Professional Documents
Culture Documents
Falsafah Empan Papan Berdialog Dengan Richard Rorty Tentang Batas Toleransi
Falsafah Empan Papan Berdialog Dengan Richard Rorty Tentang Batas Toleransi
agusjemik2017@gmail.com
Abstract
The focus of my study is to devise tolerance limits in the Javanese empan papan philosophy frame.
This study is important because there are many incidents of oppression between groups in Indonesia.
Indonesia has a variety of diversity, such as religion, culture and ethnicity. That diversity creates
boundaries in building life together in Indonesia. I used a library research method about Javanese
philosophy of empan papan and dialogued it with Richard Rorty's thoughts. Four board is widely
understood people must consider the location, condition and situation carefully. You can't just talk and
act. Javanese humans place knowledge in the way they are in the expression of ngelmu kanti laku
(knowledge by doing-being in action, and words that are realized). The philosophy of the empan
papan was dialogue with Richard Rorty's thoughts about ironic humans, ironic liberal people and
multicultural communitarian politics. This research brings together East-West tolerance limits,
confirming Richard Rorty's thoughts. Limits of tolerance must be institutionalized through a consensus
of public opinion that is built up dialogically. This is very possible because Javanese people are
adaptive to empan papan. Javanese people respect the independence of each individual but at the same
time place it in the public sphere. Javanese man never puts his self awareness alone, always in his
existence along with other subjects.
Keywords: empan papan, ironically liberal, multicultural politics, tolerance limits
yakni: 5 pertama, sing bisa angon mangsa Dengan demikian ukuran sikap dan
(yang bisa menggembalakan (kemampuan tindakan “ngono” mengandaikan
menggembala) waktu/ situasi). Manusia kesadaran yang mendalam terkait dengan
Jawa hendaklah dalam sesrawungan konteks saat itu. Ukurannya tidak bisa
(pergaulan; perjumpaan/ hubungan sosial) digunakan untuk peristiwa, ruang, waktu,
bisa menempatkan ruang dan waktu. dan subyek lain yang berbeda.
Ruang dan waktu yang dimaksud adalah
situasi dan kondisi orang lain. Sikap dan Melok Nanging Aja Nyolok
tindakan itu diambil karena situasi orang
lain tidak kita ketahui secara pasti, tentang Falsafah madya yang kedua ini
yang sedang dia pikirkan, alami, atau berarti tampak jelas, tetapi jangan terlalu
harapkan. Dengan demikian pembicaraan mencolok. Cara membaca melok, „me‟
dan cara berbicara pun sungguh harus seperti meres (memeras), dan bukan „me‟
diatur. Tidak bisa asal berbicara atau dalam menggok (berbelok). Meskipun
bertindak. Kedua, seje kulit seje anggit dibunyikan dengan cara kedua juga bisa
(setiap orang memiliki pemikiran yang dipahami sebagai arti yang positif, namun
berbeda. Ungkapan itu sepemahaman konteks kata melok dimengerti dengan
dengan seje uwong seje omong (setiap pengucapan cara yang pertama. Melok
orang mempunyai perbedaan tentang yang (tampak) dimengerti sebagai tampak secara
dikatakan dan yang dipikirkan). Sikap wajar, sedangkan nyolok (terlalu tampak)
hidup ini menuntun manusia Jawa dimengerti sebagai tampak secara
menghargai orang lain. Kemampuan itu berlebihan. Penampakkan manusia Jawa
merupakan satu sikap bijaksana. sebagai „aku‟ tidak supaya mendapatkan
Kebijaksanaan yang mewujud dalam pengakuan sebagai orang yang mempunyai
tindakan tidak melukai hati dan perasaan kelebihan. Penilaian sebagai „orang yang
orang lain. mempunyai kelebihan‟ adalah hak subyek
Sikap memperhitungkan apa yang lain. Hal itu tidak pernah menjadi motivasi
mungkin dirasakan dan dipikirkan orang manusia Jawa yang menghayati „melok‟
lain, menjadikan manusia Jawa anoraga tadi.
(merendahkan diri), yang kemudian pada Sebagai contoh: Presiden Jokowi
tahap selanjutnya jika menjadi habitus memenuhi kriteria ini. Beliau tidak
akan berbuah andhap asor (rendah hati). menggembar-gemborkan prestasi dan
Manusia Jawa dilatih agar memiliki sikap kemampuannya kepada masyarakat
demikian dengan beberapa rumusan Indonesia. Media, pengamat dan
negasi, misalnya: 1) sapa sira sapa ingsun, masyarakat yang memberikan penilaian
aja adigang adigung adiguna, dan aja atas kemampuan itu. Jokowi
dumeh (janganlah mengunggulkan diri, menampakkan diri sebagai pribadi yang
merendahkan orang lain, menghina orang sederhana, secara wajar, melakukan
tidak punya); 2) aja mung golek wah ( tugasnya. Dalam konteks ini nyolok bisa
jangan gila pujian, hiduplah sederhana); 3) dimengerti sebagai arogan. Sikap yang
sebaiknya gong lumaku tinabuh ( mewujud dalam bentuk konferensi pers
janganlah mengobral kepandaian); 4) golek yang memberi janji-janji besar dan wah.
menange dhewe ( jangan mencari Jokowi juga tidak menonjol-nonjolkan
kemenangan diri sendiri dengan dirinya sebagai orang yang telah meraih
6
mengorbankan orang lain. banyak kesuksesan dalam perannya
sebagai presiden. Namun semua warga
negara tahu betapa besar jasa dan
5
Bdk. Ibid. hal. 50 kemajuan yang telah dirintisnya.
6
Ibid. hal. 51
238 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294
hukum dan moral. Dalam versi politik komunitarianisme. Gagasan pragmatis dan
multikultural ini individu diakui sebagai non-ideologis dari empan papan
budaya tertanam. Bentuk politik tampaknya lebih sesuai dengan penolakan
multikultural komunitarian ini tidak hanya filsuf Richard Rorty terhadap pembenaran
mengakui kesetaraan hukum atau moral metafisik apa pun pada batas toleransi.
per orang tetapi juga hak masyarakat untuk Bagi Rorty, pembenaran metafisis
berbeda dalam menonjolkan identitas melibatkan kemutlakan obyektif, ahistoris,
budaya mereka. dan universal seperti ajaran agama Kristen,
Menciptakan Solidaritas. hak asasi manusia, atau dialektika sejarah.
”Solidaritas tidak ditemukan melalui Pandangan Rorty tentang batas
refleksi, melainkan diciptakan. Solidaritas toleransi yang didasarkan pada gagasan
diciptakan dengan meningkatkan kepekaan ironis liberal (the liberal ironist) menemui
kita terhadap segi-segi rasa sakit dan kesulitan. Lebih memadai memakai
keterhinaan orang lain, orang yang belum pandangan ideologi komunitarian politik
kita kenal, secara terinci. Kepekaan lebih multikultural. Hal itu nampak dalam
tinggi berarti menjadi lebih sulit untuk penghayatan manusia Jawa dalam falsafah
memarginalisasikan orang-orang yang yang mewujud dalam unen-unen: Ngono
berpikir berbeda dari kita” [CIS XVI]. ya ngono ning aja ngono, artinya manusia
Kita menjadi peka Jawa bisa sekaligus ironis terhadap dirinya
karena bersentuhan dengan hidup orang dan menerima keberadaan orang lain.
lain. Maka untuk membangun solidaritas Penerimaan itu mengandaikan sikap yang
nyata di antara manusia, melampaui batas- bebas mencoba memahami disposisi orang
batas lain. Unen-unen yang lain adalah sawang
”orang kita”, tidak perlu, dan tidak sinawang, sikap tidak menghakimi
berguna, mengajarkan prinsip atau teori- manusia lain. Karena apa yang kelihatan
teori tinggi tentang manusia dan Tuhan. belum tentu mewakili keseluruhan
Yang perlu adalah agar kita belajar ”ikut keberadaan dari manusia lain. Manusia
merasakan”. Karena itu, Rorty berpendapat Jawa menghormati independensi setiap
bahwa filsafat, seni berakal teoretis, tidak individu namun sekaligus meletakkannya
banyak berguna dalam membangun dalam ruang publik. Manusia Jawa tidak
solidaritas. Ia lebih mengharapkan peran pernah menempatkan kesadaran dirinya
para penyair, penulis novel, etnograf, dan secara sendirian, selalu dalam
wartawan [CIS 94]. keberadaannya bersama dengan subyek
yang lain.
TEMUAN-TEMUAN Batas toleransi harus dilembagakan
melalui konsensus opini publik yang
Falsafah empan papan manusia dibangun secara dialogis. Hal itu sangat
Jawa menurut saya bisa membangun mungkin dilakukan karena manusia Jawa
konsensus batas toleransi dalam konteks mempunyai sifat adaptif dengan empan
budaya dan tradisi mereka sendiri. Cita- papan. Membangun kesadaran diri dengan
cita sosial empan papan tampaknya cocok bercermin pada diri dan orang lain.
sebagai kerangka refleksi Indonesia Pengendalian diri manusia Jawa
tentang batas toleransi. Penekanan pada membawanya mampu menghargai pilihan
pendekatan pragmatis dan non-ideologis orang lain. Dalam konteks itu, saya melihat
untuk membangun komunitas berdasarkan bahwa ada dua bentuk ekspresi
kerja sama, timbal balik, dan kesukarelaan absolutisme / sektarianisme yang perlu
tampaknya menjadi alternatif yang diteliti lebih lanjut. Pertama-tama, sifat
menjanjikan bagi ideologi liberalisme dan keyakinan absolut-sektarian. Empan papan
243 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294
yang boleh karena kebebasannya dalam budaya dan sejarah Indonesia dan
menghakimi bahkan menindas pihak yang menikmati rasa hormat yang berkelanjutan
lain. di berbagai komunitas Indonesia. Cita-cita
“Sebagaimana telah kita lihat, bentuk- sosial Indonesia tentang gotong rotong
bentuk komunitarian politik multikultural tampaknya cocok untuk kerangka nilai-nilai
yang mengakui kelompok budaya atau bersama.”13
masyarakat sebagai subyek hukum dan Memang falsafah Jawa biasanya diajarkan
moral, bagaimanapun, tunduk pada secara personal. Karena itu dalam konsepsi
ekstremisme politik identitas yang, sering umum yang melahirkan hukum tidak
kali, mendorong bentuk-bentuk tradisional secara jelas bisa digambarkan atau
kekerasan terhadap budaya lain. Penekanan ditunjukkan.
pada hak kelompok dan identitas kelompok, Falsafah empan papan menjadikan
didorong oleh politik multikultural manusia adaptif terhadap situasi dan
komunitarian, dapat digunakan oleh kondisi baru. Rorty juga mengingatkan kita
kelompok-kelompok sektarian atau
bahwa penolakan untuk mengenali
fundamentalis untuk memperkuat identitas
intoleran mereka. Suatu komunitas yang kontigensi dalam sistem kepercayaan kita,
tertutup dan sektarian akan membahayakan sementara mendukung absolutisme
koeksistensi sosial karena intoleransi historis, dapat melahirkan kekerasan dan
terhadap Yang Lain.”12 ketidakadilan. Politik multikultural harus
mengambil langkah yang tegas terhadap
Dengan empan papan manusia Jawa tindakan-tindakan intoleran, baik verbal
dibimbing tidak untuk menonjolkan diri maupun tindakan fisik. Tindakan-tindakan
atau kelompoknya, karena penilaian diri yang mengancam keselamatan publik
berdasarkan kesadaran keberadaannya harus tunduk pada penegakan hukum yang
secara subyektif di hadapan sesama. tidak memihak. Tindakan itu harus diambil
dengan bijak agar tidak menjadi intoleransi
“Yang kedua adalah kegagalan untuk secara baru. Diskusi juga harus memperhatikan
jelas mengartikulasikan batas toleransi apakah perlindungan terhadap hak budaya
melalui konsensus yang disusun secara dapat dikorbankan ketika hak itu
diskursif pada batas toleransi. Kami gagal digunakan untuk menghancurkan
untuk merumuskan batas toleransi secara koeksistensi sosial sama sekali. Meminjam
diskursif seperti dalam keadaan apa kita ide-ide Rorty tentang batas toleransi,
tidak boleh mentoleransi intoleransi. Kita
proyek untuk menyelamatkan
tidak dapat mengatakan apa pun tentang
perilaku intoleran terhadap minoritas multikulturalisme bisa menjadi satu dari
karena tidak ada bentuk toleransi yang dua cara: pertama, kultivasi konsensus
diskursif dan batas-batasnya. Keyakinan politik yang mengecam kelompok
yang tidak toleran dari sebuah komunitas sektarian yang telah terbukti berulang kali
yang mempromosikan kekerasan terhadap melakukan kekerasan terhadap minoritas;
yang lain dapat dilindungi dan kedua, mengkategorikan pidato kebencian
dipertahankan dengan mengacu pada sebagai tindakan yang melanggar hukum.
gagasan toleransi. Akibatnya, tidak ada Pada akhirnya, politik multikultural sangat
konsensus di Indonesia yang dapat penting untuk meminimalkan kekerasan
digunakan untuk mengutuk kekerasan dengan mempromosikan intoleransi
terhadap komunitas seperti Ahmadiyah.
kepada yang tak tertahankan.
Setiap dialog yang mampu membangun
konsensus umum tentang batas toleransi di Falsafah empan papan mewujud
Indonesia harus diinformasikan oleh dalam unen-unen jika dihayati dengan baik
kerangka nilai bersama yang telah muncul akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang
12 13
Ibid. 257 Ibid. 258
245 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294
tahu batas, rendah hati, mawas diri, dan akan menumbuhkan pribadi-pribadi yang
toleran terhadap manusia lain. Menjadi tahu batas, rendah hati, mawas diri, dan
masalah karena kearifan itu, yang begitu toleran terhadap manusia lain. Menjadi
dalam, sudah kurang mengakar di generasi masalah karena kearifan itu, yang begitu
sekarang. Globalisasi menjadi tantangan dalam, sudah kurang mengakar di generasi
tersendiri, karena pertukaran budaya yang sekarang. Globalisasi menjadi tantangan
begitu intens, unen-unen itu bahkan tersendiri, karena pertukaran budaya yang
gemanya sudah kurang terasa apalagi begitu intens, unen-unen itu bahkan
dalam perwujudan etisnya dalam gemanya sudah kurang terasa apalagi
kehidupan sehari-hari. dalam perwujudan etisnya dalam
kehidupan sehari-hari.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Falsafah empan papan menjadikan
manusia adaptif terhadap situasi dan Achmad, Sri Wintala, 2018, Etika Jawa,
kondisi baru. Rorty juga mengingatkan kita Yogyakarta: Araska Publisher
bahwa penolakan untuk mengenali Astari, Gita Putri, Hasyim, Muhammad,
kontigensi dalam sistem kepercayaan kita, Kuswarini, Prasuri. 2019.
sementara mendukung absolutisme Penerjemahan Metafora Novel
historis, dapat melahirkan kekerasan dan “Lelaki Harimau” ke dalam
ketidakadilan. Politik multikultural harus “L‟homme Tigre”. Jurnal Ilmu
mengambil langkah yang tegas terhadap Budaya, 7 (1), 83-93.
tindakan-tindakan intoleran, baik verbal Endraswara, Prof. Dr. Suwardi, M.Hum.,
maupun tindakan fisik. Tindakan-tindakan 2016, Falsafah Hidup Jawa, Jakarta:
yang mengancam keselamatan publik Cakrawala
harus tunduk pada penegakan hukum yang Endraswara, 2014, Berpikir Positif
tidak memihak. Tindakan itu harus diambil Manusia Jawa, Yogyakarta: Narasi.
dengan bijak agar tidak menjadi intoleransi Hasyim, M., Prasuri Kuswarini, P.,
baru. Diskusi juga harus memperhatikan Kaharuddin. 2020. Semiotic Model
apakah perlindungan terhadap hak budaya for Equivalence and Non-
dapat dikorbankan ketika hak itu Equivalence in Translation.
digunakan untuk menghancurkan Humanities & Social Sciences
koeksistensi sosial sama sekali. Meminjam Reviews. 8 (3), 381-391.
ide-ide Rorty tentang batas toleransi, Kaharuddin, Hasyim, Muhammad. 2020.
proyek untuk menyelamatkan The Speech Act of Complaint:
multikulturalisme bisa menjadi satu dari Socio-Cultural Competence Used by
dua cara: pertama, kultivasi konsensus Native Speakers of English and
politik yang mengecam kelompok Indonesian. International Journal of
sektarian yang telah terbukti berulang kali Psychosocial Rehabilitation, 24 (06),
melakukan kekerasan terhadap minoritas; 14016-14028
kedua, mengkategorikan pidato kebencian Magnis-Suseno, Franz, 2000, ”Richard
sebagai tindakan yang melanggar hukum. Rorty: Manusia Ironis Liberal”
Pada akhirnya, politik multikultural sangat dlm: 12 Tokoh Etika Abad ke-20,
penting untuk meminimalkan kekerasan Jogjakarta: Kanisius.
dengan mempromosikan intoleransi Maknun, T., Hasjim, M., Muslimat, M.,
kepada yang tak tertahankan. and Hasyim, M. 2019. The form of
Falsafah empan papan mewujud the traditional bamboo house in the
dalam unen-unen jika dihayati dengan baik
246 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294