Professional Documents
Culture Documents
1397 4475 1 PB
1397 4475 1 PB
Muhammad Faisol
Institut Agama Islam Jember
e-mail: mfaisol18@gmail.com
Abstract: It is undeniable that the dynamics of social and Islamic law are intertwined in forming a change. On the one
hand, the dynamics and social change occur because of the influence of Islamic law, and in one side the social
change affects the development and change of Islamic law. The inscription shows that the Islamic law brought by
the prophet Muhammad SAW. has clearly changed the social community order at the time. Social conditions
based on poor customs and habits have turned into a society based on Islamic law. Therefore, it can not be
denied the change of law because of social change as affirmed in the rule of fiqh. This also demonstrates the
nature of Islamic law that always matches the development of the times.
sistem kaidah-kaidah yang berdasarkan lebih dekat dengan pengertian fiqh yang
kepada alQuran dan Sunnah Rasul merupakan rumusan fuqaha yang bersifat
mengenai tingkah laku mukallaf yang fleksibel dan oleh karenanya mengalami
diakui dan diyakini, dan mjengikat semua perubahan. Namun dalam praktiknya,
pemelukny (Iryani, 2017). apa yang disebut sebagai hukum Islam itu
Hasbi As-Shiddieqy (Ash-Shiddiqey, terkadang bernuansa syari’ah sehingga
1990: 44) memberikan definisi hukum dalam penggunaannya sering kali
Islam sebagai koleksi daya upaya para tumpang tindih antara fiqh dan syari’ah.
ahli hukum untuk menetapkan syariat M. Thahir Azhary (Azhary, 1987: 48-
atas kebutuhan masyarakat. Definisi yang 52) berpandangan bahwa hukum Islam
diberikan oleh Hasbi ini lebih dekat memiliki lima sifat dasar yaitu; pertama,
kepada al-fiqh bukan pada syari’at (Hilal, berdimensional. Kedua, adil. Ketiga,
2003: 27). individualistis dan kemasyarakatan.
Anwar Haryono (Haryono, 1986: 19) Keempat, komprehensif. Kelima, dinamis.
berpendapat bahwa hukum Islam adalah Kelima sifat dasar tersebut
suatu hasil pemikiran manusia tentang memperlihatkan betapa sesungguhnya
segala sesuatu yang berdasarkan syari’at, hakikat hukum Islam. Berdimensi
sekedar pemikiran itu melahirkan sesuatu menyeluruh mencakup seluruh aspek
norma hukum. kehidupan. Hukum Islam juga bersifat
Amir Syarifuddin (Syarifuddin, 1990: adil yang berkaitan dengan sifat
18) mengatakan bahwa hukum Islam menyeluruh tersebut. Individualistik dan
adalah seperangkat peraturan berdasarkan kemasyarakatan berarti hukum itu
wahyu Allah dan Rasul tentang tingkah mempunyai validitas baik bagi
laku manusia mukallaf yang diakui dan perorangan maupun masyarakat.
diyakini berlaku dan mengikat untuk
semua yang beragama Islam. Pengertian Perubahan Sosial
Taufiq Adnan Amal (Amal, 1989:33) Selo Soemardjan (Soemardjan, 1995:
menyebutkan bahwa hukum Islam adalah 337) merumuskan bahwasanya perubahan
sekumpulan aturan keagamaan yang sosial adalah segala perubahan-perubahan
mengatur perilaku kehidupan kaum pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
muslimin dalam keseluruhan aspeknya, di dalam suatu masyarakat yang
baik yang bersifat individual maupun mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di
kolektif. dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola
Ismail Muhammad Syah (Syah, 1992: perilaku diantara kelompok-kelompok
17) mengemukakan bahwa hukum Islam dalam masyarakat.
adalah seperangkat peraturan berdasarkan Kingsley Davis, seperti dikutip oleh
wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang Soerjono Soekanto (Soekanto, 1995: 217),
tingkah laku manusia mukallaf yang berpendapat bahwa perubahan sosial
diakui dan diyakini berlaku dan mengikat adalah perubahan dalam struktur
untuk semua umat yang beragama Islam. masyarakat. Misalnya dengan timbulnya
Dari beberapa penjelasan di atas organisasi buruh dalam masyarakat
dapat diketahui bahwa hukum Islam kapitalis, terjadi perubahan-perubahan
36 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 18, Nomor 1, Januari-Juni 2019
hubungan antara buruh dan majikan, al-Anfal [8] ayat 53 dan Surah al-Ra'd [13]
selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ayat 11 (Al-Baqi, 1981: 507-508).
ekonomi dan politik. Kata ‘perubahan’ dalam ayat-ayat di
Perubahan memiliki aspek yang atas merupakan pengungkapan suatu
luas, termasuk di dalamnya yang fenomena dan realitas sosial yang dapat
berkaitan dengan nilai, norma, tingkah berlaku pada manusia dalam perjalanan
laku, organisasi sosial, lapisan sosial, sejarahnya. Kedua ayat ini mengungkapkan
kekuasaan, wewenang dan interaksi keterlibatan Tuhan dan manusia dalam
sosial. Perubahan sosial itu sendiri suatu proses terjadinya perubahan.
mencakup nilai-nilai yang bersifat Keterlibatan Tuhan haruslah diartikan
material maupun budaya tertentu untuk dengan suatu keterlibatan yang sesuai
mencapai tujuan bersama. Istilah sosial itu dengan hasil ataupun akibat-akibat dari
sendiri dipergunakan untuk menyatakan tindakan dan aktivitas manusia itu
pergaulan serta hubungan antara manusia sendiri. Tindakan dan aktivitas manusia
dan kehidupannya, hal ini terjadi pada pada hakikatnya merupakan batasan-
masyarakat secara teratur, sehingga cara batasan ataupun kondisi-kondisi tertentu
hubungan ini mengalami perubahan yang membuka peluang bagi terjadinya
dalam perjalanan masa, sehingga suatu perubahan. Kondisi atau prasyarat
membawa pada perubahan masyarakat perubahan itu terletak pada perubahan
(Gazalba, 1983: 15). William F. Ogburn yang terjadi pada diri mereka sendiri.
mengungkapkan bahwa ruang lingkup Perubahan tersebuf dapat berupa
perubahan sosial meliputi unsur-unsur perubahan yang konstruktif dan dapat
kebudayaan baik yang material maupun pula berupa perubahan yang destruktif,
immaterial, namun yang ditekankan seperti bangun dan tumbuhnya suatu
disini adalah pengaruh besar unsur-unsur masyarakat dan kemakmuran manusia,
besar kebudayaan material terhadap dan kemudian mundur dan hancurnya
unsur-unsur immaterial (Boty, 2015: 36). masyarakat dan kemakmuran tersebut.
Dari definisi-definisi tersebut di atas, Perubahan semacam ini sudah merupakan
dapat disimpulkan bahwa perubahan sunnatullah dan sangat alami (Hitami,
sosial adalah perubahan cara hidup suatu 1998: 47-50).
masyarakat tentang sistem sosialnya, Al-Qur’an menggungkapkan istilah
termasuk nilai-nilai serta sikap, yang perubahan yang konstruktif misalnya
disebabkan perubahan kondisi geografis, dengan kata al-falah (kemenangan), al-
kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan- fawz (kemenangan batin), al-barakah
penemuan baru dalam masyarakat. (pertumbuhan/perkembangan), al-ish/al-
salah (berbuat baik/kebaikan) (Al-Baqi,
1981: 527, 118, 410, 518).
DIALEKTIKA HUKUM ISLAM DAN Sedangkan untuk ungkapan destruktif, al-
PERUBAHAN SOSIAL
Qur’an menyebutkan dengan kata al-fasad
Al-Qur’an dan Perubahan Sosial (kerusakan), al-ihlak (kehancuran), al-
tadmir (binasa), dan al-damdamah
Al-Qur’an sebagai sumber pertama (binasa/murka) (Al-Baqi, 1981: 737, 261,
dan utama hukum Islam memberikan 334).
perhatian yang cukup besar terhadap Untuk ungkapan perubahan yang
perubahan. Terdapat enam tempat dalam bersifat netral dan penggunaannya bisa
al-Qur’an yang menyebut kata-kata perubahan untuk hal-hal yang bersifat positif
(taghayyur), di antaranya adalah dalam Surah maupun negatif, al-Qur’an menggunakan
Hukum Islam dan Perubahan Sosial ║37
elemen lain yang telah berubah. Dalam yang dengannya sifat salih li kulli zaman wa
konteks ini, eksistensi hukum dapat makan dapat selalu terbuktikan (Al-
mempengaruhi kondisi sosial bahkan Qardlawi, 1993).
menyebabkan perubahan sosial dalam Berbagai model ijtihad kemudian
masyarakat. dikembangkan oleh para ulama guna
Dialektika antara hukum dan menjawab dan mengantisipasi setiap
perubahan sosial secara khusus juga perubahan tersebut, mulai dari metode-
terjadi pada hukum Islam. Pada dasarnya metode ijtihad yang digagas oleh para
perubahan pemikiran hukum Islam hanya ulama terdahulu hingga metode-metedo
mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ijtihad yang dikembangkan oleh ulama-
ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek ulama kontemporer. Salam Madkur
universalitas dan keabadian hukum Islam itu misalnya mengembangkan model ijtihad
sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan bayani qiyasi dan istislahi (Madkur, 1984:
dan perubahan hukum Islam akan 42-49), al-Qardlawi mengembangkan
menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam model ijtihad intiqa’i dan insya’i (Al-
memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan Qardlawi, 1996: 114-133), al-Qahtani
ajaran Islam pada umumnya (Salman, 1993: mengembangkan ijtihad melalui model
83). yang ia namakan dengan istinbat ahkam al-
Sebagaimana kita ketahui bahwa nawazil al-fiqhiyyah al-mu’asirah, (Al-
sumber-sumber hukum normatif tekstual Qahthani, 2003), dan beberapa ulama
sangatlah terbatas jumlahnya, sementara lainnya yang mengembangkan metode
kasus-kasus baru di bidang hukum ijtihad maqasidi (Al-Khadimi, 1998).
banyak bermunculan ditengah-tengah Ulama-ulama Indonesia juga ambil
masyarakat dan tidak terbatas jumlahnya. bagian dalam pengembangan model-
Kaitannya dengan hal ini, Ibnu Rusyd model ijtihad ini. KH. Sahal Mahfudz
menyatakan bahwa persoalan-persoalan misalnya mengembangkan apa yang ia
kehidupan masyarakat tidak terbatas sebut dengan nama fiqh sosial. Menurut
jumlahnya, sementara jumlah nash baik Sahal, fiqh sosial memiliki 5 ciri pokok
al-Qur’an dan Sunah jumlahnya terbatas. yaitu, pertama, selalu diupayakan
Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang interpretasi ulang dalam mengkaji teks-
terbatas jumlahnya bisa menghadapi teks fiqh untuk mencari konteksnya yang
sesuatu yang tidak terbatas (Rusyd, 2004: baru. Kedua, makna bermadzhab berubah
9). dari bermazhab tekstual (mazhab qauli)
Keterbatasan nash-nash al-Qur’an ke bermadzhab secara metodologis
dan Sunnah bukan berarti tidak dapat (mazhab manhaji). Ketiga, verifikasi
mengakomodasi setiap perubahan, karena mendasar mana ajaran yang pokok
sebagaimana dimaklumi bahwa sumber (ushul) dan mana ajaran yang cabang
hukum Islam adalah wahyu Allah yang (furu’). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai
dituangkan dalam al-Qur’an yang bersifat etika sosial. Kelima, penggunaan metodologi
qadim dan Sunnah Rasul yang selalu ada pemikiran filosofis, terutama dalam
dalam dibimbing Allah, maka hukum masalah budaya dan sosial (Mahfudz,
Islam dinyatakan sebagai mendahului dan 2012: viii).
tidak didahului, mengontrol dan tidak Perhatian terhadap perubahan ini
dikontrol. Sehingga untuk mengantisipasi kemudian dijadikan sebagai salah satu
setiap perubahan itu para ulama anasir penting dalam melakukan
memformulasikannya sebuah metode penggalian hukum. Mengetahui dan
yang disebut ijtihad (Syaltut, 2001: 497) mengikuti perkembangan dan perubahan
Hukum Islam dan Perubahan Sosial ║39
sosial oleh para ulama bahkan disebut yang tidak boleh ditutup. Kebolehan
sebagai salah satu syarat dalam menutup pintu masjid ini bertujuan agar
melakukan ijtihad, karena ada banyak harta milik masjid aman dari pencurian
hukum yang berubah sesuai dengan dan tidak dijadikan sebagai tempat ajang
perubahan sosial. bermain (Al-Qahthani, 2003: 326).
Salah satu contoh yang mengenai hal Contoh lainnya untuk memperkuat
ini di antaranya adalah masalah tas‘ir. adanya dialektika antara hukum Islam
Berdasarkan hadis tas‘ir atau intervensi dan perubahan sosial adalah tentang
pemerintah dalam penentuan harga kebolehan mengambil upah dari
barang dagangan dilarang keras oleh Nabi mengajarkan al-Qur’an, atau upah
Muhammad SAW dan larangan ini sesuai menjadi imam shalat, mu’adzin, dan
dengan perkembangan masyarakat (Al- semua bentuk-bentuk ketaatan seperti haji
Sijistani, 1997: 471-472). Pada masa Nabi dan lainnya. Kebolehan itu berdasarkan
Muhammad SAW, hati dan pikiran para pertimbangan bahwa zaman telah
pedagang masih bersih, belum dikuasai mengalami perubahan di mana para
sifat rakus dan ambisi untuk memperkaya pengajar al-Qur’an dan pemangku syi’ar
diri sendiri, sehingga harga barang agama telah terputus dari baitul mal.
dagangan yang mereka tentukan Kalau mereka disibukkan oleh pekerjaan-
merupakan harga yang wajar. Dalam pekerjaan lain seperti bertani, berdagang
kondisi semacam ini, tas‘ir tidak perlu dan lain sebagainya, tentu lambat laun al-
dilakukan, bahkan jika dilakukan, esensi Qur’an akan menjadi hilang dan syiar
utama dari jual-beli, yaitu ‘an taradin akan Islam menjadi musnah (Al-Zuhaili, 1986:
hilang, karena tas‘ir dapat menyebabkan 835).
pedagang merasa terpaksa dalam menjual Pentingnya memperhatikan perubahan-
barang dagangannya. perubahan sosial ini juga membawa para
Namun, pada masa tabi’in, mereka ulama untuk mempertimbangankan secara
melihat bahwa masyarakat telah serius apa yang dalam ilmu ushul fiqh
mengalami perubahan, para pedagang disebut dengan ‘urf sebagai sumber
mulai berubah menjadi tamak dan rakus, hukum pendukung dalam menetapkan
sehingga mereka memandang perlu suatu hukum.
mengubah sistem perdagangan yang ‘Urf secara etimologis berarti sesuatu
berlaku pada masa Nabi yang tetap yang dipandang baik dan diterima oleh
dipertahankan oleh para sahabat, untuk akal sehat. Sedangkan secara terminologis
kemudian mereka melakukan intervensi adalah sesuatu yang tidak asing bagi
terhadap penentuan harga barang masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
dagangan. Ini jika tidak ditempuh akan menyatu dengan kehidupan mereka baik
mengakibatkan para pembeli ada dalam berupa perbuatan atau perkataan. Secara
pihak yang terzalimi (Syalabi, 1981: 309). umum ‘urf atau adat istiadat terbagi
Contoh lainnya adalah dibolehkannya menjadi dua yaitu ‘urf sahih} dan ‘urf
menutup pintu masjid di selain waktu- fasid. Dikatakan sahih, jika ‘urf yang
waktu shalat pada zaman sekarang ini, berlaku tidak menghalalkan suatu yang
padahal masjid merupakan tempat ibadah haram atau mengharamkan sesuatu yang
40 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 18, Nomor 1, Januari-Juni 2019
halal. Jika yang terjadi sebaliknya maka ia maka metodologi yang digunakan adalah
menjadi ‘ufr fasid (Al-Zuhaili, 1986: 830). metode penelitian budaya seperti metode
Oleh karena itu para ahli fiqh sering filsafat, sejarah, studi naskah, arkeologi,
kali merujuk kepada ‘urf dalam menerapkan dan sebagainya. Kemudian ketika Islam
hukum syara’ dalam berbagai persoalan. dilihat sebagai gejala sosial maka
Misalnya penentuan usia haid, baligh, metodologi yang digunakan adalah
najis yang dima’afkan, akad salam, jual metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Atau
beli mu’atah, dan lain sebagainya yang dapat pula suatu studi Islam melihat
banyak jumlahnya. suatu gejala Islam sebagai gejala budaya
Karena suatu ‘urf sering kali berubah dan sosial sekaligus (Mudzhar, 1999: 5).
sejalan dengan perkembangan dan Studi tentang fatwa-fatwa ulama dan
perubahan sosial, maka hukum yang faktor sosial politik yang melingkari
ditetapkan berdasarkan ‘urf juga dapat fatwa-fatwa itu misalnya, dapat dilihat
berubah. Dalam konteks inilah Imam al- sebagai studi yang melihat Islam sebagai
Qarafi (Al-Qarafi, 1995: 232) mengingatkan gejala budaya dan sosial sekaligus.
bahwa seorang mujtahid atau seorang Dengan demikian, hukum Islam juga
mufti jika ditanya oleh seseorang tentang dapat dipandang sebagai gejala budaya
hukum sesuatu dan ia tidak mengetaui dan sebagai gejala sosial. Filsafat dan
asal daerah orang yang bertanya aturan hukum Islam adalah gejala
kepadanya, mujtahid tidak boleh berfatwa budaya, sedangkan interaksi orang-orang
dengan fatwa yang biasa ia sampaikan Islam dengan sesamanya atau dengan
sebelum ia bertanya asal daerah masyarakat lainnya di seputar hukum
penanyanya. Oleh karena itu para ulama Islam adalah gejala sosial.
menegaskan bahwa salah satu syarat dari Terkait dengan itu, menurut Atho
seorang mujtahid adalah mengetahui adat Mudzhar (Mudzhar, 1999: 13-14) kajian
istiadat masyarakatnya (Al-Zuhaili, 1986: tentang hukum Islam dapat dibedakan
835). menjadi tiga, yaitu:
Sebagai wahyu, Islam berarti ajaran Pertama, penelitian hukum Islam
dan sebagai ajaran berarti Islam adalah sebagai dokrin azaz. Dalam penelitian ini
gejala budaya. Ketika seseorang sasaran utamanya adalah dasar-dasar
mempelajari bagaimana ajaran Islam konseptual hukum Islam seperti masalah
tentang salat, puasa, zakat, haji, tentang filsafat hukum, sumber-sumber hukum,
konsep keesaan Allah, tentang argumen konsep maqasid al-syari'ah, qawaid al-
adanya Tuhan, tentang faham-faham fiqhiyyah, manhaj al-ijtihad, tariq al-
teologis, tentang arti dan tafsir kitab suci, istinbat, konsep qiyas, konsep 'am dan
tentang riba, tentang aturan etika dan nilai khas, konsep nasikh dan mansukh, dan
moral dalam Islam, berarti ia sedang lain-lain.
mempelajari Islam sebagai gejala budaya. Kedua, penelitian hukum Islam
Sedangkan hubungan antara sesama normatif. Dalam penelitian ini sasaran
pemeluk Islam dalam mengamalkan utamanya adalah hukum Islam sebagai
ajaran agamanya itu dan hubungan antara norma atau aturan, baik yang masih
pemeluk Islam dengan pemeluk agama dalam bentuk nas maupun yang sudah
yang lainnya adalah gejala sosial. Ini menjadi produk pikiran manusia. Aturan
berarti bahwa studi keislaman dapat yang masih dalam bentuk nash meliputi
melihat Islam sebagai gejala budaya dan ayat-ayat ahkam dan hadis-hadis ahkam,
dapat pula melihatnya gejala sosial. sedangkan yang sudah berbentuk pikiran
Ketika Islam dilihat sebagai gejala budaya, manusia meliputi kitab-kitab fiqh, kitab-
Hukum Islam dan Perubahan Sosial ║41
kitab fiqh perbandingan, keputusan pengadilan, Ketiga bentuk studi di atas dapat
undang-undang, fatwa ulama, dan bentuk dilakukan sccara terpisah dan dapat pula
aturan lainnya yang mengikat seperti dilakukan secara bersama-sama untuk
kompilasi hukum Islam, konstitusi, melihat keterkaitannya satu sama lain
kodifikasi hukum, perjanjian-perjanjian mengenai sesuatu masalah hukum Islam.
internasional, surat-surat kontrak, surat Dua bentuk studi hukum Islam yang
wasiat, dan sebagainya. disebut pertama, yaitu studi hukum Islam
Ketiga, penelitian hukum Islam sebagai doktrin azaz dan studi hukum
sebagai gejala sosial. Penelitian ini sasaran Islam normatif, dapat pula digabungkan
utamanya adalah perilaku hukum dan disebut sebagai studi hukum Islam
masyarakat muslim dan masalah-masalah doktrinal, sedangkan bentuk studi hukum
interaksi antar sesama manusia, baik antar Islam yang ketiga dapat disebut sebagai
sesama muslim maupun antara muslim studi hukum Islam sosiologis. Dua bentuk
dan non muslim, di sekitar masalah- studi yang pertama melihat Islam sebagai
masalah hukum Islam. Ini mencakup gejala budaya dan bentuk studi ketiga
masalah-masalah seperti politik perumusan dan melihat Islam sebagai gejala sosial
penerapan hukum (siyasah syar'iyyah), (Mudzhar, 1999: 15).
perilaku penegak hukum (hakim), Dalam perkembangannya, Atho
perilaku pemikir hukum seperti mujtahid, Mudzhar mengembangkan apa yang ia
fuqaha, mufti, dan anggota badan-badan sebut sebagai kajian Sejarah Sosial Hukum
legislatif, masalah-masalah administrasi Islam (Social History of Islamic Law).
dan organisasi hukum seperti pengadilan Menurutnya minimal ada tiga disiplin
dengan segala tingkatannya, dan ilmu yang perlu dikuasai dan
perhimpunan penegak dan pemikir diaplikasikan untuk melakukan kajian ini,
hukum seperti perhimpunan hakim yaitu pertama ilmu tentang hukum Islam
agama, perhimpunan atau kelompok itu sendiri, kedua ilmu sejarah, dan ketiga
studi peminat hukum Islam, lajnah-lajnah ilmu sosiologi. Jika objek kajiannya itu
fatwa dari organisasi-organisasi keagamaan, menyangkut masa sekarang, bukan masa
dan juga lembaga-lembaga penerbitan silam, maka pengkajian seperti itu dapat
atau pendidikan yang mengkhususkan pula disebut dengan sosiologi hukum
diri atau mendorong studi-studi hukum Islam (Sociology of Islamic Law). Baik
Islam. Dalam jenis penelitian ini juga sejarah sosial hukum Islam maupun
tercakup masalah-masalah evaluasi sosiologi hukum Islam, kedua-duanya
pelaksanaan dan efektifitas hukum, adalah pendekatan yang menggunakan
masalah pengaruh hukum terhadap teori-teori sosiologi yang menekankan
perkembangan masyarakat dan sebaliknya pada pemahaman pola-pola interaksi
pengaruh perkembangan masyarakat dalam masyarakat sebagai kacamata
terhadap pelaksanaan atau pemikiran analisisnya dalam kaitannya dengan
hukum, sejarah perkembangan hukum, hukum Islam (Mudzhar, 2014: 245).
sejarah administrasi hukum, dan masalah- Pendekatan ini relatif baru dalam
masalah kesadaran dan sikap hukum kajian hukum Islam yang dikembangkan
masyarakat. di berbagai lembaga pendidikan Islam
42 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 18, Nomor 1, Januari-Juni 2019