Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Gilang Gumelar, Hanny Hafiar, dan Priyo Subekti, Bahasa Isyarat Indonesia Sebagai Budaya Tuli ...

INFORMASI: Kajian Ilmu Komunikasi - ISSN (p) 0126-0650; ISSN (e) 2502-3837
Vol. 48, No. 1 (2018), pp.65-78. doi: http://dx.doi.org/10.21831/informasi.v48i1.17727

BAHASA ISYARAT INDONESIA SEBAGAI BUDAYA TULI MELALUI


PEMAKNAAN ANGGOTA GERAKAN UNTUK KESEJAHTERAAN TUNA RUNGU

Gilang Gumelar
Ge.gumelar99@gmail.com
Hanny Hafiar
hannyhafiar@gmail.com
Priyo Subekti
priyo.subekti@gmail.com
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran

Abstract
This research try to investigate the using of language by deaf. The theory used in this
research is the theory of Phenomenology Schutz. This research used constructivism
paradigm with Phenomenology as the kind of research. Data collection techniques that
used are in-depth interviews, participatory observation, and the study of librarianship,
the collecting techniques of key informants by snowball sampling. While the data
analysis techniques using three stages, the first is reduction, the second is rendering,
and the third is the withdrawal of the conclusion. Validity of data uses triangulation
techniques sources and triangulation techniques. The results of this research show
that the meaning of Bisindo as Deaf Culture for the informants who are the member
of DPC Gerkatin Jawa Barat, is categorized as affirmative meaning. The meaning of the
affirmative that is owned by the informants is when the informants consider that Bisindo
as Deaf Culture, is an interest and pride. The study also found motifs belonging to the
informants in lifting the existence of Bisindo as Deaf Culture, not only the cause-motif
but also the purpose-motif. The informant’s experience, include the early experience in
how they get interest to Bisindo, the experience of using Bisindo, and the experience
to raise the existence of Bisindo as Deaf Culture that finally those communication
experiences affect the way informants in conducting follow-up.

Abstrak
Penelitian ini mengkaji tentang bahasa yang digunakan kaum tuli. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori fenomenologi Schutz. Penelitian ini menggunakan
paradigma konstruktivisme dengan jenis penelitian fenomenologi. Teknik pengumpulan
data yang digunakan antara lain wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan
studi kepustakaan, dengan teknik pengumpulan key informant dengan cara snowball
sampling. Sedangkan teknik analisis data menggunakan tiga tahap, yaitu reduksi,
penyajian, serta penarikan kesimpulan. Teknik validitas data menggunakan triangulasi
sumber dan triangulasi teknik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa makna Bisindo

65
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018

sebagai Budaya Tuli bagi para informan yang merupakan anggota Gerkatin DPC Jawa
Barat dikategorikan sebagai makna afirmatif. Makna-makna afirmatif yang dimiliki
para informan adalah ketika informan menganggap Bisindo sebagai Budaya Tuli adalah
sebuah kepentingan dan kebanggaan. Penelitian ini juga menemukan motif-motif yang
dimiliki informan dalam mengangkat eksistensi Bisindo sebagai Budaya Tuli, baik itu
motif sebab atau motif tujuan. Adapun pengalaman yang dimiliki informan, meliputi
pengalaman awal ketertarikan pada Bisindo, pengalaman menggunakan Bisindo,
dan pengalaman mengangkat eksistensi Bisindo sebagai Budaya Tuli yang akhirnya
pengalaman komunikasi tersebut mempengaruhi cara informan dalam melakukan
tindak lanjut.
Keywords: Meaning Construction, Bisindo, Deaf Culture.

PENDAHULUAN sebagai bahasa isyarat komunikasi sehari-


Tuli di Indonesia memiliki dua bahasa hari Tuli dalam berkomunikasi.
isyarat yang sering digunakan. Pertama, Tuli yang mengalami kesulitan
Sistem Bahasa Isyarat Indonesia atau menggunakan SIBI banyak memilih
SIBI. Kedua, Bahasa Isyarat Indonesia menggunakan Bisindo sebagai bahasa
atau BISINDO. SIBI merupakan bahasa interaksi mereka. Alasannya, Bisindo
isyarat yang diciptakan oleh Alm. Anton merupakan bahasa isyarat alami budaya
Widyatmoko mantan kepala sekolah SLB/B asli Indonesia yang dengan mudah dapat
Widya Bakti Semarang bekerjasama dengan digunakan dalam pergaulan isyarat Tuli
mantan kepala sekolah SLB/B di Jakarta sehari-hari. Bisindo merupakan bahasa
dan Surabaya. SIBI telah memiliki kamus isyarat yang dipelajari secara alami oleh
yang diterbitkan oleh pemerintah dan Tuli sehingga Bisindo seperti halnya bahasa
disebarluaskan melalui sekolah-sekolah daerah dan memiliki keunikan di tiap daerah.
khususnya SLB/B untuk Tuli di Indonesia Kecepatan dan kepraktisannya membuat
sejak tahun 2001. Keberadaan SIBI begitu Tuli lebih mudah memahami meski
populer di sekolah-sekolah SLB/B di tidak mengikuti aturan bahasa Indonesia
Indonesia. “Pihak sekolah dan juga para sebagaimana yang digunakan SIBI.
guru menggunakan SIBI sebagai bahasa Bahasa isyarat mampu menunjukan
pengantar materi pembelajaran pada siswa identitas seorang Tuli. Saat Tuli berada
Tuli”. (Winarsih, 2007) di tengah-tengah masyarakat, bahasa
Penggunaan SIBI tidak sepenuhnya isyaratlah yang menjadi penanda keberadaan
diterima dan digunakan oleh Tuli. Tuli untuk mudah dikenali. Selain itu,
Seringkali Tuli mengalami kesulitan dalam keberadaan bahasa merupakan bagian dari
menggunakan SIBI untuk komunikasi sehari- budaya seseorang tak hanya untuk Tuli
hari. Hal ini karena penerapan kosakata tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya.
yang tidak sesuai dengan aspirasi dan nurani Bahasa isyarat pun demikian, keberadaan
Tuli, terlebih penerapan bahasa yang terlalu nya tak bisa terlepas dari hasil budaya Tuli.
baku dengan tata bahasa kalimat bahasa Bahasa isyarat merupakan ciri khas dan hasil
Indonesia yang membuat kesulitan Tuli interaksi alami yang terjadi antara Tuli dan
untuk berkomunikasi. Kemudian dalam SIBI lingkungan nya. Penolakan SIBI yang berasal
ditemukan banyak pengaruh alami, budaya, dari Tuli dan dukungan terhadap Bisindo
dan isyarat Tuli dari luar negeri yang sulit dilatarbelakangi keterwakilan bahasa isyarat
dimengerti sehingga SIBI sulit dipergunakan akan budaya Tuli. Kemunculan SIBI yang
oleh Tuli untuk berkomunikasi. SIBI hanya mengadopsi bahasa isyarat Amerika dinggap
dapat digunakan sebagai bahasa isyarat oleh banyak Tuli tidak mewakili budaya Tuli
di sekolah dan tidak dapat dipergunakan Indonesia.

66
Gilang Gumelar, Hanny Hafiar, dan Priyo Subekti, Bahasa Isyarat Indonesia Sebagai Budaya Tuli ...

Berbeda dengan SIBI, bahasa isyarat Jawa Barat mengkonstruksi makna ‘Bisindo
Indonesia (BISINDO) yang belakangan sebagai Budaya Tuli’ perlu ditinjau lebih jauh
ini mulai diperjuangkan oleh Gerakan dimana para anggota memiliki pengetahuan,
untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia pengalaman dan tujuannya masing-masing
(GERKATIN). Bisindo dianggap lebih untuk ikut melakukan kegiatan tersebut.
mewakili Budaya Tuli Indonesia karena Hal itu kemudian dapat mendorong anggota
mampu merepresentasikan Budaya Gerkatin DPC Jawa Barat untuk terus aktif
Tuli Indonesia. Isyarat Bisindo muncul dalam mengangkat eksistensi ‘Bisindo
secara alami dari interaksi Tuli dengan sebagai Budaya Tuli’ pada Tuli lain yang belum
lingkungannya sejak kecil. Bisindo memiliki menggunakan Bisindo. Berdasarkan latar
keuikan seperti halnya bahasa daerah. Isyarat belakang yang telah dipaparkan diatas maka
pada Bisindo juga dipengaruhi oleh interaksi fokus dari penelitan ini adalah:konstuksi
nilai-nilai dari tiap daerah. Hal ini pula yang makna Bisindo sebagai Budaya Tuli bagi
menjadikan Bisindo memiliki keberagaman anggota Gerkatin DPC Jawa Barat.
isyarat di tiap daerah yang berbeda.
Hingga saat ini, anggota Gerkatin DPC KAJIAN PUSTAKA
Jawa Barat terus aktif mengangkat eksistensi
Bisindo sebagai Budaya Tuli. Mereka berharap Terdapat beberapa penelitain sejenis
agar Tuli menyadari jika SIBI yang digunakan yang dapat dikaji berkaitan dengan masalah
selama ini bukanlah bagian dari budaya Tuli tuli. Secara definitif, terdapat beberapa
Indonesia. Mengangkat eksistensi Bisindo penjelasan mengenai batasan tuli, tergantung
sebagai budaya Tuli dirasa perlu dilakukan konteks pembahasan yang sedang dikaji,
oleh Tuli untuk bisa menyadari keberadaan seperti definisi berikut ini:
dan hak-haknya sebagai Tuli. Semangat Kelainan indra pendengaran
untuk menyuarakan hak-hak Tuli dan untuk atautunarungu secara medis dikatakan,
mendapat pengakuan dengan mengangkat jika dalam mekanisme pendengaran
‘Bisindo sebagai Budaya Tuli’ telah menyatu karena sesuatu dan lain sebab terdapat
dan melekat pada anggota Gerkatin DPC satu atau lebih organ mengalami
Jawa Barat. Hal ini menimbulkan pertanyaan gangguan atau rusak. Akibatnya, organ
bila dukungan untuk mengangkat ‘Bisindo tersebut tidak mampu menjalankan
sebagai Budaya Tuli’ telah menjadi suatu fungsinya untuk menghantarkan dan
yang penting bagi mereka, lalu bagaimana mempersepsi rangsang suara yang
ditangkap untuk diubah menjadi
konstruksi makna yang terbentuk dalam
tanggapan akustik (Abdullah, 2013)
persepsi dan pola pikir anggota Gerkatin
DPC Jawa Barat. Bagi masyarakat awam, para penyandang
Mengangkat eksistensi ‘Bisindo sebagai tuna rungu ini tidak mudah untuk langsung
Budaya Tuli’ yang mereka lakukan tentunya dikenali, sehingga secara kasat mata seorang
memiliki makna tersendiri bagi orang-orang penyandang tuna rungu tidak memiliki
Tuli anggota Gerkatin Jawa Barat. Kemunculan perbedaan yang dapat langsung diidentifikasi
SIBI yang berasal dari orang dengar tanpa dibandingkan dengan jenis disabilitas yang
mengikutsertakan Tuli menjadi alasan kuat lain karena: “kecacatan rungu merupakan
terhadap penolakan yang dilakukan oleh salah satu jenis kecacatan yangsecara
Tuli. Penolakan SIBI yang dilakukan oleh lahiriah tak tampak, karena kecacatannya
Gerkatin DPC Jawa Barat juga merupakan terdapat di dalam indra pendengaran
bentuk perjuangan pengakuan identias diri sehingga sering dianggap sebagai kecacatan
sebagai Tuli. Fenomena komunikasi yang yang lebih ringan dibandingkan dengan
dibangun Gerkatin DPC Jawa Barat dalam kecacatan lain. Padahal kecacatan ini
memandang Bisindo sebagai bagian dari mempunyai dampak serius bagi penyandang
Budaya Tuli sudah berjalan dengan konsisten. cacatnya”(Simanjorang, 2013).
Maka, bagaimana anggota Gerkatin DPC Namun demikian, “stigma negatif

67
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018

terhadap disabilitas sudah beredar mengumpulkan data yang spesifik dari para
luasdidalampergaulan masyarakat” partisipan, manganalisis data secara induktif
(Nurhayati, 2016). Stigma ini juga turut mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-
dialami oleh disabilitas tuna rungu. Pada tema umum, dan menafsirkan makna data.
beberapa lapisan masyarakat, stigma dapat Laporan akhir untuk penelitian ini memiliki
dikenali dengan adanya penjulukan yang struktur atau kerangka yang fleksibel. Siapa
merendahkan, misalnya pada etnis tertentu pun yang terlibat dalam bentuk penelitian ini
penyandang tuna rungu beberapa kali harus menerapkan cara pandang penelitian
mengalami peristiwa dikatai bonge atau yang bergaya induktif, berfokus terhadap
torek bahkan congek. Padahal ketiga istilah makna individual, dan menerjemahkan
tersebut memiliki arti berbeda namun kompleksitas suatu persoalan (Creswell,
sama-sama dilontarkan sebagai penjulukan 2007: 4-5).
berkonotasi negatif. Sementara pendekatan fenomenologi
Stigmatisasi tersebut, bergulir menjadi yang digunakan adalah Fenomenologi Schutz.
sebuah perilaku yang bersifat diskriminatif, Bagi Schutz tugas utama fenomenologi
contohnya: “Saat gencar-gencarnya adalah menghubungkan antara pengetahuan
kampanye calon legislator dan calon presiden ilmiah dengan pengalaman sehari-hari,
melalui media massa, khususnya radio, dan dari kegiatan di mana pengalaman
televisi dan internet, tak ada satupun media dan pengetahuan itu berasal. Dengan
yang menyediakan penterjemah bahasa kata lain mendasarkan tindakan sosial
isyarat dalam pertemuan tersebut”(Salim, pada pengalaman, makna dan kesadaran.
2015). Padahal penyandang tuna rungu Manusia mengkonstruksi makna diluar arus
memiliki kebutuhan berbahasa yang berbeda utama pengalaman melalui proses “tipikasi”.
dengan bahasa dengar yang digunakan oleh Hubungan antar makna pun diorganisasikan
masyarakat secara umum. Oleh karena itu lah melalui proses ini, atau disebut stock of
bahasa isyarat bagi kaum tuli membutuhkan knowledge. Jadi kumpulam pengetahuan
kajian tersendiri. memiliki kegunaan praktis dari dunia itu
sendiri, bukan sekedar pengetahuan tentang
METODE dunia. (Kuswarno, 2009: 17-18).
Schutz secara besar menaruh
Penelitian ini menggunakan metode perhatiannya kepada satu bentuk
penelitian kualitatif dengan pendekatan dari subjektivitas yang disebutnya
fenomenologi. Penelitian ini bermaksud ‘intersubektivitas’. Konsep ini mengacu
untuk memahami fenomena tentang apa kepada suatu kenyataan bahwa kelompok-
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya kelompok sosial saling menginterpretasikan
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., setiap tindakan masing-masing dan
secara holistik, dan dengan cara deskripsi pengalaman mereka juga diperoleh melalui
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada cara yang sama seperti yang dialami dalam
suatu konteks khusus yang alamiah dan interaksi secara individual. Faktor saling
dengan memanfaatkan berbagai metode memahami satu sama lain, baik antarindividu
alamiah (Moleong, 2012: 6). maupun antarkelompok ini diperlukan
John Creswell mendefiniskan penelitian untuk terciptanya kerjasama di hampir
kualitatif merupakan metode-metode untuk semua organisasi sosial. Schutz secara penuh
mengekplorasi dan memahami makna yang memusatkan perhatiannya kepada struktur
oeh sejumlah individua tau sekelompok kesadaran yang diperlukan untuk terjadinya
orang dianggap berasal dari masalah sosial saling bertindak atau interaksi dan saling
atau kemanusiaan. Proses penelitian memahami antarsesama manusia. Secara
kualitatif ini melibatkan upaya-upaya singkat dapat dikatakan bahwa interaksi
penting, seperti mengajukan pertanyaan- sosial terjadi dan berlangsung melalui
pertanyaan dan prosedur-prosedur, penafsiran dan pemahaman tindakan

68
Gilang Gumelar, Hanny Hafiar, dan Priyo Subekti, Bahasa Isyarat Indonesia Sebagai Budaya Tuli ...

masing-masing baik antarindividu maupun Rasa bangga terlahir Tuli yang menjadikan
antarkelompok (Sobur, 2014: 54-55). nya semangat dalam menjalankan aktivitas.
Selain itu, munculnya rasa percaya diri yang
HASIL DAN PEMBAHASAN lebih saat berkomunikasi dengan Tuli lain
karena Bisindo merupakan bagian Budaya
Motif anggota Gerkatin DPC Jawa Barat Tuli yang isyarat nya alami dari Tuli.
dalam mengangkat eksistensi Bisindo Pernyataan diatas juga dijelasakan oleh
sebagai Budaya Tuli peneliti dari Laboratorium Riset Bahasa
Penelitian mengenai motif ini mengacu Isyarat (LRBI) Universitas Indonesia,
pada dua fase yang dikemukakan oleh Adhi Kusumo Bharoto bahwa Bisindo
Alfred Schutz. Bagi Schutz, untuk dapat merupakan karya budaya komunitas Tuli.
menggambarkan keseluruhan tindakan Sebuah karya tersebut menandakan bahwa
seseorang, perlu diberi fase. Dua fase yang mereka dapat bertahan hidup. Dengan cara
diusulkan Schutz diberi nama tindakan hidup mereka melalui komunikasi (Bahasa
in-order-to motive (Um-zu-Motiv), yang Isyarat), perilaku, kebiasaan, nilai, sejarah,
merujuk pada masa yang akan datang; dan pendidikan, dll. Oleh karena itu, bisindo
tindakan because-motive (Weil-Motiv) yang dapat dikatakan sebagai identitas Tuli.
merujuk pada masa lalu (Kuswarno, 2009: Kedua, setelah informan mengetahui
111). bahwa Bisindo merupakan identitas Tuli
Schutz membuat model tindakan lalu informan berfikir. Informan melalui
manusia melalui proses yang dinamakan kegiatan-kegiatan kajian tentang kehidupan
“tipikasi”. Konsep tipikasi ini merupakan Tuli. Akhirnya mereka menyadari jika
penggabungan Schutz terhadap pemikiran- Tuli memiliki hak untuk menentukan
pemikiran Weber dan Husserl. Adapun bahasa yang sesuai dengan mereka. Hal ini
jenis tipikasi bergantung pada orang yang menunjukan jika anggota Gerkatin DPC
membuatnya, sehingga kita dapat mengenal mendukung penggunaan Bisindo karena
tipe aktor, tipe tindakan, tipe kepribadian memahami Bisindo sebagai salah satu hak
sosial, dsb. Bagi Schutz, jenis tipikasi Tuli.
dibuat berdasarkan kesamaan tujuan, Ketiga, informan juga merasa apa
namun dalam struktur yang relevan dengan yang dimaknai dalam mengangkat
tujuan peneltian. Singkatnya tipikasi ini eksistensi Bisindo sebagai Budaya Tuli
menyediakan seperangkat alat identifikasi, ternyata mempermudah mereka dalam
klasifikasi, dan model perbandingan berkomunikasi. Kemudahan dalam Bisindo
dari tindakan dan interaksi sosial. diataranya karena isyarat dalam Bisindo
Dengan menggunakan kriteria yang telah langsung pada intinya tanpa menggunakan
didefinisikan untuk penempatan fenomena imbuhan. Isyarat Bisindo yang mirip
ke dalam tipe-tipe khusus (Kuswarno, 2009: dengan Bahasa Isyarat alami orang Tuli juga
39). menjadikan informan telah terbiasa sejak
kecil. Kemudian, Bisindo yang menggunakan
Because Motive isyarat dua tangan dan ekspresi wajah
dianggap informan menjadi hal yang sangat
Peneliti membagi tindak lanjut atas sesuai dengan kemampuan mereka yang
fase because motive yang dimiliki informan kuat dalam visualisasi.
menjadi dua, yaitu motif intrinsik dan
ekstrinsik. Motif intrinsik yang dimiliki Tiga motif yang telah dipaparkan peneliti
informan adalah ketika informan memaknai di atas termasuk dalam motif intrinsik, karena
keikutsertaannya mengangkat eksistensi motif-motif tersebut muncul dari dalam diri
Bisindo sebagai Budaya Tuli adalah tiap informan. Selain itu terdapat motif-
kebanggaan akan identitas diri. Informan motif ekstrinsik yang dimiliki informan,
ingin menunjukan identitasnya sebagai Tuli. yaitu ketika informan melihat masih banyak
Tuli yang belum menggunakan Bisindo.

69
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018

Hal ini pula yang membuat informan dan Kedua, informan menginginkan
Gerkatin DPC Jawa Barat merasa perlu untuk perubahan akan sikap Tuli. Perubahan
mengangkat eksistensi Bisindo sebagai yang diharapkan adalah orang Tuli yang
Budaya Tuli. Lebih lanjut, Adhi menjelaskan sudah megetahui tentang Bisindo mau
dengan mengangkat eksistensi Bisindo menggunakan dan mendukung Bisindo.
sebagai Budaya Tuli mereka juga ingin Banyak Tuli yang setelah diberitahu
memberi pengetahuan dan kesadaran pada dan diajarkan Bisindo kemudian mau
Tuli lain jika Bahasa Isyarat merupakan hak menggunakan Bisindo. Umumnya alasan
Tuli untuk berkomunikasi. yang muncul adalah karena penggunaan
Selanjutnya, ketika informan melihat Bisindo yang mudah. Isyarat yang terkandung
masih banyak orang Tuli yang belum dalam Bisindo sama dengan isyarat alami
mengetahui tentang Budaya Tuli. Melalui yang pernah mereka ketahui.
Bisindo Tuli akan mempelajari bagaimana Ketiga, dengan mengangkat eksistensi
Budaya Tuli. Nilai-nilai yang melekat Bisindo sebagai Budaya Tuli informan
pada Bisindo sebagai suatau ciri khas dan berharap orang Tuli jadi merasa bangga
keunikan Tuli dalam berkomunikasi akan dengan Bisindo sebagai Budaya Tuli. Rasa
mampu menjadi penambah rasa bangga bangga yang muncul ini akan menjadi
Tuli. Kepercayaan diri akan mucul saat penyemangat Tuli untuk berada di tengah
Tuli telah mengetahui Budaya Tuli seperti masyarakat. Tuli tidak merasa malu dan
apa. Nantinya Tuli tak lagi merasa malu minder dengan identitasnya sebagai
atau minder di tengah-tengah masyarakat. Tuli. Bisindo adalah Bahasa Isyarat yang
Setelah mengetahui Budaya Tuli mereka menunjukan identitas Tuli. Saat Tuli bangga
akan bangga karena memiliki Budaya sendiri denga Bisindo sebagai Budaya Tuli, maka
yang tentu saja berbeda dari Budaya lain. Tuli juga sudah bangga akan keberadaan nya
Beragam motif sebab yang dimiliki di tengah masyarakat.
oleh para informan, secara sadar atau tidak Aspek-aspek yang telah dijabarkan
sadar dengan mengamati dan mengalami di atas menunjukkan motif-motif yang
menggunakan Bisindo sebagai Budaya melatarbelakangi informan dalam
Tuli ternyata membentuk konsep diri yang mengambil keputusan untuk ikut serta
membuat informan memiliki dorongan mengangkat eksistensi Bisindo sebagai
untuk ikut serta dalam mengangkat Budaya Tuli. Pengalaman masing-masing
eksistensi Bisindo sebagai Budaya Tuli. informan yang berbeda-beda menciptakan
motif yang berbeda pula di setiap individunya.
In order to motive Bila ditarik garis besarnya, masing-masing
memiliki motif yang kurang lebih sama
Selanjutnya, informan juga memiliki walaupun latar belakang yang mereka alami
beragam in order to motive (motif untuk) berbeda-beda. Penelitian ini menunjukkan
yang merujuk pada tujuan yang digambarkan bahwa latar belakang yang dialami informan
sebagai maksud, rencana, harapan, dan membentuk motif, baik yang muncul dari
minat yang berorientasi ke masa depan. dirinya atau muncul dari luar diri.
Ditemukan motif untuk yang dimiliki oleh
para informan diantara lain, yaitu ingin
orang Tuli mengetahui hak Tuli, Bisindo Makna Bisindo sebagai Budaya Tuli bagi
dan Budaya Tuli. Para informan menyadari anggota Gerkatin DPC Jawa Barat
masih banyak Tuli yang belum mengetahui Penelitian ini mencoba untuk
tentang hal tersebut. Informan berharap mempelajari fenomena yang terjadi dalam
dengan dirinya bersama Gerkatin DPC Jawa makna Bisindo sebagai Budaya Tuli yang
Barat mengangkat eksistensi Bisindo sebagai dialami dalam kesadaran, pikiran, dan
Budaya Tuli akan banyak orang Tuli sadar tindakan oleh setiap anggota Gerkatin DPC
tentang hak Tuli, Bisindo dan Budaya Tuli. Jawa Barat. Salah satu tujuan dari penelitian

70
Gilang Gumelar, Hanny Hafiar, dan Priyo Subekti, Bahasa Isyarat Indonesia Sebagai Budaya Tuli ...

ini pun adalah untuk mencoba menemukan oleh Tuli agar Tuli memiliki identitas
makna yang dikonstruksi oleh setiap sebagai seorang Tuli. Penggunaan SIBI yang
anggotanya dalam konsep intersubjektif, diterapkan untuk pengantar dalam dunia
karena dalam memaknai Bisindo sebagai pendidikan dianggap bukanlah cerminan
Budaya Tuli, makna tersebut bisa saja idenitas Tuli. Keberadaan SIBI yang
dibentuk karena adanya hubungan antara merupakan serapan dari isyarat Amerika
anggota dengan anggota lainnya. dianggap tidak mencerminkan Budaya Tuli.
Seperti yang dipaparkan Stewart L. Tubbs Terlebih lagi dalam proses pembuatan dan
dan Sylvia Moss (dalam Sobur, 2009: 255) penerapan nya tidak mengikutsertakan Tuli.
mengenai makna dalam disiplin komunikasi, Tak heran jika Tuli yang telah mengetahui
“Komunikasi adalah proses pembentukan kebenaran nya merasa tidak dianggap oleh
makna di antara dua orang atau lebih.” Di pemerintah. Disisi lain, keberadaan Bisindo
samping itu, Kincaid & Schramm (dalam yang awalnya muncul dari Tuli secara alami
Sobur, 2009: 244) mengatakan bahwa makna dianggap mampu mencerminkan Budaya
kadang-kadang berupa suatu jalinan asosiasi, Tuli. Bisindo merupakan Bahasa Isyarat
pikiran yang berkaitan serta perasaan yang alami (dapat disebut sebagai bahasa ibu
melengkapi konsep yang diterapkan. Makna bagi komunitas Tuli) yang muncul dan
yang didapat sangat beragam, yang kemudian berkembang dalam komunitas Tuli.
makna-makna tersebut dapa disimpulkan Terakhir, Bisindo harus digunakan oleh
menjadi makna afirmatif yang dapat Tuli untuk mempermudah komunikasi.
mempengaruhi pikiran bawah sadar untuk Pernyataan tersebut melihat keberadaan
membantu anggota Gerkatin DPC Jawa Barat Bisindo sudah ada sejak lama, sejak Tuli belajar
dalam mengembangkan persepsi yang lebih menggunakan isyarat untuk berkomunikasi.
positif lagi terhadap makna Bisindo sebagai Isyarat Bisindo yang sama seperti isyarat
Budaya Tuli. alami ini lah salah satu hal yang membuat
Bisindo juga lebih mudah digunakan. Isyarat
Kepentingan pada Bisindo spesifik dan langsung merujuk
pada hal yang ingin disampaikan. Tak seperti
Makna-makna yang masuk ke dalam SIBI yang menggunakan kamus tebal dan
kategori afirmatif yaitu informan memaknai imbuhan dalam kalimat yang membuat
Bisindo sebagai Budaya Tuli ini sebagai sebuah Tuli terhambat dalam berkomunikasi. Tak
kepentingan bagi dirnya dan Tuli di sekitar. heran jika Tuli di Gerkatin DPC Jawa Barat
Dengan memaknai Bisindo sebagai Budaya memaknai Bisindo sebagai Budaya Tuli
Tuli merek merasa telah menggunakan adalah sesuatu yang penting diketahui oleh
haknya dengan baik untuk memilih bahasa Tuli lain agar mempermudah Tuli dalam
komunikasi. Masih banyak Tuli yang belum berkomunikasi. Adhi menambahkan, SIBI
menggunakan Bisindo, hal ini dipandang dan Bisindo tidak bisa dibandingkan karena
sebagai kurangnya pengetahuan dan SIBI bukanlah bahasa seperti Bisindo. SIBI
pemahaman Tuli tersebut akan hak dasar merupakan sistem buatan yang awalnya
nya. Tuli yang belum mengetahui hak-haknya digunakan untuk mempermudah Tuli
cenderung hanya menerima apa yang telah berkomunikasi.
ditetapkan oleh system, dalam hal ini adalah
system pendidikan. Padahal para informan
anggota Gerkatin DPC Jawa Barat mengaku, Kebanggaan
mengetahui Bisindo dan lebih menyadari Para informan memaknai Bisindo
tentang hak-hak Tuli setelah mereka mau sebagai Budaya Tuli ini adalah sebagai sebuah
membuka diri dan aktif mengikuti kegiatan- kebanggaan dalam dirinya. Kebanggaan
kegiatan Tuli diluar sekolah. muncul karena informan merasa dirinya
Selanjutnya, informan memiliki sebagai Tuli telah mengetahui dan
pandangan jika Bisindo harus digunakan menggunakan hak, identitas, dan Budaya

71
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018

Tuli. Informan merasa bangga sebagai yang telah memahami tentang arti dari Tuli itu
Tuli telah mengetahui hak mereka dalam sendiri.Definisi Tuli dalam pandangan sosial
menentukan bahasa untuk komunikasi. budaya sangat berbeda dengan definisi Tuli
Hak yang mereka gunakan dalam memilih menurut klinis/patologis. Dalam pandangan
bahasa adalah bentuk pengakuan diri pribadi klinis/patologis maka Tuli didefinisikan
informan sebagai Tuli. sebagai sebuah penyakit dan kecacatan
Saat informan memaknai Bisindo sebagai dimana seseorang tidak bisa mendengar
Budaya Tuli sebagai bentuk pengakuan dikarenakan mengalami gangguan dalam
identitas Tuli. Dalam isyarat Bisido terdapat organ pendengarannya. Sedangkan dalam
unsur-unsur yang merupakan bagian dari definisi sosial budaya, Tuli merupakan
identitas Tuli. Isyarat dua tangan, gestur, dan sebuah kondisi sosiokultural dimana terdapat
ekspresi wajah yang terdapat dalam Bisindo pembatasan pengembangan kultur dan
merupakan ciri khusus Bisindo sebagai bahasa yang merupakan identitas mayarakat
bahasa orang Tuli. Saat Tuli menggunakan Tuli. Ketulian dalam sudut pandang sosial
Bisindo maka mereka telah mengakui dan dan budaya merupakan sebuah entitas
bangga akan identitasnya. Identitas Tuli yang yang lahir dari pengelompokan masyarakat
mereka sadari dengan menggunakan Bisido berdasarkan kekayaan linguistik yang mana
juga membuat mereka percaya diri di tengah hal ini didominasi oleh masayarakat hearing
masyarakat. (non-Tuli).Artinya, kondisi kecacatan dapat
Lalu, Bisindo dianggap merupakan dianggap dari berbagai sudut pandang
bentuk pengakuan Tuli terhadap Budaya pendefinisian (Hafiar, 2012b). Sehingga,
Tuli. Asal-usul keberadaan dan nilai-nilai terdepat perbedaan persepsi mengenai
dalam Bisindo mampu membuat Bisindo kondisi yang dapat dikategorikan sebagai
manjadi bagian dari Budaya Tuli. Bisindo kondisi kecacatan atau tidak, termasuk
juga dianggap sebagai bagain dari Budaya kondisi Tuli. Perbedaan pembatasan
Tuli karena dalam Budaya terdapat bahasa mengenai kecacatan ini bukan hanya terjadi
yang melekat. Bisindo merupakan bahasa di Indonesia, namun juga terjadi dibeberapa
bagi orang Tuli yang terbentuk melalui negara. Artinya batasan kecacatan termasuk
pengaruh hasil dari kebiasaan, nilai, dan Tuli masih mengalami perkembngan dan
budaya setempat. Maka dalam Bisindo juga perdebatan yang belum tertuntaskan secara
terdapat keragaman isyarat di tiap daerah paripurna.
seperti umumnya bahasa daerah. Hal-hal Dengan memandang ketulian dari sudut
tersebut semakin memperkuat keyakian pandang budaya maka akan memberikan
Tuli di Gerkati DPC Jawa Barat akan Bisindo pemahaman bahwa ketulian bukanlah
sebagai Budaya Tuli. sebuah kondisi kerusakan fisik melainkan
Informan yang merupakan anggota kondisi sosiokultural masyarakat Tuli
Gerkatin DPC Jawa Barat dapat menghasilkan terutama dalam hal bahasa. Perubahan
berbagai makna afirmatif dalam dirinya pemaknaan Budaya tuli (patologis) menjadi
karena didasari oleh pribadinya yang mau Tuli(sosiokultur) mengindikasikan bahwa
belajar. Belajar mengenal Bisindo dan Budaya ketulian merupakan identitas budaya yang
Tuli. Di samping itu, bisa dikatakan karena memiliki karakter tertentu, karena itu pula
para informan sudah nyaman menggunakan masyarakat Tuli memilih istilah Tuli daripada
Bisindo, jadi dia mau mengeluarkan usaha tuna rungu, karena tuna rungu mengindikasi
untuk belajar dan tetap menggunakan adanya kekurangan atau kerusakan.
Bisindo, sehingga terbentuklah makna di Penelitian ini adalah memandang ketulian
diri informan tersebut akan Bisindo sebagai dari sudut pandang sosiokultur.Pada
Budaya Tuli yang sedang mereka jalani. prinsipnya, penyandang kecacatan memiliki
preferensi tersendiri mengenai terminologi
Makna Bisindo sebagai Budaya Tuli yang yang dianggap sesuai bagi kondisinya. Ada
dialami oleh anggota Gerkatin DPC Jawa Barat yang memilih menggunakan disabilitas,
bisa dikaitkan dengan pandangan dari Tuli

72
Gilang Gumelar, Hanny Hafiar, dan Priyo Subekti, Bahasa Isyarat Indonesia Sebagai Budaya Tuli ...

difabel, penyandang ketunaan, ataupun Informan pada Bisindo


istilah lain (Hafiar, 2012a). Pada prinsipnya, pemahaman mengenai
Tuli yang memahami keadaan dirinya bahasa sebagai simbol dapat diperoleh
tak ingin dipandang sebagai sesuatu yang melalui interaksi (Yusran, Hafiar, & Sjoraida,
memiliki kekurangan melainkan kelebihan. 2017). Oleh karena itu, setiap informan
Tuli yang tergabung dalam Gerkatin DPC Jawa memiliki cerita yang berbeda mengenai awal
Barat telah memahami dan menempatkan ketertarikannya pada Bisindo. Umumnya
dirinya pada Tuli yang ingin dianggap sebagai informan menjadi tertarik menggunakan
sebuah Budaya. Keterwakilan Budaya Tuli Bisindo setelah diperkenalkan oleh orang-
inilah yang mereka rasakan sangat kuat dalam orang terdekat. Ada yang dikenalkan oleh
Bisindo. Selanjutnya, dalam sudut pandang kakak kandung, teman, dan bahkan ada
budaya, bahasa merupakan unsur budaya informan yang tertarik Bisindo karena info
yang selalu ada dalam setiap masyarakat. dari grup media sosial. Artinya perilku
Koentjoroningrat (1989) menempatkan ketertarikan informan kepada Bisindo,
Bahasa sebagai unsur budaya universal dipengaruhi lingkungan sekitar yang
yang pertama dari tujuh unsur budaya terdekat. Hal itu sejalan dengan hasil
universal. Hal ini menunjukan bagaimana pemikiran bahwa perilaku individu juga
bahasa adalah alat identifikasi paling awal dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
dan penting dari sebuah Budaya. Hal ini faktor-faktor tersebut ialah faktor latar
mendukung tentang apa yang dilakukan belakang diri sendiri, faktor latar belakang
oleh Tuli di Gerkatin DPC Jawa Barat dalam keluarga, faktor pengaruh rakan sebaya
memperjuangkan bahasanya merupakan dan juga faktor permasalahan persekitaran
bagian dari pengakuan Budaya Tuli. sekolah (Zainudin Sharif & Norazmah
Mohamad Roslan, 2011).
Pengalaman anggota Gerkatin DPC Jawa Sri yang juga informan dalam penelitian
Barat dalam mengangkat eksistensi ini menjadi orang yang banyak mengenalkan
Bisindo sebagai Budaya Tuli anggota Gerkatin DPC Jawa Barat pada
Bisindo. Beberapa informan dalam penelitian
Bagi Schutz, tugas fenomenologi adalah ini mengaku jika awal ketertarikan mereka
menghubungkan antara pengetahuan pada Bisindo karena diperkenalkan oleh Sri
ilmiah dengan pengalaman sehari-hari saat mereka datang ke sekertariat Gerkatin
dan dari kegiatan di mana pengalaman DPC Jawa Barat. Keberadaan kegiatan
dan pengetahuan itu berasal. Dengan Gerkatin DPC Jawa Barat yang saat itu berada
kata lain mendasarkan tindakan sosial di lingkungan SLB-B Cicendo telah banyak
pada pengalaman, makna, dan kesadaran membuat siswa tertarik untuk berorganisasi
(Kuswarno, 2009:17). Tugas utamanya adalah dan melakukan kegiatan dengan Tuli lain.
mengkonstruksi dunia kehidupan manusia Ketertarikan informan pada Bisindo berasal
“sebenarnya” dalam bentuk yang mereka dari luar lingkungan formal atau sekolah.
sendiri alami. Hal ini terjadi karena sekolah-sekolah bagi
Untuk itu penjelasan mengenai orang Tuli lebih memilih menggunakan dan
pengalaman komunikasi Anggota DPC mengajarkan SIBI dibandingkan Bisindo.
Gerkatin DPC Jawa Barat dalam mengangkat Maka biasanya orang Tuli yang menggunakan
eksistensi Bisindo sebagai Budaya Tuli akan Bisindo adalah Tuli yang aktif berkegiatan
peneliti bagi ke dalam tiga tahap, yaitu: 1) diluar sekolah atau dia yang telah lulus
Pengalaman awal ketertarikan informan sekolah.
pada Bisindo; 2) Pengalaman menggunakan
Bisindo; 3) Pengalaman mengangkat Pengalaman Menggunakan Bisindo
eksistensi Bisindo sebagai Budaya Tuli.
Informan mengaku jika dalam
menggunakan Bisindo tidak banyak
Pengalaman Awal Ketertarikan

73
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018

Gambar1 Isyarat SIBI Kata “Pembangunan” (Nirna,2016)

17
Gambar 2 Isyarat SIBI Kata “Pengangguran” (Nirna,2016)

Gambar 3 Isyarat Bisindo Kata “Pembangunan” dan “Pengangguran”


(Nirna,2016)
Gambar 3 Isyarat Bisindo Kata
“Pembangunan” dan “Pengangguran”
(Nirna,2016)
kesulitan yang dialami. Tingkat pemahaman menjadi penyebab Tuli tidak banyak
dalam berkomunikasi Saatmembuat Tuli anggota
beralih menggunakan mengalami
Bisindo berbagai tanggapankesulitan
datang padasaat menggunakan
informan
Gerkatin DPCdari
Jawa Barat meningkat
orang-orang setelahterdekat
terdekat. Keluarga Bisindo.
informan Informan juga pilihan
banyak mendukung membandingkan
menggunakanyangBisindo. Isyarat Bisindo dengan SIBI yang
dibuat oleh mereka dengan menggunakan Bisindo. Ada informan yang bahkan
sebelumnya telah
yang mereka pelajari tidak jauh berbeda mereka gunakan. Mereka mengaku sering
dengan isyaratdidukung oleh kakak
alami yang sejakmereka
kecil yang juga seorang
mereka Tuli. Saat mereka
mengalami telah menggunakan
kesulitan saat menggunakan
gunakan untuk berkomunikasi.
Bisindo, komunikasi dengan sang kakak SIBI. Adanya imbuhan pada saat
menjadi lebih lancar dibandingkan SIBI membuat
Banyak menggunakan
informan SIBI. yangOrangawalanya Tuli menjadi kurang
tua para informan mendukung mereka menggunakanmemahami isyarat
tidak menyadari jikaTetapi
Bisindo. Bisindo
kadaryang mereka
dukungan
yang disampaikan. Terlebih lagi keberadaan
yang diberikan berbeda-beda. Ada yang sekedar
gunakan sama seperti isyarat alami yang kamus SIBI membuat orang Tuli sulit untuk
membiarkan Tuli memilih Bahasa yang nyaman, tetapi saat berkomunikasi dengan
sudah mereka pelajari. Hal ini juga yang mengungkapkan kata karena minimnya
mereka tetap menggunakan oral.
74
Intinya, pemilihan bahasa ini merupakan salah satu upaya pemberdayaan,
adapun “proses pemberdayaan masyarakat membutuhkan upaya untuk mengenali
Gilang Gumelar, Hanny Hafiar, dan Priyo Subekti, Bahasa Isyarat Indonesia Sebagai Budaya Tuli ...

pembendaharaan kata yang dimiliki. komunikasi dengan sang kakak menjadi lebih
Seringkali penggalan kata dalam isyarat lancar dibandingkan saat menggunakan
SIBI membuat Tuli bingung, kata yang di SIBI. Orang tua para informan mendukung
isyaratkan tidak berhubungan sama sekali mereka menggunakan Bisindo. Tetapi
dengan hal yang dimaksud. kadar dukungan yang diberikan berbeda-
Sebagai contoh, untuk kata beda. Ada yang sekedar membiarkan Tuli
“pembangunan” maka di pisah menjadi 3 memilih Bahasa yang nyaman, tetapi
bagian, pertama isyarat “pem”, “bangun” dan saat berkomunikasi dengan mereka tetap
“an”. Isyarat “bangun” yang digunakan pada menggunakan oral.
kata “pembangunan” menunjukan seperti Intinya, pemilihan bahasa ini
isyarat baru bangun tidur, padahal tidak merupakan salah satu upaya pemberdayaan,
ada kaitan nya bangun tidur dengan kata adapun “proses pemberdayaan masyarakat
yang dimaksud. Contoh selanjutnya adalah membutuhkan upaya untuk mengenali
kata “pengangguran”, dengan menggunakan potensi dan kemampuan, mencari alternatif
isyarat SIBI maka dibagi menjadi tiga peluang dan pemecahan masalah serta
isyarat. Kata “pengangguran” disampaikan mampu mengambil keputusan untuk
dengan isyarat “pem”, “angguran” dan “an”. memanfaatkan sumberdaya secara efisien
Isyarat “anggur” yang digunakan adalah dan berkelanjutan sehingga tercapai
merujuk pada buah anggur, padahal tidak kemandirian” (Agustini, Budiono, Saepudin,
ada kaitannya buah anggur dan kata & Silvana, 2015). Hal ini juga selaras dengan
“pengangguran” yang dimaksud. Dua contoh pernyataan Iriantara (2010:173) bahwa:
tadi mewakili kata-kata membingungkan “pengembangan masyarakat pada dasarnya
lainnya yang dirasakan oleh Tuli saat adalah upaya pemberdayaan masyarakat
menggunakan SIBI. melalui kemampuan dan potensi yang
Adanya pemenggalan kata dalam dimiliki masyarakat tersebut” (Nassaluka,
isyarat SIBI dirasa tidak praktis untuk Hafiar, & Priyatna, 2016)
berkomunikasi. Penggunaan SIBI
menyebabkan isyarat yang dipakai menjadi Pengalaman mengangkat eksistensi
lebih banyak jika dibandingkan dengan Bisindo sebagai Budaya Tuli
BISINDO. Jika dalam isyarat SIBI kata
“pembangunan” dan “pengangguran” Merujuk pada Pidarta (2000), Berbeda
disampaikan dengan tiga isyarat, maka dengan makhluk hidup lainnya, manusia
dalam Bisindo cukup dengan satu isyarat. bukan hanya sekadar hidup (to live) tetapi
Isyarat kata “pembangunan” cukup dengan juga bereksistensi (to exist), sehingga
mengayunkan tangan seolah menunjukan memiliki kebebasan dalam memilih dan
gedung dalam pembangunan, sedangkan melakukan tindakan (Basuki & Jaelani,
untuk kata “pengangguran” cukup dengan 2015). Di sisi lain, disebutkan pula bahwa
isyarat seperti tidak melakukan apa-apa. penyandang cacat tubuh membutuhkan
Isyarat yang disampaikan dengan Bisindo adanya pengakuan akan keberadaan mereka
selalu disertai dengan ekspresi dan keadaan (Hikmawati & Rusmiyati, 2011). Selaras
secara alami. Tak heran jika penggunaan nya dengan pendapat tersebut, informan dalam
dirasa mudah dan praktis. penelitian ini melakukan cara-cara yang tak
jauh berbeda dalam mendukung eksistensi
Saat beralih menggunakan Bisindo Bisindo sebagai Budaya Tuli. Gerkatin
berbagai tanggapan datang pada informan DPC Jawa Barat sendiri telah memiliki
dari orang-orang terdekat. Keluarga terdekat agenda-agenda rutin yang dilakukan untuk
informan banyak mendukung pilihan yang mengangkat eksistensi Bisindo sebagai
dibuat oleh mereka dengan menggunakan Budaya Tuli. Ada dua kegiatan rutin yang
Bisindo. Ada informan yang bahkan didukung dilakukan oleh para informan, yaitu kelas
oleh kakak mereka yang juga seorang Tuli. Bahasa Isyarat dan sosialisasi Bisindo di
Saat mereka telah menggunakan Bisindo,

75
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018

Car Free Day (CFD) Dago. Dalam program sebagai Budaya Tuli. Diantaranya adalah
kelas Bahasa Isyarat Gerkatin DPC Jawa mengajak diskusi pihak sekolah SLB-B
Barat membuka kelas khusus untuk Tuli Cicendo agar mau mengajarkan Bisindo di
dan orang dengar yang ingin belajar tentang sekolah. Kemudian, kemajuan teknologi juga
Bahasa Isyarat, khususnya Bisindo. Kelas tak dilewatkan oleh para informan untuk
Bahasa Isyarat rutin diadakan seminggu 2 menyebarkan dukungannya. Melalui media
kali. Awalnya kelas Bahasa Isyarat diadakan sosial seperti Facebook dan Whattapps
di sekertariat Gerkatin DPC Jawa Barat mereka sering membagikan informasi
yang berada di lingkungan SLB-B Cicendo. mengenai Bisindo. Hal ini dilakukan untuk
Pada akhir tahun 2016, sekertariat Gerkatin menjangkau dan menyadarkan Tuli maupun
DPC Jawa Barat untuk sementara pindah ke masyarakat yang lebih luas.
lingkungan Yayasan Wiyata Guna di jalan
Padjadjaran, Bandung. Otomatis kegiatan SIMPULAN
kelas Bahasa Isyarat pun dipindahkan.
Kegiatan rutin Gerkatin DPC Jawa Makna Bisindo sebagai Budaya Tuli.
Barat dalam mengangkat eksistensi Peneliti mengkategorikan Bisindo sebagai
Bisindo sebagai Budaya Tuli lainnya adalah Budaya Tuli yang dimaknai oleh para
sosialisasi Bisindo. Sosialisasi Bisindo ini informan yang merupakan anggota Gerkatin
rutin diadakan oleh anggota Gerkatin DPC DPC Jawa Barat sebagai makna afirmatif.
Jawa Barat di Car Free Day (CFD) Dago, kota Makna-makna afirmatif tersebut diantaranya
Bandung. Tiap akhir pekan anggota Gerkatin adalah: 1) Bisindo sebagai Budaya Tuli
DPC Jawa Barat membuka stan sederhana dianggap sebagai kepentingan bagi orang
mulai pagi hari. Dalam kegiatan ini, Tuli untuk mau menggunakan Bisindo agar
biasanya anggota Gerkatin DPC Jawa Barat Tuli memahami, hak, identitas, dan Budaya
menyebarkan selebaran alfabet Bisindo dan Tuli; 2) Bisindo sebagai Budaya Tuli dianggap
ajakan menggunakan Bisindo. Pada kegiatan sebagai suatu kebanggaan akan pengakuan
ini juga biasanya mereka didampingi oleh hak, identitas, dan Budaya Tuli;
relawan-relawan penerjemah Bahasa Isyarat. Motif Mengangkat Eksistensi Bisindo
Kehadiran penerjemah Bahasa Isyarat ini sebagai Budaya Tuli. Ditemukan beberapa
untuk mempermudah komunikasi dengan motif sebab (because motive) yang dimiliki
orang dengar di CFD. Ada beberapa tujuan oleh informan yang merupakan anggota
dengan dilaksanakan nya kegiatan ini, yaitu Gerkatin DPC Jawa Barat dalam menentukan
untuk mendekatkan Tuli dengan masyarakat, keputusannya ikut mengangkat eksistensi
mengajak Tuli dan masyarakat untuk belajar Bisindo sebagai Budaya Tuli yang
Bisindo, dan untuk menggalang dukungan dikategorikan ke dalam dua bagian yaitu motif
tentang eksistensi Bisindo sebagai Budaya sebab-intrinsik (dari dalam diri) dan motif
Tuli. sebab-ekstrinsik (dari lingkungan). Motif
Eksistensi dari kaum Tuli memang perlu sebab intrinsik adalah: 1) Bisindo merupakan
ditingkatkan agar mereka mampu menjadi identitas Tuli; 2) Bisindo merupakan hak
pemimpin minimal memimpin diri sendiri Tuli; 3) Bisindo mempermudah komunikasi.
sehingga tidak tergantung pada orang lain, Motif sebab-ekstrinsiknya adalah: 1)
adapun definisi dari kepemimpinan adalah Melihat masih banyak Tuli yang belum
“proses memengaruhi atau memberi contoh menggunakan Bisindo; 2) Melihat masih
oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam banyak Tuli yang belum tahu tentang Budaya
upaya mencapai tujuan organisasi” (Artawan, Tuli. Sedangkan untuk motif tujuan (in
Shintadewi, & Budiana, 2016). order to motive) yang dimiliki oleh anggota
Selain melalui dua kegiatan rutin Gerkatin DPC Jawa Barat, yaitu: 1) Ingin Tuli
yang diagendakan oleh Gerkatin DPC Jawa lain mengetahui hak Tuli; 2) Ingin Tuli lain
Barat, informan juga melakukan cara-cara menggunakan dan mendukung Bisindo;
lain untuk mangangkat eksisitensi Bisindo 3) Ingin Tuli lain bangga dengan Bisindo

76
Gilang Gumelar, Hanny Hafiar, dan Priyo Subekti, Bahasa Isyarat Indonesia Sebagai Budaya Tuli ...

sebagai Budaya Tuli. dimana hal ini merujuk pada keputusan


Terdapat variasi aspek pengalaman Tuli dalam menentukan Bahasa Isyarat yang
informan yang dibagi menjadi tiga bagian, digunakan.
yaitu pengalaman awal ketertarikan pada Distribusi kecerdasan yang dimiliki anak
Bisindo, Pengalaman menggunakan Bisindo tunarungu sebenarnya tidak berbedadengan
untuk berkomunikasi, dan pengalaman anak normal umumnya. Menurut Furth,
mengangkat eksistensi Bisindo sebagai kemampuan kognitif anak tunarungu tidak
Budaya Tuli. Untuk pengalaman awal mengalami hambatan kecuali konsep yang
ketertarikan pada Bisindo, didapat bahwa: tergantung pada pengalaman bahasa. Jika
1) Semua informan mengetahui dan ada anak tunarungu yang kurang dalam
menggunakan SIBI sebelum menggunakan menyelesaikan tugas-tugas intelektualnya,
Bisindo; 2) Masing-masing informan mungkin karena kurangnya dorongan
memiliki cerita yang berbeda mengenai orangtua atau layanan pengajarannya kurang
awal ketertarikannya pada Bisindo. 3) Para efektif.
informan merasa Bisindo memiliki banyak
kesesuaian dengan Budaya Tuli dibandingkan
SIBI. Sedangkan untuk pengalaman memakai
Bisindo saat berkomunikasi, yaitu: 1) Tidak
menemukan kesulitan menggunakan
Bisindo karena mirip isyarat alami yang Tuli
gunakan sejak kecil; 2) Isyarat Bisindo lebih
mudah dan sesuai dengan kemampuan Tuli;
3) Komunikasi denga Tuli lain menjadi lebih
mudah. Terakhir, Pengalaman mengangkat
eksistensi Bisindo sebagai Budaya Tuli. 1)
Mengadakan kelas Bahasa Isyarat untuk
Tuli dan orang dengar; 2) Sosialisasi Bisindo
di CFD (Car Free Day) Dago kepada Tuli
dan orang dengar. 3) Menggunakan media
sosial untuk mengangkat eksistensi Bisindo
sebagai Budaya Tuli.

SARAN
Merujuk pada simpulan-simpulan di
atas, maka peneliti menyarankan beberapa
hal sebagai berikut:
Gerkatin DPC Jawa Barat sebaiknya
melakukan inovasi terhadap pendekatan dan
materi yang diberikan agar eksistensi Bisindo
makin dikenal oleh masyarakat, khususnya
bagi orang Tuli.Gerkatin DPC Jawa Barat
sebaiknya lebih sering bekerjasama dengan
para akademisi dengan mengadakan kegiatan
bersama agar dukungan pada Bisindo sebagai
Budaya Tuli juga datang dari akademisi. Saran
untuk penelitian selanjutnya diharapkan
dapat mengembangkan penelitian dalam
proses konstruksi makna Bisindo sebagai
Budaya Tuli berdasarkan tingkat pendidikan,

77
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 1. Juni 2018

DAFTAR PUSTAKA hukum bagi penyandang disabilitas.


Jurnal Realita, 14(1), 94–110.

Abdullah, N. (2013). Mengenal anak Salim, I. (2015). Perspektif Disabilitas dalam


berkebutuhan khusus. Magistra, Pemilu 2014 dan Kontribusi Gerakan
XXV(86), 1–10. Difabel Indonesia bagi Terbangunnya
Pemilu Inklusif di Indonesia. The
Agustini, N., Budiono, A., Saepudin, E., & Politics, 1(2).
Silvana, T. (2015). Literasi Informasi
Masyarakat Pedesaan Dalam Program Simanjorang, F. O. M. (2013). Efektivitas
Pemberdayaan Masyarakat Di Program Pelatihan Keterampilan Bagi
Kecamatan Cikancung Kabupaten Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara
Bandung. Jurnal Kajian Informasi & Di Upt Pelayanan Sosial Tuna Rungu
Perpustakaan, 3(2), 221–234. Wicara Dan Lansia Pematang Siantar.
Welfare State, 2/4, 1–16.
Artawan, G. A. W. M., Shintadewi, E. A., &
Budiana, H. R. (2016). Makna kegiatan Yusran, W., Hafiar, H., & Sjoraida, D. F. (2017).
unilever future leaders league bagi para Analisis semiotik atas sampul Majalah
peserta. Jurnal Profesi Humas, 1(1), 1–11. Tempo Jakarta “ Rizal Ramli petarung
atau peraung .” Jurnal Informasi, 47(1).
Basuki, U., & Jaelani, A. Q. (2015). Kajian
atas pelaksanaan pemenuhan hak Zainudin Sharif & Norazmah Mohamad
pendidikan tinggi bagi penyandang Roslan. (2011). Faktor-Faktor Yang
difabilitas di UIN Sunan Kalijaga Mempengaruhi Remaja Terlibat Dalam
melalui pengesahan CRPD sebagai Masalah Sosial Di Sekolah Tunas
upaya pelindungan hak azasi manusia Bakti, Sungai Lereh, Melaka. Journal
dalam negara hukum Indonesia. Jurnal of Education Psychology & Counseling,
Panggung Hukum, 1(2), 1–34. 1, 115–140. https://doi.org/10.1016/j.
chb.2015.11.026
Hafiar, H. (2012a). Cacat dan Prestasi
Melalui Pengalaman Komunikasi
Atlet Penyandang Cacat: Studi
Fenomenologi Mengenai Konstruksi
Makna Kecacatan dan Status sebagai
Atlet Berprestasi Melalui Pengalaman
Komunikasi Atlet Penyandang Cacat
Berprestasi di Bandung. Unpublished
Doctoral Dissertation Padjadjaran
University.
Hafiar, H. (2012b). Problematika Atlet
Penyandang Cacat. Bandung: Unpad
Press.
Hikmawati, E., & Rusmiyati, C. (2011).
Kebutuhan Pelayanan Sosial
Penyandang Cacat. Jurnal Informasi,
16(1), 17–32.
Nassaluka, E. U. R., Hafiar, H., & Priyatna, C.
C. (2016). Model Kemitraan PT. Holcim
Indonesia Tbk. Jurnal Profesi Humas,
1(1), 22–34.
Nurhayati, S. (2016). Kesetaraan di muka

78

You might also like