Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

235 | JURNAL ILMU BUDAYA

Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

FALSAFAH EMPAN PAPAN BERDIALOG DENGAN


RICHARD RORTY TENTANG BATAS TOLERANSI
Agus Jemi Karyadi

Mahasiswa Pascasarjana STFT Widya Sasana Malang


Jln. Terusan Rajabasa 2 Malang 65146 Jawa Timur, Indonesia

agusjemik2017@gmail.com

Abstract
The focus of my study is to devise tolerance limits in the Javanese empan papan philosophy frame.
This study is important because there are many incidents of oppression between groups in Indonesia.
Indonesia has a variety of diversity, such as religion, culture and ethnicity. That diversity creates
boundaries in building life together in Indonesia. I used a library research method about Javanese
philosophy of empan papan and dialogued it with Richard Rorty's thoughts. Four board is widely
understood people must consider the location, condition and situation carefully. You can't just talk and
act. Javanese humans place knowledge in the way they are in the expression of ngelmu kanti laku
(knowledge by doing-being in action, and words that are realized). The philosophy of the empan
papan was dialogue with Richard Rorty's thoughts about ironic humans, ironic liberal people and
multicultural communitarian politics. This research brings together East-West tolerance limits,
confirming Richard Rorty's thoughts. Limits of tolerance must be institutionalized through a consensus
of public opinion that is built up dialogically. This is very possible because Javanese people are
adaptive to empan papan. Javanese people respect the independence of each individual but at the same
time place it in the public sphere. Javanese man never puts his self awareness alone, always in his
existence along with other subjects.
Keywords: empan papan, ironically liberal, multicultural politics, tolerance limits

INTRODUKSI toleransi. Apakah ada batasan toleransi


untuk toleran terhadap intoleran?
Persoalan intoleransi sering ditemui Saya menggunakan penelitian
dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu bisa kepustakaan untuk mencari jawaban atas
terjadi antarindividu, kelompok dengan persoalan di atas dan mendialogkannya
individu dan antarkelompok dalam dengan pemikiran Richard Rorty. Saya
masyarakat. Tindakan intoleran itu bahkan membatasi bingkai pembahasan ini dalam
berujung pada kekerasan yang memberikan ranah dialog filsafat Barat dan Timur, tidak
luka bahkan kematian. Indonesia terdiri bermaksud membandingkannya secara
dari beragam agama, budaya dan suku ketat.
bangsa. Perbedaan-perbedaan dalam Pembahasan studi ini akan saya
keragaman itu tidak sedikit memunculkan mulai dengan memaparkan falsafah empan
sikap intoleran dari anggotanya. papan dalam unen-unen (baca: ungkapan,
Manusia Jawa, dengan kerumitan pepatah) hidup manusia Jawa. Selanjutnya,
identitasnya, juga tidak jarang jatuh pada saya paparkan pemikiran Rorty tentang
tindakan intoleran terhadap yang lain. politik multikultural. Kemudian
Persoalan itu membuat saya bertanya mendialogkan dua pemikiran tersebut
apakah tidak ada kearifan atau falsafah untuk mencari batas toleransi.
hidup lokal yang bisa menjadi pegangan
dalam hidup bersama dan mewujudkan
236 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

EMPAN PAPAN FALSAFAH HIDUP ungguh basa, yang membagi tingkatan


MANUSIA JAWA krama, madya, dan ngoko. Falsafah hidup
madya, kemungkinan besar lahir dari
Empan artinya pas; tepat benar dan konsep filosofi pewayangan Jawa, yakni
papan artinya tempat, lokasi atau area. dari siklus Pandawa. Dalam kerabat
Pandawa ada yang disebut pamadyaning
Empan papan secara luas dimengerti orang pandhawa, yakni Arjuna. Satria ini berada
harus mempertimbangkan lokasi, kondisi di tengah-tengah. Ia lambang kesaktian,
dan situasi dengan cermat. Tidak boleh karena bisa menguasai banyak wanita.
asal berbicara juga bertindak.1 Pemahaman Baginya, wanita adalah simbol kesaktian,
tentang empan papan merujuk pada karena itu Arjuna sering disebut lelalanging
kesadaran „ku‟ dan keberadaan „ku‟, yang jagad.”4
serta merta mewujud dalam cara ada „ku‟.
“Kesadaran „Aku‟ merupakan asal-usul Dengan demikian, menjadi lebih mudah
pengetahuan manusia.” 2 Manusia Jawa dipahami bahwa manusia Jawa memilih
menempatkan pengetahuan dalam cara hidup di tengah-tengah. Sikap memilih di
beradanya dalam ungkapan ngelmu kanthi tengah-tengah ini juga menunjukkan
laku (berilmu dengan berbuat-ada dalam disposisi anti konflik, atau manusia Jawa
perbuatan, dan kata-kata yang disadari). tidak menyukai ketidakharmonisan.
Berguru dari Profesor Armada: Saya hendak mendialogkan
falsafah empan papan manusia Jawa
“Fichte adalah salah satu dari filsuf yang dengan Richard Rorty yang
memandang bahwa refleksi tentang “Aku” mempertanyakan batas-batas toleransi
identik dengan “tindakanku” yang bisa dibangun dalam kehidupan
(Wissenschaftslehre nova methodo, 1796). multikultural.
Kesadaran tentang “Aku” adalah kesadaran
tentang keberadaanku, tindakanku. Dalam
Bahasa Latin, “Agere” (bertindak) sam
Ngono Ya Ngono Ning Aja Ngono
dengan “Esse” (mengada).”3
Artinya „begitu ya begitu tepai
Namun, saya tidak bermaksud jangan begitu‟. Manusia Jawa berusaha
mempertemukan falsafah empan papan bertindak dengan „pas‟ (tepat), tidak
dengan pemikiran Fichte dalam tulisan ini. berlebihan, namun juga tidak ekstrem
Empan papan dalam hidup manusia sebaliknya. Tutur kata, sikap dan tindakan
Jawa merupakan cetusan samadya. itu didasarkan pada ukuran umum atau
Samadya berarti hidup dalam ukuran etika yang sudah disepakati, bertindak
cukup, secukupnya, namun tidak berarti secara wajar. Etika yang terbangun dari
pas-pasan. Menurut Prof. Dr. Suwardi perasaan (hati) dan budi (kesadaran),
Endraswara, madya dimengerti demikian, sehingga menjadikan manusia Jawa yang
humanis dalam pergaulan. Dengan kata
“Kata madya (tengah), agaknya tidak lahir lain, manusia Jawa memerhatikan ilmu
dari konsep budaya Jawa yang sering jiwa Jawa, yakni ilmu jiwa sosial.
menyebut bahwa hidup ada purwa, madya, Falsafah madya ini memampukan
wusana(ada awal, tengah, akhir). Bukan manusia Jawa menjadi adaptif, yang
pula lahir atas dasar pembagian unggah mewujud dalam falsafah empan papan.
Hal senada dapat ditemukan dalam
1
St. S. Tartono, Pitutur Adi Luhur,Yogyakarta: ungkapan-ungkapan kebijaksanaan lain,
Pustaka Nusatama, 2009, hal. 187
2
Armada Riyanto, CM, “Relasionalitas Filsafat
Pondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen,
4
Yogyakarta: Kanisius, 2018, hal.189 Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., Falsafah
3
Ibid., hal.190 Hidup Jawa, Jakarta: Cakrawala,2016, hal. 49
237 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

yakni: 5 pertama, sing bisa angon mangsa Dengan demikian ukuran sikap dan
(yang bisa menggembalakan (kemampuan tindakan “ngono” mengandaikan
menggembala) waktu/ situasi). Manusia kesadaran yang mendalam terkait dengan
Jawa hendaklah dalam sesrawungan konteks saat itu. Ukurannya tidak bisa
(pergaulan; perjumpaan/ hubungan sosial) digunakan untuk peristiwa, ruang, waktu,
bisa menempatkan ruang dan waktu. dan subyek lain yang berbeda.
Ruang dan waktu yang dimaksud adalah
situasi dan kondisi orang lain. Sikap dan Melok Nanging Aja Nyolok
tindakan itu diambil karena situasi orang
lain tidak kita ketahui secara pasti, tentang Falsafah madya yang kedua ini
yang sedang dia pikirkan, alami, atau berarti tampak jelas, tetapi jangan terlalu
harapkan. Dengan demikian pembicaraan mencolok. Cara membaca melok, „me‟
dan cara berbicara pun sungguh harus seperti meres (memeras), dan bukan „me‟
diatur. Tidak bisa asal berbicara atau dalam menggok (berbelok). Meskipun
bertindak. Kedua, seje kulit seje anggit dibunyikan dengan cara kedua juga bisa
(setiap orang memiliki pemikiran yang dipahami sebagai arti yang positif, namun
berbeda. Ungkapan itu sepemahaman konteks kata melok dimengerti dengan
dengan seje uwong seje omong (setiap pengucapan cara yang pertama. Melok
orang mempunyai perbedaan tentang yang (tampak) dimengerti sebagai tampak secara
dikatakan dan yang dipikirkan). Sikap wajar, sedangkan nyolok (terlalu tampak)
hidup ini menuntun manusia Jawa dimengerti sebagai tampak secara
menghargai orang lain. Kemampuan itu berlebihan. Penampakkan manusia Jawa
merupakan satu sikap bijaksana. sebagai „aku‟ tidak supaya mendapatkan
Kebijaksanaan yang mewujud dalam pengakuan sebagai orang yang mempunyai
tindakan tidak melukai hati dan perasaan kelebihan. Penilaian sebagai „orang yang
orang lain. mempunyai kelebihan‟ adalah hak subyek
Sikap memperhitungkan apa yang lain. Hal itu tidak pernah menjadi motivasi
mungkin dirasakan dan dipikirkan orang manusia Jawa yang menghayati „melok‟
lain, menjadikan manusia Jawa anoraga tadi.
(merendahkan diri), yang kemudian pada Sebagai contoh: Presiden Jokowi
tahap selanjutnya jika menjadi habitus memenuhi kriteria ini. Beliau tidak
akan berbuah andhap asor (rendah hati). menggembar-gemborkan prestasi dan
Manusia Jawa dilatih agar memiliki sikap kemampuannya kepada masyarakat
demikian dengan beberapa rumusan Indonesia. Media, pengamat dan
negasi, misalnya: 1) sapa sira sapa ingsun, masyarakat yang memberikan penilaian
aja adigang adigung adiguna, dan aja atas kemampuan itu. Jokowi
dumeh (janganlah mengunggulkan diri, menampakkan diri sebagai pribadi yang
merendahkan orang lain, menghina orang sederhana, secara wajar, melakukan
tidak punya); 2) aja mung golek wah ( tugasnya. Dalam konteks ini nyolok bisa
jangan gila pujian, hiduplah sederhana); 3) dimengerti sebagai arogan. Sikap yang
sebaiknya gong lumaku tinabuh ( mewujud dalam bentuk konferensi pers
janganlah mengobral kepandaian); 4) golek yang memberi janji-janji besar dan wah.
menange dhewe ( jangan mencari Jokowi juga tidak menonjol-nonjolkan
kemenangan diri sendiri dengan dirinya sebagai orang yang telah meraih
6
mengorbankan orang lain. banyak kesuksesan dalam perannya
sebagai presiden. Namun semua warga
negara tahu betapa besar jasa dan
5
Bdk. Ibid. hal. 50 kemajuan yang telah dirintisnya.
6
Ibid. hal. 51
238 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

Singkatnya, Jokowi tidak mengatakan kuat. Kesadaran yang demikian juga


dirinya besar, tetapi subyek lain yang menghantar manusia Jawa menjadi pribadi
memberi apresiasi bahwa Jokowi besar, yang toleran. Hal itu teruji dalam sejarah
luar biasa, hebat, dan seterusnya. bahwa manusia Jawa mempunyai
Kesadaran akan keberadaanku kemampuan beradaptasi dengan berbagai
membuat orang menjadi cukup jelas agama yang masuk ke tanah Jawa. Namun
memandang dirinya sendiri, bahkan demikian tidak berarti manusia Jawa
sekalipun tanpa pengakuan orang lain. akhirnya diam dan tidak mengungkapkan
Kesadaran manusia Jawa ini juga mengalir kebenaran. Sebaliknya, manusia Jawa
dari sikap bijaksana yang lain, yakni sak berusaha menemukan cara yang paling
nduwure langit sih ana langit (di atas tepat untuk mengungkapkan kebenaran.
langit masih ada langit). Seandainya aku Dengan cara itu akhirnya kebenaran bisa
kaya, masih ada yang lebih kaya; diterima oleh yang tidak benar. Dengan
seandainya aku pandai, masih ada yang demikian tujuan menyampaikan kebenaran
lebih pandai; bahkan seandainya aku bijak, terwujud karena dilakukan dengan cara
masih ada yang lebih bijak. Tindakan yang tepat atau sesuai.
menonjolkan diri dengan demikian tidak Kebenaran diungkap dalam ruang
mewakili kesadaran yang penuh akan kebersamaan. Manusia Jawa
dirinya sendiri. Dalam hal ini bisa dilihat mengedepankan harmoni hidup bersama.
kedalaman pemaknaan akan kedirian Pengungkapan kebenaran yang
manusia Jawa. Hal itu menempatkan menimbulkan perpecahan dan
manusia dalam bingkai falsafah empan ketidakharmonisan akan dihindari. Dengan
papan manusia Jawa. kata lain kebenaran yang belum
menemukan cara pengungkapan yang tepat
Bener Ning Ora Pener akan dibiarkan menjadi kebenaran yang
tinggal dalam aku. Demikian falsafah ini
Falsafah madya yang ketiga berarti menegaskan disposisi manusia Jawa dalam
benar tetapi tidak tepat (tidak cocok, tidak menghayati empan papan.
sesuai, tidak relevan, tidak applicable).
Falsafah ini lebih mudah dipahami dalam Sing Bisa Prihatin Sajroning Bungah,
konteks penerapannya. Saya maksudkan, Sing Bisa Bungah Sajroning Prihatin
sebuah kebenaran belum tentu tepat jika Falsafah keempat berarti yang bisa
diungkapkan dengan cara yang tidak tepat. prihatin (tahu batas, mengendalikan diri) di
Misalnya, kebenaran bahwa sesorang dalam kegembiraan, yang bisa bergembira
mempunyai kelemahan moral tertentu, di dalah kesusahan (penderitaan). Bingkai
namun mengritiknya langsung di depan empan papan menjadikan manusia Jawa
orang banyak, pasti bukanlah cara yang senantiasa menempatkan diri tidak larut
tepat atau ora pener. Meskipun memang dalam suasana sementara. Hidup seperti
benar adanya bahwa orang itu memiliki roda berputar, kadang di atas, kadang di
kelemahan moral, yang juga diketahui oleh atas. Karena sikap yang tepat adalah
kebanyakan orang. berusaha menempatkan batin ada di poros
Kebenaran yang diyakini seseorang yaitu di tengah. Situasi yang sekarang
juga tidak serta merta menjadi kebenaran terjadi pasti akan mengalami perubahan,
bagi banyak orang. Misal, kebenaran yang tidak akan sama sekali tetap selama-
diusung kelompok yang ingin mendirikan lamanya.
khilafah di Indonesia, tentu tidak tepat. Falsafah ini menuntun manusia
Manusia Jawa memiliki kesadaran akan Jawa agar tidak bersikap berlebihan, bisa
perbedaan dalam keragaman yang begitu mengekang hawa nafsu jika sedang hidup
239 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

enak. Sebaliknya tidak terlalu sedih jika


sedang dalam kekurangan. Seolah hidup “…ungkapan ini mengandung ajaran
enak atau kekurangan hanya bungkus saja, nasihat agar di dalam hidup bermasyarakat,
yang menjadi isi adalah sikap batin, atau orang senantiasa dapat menahan diri,
laku yang ada di dalamnya. Prihatin dalam mengendalikan hawa nafsu. Ambisi boleh,
frase pertama merupakan disposisi „laku‟. tetapi jangan ambisius. Kedudukan
mestinya sebuah amanat, jangan diminta.
Laku dimengerti sebagai penghayatan, Kedudukan jangan disalahgunakan.
mengada manusia Jawa. Misalnya, Sebaliknya, jika tidak memiliki kedudukan,
meskipun mempunyai harta berlimpah, sengsara, tidak perlu kecil hati. Dengan
hidup tidak harus dijalani dengan hura- falsafah madya serupa mengarahkan
hura atau berfoya-foya. Demikian manusia Jawa agar bersikap dan bertindak
sebaliknya, bungah dalam frase yang tidak aji mumpung, jangan memanfaatkan
kedua juga merupakan laku. Bungah tidak kesempatan dalam kesempitan. Seperti
dimaksudkan sebagai kegembiraan (hidup halnya orang sedang makan gula, lalu lupa
enak), namun kemampuan menjadi tenang dengan kemanisan, manusia akan lengah.”7
(tidak menyalahkan pihak lain, apalagi
Sang Ilahi) dan mengambil hikmah dari Kemampuan mengendalikan diri (hawa
situasi yang terjadi. Ini bukan sekedar nafsu) sangat penting bagi manusia Jawa.
teoretis, karena bagi manusia Jawa ngelmu Falsafah ini menegaskan pentingnya
iku kudu kanthi laku (menjadi berilmu atau bingkai empan papan bagi manusia Jawa.
bijak itu harus dengan berbuat,
menghayatinya dalam hidup keseharian). Aja Bungah ing Pengalem, Aja Susah ing
Laku mengekang hawa nafsu (tahu Panacad
batas) menumbuhkan sikap tidak ngaya Artinya jangan merasa (terlalu)
(memaksa diri) dalam mengejar hal-hal bangga jika dipuji, jangan (terlalu) susah
duniawi (khususnya prestis dan harta jika mendapat celaan (= aja mongkog ing
benda). Sikap ngaya bisa mendorong pambombong, aja kendho ing panyendhu).
manusia menghalalkan segala cara untuk Manusia Jawa diharapkan bisa mawas diri.
mendapatkan yang diharapkan. Laku Mawas diri berarti mengambil posisi di
justru membuat manusia Jawa hidup lebih tengah, dalam menghadapi pujian atau
tenang, tenteram jiwanya dan mengalami celaan, dengan mempertimbangkan setiap
keseimbangan serta harmoni. Ada banyak perkara dengan bijaksana. Karena, perlu
manusia yang hidupnya kaya raya namun diingat bahwa wong seneng ora kurang
tidak tenang, karena ngaya. Sebaliknya ada pengalem, wong sengit ora kurang
banyak orang tidak tenang dalam segala panacad. Artinya, jika sesorang senang
kekurangannya karena tidak dengan kita, ada banyak cara untuk
menghayatinya dengan laku, namun lebih memuji dan membuat kita senang
disibukkan dengan berbagai cara untuk kepadanya, demikian juga sebaliknya.
menaklukan situasi yang dialaminya. Manusia Jawa membutuhkan
Manusia yang menjalani hidup tidak keseimbangan emosional dalam bersikap,
dengan laku nampak dalam sikap hidup berkata dan berperilaku dalam membuat
yang selalu mengeluh, menuntut, bahkan keputusan menghadapi pujian ataupun
memaksa subyek lain untuk mengerti celaan.
dirinya. Bertahan dalam kesadaran dan
Ada ungkapan lain yang senada mengendalikan diri adalah kemampuan
yakni: yen krasa enak uwisana, yen krasa manusia Jawa untuk tahu batasannya,
ora enak terusana. Suwardi Endraswara
menuliskan, demikian: 7
Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., Falsafah
Hidup Jawa, Jakarta: Cakrawala,2016, hal. 52
240 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

empan papan. Kebijaksanaan tergantung kewajaran yang disadari manusia Jawa


dari kemampuan manusia Jawa untuk tidak dalam bertindak terhadap orang lain.
mudah tergoda dari sekedar pandangan
yang datang dari luar dirinya. Falsafah ini Sawang Sinawang
mengantarkan manusia Jawa tidak mudah
sombong terhadap pencapaian diri dan Artinya saling memandang, saling
sebaliknya, tidak mudah kehilangan dipandang. Apa yang kelihatan tidak selalu
pegangan tatkala mengalami sesuatu yang yang nampaknya. Sikap iri atau melik
buruk dalam hidupnya. terhadap manusia lain, entah itu fisik,
materi, status, tidak tepat. Kehidupan
Tega Larane Ora Tega Patine manusia lain belum tentu seperti
nampaknya. Yang sungguh meyakinkan
Artinya tega melihat orang lain adalah apa yang kuhidupi, yakni diriku
menderita, namun tidak akan dengan segala yang melekat di diri.
membiarkannya mati. Unen-unen ini Sebaliknya orang lain pun memosisikan
biasanya diterapkan dalam kehidupan diri sama seperti ketika aku memandang
keluarga. Kalau ada anggota keluarga orang lain. Kebahagiaan tidak dapat diukur
sakit, maka anggota lain akan merasakan dari penampakkan yang kelihatan oleh
sakit juga. Unen-unen lebih terasa dalam mata. Kebahagiaan adalah soal
konteks pendidikan dalam keluarga. Jika rasa,karenanya tumbuh di dalam (hanya si
ada anak yang melakukan kesalahan, pelaku yang mengetahuinya). Karena itu iri
apalagi membuat nama keluarga menjadi terhadap penampakkan orang lain adalah
buruk, maka orangtua akan menghukum. sikap batin yang keliru.8
Hukuman yang diberikan tentu dalam Falsafah ini juga menuntun
ukuran kewajaran, sesuai dengan manusia Jawa untuk senantiasa bersyukur
kesalahan karenaya tega larane. Namun atas apa yang dialaminya, dimensi religius
hukuman itu tidak akan diberikan sampai manusia Jawa. Setiap manusia mempunyai
tingkat kematian. Bahkan jika sangat besar jalan laku nya sendiri-sendiri dan tidak
sekalipun kesalahan anggota keluarga, bisa dibandingkan dengan yang lain. Sikap
kematian tidak akan pernah menjadi menerima diri sebagai pemberian Yang
penyelesaian masalah. Dalam pendidikan Ilahi juga dihayati dalam unen-unen lain
manusia Jawa ada unen-unen: diculke yakni: narima ing pandum (menerima
sirahe digondheli buntute (dilepaskan dengan rela pembagian – kehidupan yang
kepalanya, dipegangi ekornya). Dalam dipahami sebagai dari Yang Ilahi). Dengan
pendidikan manusia Jawa, seseorang diberi demikian kebahagiaan itu bukan sebuah
kesempatan menemukan yang terbaik situasi, melainkan suatu aktivitas atau
untuk dirinya. Tugas orangtua tetap penghayatan yang dialami dan dihayati
mendampingi dan mengarahkan. Dengan sebagai laku (senada dengan Aristoteles
kata lain tidak dilepaskan sama sekali dalam Nichomacean Ethics, kebahagiaan
sebebas-bebasnya. bukan suatu situasi yang dikejar, tetapi
Manusia Jawa dalam laku nya aktivitas berbahagia). Dengan demikian,
selain harus teguh dalam kesadaran akan miskin-kaya, pejabat-rakyat biasa,
dirinya sendiri, juga terbiasa bersikap tampan/cantik-biasa-biasa saja, bukanlah
wajar dan dalam batasan tertentu terhadap ukuran kebahagiaan dalam falsafah
orang lain. Salah satu kemampuan manusia sawang sinawang.
Jawa dalam membentuk diri sebagai
pribadi yang toleran. Ada batasan-batasan 8
Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., Berpikir
Positif Manusia Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2014,
hal. 291-292
241 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

Manusia Liberal Yang Ironis.


9
Pemikiran Richard Rorty Pada umumnya “liberal” berarti
menganggap kebebasan sebagai nilai
Manusia Ironis. Orang yang tertinggi dalam kehidupan bersama
menyadari bahwa pandangan dunia, manusia. Masyarakat liberal tidak
kepercayaan-kepercayaan dan keyakinan- memaksakan nilai-nilai dan keyakinan-
keyakinannya yang paling mendalam pun keyakinan tertentu pada masyarakat.
bersifat kebetulan, itulah yang oleh Rorty Dalam masyarakat liberal orang dapat
disebut manusia ironis. Ia “berani menyatakan pendapatnya tanpa harus
menerima kenyataan bahwa kepercayaan takut. Yang menentukan di sini
dan keinginannya yang paling sentral adalah kemampuan kita untuk berbicara
[pun] tidak mempunyai kepastian” [CIS dengan orang lain tentang hal-hal yang
XV].10 dianggap benar, bukan yang memang
Manusia ironis bersikap ironis benar.
terhadap pandangannya sendiri dan sadar Apakah manusia ironis dapat
bahwa kosa kata akhir yang dipakainya bersikap liberal, bukankah manusia ironis
dapat saja berubah. Tentu, kosa kata akhir sadar bahwa kosa kata akhir mana pun
tidak berubah seenaknya karena, justru dapat dideskripsikan kembali (berubah),
sebagai kosa kata akhir, menjadi wahana padahal tidak ada orang yang suka kalau
keyakinan paling mendalam, bahkan kosa kata akhirnya – wahana keyakinan-
identitasnya sendiri. Kosa kata akhir tidak keyakinan paling mendalam miliknya –
berubah karena terbukti kurang benar: dideskripsikan kembali?
Soalnya, kosa kata itu bukan benar atau Rorty menangkis serangan ini
salah, melainkan tepat atau kurang tepat dengan membedakan antara wilayah
dalam bersama-sama mengatasi tantangan privat dan wilayah publik. Ironisme
kehidupan. Tetapi kosa kata akhir dapat berlaku dalam wilayah privat, artinya
bergeser, bahkan berubah karena orang terhadap pandangan dan keyakinan-
bersentuhan dengan orang-orang yang keyakinannya sendiri. Tetapi justru karena
memiliki kosa kata akhir lain. ia sadar akan kerelatifan kosa kata akhir
Manusia ironis itu bukan berarti ia miliknya sendiri, ia bersedia menghormati
tidak dapat sungguh-sungguh meyakini kosa kata akhir orang lain. Ia bahkan
sesuatu, skeptis total, dan bukanlah orang membuka diri terhadap sentuhan kosa kata
tanpa keyakinan. Melainkan di sini Rorty akhir lain, jadi ada kemungkinan bahwa ia
ingin menegaskan bahwa manusia akan mengubah kosa kata akhirnya sendiri.
ironis adalah orang yang dapat meyakini Versi Liberal dan Komunitarian
sesuatu namun tidak harus fanatik dan Politik Multikultural. Versi liberal politik
eksklusif (bersedia mengakui bahwa orang multikultural tidak cukup memadai untuk
lain bisa saja mempunyai pandangan dan membangun landasan batas toleransi,
keyakinan yang berlainan, yang tidak mesti karena meletakkan individu secara
“kurang benar”).Menurutnya tidak independen dan bebas menentukan dirinya
mungkin kita bertanya, mana dari lepas dari konteks adanya (budaya). Versi
pandangan dan keyakinan-keyakinan itu komunitarian lebih bisa digunakan karena
yang paling benar. individu memang subjek yang penting
untuk diakui dan dilindungi secara hukum,
9
bentuk politik multikultural yang lebih
Diringkas Magnis-Suseno, Franz, ”Richard Rorty: memadai adalah politik komunitarian-
Manusia Ironis Liberal” dlm: 12 Tokoh Etika Abad
ke-20, Jogjakarta: Kanisius, 2000, hal. 239-259. demokratis yang mengakui kelompok
10
Buku ketiga Richard Rorty, “Contingency, Irony budaya atau masyarakat sebagai subyek
and Solidarity”, yang diterbitkan pada tahun 1989
242 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

hukum dan moral. Dalam versi politik komunitarianisme. Gagasan pragmatis dan
multikultural ini individu diakui sebagai non-ideologis dari empan papan
budaya tertanam. Bentuk politik tampaknya lebih sesuai dengan penolakan
multikultural komunitarian ini tidak hanya filsuf Richard Rorty terhadap pembenaran
mengakui kesetaraan hukum atau moral metafisik apa pun pada batas toleransi.
per orang tetapi juga hak masyarakat untuk Bagi Rorty, pembenaran metafisis
berbeda dalam menonjolkan identitas melibatkan kemutlakan obyektif, ahistoris,
budaya mereka. dan universal seperti ajaran agama Kristen,
Menciptakan Solidaritas. hak asasi manusia, atau dialektika sejarah.
”Solidaritas tidak ditemukan melalui Pandangan Rorty tentang batas
refleksi, melainkan diciptakan. Solidaritas toleransi yang didasarkan pada gagasan
diciptakan dengan meningkatkan kepekaan ironis liberal (the liberal ironist) menemui
kita terhadap segi-segi rasa sakit dan kesulitan. Lebih memadai memakai
keterhinaan orang lain, orang yang belum pandangan ideologi komunitarian politik
kita kenal, secara terinci. Kepekaan lebih multikultural. Hal itu nampak dalam
tinggi berarti menjadi lebih sulit untuk penghayatan manusia Jawa dalam falsafah
memarginalisasikan orang-orang yang yang mewujud dalam unen-unen: Ngono
berpikir berbeda dari kita” [CIS XVI]. ya ngono ning aja ngono, artinya manusia
Kita menjadi peka Jawa bisa sekaligus ironis terhadap dirinya
karena bersentuhan dengan hidup orang dan menerima keberadaan orang lain.
lain. Maka untuk membangun solidaritas Penerimaan itu mengandaikan sikap yang
nyata di antara manusia, melampaui batas- bebas mencoba memahami disposisi orang
batas lain. Unen-unen yang lain adalah sawang
”orang kita”, tidak perlu, dan tidak sinawang, sikap tidak menghakimi
berguna, mengajarkan prinsip atau teori- manusia lain. Karena apa yang kelihatan
teori tinggi tentang manusia dan Tuhan. belum tentu mewakili keseluruhan
Yang perlu adalah agar kita belajar ”ikut keberadaan dari manusia lain. Manusia
merasakan”. Karena itu, Rorty berpendapat Jawa menghormati independensi setiap
bahwa filsafat, seni berakal teoretis, tidak individu namun sekaligus meletakkannya
banyak berguna dalam membangun dalam ruang publik. Manusia Jawa tidak
solidaritas. Ia lebih mengharapkan peran pernah menempatkan kesadaran dirinya
para penyair, penulis novel, etnograf, dan secara sendirian, selalu dalam
wartawan [CIS 94]. keberadaannya bersama dengan subyek
yang lain.
TEMUAN-TEMUAN Batas toleransi harus dilembagakan
melalui konsensus opini publik yang
Falsafah empan papan manusia dibangun secara dialogis. Hal itu sangat
Jawa menurut saya bisa membangun mungkin dilakukan karena manusia Jawa
konsensus batas toleransi dalam konteks mempunyai sifat adaptif dengan empan
budaya dan tradisi mereka sendiri. Cita- papan. Membangun kesadaran diri dengan
cita sosial empan papan tampaknya cocok bercermin pada diri dan orang lain.
sebagai kerangka refleksi Indonesia Pengendalian diri manusia Jawa
tentang batas toleransi. Penekanan pada membawanya mampu menghargai pilihan
pendekatan pragmatis dan non-ideologis orang lain. Dalam konteks itu, saya melihat
untuk membangun komunitas berdasarkan bahwa ada dua bentuk ekspresi
kerja sama, timbal balik, dan kesukarelaan absolutisme / sektarianisme yang perlu
tampaknya menjadi alternatif yang diteliti lebih lanjut. Pertama-tama, sifat
menjanjikan bagi ideologi liberalisme dan keyakinan absolut-sektarian. Empan papan
243 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

tidak mungkin mengesampingkan Falsafah di atas sangat nampak dalam


kesadaran manusia lain, keyakinan akan kehidupan keluarga (paseduluran).
diri membuatnya tetap mampu menghargai Paseduluran bisa dimengerti dengan lebih
otonomi orang lain dengan falsafah luas sebagai sesama titah (ciptaan).
sawang sinawang. Keyakinan ini, apakah Dengan demikian jika manusia menghayati
individu atau kolektif, tidak menjadi peduli terhadap sesama tanpa menghakimi;
masalah ketika mereka berada dalam sekaligus memberi kebebasan tanpa
lingkup pribadi. membiarkannya sendirian. Maka batasan
Keyakinan empan papan manusia toleransi manusia ironis liberal Rorty akan
Jawa tentunya berbeda dengan keyakinan menumbuhkan kehidupan bersama yang
ideologis agama-agama. Keyakinan luar biasa bukan dalam hal teori, tetapi
ideologis agama-agama jatuh pada aturan- dalam hidup etis-konkret.
aturan kolektif/publik yang begitu Dengan menghayati falsafah empan
mengikat. Masalah muncul ketika papan, upaya mengembangkan masyarakat
keyakinan secara kolektif diatur dan yang plural dan toleran bisa terwujud. kita
dipromosikan di ruang publik. Falsafah dapat melihat bahwa politik multikultural
empan papan teruji dalam sejarah dengan tunduk pada dua potensi kesulitan yang
adanya proses dialog antara kejawaan mengancam keberhasilan proyek
dengan agama-agama atau budaya yang multikultural. Magnis Suseno tentang
masuk ke Jawa. pemikiran Rorty menuliskan,
Rorty berpendapat bahwa manusia
menjadi peka karena bersentuhan dengan “Yang pertama adalah bahwa politik politik
hidup orang lain. Ngelmu manusia Jawa multikultural gagal mengenali komunitas
didapatkan dengan laku. Kesadaran budaya sebagai subjek hukum dan moral.
manusia Jawa akan dirinya tidak pernah Perlindungan hukum bagi individu tidak
bisa dipisahkan dari hasil sesrawungan menghalangi penyerangan terhadap
minoritas karena masalah ini bukan
dengan manusia lain. Karena ilmu Jawa individu tetapi hak kelompok. Perbedaan
tumbuh dari niteni atas peristiwa dan kelompok bukan hasil dari pilihan individu.
fenomen diri dan sesamanya. Rorty Mereka adalah perbedaan yang tertanam
berpendapat bahwa filsafat, seni berakal secara kultural. Kita tidak dapat melindungi
teoretis, tidak banyak berguna dalam hak kelompok hanya dengan perlindungan
membangun solidaritas. Ia lebih individu. multikultural tunduk pada titik-
mengharapkan peran para penyair, penulis titik buta yang melekat dalam ideologi
novel, etnograf, dan wartawan [CIS 94]. liberal dan komunitarian. Versi liberal
Dengan demikian meneguhkan pendapat Kekerasan terhadap kelompok minoritas
Rorty, lelaku manusia Jawa bisa menjadi seperti Ahmadiyah di Indonesia, misalnya,
pijakan membangun filsafat etis dalam tidak dapat diselesaikan dengan
mengurangi masalah menjadi hak-hak
kehidupan bersama.
individu. Persoalannya adalah pelanggaran
Manusia Jawa tidak mudah terhadap hak kelompok untuk
menghakimi sesama, namun tidak berarti mempraktikkan keyakinannya sendiri yang
tidak peduli dengan sesama. Unen-unen: tertanam secara kultural.”11
diculne sirahe, digondheli buntute hendak
menunjukkan dalam kehidupan bersama Jika manusia sawang sinawang dan
ada batasan-batasan yang tidak boleh menjalankan bener rung mesthi pener
dilanggar. Manusia Jawa sangat maka tidak ada kelompok atau individu
menghormati aturan hidup bersama.
Aturan itu tidak sekaligus sama sekali 11
Magnis-Suseno, Franz, ”Richard Rorty: Manusia
mengekang kebebasan manusia Jawa. Ironis Liberal” dlm: 12 Tokoh Etika Abad ke-20,
Jogjakarta: Kanisius, 2000, hal. 258.
244 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

yang boleh karena kebebasannya dalam budaya dan sejarah Indonesia dan
menghakimi bahkan menindas pihak yang menikmati rasa hormat yang berkelanjutan
lain. di berbagai komunitas Indonesia. Cita-cita
“Sebagaimana telah kita lihat, bentuk- sosial Indonesia tentang gotong rotong
bentuk komunitarian politik multikultural tampaknya cocok untuk kerangka nilai-nilai
yang mengakui kelompok budaya atau bersama.”13
masyarakat sebagai subyek hukum dan Memang falsafah Jawa biasanya diajarkan
moral, bagaimanapun, tunduk pada secara personal. Karena itu dalam konsepsi
ekstremisme politik identitas yang, sering umum yang melahirkan hukum tidak
kali, mendorong bentuk-bentuk tradisional secara jelas bisa digambarkan atau
kekerasan terhadap budaya lain. Penekanan ditunjukkan.
pada hak kelompok dan identitas kelompok, Falsafah empan papan menjadikan
didorong oleh politik multikultural manusia adaptif terhadap situasi dan
komunitarian, dapat digunakan oleh kondisi baru. Rorty juga mengingatkan kita
kelompok-kelompok sektarian atau
bahwa penolakan untuk mengenali
fundamentalis untuk memperkuat identitas
intoleran mereka. Suatu komunitas yang kontigensi dalam sistem kepercayaan kita,
tertutup dan sektarian akan membahayakan sementara mendukung absolutisme
koeksistensi sosial karena intoleransi historis, dapat melahirkan kekerasan dan
terhadap Yang Lain.”12 ketidakadilan. Politik multikultural harus
mengambil langkah yang tegas terhadap
Dengan empan papan manusia Jawa tindakan-tindakan intoleran, baik verbal
dibimbing tidak untuk menonjolkan diri maupun tindakan fisik. Tindakan-tindakan
atau kelompoknya, karena penilaian diri yang mengancam keselamatan publik
berdasarkan kesadaran keberadaannya harus tunduk pada penegakan hukum yang
secara subyektif di hadapan sesama. tidak memihak. Tindakan itu harus diambil
dengan bijak agar tidak menjadi intoleransi
“Yang kedua adalah kegagalan untuk secara baru. Diskusi juga harus memperhatikan
jelas mengartikulasikan batas toleransi apakah perlindungan terhadap hak budaya
melalui konsensus yang disusun secara dapat dikorbankan ketika hak itu
diskursif pada batas toleransi. Kami gagal digunakan untuk menghancurkan
untuk merumuskan batas toleransi secara koeksistensi sosial sama sekali. Meminjam
diskursif seperti dalam keadaan apa kita ide-ide Rorty tentang batas toleransi,
tidak boleh mentoleransi intoleransi. Kita
proyek untuk menyelamatkan
tidak dapat mengatakan apa pun tentang
perilaku intoleran terhadap minoritas multikulturalisme bisa menjadi satu dari
karena tidak ada bentuk toleransi yang dua cara: pertama, kultivasi konsensus
diskursif dan batas-batasnya. Keyakinan politik yang mengecam kelompok
yang tidak toleran dari sebuah komunitas sektarian yang telah terbukti berulang kali
yang mempromosikan kekerasan terhadap melakukan kekerasan terhadap minoritas;
yang lain dapat dilindungi dan kedua, mengkategorikan pidato kebencian
dipertahankan dengan mengacu pada sebagai tindakan yang melanggar hukum.
gagasan toleransi. Akibatnya, tidak ada Pada akhirnya, politik multikultural sangat
konsensus di Indonesia yang dapat penting untuk meminimalkan kekerasan
digunakan untuk mengutuk kekerasan dengan mempromosikan intoleransi
terhadap komunitas seperti Ahmadiyah.
kepada yang tak tertahankan.
Setiap dialog yang mampu membangun
konsensus umum tentang batas toleransi di Falsafah empan papan mewujud
Indonesia harus diinformasikan oleh dalam unen-unen jika dihayati dengan baik
kerangka nilai bersama yang telah muncul akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang

12 13
Ibid. 257 Ibid. 258
245 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

tahu batas, rendah hati, mawas diri, dan akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang
toleran terhadap manusia lain. Menjadi tahu batas, rendah hati, mawas diri, dan
masalah karena kearifan itu, yang begitu toleran terhadap manusia lain. Menjadi
dalam, sudah kurang mengakar di generasi masalah karena kearifan itu, yang begitu
sekarang. Globalisasi menjadi tantangan dalam, sudah kurang mengakar di generasi
tersendiri, karena pertukaran budaya yang sekarang. Globalisasi menjadi tantangan
begitu intens, unen-unen itu bahkan tersendiri, karena pertukaran budaya yang
gemanya sudah kurang terasa apalagi begitu intens, unen-unen itu bahkan
dalam perwujudan etisnya dalam gemanya sudah kurang terasa apalagi
kehidupan sehari-hari. dalam perwujudan etisnya dalam
kehidupan sehari-hari.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Falsafah empan papan menjadikan
manusia adaptif terhadap situasi dan Achmad, Sri Wintala, 2018, Etika Jawa,
kondisi baru. Rorty juga mengingatkan kita Yogyakarta: Araska Publisher
bahwa penolakan untuk mengenali Astari, Gita Putri, Hasyim, Muhammad,
kontigensi dalam sistem kepercayaan kita, Kuswarini, Prasuri. 2019.
sementara mendukung absolutisme Penerjemahan Metafora Novel
historis, dapat melahirkan kekerasan dan “Lelaki Harimau” ke dalam
ketidakadilan. Politik multikultural harus “L‟homme Tigre”. Jurnal Ilmu
mengambil langkah yang tegas terhadap Budaya, 7 (1), 83-93.
tindakan-tindakan intoleran, baik verbal Endraswara, Prof. Dr. Suwardi, M.Hum.,
maupun tindakan fisik. Tindakan-tindakan 2016, Falsafah Hidup Jawa, Jakarta:
yang mengancam keselamatan publik Cakrawala
harus tunduk pada penegakan hukum yang Endraswara, 2014, Berpikir Positif
tidak memihak. Tindakan itu harus diambil Manusia Jawa, Yogyakarta: Narasi.
dengan bijak agar tidak menjadi intoleransi Hasyim, M., Prasuri Kuswarini, P.,
baru. Diskusi juga harus memperhatikan Kaharuddin. 2020. Semiotic Model
apakah perlindungan terhadap hak budaya for Equivalence and Non-
dapat dikorbankan ketika hak itu Equivalence in Translation.
digunakan untuk menghancurkan Humanities & Social Sciences
koeksistensi sosial sama sekali. Meminjam Reviews. 8 (3), 381-391.
ide-ide Rorty tentang batas toleransi, Kaharuddin, Hasyim, Muhammad. 2020.
proyek untuk menyelamatkan The Speech Act of Complaint:
multikulturalisme bisa menjadi satu dari Socio-Cultural Competence Used by
dua cara: pertama, kultivasi konsensus Native Speakers of English and
politik yang mengecam kelompok Indonesian. International Journal of
sektarian yang telah terbukti berulang kali Psychosocial Rehabilitation, 24 (06),
melakukan kekerasan terhadap minoritas; 14016-14028
kedua, mengkategorikan pidato kebencian Magnis-Suseno, Franz, 2000, ”Richard
sebagai tindakan yang melanggar hukum. Rorty: Manusia Ironis Liberal”
Pada akhirnya, politik multikultural sangat dlm: 12 Tokoh Etika Abad ke-20,
penting untuk meminimalkan kekerasan Jogjakarta: Kanisius.
dengan mempromosikan intoleransi Maknun, T., Hasjim, M., Muslimat, M.,
kepada yang tak tertahankan. and Hasyim, M. 2019. The form of
Falsafah empan papan mewujud the traditional bamboo house in the
dalam unen-unen jika dihayati dengan baik
246 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

Makassar culture: A cultural semiotic


study. Semiotica. In press.
Santosa, Iman Budhi, 2011, Laku Prihatin,
Yogyakarta: Memayu Publishing.
Tartono, St. S., 2009, Pitutur Adi
Luhur,Yogyakarta: Pustaka Nusatama.
Riyanto, Armada, CM, 2018,
“Relasionalitas Filsafat Pondasi
Interpretasi: Aku, Teks, Liyan,
Fenomen, Yogyakarta: Kanisius.
Teng, H. Muhammad Bahar Akkase. 2017.
Filsafat Kebudayaan dan Sastra
(Dalam Perspektif Sejarah). Jurnal
Ilmu Budaya, 5 (1), 62-68
Yustinus, Dr. dan Dr. Tjatur raharso (eds.),
2018, Metodologi Riset Studi Filsafat
Teologi, STFT Widya Sasana,
Malang: Dioma.
https://nikolaskristiyantosj.wordpress.com/
2012/08/11/richard-rorty-manusia-ironis-
liberal/ diunduh 4 November 2018.

You might also like