Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 17

Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 63

METATIKA
Jurnal Pendidikan Matematika

METATIKA: Jurnal Pendidikan Matematika


Journal homepage: http://journal.stkipyasika.ac.id/index.php/metatika
Journal Email: metatikayasika@gmail.com

KAJIAN ETNOMATEMATIKA: MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL


BUDAYA DAN MATEMATIKA KAMPUNG NAGA

TIA SEPTIANAWATI
Pendidikan Matematika STKIP Yasika Majalengka
Email: tia.septianawati@gmail.com

FENTI VERAWATI
Email: ifent.ra@gmail.com

ADHINA MENTARI ASHRI


Email: adhinamentari@gmail.com

Article Received: 10 Januari 2019, Review process: 11 Januari 2018, Accepted: 05


Februari 2019, Article published: 28 Februari 2019

ABSTRACT
Mathematics is often regarded as a difficult subject and not related to culture. One
reason is mathematics learning that does not link mathematical concepts to the
culture of everyday life. In fact, in everyday cultural activities there are mathematical
ideas that are considered as important things in mathematics learning. A study that
examines mathematical ideas or practices in a variety of cultural activities known as
ethnomathematics. Indonesia is a country that is rich in culture. Various languages
and ethnic groups exist in Indonesia. In fact, there are still some tribes in Indonesia
who still hold strongly cultural teachings inherited from generation to generation from
their ancestors. One of them is the Kampung Naga ethnic community located in
Salawu District, Tasikmalaya Regency, West Java Province. Therefore, researchers
are interested in conducting ethnomatematics research in Kampung Naga. The
ethnomatematics research aims to reveal the local wisdom of the culture and
mathematics of Kampung Naga. The problems examined in this study relate to the
complex, holistic, and meaningful social life of the community so that this study uses
a qualitative research approach. In this study the researchers wanted to reveal the
local wisdom of culture and mathematics in Kampung Naga so that it needed an in-
depth study of the activities of the people of Kampung Naga. Therefore, researchers
used ethnographic methods. Data collection in this study uses principles in
ethnography, namely observation, interviews, documentation, and field notes. The

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 64

data obtained is then analyzed by steps: reducing data, presenting data in short
descriptions and tables, and drawing conclusions. This research shows that the
general concepts of mathematics, especially regarding numerating, placing,
measuring, designing, playing, and explaining are found in the activities carried out
by the people of Kampung Naga. For example, the people of Kampung Naga have
special mention of numbers, such as salikur, salawѐ, and sawidak. The Kampung
Naga community is also able to calculate 40 daily, 100 daily, and 1000 daily quickly.
The calculation of the day turned out to be related to the modulo concept. Besides
that, the people of Kampung Naga have very good designing skills. One proof is that
the houses they build are resistant to earthquakes and only use materials from
nature. The results of this study are expected to be used as the basis for the
development of mathematics learning materials based on local culture, so that it is
expected to reduce the notion of society that mathematics has no connection with
everyday life.

Keywords: Ethnomathematics; Culture; Mathematics; Kampung Naga

ABSTRAK
Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan tidak terkait
dengan budaya. Salah satu penyebabnya yaitu pembelajaran matematika yang tidak
mengaitkan konsep matematika dengan budaya kehidupan sehari-hari. Padahal,
dalam aktivitas budaya sehari-hari terdapat ide-ide matematis yang dianggap
sebagai hal yang penting dalam pembelajaran matematika. Sebuah studi yang
mengkaji ide atau praktik matematika dalam ragam aktivitas budaya dikenal dengan
etnomatematika. Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Berbagai
bahasa dan suku bangsa ada di Indonesia. Bahkan, masih ada beberapa suku di
Indonesia yang masih tetap kokoh memegang ajaran budaya yang diwariskan secara
turun temurun dari nenek moyangnya. Salah satunya adalah masyarakat etnik
Kampung Naga yang terletak di Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Provinsi
Jawa Barat. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
etnomatematika di Kampung Naga. Penelitian etnomatematika ini bertujuan untuk
mengungkap kearifan lokal budaya dan matematika Kampung Naga. Permasalahan
yang diteliti dalam penelitian ini berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat yang
kompleks, holistik, dan penuh makna sehingga penelitian ini menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif. Pada penelitian ini peneliti ingin mengungkap
kearifan lokal budaya dan matematika di Kampung Naga sehingga memerlukan studi
mendalam terhadap aktivitas-aktivitas masyarakat Kampung Naga. Oleh karena itu,
peneliti menggunakan metode etnografi. Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan prinsip-prinsip dalam etnografi, yaitu observasi, wawancara,
dokumentasi, dan catatan lapangan (field note). Data yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan langkah-langkah, yaitu mereduksi data, menyajikan data dalam
uraian singkat maupun tabel, dan menarik kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan
bahwa konsep-konsep umum matematika, terutama mengenai membilang,
menempatkan, mengukur, merancang, melakukan permainan, dan menjelaskan
terdapat pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga.
Misalnya, masyarakat Kampung Naga memiliki penyebutan bilangan yang khas,
seperti salikur, salawѐ, dan sawidak. Masyarakat Kampung Naga juga mampu
menghitung 40 harian, 100 harian, dan 1000 harian dengan cepat. Penghitungan hari
tersebut ternyata berkaitan dengan konsep modulo. Selain itu, masyarakat Kampung

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 65

Naga memiliki kemampuan merancang yang sangat baik. Salah satu buktinya adalah
bangunan rumah yang mereka buat tahan terhadap gempa bumi dan hanya
menggunakan bahan-bahan dari alam. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai dasar pengembangan bahan pembelajaran matematika yang berbasis
budaya lokal, sehingga diharapkan dapat mereduksi anggapan masyarakat bahwa
matematika tidak memiliki keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Kata Kunci: Etnomatematika; Budaya; Matematika; Kampung Naga

PENDAHULUAN
Matematika dianggap sebagai ilmu dasar yang mempunyai peranan penting
dalam mengungkap fenomena-fenomena alam, masalah kehidupan sehari-hari, dan
masalah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Akib (2016) yang menyatakan bahwa matematika menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perkembangan peradaban umat manusia bahkan menjadi faktor
penting dalam perkembangan teknologi dan peradaban umat. Oleh karena itu,
matematika menjadi bagian penting dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan terbebas dari
budaya sehari-hari. Padahal, setiap aktivitas yang dilakukan manusia selalu
berkaitan dengan matematika. Misalnya aktivitas membilang, mengukur, dan
merancang. Manusia melakukan aktivitas-aktivitas tersebut sejak zaman dahulu
sehingga secara tidak langsung manusia telah mengenal matematika dalam
kehidupannya sejak dahulu. Hal tersebut terlihat dari peninggalan-peninggalan
nenek moyang di Indonesia, seperti masjid Agung Jawa Tengah, Gereja Blenduk,
Klenteng Sam Poo Kang, Lawang Sewu, dan Tugu Muda (Zaenuri dan Dwiyanti,
2018). Bangunan-bangunan tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran
matematika karena terkait dengan konsep-konsep matematika seperti, bangun
datar, bangun ruang, himpunan, simetri, statistika, aritmetika sosial, dan trigonometri
(Zaenuri dan Dwiyanti, 2018).
Sebuah studi yang mengkaji ide atau praktik matematika dalam ragam
aktivitas budaya dikenal dengan etnomatematika. Memandang matematika dari
perspektif budaya bukanlah sesuatu yang baru (Wilder dalam Gerdes, 1996). Para
antropolog terdahulu juga telah melakukan hal tersebut, akan tetapi pengetahuan
matematika mereka sangat terbatas. Dengan demikian, gagasan mengenai
etnomatematika sebenarnya sudah ada sejak lama, namun saat itu belum disebut

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 66

sebagai etnomatematika karena terhambat oleh keterbatasan pengetahuan


matematika yang dimiliki oleh antropolog.
Ethnomathematics berasal dari kata “ethno“ dan “mathematics” (Borba,
1997). “Ethno” dipahami sebagai kelompok budaya (cultural groups) dan
“mathematics” dianggap sebagai seperangkat aktivitas seperti mengukur,
mengelompokkan, mengurutkan, menyimpulkan, dan memodelkan. Hal ini senada
dengan pendapat yang dikemukakan oleh D’Ambrosio (1997) bahwa
„ethnomathematics is the mathematics which is practiced by identifiable cultur group,
such as national tribal societies, labour groups, children of certain age bracket,
professional classes and so on‟. Etnomatematika merupakan matematika yang
dipraktikkan oleh kelompok budaya yang dapat diidentifikasi, seperti masyarakat
kesukuan nasional, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok umur tertentu, kelas
profesi dan sebagainya. Hal ini berarti, kalaupun matematika dihasilkan oleh
matematikawan yang professional, hal tersebut masih disebut sebagai
etnomatematika karena dihasilkan oleh kelompok budaya yang dapat diidentifikasi.
Sedangkan menurut Barton (1996), etnomatematika dapat dipandang sebagai suatu
ranah kajian penelitian yang meneliti cara sekelompok orang pada budaya tertentu
dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta
praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu
yang matematis.
Menurut Bishop (1997), peneliti etnomatematika mengadopsi konsep umum
matematika khususnya mengenai membilang, menempatkan, mengukur,
merancang, melakukan permainan, dan menjelaskan. Aktivitas membilang biasanya
dilakukan dengan menjawab pertanyaan “berapa banyak?”, dengan cara
mendeskripsikan, mendaftar, dan menghitung bilangan. Aktivitas melokasikan
berkaitan dengan pertanyaan “dimana?”. Aktivitas melokasikan mencakup
menemukan jalan di sekitar (finding your way around), menavigasi, melakukan
orientasi diri sendiri dan mendeskripsikan dimana suatu benda berada dalam
hubungannya dengan benda lain. Aktivitas merancang berkaitan dengan konsep
matematika seperti konsep membilang, konsep geometri, dan konsep mengukur.
Misalnya, merancang bangunan ketika akan mendirikan rumah tempat tinggal,
permainan, kerajinan, alat-alat pertanian, dan alat-alat kebutuhan rumah tangga.
Mengukur merupakan kemampuan yang dikembangkan oleh setiap manusia.
Aktivitas mengukur biasanya dilakukan dalam proses rancang bangun, menentukan

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 67

tinggi, panjang, keliling, luas, volume, dan kecepatan. Aktivitas bermain dapat
mengembangkan proses berpikir matematika. Dalam permainan terkandung ide-ide
matematis yang secara tidak sadar membantu mengembangkan pola pikir
pemainnya. Aktivitas menjelaskan berkaitan dengan proses menceritakan makna
dan filosopi dari setiap kegiatan yang dilakukan atau hal yang tidak boleh dilakukan
atau benda dan simbol yang ada. Dalam matematika, aktivitas menjelaskan
berkaitan dengan mengapa terdapat pola bilangan, mengapa alam sekitar seperti
mengikuti hukum matematika, dan pertanyaan-pertanyaan “mengapa” lainnya.
Di Indonesia masih terdapat berbagai macam suku atau masyarakat etnik
yang masih memegang teguh kepercayaan dan tradisi mereka, serta kebudayaanya
tetap terbebas dari pengaruh kebudayan luar. Salah satunya yaitu Kampung Naga
yang terletak di kabupaten Tasikmalaya yang masih mempertahankan adat leluhur
mereka. Dengan demikian, menurut peneliti, Kampung Naga merupakan tempat
yang tepat untuk sebuah kajian etnomatematika.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kearifan lokal budaya dan
matematika Kampung Naga. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat
dalam pengembangan kurikulum khususnya di Indonesia agar lebih sesuai dengan
budaya masyarakat Indonesia, serta dapat sedikit merubah pandangan masyarakat
terhadap matematika.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukakan di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Permasalahan yang diteliti
dalam penelitian ini berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat yang kompleks,
holistik, dan penuh makna sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif. Pada penelitian ini peneliti ingin mengungkap kearifan lokal
budaya dan matematika di Kampung Naga sehingga memerlukan studi mendalam
terhadap aktivitas-aktivitas masyarakat Kampung Naga. Oleh karena itu, peneliti
menggunakan metode etnografi.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip dalam
etnografi, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan (field
note). Observasi dilakukan dengan mengamati aktivitas masyarakat Kampung Naga
terutama aktivitas yang berkaitan dengan konsep matematika, seperti membilang,
melokasikan, merancang, mengukur, menjelaskan, dan melakukan permainan.
Wawancara dilakukan kepada masyarakat Kampung Naga yang ditemui.

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 68

Dokumentasi dilakukan dengan mendokumentasikan segala hal yang ditemui di


Kampung Naga terutama yang berkaitan dengan bahan penelitian ini. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis dengan langkah-langkah, yaitu mereduksi data,
menyajikan data dalam uraian singkat maupun tabel, dan menarik kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kampung Naga
Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan yang terletak di Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Tidak
diketahui secara pasti asal mula penamaan Kampung Naga. Ada yang mengatakan
bahwa penamaan Kampung Naga diambil dari kata “na gawir” yang merujuk pada
lokasi kampung yang berada di dekat tebing. Ada juga yang menyebutkan bahwa
kehidupan masyarakat di Kampung Naga seperti naga yang bersembunyi di lembah
yang sunyi. Kampung Naga memang terletak di lembah yang dikelilingi oleh
panorama alam berupa sawah, sungai, dan hutan. Sebelah utara dan selatan
Kampung Naga dibatasi oleh parit kecil, sebelah barat dibatasi oleh bukit kecil, dan
sebelah timur dibatasi oleh sungai Ciwulan. Pengunjung yang ingin ke Kampung
Naga harus melewati anak tangga yang berjumlah 439 buah.

Gambar 1. Kampung Naga


Mata pencaharian utama masyarakat Kampung Naga, yaitu bertani. Sistem
pertaniannya dilakukan secara tradisional. Ilmu tentang pertanian mereka dapatkan
secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Hasil panen yang berupa padi

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 69

ditumbuk oleh ibu-ibu dengan peralatan yang sederhana hingga menjadi bulir-bulir
beras.
Masyarakat Kampung Naga juga memiliki pekerjaan sampingan yaitu sebagai
pembuat kerajinan anyaman bambu. Kerajian tangan tersebut, berupa hihid (kipas),
cecempeh (tampah), aseupan (kukusan), keranjang, tempat sampah, dan lain-lain.
Hasil kerajinan tersebut ada yang digunakan sendiri dan ada yang dijual sebagai
oleh-oleh bagi pengunjung maupun dikumpulkan kepada pengumpul kerajinan untuk
dijual di luar wilayah Kampung Naga.
Sistem pemerintahan di Kampung Naga meliputi pemerintahan formal dan
nonformal. Pemerintahan formal terdiri dari RT, RW, dan Kepala Dusun. Sistem
pemerintahan formal dipilih secara demokrasi oleh masyarakat. Sedangkan, sistem
pemerintahan nonformal terdiri dari kuncen, lebe dan pundu adat. Kuncen bertugas
sebagai pemangku adat dan pengelola adat. Lebe bertugas sebagai pemandu
kegiatan keagamaan, misalnya memandu jenazah dari awal sampai akhir. Pundu
adat bertugas untuk mengayomi masyarakat (ngurus laku mere gawe).
Masyarakat Kampung Naga sangat memegang prinip yang diajarkan oleh
nenek moyangnya. Salah satu prinsip hidupnya adalah hidup bersama alam. Oleh
karena itu, mereka sangat berusaha untuk tetap melestarikan alam. Salah satunya
yaitu dengan adanya larangan memasuki hutan larangan. Menurut mereka, hutan
adalah kawasan yang harus dijaga keseimbangannya. Hutan berfungsi sebagai
tempat penyimpan air sehingga saat musim kemarau datang masyarakat tidak akan
kekurangan air karena hutannya masih terjaga.
Masyarakat Kampung Naga membatasi perkembangan teknologi untuk
masuk ke Kampung Naga. Mereka tidak mengharamkan teknologi karena beberapa
rumah di Kampung Naga ada yang memiliki TV dan HP. Namun, mereka
membatasinya dengan tidak adanya listrik. Alasan lain tidak adanya listrik di
Kampung Naga yaitu karena bangunan rumah terbuat dari bahan-bahan yang
mudah terbakar dan agar tidak menimbulkan kesenjangan sosial diantara
masyarakat Kampung Naga.
Masyarakat Kampung Naga sangat teguh dalam memegang adat istiadat
nenek moyangnya. Salah satunya terlihat dari bentuk bangunan yang masih relatif
sama dari masa ke masa. Bangunan di Kampung Naga berupa rumah panggung
yang merupakan rumah adat suku Sunda. Di Kampung Naga hanya terdapat 113
bangunan yang terdiri dari balai kampung, masjid, rumah, dan lumbung padi umum.

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 70

Jumlah bangunan tersebut tidak mungkin bertambah mengingat luas daerah


Kampung Naga yang terbatas, yaitu 1,5 hektar dan luas tersebut tidak mungkin
bertambah lagi.
Pemukiman Kampung Naga sangat tertata rapi dan bersih. Di tengah-tengah
pemukiman terdapat balai kampung (balai pertemuan) dan masjid. Balai Kampung
tersebut dikelilingi oleh rumah-rumah milik masyarakat Kampung Naga.
2. Kearifan Lokal Budaya dan Matematika Kampung Naga
Menurut Bishop (1997), peneliti etnomatematika mengadopsi konsep
umum matematika khususnya mengenai membilang, menempatkan, mengukur,
merancang, melakukan permainan, dan menjelaskan. Konsep-konsep umum
tersebut ditemukan dalam aktivitas budaya masyarakat kampung Naga, yaitu
sebagai berikut.
a. Membilang
Membilang merupakan salah satu aktivitas masyarakat yang dilakukan
dengan menjawab pertanyaan “berapa banyak?”, dengan cara mendeskripsikan,
mendaftar, dan menghitung bilangan (Bishop, 1997). Kegiatan membilang sering
dilakukan oleh masyarakat kampung Naga. Misalnya, pada pembuatan anyaman
bambu membilang dilakukan sejak dimulainya proses menganyam yaitu dengan
membilang banyaknya bilah bambu yang diperlukan untuk membuat suatu anyaman
hingga membilang banyaknya hasil kerajinan tangan anyaman tersebut. Karena
masyarakat Kampung Naga menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-
hari, pengucapan bilangan yang digunakan juga dalam bahasa Sunda seperti yang
terlihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Penyebutan Bilangan pada Masyarakat Kampung Naga
Sebutan Bilangan oleh
Simbol Sebutan
Masyarakat
Bilangan Hindu-Arab
Kampung Naga
1 Hiji Satu
2 Dua Dua
3 Tilu Tiga
4 Opat Empat
5 Lima Lima
6 Gѐnep Enam

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 71

7 Tujuh Tujuh
8 Dalapan Delapan
9 Salapan Sembilan
10 Sapuluh Sepuluh
11 Sabelas Sebelas
12 Dua belas Dua belas
13 Tilu belas Tiga Belas
… … …
20 Dua puluh Dua puluh
21 Salikur Dua Puluh Satu
22 Dua likur/ dua puluh dua Dua Puluh Dua
23 Tilu likur/ dua puluh tilu Dua Puluh Tiga
24 Opat likur/ Dua Puluh
dua puluh opat Empat
25 Salawѐ Dua puluh lima
26 Dua puluh gѐnep Dua puluh
enam
… … …
30 Tilu puluh Tiga puluh
40 Opat puluh Empat Puluh
50 Lima puluh Lima puluh
60 Sawidak Enam puluh
… … …
100 Saratus Seratus

Penyebutan bilangan di Kampung Naga sebenarnya hampir sama dengan


penyebutan bilangan pada masyarakat Sunda pada umumnya. Pada penyebutan
bilangan 21, masyarakat Kampung Naga menggunakan istilah salikur. Selain itu,
penyebutan 22 menjadi dua likur, 23 menjadi tilu likur, 24 menjadi opat likur, 25
menjadi salawe, dan 60 menjadi sawidak. Aktivitas membilang juga terlihat dalam
penyebutan bilangan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Naga untuk
menunjukkan jumlah tertentu seperti bahan makanan dan hasil kebun, yaitu cau
(sasikat, saturuy), peuteuy (sapapan, saranggeuy), parѐ (sagegeus, saranggeuy),

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 72

kalapa (samanggar), uyah (sagandu), gula arѐn (sagandu) dan awi (saruas,
saleunjeur).
Masyarakat Kampung Naga biasa melakukan perhitungan hari dengan sangat
cepat untuk menentukan hari ke-30, 40 harian, 100 harian, dan 1000 harian.
Misalnya, jika hari ini adalah hari Rabu kemudian akan ditentukan 40 hariannya jatuh
pada hari apa, maka mereka dengan cepat akan menjawab 40 hariannya jatuh pada
hari Minggu. Cara perhitungan 40 harian menurut masyarakat kampung Naga, yaitu
sebagai berikut:
Rabu-Rabu, Kamis, Jum’at
Sabtu-Sabtu, Minggu, Senin
Selasa-Selasa, Rabu, Kamis
Jum’at-Jum’at, Sabtu, Minggu.
Jadi, 40 hariannya jatuh pada hari Minggu.
Ternyata, perhitungan cepat masyarakat Kampung Naga setara dengan pendekatan
pemodelan yang akan dijelaskan sebagai berikut:

Misalkan, dicari hari ke-a, a maka penentuan hari mingguan biasa dapat
menggunakan aturan modulo 7,
a ≡ b (mod 7), atau a = 7n+ b, b {0,1,2,3,4,5,6},
b adalah sisa hasil bagi yang di dipasangkan dengan masing-masing hari
mingguan biasa dalam satu minggu, yaitu:
hari pertama acuan = 1;
hari kedua acuan = 2;
hari ketiga acuan = 3;
hari keempat acuan =4
hari kelima acuan =5
hari keenam acuan = 6;

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 73

hari ketujuh acuan = 0.


Dari kasus sebelumnya, jika hari ini adalah hari rabu, maka 40 hariannya
ditentukan dengan mengitung 40 ≡ b (mod 7), b {0,1,2,3,4,5,6} atau 40 = (7×5) + 5
sehingga b = 5. Karena hari Rabu sebagai hari pertama acuan = 1, maka b = 5 =
hari Minggu.
b. Melokasikan
Aktivitas melokasikan berkaitan dengan pertanyaan “dimana?”. Menurut
Bishop (1997), aktivitas melokasikan mencakup menemukan jalan di sekitar (finding
your way around), melakukan navigasi, melakukan orientasi diri sendiri dan
mendeskripsikan dimana suatu benda berada dalam hubungannya dengan benda
lain. Dalam kehidupan sehari-hari banyak ditemukan aktivitas masyarakat Kampung
Naga yang berkaitan dengan melokasikan. Misalnya dalam menetapkan lokasi di
lingkungannya, masyarakat Kampung Naga memiliki kode atau simbol tertentu.
Penentuan lokasi tersebut diantaranya digunakan untuk menentukan batas-batas
wilayah, sawah, kebun, dan pemukiman. Tanda-tanda alam masih dijadikan sebagai
batas utama wilayah Kampung Naga. Hal ini terlihat dari wilayah Kampung Naga
yang dibatasi oleh parit kecil di sebelah utara dan selatan, dibatasi oleh bukit kecil di
sebelah barat, dan dibatasi oleh sungai Ciwulan di sebelah timur. Selain itu, kode
atau simbol juga digunakan sebagai batas kepemilikan tanah. Kode atau simbol
tersebut berupa pohon hanjuang yang ditanam di setiap sudut sawah atau kebun
yang dimiliki. Sedangkan, pemukiman masyarakat kampung Naga dibatasi oleh
pagar bambu. Di luar pagar tersebut, masyarakat tidak boleh mendirikan bangunan
apapun.

Gambar 2. Pagar Bambu sebagai Pembatas Pemukiman kampung Naga

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 74

Melokasikan juga terlihat dari adanya peraturan zona kotor dan zona bersih.
Zona kotor dan zona bersih memisahkan kegiatan berbau kotor seperti kandang
hewan dan kegiatan manusia di kamar mandi dengan kegiatan bersih lainnya serta
peraturan tentang daur atau siklus makanan yang diatur secara cermat berpengaruh
pada tata letak dan kondisi permukiman mereka, sehingga senantiasa bersih dan
teratur (Maslucha, 2009). Selain itu, melokasikan juga terlihat dari zona wanita dan
pria pada tata ruang di rumah tempat tinggal mereka. Zona wanita terletak di
sebelah kanan rumah yang terdiri dari pawon (dapur) dan goah. Sedangkan rumah
sebelah kiri yaitu tepas dan golodog adalah daerah yang banyak digunakan oleh
laki-laki. Selain itu terdapat pangkeng (ruang tidur) serta tengah imah (rumah) yang
merupakan daerah netral (daerah pria dan wanita) (Padma dalam Maslucha, 2009).

Gambar 3. Kamar Mandi Terletak di Luar Pemukiman Kampung Naga


Masyarakat Kampung Naga juga dapat melakukan orientasi diri sendiri.
Misalnya, dapat menunjukkan letak rumah mereka dari tempat peneliti berada.
Selain itu, masyarakat Kampung Naga juga dapat menentukan musim kemarau
(halodo) dengan melihat kedudukan atau posisi matahari.
c. Merancang
Aktivitas merancang berkaitan dengan konsep matematika seperti konsep
membilang, konsep geometri, dan konsep mengukur. Misalnya, merancang
bangunan ketika akan mendirikan rumah tempat tinggal, merancang permainan,
merancang kerajinan anyaman, dan merancang alat-alat pertanian.
Kegiatan membuat rancang bangun telah diterapkan oleh masyarakat
Kampung Naga. Mereka telah mampu mendirikan bangunan rumah tempat tinggal
dan membuat perkakas-perkakas untuk keperluan sehari-hari. Bangunan yang

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 75

mereka buat tahan terhadap gempa bumi dan hanya menggunakan bahan-bahan
dari alam. Dalam kegiatan merancang bangunan tersebut digunakan konsep
matematis terutama membilang dan mengukur. Masyarakat Kampung Naga
memperoleh kemampuan merancang bangunan dari nenek moyang mereka.
Sebelum membuat bangunan rumah, masyarakat Kampung Naga membuat sketsa
dan menghitung ketepatan ukurannya. Dalam merancang rumah, masyarakat
kampung Naga harus menentukan banyaknya tiang, kaso, dan lantai pada rumah
tersebut. Misal pada rumah yang berukuran 5 meter x 6,2 meter, maka jumlah tiang
yang dibutuhkan pada rumah tersebut adalah 14. Bangunan rumah tersebut
berbentuk panggung dengan batu papas sebagai kaki yang ditanam ke dalam tanah.
Jumlah minimal batu papas dalam sebuah rumah yaitu 25 buah dengan ukuran batu
papas sekitar 50-70 cm.

Gambar 4. Bentuk Rumah di kampung Naga


Selain itu, aktivitas merancang juga terlihat dari kegiatan bermain anak-anak
Kampung Naga. Misalnya, ketika mereka akan bermain layang-layang, mereka
membuat layang-layang yang memiliki ciri khas sendiri. Dengan demikian, mereka
sudah memiliki kemampuan merancang.
d. Mengukur
Mengukur merupakan aktivitas yang biasa dilakukan dalam proses rancang
bangun, menentukan tinggi, panjang, keliling, luas, volum, kecepatan. Pengukuran
yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada zaman dahulu menggunakan
alat-alat ukur yang tidak baku seperti penggunaan anggota badan seperti tangan
atau memanfaatkan barang-barang yang ada di sekitar seperti tombak dan tali.

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 76

Sedangkan pada zaman sekarang masyarakat Kampung Naga sudah menggunakan


alat ukur yang sudah baku, hanya saja tidak pada semua kegiatan yang ada.
Misalnya untuk keperluan komersil bisnis jual beli, masyarakat sudah menggunakan
takaran alat ukur yang sudah baku dan umum digunakan oleh masyarakat pada
umumnya. Dan untuk keperluan non komersil masyarakat Kampung Naga
menggunakan alat ukurnya tersendiri, misal dalam menakar beras yang diperlukan
untuk keperluan sehari-hari tidak digunakan literan melainkan sebuah wadah yang
berbentuk seperti mangkok, yang menurut mereka takaran tersebut sama dengan
satu liter.

Gambar 5. Salah satu Alat untuk Menakar Beras di Kampung Naga


Kegiatan mengukur yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga dapat
diamati ketika mereka melakukan berbagai aktivitas, misalnya dalam aktivitas
membangun rumah. Pada aktivitas tersebut, masyarakat Kampung Naga biasanya
menggunakan meteran untuk mengukur berapa panjang papan, tiang, jendela, pintu,
dan lain-lain. Namun terkadang memanfaatkan anggota badan yang ada, karena
dianggap lebih sederhana, seperti jeungkal dan deupa. Satu jeungkal yaitu jarak dari
ujung ibu jari ke ujung jari tengah jika direntangkan atau jarak dari ujung ibu jari ke
ujung jari kelingking jika direntangkan, ukurannya sekitar 20 cm (Septianawati,
2017).
Adapun cara mengukur luas tanah masyarakat Kampung Naga menggunakan
meteran seperti masyarakat pada umumnya. Galengan sawah masuk ke dalam area
luas tanah, sehingga masuk ke dalam pengukuran. Kalau dahulu cara mengukurnya
menggunakan tali, jika sudah satu meter ditandai dengan cara membuat simpul
pada tali lalu dilanjutkan lagi dan begitu seterusnya. Untuk mengetahui bahwa

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 77

ukuran panjangnya, jika tidak ada meteran, maka dapat menggunakan anggota
tubuh yaitu dari bahu sampai ujung jari tengah diperkirakan satu meter atau lima
jeungkal.
Cara pengukuran seperti itu digunakan juga oleh masyarakat Kampung Naga
ketika pergi ke kebun dan tidak membawa meteran, maka mereka menggunakan
anggota tubuh mereka untuk mengukur panjang kayu atau bambu yang diperlukan.
Misal jika mereka membutuhkan bambu dengan ukuran 80 cm, maka mereka dapat
menentukan ukuran panjangnya dengan menggunakan jari-jari mereka dan bambu
yang telah diukur tersebut dijadikan patokan untuk menentukan panjang bambu
lainnya.
e. Menjelaskan
Menjelaskan berkaitan dengan proses menceritakan makna dan filosofi dari
setiap kegiatan yang dilakukan atau hal yang tidak boleh dilakukan atau benda dan
simbol yang ada. Menjelaskan memahami mengapa sesuatu itu terjadi dan
dilakukan. Dalam matematika kita tertarik mengapa pola bilangan dapat terbentuk,
kenapa pola geometrik seperti itu, kenapa hasil awal menentukan hasil lainnya, dan
berusaha mencoba untuk mencari jawaban dari pertanyaan tersebut, sehingga
didapatkan sebuah penjelasan (Bishop, 1997).
Menjelaskan juga berkaitan dengan menyampaikan informasi atau
pengetahuan kepada orang lain atau tanggapan mengenai pertanyaan – pertanyaan
yang diberikan. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan kepada masyarakat
mengenai suatu hal yang mereka lakukan, mereka dapat menjelaskan alasan
mengapa hal tersebut dilakukan. Misalnya mengenai larangan kenapa masyarakat
Kampung Naga maupun pengunjung tidak boleh sama sekali memasuki hutan
larangan yang berada di seberang sungai Ciwulan. Menurut penjelasan salah satu
narasumber alasan mengapa hal itu dilarang, bukan karena di hutan tersebut ada
makhluk yang mereka puja atau hal-hal yang dianggap tahayul. Melainkan, demi
kelestarian lingkungan setempat, agar hutan tetap lestari dan terjaga. Sehingga
Kampung Naga bebas dari bencana. Selain itu, ketika ditanya mengenai cara
menghitung 40 harian, 100 harian, dan 1000 harian, masyarakat Kampung Naga
dapat menjelaskan cara menghitungnya secara rinci sehingga peneliti dapat dengan
mudah memahaminya. Dengan demikian, masyarakat Kampung Naga sudah
memiliki kemampuan menjelaskan yang baik.

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 78

f. Melakukan Permainan
Dalam permainan terkandung ide-ide matematis yang secara tidak sadar
membantu mengembangkan pola pikir pemainnya. Jenis permainan yang dilakukan
oleh masyarakat Kampung Naga, yaitu gobag, gatrik, peclé, gampar, eser, kaléci,
dan baren. Ide-ide matematis yang terkandung dalam permainan-permainan
tersebut misalnya membilang, mengelompokkan bilangan, melakukan pengukuran
dengan jeungkal, dan memikirkan strategi untuk memenangkan suatu permainan.
Pada zaman dahulu, permainan sering dijadikan sebagai media untuk
menyampaikan suatu pelajaran kepada anak-anak. Seharusnya pembelajaran
matematika juga dapat dikemas dalam bentuk permainan. Permainan-permainan
yang terdapat di Kampung Naga dapat dijadikan salah satu alternatif dalam
mengemas pembelajaran matematika agar menjadi pelajaran yang menarik di mata
siswa.
SIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa Kampung Naga kaya akan kearifan lokal
budaya dan matematika. Konsep-konsep umum matematika khususnya mengenai
membilang, menempatkan, mengukur, merancang, permainan, dan menjelaskan
ditemukan dalam aktivitas budaya masyarakat Kampung Naga. Hal ini semakin
meyakinkan diri kita bahwa matematika dan budaya saling terkait satu sama lain.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan bahan
pembelajaran matematika yang berbasis budaya lokal, sehingga diharapkan dapat
mereduksi anggapan masyarakat bahwa matematika tidak memiliki keterkaitan
dengan kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Akib, R. (2016). “Matematika dan Nilai-nilai Kearifan Lokal (Suatu Alternatif
Pendidikan Karakter melalui Matematika dan Nilai-nilai Kearifan Lokal Budaya
Bugis – Makassar)”. [Online]. Tersedia: http://www.unismuh.ac.id/wp-
content/uploads/2018/05/F000000024-Irwan-Akib.pdf . [8 Desember 2018].

Barton, W.D. (1996). Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in


Mathematics. (Disertasi). University of Auckland, Auckland.

Bishop, A. J. (1997). Educating the Mathematical Enculturators. Papua New Guinea


Journal of Teacher Education, 4(2), 17-20.

Borba, M.C. (1997). Ethnomathematics and Education. Dalam A.B. Powell & M.
Frankenstein (Penyunting), Ethnomathematics Challenging Eurocentrism in
Mathematics Education (hlm. 261-272). Albany: State University of New York.

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka
Kajian Etnomatematika di Kampung Naga 79

D’Ambrosio, U. (1997). Ethnomathematics and its Place in the History and Pedagogy
of Mathematics. Dalam Ethnomathematics Challenging Eurocentrism in
Mathematics Education (hlm. 13-24). Albany: State University of New York.

Gerdes, P. (1996). Ethnomathematics and Mathematics Education. Dalam


International Handbook of Mathematical Education (hlm. 909-943). Dordrecht:
Kluwer Academic Publiser.

Maslucha, L. (2009). Kampung Naga: Sebuah Representasi Arsitektur sebagai


Bagian dari Budaya. Dalam el-Harakah, 11(1), 35-49.

Septianawati, T. (2017). Ethnomathematics Study: Uncovering Units of Length, Area,


and Volume in Kampung Naga Society. Journal of Physics: Conference Series,
812(1), 1-7.

Zaenuri dan Dwiyanti, N. (2018). Menggali Etnomatematika: Matematika sebagai


Produk Budaya. Prisma, 1, 471-476.
UPI: Tidak Diterbitkan.

Jurnal “METATIKA”, Volume 1 Nomor 1, Februari 2019


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka

You might also like