Professional Documents
Culture Documents
Keywords: GCG, Procurement of Goods and Services, BUMN: Abstrak
Keywords: GCG, Procurement of Goods and Services, BUMN: Abstrak
Abstract
The legal basis for the procurement of goods and services in BUMN is based
on the Regulation of the Minister of BUMN No.PER-05 / MBU / 2008 concerning
General Guidelines for the Implementation of the Procurement of Goods and
Services for State-Owned Enterprises. This specificity is enforced because
BUMN is a form of business entity which all or most of its capital is owned by
the state through direct participation originating from separated state assets.
With the enactment of the Regulation of the Minister of BUMN Number PER-
05 / MBU / 2008, the Board of Directors of PT Angkasa Pura Solusi has
established Guidelines for the Procurement of Goods and Services based on
the Decree of the Board of Directors Number: 013B / APS / SK / DIR / III / 2018,
dated March 26, 2018 regarding Barag Procurement Guidelines / Services PT
Angkasa Pura Solusi. This regulation regulates the mechanism for the
procurement of goods and services at PT Angkasa Pura Solusi. In every
process of procuring goods and services at PT Angkasa Pura Solusi, it must
refer to this regulation.
Abstrak
Prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance (GCG) yang harus
diterapkan diterapkan PT Angkasa Pura Solusi selaku anak perusahaan BUMN
dalam kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PER-01/MBU/2011
yang dikeluarkan oleh Menteri Negara BUMN tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik
Negara yaitu terdiri atas transparansi (transparency), akuntabilitas
(accountability), kemandirian (independency), pertanggungjawaban
(responsibility) dan kewajaran (fairness). Secara teoritis praktik prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik pada holding BUMN dapat meningkatkan nilai
(valuation) perusahaan dengan meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan
tersebut agar dapat bermanfaat bagi pendapatan negara berupa deviden,
pajak, penyerapan tenaga kerja, dan produk serta layanan yang kompetitif
kepada konsumen.
Dasar Hukum pengadaan barang dan jasa pada BUMN didasari oleh Peraturan
Menteri BUMN No.PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara. Kekhususan ini
diberlakukan karena BUMN merupakan suatu bentuk badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan
ditetapkannya Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 Direksi PT
Angkasa Pura Solusi telah menetapkan Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa
berdasarkan Keputusan Direksi Nomor: 013B/APS/SK/DIR/III/2018, tertanggal
26 Maret 2018 tentang Pedoman Pengadaan Barag/Jasa PT Angkasa Pura
Solusi. Pada peraturan ini diatur mengenai mekanisme pengadaan barang dan
jasa pada PT Angkasa Pura Solusi. Dalam setiap proses pengadaan barang
dan jasa pada PT Angkasa Pura Solusi harus mengacu pada peraturan ini.
B. Rumusan Masalah
B. Prinsip-Prinsip GCG
Teori yang digunakan selanjutnya ialah teori yang berasal dari prinsip–
prinsip GCG itu sendiri yang terdiri dari lima prinsip dasar 8, diantaranya ialah :
1. Transparency
Transparansi yang dimaksudkan disini ialah adanya keterbukaan
informasi dalam proses pengambilan keputusan ataupun dalam
mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai kegiatan
perusahaan. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas9.
Menurut peraturan dalam Pasar Modal Indonesia, informasi material dan
relevan ialah informasi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
ataupun kebijakan, naik turunnya harga saham perusahaan, atau yang
mempengaruhi secara signifikan risiko dan prospek usaha perusahaan yang
bersangkutan10.
2. Accountability
Accountability atau akuntabilitas ialah kejelasan fungsi, struktur, sistem
serta pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan
perusahaan terlaksana secara efektif. Selain itu, perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar,
menetapkan tugas dan tanggungjawab masing – masing organ perusahaan.
3. Responsibility
Responsibility ialah pertanggungjawaban perusahaan yang merupakan
kesesuaian atau kepatuhan dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip
korporasi yang sehat dan peraturan perundang – undangan yang
berlaku.45Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan prinsip akuntabilitas, karena
akuntabilitas merupakan ekspresi dari prinsip pertanggungjawaban. Dalam
penerapan prinsip ini, salah satu hal penting ialah memastikan apakah dalam
operasi perusahaan semua kewajiban yang diatur dalam ketentuan perundang
– undangan sudah diperhatikan dan dipenuhi. Misalnya ketentuan mengenai
perlindungan konsumen atau persaingan usaha 11.
4. Independency
Independency ialah kemandirian yang merupakan suatu keadaan di
mana perusahaan dikelola tanpa adanya intervensi dari pihak manapun yang
7
Mas Achmad daniri, Op.cit. h.9
8
Ibid, h.10
9
Purwosusilo, 2014, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, Kencana, Jakarta,
h.208
10
Ibid, h.11
11
Leo.J Susilo dan Karlen Simarmata,Op.cit h.21
tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan 12. Melalui prinsip
kemandirian, prinsip pertanggungjawaban dapat dilaksanakan dengan baik
sehingga terbebas dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, baik karena
kepentingan diri sendiri ataupun kepentingan golongan. Sebagaimana telah
diatur dalam UUPT, penerapan prinsip kemandirian ini menegaskan kembali
bahwa direksi dan komisaris perusahaan dalam menjalankan tugasnya
haruslah mendahulukan kepentingan dan usaha perseroan.
5. Fairness
Fairness ialah kesetaraan dan kewajaran yang didefinisikan sebagai
perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian dan perundang – undangan yang berlaku 13. Penerapan
dari prinsip kewajaran ini sangat erat kaitanya dengan prinsip transparansi,
karena hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala
ketidakadilan dapat dilakukan. Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak –
hak pemodal, sistem hukum dan penegakan peraturan untuk melindungi hak –
hak investor khususnya pemegang saham minoritas dari kecurangan. Bentuk
kecurangan yang terjadi dapat berupa insider trading (transaksi yang
melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai
perusahaan berkurang), KKN, atau keputusan – keputusan yang dapat
merugikan kembali seperti pembelian kembali saham yang sudah dikeluarkan,
penerbitan saham baru, merger, akusisi, atau pengambilalihan perusahaan lain.
12
Ibid,h.22
13
Mas Achmad Daniri,Loc.cit, h.14
D. Infrastruktur Pendukung GCG
1. Pedoman Prilaku
Pengelolaan perusahaan sesuai dengan ketentuan dan kaedah hukum tidak
terlepas dari aturan-aturan main yang diterima dalam pergaulan sosial baik
norma maupun aturan moral atau etika. Pembentukan image perusahaan yang
baik dan bersih terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau
berhbungan dengan para stakeholder perusahaan. Perilaku perusahaan secara
nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnis, dimana perilakunya bisa
melanggar ketentuan yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang hukum
Pidana atrau Kitab Undang- Undang Hukum Perdata serta ketentuan hukum
lainnya.
Perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi
kebijakan dan standar perilaku yang diwajibkan bagi pelaku bisnis yang
menguraikan komutmen, sikap dan perbuatan yang dilaksanakan dan atau
perbuatan yang dilarang perusahaan.
2. Pedoman Tata Kelola Perusahaan
Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Good Corporate Governance
adalah mengatur penjelasan prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan
mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-
undangan dan etika berusaha14.
3. Pedoman Pengenalan Dewan Komisaris Dan Direksi
Direksi dan Dewan Komisaris merupakan organ Perusahaan, Direksi
bertanggungjawab penuh atas pengurusan perusahaan. Sesuai dengan
maksud dan tujuan perusahaan. Sedangkan Dewan Komisaris sesuai
ketentuan hukum yang berlaku melakukan pengawasan secara umum dan/atau
khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberikan nasihat kepada
Direksi.
4. Pedoman Tata Kerja Dewan Komisaris Dan Direksi
Pedoman Tata Kerja ini digunakan sebagai panduan sekaligus merupakan
suatu bentuk komitmen Dewan Komisaris dan Direksi dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya masing-masing untuk mengimplementasi prinsip-prinsip
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Good Corporate Governance dalam proses
pengurusan Perusahaan.
Direksi menghormati tanggung jawab dan wewenang Dewan Komisaris untuk
melakukan pengawasan dan memberikan nasehat terhadap kebijakan
pengelolaan perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-
undangan dan Anggaran Dasar Perseroan. 15
5. Pedoman Pelaksanaan Sekretaris Perusahaan
Stakeholder perusahaan yaitu Pemegang Saham, Dewan Komisaris, Direksi,
Karyawan, Pemerintahan serta pihak yang berkepentingan lainnya senantiasa
menginnginkan informasi yang tepan waktu, akurat dan objektif mengenai
ketentuan dan pelaksanaan kegiatan usaha perusahaan. Pelaksanaan
opersional perusahaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, antara lain Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang No,19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negera, Anggaran Dasar serta ketentuan peraturan lainnya yang berhubungan
dengan perusahaan.
14
Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri BUMN No.PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan tata Kelola
Perusahaan Yang Baik Good Corporate Governance
15
Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
6. Pedoman Internal Audit
Meski Badan Usaha Milik Negara telah menjadi motor penggerak ekonomi,
namun tampak bahwa pengelolaan Badan Usaha Milik Neara belum optimal,
disadari bahwa untuk meningkatkan kinerja dalam lingkungan persaingan bisnis
yang semangkin ketat dan bersifat global serta kondisi perusahaan yang belum
sepenuhnya kondusif memang bukanlah pekerjaan mudah 16
7. Pedoman Komite Audit.
16
Riant Nugroho, Badan Usaha Milik Negara Isu Kebijakan dan Strategis,Jakarta PT Elex Media
Komputindo, 2005,hal 15
17
Pasal 70 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
18
Pasal 44, Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No PER- 01/MBU/02/2015 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Good Corporate Governance
Yang dimaksud dengan self assessment adalah merupakan metode
yang memberikan tanggungjawab yang besar kepada seseorang karena semua
proses dalam pemenuhan kewajiban dilakukan sendiri dan dilaporkan sendiri.
19
Marzuqi Yahya dan Endah Fitri Susanti, 2012, Buku Pintar Pengadaan Barang dan Jasa, Laskar
Aksara, Jakarta, h.3
20
Ibid,h.4
21
Janus Sidabalok, 2012, Hukum Perusahaan- Analisis Terhadap Pengaturan Peran Perusahaan
dalam Pembangunan Ekonomi Nasional di Indonesia, Nuansa Mulia, Bandung, h.51
22
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1999), h. 83.
pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.Permen BUMN No. Per-15/2012 mengatur prinsip-prinsip yang harus
dipegang teguh dalam melakukan pengadaan barang dan jasa di BUMN. Prinsip-
prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
efektif
efisiensi kompetitif
Prinsip-prinsip
pengadaan
barang dan
transparan jasa BUMN akuntabel
Adil &
wajar
23
Marisi P. Purba, 2014, Pengadaan Barang dan Jasa BUMN, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.
31
Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa
yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang pembiayaannya tidak
menggunakan dana dari APBN/APBD.
Pemerintah dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara harus
mewujudkan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh
masyarakatnya, dalam mewujudkan hal tersebut pemerintah memiliki kewajiban
untuk menyediakan kebutuhan masyarakatnya yang salah satunya dalam bentuk
barang maupun jasa. 24
25
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, 2014, Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Visi
Media Pustaka, Jakarta, hlm.5-6.
G. Konsep dan Standar E-Procurement dalam Upaya Pencegahan Fraud
Sebagai BUMN yang wajib menerapkan prinsip Good Corporate Governance
(GCG) atau dikenal dengan tata kelola Perusahaan yang baik dalam aspek bisnis
dan pengelolaan perusahaan pada semua jajaran perusahaan, Semua BUMN
menyusun tata kelola Teknologi Informasi dalam lingkup bisnis dan pelaksanaan
pengelolaan perusahaan.
Dukungan Teknologi Informasi dapat meningkatkan kapabilitas perusahaan
dalam memberikan kontribusi bagi penciptaan nilai tambah, serta mencapai
efektifitas dan efisiensi. Aspek kunci dari prinsip GCG meliputi adil, responsibilitas,
transparansi, independensi, akuntabilitas, keselarasan dan kewajaran serta
tanggung jawab untuk mencapai tujuan perusahaan.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian serta analisis dan pembahasan yang telah
penulis lakukan pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan kesimpulan yang
merupakan jawaban terhadap permasalahan daam penelitian ini sebagai
26
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana, Jakarta,
2010., hal 16.
berikut:
1. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan oleh PT
Angkasa Pura Solusi sebagai anak perusahaan BUMN saat ini masih
menggunakan sistem manual, yang belum terlihat adanya transparansi, tidak
diskriminasi, bertanggung jawab, adil dan aman dalam pengadaan barang dan
jasanya. BUMN diberi otoritas dalam mengelola bisnisnya termasuk dalam
pengadaan barang/jasa yang tujuannya untuk percepatan layanan bisnis
kepada customer dan berorientasi pada profit.
Kelemahan pelaksanan pengadaan barang/jasa oleh PT Angkasa Pura Solusi
saat ini adalah pengadaan barang/jasa masih belum menerapkan prinsip-
prinsip pengadaan sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN yang
menjadi landasan dibuatnya Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di PT
Angkasa Pura Solusi sendiri seperti halnya tidak transparan dalam pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa dengan tidak memperkenankan membuka HPS
dalam dokumen pengadaan maupun pada saat penjelasan umum (Aanwijzing)
serta tidak adanya Daftar Penyedia Barang/Jasa Terseleksi (DPT) yang
memungkinkan adanya anggapan persaingan usaha tidak sehat dari pihak
internal maupun eksternal. Dari beberapa kendala yang dijabarkan dalam
pembahasan diatas dapat dilihat bahwa yang terpenting dalam mengatasi
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan barang dan jasa ialah kerjasama
dari para stakeholder serta adanya kebijakan dari pihak yang berwenang,
dalam hal ini manajemen yang memiliki kapasitas untuk membuat keputusan
dan mengupayakan segala kendala dapat diatasi serta tetap berdasarkan pada
pedoman pengadaan barang dan jasa yang berlaku di PT Angkasa Pura Solusi
juga prinsip-prinsip GCG di dalamnya
B. Saran
Penulis juga mencoba untuk memberikan saran yang mungkin akan berguna
untuk pengembangan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada PT Angkasa
Pura Solusi antara lain:
1. Guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar
dan persaingan usaha yang sehat serta mendukung proses monitoring dan audit
dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada PT Angkasa Pura Solusi
dapat menerapkan Sistem Informasi Terpadu, karena perusahaan telah
menggunakan ERP modul keuangan maka sebaiknya perusahaan juga membuat
ERP modul pengadaan barang dan jasa kemudian menerapkan sistem pengadaan
barang/jasa e-procurement, agar semakin mengurangi kontak langsung antara
Penyedia Barang/Jasa dengan Panitia Pengadaan.
2. Hendaknya Direksi PT Angkasa Pura Solusi memperbaharui pedoman pengadaan
barang/jasa yang memenuhi prinsip pengadaan yang mengacu pada Permen
BUMN No. PER-05/MBU/2008 serta prinsip-prinsip GCG yang diatur dalam
Permen 01/2011 dengan memperhatikan pasal terkait pengaturan HPS agar
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di PT Angkasa Pura Solusi transparan
dan terbuka. Guna menghindari terjadinya penyimpangan dalam pengadaan
barang dan jasa di Anak Perusahaan BUMN hendaknya dibentuk sebuah lembaga
pengawas dari Induk Perusahaan untuk mengawasi pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa di lingkungan BUMN khususnya pada anak perusahaan BUMN.
DAFTAR PUSTAKA
B. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indoneisa, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;
Peraturan Menteri Negara BUMN Republik Indonesia Nomor PER-12/M-MBU/2012 tentang Organ
Pendukung Dewan Komisaris;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1960 Tentang Perusahaan N.V.
Semarangsche Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V. Semarang Veer;
1. Penentuan Topik
Sebuah artikel yang baik akan berawal dari topik yang baik.
Persoalannya adalah bagaimana seorang penulis dapat menemukan topik
yang tepat untuk ditulis.
Lebovits menyatakan bahwa sebuah artikel dapat merupakan sebuah
uraian dan pembahasan aspek substantif atau prosedural dari persoalan
hukum tertentu. Selain itu, sebuah artikel dapat pula mengetengahkan
masalah yang belum terpecahkan dan bagaimana pemecahannya. 2 Hal yang
dikemukakan oleh Lebovits di atas dapat menjadi cara bagi seorang penulis
untuk menentukan topik yang akan dipilihnya.
Selain itu, dapat pula ditambahkan di sini bahwa topik dapat saja dipilih
dari adanya sebuah putusan atau peraturan atau pernyataan yang
menimbulkan perdebatan, yang kemudian akan diuji dan dianalisa dengan
landasan teoretis tertentu. Dapat pula sebuah artikel hendak membahas
pandangan yang lazim dianut, dan kemudian membantah pandangan tersebut
berdasarkan perspektif tertentu.
Selain hal di atas, Volokh menyatakan bahwa artikel yang baik tidak
hanya harus bersifat orisinal, tidak terlalu mudah untuk dijawab, berguna, dan
masuk akal, tetapi juga harus dapat dilihat oleh pembaca telah memenuhi
karakter tersebut.3 Dengan demikian, Volokh melihat bahwa pandangan atau
komentar pembaca tentang artikel memegang peranan yang penting untuk
menentukan kualitas artikel.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Osbeck. Baginya, semakin baik sebuah
artikel, semakin dekat artikel tersebut dengan kebutuhan dan kepentingan dari
pembacanya.4
Berbeda dengan Volokh dan Osbeck, beberapa pengarang justru
melihat pentingnya kemampuan penulis untuk menyeimbangkan antara
ketertarikan pribadi penulis dengan manfaat dari artikel bagi orang lain pada
saat penulis menentukan topik artikel. Menurut Lebovits, apa pun tujuan dari
penulisan artikel hukum, terdapat dua hal yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam penentuan topik. Pertama, topik artikel selalu
mengetengahkan kepentingan atau ketertarikan penulis. Kedua, kepentingan
atau ketertarikan itu harus diseimbangkan dengan manfaat dari penulisan
topik yang dipilih.5 Hal senada juga diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang,
sebagaimana dikutip oleh Robson, menyatakan bahwa “[i]deally, your choice
of subject will be informed equally by your audience’s needs and concerns and
by your own interests.”6 Selain kedua hal di atas, topik yang dipilih haruslah
merupakan topik yang menarik untuk ditulis (interesting), dapat ditulis
(manageable), dan penting (significant) untuk ditulis.7 Singkatnya, topik artikel
harus lah merupakan hal yang pada satu sisi menarik bagi penulis, dan pada
sisi lain berguna bagi orang lain.
Sebuah topik dapat dipilih dari banyak faktor dan kejadian. Mungkin
pula inspirasi pemilihan topik muncul secara tiba-tiba di tempat yang tidak
terduga. Namun demikian, seperti dinyatakan Sternberg, “[i]t may be arguable
whether the final choice is determined by “fate” or “being in the right place at
the right time”, but prior to that right moment or right idea come months, or
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 473
even years, of selective reading and
Wibisana thinking about dozens of related issues”.8
Meskipun pandangan Sternberg tersebut disampaikannya dalam konteks
pemilihan topik sebuah disertasi, akan tetapi pandangan tersebut juga dapat
diterapkan untuk pemilihan topik artikel hukum. Belajar dari Sternberg, dapat
disimpulkan bahwa membaca pada akhirnya merupakan hal terpenting dalam
proses penulisan sebuah karya ilmiah hukum.
Tentu, membaca saja tidak cukup. Hasil penelitian dan penelusuran
bahan bacaan perlu dituangkan dalam gagasan orisinal seorang penulis.
2
Gerald Lebovits, “Academic Legal Writing: How to Write and Publish”, New York State
Bar Association Journal, Vol. 78:1 (2006), hlm. 64.
3
Eugene Volokh, “Writing a Student Article”, Journal of Legal Education, Vol. 48:2
(June 1998), hlm. 248.
474 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
a. Pernyataan (claim)
Pernyataan (claim) adalah thesis yang menjadi dasar sebuah artikel.
Sebuah artikel yang baik selalu memilki thesis tentang suatu hal, atau dengan
kata lain
4
Mark K. Osbeck, “What Is “Good Legal Writing” and Why Does It Matter?”, Drexel
Law Review, Vol. 4 (2012), hlm. 425-426.
5
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 64.
6
Ruthann Robson, “Law Students as Legal Scholars: An Essay/Review of Scholarly
Writing for Law Students and Academic Legal Writing”, City University of New York Law
Review, Vol. 7:1 (2004), hlm. 197
7
Richard Delgado, “How to Write a Law Review Article”, University of San Francisco
Law Review, Vol. 20 (1986), hlm. 448
8
David Sternberg, How to Complete and Survive a Doctoral Dissertation (New York:
St. Martin’s Press, 1981), hlm. 51.
9
Eugene Volokh (1998), loc cit.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 475
Wibisana
10
Dalam bahasa Samuelson, pernyataan ini disebut dengan point, yaitu suatu
gagasan atau thesis yang hendak disampaikan oleh penulis. Sebuah artikel harus memiliki
gagasan (point) ini. Pamela Samuelson, “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes”,
University of Pittsburgh Law Review, Vol. 46 (1984), hlm. 151.
11
Eugene Volokh, Academic Legal Writing: Law Review Articles, Student Notes,
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 475
Wibisana Papers, and Getting on Law Review, 3rd ed. (New York: Foundation Press, 2007),
Seminar
hlm. 9.
12
Ibid., hlm. 11.
13
Ibid., hlm. 9-10.
476 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
b. Kebaruan (Novelty)
Seorang penulis memiliki beban untuk memperlihatkan bahwa
tulisannya menawarkan sudut pandang, gagasan, atau solusi baru atas
sebuah persoalan hukum yang sebelumnya telah ada. Dalam kalimat
Delgado, menulis artikel dilakukan dengan jalan “find one new point, one new
insight, one new way of looking at a piece of law, and organize your entire
article around that”.14 Kebaruan ini menjadi jaminan bahwa artikel yang dibuat
adalah karya yang orisinal.
Persyaratan kebaruan/orisinal inilah yang menjadikan artikel ilmiah sulit
untuk dikerjakan. Sebuah artikel akan sangat mungkin ditolak jika hanya berisi
hal yang sebelumnya telah dibahas oleh tulisan lain. Cara pertama untuk
memperoleh topik yang orisinal adalah dengan mencari topik tertentu yang
belum pernah ditulis. Namun demikian, hal ini tidaklah mudah. Setelah begitu
banyak tulisan membahas persoalan hukum yang sama, apa yang tersisa
untuk dijadikan topik artikel? Cara kedua yang dapat dilakukan adalah dengan
menambahkan “rasa” baru, nuansa baru, solusi baru, pandangan baru, atau
perspektif baru atas persoalan tersebut.15
Volokh mengusulkan bahwa agar artikel yang dibuat dapat
menawarkan hal baru, maka artikel tersebut harus dibuat dengan
menambahkan pengecualian dari aturan hukum tertentu. Menurutnya, alih-alih
menyatakan bahwa “bans on nonmisleading commercial advertising should be
unconstitutional”, artikel sebaiknya menyatakan bahwa “bans on
nonmisleading commercial advertising should be unconstitutional unless
minors form a majority of the intended audience for the advertising”. Volokh
meneruskan bahwa semakin kompleks gagasan dari sebuah tulisan
seseorang, akan semakin besar kemungkinan tulisan tersebut memuat
gagasan yang baru.16
Untuk membantu penulis menemukan orisinalitas dan kebaruan, tulisan
ini menawarkan beberapa tips yang disampaikan oleh Siems. 17 Menurutnya,
sebuah penelitian atau tulisan yang membahas pertanyaan mikro (micro-legal
questions)18 dapat menjadi lebih orisinal dengan ditambahkan beberapa hal.
Pertama, tulisan dapat dibuat lebih orisinal dengan menekankan pada segi
koherensi dan konsistensi dari
14
Richard Delgado, loc cit.
15
Selain dari kedua kemungkinan ini, orisinal tulisan juga kadang dimintakan secara
tegas oleh jurnal hukum dalam bentuk pernyataan bahwa artikel yang dikirim adalah artikel
yang tidak pernah dipublikasikan sebelumnya, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun
prosiding. Lihat: Douglas E. Abrams, “Writing It Right: Writing in Law Reviews, Bar Association
Journals, and Blogs (Part 1)”, Journal of the Missouri Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 26.
16
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 16.
17
Perlu disampaikan bahwa tips yang disampaikan oleh Siems sebenarnya ditujukan
untuk menemukan “orisinalitas” di dalam sebuah penelitian hukum. Akan tetapi, tulisan ini
melihat bahwa tips tersebut juga berguna untuk diterapkan dalam penulisan artikel hukum.
18
Menurut Siems, penelitian tentang pertanyaan mikro adalah penelitian yang
membahas tentang persoalan hukum tertentu, baik itu persoalan terkait ketentuan, undang-
undang, atau putusan tertentu. Sebagai perbandingan, penelitian hukum yang bersifat makro
(macro-legal questions) adalah penelitian yang fokus pada pembahasan problem, konsep,
atau asas yang bersifat umum. Penelitian ini akan sangat erat kaitannya dengan teori hukum
476 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
dan filsafat hukum. Lihat: Mathias M. Siems, “Legal Originality”, Oxford Journal of Legal
Studies, Vol. 28:1 (2008), hlm. 148-149 dan dan 150.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 477
Wibisana
c. Non-obviousness
Artikel yang baik, menurut Volokh, adalah artikel yang non-obvious.26
Istilah ini diartikan di sini sebagai sesuatu yang tidak terlalu jelas, tidak terlalu
mudah dan umum, sehingga tidak dapat diketahui tanpa adanya penelitian.
Artikel yang non- obvious dapat ditunjukkan dengan jalan memperlihatkan
bahwa tidak semua orang akan sampai pada gagasan yang diutarakan oleh
penulis. Singkat kata, dalam konteks
19
Koherensi adalah sekumpulan gagasan yang apabila dilihat secara keseluruhan akan
menjadi masuk akal. Sedangkan konsistensi berarti tidak adanya kontradiksi. Ibid., hlm. 149.
20
Ibid., hlm. 149-150.
21
Ibid., hlm. 150.
22
Ibid.
23
Ibid., hlm. 151.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 152.
26
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 17.
478 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
d. Kegunaan (Utility)
Sebuah artikel yang baik haruslah berguna, baik secara praktis maupun
teoretis. Karena itu lah, maka sebuah artikel sebaiknya tidak hanya bersifat
deskriptif, tetapi juga menyajikan sikap dan gagasan penulisnya tentang apa
yang seharusnya. Upaya lainnya untuk menunjukkan kegunaan dari sebuah
artikel adalah dengan jalan melihat kemungkinan untuk menerapkan temuan
pada satu yurisdiksi ke dalam yurisdiksi yang lain, atau dengan
memperhatikan persoalan yang belum dibahas oleh putusan, peraturan, atau
artikel lainnya.
Volokh menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kegunaan dari sebuah artikel. Pertama, fokus pada
persoalan/issue yang belum terpecahkan. Kedua, menerapkan
argumen/gagasan penulis pada yurisdiksi yang berbeda. Ketiga,
menambahkan telaah yang bersifat perskriptif untuk temuan awal yang
bersifat deskriptif. Keempat, “menghaluskan” gagasan awal yang menuntut
perubahan mendasar dengan memperhatikan penerimaan publik atau
implikasi politis dari gagasan tersebut. Kelima, menghindari penggunaan
jargon-jargon retoris, yang membuat artikel menjadi tidak persuasif, untuk
memastikan bahwa argumen yang diajukan penulis tidak mengalienasi penulis
dari pembacanya.27
27
Ibid., hlm. 18-21.
478 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
28
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm.
248. 29 Mark K. Osbeck, op cit., hlm.
425-426. 30 Gerald Lebovits (2006), op
cit., hlm. 64.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 479
Wibisana
diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang, sebagaimana dikutip oleh Robson,
menyatakan bahwa “[i]deally, your choice of subject will be informed equally
by your audience’s needs and concerns and by your own interests.”31 Selain
kedua hal di atas, topik yang dipilih haruslah merupakan topik yang menarik
untuk ditulis (interesting), dapat ditulis (manageable), dan penting (significant)
untuk ditulis.32 Singkatnya, topik artikel harus lah merupakan hal yang pada
satu sisi menarik bagi penulis, dan pada sisi lain berguna bagi orang lain.
1. Isi Pendahuluan
Menurut Volokh, terdapat setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh
penulis di dalam pendahuluan. Pertama, penulis harus dapat menunjukkan
adanya masalah yang perlu untuk dibahas dan dipecahkan. 42 Kimble
menyarankan agar penulis membuat ilustrasi dari persoalan yang kongret. 43
Semakin kongkret sebuah masalah, semakin penting pula masalah tersebut.
Kedua, penulis harus menunjukkan gagasan (claim) yang hendak
disampaikan secara tegas, singkat, dan jelas. Dalam kaitannya dengan hal ini,
penulis pun harus mampu menunjukkan bahwa gagasan yang diusulkannya
adalah gagasan yang novel, nonobvious, dan useful.44
Ketiga, penulis harus mampu membuat framing yang baik dari masalah
hendak dibahasnya.45 Dalam hal ini, penulis harus dengan baik mampu
menyampaikan gagasan dan masalah kepada pembaca dalam kerangka atau
perspektif tertentu. Jika seseorang hendak menulis tentang bagaimana
pencegahan dan pengendalian pencemaran karena sampah plastik, topik
seperti ini dapat didekati dari perspektif yang berbeda-beda. Misalnya saja,
topik ini dapat didekati dengan melihat bagaimana efektivitas kebijakan
pengurangan kantong plastik berbayar. Topik ini juga dapat didekati dari
penerapan kewajiban standar tertentu dari kantong plastik atau bahkan
pelarangan. Setiap pendekatan ini akan melahirkan cara pandang yang
berbeda, sehingga akan sulit rasanya apabila penulis menyajikan seluruh
pendekatan tersebut di dalam satu artikel.
Selain dari permasalahan dan gagasan (claim atau thesis), bagian
pendahuluan dari sebuah artikel juga harus memuat struktur artikel, yang akan
memberikan peta jalan (roadmap) atau kerangka artikel, yang memberikan
gambaran mengenai rencana pembahasan di dalam artikel yang ditulis. Peta
jalan ini sering kali dianggap sebagai bagian yang harus ada dari artikel pada
jurnal hukum di AS, sehingga apabila seorang penulis tidak membuatnya,
maka editor jurnal (yang baik) akan menambahkan peta jalan ini di dalam
artikel.46 Biasanya peta jalan ini muncul pada (beberapa) paragraf terakhir dari
bagian pendahuluan.47
40
Ibid., hlm. 157.
41
Ibid., hlm. 158.
42
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 254
43
Joseph Kimble, “Tips for Better Writing in Law Reviews (and Other Journals)”,
Thomas M. Cooley Law Review, Vol. 30 (2013), hlm. 201.
44
Eugene Volokh (1998), loc cit.
45
Ibid., hlm. 254-255.
46
C. Steven Bradford, op cit., hlm. 18.
47
Emily Bolles, “Introductions and Conclusions for Scholarly Papers”, The Writing
Center at Georgetown University Law Center, 2015,
tersedia pada:
<https://www.law.georgetown.edu/academics/academic-programs/legal-writing-
480 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
scholarship/writing-
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 481
Wibisana
2. Metodologi?
Pada beberapa kesempatan menjadi mitra bebestari, beberapa jurnal
hukum meminta adanya penilaian mengenai kesesuaian antara topik artikel
dengan metodologi yang dipilih. Permintaan adanya penilaian mengenai
metodologi ini menunjukkan bahwa metodologi dianggap sebagai sesuatu
yang penting di dalam penulisan artikel hukum.
Pada umumnya, artikel hukum di Indonesia menuliskan pada bagian
metodologinya kalimat yang kira-kira berbunyi: “Artikel ini ditulis dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang
menggunakan studi dokumen atau kepustakaan. Artikel ini menggunakan
bahan hukum primer berupa…., bahan hukum sekunder berupa…”.
Penjabaran metodologi seperti ini bermasalah karena dua hal. Pertama,
apabila artikel tersebut hendak ditulis untuk jurnal internasional, maka istilah
“yuridis normatif” sebagai penelitian berbasis bahan pustaka/dokumen, adalah
istilah yang membingungkan dan perlu dihindari. Di negara lain, penelitian
normatif sepertinya tidaklah diartikan sebagai penelitian kepustakaan. Smits,
misalnya, mengartikan penelitian normatif tidak sebagai bentuk data, tetapi
sebagai sifat penelitian mengenai apa yang seharusnya “what ought to be”.49
Kedua, menjelaskan metodologi dengan jalan menerangkan jenis data/bahan
hukum pada akhirnya akan membuat bagian metodologi ini menjadi bagian
yang membosankan karena tidak ada perbedaan yang mendasar di antara
satu artikel dengan artikel lainnya.
Mayoritas, kalau bukan semua, artikel hukum di jurnal hukum di AS
atau Eropa tidak akan memuat bagian mengenai metodologi dalam arti jenis
data atau sebagai keterangan mengenai bahan hukum. Pada jurnal-jurnal ini,
metodologi biasanya akan diterangkan hanya jika artikel didasarkan pada
penelitian empiris (non- doktrinal), yang memang sangat penting untuk
menjelaskan bagaimana, di mana, dan kapan data penelitian diperoleh.
Untuk artikel yang didasarkan pada penelitian kepustakaan, yang di
Indonesia sering kali disebut dengan penelitian yuridis normatif, maka yang
diterangkan
bukanlah mengenai jenis data dan bagaimana bahan hukum diperoleh, tetapi
bagaimana bahan hukum (data) tersebut akan dianalisa. Dalam hal ini, yang
perlu diterangkan adalah bagaimana pembahasan akan artikelnya akan
didasarkan pada pendekatan teoretis tertentu, misalnya dengan menggunakan
analisa ekonomi, sosiologi hukum, atau mungkin perbandingan hukum.
Pendekatan teoretis ini memegang peranan penting dalam menentukan
kualitas artikel, karena sebuah artikel yang baik tidak boleh hanya merupakan
tulisan yang bersifat deskriptif, tetapi harus juga mampu memberikan analisa
berdasarkan pendekatan tertentu. Pendekatan yang digunakan perlu ditulis di
dalam artikel, namun tanpa menyebutnya sebagai metodologi.
50
Sebagai rule of thumb, dapat kiranya digunakan patokan bahwa Pendahuluan kira-
kira sebanyak 10% dari total panjang artikel. Artinya, sebuah artikel dengan panjang
Pendahuluan 10 halaman, maka panjang artikel keseluruhannya kira-kira adalah 100
halaman.
51
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 42.
52
Neil Gunningham, “Environment Law, Regulation and Governance: Shifting
482 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Architectures”,
Journal of Environmental Law, Vol. 21:2 (2009), hlm. 179-180.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 483
Wibisana
53
Ibid., hlm. 180. Contoh lain dari artikel yang dimulai dengan pertanyaan dapat dilihat
pada, misalnya: Richard B. Stewart, “A New Generation of Environmental Regulation?”,
Capital University Law Review, Vol. 29 (2001); atau Daniel Schwarcz, “Shame, Stigma, and
Crime: Evaluating the Efficacy of Shaming Sanctions in Criminal Law”, Harvard Law Review,
Vol. 116:7 (May, 2003).
54
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 43-44.
55
Douglas A. Kysar, “What Climate Change Can Do about Tort Law”, Environmental
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 483
Law, Vol. 41 (2011), hlm. 2.
Wibisana
56
Ibid., hlm. 44-47.
484 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
57
Ibid., hlm. 2312-2313.
58
Eric Posner dan Cass R. Sunstein, op cit., hlm. 537.
59
Ibid., hlm. 538-543,
60
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 47-50.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 485
Wibisana
61
David W. Case. “Changing Corporate Behavior Through Environmental Management
Systems”, William and Mary Environmental Law and Policy Review, Vol. 31 (2006), hlm. 75-76.
62
Ibid., hlm. 77.
63
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 51-52.
64
Ernest J. Weinrib, “Civil Recourse and Corrective Justice”, Florida State University
Law Review, Vol 39 (2011), hlm. 273.
65
Lisa Heinzerling, “Knowing Killing and Environmental Law”, NYU Environmental Law
Journal, Vol. 16 (2006), hlm. 521.
486 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
1. Struktur
Di Indonesia, seringkali ditemukan jurnal hukum yang meminta agar
struktur artikel ditulis berdasarkan format: Pendahuluan—Metodologi—
Data/Hasil— Diskusi—Kesimpulan, atau Pendahuluan—Pembahasan—
Kesimpulan. Kedua format ini bukan hanya kaku dan lebih cocok untuk jurnal
non hukum, tetapi juga membatasi penulis untuk menyusun argumennya
sesuai dengan persoalan (pertanyaan) yang telah dirumuskan sebelumnya.
Menurut Samuelson, struktur artikel harus disusun sedemikian rupa sehingga
memungkinkan penulis untuk mengintegrasikan fakta, data, atau analisa
putusan dan peraturan ke dalam argumen yang hendak dibangunnya.
66
Alhaji B.M. Marong, “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of
International Legal Norms in Sustainable Development”, Georgetown International
Environmental Law Review, Vol. 16 (2003), hlm. 21-22.
Contoh lainnya dapat ditemukan dalam Maggio, yang menulis dalam paragraf pertama
dari artikelnya tentang fokus dari artikel tersebut: “[t]his article focuses on the "equity" aspect
of sustainable development, especially as it relates to conservation of resources of biological
diversity. This article discusses…”intergenerational equity,” and analyzes its current
applications in international law.” Lihat: G.F. Maggio, “Inter/intra-generational Equity: Current
Applications under International Law for Promoting the Sustainable Development of Natural
Resources”, Buffalo Environmental Law Journal, Vol. 4 (1997), hlm. 162.
67
M.H. Sam Jacobson, “The Legal Writer: What's Your Point? Tips For Writing Clearly”,
Oregon State Bar Bulletin, Vol. 71 (2011), hlm. 13.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 487
Wibisana
68
69
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152-155.
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51 dan 64.
70
Ibid., hlm. 51.
71
Perlu diketahui bahwa diskusi di sini tidak hanya dibatasi pada unsur-unsur menurut
peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga harus termasuk putusan pengadilan yang
menafsirkan atau menerapkan aturan hukum yang didiskusikan tersebut.
72
Shari Motro, “The Three-Act Argument: How to Write a Law Article that Reads Like
a Good Story”, Journal of Legal Education, Vol. 64 (2015), hlm. 707-708.
73
Ibid., hlm. 708.
488 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
74
75
Ibid.
Ibid.
76
Ibid., hlm. 709.
77
Ibid.
78
Motro menjelaskan pula bahwa apabila artikel dimaksudkan untuk mendukung, dan
bukan membantah, sebuah status quo, maka struktur tulisan dapat dimulai dari pembahasan
tentang adanya upaya untuk mengganti status quo (Bagian I). Menyusul kemudian bantahan
dari penulis tentang upaya penggantian tersebut (Bagian II). Ibid.
Karena Motro tidak menjelaskan bentuk Bagian III dan penutupnya, maka sepertinya
488 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Bagian III ini akan tetap merupakan rekonsiliasi (sintesa) antara Bagian I dan Bagian II,
sedangkan penutup tetap sebagai epilog dari artikel.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 489
Wibisana
79
Diadaptasi dari: Ibid., hlm. 710.
80
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 25-27.
81
Ibid., hlm. 24-25.
82
Michael J. Madison, “The Lawyer as Legal Scholar”, University of Pittsburgh Law
Review, Vol. 65 (2003), hlm. 71.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 489
Wibisana83 Joseph Kimble, op cit., hlm. 201-202.
490 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
penulisnya, pada akhirnya akan mengarah pada artikel yang baik. Pada
dasarnya, setiap pernyataan yang merujuk pada hukum atau fakta tertentu
harus mencantumkan rujukan dan referensi, yang biasanya dituliskan pada
catatan kaki.84
Selain itu, referensi yang baik juga merupakan bukti adanya kejujuran
dari penulis, yang memberikan kredit pada sumber acuan artikelnya.
Karenanya, penulis juga diminta untuk akurat dalam menuliskan referensinya,
sebab tidak akuratnya referensi yang digunakan dapat berakibat pada
hilangnya kepercayaan pembaca pada apapun yang dikatakan oleh penulis. 85
Selain untuk menuliskan sumber referensi, catatan kaki/akhir memiliki
fungsi lain, yaitu:86
a) Memberikan informasi mengenai contoh yang mengilustrasikan
pernyataan penulis di dalam teks;
b) Mendemonstrasikan kedalaman penelitian yang dilakukan;
c) Memberikan penghargaan pada sumber yang telah menjadi acuan dalam
penulisan artikel;87
d) Mendemonstrasikan kedalaman pemahaman penulis tentang apa yang
sedang ditulisnya;
e) Mengangkat/mendiskusikan hal tertentu yang terkait dengan gagasan
utama tulisan, tetapi akan mengaburkan pembahasan apabila hal tersebut
didiskusikan di dalam teks utama.
f) Membahas keberatan dari pembaca yang mungkin muncul dan tidak
dapat diabaikan, tetapi tidak dapat dibahas panjang lebar di dalam teks
utama karena akan mengganggu alur pembahasan.
84
Lebovits menyatakan bahwa penulisan referensi dimaksudkan untuk mendukung
argumen yang diajukan, sehingga berarti bertujuan untuk memperkuat artikel, dan bukan
untuk memperpanjang artikel. Gerald Lebovits, “Legal-Writing Myths”, The Scribes Journal of
Legal Writing, Vol. 16 (2014), hlm. 121.
Perlu pula disampaikan di sini bahwa tidak semua ahli hukum tampaknya setuju
dengan manfaat dari referensi (catatan kaki). Hakim Mikva, seorang mantan hakim pada
pengadilan banding Circuit, yang ketika mahasiswa merupakan editor in chief dari University
of Chicago Law Review, menulis: “I have mentioned footnotes, and I might as well disclose my
real bias against them. I stopped using them in my opinions and still do not use them for any
substantive purpose. I think footnotes are an abomination. If God had intended the use of
footnotes to be a norm, He would have put our eyes in vertically instead of horizontally ….”
Lihat: Honorable Abner J. Mikva, “Law Reviews, Judicial Opinions, and Their Relationship To
Writing”, Stetson Law Review, Vol. XXX (2000), hlm. 524.
Selanjutnya, Mikva juga menyebut paksaan untuk menggunakan referensi (catatan
kaki) sebanyak mungkin sebagai virus yang perlu disingkirkan. Satu-satunya penyesalan dari
Hakim Mikva adalah “I just wish it had not taken me so long to get rid of the footnote virus and
that I did not still secretly think that maybe the number of footnotes does have something to do
with the worthiness of the writing.” Ibid., hlm. 525.
Bradford menduga bahwa keengganan, atau lebih tepatnya pemberontakan, Hakim
Mikva terhadap tuntutan untuk menggunakan catatan kaki pada akhirnya berkontribusi pada
kegagalannya menjadi hakim agung di AS. Karena itu, kejadian ini didisebut dengan “Mikva
mistake”, sebuah penolakan atas penggunaan catatan kaki yang berakhir pada kegagalan
seseorang mencapai karir hukum yang lebih tinggi. Lihat: C. Steven Bradford, op cit., hlm. 24.
85
Joseph Kimble, op cit., hlm. 202.
86
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 161.
87
Dalam bahasa Lebovits: “[f]ootnotes and endnotes provide authority for assertions
and attribute borrowed material. They also get your name and paper into the stream of
discussion.By quoting others, you’ll get noticed by those you quoted. In turn, they’ll quote you.
Then you and your paper become immortal”. Lihat: Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 491
Wibisana
3. Bahasa
Samuelson menulis bahwa di dalam sebuah artikel, hal yang sama
pentingnya dengan adanya gagasan (thesis) adalah adanya kemampuan
untuk menyampaikan
88
Richard Delgado, op cit., hlm. 451.
89
Anonymous, The Bluebook: A Uniform System of Citation, 19th Ed. (The Harvard
Law Review Association, 2010).
90
Anonymous, “OSCOLA: Oxford University Standard for the Citation of Legal
Authorities”, 4th ed., Faculty of Law, University of
Oxford, tersedia pada:
<https://www.law.ox.ac.uk/sites/files/oxlaw/oscola_4th_edn_hart_2012.pdf>
91
Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana disyaratkan adanya informasi yang
lengkap tentang referensi di dalam catatan kaki, dan pada saat yang sama juga disyaratkan
adanya daftar pustaka. Sebuah pemborosan halaman.
92
Untuk contoh penggunaan parafrase, lihat misalnya: Lisa Webley, Legal Writing, 4th
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 491
ed. (London: Routledge, 2016), hlm. 108-110.
Wibisana
492 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
93
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152.
94
Gerald Lebovits (2014), op cit., hlm. 113.
95
Suzanne E. Rowe, “The Legal Writer: Keep It Simple: ‘Short and Sweet’ Brings
Clarity to Legal Writing”, Oregon State Bar Bulletin, Vol. 68 (2008), hlm.
96
Douglas E. Abrams, “Writing It Right: Long Ideas, Short Words”, Journal of the
Missouri Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 148.
97
Ibid.
98
Suzanne E. Rowe, op cit., hlm. 12-13.
Rowe mengusulkan agar kalimat terdiri dari paling banyak 25 kata. Jika ada satu dan
lain hal satu kalimat memiliki lebih dari 25 kata, maka pada bagian lain harus diseimbangkan
dengan kalimat yang kurang dari 25 kata. Ibid.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 493
Wibisana
99
Ibid., hlm. 13.
494 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
V. CATATAN PENUTUP
100
Ryan Deane, Make Your Writing Flow: A Practical Guide to Transitional Words and
Phrases
(Create Space Independent Publishing Platform, 2015).
101
Untuk diskusi lebih jauh tentang penyusunan paragraf, lihat: E. Scott Fruehwald,
Legal Writing Exercises: A Practical Guide to Clear and Persuasive Writing for Lawyers (ABA
Publishing, 2014), hlm. 105-108.
494 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Buku Komposisi sangat penting untuk diperhatikan karena buku ini juga
mengungkapkan bagaimana menyusun paragraf yang baik dan apa saja variasi penyusunan
paragraf. Lihat: Gorys Keraf, Komposisi, Cet. 8 (Jakarta: Penerbit Nusa Indah, 2016), hlm. 62-
105.
102
Lisa Webley, op cit., hlm. 25-26.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 495
Wibisana
DAFTAR PUSTAKA