Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

BLOK TROPMED

CASE 3
(Diphtheria)
(Sesi Pertama)
Judul kasus: Rudi
Rudi, 5 tahun, pergi ke Puskesmas dengan keluhan utama demam sejak 5 hari yang lalu.
This patient also complained cough and swelling of his neck.
The patient was born at a rural hospital via normal vaginal delivery and his birth weight was 2700g.
He had received BCG (Bacillus Calmette-Guérin and hepatitis B vaccinations at birth, but not any
other additional vaccinations. He had no known previous medical problems. In the patient's house
there were a total of nine people including his mother, grandparents, aunt, and cousins. The patient
had no history of close contact with other sick patients.
On the first day of illness, he had been taken to a rural clinic and diagnosed with pharyngitis. The
patient was prescribed an unknown oral antibiotic and Acetaminophen. By the third day of illness,
his fever had gradually declined, and the sore throat had resolved.
However, he subsequently became worse and experienced neck swelling, dyspnea, and dysphagia.
He also had a harsh breathing sound. On the fifth day of his illness, his parents took him to a local
hospital.
Physical Examination:
❖ Body Weight: 22 kg
Body Height: 130 cm
❖ Vital sign: BP = 110/90 mmHg PR = 153 bpm, regular
T = 37,5°C (rectal) RR = 22x/min
❖ Head/Neck: Tonsil = inflamed, white patches/pseudomembrane (+) in tonsil; cervical
lymphadenopathy (+)
❖ Cor
Inspection: ictus cordis normal, intercostal pulsation (-), epigastrial pulsation (-)
Palpation: ictus cordis not wide, parasternal pulsation (-),
epigastrial pulsation (-), sternal lift (-), thrill (-)
Percussion: cor configuration within normal limit
Auscultation: cor pulsation 92 bpm, regular, gallop (-), murmur (-)
❖ Pulmo
Inspection: symmetric, static and dynamic
Palpation: stem fremitus right = left
Percussion: sonor
Auscultation: inspiratory stridor, vesicular, wheezing (-), rales (-), prolonged experium (-)
❖ Abdomen
Inspection: distended (-)
Auscultation: peristaltic within normal limit, bowel sound (+) normal
Percussion: liver span 8 cm, mild meteorismus (+), dull pain at right back (-)
Palpation: liver not palpable, McBurney's sign (-), Murphy's sign (-), spleen not palpable
❖ Other organs and systems are within normal limit.
The doctor had suggested the patient to have a simple laboratory examination.
Laboratory Findings
Hb = 11,4 g/dL
Hct/PCV = 31,4%
Leukocyte = 22.600/uL
Thrombocyte = 80.000/uL

1. Apa masalah pasien?


❖ Anak laki-laki berusia 5 tahun
❖ Keluhan utama: demam selama 5 hari
❖ Keluhan tambahan: pembengkakan leher
❖ Pemeriksaan fisik: bercak-bercak putih pada tonsil
❖ Pemerikaan lab:
o CBC: leukositosis, hitung platelet rendah
o Urinalisis: albuminuria, sedimen eritrosit dan leukosit

2. Apa hipotesis dari masalah-masalah tersebut?


❖ Demam akut: penyakit infeksi
❖ Pembengkakan leher: tuberkulosis, mumps/gondong, difteri
❖ Pseudomembran pada tonsil: difteri, tonsilitis folikel, detritus
Kesimpulan awal: masalah pasien ini adalah demam, pembengkakan leher, bercak-bercak
putih pada tonsil. Suspek difteri tonsillar.

3. Apa definisi dari demam dan klasifikasinya?


Demam merupakan suatu respon normal terhadap berbagai kondisi, yang paling umum adalah
infeksi. Demam terjadi ketika suhu badan meningkat sebagai hasil dari termostat tubuh direset
ke suhu yang lebih tinggi dari biasanya.
Karena adanya variasi normal dari suhu badan, tidak ada nilai tunggal yang didefinisikan
sebagai demam. Umumnya, demam berarti suhu di atas 38°C. Pengukuran suhu aksillar,
telinga, dan dahi lebih mudah diperoleh daripada suhu rektal atau oral, tapi pengukurang
tersebut kurang akurat dan mungkin perlu dikonfirmasi secara rektal atau oral pada anak
tertentu.
Gejala yang berkaitan bisa spesifik pada sistem organ (misalnya diare, batuk) atau non-spesifik
(misalnya tidak nafsu makan, iritabilitas, letargi). Paparan terhadap penderita di rumah atau
tempat penitipan anak harus dipastikan, dan juga riwayat terbaru mengenai penyakit
sebelumnya, imunisasi, atau pemakaian antibiotik selama kelahiran, MRS, atau sejak keluar
dari RS.

4. Jelaskan penyebab pembengkakan leher/bull's neck pada anak-anak!


Limfadenopati, pembesaran kelenjar getah bening, khasnya disebabkan oleh inflamasi
(limfadenitis) atau infiltrasi neoplastik dari kelenjar. Nodus cervical menyaring limfatik dari
kepala dan leher dan dapat membesar dengan adanya berbagai infeksi yang berkisar dari
infeksi virus pada saluran napas atas hingga gigi hinggi jaringan lunak dari kulit kepala atau
wajah. Nodus cervical yang nyeri saat dipalpasi, dengan atau tanpa eritema, menandakan
adanya limfadenitis.
Dalam kasus spesifik seperti difter, suatu kombinasi dari adenopati cervical dan mukosa yang
bengkak memberikan penampakan "bull's neck" pada banyak penderita.

5. Jelaskan penyebab dan patofisiologi dari leukositosis!


Leukositosis berarti peningkatan jumlah total leukosit karena sebab apapun. Dari segi praktis,
leukositosis secara tradisional diklasifikasikan berdasarkan komponen leukosit yang
berkontribusi terhadap peningkatan jumlah total leukosit. Jadi, leukositosis dapat disebabkan
oleh peningkatan:
1) Jumlah neutrofil (neutrofilia)
2) Jumlah limfosit (limfositosis)
3) Jumlah monosit (monositosis)
4) Jumlah granulosit eosinofil (eosinofilia)
5) Jumlah granulosit basofil (basofilia)
6) Sel-sel imatur (blas)
Kombinasi apapun dari sel-sel di atas dapat terlibat.
Secara klinis, pembagian leukositosis berdasarkan penyebabnya lebih mempermudah. Dengan
membagi berdasarkan penyebab, leukositosis dapat langsung diterapkan untuk tujuan
diagnostik. Leukositosis dapat disebabkan oleh infeksi, inflamasi, reaksi alergi, keganasan,
kelainan herediter, atau berbagai penyebab lainnya.
Leukositosis dapat berupa suatu reaksi terhadap berbagai proses infeksi, proses inflamasi, dan
dalam beberapa kasus, proses fisiologis (misalnya stress, olahraga). Reaksi ini dimediasi oleh
beberapa molekul, yang dilepaskan atau ditingkatkan sebagai respon terhadap peristiwa yang
menstimulasi, yaitu antara lain: faktor pertumbuhan atau survival factor (misalnya granulocyte
colony-stimulating factor, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, c-kit ligand),
molekul adhesi (CD11b/CD18), dan berbagai sitokin (IL-1, IL-3, IL-6, IL-8, TNF).
Jumlah leukosit perifer ditentukan oleh beberapa mekanisme, meliputi:
1) Ukuran prekursor dan storage pool dari sel myeloid dan limfoid
2) Tingkat pelepasan sel-sel dari storage pool dalam sumsum tulang
3) Jumlah sel yang marginasi keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan
4) Tingkat konsumsi sel dalam jaringan (kehilangan sel)
Faktor pertumbuhan, molekul adhesi, dan sitokin mengendalikan keempat mekanisme di atas.

6. Jelaskan bagaimana patogenesis dari penurunan jumlah platelet!


Trombositopenia terkadang merupakan tanda pertama dari keganasan hematologi, penyakit
infeksi, mikroangiopati trombotik, dan kelainan autoimun, dan juga merupakan efek samping
yang umum dari banyak obat. Ada lebih dari 200 penyakit yang meliputi jumlah platelet yang
rendah di antara gejala-gejalanya. Trombositopenia merupakan jumlah platelet yang lebih
rendah dari normal. Biasanya, jumlah platelet sekitar 150.000 - 500.000/uL darah pada anak
tapi bisa lebih tinggi pada bayi. Trombositopenia paling sering terjadi sekunder dari suatu
proses autoimun dan jarang terjadi karena penyakit kongenital.
Trombosit merupakan sel kecil (1 - 3 um) tanpa inti yang dihasilkan dalam sumsum tulang,
bersama dengan sel darah merah dan sel darah putih, yang melekat pada pembuluh darah
yang rusak dan memengaruhi hemostasis primer. Normalnya, trombosit yang bersirkulasi
menyusun 2/3 dari seluruh trombosit yang dihasilkan oleh sumsum tulang, dan 1/3 sisanya
disimpan (sekuestrasi) dalam limpa.
Trombositopenia terjadi karena 3 penyebab utama:
1) Produksi platelet yang inefektif oleh sumsum tulang,
2) Percepatan destruksi platelet, atau
3) Sekuestrasi platelet dalam limpa.
Contoh khas dari produksi trombosit yang inefektif terdapat pada sindroma kegagalan sumsum
tulang (misalnya anemia aplastik, sindroma mielodisplastik) atau proses-proses yang
menempati sumsum tulang (misalnya limfoma, leukemia, multiple myeloma, metastasis, dan
granuloma sumsum tulang), sedangkan peningkatan destruksi terjadi dalam kondisi-kondisi
seperti mikroangiopati trombotik, disseminated intravascular coagulation (DIC), dan immune
thrombocytopenia (ITP).
Sekuestrasi platelet terjadi pada splenomegali kongestif karena hipertensi portal yang dapat
disebabkan oleh gagal jantung, trombosis vena hepatica atau trombosis vena cava (sindroma
Budd-Chiari), sirosis (misalnya karena hepatitis viral kronik atau alcoholic liver disease), dan,
jarang karena malformasi arteriovenosus dari pembuluh darah splenica. Sekuestrasi platelet
ditandai oleh redistribusi platelet dari yang sedang bersirkulasi ke splenic pool.
Ketika mengevaluasi pasien dengan trombositopenia, penting untuk menyingkirkan
pseudotrombositopenia, jumlah platelet rendah palsu, disebabkan oleh aglutinasi platelet
secara in vitro pada sekitar 2% pasien dengan trombositopenia, ketika darah ditampung dalam
tabung berisi EDTA (ethylenediaminetetra-acetic acid). Jika ada trombositopenia yang
sebenarnya, diperlukan langkah-langkah evaluasi yang baik. Dalam praktek klinik, dokter
seringkali dihadapi oleh pasien yang datang dengan trombositopenia berat onset baru yang
penyebabnya tersembunyi (occult). Masalah yang paling menantang adalah untuk menemukan
penyebab dalam waktu tersingkat dan mengobati pasien dengan tepat.

7. Informasi lebih lanjut apa yang Anda perlukan untuk mengonfirmasi diagnosis difteri?
a. Urinalisis
b. Pemeriksaan feses
c. RFT/tes fungsi ginjal
d. LFT/tes fungsi hati
e. EKG
f. Swab tenggorokan
(Sesi Kedua)
Laboratory finding update:
Urinalysis: RBC 5 -10/HPF; WBC 10 - 20/HPF; Alb +2; Glucose +
Stool examination: normal
RFT: BUN 40 mg/dL; Cr 1 mg/dL
LFT: AST 15 mg/dL; ALT 10 mg/dL
ECG: left bundle branch block and premature ventricular complexes
Throat swab: a throat swab culture showed Corynebacterium diphtheria (gram-positive bacilli)

1. Apa diagnosis kasus ini?


Diagnosisnya adalah difteri
Difteri merupakan suatu penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tapi berpotensi fatal.
Beban penyakit terutama terdapat di negara-negara berkembang. Kasus difteri berat seringkali
datang dengan bull's neck, sianosis, dyspnea, dan suara parau. Kematian biasanya disebabkan
oleh destruksi dan nekrosis jaringan oleh toksin yang mengakibatkan miokarditis dan gagal
napas.
C. diphtheria bertanggung jawab terhadap penyakit endemik dan epidemik, dan pertama kali
dideskripsikan pada abad ke-5 BC oleh Hippocrates. Difter bermanifestasi sebagai infeksi
saluran napas atas atau infeksi kulit dan disebabkan oleh bakteri aerob gram-positif,
Corynebacterium diphtheria. Infeksi biasanya terjadi pada bulan-bulan musim semi dan musim
dingin. Difteri dapat menular selama 2 - 6 minggu tanpa terapi antibiotik. Orang-orang yang
paling rentan terhadap infeksi adalah mereka yang tidak diimunisasi lengkap dan mereka yang
memiliki kadar antibodi anti-toksin rendah dan terpapar karier atau penderita. Hasil studi
menunjukkan bahwa jumlah karier asimptomatik yang menurun akan mengakibatkan jumlah
kasus difteri ikut menurun.

2. Jelaskan etiologi dari difteri dan morfologinya!

Etiologi difteri = Corynebacterium diphtheria


C. diphtheria merupakan bakteri Gram-positif, aerob, non-motil, tidak berkapsul, memiliki
"club-shaped" appearance, mempunyai granula metakromatik, dan dapat menghasilkan
eksotoksin (strain toksigenik). Bakteri ini memiliki diameter 0,5 - 1 µm dan panjangnya
mencapai beberapa µm.
C. diphtheria memiliki 4 strain dan semuanya dapat memproduksi eksotoksin, yaitu:
1) Gravis
2) Intermedius
3) Mitis
4) Belfanti
Penentuan strain dilakukan berdasarkan morfologi koloni, reaksi biokimia, dan derajat
keparahan penyakit yang ditimbulkan. Penentuan ini sulit untuk dilakukan karena
memerlukan fasilitas lab khusus. Karena angka kejadian difteri sudah sangat berkurang,
hubungan antara strain dengan keparahan penyakit tak lagi dianggap penting untuk
manajemen klinis dan kesehatan masyarakat dari suatu kasus atau KLB/kejadian luar biasa.
Bakteri ini dapat tumbuh di sebagian besar media lab yang sederhana, tetapi tumbuh tercepat
pada media serum Löffler. Morfologi koloni yang tumbuh pada media tanam berbeda tergantung
media yang digunakan:
a) Agar darah: koloni C. diphtheria kecil, granular, dan abu-abu dengan tepi ireguler, dan bisa
ada zona-zona hemolisis kecil.
b) Tellurite blood agar (agar yang mengandung potassium tellurite): koloni coklat-hitam dengan
sebuah halo cokelat kehitaman karena tellurite direduksi secara intraseluler.

3. Jelaskan mengenai toksin difteri!


Toksin difteri merupakan suatu polipeptida labil panas (BM 62.000) yang bisa menjadi letal
pada dosis 0,1 µg/kg. Jika ikatan disulfida rusak, molekul toksin dapat dibagi menjadi 2
fragmen. Fragmen B (BM = 38.000) tidak memiliki aktivitas independen tapi diperlukan untuk
transpor fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat perpanjangan rantai polipeptida
(dengan adanya nicotinamide adenine dinucleotide/NAD) dengan cara menginaktivasi
faktor elongasi/perpanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polypeptidyl-
transfer RNA dari akseptor ke situs donor pada ribosom eukariotik. Fragmen A toksin
menginaktivasi EF-2 dengan cara mengkatalis reaksi yang menghasilkan nicotinamide
bebas dan kompleks adenosine diphosphate-ribose-EF-2 inaktif. Diduga bahwa
berhentinya sintesis protein secara mendadak menyebabkan efek nekrotisasi dan
neurotoksik dari toksin difteri.

4. Bagaimana epidemiologi difteri?


Berdasarkan WHO, wabah difteri tetap merupakan suatu ancaman kesehatan di negara-negara
berkembang. Wabah terbesar yang tercatat sejak implementasi program vaksin secara meluas
terjadi pada tahun 1990 - 1995, ketika suatu wabah difteri muncul di Federasi Rusia, dengan
cepat menyebar ke semua NIS (Newly Independent States) dan negara-negara Baltik. Wabah ini
menyebabkan lebih dari 157.000 kasus dan 5000 kematian menurut laporan WHO. Tingkat
kematian tinggi yang disproporsional diamati pada individu berusia lebih dari 40 tahun, dan
5000 kematian dilaporkan. Wabah ini menyusun 80% dari kasus yang dilaporkan dari seluruh
dunia selama periode waktu ini.
Dari tahun 1993 - 2003, wabah selama 1 dekade di Latvia berujung pada 1359 laporan kasus
difteri dengan 101 kematian. Angka kejadian jatuh dari 3,9 kasus per 100.000 orang pada
tahun 2011 menjadi 1,12 kasus per 100.000 orang pada tahun 2003. Sebagian besar kasus
terjadi pada orang dewasa yang tidak divaksin.
Dari tahun 1995 - 2002, 17 kasus difteri kulit karena strain toksigenik dilaporkan di Inggris.
Hingga akhir dari minggu ke-48 tahun 2017, 591 kasus telah dilaporkan dari 95 distrik di 20
provinsi Indonesia. Mayoritas misalnya 80% dari kasus ini telah dilaporkan dari 7 provinsi
(Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bangka Belitung, Jambi, dan Lampung). Beberapa kasus
juga telah dilaporkan di Jakarta. Sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak muda di bawah
18 tahun yang tidak divaksinasi atau hanya divaksinasi sebagian/parsial.

5. Bagaimana patofisiologi dari difteri?


Overcrowding, poor health, substandard living conditions, incomplete immunization, and
immunocompromised states facilitate susceptibility to diphtheria and are risk factors
associated with transmission of this disease. Human carriers are the main reservoir of infection;
however, case reports have linked the disease to livestocks. Infected patients and asymptomatic
carriers can transmit C. diphtheriae via respiratory droplets, nasopharyngeal secretions, and
rarely fomites (benda atau bahan yang kemungkinan besar membawa infeksi, seperti pakaian, peralatan, dan
perabotan). In the case of cutaneous disease, contact with wound exudates may result in the
transmission of the disease to the skin as well as the respiratory tract.
Immunity from exposure or vaccination wanes over time. Inadequate boosting of previously
vaccinated individuals may result in increased risk of acquiring the disease from a carrier, even
if adequately immunized previously. Additionaly, since the advent of widespread vaccination,
cases of non-toxigenic strains causing invasive disease have increased.
C. diphtheriae adheres to mucosal epithelial cells where the exotoxin, released by endosomes,
causes a localized inflammatory reaction followed by tissue destruction and necrosis. The toxin
is made of 2 joined proteins. The B fragment binds to a receptor on the surface of the susceptible
host cell, which proteolytically cleaves the membrane lipid layer enabling fragment A to enter.
Molecularly, it is suggested that the cellular susceptibility is also due to diphthamide
modification, dependent on human leukocyte antigen (HLA) types predisposing to more severe
infection. The diphthamide molecule is present in all eukaryotic organisms and is located on a
histidine residue of the translation elongation factor 2 (eEF2). eEF2 is responsible for the
modification of this histidine residue and is the target for the diphtheria toxin (DT).
Fragment A inhibits an amino acid transfer from RNA-translocase to the ribosomal amino acid
chain, thus inhibiting protein synthesis required for normal host cell functioning. DT causes a
catalytic transfer of NAD to the diphthamide, which inactivates the elongation factor, resulting
in the inactivation eEF2, which results in protein synthesis blockage and subsequent cell death.
Local tissue destruction enables the toxin to be carried lymphatically and hematologically to
other parts of the body. Elaboration of the diphtheria toxin may affect distant organs such as
the myocardium, kidneys, and nervous system. Non-toxigenic strains tend to produce less
severe infections; however, since widespread vaccinations, case reports of non-toxigenic strains
of C. diphtheriae causing invasive disease have been documented.

6. Apa penyebab (faktor predisposisi) dari difteri?


The following factors may predispose to diphtheria infection:
❖ Incomplete or absent immunization, which is especially important in the adult population
and as well as the pediatric population in underdeveloped countries, may predispose to
infection. In some cases, immunity does not prevent infection but lessens the severity of
disease.
❖ Antitoxin titers decrease over time and immunity wanes, thus older people who have not
received booster vaccinations are more susceptible to contract the disease from carriers.
Studies suggest if titer level is greater than 0.1 IU/mL, then an individual is characterized
as immune from infection.
❖ Low herd immunity, possibly leading to increasing prevalence of diphtheria infections.
❖ Travelling to endemic areas or regions with ongoing epidemics.
❖ Immunocompromised states, due to pharmacologic immune suppression, diseased states
including HIV, or relative compromise such as from diabetes or alcoholism.
❖ Low socioeconomic status.
❖ Large-scale population movements with poor healthcare system infrastructure.
❖ Overcrowding (happens in military barracks, homeless shelters, jails).
❖ Domestic animals such as cats may act as reservoirs for human infection.

7. Apa tanda dan gejala dari difteri?


Onset gejala difteri respiratori khasnya mengikuti periode inkubasi selama 2 - 5 hari (berkisar
1 - 10 hari). Gejala awalnya umum dan tidak spesifik, sering menyerupai infeksi virus atipikal
pada saluran napas atas. Keterlibatan saluran napas biasanya dimulai dengan sakit
tenggorokan dan inflamasi ringan pada faring. Perkembangan pseudomembran yang
terlokalisir atau tergabung dapat terjadi di bagian manapun dari saluran napas.
Pseudomembran dicirikan dengan pembentukan lapisan debris abu-abu yang padat, yang
terdiri dari campuran sel mati, fibrin, sel darah merah, sel darah putih, dan organisme mati.
Penyingkiran pseudomembran akan menampakkan perdarahan, fossa edematous. Distribusi
pseudomembran beragam, dari lokal (misalnya, tonsil dan faring) hingga secara luas menutupi
seluruh pohon trakeobronkial. Pseudomembran sangat menular, sehingga jika memeriksa atau
merawat pasien harus diikuti dengan kewaspadaan terhadap droplet dan kontak. Kombinasi
adenopati cervical dan pembengkakan fossa memberikan gambaran "bull's neck" pada banyak
pasien yang terinfeksi; hal ini ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Penyebab kematian tersering adalah obstruksi jalan napas atau sufokasi setelah aspirasi
pseudomembran.
Pasien dengan difteri bisa datang dengan keluhan di bawah ini:
❖ Demam ringan (jarang > 39°C) (50 - 85%) dan menggigil
❖ Malaise, kelemahan, kelesuan
❖ Sakit tenggorokan (85 - 90%)
❖ Sakit kepala
❖ Limfadenopati cervical dan pembentukan pseudomembran pada saluran napas (sekitar
50%)
❖ Sekret hidung serosanguinous atau seropurulen, membran hidung putih
❖ Suara parau, disfagia (26 - 40%)
❖ Dyspnea, stridor respiratorik, wheezing, batuk
Difteria respiratorik dapat berkembang dengan cepat menjadi gagal napas karena obstruksi
jalan napas atau aspirasi pseudomembran ke dalam pohon trakeobronkial.

8. Apa alat diagnostik untuk menegakkan diagnosis difteri?


Untuk menegakkan diagnosis C. diphtheriae, penting untuk mengisolasi C. diphtheriae
dalam media kultur dan untuk mengidentifikasi adanya produksi toksin.
Pemeriksaan bakteriologis
Pengecatan Gram menunjukkan basil berbentuk gada (club-shaped), tidak berkapsul, non-
motil yang terdapat dalam kelompok-kelompok (clusters).
Pengecatan immunofluoresens pada kultur 4 jam atau spesimen yang dicat methylene blue
terkadang dapat mempercepat identifikasi.
Kultur
Inokulasi tellurite atau media Loeffler dengan swab yang diambil dari hidung, pseudomembran,
kripta tonsil, ulserasi, atau diskolorasi apapun. Identifikasi dicapai melalui observasi morfologi
koloni, penampakan mikroskopik, dan reaksi fermentasi. Basil difteri apapun yang terisolasi
harus diperiksa kemampuan memproduksi toksinnya.
Peroleh swab tenggorokan dan faring dari semua kontak dekat.
Studi laboratoris lainnya
CBC/DL dapat menunjukkan leukositosis sedang.
Urinalisis (UA) dapat menunjukkan proteinuria sementara.
Antibodi serum terhadap toksin difteri sebelum pemberian anti-toksin: kadar rendah tidak
dapat menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit; kadar tinggi dapat melindungi dari
penyakit berat (konsentrasi 0,01 - 0,1 IU diduga memberikan perlindungan)
Kadar troponin I dalam serum tampaknya berhubungan dengan keparahan miokarditis.
(Sesi Ketiga)
Rudi was hospitalized for 14 days. His condition after treatment was excellent.

1. Bagaimana manajemen dari difteri?


Pada hari pertama MRS pasien diberikan anti-toksin difteri (120.000 unit secara IV, setelah tes
hipersensitivitas) dan Penicillin G (100.000 U/kg/hari, IV) dosis tunggal selama 10 hari.
Erythromycin 40 mg/kg/hari dapat diberikan jika tes alergi penicillin gagal (alergi penicillin).

2. Jelaskan sifat farmakologi Penicillin G!


Aktivitas Penicillin G awalnya didefinisikan dalam satuan unit. Sodium kristalin Penicillin G
mengandung sekitar 1600 unit/mg (1 unit = 0,6 µg; 1 juta unit Penicillin = 0,6 g).
Farmakodinamik:
Penicillin, seperti semua antibiotik β-laktam, menghambat pertumbuhan bakteri dengan
mengganggu reaksi transpeptidasi dari sintesis dinding sel bakteri.
Farmakokinetik:
Pemberian Penicillin G secara IV lebih disukai daripada rute IM karena dapat terjadi iritasi
dan nyeri lokal dari injeksi dosis besar secara IM. Konsentrasi serum 30 menit setelah injeksi
IV 1 g Penicillin G (ekuivalen dengan sekitar 1,6 juta unit) adalah 20 - 50 µg/mL.
Penicillin didistibusikan meluas dalam cairan dan jaringan tubuh dengan beberapa
pengecualian. Obat ini merupakan molekul polar, jadi konsentrasi intraseluler lebih rendah
daripada konsentrasi dalam cairan ekstraseluler.
Konsentrasi Penicillin dalam sebagian besar jaringan sama dengan dalam serum. Penicillin
juga diekskresikan ke dalam sputum dan ASI sebanyak 3 - 15% konsentrasi serum.
Penicillin diekskresi dengan cepat oleh ginjal, sejumlah kecil diekskresikan melalui rute lain.
90% ekskresi ginjal terjadi melalui sekresi tubular, dan sisanya melalui filtrasi glomerulus.
Waktu paruh Penicillin G normalnya sekitar 30 menit, tapi pada gagal ginjal, dapat menjadi
selama 10 jam.
Efek Samping:
Sebagian besar efek samping yang serius adalah karena hipersensitivitas. Penentu antigenik
berupa produk degradasi Penicillin, terutama asam penicilloic dan produk-produk hidrolisis
alkali yang terikat pada protein host.
Karena potensi terjadinya anafilaksis, Penicillin sebaiknya diberikan dengan waspada atau obat
pengganti dapat diberikan jika pasien memiliki riwayat alergi Penicillin yang serius. Skin
testing terhadap Penicillin juga dapat digunakan untuk mengevaluasi hipersensitivitas tipe
2. Jika skin test negatif, sebagian besar pasien dapat menerima Penicillin dengan aman.
Reaksi alergi meliputi syok anafilaktik (sangat langka = 0,5% dari penerima), reaksi serum
sickness (sekarang langka, seperti urticaria, pembengkakan sendi, angioedema, pruritus, dan
gangguan fungsi pernapasan yang terjadi 7 - 12 hari setelah paparan), dan berbagai ruam kulit.

3. Bagaimana cara mencegah difteri?


Difteri merupakan suatu penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin. Penggunaan meluas dari
vaksin DPT/DTaP (toksoid difteri, toksoid tetanus, dan pertussis aseluler) selama masa kanak-
kanak telah mengurangi insiden difteri secara signifikan. Akan tetapi, kekebalan masa kanak-
kanak akan menghilang seiring waktu sehingga perlu diperbarui dengan vaksin booster. CDC
merekomendasikan DTaP, Tdap, atau DT setidaknya tiap 10 tahun untuk mempertahankan
kekebalan.
Vaksin Rutin
❖ Usia minimal: 6 minggu.
❖ Booster pertama (dosis ke-4) dapat diberikan paling cepat pada usia 12 bulan dengan
minimal ada jeda waktu 6 bulan sejak dosis ke-3.
❖ Vaksin kombinasi difteri, tetanus, dan pertussis aseluler (DTaP) sebaiknya dihindari untuk
seri vaksin primer.
❖ Difteri, tetanus, dan pertussis aseluler lebih disukai daripada difteri, tetanus, dan whole-
cell pertussis (DTwP) untuk anak-anak dengan riwayat efek samping berat setelah vaksin
DTwP sebelumnya atau anak dengan kelainan neurologis.
❖ Booster pertama dan kedua juga dapat berupa DTwP. Akan tetapi, karena reaktogenisitas
vaksin DTwP yang lebih tinggi, DTaP dapat dipertimbangkan untuk booster.
❖ Jika vaksin apapun yang mengandung "pertussis aseluler" digunakan, vaksin tersebut
harus setidaknya memiliki 3 atau lebih komponen dalam produk vaksin.
❖ Tidak perlu mengulang/memberi dosis tambahan vaksin whole-cell pertussis kepada anak
yang sebelumnya telah menyelesaikan jadwal vaksin primer dengan produk vaksin yang
mengandung pertussis aseluler.
Catch-up Vaccinations
❖ Jadwal catch-up: booster kedua masa kanak-kanak tidak diperlukan jika dosis terakhir
telah diberikan saat berusia lebih dari 4 tahun.
❖ Catch-up dibawah 7 tahun: DTwP/DTaP pada 0,1, dan 6 bulan
❖ Catch-up di atas 7 tahun: Tdap, Td, dan Td pada 0, 1, dan 6 bulan berturut-turut.

4. Prognosis difteri
❖ Keterlibatan jantung berkaitan dengan prognosis yang sangat buruk, terutama AV dan left
bundle branch block (tingkat mortalitas 60 - 90%).
❖ Penyakit bakteremia memiliki tingkat mortalitas 30 - 40%.
❖ Tingkat mortalitas tinggi ada pada penyakit invasif.
❖ Tingkat mortalitas tinggi terdapat pada individu berusia kurang dari 5 tahun dan berusia
lebih dari 40 tahun.

5. Tuliskan resep untuk antitoksin difteri dan Penicillin G!


Dokter :
SIP :
Alamat :
Surabaya, 17 September 2019

R/ ADS ampoule 20.000 IU No. VI


S. i.m.m.
________________________________________________ (tanda tangan)
R/ Penicillin G ampoule 1.000.000 IU No. X
S. 1 d.d. 1 amp. (untuk klaim BPJS)
atau
S. i.m.m. (lege artis, untuk belajar)
________________________________________________ (tanda tangan)

Pro : An. Rudi


Usia : 5 tahun
Alamat : Surabaya

You might also like