Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

Jurnal Kesehatan

Volume 10, Nomor 2, Tahun 2020


ISSN 2086-7751 (Print), ISSN 2548-5695 (Online)
http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK

Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dan Ketahanan Pangan terhadap


Kejadian Stunting pada Balita

Relationship of Social Economic and Food Security Factors on Stunting


Incidence in Children under Five Years

Dyah Wulan Sumekar Rengganis Wardani1 , Marita Wulandari2, Suharmanto3


1,3
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, Indonesia
2
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Indonesia

ARTICLE INFO ABSTRACT/ ABSTRAK

Article history Indonesia ranks third as a country with the highest stunting prevalence in Southeast Asia
in 2017. Bandar Lampung, is one of the cities with a high prevalence of stunting; and
Received date Teluk Betung Selatan Subdistrict is an area with the highest prevalence of stunting in
02 Sept 2020 Bandar Lampung. This study aims to analyze the relationship between socioeconomic
factors and food security on the incidence of stunting in children under five years. This
Revised date study is a case-control study, with a case sample of 50 families who have stunted children
09 Sept 2020 under five years and the control sample is 50 families who have normal children under
five years. The research variables included socioeconomic factors (education and
Accepted date income), food security factors (family food insecurity and food diversity), and the
17 Sept 2020 incidence of stunting, which were then analyzed by Chi-Square. The results showed that
there was a relationship between socioeconomic factors and family food insecurity to the
incidence of stunting. Therefore, stunting control programs need to involve these two
Keywords: factors in the intervention to reduce stunting in children under five years.

Food security;
Social economic;
Stunting;
Toddler.

Kata kunci: Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia
Tenggara pada tahun 2017. Bandar Lampung, merupakan salah satu kota dengan
Ketahanan pangan; prevalensi stunting tinggi; dan Kecamatan Teluk Betung Selatan merupakan wilayah
Sosial ekonomi; dengan prevalensi stunting tertinggi di Bandar Lampung. Penelitian ini bertujuan
Stunting; menganalisis hubungan faktor sosial ekonomi dan ketahanan pangan terhadap kejadian
Balita. stunting pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian case control, dengan sampel
kasus adalah 50 keluarga yang mempunyai balita stunting dan sampel kontrol adalah 50
keluarga yang mempunyai balita normal. Variabel penelitian mencakup faktor sosial-
ekonomi (pendidikan dan pendapatan), faktor ketahanan pangan (kerawanan pangan
keluarga dan keragaman makanan) serta kejadian stunting, yang kemudian dianalisis
dengan Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara faktor sosial-
ekonomi dan kerawanan pangan keluarga terhadap kejadian stunting. Oleh karena itu,
program pengendalian stunting perlu melibatkan kedua faktor tersebut dalam intervensi
penurunan stunting pada balita.

Corresponding Author:

Dyah Wulan Sumekar Rengganis Wardani


Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, Indonesia
Email: dyah.wulan@fk.unila.ac.id

PENDAHULUAN 2015). Stunting masih menjadi masalah gizi anak


bawah lima tahun (balita) di Indonesia. Pada
Stunting merupakan suatu kondisi anak tahun 2017, diperkirakan terdapat sekitar 150,8
dengan panjang atau tinggi badan kurang dari juta balita menderita stunting; setara dengan
normal, yang biasanya disertai dengan 22,2% dari keseluruhan balita. Di Indonesia, rata-
komplikasi penyakit (Khoeroh & Indriyanti, rata prevalensi balita stunting pada tahun 2005-
287
288 Jurnal Kesehatan, Volume 11, Nomor 2, Tahun 2020, hlm 287-293

2017 sebesar 36,4% dan Indonesia menempati Betung Selatan merupakan kecamatan dengan
urutan ketiga sebagai negara dengan prevalensi prevalensi stunting tertinggi di Bandar Lampung
stunting tertinggi di kawasan Asia Tenggara. dan mengalami peningkatan jumlah balita
Lebih lanjut, merujuk pada standar World Health stunting. Merujuk pada data tahun 2015 terdapat
Organization (WHO), prevalensi stunting di 90 balita stunting dan pada tahun 2018
suatu daerah dikategorikan baik bila kurang dari meningkat menjadi 310 balita (Dinas Kesehatan
20% (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Kota Bandar Lampung, 2015; Dinas Kesehatan
Dampak stunting tidak hanya pada Kota Bandar Lampung, 2018). Di sisi lain, belum
individu tetapi juga terhadap bangsa dan negara. banyak penelitian yang mempelajari hubungan
Dampak stunting pada individu mencakup antara faktor sosial ekonomi dan ketahanan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, pangan terhadap kejadian stunting di wilayah
peningkatan biaya kesehatan, penurunan kognitif, tersebut. Merujuk pada uraian di atas, maka
penurunan prestasi dan kapasitas belajar hingga penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan
penurunan kemampuan serta kapasitas kerja, faktor sosial ekonomi dan ketahanan pangan
yang akhirnya berdampak pada pembangunan terhadap kejadian stunting pada balita.
bangsa (World Health Organization, 2013;
Oktarina & Sudiarti, 2014). Lebih lanjut, dampak
stunting juga dapat bersifat jangka pendek METODE
maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek
anak dapat berupa kerentanan anak terhadap Penelitian ini merupakan penelitian case
infeksi dan perkembangan kognitif yang kurang control yang dilakukan di Kecamatan Teluk
maksimal. Sedangkan dampak jangka panjang Betung, Kota Bandar Lampung pada bulan April-
lebih kepada meningkatnya risiko pada saat Mei 2019. Populasi penelitian adalah seluruh
dewasa terhadap penyakit kronis seperti diabetes balita berusia 12-59 bulan yang telah dilakukan
atau penyakit kardiovaskuler (Prendergast & pengukuran tinggi badan pada bulan November-
Humphrey, 2014; Nurbaiti, dkk., 2014). Merujuk Desember 2018 yang berjumlah 1.633 balita,
pada dampak stunting tersebut, pencegahan dan yang terdiri dari populasi kasus sebanyak 310
pengendalian kejadian stunting sangat balita dan populasi kontrol sebanyak 1.323 balita.
diperlukan, dan untuk itu diperlukan informasi Sampel kelompok kasus dan kelompok kontrol
mengenai faktor-faktor yang perlu diintervensi. masing-masing adalah 50 balita, sesuai dengan
Terdapat beberapa faktor yang secara penghitungan jumlah sampel dengan
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi menggunakan proporsional random sampling.
kasus stunting, diantaranya faktor sosial ekonomi Variabel pada penelitian ini terdiri dari
dan ketahanan pangan (Tiwari, et al., 2014; variabel dependen dan variabel independen.
UNICEF, 2013; Michaelsen, et al., 2015). Faktor Variabel dependen adalah kejadian stunting yaitu
sosial ekonomi merujuk pada pendidikan, tinggi balita dibandingkan dengan height-for-age
pekerjaan, pendapatan, kelas sosial, ras/ etnis dan Z skor yang dalam penelitian ini dikategorikan
gender yang menyebabkan seseorang mempunyai menjadi stunting; tidak stunting (World Health
perbedaan dalam mengakses pelayanan Organization, 2006). Variabel independen terdiri
kesehatan, yang salah satu dampaknya adalah dari pendidikan ibu, pendapatan keluarga, ragam
meningkatkan risiko terjadinya stunting dan makanan dan kerawanan pangan keluarga.
wasting (CSDH, 2011; UNICEF, 2013). Pendidikan ibu adalah lama pendidikan 12 tahun
Sedangkan ketahanan pangan merujuk pada yang ditamatkan, yang pada penelitian ini
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dikateogirkan menjadi tidak tamat dan tamat
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, (Pemerintah RI, 2008). Pendapatan keluarga
merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan adalah jumlah seluruh pendapatan keluarga per
dengan agama, keyakinan, dan budaya bulan yang dikategorikan menjadi rendah:
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan <Rp1.500.000, sedang: Rp1.500.000-<Rp3.750.000,
produktif secara berkelanjutan (Pemerintah RI, dan tinggi: >Rp3.750.000 (Badan Pusat Statistik
2012). Pada masalah gizi, ketahanan pangan Provinsi Lampung, 2016). Ragam makanan
dapat diidentifikasi dari kemampuan rumah didefinisikan sebagai jumlah keragaman
tangga untuk mengakses pangan dan keragaman pemberian pangan rumah tangga setiap hari, yang
konsumsi pangan rumah tangga (Coates, 2007). pada penelitian ini dikategorikan menjadi rendah:
Pemantauan status gizi tahun 2018 di <3 jenis, sedang: 4-5 jenis, dan tinggi: >6 jenis)
Bandar Lampung mempunyai prevalensi balita (Food and Agricultural Organization, 2011).
stunting 33,4%, lebih besar dari ketentuan WHO Variabel kerawanan pangan keluarga pada
yang hanya 20%. Lebih lanjut, Kecamatan Teluk penelitian ini diukur dengan Household Food
Wardani, Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dan Ketahanan Pangan terhadap Kejadian Stunting … 289

Insecurity Access Scale (HFIAS), yang kemudian HASIL


dikategorikan menjadi rawan berat, rawan
sedang, rawan ringan, dan tahan pangan) Tabel 1. Analisis Data Univariat
(Coates, 2007); Variabel n %
Pengumpulan data dilakukan dengan cara Pendidikan ibu
pengambilan data primer dan data sekunder. Data Tidak tamat pendidikan dasar 46 46
sekunder mencakup data balita stunting dan Tamat pendidikan dasar 54 54
balita bukan stunting. Sedangkan data primer Pendapatan keluarga
Rendah 29 29
mencakup data ketahanan pangan dan sosial
Sedang 52 52
ekonomi. Pengumpulan data dilakukan dengan Tinggi 19 19
wawancara terhadap responden (ibu/ pengasuh Keragaman pangan keluarga
anak) dengan alat bantu kuesioner. Pengolahan Rendah – sedang 10 10
data pada penelitian ini mencakup editing, coding Tinggi 90 90
dan entry data. Analisis data yang digunakan Kerawanan pangan keluarga
terdiri dari analisis univariat untuk mengetahui Rawan berat 12 12
gambaran tiap indikator serta analisis bivariat Rawan sedang 18 18
untuk mengetahui hubungan dan kekuatan Rawan ringan 23 23
hubungan antara variabel independen dan Tahan pangan 47 47
variabel dependen. Penelitian ini telah
mendapatkan persetujuan etik dari Fakultas Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa
Kedokteran Universitas Lampung dengan Nomor responden pada penelitian ini lebih banyak (54%)
784/UN26.18/PP.05.02.00/2019. Selain itu, merupakan responden dengan pendidikan ibu
keikutsertaan responden dalam penelitian ini tamat pendidikan dasar, walaupun perbedaan
adalah berdasarkan sukarela tanpa paksaan. persentase dengan pendidikan ibu tidak tamat
pendidikan dasar tidak terlalu besar. Lebih lanjut,
responden pada penelitian ini lebih banyak
mempunyai pendapatan keluarga yang sedang
(52%). Untuk ketahanan pangan, responden
dalam penelitian ini lebih banyak (90%)
mempunyai keragaman pangan yang tinggi serta
dalam kategori tahan pangan (47%), walaupun
tidak terlalu banyak perbedaan persentase dengan
kategor kerawanan pangan keluarga lainnya.

Tabel 2. Analisis Data Faktor Sosial Ekonomi dan Ketahanan Pangan terhadap Kejadian
Stunting
Stunting Tidak stunting
Variabel p-value Nilai C
n % n %
Pendidikan ibu
Tidak tamat pendidikan dasar 32 69,6 14 30,4
0,001 0,340
Tamat pendidikan dasar 18 33,3 36 66,7
Pendapatan keluarga
Rendah 24 82,8 5 17,2
Sedang 24 46,2 28 53,8 <0,001 0,444
Tinggi 2 10,5 17 89,5
Keragaman pangan keluarga
Rendah – sedang 8 80 2 20
0,096 0,146
Tinggi 42 46,7 48 53,3
Kerawanan pangan keluarga
Rawan berat 9 75,0 3 25
Rawan sedang 15 83,3 3 16,7
<0,001 0,415
Rawan ringan 13 56,5 10 43,5
Tahan pangan 13 27,7 34 72,3
Wardani, Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dan Ketahanan Pangan terhadap Kejadian Stunting … 289

Pada tabel 2 dapat diketahui bahwa pada lebih banyak merupakan responden dengan
balita stunting lebih banyak (69,6%) merupakan pendidikan tinggi dan pendapatan tinggi. Hasil
ibu yang tidak tamat pendidikan dasar dan tersebut didukung dengan hasil analisis data yang
memiliki pendapatan keluarga yang rendah menunjukkan terdapatnya hubungan antara faktor
(82,8%). Sedangkan pada balita yang tidak sosial ekonomi (pendidikan dan pendapatan)
stunting lebih banyak (66,7%) merupakan ibu terhadap kejadian stunting pada anak balita. Faktor
yang menamatkan pendidikan dasar dan dengan sosial ekonomi yang rendah, diantaranya adalah
pendapatan keluarga yang tinggi (89,5%). Hasil pendidikan dan pendapatan yang rendah, akan
analisis bivariat antara pendidikan ibu dan stunting menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial
diperoleh nilai p-value=0,001 dan nilai C=0,340 ekonomi dalam masyarakat yang pada akhirnya
yang berarti terdapat hubungan antara pendidikan akan mengakibatkan perbedaan akses terhadap
dan kejadian stunting pada balita. Demikian pula sarana prasarana kesehatan. Perbedaan akses
pada analisis bivariat antara pendapatan keluarga tersebut akan menyebabkan terjadinya perbedaan
dengan stunting diperoleh nilai p-value=<0,001 peluang kejadian penyakit dan kematian, termasuk
yang berarti terdapat hubungan antara pendapatan kejadian stunting pada balita (CSDH, 2011).
keluarga dengan kejadian stunting pada balita. Faktor sosial ekonomi juga sangat berkaitan
Untuk faktor ketahanan pangan, merujuk dengan akses terhadap sanitasi lingkungan dan
tabel 2, pada balita stunting lebih banyak sumber air bersih yang sangat terkait dengan
merupakan keluarga dengan kerawanan pangan penyakit-penyakit infeksi pada balita, yang dapat
keluarga kategori rawan berat (75,0%) dan rawan meningkatkan risiko kejadian stunting pada balita
sedang (83,3%) serta keragaman pangan keluarga (Budge, et al., 2019). Walaupun tidak mempelajari
yang rendah – sedang (80%). Sedangkan pada mengenai stunting, hasil penelitian ini juga sesuai
balita yang tidak stunting lebih banyak (72,3%) dengan penelitian di Bandar Lampung yang
merupakan keluarga yang tahan pangan dan mendapatkan hasil bahwa faktor sosial ekonomi
dengan keragaman pangan keluarga yang tinggi berpengaruh terhadap kesehatan, khususnya
(53,3%). Hasil analisis hubungan antara kejadian tuberkulosis (TB) (Wardani & Wahono,
keragaman pangan keluarga dan stunting dengan 2018).
Chi Square mendapatkan nilai p-value=0,096 yang Lebih lanjut, seseorang dengan pendidikan
menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tinggi akan mempunyai kemungkinan yang lebih
keragaman pangan keluarga dan kejadian stunting besar untuk mendapatkan pekerjaan dan
pada balita. Sedangkan hasil analisis hubungan pendapatan yang baik; sehingga akan
antara kerawanan pangan keluarga dan stunting memungkinkan untuk mendapatkan kesejahteraan
mendapatkan nilai p-value<0,001 dan nilai termasuk kesehatan yang baik (Braveman, Egerter,
C=0,415 yang berarti terdapat hubungan erat & Mockenhaupt, 2011). Pada penelitian ini,
antara kerawanan pangan keluarga dan kejadian keluarga dengan pendapatan keluarga yang
stunting pada balita. sedang-tinggi lebih banyak merupakan keluarga
dengan pendidikan ibu yang tinggi, sedangkan
keluarga dengan pendapatan keluarga yang rendah
PEMBAHASAN lebih banyak merupakan keluarga dengan
pendidikan ibu yang juga rendah.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa Merujuk pada nilai coeficient contingency,
sebagian besar responden mempunyai sosial pada penelitian ini pendapatan (C=0,444)
ekonomi yang cukup baik yang ditunjukkan merupakan faktor yang lebih kuat korelasinya
dengan pendidikan yang tinggi dan pendapatan dibandingkan pendidikan (C=0,340). Hasil
yang sedang. Akan tetapi, merujuk pada tabel 2, penelitian ini sesuai dengan penelitian di Peru
responden dengan pendidikan tinggi dan yang mendapatkan hasil bahwa produk domestik
pendapatan sedang tidak merata di semua bruto per kapita menunjukkan korelasi yang
kelompok responden. Responden dengan balita signifikan dalam analisis yang disesuaikan dengan
stunting lebih banyak merupakan responden waktu terhadap penurunan kasus stunting tahunan
dengan pendidikan rendah dan pendapatan rendah, (Huicho, et.al., 2017). Penelitian ini juga sesuai
sedangkan responden dengan balita tidak stunting dengan penelitian yang dilakukan di Semarang
290 Jurnal Kesehatan, Volume 11, Nomor 2, Tahun 2020, hlm 287-293

yang mendapatkan hasil bahwa penentu utama kekurangan kecukupan makan per hari akan
kasus stunting bayi usia 6 bulan adalah tingkat berakibat tidak diperolehnya asupan gizi yang
pendapatan keluarga (Mustikaningrum, dkk., seimbang atau nutrisi yang kurang baik (Food and
2016). Agriculture Organization, 2011). Lebih lanjut,
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Bloem (2010) menyatakan bahwa nutrisi yang baik
responden penelitian paling banyak pada keadaan berkaitan dengan pencegahan berkembangnya
tahan pangan. Akan tetapi merujuk pada tabel 2, infeksi penyakit termasuk tuberculosis dan
responden dengan keadaan tahan pangan tidak stunting.
merata di semua responden. Responden dengan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
balita stunting lebih banyak merupakan responden responden sebagian besar mempunyai keragaman
dengan kerawanan keluarga yang rawan sedang makanan yang tinggi. Merujuk pada tabel 2,
dan rawan berat, sedangkan responden yang tidak walaupun terdapat perbedaan persentase responden
dengan balita stunting lebih banyak merupakan dengan balita stunting dan tidak dengan balita
responden yang tahan pangan. Analisis data juga stunting menurut keragaman makanan, tetapi
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perbedaan tersebut tidak terlalu besar. Analisis
kerawanan pangan terhadap stunting. Hasil data menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
penelitian ini sesuai dengan penelitian di antara keragaman makanan terhadap stunting.
Bangladesh yang menunjukkan bahwa keluarga Hasil tersebut tidak sesuai dengan review yang
rawan pangan ringan dan sedang memiliki menyatakan bahwa untuk hidup dan meningkatkan
kemungkinan lebih besar untuk memiliki anak kualitas hidup, seseorang memerlukan 5 kelompok
stunting dibandingkan keluarga lain dengan zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
ketersediaan pangan berkelanjutan (Sarma, et al., mineral) dalam jumlah cukup, tidak berlebihan dan
2017). Lebih lanjut, bayi usia 6-23 bulan dalam tidak juga kekurangan. Selain itu, diperlukan juga
keluarga dengan ketersediaan pangan rawan air dan serat untuk memperlancar berbagai proses
memiliki risiko 2,7 kali lipat mengalami stunting faali dalam tubuh. Di sisi lain, secara alami,
dibandingkan dengan bayi dalam keluarga dengan komposisi zat gizi setiap jenis makanan memiliki
ketersediaan pangan berkelanjutan (Masrin, 2014). keunggulan dan kelemahan tertentu. Beberapa
Kemudahan untuk mendapatkan sumber pangan makanan mengandung tinggi karbohidrat tetapi
akan berpengaruh terhadap kecukupan gizi bagi kurang vitamin dan mineral. Sedangkan beberapa
keluarga terutama bagi ibu dan balitanya, sehingga makanan lain kaya vitamin C tetapi miskin vitamin
kerawanan pangan yang disebabkan oleh A. Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang
keterbatasan aset dan akses ke sumber pangan beranekaragam, maka akan timbul
akan menyebabkan masalah gizi pada balita ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan
termasuk stunting (Firman & Mahmudiono, 2018; zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan
Pangestuti, dkk., 2017). Kerentanan pasokan produktif. Dengan mengonsumsi makanan sehari-
pangan keluarga dalam jangka panjang dapat hari yang beranekaragam, kekurangan zat gizi
mempengaruhi konsumsi pangan dengan terus pada jenis makanan yang satu akan dilengkapi
menerus mengurangi kuantitas dan kualitas pangan oleh keunggulan susunan zat gizi jenis makanan
bagi seluruh anggota keluarga termasuk balita, lain, sehingga diperoleh masukan zat gizi yang
sehingga kekurangan gizi yang dibutuhkan tubuh seimbang (Food and Agriculture Organization,
anak akan berdampak negatif pada pertumbuhan 2011). Pada penelitian ini tidak terdapatnya
balita terutama pada tinggi tubuh, yang akan hubungan antara ragam makanan dan stunting
menyebabkan stunting (Chaparro, 2012). Untuk dapat disebabkan karena tidak terlalu banyak
mendapatkan asupan gizi seimbang diperlukan perbedaan antara balita yang stunting dan tidak
kecukupan makan 3 kali sehari. Hal tersebut stunting menurut keragaman makanan.
dinyatakan pada pesan ke tujuh dasar gizi Penelitian ini juga menunjukkan hasil
seimbang untuk membiasakan sarapan pagi. Selain bahwa keluarga dengan kerawanan pangan
itu, juga disarankan untuk makan siang dan makan keluarga yang sedang-berat sebagian besar
malam yang terdiri dari 4 kelompok makanan merupakan keluarga dengan pendidikan ibu yang
(makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah). Oleh rendah dan pendapatan keluarga yang juga rendah.
karena itu, apabila seseorang mengalami Sedangkan pada keluarga dengan kerawanan
Wardani, Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dan Ketahanan Pangan terhadap Kejadian Stunting … 291

pangan yang ringan-tahan pangan merupakan mendapatkan asupan protein, kalsium, fosfor,
keluarga dengan pendidikan ibu yang tinggi dan potasium dan vitamin C yang rendah. Akan tetapi,
pendapatan keluarga yang sedang-tinggi. Hasil hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang juga Aromolaran (2004) yang pada penelitiannya di
mendapatkan hasil bahwa pendapatan keluarga Nigeria Barat Daya mendapatkan hasil bahwa
yang rendah, tingkat pendidikan ibu yang rendah, meningkatnya sumbangan pendapatan istri dalam
dan pengetahuan gizi ibu yang buruk merupakan pendapatan keluarga tidak berhubungan dengan
faktor-faktor yang berhubungan dengan kasus peningkatan asupan kalori keluarga. Hal tersebut
balita stunting (Ni'mah, dkk., 2015). Lebih lanjut, didukung oleh data bahwa keluarga dengan
pendapatan keluarga berhubungan dengan sumbangan pendapatan istri yang lebih besar, lebih
kemampuan rumah tangga untuk memenuhi banyak berasal dari keluarga dengan pendapatan
kebutuhan hidup primer, sekunder, dan tersier. keluarga yang rendah. Misselhorn (2005)
Keterbatasan pendapatan keluarga akan berdasarkan meta analisis penelitian keamanan
mempengaruhi kualitas dan kuantitas bahan pangan di Afrika Selatan menyatakan bahwa
pangan yang akan dikonsumsi oleh anggota kemiskinan berkaitan erat dengan ketidakamanan
keluarga (Khotimah, 2014). Hasil penelitian ini pangan. Review yang dilakukan oleh Chopra dan
juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanders (2008) juga mendapatkan bahwa
Dean dan Sharkey (2011) di Texas yang persentase anak kurang gizi di Sub Sahara Afrika
mendapatkan adanya hubungan antara pendidikan semakin menurun seiring dengan menurunnya
dan pendapatan keluarga dengan kecukupan bahan persentase pendapatan rumah tangga yang berada
pangan. Pada penelitian tersebut pendidikan yang di bawah garis kemiskinan. Lebih jauh, Lönnroth
tinggi merupakan faktor yang bersifat protektif (2009 dan 2010) menyatakan bahwa orang dengan
terhadap kecukupan bahan pangan (OR=0,88). pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan kelas sosial
Pada penelitian tersebut, pendapatan yang sangat yang rendah cenderung mempunyai
rendah juga merupakan faktor risiko untuk ketidakamanan pangan yang besar.
seringnya mengalami ketidakcukupan bahan
makanan dan tidak adanya uang untuk membeli
(OR=4,61). Sedangkan pendapatan rendah SIMPULAN
merupakan faktor risiko untuk kadang-kadang
mengalami ketidakcukupan bahan makanan Berdasarkan hasil penelitian dapat
(OR=3,57). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan disimpulkan bahwa faktor sosial ekonomi
penelitian yang dilakukan oleh Hur, Jang dan Oh (pendidikan dan pendapatan) dan faktor ketahanan
(2011) di Korea yang mendapatkan hasil bahwa pangan (kerawanan pangan keluarga) berhubungan
asupan protein, kalsium, fosfor, potasium dan dengan kejadian stunting pada balita. Oleh karena
vitamin C berhubungan dengan pendapatan itu, program penanggulangan stunting perlu
keluarga. Keluarga dengan pendapatan yang mengimplementasikan intervensi kedua faktor
rendah akan mempunyai risiko lebih tinggi untuk tersebut untuk menurunkan kejadian stunting.

DAFTAR PUSTAKA

Aromolaran, A.B. (2004). Household Income, HIV and Tuberculosis Infections and The
Women’s Income Share and Food Calorie Implications for Interventions in Resource-
Intake in South Western Nigeria. Food limited Settings. Food Nutrition Bulletin,
Policy, 29: 507–530. 31(3).
Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. (2016). Braveman, P. A, Egerter, S. A, & Mockenhaupt, R.
Indikator Makro Ekonomi Regional E. (2011). Broadening the Focus: The Need
Provinsi Lampung 2016. Bandar Lampung: to Address the Social Determinants of
BPS Provinsi Lampung. Health. American Journal of Preventive
Bloem, M.W. & Saadeh, R. (2010). Foreword: The Medicine, 40, S4-18.
Role of Nutrition and Food Insecurity in
292 Jurnal Kesehatan, Volume 11, Nomor 2, Tahun 2020, hlm 287-293

Budge, S., Parker, A.H., Hutchings, P.T. & Nutrition and Consumer Protection
Garbutt, C. (2019). Environmental Enteric Division, Food and Agriculture
Dysfunction and Child Stunting. Nutrition Organization of the United Nations..
Reviews, 77(4): 240-253. Huicho, L., Espinoza,CAH., Perez, EH., Segura,
Chaparro, C. (2012). Household Food Insecurity ER., de Guzman,JN., María Rivera,M.Ch.,
and Nutritional Status of Women of and Barros, A.J.D. (2017). Factors behind
Reproductive Age and Children under 5 the success story of under-five stunting in
Years of Age in Five Departments of the Peru: a district ecological multilevel
Western Highlands of Guatemala: An analysis. BMC Pediatrics, 17:29
Analysis of Data from the National Hur, I., Jang, M-J., & Oh, K. (2011). Food and
Maternal Infant Health Survey 2008–09 of Nutrient Intakes According to Income in
Guatemala. Washington, DC.: FAO Korean Men and Women. Public Health Res
Chopra, M. & Sanders, D. (2008). Undernutrition Perspect, 2(3): 192-197.
and Its Social Determinants. International Kementrian Kesehatan RI. (2018). Situasi Balita
Encyclopedia of Public Health, p.421-426. Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta:
Coates, J., Swindale, A., Bilinsky, P. (2007). Buletin Jendela Data dan Informasi
Household Food Insecurity Access Scale Kesehatan.
(HFIAS) for Measurement of Food Access: Khoeroh, H., & Indriyanti, D. (2015). Evaluasi
Indicator Guide. Food and Nutrition Penatalaksanaan Gizi Balita Stunting di
Technical Assistance III Project (FANTA). Wilayah Kerja Puskesmas Sirampog, Unnes
Washington, DC: FAO. Journal of Public Health, 4(1): 54-60.
CSDH. (2011). Closing The Gap: Policy into Khotimah, H. & Kuswandi, K. (2014). Hubungan
Practice on Social Determinants of Health. Karakteristik Ibu Dengan Status Gizi Balita
Geneva: WHO. Di Desa Sumur Bandung Kecamatan
Dean, W.R. & Sharkey, J.R. (2011). Food Cikulur Kabupaten Lebak Tahun 2013.
Insecurity, Social Capital and Perceived Jurnal Obstretika Scienta, 2(1):146-162
Personal Disparity in a Predominantly Rural Lönnroth, et.al. (2010). A consistent log-linear
Region of Texas: An Individual-Level relationship between tuberculosis incidence
Analysis. Social Science & Medicine, 72: and body mass index. International Journal
1454-1462. of Epidemiology, 39:149-155.
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. (2018). Lönnroth, Jaramillo E., Williams B.G., Dye, C.,
Laporan tahunan Seksi Gizi Dinas Raviglione M. (2009). Driver of
Kesehatan Kota Bandar Lampung tahun tuberculosis epidemics: The role of risk
2018. Bandar Lampung: Dinas Kesehatan factors and social determinants. Social
Kota Bandar Lampung. Science & Medicine, 68(12): 2240-2246.
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. (2015). Masrin, Paratmanitya, Y., Aprilia, V. (2014).
Hasil Survei Pemantauan Gizi (PSG) Kota Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Bandar Lampung tahun 2015. Seksi Gizi berhubungan dengan Stunting pada Anak
Bidang Kesehatan Masyarakat. Bandar Usia 6-23 Bulan. Jurnal Gizi dan Dietetik
Lampung: Dinas Kesehatan Kota Bandar Indonesia, 2(3): 103-115.
Lampung. Michaelsen, K.F., Stewart, C.P., Dewey, K.G.,
Firman, A.N., & Mahmudiono, T. (2018). Onyango, A.W. & Innouti, L. (2015).
Kurangnya Asupan Energi dan Lemak yang Contextualizing Complementary Feeding in
Berhubungan dengan Status Gizi Kurang A Broader Framework for Stunting
pada Balita Usia 25-60 Bulan. The Prevention. Maternal & Child Nutrition,
Indonesian Journal of Public Health, 13(1): 9(Sp2): 27-45.
48-58. Misselhorn, A.A. (2005). What Drives Food
Food and Agriculture Organization. (2011). Insecurity in Southern Africa? A Meta-
Guidelines for measuring household and Analysis of Household Economy Studies.
individual dietary diversity. Rome: Global Environmental Change, 15:33-43.
Wardani, Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dan Ketahanan Pangan terhadap Kejadian Stunting … 293

Mustikaningrum, AC., Subagio, HW., Margawati, Sarma, H., Asaduzzaman, M., Khan,JR.,
A. (2016). Determinan kejadian stunting Tarannum,S., Uddin, F., Rahman, AS.,
pada bayi usia 6 bulan di kota Semarang. Hasan, M., and Ahmed, T. (2017). Factors
Jurnal Gizi Indonesia, 4(2): 82-88. Influencing the Prevalence of Stunting
Ni'mah, K., & Nadhiroh, S. R. (2015). Faktor yang Among Children Aged Below Five Years in
Berhubungan dengan Kejadian Stunting Bangladesh. Food and Nutrition Bulletin,
pada Balita. Media Gizi Indonesia, 10 (1): 38(3): 291-301.
13-19. Tiwari, R., Ausman, L. M., Argho, K. E. (2014).
Nurbaiti, L., Adi, A.C., Devi, S.R., & Harthana, Determinants of stunting and severe stunting
T., (2014). Kebiasaan Makan Balita among under-fives: evidence from 2011
Stunting pada Masyarakat Suku Sasak: Nepal Demographic and Health Survey.
Tinjauan 1000 Hari Pertama Kehidupan BMC Pediatrics, 14 (239).
(HPK). Masyarakat, Kebudayaan dan UNICEF. (2013). Improving child nutrition, the
Politik, 27(2): 104-112. achievable imperative for global progress.
Oktarina, Z., &Sudiarti, T. (2014). Faktor Risiko New York: United Nations Children’s Fund.
Stunting pada Balita (24-59 Bulan) di Wardani, D., & Wahono, E. (2018). Prediction
Sumatra. Jurnal Gizi dan Pangan, 8(3): Model of Tuberculosis Transmission Based
175-180. on Its Risk Factors and Socioeconomic
Pangestuti., A.M.S., Rahayuning, D. & Aruben, R. Position in Indonesia. Indian Journal of
(2017). Hubungan Ketahanan Pangan Community Medicine, 43(2).
Keluarga dan Pola Konsumsi dengan Status World Health Organizatition. (2013). Childhood
Gizi Balita Keluarga Petani. Jurnal Stunting: Context, Causes and Consequen-
Kesehatan Masyarakat, 5(3): 120-128. ces. WHO Conceptual Framework. Geneva:
Pemerintah RI. (2008). Peraturan Pemerintah WHO.
Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 World Health Organizatition. (2006). Multicentre
Tentang Wajib Belajar. Jakarta. Growth Reference Study Group. WHO
Pemerintah RI. (2012). Undang-undang Republik Child Growth Standards: Length/Height-
Indonesia nomor 18 tahun 2012 tentang for-Age, Weight-for-Age, Weightfor-Length,
Pangan. Jakarta. Weight-for-Height and Body Mass Index-
Prendergast, A.J., & Humphrey, J.H. (2014). The for-Age: Methods and Development.
Stunting Syndrome in eveloping Countries. Geneva: WHO.
Pediatrics and International Child Health,
34(4): 250-265.

You might also like