Ipi 256645

You might also like

Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 6
IMPLIKAS| KEBERADAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 BAGI SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA. Ismail Saleh, Nisa Restika, Septina Fadia Putri Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (ismail.shaleh@ymail.com) Abstract This paper discusses how the presence of a legal protection regarding the existence of law No. 4 of 2009 for the coal mining sector. Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal mining has changed the pattern of activity in Indonesia with the abandonment of the system and the Contract of Work Mining into the licensing system. Another change on the mining concession arrangements include the existence of regulation of mining areas, mining deformation, loss of differential treatment between domestic enterprises and enterprises with foreign capital. Keywords: Coal mining, Contract of Work, Licensing system. Abstrak Tulisan ini membahas tentang bagaimana suatu perlindungan hukum mengenai Kehadiran keberadaan undang-undang nomor 4 tahun 2009 bagi soktor pertambangan batubara. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah merubah pola kegiatan pertambangan di Indonesia dengan ditinggalkannya sistem Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya menjadi sistem perizinan. Perubahan lain mengenai pengaturan pengusahaan pertambangan antara lain meliputi adanya Pengaturan wilayah pertambangan, perubahan bentuk usaha pertambangan, hilangnya perbedaan perlakuan antara badan usaha domestik dan badan usaha dengan modal asing. Kata Kunci: Pertambangan batubara, Kontrak Karya, Sistem Perizinan. A. Pendahuluan Pertambangan sebagai salah satu industri yang masuk ke dalam kelompok sumber daya ‘alam, berpotensi menjadi instrumen penting dalam mencapai kemakmuran rakyat. Peran Negara sebagai aktor utama dalam pengusahaan dan penguasaan bidang pertambangan ini sangatlah besar. Dari sudut pandang ketatanegaraan, ada 3 (tiga) bentuk keterlibatan Negara dalam pengelolaan sumber daya mineral, yakni pengaturan (regulasi), pengusahaan (mengurus), dan pengawasan. Dalam aspek pengusahaan, karena karakteristik sumber daya ‘alam yang unik, pengusahaannya tidak semuanya dapat dilakukan oleh pemerintah, sehingga emerintah dapat melimpahkannya kepada badan hukum swasta atau perorangan dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia, Namun aspek pengaturan merupakan aspek yang paling utama karena merupakan hak mutlak Negara yang tidak boleh diserahkan kepada swasta (Adrian Sutedi, 2011: 24). 52. Privat Law Vol. 1! No § Juli - Oktober 2014 Dalam bidang pertambangan umum seperti pertambangan emas, tembaga, dan perak, sistem kontrak yang digunakan adalah Kontrak Karya (KK) yang mulai dikenal pada tahun 1967 dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Salim H.S., 2008: 10). Kontrak Karya (KK), Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP28), dan Kuasa Pertambangan (KP) adalah jenis-jenis kerjasama antara swasta dan negara yang dapat dilakukan atau dikenal dalam bidang usaha pertambangan. Kontrak Karya (KK) Perjanjian Kerjasama Pengusahaan, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang jeral dan Batubara, yang di desain sebagai penyempumaan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan Umum merupakan Undang-Undang produk bangsa Indonesia yang ahrus kita laksanakan. Bila UU No. 11 Tahun 1967 merupakan rezim Kontrak dengan skala pertambangan besar, maka UU No. 4 Tahun 2009 adalah merupakan rezim perijinan dengan skala pertambangan menengah ke kecl. Implikasi Keberadaan Undang-Undang Ciri rezim perijinan dengan skala pertambangan menengah ke kecil, adalah tidak adanya kesetaraan para pihak, dan skala pertambangannya menjadi menengah ke kecll. Ciri tersebut berimplikasi pada; industri tambang Indonesia tidak lagi diminati oleh Perusahaan Tambang Multi Nasional dengan modal multinasional dan kontrol Pemerintah menjadi tidak efektif. Ketidak-efektifan kontrol Pemerintah telah ditandai oleh keluarnya lebih dari 9.000 Ijin Usaha pertambangan (IUP) oleh Pemerintah Daerah dan baru 2.600 IUP yang teregistrasi “clear & clean’. Tidak dipatuhinya kewajiban pelestarian lingkungan sehingga lingkungan menjadi rusak. Tidak dipatuhinya program berkelanjutan demi mengejar keuntungan ssesaat. Tidak terjaminnya penerimaan Negara dan Daerah. Terabaikannya kepentingan masyarakat lingkar tambang melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) (hitp://inspirasibangsa,com/ renegosiasi-perusahaan-partambangan/ diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 23.21), Ciri tersebut merupakan salah satu implikasi dari adanya UU No. 4 Tahun 2004 yang pada awalnya hal ini diharapkan dapat memberikan, kontribusi yang baik yang akan tetapi pada kenyataannya begitu banyak membawa dampak permasalahan yang cukup kompleks khususnya ada sektor pertambangan batubara. B. Kontrak Karya dalam Hukum Pertam- bangan Indonesia Kontrak Karya merupakan terjemahan dari bahasa Ingaris, yaitu kata work of contract-239 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Kelentuan Pokok Pertambangan Umum, menggunakan perjanjian karya, tetapi di bagian penjelasannya, istlah yang digunakan adalah Kontrak Karya. Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi KK, ada pendapat yang mengatrikan KK sebagai bentuk kerja sama di mana penanam modal asing membentuk salu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerja sama dengan satu badan hukum yang mempergunakan modal nasional (Ismail Suny, dalam Erman Rajagukguk, dkk., 1995: 186) Pendapat lain mengartikan KK sebagai suatu kerja sama di mana pihak asing membentuk sualu badan hukum Indonesia dan selanjutnya badan, hukum Indonesia ini bekerja sama dengan badan hukum Indonesia yang menggunakan modal nasional (Sri Woelan Azis, 2005: 63) Kontrak Karya Pertambangan umum pada hakekatnya adalah perjanjian yang dilakukan Privat Law Vol. II No 5 Juli- Oktober 2014 antara perusahaan pertambangan bahan galian mineral (selain batubara, minyak bumi, gas alam, panas bumi, dan bahan radiokatif) berbadan hukum Indonesia dengan pemerintah indonesia, Dengan demikian KK diberikan kepada perusahaan pertambangan yang akan melakukan pengusahaan pertambangan bahan mineral Bentuk perusahaan tersebut adalah perseroan terbatas yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri. Sedangkan yang dimaksud Pemerintah Indonesia adalah Pemerintah Rl ©. Implikasi Keberadaan UU No. 4 Tahun 2009 bagi Sektor Pertambangan Batubara 1. Implikasi bagi Investasi Pertambangan Secara Umum Seiring berjalannya waktu, keberadaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan situasi sekarang dan juga tantangan di masa depan dalam sektor pertambangan. Karena memang sudah seharusnya pembangunan pertambangan beserta regulasinya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis baik yang bersifat nasional maupun internasional (Adrian Sutedi, 2011: 105). Kehadiran UU No. 4 Tahun 2009 yang menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 diharapkan mampu menghadapi tantangan utama yang dihadapi oleh perlambangan mineral dan batubara, yakni pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual, serta peningkatan peran swasta dan masyarakat (Adrian Sutedi, 2011: 105) Falsafah kedaulatan Negara dan kesejahteraan rakyat dalam pengelolaan tambang diakui dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jelas dinyatakan dalam UU No. 4 Tahun 2009 bahwa mineral yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan sebagai karunia Tuhan yang mempunyal peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Karena itu pengelolaan tambang harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilal tambah Implikasi Keberadaan Undang-Undang 53 secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Kehadiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah merubah pola kegiatan pertambangan di Indonesia dengan ditinggalkannya sistem Kuasa Pertambangan dan KK menjadi sistem perizinan (Adrian Sutedi, 2011: 105). Perubahan lain mengenai pengaturan pengusahaan pertambangan antara lain meliputi adanya pengaturan wilayah pertambangan, perubahan bentuk usaha pertambangan, hilangnya perbedaan perlakuan antara badan usaha domestik dan badan usaha dengan modal asing. Keberadaan UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara telah merubah sistem investasi pertambangan batubara dari sistem kontrak menjadi sistem perizinan. Jika dalam sistem kontrak kedudukan antara Pemerintah dengan investor adalah sama/ ‘sejajar di mana pemerintah berlaku sebagai pelaku usaha/player, sedangkan dalam sistem perizinan kedudukan pemerintah menjadi lebih tinggi dari investor, dimana pemerintah berkedudukan sebagai regulator. Perubahan kedudukan ini dilihat dari aspek ketatanegaraan adalah sebuah langkah yang baik karena pemerintah sebagai badan. hukum publik tidak menurunkan derajatnya menjadi badan hukum privat sebagaimana yang dilakukan pemerintah dalam sistem kontrak, Kedudukan yang lebin tinggi ini tentunya akan membuai kedudukan pemerintah sebagai regulator menjadi lebih efektif dibandingkan dengan kedudukan dalam sistem kontrak yang menjadikan pemerintah sebagai regulator dan pemain secara langsung. Peranan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi begitu vital dalam sektor pertambangan khususnya dalam Pengaturan mengenai regulasi pertambangan batubara, petunjuk dan kebijakan serta standar-standar yang berkaitan dengan sektor pertambangan batubara Dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan dibedakan antara cara memperoleh hak pengusahaan pertambangan, untuk usaha ertambangan yang dilakukan oleh investor dalam negeri adalah Kuasa Pertambangan (KP) dan untuk investor asing adalah dengan KK bagi pertambangan mineral, dan PKP2B untuk pertambangan batubara, Sedangkan 54. Privat Law Vol. I! No § Juli - Oktober 2014 dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah tidak ada pembedaan yaitu hanya melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP). Penanaman modal asing dalam bidang pertambangan seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengacu pada UU No. 28 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU. No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari Negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia, namun tentunya dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, Sehingga baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri tidak terdapat perbedaan dalam bentuk perlakuan dari pemerintah Indonesia, akan tetapi kesetaraan tersebut tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu Negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia Namun ada hal yang perlu diperhatikan bahwa mengacu pada UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dapat dilihat bahwa UU ini mengatur bahwa semua penanam modal asing di Indonesia harus berbentuk Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa bentuk usaha dari penanaman modal asing dibidang pertambangan hanya diperbolehkan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Dalam sistem perizinan yang dipakai dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, investor asing maupun investor dalam negeri harus mengajukan permohonan izin sebanyak dua kali perizinan yakni IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Pembagian izin ini dirasa tidak menguntungkan bagi investor asing karena merasa sistem ini dirasa terlalu berbelit-belit dan akan memakan waktu yang lama. Dalam sistem kontrak, umumnya investor asing akan langsung mendapatkan hak pengusahaan pertambangan secara Penuh tidak terbagi seperti dalam Izin Usaha Pertambangan, dan dengan adanya pengaturan mengenai wilayah pertambangan juga dirasa akan menghambat perolehan izin karena sebelum mendapatkan izin Implikasi Keberadaan Undang-Undang harus terlebih dahulu ditetapkan suatu wilayah pertambangan yang dapat dilakukan pengusahaan pertambangan. 2. Implikasi bagi Kontrak Karya Batubara Pasal 169 UU no. 4 Tahun 2008 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memuat pasal pengalihan sebagai berikut: a, Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhimya kontrak/perjanjian; b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan Negara. Ketentuan dalam ayat (a) memuat bahwa Kx dan PKP2B yang tetap dihormati sampai dengan habis masa berlakunya. Hal ni penting karena pemerintah sebagai institusi publik tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atas kedudukannya sebagai subjek hukum perdata, Kalau KK dan PKP2B dipaksa tunduk pada rezim perizinan UU Minerba, maka pemerintah bisa dituduh melanggar Prinsip Pacta Sunt Servanda (perjanjian itu mengikat para pihak yang meyepakatinya). Namun ketentuan dalam ayat (a) dirasa kontradiktif dengan ketentuan yang dimuat dalam ayat (b) karena disini ada paksaan bahwa KK dan PKP2B yang sudah berlaku harus disesuaikan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan jangka waktu selambat- lambatnya 1 tahun sejak Undang-Undang ini di undangkan. Sebenamya ketentuan dalam pasal 169 huruf (b) menurut Prof. Hikmahanto Juwana bukan merupakan hal yang aneh mengingat berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata ditentukan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan kepatutan. Bila bertentangan akan berakibat batalnya perjanjian tersebut. Oleh karena itu memang harus dilakukan negosiasi ulang antara Pemerintah indonesia dengan investor asing terhadap ketentuan KK Privat Law Vol. II No 5 Juli- Oktober 2014 yang bertentangan dengan UU No, 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Meskipun KK yang masih ada tetap dihormati sampai habis jangka waktunya bukan berarti keberadaan UU No. 4 Tahun 2008 ni tidak memberikan pengaruh terhadap KK yang masih ada. Keboradaan ketentuan peralihan pada Pasal 169 b UU No. 4 Tahun 2009 merupakan dasar hukum yang mengamanatkan bahwa KK yang telah ada harus disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU No.4 Tahun 2009 diundangkan. Terkait dengan aturan peralihan yang terdapat dalam UU No.4 Tahun 2008 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dapat dilihat bahia pemerintah Indonesia bertekad untuk mengadakan reformasiterhadap sektor pertambangan secara bertahap. Setiap reformasi atau perubahan akan menuju kepada sesuatu yang baru atau paling tidak sekedar berbeda dengan yang lama (diubah) maupun kepada yang baru (hasil perubahan). Untuk mengurangi masalah dari sebuah perubahan, maka dalam setiap perubahan teriebin dahulu dibuatkan pedoman atau tata- cara pelaksanaan dan akibat perubahan yang biasa disebut peralihan atau masa transis Aturan peralihan pada hakekatnya bertujuan untuk menjaga kekosongan hukum (rechtvacuum) dan menjamin kepastian hukum (legal certainity) akibat dari adanya perubahan baik kelembagaan maupun materi (substance) peraturan perundang- undangan, Melihat tujuan utama dari aturan peralinan dapat dipahami bahwa aturan peralinan sesungguhnya untuk memberikan kemudahan pada masa transisi dan menyederhanakan masalah yang ditimbulkan oleh masa transisi atau perubahan. Oleh karena itu, setiap aturan peralihan dalam sebuah peraturan perundang-undangan seharusnya memberikan ruang kemudahan, dan tidak menciptakan masalahikesulitan baru Berdasarkan amanat Pasal 169 b UU No. 4 Tahun 2009 dapat dilhat ada 6 (enam) isu strategis untuk disepakati/direnegosiasi, yaitu luas wilayah kerja, b. perpanjangan kontrak, ¢._penerimaan negara, d. kewajiban divestasi, Implikasi Keberadaan Undang-Undang 55 e.kewajiban pengolahan dan pemumnian, sera f. kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri. Terkait luas wilayah, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengamanatkan luas wilayah ‘eksplorasi dibatasi hingga maksimal 100.000 hektar, serta maksimal 25.000 hektar untuk wilayah operasi. Sedangkan mengenai jangka waktu kontrak, ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang masing-masing 10 tahun. Pemegang izin operasi produksi yang telah memperoleh perpanjangan sebanyak 2 kali harus mengembalikan wilayah operasinya kepada pemerintah Indonesia. Untuk kewajiban pengolahan, pemegang izin pertambangan batubara Wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral. Nilai tambah dimaksudkan untukmeningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan oleh karena itu Perusahaan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri dengan membangun pabrik pengolahan (smefter). 3. _ Implikasi bagi Kesepakatan Royalti dalam Kontrak Karya Keberadaan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bertujuan untuk meningkatkan kepastian hukum bagi para investor pertambangan batubara, namun dalam peningkatan kepastian hukum itu sendiri Pemerintah Indonesia berada dalam kesulitan yang diiematis, Kesulitan yang dihadapi Pemerintah adalah bagaimana menyeimbangkan antara memenuhi keinginan investor akan iklim investasi pertambangan Indonesia yang kondusif dan dapat memberikan keuntungan yang besar, dengan menjamin penerimaan proporsional yang diterima oleh Indonesia sebagai kompensasi dlakukannya eksploitasi terhadap sumber daya mineral yang terkandung di indonesia, Pemerintah dan perusahaan memilki tujuan yang berbeda. Bila pemerintah menginginkan sebuah mekanisme yang transparan, stabil, dan wajar, dapat menghasikan penerimaan yang bersifat terus- 56 Privat Law Vol. 1! No § Juli - Oktober 2014 menerus, mudah secara administrasi serta dapat didistribusikan ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah serta kepada semua stakeholders, Sedangkan di lain pihak, perusahaan menginginkan sebuah pendekatan royalti yang stabil dan dapat diprediksi menyesuaikan dengan kemampuan membayar serta pengembalian modal awal, menyesuaikan dengan naik turunnya harga pasar, tidak seenaknya memutuskan produksi dengan menutup tambang dan sebagainya. UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengamanatkan agar tarif royalti KK disesuaikan dengan tarif royalti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tarif royalty KK yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif royalti yang diatur dalam aturan perundang-undangan inilah yang menjadi Pangkal permasalahan dalam renegosiasi KK. C. Penutup Keberadaan UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara telah merubah sistem investasi pertambangan batubara dari sistem kontrak menjadi sistem perizinan. Jika dalam sistem kontrak kedudukan antara pemerintah dengan investor adalah sama/sejajar di mana pemerintah berlaku sebagai pelaku usaha/player, sedangkan dalam sistem perizinan kedudukan pemerintah menjadi lebih tinggi dari investor, dimana pemerintah berkedudukan sebagai regulator. Perubahan kedudukan ini dilihat dari aspek ketatanegaraan adalah sebuah langkah yang baik karena pemerintah sebagai badan hukum publik tidak menurunkan derajatnya menjadi badan hukum privat sebagaimana yang dilakukan pemerintah dalam sistem kontrak Dalam sistem perizinan yang dipakai dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, investor asing maupun investor dalam negeri harus mengajukan permohonan izin sebanyak dua kali perizinan yakni IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi, Keberadaan pasal 169 (b) UU No. 4 Tahun 2009 telah membawa implikasi serius tentang pertambangan mineral dan batubara disektor ertambangan. Bila pasal 169 (a) UU No. 4 Tahun 2009 mengakui keberadaan KK/PKP2B, pasal 169 (b) justeru mengabaikannya. Implementasi pasal 171 UU No, 4 Tahun 2009 menjadi terhambat sehingga Renegosiasi KK/PKP28 yang sudah dimulai pada awal 2010 terhenti dan persetujuan Implikasi Keberadaan Undang-Undang Pomerintah terhadap rencana kerja pemegang KK/PKP2B sesuai pasal 171 UU No. 4 Tahun 2009 belum dapat diberikan kepada Perusahaan tambang Dengan diberlakukannya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara diharapkan batubara yang merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia, dapat dikelola dengan baik dalam pemanfaatan dan pengelolaannya. Sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara dan Pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi yaitu menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera untuk kemakmuran rakyat. Hal ini dapat dicapai ja hasil sumber daya alam tersebut dapat diawasi pemberian perizinannya dengan baik Kemudian untuk sistem pengawasan pemanfaatan ‘sumber daya alam batubara, selama ini system yang telah dijalankan sudah cukup baik. Namun perlu membentuk komisi pengawasan sumber daya alam yang selama ini belum terpikirkan dan diatur dalam peraturan daerah Daftar Pustaka Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan. Yogyakarta: Ull Press. Adrian Sutedi. 2011. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika. htto:/inspirasibanasa, com/reneqosiasi-perusahaan-pertambangany diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 23.21 Ismail Suny. 1995. Hukum Investasi. Jakarta: Sinar Grafika, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Salim H.S. 2005. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Raja rafindo Persada ‘Subekti. 1976. Asas-asas Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Privat Law Vol. II No 5 Juli- Oktober 2014 Implikasi Keberadaan Undang-Undang 57

You might also like