Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 28

Kedudukan Hukum Kreditor Preferen Pajak

dan Kreditor Preferen Buruh


dalam Proses Kepailitan

Imran Eka Saputra



Surel Koresponden: imranekasaputragmail.com

Abstract:
This study aims to determine the legal position of tax preferred creditors and
labor preferred creditors in the bankruptcy process and to determine the
factors that influence the occurrence of disputes between labor preference
creditors and tax preferred creditors in the bankruptcy process. The research
method used is a method with the type of normative research using 2 (three)
types of approaches, namely the statutory approach (statute approach) and
the conceptual approach (conceptual approach). The results of this study are
based on a conceptual approach and a statutory approach, the authors find
that the legal position of tax preferred creditors and workers' preferences is
the same. law, the factor of justice, the factor of increasing public welfare
(public interest), the factor of labor rights and human rights. In order to
provide certainty about the legal position of tax preferred creditors and labor
preferred creditors, it is deemed necessary to improve the bankruptcy law, so
that there are no problems between tax preferred creditors and labor
preferred creditors in the bankruptcy process. Factors that influence the
occurrence of disputes between labor preference creditors and tax preferred
creditors in the bankruptcy process can be input for members of the House of
Representatives and the Government to improve the bankruptcy law
Keywords: Creditors; Preference; Laborer; Tax;bankruptcy

Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum kreditor
preferen pajak dan kreditor preferen buruh dalam proses kepailitan dan
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa antara
kreditor Preferen buruh dan kreditor preferen pajak dalam proses kepailitan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode dengan jenis penelitian
normative menggunakan 2 (tiga) tipe pendekatan yakni pendekatan
perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Hasil dari penelitian ini adalah berdasarkan
pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan penulis
menemukan bahwa kedudukan hukum kreditor preferen pajak dan preferen
buruh mempunyai kedudukan yang sama, Adapun yang menjadi faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya sengketa antara kreditor Preferen buruh dan
kreditor preferen pajak adalah faktor kepastian hukum, faktor keadilan,
faktor meninggikan kesejahteraan umum (kepentingan umum), faktor hak-
hak buruh dan hak asasi manusia. Dalam rangka memberikan kepastian
kedudukan hukum terhadap kreditor preferen pajak dan kreditor preferen
buruh maka dirasa perlu untuk menyempurnakan undang undang
kepailitan,agar tidak terjadi permasalahan antara kreditor preferen pajak
dan kreditor preferen buruh dalam prose kepailitan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya sengketa antara kreditor Preferen buruh dan
kreditor preferen pajak dalam proses kepailitan ini bisa menjadi masukan
bagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk
menyempurnakan undang undang kepailitan
Kata Kunci: Kreditor; Preferen; Buruh, Pajak, Kepailitan,
PENDAHULUAN

Proses kepailitan pada umumnya adalah proses panjang yang melelahkan. Di satu
sisi akan banyak pihak (kreditor) yang terlibat dalam proses tersebut, karena pihak
debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu, sedang di sisi lain,
belum tentu harta pailit mencukupi, apalagi dapat memenuhi semua tagihan yang
ditujukan pada debitor. Dalam Black’s Laws Dictionary pailit atau “Bankrupt”
adalah The State or condition of a person (individual, parthnership, or corporation,
municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term
includes a person agains whom an involuntary petition has been filed, or who has
filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”1

Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut, dapat kita
lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ”ketidakmampuan untuk
membayar” dari seorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk
mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas
permintaan pihak ketiga (diluar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke
pengadilan. 2

Debitor adalah pihak yang memiliki kewajiban kepada Kreditor, yaitu kewajiban
untuk membayar utangnya kepada Kreditor. Sehingga para Kreditor dalam
kepailitan memiliki hak-hak yang harus dilindungi. 3 Maka dari itu, kemudian
muncullah ketentuan kepailitan yang bertujuan untuk melakukan pembagian
kekayaan milik debitor kepada para kreditornya dengan melakukan sitaan bersama
dan kekayaan debitor dapat dibagikan kepada kreditor sesuai dengan haknya.
Berkaitan dengan ini berlaku ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang mengatur dan memberikan kedudukan para kreditor
sebagai kreditor konkuren sehingga boedel pailit akan dibagikan kepada para
kreditor secara seimbang (ponds gewijs/paritas creditorium), kecuali apabila

1
Asikin, Z. (2001). Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. RajaGrafindo Persada.
Hlm. 57.
2
Yani, A., & Widjaja, G. (2002). Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 23.
3
Rahmani, I. (2018). Perlindungan Hukum Kepada Pembeli Dalam Kepailitan Pengembang
(Developer) Rumah Susun. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, 1(1), hlm. 75.
diberikan perkecualian oleh undang-undang, yaitu sebagaimana tertera dalam Pasal
1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 4

Dalam hukum kepailitan, kreditor dibagi menjadi tiga golongan yaitu: Kreditor
Separatis; Kreditor Preferen; dan Kreditor Konkuren .5 (Lihat juga penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU No. 37 Tahun /2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang
(selanjutnya disebut UU 37/2004): Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini
adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus
mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang
mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan). Pembedaan
menurut UU No. 37/2004 tersebut, berhubungan dengan posisi kreditor bersangkutan
dalam proses pembagian harta pailit. Inilah pertimbangan pembentukan UU
No.377/2004, yakni sebagai salah satu sarana hukum untuk menyesaikan utang piutang
secara cepat, adil, terbuka, efektif, sehingga menjadi kewajiban bagi semua pihak yang
terlibat dalam proses kepailitan termasuk Majelis Hakim Niaga yang mengadili dan
memutuskan perkara kepailitan.6

Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya atau kreditor dengan jaminan, disebut kreditor
separatis, karena, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU No. 37/2004 dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan
Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek,
atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan).

Kreditor preferen berarti kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas.
UU No. 37/2004 memakai istilah hak-hak istimewa, sebagaimana diatur di dalam
KUH Perdata (Penjelasan pasal 60 ayat 2 UU No. 37/2004). Hak istimewa
mengandung arti hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang

4
Hartono, S. R. (2007). Hukum Ekonomi Indonesia. Bayumedia Pub. hlm. 80.
5
Makmur, S. (2018). Kepastian Hukum Kepailitan Bagi Kreditor dan Debitur Pada Pengadilan Niaga
Indonesia. Mizan: Journal of Islamic Law, 4(2). hlm. 338.
6
Simanjuntak, H. A. (2019). Penyelesaian Utang Debitur Terhadap Kreditor Melalui Kepailitan. Jurnal
Justiqa, 1(1). hlm. 10.
berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang berpiutang lainnya.
(Pasal 1134 KUH Perdata).

Menurut KUH Perdata, ada dua jenis hak istimewa, yaitu hak istimewa khusus
(pasal 1139) dan hak istimewa umum (pasal 1149). Hak istimewa khusus berarti
hak istimewa yang menyangkut benda-benda tertentu, sedang hak istimewa umum
menyangkut seluruh benda. Sesuai dengan ketentuan KUH Perdata pula, hak
istimewa khusus didahulukan atas hak istimewa umum (pasal 1138).

Kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya (tanpa hak
jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUH Perdata, mereka memiliki
kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas
piutang-piutang mereka (Pasal 1136 KUH Perdata). Ketentuan tersebut juga
dinamakan prinsip paritas creditorium . Sehingga posisi pemegang hak jaminan
kebendaan (kreditor separatis) pada dasarnya lebih tinggi dari pemegang hak
istimewa (kreditor preferen) untuk benda-benda yang dijaminkan, dengan
beberapa perkecualian, seperti biaya-biaya perkara atau tagihan pajak. Sedang
posisi dua jenis kreditor tersebut berada di atas posisi kreditor konkuren atau
kreditor biasa yang menunggu pembagian pembayaran tagihan secara merata dari
harta pailit menurut prinsip keseimbangan. Apabila tagihan kreditor separatis
ternyata lebih tinggi dari nilai piutang mereka, maka mau tidak mau mereka harus
menagih sisa piutangnya sebagai kreditor konkuren. Dengan kata lain, posisi
mereka menjadi di bawah posisi kreditor preferen.

Tagihan pembayaran upah buruh dikategorikan sebagai hak istimewa umum (Pasal
1149 KUH Perdata) Ketentuan tersebut juga diatur di dalam pasal 95 ayat 4 UU No.
13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur:

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan


perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Meskipun tidak jelas seberapa tinggi utang tersebut harus didahulukan, namun,
paling tidak telah tersurat adanya keistimewaan untuk hak atas pembayaran upah
buruh. Artinya, sebelum harta pailit dibagikan kepada kreditor konkuren, maka
tagihan yang diajukan oleh pihak-pihak pemegang hak istimewa harus dipenuhi
lebih dahulu.

Dalam Pasal 24 ayat (1) UU No. 37/2004, dinyatakan bahwa: “debitor demi hukum
kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk
dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Dalam hal
apabila seorang debitor dipailitkan, debitor pailit hanya kehilangan hak
keperdataannya untuk mengurus dan menguasai kekaaannya. Sementara itu, untuk
melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya, misalnya untuk
melangsungkan pernikahan dirinya, menerima hibah (sekalipun hibah tersebut
demi hukm menjadi bagian harta pailit), mengurus harta kekayaan pihak lain,
menjadi kuasa pihak lain untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan
tersebut. Dengan demikian, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan hanya harta
kekayaan debitor pailit yang berada di bawah pengampuan) di bawah penguasaan
dan pengurusan pihak lain), sedangkan debitor pailit itu sendiri tidak berada di
bawah pengampuan seperti yang terjadi terhadap anak di bawah umur atau orang
yang sakit jiwa yang dinyatakan berada di bawah pengampuan. 7

UU No. 37/2004 mengatur bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit


diucapkan, upah yang terutang sebelum, maupun sesudah putusan pernyataan
pailit diucapkan merupakan utang harta pailit (pasal 39 ayat 2). Dengan sendirinya,
kurator wajib untuk mencatat, sekaligus mencantumkan sifat (istimewa)
pembayaran upah yang merupakan utang harta pailit dalam daftar utang piutang
harta pailit (Pasal 102 jo. 100 UU No. 37/2004) Daftar tersebut harus diumumkan
pada khalayak umum (Pasal 103 UU No. 37/2004) sebelum akhirnya dicocokkan
dengan tagihan yang diajukan oleh kreditor sendiri (Pasal 116 UU No. 37/2004).

Kepailitan dianggap lebih efisien dan memberikan tekanan lebih terhadap Debitor
mengingat akibat hukum yang ditimbulkan juga lebih beresiko sehingga mereka takut
dan berusaha semaksimal mungkin melakukan upaya seperti perdamaian atau
mengajukan PKPU agar perusahaannya tidak jadi pailit. 8 Meski begitu, adanya aturan-
aturan dalam proses kepailitan, belum jelas mengatur posisi buruh yang perusahaannya
7
Sutan Remy Sjahdeini, S. H. (2016). Hukum Kepailitan (Memahami undang-undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan). Kencana.
8
Hamdi, H. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Terhadap Pelunasan Piutang Dari Harta
Pailit. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum, 1(1). hlm. 1416.
dinyatakan pailit. Buruh pada prinsipnya berhak atas imbalan dari pekerjaan yang telah
mereka kerjakan. Tagihan semacam ini bahkan telah secara tegas dinyatakan sebagai
utang yang lebih didahulukan pembayarannya daripada utang-utang lainnya (Pasal 95
ayat 4 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan – selanjutnya disebut UU
Ketenagakerjaan). Pertanyaannya, seberapa dahulukah posisi utang tersebut? Yang tak
kalah menarik, apabila harta pailit ternyata tidak mencukupi. Apa yang bisa digunakan
untuk membayar upah buruh dalam kondisi seperti ini? Menurut Dewi dan Markeling,
meskipun berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 13/2003Ketenagakerjaan telah
mengatur hak pekerja untuk didahulukan dari kreditor lainnya, namun terjadinya
kepailitan dalam suatu perusahaan tetap merupakan ancaman serius pekerja. 9 Sebab
dalam undang-undang ini tidak mengatur secara tegas mengenai kedudukan utang upah
pekerja yang harus didahulukan pembayarannya dari kreditor lain. 10 Sekalipun hak
pesangon telah dijamin oleh undang-undang, (Pasal 1134 KUH Perdata) namun itu pun
masih tergantung pada mampu tidaknya majikan (kurator sebagai pengurus harta
pailit) membayarkan uang pesangon tersebut. Apakah posisi buruh dalam proses
kepailitan telah cukup terjamin?

Meskipun memiliki keistimewaan dibanding hak-hak yang dimiliki orang


berpiutang pada umumnya, posisi pemegang hak istimewa pada dasarnya masih
berada di bawah pemegang hak gadai atau hipotek (Pasal 1134 KUH Perdata)
sehubungan dengan benda-benda yang dijaminkan. Ada beberapa perkecualian
untuk urutan tersebut, seperti misalnya, biaya-biaya perkara (Pasal 1149 ayat 1
KUH Perdata) atau tagihan pajak (Pasal 21 ayat 3 UU No. 16 16 /20090 tentang
Penetapan Perpu 5/2008 tentang Perubahan Kedua Keempat atas UU No. 6/1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan – selanjutnya disebut UU
KUP).

Apabila kemudian ada perselisihan, karena beda antara daftar kurator dan tagihan
kreditor, maka Hakim Pengawas berwenang untuk mendamaikan. Apabila
perselisihan tetap belum selesai, maka perselisihan tersebut harus diselesaikan
melalui pengadilan. (Pasal 127 UU No. 37/2004). Sekilas, posisi tawar buruh dalam
memperjuangkan pembayaran upahnya sudah cukup kuat, karena (1) tagihan

9
Dewi, K. S., & Markeling, I. K. (2018). Kedudukan Utang Upah Pekerja Dalam Kepailitan. Jurnal
Fakultas Hukum Udayana, 6(02). hlm. 3.
10
Ibid
pembayaran upah pekerja adalah tagihan yang diistimewakan, (2) telah ada
pengakuan undang-undang bahwa pembayaran upah menjadi utang harta pailit dan
(3) apabila terjadi perbedaan antara hitungan pekerja dan daftar yang dikeluarkan
oleh kurator, ada peran instansi pengadilan yang akan menengahi permasalahan
tersebut. Artinya, posisi preferen (didahulukan) yang dimiliki oleh buruh tidak
dapat begitu saja didahului. Meski begitu, ada beberapa kondisi di mana buruh
tidak mendapatkan hak atas pembayaran upahnya.

Kondisi pertama; ketika terjadi insolvensi parah. Artinya, tidak ada lagi biaya yang
dapat dibayarkan dari harta pailit atau harta pailit hanya cukup untuk membayar
biaya-biaya perkara dan tagihan pajak. Dalam kondisi tersebut, mau tidak mau,
pekerja tidak akan mendapatkan apa-apa.

Kondisi ke dua; ketika harta pailit hanya berupa benda-benda yang dijaminkan
kepada kreditor separatis. Apabila nilai tagihan kreditor separatis melampaui nilai
benda-benda yang dieksekusi, maka otomatis tidak ada lagi yang tersisa dari harta
pailit. Namun, apabila nilai eksekusi dapat menutup piutang pemegang hak
jaminan, maka sisanya masih dapat dibagi. Tentu saja, posisi buruh ada di bawah
biaya-biaya perkara (termasuk upah kurator) dan tagihan pajak.

Selain ke dua kondisi tidak menguntungkan di atas, masih ada beberapa masalah
teknis yang bukan tidak mungkin dapat merugikan posisi buruh, seperti kurang
transparannya proses penentuan daftar urutan dalam pembagian harta pailit, serta
kurang berfungsinya kurator dan hakim pengawas. Belum lagi, pihak-pihak yang
berkepentingan belum tentu tahu tentang proses penyelesaian perselisihan terkait
penentuan daftar pembagian harta pailit melalui pengadilan.

Bagaimanapun juga, belum ada alat hukum yang dapat menyelamatkan nasib
pekerja, saat tagihan pembayaran upah tidak terpenuhi atau hanya terpenuhi
sebagian kecilnya saja. Mengingat kondisi pekerja di Indonesia yang secara
ekonomis sangat rentan dan nafkah hidupnya sangat bergantung pada pekerjaan
yang dimilikinya, maka harus ada instrumen pendukung yang dapat
menyelamatkan nasib mereka.
Dalam tulisan ini, Penulis akan membahas bagaimanakah kedudukan hukum posisi
masing-masing kreditor preferen dalam proses kepailitan, dan yang manakah yang
terlebih dahulu pembayarannya di dahului apakah upah buruh (Kreditor Preferen
buruh) ataukah Pembayaran hutang pajak (kreditor preferen pajak) yang terlebih
dahulu, dari konsekuensi keadaan insolvensi yang parah (nilai utang jauh lebih
besar dari harta kekayaan) serta bagaimna bentuk penyelesaian masalah antara
Kreditor Preferen buruh dan Kreditor preferen Pajak.

METODE

Tipe penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan melalui dua
tataran yakni pada tataran dogmatik hukum dan tataran teori hukum (Agak
berbeda dengan model penulisan di Amerika Serikat yang intoductionnya -nya
diawali dengan theses sentence yang berupa pernyataan akan temuan atau
argumentasi yang didapatkan dalam penelitian itu, hal mana metodologi tidak
harus dikemukakan. 11

Sebagai penelitian hukum normatif, tipe pendekatan yang digunakan dalam


penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).

Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :

1. Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di


bidang lembaga pembiayaan dan secara khusus di bidang anjak piutang
meliputi:
a. Kitab undang undang Hukum perdata ( KUH Perdata )
b. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK dan PKPU
c. Udang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
d. Undang-Undang No.6 Tahun 1983 Tentang ketuan umum dan tata cara
perpajakan.
e. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
f. Undang-Undang No. Tahun Tentang Jaminan Hak Tanggungan.
11
Mahmud Marzuki, P. (2005). Penelitian hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media, 55. hlm. 183.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta mamahami bahan
hukum primer, yang terdiri dari:
a. Data-data yang diperoleh dari pengadilan niaga makassar
b. Buku-buku hasil karya para sarjana
c. Hasil-hasil penelitian
d. Berbagai hasil seminar atau kegiatan ilmiah lainnya yang ada kaitannya
dengan permasalahan yang dibahas.
Penelitian ini menggunakan penalaran deduktif guna mendapatkan dan
menemukan kebenaran objektif, yang mendasarkan diri pada aspek normatif,
kasus, dan konseptual. Penalaran deduktif digunakan untuk mengkaji objek
penelitian tersebut dengan menjadikan aspek normatif dan aspek konseptual dari
Kedudukan hukum kreditor preferen pajak dan kedudukan kreditor preferen buruh
dalam prose kepailitan pada umumnya sebagai premis mayor yang akan
menghasilkan kesimpulan dalam rangka menjawab rumusan masalah di atas.
sebagai premis minor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kedudukan Kreditor Preferen Buruh

Di dalam sistem pengupahan , dikenal adanya beberapa prinsip sebagai


berikut: 12
a) Hak menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir
pada saat hubungan kerja putus;
b) Pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi upah bagi pekerja/buruh
laki-laki dan wanita untuk jenis pekerjaan yang sama;
c) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan
(“no work no pay ”);
d) Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap;
e) Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.
12
Abdul Hakim, 2014, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti.
Upah pekerja atau buruh termasuk dalam hak istimewa atas semua benda
bergerak dan tak bergerak pada umumnya, sehingga kedudukannya adalah
setelah hak istimewa yang mengenai benda -benda tertentu. Dengan
dikelompokkannya upah pekerja atau buruh dalam hak istimewa atas benda
pada umumnya ( general statutorypriority ) sebagaimana diatur dalam Pasal
1149 KUH Perdata, maka KUH Perdata telah menempatkan kedudukan utang
upah pekerja pada urutan ketiga setelah kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan, dan kreditor hak istimewa atas barang tertentu.

Demikian pentingnya upah buruh bagi kehidupan buruh, yang mana hak
asasinya telah dituangkan secara jelas dalam konstitusi negara tersebut. Seperti
halnya di Amerika Serikat, walaupun termasuk Negara kapitalis, namun
kedudukan upa h buruh dianggap penting dan diprioritaskan dari utang pajak,
hal tersebut dapat dilihat dari kasus 11.U.S.C. (Supp. V,1958)104 (a) yang telah
menempatkan upah buruh dalam prioritas kedua dan utang pajak dalam
prioritas keempat.

“The debts to have priority... and the order of payment, shall be... (2) wages habe
been earned within three months before the date of the commencement of the
proceeding, due to workmen... (4) taxes legally due and owing by bankrupt to the
United States..”

Tagihan pembayaran upah buruh dikategorikan sebagai hak istimewa umum


(Pasal 1149 KUH Perdata) Ketentuan tersebut juga diatur di dalam pasal 95
ayat 4 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan .

UU 37/2004 mengatur bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit


diucapkan, upah yang terutang sebelum, maupun sesudah putusan pernyataan
pailit diucapkan merupakan utang harta pailit (pasal 39 ayat 2). Dengan
sendirinya, kurator wajib untuk mencatat, sekaligus mencantumkan sifat
(istimewa) pembayaran upah yang merupakan utang harta pailit dalam daftar
utang piutang harta pailit (Pasal 102 jo. 100 UU No. 37/2004) . Daftar tersebut
harus diumumkan pada khalayak umum (Pasal 103 UU No. 37/2004) sebelum
akhirnya dicocokkan dengan tagihan yang diajukan oleh kreditor sendiri (Pasal
116 UU No. 37/2004).
3. Kedudukan Kreditor Preferen Pajak

Utang pajak merupakan hal salah satu yang harus didahulukan dalam masalah
kepailitan. Utang pajak mempunyai kedudukan yang penting sehingga
kedudukannya tidak dapat dihapuskan, termasuk dalam keadaan pailit. Hal ini
telah ditegaskan dalam UU 37/2004 yang memberikan kedudukan utama dari
pajak sebagai kewajiban yang harus didahulukan.

Sinninghe Damste dalam Inleiding tot het Nederlands Belastingsrecht


menyatakan bahwa ia tidak dapat mengatakan dengan tegas apakah tentang
pemberian hak mendahului kepada masing-masing pajak itu ada patokannya
tertentu atau tidak. Namun pemberian hak mendahulu bukanlah suatu hal yang
kebetulan saja atau digantungkan kepada kesempatan yang dianggap baik
belaka.

Kekuasaan fiskus untuk menuntut pelunasan utang pajak dengan langsung


sebenarnya dipermudah dengan adanya hak mendahulu yang diberikan
Undang-Undang. Adriani mengatakan hak mendahulu i merupakan hak fiskus
atas kekuasaan negara.

Suatu utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau
Penanggung Pajak. Dengan adanya tagihan pajak, negara mempunyai hak
mendahulu untuk tagihan pajak tersebut atas barang-barang milik Penanggung
Pajak, sebagaimana bunyi Pasal 21 ayat (1) UU KUP .

Adapun maksud dari adanya hak mendahulu negara ini dijelaskan lebih lanjut
dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP, ya itu untuk menetapkan
kedudukan negara sebagai Kreditor preferen yang mempunyai hak mendahulu
atas barang barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
Utang pajak merupakan aturan khusus, oleh karena itu negara melalui
Direktorat Jenderal Pajak mempunyai “hak mendahulu” untuk melaksanakan
sita atas barang -barang wajib pajak yang manjadikan barang-barang miliknya
atau asetnya sebagai jaminan atas utang-utangnya, seperti yang diatur dalam
Pasal 21 UU KUP tersebut.
Pelaksanaan hak mendahulu negara atas utang pajak tersebut adalah dengan
dilakukan pembayaran atas utang pajak terlebih daulu, pembayaran kepada
Kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Ketentuan tentang hak
mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Selain itu, di sisi lain terdapat pula
pengecualian mendahulu untuk utang pajak ini; pertama, biayan perkara yang
hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak; kedua, biaya yang telah dikeluarkan
untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/ata ketiga, biaya perkara, yang
hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

KUH Perdata telah menempatkan utang pajak untuk didahulukan dari pada
kreditor lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1137 . Maka m enurut pasal ini
kedudukan utang pajak sebagai pemegang hak istimewa dengan hak mendahulu
yang merujuk pada pengaturan dalam undang-undang khusus, yaitu Undang-
Undang Perpajakan . Sebelum membahas mengenai bagaimana Undang-Undang
mengatur mengenai kedudukan utang pajak dalam kepailitan, perlu kita ingat
lagi mengenai utang dalam kepailitan.

Dilihat dari definisi utang dalam UU 37/2004 secara luas, utang merupakan
kewajiban yang dapat timbul dari perjanjian atau dari perikatan karena
undang-undang. Sementara pemahaman pajak dari persepektif hukum menurut
Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-
undang yang menyebabkan timbulnya kewajban warga negara untuk
menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, dimana Negara
mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus
dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintah. 13

4. Hak Mendahului Kreditor Preferen Buruh atas Kreditor Preferen Pajak

Berdasarkan Pasal 21 UU KUP, maka posisi kreditor preferen pajak didahulukan


terhadap semua kreditor lain. Namun, setelah keluarnya Putusan MK No 67/PUU-

13
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung, Eresco, hlm. 11.
XI/2013 tentang pengujian UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, prioritas
pelunasan utang pailit mengalami perubahan. Inti permohonan pemohon dalam hal
ini adalah mengenai frasa “didahulukan pembayarannya” yang terdapat dalam Pasal
94 ayat (4) yang berbunyi dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasai
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja/ buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Menurut pemohon, frasa didahulukan pembayarannya tidak memberikan kepastian
hukum mengenai pelunasan utang kepada para kreditor.

Pada dasarnya KUH Perdata dan UU 37/2004 telah menetapkan urutan prioritas
pelunasan utang kreditor. Namun oleh karena kedua atauran tersebut adalah lex
generalis, maka ketentuannya dapat dikesampingkan apabila diatur berbeda
menurut peraturan yang lebih khusus. Terdapat setidaknya tiga undang-undang
sebagai lex specialis atas KUHPerdata dan UU 37/2004 terkait hal ini; UU 2/1992
tentang Perasuransian14, UU Ketenagakerjaan, dan UU KUP. Menurut pemohon,
dalam praktiknya hampir selalu terdapat tarik menarik kepentingan antara
pemegang polis asuransi, buruh, dan lembaga pajak untuk didahulukan haknya.

Dalam putusan a quo, mahkamah menetapkan bahwa Pasal 95 ayat (4) UU


Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai
“pembayaran upah pekerja/ buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis
kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang,
dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak
pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak
negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, kecuali tagihan
dari kreditu separatis.

Dengan demikian, mahkamah berpendapat bahwa antara “upah” dan “hak-hak


buruh/pekerja lainnya” merupakan dua hal yang berbeda prioritas pelunasannya.
Upah dipandang sebagai hak vital buruh yang pembayarannya didahulukan atas
semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara,
kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah. Sedangkan untuk hak-
hak pekerja/buruh lainnya dibayarkan berikutnya setelah kreditur separatis.

14
Paska Putusan MK 67/PUU-XI/2013 terbit UU Asuransi yang baru yakni UU 40/2014 sebagai
pengganti UU 2/1992.
Dengan demikian, berdasarkan putusan a quo, prioritas pelunasan hutang dalam
proses kepailitan adalah sebagai berikut:
1. Upah pekerja/ buruh;
2. Kreditor separatis;
3. Hak-hak pekerja/buruh lainnya;
4. Tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk
pemerintah;
5. Kreditor konkruen.

Untuk menguatkan argumen di atas, penulis menyajikan satu contoh kasus yang
terkait.

5. Contoh Kasus (Putusan No. 24/Plw.Pailit/2014/PN.Niaga.Sby)

Kasus ini melibatkan Kepala Kantor Pajak Pratama Mojokerto sebagai pelawan
dan Tim Kurator PT. Integra Lestari sebagai terlawan. Bahwa besarnya
pembagian harta pailit yang diterima pelawan adalah senilai 10 miliar lebih,
sedangkan total piutang pajak yang diakui oleh kurator adalah senilai 15 miliar
lebih. Sehingga dengan ini pelawan menuntut agar terlawan mengutamakan
pelunasan piutang pajak sebesar 15 miliar tersebut di atas kreditor lainnya.

Dalam perlawanannya pelawan mengklaim berhak didahulukan pelunasan


piutangnya di atas semua kreditor lain dengan berdasar hukum kepada Pasal 1137
KUHPerdata, Pasal 21 UU KUP, Pasal 19 ayat (5) dan ayat (6) UU 19/1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan Putusan MA No. 70/PK/Pdt.Sus.2009.
Keempat dasar hukum yang digunakan pelawan ini pada intinya adalah benar
mendahulukan kreditor preferen pajak di atas semua kreditor lain bahkan terhadap
kreditor separatis.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim kemudian berpegang teguh pada Putusan


MK No. 67/PUU-XI/2013. Dalam putusan a quo, mahkamah menempatkan
pelunasan piutang pajak pada urutan ketiga setelah kreditor preferen buruh dan
kreditor separatis.
Adapun pada kenyataanya, dana dari hasil penjualan aset PT. Integra Lestari (dalam
pailit) bahkan tidak mencukupi untuk sekadar melunasi utang perusahaan kepada
kreditor separatis. Maka jika mengacu pada urutan pelunasan piutang sebagaimana
diputuskan MK, kreditor preferen pajak seharusnya tidak akan mendapatkan bagian
apapun karena kreditor separatis juga belum mendapat haknya secara penuh.
Namun karena kreditor separatis tidak mengajukan keberatan, maka dianggap
setuju dengan Daftar Pembagian Harta yang ditetapkan kurator.

Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri


Surabaya mengganggap pembagian harta pailit yang ditetapkan oleh kurator telah
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam amar majelis hakim
memutuskan menolak perlawanan/ keberatan yang diajukan pelawan untuk
seluruhnya.

Berdasarkan putusan ini, semakin menguatkan bahwa posisi kreditor preferen


buruh berada di atas kreditor preferen pajak.

A. Kedudukan Hukum Kreditor Preferen Buruh dan Kedudukan Kreditor Preferen


Pajak Dalam Proses Kepailitan.

Abdul Khakim mengemukakan beberapa prinsip pengupahan sebagai berikut :


a) Hak menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir
pada saat hubungan kerja putus;
b) Pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi upah bagi pekerja/buruh
laki-laki dan wanita untuk jenis pekerjaan yang sama;
c) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (“ no
work no pay ”);
d) Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap;
e) Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.
Upah pekerja atau buruh termasuk dalam hak istimewa atas semua benda
bergerak dan tak bergerak pada umumnya, sehingga kedudukannya adalah
setelah hak istimewa yang mengenai benda -benda tertentu. Dengan
dikelompokkannya upah pekerja atau buruh dalam hak istimewa atas benda
pada umumnya ( general statutorypriority ) sebagaimana diatur dalam Pasal 1149
KUH Perdata, maka KUH Perdata telah menempatkan kedudukan utang upah
pekerja pada urutan ketiga setelah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan,
dan kreditor hak istimewa atas barang tertentu.

Demikian pentingnya upah buruh bagi kehidupan buruh, yang mana hak asasinya
telah dituangkan secara jelas dalam konstitusi negara tersebut. Seperti halnya di
Amerika Serikat, walaupun termasuk Negara kapitalis, namun kedudukan upa n
buruh dianggap penting dan diprioritaskan dari utang pajak, hal tersebut dapat
dilihat dari kasus 11.U.S.C. (Supp. V,1958)104 (a) yang telah menempatkan upah
buruh dalam prioritas kedua dan utang pajak dalam prioritas keempat.

“The debts to have priority... and the order of payment, shall be... (2) wages habe
been earned within three months before the date of the commencement of the
proceeding, due to workmen... (4) taxes legally due and owing by bankrupt to the
United States..”

Tagihan pembayaran upah buruh dikategorikan sebagai hak istimewa umum


(Pasal 1149 KUH Perdata) Ketentuan tersebut juga diatur di dalam pasal 95 ayat
4 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur:

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan


perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

UU No. 37/2004 mengatur bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit


diucapkan, upah yang terutang sebelum, maupun sesudah putusan pernyataan
pailit diucapkan merupakan utang harta pailit (pasal 39 ayat 2). Dengan
sendirinya, kurator wajib untuk mencatat, sekaligus mencantumkan sifat
(istimewa) pembayaran upah yang merupakan utang harta pailit dalam daftar
utang piutang harta pailit (Pasal 102 jo. 100 UU No. 37/2004) Daftar tersebut
harus diumumkan pada khalayak umum (Pasal 103 UU No. 37/2004) sebelum
akhirnya dicocokkan dengan tagihan yang diajukan oleh kreditor sendiri (Pasal
116 UU No. 37/2004).
Dalam Pasal 39 ayat (2) UUK dan PKPU telah ditentukan bahwa upah buruh
untuk waktu sebelum dan sesudah pailit termasuk utang harta pailit artinya
pembayarannya didahulukan dari Kreditor Preferen Khusus dan Preferen Umum
yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata.

Teori kewajiban pajak mutlak menyatakan bahwa negara mempunyai kekuasaan


untuk memungut pajak secara mutlak, karena negara telah memberikan
kehidupan kepada masyarakat. Dalam hal ini pemerintah diberikan kewenangan
oleh undang-undang untuk melakukan pungutan pajak dimana manfaat pajak
tersebut adalah berguna untuk membiayai pembangunan.

Utang pajak merupakan hal yang harus didahulukan dalam masalahkepailitan.


Utang pajak mempunyai kedudukan yang penting sehingga kedudukannya tidak
dapat dihapuskan, termasuk dalam keadaan pailit. Hal ini bahkan ditegaskan
dalam UUK dan PKPU yang memberikan kedudukan utama dari pajak sebagai
kewajiban yang harus didahulukan.

Sinninghe Damste dalam Inleiding tot het Nederlands Belastingsrecht menyatakan


bahwa ia tidak dapat mengatakan dengan tegas apakah tentang pemberian hak
mendahului kepada masing-masing pajak itu ada patokannya tertentu atau tidak.
Namun pemberian hak mendahulu bukanlah suatu hal yang kebetulan saja atau
digantungkan kepada kesempatan yang dianggap baik belaka.

Kekuasaan fiskus untuk menuntut pelunasan utang pajak dengan


langsungsebenarnya dipermudah dengan adanya hak mendahulu yang diberikan
Undang-Undang. Adriani mengatakan hak mendahulu i merupakan hak fiskus atas
kekuasaan negara.

Suatu utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau Penanggung
Pajak. Dengan adanya tagihan pajak, negara mempunyai hak mendahulu untuk
tagihan pajak tersebut atas barang-barang milik Penanggung Pajak, sebagaimana
bunyi Pasal 21 ayat (1) UU KUP yakni “Negara mempunyai hak mendahulu untuk
utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.”

Adapun maksud dari adanya hak mendahulu negara ini dijelaskan lebih lanjut
dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP, yaitu untuk menetapkan kedudukan
negara sebagai Kreditor preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang
barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pelaksanaan
hak mendahulu negara atas utang pajak tersebut adalah dengan dilakukan
pembayaran atas utang pajak terlebih daulu, pembayaran kepada Kreditor lain
diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Ketentuan tentang hak mendahulu
meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan
biaya penagihan pajak.

Hak mendahulu yang dimiliki negara untuk tagihan pajak atas barangbarang
milik Penanggung Pajak diatur dalam Pasal 21 UU KUP. Utang pajak merupakan
aturan khusus, oleh karena itu negara melalui Direktorat Jenderal Pajak
mempunyai “hak mendahulu”untuk melaksanakan sita atas barangbarang wajib
pajak yang manjadikan barang-barang miliknya atau assetnya sebagai jaminan
atas utang-utangnya, seperti yang diatur dalam Pasal 21 UUKUP tersebut.

KUH Perdata telah menempatkan utang pajak untuk didahulukan dari pada
kreditor lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1137, sebagai berikut :

“Hak dari Kas Negara, Kantor lelang dan lain-lain badan umum yang dibentuk
Pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka
waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang
khusus yang mengenai hal-hal itu”.

Dengan demikian maka menurut Pasal 1137 KUH Perdata tersebut maka
kedudukan utang pajak sebagai pemegang hak istimewa dengan hak mendahulu
yang merujuk pada pengaturan dalam undang-undang khusus, yaitu Undang-
Undang Perpajakan. Sebelum membahas mengenai bagaimana Undang-Undang
mengatur mengenai kedudukan utang pajak dalam kepailitan, perlu kita ingat
lagi mengenai utang dalam kepailitan. Dilihat dari definisi utang dalam UUK dan
PKPU secara luas, utang merupakan kewajiban yang dapat timbul dari perjanjian
atau dari perikatan karena undang-undang. Sementara pemahaman pajak dari
persepektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul
karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajban warga
negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara,
dimana Negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut
harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintah.

Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus
berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik
bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar
pajak.Dalam Pasal 23 (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang.Jadi setiap pajak yang dipungut
oleh pemerintah harus berdasarkan undang-undang, sehingga tidak mungkin ada
pajak yang dipungut tidak dengan undang-undang.

B. Bentuk penyelesaian permasalahan antara kreditor preferen Buruh dan


Kreditor Preferen Pajak dalam Proses Kepailitan

1. Penyelesaian Secara Litigasi

Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), Proses
penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia dilakukan di Pengadilan Niaga dalam
lingkungan peradilan umum.

Proses dan jangka waktu pengajuan permohonan perkara kepailitan, dapat dilihat
pada gambar Proses dan jangka waktu pengajuan permohonan perkara kepailitan
pada Pengadilan Niaga seperti pada gambar berikut :
Sumber : www.pn-jakpus.go.id. Diakses pada tanggal 20 November 2012

Dalam hal wilayah Pengadilan yang berwenang memutus perkara kepailitan, terdapat
beberapa hal yang harus diketahui oleh debitor dan kreditor, yaitu:

1. Permohonan pernyataan pailit diputuskan di Pengadilan di daerah tempat


kedudukan hukum debitor.
2. Apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia,
Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor.
3. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang berwenang
menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan hukum firma tersebut.
4. Dalam hal debitor tidak berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia
tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia,
Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitor
menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia.
5. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, Pengadilan yang berwenang
menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan hukum sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar badan hukum
tersebut.

Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam


jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan
didaftarkan. Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup,
Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25
(dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Putusan Pengadilan
atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh)
hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan Pengadilan
tersebut wajib memuat:
1. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan
2. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua
majelis.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit yang memuat secara lengkap
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun
terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.

Berdasarkan Pasal 10 UU Kepailitan, selama putusan atas permohonan pernyataan


pailit belum diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas
Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk:
1. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor; atau
2. menunjuk kurator sementara untuk mengawasi:
a. pengelolaan usaha debitor; dan
b. pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitor
yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator.

Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan
hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor.
Pembatalan diajukan kepada Pengadilan sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan. Pembatalan hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada
saat perbuatan hukum dilakukan, debitor dan pihak lain yang bersangkutan,
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi
kreditor.

Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit, atas usul Hakim Pengawas, permintaan
kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih dan setelah mendengar
Hakim Pengawas, dapat memerintahkan supaya debitor pailit ditahan, baik
ditempatkan di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah
pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas. Perintah penahanan
dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
2. Penyelesaian Secara Non-Litigasi

Penyelesaian sengketa lewat jalur non litigasi terbagi menjadi beberapa metode
yaitu:

a. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang
bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan
kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta
win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
b. Penilaian Ahli
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai penilaian ahli,
menurut Hillary Astor dalam bukunya Dispute Resolution in Australia
“penilaian ahli adalah suatu proses yanh menghasilkan suatu pendapat
objektif, independen dan tidak memihak atas fakta-fakta atau isu-isu yang
dipersengketakan oleh seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang
bersengketa.”
Di dalam melakkukan proses ini dibutuhkan persetujuan dari para pihak
untuk memberikan dan mempresentasikan fakta dan pendapat dari para
pihak kepada ahli. Ahli tersebut kemudian akan melakukan penyelidikan dan
pencarian fakta guna mendapatkan informasi lebih lanjut dari para pihak dan
akan membuat keputusan sebagai ahli bukan arbiter.
c. Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa yang kurang lebih hampir sama
dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan
berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa
disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-
saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk
mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus
netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang objektif dan tidak
terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib
dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase
sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk
melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan
perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator professional
karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi
khusus.
Sedangkan Menurut Black’s Law Dictionary mediasi diartikan sebagai proses
penyelesaian sengketa secara pribadi, informal dimana seorang pihak yang
netral yaitu mediator, membantu para pihak yang bersengketa untuk
mencapai kesepakatan. Mediator tidak mempunyai kesewenangan untuk
menetapkan keputusan bagi para pihak. Mediator bersifat netral dan tidak
memihak yang tugasnya membantu para pihak yang bersengketa untuk
mengindentifikasikan isu-isu yang dipersengketakan mencapai kesepakatan.
Dalam fungsinya mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat
keputusan.
d. Konsiliasi
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai konsiliasi. Menurut
John Wade dari Bond University Dispute Resolution Center, Australia “
konsiliasi adalah suatu proses dalam mana para pihak dalam suatu konflik,
dengan bantuan seorang pihak ketiga netral (konsiliator),
mengindentifikasikan masalah, menciptakan pilihan-pilihan,
mempertimbangkan pilihan penyelesaian) Konsiliator dapat menyarankan
syarat-syarat penyelesaian dan mendorong para pihak untuk mencapai
kesepakatan. Berbeda dengan negosiasi dan mediasi, dalam proses konsiliasi
konsiliator mempunyai peran luas. Ia dapat memberikan saran berkaitan
dengan materi sengketa, maupun terhadap hasil perundingan. Dalam
menjalankan peran ini konsiliator dituntut untuk berperan aktif.
e. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi,
hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang
memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk
dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah
"klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul
sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal
sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam
perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut
berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara
tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka
pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar
kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau
perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi
antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak
yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan
jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun.
Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka
arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda
dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang
memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak
penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang
dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan
bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman
aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan
hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan
sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final
dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan
arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan
tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan
palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan
tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak
baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya adalah:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus
ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah);
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum
didaftarkan ke Pengadilan Negeri;
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang
komersial perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya.
Menurut Kasianus Telaumbanua,SH,MH (Hakim Niaga Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat) bahwa terkadang penyelesaian sengketa kepailitan diselesaikan melalui
jalur di luar pengadilan Misalnya para pihak dalam hal ini pemohon dan
termohon sepakat untuk menghentikan perkaranya dengan mencabut
permohonan pailit.

Menurut Muh.Ashar.SH,MH (Kurator Jakarta pada kantor Hukum Titik dan


Rekan) yang berpendapat bahwa penyelesaian sengketa seperti ini pada
umumnya dipengaruhi pertimbangan kelangsungan bisnis.

Menurut Muh.Chaidir,SH (Kordinator Hukum Perwakilan Serikat Buruh


Nusantara) yang berpendapat bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan
lebih menguntungkan posisi buruh karena Hak-hak buruh cenderung di
prioritaskan oleh pihak termohon yang dalam hal ini adalah Pengusaha yang
dimohonkan pailit oleh buruh.

Menurut Agus, S.H.,M.Si.(Bidang Hukum kantor pelayanan pajak Jakarta Selatan)


yang berpendapat bahwa proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih
cenderung menguntungkan Negara dalam hal ini terkait dengan utang pajak
pengusaha yang dimana tidak memakan watu yang begitu lama dan tidak terjadi
perselisishan yang rumit dengan buruh yang haknya didahulukan sama dengan
kedudukan pajak dalam kepailitan menurut undang-undang.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kedudukan buruh maupun kedudukan pajak sebagai kreditor dalam proses kepailitan
tergantung dari pendekatan yang digunakan. Dari pendekatan konseptual penulis
menemukan bahwa kedudukan hukum kreditor preferen pajak dan preferen buruh
mempunyai kedudukan yang sama. Dari pendekatan perundang-undangan penulis
menemukan bahwa kedudukan kreditor preferen pajak dan preferen buruh mempunyai
kedudukan yang sama. Dari pendekatan kasus penempatan kedudukan preferen pajak
dan preferen buruh bersifat kasuistis. Bentuk penyelesaian permasalahan antara
kreditor preferen buruh dan kreditor preferen pajak dalam proses kepailitan dapat
melalui proses litigasi dan proses non-litigasi.

Dalam rangka memberikan kepastian kedudukan hukum terhadap kreditor


preferen pajak dan kreditor preferen buruh maka dirasa perlu untuk
menyempurnakan undang undang kepailitan, agar tidak terjadi permasalahan
antara kreditor preferen pajak dan kreditor preferen buruh dalam prose kepailitan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa antara kreditor Preferen
buruh dan kreditor preferen pajak dalam proses kepailitan ini bisa menjadi
masukan bagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk
menyempurnakan undang undang kepailitan Bentuk penyelesaian permasalahan
antara kreditor preferen buruh dan kreditor preferen pajak dalam proses
kepailitan ,ada baiknya kalau diselesaikan secara non litigasi,sebab bentuk
penyelesaian ini tidak memakan waktu dan biaya yang banyak untuk
menyelesaikan permasalahan antara kreditor preferen buruh dan kreditor preferen
pajak .

UNGKAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada sponsor, atau yang terlibat dalam membantu pendanaan,
memperlancar kegiatan penelitian, diuraikan dalam bentuk paragraf singkat.

REFERENSI

Asikin, Z. (2001). Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia.


RajaGrafindo Persada.
Dewi, K. S., & Markeling, I. K. (2018). Kedudukan Utang Upah Pekerja Dalam
Kepailitan. Jurnal Fakultas Hukum Udayana, 6(02).

Hamdi, H. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Terhadap Pelunasan Piutang Dari
Harta Pailit. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum, 1(1).

Hartono, S. R. (2007). Hukum Ekonomi Indonesia. Bayumedia Pub.

Mahmud Marzuki, P. (2005). Penelitian hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media, 55.

Makmur, S. (2018). Kepastian Hukum Kepailitan Bagi Kreditor dan Debitor Pada
Pengadilan Niaga Indonesia. Mizan: Journal of Islamic Law, 4(2).

Rahmani, I. (2018). Perlindungan Hukum Kepada Pembeli Dalam Kepailitan


Pengembang (Developer) Rumah Susun. Jurnal Hukum Bisnis Bonum
Commune, 1(1).

Simanjuntak, H. A. (2019). Penyelesaian Utang Debitor Terhadap Kreditor Melalui


Kepailitan. Jurnal Justiqa, 1(1).

Sutan Remy Sjahdeini, S. H. (2016). Hukum Kepailitan (Memahami undang-undang No.


37 Tahun 2004 tentang Kepailitan). Kencana.

Yani, A., & Widjaja, G. (2002). Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

You might also like