Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 35
KEHARUSAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DAN MASALAH INTEGRASI UMAT Pendahuluan Dorongan untuk membahas masalah ini ialah konstatasi bahwa kaum Muslimin Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking force dalam perjuangannya. Sebuah dilema segera dihadapkan kepada umat Islam: apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam dirinya, dengan merugikan integrasi yang sclama ini didambakan, ataukah akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu, sekalipun dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnya kekuatan-kekuatan moral yang ampuh? Tidak bisa dipersatukannya (inkompatibilitas) antara keharusan pembaruan dan integrasi ialah kenyataan bahwa bila suatu inisiacif pembaruan telah diambil oleh sebagian umat, maka sebagian yang lain akan mengadakan reaksi kepadanya. Berkali-kali sejarah telah menunjukkan kebenaran hal itu, Islam, Yes, Partai Islam, No? Salah satu kenyataan yang menggembirakan tentang Islam di Indonesia dewasa ini ialah perkembangannya yang pesat, terutama atte 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& dari segi jumlah pengikut (formal). Daerah-daerah yang dahulu- nya tidak mengenal agama ini, sckarang mengenalnya, malahan menjadikannya sebagai agama utama bagi penduduknya, di sam- ping agama lainnya yang telah ada sebelumnya. Dan kalangan dari tingkat sosial yang lebih tinggi, sekarang ini, semakin menunjukkan perhatiannya kepada Islam; jika tidak mengamalkan sendiri, se- tidak-tidaknya demikianlah dalam sikap-sikap resmi mereka. Tetapi, sebuah pertanyaan dari pihak kita tetap meminta jawaban, yaitu, sampai di manakah perkembangan akibat daya tarik yang jujur dari ide-ide Islam yang dikemukakan oleh para pemimpinnya itu, isan maupun tulisan? Ataukah, perkembangan kuantitatif Islam itu dapat dinilai sebagai tidak lebih daripada gejala adaptasi sosial karena perkembangan politik di tanah air akhir-akhir ini, yaitu kalahnya kaum komunis yang memberikan kesan kemenangan di pihak Islam? (Dan adaptasi sosial ini juga telah terjadi di zaman Orde Lama, sebab Presiden Sockarno pada waktu itu selalu, dengan penuh kegairahan, menunjukkan interest-nya kepada Islam — juga kepada Marxisme, apa pun dugaan orang tentang motif yang ada di belakangnya) Jawaban atas pernyataan itu mungkin sekali dapat ditemukan dengan meletakkan pertanyaan berikut: sampai di manakah mereka tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam? Kecuali sedikit saja, sudah terang mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam. Schingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam, yes, partai Islam, no! Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menatik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image sebaliknya. (Reputasi sebagian umat Islam di bidang korupsi, umpamanya, makin lama makin menanjak). ame 459 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan e& Kuantitas Versus Kualitas Satu hal yang biasanya dianggap dengan sendirinya benar ialah bah- wa mutu lebih penting daripada jumlah. Tapi justru umat Islam Indonesia sekarang ini melakukan yang sebaliknya: lebih memen- tingkan jumlah daripada mutu. Tidak dapat disangkal, bahwa persatuan lebih menjamin tercapainya tujuan-tujuan perjuangan daripada perpecahan. ‘Tetapi, dapatkah persatuan itu terwujud secara dinamis dan menjadi kekuatan dinamis jika tidak disadari oleh ide-ide yang dinamis pula (tidak ada tindakan-tindakan revo- lusioner tanpa teori-teori revolusioner Lenin). Betapapun, dinamika lebih menentukan daripada statisme, sekalipun yang terakhir ini meliputi jumlah besar manusia. Kelumpuhan umat Islam akhir- akhir ini, antara lain, disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka cukup rapat menutup mata terhadap cacat-cacat yang menempel pada tubuhnya, yang mengharuskan adanya gerakan pembaruan ide-ide, guna dapat menghilangkannya. Liberalisasi Pandangan terhadap “Ajaran-ajaran Islam” Sekarang Jika kita telah sampai pada keputusan hendak melaksanakan pem- baruan di kalangan umat, dari manakah kita hendak membukanya? Dalam hubungan dengan masalah ini dapatlah dikemukakan sebuah ungkapan Andre Beufte: “Our traditional lines of thought must go overboard, for it is now far more important to be able to look ahead than to have large scale of force whose effectiveness is problematical” . (Garis- garis pemikiran kita yang tradisional harus dibuang jauh-jauh, sebab, sekarang ini, jauh lebih penting mempunyai kemampuan melihat ke depan daripada mempunyai kekuaran dengan ukuran besar yang daya gunanya masih harus dipersoalkan). Peringatan bahwa suatu kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar 9 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& menandaskan lebih pentingnya dinamika daripada kuantitas. Sudah tentu, yang lebih baik ialah kombinasi keduanya. Tetapi jika tidak mungkin, maka pilihan harus dijatuhkan kepada salah satu dari keduanya, dan hal itu haruslah dinamika. Dari ungkapan tersebut kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diti dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan, harus digantikan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut proses-proses lainnya: Sekularisasi Sckularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab “secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion” Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, hirarki nilai itu sendiri sering terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali. Sekalipun mungkin mereka tidak mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun sikap itu tercermin dalam tindakan- tindakan mereka sehari-hari. Akibat hal itu, sudah maklum cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis. Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi inilah, maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kaca mata hirark inilah, di kalangan kaum Muslimin, telah membuatnya tidak sanggup mengadakan ©5280» 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini. Jadi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umac Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi’”. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan Tuhan. ‘Tetapi, apa yang terjadi sekarang ialah bahwa umat Islam kehi- langan kreativitas dalam hidup duniawi ini, schingga mengesankan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak berbuat dan diam. Dengan kata lain, mereka telah kehilangan semangat ijtihad. Sebenarnya, pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara otomatis harus dipunyai oleh scorang Muslim, sebagai konsekuensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tithan, sebenarnya, harus melahirkan desaklarisasi pandangan terhadap selain ‘Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya. Sebab, sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah, pada hakikatnya, yang dinamakan syirik, lawan tauhid. Maka, sekularisasi itu sekarang memperoleh maknanya yang konkret, yaitu desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Iahiah (transendental), yaitu dunia ini. Yang dikenai proses desakralisasi itu ialah segala obyek duniawi, moral maupun material. Termasuk obyek duniawi yang bersifat os 281 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& moral ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat material ialah benda-benda. Maka, jika terdapat ungkapan dslam is Bolshevism ‘plus God (Iqbal), salah satu pengertiannya ialah bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan masalah-masalahnya adalah sama dengan kaum komunis (realistis, dilihat menurut apa adanya, tidak mengadakan penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai oleh obyek itu), hanya saja Islam mengatakan adanya sesuatu yang transendental, yaitu Allah. Justru Islam meletakkan pandangan dunia (welranschauung) dalam hubungannya antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, schingga wajar bagaikan badan dengan kepala diatas dan kaki di bawah (istilah Mars), artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti pada ajaran materialisme dialektika. Intellectual Freedom atau Kebebasan Berpikir Salah satu balai pendidikan Islam yang liberal, yaitu Balai Pendidikan “Darussalam” di Gontor, Ponorogo (Jawa Timur), mencantumkan sebagai mottonya “Berpikir Bebas” setelah “Berbudi Tinggi”, “Ber- badan Schat dan Berpengetahuan Luas”. Di antara kebebasan perscorangan, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga. Scharusnya kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapapun anch kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang, dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini, Selanjutnya, di dalam pertentangan pikiran-pikiran dan ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat. Agaknya tidaklah sama sekali omong kosong bila Nabi kita menyatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umatnya 5282 © 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a merupakan rahmat. Kebebasan berpikir ini dengan baik sekali dite- rangkan oleh O.W. Holmes ketika dia mengatakan: “Zhe ultimate good desired is better reached by free trades in ideas that the best of truth is the power of thought to get it self accepted competition of the market, and that truth is the only ground upon which their wishes safety can be carried out”. (Kebaikan terakhir yang dikehendaki adalah lebih baik dicapai melalui perdagangan-perdagangan bebas dalam ide-ide, bahwa sebaik-baik ujian bagi suatu kebenaran ialah kekuatan pikiran untuk membuat dirinya dapat diterima dalam persaingan pasar, dan bahwa kebenaran adalah satu-satunya landasan keinginan-keinginan mereka yang dengan selamat dapat dilaksanakan). Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar, kita telah kehi- langan apa yang dikemukakan di muka, yaieu psychological striking Jorce (daya tonjok psikologis), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan- tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial. Walaupun begitu, masih harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang ber- dasarkan Islam itu dapat menyelesaikan problem-problem itu sebaik-baiknya, jika disesuaikan, dipersegat, diperbarui, dan diorga- nisasikan (dikoordinasikan), untuk membuat ide-ide sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang. Sebagai contoh, ajaran ten- tang “syura” atau “musyawarah” umpamanya, telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai sama, atau dekat, dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat itu. Tetapi di pihak lain, ajaran prinsipal Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum lemah, miskin dan tertindas, yang terdapat di mana-mana dalam Kitab Suci, belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam tampaknya masih tabu terhadp kata- kata sosialisme, yaitu ide yang, seperti halnya dengan demokrasi, juga berasal dari Barat, dan kira-kira sama artinya dengan pokok- pokok ide Islam tersebut. Halangan psikologis apakah yang ada os 183 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& pada umat Islam, jika karena bukan ketiadaan kebebasan berpikir? Karenanya, kemudian umat Islam tidak mampu mengambil ini- siatif-inisiatif yang selalu direbut oleh orang lain, sehingga posisi- posisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada di tangan mereka, kemudian Islam di-exlude-kan darinya. Sebenarnya penting untuk diketahui, bahwa persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer, seseorang merebut posisi di medan pertempuran, dan dengan begitu menghalangi musuh untuk mendudukinya dan mempertahankannya jangan sampai jatuh ke tangan musuh atau orang lain. Dalam hal inilah, kita melihat kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu, sekali lagi, akibat tiadanya kebebasan ber- pikir, kacaunya hirarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berpikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan a priori, dan seterusnya. “Idea of Progress” dan Sikap Terbuka Sebenarnya, jika seorang Muslim benar-benar konsisten dengan ajarannya, maka nilai idea of progress, sebagaimana nilai-nilai kebe- naran lainnya, tidak perlu lagi dikemukakan, sebab sebenarnya telah ada padanya. Idea of progress bertitik-tolak dari konsepsi, atau doktrin, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan Allah dalam fitrah dan berwatak banif). Oleh sebab itu, salah satu manifestasi adanya idea of progress ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka tidak perlu lagi khawatir akan perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada tata-nilai duniawi manusia. Sebetulnya, sikap reaksioner dan ter- tutup terbit dati rasa pesimis terhadap sejarah. Oleh karena itu, konsistensi idea of progress ialah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja, asalkan mengandung kebenaran. Jadi, sejalan dengan intellectual freedom tersebut, kita harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas 65 284m 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a mungkin, kemudian memilih mana yang, menurut ukuran-ukuran obyektif, mengandung kebenaran, Sulit sekali untuk dimengerti, justru umat Islam sekarang lebih banyak bersifae tertutup dalam sikapnya, padahal Kitab Suci mereka menegaskan bahwa mereka “harus mendengarkan ide-ide dan mengikuti mana yang paling baik’. Sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa sescorang memperoleh petunjuk dari Allah, sedangkan sikap tertutup, schingga “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit’, merupakan salah satu tanda kesesatan, Jika memang Islam itu bukan kebudayaan, dan bukan pula peradaban, melainkan dasar darinya, maka ke manakah hendaknya dicari bahan-bahan kebudayaan dan peradaban Islam untuk membangunnya, jika tidak di seluruh muka bumi, yang berupa warisan-warisan kemanusiaan yang universal. Sejarah memberikan kesaksian kuat akan hal itu. Umat Islam keluar dari Jazirah Arab tidak mempunyai apa-apa kecuali iman teguh yang memancar dari al-Qur’an dan Sunnah (dasar), kemudian di daerah-daerah yang baru mereka taklukkan, mereka menemukan warisan-warisan manusiawi, baik dari Barat (Yunani, Romawi) maupun dari Timur (Persia), kemudian mereka mengembangkan warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang mereka bawa dari padang pasir Jazirah Arab dan menjadikannya sebagai milik sendiri. Karya mereka itulah yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sckarang sebagai kebudayaan dan peradaban Islam yang, dibanggakan. Perlunya Kelompok Pembaruan yang “Liberal” Di atas pentas sejarah, baik Indonesia maupun dunia, telah tam- pil gerakan-gerakan pembaruan. Di Indonesia, kita mengenal organisasi-organisasi dengan aspirasi-aspirasi pembaruan, seperti Muhammadiyah, Al-Insyad, dan Persis. Tetapi sejarah mencatat pula, dan harus kita akui dengan jujur, bahwa mereka itu sekarang 5 285 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& telah berhenti sebagai pembaru-pembaru, Mengapa? Sebab mereka, pada akhirnya, telah menjadi beku senditi, karena mereka agaknya tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas. Sebaliknya, organisasi-organisasi yang oleh sejarah dicatat sebagai organisasi-organisasi kontra- reformasi, seperti NU, Al-Wasliyah, PUI dan lain-lain, ternyata sekarang telah melakukan sendiri dan menerima nilai-nilai yang dulunya menjadi hak monopoli kaum pembaru, sekalipun sikap mereka ini karena desakan hukum sejarah yang tak terhindarkan, dan mereka mengambilnya tidak cukup serius, atau tidak secara formal menerimanya sebagai pandangan prinsipal. Akibatnya ialah keadaan stagnant yang, secara menyeluruh, menimpa umat sekarang ini: Organisasi-organisasi Islam yang, ketika didirikannya, bersikap anti-tradisi dan sektarisme, sckarang telah menjadi tradisionalis dan sektarianis sendiri, sedangkan organisasi lainnya yang semula menolak nilai-nilai baru dan sekarang menerimanya, tidak pernah, terniat menjadikannya sebagai sikap hidup yang prinsipal. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu kelompok pembaruan Islam baru yang liberal. Tetapi, kata-kara itu mempunyai implikasinya lebih lanjue sebagai konsekuensi logisnya, yaitu non-tradisionalisme dab non-sektarianisme. Maka di sini dituntut adanya kemampuan dan keberanian untuk setiap waktu meninjau kembali nilai kelompok (sekte). Sckali lagi, nilai-nilai itu pun tidak perlu dikemukakan lagi, sean- dainya umat Islam konsisten dengan ajaran-ajaran sendiri. Sebab, non-tradisionalisme tidak lain adalah kebalikan dari sikap “kami mendapatkan bapak-bapak kami berjalan di atas suatu kata, nilai, dan di atas warisan-warisan mereka itulah kami memperoleh petunjuk”, sedangkan non-sektarianisme adalah kebalikan dari sikap “setiap golongan bangga dengan apa yang ada padanya’, yang kedua-duanya dicela keras oleh Kitab Suci. Kembali ke apa yang telah disinggung di muka, sebenarnya nilai-nilai Islam adalah nilai- nilai yang dinamis, bukan statis. Sclain dasar-dasar kepercayaan (di mana yang terpenting ialah kepercayaan kepada Allah), pokok- 65 286 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a pokok ibadat serta beberapa nilai kemasyarakatan yang sangat prinsipal, dan tampak tidak berubah sepanjang masa, Islam tidak memberikan perumusan-perumusan definitif yang menyangkut kegiatan-kegiatan duniawi. Selain nilai-nilai dasar, yaitu rasa takwa yang terbit dari iman kepada Allah dan ibadat kepada-Nya, tidak ada nilai-nilai yang tetap. Nilai-nilai itu adalah nilai-nilai budaya yang harus berkembang terus sesuai dengan hukum perubahan dan perkembangan (segala sesuatu selain Allah itu rusak atau berubah). Oleh karena itu, nilai-nilai Islam ialah setiap nilai yang sejalan de- ngan kemanusiaan, atau fitri, atau hanif, dengan dilandasi takwa kepada Allah. Nilai-nilai akan Islami apabila ia, secara asasi tidak bertentangan dengan iman dan takwa, dan adalah baik menurut kemanusiaan, sesuai dengan perkembangannya. Sekarang, perjuangan memperbaiki nasib umat manusia, bukanlah menjadi monopoli umat Islam. Seluruh manusia, dengan mempertaruhkan rasio atau akal pikiran yang ada padanya, telah terlibat dalam upaya-upaya menemukan cata-cara yang terbaik bagi perbaikan kehidupan kolektif manusia. Pikiran-pikiran itu, pada zaman modern ini, ditemukan pernyataannya dalam istilah-istilah yang sekarang banyak terdengar, seperti demokrasi, sosialisme, kerakyatan, komunisme, dan lain-lain. Pikiran-pikiran itu, betapapun salahnya kelak, merupakan puncak-puncak pemikiran manusia tentang kehidupan ditinya sendiri dalam bermasyarakat, sebagai hasil penelaahan yang realistis dan penuh keuletan berpikir atas gejala sosial dan historis. Sckarang kita harus belajar menggunakan pikiran-pikiran yang terbaik menurut ukuran prinsip-prinsip Islam, dan mengusahakan perkembangan selanjutnya dengan realisme yang sama dan ketekunan berpikir yang sama. Inilah hakikat makna ijtihad, arau pembaruan, yang kita kehendaki. Oleh karena itu, ijtihad atau pembaruan haruslah merupakan proses terus-menerus dari pemikiran yang orisinal, berlandaskan penilaian atas gejala- gejala sosial dan sejarah, yang sewaktu-waktu harus ditinjau kembali benar-salahnya. Ijtihad merupakan suatu proses, di mana kesalahan pengertian akan mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan. BI 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& Sungguh pun demikian, itu pun masih lebih ringan daripada beban stagnasi sosial sejarah akibat tidak adanya pembaruan. Oleh karena itu, tidak mungkin terjadi ijtihad dan pembaruan yang berarti, jika kita tidak mempunyai organisasi-organisasi penelitian dengan dasar yang kuat, jika kita tidak mempunyai metode yang unggul untuk menganalisis situasi apa pun, dan jika kita tidak mempunyai pengeta- huan yang tepat tentang perkembangan-perkembangan kemajuan kemanusiaan dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh penemuan-penemuan baru di setiap bidang, baik sosial maupun alam. Rasanya kita masih jauh dari keadaan yang menyenangkan itu. Dapat disimpulkan bahwa pekerjaan pembaruan adalah peker- jaan mereka dari kalangan masyarakat yang mempunyai kemam- puan yang sebesar-besarnya untuk mengerti dan berpikir. Dengan kata lain, pekerjaan kaum terpelajar. Maka tanggung jawab kaum terpelajar sungguh besar dan berat, di hadapan umat manusia dalam sejarah ini, dan di hadapan ‘Tuhan kelak di kemudian hati (di akhirat). Untuk pekerjaan besar itu, kiranya organisasi- organisasi keilmuan yang terbesar di kalangan umat Islam, yaitu Persami, HMI, PII, dan GPI, dapat merintis, memelopori dan berbuat dalam suatu bentuk hubungan yang lebih kukuh dan terkoordinasikan, tanpa melupakan unsur-unsur “liberal” lainnya dati setiap kelompok Islam yang ada. ©5288 MASALAH PEMBARUAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM Pendahuluan Reaksi-reaksi spontan telah dikemukakan oleh beberapa orang, Tetapi, tentu, reaksi-reaksi itu belum terumuskan dengan baik. Namun, di kalangan masyarakat umum, reaksi itu terasa lebih luas dan sungguh-sungguh. Reaksi-reaksi itu disalurkan melalui bermacam-macam cara, semenjak dari penulisan di koran-koran sampai khutbah-khutbah Jumat dan tabligh-tabligh umum. Maka, dirasakan perlu untuk sekali lagi membuka forum dis- kusi yang terbuka, nucher, dan ilmiah. Dalam forum kedua inilah, reaksi-reaksi meperoleh salurannya dengan lebih leluasa, dan dialog- dialog langsung dapat diadakan. Dari forum diskusi itu, demikian pula dari penelaahan atas cara-cara reaksi yang dikemukakan di masyarakat, dapatlah ditarik kesimpulan terdapatnya titik-titik api sorotan itu, yaitu masalah istilah dan ilustrasi. Sedangkan reaksi kontra tethadap esensi ide itu sendiri, memang diberikan, namun dengan proporsi yang lebih rendah. Sasaran kritik dalam hal peristilahan ialah kata “sekularisasi”, sedangkan ilustrasi yang dianggap tidak benar ialah penyebutan dalam kertas kerja bahwa beberapa organisasi pembaru sekarang telah berhenti sebagai pembaru pemikiran, sebab telah membeku dan kehilangan dinamika 5 289 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& Maka, untuk memperoleh pengertian yang lebih tepat sehingga reaksi-reaksi selanjutnya dapat diberikan secara proporsional, perlu dibuat beberapa keterangan. Proporsi Istilah “sekular” dari Segi Bahasa Mengetahui proporsi suatu peristilahan, dengan menggunakan pendckatan dari segi bahasa, akan banyak menolong menerangkan artinya lebih lanjut, Sebab, seperti dikatakan oleh Samuelson, khu- susnya dalam ilmu-ilmu sosial, kita harus waspada terhadap “tirani kata’. Kata bisa menjerumuskan, apabila kita tidak memberikan tanggapan dengan cara yang wajar. Seperti kita ketahui, kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” ber- asal dari bahasa Barat (Inggtis, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebe- narnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang. Sedangkan saeculum sendiri adalah lawan eternum yang artinya abadi, yang digunakan untuk menunjukkan alam yang kekal abadi, yaitu alam sesudah dunia ini. Agaknya sudah menjadi konsep manusia dari dulu di mana- mana bahwa alam ini terdiri atas dua hakikat, yaitu alam yang menjadi tempat hidup kita sekarng ini yang bersifat sementara, dan alam kelak sesudah alam sekarang yang bersifat abadi. Tentu, umat Islam mengetahui adanya paralelisme konsep itu dengan apa yang diajarkan dalam al-Qui’an, yaitu konsep tentang adanya dunia dan akhirat Tetapi, lebih menarik lagi adalah mengetahui adanya paralclisme peristilahan yang digunakan dalam bahasa Latin dan bahasa Arab (al-Qus’an), guna menunjukkan pengertian tentang dunia ini. Da- Jam al-Qur'an, istilah untuk menunjukkan alam dunia ini, selain ©5290 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a dipakai kata al-dunya, sebenarnya juga sering dipakai al-ala. Kata al-dunya adalah bentuk betina dati kata sifat al-adnd yang berarti yang terdekat, jadi merupakan kata ruang. Sedangkan kata al-dld adalah bentuk betina dari kata sifat al-awwal yang berarti yang pertama, jadi kata wakeu. Sebenarnya, kata al-dld, yang memberikan pengertian atau konsep dunia sebagai waktu atau sejarah, itulah yang menjadi lawan langsung kata al-akhirah, atau akhirat dalam bahasa Indonesia, yang berarti “yang kemudian atau akhit”. Dan paralelisme peristilahan itu juga terdapat dalam istilah- istilah bahasa Yunani. Dalam bahasa itu digunakan kata aeon, yang berarti “masa atau zaman”, dan kata cosmos, yang berarti alam raya. ‘Adanya pemakaian dua istilah itu pun menunjukkan adanya konsep waktu dan konsep ruang tentang dunia sekarang ini. Itulah sebabnya, dari segi bahasa av sich, pemakaian istilah seku- lar tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk me- nunjukkan bahwa dia hidup di alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata “duniawi” itu diganti dengan kata “sekular”, schingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan. Dalam permulaan pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang dunia ini, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang tendah dan hina. ‘Tevapi, lama-kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam yang rendah dan hina merupakan tanggung jawab filsafat-filsafat hidup yang berlaku umum di dunia Barat waktu itu. Sedangkan dalam Islam, hampir setiap Muslim dapat mene- rangkan bahwa konsep tentang dunia sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina, bukan saja tidak dikenal, melainkan ber- tentangan dengan ajaran sebenarnya Kitab Suci. Sebab dalam Islam, 1 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& alam ini adalah baik, sebagai ciptaan dari sebaik-baik Pencipta (Q 23:14). Sedemikian baiknya, schingga tidak mengandung cacat sedikit pun di dalamnya, bahkan kalau perlu, kita pun disuruh mencoba mencari-cari kecatatannya, bila ada (Q 67:3-4). Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi lari darinya, yaitu lari dari realitas kehidupan duniawi ini, seperti bertapa, puasa sehari-semalam berturut-turut, dan lain-lain, Hal-hal ini diharamkan oleh Islam. Dan doa terpenting dalam Islam berisi permohonan kepada Tuhan agar diberi kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, serta terjaga dari kesengsaraan di neraka. Pengertian-pengertian tentang Sekularisasi Pengertian pertama tentang sckularisasi ialah bahwa ia adalah proses, yaitu proses penduniawian. Dalam proses itu terjadi pemberian per- hatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu, telah tercakup pula sikap yang obyektif dalam menelaah hukum- hukum yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan- penyimpulan yang jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan, guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan di sinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan, Maka secara pendek dan ringkas, pengertian pokok tentang sekularisasi ialah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya. Jika sekularisasi merupakan proses yang dinamis, maka tidaklah demikian halnya dengan sekularisme. Sekularisme adalah suatu paham, yaitu paham keduniawian. Ia membentuk filsafat tersenditi dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan hampir seluruh agama di dunia ini os 292 © 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a Oleh karena itu, sekalipun kita mengharuskan adanya sekula- risasi, tetapi dengan tegas kita menolak sekularisme. Harvey Cox menerangkan perbedaan antara sekularisasi dan sekularisme itu sebagai berikut: Bagaimanapun, sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. fa muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkkan adanya proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Telah kita tegaskan bahwa sekularisasi, pada dasarnya, adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru. Sekali lagi, sekularisme adalah paham keduniawian. Paham iru mengatakan bahwa kehidupan duniawi itu adalah mutlak dan terakhis, tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang biasanya agama- agama menamakannya hari kemudian, hari kebangkitan, dan lain-lain. Kita semua, yang hidup ini, adalah makhluk sekular, artinya kita sckarang masih berada di dalam alam sckular, duniawi, karena belum pindah ke alam akhirat, alam baka, yaitu mati. Tetapi, bagi penganut sekularisme, mereka adalah orang-orang sekularis, artinya orang-orang yang menjadikan sekularisme sebagai sentral keyakinannya. Oleh sebab itu, sekularisme bertentangan dengan agama, khu- susnya Islam. Sebab, Islam mengajarkan tentang adanya hari kemu- dian (akhirat), dan orang Islam wajib meyakininya. Gambaran tentang kaum sekularis kita dapati dalam al-Qur'an di banyak tempat. Mereka selalu digolongkan ke dalam kelompok orang kafir. Gambaran itu, antara lain, kita dapati dalam: 5293 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& “Mereka (orang-orang kafir itu) berkata: ‘Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja, Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa’. Padahal mereka tidak mempunyai pengetabuan yang pasti tentang hal itu. Mereka hanyalah menduga-duga saja,” (Q45:24). Pembedaan antara sekularisasi dan sekularisme itu dapat men- jadi semakin jelas kalau kita bandingkan dan analogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Setiap orang Islam mengetahui, malahan sering membanggakan diri, bahwa dia harus bersikap rasional. Sebab, demikian banyak sekali diajarkan dalam al-Quran. Dan bila suatu saat umat Islam dalam keadaan tidak rasional, maka proses pengembaliannya ke rasionalitas menimbulkan proses rasionalisasi. Tetapi kiranya, seiap Muslim juga mengetahui bahwa dia tidak boleh menjadi rasionalis, yaitu pendukung rasionalisme. Scbab, rasionalisme adalah suatu paham yang bertentangan dengan Islam. Rasionalisme mengingkari keber- adaan wahyu sebagai media untuk mengetahui kebenaran, dan hanya mengakui rasio. Di sini pun, seperti halnya perbedaan antara sekularisme dan sekularisasi sebagai paham dan proses, perbedaan antara rasiona- lisme dan rasionalisasi adalah juga perbedaan pengertian antara paham dan proses. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian, dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu, Sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya hari kemudian dan prinsip ketuhanan. Sekularisasi, dalam bentuknya yang demikian, selalu menjadi keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam, jika 5294 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a pada suatu saat mereka kurang memberikan pethatian yang wajar kepada aspek duniawi kehidupan ini, Suatu firman Tuhan, yang terdapat dalam Q 28:77, menegaskan hal itu: “Dan carilah dalam anugerah Tuhan kepada kamu itu kebabagiaan akhirat, namun janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia, dan perbuatlah kebaikan, sebagaimana Allah telab memperbuat kebaikan kepadamu, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi ini Sesunggubnya, Tuhan tidak suka kepada kau perusak’. Dalam firman itu, kita dapati perintah Allah agar kita berusaha memperoleh kebahagiaan di akhirat nanti, yang kemudiaan di- susul dengan peringatan agar kita jangan sampai melupakan nasib kita dalam kehidupan duniawi ini. Bila diresapkan, di situ terasa secara tersirat adanya semacam kekhawatiran, bahwa jika men- curahkan pethatian kepada masalah-masalah akhirat, kita akan lupa masalah dunia. Kemudian disusul dengan perintah agar kita berbuat konstruktif, dan larangan berbuar destruktif. Hal ini memberikan implikasi bahwa melupakan aspek kehidupan duniawi adalah destruktif, baik untuk diti sendiri mapun untuk masyarakat, sedangkan Tuhan tidak suka kepada orang-orang yang sifatnya destrukeif. 5295 SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI Pendahuluan Di antara reaksi-reaksi atas kertas kerja tentang pembaruan, yang pernah saya kemukakan pada awal tahu 1970, ialah ketidaksetujuan terhadap istilah sekularisasi. Mungkin jenis reaksi ini adalah yang paling keras. Maka saya berpikir ada baiknya menerangkan sedikit lebih lengkap tentang istilah itu. Sekalipun dalam kertas kerja itu sudah saya tegaskan bahwa sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme yang merupakan sebuah paham tersendiri dengan fungsi hampir mendekati agama, tetapi beberapa kawan tetap mengajukan keberatan itu, dengan alasan bahwa sekularisasi tanpa sekularisme adalah mustahil. Sekularisasi tidak dapat lain adalah penerapan sekularisme. Hal itu analog dengan istilah “Islamisasi” yang berarti penerapan Islam. Sudah tentu, “neonisasi” (sebuah istilah buatan Indonesia sendiri) berarti penggantian bola lampu listrik biasa dengan bola lampu neon. Begitu pula, “dieselisasi” ialah penggantian motor bensin pada kendaraan dengan mesin diesel yang memakai bahan bakar solar. Tetapi, menyamakan begitu saja konotasi istilah-istilah sosial yang memang kompleks itu dengan istilah-istilah teknik adalah kurang tepat. Sebab, misalnya saja istilah “sosialisasi” dalam perkataan Inggris, socialized medicine (pengobatan yang disosialisasikan), sudah pasti bukanlah penerapan sosialisme. Di negara-negara kapitalis, justru BT 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& sosialisasi pengobatan itu terjadi dengan pesat sekali, misalnya Inggris. Juga di Amerika, yang terkenal sebagai kampiun penentang sosialisme. Dalam pembendaharaan istilah-istilah agama (Islam), juga terdapat hal serupa. Umpamanya, “perang” yang diwajibkan atas kaum Muslimin sebagai tindakan defensif. Dalam satu ayat al-Qur’an yang mewajibkan perang, istilah yang dipakai ialah gitdl. Jadi, satu asal kata dengan perkataan ga¢l yang berarti pembunuhan. Apakah dalam hal ayat tersebut kita juga harus mengartikan gitdl sebagai pembunuhan, schingga ‘Tuhan mewajibkan kita saling-membunuh (arti harfiah perkataan gitdl)? Dalam perang, memang terjadi pembunuhan, tetapi inti perang bukanlah pembunuhan itu an sich, schingga dapat diartikan bahwa berperang adalah melakukan kejahatan pembunuhan. Jadi, di sini terdapat apa yang disebut “kontradiksi interminus” (sesuai dengan hukum dialektika — lagi-lagi istilah asing — atau hukum kesatuan dari perbedaan): dalam perang yang diwajibkan itu, terdapat unsur pembunuhan yang diharamkan. Namun, perang tidak mungkin tanpa terjadinya pembunuhan (pada umumnya). Maka, “membunuh” dan “membunuh” itu juga mengenal tempat yang berbeda-beda, yang kemudian mengakibatkan perbedaan nilai padanya, malahan mungkin nilai itu berlawanan: yang satu haram dan yang lainnya wajib. Demikian pula dengan istilah sckularisasi. “Sekularisme” dan “sekularisasi”, dalam konteks yang berbeda atau berlawanan: dilarang dan disuruh. Yang dilarang sudah jelas, yaitu penerapan sekularisme dengan konsekuensi penghapusan kepercayaan kepada adanya Tuhan. Sedangkan yang diperintahkan, banyak sekali. Agama Islam pun, bila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses sekularisasi lebih dahulu. Justru ajaran tauhid itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi secara besar-besaran. ©5298 1 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan et Negasi dan Afirmasi Untuk memahami masalah ini, marilah kita perhatikan secara lebih cermat arti yang terkandung dalam kalimat syahadat yang pertama Kalimat itu merupakan garis pemisah antara siapa mukmin dan siapa kafir. Dalam kalimat itu terkandung dua pengertian: peniadaan (negation) dan pengukuhan (affirmation). Perkataan “tidak ada ‘Tuhan” adalah peniadaan, dan perkataan “melainkan Allah atau ‘Tuhan itu senditi? adalah pengukuhan. Cobalah pethatikan, betapa Islam, yang mengajarkan tauhid, itu justru memulai dengan ajaran yang meniadakan sama sekali (istilah Arabnya: nafy-un li al-jins) suatu tuhan atau ilah. Memperhatikan hal ini adalah penting sekali. Dan dalam syahadat itu, kemudian dengan segera disusul dengan pengecualian, bahwa tidak semua tuhan itu tidak ada, kecuali satu, yaitu Tuhan itu sendiri, atau Allah (Allah adalah Ilah yang telah memperoleh awalan al sebagai definite article). Jadi, negasi ketuhanan dalam kalimat syahadat adalah negasi yang terbatas, tidak mutlak. Sebab, memang tidak demikian yang dimaksudkan. Yang dimaksudkan ialah membebaskan manusia dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Kalau kita hendak membahas masalah tersebut secara sedikit lebih luas, dapatlah digambarkan demikian: ‘Agama (Islam) mengatakan bahwa manusia pertama (Adam dan Hawa) diajari tentang kepercayaan yang benat. Pasti, ajaran itu mula-mula adalah sederhana, sesuai dengan kemampuan pe- mahaman manusia. Kemudian disempurnakan secara bertahap, dengan diutusnya Rasul-rasul yang berdatangan sesudahnya. Rasul- rasul itu, selain bertugas membawa ajaran tentang kepercayaan, atau agama yang lebih lengkap, juga meluruskan kembali umat manusia yang sudah mulai menyimpang dari ajaran sebelumnya. Sampai akhirnya tiba kerasulan Nabi Muhammad. Beliau merupakan utus- an terakhir Tuhan, dengan tugas final dan universal. 5299 s0 Karya Lengkap Nurcholish Madiid ea Perspektif Sejarah Tetapi, guna mendapatkan gambaran lebih terang tentang proses itu, kita gunakan segi historis sebagai bahan pembahasan kita. Dan masih harus kita sempitkan lagi dengan mengambil tanah air kita sendiri sebagai misal. Menurut para ahli sejarah — sebagaimana diajarkan di sekolah- sekolah — bangsa Indonesia mula-mula menganut kepercayaan Animisme atau Dinamisme. Kemudian datang agama Hindu dan Budha, yang relatif lebih sempurna daripada kepercayaan asli tersebut. Tetapi, agama Hindu dan Budha sangat mentolerir Animisme tersebut, bahkan menyerapnya menjadi bagian dari dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan sisa-sisa Animisme itu masih tampak jelas dalam praktik-praktik agama Hindu dan Budha di Indonesia, schingga, ketika Islam datang, agama baru ini menghadapi keadaan yang tidak jauh berbeda dengan keasliannya dulu di bidang kepercayaan. Sckarng Islam mengajarkan syahadat yang merupakan pangkal tolak tauhid. Interaksi antara Animisme dan Tauhid Sekarang bagaimana gambaran interaksi antara Animisme (boleh juga plus Hinduisme) dan tauhid itu? Tnteraksi itu berada dalam proses demikian: Mula-mula se- orang Animis, sebelum masuk ke dalam kepercayaan Islam, harus terlebih dahulu menanggalkan sama sekali kepercayaannya. Hal itu berarti bahwa ia tidak boleh lagi memercayai bahwa segala benda mempunyai ruh atau kekuatan yang perlu dibujuk dan diji- nakkan melalui pemujaan. Dia harus memandang benda-benda itu menurut apa adanya, secara obyektif, tidak dilebihkan dan tidak pula dikurangkan. Besar sekali arti hal ini bagi seorang Animis. Scbab ia, pada mulanya, memandang benda-benda itu sedemikian, sehingga sikap-sikapnya terhadap benda apa pun juga merupakan 65 300 = 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a kegiatan keruhanian atau keagamaan. Materi dan spirit, atau benda dan jiwa (jism dan rib), menjadi satu, tidak dapat dibeda- bedakan. Baginya tidak ada benda sebagai benda (benda obyektif), melainkan benda tersebut merupakan wadah ruh, atau sukma, yang memerlukan pemujaan. Segala tindakan selalu berada dalam lingkungan kegiatan keagamaan. Lebih jelas lagi kalau kita lihat tindakan seorang Animis, berkenaan dengan penyakit dan pengobatannya. Suatu penyakit tidaklah dilihat apa sebenarnya penyakit itu, sebab-sebabnya, dan kemungkinan cara penyembuhannya. Penyakit, baginya, langsung dihubungkan dengan rub, atau sukma. Penyakit adalah pengaruh ruh jahat. Oleh karena itu, pengobatan satu-satunya untuk segala penyakit ialah yang bersifat ruhani, baik untuk mengusir ruh jahat tersebut atau membujuknya supaya pergi, atau meminta pertolongan ruh lainnya yang baik. Jadi, mengobati penyakit pun merupakan praktik keagamaan. Sungguh, tidak ada satu kegiatan manusia pun yang lepas dari lingkaran keagamaan. Tingkah laku manusia selalu dirangkaikan dengan ritual atau upacara keagamaan: umpamanya, memulai bercocok tanam, membuka saluran air, mengetam, dan seterusnya. Sisa praktik itu — sebagaimana di singgung di muka — masih dapat kita saksikan sampai sekarang ini. Yang penting kita perhatikan dalam sikap Animis itu ialah bahwa, baginya, tidak ada benda sebagai benda murni. Karena itu, scorang Animis tidak mungkin mendekati benda sebagai benda. Di balik bentuk lahir benda itu, dia akan mencari arti spiritualnya: apakah benda itu mendatangkan kutukan atau membawa keberuntungan. Maka ia tidak akan mengerti benda itu menurut hakikat materialnya, apalagi menaklukkan dan menggunakannya, sebagaimana kelaziman abad sekarang ini. Jadi sebenarnya, bagi seorang Animis, semua benda dan kegiatan keseharian ditentukan oleh resep-resep keagamaan. Tidak satu bagian pun yang dibiarkan dipecahkan oleh manusia sendiri dengan kreativitas berpikirnya. 5301 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& Sekarang Islam datang dengan ajaran tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu. Dengan tauhid, seorang Animis diajari untuk melihat benda-benda ini sebagaimana adanya: dia dapat mendekatinya sebagai benda obyektif, dapat memahaminya, da- pat menggunakan dan menguasainya. Bagaimana dia mendekati benda itu, sangat banyak bergantung kepada keceerdasannya, tidak kepada ketekunannya melakukan upacara-upacara keagamaan. Maka dengan tauhid itu, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis. Semua benda yang semula dipuja, dan karenanya mengandung nilai akhirat, spiritual atau agama, sekarang ia campakkan ke bumi, dan dipandangnya sebagai tidak lebih daripada benda duniawi belaka. Benda-benda itu, dengan demikian, diduniawikan atau disekularisasikan. Sckarang ia mendekati benda tersebut dengan kapasitasnya sendiri selaku manusia, makhluk berpikit. Ia memikirkan benda tersebut: kejadiannya, hukum-hukumnya, dan cara menguasai atau menggunakannya. Dalam kegiatan berpikir itu, ia tidak bergantung kepada upacara-upacara keagamaan lagi: ia bebas. Dan pengetahuannya tentang benda itu pun adalah pengetahuan bebas, berditi sendiri, di luar masalah-masalah spiritual. Sutan Takdir Alisjahbana menerangkan secara singkat masalah tersebut dalam bukunya (berbahasa Inggtis) Indonesia: Social and Cultural Revolution, bahwa, “Salah satu karakteristik Islam yang dengan jelas membedakannya dari Hinduisme ialah ajaran monoteismenya yang tidak mengenal kompromi. Juga, bertentangan dengan Hinduisme dan agama-agama asli Indonesia, di mana binatang, manusia, dan kekuatan-kekuatan supernatural, tidak dibedakan secara tajam, dan dapat dicampuradukkan satu dengan lainnya, Islam memberi manusia kedudukan istimewa, mengatasi alam, binatang dan tumbuh-tumbuhan, berkat pemisahan manusia dati ‘Allah dan alam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Manusia diberi kesempatan untuk membangun dunianya sendiri, dengan dituntun oleh intelegensinya. Islam juga berbeda dengan kebudayaan Indonesia asli dan Hindu, dalam hal bahwa ia membukakan pintu 65302 = 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a bagi pertumbuhan lembaga ilmu pengetahuan sekular (duniawi — penulis) yang bersifat otonom dari pengaruh keagamaan, dengan mengizinkan kebebasan berpikir dan mengadakan penyelidikan’. Seperti kita ketahui, Sutan Takdir adalah seorang yang mempunyai otoritas besar di bidang filsafat. Kenyataan bahwa kalimat syahadat pertama-tama mengandung peniadaan obyek pemujaan, atau tuhan, merupakan pengakuan tegas akan adanya kecenderungan manusia untuk memuja apa saja yang sebenarnya tidak perlu. Mengapa demikian? Karena manusia terlebih dahulu memerlukan rasa aman. Tetapi, ketika menghadapi kenyataan hidup ini, banyak sekali ia temukan hal- hal yang menimbulkan rasa tidak aman. Pada pokoknya manusia merasa tidak aman tethadap hal-hal atau benda-benda yang ia tidak kenal atau mengerti. Maka singkatnya, manusia, pada fase pertamanya, hampir tidak mengerti apa pun yang ada. Kengerian itu melahirkan tindakan sebaliknya, yaitu pemujaan. Mulailah manusia memuja apa saja yang asing baginya: gunung, hutan lebat, sungai, binatang, peristiwa, seperti terjadinya petir, lahar, banjir dan seterusnya. Bahkan, benda-benda yang terdekat dengan dirinya pun ia jadikan sasaran pemujaan. Tentu saja, hal itu berakibat semakin tidak dapat dimengertinya dunia ini. Sebab, semua tindakannya memang dimulai dengan sikap “tidak akan mengerti”. Maka, bila sejarah manusia itu berjalan, maka ia berjalan di tempat, tidak membuat kemajuan apa pun. Satu-satunya jalan ialah melepaskan manusia dari belenggu ini: ia harus melangkahi kepercayaannya sendiri bahwa dunia ini tidak dapat dimengerti oleh manusia sendiri. Dan itu berarti mengubah sama sekali tata kepercayaannya, yaitu bahwa manusia diberi wewenang penuh untuk memahami dunia ini. Yang tidak mungkin dimengerti hanyalah Tuhan, Pencipta dunia itu. Maka, Dia-lah yang berhak dipuja. Sedangkan selain-Nya, seisi alam raya ini, justru sebaliknya: harus dibuka rahasianya, dimengerti, dikuasai, dan digunakan. Rasulullah pun berkata: “Pikirkanlah alam raya ini, dan jangan kamu pikirkan Tuban, Penciptanya’. 5303 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& Amanat Tuhan Perlu ditegaskan di sini kesimpulan pembahasan bahwa bagi seorang Animis semua benda di dunia ini mempunyai arti religius. Lebih penting lagi, pendekatannya terhadap benda itu serba-spiritualistis, selalu dihubungkan dengan ritus atau upacara-upacara keagamaan. Sedangkan bagi seseorang yang telah menerima persaksian bahwa “tidak ada tuhan selain Tuhan sendiri”, maka pendekatannya kepada benda-benda dunia ini (seharusnya) ialah menurut apa adanya benda tersebut, baik berkenaan dengan hakikat-hakikatnya maupun hukum-hukum yang menguasainya. Pendekatan itu tidak ada hubungannya dengan masalah ritus atau ibadat. Maka, sukses seseorang dalam pendekatan kepada sesuatu yang bersifat duniawi itu, tidak tergantung kepada ketekunanya beribadat atau melakukan kegiatan-kegiatan religius, melainkan kepada sampai di mana dia mengerahkan kemampuan intelektualnya. Kecerdasan, akal pikiran ataupun intelektualitas (atau, apa pun kita menyebutnya) sebagai suatu jenis kemampuan yang secara khusus hanya dipunyai oleh makhluk manusia, menurut ajaran agama, adalah suatu “Amanat” Tuhan. Di dalam Kitab Suci dilukiskan bahwa amanat akal pikiran itu, dulunya, telah ditawarkan Tuhan kepada alam semesta: langit, bumi, dan gunung. Tetapi, kesemuanya menolak untuk menerimanya, dan merasa keberatan. Kemudian, amanat itu akhirnya diterima oleh manusia. Memang, dengan menerima amanat itu, manusia menghadapi resiko, karena ia lantas menjadi makhluk berpikir yang mungkin salah dan mungkin benar. Bila ia berpikir, dan ternyata benar, maka ia akan menerima buahnya yang berguna. Tetapi sebaliknya, jika salah, maka ia akan menerima akibatnya yang buruk (Q 33:20). Namun justru dengan adanya intelegensi, atau kecerdasan itu, manusia dapat berfungsi lebih daripada makhluk-makhluk lainnya. Bahkan dengan begitu ia mengatasi status malaikat yang hanya berupa makhluk kebaikan atau, apalagi, setan yang hanya berupa makhluk kejahatan. 65 304 = 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a Sesungguhnya, kecerdasan merupakan perlengkapan hidup manusia, yang akan menemaninya sepanjang dia berada di dunia fana ini. Para ahli menerangkan bahwa perlengkapan hidup manu- sia itu dimulai dengan insting, atau naluri, yang telah dipunyai semenjak ia dilahirkan, kemudian ditambah lagi dengan indera, ketika ia, sebagai manusia, telah berkembang dan merasa tidak cukup semata-mata dengan naluri. Sampai pada tingkat ini, manusia hanya sampai pada tingkatan yang sama dengan binatang. Maka, kelengkapan selanjutnya ialah kecerdasan yang lebih completed daripada indera. Dengan kecerdasan, manusia banyak sekali dapat memecahkan dan mengatasi masalah-masalah hidupnya di dunia ini. Namun masih ada sesuatu yang tidak mungkin dipecahkan dengan kecerdasan semata-mata, yaitu bagaimana mengetahui hal-hal yang bethubungan dengan ruhani, spiritual, ataupun kehi- upan sesudah mati, yaitu bidang-bidang keagamaan, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan. Maka wahyu, yaitu pengajaran langsung dari ‘Tuhan kepada umat manusia melalui para rasul- Nya, merupakan kelengkapan terakhir bagi kehidupan manusia. Begitulah sepanjang ajaran agama, khususnya agama Islam. Maka tethadap adanya wahyu dan isinya itu, penerimaan manusia tidak- lah merupakan kegiatan intelektualnya, melainkan lebih banyak merupakan masalah hidayah atau petunjuk Tuhan. Khalifah Tuhan Satu konsep tentang manusia, menurut Islam, ialah bahwa ia merupakan makhluk tertinggi (absan-w tagwim), puncak ciptaan Tuhan. Karena keutamaan manusia itu, maka ia memperoleh status mulia, yaitu sebagai “khalifah Tuhan di bumi”. Status itulah yang mula pertama diterangkan Tuhan tentang manusia. Khalifah berarti pengganti di belakang (successor). Jadi, manusia adalah pengganti Tuhan di bumi: artinya urusan di bumi ini diserahkan kepada umat manusia. Memang, untuk mengurus dunia itu, Tuhan 5305 0 Karya Lengkap Nurcholish Madjid c& memberikan petunjuk-petunjuk, tapi hanya dalam garis besar saja. ‘Tuhan tidak memberikan petunjuk-petunjuk terinci, tidak pula keterangan terinci tentang dunia ini. Tetapi Tuhan memberikan suatu alat yang bakal memungkinkan manusia memahami dan mencari pemecahan atas masalah-masalahnya di dunia ini, yaitu akal pikiran atau intelegensi. Dalam surat al-Bagarah diterangkan, bahwa para malaikat mengajukan keberatan atas penunjukan manusia (Adam) sebagai “wakil” Tuhan di bumi. Alasannya, para malaikat mengetahui lebih dahulu bahwa manusia nanti bakal banyak merusak di bumi, dan bunuh-membunuh, sedangkan para malaikat itu kiranya lebih bethak menjadi khalifah, karena mereka selalu berbakti kepada Tuhan dan berbuat baik. Tetapi ‘Tuhan mengatakan bahwa Dia mengetahui kelebihan manusia yang tidak dipunyai para malaikat. Kelebihan itu ialah rasionya, atau kecerdasannya, sehingga manusia sanggup menerima pengajaran atau pengertian, dan mengenali dunia sekelilingnya. Akhirnya, para malaikat mengakui akan kelebihan manusia (Adam), dan mereka pun tunduk kepadanya, kecuali iblis. Begitulah episode sekitar penciptaan manusia oleh Tuhan dalam Kitab Suci. Dituturkannya kembali di sini dokerin agama yang amat terkenal itu ialah untuk menegaskan bahwa karena kelebihan manusia berupa intelektualitas, akal pikiran, rasio, atau apalagi namanya itu, maka ia mendapat kehormatan sebagai khalifah Tuhan di bumi ini. Dan dengan rasio itulah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini. Oleh karena itu, terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Sebab, inti sekularisasi ialah: pecahkan dan pahami masalah-masalah duniawi ini, dengan mengerahkan kecerdasan atau rasio. Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab, pendekatan rasional kepada sutu benda atau masalah yang telah menjadi sakral, tabu, dan lain-lain men- jadi tidak mungkin. Sebelum kita mengadakan pemecahan dan pemahaman rasional atas sesuatu, maka sesuatu tersebut harus bebas dari bungkus ketabuan dan kesakralan. Maka dalam hal ini, 65 306 = 159 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan a untuk kembali kepada prinsip tauhid dalam kalimat syahadat, orang harus mantap untuk tidak men-sabu-kan sesuatu. Tuhan-lah yang ‘abu. Dan karenanya, tak mungkin dimengerti oleh manusia dengan rasionya itu. Artinya, dengan bertitik-tolak dari syahadat iru, manusia dapat memecahkan masalah-masalah kehidupannya dengan mempertaruhkan kemampuan potensial yang ada pada dirinya sendiri, yaitu kecerdasan. Hari Dunia dan Hari Agama (Akhirat) ‘Ada satu hal lagi yang perlu diterangkan, dalam hubungannya dengan sekularisasi ini: yaitu, konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep yang cukup tegas itu, hanyalah terbit dari gejala kecenderungan apologetis saja. Kecenderungan itu juga terbukti dari percobaan sementara pemikir kita, untuk menerangkan bahwa Islam adalah lebih dari sekadar agama, melainkan ia merupakan a/-din. Jadi, ia lebih dari agama lainnya, seperti Yahudi, Kristen, Majusi dan lain-lain. Padahal, dalam Kitab Suci diterangkan bahwa Yahudi, Kristen, Majusi dan lain-lain itu, bahkan juga agama-agama yang dianut orang-orang Musyrik Arab Jahiliah, juga disebut a/-din. Jadi hal itu jelas tidak ada bedanya. Adapun mengenai kandungan ajarannya, apakah lebih luas atau lebih sempit, adalah masalah kedua. Keterangan tentang Hari Agama dalam Kitab Suci, kita semua mengetahuinya, terdapat dalam surat al-Fatibah. Di situ disebutkan bahwa Tuhan adalah Pemilik Hari Agama. Di sini pun, penafsiran perkataan yawm-u ‘din sebagai hari pembalasan, atau lainnya, adalah masalah kedua, dan hal itu tidak lebih dari pendapat penafsir saja. Dan kata-kata yawm-u ‘/-din terdapat cukup banyak dalam Kitab Suci. Salah satunya, yang dengan cukup tegas menerangkan tentang Hari Agama itu, terdapat pada: “Zahukah kamu, apa itu Hari Agama? Sekali lagi, tabukah kamu apa itu Hari Agama? Yaitu hari ketika tidak seorang pun dapat berbuat sesuatu untuk orang 5307

You might also like