Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

ANEKA PERMASALAHAN MENGENAI PERJANJIAN KAWIN

PENGESAHAN ATAU PENCATATAN

Oleh:

Sylvia Widjaja

Abstract

To make a prenuptial agreement is still considered as taboo by Indonesian couple, although


there has been awareness to make such prenuptial agreement for transnational couple. Marriage
in Indonesia is regulated under Law No. 1 of 1974 on Marriage (“Marriage Law”). The
prenuptial agreement is a term taken from the heading of the 5 th Chapter of Marriage Law,
which consist of only one article, i.e. article 29 paragraph 1, 2, 3 and 4, that only regulates the
period of when the prenuptial agreement shall be made, it’s legality, the time of when it will
enter into force and the possibility to amend such agreement. In other words, Marriage Law
does not describe the definition of prenuptial agreement, and also does not determine matters
that can be agreed upon, which priorly regulated under the Indonesian Civil Code. In relation to
the prenuptial agreement under the Marriage Law, there occur several legal questions, among
others: First, Does the registration officer from the Civil Registration Office will only make
registration of the prenuptial agreement or will he/she also legalizing it?. Second, Does the
prenuptial agreement only regulate assets which originated from the grant and inheritance? And
Last, Why the prenuptial agreement may only be made prior to the marriage, meanwhile the
Marriage Law allows the amendment of the prenuptial agreement?. This research analyzes and
discusses, and will provide answers or views to the above questions, which hopefully could be
helpful and give insight for all readers.

Keywords: Prenuptial Agreement, Civil Registration Office, Marriage Law.

PENDAHULUAN
Perkawinan di Indonesia diatur dalam keabsahannya, saat berlakunya dan dapat
Undang-Undang No 1/Tahun 1974 tentang diubahnya perjanjian itu. Jadi sama sekali
Perkawinan (disingkat UUP). Istilah tidak mengatur tentang materi perjanjian
perjanjian kawin merupakan istilah yang seperti yang diatur dalam Kitab Undang-
diambil dari judul Bab V UU No.1 th 1974 Undang Hukum Perdata Indonesia
(UUP) yang hanya berisi satu pasal, yaitu (KUHPerdata).
pasal 29 yang terdiri dari ayat (1), (2), (3), Perjanjian perkawinan merupakan
dan (4), dimana pengertian tentang perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan
perjanjian perkawinan tidak diperoleh pengantin sebelum perkawinan
penjelasannya, hanya mengatur antara lain dilangsungkan, dimana isi perjanjian yang
tentang kapan perjanjian kawin itu dibuat, dibuat mengikat hubungan perkawinan

83
diantara pasangan tersebut1. Secara umum, mana isinya berlaku juga terhadap pihak
perjanjian perkawinan berisi tentang ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut “.
pengaturan harta kekayaan calon suami-isteri. Adapun pasal 29 ayat (2) UUP
Tujuan dari pembuatan perjanjian perkawinan menyebutkan: “Perjanjian Kawin” tidak
umumnya adalah untuk mengatur akibat - dapat disahkan bilamana melanggar batas -
akibat perkawinan yang menyangkut harta batas hukum, agama dan kesusilaan,
kekayaan. sedangkan Pasal 29 ayat (3) UUP mengatur
Sebelum diundangkannya UU No.1 Tahun bahwa Perjanjian Kawin berlaku sejak
1974 tentang Perkawinan, (selanjutnya dalam perkawinan dilangsungkan.
tulisan ini akan disebut UUP), menurut pasal Redaksi pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan
147 KUHPerdata: “Atas ancaman kebatalan, ayat (3) UUP tersebut dalam praktik
setiap perjanjian perkawinan harus dibuat menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai
dengan akta notaris sebelum perkawinan berikut:
berlangsung. Perjanjian mulai berlaku 1) Apakah kata “disahkan” dalam ayat (1)
semenjak saat perkawinan dilangsungkan, lain pasal 29 mempunyai makna yang sama
saat untuk itu tak boleh ditetaperjanjian dengan kata “dibukukan” ex Pasal 147
kawinannya.” (Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata ? dan Apakah Pegawai
tulisan ini selanjutnya ditulis dengan Pencatat Perkawinan “mengesahkan”
Perjanjian Kawin). atau “membukukan (mencatat)”
Selanjutnya menurut pasal 152 Perjanjian Kawin ?;
KUHPerdata disebutkan: “Ketentuan- 2) Apakah Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUP
ketentuan yang tercantum dalam Perjanjain kini telah berlaku? ;
Kawin yang mengandung penyimpangan dari 3) Kapan mulai berlakunya Perjanjian
persatuan menurut undang-undang seluruhnya Kawin terhadap suami-isteri yang
atau untuk sebagian, tak akan berlaku membuatnya dan terhadap pihak ketiga
terhadap pihak ketiga, sebelum hari tersangkut?
ketentuan-ketentuan itu dibukukan dalam
suatu register umum, yang harus Sehubungan dengan beberapa pertanyaan
diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan tersebut di atas, dalam pembahasan ini akan
pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam diuraikan antara lain:
daerah hukumnya perkawinan itu telah
dilangsungkan, atau jika perkawinan MENGESAHKAN DAN ATAU
berlangsung di luar negeri, di kepaniteraan MEMBUKUKAN (MENCATATKAN)
dimana akta perkawinan dibukukannya“ Dari redaksi pasal 29 ayat (1) UUP yang
Setelah diundangkannya UUP, dalam berbunyi : “yang disahkan oleh Pegawai
pasal 29 ayat (1) UUP disebutkan: “sebelum Pencatat Perkawinan”, jelas bahwa yang
atau pada waktu perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat
kedua pihak atas perjanjian bersama dapat Perkawinan terhadap Perjanjian Kawin
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan adalah “pengesahan”, apalagi kalau kita
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah kaitkan dengan redaksi ayat (3) UUP yang
berbunyi: “Perjanjian Kawin tidak dapat
1
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono Gini Saat disahkan bilamana melanggar batas-batas
Terjadinya Perceraian, Jakarta: Visimedia, 2008, hukum, agama dan kesusilaan.”
hlm.78.

84
APAKAH PENGESAHAN EX PASAL 29 dilangsungkan, tidak mengurangi keabsahan
AYAT (1) UUP MEMPUNYAI MAKNA dan berlakunya Perjanjian Kawin tersebut
YANG SAMA DENGAN PEMBUKUAN terhadap suami-isteri yang bersangkutan oleh
(PENCATATAN) EX PASAL 152 karena pengesahan/pembukuan/pendaftaran
KUHPERDATA? Perjanjian Kawin oleh Pegawai Pencatat
Secara harafiah pengertian hukum dari Perkawinan menurut Pasal 29 ayat (1) UUP
kata “mencatat” atau “membukukan” dalam hanya disyaratkan bagi berlakunya Perjanjian
arti “overschrijven”, seperti yang dimaksud Kawin tersebut terhadap pihak ketiga
dalam pasal 152 KUHPerdata Indonesia terkait.3 Jadi menurut Herlien Budiono,
sebagai syarat bagi berlakunya Perjanjian makna dari kata “pengesahan” ex. Pasal 29
Kawin terhadap pihak ketiga, adalah berbeda ayat (1) UUP adalah sama seperti halnya
maknanya dengan pengertian hukum dari kata dengan makna pasal 52 KUHPerdata.
“mengesahkan” yang berarti “bewilligen” Terlepas dari perbedaan pengertian hukum
seperti yang dimuat dalam pasal 36 antara istilah hukum “pembukuan
KUHDagang (Wetboek van Koophandel) (pencatatan) dalam arti “overschrijving”, dan
Indonesia mengenai pengesahan perseroan “pengesahan” dalam arti “bewilliging”
terbatas sebagai badan Hukum. tersebut diatas, pendapat Herlien Budiono
tersebut dapat kita pahami karena memang
PENDAPAT BAHWA PENGESAHAN EX pada kenyataannya yang dilakukan oleh
PASAL 29 AYAT (1) UUP HARUS Pegawai Pencatat Perkawinan hingga saat ini
DIBACA SEBAGAI PEMBUKUAN bukanlah mengesahkan melainkan hanya
(PENCATATAN) PERJANJIAN KAWIN membukukan (mencatat) Perjanjian Kawin,
Herlien Budiono, berpendapat bahwa karena kata “disahkan” ex pasal 29 ayat (1)
dalam kenyataannya pengesahan Perjanjian UUP hingga kini belum ada peraturan
Kawin oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, pelaksanaannya, sebagaimana akan diuraikan
tidak lebih dari pembukuan (overschrijving). lebih lanjut dibawah ini.
Perjanjian Kawin dalam suatu daftar umum
(openbaar register), dan bahwa kata-kata PENGESAHAN EX PASAL 29 AYAT (1)
“setelah mana isinya berlaku juga terhadap UUP BELUM DAPAT DILAKSANAKAN
pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga KARENA BELUM ADA PERATURAN
tersangkut“pada pasal 29 ayat (1) UUP, PELAKSANAANNYA
menunjukan bahwa pengesahan tersebut Pengesahan ex. pasal 29 ayat (1) UUP
hanya disyaratkan bagi berlakunya Perjanjian belum berlaku karena semua peraturan
Kawin terhadap pihak ketiga yang tersangkut perundang-undangan yang terbit setelah UUP
dan bukan disyaratkan bagi berlakunya hanya mengatur mengenai “pencatatan” dan
Perjanjian Kawin terhadap suami-isteri yang bukan “pengesahan”, sehingga syarat
membuatnya. 2 Adapun belum disahkan, “pengesahan” ex pasal 29 ayat (1) UUP
dibukukan/didaftarkannya akta Perjanjian belum berlaku karena belum ada peraturan
Kawin tersebut di atas oleh Pegawai Pencatat pelaksanaannya.
Perkawinan hingga saat perkawinan Meskipun UUP dalam Pasal 29 ayat (1)
dan (2) menyebutkan mengenai “pengesahan”
Perjanjian Kawin , namun “pengesahan” ex.
2
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata
di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, Bandung: Citra
3
Aditya Bakti, 2010, hlm 1-16. Ibid.

85
pasal 29 ayat (1) dan (2) UUP, harus dianggap perkawinan ( vide surat Kepala Dinas
belum berlaku, karena belum ada peraturan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
pelaksanaannya, mengingat UU, Peraturan Kota Bandung tertanggal 8 Desember
Presiden, dan Peraturan Daerah yang ada 2011 No. 470/1913- Disdukcapil yang
hingga saat ini semuanya mengatur bahwa dalam:
Pencatatan Sipil bukan mengesahkan (i) Angka 2-nya menyebutkan bahwa:
melainkan mencatat/membukukan Perjanjian “Bahwa terhadap Perjanjian
Kawin, hal mana ternyata dari: Perkawinan yang dilaporkan oleh
a) Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Pasal pemohon maka Dinas
1 angka 15 yang berbunyi: “Pencatatan Kependudukan Dan Pencatatan
Sipil adalah pencatatan peristiwa penting Sipil Kota Bandung dahulu Kantor
yang dialami oleh seseorang dalam Catatan Sipil mencatat dalam
register Pencatatan Sipil pada instansi Register Perkawinan pemohon dan
Pelaksana”; didaftarkan di Register Perjanjian
b) Peraturan Presiden Republik Indonesia Perkawinan serta diterbitkan catatan
No. 25 Tahun 2008 tanggal 4 April pinggir”; dan
2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara (ii) Angka 3-nya menyebutkan bahwa:
Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan “sebagai bukti bahwa Perjanjian
Sipil Bab I Ketentuan Umum, yang Perkawinan telah dicatatkan, maka
berbunyi: diterbitkan catatan pinggir yang
i. Pasal 1 angka 14: ”Pencatatan Sipil berisi keterangan tentang
adalah pencatatan peristiwa penting pencatatan Perjanjian Perkawinan
yang dialami seseorang dalam dimaksud”);
register Pencatatan Sipil pada
instansi pelaksana”; Dari redaksi peraturan peraturan
ii. Pasal 1 angka 15 yang berbunyi: perundang-undangan tersebut di atas, ternyata
“Pejabat Pencatatan Sipil adalah bahwa apa yang hingga kini dilakukan
Pejabat yang melakukan pencatatan Catatan Sipil berkenaan dengan Perjanjian
peristiwa penting yang dialami Kawin adalah hanya mencatat (membukukan)
seseorang pada Instansi Pelaksana dan bukan mengesahkan.
yang pengangkatannya sesuai Apabila kita teliti ketentuan pasal 1 angka
dengan Peraturan Perundang- 17 undang-undang No. 23 Tahun 2006 dan
undangan”; Pasal 1 angka16 Peraturan Presiden Republik
c) Peraturan Daerah Kota Bandung No. Indonesia No. 25 Tahun 2008 yang
07 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan keduanya berbunyi:
Administrasi Kependudukan,dan “Peristiwa penting adalah kejadian yang
Peraturan Daerah Kota Bandung No.29 dialami oleh seseorang meliputi
Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan kelahiran, kematian, lahir mati,
Administrasi Kependudukan,yang perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
menurut Dinas Kependudukan Dan pengesahan anak, pengangkatan anak,
Pencatatan Sipil Kota Bandung perubahan nama dan perubahan
merupakan peraturan pelaksanaan dari status kewarganegaraan“, maka nampak
ketentuan pasal 29 ayat (1) Undang- jelas bahwa dalam peristiwa penting yang
Undang No.1 Tahun 1974 tentang dialami seseorang yang dicatat oleh

86
Catatan Sipil tidak disebutkan secara pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
eksplisit mengenai Perjanjian Kawin. tersangkut”.
Ketentuan pasal 29 ayat (3) UUP yang
BERLAKUNYA ISI PERJANJIAN menyebutkan bahwa: “perjanjian tersebut
KAWIN TERHADAP SUAMI-ISTERI berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”,
DAN TERHADAP PIHAK KETIGA tanpa membedakan saat berlakunya
TERSANGKUT Perjanjian Kawin terhadap pasangan suami
Apabila kita hanya melihat redaksi Pasal isteri dan terhadap pihak ketiga tersangkut,
29 UUP, maka dari kata-kata: “setelah mana juga menunjukkan bahwa pengesahan tersebut
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga bukan saja disyaratkan bagi berlakunya
sepanjang pihak ketiga tersangkut”, pada Perjanjian Kawin tersebut terhadap kedua
pasal 29 ayat (1) UUP, orang mungkin mempelai akan tetapi juga bagi pihak ketiga,
berpendapat bahwa pengesahan oleh Pegawai karena bagi kedua-duanya Perjanjian Kawin
Pencatat Perkawinan merupakan syarat bagi sudah harus berlaku sejak saat perkawinan
berlakunya isi Perjanjian Kawin baik terhadap dilangsungkan. UUP tidak menetaperjanjian
suami isteri yang membuatnya maupun kawinan ketentuan seperti yang tercantum
terhadap pihak ketiga tersangkut. dalam Pasal 152 UUP yang mengatur
Demikian pula dari redaksi ayat (2) UUP “pembukuan”(pencatatan) Perjanjian Kawin
yang berbunyi : “Perjanjian tersebut tidak sebagai syarat berlakunya Perjanjian Kawin
dapat disahkan bilamana melanggar batas terhadap pihak ketiga.
batas hukum, agama dan kesusilaan”, nampak Jadi kata “disahkan” pada pasal 29 ayat
bahwa Pegawai Pencatat Perkawinan bukan (1) UUP mempunyai makna yang sama sekali
sekedar mencatat, melainkan benar benar berbeda dengan makna kata “dibukukan”
“mengesahkan” Perjanjian Kawin. Untuk itu (dicatat) pada pasal 152 KUHPerdata.
Pegawai Pencatat Perkawinan berwenang Apa makna sebetulnya dari redaksi Pasal
untuk menolak pengesahan Perjanjian Kawin 29 ayat (2) UUP tersebut, karena bukankah
yang isinya melanggar batas batas hukum, perjanjian yang bertentangan dengan hukum
agama dan kesusilaan. yang bersifat memaksa, agama dan kesusilaan,
Sehubungan dengan penolakan demi hukum (dengan sendirinya) batal.
pengesahan Perjanjian Kawin tersebut, jelas
bahwa “pengesahan” bukan hanya TETAP BERLAKUNYA KETENTUAN
disyaratkan bagi berlakunya isi Perjanjian LAMA
Kawin terhadap pihak ketiga tersangkut, akan Namun sebagaimana telah diuraikan
tetapi juga bagi berlakunya isi Perjanjian tersebut di atas, mengenai “pengesahan” ex
Kawin terhadap suami isteri, karena isi Pasal 29 UUP hingga kini belum dapat
Perjanjian Kawin yang bertentangan dengan dilaksanakan karena belum ada peraturan
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, pelaksanaannya, sehingga untuk berlakunya
tentu saja tidak mungkin dinyatakan tidak Perjanjian Kawin terhadap suami-isteri yang
berlaku bagi pihak ketiga tersangkut, tetapi membuatnya masih diberlakukan ketentuan
dinyatakan berlaku bagi suami-isteri yang lama ex. Pasal 147 ayat (2) KUHPerdata, dan
bersangkutan, hal mana terlihat jelas dari ketentuan mengenai “pembukuan”
dicantumkannya kata “juga” pada redaksi (pencatatan) ex. pasal-pasal 152 KUHPerdata
ayat (1) Pasal 29 UUP yang berbunyi: untuk berlakunya Perjanjian Kawin terhadap
“setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.

87
Mensyaratkan “pengesahan” bagi tersebut mereka pasti telah mengetahui
Perjanjian Kawin yang dibuat suami-isteri adanya Perjanjian yang dibuatnya sehingga
setelah diundangkannya UUP hingga kini menurut pasal 1338 Kitab Undang-Undang
adalah tidak mungkin, karena berdasarkan Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
peraturan perundang-undangan yang Indonesia mengikat sebagai undang-undang
disebutkan tersebut diatas, Pencatatan Sipil bagi pasangan suami-isteri yang membuatnya,
di seluruh Indonesia sejak berlakunya UUP, serta harus dilaksanakan dengan itikad baik;
tidak pernah ”mengesahkan”, melainkan Bandingkan dengan ketentuan pasal 152
hanya “mencatat” (membukukan) Perjanjian Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Kawin, sehingga apabila “pengesahan” (Burgerlijk Wetboek) Indonesia yang hanya
disyaratkan bagi sahnya suatu Perjanjian mensyaratkan pencatatan (pembukuan) bagi
Kawin, maka hal itu akan berakibat sangat berlakunya Perjanjian Kawin bagi pihak
tragis dan tidak masuk akal sama sekali, yaitu ketiga, sedangkan untuk berlakunya
tidak sahnya semua Perjanjian Kawin yang Perjanjian Perkawinan bagi pasangan suami-
dibuat setelah berlakunya UUP, bukan hanya isteri yang membuat Perjanjian Kawin, cukup
terhadap suami–isteri akan tetapi juga disyaratkan bahwa perkawinan telah
terhadap pihak ketiga terkait ,karena berlangsung, sehingga tidak disyaratkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan pencatatan (pembukuan) Perjanjian Kawin.
(peraturan pelaksanaan) yang berlaku, hingga Mengenai hal ini Ko Tjay Sing
saat ini Perjanjian Kawin hanya “dicatat berkomentar sebagai berikut: “Apabila
(dibukukan)” dan bukan disahkan oleh perdjandjian kawin sama sekali tidak diturun
Pencatatan Sipil di seluruh Indonesia. dalam register tersebut atau hanya sebagian
Sehubungan dengan tidak lagi dimuatnya dari ketentuan-ketentuan yang telah diturun,
keharusan pembuatan dengan akta otentik maka pada umumnya (lihatlah kekecualian di
notariil, syarat pengesahan Perjanjian Kawin bawah ini) seluruh perdjanjian kawin, atau
mungkin oleh pembuat UUP dimaksudkan ketentuan-ketentuan yang tidak diturun
guna mencegah praktik pembuatan secara di tidaklah berlaku bagi pihak ketiga. Ini adalah
bawah tangan dengan tanggal mundur, logis karena fihak ketiga yang memeriksa
sehingga keharusan membuat Perjanjian register umum tersebut tidak dapat
Kawin sebelum atau pada saat mengetahuinja”.4 “Apabila suami dan isteri
dilangsungkannya perkawinan sebagaimana tidak menghendaki, bahwa perdjandjian
ditetapkan dalama perjanjian kawin dalam kawin akan berlaku bagi fihak ketiga, maka
ayat (1) pasal 29 UUP dengan mudah dapat seluruh perdjandjian kawin tidak harus
diselundupi. diturun dalam register tersebut. Djika mereka
Fungsi “pencatatan” dalam register umum menghendaki, agar hanja beberapa ketentuan
adalah untuk memenuhi azas “publisitas” ketentuan dari perdjanjian berlaku terhadap
yaitu agar adanya Perjanjian Kawin diketahui fihak ketiga, maka hanja ketentuan-ketentuan
oleh pihak ketiga sehingga dapat diberlakukan itu jang harus diturun dalam register tersebut.
terhadap pihak ketiga terkait. Terserah kepada suami-isteri apa yang mereka
Fungsi “publisitas” dari “pencatatan” tidak hendak membukukan, mereka tidak berwajib
mungkin disyaratkan bagi berlakunya
Perjanjian Kawin terhadap suami-isteri yang
4
membuatnya, karena dengan membuat dan Ko Tjay Sing , Hukum Perdata Jilid I, Hukum
Keluarga (Diktat Lengkap), Semarang: Etikad Baik,
menandatangani sendiri Perjanjian Kawin 1981, hlm. 251-252.

88
mengadakan pembukuan tersebut, asal mereka sesuatu yang tidak benar7. Dengan
bersedia memikul akibat-akibatnja”.5 berpangkal kepada hal tersebut diatas A.
“Di atas dikatakan bahwa ketentuan- Pitlo berpendirian bahwa akibat-akibat
ketentuan dalam perdjanjian kawin jang tidak Perjanjian Kawin terhadap pihak ketiga harus
diturun dalam register umum, tidak berlaku kita bedakan menurut sifat ketentuan-
bagi fihak ketiga. Ini berarti bahwan suami ketentuan yang dimuat dalam Perjanjian
dan/atau isteri tidak boleh menggunakan Kawin itu sendiri.
ketentuan-ketentuan itu terhadap fihak ketiga, Sekiranya ada ketentuan-ketentuan dalam
tetapi sebaliknja fihak ketiga jang kemudian akibat Perjanjian Kawin yang bersifat
(j.i, setelah mereka mengadakan hubungan materieel-rechtelijk, artinya dengan ketentuan
hukum dengan suami dan/atau isteri) dalam Perjanjian Kawin timbul suatu keadaan
mengetahui adanja perdjandjian kawin dan harta kekayaan tertentu; misalnya suami-isteri
isinja, boleh menggunakan ketentuan- kawin dengan persatuan yang terbatas atau
ketentuan itu terhadap suami dan/atau isteri, sama sekali tidak ada persatuan harta
seolah-olah ketentuan-ketentuan tersebut telah kekayaan, maka terhadap hal ini pihak ketiga
diumumkan dalam register tersebut”. (Hoge sepenuhnya sejak saat pendaftaran Perjanjian
Raad tgl18 -2-1916 N.J. 1916, hal. 513, Kawin itu.
W.P.N.R 2464). Akan tetapi ada ketentuan-ketentuan
“Djadi fihak ketiga boleh menganggap, dalam Perjanjian Kawin bersifat lain yakni
bahwa ketentuan-ketentuan jang tidak yang mengenai pernyataan suami isteri
diumumkan tadi sebagai ada atau tidak ada. mengenai pembuktian barang barang asal
Pada umumnja ketentuan-ketentuan mereka masing masing. Dalam hal ini adalah
perdjanjian kawin jang tidak diumumkan, mungkin saja apa yang dinyatakan dalam
dengan demikian dapat menguntungkan, Perjanjian Kawin itu berlainan dengan hal
tetapi tidak merugikan fihak ketiga”. “Akan yang sebenarnya. Yang menjadi persoalan,
tetapi bila suami atau isteri bisa membuktikan, apakah dalam hal yang demikian itu pihak
bahwa ketentuan-ketentuan jang tidak ketiga - sesudah pendaftaran itu - terikat juga
diumumkan tadi, diketahui oleh fihak ketiga kepada pernyataan suami-isteri itu, ataukah
sebelum atau pada saat mereka mengadakan pihak ketiga dapat mengabaikan pernyataan
hubungan hukum dengan suami dan/atau suami-isteri yang demikian itu?
isteri, maka ketentuan-ketentuan itu berlaku Menurut A. Pitlo, dalam hal yang
terhadap fihak ketiga jang mengetahuinja”.6 demikian, hakimlah yang menentukan sampai
Mengenai persoalan apakah pihak ketiga sejauh mana pihak ketiga terikat pada
terikat pada tiap-tiap ketentuan dalam pernyataan suami isteri itu. Seperti pada tiap-
Perjanjian Kawin yang didaftarkan, A. Pitlo tiap akta, maka akta Perjanjian Kawin
berpendapat bahwa undang-undang yang mempunyai kekuatan pembuktian bebas (vrije
menentukan kewajiban pendaftaran itu. bewijskracht) terhadap pihak ketiga.8
Kewajiban pendaftaran itu adalah untuk Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU
melindungi kepentingan pihak ketiga, bukan No.1 Tahun 1974, seperti halnya Pasal 147
untuk memberikan kesempatan kepada suami Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
isteri untuk mengikat pihak ketiga dengan
7
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin,
Hukum Orang Dan Keluarga, cetakan kelima,
5
Ibid. Bandung: Alumni, 1986, hlm.84-85.
6 8
Ibid. Ibid.

89
Indonesia, terhadap suami-isteri, tanpa keterlambatan mana kebanyakan disebabkan
disyaratkan keharusan karena:
pendaftaran/pencatatan/ pembukuan terlebih (i) Ketidak tahuan bahwa Perjanjian Kawin
dahulu, Perjanjian Kawin harus dianggap sejak berlakunya undang undang
telah berlaku sejak dilangsungkannya tersebut tidak lagi dicatatkan /
perkawinan mereka . dibukukan / didaftarkan pada Panitera
Pengadilan, melainkan pada Pencatatan
TIDAK ADA LAGI PERSYARATAN Sipil; dan
BENTUK OTENTIK NOTARIIL BAGI (ii) Sebagai akibat penolakan yang pada
PERJANJIAN KAWIN masa yang lalu banyak dilakukan oleh
Pasal 29 ayat (1) hanya mensyaratkan agar Pencatatan Sipil terhadap permohonan
Perjanjian Kawin dibuat secara tertulis, tidak pencatatan perkawinan dari Penghayat
seperti B.W. (KUHPerdata) yang Kepercayaan, penolakan ma Perjanjian
mensyaratkan bahwa Perjanjian Kawin harus Kawin na berakibat bahwa permohonan
dibuat secara otentik notariil. pencatatan/pembukuan Perjanjian
Tidak disyaratkannya pembuatan Kawin yang dibuat oleh Penghayat
Perjanjian Kawin secara notariil (otentik) Kepercayaan juga ditolak oleh Pencatat
dalam Pasal 29 ayat (1) UUP, membuka Sipil;
peluang bagi terjadinya pelanggaran terhadap
keharusan pembuatan Perjanjian Kawin Menurut Pasal 2 ayat (1) UUP Tentang
sebelum atau pada waktu dilangsungkannya Perkawinan: “Perkawinan adalah sah apabila
perkawinan, dengan cara pembuatan dilakukan menurut hukum masing-masing
Perjanjian Kawin secara di bawah tangan agamanya dan kepercayaannya itu”. Adapun
dengan tanggal mundur, hingga tanggal Pasal 2 ayat (2) UUP tersebut yang berbunyi:
sebelum atau pada waktu dilangsungkannya “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut aturan
perkawinan. perundang-undangan yang berlaku”, menurut
Dengan disyaratkannya “pengesahan” oleh Jurisprudensi Mahkamah Agung R.I. hanya
Pegawai Pencatat Perkawinan sebagai syarat bersifat administratif.
berlakunya Perjanjian Kawin baik bagi Tentang hal ini, Mahkamah Agung R.I.
pasangan suami-isteri maupun pihak ketiga, dalam keputusannya tanggal 22 Juli 1991
(apabila di kemudian hari telah ada peraturan Reg. No. 2147/Pid/1988 memutuskan bahwa:
pelaksanaannya), maka pelanggaran hukum ”Perkawinan yang telah dilangsungkan
berupa pembuatan perjanjian perkawinan menurut hukum agamanya dan
secara di bawah tangan dengan tanggal kepercayaannya adalah sah menurut ketentuan
mundur, dapat dicegah. pasal 2 ayat 1 UUP dan masalah tidak
dicatatkannya perkawinan yang sudah sah itu
PENOLAKAN PEMBUKUAN sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) UUP,
(PENCATATAN) PERJANJIAN KAWIN tidaklah menjadikan perkawinan tersebut
Sejak berlakunya UUP, banyak terjadi menjadi tidak sah.
penolakan terhadap permohonan Pendirian Mahkamah Agung ini kemudian
pencatatan/pembukuan Perjanjian Kawin yang dipertegas lagi dengan yurisprudentie
hingga setelah dilangsungkannya Mahkamah Agung tanggal 4 Pebruari 1995
perkawinan terlambat dicatat/dibukukan, Reg. No.1073K/Pdt/1994. Jadi saat mulai
“exist”nya perkawinan bukan saat

90
pencatatannya oleh pegawai pencatat dalam UUP memungkinkan dibuat
perkawinan, melainkan saat dilangsungkannya perubahan?
pemberkatan perkawinannya menurut agama
dan kepercayaannya. Dapat dilihat dari uraian-uraian diatas
Dalam hal fungsionaris agama yang yang pada intinya:
memberkati perkawinan bukan merangkap
sebagai pegawai pencatat perkawinan, Apakah petugas pencatat Catatan sipil
sehingga pemberkatan perkawinannya melakukan pengesahan atau pencatatan
terlebih dahulu dilangsungkan oleh atas perjanjian kawin yang dibuat?;
fungsionaris agama yang berwenang, baru
kemudian dicatat oleh pegawai pencatat Dari redaksi pasal 29 ayat (1) UUP yang
perkawinan, dengan demikian pencatatan berbunyi : “yang disahkan oleh Pegawai
Perjanjian Kawin pun dilakukan setelah Pencatat Perkawinan”, jelas bahwa yang
pemberkatan perkawinan yang bersangkutan, harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat
dan bukan sebelum atau bersamaan waktunya Perkawinan terhadap Perjanjian Kawin
dengan pemberkatan perkawinan. adalah “pengesahan”, apalagi kalau kita
Dalam kasus-kasus penolakan pencatatan kaitkan dengan redaksi ayat (3) UUP yang
tersebut diatas, atas permohonan pemohon, berbunyi: “Perjanjian Kawin tidak dapat
Pengadilan selalu menerbitkan Penetapan disahkan bilamana melanggar batas-batas
yang memerintahkan Dinas Kependudukan hukum, agama dan kesusilaan.”
Dan Pencatatan Sipil (dahulu Catatan Sipil) Secara harafiah pengertian hukum dari
untuk mencatat/mendaftarkan/membukukan kata “mencatat” atau “membukukan” dalam
akta-akta Perjanjian Perkawinan yang arti “overschrijven”, seperti yang dimaksud
terlambat dicatat/dibukukan tersebut pada dalam pasal 152 KUHPerdata Indonesia
register untuk keperluan tersebut pada Kantor sebagai syarat bagi berlakunya Perjanjian
Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kawin terhadap pihak ketiga, adalah berbeda
(dahulu Catatan Sipil (antara lain Penetapan maknanya dengan pengertian hukum dari kata
Pengadilan Negeri Surakarta tertanggal 05 “mengesahkan” yang berarti “bewilligen”
Mei 2011 No. 53/Pdt.P/2011/PN.Ska)). seperti yang dimuat dalam pasal 36
KUHDagang (Wetboek van Koophandel)
PENUTUP Indonesia mengenai pengesahan perseroan
Mengenai beberapa pertanyaan terbatas sebagai badan Hukum.
sehubungan dengan perjanjian kawin Adapun belum disahkan,
dikaitkan dengan adanya UUP yang mengatur dibukukan/didaftarkannya akta Perjanjian
tentang perkawinan antara lain: Kawin tersebut di atas oleh Pegawai Pencatat
i. Apakah petugas pencatat Catatan sipil Perkawinan hingga saat perkawinan
melakukan pengesahan atau pencatatan dilangsungkan, tidak mengurangi keabsahan
atas perjanjian kawin yang dibuat? dan berlakunya Perjanjian Kawin tersebut
ii. Apakah perjanjian kawin hanya mengatur terhadap suami-isteri yang bersangkutan oleh
harta yang berasal dari hibah dan waris karena pengesahan/pembukuan/pendaftaran
saja? Perjanjian Kawin oleh Pegawai Pencatat
iii. Mengapa perjanjian kawin hanya boleh Perkawinan menurut Pasal 29 ayat (1) UUP
dibuat sebelum perkawinan sedangkan hanya disyaratkan bagi berlakunya Perjanjian
Kawin tersebut terhadap pihak ketiga

91
terkait. menurut Herlien Budiono yang telah “Peristiwa penting adalah kejadian yang
disebutkan di atas, makna dari kata dialami oleh seseorang meliputi
“pengesahan” ex. Pasal 29 ayat (1) UUP kelahiran, kematian, lahir mati,
adalah sama seperti halnya dengan makna perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
pasal 52 KUHPerdata. pengesahan anak, pengangkatan anak,
Terlepas dari perbedaan pengertian hukum perubahan nama dan perubahan
antara istilah hukum “pembukuan status kewarganegaraan“, maka nampak
(pencatatan) dalam arti “overschrijving”, dan jelas bahwa dalam peristiwa penting yang
“pengesahan” dalam arti “bewilliging” dialami seseorang yang dicatat oleh
tersebut diatas, pendapat Herlien Budiono Catatan Sipil tidak disebutkan secara
tersebut dapat kita pahami karena memang eksplisit mengenai Perjanjian Kawin.
pada kenyataannya yang dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan hingga saat ini PENDAPAT BAHWA PERJANJIAN
bukanlah mengesahkan melainkan hanya KAWIN HANYA MUNGKIN
membukukan (mencatat) Perjanjian Kawin, DIADAKAN MENGENAI HARTA YANG
karena kata “disahkan” ex pasal 29 ayat (1) DIMAKSUDKAN DALAM PASAL 35
UUP hingga kini belum ada peraturan AYAT 2 UU No.1 TAHUN 1974 `
pelaksanaannya.Pengesahan ex. pasal 29 ayat Pendapat ini didasarkan pada redaksi:
(1) UUP belum berlaku karena semua “sepanjang para pihak tidak menentukan lain”
peraturan perundang-undangan yang terbit pada akhir pasal 35 ayat (2) UUP.
setelah UUP hanya mengatur mengenai Redaksi tersebut oleh sementara pihak
“pencatatan” dan bukan “pengesahan”, ditafsirkan seakan-akan Perjanjian Kawin
sehingga syarat “pengesahan” ex pasal 29 hanya boleh dibuat mengenai harta yang
ayat (1) UUP belum berlaku karena belum ada disebutkan dalam pasal 35 ayat 2 UUP, yaitu
peraturan pelaksanaannya. harta bawaan dan harta yang berasal dari
Meskipun UUP dalam Pasal 29 ayat (1) hibah atau warisan.
dan (2) menyebutkan mengenai “pengesahan”
Perjanjian Kawin , namun “pengesahan” ex. PENDAPAT PAKAR HUKUM
pasal 29 ayat (1) dan (2) UUP, harus dianggap R. Subekti, Guru Besar Hukum Perdata
belum berlaku, karena belum ada peraturan dan Mantan Ketua Mahkamah Agung R.I.,
pelaksanaannya, mengingat UU, Peraturan menulis sebagai berikut: “Baik KUHPerdata
Presiden, dan Peraturan Daerah yang ada maupun Undang-undang Perkawinan
hingga saat ini semuanya mengatur bahwa mengenal apa yang dinamakan perjanjian
Pencatatan Sipil bukan mengesahkan perkawinan Itu adalah suatu perjanjian
melainkan mencatat/membukukan Perjanjian mengenai harta benda suami-isteri selama
Kawin, sehingga apa yang hingga kini perkawinan mereka, yang menyimpang dari
dilakukan Catatan Sipil berkenaan dengan asas atau pola yang ditetapkan dalam
Perjanjian Kawin adalah hanya mencatat perjanjian kawinan oleh undang-undang”.9
(membukukan) dan bukan mengesahkan. Demikian pula Mr. Ko Tjay Sing
Apabila kita teliti ketentuan pasal 1 angka menyebutkan: “Ketentuan ketentuan undang-
17 undang-undang No. 23 Tahun 2006 dan undang mengenai harta kekayaan suami dan
Pasal 1 angka16 Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 25 Tahun 2008 yang 9
R.Subekti, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga Dan
keduanya berbunyi: Hukum Waris, Jakarta: Intermasa, 1990, hlm. 8-9 .

92
isteri yang dimaksudkan di atas untuk Sebagai perbandingan dapat kita lihat
sebagian tidak merupakan hukum memaksa. ketentuan pasal 139 KUH Perdata yang
Suami dan isteri boleh menyimpang dari mengatur bahwa dengan Perjanjian Kawin,
ketentuan ketentuan tersebut10 (lihatlah pasal kedua calon suami isteri adalah berhak
105 ayat (3), 119 ayat (1), 124 ayat (2) jo. 140 menyiaperjanjian kawinan beberapa
ayat (3) KUHPerdata). penyimpangan dari peraturan undang-
Juga dalam redaksi Pasal 139 undang sekitar persatuan harta kekayaan.
KUHPerdata disebutkan: “Dengan Dari bunyi pasal 139 KUHPerdata
mengadakan Perjanjian Kawin, kedua calon tersebut nampak jelas bahwa pembuat
suami-isteri adalah berhak menyiaperjanjian undang- undang berpendapat bahwa peraturan
kawinan beberapa penyimpangan dari undang-undang mengenai persatuan harta
peraturan undang-undang sekitar persatuan kekayaan i.c. pasal 119 KUHPerdata bukan
harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak merupakan peraturan undang–undang yang
menyalahi tata susila yang baik atau tata bersifat memaksa (dwingend recht) melainkan
tertib umum...” bersifat mengatur, sehingga dapat disimpangi
dengan dengan Perjanjian Kawin.
PASAL 35 (1) UUP BUKAN
MERUPAKAN DWINGEND RECHT KEHARUSAN MEMBUAT PERJANJIAN
(PERATURAN YANG BERSIFAT KAWIN SEBELUM ATAU PADA SAAT
MEMAKSA) SEHINGGA BOLEH PERKAWINAN SERTA PERUBAHAN
DISIMPANGI DENGAN PERJANJIAN PERJANJIAN KAWIN SELAMA
KAWIN PERKAWINAN BERLANGSUNG
Tentu saja penyimpangan dalam Menurut Pasal 149 KUHPerdata : “
Perjanjian Kawin hanya dimungkinkan Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian
terhadap ketentuan yang bersifat mengatur perkawinan dengan cara bagaimanapun, tak
dan bukan terhadap ketentuan yang bersifat boleh diubah “, Pasal 29 ayat (1) UUP
memaksa. mengharuskan Perjanjian Kawin dibuat
Apabila kita lihat pasal 35 ayat (1) sebelum atau pada saat perkawinan
UUP, disana tidak kita jumpai redaksi yang dilangsungkan atau dengan perkataan lain
menyatakan bahwa ketentuan tersebut suatu Perjanjian Kawin tidak boleh dibuat
merupakan ketentuan yang bersifat sepanjang perkawinan.
memaksa (dwingend), sehingga boleh saja Keharusan membuat Perjanjian Kawin
dikesampingkan dengan Perjanjian Kawin. sebelum atau pada waktu perkawinan
Hal tersebut juga ternyata dari redaksi disebabkan karena pembuat undang-undang
pasal 47 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menganut azas bahwa status hukum harta
yang berbunyi sebagai berikut: benda perkawinan selama perkawinan tidak
“(2) Perjanjian tersebut dalam dalam ayat boleh berubah. Tentang hal ini Ko Tjay
(1) dapat meliputi percampuran harta pribadi menguraikan bahwa pembuat undang undang
dan pemisahan harta pencaharian masing menghendaki agar sejak dilangsungkannya
masing sepanjang hal itu tidak bertentangan perkawinan diketahui pasti apakah telah
dengan hukum Islam”. dibuat Perjanjian Kawin dan isinya.11
Demikian pula pembuat undang-undang

10 11
Supra Note 5, hlm. 238. Ibid, hlm. 243.

93
tidak menghendaki bahwa setelah Pada pasal 118 Buku 1 BW Belanda
dilangsungkannya perkawinan diadakan memungkinkan pembuatan atau perubahan
perubahan terhadap Perjanjian Kawin yang suatu Perjanjian Kawin setelah suatu
berakibat timbulnya ketidakpastian hukum perkawinan dilangsungkan, asalkan
bagi pihak ketiga yang mengadakan hubungan perkawinan tersebut telah berlangsung
hukum dengan suami dan/isteri yang sekurang-kurangnya satu tahun dan untuk
bersangkutan. pembuatan atau perubahan Perjanjian Kawin
Di Belanda prinsip/azas tentang tidak sepanjang perkawinan tersebut diperlukan izin
dapat diubahnya Perjanjian Kawin setelah (persetujuan) Pengadilan (pasal 119 ayat (1)
dilangsungkannya perkawinan telah Buku 1 BW Belanda). Hakim berwenang
dilepaskan. Menurut Undang-Undang tahun untuk menolak untuk memberikan izin
1956, Perjanjian Kawin boleh dibuat atau (persetujuan) tersebut apabila pembuatan
diubah setelah perkawinan berlangsung, atau perubahan tersebut tidak mempunyai alas
asalkan perkawinan telah berlangsung an yang berdasar atau terdapat bahaya bahwa
sekurang-kurangnya 3 tahun dan dengan izin pembuatan atau perubahan Perjanjian Kawin
Pengadilan (Pasal 203 dan 204)yang tersebut akan merugikan pihak ketiga.
kemudian diubah menjadi sekurang- Selanjutnya dalam ayat (4) dari pasal 119
kurangnya 1 tahun. Juga dikhawatirkan, Buku 1 BW Belanda tersebut disebutkan
bahwa karena pengaruh suami, isteri akan bahwa apabila akta Perjanjian Kawin atau
menyetujui perubahan terhadap Perjanjian perubahannya tersebut tidak dibuat dalam
Kawin yang sebenarnya tidak dikehendaki waktu tiga bulan sejak penetapan pengadilan
oleh isteri.12 yang memuat pemberian izin (persetujuan)
Tentang hal tersebut Mr. E.A.A Luijten itu mempunyai kekuatan hukum yang pasti
menguraikan bahwa menurut Pasal 114 ayat untuk dilaksanakan, maka izin (persetujuan)
(1) Nieuw Burgerlijk Wetboek diatur bahwa tersebut gugur.
Perjanjian Kawin dapat dibuat baik oleh calon Pasal 29 ayat (4) UUP mengatur bahwa
suami isteri sebelum perkawinan maupun oleh selama perkawinan berlangsung Perjanjian
suami isteri sepanjang perkawinan.13 Azas Kawin tidak dapat diubah, kecuali bila dari
tidak boleh berubahnya status hukum harta kedua belah pihak ada perjanjian untuk
benda perkawinan sepanjang perkawinan mengubah dan perubahan tidak merugikan
sekarang telah hilang sama sekali (telah pihak ketiga. Dengan dimungkinkannya
ditinggalkan sama sekali). Dalam masyarakat perubahan Perjanjian Kawin selama
modern orang berpendapat tidak lagi ada perkawinan menurut pasal 29 ayat (4) UUP,
alasan untuk mempertahankan (memegang maka sebetulnya keharusan untuk membuat
teguh) azas tersebut yang sebagian besar atau merubah Perjanjian Kawin sebelum atau
ditopang oleh kecemasan pembuat undang- pada saat perkawinan, menjadi tidak berdasar
undang mengenai posisi wanita (isteri) lagi. Mengenai ketentuan pasal 29 ayat (4)
terhadap kewenangan suami yang berlebihan UUP tersebut ada yang berpendapat bahwa
yang dapat merugikan istri. mengingat adanya persyaratan bahwa
perubahan tersebut tidak boleh merugikan
pihak ketiga, maka praktis perubahan
12
Ibid. Perjanjian Kawin sepanjang perkawinan
13
Mr. E.A.A Luijten, Het Personen En Familierecht in tersebut tidak mungkin dilakukan karena
het Nieuwe Burgerlijk Wetboek, Tjeenk Willink-
Zwolle, 1970, hlm. 97.
apakah perubahan tersebut akan merugikan

94
pihak ketiga atau tidak, hal tersebut belum
dapat diketahui pada waktu perubahan Ko Tjay Sing , Hukum Perdata Jilid I,
tersebut dibuat. Hukum Keluarga (Diktat Lengkap),
Penafsiran sedemikian jelas bertentangan Semarang: Etikad Baik, 1981.
dengan redaksi Pasal 29 ayat (4) UUP yang
secara tegas memperkenankan perubahan R.Subekti, Ringkasan Tentang Hukum
Perjanjian Kawin sepanjang Keluarga Dan Hukum Waris, Jakarta:
perkawinan.Pendapat lain mengatakan bahwa Intermasa, 1990.
perubahan Perjanjian Kawin sepanjang
perkawinan secara tegas dimungkinkan R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis
menurut pasal 29 ayat (4) UU No. 1 Safioedin, “Hukum Orang Dan
Tahun 1974, adapun untuk memenuhi Keluarga“, cetakan kelima, Bandung:
persyaratan bahwa perubahan tersebut tidak Alumni, 1986.
boleh merugikan pihak ketiga, cukup dalam
perubahan Perjanjian Kawin tersebut dimuat .
suatu clausula yang mengatur bahwa
perubahan tersebut tidak berlaku terhadap
pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga yang
bersangkutan dirugikan oleh perubahan
Perjanjian Kawin tersebut. Ini berarti bahwa
perubahan Perjanjian Kawin tersebut tetap
berlaku bagi pihak ketiga yang tidak dirugikan
oleh perubahan tersebut.
Dengan demikian ketiga permasalahan
tersebut harus dijelaskan agar tidak merusak
semua peraturan hukum dengan adanya
penafsiran dan pelaksanaan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

E.A.A Luijten, Het Personen En Familierecht


in het Nieuwe Burgerlijk Wetboek,
Tjeenk Willink-Zwolle, 1970 .

Happy Susanto, Pembagian Harta Gono Gini


Saat Terjadinya Perceraian, Jakarta:
Visimedia, 2008.

Herlien Budiono, “Kumpulan Tulisan Hukum


Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku
Kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010.

95

You might also like