Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 43

DAFTAR PUSTAKA

(1, 2017)

1, W. R. (2017). Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang. STUDI KASUS SARANA TERAPI OKUPASI
DENGAN TAMAN EDUKASI, Jurnal Care Vol .5, No2.

Anisa hidir, A. (2010). S.Kp., M.Kep2. TERAPI MODALITAS LINGKUNGAN: MUSIK TERHADAP.

Fathnur Rohman, O. (2020, desember 14). Kasus HIV/AIDS di Kota Cirebon Meningkat Selama Pandemi
Covid-19. Retrieved desember 15, 2020, from
https://news.okezone.com/read/2020/12/14/525/2327269/kasus-hiv-aids-di-kota-cirebon-
meningkat-selama-pandemi-covid-19: https://news.okezone.com/

Muhaemin, A. (2020, 12 2). pikiran-rakyat.com. Retrieved desember 15, 2020, from


https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01576356/tren-penularan-berubah-kasus-hiv-
aids-di-kota-cirebon-melonjak: https://www.pikiran-rakyat.com

Nadhif, D. S. (2020). Program Studi S1 Keperawatan, FakultasIlmuKesehatan,


UniversitasPesantrenTinggiDarul ‘Ulum (Unipdu) Jombang. PENGARUH AKUPRESURE, 1-6.

Riza Mahdalena1, M. S. (2020). Universitas Negeri Surabaya. Melatih Motorik Halus Anak Autis Melalui
Terapi Okupasi, VOLUME 6 NOMOR : 1- 6.

widyatuti. (2008). -. TERAPI KOMPLEMENTER DALAM KEPERAWATAN, 53-37.


TINJAUAN PUSTAKA

TERAPI KOMPLEMENTER DALAM KEPERAWATAN


Widyatuti *

Abstrak
Terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi isu di banyak negara. Masyarakat menggunakan terapi ini dengan alasan keyakinan,
keuangan, reaksi obat kimia dan tingkat kesembuhan. Perawat mempunyai peluang terlibat dalam terapi ini, tetapi memerlukan
dukungan hasil-hasil penelitian (evidence-based practice). Pada dasarnya terapi komplementer telah didukung berbagai teori,
seperti teori Nightingale, Roger, Leininger, dan teori lainnya. Terapi komplementer dapat digunakan di berbagai level pencegahan.
Perawat dapat berperan sesuai kebutuhan klien.

Kata kunci: keperawatan, terapi alternatif, terapi komplementer

Abstract

Complementary therapy has emerged as a common health issue in the countries worldwide. People choose the complementary
therapy based on many reasons such as belief, financial, avoiding the chemical reaction from medicine, and positive healing
outcome. Nurse has great opportunity to deliver and develop complementary therapy supported by scientific evidences. Basically,
the complementary therapy theoretical justification has been established by several nursing theory, as the Nightingale’s,
Roger’s, Leininger’s and many others. Complementary therapy can be delivered in various prevention level. In accordance to
the purpose, nurse should perform his/her role based on particular client’s needs.

Key words: alternative therapy, complementary therapy, nursing

PENDAHULUAN
Perkembangan terapi komplementer akhir- pengambilan keputusan dalam pengobatan dan
akhir ini menjadi soro tan banyak negara. peningkatan kualit as hidup dibandingkan
Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan
bagian penting dalam pelayanan kesehatan di adanya reaksi efek samping dari pengobatan
Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder & konvensional yang diterima menyebabkan memilih
Lindquis, 2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002).
juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan
Terapi komplementer yang ada menjadi salah
386 juta o rang yang mengunjungi prakt ik
satu pilihan pengobatan masyarakat. Di berbagai
konvensional (Smith et al., 2004). Data lain
tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien
menyebutkan terjadi peningkatan jumlah pengguna
bertanya tentang terapi komplementer atau
terapi komplementer di Amerika dari 33% pada
alternatif pada petugas kesehatan seperti dokter
tahun 1991 menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg,
ataupun perawat. Masyarakat mengajak dialog
1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002).
perawat untuk penggunaan terapi alternatif (Smith
Klien yang menggunakan terapi komplemeter et al., 2004). Hal ini terjadi karena klien ingin
memiliki beberapa alasan. Salah satu alasannya mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan
adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, pilihannya, sehingga apabila keinginan terpenuhi
yaitu adanya harmoni dalam diri dan promosi akan berdampak ada kepuasan klien. Hal ini dapat
kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan menjadi peluang bagi perawat untuk berperan
lainnya karena klien ingin terlibat unt uk memberikan terapi komplementer.
54 Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 12, No. 1, Maret 2008; hal 53-57

Peran yang dapat diberikan perawat dalam berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang
terapi komplementer atau alternatif dapat umum di masyarakat atau budaya yang ada
disesuaikan dengan peran perawat yang ada, sesuai (Complementary and alternative medicine/CAM
dengan batas kemampuannya. Pada dasarnya, Research Methodology Conference, 1997 dalam
perkembangan perawat yang memerhatikan hal ini Snyder & Lindquis, 2002). Terapi komplementer
sudah ada. Sebagai contoh yaitu American Holistic dan alternatif termasuk didalamnya seluruh praktik
Nursing Association (AHNA), Nurse Healer dan ide yang didefinisikan oleh pengguna sebagai
Profesional Associates (NHPA) (Hitchcock et al., pencegahan atau pengobatan penyakit atau promosi
1999). Ada pula National Center f or kesehatan dan kesejahteraan.
Complementary/Alternative Medicine (NCCAM)
yang berdiri tahun 1998 (Snyder & Lindquis, 2002). Definisi t ersebut menunjukkan terapi
komplemeter sebagai pengembangan terapi
Kebutuhan masyarakat yang meningkat dan tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan
berkembangnya penelitian t erhadap terapi terapi modern yang mempengaruhi keharmonisan
komplementer menjadi peluang perawat untuk individu dari aspek biologis, psikologis, dan
berpartisipasi sesuai kebutuhan masyarakat. spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi
Perawat dapat berperan sebagai konsultan untuk tersebut ada yang telah lulus uji klinis sehingga
klien dalam memilih alternatif yang sesuai ataupun sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini
membantu memberikan terapi langsung. Namun, sesuai dengan prinsip keperawat an yang
hal ini perlu dikembangkan lebih lanjut melalui memandang manusia sebagai makhluk yang
penelitian (evidence-based practice) agar dapat holistik (bio, psiko, sosial, dan spiritual).
dimanfaatkan sebagai terapi keperawatan yang
lebih baik. Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu
didukung kemampuan perawat dalam menguasai
berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk
TERAPI KOMPLEMENTER terapi komplementer. Penerapan terapi
komplementer pada keperawatan perlu mengacu
Terapi komplementer dikenal dengan terapi kembali pada teori-teori yang mendasari praktik
tradisional yang digabungkan dalam pengobatan keperawatan. Misalnya teo ri Rogers yang
modern. Komplementer adalah penggunaan terapi memandang manusia sebagai sistem terbuka,
tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews kompleks, mempunyai berbagai dimensi dan
et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi energi. Teo ri ini dapat mengembangkan
modalitas atau aktivitas yang menambahkan pengobatan tradisional yang menggunakan energi
pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan misalnya tai chi, chikung, dan reiki.
(Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga
ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan
Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang dasar bagi perawat dalam mengembangkan terapi
mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu komplementer misalnya teori transkultural yang
sebuah keharmonisan individu untuk dalam praktiknya mengaitkan ilmu fisiologi,
mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal ini
kesatuan fungsi (Smith et al., 2004). didukung dalam catatan keperawatan Florence
Nightingale yang telah menekankan pentingnya
Pendapat lain menyebut kan terapi mengembangkan lingkungan untuk penyembuhan
komplementer dan alternatif sebagai sebuah dan pentingnya terapi seperti musik dalam proses
domain luas dalam sumber daya pengobatan yang penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer
meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik dan meningkatkan kesempatan perawat dalam
ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara menunjukkan caring pada klien (Snyder &
Lindquis, 2002).
Terapi komplementer dalam keperawatan (Widyatuti) 55

Hasil penelitian terapi komplementer yang Terapi komplementer dengan demikian dapat
dilakukan belum banyak dan tidak dijelaskan diterapkan dalam berbagai level pencegahan
dilakukan oleh perawat atau bukan. Beberapa yang penyakit.
berhasil dibuktikan secara ilmiah misalnya terapi
sentuhan untuk meningkatkan relaksasi, Terapi komplementer dapat berupa promosi
menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan, kesehat an, pencegahan penyakit ataupun
mempercepat penyembuhan luka, dan memberi rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya
kontribusi positif pada perubahan psikoimunologik memperbaiki gaya hidup dengan menggunakan
(Hitchcock et al., 1999). Terapi pijat (massage) terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan nutrisi
pada bayi yang lahir kurang bulan dapat sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur akan
meningkatkan berat badan, memperpendek hari meningkatkan kesehatan tubuh. Intervensi
rawat, dan meningkatkan respons. Sedangkan komplementer ini berkembang di tingkat
terapi pijat pada anak autis meningkatkan perhatian pencegahan primer, sekunder, tersier dan dapat
dan belajar. Terapi pijat juga dapat meningkatkan dilakukan di tingkat individu maupun kelompok
pola makan, meningkatkan citra tubuh, dan misalnya untuk strategi stimulasi imajinatif dan
menurunkan kecemasan pada anak susah makan kreatif (Hitchcock et al., 1999).
(Stanhope, 2004). Terapi kiropraksi terbukti dapat Pengobatan dengan menggunakan terapi
menurunkan nyeri haid dan level plasma komplementer mempunyai manfaat selain dapat
prostaglandin selama haid (Fontaine, 2005). meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh
Hasil lainnya yang dilaporkan misalnya juga lebih murah. Terapi komplementer terutama
penggunaan aromaterapi. Salah satu aromaterapi akan dirasakan lebih murah bila klien dengan
berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat penyakit kronis yang harus rutin mengeluarkan
untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur (Buckle, dana. Pengalaman klien yang awalnya meng-
2003). Minyak lemon thyme mampu membunuh gunakan terapi modern menunjukkan bahwa biaya
bakteri streptokokus, stafilokokus dan tuberkulosis membeli obat berkurang 200-300 dolar dalam
(Smith et al., 2004). Tanaman lavender dapat beberapa bulan setelah menggunakan terapi
mengontrol minyak kulit, sedangkan teh dapat komplementer (Nezabudkin, 2007).
membersihkan jerawat dan membat asi Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi
kekambuhan (Key, 2008). Dr. Carl menemukan komplementer ataupun yang masih tradisional
bahwa penderita kanker lebih cepat sembuh dan mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
berkurang rasa nyerinya dengan meditasi dan banyaknya pengunjung praktik terapi
imagery (Smith et al., 2004). Hasil riset juga komplementer dan tradisional di berbagai tempat.
menunjukkan hipnoterapi meningkatkan suplai Selain itu, sekolah-sekolah khusus ataupun kursus-
oksigen, perubahan vaskular dan t ermal, kursus terapi semakin banyak dibuka. Ini dapat
mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, dan dibandingkan dengan Cina yang telah memasukkan
mengurangi kecemasan (Fontaine, 2005). terapi tradisional Cina atau traditional Chinese
Hasil-hasil tersebut menyat akan terapi Medicine (TCM) ke dalam perguruan tinggi di
komplementer sebagai suatu paradigma baru negara tersebut (Snyder & Lindquis, 2002).
(Smith et al., 2004). Bentuk terapi yang digunakan Kebutuhan perawat dalam meningkatnya
dalam terapi komplementer ini beragam sehingga kemampuan perawat untuk praktik keperawatan
disebut juga dengan terapi holistik. Terminologi juga semakin meningkat. Hal ini didasari dari
kesehatan holistik mengacu pada integrasi secara berkembangnya kesempatan praktik mandiri.
menyeluruh dan mempengaruhi kesehat an, Apabila perawat mempunyai kemampuan yang
perilaku positif, memiliki tujuan hidup, dan dapat dipertanggungjawabkan akan meningkatkan
pengembangan spiritual (Hitchcock et al., 1999). hasil yang lebih baik dalam pelayanan
keperawatan.
56 Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 12, No. 1, Maret 2008; hal 53-57

MACAM TERAPI KOMPLEMENTER Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004)


meliputi gaya hidup (pengobatan holistik, nutrisi),
Terapi komplementer ada yang invasif dan non- botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi);
invasif. Contoh terapi komplementer invasif adalah manipulatif (kiropraktik, akupresur & akupunktur,
akupuntur dan cupping (bekam basah) yang refleksi, massage); mind-body (meditasi, guided
menggunakan jarum dalam pengobatannya. imagery, biofeedback, color healing, hipnoterapi).
Sedangkan jenis non-invasif seperti terapi energi Jenis terapi komplementer yang diberikan sesuai
(reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara), terapi dengan indikasi yang dibutuhkan. Contohnya pada
biologis (herbal, terapi nutrisi, food combining, terapi sentuhan memiliki beberapa indikasinya
terapi jus, terapi urin, hidroterapi colon dan terapi seperti meningkatkan relaksasi, mengubah persepsi
sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, nyeri, menurunkan kecemasan, mempercepat
reiki, rolfing, dan terapi lainnya (Hitchcock et al., penyembuhan, dan meningkatkan kenyamanan
1999) dalam proses kematian (Hitchcock et al., 1999).
National Center for Complementary/ Jenis terapi komplementer banyak sehingga
Alternative Medicine (NCCAM) membuat seorang perawat perlu mengetahui pentingnya
klasifikasi dari berbagai terapi dan sist em terapi komplementer. Perawat perlu mengetahui
pelayanan dalam lima kategori. Kategori pertama, terapi komplementer diantaranya untuk membantu
mind-body therapy yaitu memberikan intervensi mengkaji riwayat kesehatan dan kondisi klien,
dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi menjawab pertanyaan dasar tent ang terapi
kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik ko mplement er dan merujuk klien unt uk
dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan mendapatkan informasi yang reliabel, memberi
(imagery), yoga, terapi musik, berdoa, journaling, rujukan terapis yang kompeten, ataupun memberi
biofeedback, humor, tai chi, dan terapi seni. sejumlah terapi komplementer (Snyder & Lindquis,
Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan 2002). Selain itu, perawat juga harus membuka diri
yaitu sistem pelayanan kesehatan yang untuk perubahan dalam mencapai tujuan perawatan
mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis integratif (Fontaine, 2005).
berbeda dari Barat misalnya pengobatan tradisional
Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika,
cundarismo, homeopathy, naturopathy. Kategori PERAN PERAWAT
ketiga dari klasifikasi NCCAM adalah terapi Peran perawat yang dapat dilakukan dari
biologis, yaitu natural dan praktik biologis dan penget ahuan tentang t erapi ko mplement er
hasil-hasilnya misalnya herbal, makanan). diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan,
Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan peneliti, pemberi pelayanan langsung, koordinator
sistem tubuh. Terapi ini didasari oleh manipulasi dan sebagai advokat. Sebagai konselor perawat
dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan dapat menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan
kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing, terapi diskusi apabila klien membutuhkan informasi
cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir, ataupun sebelum mengambil keputusan. Sebagai
terapi energi yaitu terapi yang fokusnya berasal dari pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi
energi dalam tubuh (biofields) atau mendatangkan pendidik bagi perawat di seko lah tinggi
energi dari luar tubuh misalnya terapetik sentuhan, keperawatan seperti yang berkembang di Australia
pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum
magnet. Klasifikasi kategori kelima ini biasanya pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat
dijadikan satu kategori berupa kombinasi antara sebagai peneliti di antaranya dengan melakukan
biofield dan bioelektromagnetik (Snyder & berbagai penelitian yang dikembangkan dari hasil-
Lindquis, 2002). hasil evidence-based practice.
Terapi komplementer dalam keperawatan (Widyatuti) 57

Perawat dapat berperan sebagai pemberi pengembangan kebijakan, praktik keperawatan,


pelayanan langsung misalnya dalam praktik pendidikan, dan riset. Apabila isu ini berkembang
pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi dan terlaksana terutama oleh perawat yang
terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). mempunyai pengetahuan dan kemampuan tentang
Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien terapi komplementer, diharapkan akan dapat
sehingga peran koo rdinato r dalam terapi meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga
komplementer juga sangat penting. Perawat dapat kepuasan klien dan perawat secara bersama-sama
mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter dapat meningkat (HH, TH).
yang merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan
sebagai advokat perawat berperan untuk memenuhi * Staf Akademik Keperawatan Komunitas FIK UI
permintaan kebutuhan perawatan komplementer
yang mungkin diberikan termasuk perawatan KEPUSTAKAAN
alternatif (Smith et al.,2004).
Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis,
J.A., & Jo hnso n, P.H. (1999). Nurse’s
PENUTUP handbook of alternative and complementary
therapies. Pennsylvania: Springhouse.
Masyarakat Indonesia sudah mengenal adanya
terapi tradisio nal seperti jamu yang telah Buckle, S. (2003). Aromatherapy. http//
berkembang lama. Kenyataannya klien yang . www. nat u r alhealt h web. co m/ ar t icles,
berobat di berbagai jenjang pelayanan kesehatan diperoleh 25 Januari 2008.
tidak hanya menggunakan pengobatan Barat (obat
kimia) tetapi secara mandiri memadukan terapi Fo ntaine, K.L. (2005). Complementary &
tersebut yang dikenal dengan terapi komplementer. alternative therapies for nursing practice. 2th
ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Perkembangan terapi komplementer atau
alternatif sudah luas, termasuk didalamnya orang Hitchcock, J.E, Schubert, P.E., Thomas, S.A.
yang terlibat dalam memberi pengobatan karena (1999). Community health nursing: Caring in
banyaknya profesional kesehatan dan terapis selain action. USA: Delmar Publisher.
dokter umum yang terlibat dalam terapi Key, G. (2008). Aromatherapy beauty tips. http//
komplementer. Hal ini dapat meningkatkan .www.naturalhealthweb. com/art icles/
perkembangan ilmu pengetahuan melalui georgekey3.html, diperoleh 25 Januari 2008.
penelitian-penelitian yang dapat memfasilitasi
terapi komplementer agar menjadi lebih dapat Nezabudkin, V. (2007). How to research alternatif
dipertanggungjawabkan. treatment before using them.http//
. www. nat u r alhealt hweb. co m/ ar t icles/
Perawat sebagai salah satu profesio nal Nezabudkin1.html, diperoleh 25 Januari 2008.
kesehatan, dapat turut serta berpartisipasi dalam
terapi komplementer. Peran yang dijalankan sesuai Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C. (2004).
dengan peran-peran yang ada. Arah perkembangan Clinical nursing skills: Basic to advanced
kebutuhan masyarakat dan keilmuan mendukung skills. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
untuk meningkatkan peran perawat dalam terapi
Snyder, M. & Lindquist, R. (2002).
komplementer karena pada kenyat aannya,
Complementary/alternative therapies in
beberapa terapi keperawatan yang berkembang
nursing. 4th ed. New York: Springer.
diawali dari alternatif atau tradisional terapi.
Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community
Kenyataan yang ada, buku-buku keperawatan
& public health nursing. 6th ed. St. Louis:
membahas terapi komplementer sebagai isu praktik
Mosby Inc.
keperawatan abad ke 21. Isu ini dibahas dari aspek
Terapi Modalitas Lingkungan: Musik Dalam Kemampuan Bersosialisasi 1

TERAPI MODALITAS LINGKUNGAN: MUSIK TERHADAP


KEMAMPUAN BERSOSIALISASI PADA PASIEN ISOLASI SOSIAL
Anisa Hidir1, Antia, S.Kp., M.Kep2

Nurshig Department Faculty of Health Esa Unggul University1,2

Anisa_hidir@yahoo.co.id1, Antia@esaunggul.ac.id2

ABSTRACT

The prevalence of mental health problems reaches 13% of the disease as a whole and may grow to 25% by
2030. Social isolation is a state in which an individual person experiences a decline or even inability to interact
with others around him. One method to overcome social isolation is by exercising music therapy (dangdut). This
study aims to identify the analysis of the effect of environmental modality therapy: music on social skills at
Psychiatric Hospital Dr. Soeharto Heerdjan West Jakarta. The design of this study was pre-experiment with one
group pre-post test design approach, 25 samples of samples with total sampling technique. The results showed
pre-test 11.12 and post-test 35.12. Result of hypothesis test of Paired Sample T-Test at significance level 95% (α
= 0,05) shows that value of ρ-value = 0,000). The value of ρ-value <α, that is 0.000 <0.05 means that Ho is
rejected and Ha is accepted indicating that there is an effect of music therapy on socializing ability in social
isolation patient. Suggestions for further research can conduct a preliminary study of the type of music that
respondents prefer or use different types of music.

Keywords : Music Therapy, Social Ability, Social Disability

1. PENDAHULUAN : tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia


adalah 237,556,363 jiwa.
Menurut World Health
Organization (2009), prevalensi masalah Isolasi sosial adalah keadaan
kesehatan jiwa mencapai 13% dari dimana seseorang individu mengalami
penyakit secara keseluruhan dan penurunan atau bahkan sama sekali tidak
kemunkinan akan berkembang menjadi mampu berinteraksi dengan orang lain
25% di tahun 2030, kejadian tersebut akan disekitarnya. Pasien mungkin merasa
memberikan andil meningkatnya ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak
prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke mampu membina hubungan dengan orang
tahun di berbagai penduduk. lain. (Keliat et al, 2005).

Prevalensi terjadinya gangguan Klien dengan masalah isolasi sosial


jiwa berat di Indonesia berdasarkan Riset mengalami ketidakmampuan bersosialisasi
Kesehatan Dasar (2007) adalah sebesar 4,6 dan penurunan fungsi kognitif, sehingga
permil, dengan kata lain dari 1000 disamping program keterampilan sosial
penduduk Indonesia empat sampai lima yang dilatih pada klien juga membutuhkan
diantaranya menderita gangguan jiwa berat support sistem baik dari dalam maupun
(Balitbang Depkes RI, 2008). dari luar keluarga. Peran keluarga tidak
dapat dipisahkan dalam perawatan pada
Gangguan jiwa ditemukan disemua klien dengan masalah sosial. Namun,
negara, terjadi pada semua tahap terkadang pengetahuan dan sikap keluarga
kehidupan, termasuk orang dewasa dan klien masih kurang dalam menangani
cenderung terjadi peningkatan gangguan anggota keluarganya yang baru saja pulang
jiwa. Menurut hasil sensus penduduk dari rumah sakit. Klien masih sering
dicurigai akan munculnya tanda dan gejala
Terapi Modalitas Lingkungan: Musik Dalam Kemampuan Bersosialisasi 2

gangguan jiwa oleh keluarganya sehingga 3. HASIL DAN PEMBAHASAN :


klien sering terisolir dan akhirnya 3.1 KARAKTERISTIK RESPONDEN
cenderung menutup diri. Kondisi ini sering
terabaikan karena tidak secara nyata Penelitian dilakukan pada bulan
mengganggu atau merusak lingkungan dan Juni 2017.
hal ini akan semakin memperparah isolasi
sosial. (Chan, et al., 2009). Tabel 1. Distribusi Frekuensi
Karakteristik Responden Berdasarkan
Penambahan terapi musik pada Usia (n=25)
pengobatan yang dilakukan pada pasien
isolasi sosial dapat meningkatkan efek Usia Frekuensi Presentase
kenyamanan yang dapat menurunkan
isolasi sosial dan juga dapat meningkatkan 30-35 18 72,0%
kepercayaan dalam diri seseorang. Musik 36-40 6 24,0%
dapat berperan sebagai fasilitator dimana
musik dapat menyentuh seseorang secara 41-45 1 4,0%
emosioanal dan mencapai perasaan Total 25 100%
terdalam pasien sehingga dapat menjadi
alat untuk mengungkapkan ekspresi
nonverbal pasien dan pasien dapat lebih Usia responden terbanyak pada penelitian
membuka diri dan bersosialisasi dengan ini 30-35 tahun sebanyak 18 orang. Pada
lingkungan sekitar (Chan, et al., 2009). usia tersebut hampir setengah sampel pada
penelitian ini termasuk kedalam kategori
Berdasarkan fenomena diatas, usia dewasa awal.
maka peneliti tertarik melakukan
penelitian dengan judul, “Pengaruh Terapi Tabel 2. Distribusi Frekuensi
Modalitas Lingkungan: Musik Terhadap Karakteristik Responden Berdasarkan
Kemampuan Bersosialisasi Pada Pasien Jenis Kelamin (n=25)
Isolasi Sosial Di Rumah Sakit Jiwa Dr.
Soeharto Heerdjan Jakarta Barat Tahun Jenis Kelamin Frekuensi Presentase
2017”. Laki-laki 25 100,0%
Perempuuan 0 0%
Penelitian ini bertujuan untuk Total 25 100%
Mengidentifikasi Pengaruh Terapi
Modalitas Lingkungan: Musik Terhadap Berdasarkan hasil penelitian
Kemampuan Bersosialisasi Pada Pasien menunjukkan bahwa seluruh responden
Isolasi Sosial Di Rumah Sakit Jiwa Dr. jenis kelaminnya laki-laki. Dikarenakan
Soeharto Heerdjan Jakarta Barat, sehingga kebijakan Rumah Sakit Jiwa yang
dapat meningkatkan kemampuan mengarahkan peneliti untuk mengambil
bersosialisasi pada pasien isolasi sosial responden berjenis kelamin laki-laki
setelah diberikan latihan terapi musik. karena responden berjenis kelamin laki-
laki lebih banyak dibandingkan dengan
2. METODE : responden perempuan.
Metode Penelitian ini
Tabel 3. Distribusi Frekuensi
menggunakan pra-eksperimen dengan
Karakteristik Responden Berdasarkan
pendekatan one group pra-post test design. Latar Belakang Pendidikan (n=25)
Besar sampel 25 responden dengan
menggunakan tekhnik total sampling. Latar Belakang Frekuensi Ptesentase
Pendidikan
SD 7 28,0%
Terapi Modalitas Lingkungan: Musik Dalam Kemampuan Bersosialisasi 3

SMP 10 40,0% mengungkapkan sesuatu, atau


SMA 6 24,0% mengungkapkan keinginan, termasuk
SARJANA 2 8,0%
keingininan hidup berumah tangga.
Total 25 100%

Tabel 6. Distribusi Frekuensi


Hasil penelitian terbanyak
Karakteristik Responden Berdasarkan
memiliki latar belakang pendidikan rendah
Riwayat Gangguan Jiwa (n=25)
yaitu SMP sebanyak 10 orang. Tingkat
pendidikan seseorang berpengaruh dalam
Riwayat Gangguan Frekuensi Presentase
memberikan respon terhadap sesuatu yang Jiwa
datang dari luar. Seseorang yang Ada 25 100,0%
mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan Tidak 0 0%
memberikan respon yang lebih rasional Total 25 100%
dan juga dalam motivasinya akan Hampir seluruh pasien isolasi
berpotensi daripada mereka yang sosial di RSJ DR. Soeharto Heerdjan
berpendidikan lebih rendah atau sedang. Jakarta yang menjadi responden memiliki
riwayat gangguan jiwa. Dan dapat
Tabel 4. Distribusi Frekuensi diketahui bahwa mayoritas pasien
Karakteristik Responden Berdasarkan memiliki anggota keluarga dengan
Status Pekerjaan (n=25) gangguan jiwa.

Status Frekuensi Presentase Tabel 7. Distribusi Frekuensi


Pekerjaan Karakteristik Responden Berdasarkan
Frekuensi Dirawat (n=25)
TIDAK 19 76,0%
BEKERJA Frekuensi Frekuensi Presentase
Dirawat di RSJ
PNS 4 16,0%
1 Kali 17 68,0%
KARYAWAN 2 8,0% Lebih Dari 1 8 32,0%
Kali
Total 25 100% Total 25 100%

Factor status social ekonomi yang Hasil penelitian menggambarkan


rendah lebih banyak mengalami gangguan distribusi frekuensi responden berdasarkan
jiwa yang menyebabkan kurangnya frekuensi dirawat di Rumah Sakit Jiwa Dr.
motivasi untuk melakukan kegiatan sehari- Soeharto Heedjan sebanyak 17 orang yang
hari dibandingkan pada tingkat soisal dirawat dirumah sakit 1 kali. dikarenakan
ekonomi tinggi. responden yang diambil pada penelitian ini
sebagian besar merupakan pasien baru.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi
Karakteristik Responden Berdasarkan
Status Perkawinan (n=25) 3.2 ANALISIS PENGARUH TERAPI
MUSIK TERHADAP KEMAMPUAN
Status Frekuensi Presentase
Perkawinan
BERSOSIALISASI PADA PASIEN
Kawin 4 16,0 ISOLASI SOSIAL
Tidak 21 84,0%
Kawin
Total 25 100%
Tabel 8. Pengaruh Terapi Musik
salah satu factor presdiposisi Terhadap Kemampuan Bersosialisasi
isolasi sosial adalah ketidakmampuan Pada Pasien Isolasi Sosial
Terapi Modalitas Lingkungan: Musik Dalam Kemampuan Bersosialisasi 4

Kemampuan Mean SD T P- 4. SIMPULAN


Bersosialisasi Value
Pre-test 11,12 1,691 75,895 0,000 Karakteristik sampel pada
Post-test 35,12 833 75,895 0.000 penelitian ini yaitu hampir setengah
responden berada di rentang usia 30-35
Berdasarkan tabel diatas tahun (dewasa awal), hampir seluruh
menunjukkan kemampuan bersosialisasi berjenis kelamin laki-laki, hampir setengah
pada pasien isolasi sosial sebelum (pre- memiliki latar belakang pendidikan rendah
test) dan setelah (post-test) dilakukan SMP, tidak bekerja, statusnya tidak kawin,
terapi musik, dapat diketahui bahwa mean seluruh responden sebagian besar memilik
(rata-rata) kemampuan pasien riwayat gangguan jiwa, dan frekuensi
bersosialisasi pada pasien isolasi sosial dirawat di rumah sakitnya 1 kali.
sebelum diberikan latihan terapi musik
sebesar 11.12. Dan mean (rata-rata) Terdapat perbedaan kemampuan
kemampuan pasien bersosialisasi pada bersosialisasi sebelum diberikan latihan
pasien isolasi sosial setelah diberikan terapi musik dan sesudah diberikan latihan
latihan terapi musik sebesar 35,12. terapi musik. Artinya pasien mampu
Berdasarkan nilai rata-rata tersebut terjadi bertahap setiap harinya dalam
peningkatan kemampuan bersosialisasi meningkatkan kemampuan bersosialisasi.
selama 5 hari sebanyak 24%. Hasil uji
hipotesis Paired Sample T-Test pada Adanya pengaruh terapi musik
tingkat kemaknaan 95% (α = 0,05) terhadap kemampuan bersosialisasi pada
menunjukkan bahwa nilai ρ-value = pasien isolasi sosial.
0,000). Nilai ρ-value < α, yaitu 0,000 <
0,05 artinya Ho ditolak dan Ha diterima
yang menunjukkan bahwa ada pengaruh 5. SARAN
terapi musik terhadap kemampuan
bersosialisasi pada pasien isolasi sosial. Untuk penelitian selanjutnya
disarankan melakukan penelitian lebih
lanjut tentang terapi musik pada pasien
Tabel 9. Kemampuan Bersosialisasi isolasi sosial dengan melakukan studi
Sebelum Dan Sesudah Dilakukan pendahuluan terlebih dahulu mengenai
Terapi Musik Dari Hari 1-5 jenis musik dan lagu yang disukai calon
responden, melakukan pre-test pada
Pretest Posttest
1 5
beberapa hari sebelum intervensi sehingga
N Valid 25 25 responden dapat dikelompokkan
Missing 0 0
Mean 11,12 35,12
Median 10,00 35,00
Mode 10 36 6. DAFTAR PUSTAKA
Std.Deviation 1,691 ,833
Minimum 9 34 A. F. Rusanto, et. al (2011). Pengaruh
Maximum 15 36 Terapi Musik Populer Terhadap
Tingkat Depresi Pasien Isolasi
Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Adanya perbedaan serta peningkatan Dr. Amino Gondohutomo
kemampuan bersosialisasi yang dilakukan Semarang. Jurnal Nasional :
dalam 5 hari. Artinya pasien mampu STIKES Telogorejo Semarang.
bertahap setiap harinya dalam Diunduh pada 21 Maret 2017 dari
meningkatkan kemampuan bersosialisasi. www.download.portal.garuda.org
Terapi Modalitas Lingkungan: Musik Dalam Kemampuan Bersosialisasi 5

Azizah, Lilik Ma’rifatul. 2011. Universitas Udayana. Diunduh


Keperawatan Jiwa (Aplikasi pada 21 Maret 2017 dari
Praktik Klinik). Yogyakarta : www.erepo.unud.ac.id
Graha Ilmu.

Candra I Wayan (2013). Pengaruh terapi Purba, John Edison (2009). Pengaruh
musik klasik terhadap perubahan Intervensi Rehabilitasi Terhadap
gejala perilaku agresif pasien Ketidakmampuan Bersosialisasi
skizofrenia di Ruang Kunti RSJ Pada Penderita Skizofrenia di
Provinsi Bali. Jurnal Rumah Sakit Jiwa. Medan:
Nasional : Politeknik Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas
Denpasar. Diunduh pada 21 Sumatera Utara. Diunduh
Maret 2017 dari pada 21 Maret 2017 dari
www.poltekkesdenpasar.ac.id www.repository.usu.ac.id

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar, Stuart, G.W & Laraia, M.T. (2005).
(2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Principles and Practice of
Bandung: Refika Aditama. Psychiatry Nursing, 7th
Edition. London Philadelphia
Direja, Ade Herman Surya, 2011. Buku Sydney Toronto. Mosby: USA.
Asuhan Keperawatan Jiwa. Wang, Jinliang (2011). Impact Of
Penerbit buku: Nuha Group Music Therapy On The
medika. Depression Mood Of College
Students. Journal International
Djohan. 2009. Terapi Musik Teori dan Health Vol.3, No 3. 151- 155.
Aplikasi. Yogyakarta. Galangpress. Diunduh pada 21 Maret 2017 dari
www.file.scirp.org.com
Keliat, B.A. dan Akemat., (2010). Model
Praktik Profesional jiwa. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG. Yosep, Iyus. (2011). Keperawatan Jiwa.
(Edisi revisi). Refika Aditama.
Polit, D.F., Beck, C.T (2009). A Bandung.
Randomized Conrolled Trial
Exploring The Effect Of Music On
Quality Of Life And Depression In
Older People With Dementia.
Journal International :
Essentials of nursing research:
methods, appraisal, and utilization.
Diunduh pada 21 Maret 2017
dari : PubMed National Center for
Biotechnology Information
(NCBI)

Preamesemara IGN (2012). Efektifitas


Terapi Musik Klasik (Mozart)
Terhadap Perilaku Agresif
Pada Anak Penderita Autisme di
SLB/A Negeri Denpasar. Jurnal
Nasional : Keperawatan
277

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

STUDI KASUS SARANA TERAPI OKUPASI DENGAN TAMAN EDUKASI


PADA PENDERITA AUTIS DI SLB SUMBER DHARMA KOTA MALANG

Wahidyanti Rahayu Hastutiningtyas 1, Irawan Setyabudi 2


Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
e-mail: abc_1yanti@yahoo.com

ABSTRACT

Occupational therapy is a type of therapy that is specifically used to help children to live independently with
a variety of existing health conditions. This therapy is used as part of a treatment program for children with
an illness, such as delayed developmental birth, psychological problems, or long-term injury. The research
was conducted by qualitative method by deductive and inductive description. Nasution (2004) mentions that
descriptive research is a method of researching the setatus of a group of people, an object, a set of conditions,
a thought system, or a class of events in the present. The purpose of this descriptive research is to make
deskipsi, picture or painting in a systematic, factual and accurate about the facts, properties and
relationships between the phenomena investigated. The results of this study see the occupational facilities by
using an educational park in one of the SLB Kota Malang. Educational parks in schools include several
zones of therapy and education. Parks used for children with autism include the concept of shape,
circulation, and vegetation. Educational park can be used as a means of occupational therapy where there
are objects of therapy that include physical and mental. The form of activities performed in the SLB is a
form of game using therapy in the form of play to provide fun and good socialization. The stages of
occupational therapy, among others: (1) Evaluation Stage, (2) Intervention Stage and (3) Final Results
Stage. The phase of occupational therapy of the group can be done by (1) Orientation, (2) Introduction
stage, (3) Warm-up activities, (4) Selected activity stage and (5) Termination Phase.

Keywords: Occupational Therapy, Education Park and Autism

ABSTRAK
Terapi okupasi adalah jenis terapi yang secara khusus digunakan untuk membantu anak
untuk hidup mandiri dengan berbagai kondisi kesehatan yang telah ada. Terapi ini
digunakan sebagai bagian dari program pengobatan untuk anak yang mengidap suatu
penyakit, seperti keterlambatan perkembangan sejak lahir, masalah psikologis, atau cedera
jangka panjang. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan cara deskripsi
deduktif dan induktif. Nasution (2004) menyebutkan bahwa penelitian deskriptif adalah
suatu metode dalam meneliti setatus sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi,
suatu sistem pikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari
penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskipsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki. Hasil penelitian ini melihat sarana okupasi dengan menggunakan
taman edukasi di salah satu SLB Kota malang. Taman edukasi yang ada disekolah meliputi
beberapa zona terapi dan pembelajaran. Taman yang digunakan untuk anak autis meliputi
konsep bentuk, sirkulasi, dan vegetasi. Taman edukasi dapat digunakan sebagai sarana
278

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

terapi okupasi dimana terdapat objek terapi yang meliputi fisik dan mental. Bentuk kegiatan
yang dilakukan di SLB adalah berupa permainan dengan menggunakan terapi yang
berbentuk bermain untuk memberikan kesenangan dan sosialisasi yang baik. Adapun
tahapan terapi okupasi, antara lain: (1) Tahap Evaluasi, (2) Tahap Intervensi dan (3) Tahap
Hasil Akhir. Tahap terapi okupasi kelompok dapat dilakukan dengan (1) Orientasi, (2)
Tahap Pendahuluan (Introduction), (3) Tahap pemanasan (Warm-up activities), (4) Tahap
aktivitas terpilih (selected activities) dan (5) Tahap Terminasi.

Kata Kunci : Terapi Okupasi, Taman Edukasi dan Autis

lingkungan sekitar, seperti menolak


PENDAHULUAN berinteraksi karena fokus teralihkan pada
Terapi okupasi adalah jenis terapi yang suatu hal sehingga terkesan hidup dalam
secara khusus digunakan untuk dunianya sendiri. Bagi anak autis,
membantu anak untuk hidup mandiri terkadang sulit untuk berkomunikasi
dengan berbagai kondisi kesehatan yang secara verbal dan ada kecenderungan
telah ada dengan cara memberikan kelainan persepsi sensorisnya. Sebagai
kesibukan atau aktivitas sehingga anak upaya untuk merubah keadaan agar lebih
akan fokus untuk mengerjakan sesuatu. baik, diperlukan terapi yang melibatkan
Terapi ini digunakan sebagai bagian dari ruang sekitar. Terapi aktivitas adalah
program pengobatan untuk anak yang upaya untuk mengalihkan kesibukan bagi
mengidap suatu penyakit, seperti anak autis dengan mengerjakan sesuatu
keterlambatan perkembangan sejak lahir, yang lain agar mengembalikan fokus,
masalah psikologis, atau cedera jangka seringkali disebut dengan terapi okupasi.
panjang. Tujuan utama terapi okupasi Di sekolah, terdapat ragam aktivitas yang
adalah untuk membantu meningkatkan bisa dikerjakan anak autis seperti
kualitas hidup anak dalam pembelajaran luar ruang dan bermain.
memaksimalkan kemandirian. (Haliimah, et al, 2014). Potensi ini secara
arsitektural dapat diambil untuk
Anak Berkebutuhan Khusus atau ABK, perencanaan organisasi ruang agar anak
merupakan istilah untuk seseorang yang bisa belajar dan bermain secara optimal,
memiliki kekurangan fisik ataupun seperti ada area taman untuk terapi
mental. Salah satu wujud kekurangan menanam, merawat dan memetik
mental adalah autis. Adapun gejala yang tanaman hortikultura atau terapi untuk
tampak adalah ketidakpedulian terhadap mendengarkan kicauan dan suara air
279

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

mancur. Terapi didasarkan untuk saat dewasa. Penyediaan fasilitas tentu


kepekaan panca indera. Peran ruang harus dipertimbangkan pada sisi
terbuka sebagai taman sebagai sarana keamanan dan keselamatannya, seperti
belajar, bermain dan sarana terapi yang penggunaan material yang tidak
diperlukan untuk siswa autis. berbahaya atau vegetasi yang tidak
beracun.
Pengaruh ruang luar sebagai taman
edukasi terhadap perkembangan anak
disampaikan oleh beberapa ahli, seperti Sebagai sarana terapi untuk siswa autis,
disebutkan oleh Ramadhani (2016), taman harus memberikan suatu manfaat
bahwa salah satu bentuk pembelajaran perubahan. Taman dikembangkan dengan
adalah memberikan pengalaman konsep sensori atau berhubungan dengan
langsung, sehingga siswa lebih mudah panca indera. Adapun Haliimah (2014),
memahami. Contohnya adalah saat mata menyebutkan bahwa sistem sensori dalam
pelajaran IPA, siswa secara langsung tubuh ada vestibular (gerakan
dapat memahami karakter tanaman yang keseimbangan), proprioceptive (otot-
tumbuh di taman. Siswa dengan motorik), visual (penglihatan), auditory
inderanya dapat melihat, meraba, (pendengaran), tactile (peraba), gustatory
merasakan tanaman. Aspek ini, taman (pengecap), dan olfactory (penciuman).
berfungsi sebagai edukasi. Lauren (2012), Berdasarkan konsep ini, taman dibedakan
menyebutkan bahwa ruang terbuka menjadi area bermain (ayunan dan
seringkali digunakan sebagai taman perosotan), area taman yang merangsang
bermain anak dengan fasilitas visual seperti warna cat yang kontras atau
pendukungnya. Aktivitas tersebut pemilihan jenis tanaman dengan bunga
termasuk edukatif, yang mana usia anak warna-warni, area taman yang
yang masih muda dapat peka terhadap merangsang pendengaran seperti kicauan
rangsangan dari lingkungannya. Baskara burung dan air mancur, area taman yang
(2011) dalam penelitiannya juga merangsang indera pengecap yaitu ada
membahas tentang taman untuk edukasi buah siap petik seperti jeruk dan tomat,
anak-anak, mampu untuk dan area taman yang merangsang
membangkitkan sisi kognitif, sosial, fisik, penciuman dengan aroma bunga, seperti
serta kemampuan emosi yang diperlukan lavender atau melati.
280

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

METODE PENELITIAN dan lunak serta adanya ruang untuk


Penelitian dilakukan dengan metode bermain. Taman dengan konsep sensory
kualitatif dengan cara deskripsi deduktif garden sebagai terapi anak autis meliputi
dan induktif. Nasution (2004) terapi panca indera pengecap, penglihat,
menyebutkan bahwa penelitian deskriptif penciuman, peraba dan pendengaran
adalah suatu metode dalam meneliti (Prabowo, 2015).
sekelompok manusia, suatu obyek, suatu
set kondisi, suatu sistem pikiran, ataupun
suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Data primer yang diperoleh pada
Tujuan dari penelitian deskriptif ini penelitian ini digunakan dengan
adalah untuk membuat deskipsi, wawancara dan rekaman. Proses
gambaran atau lukisan secara sistematis, wawancara melibatkan beberapa guru dan
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, wali murid yang berkaitan dengan
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena penggunaan taman, khususnya Ibu Pur
yang diselidiki. Penelitian ini diawali dari dan Ibu Nifta selaku guru SMPLB. Studi
studi inventarisasi atau pendataan unsur kasus dilakukan di Sekolah Luar Biasa
hardscape dan softscape sebagai data (SLB) Sumber Dharma Malang, alasannya
primernya, berupa wawancara dan adalah lokasi berada dalam kota jauh dari
rekaman. Berikutnya akan dilakukan pusat keramaian dengan suasana tenang,
analisis-sintesis potensi dan kendala berpotensi untuk dikembangkan taman
dalam penerapan terapi okupasi. Hasil dengan konsep baru karena taman
penelitian ini lebih pada manfaat sarana sebelumnya hanya terdapat penataan pot
terapi okupasi sebagai taman ekukasi dan area bermain anak.
pada SLB Sumber Dharma Malang.
Menurut Haliimah, et al (2014), penderita
autis adalah penderita gangguan HASIL
pengolahan informasi sensoris akibat
Studi kasus SLB Sumber Dharma berada
kelainan pada sistem sarafnya sehingga
di Jalan Jago Malang, yang tidak jauh dari
dapat diberikan taman edukasi yang
Pasar Blimbing. Sekolah dikelilingi oleh
berfokus pada konsep sensory garden.
permukiman warga dan aksesnya masuk
Karakteristik terapi edukasi adalah adanya
pada gang dengan lebar jalan 4 meter.
ruang edukasi, penggunaan elemen kerasa
281

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

Bangunan sekolah terdiri atas 2 lantai dengan total 47 anak yang terbagi atas 5
yang memiliki ruang terbuka yang anak TKLB, 25 anak SDLB, 8 anak
terbatas. Luas total tanah adalah 576m2 SMPLB, dan 9 anak SMALB. Ruangan
yang terbagi atas luas bangunan dan yang tersedia ada 7 ruang kelas dan
taman. Taman pada sekolah ada pada terdapat fasilitas laboratorium dan
taman depan dan tengah. Taman depan perpustakaan. Menurut ibu Nifta, selaku
dengan panjang 17 meter dan lebar kepala sekolah SMPLB jumlah anak autis
4 meter, atau 62 m2 setelah dikurangi luas tidak sebanyak anak tuna grahita, namun
teras, sedangkan taman tengah memiliki kecenderungan perilaku mereka hampir
dimensi panjang 14 meter dan lebar sama seperti anak-anak usia kelas 5 SD
4 meter atau luasannya 56 m2. Pengajar dan kurang fokus.
terdiri atas guru 15 orang dan siswa

Gambar 1. (kiri)Ffoto tampak depan SLB Sumber Dharma, (kanan) foto


lokasi taman depan

Gambar 2. (kiri) Taman dengan bentuk pot bertingkat, (kanan) foto lokasi
taman tengah
282

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

Taman pada SLB ini dibagi menjadi dua Pengguna taman terbatas pada guru,
yaitu taman depan dan taman tengah. siswa, orang tua siswa, dan tamu. Taman
Taman depan untuk area parkir sepeda, depan merupakan area yang masih bisa
area bermain, berkebun dan tempat diakses oleh orang tua siswa sedangkan
duduk orang tua yang akan menjemput. taman tengah bersifat privat karena hanya
Tanaman yang ada sudah banyak terbatas pada guru dan siswa. Umumnya
ragamnya seperti tanaman hias, tanaman area taman digunakan pada pagi sampai
rak, taman vertikultur, dan pohon siang hari pada jam tertentu seperti
peneduh. Adapun tanamannya adalah sebelum masuk, saat istirahat ataupun
puring, kamboja, drasena, lidah buaya, pulang sekolah. Namun secara umum
kopi, manisa, sawo, buah naga, pucuk taman masih kurang difungsikan.
merah, kuping gajah, palem, lamtoro, Berdasarkan hasil wawancara dengan
temulawak, kol banda, jeruk, cabe, jambu, narasumber salah satu guru yaitu ibu
dan sebagainya. Menurut ibu Nifta, Christina Sri Purwatiningsih (Ibu Pur)
pengembangan taman depan untuk area selaku guru SMPLB, taman yang
buah-buahan. Berikutnya adalah taman diharapkan adalah bersifat teduh,
tengah, yang memiliki fungsi sedikit melibatkan siswa dalam proses
berbeda. Taman tengah digunakan untuk penanaman ataupun mata pelajaran yang
upacara sehingga dibutuhkan ruang bertema, dan prioritas taman depan
bebas. Area taman dimampatkan ke dekat karena penyinaran maksimal diperoleh
dinding dengan pengembangan secara pada depan bangunan. Beberapa wali
vertikal. Adapun tanaman yang ada murid sebagai pengguna taman; yang
adalah puring, kamboja, adam hawa, kol sedang duduk dan menunggu untuk
banda, terong, temu lawak, sansivera, menjemput anaknya; mengatakan bahwa
beras kutah, suruh dan drasena. Penataan kondisi awal taman sebenarnya sudah
taman masih belum teratur sehingga nyaman dengan banyak teduhan namun
dalam pengembangannya lebih sesuai kurang dimanfaatkan untuk kegiatan
dengan tanaman sayur-sayuran dan bermain siswa. Kondisi ini diperlukan
hortikultura. adanya perubahan sehingga taman bisa
menampung kegiatan yang aktif.
Pengguna utamanya adalah siswa dari
berbagai tingkatan kelas dan terbagi atas
283

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

beberapa tuna, yaitu tuna grahita, tuna taman bermain dengan segala fasilitas
rungu dan autis. Tema taman memang pendukungnya. Dalam taman, selain
ditujukan pada anak autis tetapi juga bisa dikembangkan aspek rekreatifnya juga
untuk tuna yang lain karena taman edukatifnya karena usia anak masih muda
sensorik mampu merangsang panca dan peka terhadap rangsangan yang
indera untuk terapi dan edukasi. berasal dari lingkungan, khususnya bagi
anak autis dan tuna grahita.

Menurut Wahyuni (2015) konsep taman


sensorik dibagi menjadi dua bagian yaitu
PEMBAHASAN
hiposensitif dan hipersensitif. Taman
Penelitian ini melihat potensi
terapi hiposensitif ditujukan untuk anak-
pengembangan terapi okupasi pada studi
anak agar lebih aktif, berbentuk tegas, ada
kasus terpilih pada SLB Sumber Dharma
area bermain yang cukup luas. Taman
Malang. Taman yang dikembangkan
terapi hipersensitif ditujukan untuk-anak
dengan tema taman edukasi bagi anak
yang terlalu aktif bergerak agar lebih
difabel dengan wujud taman sensorik.
tenang. Area taman yang dikembangkan
Berdasarkan informasi dari guru bahwa
dengan pola lunak dan melingkar, fitur air
anak-anak autis dapat distimulus untuk
berirama rendah untuk efek
kondisi yang lebih baik dengan
menenangkan.
membentuk taman tematik. Taman
sensorik yang dimaksudkan adalah terapi
Taman edukasi menurut Ramadhani
yang dibagi menjadi zona tertentu untuk
(2016) merupakan pemanfaatan taman
merangsang panca indera. Berikut adalah
sebagai media untuk pembelajaran
kriterianya yang dijelaskan oleh Prabowo
dengan menggunakan pengalaman secara
(2015) : (a) indera penglihatan,
langsung, sehingga siswa lebih mudah
penggunaan warna pada tanaman seperti
untuk mempelajari. Adapun contohnya
bunga dan buah yang mencolok,
adalah pengenalan tumbuhan pada
(b) indera pengecap, tanaman yang
pelajaran IPA dengan melihat objeknya
disediakan bisa langsung dipetik dan
langsung berada di taman. Lauren (2012)
dimakan seperti jeruk, tomat dan
juga menyebutkan bahwa ruang terbuka
belimbing, (c) indera penciuman, adanya
atau taman sering digunakan sebagai
tanaman beraroma wangi seperti lavender
284

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

dan rose, (d) indera peraba, penggunaan b. Taman terapi sensorik, area taman
bahan bangunan pada alur jalan yang dibagi menjadi taman untuk
berbeda teksturnya, (e) indera merangsang visual, pengecap,
pendengaran, menyediakan area burung penciuman, peraba dan pendengaran.
berkicau dan suara air mancur. Dengan Adapun penerapan konsep taman
adanya area sensorik ini dapat melatih sensorik dapat berpengaruh terhadap
tingkat kefokusan dari anak-anak autis. perilaku anak siswa yang sebelumnya
memiliki dunia sendiri menjadi lebih
fokus terhadap sesuatu, seperti
Lebih spesifik tentang konsep taman warna, rasa, bau, tekstur dan suara.
edukasi dan terapi untuk anak autis pada c. Sebagai taman edukasi, taman
SLB Sumber Dharma sebagai berikut, sebagai aplikasi mata pelajaran
dengan pengenalan jenis tanaman
a. Konsep ruang dibagi menjadi 2 jenis
(outdoor learning process) dan disediakan
yaitu untuk autis hiposensitif dan
area bercocok tanam untuk belajar
hipersensif. Perbedaannya,
merawat, menyiram dan memanen.
hiposensitif disediakan ruang untuk
melatih keaktifan seperti area
Taman edukasi dapat digunakan sebagai
bermain aktif (perosotan, ayunan,
sarana terapi okupasi dimana terdapat
dan sebagainya) yang dinilai aman.
objek terapi yang meliputi fisik dan
Hipersensitif perlu disediakan taman
mental. Fisik dapat memberikan terapi
yang menenangkan seperti adanya
yang membantu melatih gerakan kaki dan
area teduhan berupa pohon atau
atau tangan. Misalnya saja dengan lempar
gazebo. Alur ruang secara linear atau
bola, menendang bola, dan sebagainya.
mengarahkan siswa untuk merasakan
Mental dapat memberikan terapi yang
ruangan secara urut. Taman
dapat melatih dan mengembangkan
hiposensitif berada di taman depan
bakat, kreativitas dan rasa percaya diri.
dengan eksisting tempat bermain dan
Bentuk kegiatan yang dilakukan di SLB
penataan tanaman, taman
adalah berupa permainan dengan
hipersensitif berada di ruang tengah
menggunakan terapi yang berbentuk
karena suasana lebih tenang.
bermain untuk memberikan kesenangan
dan sosialisasi yang baik. Misalnya dengan
285

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

bermain lempar bola, bermain tebak kata, luang, dan partisipasi sosial. Hal yang juga
dan sebagainya. diperhatikan pada tahap awal atau
kognitif ini adalah membangkitkan ide
Terapi okupasi secara individu dapat saat waktu luang, mempelajari berapa
dilaksanakan pada taman atau area banyak kemungkinan atau waktu yang
outdoor dengan beberapa tahapan dihabiskan, membandingkan beberapa
berikut. Menurut Tirta & Putra (2008) kegiatan yang menyenangkan dibanding
dan Untari (2006). Adapun tahapan terapi bekerja, mengatur waktu untuk hal yang
okupasi, antara lain: menyenangkan (kebutuhan, pilihan,
a. Tahap Evaluasi hambatan, dan minat), dan mengatur
Tahap evaluasi sangat menentukan bagi waktu diri sendiri. Keterampilan dasar
tahap-tahap berikutnya. Pada tahap awal yang diharapkan mendapatkan
ini mulai dibentuk hubungan kerjasama keterampilan, memproses keterampilan,
antara guru dan anak, yang kemudian menyalurkan keterampilan, dan
akan dilanjutkan selama tahap terapi ketegasan. Guru menanyakan kebiasaan
okupasi. Tahap ini juga disebut tahapan sehari-hari dan memberikan pengetahuan
kognitif yang memfokuskan kemampuan tentang tanaman pada siswa, khususnya
pekerjaan yang berorientasi pada pada mata pelajaran IPA.
keterampilan kognitif. Tahap evaluasi b. Tahap Intervensi
dibagi menjadi 2 langkah. Langkah Tahap intervensi yang terbagi dalam 3
pertama adalah profil pekerjaan langkah, yaitu rencana intervensi,
(occupational profile) dimana guru implementasi intervensi, dan peninjauan
mengumpulkan informasi mengenai (review) intervensi. Rencana intervensi
riwayat pola hidup sehari-hari, minat, dan adalah sebuah rencana yang dibangun
kebutuhannya. Langkah kedua adalah berdasar pada hasil tahap evaluasi dan
analisa tampilan pekerjaan (analysis of menggambarkan pendekatan terapi
occupational performance). Tampilan okupasi serta jenis intervensi yang
pekerjaan yang dimaksud adalah terpilih, guna mencapai target hasil akhir
kemampuan untuk melaksanakan yang ditentukan. Rencana intervensi ini
aktivitas dalam kehidupan keseharian, dibangun secara bersama-sama dengan
yang meliputi aktivitas dasar hidup sehari- anak (termasuk pada beberapa kasus bisa
hari, pendidikan, bermain, mengisi waktu bersama keluarga atau orang lain yang
286

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

berpengaruh), dan berdasarkan tujuan secara individual maupun kelompok


serta prioritas anak. Rencana intervensi maka guru harus mempersiapkan terlebih
yang telah tersusun kemudian dahulu segala sesuatunya yang
dilaksanakan sebagai implementasi menyangkut pelaksanaan kegiatan
intervensi yang mana diartikan sebagai tersebut. Anak juga perlu dipersiapkan
tahap keterampilan dalam mempengaruhi dengan cara memperkenalkan kegiatan
perubahan tampilan pekerjaan anak, dan menjelaskan tujuan pelaksanaan
membimbing mengerjakan pekerjaan atau kegiatan tersebut sehingga anak lebih
aktivitas untuk mendukung partisipasi. mengerti dan berusaha untuk ikut aktif.
Langkah ini adalah tahap bersama antara Jumlah anggota dalam suatu kelompok
anak, ahli, dan asisten terapi okupasi. disesuaikan dengan jenis aktivitas yang
Implementasi intervensi terapi okupasi akan dilakukan dan kemampuan guru
dapat dilakukan baik secara individual mengawasi. Sedangkan peninjauan
maupun berkelompok, tergantung dari intervensi diartikan sebagai suatu tahap
keadaan siswa, tujuan terapi, dan lain-lain. berkelanjutan untuk mengevaluasi dan
Metode individual bertujuan untuk meninjau kembali rencana intervensi
mendapatkan lebih banyak informasi dan sebelumnya, efektivitas pelaksanaannya,
sekaligus untuk evaluasi anak, pada anak sejauh mana perkembangan yang telah
yang belum dapat atau mampu untuk dicapai untuk menuju target hasil akhir.
berinteraksi dengan cukup baik didalam Bilamana dibutuhkan, pada langkah ini
suatu kelompok sehingga dianggap akan dapat dilakukan perubahan terhadap
mengganggu kelancaran suatu kelompok, rencana intervensi.
dan siswa yang sedang menjalani latihan c. Tahap Hasil Akhir
kerja dengan tujuan agar guru dapat Tahap terakhir pada terapi okupasi adalah
mengevaluasi anak lebih efektif. hasil akhir (outcome). Hasil akhir disini
diartikan sebagai dimensi penting dari
Metode kelompok dilakukan untuk siswa kesehatan yang berhubungan dengan
lama atas dasar seleksi dengan masalah intervensi, termasuk kemampuan untuk
atau hampir bersamaan, atau dalam berfungsi, persepsi kesehatan, dan
melakukan suatu aktivitas untuk tujuan kepuasaan dengan penuh perhatian. Pada
tertentu bagi beberapa siswa sekaligus. tahap ini ditentukan apakah sudah
Sebelum memulai suatu kegiatan baik berhasil mencapai target hasil akhir yang
287

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

diinginkan atau tidak. Jadi hasil akhir orang, tempat, dan waktu. Orientasi
dalam bentuk tampilan okupasi, memerlukan waktu kurang lebih 5 menit.
kepuasaan anak, kompetensi aturan, Aktivitas yang dilakukan selama tahapan
adaptasi, pencegahan, dan kualitas hidup. orientasi adalah guru melakukan orientasi
kegiatan.
Setiap siswa akan melakukan terapi b. Tahap Pendahuluan (Introduction)
okupasi kelompok harus direncanakan Tahap pendahuluan adalah tahap
dahulu. Guru melakukan kontrak kepada perkenalan baik dari guru maupun anak.
kelompok. Guru dan kelompok Guru memperkenalkan diri baru
mempertimbangkan tempat, lokasi yang kemudian masing-masing anak
kondusif, alat, dan bahan yang harus menyebutkan nama dan alamatnya. Cara
disiapkan. Menurut Untari (2006) adapun yang biasa digunakan adalah dengan
tahapan aktivitas terapi okupasi melemparkan balon yaitu anak harus
kelompok, yaitu: menyebutkan nama apabila mendapatkan
a. Orientasi bola yang telah dilempar. Setiap kali
Orientasi sangat membantu anak untuk seorang anak selesai memperkenalkan
mengikuti kelompok terapi. Tujuan diri, guru mengajak semua anak untuk
orientasi adalah meyakinkan bahwa anak bertepuk tangan. Tahap pendahuluan
mempunyai orientasi yang baik tentang memerlukan waktu 5-10 menit.

Gambar 3. Contoh buku pegangan guru yang membuktikan pemanfaatan


taman untuk kegiatan belajar mengajar
288

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

c. Tahap pemanasan (Warm-up activities) kognitif, motorik, dan interaksi yang akan
Setelah melakukan proses dikembangkan. Biasanya aktivitas yang
memperkenalkan diri, guru mengajak dipilih adalah aktivitas dengan aturan
anak untuk aktivitas pemanasan (warm- sederhana dan aktivitas yang dilakukan
up activities). Tahap ini memerlukan sebaiknya disesuaikan dengan tujuan yang
waktu 5-10 menit. Aktivitas yang ingin dicapai. Guru memberikan pujian
digunakan adalah latihan fisik sederhana setiap kali siswa selesai melakukan terapi
(simple physical exercise). Tujuannya okupasi dengan baik dan mengajak
adalah meningkatkan perhatian dan minat anggota kelompok bertepuk tangan.
siswa melalui gerakan dasar tubuh dan e. Tahap Terminasi
agar siswa mampu mengikuti aturan atau Tahap ini menandakan bahwa terapi
instruksi sederhana seperti berputar, okupasi akan berakhir. Guru dan anak
turunkan tangan, dan lain-lain. mengumpulkan material (alat-bahan)
d. Tahap aktivitas terpilih (selected activities) bersama-sama dan mengadakan diskusi
Tahap ini memerlukan waktu 10-20 kecil tentang jalannya proses terapi
menit. Mempertimbangkan kebutuhan okupasi.

Gambar 4. Hasil karya siswa SLB berupa taman vertikal sayuran hasil dari
kegiatan terapi okupasi

umumnya. Di sekolah banyak aktivitas


KESIMPULAN yang dapat dilakukan anak baik di dalam
Anak autis ataupun tuna grahita memiliki ruang maupun aktivitas yang di luar
kecenderungan kurang fokus dan pola ruang. Salah satu aktivitas yang dilakukan
pemikiran yang berbeda dengan orang di luar ruang adalah bermain di taman
normal, sehingga diperlukan stimulus agar sekolah. Fungsi dari taman sekolah adalah
memiliki kepekaan seperti pada untuk taman edukasi dimana dapat
289

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

diberikan terapi okupasi pada siswa (Introduction), (3) Tahap pemanasan


sekolah. Pihak yang ada di sekolah juga (Warm-up activities), (4) Tahap aktivitas
dapat mengarahkan minat dan hobi siswa terpilih (selected activities) dan (5) Tahap
sehingga tertuang pada hal-hal atau Terminasi.
aktivitas yang positif. Terapi okupasi
sebagai sarana terapi sensorik, siswa dapat REFERENSI
meningkatkan ketajaman inderanya Baskara, M. (2011). Prinsip Pengendalian
melalui visual, pendengaran, peraba, Perancangan Taman Bermain
pengecap dan penciuman, sehingga Anak di Ruang Publik. Jurnal
tercapai titik fokus tertentu yang tidak Lanskap Indonesia, 3 (1), pp. 27-34.
menyebar. Sebagai sarana edukasi, siswa Haliimah, M., Asikin, D., dan Razziati
juga dilatih untuk mengenal lebih dekat H. (2014). Taman Sensori pada
tentang tanaman, merawat dan Ruang Luar Autism Center di Kota
memanennya sehingga mendapatkan Batu. (Online).
pengalaman langsung. Terapi okupasi (http://download.portalgaruda.or
juga berfungsi dengan menggunakan g/article.php?article. Diakses 13
konsep taman edukasi yang bisa April 2017
diterapkan di sekolah luar biasa di Kota Lauren, G.M. (2012). Desain Taman
Malang. Taman edukasi dapat digunakan Lingkungan untuk Anak Usia
sebagai sarana terapi okupasi dimana Sekolah Dasar Di Cluster Callysta
terdapat objek terapi yang meliputi fisik Permata, Perumahan Permata Bintaro,
dan mental. Bentuk kegiatan yang Tangerang Selatan. (online)
dilakukan adalah pengenalan jenis http://repository.ipb.ac.id/handle
tanaman dan berocok tanam yang /123456789/61159. Diakses 21
menggunakan terapi bermain dan April 2017.
memberikan dampak bersosialisasi Nasution. (2004). Metode Research
semakin berkembang. Adapun tahapan (Penelitian Ilmiah). Jakarta : Bumi
terapi okupasi, antara lain: (1) Tahap Aksara.
Evaluasi, (2) Tahap Intervensi dan (3) Prabowo, B. A. (2015). Sensory Garden
Tahap Hasil Akhir. Tahap terapi okupasi Sebagai Konsep Arsitektur Untuk
kelompok dapat dilakukan dengan (1) Terapi Autisme. (Online).
Orientasi, (2) Tahap Pendahuluan (http://archadipa.com/index.php
290

Jurnal Care Vol .5, No2,Tahun 2017

/2015/07/27/sensory-garden- Tirta & Putra (2008). Terapi okupasi.


sebagai-konsep-arsitektur-untuk- http://klinikotcponorogo.co.id/2
autisme/). Diakses 13 April 2017 012/01/terapi-okupasi.html
Ramadhani, W.S. (2016). Penerapan Untari (2006). Terapi okupasi.
Pembelajaran Outdoor Learning http://klinikotcponorogo.co.id/2
Process (OLP) Melalui 012/01/terapi-okupasi.html
Pemanfaatan Taman Sekolah Wahyuni, E. (2015). Sekolah Luar Biasa
Sebagai Sumber Belajar Materi Autis Boyolali Berbasis Alam dengan
Klasifikasi Tumbuhan Untuk Penekanan Taman Terapi. (Online).
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa (http://eprints.ums.ac.id/38805/1
SMP. Jurnal Pendidikan Sains, 4 (3), /PUBLIKASI.pdf
pp. 1-7.
JURNAL ORTOPEDAGOGIA, VOLUME 6 NOMOR 1 JULI 2020: 1- 6
E-ISSN : 2528-2980
P-ISSN : 2355-1143
http://journal2.um.ac.id/index.php/jo

FILE DITERIMA : 18 Aug 2019 FILE DIREVIEW: 07 Jan 2020 FILE PUBLISH : 03 Jul 2020

Melatih Motorik Halus Anak Autis Melalui Terapi Okupasi

Riza Mahdalena1, M. Shodiq2, Dimas Arif Dewantoro3

Universitas Negeri Surabaya


q

Universitas Negeri Malang


2,3

Email: rizamahdalena1997@gmail.com

Abstrak: Pengaruh Terapi Okupasi Menggunting untuk Meningkatkan Motorik Halus Anak Autis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh keterampilan menggunting pada motorik halus
anak Autis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Kuantitatif dengan rancangan
Single Subject Research (SSR). Data dianalisis dengan pretest dan posttest. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terapi okupasi menggunting dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak autis.
Kata Kunci: Terapi Okupasi Menggunting, Motorik Halus, Anak Autis.

Abstract: The effect of cutting occupational theraphy to increase soft motoric of Children with Autism.
The purpose of this research is to test the influence of the skill of cutting on soft motoric of Children
with Autism. This research was conducted using a quantitative with the draft of Single Subject Research
(SSR). The data were analyzed with pretest and posttest. The results showed that occupational theraphy
cutting can improve soft motoric skills of Children with Autism.
Keywords: Cutting Occupational Theraphy, Soft Motoric, Children with Autism.

PENDAHULUAN anak masih menunjukkan keterlambatan dalam


keterampilan motorik halusnya terutama di bidang
Autis adalah kurang mampunya seorang anak untuk menggunting, yang ditandai dengan adanya anak
berhubungan dengan orang lain, gangguan anak dalam yang belum tepat dalam menggunting sesuai garis
berbahasa yang terlihat dari adanya penguasaan yang dan bentuk. Kasus tersebut disebutkan bahwa anak
tertunda, mutest, acholalia, pembalikan kalimat, serta mengalami kesulitan dalam pengembangan motorik
adanya aktivitas bermain yang sereotype dan repetitive, halus, yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
ingatan yang kuat serta ambisi yang besar untuk faktor lingkungan, kematangan, kesempatan, belajar
mempertahankan keteraturan di dalam lingkungan dan berlatih. Faktor penyebab yang lain yaitu lemahnya
(Bektiningsih, 2009). Sehingga dalam pelayanannya koordinasi mata dengan otot-otot tangan. Menurut
pada bidang pendidikan sebaiknya lebih ditekankan Rahayu (2014), penyebab autis sangat kompleks, yang
pada materi yang bersifat konkrit dan menghindari telah diketahui sekarang adalah adanya gangguan pada
materi yang bersifat abstrak. Menurut Bektiningsih fungsi syaraf pusat. Gangguan ini diakibatkan karena
(2009) autisme (juga dikenal sebagai autisme infantile), adanya kelainan pada struktur otak yang mungkin
adalah gangguan yang ditandai dengan adanya terjadi pada saat janin berusia 3 bulan. Ibu mungkin
gangguan yang dilakukan secara berturut-turut pada mengidap virus TORCH (tokso, rubella, cytomegali,
interaksi sosial timbal balik, adanya penyimpangan herpes), mengkonsumsi makan-an yang mengandung
dalam berkomunikasi, serta pola perilaku yang zat kimia yang dapat merusak pertumbuhan sel otak,
terbatas. Sehingga anak dengan hambatan autisme mengalami pendarahan yang hebat, dan menghirup
membutuhkan komunikasi yang sangat mudah agar udara beracun.
anak mengerti apa yang sedang diomunikasikan.
Faktor genetik juga berpengaruh terhadap
Menurut Bektiningsih (2009) autisme adalah terjadinya gangguan autis. Diperkirakan kehidupan
gangguan yang terjadi dalam perkembangan fungsi manusia zaman sekarang terlalu banyak menggunakan
otak yang mencakup bidang sosial, imajinasi, serta zat kimia beracun yang dapat menyebabkan mutasi
komunikasi verbal (bahasa) dan nonverbal. Setiap kelainan genetik (Pradipta, 2019). Pencernaan yang
anak pada umumnya mengalami masa berkembang. buruk juga menyebabkan terjadinya gangguan autis,
Salah satunya yaitu perkembangan pada kemampuan adanya jamur yang terlalu banyak di usus sehingga
motorik anak. Berdasarkan pengamatan di SLB dapat menghambat terjadinya sekresi enzim. Usus
Autis Laboratorium Universitas Negeri Malang, tidak dapat menyerap sari-sari makanan tetapi
keterampilan motorik halus dari beberapa anak di berubah menjadi “morfin” yang mempengaruhi masa
tingkat SMP belum terlalu berkembang. Beberapa perkembangan pada anak.

1
2 JURNAL ORTOPEDAGOGIA, VOLUME 6 NOMOR 1 JULI 2020: 1- 6

Menurut Praminta dan Christiana (2014), motorik METODE


halus adalah gerakan yang memanfaatkan bagian-
bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot Jenis penelitian yang digunakan merupakan
kecil, sehingga gerakan motorik halus tidak terlalu penelitian eksperimen kuantitatif deskriptif. Menurut
membutuhkan tenaga akan tetapi membutuhkan Sugiyono (2016), metode eksperimen adalah metode
koordinasi yang cermat serta ketelitian. Contoh dari penelitian yang digunakan untuk mencari adanya
gerakan yang menggunakan motorik halus adalah pengaruh dari perlakuan tertentu terhadap hal yang
gerakan mengambil benda dengan menggunakan lain dalam keadaan yang dapat dikendalikan. Sunanto,
ibu jari dan telunjuk tangan, menjahit, menggunting, dkk (2006) berpendapat bahwa desain penelitian
menulis, menggambar, dan sebagainya. Pergerakan eksperimen secara garis besar dapat dibedakan
saat menggunting memanfaatkan bagian-bagian tubuh menjadi dua kelompok, yaitu desain kelompok
tertentu dan diawali dengan adanya perkembangan pada dan desain subyek tunggal. Penelitian “Pengaruh
otot-otot kecil seperti keterampilan menggunakkan Terapi Okupasi Menggunting Untuk Meningkatkan
jari-jemari tangan dan gerakan pergerakan tangan Motorik Halus Anak Autis” menggunakan pendekatan
yang luwes, melatih koordinasi mata anak. Salah kuantitatif dengan rancangan Single Subject Research
satu pencapaian perkembangan terdapat kemampuan atau penelitian dengan subyek tunggal, yaitu penelitian
menggunting mengikuti garis lurus, melengkung, yang hanya fokus pada data individu sebagai sampel
lingkaran, segi empat, segi tiga, dan menggunting se- penelitian. Metode ini dipilih karena penelitian ini
suai dengan pola (Raharjo dkk, 2014). tidak menggunakan kinerja antar kelompok, melainkan
membandingkan subjek yang sama dalam kondisi
Pembelajaran motorik halus di sekolah adalah
yang berbeda yaitu kelompok baseline dan intervensi.
pembelajaran yang menghubungkan keterampilan fisik
Baseline (A) adalah keadaan dimana pengukuran
dengan otot kecil dan koordinasi antara mata dengan
target behavior dilakukan sebelum diberikan intervensi
tangan. Saraf motorik halus bisa dilatih dan dikembang-
apapun, sedangkan intervensi (B) adalah keadaan
kan dengan adanya kegiatan dan rangsangan yang
dimana target behavior diberikan perlakuan atau
dilakukan secara rutin dan terus menerus (Praminta
intervensi. Tahapan yang dilakukan dalam desain
dan Christiana, 2014). Indriyani (2014) menyatakan
A-B-A meliputi pengumpulan data target behavior
bahwa keterampilan motorik adalah keterampilan
pada kondisi baseline-1 (A1). Setelah data stabil pada
seseorang dalam menampilkan gerak dasar sampai
kondisi baseline, selanjutnya intervensi diberikan
gerak yang lebih kompleks. Keterampilan motorik
secara kontinyu hingga mencapai trend dan level yang
halus adalah keterampilan yang memerlukan kontrol
jelas. Kemudian kegiatan baseline diulang lagi pada
dari otot kecil, dan membutuhkan tingkat kecermatan
subjek yang sama (A2).
yang tinggi. Proses perkembangan motorik halus
pada pendidikan luar biasa sebaiknya mendapatkan Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu
perhatian dari pendidik dengan perhatian yang benar. variabel terikat dan variabel bebas. Menurut Sunanto,
Guru sebagai salah satu motivator dari keberhasilan dkk (2006) penelitian eksperimen meng-gunakan
dalam pembelajaran di Sekolah Luar Biasa selalu variabel terikat dan variabel bebas. Variabel bebas
mengupayakan agar pembelajaran berjalan sesuai dikenal dengan istilah intervensi atau perlakuan,
dengan kaidah-kaidah pembelajaran yang berlaku. sehingga variabel bebas penelitian ini adalah
keterampilan menggunting, sedangkan variabel
Menurut Praminta dan Christiana (2014),
terikatnya peningkatan kemampuan motorik halus
menggunting adalah kegiatan memotong atau
anak. Penelitian ini menggunakan teknik menggunting
memangkas dengan memakai gunting. Menggunting
dengan berbagai pola yang terdiri dari 5 pola yang setiap
dapat melatih anak agar dapat memanfaatkan alat dan
pola anak diminta untuk meng-gunting sebanyak 1 kali.
melatih keterampilan dalam memotong objek gambar.
Penelitian ini terdiri dari 3 sesi dalam tiap baseline
Menggunting akan membantu mengembangkan
dan 5 sesi dalam intervensi dimana 1 sesi terdiri dari
motorik halus anak karena dengan kegiatan
2 jam pelajaran (60 menit). Target behavior dilihat dari
menggunting yang tepat, memilih bagian yang harus
banyaknya jumlah persentase guntingan yang sesuai
digunting merupakan latihan motorik dan keterampilan
dengan pola, yaitu sebanyak 5 pola. Subjek yang
yang baik untuk anak. Kegiatan menggunting dapat
dijadikan penelitian adalah 2 anak laki-laki berinisial B
dilakukan dengan kegiatan menggunting kertas sesuai
dan M di SLB Autis Laboratorium Universitas Negeri
dengan pola yang diminta. Penelitian ini bertujuan
Malang. Kemampuan motorik halus B dan M saat ini
untuk menguji pengaruh keterampilan menggunting
belum dilakukan dengan maksimal, hanya sekedar
pada motorik halus anak autis di SLB. Pengaruh
menggunting tanpa mengetahui pola yang ada. B
terapi okupasi menggunting dapat dilihat dari adanya
merupakan anak autis yang tergolong pasif, dia sering
perbedaan skor pretest dan posttest yang diperoleh
diam jika tidak diberi kegiatan.
anak.
Riza Mahdalena, M. Shodiq, Dimas Arif Dewantoro, Melatih Motorik Halus Anak Autis Melalui Terapi Okupasi 3

M merupakan anak autis yang biasa saja, tidak halus anak autis. Terapi kesibukan atau yang biasa
aktif dan juga tidak pasif. Dia sangat menyukai disebut terapi okupasi adalah terapi yang bertujuan
kegiatan menggambar, sehingga dia sering untuk membantu se-seorang dalam menguasai gerak
menggambar di buku manapun. M harus didampingi motorik halus yang lebih baik. Terapi okupasi ini
dalam mengerjakan soal, karena jika tidak didampingi dilakukan untuk menguatkan, memperbaiki koordinasi
dia akan menggambar apa saja yang dia inginkan. dan ke-terampilan otot pada anak autis (Hasnita dan
Pada penelitian ini instrumen yang digunakan Hidayati, 2017).
adalah lembar observasi atau lembar pengamatan Menurut Irawan (2015), terapi okupasi adalah
yang sudah dimodifikasi sesuai dengan komponen terapi yang melatih gerakan halus dari tangan dan
keterampilan menggunting. Selain itu juga integrasi dari gerakan dasar yang sudah dikuasai
menggunakan lembar soal lisan dan lembar penilaian melalui adanya alat-alat dan permainan yang se-
yang dimodifikasi sesuai dengan kemampuan subjek suai. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat
penelitian dan sesuai dengan kemampuan yang akan disimpulkan bahwa te-rapi okupasi adalah terapi yang
diukur. digunakan untuk melatih motorik halus anak dengan
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu adanya permainan atau alat-alat yang sesuai dengan
(1) Observasi melalui pengamatan langsung terhadap kondisi pada anak. Indriyani (2014) mengemukakan
subyek penelitian untuk mengamati sejauh mana bahwa menggunting adalah kegiatan memotong
kemampuan subyek penelitian sebelum diberikan berbagai jenis kertas atau bahan-bahan lain dengan
intervensi (pre-test), saat intervensi dan setelah mengikuti alur, garis atau bentuk-bentuk tertentu yang
intervensi (post-test). Dalam penelitian ini observasi merupakan salah satu kegiatan untuk mengembangkan
yang diberikan memiliki tujuan untuk mengetahui kemampuan motorik halus anak. Koordinasi mata dan
kemampuan motorik halus anak autis yang menjadi tangan dapat berkembang dengan adanya kegiatan
subyek penelitian. (2) Dokumentasi berupa foto-foto menggunting. Saat menggunting, jari jemari anak akan
selama kegiatan penelitian berlangsung, yakni selama bergerak sesuai pola bentuk yang akan digunting.
kegiatan fase baseline awal (A1), intervensi (B) dan Pergerakan saat menggunting hanya melibatkan
baseline kedua (A2). (3) Tes Kinerja yang bertujuan bagian-bagian tubuh tertentu dan diawali dengan adanya
untuk mengetahui kemampuan motorik halus anak perkembangan otot-otot kecil seperti keterampilan
autis yang menjadi subyek penelitian. menggunakan jari-jemari tangan dan pergerakan ta-
Pada penelitian kasus subjek tunggal ini ngan yang luwes, melatih koordinasi mata anak. Salah
penggunaan statistik yang kompleks tidak dilakukan satu pencapaian perkembangan terdapat kemampuan
tetapi lebih banyak menggunakan statistik deskriptif menggunting mengikuti garis lurus, melengkung,
yang sederhana. Analisis statistik deskriptif merupakan lingkaran, segi empat, segi tiga, dan menggunting
analisis visual yang terdiri dari analisis dalam kondisi sesuai dengan pola (Raharjo dkk, 2014). Dari beberapa
dan analisis antar kondisi karena penelitian dengan pendapat diatas membuat peneliti ingin membuktikan
subjek tunggal lebih berfokus pada data individu pengaruh kegiatan menggunting dapat meningkatkan
daripada kelompok. Dalam menganalisa data pada kemampuan motorik halus anak autis.
penelitian dengan subjek tunggal ada beberapa hal,
diantaranya pembuatan grafik, penggunaan statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN
deskriptif dan penggunaan analisa visual. Penggunaan
analisis grafik diharapkan dapat memperjelas gambaran Hasil
dari suatu kondisi eksperimen baik sebelum perlakuan
(baseline-1) maupun pada saat setelah diberi perlakuan Penelitian dilaksanakan dengan metode penelitian
(intervensi) dan perubahan-perubahan yang terjadi Single Subject Research (SSR) dengan desain A-B-A
setelah perlakuan (baseline-2). Data dianalisis dengan sebanyak 11 sesi. Dengan rincian 3 sesi baseline-1
menggunakan teknik analisis visual grafik, dimana (A1), 5 sesi intervensi (B) dan 3 sesi baseline-2 (A2).
hasil data-data diplotkan ke dalam bentuk grafik. Kondisi baseline-1 (A1) dimulai dari sesi pertama
Selanjutnya data-data tersebut dianalisis berdasarkan sampai sesi ketiga. Kemudi-an kondisi intervensi (B)
komponen-komponen pada setiap kondisi (A-B-A), dimulai dari sesi keempat sampai sesi kedelapan. Dan
yaitu berupa analisis dalam kondisi dan analisis antar kondisi baseline-2 (A2) dimulai dari sesi kesembilan
kondisi. sampai sesi ke-sebelas. Dalam penelitian ini terdapat
Terapi-terapi yang dapat diberikan pada anak pengulangan pada kondisi baseline karena pada kondisi
autisme antara lain yaitu terapi okupasi, terapi wicara, baseline-2 (A2) digunakan untuk menarik kesimpulan
terapi medikamentosa, terapi bermain, terapi melalui tentang pengaruh intervensi terhadap target behavior.
makanan, terapi sensori integrasi, terapi auditori, dan Pada kondisi baseline anak diberi 5 pola di
terapi biomedis (Raharjo dkk, 2014). Dalam hal ini setiap sesinya tanpa memberikan perlakuan se-
peneliti me-milih untuk menggunakan terapi okupasi dikitpun, sedangkan pada kondisi intervensi anak
dengan menggunting untuk me-ngembangkan motorik mengerjakan soal intervensi (menyamakan gambar
4 JURNAL ORTOPEDAGOGIA, VOLUME 6 NOMOR 1 JULI 2020: 1- 6

pada kartu gambar dan mencocokkan gambar dengan tentang kemampuan anak sebelum diberikan perlakuan
bentuknya), kemudian anak menggunting pola yang atau intervensi cukup rendah. Ini dibuktikan dengan
ada di kertas dengan menggunakan gunting yang nilai pada kondisi baseline-1 (A1) sesi pertama hingga
disediakan oleh peneliti. Data kemudian dikumpulkan sesi ketiga anak memperoleh nilai 75%. Kemampuan
pada lembar kerja. Pada lembar kerja peneliti akan motorik halus anak tidak mengalami adanya perubahan
mengoreksi pekerjaan anak lalu memberi nilai sesuai sehingga menyebabkan estimasi kecenderungan arah
dengan kriteria penilaian yang terdapat pada Rencana dan jejak datanya tidak terdapat perubahan (=). Mean
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) intervensi. Data yang level pada kondisi baseline-1 (A1) adalah sebesar 75
dikumpulkan akan dikonversikan kedalam bentuk dengan batas atas 80,6 dan batas bawah sebesar 69,4
persentase (%). Nilai pada masing-masing indikator perhitungan kecenderungan stabilitas berdasarkan
dihitung dengan cara skor yang diperoleh anak mean level, batas atas dan batas bawah sehingga
dibagi skor maksimal lalu dikalikan 100%. Hasil skor diperoleh kecenderungan stabilitas kondisi baseline-1
tersebut kemudian dianalisis berdasarkan komponen- sebesar 100%, yang artinya data stabil karena kriteria
komponen pada setiap kondisi (A-B-A), yaitu berupa stabilitas yang digunakan adalah 80-90% pada kondisi
analisis dalam kondisi dan analisis antar kondisi, yang ini, data menunjukan hasil stabil dengan rentang 75%.
kemudian diplotkan dalam bentuk visual data grafik. Setelah data stabil, kemudian intervensi diberikan
Keterangan pada tentang perolehan hasil penelitian kepada anak. Jika data pada kondisi baseline-1 sudah
kemampuan motorik halus anak autis ini menunjukan stabil, bisa dilaksanakan intervensi.
bahwa kemampuan motorik halus anak autis pada Namun jika data belum stabil maka kondisi
kondisi baseline-1 cukup baik dengan perolehan hasil intervensi belum bisa dilakukan. Perubahan level pada
75% dari sesi kesatu hingga sesi ketiga. Kemudian kondisi ini adalah sebesar (0) yang artinya kemampuan
anak diberi perlakuan berupa kegiatan menggunting motorik halus anak tidak ada perubahan. B merupakan
pada kondisi intervensi, arah grafik anak menunjukkan anak autis yang mempunyai karakteristik terlambat
hasil yang sama dengan nilai pada kondisi baseline-1, dalam perkembangannya dan cenderung melakukan
dengan nilai tertinggi 75% dan nilai terendah 62,5%. sesuatu secara berulang-ulang, hal tersebut terkait
Pada kondisi baseline-2 menunjukan hasil dengan nilai dengan pendapat Rahayu (2014), bahwa karakteristik
yang sama dari sesi kesembilan sampai sesi kesebelas dari anak autis yang sering muncul pada masa anak-
yaitu 81,25% namun nilai ini lebih tinggi dari pada anak diantaranya yai; (1) perkembangan terlambat, (2)
nilai pada kondisi baseline-1 yang semua nilainya memiliki rasa ketertarikan pada benda yang berlebihan,
adalah 75%. Selama baseline-1 sampai baseline-2, B (3) menolak ketika dipeluk, (4) memiliki kelainan
mengalami peningkat-an dalam memegang gunting, sensoris, dan (5) memiliki kecenderungan untuk
meskipun sedikit peningkatannya. melakukan sesuatu secara berulang-ulang (Firdaus &
Keterangan pada grafik 2 tentang perolehan hasil Pradipta, 2020).
penelitian kemampuan motorik halus anak autis ini Setelah dilakukan penilaian dan analisis terhadap
menunjukan bahwa kemampuan motorik halus anak penilaian B, diperoleh data tentang kemampuan motorik
autis pada kondisi baseline-1 baik dengan perolehan halus anak setelah dilakukan perlakuan atau intervensi
hasil 87,5% pada sesi pertama dan 81,25% pada sesi sudah baik. Ini dibuktikan dengan nilai yang sama pada
kedua dan ketiga. Kemudian anak diberi perlakuan sesi kesembilan sampai sesi kesebelas, yaitu sebesar
berupa kegiatan menggunting pada kondisi intervensi, 81,25%. Pada kondisi baseline-2 (A2) kemampuan
arah grafik anak menunjukkan hasil yang sama dengan motorik halus anak autis tidak mengalami perubahan,
nilai pada kondisi baseline-1, dengan nilai tertinggi sehingga menyebabkan estimasi kecenderungan arah
87,5% dan nilai terendah 68,75%. Pada kondisi dan jejak datanya tidak mengalami perubahan (0).
baseline-2 menunjukan hasil dengan nilai 87,5% pada Mean level pada kondisi ini adaslah sebesar 81,25
sesi kesepuluh dan 93,75% pada sesi kesembilan dan dengan batas atas sebesar 87,35 dan batas bawah
kesebelas, nilai ini lebih tinggi dari pada nilai pada sebesar 75,15 perhitungan kecenderungan stabilitas
kondisi baseline-1, yaitu nilai tertinggi adalah 87,5% berdasarkan mean level, batas atas dan batas bawah
dan nilai terendah adalah 81,25%. Selama baseline-1 sehingga diperoleh kecenderungan stabilitas kondisi
sampai baseline-2, M mengalami peningkatan. baseline-1 sebesar 100% yang artinya data stabil karena
kriteria stabilitas yang digunakan adalah 80-90%.
Pembahasan Pada kondisi ini, data menunjukan hasil stabil dengan
rentang 75%. Perubahan level pada kondisi baseline-2
Manfaat menggunting adalah motorik halus anak ini adalah sebesar (0) yang artinya kemampuan motorik
akan makin kuat apabila sering berlatih menggunting. halus anak tidak mengalami perubahan. Namun bukan
Gerakan menggunting dari guntingan yang paling berarti tidak terdapat pengaruh intervensi terhadap
sederhana akan terus diikuti sampai guntingan yang target behavior karena dapat dilihat dari skor tertinggi
makin kompleks ketika motorik halus anak semakin dan skor terendah mean level, batas atas, batas bawah
kuat (Raharjo dkk, 2014). Setelah dilakukan penelitian pada kondisi baseline-2 (A2) lebih tinggi dari pada
dan analisis terhadap nilai perolehan B, diperoleh data skor tertinggi pada kondisi baseline-1 (A1).
Riza Mahdalena, M. Shodiq, Dimas Arif Dewantoro, Melatih Motorik Halus Anak Autis Melalui Terapi Okupasi 5

Kemampuan motorik halus B mengalami anak autis tidak mengalami perubahan, sehingga
peningkatan dengan adanya keterampilan menggunting, menyebabkan estimasi kecenderungan arah dan jejak
hal ini sesuai dengan manfaat menggunting yang datanya tidak mengalami perubahan (0). Mean level
dikemukakan oleh Raharjo (2014), yaitu gerakan pada kondisi ini adalah sebesar 91,7 dengan batas
menggunting dari guntingan yang paling sederhana akan atas sebesar 98,73 dan batas bawah sebesar 84,67
terus diikuti sampai guntingan yang makin kompleks perhitungan kecenderungan stabilitas berdasarkan
ketika motorik halus anak semakin kuat. Sedangkan mean level, batas atas dan batas bawah sehingga
setelah dilakukan penelitian dan analisis terhadap nilai diperoleh kecenderungan stabilitas kondisi baseline-1
perolehan M, diperoleh data tentang kemampuan anak sebesar 100% yang artinya data stabil karena kriteria
sebelum diberikan perlakuan atau intervensi cukup stabilitas yang digunakan adalah 80-90%. Pada kondisi
baik, hal ini sesuai dengan manfaat menggunting dari ini, data menunjukan hasil stabil dengan rentang 87,5-
Raharjo dkk, 2014, yaitu motorik halus anak akan 93,75%. Perubahan level pada kondisi baseline-2 ini
makin kuat apabila sering berlatih menggunting. adalah sebesar (0) yang artinya kemampuan motorik
Gerakan menggunting dari guntingan yang paling halus anak tidak mengalami perubahan. Namun bukan
sederhana akan terus diikuti sampai guntingan yang berarti tidak terdapat pengaruh intervensi terhadap
makin kompleks ketika motorik halus anak semakin target behavior karena dapat dilihat dari skor tertinggi
kuat (Pradipta, 2017). Ini dibuktikan dengan nilai dan skor terendah mean level, batas atas, batas bawah
pada kondisi baseline-1 (A1) sesi pertama anak pada kondisi baseline-2 (A2) lebih tinggi dari pada
memperoleh nilai 87,5%, sesi kedua dan ketiga anak skor tertinggi pada kondisi baseline-1 (A1).
memperoleh nilai 81,25%. Kemampuan motorik halus Keterampilan menggunting memiliki pengaruh
anak mengalami penurunan sehingga menyebabkan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus
estimasi kecenderungan arah dan jejak datanya anak autis, hal ini sesuai dengan pendapat Sujiono
menurun (-). Mean level pada kondisi baseline-1 dkk (2014), yaitu semakin baiknya gerakan motorik
(A1) adalah sebesar 83,3 dengan batas atas 89,9 dan halus anak membuat anak dapat berkreasi, seperti
batas bawah sebesar 76,7, perhitungan kecenderungan menggambar gambar sederhana dan mewarnai, meng-
stabilitas berdasarkan mean level, batas atas dan batas gunting kertas dengan hasil guntingan yang lurus,
bawah sehingga diperoleh kecenderungan stabilitas menggunakan klip untuk menyatukan dua lembar
kondisi baseline-1 sebesar 100%, yang artinya data kertas, menganyam kertas, menajamkan pensil dengan
stabil karena kriteria stabilitas yang digunakan adalah rautan pensil, dan menjahit. Kegiatan ini sangat sesuai
80-90%. Pada kondisi ini, data menunjukkan hasil dengan karakteristik anak autis. Selain itu, dapat
stabil dengan rentang 81,25-87,5%. Setelah data stabil, memberikan pengalaman pembelajaran yang baru.
kemudian intervensi diberikan kepada anak. Jika data
pada kondisi baseline-1 sudah stabil, bisa dilaksanakan
intervensi. Namun jika data belum stabil maka kondisi KESIMPULAN DAN SARAN
intervensi belum bisa dilakukan. Perubahan level pada
kondisi ini adalah negatif (-) yang artinya kemampuan Kesimpulan
motorik halus anak mengalami penurunan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
M merupakan anak autis yang mempunyai diperoleh perbedaan skor anak saat pretest dan posttest,
karakteristik terlambat dalam perkembangannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
menolak ketika dipeluk, dan cende-rung melakukan keterampilan menggunting terhadap kemampuan
sesuatu secara berulang-ulang, hal tersebut terkait motorik halus anak autis kelas VIII di SLB Autis
dengan pendapat Rahayu (2014), bahwa karakteristik Laboratorium UM. Setelah penelitian dilaksanakan
dari anak autis yang sering muncul pada masa anak- diketahui bahwa pengaruh keterampilan meng-
anak diantaranya yaitu, (1) perkembangan terlambat, gunting terhadap kemampuan motorik halus anak autis
(2) memiliki rasa ketertarikan pada benda yang menunjukan adanya peningkatan mean level.
berlebihan, (3) menolak ketika dipeluk, (4) memiliki
kelainan sensoris, dan (5) memiliki kecenderungan
untuk melakukan sesuatu secara berulang-ulang Saran
(Sofwan, dkk, 2020). Berdasarkan temuan dalam penelitian yang
Setelah dilakukan penilaian dan analisis terhadap dilaksanakan didikan oleh peneliti, ada beberapa saran,
penilaian anak, diperoleh data tentang kemampuan yaitu (1) Diharapkan penelitian selanjutnya dapat
motorik halus anak setelah dilakukan perlakuan atau memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan
intervensi sudah baik. Ini dibuktikan dengan nilai ilmu pendidikan khususnya pendidikan luar biasa. (2)
pada sesi kesembilan anak memperoleh 93,75%, Dengan adanya penelitian ini agar dijadikan acuan
sesi kesepuluh anak memperoleh nilai 87,5% dan untuk membuat media sederhana namun kreatif
sesi ke-sebelas anak memperoleh nilai 93,75%. Pada yang diterapkan dalam proses pembelajaran guna
kondisi baseline-2 (A2) kemampuan motorik halus merangsang minat dan motivasi anak autis.
6 JURNAL ORTOPEDAGOGIA, VOLUME 6 NOMOR 1 JULI 2020: 1- 6

DAFTAR PUSTAKA Pradipta, R. F., & Dewantoro, D. A. (2019). Origami


and Fine Motoric Ability of Intellectual Disabiliy
Bektiningsih, K. (2009). Program terapi anak autis Students. International Journal of Innovation,
di SLB negeri semarang. Jurnal Kependidikan: 5(5), 531-545.
Penelitian Inovasi Pembelajaran, 39(2), 95-96. Praminta, A., D., & Christiana, E. (2014). Pengaruh
Firdaus, I., & Pradipta, R. F. (2020). Implementasi Kegiatan Menggunting Pola Terhadap
Treatment and Education of Autistic and Keterampilan Motorik Halus Anak Usia Dini
Realted Communicationhandicapped Children Kelompok B Di Tk Islam Qoshrul Ubudiyah.
(TEACCH) pada Kemampuan Bina Diri Anak Paud Teratai, 3(3), 2-3.
Down Syndrome. Jurnal ORTOPEDAGOGIA, Raharjo, D., S., Alfiyanti, D., & Purnomo, S., E. (2014).
5(2), 57-61. Pengaruh Terapi Bermain Menggunting Terhadap
Hasnita, E., & Hidayati, T., R. (2017). Terapi Okupasi Peningkatan Motorik Halus Pada Anak Autisme
Perkembangan Motorik Halus Anak Autisme. Usia 11–15 Tahun di Sekolah Luar Biasa Negeri
Jurnal Ipteks Terapan, 9(1), 22. Semarang. Karya Ilmiah, 3-6.
Indriyani, F. (2014). Peningkatan Keterampilan Rahayu, S., M. (2014). Deteksi dan intervensi dini
Motorik Halus Melalui Kegiatan Menggunting pada anak autis. Jurnal Pendidikan Anak, 3(1),
Dengan Berbagai Media Pada Anak Usia Dini 421-423.
Di Kelompok A TK ABA Gendingan Kecamatan Sofwan, A., Hastuti, W. D., & Kurniawan, A. (2020).
Kalasan Kabupaten Sleman Yogyakarta. Media Papan balik sebagai Sarana Meningkatkan
Universitas Negeri Yogyakarta. Kemampuan Membaca Permulaan Siswa Autis.
Irawan, R., D. (2015). Terapi Okupasi (Occupational Jurnal ORTOPEDAGOGIA, 5(2), 62-67.\
Therapy) Untuk Anak Berkebutuhan Khusus Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif,
(Down Syndrome)(Studi Kasus Pada Anak Usia Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
5-6 Tahun Di Balai Pengembangan Pendidikan
Sujiono, Bambang, M., S,. Sumantri, Aisyah, S.,
Khusus Semarang) (Doctoral dissertation,
Tatminingsih, S., Amini, M., dan Suroso, A.
Universitas Negeri Semarang).
(2014). Metode Pengembangan Fisik. Tangerang
Pradipta, R. F., & Andajani, S. J. (2017). Motion Selatan: Universitas Terbuka.
Development Program for Parents of Child
Sunanto, J., Takeuchi, K., & Nakata, H. (2006).
with Cerebral Palsy. Jurnal Penelitian dan
Penelitian dengan subjek tunggal. Bandung: UPI
Pengembangan Pendidikan Luar Biasa, 4(2), 160-
Pres.
164.
PENGARUH AKUPRESURE
TERHADAP BERHENTINYA DIARE PADA ANAK
Didik Saudin1 dan Akhmad Nadhif2
1
Program Studi S1 Keperawatan, FakultasIlmuKesehatan
2
Studi S1 Keperawatan, FakultasIlmuKesehatan
UniversitasPesantrenTinggiDarul ‘Ulum (Unipdu) Jombang
Email: didik.saudin@yahoo.com

ABSTRAK

Diare merupakan penyakit paling sering menyerang anak. Penggantian cairan dan
elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi efektif diare akut. Salah satu teknik massage
adalah Akupresure. Akupresure pada anak diare secara fisiologis terjadi proses-proses perangsangan
yang akan mempengaruhi faktor kelistrikan aktivitas motorik dan juga sistem saraf enterik dari traktus
gastrointestinal. Penelitian ini menggunakan desainQuasy ExperimentdenganpendekatanNon–
randomized Pretest–Postest Control Group Design, selanjutnya ditabulasi dengan menggunakan
distribusi frekuensi dan uji statistik Mc Nemar Test dan Chi-Square Test. HasilujiMcNemar
Testdiperolehnilai ρ = 0,016 dengannilai α = 0,05, haliniberarti Hoditolakdan Haditerima,
sehinggaadapengaruhakupresureterhadapberhentinyadiarepadaanak. Akupresure adalah suatu teknik
dengan menggunakan ketrampilan tangan untuk melakukan presure melalui titik dipermukaan tubuh.
Akupresureuntukdiaredapatdigunakansebagaiintervensikeperawatanterutamapadapasienanakdengandi
are.

Kata kunci: akupresure, berhentinyadiare, anak.

ABSTRACT

Diarrheais a diseasemostoften affectschildren. Fluid and electrolyte replacementis animportant


element for theeffectivetreatmentof acutediarrhea. One techniqueisacupressuremassage.
Acupressureonchildrendiarrheaoccursphysiologicallyexcitationprocessesthatwillaffect
theelectricalactivity ofmotorfactorsandenteric nervoussystemof thegastrointestinaltract. This study
uses adesignapproachQuasyExperimentwithNon-randomized ControlGroupPretest-PostestDesign,
thentabulatedusingthe frequency distributionand thestatisticaltestandMcNemarTestChi-Square Test.
McNemarTesttest resultsobtainedvalue ofρ=0.016with a value ofα=0.05, this means that
HorefusedandHais received, so there isthe influence ofacupressureonthe cessation ofdiarrheain
children. Acupressureisa techniqueusinghandskillstomakepresurethrough thebodysurface.
Acupressurefordiarrheacan be usedas anursingintervention, especially in pediatric
patientswithdiarrhea.

Keywords:Acupressure, Cessation Ofdiarrhea, The Child.


PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Diareseringkalidianggapsebagaipenyakitsepele, padahal di tingkat global
dannasionalfaktamenunjukkansebaliknya.Menurutcatatan WHO,
diaremembunuhduajutaanak di duniasetiaptahun (Syam, A.F, 2008).Menurut data Badan
Kesehatan Dunia (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh
dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi
Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk urusan anak) memperkirakan bahwa, setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal
dunia karena Diare (USAID & ESP, 2008).Di Indonesia, HasilRisetKesehatanDasar
(Riskesdas) tanggal 2 Desember 2008 di Jakarta mencatat, diare,
adalahpenyakitpenyumbangkematianbayiterbesar di Indonesia. Yaitumencapai
31,4persendari total kematianbayi (Media Indonesia, 2009). Diperkirakan, anak berumur
di bawah lima tahun mengalami 203 episode diare per tahunnya dan empat juta anak
meninggal di seluruh dunia akibat diare dan malnutrisi. Kematian akibat diare umumnya
disebabkan dehidrasi (kehilangan cairan). Lebih kurang 10% episode diare disertai
dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit tubuh secara berlebihan.
Penanganan diare tidak dapat dianggap mudah. Pemberian cairan yang
mengandung elektrolit penting memang baik untuk mencegah dehidrasi penderita, tetapi
pemberian obat anti diare yang tidak pada tempatnya malah berbahaya (Syam, A.F,
2008). Saat ini, tidak ada obat yang aman dan efektif untuk menghentikan diare.
Antibiotika tidak efektif melawan kebanyakan organisme yang menyebabkan diare,
jarang membantu dan dalam jangka panjang dapat membuat beberapa orang lebih sakit.
Penggunaan yang sembarangan bisa meningkatkan resistensi beberapa organisme
penyebab penyakit terhadap antibiotika. Disamping itu antibiotika mahal, sehingga
membuang uang. Maka antibiotika tidak digunakan secara rutin (WHO, 1992). Dengan
kondisi tersebut, proses hospitalisasi pada anak karena diare yang hampir rata-rata 4-6
hari perawatan. Salah satu penyebab karena tidak lekas berhentinya diare sehingga
rehidrasi harus tetap dilakukan.
Dalam dunia keperawatan sebenarnya telah lama dikenal teknik massage. Bahkan
teknik ini telah menjadi bagian dari independen intervensi keperawatan. Tetapi saat ini,
sudah jarang dibahas dan diterapkan dalam asuhan keperawatan karena kurangnya
pengetahuan akan fungsi, teknik dan penggunaan dari massage. Salah satu teknik
massage adalah Akupresure. Akupresure adalah suatu teknik dengan menggunakan
ketrampilan tangan untuk melakukan presure melalui titik akupresure yang terdapat
dipermukaan tubuh.
Teknik ini amat efisien dan relative cukup aman karena tidak melakukan
invasive/melukai kulit tubuh. Titik titik akupunktur ini merangsang sirkulasi energi dan
peredaran darah pada seluruh tubuh sehingga bermanfaat untuk mengatasi berbagai
gangguan yang bersifat akut maupun kronis. Teknik pengobatan ini bertujuan
mengaktifkan kembali mekanisme penyembuhan diri sendiri dari dalam tubuh ( Adikara
RTS, 2002). Berdasarkan hal tersebut diatas sehingga peneliti ingin mengetahui
bagaimana pengaruh akupresure terhadap berhentinya diare pada anak.

1.2 PerumusanMasalah
Adakahpengaruhakupresureterhadapberhentinyadiarepadaanak.

1.3 TujuanPenelitian
1. Untukmengetahui pengaruh akupresure terhadap berhentinya diare pada anak
2. Mengembangkanilmukeperawatandalambidangkeperawatanpediatrikdalamupayakurat
ifdengandiketahuinyamekanismeakupresuredalammembantuberhentinyadiare
1.4 ManfaatPenelitian
Akupresure dapat digunakan sebagai intervensi keperawatan yang efektif dalam
membantu berhentinya diare pada anak.

METODA
Dalampenelitianini, penelitimenggunakandesainpenelitianQuasy
ExperimentdenganpendekatanNon – randomized Pretest – Postest Control Group Design.
Non – randomized Pretest – Postest Control Group Design merupakan bentuk
pengembangan rancangan eksperimental sederhana, yaitu melakukan pengukuran atau
observasi awal sebelum perlakuan diberikan (Pratiknya, W, 2003).). Dalam rancangan ini,
kelompok eksperimental diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Pada kedua
kelompok diawali dengan pre test dan setelah pemberian perlakuan diadakan pengukuran
kembali (post test). Dalam penelitian ini, peneliti menganalisispengaruh akupresure terhadap
berhentinya diare pada anak.Dimana observasi awal kondisi diare sebelum responden
dilakukan akupresure dan sesudah dilakukan akupresure responden diobservasi lagi kondisi
diarenya.
Table 4.1 RancanganpenelitianQuasy Experiment
Subyek Pra Perlakuan Post
K-A O I OI-A
K-B O _ OI-B
Time 1 Time 2 Time 3

Keterangan:
K-A = SubyekPerlakuan
K-B = Subyektanpaperlakuan
O = Observasikondisidiaresebelumdilakukanakupresure
I = Intervensi (dilakukan akupresure)
OI(A+B) = Observasikondisidiaresetelahdilakukanakupresure

KerangkaKerja

Populasianak yangpenderitadiare

Sampel
:Pasienanakdengandiaresesuaikriteriainklusimenggunakanteh
nikconsecutive sampling

Observasikondisipasiensebelumdilaku
kanintervensi

Kelompokperlakuan Kelompokkontrol

Kelompokmendapatperlakuanstandartpengobat Kelompokhanyamendapatperlakuanst
anmedissekaligusdilakukanakupresure andartpengobatanmedis

Observasiresponpasiensetelahdilakukanintervensi

Analisa data denganuji statistic McNemar TestdanChi Squaredengan tingkat kemaknaan =0,05

Ada pengaruh< 0,05 Takadapengaruh> 0,05

Penyajian data hasilpenelitian

Gambar 4.1 Kerangkakerjapengaruhakupressureterhadapberhentinyadiarepadaanak


PEMBAHASAN
Untuk mengetahui pengaruh akupresure terhadap berhentinya diare pada anak, maka penulis
melakukan uji statistik Chi-Square untuk dua sampel bebas. Berdasarkan uji Chi-Square
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol didapatkan nilai ρ= 0,127 berarti secara
statistik tidak ada beda antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dan
setelah dilakukan akupresure terhadap berhentinya diare pada anak. Tapi secara prosentase
pada kelompok perlakuan yang mendapatkan akupresure memiliki nilai prosentase yang lebih
tinggi yaitu 70% bila dibandingkan dengan prosentase kelompok kontrol yaitu 40%.

Hal ini kemungkinan disebabkan beberapa faktor diantaranya yang pertama karena etiologi
dari diare adalah multifaktor, dalam buku Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1 FKUI (2000)
disebutkan etiologi diare dibagi dalam beberapa faktor, yaitu : faktor infeksi, faktor
malabsorbsi, faktor makanan dan faktor psikologis. Yang kedua adalah frekuensi pemijatan
yang membutuhkan pengulangan yang lebih pada kasus-kasus tertentu. Khususnya pada
diare, pemijatan titik akuprersure hendaknya diulang ketika kondisi yang diinginkan belum
tercapai. Dalam penelitian ini pemberian akupresure yang dilakukan oleh peneliti hanya
sekali dan diobservasi pada keesokan harinya.

Secara prosentase didapatkan nilai yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan karena dengan
penambahan intervensi pada anak dengan diare yaitu dengan akupresure disamping
pengobatan standart medis memiliki mekanisme yang dapat mempercepat berhentinya diare.
Sepertitelahdibicarakanbahwarangsangandarititikakupressurelebihdidasarkanpadakenyataanbi
ofisikabahwadasaraktiflistrikdankeamanankoherensiantarselkearah organ
sasaran.Stimulasipadatitikakupresuremengakibatkanpelepasanpeptida-peptida di
dalamsumsumtulangbelakang.Peptida-peptidatersebutmisalnyatakinin, substansi P,
neurokinin A, calcitonin gene-related peptide, somatostatindan lain-lain, yang
memodulasitransmisiinformasinosiseptifmenujususunansarafpusat.
Denganpemberianakupresurediharapkan proses
mekanismefisiologisdarimotilitasdansekresimukosaususkembali normal
denganuraianpengaruhakupresuresepertitersebutdiatas.

Denganmengetahuimanfaatdanmekanismeakupresureterhadapdiaredanjugakondisidiare yang
penyebaabnnyamultifaktormemungkinkanpemanfaatandiklinikdalammemberikantindakankep
erawatan yang efisiendansesuaidengankondisi yang terbaik, sehinggamasalahkeperawatan
yang terjadipadakasuspasiendengandiarelebihcepatteratasi.Hal
inibisadibandingkandenganpenatalaksanaandiaretanpaakupresure,
yaituhanyadenganmenggunakan antibiotic yang memerlukanwaktulebih
lama.Pengobatandengan antibiotic memerlukan proses
danwaktudalammempengaruhiberhentinyadiare,
halinibisadimengertibahwakumantidaklantasmatiterhadap antibiotic dalamsatuwaktu, tetapi
proses farmasetik,
farmakokinetikdanjugafarmakodinamikobatantibiotikmembutuhkanwaktusehinggaeffekpeng
obatanbisadicapai.

KESIMPULAN
Sesudahpemberianintervensiberupaakupresurepadakelompokperlakuandiperoleh prosentase
keberhasilan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya mendapat
pengobatan standart medis. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh akupresure yang
dilakukan sebagai tindakan intervensi tambahan disamping pengobatan standart medis.

DAFTAR PUSTAKA
Syam, A.F (2008). JanganAnggapRemehDiare. http://www.medicastore.com. Tanggal 05
Juni 2008.
USAID & ESP (2008).Diare .www.esp.or.id/handwashing/media/diare.pdf.Tanggal 05 Juni
2008.
Media Indonesia (2009).Krisis Air BersihPicuWabahDiare.http://www. sanitasi. or.id.
Tanggal 12 Juni 2009
WHO (1992).PenatalaksanaandanPencegahanDiareAkutPetunjukPraktis.Jakarta : EGC.
Adikara, RTS (2002). AkupunkturKlinik :PemanfaatanAkupreserDalamKlinis. Surabaya
:Airlangga University Press.
Pratiknya, W (2003). Dasar-dasarMetodologiPenelitianKedokteran&Kesehatan. Jakarta
:Rajawali Pers.
FKUI (2000). Ilmu Kesehatan Anak 1. Jakarta : Infomedika

You might also like