliminary study of the type of music that
respondents prefer or use different types of music.
Candra I Wayan (2013). Pengaruh terapi Purba, John Edison (2009). Pengaruh
musik klasik terhadap perubahan Intervensi Rehabilitasi Terhadap
gejala perilaku agresif pasien Ketidakmampuan Bersosialisasi
skizofrenia di Ruang Kunti RSJ Pada Penderita Skizofrenia di
Provinsi Bali. Jurnal Rumah Sakit Jiwa. Medan:
Nasional : Politeknik Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas
Denpasar. Diunduh pada 21 Sumatera Utara. Diunduh
Maret 2017 dari pada 21 Maret 2017 dari
www.poltekkesdenpasar.ac.id www.repository.usu.ac.id
Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar, Stuart, G.W & Laraia, M.T. (2005).
(2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Principles and Practice of
Bandung: Refika Aditama. Psychiatry Nursing, 7th
Edition. London Philadelphia
Direja, Ade Herman Surya, 2011. Buku Sydney Toronto. Mosby: USA.
Asuhan Keperawatan Jiwa. Wang, Jinliang (2011). Impact Of
Penerbit buku: Nuha Group Music Therapy On The
medika. Depression Mood Of College
Students. Journal International
Djohan. 2009. Terapi Musik Teori dan Health Vol.3, No 3. 151- 155.
Aplikasi. Yogyakarta. Galangpress. Diunduh pada 21 Maret 2017 dari
www.file.scirp.org.com
Keliat, B.A. dan Akemat., (2010). Model
Praktik Profesional jiwa. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG. Yosep, Iyus. (2011). Keperawatan Jiwa.
(Edisi revisi). Refika Aditama.
Polit, D.F., Beck, C.T (2009). A Bandung.
Randomized Conrolled Trial
Exploring The Effect Of Music On
Quality Of Life And Depression In
Older People With Dementia.
Journal International :
Essentials of nursing research:
methods, appraisal, and utilization.
Diunduh pada 21 Maret 2017
dari : PubMed National Center for
Biotechnology Information
(NCBI)
ABSTRACT
Occupational therapy is a type of therapy that is specifically used to help children to live independently with
a variety of existing health conditions. This therapy is used as part of a treatment program for children with
an illness, such as delayed developmental birth, psychological problems, or long-term injury. The research
was conducted by qualitative method by deductive and inductive description. Nasution (2004) mentions that
descriptive research is a method of researching the setatus of a group of people, an object, a set of conditions,
a thought system, or a class of events in the present. The purpose of this descriptive research is to make
deskipsi, picture or painting in a systematic, factual and accurate about the facts, properties and
relationships between the phenomena investigated. The results of this study see the occupational facilities by
using an educational park in one of the SLB Kota Malang. Educational parks in schools include several
zones of therapy and education. Parks used for children with autism include the concept of shape,
circulation, and vegetation. Educational park can be used as a means of occupational therapy where there
are objects of therapy that include physical and mental. The form of activities performed in the SLB is a
form of game using therapy in the form of play to provide fun and good socialization. The stages of
occupational therapy, among others: (1) Evaluation Stage, (2) Intervention Stage and (3) Final Results
Stage. The phase of occupational therapy of the group can be done by (1) Orientation, (2) Introduction
stage, (3) Warm-up activities, (4) Selected activity stage and (5) Termination Phase.
ABSTRAK
Terapi okupasi adalah jenis terapi yang secara khusus digunakan untuk membantu anak
untuk hidup mandiri dengan berbagai kondisi kesehatan yang telah ada. Terapi ini
digunakan sebagai bagian dari program pengobatan untuk anak yang mengidap suatu
penyakit, seperti keterlambatan perkembangan sejak lahir, masalah psikologis, atau cedera
jangka panjang. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan cara deskripsi
deduktif dan induktif. Nasution (2004) menyebutkan bahwa penelitian deskriptif adalah
suatu metode dalam meneliti setatus sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi,
suatu sistem pikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari
penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskipsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki. Hasil penelitian ini melihat sarana okupasi dengan menggunakan
taman edukasi di salah satu SLB Kota malang. Taman edukasi yang ada disekolah meliputi
beberapa zona terapi dan pembelajaran. Taman yang digunakan untuk anak autis meliputi
konsep bentuk, sirkulasi, dan vegetasi. Taman edukasi dapat digunakan sebagai sarana
278
terapi okupasi dimana terdapat objek terapi yang meliputi fisik dan mental. Bentuk kegiatan
yang dilakukan di SLB adalah berupa permainan dengan menggunakan terapi yang
berbentuk bermain untuk memberikan kesenangan dan sosialisasi yang baik. Adapun
tahapan terapi okupasi, antara lain: (1) Tahap Evaluasi, (2) Tahap Intervensi dan (3) Tahap
Hasil Akhir. Tahap terapi okupasi kelompok dapat dilakukan dengan (1) Orientasi, (2)
Tahap Pendahuluan (Introduction), (3) Tahap pemanasan (Warm-up activities), (4) Tahap
aktivitas terpilih (selected activities) dan (5) Tahap Terminasi.
Bangunan sekolah terdiri atas 2 lantai dengan total 47 anak yang terbagi atas 5
yang memiliki ruang terbuka yang anak TKLB, 25 anak SDLB, 8 anak
terbatas. Luas total tanah adalah 576m2 SMPLB, dan 9 anak SMALB. Ruangan
yang terbagi atas luas bangunan dan yang tersedia ada 7 ruang kelas dan
taman. Taman pada sekolah ada pada terdapat fasilitas laboratorium dan
taman depan dan tengah. Taman depan perpustakaan. Menurut ibu Nifta, selaku
dengan panjang 17 meter dan lebar kepala sekolah SMPLB jumlah anak autis
4 meter, atau 62 m2 setelah dikurangi luas tidak sebanyak anak tuna grahita, namun
teras, sedangkan taman tengah memiliki kecenderungan perilaku mereka hampir
dimensi panjang 14 meter dan lebar sama seperti anak-anak usia kelas 5 SD
4 meter atau luasannya 56 m2. Pengajar dan kurang fokus.
terdiri atas guru 15 orang dan siswa
Gambar 2. (kiri) Taman dengan bentuk pot bertingkat, (kanan) foto lokasi
taman tengah
282
Taman pada SLB ini dibagi menjadi dua Pengguna taman terbatas pada guru,
yaitu taman depan dan taman tengah. siswa, orang tua siswa, dan tamu. Taman
Taman depan untuk area parkir sepeda, depan merupakan area yang masih bisa
area bermain, berkebun dan tempat diakses oleh orang tua siswa sedangkan
duduk orang tua yang akan menjemput. taman tengah bersifat privat karena hanya
Tanaman yang ada sudah banyak terbatas pada guru dan siswa. Umumnya
ragamnya seperti tanaman hias, tanaman area taman digunakan pada pagi sampai
rak, taman vertikultur, dan pohon siang hari pada jam tertentu seperti
peneduh. Adapun tanamannya adalah sebelum masuk, saat istirahat ataupun
puring, kamboja, drasena, lidah buaya, pulang sekolah. Namun secara umum
kopi, manisa, sawo, buah naga, pucuk taman masih kurang difungsikan.
merah, kuping gajah, palem, lamtoro, Berdasarkan hasil wawancara dengan
temulawak, kol banda, jeruk, cabe, jambu, narasumber salah satu guru yaitu ibu
dan sebagainya. Menurut ibu Nifta, Christina Sri Purwatiningsih (Ibu Pur)
pengembangan taman depan untuk area selaku guru SMPLB, taman yang
buah-buahan. Berikutnya adalah taman diharapkan adalah bersifat teduh,
tengah, yang memiliki fungsi sedikit melibatkan siswa dalam proses
berbeda. Taman tengah digunakan untuk penanaman ataupun mata pelajaran yang
upacara sehingga dibutuhkan ruang bertema, dan prioritas taman depan
bebas. Area taman dimampatkan ke dekat karena penyinaran maksimal diperoleh
dinding dengan pengembangan secara pada depan bangunan. Beberapa wali
vertikal. Adapun tanaman yang ada murid sebagai pengguna taman; yang
adalah puring, kamboja, adam hawa, kol sedang duduk dan menunggu untuk
banda, terong, temu lawak, sansivera, menjemput anaknya; mengatakan bahwa
beras kutah, suruh dan drasena. Penataan kondisi awal taman sebenarnya sudah
taman masih belum teratur sehingga nyaman dengan banyak teduhan namun
dalam pengembangannya lebih sesuai kurang dimanfaatkan untuk kegiatan
dengan tanaman sayur-sayuran dan bermain siswa. Kondisi ini diperlukan
hortikultura. adanya perubahan sehingga taman bisa
menampung kegiatan yang aktif.
Pengguna utamanya adalah siswa dari
berbagai tingkatan kelas dan terbagi atas
283
beberapa tuna, yaitu tuna grahita, tuna taman bermain dengan segala fasilitas
rungu dan autis. Tema taman memang pendukungnya. Dalam taman, selain
ditujukan pada anak autis tetapi juga bisa dikembangkan aspek rekreatifnya juga
untuk tuna yang lain karena taman edukatifnya karena usia anak masih muda
sensorik mampu merangsang panca dan peka terhadap rangsangan yang
indera untuk terapi dan edukasi. berasal dari lingkungan, khususnya bagi
anak autis dan tuna grahita.
dan rose, (d) indera peraba, penggunaan b. Taman terapi sensorik, area taman
bahan bangunan pada alur jalan yang dibagi menjadi taman untuk
berbeda teksturnya, (e) indera merangsang visual, pengecap,
pendengaran, menyediakan area burung penciuman, peraba dan pendengaran.
berkicau dan suara air mancur. Dengan Adapun penerapan konsep taman
adanya area sensorik ini dapat melatih sensorik dapat berpengaruh terhadap
tingkat kefokusan dari anak-anak autis. perilaku anak siswa yang sebelumnya
memiliki dunia sendiri menjadi lebih
fokus terhadap sesuatu, seperti
Lebih spesifik tentang konsep taman warna, rasa, bau, tekstur dan suara.
edukasi dan terapi untuk anak autis pada c. Sebagai taman edukasi, taman
SLB Sumber Dharma sebagai berikut, sebagai aplikasi mata pelajaran
dengan pengenalan jenis tanaman
a. Konsep ruang dibagi menjadi 2 jenis
(outdoor learning process) dan disediakan
yaitu untuk autis hiposensitif dan
area bercocok tanam untuk belajar
hipersensif. Perbedaannya,
merawat, menyiram dan memanen.
hiposensitif disediakan ruang untuk
melatih keaktifan seperti area
Taman edukasi dapat digunakan sebagai
bermain aktif (perosotan, ayunan,
sarana terapi okupasi dimana terdapat
dan sebagainya) yang dinilai aman.
objek terapi yang meliputi fisik dan
Hipersensitif perlu disediakan taman
mental. Fisik dapat memberikan terapi
yang menenangkan seperti adanya
yang membantu melatih gerakan kaki dan
area teduhan berupa pohon atau
atau tangan. Misalnya saja dengan lempar
gazebo. Alur ruang secara linear atau
bola, menendang bola, dan sebagainya.
mengarahkan siswa untuk merasakan
Mental dapat memberikan terapi yang
ruangan secara urut. Taman
dapat melatih dan mengembangkan
hiposensitif berada di taman depan
bakat, kreativitas dan rasa percaya diri.
dengan eksisting tempat bermain dan
Bentuk kegiatan yang dilakukan di SLB
penataan tanaman, taman
adalah berupa permainan dengan
hipersensitif berada di ruang tengah
menggunakan terapi yang berbentuk
karena suasana lebih tenang.
bermain untuk memberikan kesenangan
dan sosialisasi yang baik. Misalnya dengan
285
bermain lempar bola, bermain tebak kata, luang, dan partisipasi sosial. Hal yang juga
dan sebagainya. diperhatikan pada tahap awal atau
kognitif ini adalah membangkitkan ide
Terapi okupasi secara individu dapat saat waktu luang, mempelajari berapa
dilaksanakan pada taman atau area banyak kemungkinan atau waktu yang
outdoor dengan beberapa tahapan dihabiskan, membandingkan beberapa
berikut. Menurut Tirta & Putra (2008) kegiatan yang menyenangkan dibanding
dan Untari (2006). Adapun tahapan terapi bekerja, mengatur waktu untuk hal yang
okupasi, antara lain: menyenangkan (kebutuhan, pilihan,
a. Tahap Evaluasi hambatan, dan minat), dan mengatur
Tahap evaluasi sangat menentukan bagi waktu diri sendiri. Keterampilan dasar
tahap-tahap berikutnya. Pada tahap awal yang diharapkan mendapatkan
ini mulai dibentuk hubungan kerjasama keterampilan, memproses keterampilan,
antara guru dan anak, yang kemudian menyalurkan keterampilan, dan
akan dilanjutkan selama tahap terapi ketegasan. Guru menanyakan kebiasaan
okupasi. Tahap ini juga disebut tahapan sehari-hari dan memberikan pengetahuan
kognitif yang memfokuskan kemampuan tentang tanaman pada siswa, khususnya
pekerjaan yang berorientasi pada pada mata pelajaran IPA.
keterampilan kognitif. Tahap evaluasi b. Tahap Intervensi
dibagi menjadi 2 langkah. Langkah Tahap intervensi yang terbagi dalam 3
pertama adalah profil pekerjaan langkah, yaitu rencana intervensi,
(occupational profile) dimana guru implementasi intervensi, dan peninjauan
mengumpulkan informasi mengenai (review) intervensi. Rencana intervensi
riwayat pola hidup sehari-hari, minat, dan adalah sebuah rencana yang dibangun
kebutuhannya. Langkah kedua adalah berdasar pada hasil tahap evaluasi dan
analisa tampilan pekerjaan (analysis of menggambarkan pendekatan terapi
occupational performance). Tampilan okupasi serta jenis intervensi yang
pekerjaan yang dimaksud adalah terpilih, guna mencapai target hasil akhir
kemampuan untuk melaksanakan yang ditentukan. Rencana intervensi ini
aktivitas dalam kehidupan keseharian, dibangun secara bersama-sama dengan
yang meliputi aktivitas dasar hidup sehari- anak (termasuk pada beberapa kasus bisa
hari, pendidikan, bermain, mengisi waktu bersama keluarga atau orang lain yang
286
diinginkan atau tidak. Jadi hasil akhir orang, tempat, dan waktu. Orientasi
dalam bentuk tampilan okupasi, memerlukan waktu kurang lebih 5 menit.
kepuasaan anak, kompetensi aturan, Aktivitas yang dilakukan selama tahapan
adaptasi, pencegahan, dan kualitas hidup. orientasi adalah guru melakukan orientasi
kegiatan.
Setiap siswa akan melakukan terapi b. Tahap Pendahuluan (Introduction)
okupasi kelompok harus direncanakan Tahap pendahuluan adalah tahap
dahulu. Guru melakukan kontrak kepada perkenalan baik dari guru maupun anak.
kelompok. Guru dan kelompok Guru memperkenalkan diri baru
mempertimbangkan tempat, lokasi yang kemudian masing-masing anak
kondusif, alat, dan bahan yang harus menyebutkan nama dan alamatnya. Cara
disiapkan. Menurut Untari (2006) adapun yang biasa digunakan adalah dengan
tahapan aktivitas terapi okupasi melemparkan balon yaitu anak harus
kelompok, yaitu: menyebutkan nama apabila mendapatkan
a. Orientasi bola yang telah dilempar. Setiap kali
Orientasi sangat membantu anak untuk seorang anak selesai memperkenalkan
mengikuti kelompok terapi. Tujuan diri, guru mengajak semua anak untuk
orientasi adalah meyakinkan bahwa anak bertepuk tangan. Tahap pendahuluan
mempunyai orientasi yang baik tentang memerlukan waktu 5-10 menit.
c. Tahap pemanasan (Warm-up activities) kognitif, motorik, dan interaksi yang akan
Setelah melakukan proses dikembangkan. Biasanya aktivitas yang
memperkenalkan diri, guru mengajak dipilih adalah aktivitas dengan aturan
anak untuk aktivitas pemanasan (warm- sederhana dan aktivitas yang dilakukan
up activities). Tahap ini memerlukan sebaiknya disesuaikan dengan tujuan yang
waktu 5-10 menit. Aktivitas yang ingin dicapai. Guru memberikan pujian
digunakan adalah latihan fisik sederhana setiap kali siswa selesai melakukan terapi
(simple physical exercise). Tujuannya okupasi dengan baik dan mengajak
adalah meningkatkan perhatian dan minat anggota kelompok bertepuk tangan.
siswa melalui gerakan dasar tubuh dan e. Tahap Terminasi
agar siswa mampu mengikuti aturan atau Tahap ini menandakan bahwa terapi
instruksi sederhana seperti berputar, okupasi akan berakhir. Guru dan anak
turunkan tangan, dan lain-lain. mengumpulkan material (alat-bahan)
d. Tahap aktivitas terpilih (selected activities) bersama-sama dan mengadakan diskusi
Tahap ini memerlukan waktu 10-20 kecil tentang jalannya proses terapi
menit. Mempertimbangkan kebutuhan okupasi.
Gambar 4. Hasil karya siswa SLB berupa taman vertikal sayuran hasil dari
kegiatan terapi okupasi
FILE DITERIMA : 18 Aug 2019 FILE DIREVIEW: 07 Jan 2020 FILE PUBLISH : 03 Jul 2020
Email: rizamahdalena1997@gmail.com
Abstrak: Pengaruh Terapi Okupasi Menggunting untuk Meningkatkan Motorik Halus Anak Autis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh keterampilan menggunting pada motorik halus
anak Autis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Kuantitatif dengan rancangan
Single Subject Research (SSR). Data dianalisis dengan pretest dan posttest. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terapi okupasi menggunting dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak autis.
Kata Kunci: Terapi Okupasi Menggunting, Motorik Halus, Anak Autis.
Abstract: The effect of cutting occupational theraphy to increase soft motoric of Children with Autism.
The purpose of this research is to test the influence of the skill of cutting on soft motoric of Children
with Autism. This research was conducted using a quantitative with the draft of Single Subject Research
(SSR). The data were analyzed with pretest and posttest. The results showed that occupational theraphy
cutting can improve soft motoric skills of Children with Autism.
Keywords: Cutting Occupational Theraphy, Soft Motoric, Children with Autism.
1
2 JURNAL ORTOPEDAGOGIA, VOLUME 6 NOMOR 1 JULI 2020: 1- 6
M merupakan anak autis yang biasa saja, tidak halus anak autis. Terapi kesibukan atau yang biasa
aktif dan juga tidak pasif. Dia sangat menyukai disebut terapi okupasi adalah terapi yang bertujuan
kegiatan menggambar, sehingga dia sering untuk membantu se-seorang dalam menguasai gerak
menggambar di buku manapun. M harus didampingi motorik halus yang lebih baik. Terapi okupasi ini
dalam mengerjakan soal, karena jika tidak didampingi dilakukan untuk menguatkan, memperbaiki koordinasi
dia akan menggambar apa saja yang dia inginkan. dan ke-terampilan otot pada anak autis (Hasnita dan
Pada penelitian ini instrumen yang digunakan Hidayati, 2017).
adalah lembar observasi atau lembar pengamatan Menurut Irawan (2015), terapi okupasi adalah
yang sudah dimodifikasi sesuai dengan komponen terapi yang melatih gerakan halus dari tangan dan
keterampilan menggunting. Selain itu juga integrasi dari gerakan dasar yang sudah dikuasai
menggunakan lembar soal lisan dan lembar penilaian melalui adanya alat-alat dan permainan yang se-
yang dimodifikasi sesuai dengan kemampuan subjek suai. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat
penelitian dan sesuai dengan kemampuan yang akan disimpulkan bahwa te-rapi okupasi adalah terapi yang
diukur. digunakan untuk melatih motorik halus anak dengan
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu adanya permainan atau alat-alat yang sesuai dengan
(1) Observasi melalui pengamatan langsung terhadap kondisi pada anak. Indriyani (2014) mengemukakan
subyek penelitian untuk mengamati sejauh mana bahwa menggunting adalah kegiatan memotong
kemampuan subyek penelitian sebelum diberikan berbagai jenis kertas atau bahan-bahan lain dengan
intervensi (pre-test), saat intervensi dan setelah mengikuti alur, garis atau bentuk-bentuk tertentu yang
intervensi (post-test). Dalam penelitian ini observasi merupakan salah satu kegiatan untuk mengembangkan
yang diberikan memiliki tujuan untuk mengetahui kemampuan motorik halus anak. Koordinasi mata dan
kemampuan motorik halus anak autis yang menjadi tangan dapat berkembang dengan adanya kegiatan
subyek penelitian. (2) Dokumentasi berupa foto-foto menggunting. Saat menggunting, jari jemari anak akan
selama kegiatan penelitian berlangsung, yakni selama bergerak sesuai pola bentuk yang akan digunting.
kegiatan fase baseline awal (A1), intervensi (B) dan Pergerakan saat menggunting hanya melibatkan
baseline kedua (A2). (3) Tes Kinerja yang bertujuan bagian-bagian tubuh tertentu dan diawali dengan adanya
untuk mengetahui kemampuan motorik halus anak perkembangan otot-otot kecil seperti keterampilan
autis yang menjadi subyek penelitian. menggunakan jari-jemari tangan dan pergerakan ta-
Pada penelitian kasus subjek tunggal ini ngan yang luwes, melatih koordinasi mata anak. Salah
penggunaan statistik yang kompleks tidak dilakukan satu pencapaian perkembangan terdapat kemampuan
tetapi lebih banyak menggunakan statistik deskriptif menggunting mengikuti garis lurus, melengkung,
yang sederhana. Analisis statistik deskriptif merupakan lingkaran, segi empat, segi tiga, dan menggunting
analisis visual yang terdiri dari analisis dalam kondisi sesuai dengan pola (Raharjo dkk, 2014). Dari beberapa
dan analisis antar kondisi karena penelitian dengan pendapat diatas membuat peneliti ingin membuktikan
subjek tunggal lebih berfokus pada data individu pengaruh kegiatan menggunting dapat meningkatkan
daripada kelompok. Dalam menganalisa data pada kemampuan motorik halus anak autis.
penelitian dengan subjek tunggal ada beberapa hal,
diantaranya pembuatan grafik, penggunaan statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN
deskriptif dan penggunaan analisa visual. Penggunaan
analisis grafik diharapkan dapat memperjelas gambaran Hasil
dari suatu kondisi eksperimen baik sebelum perlakuan
(baseline-1) maupun pada saat setelah diberi perlakuan Penelitian dilaksanakan dengan metode penelitian
(intervensi) dan perubahan-perubahan yang terjadi Single Subject Research (SSR) dengan desain A-B-A
setelah perlakuan (baseline-2). Data dianalisis dengan sebanyak 11 sesi. Dengan rincian 3 sesi baseline-1
menggunakan teknik analisis visual grafik, dimana (A1), 5 sesi intervensi (B) dan 3 sesi baseline-2 (A2).
hasil data-data diplotkan ke dalam bentuk grafik. Kondisi baseline-1 (A1) dimulai dari sesi pertama
Selanjutnya data-data tersebut dianalisis berdasarkan sampai sesi ketiga. Kemudi-an kondisi intervensi (B)
komponen-komponen pada setiap kondisi (A-B-A), dimulai dari sesi keempat sampai sesi kedelapan. Dan
yaitu berupa analisis dalam kondisi dan analisis antar kondisi baseline-2 (A2) dimulai dari sesi kesembilan
kondisi. sampai sesi ke-sebelas. Dalam penelitian ini terdapat
Terapi-terapi yang dapat diberikan pada anak pengulangan pada kondisi baseline karena pada kondisi
autisme antara lain yaitu terapi okupasi, terapi wicara, baseline-2 (A2) digunakan untuk menarik kesimpulan
terapi medikamentosa, terapi bermain, terapi melalui tentang pengaruh intervensi terhadap target behavior.
makanan, terapi sensori integrasi, terapi auditori, dan Pada kondisi baseline anak diberi 5 pola di
terapi biomedis (Raharjo dkk, 2014). Dalam hal ini setiap sesinya tanpa memberikan perlakuan se-
peneliti me-milih untuk menggunakan terapi okupasi dikitpun, sedangkan pada kondisi intervensi anak
dengan menggunting untuk me-ngembangkan motorik mengerjakan soal intervensi (menyamakan gambar
4 JURNAL ORTOPEDAGOGIA, VOLUME 6 NOMOR 1 JULI 2020: 1- 6
pada kartu gambar dan mencocokkan gambar dengan tentang kemampuan anak sebelum diberikan perlakuan
bentuknya), kemudian anak menggunting pola yang atau intervensi cukup rendah. Ini dibuktikan dengan
ada di kertas dengan menggunakan gunting yang nilai pada kondisi baseline-1 (A1) sesi pertama hingga
disediakan oleh peneliti. Data kemudian dikumpulkan sesi ketiga anak memperoleh nilai 75%. Kemampuan
pada lembar kerja. Pada lembar kerja peneliti akan motorik halus anak tidak mengalami adanya perubahan
mengoreksi pekerjaan anak lalu memberi nilai sesuai sehingga menyebabkan estimasi kecenderungan arah
dengan kriteria penilaian yang terdapat pada Rencana dan jejak datanya tidak terdapat perubahan (=). Mean
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) intervensi. Data yang level pada kondisi baseline-1 (A1) adalah sebesar 75
dikumpulkan akan dikonversikan kedalam bentuk dengan batas atas 80,6 dan batas bawah sebesar 69,4
persentase (%). Nilai pada masing-masing indikator perhitungan kecenderungan stabilitas berdasarkan
dihitung dengan cara skor yang diperoleh anak mean level, batas atas dan batas bawah sehingga
dibagi skor maksimal lalu dikalikan 100%. Hasil skor diperoleh kecenderungan stabilitas kondisi baseline-1
tersebut kemudian dianalisis berdasarkan komponen- sebesar 100%, yang artinya data stabil karena kriteria
komponen pada setiap kondisi (A-B-A), yaitu berupa stabilitas yang digunakan adalah 80-90% pada kondisi
analisis dalam kondisi dan analisis antar kondisi, yang ini, data menunjukan hasil stabil dengan rentang 75%.
kemudian diplotkan dalam bentuk visual data grafik. Setelah data stabil, kemudian intervensi diberikan
Keterangan pada tentang perolehan hasil penelitian kepada anak. Jika data pada kondisi baseline-1 sudah
kemampuan motorik halus anak autis ini menunjukan stabil, bisa dilaksanakan intervensi.
bahwa kemampuan motorik halus anak autis pada Namun jika data belum stabil maka kondisi
kondisi baseline-1 cukup baik dengan perolehan hasil intervensi belum bisa dilakukan. Perubahan level pada
75% dari sesi kesatu hingga sesi ketiga. Kemudian kondisi ini adalah sebesar (0) yang artinya kemampuan
anak diberi perlakuan berupa kegiatan menggunting motorik halus anak tidak ada perubahan. B merupakan
pada kondisi intervensi, arah grafik anak menunjukkan anak autis yang mempunyai karakteristik terlambat
hasil yang sama dengan nilai pada kondisi baseline-1, dalam perkembangannya dan cenderung melakukan
dengan nilai tertinggi 75% dan nilai terendah 62,5%. sesuatu secara berulang-ulang, hal tersebut terkait
Pada kondisi baseline-2 menunjukan hasil dengan nilai dengan pendapat Rahayu (2014), bahwa karakteristik
yang sama dari sesi kesembilan sampai sesi kesebelas dari anak autis yang sering muncul pada masa anak-
yaitu 81,25% namun nilai ini lebih tinggi dari pada anak diantaranya yai; (1) perkembangan terlambat, (2)
nilai pada kondisi baseline-1 yang semua nilainya memiliki rasa ketertarikan pada benda yang berlebihan,
adalah 75%. Selama baseline-1 sampai baseline-2, B (3) menolak ketika dipeluk, (4) memiliki kelainan
mengalami peningkat-an dalam memegang gunting, sensoris, dan (5) memiliki kecenderungan untuk
meskipun sedikit peningkatannya. melakukan sesuatu secara berulang-ulang (Firdaus &
Keterangan pada grafik 2 tentang perolehan hasil Pradipta, 2020).
penelitian kemampuan motorik halus anak autis ini Setelah dilakukan penilaian dan analisis terhadap
menunjukan bahwa kemampuan motorik halus anak penilaian B, diperoleh data tentang kemampuan motorik
autis pada kondisi baseline-1 baik dengan perolehan halus anak setelah dilakukan perlakuan atau intervensi
hasil 87,5% pada sesi pertama dan 81,25% pada sesi sudah baik. Ini dibuktikan dengan nilai yang sama pada
kedua dan ketiga. Kemudian anak diberi perlakuan sesi kesembilan sampai sesi kesebelas, yaitu sebesar
berupa kegiatan menggunting pada kondisi intervensi, 81,25%. Pada kondisi baseline-2 (A2) kemampuan
arah grafik anak menunjukkan hasil yang sama dengan motorik halus anak autis tidak mengalami perubahan,
nilai pada kondisi baseline-1, dengan nilai tertinggi sehingga menyebabkan estimasi kecenderungan arah
87,5% dan nilai terendah 68,75%. Pada kondisi dan jejak datanya tidak mengalami perubahan (0).
baseline-2 menunjukan hasil dengan nilai 87,5% pada Mean level pada kondisi ini adaslah sebesar 81,25
sesi kesepuluh dan 93,75% pada sesi kesembilan dan dengan batas atas sebesar 87,35 dan batas bawah
kesebelas, nilai ini lebih tinggi dari pada nilai pada sebesar 75,15 perhitungan kecenderungan stabilitas
kondisi baseline-1, yaitu nilai tertinggi adalah 87,5% berdasarkan mean level, batas atas dan batas bawah
dan nilai terendah adalah 81,25%. Selama baseline-1 sehingga diperoleh kecenderungan stabilitas kondisi
sampai baseline-2, M mengalami peningkatan. baseline-1 sebesar 100% yang artinya data stabil karena
kriteria stabilitas yang digunakan adalah 80-90%.
Pembahasan Pada kondisi ini, data menunjukan hasil stabil dengan
rentang 75%. Perubahan level pada kondisi baseline-2
Manfaat menggunting adalah motorik halus anak ini adalah sebesar (0) yang artinya kemampuan motorik
akan makin kuat apabila sering berlatih menggunting. halus anak tidak mengalami perubahan. Namun bukan
Gerakan menggunting dari guntingan yang paling berarti tidak terdapat pengaruh intervensi terhadap
sederhana akan terus diikuti sampai guntingan yang target behavior karena dapat dilihat dari skor tertinggi
makin kompleks ketika motorik halus anak semakin dan skor terendah mean level, batas atas, batas bawah
kuat (Raharjo dkk, 2014). Setelah dilakukan penelitian pada kondisi baseline-2 (A2) lebih tinggi dari pada
dan analisis terhadap nilai perolehan B, diperoleh data skor tertinggi pada kondisi baseline-1 (A1).
Riza Mahdalena, M. Shodiq, Dimas Arif Dewantoro, Melatih Motorik Halus Anak Autis Melalui Terapi Okupasi 5
Kemampuan motorik halus B mengalami anak autis tidak mengalami perubahan, sehingga
peningkatan dengan adanya keterampilan menggunting, menyebabkan estimasi kecenderungan arah dan jejak
hal ini sesuai dengan manfaat menggunting yang datanya tidak mengalami perubahan (0). Mean level
dikemukakan oleh Raharjo (2014), yaitu gerakan pada kondisi ini adalah sebesar 91,7 dengan batas
menggunting dari guntingan yang paling sederhana akan atas sebesar 98,73 dan batas bawah sebesar 84,67
terus diikuti sampai guntingan yang makin kompleks perhitungan kecenderungan stabilitas berdasarkan
ketika motorik halus anak semakin kuat. Sedangkan mean level, batas atas dan batas bawah sehingga
setelah dilakukan penelitian dan analisis terhadap nilai diperoleh kecenderungan stabilitas kondisi baseline-1
perolehan M, diperoleh data tentang kemampuan anak sebesar 100% yang artinya data stabil karena kriteria
sebelum diberikan perlakuan atau intervensi cukup stabilitas yang digunakan adalah 80-90%. Pada kondisi
baik, hal ini sesuai dengan manfaat menggunting dari ini, data menunjukan hasil stabil dengan rentang 87,5-
Raharjo dkk, 2014, yaitu motorik halus anak akan 93,75%. Perubahan level pada kondisi baseline-2 ini
makin kuat apabila sering berlatih menggunting. adalah sebesar (0) yang artinya kemampuan motorik
Gerakan menggunting dari guntingan yang paling halus anak tidak mengalami perubahan. Namun bukan
sederhana akan terus diikuti sampai guntingan yang berarti tidak terdapat pengaruh intervensi terhadap
makin kompleks ketika motorik halus anak semakin target behavior karena dapat dilihat dari skor tertinggi
kuat (Pradipta, 2017). Ini dibuktikan dengan nilai dan skor terendah mean level, batas atas, batas bawah
pada kondisi baseline-1 (A1) sesi pertama anak pada kondisi baseline-2 (A2) lebih tinggi dari pada
memperoleh nilai 87,5%, sesi kedua dan ketiga anak skor tertinggi pada kondisi baseline-1 (A1).
memperoleh nilai 81,25%. Kemampuan motorik halus Keterampilan menggunting memiliki pengaruh
anak mengalami penurunan sehingga menyebabkan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus
estimasi kecenderungan arah dan jejak datanya anak autis, hal ini sesuai dengan pendapat Sujiono
menurun (-). Mean level pada kondisi baseline-1 dkk (2014), yaitu semakin baiknya gerakan motorik
(A1) adalah sebesar 83,3 dengan batas atas 89,9 dan halus anak membuat anak dapat berkreasi, seperti
batas bawah sebesar 76,7, perhitungan kecenderungan menggambar gambar sederhana dan mewarnai, meng-
stabilitas berdasarkan mean level, batas atas dan batas gunting kertas dengan hasil guntingan yang lurus,
bawah sehingga diperoleh kecenderungan stabilitas menggunakan klip untuk menyatukan dua lembar
kondisi baseline-1 sebesar 100%, yang artinya data kertas, menganyam kertas, menajamkan pensil dengan
stabil karena kriteria stabilitas yang digunakan adalah rautan pensil, dan menjahit. Kegiatan ini sangat sesuai
80-90%. Pada kondisi ini, data menunjukkan hasil dengan karakteristik anak autis. Selain itu, dapat
stabil dengan rentang 81,25-87,5%. Setelah data stabil, memberikan pengalaman pembelajaran yang baru.
kemudian intervensi diberikan kepada anak. Jika data
pada kondisi baseline-1 sudah stabil, bisa dilaksanakan
intervensi. Namun jika data belum stabil maka kondisi KESIMPULAN DAN SARAN
intervensi belum bisa dilakukan. Perubahan level pada
kondisi ini adalah negatif (-) yang artinya kemampuan Kesimpulan
motorik halus anak mengalami penurunan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
M merupakan anak autis yang mempunyai diperoleh perbedaan skor anak saat pretest dan posttest,
karakteristik terlambat dalam perkembangannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
menolak ketika dipeluk, dan cende-rung melakukan keterampilan menggunting terhadap kemampuan
sesuatu secara berulang-ulang, hal tersebut terkait motorik halus anak autis kelas VIII di SLB Autis
dengan pendapat Rahayu (2014), bahwa karakteristik Laboratorium UM. Setelah penelitian dilaksanakan
dari anak autis yang sering muncul pada masa anak- diketahui bahwa pengaruh keterampilan meng-
anak diantaranya yaitu, (1) perkembangan terlambat, gunting terhadap kemampuan motorik halus anak autis
(2) memiliki rasa ketertarikan pada benda yang menunjukan adanya peningkatan mean level.
berlebihan, (3) menolak ketika dipeluk, (4) memiliki
kelainan sensoris, dan (5) memiliki kecenderungan
untuk melakukan sesuatu secara berulang-ulang Saran
(Sofwan, dkk, 2020). Berdasarkan temuan dalam penelitian yang
Setelah dilakukan penilaian dan analisis terhadap dilaksanakan didikan oleh peneliti, ada beberapa saran,
penilaian anak, diperoleh data tentang kemampuan yaitu (1) Diharapkan penelitian selanjutnya dapat
motorik halus anak setelah dilakukan perlakuan atau memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan
intervensi sudah baik. Ini dibuktikan dengan nilai ilmu pendidikan khususnya pendidikan luar biasa. (2)
pada sesi kesembilan anak memperoleh 93,75%, Dengan adanya penelitian ini agar dijadikan acuan
sesi kesepuluh anak memperoleh nilai 87,5% dan untuk membuat media sederhana namun kreatif
sesi ke-sebelas anak memperoleh nilai 93,75%. Pada yang diterapkan dalam proses pembelajaran guna
kondisi baseline-2 (A2) kemampuan motorik halus merangsang minat dan motivasi anak autis.
6 JURNAL ORTOPEDAGOGIA, VOLUME 6 NOMOR 1 JULI 2020: 1- 6
ABSTRAK
Diare merupakan penyakit paling sering menyerang anak. Penggantian cairan dan
elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi efektif diare akut. Salah satu teknik massage
adalah Akupresure. Akupresure pada anak diare secara fisiologis terjadi proses-proses perangsangan
yang akan mempengaruhi faktor kelistrikan aktivitas motorik dan juga sistem saraf enterik dari traktus
gastrointestinal. Penelitian ini menggunakan desainQuasy ExperimentdenganpendekatanNon–
randomized Pretest–Postest Control Group Design, selanjutnya ditabulasi dengan menggunakan
distribusi frekuensi dan uji statistik Mc Nemar Test dan Chi-Square Test. HasilujiMcNemar
Testdiperolehnilai ρ = 0,016 dengannilai α = 0,05, haliniberarti Hoditolakdan Haditerima,
sehinggaadapengaruhakupresureterhadapberhentinyadiarepadaanak. Akupresure adalah suatu teknik
dengan menggunakan ketrampilan tangan untuk melakukan presure melalui titik dipermukaan tubuh.
Akupresureuntukdiaredapatdigunakansebagaiintervensikeperawatanterutamapadapasienanakdengandi
are.
ABSTRACT
1.1 LatarBelakang
Diareseringkalidianggapsebagaipenyakitsepele, padahal di tingkat global
dannasionalfaktamenunjukkansebaliknya.Menurutcatatan WHO,
diaremembunuhduajutaanak di duniasetiaptahun (Syam, A.F, 2008).Menurut data Badan
Kesehatan Dunia (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh
dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi
Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk urusan anak) memperkirakan bahwa, setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal
dunia karena Diare (USAID & ESP, 2008).Di Indonesia, HasilRisetKesehatanDasar
(Riskesdas) tanggal 2 Desember 2008 di Jakarta mencatat, diare,
adalahpenyakitpenyumbangkematianbayiterbesar di Indonesia. Yaitumencapai
31,4persendari total kematianbayi (Media Indonesia, 2009). Diperkirakan, anak berumur
di bawah lima tahun mengalami 203 episode diare per tahunnya dan empat juta anak
meninggal di seluruh dunia akibat diare dan malnutrisi. Kematian akibat diare umumnya
disebabkan dehidrasi (kehilangan cairan). Lebih kurang 10% episode diare disertai
dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit tubuh secara berlebihan.
Penanganan diare tidak dapat dianggap mudah. Pemberian cairan yang
mengandung elektrolit penting memang baik untuk mencegah dehidrasi penderita, tetapi
pemberian obat anti diare yang tidak pada tempatnya malah berbahaya (Syam, A.F,
2008). Saat ini, tidak ada obat yang aman dan efektif untuk menghentikan diare.
Antibiotika tidak efektif melawan kebanyakan organisme yang menyebabkan diare,
jarang membantu dan dalam jangka panjang dapat membuat beberapa orang lebih sakit.
Penggunaan yang sembarangan bisa meningkatkan resistensi beberapa organisme
penyebab penyakit terhadap antibiotika. Disamping itu antibiotika mahal, sehingga
membuang uang. Maka antibiotika tidak digunakan secara rutin (WHO, 1992). Dengan
kondisi tersebut, proses hospitalisasi pada anak karena diare yang hampir rata-rata 4-6
hari perawatan. Salah satu penyebab karena tidak lekas berhentinya diare sehingga
rehidrasi harus tetap dilakukan.
Dalam dunia keperawatan sebenarnya telah lama dikenal teknik massage. Bahkan
teknik ini telah menjadi bagian dari independen intervensi keperawatan. Tetapi saat ini,
sudah jarang dibahas dan diterapkan dalam asuhan keperawatan karena kurangnya
pengetahuan akan fungsi, teknik dan penggunaan dari massage. Salah satu teknik
massage adalah Akupresure. Akupresure adalah suatu teknik dengan menggunakan
ketrampilan tangan untuk melakukan presure melalui titik akupresure yang terdapat
dipermukaan tubuh.
Teknik ini amat efisien dan relative cukup aman karena tidak melakukan
invasive/melukai kulit tubuh. Titik titik akupunktur ini merangsang sirkulasi energi dan
peredaran darah pada seluruh tubuh sehingga bermanfaat untuk mengatasi berbagai
gangguan yang bersifat akut maupun kronis. Teknik pengobatan ini bertujuan
mengaktifkan kembali mekanisme penyembuhan diri sendiri dari dalam tubuh ( Adikara
RTS, 2002). Berdasarkan hal tersebut diatas sehingga peneliti ingin mengetahui
bagaimana pengaruh akupresure terhadap berhentinya diare pada anak.
1.2 PerumusanMasalah
Adakahpengaruhakupresureterhadapberhentinyadiarepadaanak.
1.3 TujuanPenelitian
1. Untukmengetahui pengaruh akupresure terhadap berhentinya diare pada anak
2. Mengembangkanilmukeperawatandalambidangkeperawatanpediatrikdalamupayakurat
ifdengandiketahuinyamekanismeakupresuredalammembantuberhentinyadiare
1.4 ManfaatPenelitian
Akupresure dapat digunakan sebagai intervensi keperawatan yang efektif dalam
membantu berhentinya diare pada anak.
METODA
Dalampenelitianini, penelitimenggunakandesainpenelitianQuasy
ExperimentdenganpendekatanNon – randomized Pretest – Postest Control Group Design.
Non – randomized Pretest – Postest Control Group Design merupakan bentuk
pengembangan rancangan eksperimental sederhana, yaitu melakukan pengukuran atau
observasi awal sebelum perlakuan diberikan (Pratiknya, W, 2003).). Dalam rancangan ini,
kelompok eksperimental diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Pada kedua
kelompok diawali dengan pre test dan setelah pemberian perlakuan diadakan pengukuran
kembali (post test). Dalam penelitian ini, peneliti menganalisispengaruh akupresure terhadap
berhentinya diare pada anak.Dimana observasi awal kondisi diare sebelum responden
dilakukan akupresure dan sesudah dilakukan akupresure responden diobservasi lagi kondisi
diarenya.
Table 4.1 RancanganpenelitianQuasy Experiment
Subyek Pra Perlakuan Post
K-A O I OI-A
K-B O _ OI-B
Time 1 Time 2 Time 3
Keterangan:
K-A = SubyekPerlakuan
K-B = Subyektanpaperlakuan
O = Observasikondisidiaresebelumdilakukanakupresure
I = Intervensi (dilakukan akupresure)
OI(A+B) = Observasikondisidiaresetelahdilakukanakupresure
KerangkaKerja
Populasianak yangpenderitadiare
Sampel
:Pasienanakdengandiaresesuaikriteriainklusimenggunakanteh
nikconsecutive sampling
Observasikondisipasiensebelumdilaku
kanintervensi
Kelompokperlakuan Kelompokkontrol
Kelompokmendapatperlakuanstandartpengobat Kelompokhanyamendapatperlakuanst
anmedissekaligusdilakukanakupresure andartpengobatanmedis
Observasiresponpasiensetelahdilakukanintervensi
Analisa data denganuji statistic McNemar TestdanChi Squaredengan tingkat kemaknaan =0,05
Hal ini kemungkinan disebabkan beberapa faktor diantaranya yang pertama karena etiologi
dari diare adalah multifaktor, dalam buku Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1 FKUI (2000)
disebutkan etiologi diare dibagi dalam beberapa faktor, yaitu : faktor infeksi, faktor
malabsorbsi, faktor makanan dan faktor psikologis. Yang kedua adalah frekuensi pemijatan
yang membutuhkan pengulangan yang lebih pada kasus-kasus tertentu. Khususnya pada
diare, pemijatan titik akuprersure hendaknya diulang ketika kondisi yang diinginkan belum
tercapai. Dalam penelitian ini pemberian akupresure yang dilakukan oleh peneliti hanya
sekali dan diobservasi pada keesokan harinya.
Secara prosentase didapatkan nilai yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan karena dengan
penambahan intervensi pada anak dengan diare yaitu dengan akupresure disamping
pengobatan standart medis memiliki mekanisme yang dapat mempercepat berhentinya diare.
Sepertitelahdibicarakanbahwarangsangandarititikakupressurelebihdidasarkanpadakenyataanbi
ofisikabahwadasaraktiflistrikdankeamanankoherensiantarselkearah organ
sasaran.Stimulasipadatitikakupresuremengakibatkanpelepasanpeptida-peptida di
dalamsumsumtulangbelakang.Peptida-peptidatersebutmisalnyatakinin, substansi P,
neurokinin A, calcitonin gene-related peptide, somatostatindan lain-lain, yang
memodulasitransmisiinformasinosiseptifmenujususunansarafpusat.
Denganpemberianakupresurediharapkan proses
mekanismefisiologisdarimotilitasdansekresimukosaususkembali normal
denganuraianpengaruhakupresuresepertitersebutdiatas.
Denganmengetahuimanfaatdanmekanismeakupresureterhadapdiaredanjugakondisidiare yang
penyebaabnnyamultifaktormemungkinkanpemanfaatandiklinikdalammemberikantindakankep
erawatan yang efisiendansesuaidengankondisi yang terbaik, sehinggamasalahkeperawatan
yang terjadipadakasuspasiendengandiarelebihcepatteratasi.Hal
inibisadibandingkandenganpenatalaksanaandiaretanpaakupresure,
yaituhanyadenganmenggunakan antibiotic yang memerlukanwaktulebih
lama.Pengobatandengan antibiotic memerlukan proses
danwaktudalammempengaruhiberhentinyadiare,
halinibisadimengertibahwakumantidaklantasmatiterhadap antibiotic dalamsatuwaktu, tetapi
proses farmasetik,
farmakokinetikdanjugafarmakodinamikobatantibiotikmembutuhkanwaktusehinggaeffekpeng
obatanbisadicapai.
KESIMPULAN
Sesudahpemberianintervensiberupaakupresurepadakelompokperlakuandiperoleh prosentase
keberhasilan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya mendapat
pengobatan standart medis. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh akupresure yang
dilakukan sebagai tindakan intervensi tambahan disamping pengobatan standart medis.
DAFTAR PUSTAKA
Syam, A.F (2008). JanganAnggapRemehDiare. http://www.medicastore.com. Tanggal 05
Juni 2008.
USAID & ESP (2008).Diare .www.esp.or.id/handwashing/media/diare.pdf.Tanggal 05 Juni
2008.
Media Indonesia (2009).Krisis Air BersihPicuWabahDiare.http://www. sanitasi. or.id.
Tanggal 12 Juni 2009
WHO (1992).PenatalaksanaandanPencegahanDiareAkutPetunjukPraktis.Jakarta : EGC.
Adikara, RTS (2002). AkupunkturKlinik :PemanfaatanAkupreserDalamKlinis. Surabaya
:Airlangga University Press.
Pratiknya, W (2003). Dasar-dasarMetodologiPenelitianKedokteran&Kesehatan. Jakarta
:Rajawali Pers.
FKUI (2000). Ilmu Kesehatan Anak 1. Jakarta : Infomedika