Paper Presentase Isei Bandung

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 24

THE IMPLEMENTATION OF SPECIAL TARIFF FOR AGRICULTURAL

PRODUCS AND ITS IMPACT ON SMALL MEDIUM ENTERPRISES OF


INDONESIAN ACRICULTURAL PRODUCTS.

Haryadi

ABSTRACT
The process of economic liberalization to create a free trade area in the
world is becoming to be a reality after three pillars of agricultural negotiation
involved domestic supports, export subsidies, and market access have been agreed
to be eliminated by 2013. Nevertheless, this liberalization policy is believed to be
able to create some opportunities and challenges. This policy is expected to
change the trade map of all commodities in the world either manufactured or
agricultural products including in small and medium scale enterprises. Indonesia
is one of the countries that is expected to be infected by this policy, because
agricultural sector is still becoming the key sector in Indonesian economy.
This research intends to explore the impact of tariffs on special product
prevailed by Indonesia. The GTAP model was used as the main tool of analysis.
The results of the research Indicate that the simulation of special tariff prevailed
by Indonesia on a certain products succeeds in reducing import, increasing
domestic production, and also increasing export for agricultural sectors and small
and medium scale enterprises.
The implication of the result of this research is that Indonesia still needs to
prevaile special tariff on certain product particularly on agricultural product.
Through this policy, Indonesian government will be able to reduce import,
increase domestic production, and increase export. Nevertheless, the effort to
minimizing the negative impact should be implemented simultaneously. This
policy can be implemented through forcing the competitive advantage for all
products so the product is no longer depending on government protection.

Keywords: WTO, international trade, GTAP model


2

PENERAPAN TARIF KHUSUS UNTUK PRODUK PERTANIAN DAN


DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PRODUK
UMKM SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA 1
Haryadi 12

I. PENDAHULUAN

Sejak didirikan pada tahun 1995, Organisasi Perdagangan Dunia atau


World Trade Organisation (WTO) hampir tak pernah lepas dari perdebatan.
Debat antara yang mendukung dan yang menolak kehadiran WTO juga
ditunjukkan oleh tulisan-tulisan yang dimuat di berbagai jurnal dan media masa
(Haryadi, 2008). Dari tujuh kali Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO, tak
jarang pula pertemuan berakhir dengan kegagalan. Peran negara-negara maju dan
sikap yang tak mau mengalah terlihat begitu menonjol pada setiap pertemuan.
Oleh karena itu tidak sedikit para ahli ekonomi yang memandang bahwa WTO
hanyalah salah satu alat bagi negara-negara maju untuk melegalisir kebijakan
yang menguntungkan kelompok tersebut (Hutabarat, 2004).
Dampak pemberlakuan perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan
seperti yang dicanangkan oleh WTO sebenarnya sudah diteliti oleh banyak pakar.
Haryadi (2008) menyatakan bahwa jauh sebelum WTO berdiri, para peneliti
antara lain Michaely (1977), Heller dan Porter (1978), Balassa (1982), Tyler
(1981), Kavoussi (1984), Feder (1992) telah melakukan studi tentang dampak
liberalisasi perdagangan. Semuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan
dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan
ekonomi.
Setelah WTO berdiri, studi tentang dampak liberalisasi perdagangan pun
masih tetap menjadi isu yang hangat. Penelitian tentang dampak WTO juga
banyak dilakukan di Indonesia. Diantara banyak peneliti Indonesia, terdapat tiga
studi yang mendukung liberalisasi perdagangan. Ketiga peneliti tersebut adalah
Wijaya (2000), Oktaviani (2000), dan Hakim (2004). Secara umum, hasil
penelitian ketiga peneliti ini menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan
berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi baik kinerja ekonomi secara makro
maupun sektoral. Dengan menggunakan lokasi yang berbeda, semuanya
mendukung pendapat yang menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan
bermanfaat bagi suatu atau sekelompok negara terutama dalam meningkatkan
pendapatan dan kesejahteran masyarakat.
Sebaliknya, yang menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan berpotensi
memunculkan dampak negatif banyak ditemui dalam studi peneliti-peneliti asing.
Diantara beberapa hasil penelitian tersebut dikemukakan oleh Devaragan at.al.
(1990), Matusz et al. (1999), Anggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000),
Paulino (2000), Lopez (2003) , Jensen and Tarp (2003) , Walsh, Brockmeier dan
Matthews (2005), dan Brooks dan Sugiyarto (2005).

1
Tulisan ini merupakan sebahagian dari hasil penelitian penulis mengenai Dampak Kesepakatan
Tiga Pilar Negosiasi Sektor Pertanian WTO Terhadap Perekonomian Negara-negara Anggota
melalui Program Hibah Bersaing yang dibiayai oleh DP2M Dikti.
2
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jambi
3

Topik perdebatan sebagian besar selalu pada sektor pertanian, baik pada
pertemuan di level Menteri maupun pada pertemuan antar perwakilan negara.
Masing-masing negara baik negara maju maupun negara berkembang sangat
berkepentingan dengan sektor pertanian. Bagi negara berkembang, sektor
pertanian adalah sektor yang mampu menampung banyak tenaga kerja serta
menghidupi sebagian besar masyarakat. Sebaliknya bagi negara maju, sektor
pertanian adalah sektor yang wajib dilindungi karena pada sektor ini hidup
sejumlah petani yang berhak mendapatkan perlidungan.
Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) VI yang diselenggarakan di
Hong Kong pada akhir Desember 2005, negara-negara anggota telah mencapai
suatu kesepakatan yang dinilai oleh banyak pihak cukup berhasil. Keberhasilan
dari KTM VI terletak pada poin penting yaitu disepakatinya pembahasan
mengenai 3 (tiga) pilar di sektor pertanian yakni dukungan domestik (domestic
support), subsidi ekspor (export subsidy), dan akses pasar (market access). Pada
pertemuan tersebut dilakukan kesepakatan untuk menghapus semua kebijakan
yang mendistorsi perdagangan tersebut secara gradual hingga tahun 2013.
Fakta menunjukkan bahwa saat ini liberalisasi perdagangan yang
berlangsung diantara negara-negara maju dan negara-negara berkembang belum
berjalan sesuai harapan. Distorsi perdagangan yang menjurus kepada ketidak-
adilan masih dilakukan oleh negara-negara maju dan masih diperkenankan pula
oleh WTO. Negara maju terutama Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang
memberikan dua kebijakan berupa bantuan domestik dan subsidi ekspor yang
cukup besar kepada produsen dan eksportir mereka. Kondisi ini diperparah pula
oleh adanya pengenaan tarif impor terhadap produk yang berasal dari negara
berkembang.
Disamping dua kebijakan tersebut, negara maju ternyata menerapkan tarif
impor yang relatif cukup besar terhadap komoditi yang berasal dari negara
berkembang. Jepang bahkan merupakan negara yang paling memprotek pertanian
mereka dari impor. Negara ini bahkan menerapkan rata-rata tarif impor 80 persen
(Database GTAP 6.2) dan tarif impor yang tertinggi di dunia. Perlakuan yang
sama juga dilakukan oleh Uni Eropa. Tingkat tarif negara ini masih berada diatas
tarif impor yang diberlakukan oleh kebanyakan negara-negara berkembang.
Berbalikan dengan negara maju, karena minimnya ketersediaan dana
negara berkembang termasuk Indonesia mampu memberikan bantuan (dukungan
domestik dan subsidi ekspor) kepada produsen dan eksportir di negara mereka.
Kebijakan negara maju yang terlalu bersifat protektif terhadap produk-produk
domestiknya telah menyebabkan perdagangan dunia menjadi tidak seimbang dan
tidak adil. Kebijakan tersebut justru tidak mengarah kepada hakekat liberalisasi
yang sebenarnya, bahkan cenderung berbalikan dengan tujuan awal WTO.
Perlakuan negara maju yang bersifat protektif seperti diatas jelas
merugikan negara-negara berkembang, sementara usulan negara berkembang
untuk diperkenankan menerapkan tarif khusus pada produk tertentu kurang
mendapat respon positif dari negara maju. Sebaliknya negara maju malah
mendesak negara berkembang agar menghapus semua tarif impor, sementara
negara maju sendiri masih menerapkannya. Perlakuan seperti ini jelas akan
merugikan negara berkembang termasuk pada sektor pertanian dan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM). Sikap keras negara maju begitu kentara dalam
4

setiap pertemuan negara anggota WTO. Perlakuan yang tidak adil seperti ini
berpotensi untuk menyebabkan semakin lebarnya ketimpangan kesejahteraan
antara negara maju dan berkembang.
Menyadari ketidak-adilan ini, negara berkembang merespon dengan cara
menolak permintaan dari negara maju. Negara berkembang terutama melalui
kelompok G33 yang diketuai Indonesia tetap mengusulkan untuk membolehkan
pemberlakuan tarif khusus atau special products (SP). Tujuan dari SP adalah agar
adanya reformasi perdagangan sehingga negara berkembang lebih mampu
menyesuaikan diri dalam memperkuat ketahanan pangan, mengurangi kemiskinan
yang erat hubungannya dengan livelihood security, serta pembangunan perdesaan.
Kebijakan ini penting mengingat sebagian besar anggota WTO adalah negara
berkembang dengan tingkat pendapatan yang masih rendah.
Kebijakan negara maju yang masih mempertahankan dukungan domestik
dan subsidi ekspor serta permintaan negara berkembang untuk mendapatkan
perlakuan khusus telah menyebabkan pertemuan WTO selalu diwarnai
perdebatan. Persoalan konflik kepentingan yang memunculkan perdebatan terlihat
menonjol pada setiap pertemuan negara-negara anggota. Faktor ini pulalah yang
menyebabkan pertemuan yang dilakukan oleh WTO seringkali tidak
menghasilkan kesepakatan yang signifikan. Salah satu contoh konkrit adalah
pertemuan para perwakilan negara pada konferensi Jenewa yang berlangsung dari
tanggal 21 sampai dengan 27 Juli 2008. Pada pertemuan tersebut terdapat dua
kutub yang saling berbeda pendapat. Negara berkembang tetap mempertahankan
usulan mereka mengenai konsep SP.
Saat ini negara-negara anggota G33 telah diperkenankan oleh WTO untuk
menerapkan SP dalam batas-batas tertentu. Namun demikian, anehnya Indonesia
sendiri masih memberlakukan tarif impor untuk beberapa produk termasuk
produk UKM sektor pertanian dibawah tarif yang diperkenankan oleh WTO.
Pertanyaan yang mencuat adalah ”mengapa pemerintah masih memberlakukan
tarif impor dibawah ambang batas yang diperkenankan WTO? apakah tingkat tarif
yang ditetapkan oleh Indonesia tersebut sudah tepat?” atau ”apakah penerapan
tarif sampai ambang batas yang diperkenankan oleh WTO akan merugikan
Indonesia?”. Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan melakukan suatu studi
ilmiah. Alasan inilah yang melatarbelakangi munculnya studi ini.

1.2. Perumusan Masalah


Liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan penghapusan dukungan
domestik, subsidi ekspor dan pembukaan akses pasar telah memunculkan dilema
berupa peluang dan tantangan. Di satu sisi negara-negara anggota mendapatkan
peluang untuk meningkatkan ekspor, namun di sisi lain negara yang tidak
memiliki keunggulan komparatif akan berperan sebagai pemasok produk impor
sehingga akan cenderung dirugikan. Oleh karena itu, liberalisasi perdagangan
diyakini akan merubah peta aliran dan kekuatan perdagangan dunia.
Terlepas dari perdebatan mengenai dampak positif dan negatif dari
liberalisasi perdagangan, secara teoritis liberalisasi tersebut diyakini akan
memunculkan peluang dan tantangan. Selain itu, liberalisasi juga diyakini akan
menyebabkan berubahnya peta perdagangan dunia. Perubahan tersebut
diperkirakan akan cenderung merugikan negara berkembang termasuk Indonesia,
5

mengingat sebagian besar produk pertanian Indonesia dihasilkan oleh UMKM.


Beberapa peneliti, oleh karena itu, berpendapat bahwa setiap negara yang terlibat
idealnya memiliki struktur ekonomi yang seimbang (Mukhtar, 2004). Jika hanya
ada satu atau sekelompok negara saja yang unggul maka akan muncul suatu
negara atau kelompok yang mendominasi bahkan menjadi pemangsa atau
predator, sebaliknya negara yang lemah akan menjadi korban (victim) dan
semakin tertinggal. Di antara negara-negara anggota WTO, perdagangan antara
negara berkembang dan negara maju selama ini telah berjalan dengan tidak
seimbang. Untuk mengatasi ketidak seimbangan perdagangan antara negara maju
dan berkembang maka usulan penerapan tarif khusus perlu menjadi pertimbangan
bagi keadilan dalam perdagangan. Oleh karena itu penerapan tarif khusus oleh
Indonesia perlu dilakukan, agar dapat diketahui peluang yang dapat dimanfaatkan.
Haryadi (2009) meneliti tentang dampak dari semakin mengglobalnya
perekonomian dunia. Temuannya menunjukkan bahwa globalisasi memang telah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia. Namun demikian, peningkatan
tersebut sebagian besar dinikmati oleh negara maju. Negara berkembang
merupakan kelompok negara yang lebih banyak berperan sebagai importir
termasuk untuk komoditi pertanian. Indonesia adalah salah satu contoh dari
negara yang net importir sebagian besar kebutuhan produk pertaniannya dari luar
negeri (Tabel 1). Fakta ini menunjukkan bahwa walaupun sesungguhnya
Indonesia juga mengekspor produk pertanian yang sebagian besar dihasilkan oleh
UMKM, namun bila dibandingkan dengan impor produk yang sama, maka
nilai/volume impornya lebih besar dibandingkan dengan nilai/volume ekspornya.
Posisi Indonesia tidak hanya sebagai net importir saja yang lebih ironis lagi adalah
bila dilihat berdasarkan peringkat, impor Indonesia untuk produk-produk tersebut
selalu berada pada peringkat 10 besar dunia.

Tabel 1.Peta Status dan Posisi Neraca Perdagangan Indonesia diantara


Negara-negara/wilayah di dunia
(U$S Juta)
Besar
Nilai Nilai
Komoditi Status Posisi Defisit/surplus
Ekspor Impor
Beras 24.8 180.5 Importir 2 -155.7
Gandum 12.1 418.9 Importir 3 -406.8
Jagung 6.2 137.3 Importir 6 -131.1
Hortikultura 194.3 261.3 Importir 7 -67
Kedele 15.7 349.2 Importir 4 -333.5
Gula 19.5 168.8 Importir 6 -149.3
Kapas 3.6 699.1 Importir 2 -695.5
Ternak 432.8 246.3 Eksportir 6 186.5
Kehutanan 347.3 37.6 Eksportir 5 309.7
Minyak 1 560.2 39.8 Eksportir 3 1 520.4
Nabati
Susu 107.7 356.7 Importir 9 -249
Sumber: Database GTAP 6.2 (diolah)
6

Haryadi (2009) ternyata konsisten dengan Arifin (2008) yang menyatakan


globalisasi telah menyebabkan peran perusahaan multinasional semakin besar di
negara berkembang termasuk di Indonesia. Seperti terlihat pada tabel 2.2.
perusahaan-perusahaan domestik yang selama ini menjadi tuan rumah di negeri
sendiri, sekarang sahamnya sebagian besar sudah dikuasai oleh perusahaan asing.
Sekilas memang terlihat bahwa kebutuhan terhadap produk agroindustri
termasuk produk makanan tidak perlu lagi diusahakan oleh Indonesia. Produk
tersebut dapat dipenuhi oleh perusahaan asing. Indonesia dapat memperolehnya
dimana saja di negeri ini. Selain akses untuk mendapatkannya lebih mudah dan
produknya yang berkualitas, akan tetapi harganya juga relative sangat terjangkau
bagi masyarakat Indonesia, termasuk yang berpenghasilan rendah. Namun
demikian bila dilihat lebih jauh, ternyata posisi Indonesia tidak lagi menjadi tuan
rumah di negeri sendiri. Indonesia telah menjadi konsumen yang baik, sementera
pedagangnya adalah warga asing namun dengan nama perusahaan tetap
menggunakan bahasa Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut menguasai lebih
dari 70 persen pangsa pasar agroindustri di Indonesia.

Tabel 2. Perusahan Agroindustri Yang Dikuasai Perusahaan Multinasional

Nama Merek Produk Investor Saham Pemilik


ABC Kecap H.J. Heinz (AS) 65% PT ABC Central Food
Sariwangi Teh Unilever 100% PT Sariwangi
Celup
Bango Kecap Unilever 100% PT Sakira Aneka Food
Taro Makanan Unilever 100% PT Rasa Murni Utama
ringan
AQUA AMDK Danone (Prancis) 74% PT Tirta Investama
Helios Nyam2 Biskuit Camp bel 100% PT Helios Aryo Putra
ADES AMDK Cocacola 100% PT Adel Affindo PS
SGM Susu/Mak NUMICO 82% PT Sari Husada
an bayi (Belanda)
Dji Sam Soe A Rokok Philip Moris 100% PT. HM Sampurna
Mild Kretek (AS)
Sumber: Kompas (2 September 2008)

1.3. Tujuan Penelitian


Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak
pemberian perlakuan khusus dan berbeda melalui penerapan SP terhadap kinerja
perdagangan pertanian dan UMKM di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Teori dan Distorsi dalam Perdagangan Internasional
Perbedaan sumberdaya yang dimiliki menyebabkan setiap negara berusaha
menghasilkan produk yang bisa diproduksinya dengan biaya yang relatif lebih
murah dibanding mengimpor, dan selanjutnya menjualnya ke negara lain yang
memproduksinya dengan biaya yang relatif lebih mahal. Kondisi ini selanjutnya
7

memunculkan spesialisasi dalam perdagangan, selanjutnya spesialisasi akan


memberikan manfaat atau gain from trade pada setiap negara. (Caves et. al., 1993;
Chacoliades, 1978; Krugman dan Obstfeld (2000) dan Salvatore, 2000).
Analisis tentang perdagangan internasional bisa dilakukan dengan
menggunakan dua pendekatan: Pertama, melalui pendekatan keseimbangan
parsial. Kedua, melalui pendekatan keseimbangan umum. Pendekatan
keseimbangan parsial menganalisis segala bentuk kebijakan perdagangan yang
mendistorsi pasar di suatu pasar tertentu tanpa secara eksplisit memperhitungkan
konsekuensi-konsekuaensi terhadap pasar-pasar lainnya, sementara analisis
keseimbangan umum melihat pasar sebagai suatu sistem.
Pada pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar akan
berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Sebagai contoh, ketika pemerintah
negara A mengenakan memberlakukan kebijakan tarif pada produk X 1, maka
harga relatif produk tersebut di domestik akan meningkat. Kenaikan harga relatif
ini mendorong produsen domestik untuk meningkatkan produksi X 1 dan
mengurangi produksi X2. Bersamaan dengan itu, faktor produksi seperti tenaga
kerja akan berpindah ke industri yang menghasilkan X 1. Dalam keseimbangan
parsial kejadian di industri lain tidak terlihat, padahal dengan mengasumsikan
perekonomian berada dalam keadaan tenaga kerja penuh (full employment), maka
produksi X2 akan menurun. Contoh lain adalah ketika impor negara A menurun
karena pengenaan tarif. Negara lain yang terkena dampak ini akan menurun
penerimaannya sehingga kemampuan mengimpornya juga akan turun. Untuk
melakukan cara-cara yang komprehensif dalam melihat dampak tersebut bisa
dilakukan dengan menggunakan analisis keseimbangan umum.
Berikut akan dijelaskan dampak distorsi perdagangan internasional dengan
menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Secara grafis, terjadinya
perdagangan antara dua negara, dapat dijelaskan melalui Gambar 1. Model ini
merangkum seluruh informasi mengenai produksi, konsumsi, dan perdagangan
antar kedua negara dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) menjadi satu
diagram yang utuh. Blok-blok produksi dari negara 1 dan 2 digabungkan pada
satu tempat yang terpusat di titik E*, dimana kurva tawar-menawar antara kedua
negara saling berpotongan.
Untuk menyederhanakan analisis, ansumsi-asumsi yang dipergunakan
dalam pembahasan ini adalah: (1) hanya ada dua negara di dunia, yaitu negara A
dan negara B atau gabungan negara-negara lainnya (rest of world atau ROW), (2)
hanya terdapat dua produk dalam perdagangan, (3) pasar berada dalam kondisi
persaingan sempurna, dan (4) perekonomian berada dalam kondisi full
employment.
Proses terjadinya perdagangan dapat dijelaskan seperti pada Gambar 1.
Setelah perdagangan berlangsung, negara 1 akan memproduksi 130X dan 20Y
(titik E yang identik dengan titik E*). Negara tersebut akan mengkonsumsi 70X
dan 80Y (juga ditunjukkan oleh titik E yang sama namun ditarik dari pusat sumbu
atau 0), sedangkan 60X dan 60Y sisanya akan diperdagangkan dengan negara 2.
Sementara itu negara 2 memproduksi 40X dan 120Y (titik E’ yang juga identik
dengan titik E*). Negara 2 mengkonsumsi 100X dan 60Y (juga disimbolkan oleh
titik E’ yang sama namun mengacu pada pusat sumbu atau 0), sementara sisanya
akan diperdagangkan dengan negara 1.
8

Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik,


sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan manfaat yang
maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu berjalan secara
sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat campur tangan
(intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi pasar. Salah satu
bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan
tarif impor.
Gambar 1. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara
Sumber: Salvatore (2000)

2.2. Beberapa Studi Terdahulu Tentang Liberalisasi Perdagangan


Y
120

Negara 1
100
PB=PB’=1
E
80 1
III 2
E’
60

40

20

X 0 X
60 40 20 20 40 60 80 100 120 140
20

Negara 2
40

60
E’

80

III’
Y
Terdapat beberapa peneliti yang sudah mengkaji dan menganalisis dampak
liberalisasi terhadap kinerja perekonomian baik dalam konteks suatu negara
maupun dalam konteks yang lebih luas. Sebagian menemukan dampak positif
sementara sebagian lagi menemukan dampak negatif. Devaragan et.al. (1990)
melihat dampak liberalisasi perdagangan dengan titik fokus pada model dua
sektor. Dengan menggunakan persamaan simultan, ditemukan bahwa perubahan
term of trade (TOT) pada negara-negara Afrika telah menimbulkan efek
pendapatan yang menyebabkan permintaan barang untuk kebutuhan domestik
meningkat dengan kecendrungan impornya lebih tinggi. Dengan demikian yang
terjadi bukanlah perbaikan ekonomi negara-negara tersebut, akan tetapi adalah
memburuknya neraca perdagangan. Temuan ini konsisten dengan Aggarwal dan
9

Agmon dalam Wijaya (2000) dan Paulino dan Thirwall (2004). Pengujian
terhadap dampak liberalisasi perdagangan juga dilakukan oleh Lopez (2003).
Dalam kajiannya, Lopez menguji dampak dari liberalisasi perdagangan regional
yang meliputi NAFTA terhadap neraca pembayaran dan neraca perdagangan
Meksiko selama 1980-an. Lopez menemukan bahwa reformasi perdagangan
selama 1980-an berpengaruh signifikan terhadap perdagangan, ekspor dan impor.
Namun demikian, pengaruh NAFTA dapat diabaikan. Artinya, NAFTA ternyata
tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap ekspor dan impor serta neraca
pembayaran Meksiko. Ada dugaan bahwa perbedaan struktur ekonomi negara-
negara anggota merupakan penyebab tidak munculnya dampak tersebut.
Dalam konteks AFTA, dampak liberalisasi perdagangan diteliti oleh
Hakim (2004). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dampak AFTA cukup
besar bagi perekonomian negara anggota. Dengan menggunakan Recursive
Dynamic Multi-Region Computable General Equilibrium, liberalisasi
perdagangan diprediksi akan meningkatkan perdagangan diantara negara-negara
anggota ASEAN secara keseluruhan. Namun demikian, diantara negara-negara
Anggota ASEAN, peningkatan real GDP Indonesia diperkirakan adalah yang
terkecil.
III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data


Penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang sebagian besar
berasal dari database General Trade Alayisis Project (GTAP) versi 6.2. Data
pelengkap lainnya berasal dari Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, Bank
Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen Perdagangan, Departemen
Perindustrian, Depertemen Luar Negeri dan lain-lain.
Alat analisis utama yang digunakan adalah CGE dengan model
multinegara GTAP 6.2. Di dalam data dasar GTAP terdapat 87 negara/wilayah
dan 57 sektor komoditi. Data negara/wilayah dan sektor yang banyak ini akan
dikelompokkan dan dipisahkan sesuai dengan kepentingan penelitian ini. Proses
pemilahan dan penggabungan ini (disagregasi dan agregasi) akan ditentukan oleh
berbagai pertimbangan: (1) untuk negara-negara ASEAN, selagi negara-negara
tersebut berdiri sendiri dalam data base GTAP, maka akan tetap dibiarkan berdiri
sendiri, namun bila di dalam data base negara anggota ASEAN tersebut berada
dalam suatu wilayah maka akan tetap dibiarkan bergabung karena biasanya
kontribusinya di dalam perdagangan internasional cukup kecil. Kondisi yang
sama juga akan diperlakukan pada sektor komoditi, (2) komoditi pertanian yang
merepresentasikan UMKM akan dipisahkan berdasarkan kelompok-kelompok
industri seperti yang terdapat dalam data dasar GTAP 6.2.
Dengan mendasarkan pada pertimbangan diatas, maka dalam penelitian ini
direncanakan negara-negara atau wilayah akan diagregasi ke dalam 13 wilayah
(Tabel 3), sementara komoditi akan dikelompokkan menjadi 16 (Tabel 4).

Tabel 3. Agregasi Negara Berdasarkan Database General Trade Analisis


Project Versi 6.2
A. Negara Maju
10

No Kode Keterangan Wilayah dalam GTAP


1 ANZ Australia, Australia, Selandia Baru
Selandia Baru
2 Jpg Jepang Jepang
3 USA Amerika Amerika Serikat
Serikat
4 EU Uni Eropa Austria; Belanda; Belgia; Denmark; Finlandia;
Francis; German; Inggris; Irlandia; Italia;
Luxemburg; Portugal; Spanyol: Swedia; Yunani;
B. Negara Berkembang
No Kode Deskripsi
1 Chn Cina Cina
2 Idn Indonesia Indonesia
3 Mys Malaysia Malaysia
4 Phl Philipina Philipina
5 Tha Thailand Thailand
6 Vnm Vietnam Vietnam
7 ASEAN
Xse lainnya Negara-negara Asean diluar 6,7,8,9, dan 10.
8 G33 G33 Korea;India;Sri Lanka; Peru; Venezuela; Turki;
Bostwana; Mozambique; Tanzania; Zambia;
Zimbabwe; Madagaskar: Uganda.
9 ROW Selain negara/ Rest of Oceania; Hong Kong; Taiwan; Rest of
wilayah dari 1 East Asia; Kanada; Mexiko; Rest of North
sampai 8 diatas America; Kolumbia; Rest of Andrean Pact;
Argentina; Brazil: Chili; Uruguay; Rest of South
America; America Tengah; Cyprus; Hungaria;
Malta; Polandia; Slovakia; Slovenia; Latvia;
Lithuania;Rest of FTAA; Rest of The Carribian;
Swiss; Rest of EFTA; Rest of Europe; Albania;
Estonia; Czech Republic; Bulgaria; Kroasia;
Romania; Federasi Russia; Rest of Former
Soviet Union; Rest of Middle East; Maroko;
Tunisia; Rest of North Africa; Afrika Selatan;
Rest of South African CU; Malawi; Resto of
Sub-Saharan Africa

Sementara itu, pertimbangan dalam menempatkan G33 sebagai suatu


wilayah adalah karena kelompok ini memegang peran yang cukup penting dalam
proses perundingan WTO. Kenyataan ini terlihat dari intensitas kelompok ini dalam
mengajukan proposal termasuk dalam memperjuangkan perlakuan khusus dan
berbeda melalui konsep SP dan SSM, meskipun peran mereka dalam konteks
perdagangan produk pertanian dengan Indonesia tidak begitu menonjol.
Tabel 4. memperlihatkan hasil agregasi sektor berdasarkan datadasar GTAP
6.2. Jumlah sektor diagregasi menjadi 17 (tujuh belas). Pemilihan sektor dilakukan
melalui dua tahapan seleksi. Tahapan pertama adalah memilih sektor yang
11

merupakan sektor strategis dan tersedia dalam database GTAP. Sektor-sektor ini
dibuat berdiri sendiri (tidak dikelompokkan dengan sektor lain). Tahapan kedua
adalah memilih sektor yang dinilai juga strategis namun tidak terdapat dalam
database GTAP. Untuk sektor ini, digunakan agregasi agar posisi dan dampak
penetapan tarif, subsidi ekspor, dan dukungan domestik bisa teridentifikasi. Sebagai
contoh, untuk komoditas kelapa sawit dan olahannya yang merupakan komoditas
strategis karena merupakan komoditas dengan tujuan ekspor dimana Indonesia
adalah eksportir terbesar dunia. Namun demikian, karena komoditas ini tidak berdiri
sendiri dalam database GTAP, maka dalam penelitian ini digunakan agregasi dengan
cara memilih sektor dimana komoditas tersebut tergabung. Misalnya, untuk kelapa
sawit, dipilih sektor minyak nabati sebagai sektor, karena dalam database GTAP,
minyak kelapa sawit tergabung dalam kelompok minyak nabati. Begitu pula dengan
komoditi-komoditi lain yang mana Indonesia juga merupakan produser terbesar
sekaligus juga eksportir terbesar.

Tabel . 2 Agregasi sektor Berdasarkan Database General Trade Analisis Project


Versi 6.2

No
. Kode Sektor Keterangan Sektor dalam GTAP

1 Padi Padi-padian dan pdr pcr


Pengolahannya
2 Gandum Gandum wht
3 Jagung Jagung gro
4 Horti Sayur-sayuran v_f
5 Kedelai Kadele osd
6 Gula Tebu dan Gula c_b sgr
7 Kapas Kapas;rami;dll pfb
8 Ternak Ternak dan ctl oap cmt omt
dagingnya
9 Susu Susu rmk mil
10 Pertanian ocr wol
lainnya Pertanian lainnya
11 Kehutanan frs
12 Perikanan fsh
13 Minyak vol
Nabati Minyak Nabati
14 Makanan Food and Ag, ofd b_t
inc. onion pizzas
15 Sektor coa oil gas omn
Primer Sektor Primer
lainnya lainnya
16 Manufaktur Seluruh produk tex wap lea lum ppp p_c crp nmm i_s
manufaktur nfm fmp mvh otn ele ome omf
17 Jasa Services and ely gdt wtr cns trd otp wtp atp cmn ofi
activities NES isr obs ros osg dwe
12

3.2. Metode Pengolahan Data


Model GTAP diolah dengan menggunakan software RunGTAP. Tahapan
pengolahan data dapat dijelaskan melalui Gambar 2. Proses agregasi sektor dan
negara/wilayah dilakukan dengan menggunakan GTAPAgg. Proses pengolahan data
dengan RunGTAP akan dilakukan dengan menggunakan penyesuaian closure
(penutup model) dan shock sesuai dengan tujuan penelitian. Olahan data ini akan
menghasilkan keluaran (out) seperti solution, volume changes, dan decomposition.
Error: Reference source not found
Gambar 2. Pemanfaatan General Trade Analysis Project Dengan Alat
RunGTAP

3.3. Metode Analisis Data


Data dianalisis baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis
deskriptif dimaksudkan untuk melihat perkembangan dan alur perdagangan
masing-masing negara/wilayah. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui
kontribusi negara-negara anggota dalam perdagangan intra dan ekstra ASEAN.
Berdasarkan analisis ini akan dapat diketahui arah dan dapat pula diidentifikasi
peluang yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. Analisis kuantitatif dilakukan
untuk mengukur dampak kebijakan liberalisasi perdagangan yang telah disepakati
ASEAN dengan menggunakan GTAP versi 6. Sebagaimana telah dijelaskan pada
bagian terdahulu, bahwa GTAP baik sebagai sumber data maupun sebagai alat
analisis memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan model lain. Melalui
alat ini dampak suatu kebijakan terhadap kinerja ekonomi baik makro maupun
sektoral akan dapat terdeteksi secara cepat dan akurat. Model GTAP secara detail
dapat dilihat pada Hertel (1997).
Model GTAP adalah model standar dengan banyak negara dan banyak
komoditas dengan mengaplikasikan model ekonomi keseimbangan umum. Pada
model GTAP secara eksplisit dilakukan permodelan pada margin transport
internasional. Suatu global bank juga dibentuk dalam model sebagai intermediasi
dari investasi dan tabungan dunia. Sistem permintaan konsumen diduga dengan
menggunakan Constant Difference of elasticities (CDE) untuk menangkap
kepekaan terhadap perbedaan harga dan pendapatan antar negara (Hertel, et.al.,
1997).
Selain itu, aliran barang dalam perdagangan internasional mengikuti
model Armingthon (1969) dimana setiap produk dibedakan berdasarkan asal
negara. Setiap barang diasumsikan substitusi yang tidak sempurna satu sama
lainnya untuk komoditas yang diproduksi di dalam negeri. Dengan asumsi ini,
model dapat menangkap aliran perdagangan antar dua negara. Kelemahan model
ini adalah mengasumsikan sistem pasar persaingan sempurna dan skala usaha
yang konstan pada aktivitas produksi. Hertel and Kenney(2005) mengakui bahwa
pada konteks negara kecil dan terbuka, asumsi pasar persaingan sempurna
mengakibatkan simulasi dampak penurunan tariff menjadi lebih besar dari yang
sesungguhnya. Seperti diperlihat kan pada Gambar 2, model GTAP dengan data
basenya diolah dengan menggunakan software RunGTAP.
3.4. . Struktur Model GTAP
13

Model GTAP (Global Trade Analysis Project) dikembangkan oleh Pusat


Analisis Perdagangan Global (the centre for global Trade Analysis). Departemen
Ekonomi Pertanian, Universitas Purdue, Indiana. Model GTAP merupakan model
keseimbangan umum (CGE) ekonomi global yang bersifat statis komparatif,
multi-regiondan multi sektor. Dibanding dengan model single country, model
multi-region memiliki kelebihan untuk menjelaskan interaksi antar ekonomi yang
berbeda. Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural yang terjadi di
negara-negara lain terhadap perekonomian nasional dapat dinyatakan secara
eksplisit dengan model multi-region (Oktaviani, 2000).
Struktur model GTAP terdiri dari persamaan-persamaan simultan yang
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Persamaan yang
menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen
ekonomi di suatu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang
menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Semua set, sub-
set, parameter dan variabel bentuk nominal (value/ levels form) dinotasikan
dengan huruf kapital. Sedangkan variabel dalam bentuk persentase perubahan
(percentage change) atau bentuk linier dinotasikan dengan huruf kecil. Sebagai
contoh: PM  i, r  adalah variabel bentuk level untuk harga pasar komoditi i di
region r, dan pm i, r  =  dPM  i, r   / PM  i, r  adalah bentuk linier dari
variabel harga tersebut. Untuk lebih jelas mengenai struktur model GTAP dapat
dilihat pada Hertel (1997).

3.5. Simulasi Kebijakan


Dalam menganalisis dampak kebijakan perlakuan khusus, akan dilakukan
beberapa simulasi dengan menggunakan beberapa skenario.
1. Negara maju dan negara berkembang kecuali Indonesia
menghapus semua bentuk hambatan perdagangan, sementara Indonesia
menerapkan tarif untuk SP.
2. Hambatan perdagangan dibiarkan seperti apa adanya,
sementara Indonesia menerapkan SP.
3. Negara maju menghapus semua hambatan perdagangan
sementara tarif SP diberlakukan pada semua negara berkembang dengan
besaran yang sama.
4. Negara maju dan berkembang meneruskan kebijakan tarif
yang diberlakukan pada saat ini, sementara Indonesia menerapkan kebijakan
tarif sesuai keputusan Menteri (Kepmen Nomor 591Tahun 2004).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Dampak Tarif SP Terhadap Kinerja Output

Simulasi ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan tentang dampak


penerapan tarif SP terhadap perubahan tingkat output UMKM sektor pertanian di
Indonesia. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5, bahwa semua sektor yang
14

dikenakan tarif impor menunjukkan peningkatan output. Indikasi ini terlihat dari
peningkatan output pada produksi padi, gandum, jagung, kedele, gula, ternak dan
susu yang menunjukkan peningkatan impor lebih besar dari penerapan tarif SP
secara total. Skenario 1 menunjukkan hasil yang terbaik diantara beberapa
skenario yang dilakukan. Hasil yang baik tersebut terlihat dari meningkatnya
output untuk semua komoditi yang diberlakukan tarif khusus untuk impor.
Peningkatan terbesar terjadi pada komoditi susu 106,41%. Komoditi lain yang
juga mengalami peningkatan yang cukup besar adalah kedele 29,32%, diikuti oleh
gandum 11,59%, dan gula 8,39%.

Skenario lainnya, meskipun ada yang menunjukkan dampak positif atas


perlakuan khusus terhadap negara Indonesia, namun dampak tersebut masih relatif
lebih kecil dibandingkan dengan dampak pada skenario pertama. Skenario ketiga
yang membiarkan kondisi hambatan perdagangan sebagaimana yang terjadi saat
ini ternyata memberikan hasil yang paling buruk dalam konteks meningkatkan
output. Hasil ini mengindikasikan bahwa perdagangan dalam kondisi sekarang
tidak menguntungkan bagi Indonesia. Perlakuan tidak fair dari negara maju yang
cenderung melindungi dan mensubsidi produsen dan eksportir mereka
diperkirakan ikut memperburuk posisi perdagangan Indonesia.

Tabel 5. Perbandingan Antara Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan dan


Penerapan SP Terhadap Output Produk UMKM Sektor Pertanian (%)
Komoditi/
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario
Padi 2.69 3.6 3.61 0.57
Gandum 11.59 0.56 0.58 0.1
Jagung 5.06 4.17 4.26 0.57
Horti 2.44 2.69 2.7 0.16
Kedelai 29.32 12.84 13.42 -0.11
Gula 8.39 7.66 7.61 1.43
Kapas -5.03 -4.65 -4.62 -0.47
Ternak 4.22 2.16 1.96 -0.21
Susu 106.41 101.13 101.05 0.81
Kehutanan -3.07 -0.8 -0.79 -0.19
Perikanan -0.58 -0.33 -0.31 0.34
Minyak Nabati 10.02 -0.95 -0.56 -0.04
Makanan -0.58 0.22 0.21 1.56
Sektor Primer lainnya -3.04 -0.67 -0.66 -0.16
Keterangan: 1. Dunia hapus total, Indonesia SP. 2. Dunia tetap, Indonesia SP. 3.
Dunia tetap, negara berkembang menerapkan tarif SP yang sama. 4.
dunia tetap, Indonesia menerapkan sesuai dengan Kepmen Nomor
591 Tahun 2004.
15

Tabel 5 juga memperlihatkan bahwa komoditi yang peningkatannya secara


persentase relatif kecil adalah komoditi yang pada skenario penghapusan tarif
menunjukkan penurunan. Komoditi-komoditi yang peningkatannya relatif kecil
atau dibawah 10% yaitu padi, jagung, hortikultura, gula, dan kelompok sektor
pertanian lainnya. Peningkatan yang relatif kecil ini mengindikasikan bahwa daya
saing produk ini relatif rendah terhadap produk impor. Hal ini berarti bahwa
untuk tujuan meningkatkan output ternyata penerapan SP oleh Indonesia sampai
pada ambang batas tertinggi dinilai lebih baik.
Hasil simulasi ini mendukung pendapat yang menyatakan bahwa semakin
tinggi tarif maka semakin tinggi pula peningkatan produksi dalam negeri.
Pengenaan tarif terhadap produk impor akan lebih memberikan keleluasaan
kepada produsen domestik untuk meningkatkan produksinya. Dengan
mengenakan tarif terhadap produk impor maka harga produk impor tersebut akan
meningkat di pasar domestik karena harga yang berlaku adalah (VOM) atau nilai
output ditingkat pasar yang merupakan nilai output ditingkat agen (VOA)
ditambah pajak (PTAX).
Peningkatan harga berdampak pada penurunan permintaan terhadap
produk impor. Dampak selanjutnya adalah produsen dalam negeri terhindar dari
persaingan dari produk impor. Kondisi seperti inilah yang diinginkan oleh
produsen dalam negeri. Oleh sebab itu kebijakan tarif memiliki alasan yang kuat
karena salah satu tujuannya adalah untuk melindungi produsen dalam negeri
terhadap pesaing dari luar negeri. Konsumen dalam negeri akan cenderung
memilih produk domestik yang relatif lebih murah harganya dibanding produk
impor. Preferensi konsumen ini selanjutnya meningkatkan permintaan terhadap
produk dalam negeri, sehingga merangsang produsen untuk meningkatkan
produksinya.

4.2.2. Dampak Penerapan Tarif SP Terhadap Terhadap Impor Produk


UMKM Sektor Pertanian

Hasil simulasi (Tabel 6) menjawab pertanyaan tentang dampak penerapan


berbagai sknario SP terhadap perubahan impor Indonesia. Sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 6 bahwa semua sektor yang mengalami penerapan tarif SP
berupa penghapusan tarif impor mengalami penurunan volume impor. Hasil
simulasi ini mendukung pendapat yang menyatakan bahwa tarif impor cenderung
menghambat perdagangan. Namun demikian, dampaknya tergantung kepada
tujuan kebijakan. Jika tujuannya adalah untuk mendorong produksi dalam negeri
maka kebijakan ini akan berdampak positif.
Jika skenario pertama yang dilakukan, maka akan terjadi penurunan impor
pada hampir semua komoditi. Satu-satunya komoditi yang dikenakan pajak impor
tapi masih mengalami peningkatan impor adalah gandum. Kenaikan impor ini
diduga karena kebutuhan dalam negeri yang juga meningkat tajam sebagai
dampak dari meningkatnya industri makanan. Peningkatan volume impor terbesar
terjadi pada impor padi 111,95%, diikuti oleh susu 85,58%, gula 69,39%, ternak
56,21%, dan hortikultura 47%. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa kebijakan
16

penerapan tarif SP relatif cukup baik untuk diterapkan jika tujuan pemerintah
adalah untuk menekan impor dan meningkatkan produksi dalam negeri.
Berdasarkan Tabel 6, skenario dua menunjukkan hasil yang lebih baik
dibanding skenario lainnya. Semua komoditi yang dikenai pajak impor mengalami
penurunan impor. Secara persentase, penurunannya impor pada skenario 2 (negara
maju dan berkembang menerapkan tarif sebagaimana yang terjadi pada saat ini
namun Indonesia menerapkan SP pada ambang batas tertinggi) lebih besar
dibanding skenario lainnya.
17

Tabel 6. Perbandingan Antara Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan


dan Penerapan SP Terhadap Impor Produk UMKM Sektor Pertanian
(%)
Komoditi/
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario
Padi -111.95 -126.17 -124.84 -15.97
Gandum 2 -0.38 -0.31 1.11
Jagung -24 -25.74 -25.76 0.79
Horti -47.87 -48.84 -48.94 -1.39
Kedelai -24.89 -30.71 -30.6 0.26
Gula -69.39 -68.85 -68.9 -12.73
Kapas 0.19 -0.45 -0.49 -0.08
Ternak -56.21 -59.49 -59.89 -0.4
Susu -85.58 -85.57 -85.61 -1.56
Perikanan 3.68 -0.78 -0.71 1.13
Minyak Nabati 24.06 4.34 2.86 0.24
Sektor Primer -0.96 -1.11 -1.15 -0.24
Lainnya
Keterangan: 1. Dunia hapus total, Indonesia SP. 2. Dunia tetap, Indonesia SP. 3.
Dunia tetap, negara berkembang menerapkan tarif SP yang sama. 4.
dunia tetap, Indonesia menerapkan sesuai dengan Kepmen Nomor
591 Tahun 2004.

4.3. Dampak Penerapan Tarif SP Terhadap Ekspor Produk UMKM Sektor


Pertanian
Hasil simulasi (Tabel 7) menjawab pertanyaan tentang dampak bebagai
skenario kebijakan penerapan tarif SP terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Sebagaimana ditampilkan pada Tabel tersebut, dampak penerapan berbagai
skenario tersebut ternyata menyebabkan ekspor Indonesia turun. Secara teoritis
dampak penerapan tarif terhadap ekspor tergantung kepada dua hal. Pertama, jika
penerapan tarif impor oleh suatu negara diikuti pula oleh penerapan tarif yang
sama oleh negara lain, maka hal ini tidak akan mendongkrak ekspor negara itu,
walaupun tingkat produksi tersebut meningkat di dalam negeri.
Kondisi ini disebabkan karena produk-produk negara itu juga dikenakan
tarif yang sama oleh negara lain. Ini berarti bahwa produk-produk negara itu juga
mengalami penurunan daya saing karena kedua negara menerapkan perlakuan
yang sama. Kedua, jika penerapan tarif hanya dilakukan secara sepihak, maka
kebijakan penetapan tarif tersebut bisa berdampak pada meningkatnya ekspor.
Penyebabnya adalah bahwa dengan tarif impor akan terjadi peningkatan produksi.
Kenaikan produksi menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran di dalam negeri
sehingga harga domestik, sehingga ekspor meningkat karena harga di luar negeri
lebin mahal dibanding harga domestik.
Berdasarkan skenario pertama dalam hal mana semua negara di dunia
menghapus tarif dan Indonesia menerapkan SP, terlihat bahwa sektor-sektor yang
18

mengalami penurunan ekspor tersebut diantarnya adalah padi 632,83%. Sektor ini
mengalami penurunan ekspor yang terbesar. Kondisi ini diperkirakan terjadi baik
karena produksi dalam negeri lebih banyak digunakan untuk memenuhi
kebutuhan domestik. Penurunan ekspor sektor padi cukup selaras dengan tujuan
pemerintah untuk mememenuhi kebutuhan dalam negeri. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, sesungguhnya sektor padi mengalami peningkatan akibat pengenaan
tarif impor, namun peningkatan tersebut relatif kecil 2,69%.

Tabel 7. Perbandingan Antara Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan dan


Penerapan SP Terhadap Ekspor Produk UMKM Sektor Pertanian (%)
Komoditi/
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Skenario
Padi -632.83 -18.48 -4.82 -2.23
Gandum -14.08 -6.72 -6.59 -0.58
Jagung -6.77 -7.8 -6.82 -0.8
Horti 21.56 -9.27 -12.42 -0.76
Kedelai 5.54 -27.57 -24.63 -0.87
Gula 27.21 -7.5 -11.25 -1.15
Kapas 8.89 -5.97 -5.5 -0.44
Ternak 129.04 -13.6 -26.51 -3.91
Susu 43.69 -24.85 -42.05 -4.07
Perikanan 7.6 0.27 0.14 -0.46
Minyak nabati 84.14 -4.91 -1.97 -0.37
Makanan -0.16 -2.32 1.81 -0.85
Sektor Primer 2.48 0.49 0.41 0.07
Lainnya
Keterangan: 1. Dunia hapus total, Indonesia SP. 2. Dunia tetap, Indonesia SP. 3.
Dunia tetap, negara berkembang menerapkan tarif SP yang sama. 4.
dunia tetap, Indonesia menerapkan sesuai dengan Kepmen Nomor
591 Tahun 2004.

Sektor lainnya yang mengalami penurunan ekspor cukup besar adalah


ternak 129,04%. Peningkatan tersebut dapat dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan domestik sehingga dengan demikian berdampak pada
menurunnya impor. Secara teoritis pengenaan tarif impor memang ditujukan
untuk mendorong produksi domestik agar dapat memenuhi kebutuhan dalam
negeri dengan produksi sendiri.
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7, sektor ternak adalah sektor yang
mengalami peningkatan ekspor terbesar diantara sektor-sektor yang ada.
Penerapan tarif SP mampu meningkatkan ekspor sektor ini 129,04%. Sektor lain
yang ekspornya juga meningkat cukup besar setelah pemerintah mengenakan tarif
impor terhadap produk yang sama adalah susu 43,69%, Gula 27,21%, hortikultura
21,56% dan kedele 5,54%.
19

Penerapan tarif terhadap produk-produk yang tergolong ke dalam


kelompok SP ternyata berdampak pula pada sektor-sektor lain. Hasil simulasi
yang ditampilkan pada Tabel 7 juga memperlihatkan dampak penerapan tarif SP
terhadap sektor-sektor yang tidak dikenakan tarif impor. Sebagai contoh adalah
sektor minyak nabati yang meningkat 84,14%, namun secara persentase
peningkatan ini masih lebih kecil dibandingkan jika pemerintah Indonesia juga
ikut menghapuskan semua hambatan perdagangan. Hasil simulasi penghapusan
semua hambatan perdagangan menunjukkan bahwa sektor minyak nabati mampu
meningkat sebesar 93,10%.
V. KESIMPULAN
Dampak penerapan tarif SP oleh Indonesia secara keseluruhan menunjukkan hasil
yang berbeda dibanding jika Indonesia juga menghapus semua hambatan
perdagangan. Kebijakan ini mampu meningkatkan output dalam negeri terhadap
produk-produk yang diproteksi dan juga penurunanan volume impor terhadap
produk tersebut khususnya produk UMKM sektor Pertanian. Sementara itu
Dampak kebijakan ini ternyata tidak begitu baik terhadap ekspor. Kondisi ini
sebenarnya tidak menjadi masalah karena sebagaian besar output UMKM sektor
pertanian domestik dipasarkan di dalam negeri. Ini berarti bahwa ada rangsangan
bagi produsen dalam negeri untuk berinvestasi dalam rangka meningkatkan
produksi dalam negeri. Kondisi ini relatif lebih baik dibandingkan dengan jika
pemerintah Indonesia juga ikut menyepakati penghapusan hambatan perdagangan
secara total. Penerapan tarif sekaligus mendukung kebijakan pemerintah yang
bertujuan untuk menurunkan mengurangi angka pengangguran.
Negara berkembang harus tetap mempertahankan posisi seperti yang
terjadi pada setiap pertemuan WTO yaitu memperjuangkan tarif khusus dan
mendesak negara maju menghapus dukungan domestik dan subsidi ekspor.
Perlakuan khusus masih diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada negara
berkembang termasuk Indonesia dalam membenahi sektor pertaniannya.
Liberalisasi perdagangan masih terlalu berbahaya bagi negara berkembang jika
liberalisasi itu diartikan sebagai penerapan tarif nol.
Pemerintah harus mencari format yang tepat dan akurat dalam menentukan
produk khusus yang akan dikenakan tarif, karena Keputusan Menteri Keuangan
No 591 Tahun 2004 mengenai program harmonisasi tarif bea masuk ternyata tidak
efektif dalam mendorong produksi domestik dan menekan impor. Penerapan tarif
khusus selaras dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini yang
berupaya untuk mengatasi permasalahan tingginya tingkat pengangguran dan
kemiskinan. Peningkatan penyediaan lapangan kerja diperkirakan dapat
membantu memecahkan persoalan tersebut, sembari memperkuat daya saing
produk dalam negeri.
8.3. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka implementasi kebijakan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pemberlakuan tarif khusus terbukti mampu meningkatkan produksi dalam
negeri, menekan impor serta meningkatkan lapangan kerja dalam negeri,
meningkatkan TOT. Dampak ini cukup positif. Meskipun kebijakan ini juga
berdampak negatif pada tingkat kesejahteraan dan PDB riil, namun secara
20

persentase penurunannya relatif kecil bahkan dibawah 1 persen. Seiring dengan


tujuan pemerintah untuk mengurangi pengangguran, kebijakan ini dinilai relatif
baik untuk diimplementasikan. Kebijakan pemberlakuan tarif khusus tetap relevan
untuk dilakukan sampai pada ambang batas tertinggi yang diperbolehkan oleh
WTO. Hal ini amat penting mengingat komoditi yang mengalami peningkatan
tersebut adalah komoditi strategis dan Indonesia amat berkepentingan agar
mampu menjaga ketahanan pangan (food security), kelangsungan hidup
(livelihood security), dan pembangunan perdesaan (rural development). Hal ini
cukup beralasan mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di
perdesaan dan berada di bawah garis kemiskinan.
Namun demikian, walaupun skenario 1 secara umum mampu memberikan
dampak positif terbesar pada ekonomi secara sektoral, namun skenario tersebut
relatif sulit untuk dilaksanakan. Disamping relatif kurang rasional (di saat negara
lain menghapus tarif, Indonesia malah menerapkan tarif), kebijakan ini juga tidak
mungkin terjadi karena negara berkembang lain juga masih memberlakukan tarif
khusus. Skenario yang memungkinkan untuk dilakukan adalah skenario skenario
3, yakni dengan membiarkan negara lain memberlakukan tarif seperti yang terjadi
saat ini, sementara itu Indonesia menerapkan tariff sampai pada ambang batas
yang disepakati dengan WTO untuk produk-produk tertentu. Proses ini bisa
berlangsung sampai dengan pelaksanan penghapusan hambatan perdagangan pada
tiga pilar sektor pertanian tersebut betul-betul diimplementasikan. Namun
demikian, bilamana skenario yang kedua yang terjadi, maka kebijakan ini relatif
kurang memberikan dampak yang signifikan bagi berbagai sektor ekonomi
Indonesia.
Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa Indonesia memang masih harus
memberlakukan tarif terhadap produk-produk tertentu yang dianggap strategis,
terutama untuk produk-produk yang dianggap perlu mendapatkan pengamanan
bagi keberlangsungan hidup masyarakat banyak dan ini umumnya terjadi pada
sektor pertanian. Mengingat skenario 4 yang menerapkan Kepmen Nomor 591
Tahun 2004 ternyata tidak efektif dan tidak signifikan dalam menciptakan dampak
positif terhadap perekonomian Indonesia. Disarankan untuk merevisi ulang
Kepmen tersebut. Hasil simulasi ini mampu menjawab pertanyaan tentang
"siapkah Indonesia mengikuti perdagangan bebas?. Untuk saat ini ternyata kondisi
tersebut belum memungkinkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal, R. And T. Agmon. 1990. The International Success of Developing


Country Firms: Role of Government Directted Comparative
Advantage. Management International Review, 30 (2): 163-180.

Bhagwati, J. 1998. Free Trade: What Now?. Paper presented at the University
of St. Gallen, Geneva. http://www.columbia.edu/~Jb/freedpm -Speech,
The Case for Free Trade.pdf
21

Balassa, B. 1982. Development Strategies in Semi-Industrial Economies. Oxford


University Press, New York.

Brooks, D.H. and G. Sugiyarto. 2005. Can the Poor Benefit From Doha Agenda?:
A Case for Indonesia. Asian Development Bank, Manila.

Chacoliades, M. 1978. International Trade: Theory and Policy. Mc Graw-Hill


Book Company, London.

Coraton, C.B. and J. Cockburn. 2005. Trade Reform and Poverty in the
Philippines: A Computable General Equilibrium Microsimulation
Analysis. International Development Research Centre, Manila.

Crowley, M.A. 2003. An Introduction to the WTO and GATT. Economic


Perspectives. Fourth Quarter. Federal Reserve Bank of Chicago,
Chicago.

Devaragan, S., J.D. Lewis and S. Robinson. 1990. Policy Lessons from Trade
Focussed: Two Sector Models. Journal of Policy Modelling, 12 (4):
625 -657.

Feder, G. 1982. The Impact of Export on Economic Growth. Journal of


Development Economics,12 (3) : 59-73.

Feridhanusetyawan, T. and Pangestu, M. 2003. Indonesian Trade Liberalization:


Estimating the gains. Bulletin of Indonesian Economics Studies, 39(1),
51-74.

Hakim, D.B. 2004. The Implication of the ASEAN Free Trade Area on
Agricultural Trade: A Recursive Dynamic General Equilibrium
Analysis. PhD Dissertation. Institut fur Agroeconomic Georg-August-
Universitat Gottingen, Gottingen.

Hallet, A.J.H. 1994. The Impact of Economic on Trade in Developping Countries.


The World Bank Research Observer, 9 (1): 121-146.

Haryadi. 2008. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Perekonomian Negara


Maju dan Berkembang. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Heller, P.S. and M. Porter. 1978. Exports and Growth: An Empirical


Reinvestigation. Journal of Development Economics, 5 (7): 191-193.

Hertel, T.W. 1997. Global Trade Analysis: Modelling and Applications.


Cambridge University Press, Cambridge.
22

Hertel, T.W. and R. Keeney. 2005. What’s at Stake: The Relative Importance of
Import Barriers, Export Subsidies and Domestic Support. In
Agricultural Trade Reform and the Doha Development Agenda.
Palgrave Macmillan, New York.

Hutabarat, B., M.H. Sawit, Supriyati, B.M Rahmanto, A. Setiyanto and H.J.
Purba. 2004. Bahan Advokasi Delegasi Indonesia Dalam Perundingan
Multilateral. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Petanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian, Jakarta.

Jensen, H.T. and F. Tarp. 2003. Trade Liberalisation and spatial Inequality:
Methodological Innovations in A Vietnames perspective. United Nation
University, New York.

Krugman, P. R. and M. Obstfeld. 2000. International Economics: Theory and


Policy. Fifth Edition. Addison-Wesley Publishing Company, Boston.

Lopez, C. and P. Penélope. 2005. The Impact of Trade Liberalisation on Exports,


Imports, the Balance of Payments and Growth: the Case of Mexico.
Department of Economics, University of Kent, Canterbury.

Matusz, S.J. and D. Tarr. 1999. Adjusting to Trade Policy Reform. Policy
Research Working Paper 2142. The World Bank, Washington, D.C.

Oktaviani, R. 2000. The Impact of Trade Liberalization on Indonesian Economy


and Its Agricultural Sector. PhD Thesis. Department of Agricultural
Economics, University of Sydney, Sydney.

Paulino A.S. and A.P. Thirlwall. 2004. The Impact of Trade Liberalisation On
Exports, Imports and The Balance of Payments of Developing
Countries. The Economic Journal, 114 (02): F50–F72.

Salvatore, D. 1996. International Economics. Fifth Edition, Prentice Hall, New


Jersey.

Walsh, K., M. Brockmeier and A. Matthews. 2005. Implications of Domestic


Support Disciplines for Further Agricultural Trade Liberalization. IIIS
Discussion Paper, 99 (10) : 102-138.

Wijaya, A. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Ekonomi


Indonesia: Suatu Pendekatan Makroekonometrika. Disertasi Doktor.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

World Bank. 2006. World Development Indicator Base. World Bank,


Washington, D.C.
23

World Trade Organization. 2003. Doha Ministerial Declaration. WTO Secretariat,


Geneva.

________________________. 2005. Doha Work Programme Ministerial


Conference in Hong Kong. Sixth Session. WTO Secretariat, Geneva.

________________________. 2006. Total Agregate Measure of Support.


TN/AG/s/13. WTO Secretariat, Geneva.
24

Haryadi, lahir di Sungai Tutung 01 April 1965. Pendidikan


SD hingga SMA di tamatkannya di Sungai Penuh, Jambi dan
Sarjana Ekonomi di raihnya dari Universitas Jambi pada tahun
1989. Pada tahun itu juga ia langsung diterima sebagai dosen
pada Fakultas Ekonomi Universitas Jambi. Gelar Master
diperolehnya dari University of Waikato, Hamilton (1998)
dengan spesialisasi Perdagangan Internasional dan Penanaman
Modal Asing, sementara gelar doktor diraihnya dari Institut
Pertanian Bogor (2008) dengan spesialisasi tataniaga dan
perdagangan internasional.
Selain mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Jambi dan beberapa
perguruan tinggi swasta yang ada di Jambi, beliau juga mengajar pada
Program Magister Ekonomika Pembangunan Universitas Jambi, Magister
Manajemen Universitas Jambi. Pernah menjadi konsultan pada sebuah
perusahaan Swedia (2000) serta PT Puri Consulting di Jakarta (2000-2003).
Menjadi salah satu tim Asistensi Gubernur Jambi (2000), Kepala Promosi pada
Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BAPEMPRODA) Provinsi Jambi
(2000-2003), Ketua Kosentrasi Keuangan dan Perdagangan Internasional FE-
UNJA. Direktur Eksekutif Center of Development for Regional Studies (CD-
FORES) (2000-2003). Direktur Eksekutif pada Institute of Development
Economic and Law. Menjadi tim ahli pada penyusunan program pembangunan
daerah di beberapa Kabupaten dan Provinsi. Aktif pada berbagai organisasi
kemasyarakatan. Saat ini beliau adalah Pembantu Dekan 3 Fakultas Ekonomi
Universitas Jambi.

You might also like