Professional Documents
Culture Documents
Paper Presentase Isei Bandung
Paper Presentase Isei Bandung
Paper Presentase Isei Bandung
Haryadi
ABSTRACT
The process of economic liberalization to create a free trade area in the
world is becoming to be a reality after three pillars of agricultural negotiation
involved domestic supports, export subsidies, and market access have been agreed
to be eliminated by 2013. Nevertheless, this liberalization policy is believed to be
able to create some opportunities and challenges. This policy is expected to
change the trade map of all commodities in the world either manufactured or
agricultural products including in small and medium scale enterprises. Indonesia
is one of the countries that is expected to be infected by this policy, because
agricultural sector is still becoming the key sector in Indonesian economy.
This research intends to explore the impact of tariffs on special product
prevailed by Indonesia. The GTAP model was used as the main tool of analysis.
The results of the research Indicate that the simulation of special tariff prevailed
by Indonesia on a certain products succeeds in reducing import, increasing
domestic production, and also increasing export for agricultural sectors and small
and medium scale enterprises.
The implication of the result of this research is that Indonesia still needs to
prevaile special tariff on certain product particularly on agricultural product.
Through this policy, Indonesian government will be able to reduce import,
increase domestic production, and increase export. Nevertheless, the effort to
minimizing the negative impact should be implemented simultaneously. This
policy can be implemented through forcing the competitive advantage for all
products so the product is no longer depending on government protection.
I. PENDAHULUAN
1
Tulisan ini merupakan sebahagian dari hasil penelitian penulis mengenai Dampak Kesepakatan
Tiga Pilar Negosiasi Sektor Pertanian WTO Terhadap Perekonomian Negara-negara Anggota
melalui Program Hibah Bersaing yang dibiayai oleh DP2M Dikti.
2
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jambi
3
Topik perdebatan sebagian besar selalu pada sektor pertanian, baik pada
pertemuan di level Menteri maupun pada pertemuan antar perwakilan negara.
Masing-masing negara baik negara maju maupun negara berkembang sangat
berkepentingan dengan sektor pertanian. Bagi negara berkembang, sektor
pertanian adalah sektor yang mampu menampung banyak tenaga kerja serta
menghidupi sebagian besar masyarakat. Sebaliknya bagi negara maju, sektor
pertanian adalah sektor yang wajib dilindungi karena pada sektor ini hidup
sejumlah petani yang berhak mendapatkan perlidungan.
Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) VI yang diselenggarakan di
Hong Kong pada akhir Desember 2005, negara-negara anggota telah mencapai
suatu kesepakatan yang dinilai oleh banyak pihak cukup berhasil. Keberhasilan
dari KTM VI terletak pada poin penting yaitu disepakatinya pembahasan
mengenai 3 (tiga) pilar di sektor pertanian yakni dukungan domestik (domestic
support), subsidi ekspor (export subsidy), dan akses pasar (market access). Pada
pertemuan tersebut dilakukan kesepakatan untuk menghapus semua kebijakan
yang mendistorsi perdagangan tersebut secara gradual hingga tahun 2013.
Fakta menunjukkan bahwa saat ini liberalisasi perdagangan yang
berlangsung diantara negara-negara maju dan negara-negara berkembang belum
berjalan sesuai harapan. Distorsi perdagangan yang menjurus kepada ketidak-
adilan masih dilakukan oleh negara-negara maju dan masih diperkenankan pula
oleh WTO. Negara maju terutama Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang
memberikan dua kebijakan berupa bantuan domestik dan subsidi ekspor yang
cukup besar kepada produsen dan eksportir mereka. Kondisi ini diperparah pula
oleh adanya pengenaan tarif impor terhadap produk yang berasal dari negara
berkembang.
Disamping dua kebijakan tersebut, negara maju ternyata menerapkan tarif
impor yang relatif cukup besar terhadap komoditi yang berasal dari negara
berkembang. Jepang bahkan merupakan negara yang paling memprotek pertanian
mereka dari impor. Negara ini bahkan menerapkan rata-rata tarif impor 80 persen
(Database GTAP 6.2) dan tarif impor yang tertinggi di dunia. Perlakuan yang
sama juga dilakukan oleh Uni Eropa. Tingkat tarif negara ini masih berada diatas
tarif impor yang diberlakukan oleh kebanyakan negara-negara berkembang.
Berbalikan dengan negara maju, karena minimnya ketersediaan dana
negara berkembang termasuk Indonesia mampu memberikan bantuan (dukungan
domestik dan subsidi ekspor) kepada produsen dan eksportir di negara mereka.
Kebijakan negara maju yang terlalu bersifat protektif terhadap produk-produk
domestiknya telah menyebabkan perdagangan dunia menjadi tidak seimbang dan
tidak adil. Kebijakan tersebut justru tidak mengarah kepada hakekat liberalisasi
yang sebenarnya, bahkan cenderung berbalikan dengan tujuan awal WTO.
Perlakuan negara maju yang bersifat protektif seperti diatas jelas
merugikan negara-negara berkembang, sementara usulan negara berkembang
untuk diperkenankan menerapkan tarif khusus pada produk tertentu kurang
mendapat respon positif dari negara maju. Sebaliknya negara maju malah
mendesak negara berkembang agar menghapus semua tarif impor, sementara
negara maju sendiri masih menerapkannya. Perlakuan seperti ini jelas akan
merugikan negara berkembang termasuk pada sektor pertanian dan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM). Sikap keras negara maju begitu kentara dalam
4
setiap pertemuan negara anggota WTO. Perlakuan yang tidak adil seperti ini
berpotensi untuk menyebabkan semakin lebarnya ketimpangan kesejahteraan
antara negara maju dan berkembang.
Menyadari ketidak-adilan ini, negara berkembang merespon dengan cara
menolak permintaan dari negara maju. Negara berkembang terutama melalui
kelompok G33 yang diketuai Indonesia tetap mengusulkan untuk membolehkan
pemberlakuan tarif khusus atau special products (SP). Tujuan dari SP adalah agar
adanya reformasi perdagangan sehingga negara berkembang lebih mampu
menyesuaikan diri dalam memperkuat ketahanan pangan, mengurangi kemiskinan
yang erat hubungannya dengan livelihood security, serta pembangunan perdesaan.
Kebijakan ini penting mengingat sebagian besar anggota WTO adalah negara
berkembang dengan tingkat pendapatan yang masih rendah.
Kebijakan negara maju yang masih mempertahankan dukungan domestik
dan subsidi ekspor serta permintaan negara berkembang untuk mendapatkan
perlakuan khusus telah menyebabkan pertemuan WTO selalu diwarnai
perdebatan. Persoalan konflik kepentingan yang memunculkan perdebatan terlihat
menonjol pada setiap pertemuan negara-negara anggota. Faktor ini pulalah yang
menyebabkan pertemuan yang dilakukan oleh WTO seringkali tidak
menghasilkan kesepakatan yang signifikan. Salah satu contoh konkrit adalah
pertemuan para perwakilan negara pada konferensi Jenewa yang berlangsung dari
tanggal 21 sampai dengan 27 Juli 2008. Pada pertemuan tersebut terdapat dua
kutub yang saling berbeda pendapat. Negara berkembang tetap mempertahankan
usulan mereka mengenai konsep SP.
Saat ini negara-negara anggota G33 telah diperkenankan oleh WTO untuk
menerapkan SP dalam batas-batas tertentu. Namun demikian, anehnya Indonesia
sendiri masih memberlakukan tarif impor untuk beberapa produk termasuk
produk UKM sektor pertanian dibawah tarif yang diperkenankan oleh WTO.
Pertanyaan yang mencuat adalah ”mengapa pemerintah masih memberlakukan
tarif impor dibawah ambang batas yang diperkenankan WTO? apakah tingkat tarif
yang ditetapkan oleh Indonesia tersebut sudah tepat?” atau ”apakah penerapan
tarif sampai ambang batas yang diperkenankan oleh WTO akan merugikan
Indonesia?”. Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan melakukan suatu studi
ilmiah. Alasan inilah yang melatarbelakangi munculnya studi ini.
Negara 1
100
PB=PB’=1
E
80 1
III 2
E’
60
40
20
X 0 X
60 40 20 20 40 60 80 100 120 140
20
Negara 2
40
60
E’
80
III’
Y
Terdapat beberapa peneliti yang sudah mengkaji dan menganalisis dampak
liberalisasi terhadap kinerja perekonomian baik dalam konteks suatu negara
maupun dalam konteks yang lebih luas. Sebagian menemukan dampak positif
sementara sebagian lagi menemukan dampak negatif. Devaragan et.al. (1990)
melihat dampak liberalisasi perdagangan dengan titik fokus pada model dua
sektor. Dengan menggunakan persamaan simultan, ditemukan bahwa perubahan
term of trade (TOT) pada negara-negara Afrika telah menimbulkan efek
pendapatan yang menyebabkan permintaan barang untuk kebutuhan domestik
meningkat dengan kecendrungan impornya lebih tinggi. Dengan demikian yang
terjadi bukanlah perbaikan ekonomi negara-negara tersebut, akan tetapi adalah
memburuknya neraca perdagangan. Temuan ini konsisten dengan Aggarwal dan
9
Agmon dalam Wijaya (2000) dan Paulino dan Thirwall (2004). Pengujian
terhadap dampak liberalisasi perdagangan juga dilakukan oleh Lopez (2003).
Dalam kajiannya, Lopez menguji dampak dari liberalisasi perdagangan regional
yang meliputi NAFTA terhadap neraca pembayaran dan neraca perdagangan
Meksiko selama 1980-an. Lopez menemukan bahwa reformasi perdagangan
selama 1980-an berpengaruh signifikan terhadap perdagangan, ekspor dan impor.
Namun demikian, pengaruh NAFTA dapat diabaikan. Artinya, NAFTA ternyata
tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap ekspor dan impor serta neraca
pembayaran Meksiko. Ada dugaan bahwa perbedaan struktur ekonomi negara-
negara anggota merupakan penyebab tidak munculnya dampak tersebut.
Dalam konteks AFTA, dampak liberalisasi perdagangan diteliti oleh
Hakim (2004). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dampak AFTA cukup
besar bagi perekonomian negara anggota. Dengan menggunakan Recursive
Dynamic Multi-Region Computable General Equilibrium, liberalisasi
perdagangan diprediksi akan meningkatkan perdagangan diantara negara-negara
anggota ASEAN secara keseluruhan. Namun demikian, diantara negara-negara
Anggota ASEAN, peningkatan real GDP Indonesia diperkirakan adalah yang
terkecil.
III. METODE PENELITIAN
merupakan sektor strategis dan tersedia dalam database GTAP. Sektor-sektor ini
dibuat berdiri sendiri (tidak dikelompokkan dengan sektor lain). Tahapan kedua
adalah memilih sektor yang dinilai juga strategis namun tidak terdapat dalam
database GTAP. Untuk sektor ini, digunakan agregasi agar posisi dan dampak
penetapan tarif, subsidi ekspor, dan dukungan domestik bisa teridentifikasi. Sebagai
contoh, untuk komoditas kelapa sawit dan olahannya yang merupakan komoditas
strategis karena merupakan komoditas dengan tujuan ekspor dimana Indonesia
adalah eksportir terbesar dunia. Namun demikian, karena komoditas ini tidak berdiri
sendiri dalam database GTAP, maka dalam penelitian ini digunakan agregasi dengan
cara memilih sektor dimana komoditas tersebut tergabung. Misalnya, untuk kelapa
sawit, dipilih sektor minyak nabati sebagai sektor, karena dalam database GTAP,
minyak kelapa sawit tergabung dalam kelompok minyak nabati. Begitu pula dengan
komoditi-komoditi lain yang mana Indonesia juga merupakan produser terbesar
sekaligus juga eksportir terbesar.
No
. Kode Sektor Keterangan Sektor dalam GTAP
dikenakan tarif impor menunjukkan peningkatan output. Indikasi ini terlihat dari
peningkatan output pada produksi padi, gandum, jagung, kedele, gula, ternak dan
susu yang menunjukkan peningkatan impor lebih besar dari penerapan tarif SP
secara total. Skenario 1 menunjukkan hasil yang terbaik diantara beberapa
skenario yang dilakukan. Hasil yang baik tersebut terlihat dari meningkatnya
output untuk semua komoditi yang diberlakukan tarif khusus untuk impor.
Peningkatan terbesar terjadi pada komoditi susu 106,41%. Komoditi lain yang
juga mengalami peningkatan yang cukup besar adalah kedele 29,32%, diikuti oleh
gandum 11,59%, dan gula 8,39%.
penerapan tarif SP relatif cukup baik untuk diterapkan jika tujuan pemerintah
adalah untuk menekan impor dan meningkatkan produksi dalam negeri.
Berdasarkan Tabel 6, skenario dua menunjukkan hasil yang lebih baik
dibanding skenario lainnya. Semua komoditi yang dikenai pajak impor mengalami
penurunan impor. Secara persentase, penurunannya impor pada skenario 2 (negara
maju dan berkembang menerapkan tarif sebagaimana yang terjadi pada saat ini
namun Indonesia menerapkan SP pada ambang batas tertinggi) lebih besar
dibanding skenario lainnya.
17
mengalami penurunan ekspor tersebut diantarnya adalah padi 632,83%. Sektor ini
mengalami penurunan ekspor yang terbesar. Kondisi ini diperkirakan terjadi baik
karena produksi dalam negeri lebih banyak digunakan untuk memenuhi
kebutuhan domestik. Penurunan ekspor sektor padi cukup selaras dengan tujuan
pemerintah untuk mememenuhi kebutuhan dalam negeri. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, sesungguhnya sektor padi mengalami peningkatan akibat pengenaan
tarif impor, namun peningkatan tersebut relatif kecil 2,69%.
DAFTAR PUSTAKA
Bhagwati, J. 1998. Free Trade: What Now?. Paper presented at the University
of St. Gallen, Geneva. http://www.columbia.edu/~Jb/freedpm -Speech,
The Case for Free Trade.pdf
21
Brooks, D.H. and G. Sugiyarto. 2005. Can the Poor Benefit From Doha Agenda?:
A Case for Indonesia. Asian Development Bank, Manila.
Coraton, C.B. and J. Cockburn. 2005. Trade Reform and Poverty in the
Philippines: A Computable General Equilibrium Microsimulation
Analysis. International Development Research Centre, Manila.
Devaragan, S., J.D. Lewis and S. Robinson. 1990. Policy Lessons from Trade
Focussed: Two Sector Models. Journal of Policy Modelling, 12 (4):
625 -657.
Hakim, D.B. 2004. The Implication of the ASEAN Free Trade Area on
Agricultural Trade: A Recursive Dynamic General Equilibrium
Analysis. PhD Dissertation. Institut fur Agroeconomic Georg-August-
Universitat Gottingen, Gottingen.
Hertel, T.W. and R. Keeney. 2005. What’s at Stake: The Relative Importance of
Import Barriers, Export Subsidies and Domestic Support. In
Agricultural Trade Reform and the Doha Development Agenda.
Palgrave Macmillan, New York.
Hutabarat, B., M.H. Sawit, Supriyati, B.M Rahmanto, A. Setiyanto and H.J.
Purba. 2004. Bahan Advokasi Delegasi Indonesia Dalam Perundingan
Multilateral. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Petanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Jensen, H.T. and F. Tarp. 2003. Trade Liberalisation and spatial Inequality:
Methodological Innovations in A Vietnames perspective. United Nation
University, New York.
Matusz, S.J. and D. Tarr. 1999. Adjusting to Trade Policy Reform. Policy
Research Working Paper 2142. The World Bank, Washington, D.C.
Paulino A.S. and A.P. Thirlwall. 2004. The Impact of Trade Liberalisation On
Exports, Imports and The Balance of Payments of Developing
Countries. The Economic Journal, 114 (02): F50–F72.