Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KINERJA TENAGA KEPERAWATAN

DALAM PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI SURABAYA


(The Development of Nursing Job Performance Model in The Implementation of Integrated
Management of Childhood Illness (IMCI) in Surabaya)

Rekawati Susilaningrum*, Chriswardani Suryawati**, Septo Pawelas Arso**


*Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jl. Mayjend. Prof. Moestopo 8A Surabaya,
E-mail: yahoo.reka.co.id
** Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro

ABSTRACT
Introduction: MTBS is a comprehensive approaches for child illnes and one of the way to reduce an
infant and under five years morbidity and mortality rateas well as appropriately to apply in public
health center. In fact, MTBS has not been implemented as procedure guidance. The objective of the
study was to examie the implementation of MTBS viewed from Van Meter and Van Horn model as basic
measurement and the goal of policy, the sources of policy, a communication among organisation and
the implementation of MTBS. Method: The study was qualitative design. Data were collected by in
depth interview. Six Nurse and midwife were recruited as a sample by purposive sampling. Informant
triangulation were head of PHC and head of deputy health services. Analysis was by means of content
analysis.Result showed that the written and indicator of basic measurement and goal policy was not
available yet. Sources of policy, namely health. Result: For the health workers was sufficient and
they have a good competency to carry out MTBS and have workload focus on three types. Fasilities
was no room, form was difficult to provide, instruments and medication was sufficient available, but
there was no specific funding. Communication was carried out only on the training program by MTBS
fascilitator. Characteristic of beaurocracy structure (SOP) consists of preparation, implementation,
reporting and recording.There was no specific preparation, it only an introduction dessimination
was done. The implementation was not as modul and the form of MTBS was not used anymore. The
implementation of MTBS lack support from Public Health center and Health Care District of Surabaya.
Healh worker unmotivated to implement MTBS. Discussion: the implementation of MTBS lack support
from health worker, Public Health Center and Health Care District of Surabaya.It is recomended that
Health Care District &Public Health Center cooperatively should have commitment to assess the
implementation of MTBS in Surabaya.

Keywords: development integrated management of childhood illness, public health center, nursing
(nurse and midwife)

PENDAHULUAN Penyakit-penyakit tersebut umumnya


terjadi bersamaan dan sebenarnya bisa ditangani
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
di pelayanan tingkat puskesmas apabila anak
tahun 2007, ada beberapa penyakit utama yang
yang sakit terdeteksi sejak awal. Oleh karena
menjadi penyebab kematian bayi dan balita.
itu WHO dan UNICEF mengembangkan suatu
Pada kelompok bayi (0–11 bulan), dua penyakit
strategi atau pendekatan yang dinamakan
terbanyak yang menyebabkan kematian adalah
Manajemen Terpadu Balita Sakit (selanjutnya
diare sebesar 31,4% dan pneumonia 24%,
disingkat MTBS) atau Integrated Management
sedangkan untuk balita, kematian akibat diare
of Childhood Illness (IMCI). Indonesia telah
sebesar 25,2%, pneumonia 15,5%, Demam
mengadopsi pendekatan Manajemn Terpadu
Berdarah Dengue (DBD) 6,8% dan Campak
Balita Sakita (MTBS) sejak tahun 1996
5,8% (Departemen Kesehatan B, 2008).

71
Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80

dan implementasinya dimulai tahun 1997 sakit yang ditangani dengan MTBS pada tahun
(Departemen Kesehatan, 2008). 2009 jika dibandingkan tahun 2008. Pada tahun
MTBS merupakan salah satu solusi 2009 persentasinya sekitar 30,4% dari seluruh
mengurangi angka kematian dan kesakitan balita sakit yang berkunjung ke puskesmas,
bayi dan balita serta sangat sesuai diterapkan sedangkan pada tahun 2008 hanya sekitar
di Puskesmas. Sebagian besar balita sakit 11,2%. Kenaikan persentasi ini tidak selalu
yang dibawa berobat ke Puskesmas, jarang karena meningkatnya jumlah pelayanan pada
mempunyai keluhan tunggal. Menurut data balita dengan MTBS. Ada beberapa puskesmas
WHO, tiga dari empat balita sakit seringkali yang mengalami penurunan persentasi balita
memiliki beberapa keluhan lain yang menyertai yang ditangani dengan MTBS, bahkan ada
dan sedikitnya menderita 1 dari 5 penyakit puskesmas yang tidak menggunakan MTBS
tersering pada balita yang dapat diakomodir lagi di samping itu, sebagian besar puskesmas
oleh MTBS. menerapkan MTBS belum sesuai dengan
Tenaga kesehatan yang melaksanakan harapan pemerintah, meskipun sebagian besar
MTBS harus mengikuti pelatihan terlebih puskesmas telah ada petugas MTBS.
dahulu agar dapat mengenali secara dini dan Merujuk model Kebijakan Implementasi
cepat semua gejala anak sakit, sehingga dapat dari Van Meter dan Van Horn, ada 6 faktor yang
menentukan apakah anak sakit ringan, berat saling berkaitan dan berpengaruh terhadap
dan perlu dirujuk. Jika penyakitnya tidak parah, implementasi kebijakan yaitu ukuran-ukuran
petugas dapat memberikan pengobatan atau dasar dan tujuan kebijakan, sumber-sumber
tindakan sesuai pedoman MTBS. kebijakan, komunikasi antarorganisasi dan
Penggunaan MTBS belum berjalan secara kegiatan-kegiatan pelaksanaan, karakteristik
efektif, dalam pelaksanaannya. Kondisi dialami badan-badan pelaksana, kondisi-kondisi
oleh sebagian besar puskesmas di Indonesia, ekonomi, sosial dan politik serta kecenderungan
karena berbagai kendala antara lain terbatasnya pelaksana. Faktor-faktor tersebut bekerja secara
jumlah tenaga yang dilatih MTBS, perpindahan simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk
tenaga, kurang lengkapnya sarana dan prasarana membantu dan menghambat implementasi
pendukung. Seluruh propinsi di Indonesia, kebijakan (Budi, 2008).
puskesmas yang telah melaksanakan MTBS Tujuan penelitian ini adalah untuk
hingga akhir 2009 sebesar 51,59%. Kriteria mengembangkan model kinerja tenaga
melaksanakan bila dalam menangani balita keperawatan dalam implementasi MTBS di
sakit minimal 60% dari jumlah kunjungan balita puskesmas wilayah Dinas Kesehatan Kota
sakit menggunakan modul MTBS (Departemen Surabaya ditinjau dari ukuran dasar dan tujuan
Kesehatan C, 2009). kebijakan, sumber kebijakan, komunikasi
Pelaksanaan di propinsi Jawa Timur, antarorganisasi dan kegiatan pelaksanaan,
MTBS di setiap puskesmas juga belum sesuai karakteristik badan pelaksana, lingkungan
dengan yang diharapkan. Menurut Laporan ekonomi, sosial dan politik serta kecenderungan
penerapan MTBS di kabupaten atau kota wilayah pelaksana.
Propinsi Jawa Timur (2009), dari 933 puskesmas
di Jawa Timur, yang telah melaksanakan MTBS
sekitar 74,4% (692 puskesmas) di antara jumlah BAHAN DAN METODE
puskesmas tersebut, hanya 0,7% puskesmas Jenis penelitian yang digunakan adalah
yang telah menangani balitanya dengan MTBS penelitian kualitatif yaitu salah satu metode
di atas 60% dari seluruh balita yang berkunjung. penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan
Jika dibandingkan dengan data nasional, maka pemahaman tentang kenyataan melalui
persentase puskesmas yang menerapkan MTBS proses berpikir induktif (Morse, 1995).
di Jawa Timur masih memprihatinkan. Berdasarkan pendekatan waktu pengumpulan
Data dari Sub-Bagian Penyusunan data dilakukan secara cross sectional yang
Program Dinas Kesehatan Kota Surabaya dilakukan sekaligus pada satu kali pengamatan
(2009), ada kenaikan persentase rata-rata balita (point time approach) (Sugiyono, 2008).

72
Pengembangan Model Peningkatan Kinerja Tenaga Keperawatan (Rekawati Susilaningrum)

Pengumpulan data dilakukan dengan tidak sedang cuti, ijin atau tugas belajar serta
cara wawancara mendalam (indepth interview) bersedia menjadi informan.
yaitu proses memperoleh keterangan untuk Teknik pengambilan sampel atau subjek
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab pada penelitian secara purposive sampling
sambil bertatap muka antara pewawancara yaitu teknik pengambilan sampel dengan
dan informan, dengan menggunakan pedoman pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti
wawancara (Basrowi, 2002). Informan pada berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang
penelitian ini dibedakan menjadi 2 kelompok telah diketahui (Nursalam, 2007).
yaitu informan inti yang merupakan petugas Variabel yang diteliti adalah faktor-
pelaksana MTBS dalam hal ini bidan atau faktor yang memengaruhi implementasi
perawat di puskesmas yang telah mengikuti berdasarkan teori Van Meter dan Van Horn
pelatihan MTBS dan Informan triangulasi yaitu yaitu variabel pertama ukuran dan tujuan
kepala puskesmas dan Kepala Sie Kesehatan ibu kebijakan yaitu pernyataan semacam surat edaran
dan Anak (KIA) Dinas Kesehatan Kota (DKK) yang menyatakan maksud dilaksanakannya
Surabaya. MTBS. Dalam bentuk aturan pelaksanaan
Dalam penelitian kualitatif, populasi dan indikator keberhasilan yang berupa target
diistilahkan situasi sosial yang terdiri dari jumlah balita yang ditangani dengan MTBS,
3 elemen yaitu tempat, pelaku dan aktivitas variabel yang kedua yaitu sumber kebijakan
yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono, di mana ketersediaan sumber-sumber daya
2008). Populasi pada penelitian ini adalah yang digunakan untuk melaksanakan MTBS,
petugas yang telah dilatih MTBS yang berada terdiri dari petugas dan fasilitas, variabel ketiga
di puskesmas wilayah Dinas Kesehatan Kota adalah komunikasi yaitu penyampaian informasi
(DKK) Surabaya. tentang apa dan bagaimana penerapan MTBS,
Sampel pada penelitian kualitatif disebut kapan dan mengapa harus dilaksanakan, yang
subjek. Subjek pada penelitian ini adalah dilakukan oleh penanggung jawab program
perawat atau bidan pelaksana MTBS yang MTBS di DKK atau atasan lainnya, variabel
berasal dari 6 puskesmas yang terdiri dari dua keempat yaitu karakteristik badan pelaksana
puskesmas yang cakupan MTBS di bawah 25%, di mana merupakan karakteristik, norma atau
dua puskesmas yang cakupan MTBS sekitar hubungan yang terjadi berulang-ulang di
50%, dua puskesmas yang telah melaksanakan puskesmas dalam bentuk prosedur kerja atau
MTBS di atas 75%. Standard Operating Procedure (SOP), variabel
Adapun kriteria inklusi dari penelitian kelima adalah kondisi ekonomi, sosial dan
ini adalah bidan atau perawat yang bertugas politik yaitu lingkungan yang dapat mendukung
di puskesmas kota Surabaya yang telah dilatih pelaksanaan MTBS dalam hal ini kelompok
MTBS dan sebagai penanggung jawab MTBS, pembuat kebijakan maupun masyarakat yang

Gambar 1. Model pengembangan kinerja tenaga Keperawatan pada implementasi MTBS (diadaptasi
dari teori van Meter dan van Horn (1975)

73
Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80

memanfaatkan pelayanan puskesmas, dan hari, jumlah kunjungan sekitar 13 balita untuk
variabel keenam merupakan kecenderungan Pkm 1 dan 33 balita untuk Pkm 2. Jika MTBS
pelaksana adalah kecenderungan sikap petugas dilaksanakan, di Pkm 1 waktu yang dibutuhkan
MTBS yang bisa menghambat atau mendukung jauh lebih sedikit jika dibandingkan di Pkm 2,
pelaksanaan MTBS di puskesmas. Peneliti karena setiap pasien memerlukan waktu sekitar
menggunakan alat bantu untuk memperoleh data 10 menit.
yang diperlukan berupa pedoman wawancara
yang diperlukan untuk menggali informasi Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan
tentang tujuan kebijakan, komunikasi, sumber Hasil wawancara menunjukkan bahwa
daya, sikap dan prosedur kerja, tape recorder selama ini pedoman untuk melaksanakan MTBS,
untuk merekam semua informasi yang diberikan berdasarkan modul dan bagan MTBS. Pedoman
oleh informan. Dalam menjaga validitas selain modul seperti surat edaran dari DKK
data maka dilakukan teknik triangulasi yaitu yang berisi tentang aturan pelaksanaan MTBS
pengumpulan data dari berbagai sumber atau atau indikator keberhasilan yang bisa dijadikan
informan yang berbeda (Lincoln, 2009). Adapun pijakan atau dasar untuk melaksanakan MTBS
informan triangulasi adalah kepala puskesmas belum ada. Sebagian informan mengatakan ada
berjumlah 6 orang dan Sie KIA atau penanggung kesepakatan bahwa balita yang diperiksa dokter
jawab MTBS DKK Surabaya adalah 1 orang. berarti sudah di MTBS.
Data yang diperoleh dengan wawancara Beberapa kepala puskesmas mengatakan
mendalam, dilakukan sampai tuntas sehingga bahwa sebaiknya ada target atau indikator agar
datanya jenuh. Selanjutnya data diolah dengan petugas merasa ada pressurenya. Menurutnya,
analisis isi (content analysis) yaitu analisis petugas puskesmas akan mendahulukan program
berdasarkan topik dengan cara memilah-milah yang ada targetnya sebagaimana komentar
melalui tahapan (Lincoln, 2009) penyederhanaan, berikut ini
reduksi data (data reduction) yaitu merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, fokus pada hal- “...Perlu target saya kira. Selama ini MTBS
hal yang penting, dicari tema dan polanya. tidak ada pressure dan batasannya tidak jelas.
Data yang telah direduksi akan memberikan Kita akan mendahulukan program yang ada
gambaran yang lebih jelas, penyajian data (data pressurenya. Targetnya berapa misalkan 100
display), dalam bentuk uraian singkat (bentuk harus bisa dicapai berapa lama..itu untuk
naratif), matriks dan hubungan antarkategori, MTBS ndak ada....
penarikan kesimpulan, verifikasi simpulan “: Saya kira perlu untuk memberikan motivasi.
(conclusion drawing). Jika data yang diperoleh Dari DKK memang tidak ada target, terkesan
valid dan konsisten, maka kesimpulan yang tenang-tenang saja, tidak seperti program lain
diperoleh akan kredibel. yang dikejar-kejar. Jadi saya agak kendor...
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan
selaku informan triangulasi mengatakan bahwa
HASIL
sejauh ini DKK belum membuat suatu aturan
Data diambil di 6 puskesmas di Surabaya pelaksanaan MTBS dan tidak menetapkan
yang telah ada petugas MTBS yaitu Puskesmas target, karena memaklumi kondisi puskesmas
1, Puskesmas 2, Puskesmas 3, Puskesmas 4, yang banyak target Standar Pelayanan Minimal
Puskesmas 5, Puskesmas 6. Setiap puskesmas, (SPM). Kalau memang perlu target seharusnya
petugas MTBS rata-rata 2–3 orang yang terdiri pemerintah pusat yang menetapkannya, karena
dari dokter dan perawat atau bidan. pemerintah yang mengadakan pelatihan MTBS,
Jumlah kunjungan bayi dan balita sakit, namun bukan berarti DKK mengabaikan
paling sedikit di Puskesmas 1 dengan jumlah program MTBS. Setiap kali ada pertemuan
3235 balita, yang paling banyak di Puskesmas kepala puskesmas atau pertemuan bidan atau
2 yaitu 87043 balita (Dinas Kesehatan Kota perawat selalu diingatkan agar tidak lupa
Surabaya, 2009). Jika dirata-rata dalam satu melaksanakan MTBS.

74
Pengembangan Model Peningkatan Kinerja Tenaga Keperawatan (Rekawati Susilaningrum)

Sumber Kebijakan melaksanakan deseminasi kepada staf dan


karyawan puskesmas. Ada kepala puskesmas
Sebagian petugas mengatakan untuk
jumlah tenaga MTBS saat ini sudah cukup yang menyarankan kalau ada program baru dari
meskipun ditambah tidak jaminan untuk pemerintah hendaknya dilihat dulu dilapangan
dilaksanakan karena ruangan tidak ada, apakah bisa diaplikasikan.
banyak pasien dan berbagai tugas yang harus Petugas mengatakan bahwa setelah
diselesaikan. Beberapa kepala puskesmas juga pelatihan terkesan dibiarkan saja tidak ada
mengatakan tidak perlu ada penambahan petugas kelanjutannya. Evaluasi paska pelatihan hampir
MTBS karena pelayanan sudah dilakukan oleh tidak pernah dilakukan. Pada tahun 2010 pernah
dokter. Berikut komentarnya. dievaluasi yaitu mengerjakan test dengan
cara mengisi formulir MTBS dengan suatu
“...Saya kira sudah cukup, toh yang menangani simulasi.
pasien sudah dokternya.. Menurut Kepala Bidang Pelayanan
Kesehatan, evaluasi telah dilakukan
“...Dua petugas yang dilatih saya kira cukup. pascapelatihan dan refresh (penyegaran).
karena semua pasien sudah ditangani dokter. Memang dalam pelaksanaannya evaluasi dan
Intinya kan sama dengan kita kuliah, cuma supervisi tidak khusus untuk MTBS tetapi
dibuat modul. Kalo perlu dirujuk ya dirujuk.. bersamaan dengan program lain dan rutin
Segi kompetensi, semua petugas dilaksanakan setiap tahun. Penyegaran sudah
mengatakan sebenarnya mampu untuk dimulai setahun terakhir.
melaksanakan. Menurut mereka MTBS cukup
mudah, tetapi memerlukan waktu yang lama Karakteristik Badan Pelaksana (Struktur
dan ketenangan pasien, sedangkan beban kerja, Birokrasi, SOP)
semua petugas mengatakan bahwa beban kerja Sebagian besar petugas MTBS
yang harus dilaksanakan lebih dari 3 jenis mengatakan melakukan diseminasi informasi
kegiatan. Beban kerja ini berupa tugas pokok MTBS kepada seluruh petugas puskesmas dalam
dan fungsi (tupoksi) serta tugas tambahan lain. suatu pertemuan rutin yang dihadiri kepala
Kegiatan-kegiatan tersebut sudah menyita waktu puskesmas dan staf. Diseminasi dilakukan cukup
sehingga kesempatan melaksanakan MTBS sekali pascapelatihan saat ada minilokakarya
tidak ada. atau pertemuan rutin puskesmas.
Kepala puskesmas juga mengakui bahwa Persiapan logistik dan formulir MTBS,
petugas MTBS mempunyai tugas rangkap hampir seluruh petugas mengatakan tidak ada
sebagaimana komentar berikut.
persiapan khusus, sedangkan untuk penyesuaian
alur pelayanan, semua petugas mengatakan tidak
“..Kalau beban kerja di puskesmas.. jika
ada perubahan alur pelayanan meskipun dulu
dihitung dengan rumus harusnya pegawainya
menerapkan MTBS.
kurang ya, tapi memang bebannya tumpang
Sebagian besar petugas mengatakan
tindih dari dulu seperti itu, sehingga sulit kalau
dalam pelaksanaan MTBS langkah-langkah
harus pegang mtbs saja..Tk6
dalam formulir MTBS dipersingkat agar
tidak memakan waktu, namun sebagian
Komunikasi
lain mengatakan tidak perlu direvisi atau
Semua petugas mengatakan kalau dipersingkat nanti malah tidak sesuai. Seluruh
penyampaian informasi tentang pelaksanaan petugas juga mengatakan bahwa sekarang tidak
MTBS dilakukan saat pelatihan oleh tim melaksanakan MTBS, karena tidak ada formulir,
fasilitator kepada peserta pelatihan. Tim ruangan belum ada dan banyak kegiatan yang
fasilitator juga menyampaikan tujuan dan harus dilaksanakan.
latar belakang dilaksanakannya MTBS yaitu Seluruh petugas mengatakan bahwa
untuk memberikan pelayanan yang terintegrasi pencatatan pada formulir MTBS tidak dilakukan
kepada bayi dan balita sakit. Setelah pelatihan lagi, baik yang bermasalah dengan formulir
dan kembali ke puskesmas, petugas diharapkan maupun yang tidak. Meskipun terpaksa diisi,

75
Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80

dilakukan setelah pasien sepi dan seingatnya dan diterapkan di daerah yang tenaga dokternya
terkadang hanya klasifikasinya saja yang ditulis. terbatas. DKK juga belum memberikan
Apalagi sebagian kepala puskesmas mengatakan perhatian lebih terhadap MTBS, karena
kalau pencatatan pada formulir MTBS sulit mengutamakan program yang ditentukan
dilaksanakan karena waktu yang cukup lama. standar pelayanan minimalnya (SPM),
Berikut komentarnya: sebagaimana pernyataan berikut:
“..dengan tanpa menulis di form MTBS saja
“..bukan bermaksud mengabaikan
waktu pelayanan kita terbatas apalagi dengan
program MTBS, kalau memang ada keharusan
mengisi MTBS. Kita sebenarnya sudah
untuk dilaksanakan, pemerintah pusat seharusnya
melaksanakan langkah MTBS hanya tidak
juga memfasilitasi, misalnya dengan menentukan
dicatat di form. Pelaksanaan MTBS tidak
target atau indikator. Setelah tidak ada pelatihan,
masalah tapi pencatatannya yang sulit karena
pemerintah terkesan diam..
terkendala waktu dan banyaknya pasien..Tk5
“..Gimana ya, masalahnya semua balita sudah Kecenderungan (Sikap) Pelaksana
ditangani dokter sehingga pola pikirnya sdh Beberapa petugas yang mengatakan
paham.. MTBS cukup bagus untuk diterapkan di
Sebagaimana dengan pencatatan, puskesmas, tetapi untuk melaksanakannya sulit.
pelaporan yang digunakan juga tidak memerlukan Namun sebagian informan mengatakan terlalu
perubahan. Dengan demikian semua pencatatan rumit, perlu waktu lama dan tidak cocok jika
dan pelaporan yang digunakan tidak mengalami diterapkan dikota.
perubahan. Sebagian besar petugas mengatakan
pelaksanaannya belum sesuai dengan prosedur.
Lingkungan Politik, Sosial dan Ekonomi Form MTBS diisi setelah pasien sepi dan
Lingkungan politik, sosial dan ekonomi seingatnya saja karena waktu pelaksanaannya
adalah lingkungan yang dapat mendukung lebih lama sehingga kurang efektif. Petugas
pelaksanaan MTBS yaitu pembuat kebijakan tidak yakin jika MTBS dapat membantu
maupun kelompok masyarakat yang menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi.
memanfaatkan pelayanan puskesmas dan Sebagian besar mengatakan semua tergantung
merupakan faktor eksternal puskesmas. pola hidup pasien itu sendiri.
Sebagian besar petugas mengatakan Berbagai pernyataan yang disampaikan
bahwa sejauh ini belum ada keterlibatan oleh petugas MTBS maupun informan
dan perhatian dari pihak luar seperti tokoh triangulasi dapat dijelaskan bahwa ada
masyarakat, dan media karena kenyataannya keterkaitan antara keenam faktor tersebut. Tidak
MTBS belum dilaksanakan. jelasnya ukuran dasar dan tujuan kebijakan
Beberapa petugas mengatakan dulu mempunyai dampak tidak langsung terhadap
pernah memberitahu pasien saat akan dilayani kecenderungan sikap petugas yang terwujud
dengan MTBS dan pasien mau dan senang belum dilaksanakannya MTBS. Sumber-sumber
karena merasa diperhatikan. Namun sekarang kebijakan yang kurang memadai memengaruhi
tidak lagi, karena jika anaknya rewel atau antrian komunikasi dan pelaksanaan MTBS. Pada
panjang, ibu minta anaknya dilayani dengan sisi yang lain kecenderungan para pelaksana
cepat. dapat dipengaruhi secara langsung tersedianya
Kepala puskesmas juga mengatakan sumber-sumber. Kecenderungan petugas yang
bahwa MTBS hanya bisa dijalankan sesuai enggan melaksanakan MTBS dipengaruhi oleh
kondisi puskesmas, belum ada upaya untuk sumber-sumber daya yang kurang memadai. Jika
melibatkan pihak luar agar MTBS bisa sumber-sumber tersedia, para pelaksana akan
berjalan dengan baik. Ada beberapa kepala melaksanakan kebijakan dengan senang hati,
puskesmas yang mengatakan bahwa sebaliknya jika tidak cukup tersedia sumber-
sebenarnya MTBS ditujukan untuk tenaga sumber maka dukungan dan ketaatan terhadap
perawat dan bidan, sehingga lebih sesuai program akan menurun.

76
Pengembangan Model Peningkatan Kinerja Tenaga Keperawatan (Rekawati Susilaningrum)

PEMBAHASAN tidak lupa dan semakin terampil. Pelayanan


Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan dapat dilakukan secara bertahap sesuai jumlah
kunjungan pasien (Departemen Kesehatan D,
MTBS memang tidak dimasukkan 2008).
dalam target SPM, namun digunakan sebagai Semua petugas mengatakan belum
langkah kegiatan untuk memenuhi target SPM ada ruangan tersendiri untuk melaksanakan
(Departemen Kesehatan E, 2004), karena bukan MTBS. Sebagian besar mengatakan ruang
target, maka pelaksanaannya kurang mendapat tersendiri perlu karena pelayanan pada anak
perhatian. Kondisi ini terjadi di lapangan, berbeda dengan dewasa. Anak perlu ketenangan
petugas lebih mengutamakan program yang ada dan merasa nyaman sehingga memperlancar
target dan pressure karena jika tidak terpenuhi pelayanan.
akan mendapatkan surat peringatan. Pengadaan alat dan obat-obatan untuk
Adanya ukuran dasar dan standar pelaksanaan MTBS, tidak masalah karena sama
kebijakan sebenarnya dapat membantu dengan yang digunakan untuk pelayanan sehari-
untuk mengevaluasi dan membuat langkah hari dan jumlahnya cukup. Namun pengadaan
selanjutnya, apakah MTBS dibiarkan saja atau formulir yang menjadikan kendala. Sebagian
bisa dijalankan dengan beberapa revisi. Selama petugas mengatakan kalau saat ini formulir tidak
ini telah begitu banyak biaya yang dikeluarkan ada. Berkaitan dengan pendanaan, semua kepala
untuk pelaksanaan MTBS, diantaranya dengan puskesmas mengatakan tidak ada anggaran
pelatihan MTBS kepada tenaga puskesmas khusus atau insentif untuk pelaksanaan MTBS,
diseluruh Indonesia. Oleh karena itu diperlukan demikian juga program lain.
komitmen pejabat atau pengelola program Menurut Kepala Bidang Pelayanan
MTBS. Kesehatan (Ka. Bid. Yankes), bahwa kebijakan
pemerintah kota, anggaran kesehatan diutamakan
Sumber Kebijakan
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Penambahan petugas, sulit terwujud Fasilitas seperti ruangan tersendiri memang
saat ini. Petugas yang telah dilatih, diharapkan diperlukan namun bisa bersamaan dengan
menjadi tutor bagi petugas lainnya yang belum pelayanan anak lainnya. Pelaksanaan MTBS
dilatih MTBS. Kenyataan di lapangan, petugas memang tidak memerlukan dana atau biaya yang
yang telah dilatih memang menginformasikan besar. Peralatan dan obat yang diperlukan tidak
tentang MTBS kepada petugas lainnya ada yang khusus karena sudah tersedia cukup.
tetapi sifatnya pengenalan dan hanya sekali Penyediaan fasilitas yang layak untuk
disosialisasikan. mendukung suatu implementasi yang efektif
Anggapan bahwa semua anak yang memang tidak mudah. Namun jika para pembuat
ditangani oleh dokter berarti telah melaksanakan kebijakan tidak memperhatikan masalah
MTBS, perlu ditelaah apakah semua dokter sumber-sumber daya tersebut, kemungkinan
sudah mengikuti pola pikir secara komprehensif kecil MTBS bisa berjalan dengan baik.
sebagaimana pada MTBS. Saat ini belum semua Fasilitas fisik merupakan sumber penting
dokter puskesmas mengikuti pelatihan MTBS. dalam implementasi. Seorang pimpinan mungkin
Menurut teori Edward, jumlah staf mempunyai staf yang memadai, tetapi tanpa ada
(petugas MTBS) tidak selalu mempunyai efek fasilitas besar kemungkinan implementasi tidak
positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini akan berhasil (Budi, 2008).
berarti bahwa jumlah staf yang banyak tidak
secara otomatis mendorong implementasi yang Komunikasi
berhasil. Namun kekurangan staf juga dapat Komunikasi tentang implementasi
menimbulkan persoalan pelik yang menyangkut MTBS ini seharusnya tidak hanya memberikan
implementasi kebijakan yang efektif (Budi, informasi tentang cara menggunakan bagan
2008). dan mengisi formulir saja, namun ukuran dasar
Kompetensi yang telah dimiliki petugas dan tujuan kebijakan juga perlu diinformasikan.
seharusnya diterapkan saat melayani pasien agar Selama ukuran dasar dan tujuan kebijakan

77
Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80

belum dirumuskan dengan jelas, pelaksanaan adalah pelayanan pasien sehingga pasien puas.
MTBS tidak akan berjalan dengan baik. Selain DKK mempunyai kebijakan secara bertahap
itu, seharusnya komunikasi dilakukan secara yaitu setiap puskesmas diharapkan mendapatkan
konsisten dan berkesinambungan. sertifikasi ISO 9001–2008 tentang standar mutu
Menurut teori van Mater dan van pelayanan kesehatan.
Horn, implementasi yang berhasil seringkali Penelitian yang dilakukan Djoko
membutuhkan mekanisme-mekanisme dan Mardijanto dan Mubasysyir Hasanbasri di
prosedur lembaga. Hal ini sebenarnya akan Pekalongan tahun 2005 juga menyebutkan
mendorong kemungkinan yang lebih besar bagi bahwa pelaksanaan MTBS tergantung pada
atasan untuk mendukung pelaksana melakukan petugas yang sudah pernah dilatih dan tidak
kebijakan berdasar ukuran dasar dan tujuan bertambah baik selama periode tiga tahun.
kebijakan secara konsisten (Terry, 2008).
Lingkungan Politik, Sosial dan Ekonomi
Karakteristik Badan Pelaksana (Struktur
Saat ini puskesmas masih memfokuskan
Birokrasi, SOP)
program unggulan masing-masing karena
Diseminasi MTBS seharusnya dilakukan mempunyai karakter yang berbeda antara satu
kepada semua petugas puskesmas karena ada dengan lainnya. Perbedaan ini yang dikelola
keterkaitan peran dan tanggung jawab antar- oleh puskesmas untuk menjadi suatu program
petugas di puskesmas bila perlu dihadiri oleh unggulan. Situasi ini didukung dengan pendapat
supervisor dari Dinas Kesehatan Kabupaten atau bahwa MTBS untuk perawat dan bidan,
Kota. Demikian juga dengan persiapan logistik jelas akan sulit untuk menerapkan MTBS di
agar tidak mengganggu kelancaran pelaksanaan Surabaya.
MTBS. Sebagai pengguna pelayanan, masyarakat
Sesuai dengan pedoman pelaksanaan akan paham jika dilayani dengan waktu
MTBS di Puskesmas, seharusnya petugas agak lama, yang penting ada informasi lebih
mempersiapkan logistik dan formulir serta dahulu, yang perlu dicermati dari lingkungan
melakukan pengecekan apakah di puskesmasnya politik, sosial dan ekonomi ini adalah selama
masih tersedia peralatan dan obat yang ini pemerintah mengadakan pelatihan MTBS
dibutuhkan agar pelaksanaan MTBS tidak difokuskan hanya kepada petugas di puskesmas.
terhambat (Departemen Kesehatan, 2008). Sementara puskesmas bukan satu-satunya
Salah satu konsekuensi penerapan fasilitas pelayanan kesehatan dasar, ada fasilitas
MTBS adalah waktu pelayanan menjadi pelayanan dasar milik perorangan atau swasta
lebih lama. Guna mengurangi waktu tunggu, yang juga melayani kesehatan anak yang
perlu dilakukan penyesuaian alur pelayanan, petugasnya mungkin belum pernah ikut pelatihan
untuk memperlancar pelayanan. Penyesuaian MTBS.
alur pelayanan balita sakit harus disepakati
oleh seluruh Petugas Kesehatan yang ada Kecenderungan (Sikap) Pelaksana
di Puskesmas saat diseminasi informasi Pernyataan-pernyataan petugas yang
(MTBS, 2008). telah disampaikan pada hasil dapat diartikan
Penyesuaian alur ini yang belum pernah cenderung kurang mendukung pelaksanaan
disosialisasikan kepada petugas puskesmas MTBS. Menurut teori G. Edwards, pelaksana
lainnya. Memang memerlukan suatu persiapan yang memiliki kecenderungan sikap yang baik,
khusus jika MTBS dilaksanakan. Pelaksanaan akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik.
MTBS memerlukan keterlibatan semua petugas. Demikian sebaliknya, jika pelaksana bersikap
Sebenarnya dengan MTBS, memudahkan negatif atau menolak maka implementasi
petugas untuk mendeteksi dan menjaring kebijakan akan menghadapi kendala yang serius
secara dini penyakit-penyakit yang sering (Dwiyanto, 2009).
menyebabkan kematian pada bayi dan balita di Penelitian yang dilakukan Nocholas
antaranya pneumonia, diare dan gangguan gizi. D. Walter (2009) di Tanzania menunjukkan
namun saat ini yang diutamakan oleh puskesmas kepatuhan petugas yang rendah terhadap langkah

78
Pengembangan Model Peningkatan Kinerja Tenaga Keperawatan (Rekawati Susilaningrum)

tindakan MTBS. Sedangkan penelitian yang sikap petugas yang bisa menghambat pelaksanaan
dilakukan Christiane Horwood, dkk. (2009) di MTBS di puskesmas.
Afrika Selatan menunjukkan bahwa MTBS
merupakan metode yang efektif memperoleh Saran
keterampilan, tetapi lebih banyak waktu untuk Bagi DKK dan Puskesmas sebaiknya
penerapannya sehingga diperlukan solusi bersama-sama dengan DKK mengkaji ulang
inovatif keterampilan yang diperoleh petugas penerapan MTBS apakah perlu diterapkan di
tetap memadai dan terpelihara. Puskesmas Kota Surabaya. Mengusulkan ke
DKK untuk menentukan indikator keberhasilan
SIMPULAN DAN SARAN MTBS agar mendapatkan perhatian dari
petugas, ada komitmen untuk memenuhi
Simpulan fasilitas yang diperlukan oleh puskesmas sesuai
Ukuran dasar dan tujuan kebijakan kebutuhannya, evaluasi dan supervisi dari DKK
berupa aturan pelaksanaan dan indikator yang berkesinambungan terhadap program-
keberhasilan saat ini belum ada rumusan program puskesmas serta ada tindak lanjutnya
tertulis. Sumber kebijakan berupa dan DKK memodifikasi formulir MTBS yang
ketersediaan sumber daya, dikelompokkan meringankan petugas dan hemat waktu. Saat
menjadi 2 yaitu petugas dan fasilitas. Petugas ini formulir yang baru memang sudah lebih
meliputi jumlah tenaga, kompetensi dan ringkas dan dibukukan, tapi justru terkesan
beban kerja. Jumlah petugas MTBS yang pemborosan karena 1 anak diberikan 1 buku
ada saat ini dianggap cukup, namun jika untuk 60 kunjungan.
MTBS dilaksanakan pada semua balita, Bagi peneliti lain ada penelitian lain
petugas harus ditambah. Fasilitas meliputi tentang efektivitas MTBS yaitu dengan
ruangan, peralatan, obat-obatan dan formulir membandingkan balita yang dilayani berdasar
semua Puskesmas belum memiliki ruangan MTBS dengan balita yang dilayani dengan cara
tersendiri, tetapi kepala puskesmas belum konvensional sebelum ada MTBS.
ada rencana untuk menyediakannya.
Komunikasi antar organisasi dan kegiatan
pelaksanaan dilakukan oleh fasilitator pada saat KEPUSTAKAAN
pelatihan dan sesekali oleh petugas KIA saat Budi, W., 2008. Kebijakan Publik, Teori dan
ada pertemuan. Proses. Yogyakarta: MedPress.
Karakteristik badan pelaksana, dalam Christiane Horwood, et al., 2009. The Training
bentuk prosedur kerja (SOP), yang meliputi; Exprience and Implementing IMCI
persiapan, pelaksanaan, pencatatan dan in South Afrika. Bulletin of the World
pelaporan MTBS. Pencatatan dan pelaporan Health Organization, (Online), (http://
hasil pelayanan MTBS selama ini yang dilakukan www.biomedcentral.com)
adalah mencatat jumlah balita sakit yang Departemen Kesehatan, 2008a. Manajemen
dilayani dokter, tanpa menggunakan formulir Te r p a d u B a l i t a S a k i t M o d u l 1
MTBS. Ada kesepakatan bahwa balita sakit yang (Pengantar). Jakarta: Depkes, WHO
dan USAID.
diperiksa dokter, sudah dianggap melaksanakan
Departemen Kesehatan, 2008b. Laporan Hasil
MTBS.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Lingkungan politik, sosial dan ekonomi.
Indonesia Tahun 2007; Jakarta:
Kepala puskesmas mendukung sebisanya sesuai Badan Penelitian dan Pengembangan
kondisi puskesmas dan belum menjalin kerja Kesehatan.
sama dengan pihak lain karena MTBS belum Departemen Kesehatan, 2009c. Materi pada
dijalankan. Pertemuan Nasional Program Kesehatan
Kecenderungan pelaksana dalam Anak, Manajemen Terpadu Balita Sakit.
implementasi MTBS berupa kecenderungan Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan
Anak.

79
Jurnal Ners Vol. 7 No. 1 April 2012: 71–80

Departemen Kesehatan, 2008d. Pedoman Morse Janice, MFPA., 1995. Qualitative Research
Penerapan MTBS di Puskesmas (MTBS Methods for Health Profesionals. Second
Modul 7). Jakarta: Depkes RI, WHO edition. London: SAGE Publications.
dan USAID. Nursalam, 2007. Konsep dan Penerapan
Departemen Kesehatan, 2004e. Keputusan Metodologi Penelitian llmu Keperawatan.
Menteri Kesehatan tentang Petunjuk Jakarta: Salemba Medika.
Teknis Standar Pelayanan Minimal Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2009. Profil
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Kesehatan Tahun 2009. Surabaya: Dinas
Jakarta. Kesehatan Kota Surabaya.
Dwiyanto, I., 2009. Kebijakan Publik Berbasis Subarsono, 2009. Analisis Kebijakan Publik
Dynamic Policy Analisys. Yogyakarta: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Gava Media. Pustaka Pelajar.
Terry George, R., 2008. Prinsip-Prinsip Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif
Manajemen. Jakarta: PT Bumi Aksara. K u a l i t a t i f d a n R & D; B a n d u n g :
Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2009. Alfabeta.
Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota S. Lincoln, NKDY., 2009. Handbook of
Surabaya. Surabaya: Dinas Kesehatan Qualitative Research edisi Bahasa
Kota Surabaya. Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Mardiyanto, D., Hasanbasri, M., 2008. Evaluasi Nicholas D. Walter, et al., 2009. Why first-level
Manajemen Terpadu Balita Sakit di health workers fail to follow guidelines
Pekalongan (Evaluation of Integrated for managing severe disease in children
Management of Childhood Illness in the Coast Region, (Online), (http://
Program in Pekalongan District of www. proquest. com/pqdweb).
Central Java). JMPK UGM, 08.

80

You might also like