Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 57

PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

DALAM PROSES PENGADAAN BARANG & JASA DI LINGKUNGAN


BUMN KHUSUSNYA PADA PT ANGKASA PURA SOLUSI SEBAGAI
ANAK PERUSAHAAN DARI PT ANGKASA PURA II (PERSERO)

Qisthina Izazi Shaleha


Korespondensi: qisthinaizazi@gmail.com

Abstract

The principles in Good Corporate Governance (GCG) that must be applied by


PT Angkasa Pura Solusi as a subsidiary of BUMN in its activities as referred to
in Article 3 PER-01/ MBU/2011 issued by the State Minister for BUMN
concerning the Implementation of Good Corporate Governance ( Good
Corporate Governance) In state-owned enterprises, which consists of
transparency, accountability, independence, responsibility and fairness.
Theoretically, the practice of the principles of Good Corporate Governance in
BUMN holding can increase the value (valuation) of the company by increasing
the performance and value of the company so that it can benefit state revenues
in the form of dividends, taxes, employment, and competitive products and
services to consumers.

The legal basis for the procurement of goods and services in BUMN is based
on the Regulation of the Minister of BUMN No.PER-05 / MBU / 2008 concerning
General Guidelines for the Implementation of the Procurement of Goods and
Services for State-Owned Enterprises. This specificity is enforced because
BUMN is a form of business entity which all or most of its capital is owned by
the state through direct participation originating from separated state assets.
With the enactment of the Regulation of the Minister of BUMN Number PER-
05 / MBU / 2008, the Board of Directors of PT Angkasa Pura Solusi has
established Guidelines for the Procurement of Goods and Services based on
the Decree of the Board of Directors Number: 013B / APS / SK / DIR / III / 2018,
dated March 26, 2018 regarding Barag Procurement Guidelines / Services PT
Angkasa Pura Solusi. This regulation regulates the mechanism for the
procurement of goods and services at PT Angkasa Pura Solusi. In every
process of procuring goods and services at PT Angkasa Pura Solusi, it must
refer to this regulation.

Keywords: GCG, Procurement of goods and services, BUMN

Abstrak
Prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance (GCG) yang harus
diterapkan diterapkan PT Angkasa Pura Solusi selaku anak perusahaan BUMN
dalam kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PER-01/MBU/2011
yang dikeluarkan oleh Menteri Negara BUMN tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik
Negara yaitu terdiri atas transparansi (transparency), akuntabilitas
(accountability), kemandirian (independency), pertanggungjawaban
(responsibility) dan kewajaran (fairness). Secara teoritis praktik prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik pada holding BUMN dapat meningkatkan nilai
(valuation) perusahaan dengan meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan
tersebut agar dapat bermanfaat bagi pendapatan negara berupa deviden,
pajak, penyerapan tenaga kerja, dan produk serta layanan yang kompetitif
kepada konsumen.
Dasar Hukum pengadaan barang dan jasa pada BUMN didasari oleh Peraturan
Menteri BUMN No.PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara. Kekhususan ini
diberlakukan karena BUMN merupakan suatu bentuk badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan
ditetapkannya Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 Direksi PT
Angkasa Pura Solusi telah menetapkan Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa
berdasarkan Keputusan Direksi Nomor: 013B/APS/SK/DIR/III/2018, tertanggal
26 Maret 2018 tentang Pedoman Pengadaan Barag/Jasa PT Angkasa Pura
Solusi. Pada peraturan ini diatur mengenai mekanisme pengadaan barang dan
jasa pada PT Angkasa Pura Solusi. Dalam setiap proses pengadaan barang
dan jasa pada PT Angkasa Pura Solusi harus mengacu pada peraturan ini.

Kata Kunci: GCG, Pengadaan barang/jasa, BUMN.


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Good Corporate Governance (GCG) adalah struktur dan mekanisme
yang mengatur pengelolaan perusahaan sehingga menghasilkan nilai ekonomi
jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun
pemangku kepentingan. Penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang
baik dapat berkontribusi dalam peningkatan kinerja perusahaan. Tata kelola
yang baik selalu didambakan menjadi semakin transparan, terhindar dari
benturan kepentingan, memiliki akuntabilitas yang tinggi, bertanggung jawab
serta bertambah wajar dengan menegakkan prinsip fairness.
Badan Usaha Milik Negara dalam hal ini lebih sering disebut dengan
BUMN. Berdasarkan Pasa 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 dijelaskan
bahwa pengertian dari Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut
BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan, dan kegiatan utamanya adalah untuk
mengelola cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan digunakan
sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.
BUMN berperan penting dalam penguasaan cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan orang banyak. Keberadaan BUMN diharapkan
akan mengimbangi keberadaan perusahaan-perusahaan swasta sehingga
dapat dihindari terjadinya monopoli atau penguasaan cabang-cabang produksi
tersebut oleh swasta. Sehingga di perlukan upaya restrukturisasi untuk
menyehatkan BUMN sebagai salah satu langkah strategis untuk
memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan
meningkatkan nilai perusahaan agar perusahaan tersebut dapat beroperasi
secara efisien, transparan, dan professional sesuai dengan Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
PT Angkasa Pura Solusi, dahulu bernama PT Angkasa Pura Schipol
yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang didirikan
pada tanggal 8 April 1996. PT Angkasa Pura Solusi merupakan perusahaan
patungan dengan kepemilikan saham 50/50 antara PT Angkasa Pura II
(Persero) dan Layanam Manajemen Schipol BV. Pada tahun 2012 merupakan
awal baru bagi PT Angkasa Pura Solusi. 1
Sejalan dengan aktivitas bisnis atau usaha PT Angkasa Pura Solusi tidak
lepas dari proses pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa
memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu organisasi, karena
merupakan sarana penggunaan anggaran dalam jumlah signifikan guna
mendapatkan barang, jasa dan pekerjaan yang dibutuhkan dalam
penyediaan infrastruktur yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura Solusi.
Pengadaan barang dan jasa tidak lepas dari peraturan yang telah ditetapkan
pemerintah dan peraturan direksi serta ketersediaan anggaran. Anggaran
merupakan hal penting dalam pengadaan barang dan jasa dikarenakan
anggaran ini juga yang menentukan jenis dari pengadaan barang dan jasa
nantinya.
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN (Persero) merupakan
seragkaian tindakan perusahaan yang ditujukan untuk mendapatkan barang
dan/atau jasa kebutuhan BUMN tersebut dengan jumlah dan kualitas yang
baik serta harga yang kompetitif. Oleh karena itu, pengadaan barang dan jasa
BUMN merupakan bagian dari tindakan pengurusan perusahaan yang
1
Lihat https://www.angkasapurasolusi.co.id/about/pages/MQ diakses pada tanggal 22 September
2020.
dilakukan oleh direksi BUMN yang bersangkutan. Dengan demikian proses
pengadaan barang dan/atau jasa di lingkungan BUMN sepenuhnya harus
berpedoman pada Pasal 5 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang
berbunyi:
Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi harus mematuhi
anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib
melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses pengadaan barang dan
jasa di lingkungan BUMN merupakan implementasi dari prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/ GCG).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan tersebut di atas,


maka permasalahan hukum (legal issues) yang dikemukakan sebagai berikut:
1. Apa saja yang menjadi kendala dan pemecahan masalah dalam
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada PT Angkasa Pura Solusi?
2. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip good corporate governance
(GCG) dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pengadaan
barang dan/atau jasa di lingkungan PT Angkasa Pura Solusi?

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi GCG
Beberapa tahun terakhir, GCG sangat populer terkait dengan
perusahaan – perusahaan yang ada di Indonesia. Perusahaan merupakan
sebuah institusi bagi sebagian besar dari umat manusia untuk dapat memenuhi
kebutuhan pokonya.2 Apalagi perusahaan dengan status Perseroan Terbatas
milik Negara konsep GCG mengalami perkembangan dalam penerapannya.
Perkembangan CG merupakan suatu upaya untuk mengakomodasi berbagai
kepentingan stakeholders yang berbeda – beda dalam suatu korporasi 3.
Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan,
yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku
pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha 4. GCG
juga merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang sehat, yang
mencerminkan hubungan sinergi antara manajemen dan pemegang saham,
kreditor, pemerintah, supplier dan stakeholder lainnya5 Oleh sebab itu,
pembicaraan tentang GCG tidak dapat dipisahkan dengan konsep dan sistem
korporasi itu sendiri6. Untuk lebih jelasnya berikut definisi dari GCG. Banyak
lembaga, aturan pemerintah ataupun pendapat yang mengeluarkan definisi
masing – masing tentang GCG.

Surat Keputusan Menteri BUMN No.117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli


2002 tentang Penerapan GCG pada BUMN, menyatakan pada pasal 1 bahwa
2
Djokosantoso Moeljono, 2005, Good Corporate Culture sebagai inti dari Good Corporate
Governance, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, h.75
3
Joni Emirzon, 2007, Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance Paradigma Baru Dalam Praktik
Bisnis Indonesia, Genta Press, Yogyakarta, h.79
4
Moh. Wahyudin Zarkasyi , 2008, Good Corporate Governace pada Badan Usaha Manufaktur,
Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya, Alfabeta, Bandung, h.36
5
Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Actual, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.87
6
Sedarmayanti, 2012, Good Governance dan Good Corporate Governance bagian Ketga, CV Mandar
Maju, Bandung, h.52
CG ialah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam waktu jangka panjang dengan tetap
memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai – nilai etika.
GCG didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses
yang digunakan oleh organ perusahaan (Direksi, Dewan Komisaris, RUPS)
untuk memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara
berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholder lainnya, dengan berlandaskan peraturan perundangan
dan norma yang berlaku7.

B. Prinsip-Prinsip GCG

Teori yang digunakan selanjutnya ialah teori yang berasal dari prinsip–
prinsip GCG itu sendiri yang terdiri dari lima prinsip dasar 8, diantaranya ialah :
1. Transparency
Transparansi yang dimaksudkan disini ialah adanya keterbukaan
informasi dalam proses pengambilan keputusan ataupun dalam
mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai kegiatan
perusahaan. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas9.
Menurut peraturan dalam Pasar Modal Indonesia, informasi material dan
relevan ialah informasi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
ataupun kebijakan, naik turunnya harga saham perusahaan, atau yang
mempengaruhi secara signifikan risiko dan prospek usaha perusahaan yang
bersangkutan10.
2. Accountability
Accountability atau akuntabilitas ialah kejelasan fungsi, struktur, sistem
serta pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan
perusahaan terlaksana secara efektif. Selain itu, perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar,
menetapkan tugas dan tanggungjawab masing – masing organ perusahaan.
3. Responsibility
Responsibility ialah pertanggungjawaban perusahaan yang merupakan
kesesuaian atau kepatuhan dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip
korporasi yang sehat dan peraturan perundang – undangan yang
berlaku.45Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan prinsip akuntabilitas, karena
akuntabilitas merupakan ekspresi dari prinsip pertanggungjawaban. Dalam
penerapan prinsip ini, salah satu hal penting ialah memastikan apakah dalam
operasi perusahaan semua kewajiban yang diatur dalam ketentuan perundang
– undangan sudah diperhatikan dan dipenuhi. Misalnya ketentuan mengenai
perlindungan konsumen atau persaingan usaha 11.
4. Independency
Independency ialah kemandirian yang merupakan suatu keadaan di
mana perusahaan dikelola tanpa adanya intervensi dari pihak manapun yang

7
Mas Achmad daniri, Op.cit. h.9
8
Ibid, h.10
9
Purwosusilo, 2014, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, Kencana, Jakarta,
h.208
10
Ibid, h.11
11
Leo.J Susilo dan Karlen Simarmata,Op.cit h.21
tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan 12. Melalui prinsip
kemandirian, prinsip pertanggungjawaban dapat dilaksanakan dengan baik
sehingga terbebas dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, baik karena
kepentingan diri sendiri ataupun kepentingan golongan. Sebagaimana telah
diatur dalam UUPT, penerapan prinsip kemandirian ini menegaskan kembali
bahwa direksi dan komisaris perusahaan dalam menjalankan tugasnya
haruslah mendahulukan kepentingan dan usaha perseroan.
5. Fairness
Fairness ialah kesetaraan dan kewajaran yang didefinisikan sebagai
perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian dan perundang – undangan yang berlaku 13. Penerapan
dari prinsip kewajaran ini sangat erat kaitanya dengan prinsip transparansi,
karena hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala
ketidakadilan dapat dilakukan. Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak –
hak pemodal, sistem hukum dan penegakan peraturan untuk melindungi hak –
hak investor khususnya pemegang saham minoritas dari kecurangan. Bentuk
kecurangan yang terjadi dapat berupa insider trading (transaksi yang
melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai
perusahaan berkurang), KKN, atau keputusan – keputusan yang dapat
merugikan kembali seperti pembelian kembali saham yang sudah dikeluarkan,
penerbitan saham baru, merger, akusisi, atau pengambilalihan perusahaan lain.

C. Tujuan dan Manfaat GCG


Dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No. 01/MBU/2011 tentang
Penerapan tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada Badan Usaha Milik
Negara, maka dapat diketahui tujuan dari penerapan GCG ialah :
1. Mengoptimalkan nilai – nilai yang ada dalam BUMN itu sendiri agar perusahaan
memiliki daya saing yang kuat baik secara nasional ataupun secara
internasional sehingga mampu mempertahankan keberadaannya dan hidup
berkelanjutan untuk mencapai maksud dan tujuan dari BUMN;
2. Mendorong pengelolaan BUMN agar dapat dikelola secara professional, efisien,
dan efektif serta mampu memberdayakan fungsi dan meningkatkan
kemandirian Organ Persero atau Organ Perum;
3. Mendorong agar Organ Persero/Organ Perum dalam membuat suatu
keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi dengan nilai moral yang tinggi
dan adanya rasa kepatuhan terhadap peraturan perundang – undangan serta
kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap pemangku
kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN;
4. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional;
5. Meningkatkan iklim yang kondusif bagi perkembangan investasi nasional.
Selain dari adanya tujuan GCG itu, sebuah perusahaan yang
memperhatikan prinsip – prinsip dasar GCG merupakan sebuah faktor penting
dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama hubungan antara praktik
CG dengan karakter investasi internasional. Jika penerapan GCG dilaksanakan
secara konsisten dan efektif maka akan mendukung ke arah investasi, baik itu
investasi yang berasal dari investor internasional ataupun investor domestik.
Apalagi jika perusahaan tersebut tidak bergantung pada sumber daya dan
modal asing, penerapan GCG akan menguntungkan investor domestik.

12
Ibid,h.22
13
Mas Achmad Daniri,Loc.cit, h.14
D. Infrastruktur Pendukung GCG
1. Pedoman Prilaku
Pengelolaan perusahaan sesuai dengan ketentuan dan kaedah hukum tidak
terlepas dari aturan-aturan main yang diterima dalam pergaulan sosial baik
norma maupun aturan moral atau etika. Pembentukan image perusahaan yang
baik dan bersih terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau
berhbungan dengan para stakeholder perusahaan. Perilaku perusahaan secara
nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnis, dimana perilakunya bisa
melanggar ketentuan yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang hukum
Pidana atrau Kitab Undang- Undang Hukum Perdata serta ketentuan hukum
lainnya.
Perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi
kebijakan dan standar perilaku yang diwajibkan bagi pelaku bisnis yang
menguraikan komutmen, sikap dan perbuatan yang dilaksanakan dan atau
perbuatan yang dilarang perusahaan.
2. Pedoman Tata Kelola Perusahaan
Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Good Corporate Governance
adalah mengatur penjelasan prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan
mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-
undangan dan etika berusaha14.
3. Pedoman Pengenalan Dewan Komisaris Dan Direksi
Direksi dan Dewan Komisaris merupakan organ Perusahaan, Direksi
bertanggungjawab penuh atas pengurusan perusahaan. Sesuai dengan
maksud dan tujuan perusahaan. Sedangkan Dewan Komisaris sesuai
ketentuan hukum yang berlaku melakukan pengawasan secara umum dan/atau
khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberikan nasihat kepada
Direksi.
4. Pedoman Tata Kerja Dewan Komisaris Dan Direksi
Pedoman Tata Kerja ini digunakan sebagai panduan sekaligus merupakan
suatu bentuk komitmen Dewan Komisaris dan Direksi dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya masing-masing untuk mengimplementasi prinsip-prinsip
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Good Corporate Governance dalam proses
pengurusan Perusahaan.
Direksi menghormati tanggung jawab dan wewenang Dewan Komisaris untuk
melakukan pengawasan dan memberikan nasehat terhadap kebijakan
pengelolaan perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-
undangan dan Anggaran Dasar Perseroan. 15
5. Pedoman Pelaksanaan Sekretaris Perusahaan
Stakeholder perusahaan yaitu Pemegang Saham, Dewan Komisaris, Direksi,
Karyawan, Pemerintahan serta pihak yang berkepentingan lainnya senantiasa
menginnginkan informasi yang tepan waktu, akurat dan objektif mengenai
ketentuan dan pelaksanaan kegiatan usaha perusahaan. Pelaksanaan
opersional perusahaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, antara lain Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang No,19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negera, Anggaran Dasar serta ketentuan peraturan lainnya yang berhubungan
dengan perusahaan.

14
Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri BUMN No.PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan tata Kelola
Perusahaan Yang Baik Good Corporate Governance
15
Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
6. Pedoman Internal Audit
Meski Badan Usaha Milik Negara telah menjadi motor penggerak ekonomi,
namun tampak bahwa pengelolaan Badan Usaha Milik Neara belum optimal,
disadari bahwa untuk meningkatkan kinerja dalam lingkungan persaingan bisnis
yang semangkin ketat dan bersifat global serta kondisi perusahaan yang belum
sepenuhnya kondusif memang bukanlah pekerjaan mudah 16
7. Pedoman Komite Audit.

Sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang bahwa Dewan Komisaris


wajib membentuk Komite Audit dan Komite Lainnya yang bekerja secara
kolektif dan berfungsi membantu Komisaris dalam melaksanakan tugasnya.
17
Sedangkan Dewan Komisaris telah membentuk Komite Audit dengan
mengacu kepada Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara dan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No PER-
01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Good
Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara.
8. Pedoman Komite Manajemen Risiko dan Good Corporate Governance
Sesuai dengan Pasal 70 Undang-Undang 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara, Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Audit dan Komite
Lainnya yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Dewan
Komisaris dalam melaksanakan tugasnya. Untuk memastikan pelaksanaan
operasional perusahaan sesuai dengan ketentuan hukum dengan
mempertimbangkan risiko serta Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Good
Coporate Governance maka Dewan Komisaris membentuk Komite Dewan
Komisaris tentang Manajemen Risiko dan Good Corporate Governance.

E. Pengukuran Terhadap Penerapan GCG Sesuai Peraturan Menteri


BUMN Nomor PER-01/MBU/2011
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk melakukan penilaian terhadap
pelaksanaan penerapan tata kelola perusahaan, diantaranya dengan
melakukan self assessment sesuai dengan metode dan tata cara assessment
tata kelola perusahaan yang diterbitkan oleh sejumlah regulator. Penilaian
terhadap implementasi GCG atau Assessment merupakan suatu hal yang
sangat penting ketika mengelola praktik-praktik GCG.
Pada PT Angkasa Pura Solusi evaluasi dilaksanakan secara Self
Assessment dilaksanakan dua kali dalam setahun, Pelaksanaan evaluasi pada
prinsipnya dilakukan sendiri oleh BUMN yang bersangkutan (self assessment),
yang pelaksanaannya dapat didiskusikan dengan atau meminta bantuan
(asistensi) oleh penilai independen atau menggunakan jasa Instansi
Pemerintah yang berkompeten di bidang GCG. 18

16
Riant Nugroho, Badan Usaha Milik Negara Isu Kebijakan dan Strategis,Jakarta PT Elex Media
Komputindo, 2005,hal 15

17
Pasal 70 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
18
Pasal 44, Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No PER- 01/MBU/02/2015 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Good Corporate Governance
Yang dimaksud dengan self assessment adalah merupakan metode
yang memberikan tanggungjawab yang besar kepada seseorang karena semua
proses dalam pemenuhan kewajiban dilakukan sendiri dan dilaporkan sendiri.

F. Konsep Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan BUMN

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengadaan barang dan jasa secara


harfiah ialah tawaran untuk mengajukan harga dan memborong pekerjaan atas
penyediaan barang/jasa19. Dari pengertian ini akan muncul pemahaman ada dua
pihak yang berkepentingan. Pihak pertama ialah instansi pemerintah, BUMN, atau
perusahaan swasta yang mengadakan penawaran pengadaan barang dan jasa.
Pihak kedua ialah personal atau perusahaan kontraktor yang menawarkan diri
untuk memenuhi permintaan akan pengadaan barang dan jasa tersebut.
Menurut Kamus Hukum, definisi pengadaan barang dan jasa ialah
memborong pekerjaan/menyuruh pihak lain untuk mengerjakan atau memborong
pekerjaan seluruhnya atau sebagian pekerjaan sesuai dengan perjanjian atau
kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak sebelum pekerjaan pemborongan itu
dilakukan20. Sehubungan dengan menyediakan dan memperdagangkan barang
atau jasa kebutuhan bagi masyarakat perlu dijamin agar barang dan jasa
kebutuhan itu memenuhi syarat sehingga perlu dipedomani ketentuan tentang
syarat – syarat berproduksi yang diwujudkan dalam bentuk standardisasi. 21

G. Pengertian dan Konsep Holding Company

Perusahaan holding sering juga disebut dengan holding company, parent


company atau controlling company, Holding company merupakan suatu bentuk
dari perkembangan yang timbul di perseroan terbatas di Indonesia. Holding
company adalah suatu perusahaan yang mengendalikan atau menentukan
organ kepentingan dan memegang lebih dari setengah dari total jumlah saham
yang dikeluarkan oleh perusahaan lain.
Oleh karena itu holding company dapat diartikan sebagai induk
perusahaan (Parent Company) atau controlling company disebabkan
perusahaan tersebut memiliki kepentingan terhadap anak-anak perusahaan. 22
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan Holding
Company akan selalu disertai dengan keberadaan satu atau lebih perusahaan
lain dibawah kendalinya yang disebut sebagai anak perusahaan (subsidary
company).

III. TINJAUAN NORMATIF


A. Prinsip-prinsip Pengadaan Barang dan Jasa BUMN
Untuk menopang hal tersebut, pengadaanbarang dan jasa BUMN perlu
dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang digunakan dalam

19
Marzuqi Yahya dan Endah Fitri Susanti, 2012, Buku Pintar Pengadaan Barang dan Jasa, Laskar
Aksara, Jakarta, h.3
20
Ibid,h.4
21
Janus Sidabalok, 2012, Hukum Perusahaan- Analisis Terhadap Pengaturan Peran Perusahaan
dalam Pembangunan Ekonomi Nasional di Indonesia, Nuansa Mulia, Bandung, h.51
22
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra Aditya
Bakti,1999), h. 83.
pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.Permen BUMN No. Per-15/2012 mengatur prinsip-prinsip yang harus
dipegang teguh dalam melakukan pengadaan barang dan jasa di BUMN. Prinsip-
prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

efektif

efisiensi kompetitif
Prinsip-prinsip
pengadaan
barang dan
transparan jasa BUMN akuntabel
Adil &
wajar

Gambar 1. Prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa BUMN


Prinsip-prinsip lain yang harus dipegang teguh dalam pelaksanaan barang
dan jasa BUMN adalah; (1) pengadaan barang dan jasa harus dilakukan melalui
satu pintu atau biasa dikenal dengan one gate policy, (2) pengadaan barang dan
jasa harus dilakukan dengan prinsip no budget no purchase atau pengadaan
barang dan jasa harus dilakukan secara terencana dengan anggaran yang sudah
ditetapkan dan, (3) pengadaan barang dan jasa harus dilakukan melalui
mekanisme purchase request atau purchase order (PR/PO). Ketiga prinsip
tersebut harus tercermin dalam Standard Operating Procedures (SOP) pengadaan
barang dan jasa BUMN. 23

B. SOP Pengadaan Barang dan Jasa BUMN Dalam Perspektif Hukum


Manajemen dapat melihat apakah aktivitas bisnis telah dilakukan on the track
atau tidak dengan memperhatikan ketaatan organisasi perusahaan terhadap SOP
yang telah ditetapkan. Ketaatan terhadap SOP menunjukkan apakah organ-organ
perusahaan telah melakukan fungsi, kewenangan dan tanggung jawabnya dengan
baik atau tidak sebagaimana yang digariskan dalam anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga perusahaan. Pengujian ketaatan ini biasanya dilakukan oleh auditor
internal secara rutin.
SOP merupakan work manual yang berisi uraian pekerjaan yang harus
dilakukan oleh setiap personil perusahaan, baik sebagai pengurus maupun
karyawan. Dalam banyak kasus tindak pidana korupsi, ketaatan terhadap SOP
pengadaan barang dan jasa sering dijadikan parameter oleh aparat penegak
hukum dalam memutuskan apakah telah terjadi penyalahgunaan kewenangan
atau tidak.

C. Dasar Hukum Penyusunan SOP Pengadaan Barang dan Jasa BUMN


Pengertian pengadaan barang dan jasa juga diatur dalam Peraturan Menteri
Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang
Dan Jasa Badan Usaha Milik Negara pada Pasal 1 angka 1, yaitu:

23
Marisi P. Purba, 2014, Pengadaan Barang dan Jasa BUMN, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.
31
Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa
yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang pembiayaannya tidak
menggunakan dana dari APBN/APBD.
Pemerintah dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara harus
mewujudkan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh
masyarakatnya, dalam mewujudkan hal tersebut pemerintah memiliki kewajiban
untuk menyediakan kebutuhan masyarakatnya yang salah satunya dalam bentuk
barang maupun jasa. 24

D. Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan BUMN Pada PT


Angkasa Pura Solusi
Berdasarkan Keputusan Direksi PT Angkasa Pura Solusi Nomor:
013B/APS/SK/DIR/III/2018, Dalam pengadaan Barang dan Jasa pada di
Lingkungan BUMN PT Angkasa Pura Solusi memiliki Standard Operating
Procedure (SOP), SOP Pengadaan Barang/Jasa Investasi adalah pedoman tata
cara kegiatan pengadaan barang investasi, pengadaan jasa konstruksi,
pengadaan jasa konsultasi, pengadaan khusus dan pengadaan jasa lainnya di PT
Angkasa Pura Solusi. SOP Pengadaan Barang/Jasa Investasi ini bertujuan untuk
meyeragamkan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa Investasi guna mendorong
tercapainya tertib administrasi serta menjamin bahwa semua data mengenai
kegiatan PengadaanBarang/Jasa Investasi terekam dan didokumentasikan
dengan baik .

E. Kendala Yang Dihadapi Serta Pemecahan Masalah Dalam Pengadaan


Barang dan Jasa Pada PT Angkasa Pura Solusi
Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pengadaan barang/jasa
di PT Angkasa Pura Solusi. Kendala ini dihadapi oleh berbagai pihak, baik itu
Penyedia barang/jasa ataupun Pejabat Perencana (Unit Teknis) serta Pejabat
Pelaksana pengadaan (Unit Procurement). Hasil wawancara dengan Vice
President of Procurement PT Angkasa Pura Solusi mengemukakan kendala yang
terjadi dalam proses Perencana Pengadaan Barang/ Jasa ialah;
1. Dalam proses penyampaian undangan pelelangan/kontes dan penyampaian
dokumen pengadaan masih berupa hardcopy, sehingga dari segi efisiensi kurang
terpenuhi, Pemecahan masalahnya ialah Manajemen Perusahaan membijaksanai
dengan menyimpan dokumen-dokumen pengadaan tersebut dalam bentuk
softcopy yang kemudian dapat dikirimkan melalui surat elektronik/email kepada
calon penyedia barang dan jasa.
2. Dalam pemilihan penyedia barang/jasa di PT Angkasa Pura Solusi yang
berpedoman pada Keputusan Direksi PT Angkasa Pura Solusi Nomor
013B/APS/SK/DIR/III/2018 tidak diatur mengenai DPT (Daftar Penyedia
Barang/Jasa Terseleksi), sedangkan pengadaan barang/jasa harus tetap berjalan.
Sehingga pemecahan masalahnya ialah dengan menggunakan metode
pelelangan/kontes umum prakualifikasi maupun pascakualifikasi yaitu dengan
melakukan verifikasi segala persyaratan administrasi dan teknis penawaran calon
penyedia barang/jasa kepada calon penyedia barang/jasa yang diundang
berdasarkan daftar vendor management yang dimiliki oleh PT Angkasa Pura
Solusi. Hal ini sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi proses pengadaan
barang/jasa.
3. Saat pengajuan penawaran dari calon penyedia barang/jasa sering terjadi
pengajuan nilai penawaran diatas Harga Perkiraan Sendiri (HPS), hal tersebut
24
Ibrahim, 2003, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) Dan Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam Perjanjian Kredit Bank, Utomo, Bandung, hal. 75
dikarenakan Panitia Pengadaan tidak membuka HPS pada saat Rapat Penjelasan
Umum (Aanwijzing) serta tidak tertuang dalam dokumen pengadaan. Pemecahan
masalahnya ialah Panitia Pengadaan berdasarkan Keputusan Direksi PT Angkasa
Pura Solusi Nomor 013B/APS/SK/DIR/III/2018 dilakukan negosiasi semaksimal
mungkin terhadap penawaran tersebut untuk mendekati HPS atau sampai di
bawah HPS. Hal ini dilakukan karena jika pengadaan gagal maka efisiensi waktu
yang mana salah satu prinsip dasar pengadaan tidak tercapai. Sedangkan untuk
penawaran harga yang terlalu murah, panitia pengadaaan didukung oleh
Keputusan Direksi PT Angkasa Pura Solusi Nomor 013B/APS/SK/DIR/III/2018
yang mengatur bahwa untuk mendukung pelaksanaan GCG, pemenang tidak
hanya berdasarkan nilai terendah melainkan didukung oleh spesifikasi barang/jasa
yang berkualitas sehingga adanya pemenuhan unsur kewajaran (fairness).
4. Dalam pengadaan barang/jasa sering kali ada persepsi dari pihak eksternal dan
internal PT Angkasa Pura Solusi bahwa harga termurah dalam suatu
pelelangan/kontes yang kompetitif dapat mengalahkan aspek lainnya seperti
kualitas. Sehingga sering terjadi jika calon penyedia barang/jasa dapat
menawarkan harga sangat murah dengan menurunkan kualitas barang/jasa atau
aspek lainnya. Solusi dalam hal seperti ini ialah Panitia Pengadaan memberikan
teguran kemudian catatan khusus pada rekanan tersebut untuk dipertimbangkan
dalam pengadaan barang/jasa selanjutnya.

F. Penjabaran Good Corporate Governance (GCG) dalam Pengadaan Barang


dan Jasa Pada PT Angkasa Pura Solusi
Dalam pengadaan barang serta jasa pada PT Angkasa Pura Solusi dapat
dilihat pada beberapa tindakan yang diawali dengan sejalannya prinsip pengadaan
barang serta jasa pada PT Angkasa Pura Solusi dengan prinsip yang terkandung
dalam GCG, yaitu: Transparency, Accountability, Responsibility, Independency,
Fairness. Prinsip–prinsip pengadaan barang serta jasa tersebut ialah; Efisien, yaitu
pengadaan barang atau pengadaan jasa harus diusahakan untuk mendapatkan
hasil yang optimal dan terbaik dalam waktu yang cepat dengan menggunakan
sumber daya seminimal mungkin secara wajar dan bukan hanya didasarkan pada
harga terendah; Efektif, yaitu Pengadaan barang atau pengadaan jasa harus
sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan serta mampu memberikan
manfaat yang sebesar–besarnya sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan;
Kompetitif, yaitu pengadaan barang atau pengadaan jasa harus terbuka bagi
Penyedia barang atau penyedia jasa yang memenuhi persyaratan yang dilakukan
melalui persaingan yang sehat diantara penyedia barang atau penyedia jasa yang
setara dan memenuhi syarat atau kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan
prosedur yang jelas dan transparan; Transparan, yaitu semua ketentuan dan
informasi mengenai pengadaan barang atau jasa, termasuk syarat teknis
administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon
penyedia barang atau jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang atau
jasa yang berminat; Adil dan wajar, yaitu memberikan perlakuan yang sama bagi
semua calon penyedia barang atau jasa yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan; Akuntabel, yaitu harus mencapai sasaran serta dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menjauhkan dari potensi penyalahgunaan dan
penyimpangan.
Pengadaan barang dan jasa diawali dengan perencanaan. Perencanaan
merupakan susunan langkah–langkah sistematik melalui upaya pemanfaatan
sumber–sumber yang tersedia dengan memperhatikan segala keterbatasan guna
mencapai tujuan secara efisien dan efektif. 25

25
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, 2014, Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Visi
Media Pustaka, Jakarta, hlm.5-6.
G. Konsep dan Standar E-Procurement dalam Upaya Pencegahan Fraud
Sebagai BUMN yang wajib menerapkan prinsip Good Corporate Governance
(GCG) atau dikenal dengan tata kelola Perusahaan yang baik dalam aspek bisnis
dan pengelolaan perusahaan pada semua jajaran perusahaan, Semua BUMN
menyusun tata kelola Teknologi Informasi dalam lingkup bisnis dan pelaksanaan
pengelolaan perusahaan.
Dukungan Teknologi Informasi dapat meningkatkan kapabilitas perusahaan
dalam memberikan kontribusi bagi penciptaan nilai tambah, serta mencapai
efektifitas dan efisiensi. Aspek kunci dari prinsip GCG meliputi adil, responsibilitas,
transparansi, independensi, akuntabilitas, keselarasan dan kewajaran serta
tanggung jawab untuk mencapai tujuan perusahaan.

H. Implementasi Sistem Digital E-Procurement Pada BUMN sebagai Best


Practice Dalam Mewujudkan GCG Pengadaan Barang dan Jasa

Sistem pengadaan yang dilakukan secara elektronik ini dipercaya dapat


mencegah terjadinya kontak langsung pihak-pihak dalam pelaksanaan
pengadaan barang/jasa. Pelaksanaan secara konvensional dan elektronik
memiliki banyak perbedaan alur kerja.
Setiap implementasi kebijakan tidak lepas dari payung hukum yang lebih
tinggi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur kebijakan publik
tersebut. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/jasa, dimana ruang lingkup Peraturan Presiden
tersebut tidak mengacu pada lembaga yang melaksanakan, tetapi berpedoman
atau melihat pada sumber dana yang digunakannya. Apabila pengadaan
barang/jasa menggunakan sumber dana dari APBN dan APBD, maka
berpedoman pada Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa. Adanya kebijakan ini tidak lain agar semua tindakan para aktor
mengarah pada terwujudnya tujuan implementasi eProcurement.

IV. ANALISA HUKUM GCG DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA DI


LINGKUNGAN BUMN
A. Analisis Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pada PT. Angkasa Pura
Solusi
Tabel 1. Analisis Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pada PT Angkasa Pura
Solusi dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No: PER-05/MBU/2008

Peraturan Menteri Negara Penjelasan berdasarkan


BUMN No: Keputusan Direksi PT
PER-05/MBU/2008 Angkasa Pura Solusi No:
013B/APS/SK/DIR/III/2018
Pasal 2 : Prinsip Umum Pasal 4 : Prinsip-prinsip
Pengadaan
(1) Pengadaan Barang dan Pengadaan barang/jasa
Jasa wajib menerapkan menerapkan prinsip efisien,
prinsip-prinsip: efektif, transparan, terbuka,
Efisien, efektif, kompetitif, kompetitif/bersaing, adil dan
transparan, adil dan wajar akuntabel.
serta akuntabel. Namun, pada
pelaksanaannya proses
Pengadaan Barang dan
Jasa di PT Angkasa Pura
Solusi belum memenuhi
unsur transparan dan
terbuka, hal tersebut
dikarenakan tidak
diperkenankannya
membuka HPS dalam
dokumen pengadaan
maupun pada saat
penjelasan umum
(Aanwijzing) sebagaimana
diatur dalam Pasal 47 ayat
(2) Keputusan Direksi PT
Angkasa Pura Solusi No:
013B/APS/SK/DIR/III/2018

B. Analisis Penerapan GCG dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pada PT


Angkasa Pura Solusi
Tabel 2. Analisis Penerapan GCG dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pada PT
Angkasa Pura Solusi dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No: PER-
01/MBU/2011

Peraturan Menteri Negara Penjelasan


BUMN No:
PER-01/MBU/2011
Pasal 3 : Prinsip PT Angkasa Pura
Solusi belum sepenuhnya
memenuhi prinsip-prinsip
GCG seperti halnya dalam
unsur transparansi
pengadaan barang/jasa
pada PT Angkasa Pura
Solusi pengumuman
pengadaan dilakukan hanya
melalui blast email kepada
pihak-pihak terkait dengan
pengadaan barang/jasa
saja. Serta dalam proses
pemilihan penyedia
barang/jasa yang diatur
dalam Keputusan Direksi PT
Angkasa Pura Solusi Nomor
013B/APS/SK/DIR/III/2018
tidak memperkenankan
Panitia Pengadaan untuk
membuka Harga Perkiraan
Sendiri (HPS) kepada calon
penyedia barang/jasa baik
pada saat Rapat Penjelasan
Umum (Aanwijzing) maupun
yang dituangkan dalam
dokumen pengadaan.
Sistem Pengendalian
Pasal 26 : Sistem
Intern pada PT
Pengendalian Intern
Angkasa Pura Solusi
megadopsi 5 Konsep dasar
COSO, yaitu: Internal Control
merupakan proses
berkelanjutan, Internal Control
dipengaruhi orang, Internal
Control menyediakan jaminan
layak bukan jaminan absolut,
Internal Control fokus pada
pencapaian tujuan, Internal
Control merupakan empat
komponen yang berhubungan
dimana manajemen melakukan
perencanaan, pengaturan,
pengarahan dan pengendalian.
Monitoring dalam sistem
pengendalian internal
dilakukan oleh tim SPI kurang
lebih sekali dalam setiap
semesternya.
Pada hakikatnya SPI yang
efektif dibuat untuk melindungi
investasi dan aset perusahaan
dan negara. Dalam
memorandum audit
teridentifikasi lemahnya SPI
terkait dokumentasi
pengadaan barang/jasa yang
tidak didukung dengan bukti
lengkap pada salah satu
proses pelelangan di PT
Angkasa Pura Solusi.
Lemahnya SPI ini
terkait aspek tersebut
dikarenakan sumber daya
manusia yang kurang teliti.
Upaya perbaikan yang
dilakukan PT Angkasa Pura
Solusi yaitu Sumber Daya
Manusia harus
meningkatkan ketelitian
dalam membuat laporan
dan dokumentasi proses
pengadaan barang/jasa;

Pasal 30 : Tata Kelola PT Angkasa Pura


Teknologi Informasi Solusi sudah menerapkan
Sistem ERP (Enterprise
Resource Planning) untuk
pelaporan keuangan dan
administrasi operasional,
namun untuk proses
pengadaan barang/jasa
belum menggunakan
sistem ERP maupun
E-Procurement.
C. Pengaturan Penilaian dan Evaluasi Kualitas Penerapan Good Corporate
Governance pada Perusahaan Badan Usaha Milik Negara
GCG pada BUMN harus berpedoman pada Peraturan Menteri BUMN
Nomor PER-01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011 (yang selanjutnya disebut
Permen BUMN 01/2011) dengan tetap memperhatikan ketentuan dan norma
yang berlaku, serta anggaran dasar BUMN.
D. Sistem Perjanjian/Kontrak Barang dan Jasa di Lingkungan BUMN
Sistem kontrak dapat menggunakan salah satu atau kombinasi dari beberapa
system sebagai berikut:
1. Kontrak Lumpsum (Fixed Lump Sum Contract)
Sistem kontrak lumsum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian
seluruh pekerjaan tertentu dalam batas waktu tertentu dalam jumlah harga yang
pasti dan tetap.
2. Kontrak Harga Satuan (Fixed Unit Price Contract)
Kontrak harga satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian
seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu berdasarkan harga satuan yang
pasti dan tetap untuk setiap satuan/ unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis
tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara,
sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas
volume pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.
3. Kontrak Terima Jadi (Turn Key Contract)
pemborongan atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu
dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh konstruksi/ peralatan/ pabrik
dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik seusai
dengan kriteria kinerja (output performance) yang telah ditetapkan
4. Kontrak Jangka Panjang (Multi Years Contract System)
Kontrak Jangka Panjang adalah perjanjian/kontrak yang pelaksanaan
pekerjaannya meliputi masa anggaran lebih dari 1 (satu) tahun.
5. Kontrak Pengadaan Bersama (Sharing Contract)
Kontrak pengadaan bersama adalah kontrak antara beberapa unit kerja atau
beberapa proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan
pekerjaan sesuai program dengan pendanaan Bersama.
6. Kontrak Kemitraan atau Kerjasama (Partnership/ Strategic Alliances Contract)
Kontrak kemitraan dan Kerjasama adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas
penyelesaian seluruh pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai sasaran
perusahaan dalam batas waktu tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi sumber dana, daya atau fasilitas yang dimiliki/ dikuasai.
7. Kontrak Presentase
Kontrak presentase adalah perjanjian/kontrak pelaksanaan jasa konsultasi
dibidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu dimana konsultan yang
bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan presentase tertentu dari
pekerjaan fisik konstruksi/ pemborongan
8. Kontrak Call Off Order/Stockless Purchasing System.
Kontrak Call Off Order adalah kontrak pengadaan barang/jasa untuk jangka waktu
yang relative Panjang (satu tahun atau lebih), dimana pengguna barang/jasa tidak
perlu membuat inventory, dan hanya membayar sejumlah barang/jasa yang benar-
benar dikonsumsi/ dipergunakan.
9. Kontrak Vendor Operated Warehouse/ Vendor Stocking program/ Consignment.
Kontrak Vendor Operated Warehouse pada prinsipnya dengan kontrak call off
order, karena bukan barang/jasa yang penangan inventorynya diserahkan kepada
penyedia barang/jasa tetapi juga termasuk pengelolaan Gudang/yard berikut
administrasinya.
10. Kontrak Outsourcing
Kontrak Outsourcing adalah pengalihan Sebagian kegiatan pengadaan
barang/jasa kepada penyedia barang/jasa yang mempunyai keahlian dibidangnya
yang mencakup rencana kebutuhan barang, proses pembelian, proses
kepabeanan, pengelolaan inventori, sistem supply dan distribusi.
E. Sanksi Hukum Atas Tidak Terlaksananya Prinsip Transparansi Dalam
Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan BUMN
Pada umumnya pelaksanaan pengadaan barang/jasa di lingkungan BUMN
seringkali terjadi permasalahan-permasalahan, antara lain terjadi pelanggaran-
pelanggaran baik dari prosedur pengadaan barang/jasa, contoh permasalahan
yang kerap terjadi adanya pelanggaran pelaksanaan pengadaan barang/jasa di
lingkungan BUMN yaitu tidak Terlaksanannya Prinsip Transparansi dalam
pelaksanaanya.
Prinsip transparansi pengadaan barang/jasa di lingkungan BUMN
mempunyai makna yaitu keterbukaan diartikan bahwa proses pengadaan
barang dan jasa di lingkungam BUMN dilakukan dengan memberikan informasi
secara jelas dan luas kepada seluruh calon penyedia pengadaan barang dan
atau jasa di lingkungan BUMN.
F. Bentuk dan Keterlibatan Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi
Pengadaan Barang dan Jasa BUMN
Kejahatan korporasi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana. Kejahatan korporasi merupakan salah satu
bentuk kejahatan yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Praktek-praktek bisnis
yang curang seperti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, pemberian
informasi yang tidak benar kepada konsumen, manipulasi pajak, pencemaran
lingkungan, perusakan sumber daya alam, dengan tujuan mencari keuntungan
yang sebesar-besarnya.
Kejahatan korporasi (corporate crime) timbul karena semakin maju
kegiatan di bidang ekonomi dan teknologi. Berkaitan dengan dampak negatif
dari kegiatan korporasi inilah maka sering menimbulkan kerugian dan
mengancam sendi-sendi perekonomian masyarakat sehingga korporasi harus
dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Kejahatan
korporasi mungkin tidak terlalu sering ada dalam pemberitaan-pemberitaan
kriminal di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada
umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara
nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat
G. Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi
Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan BUMN
Dalam pertanggungjawaban pidana oleh korporasi terdapat beberapa sistem,
yaitu :
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan bertanggung jawab
Sistem ini sejalan dengan perkembangan korporasi sebagai subjek hukum
pidana tahap I. Para penyusun KUHP, masih menerima asas
“societas/universitas delinquere non potest” (badan hukum tidak dapat
melakukan tindak pidana).
2. Korporasi Sebagai Pembuat dan Pengurus yang Bertanggung Jawab
Dalam model ini, korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab,
maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat, pengurus ditunjuk
sebagai pihak yang bertanggung jawab, yang dipandang dilakukan oleh korporasi
adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang
berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang tertentu sebagai pengurus dari
badan hukum tersebut.
3. Korporasi Sebagai Pembuat dan Juga Sebagai yang Bertanggung Jawab
Dijadikannya Korporasi sebagai subjek yang harus mempertanggung
jawabkan tindak pidana di samping manusia alamiah merupakan pergeseran dari
doktrin societas/universitas delinquere non protest, dan penerimaan terhadap
konsep pelaku fungsional (fungtional daderschap). 26
H. Pengembangan Rencana Audit Rinci pada Pengadaan Barang dan Jasa di
ingkungan BUMN
Audit Pengadaan Barang/Jasa memiliki tujuan untuk mengetahui apakah:
1. Penguasaan, pemilikan, pengurusan, penggunaan dan penatausahaan serta
pertanggungjawaban anggaran untuk pengadaan barang/jasa telah dilakukan
secara tertib dan benar serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Proses pengadaan barang/jasa telah memperhatikan aspek kehematan dan
prinsip-prinsip dasar serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
3. Pengadaan barang/jasa telah dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan.
Adapun lingkup pemeriksaan atas pengadaan barang/jasa meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan barang/jasa.
2. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
I. Pemeriksaan Atas Pencatatan/Pelaporan Pelaksanaan Pengadaan Barang
dan Jasa
Untuk memenuhi kebutuhan internal cross check, maka dilakukan
pemeriksaan atas penacatatan/pelaporan pelaksanaan pengadaan barang dan
jasa.
Adapun Hasil Pemeriksaan pengadaan barang/jasa akan dituangkan dalam
Laporan Hasil Pemeriksaan. Bentuk dan susunan Laporan Hasil Pemeriksaan
mengacu pada standar audit sektor publik. Hasil-hasil pemeriksaan yang meliputi
temuan negatif maupun positif dan data-data pendukungnya dituangkan dalam
KKP. Lebih lanjut, KKP yang berisi catatan-catatan pemeriksa yang mencerminkan
kegiatan yang dilakukan, metode, prosedur dan teknik pemeriksaan yang
diterapkan, simpulan yang dibuat dan saran yang dirumuskan untuk setiap
kegiatan/sasaran pemeriksaan, merupakan jembatan untuk memudahkan Temuan
Pemeriksaan dan Laporan Hasil Pemeriksaan.

V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian serta analisis dan pembahasan yang telah
penulis lakukan pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan kesimpulan yang
merupakan jawaban terhadap permasalahan daam penelitian ini sebagai
26
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana, Jakarta,
2010., hal 16.
berikut:
1. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan oleh PT
Angkasa Pura Solusi sebagai anak perusahaan BUMN saat ini masih
menggunakan sistem manual, yang belum terlihat adanya transparansi, tidak
diskriminasi, bertanggung jawab, adil dan aman dalam pengadaan barang dan
jasanya. BUMN diberi otoritas dalam mengelola bisnisnya termasuk dalam
pengadaan barang/jasa yang tujuannya untuk percepatan layanan bisnis
kepada customer dan berorientasi pada profit.
Kelemahan pelaksanan pengadaan barang/jasa oleh PT Angkasa Pura Solusi
saat ini adalah pengadaan barang/jasa masih belum menerapkan prinsip-
prinsip pengadaan sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN yang
menjadi landasan dibuatnya Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di PT
Angkasa Pura Solusi sendiri seperti halnya tidak transparan dalam pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa dengan tidak memperkenankan membuka HPS
dalam dokumen pengadaan maupun pada saat penjelasan umum (Aanwijzing)
serta tidak adanya Daftar Penyedia Barang/Jasa Terseleksi (DPT) yang
memungkinkan adanya anggapan persaingan usaha tidak sehat dari pihak
internal maupun eksternal. Dari beberapa kendala yang dijabarkan dalam
pembahasan diatas dapat dilihat bahwa yang terpenting dalam mengatasi
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan barang dan jasa ialah kerjasama
dari para stakeholder serta adanya kebijakan dari pihak yang berwenang,
dalam hal ini manajemen yang memiliki kapasitas untuk membuat keputusan
dan mengupayakan segala kendala dapat diatasi serta tetap berdasarkan pada
pedoman pengadaan barang dan jasa yang berlaku di PT Angkasa Pura Solusi
juga prinsip-prinsip GCG di dalamnya
B. Saran
Penulis juga mencoba untuk memberikan saran yang mungkin akan berguna
untuk pengembangan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada PT Angkasa
Pura Solusi antara lain:
1. Guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar
dan persaingan usaha yang sehat serta mendukung proses monitoring dan audit
dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada PT Angkasa Pura Solusi
dapat menerapkan Sistem Informasi Terpadu, karena perusahaan telah
menggunakan ERP modul keuangan maka sebaiknya perusahaan juga membuat
ERP modul pengadaan barang dan jasa kemudian menerapkan sistem pengadaan
barang/jasa e-procurement, agar semakin mengurangi kontak langsung antara
Penyedia Barang/Jasa dengan Panitia Pengadaan.
2. Hendaknya Direksi PT Angkasa Pura Solusi memperbaharui pedoman pengadaan
barang/jasa yang memenuhi prinsip pengadaan yang mengacu pada Permen
BUMN No. PER-05/MBU/2008 serta prinsip-prinsip GCG yang diatur dalam
Permen 01/2011 dengan memperhatikan pasal terkait pengaturan HPS agar
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di PT Angkasa Pura Solusi transparan
dan terbuka. Guna menghindari terjadinya penyimpangan dalam pengadaan
barang dan jasa di Anak Perusahaan BUMN hendaknya dibentuk sebuah lembaga
pengawas dari Induk Perusahaan untuk mengawasi pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa di lingkungan BUMN khususnya pada anak perusahaan BUMN.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Jurnal dan Artikel Internet


(ed), J. C. (1995). Good Corporate Governance. New York: Oxford Advanced Learners Dictionary.
Ali, C. (2005). Badan Hukum. Bandung: PT Alumni Bandung.
Anggraini, A. M. (2013). Sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan atau jasa dalam perspektif
persaingan usaha. Jurnal Mimbar Hukum Volume 25, 1.
Arief, B. N. (2003). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Asshiddiqie, J. (2008). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer.
Berghe, L. V. (1999). International Standardization of GCG. Netherlands: Kluwer Academic.
Daniri, M. A. (2014). Lead By GCG. Jakarta: Gagas Bisnis.
Effendi, M. A. (2009). The Power of Good Corporate Governance, Teori dan Implementasi. Jakarta:
Salemba Empat.
Emirzon, J. (2007). Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Paradigma Baru dalam Praktik
Bisnis Indonesia. Yogyakarta: Genta Press.
Fahrurrazi, S. R. (2014). Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta: Visi Media Pustaka.
Fuady, M. (2002). Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law : Eksistensinya Dalam Hukum
Indonesia. Bandung: Citra Aditya.
Fuady, M. (2002). Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Fuady, M. (2002). Perseroan Terbatas dalam Paradigma Baru. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Y. (2009). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika.
Hermansyah. (2009). Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia . Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Hernoko, A. Y. (2010). Hukum Perjanjian, Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta:
Kencana.
Ibrahim. (2003). Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam
Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Utomo.
ICJR. (2015). Pertanggung Jawaban Korporasi dalam Rancangan KUHP. Jakarta: ICJR.
Ilmar, A. (2012). Hak Menguasai Negara dalam Privatisasi BUMN. Jakarta: Prenada Media Group.
Kahan, D. R. (2016). Shareholder Liability For Corporate Torts : A Historical Perspective.
Georgetown University Journal, 97.
Kaihatu, T. S. (2020, September 21). Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia.
Retrieved from Puslit.petra.ac.od:
http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/MAN/MAN060801/MAN060810.pdf
Kamello, T. (2003). Perlindungan Hukum Terhadap Karyawan Dalam Rancangan Merger diantara
BUMN. Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Kansil, C. (2009). Kamus Istilah Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kementrian BUMN. (2004-2014). Master Plan. Master Plan Kementrian BUMN, p. 80.
Khairandy, R. (2009). Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan dan
Yurisprudensi. Yogyakarta: Total Media.
Komaruddin. (1982). Ekonomi Perusahaan dan Manajemen. Jakarta: Alumni.
Kurniawan, W. (2012). Corporate Governance Dalam Aspek Hukum Perusahaan. Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti.
Mamudji, S. S. (2006). Pengertian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Moeljono, D. (2005). Good Corporate Culture sebagai inti dari Good Corporate Governance. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.
Mulhadi. (2010). Hukum Perusahaan Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Nugroho, R. (2005). Badan Usaha Milik Negara Isu Kebijakan dan Strategis . Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Pramono, N. (2006). Bunga Rampai Hukum Bisnis Actual. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Priyatno, M. d. (2010). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana.
PT Angkasa Pura Solusi. (2020, September 22). www.angkasapurasolusi.co.id. Retrieved from
Corporate Website: https://www.angkasapurasolusi.co.od/about/pages/MQ
Purba, M. P. (2014). Pengadaan Barang dan Jasa BUMN. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Purwosusilo. (2014). Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa. Jakarta: Kencana.
Saliman, A. R. (2005). Hukum Bisnis Untuk Perusahaan; Teori & Contoh Kasus. Jakarta: Kencana.
Saputra, R. (2015). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Cita
Hukum Vol. II No. 2, 276.
Sedarmayanti. (2012). Good Governance dan Good Corporate Governance bagian Ketiga. Bandung:
CV Mandar Maju.
Sidabalok, J. (2012). Hukum Perusahaan-Analisis Terhadap Pengaturan Peran Perusahaan dalam
Pembangunan Ekonomi Nasional di Indonesia. Bandung: Nuansa Mulia.
Simarmata, L. J. (2007). Good Corporate Governance pada Bank. Bandung: PT Hikayat Dunia.
Simatupang, R. B. (2003). Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta.
Sjahdeini, S. R. (2006). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti Pers.
Sjawie, H. F. (2013). Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soekanto, S. (2014). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sogar, A. Y. (2009). Hukum Perjanjian : Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh
Pemerintah. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Sulistiowati. (2013). Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Susanti, M. Y. (2012). Buku Pintar Pengadaan Barang dan Jasa. Jakarta: Laskar Aksara.
Sutedi, A. (2008). Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya.
Jakarta: Sinar Grafika.
Tjager, I. N. (2002). Corporate Governance - Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis
Indonesia. Jakarta: Prenhallindo.
Tunggal, I. S. (2002). Membangun Good Corporate Governance. Jakarta: Haryarindo.
Untung, H. B. (2008). Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Westra, P. (2002). Administrasi Perusahaan Negara (Perkembangan dan Permasalahan). Jogjakarta:
Gadjah Mada University Press.
Wibowo, E. (2004). Memahami Good Government Governance & Good Corporate Governance .
Yogyakarta: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia.
Wilamarta, M. (2007). Penerapan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam Perseroan
Terbatas. Jakarta: Center for Education and Legal Studies.
Wilamarta, M. (2007). Penerapan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam Perseroan
Terbatas. Jakarta: Center for Education and Legal Studies.
Zarkasyi, M. W. (2008). Good Corporate Governance pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan
dan Jasa Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta.
Zihaningrum, A. (2016). Penegakan Hukum Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Jurnal Privat Law Vol. IV No. 1, 112.

B. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;

Republik Indoneisa, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;

Peraturan Menteri Negara BUMN Republik Indonesia Nomor PER-01/M-MBU/2011 tentang


Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance);

Peraturan Menteri Negara BUMN Republik Indonesia Nomor PER-12/M-MBU/2012 tentang Organ
Pendukung Dewan Komisaris;

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan;

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1960 Tentang Perusahaan N.V.
Semarangsche Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V. Semarang Veer;

Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 Tentang Penerapa Praktek Good


Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara;
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 473
Wibisana
F. TOPIK DAN KOMPONEN DASAR ARTIKEL
Proses penyusunan artikel pada dasarnya dimulai dari penentuan topik
yang hendak ditulis. Setelah itu, penulis akan menyusun pertanyaan yang
akan dibahas dan gagasan yang akan disampaikan di dalam artikel. Untuk itu,
sebelum seseorang memulai menulis artikelnya, perlu kiranya dipaparkan
bagaimana topik disusun, dan hal mendasar apa yang perlu ada untuk
menyusun sebuah artikel yang baik.

1. Penentuan Topik
Sebuah artikel yang baik akan berawal dari topik yang baik.
Persoalannya adalah bagaimana seorang penulis dapat menemukan topik
yang tepat untuk ditulis.
Lebovits menyatakan bahwa sebuah artikel dapat merupakan sebuah
uraian dan pembahasan aspek substantif atau prosedural dari persoalan
hukum tertentu. Selain itu, sebuah artikel dapat pula mengetengahkan
masalah yang belum terpecahkan dan bagaimana pemecahannya. 2 Hal yang
dikemukakan oleh Lebovits di atas dapat menjadi cara bagi seorang penulis
untuk menentukan topik yang akan dipilihnya.
Selain itu, dapat pula ditambahkan di sini bahwa topik dapat saja dipilih
dari adanya sebuah putusan atau peraturan atau pernyataan yang
menimbulkan perdebatan, yang kemudian akan diuji dan dianalisa dengan
landasan teoretis tertentu. Dapat pula sebuah artikel hendak membahas
pandangan yang lazim dianut, dan kemudian membantah pandangan tersebut
berdasarkan perspektif tertentu.
Selain hal di atas, Volokh menyatakan bahwa artikel yang baik tidak
hanya harus bersifat orisinal, tidak terlalu mudah untuk dijawab, berguna, dan
masuk akal, tetapi juga harus dapat dilihat oleh pembaca telah memenuhi
karakter tersebut.3 Dengan demikian, Volokh melihat bahwa pandangan atau
komentar pembaca tentang artikel memegang peranan yang penting untuk
menentukan kualitas artikel.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Osbeck. Baginya, semakin baik sebuah
artikel, semakin dekat artikel tersebut dengan kebutuhan dan kepentingan dari
pembacanya.4
Berbeda dengan Volokh dan Osbeck, beberapa pengarang justru
melihat pentingnya kemampuan penulis untuk menyeimbangkan antara
ketertarikan pribadi penulis dengan manfaat dari artikel bagi orang lain pada
saat penulis menentukan topik artikel. Menurut Lebovits, apa pun tujuan dari
penulisan artikel hukum, terdapat dua hal yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam penentuan topik. Pertama, topik artikel selalu
mengetengahkan kepentingan atau ketertarikan penulis. Kedua, kepentingan
atau ketertarikan itu harus diseimbangkan dengan manfaat dari penulisan
topik yang dipilih.5 Hal senada juga diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang,
sebagaimana dikutip oleh Robson, menyatakan bahwa “[i]deally, your choice
of subject will be informed equally by your audience’s needs and concerns and
by your own interests.”6 Selain kedua hal di atas, topik yang dipilih haruslah
merupakan topik yang menarik untuk ditulis (interesting), dapat ditulis
(manageable), dan penting (significant) untuk ditulis.7 Singkatnya, topik artikel
harus lah merupakan hal yang pada satu sisi menarik bagi penulis, dan pada
sisi lain berguna bagi orang lain.
Sebuah topik dapat dipilih dari banyak faktor dan kejadian. Mungkin
pula inspirasi pemilihan topik muncul secara tiba-tiba di tempat yang tidak
terduga. Namun demikian, seperti dinyatakan Sternberg, “[i]t may be arguable
whether the final choice is determined by “fate” or “being in the right place at
the right time”, but prior to that right moment or right idea come months, or
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 473
even years, of selective reading and
Wibisana thinking about dozens of related issues”.8
Meskipun pandangan Sternberg tersebut disampaikannya dalam konteks
pemilihan topik sebuah disertasi, akan tetapi pandangan tersebut juga dapat
diterapkan untuk pemilihan topik artikel hukum. Belajar dari Sternberg, dapat
disimpulkan bahwa membaca pada akhirnya merupakan hal terpenting dalam
proses penulisan sebuah karya ilmiah hukum.
Tentu, membaca saja tidak cukup. Hasil penelitian dan penelusuran
bahan bacaan perlu dituangkan dalam gagasan orisinal seorang penulis.

2
Gerald Lebovits, “Academic Legal Writing: How to Write and Publish”, New York State
Bar Association Journal, Vol. 78:1 (2006), hlm. 64.
3
Eugene Volokh, “Writing a Student Article”, Journal of Legal Education, Vol. 48:2
(June 1998), hlm. 248.
474 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

2. Komponen Dasar Artikel


Menurut Volokh, artikel yang baik setidaknya mampu memiliki lima hal
mendasar. Pertama, adanya pernyataan (claim); Kedua, bersifat baru (novel);
Ketiga, bukan merupakan hal yang selayaknya telah diketahui (non-obvious);
Keempat, berguna (useful); Kelima, dilihat oleh pembaca sebagai artikel yang
memenuhi sifat kedua s.d. kelima. 9 Dasar artikel yang baik tersebut akan
dibahas berikut ini.

a. Pernyataan (claim)
Pernyataan (claim) adalah thesis yang menjadi dasar sebuah artikel.
Sebuah artikel yang baik selalu memilki thesis tentang suatu hal, atau dengan
kata lain

4
Mark K. Osbeck, “What Is “Good Legal Writing” and Why Does It Matter?”, Drexel
Law Review, Vol. 4 (2012), hlm. 425-426.
5
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 64.
6
Ruthann Robson, “Law Students as Legal Scholars: An Essay/Review of Scholarly
Writing for Law Students and Academic Legal Writing”, City University of New York Law
Review, Vol. 7:1 (2004), hlm. 197
7
Richard Delgado, “How to Write a Law Review Article”, University of San Francisco
Law Review, Vol. 20 (1986), hlm. 448
8
David Sternberg, How to Complete and Survive a Doctoral Dissertation (New York:
St. Martin’s Press, 1981), hlm. 51.
9
Eugene Volokh (1998), loc cit.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 475
Wibisana

memiliki gagasan yang hendak disampaikan. 10 Menurut Volokh, pernyataan


(claim) dapat berbentuk pernyataan yang deskriptif, yaitu pernyataan yang
mengambarkan suatu hal sebagaimana adanya. Misalnya, pernyataan dapat
berupa gambaran historis atas perkembangan hukum tertentu, uraian
mengenai efek tertentu dari hukum, atau pernyataan tentang bagaimana
pengadilan menginterpretasikan hukum tertentu. Pada sisi lain, pernyataan
dapat pula bersifat perskriptif, yaitu pernyataan yang mengetengahkan apa
yang perlu dilakukan. Misalnya, pernyataan bagaimana pasal tertentu di dalam
konstitusi seharusnya diinterpretasikan, undang-undang seperti apa yang
harus dibuat untuk mengatasi persoalan tertentu, atau bagaimana aturan
tertentu seharusnya diubah.11
Selain itu, sebuah tulisan/pernyataan dapat pula bersifat eksplanatoris,
misalnya artikel yang menjawab pertanyaan bagaimana sebuah aturan
diinterpretasikan dalam makna tertentu dan bukan yang lainnya, atau
pertanyaan mengapa aturan tertentu berbunyi seperti hukum positif yang
berlaku saat ini. Dapat pula sebuah artikel bersifat evaluatif, misalnya dengan
mempertanyakan apa pembenaran dari sebuah putusan atau aturan tertentu.
Dalam hal ini, artikel berfungsi untuk secara kritis menilai atau menguji sebuah
keadaan atau hukum tertentu.
Tidak tertutup kemungkinan jika sebuah artikel memuat pernyataan
yang bersifat deskriptif dan perskriptif. Menurut Volokh, artikel yang memiliki
pernyataan kombinasi ini justru sangat dianjurkan karena artikel tersebut tidak
hanya akan menerangkan apa yang ada dan mungkin belum diketahui oleh
orang lain, tetapi juga menjelaskan apa yang sebaiknya perlu dilakukan
terhadap keadaan tersebut.12 Jika hal yang pertama merupakan aspek
deskriptif dari artikel, maka aspek kedua adalah aspek perskriptif dari artikel
tersebut.
Untuk memberikan gambaran konkret mengenai pernyataan/thesis,
berikut adalah sebelas tipe pernyataan/thesis sebagaimana dikemukakan oleh
Volokh:13
a. “Aturan X tidaklah konstitusional karena…”
b. “Pembuat undang-undang seharusnya membuat undang-undang
mengenai…”
c. “Jika diinterpretasikan secara tepat, Pasal X memiliki makna bahwa…”
d. “Aturan ini dapat memiliki dampak berupa…”
e. “Aturan ini dapat memiliki akibat berupa…, karenanya harus diganti [atau
diubah sehingga berbunyi…”
f. “Pengadilan telah menginterpretasikan aturan X sebagai…, karenanya
aturan tersebut perlu diamandemen sehingga berbunyi…”
g. “Beberapa aturan hukum dalam hal tertentu ternyata tidak konsisten,
sehingga berakibat pada…”
h. “Penelitian empiris dari artikel ini menunjukkan bahwa aturan X tanpa
disadari telah mengarahkan kita pada…, dan karenanya aturan tersebut
harus diubah menjadi…”
i. “Penelitian empiris dari artikel ini menunjukkan bahwa aturan X memiliki
efek positif berupa…, dan karenanya perlu dipertahankan [diperluas
penerapannya ke arah…]”
j. “Pandangan umum yang menyatakan bahwa … adalah keliru [tepat],
karena …”

10
Dalam bahasa Samuelson, pernyataan ini disebut dengan point, yaitu suatu
gagasan atau thesis yang hendak disampaikan oleh penulis. Sebuah artikel harus memiliki
gagasan (point) ini. Pamela Samuelson, “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes”,
University of Pittsburgh Law Review, Vol. 46 (1984), hlm. 151.
11
Eugene Volokh, Academic Legal Writing: Law Review Articles, Student Notes,
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 475
Wibisana Papers, and Getting on Law Review, 3rd ed. (New York: Foundation Press, 2007),
Seminar
hlm. 9.
12
Ibid., hlm. 11.
13
Ibid., hlm. 9-10.
476 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Tentu saja, kesebelas tipe pernyataan tersebut tidaklah kaku. Seorang


penulis dapat saja menggabungkan lebih dari satu tipe pernyataan di atas.
Namun demikian, perlu tetap diingat bahwa artikel tidak boleh hanya berisi
pemaparan deskriptif atas suatu hal tertentu, misalnya peraturan atau
putusan.

b. Kebaruan (Novelty)
Seorang penulis memiliki beban untuk memperlihatkan bahwa
tulisannya menawarkan sudut pandang, gagasan, atau solusi baru atas
sebuah persoalan hukum yang sebelumnya telah ada. Dalam kalimat
Delgado, menulis artikel dilakukan dengan jalan “find one new point, one new
insight, one new way of looking at a piece of law, and organize your entire
article around that”.14 Kebaruan ini menjadi jaminan bahwa artikel yang dibuat
adalah karya yang orisinal.
Persyaratan kebaruan/orisinal inilah yang menjadikan artikel ilmiah sulit
untuk dikerjakan. Sebuah artikel akan sangat mungkin ditolak jika hanya berisi
hal yang sebelumnya telah dibahas oleh tulisan lain. Cara pertama untuk
memperoleh topik yang orisinal adalah dengan mencari topik tertentu yang
belum pernah ditulis. Namun demikian, hal ini tidaklah mudah. Setelah begitu
banyak tulisan membahas persoalan hukum yang sama, apa yang tersisa
untuk dijadikan topik artikel? Cara kedua yang dapat dilakukan adalah dengan
menambahkan “rasa” baru, nuansa baru, solusi baru, pandangan baru, atau
perspektif baru atas persoalan tersebut.15
Volokh mengusulkan bahwa agar artikel yang dibuat dapat
menawarkan hal baru, maka artikel tersebut harus dibuat dengan
menambahkan pengecualian dari aturan hukum tertentu. Menurutnya, alih-alih
menyatakan bahwa “bans on nonmisleading commercial advertising should be
unconstitutional”, artikel sebaiknya menyatakan bahwa “bans on
nonmisleading commercial advertising should be unconstitutional unless
minors form a majority of the intended audience for the advertising”. Volokh
meneruskan bahwa semakin kompleks gagasan dari sebuah tulisan
seseorang, akan semakin besar kemungkinan tulisan tersebut memuat
gagasan yang baru.16
Untuk membantu penulis menemukan orisinalitas dan kebaruan, tulisan
ini menawarkan beberapa tips yang disampaikan oleh Siems. 17 Menurutnya,
sebuah penelitian atau tulisan yang membahas pertanyaan mikro (micro-legal
questions)18 dapat menjadi lebih orisinal dengan ditambahkan beberapa hal.
Pertama, tulisan dapat dibuat lebih orisinal dengan menekankan pada segi
koherensi dan konsistensi dari

14
Richard Delgado, loc cit.
15
Selain dari kedua kemungkinan ini, orisinal tulisan juga kadang dimintakan secara
tegas oleh jurnal hukum dalam bentuk pernyataan bahwa artikel yang dikirim adalah artikel
yang tidak pernah dipublikasikan sebelumnya, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun
prosiding. Lihat: Douglas E. Abrams, “Writing It Right: Writing in Law Reviews, Bar Association
Journals, and Blogs (Part 1)”, Journal of the Missouri Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 26.
16
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 16.
17
Perlu disampaikan bahwa tips yang disampaikan oleh Siems sebenarnya ditujukan
untuk menemukan “orisinalitas” di dalam sebuah penelitian hukum. Akan tetapi, tulisan ini
melihat bahwa tips tersebut juga berguna untuk diterapkan dalam penulisan artikel hukum.
18
Menurut Siems, penelitian tentang pertanyaan mikro adalah penelitian yang
membahas tentang persoalan hukum tertentu, baik itu persoalan terkait ketentuan, undang-
undang, atau putusan tertentu. Sebagai perbandingan, penelitian hukum yang bersifat makro
(macro-legal questions) adalah penelitian yang fokus pada pembahasan problem, konsep,
atau asas yang bersifat umum. Penelitian ini akan sangat erat kaitannya dengan teori hukum
476 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
dan filsafat hukum. Lihat: Mathias M. Siems, “Legal Originality”, Oxford Journal of Legal
Studies, Vol. 28:1 (2008), hlm. 148-149 dan dan 150.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 477
Wibisana

sebuah bahan hukum.19 Cara ini biasanya dilakukan dengan melibatkan


“interpretive legal theory” yang ditujukan untuk mengidentifikasi gambaran
umum dan struktur dasar hukum. Dapat pula cara ini ditempuh melalui “legal
synthesis”, yang berupaya untuk menyatukan elemen-elemen dari putusan
dan peraturan ke dalam aturan-aturan yang koheren dan bermanfaat, atau
melalui “systemic approach”, yang akan menguji apakah aturan-aturan yang
berbeda dapat menunjukkan karakteristik yang sama sebagai sebuah bagian
dari sistem yang sama.20
Kedua, orisinalitas dapat dilakukan dengan menambahkan pendekatan
sejarah hukum pada tulisan yang dibuat. 21 Dalam hal ini, tulisan dapat
menjelaskan, misalnya, bagaimana sejarah hukum menjelaskan konsep
hukum dari masa lalu yang masih bisa diterapkan pada hukum sekarang.
Sejarah hukum dapat menjadi cara untuk memahami, mengkritisi, dan menilai
aspek hukum tertentu saat ini.
Ketiga, menemukan orisinalitas dapat dilakukan dengan menambahkan
topik makro (‘macro-legal topics’) ke dalam tulisan yang awalnya merupakan
penelitian untuk menjawab pertanyaan mikro (‘micro-legal analysis’).22 Di sini,
tulisan dapat diperbaiki dengan menambahkan pembahasan berdasarkan
asas hukum tertentu, atau dengan menambahkan perspektif tertentu yang
diambil dari teori hukum atau filsafat hukum.
Keempat, orisinalitas dapat diperoleh dengan jalan melakukan analisa
berdasarkan perbandingan hukum. Perbandingan hukum akan memberikan
jawaban yang tidak dapat diberikan jika penelitian/tulisan hanya didasarkan
pada hukum di dalam satu sistem hukum. 23 Dalam hal ini, tulisan dapat
membandingkan suatu konsep hukum tertentu dari lebih dari satu sistem
hukum. Misalnya, dengan menjawab pertanyaan mengapa sistem hukum
tersebut berbeda, dan apakah dibutuhkan konvergensi hukum.
Kelima, menambahkan pendekatan dari disiplin ilmu lain juga dapat
memperkaya kedalaman analisa dan meningkatkan orisinalitas tulisan.
Berbagai contoh dari pendekatan ini adalah analisa ekonomi atas hukum (law
and economics), hukum dan akuntansi, sosiologi hukum, hukum dan psikologi,
serta hukum dan sastra.24
Keenam, menghubungkan hukum dengan kenyataan (‘connecting law
to life’). Hal ini dilakukan dengan melihat bagaimana hukum di dalam
kenyataan hidup masyarakat (law in action). Tulisan semacam ini dapat pula
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek politik, ekonomi, budaya, atau
kualitas penegakan hukum dari negara di mana sebuah aturan hukum
diberlakukan.25

c. Non-obviousness
Artikel yang baik, menurut Volokh, adalah artikel yang non-obvious.26
Istilah ini diartikan di sini sebagai sesuatu yang tidak terlalu jelas, tidak terlalu
mudah dan umum, sehingga tidak dapat diketahui tanpa adanya penelitian.
Artikel yang non- obvious dapat ditunjukkan dengan jalan memperlihatkan
bahwa tidak semua orang akan sampai pada gagasan yang diutarakan oleh
penulis. Singkat kata, dalam konteks

19
Koherensi adalah sekumpulan gagasan yang apabila dilihat secara keseluruhan akan
menjadi masuk akal. Sedangkan konsistensi berarti tidak adanya kontradiksi. Ibid., hlm. 149.
20
Ibid., hlm. 149-150.
21
Ibid., hlm. 150.
22
Ibid.
23
Ibid., hlm. 151.
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 152.
26
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 17.
478 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

non-obviousness, seorang penulis seperti hendak menyatakan bahwa hanya


dia lah yang mencapai gagasan/kesimpulan ini.
Dengan demikian, sebuah artikel dapat saja merupakan pernyataan
yang baru, yang belum dibahas oleh tulisan lain, namun tetap bukan
merupakan tulisan yang baik. Hal ini terjadi jika pernyataan yang dibuat adalah
pernyataan yang hasilnya sudah jelas (obvious), sehingga dapat disimpulkan
oleh setiap orang tanpa perlu melalui sebuah penelitian. Untuk menghindari
hal ini, pernyataan dapat dibuat dengan menambahkan hal-hal khusus.
Misalnya, alih-alih hanya membahas tentang apakah hak atas lingkungan
hidup yang baik telah dijamin di dalam UUD 1945, artikel diarahkan untuk
membahas apakah hukum Indonesia memungkinkan untuk memperluas
penafsiran hak konstitusional atas lingkungan hidup agar meliputi pula hak
generasi yang akan datang atas lingkungan hidup yang baik.

d. Kegunaan (Utility)
Sebuah artikel yang baik haruslah berguna, baik secara praktis maupun
teoretis. Karena itu lah, maka sebuah artikel sebaiknya tidak hanya bersifat
deskriptif, tetapi juga menyajikan sikap dan gagasan penulisnya tentang apa
yang seharusnya. Upaya lainnya untuk menunjukkan kegunaan dari sebuah
artikel adalah dengan jalan melihat kemungkinan untuk menerapkan temuan
pada satu yurisdiksi ke dalam yurisdiksi yang lain, atau dengan
memperhatikan persoalan yang belum dibahas oleh putusan, peraturan, atau
artikel lainnya.
Volokh menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kegunaan dari sebuah artikel. Pertama, fokus pada
persoalan/issue yang belum terpecahkan. Kedua, menerapkan
argumen/gagasan penulis pada yurisdiksi yang berbeda. Ketiga,
menambahkan telaah yang bersifat perskriptif untuk temuan awal yang
bersifat deskriptif. Keempat, “menghaluskan” gagasan awal yang menuntut
perubahan mendasar dengan memperhatikan penerimaan publik atau
implikasi politis dari gagasan tersebut. Kelima, menghindari penggunaan
jargon-jargon retoris, yang membuat artikel menjadi tidak persuasif, untuk
memastikan bahwa argumen yang diajukan penulis tidak mengalienasi penulis
dari pembacanya.27

3. Ketertarikan Penulis atau Pandangan Pembaca?


Selain hal di atas, unsur kelima dari Volokh menyatakan bahwa artikel
yang baik haruslah memenuhi sifat kedua s.d. kelima. 28 Unsur kelima ini
memperlihatkan bahwa bagi Volokh, pandangan atau komentar pembaca
tentang artikel (yaitu bersifat orisinal, tidak terlalu mudah untuk dijawab,
berguna, dan masuk akal) sepertinya merupakan hal yang sangat penting bagi
sebuah artikel. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Osbeck. Baginya,
semakin baik sebuah artikel, semakin dekat artikel tersebut dengan minat dan
kepentingan dari pembacanya.29
Berbeda dengan Volokh dan Osbeck, beberapa pengarang justru
melihat pentingnya kemampuan penulis untuk menyeimbangkan antara
ketertarikan pribadi penulis dengan manfaat dari artikel bagi orang lain.
Menurut Lebovits, apa pun tujuan dari penulisan artikel hukum, terdapat dua
hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penentuan topik. Pertama,
topik artikel selalu mengetengahkan kepentingan atau ketertarikan penulis.
Kedua, kepentingan atau ketertarikan itu harus diseimbangkan dengan
manfaat dari penulisan topik yang dipilih.30 Hal senada juga

27
Ibid., hlm. 18-21.
478 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
28
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm.
248. 29 Mark K. Osbeck, op cit., hlm.
425-426. 30 Gerald Lebovits (2006), op
cit., hlm. 64.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 479
Wibisana

diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang, sebagaimana dikutip oleh Robson,
menyatakan bahwa “[i]deally, your choice of subject will be informed equally
by your audience’s needs and concerns and by your own interests.”31 Selain
kedua hal di atas, topik yang dipilih haruslah merupakan topik yang menarik
untuk ditulis (interesting), dapat ditulis (manageable), dan penting (significant)
untuk ditulis.32 Singkatnya, topik artikel harus lah merupakan hal yang pada
satu sisi menarik bagi penulis, dan pada sisi lain berguna bagi orang lain.

4. Hal yang Perlu Dihindari dalam Penentuan Topik


Selain keenam hal dasar yang perlu ada dalam penyusunan artikel
ilmiah yang baik, Volokh juga mengungkapkan beberapa hal yang tidak perlu
atau jangan dipilih sebagai topik artikel, di antaranya adalah: Pertama, artikel
yang hanya menunjukkan adanya persoalan, tetapi tidak memberikan solusi
atas persoalan tersebut.33 Kedua, Artikel yang mengulas hanya satu putusan
saja.34 Ketiga, artikel yang hanya mengulas satu peraturan perundang-
undangan dari satu wilayah atau negara. 35 Keempat, artikel yang hanya
menjelaskan “what the law is”, bagaimana hukumnya atau bagaimana bunyi
pasalnya.36
Artikel tipe kedua, ketiga, dan keempat harus dihindari karena artikel
semacam ini cenderung akan bersifat deskriptif, tanpa ada analisa, evaluasi,
atau pengujian, misalnya tentang apakah putusan, peraturan, atau hukum
yang sedang diuji tersebut tepat, berguna, berpotensi menghasilkan dampak
yang baik (atau buruk). Alih-laih membahas hanya satu putusan atau satu
hukum di satu wilayah, artikel dapat dibuat lebih menarik dengan, misalnya,
membandingkannya dengan berbagai putusan lain untuk menarik benang
merah tertentu, atau dengan berbagai hukum di negara lain untuk melihat
pelajaran apa yang dapat dipetik dari penerapan di negara lain. Kelima, artikel
yang hanya merespon satu pandangan dari sarjana tertentu, tanpa
memperhatikan bagaimana penulis lain telah membahas pandangan
tersebut.37 Keenam, artikel yang terlalu retoris, yang oleh Volokh disebut
sebagai “excessive mushiness”, sehingga tidak memberikan jawaban yang
tegas.38
Sebagai tambahan, perlu kiranya disebutkan pula di sini dua persoalan
yang harus dihindari oleh para penulis, sebagaimana diungkapkan oleh
Samuelson. Persoalan pertama adalah penulis tidak memiliki sesuatu untuk
disampaikan. Hal ini biasanya terjadi karena dua sebab. Pada satu sisi, artikel
yang dibuat hanya berisi uraian deskriptif tentang hukum tertentu atau
gambaran hasil survey literatur, tanpa ada analisa di dalamnya. Pada sisi lain,
penulis artikel bersikap mendua atau bahkan tidak memiliki sikap sama sekali
terkait suatu hal. Persoalan kedua, adalah artikel yang justru memuat terlalu
banyak gagasan. Hal ini biasanya terjadi ketika penulis merasa semua hal
penting untuk disampaikan, sehingga ia gagal untuk memilih gagasan mana
yang akan menjadi fokus dari artikelnya.39
31
Ruthann Robson, op cit., hlm. 197
32
Richard Delgado, loc cit.
33
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 252.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Ibid.
38
Volokh memberikan conoth gambaran apa itu pernyataan yang terlalu retoris dan
bagaimana mengatasinya. Dalam hal ini, Volokh berpendapat bahwa alih-alih menyatakan
bahwa “Single-sex educational programs should be legal if they're reasonable”, penulis lebih
baik menyatakan “Single-sex educational programs should be legal if they're narrowly tailored
to an educational approach that's been shown effective in controlled studies”. Ibid., hlm. 253.
39
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 151-152.
480 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

G. PENDAHULUAN: ARTI PENTING DAN ISI PENDAHULUAN


Pendahuluan (Introduction) bagaikan sebuah overture dalam sebuah
40
opera. Bagian ini mengantar pembaca pada tema utama yang akan
dibacanya sepanjang tulisan. Pada saat membaca pendahuluan, pembaca
berharap akan mengetahui ke arah mana artikel akan dibuat, apa tujuan akhir
(thesis) dari artikel yang dibacanya, dan bagaimana rute (struktur artikel) untuk
mencapai tujuan yang dituju. Pendahuluan sebuah artikel juga merupakan
bagian di mana penulis memiliki kesempatan untuk memberikan kesan dan
mendemonstrasikan kepada para pembaca bahwa tulisan yang sedang dibaca
mereka adalah tulisan yang menarik, penting, dan berguna. 41 Sebuah artikel
yang kualitasnya buruk ditandai dengan pendahuluan yang buruk.

1. Isi Pendahuluan
Menurut Volokh, terdapat setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh
penulis di dalam pendahuluan. Pertama, penulis harus dapat menunjukkan
adanya masalah yang perlu untuk dibahas dan dipecahkan. 42 Kimble
menyarankan agar penulis membuat ilustrasi dari persoalan yang kongret. 43
Semakin kongkret sebuah masalah, semakin penting pula masalah tersebut.
Kedua, penulis harus menunjukkan gagasan (claim) yang hendak
disampaikan secara tegas, singkat, dan jelas. Dalam kaitannya dengan hal ini,
penulis pun harus mampu menunjukkan bahwa gagasan yang diusulkannya
adalah gagasan yang novel, nonobvious, dan useful.44
Ketiga, penulis harus mampu membuat framing yang baik dari masalah
hendak dibahasnya.45 Dalam hal ini, penulis harus dengan baik mampu
menyampaikan gagasan dan masalah kepada pembaca dalam kerangka atau
perspektif tertentu. Jika seseorang hendak menulis tentang bagaimana
pencegahan dan pengendalian pencemaran karena sampah plastik, topik
seperti ini dapat didekati dari perspektif yang berbeda-beda. Misalnya saja,
topik ini dapat didekati dengan melihat bagaimana efektivitas kebijakan
pengurangan kantong plastik berbayar. Topik ini juga dapat didekati dari
penerapan kewajiban standar tertentu dari kantong plastik atau bahkan
pelarangan. Setiap pendekatan ini akan melahirkan cara pandang yang
berbeda, sehingga akan sulit rasanya apabila penulis menyajikan seluruh
pendekatan tersebut di dalam satu artikel.
Selain dari permasalahan dan gagasan (claim atau thesis), bagian
pendahuluan dari sebuah artikel juga harus memuat struktur artikel, yang akan
memberikan peta jalan (roadmap) atau kerangka artikel, yang memberikan
gambaran mengenai rencana pembahasan di dalam artikel yang ditulis. Peta
jalan ini sering kali dianggap sebagai bagian yang harus ada dari artikel pada
jurnal hukum di AS, sehingga apabila seorang penulis tidak membuatnya,
maka editor jurnal (yang baik) akan menambahkan peta jalan ini di dalam
artikel.46 Biasanya peta jalan ini muncul pada (beberapa) paragraf terakhir dari
bagian pendahuluan.47

40
Ibid., hlm. 157.
41
Ibid., hlm. 158.
42
Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 254
43
Joseph Kimble, “Tips for Better Writing in Law Reviews (and Other Journals)”,
Thomas M. Cooley Law Review, Vol. 30 (2013), hlm. 201.
44
Eugene Volokh (1998), loc cit.
45
Ibid., hlm. 254-255.
46
C. Steven Bradford, op cit., hlm. 18.
47
Emily Bolles, “Introductions and Conclusions for Scholarly Papers”, The Writing
Center at Georgetown University Law Center, 2015,
tersedia pada:
<https://www.law.georgetown.edu/academics/academic-programs/legal-writing-
480 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
scholarship/writing-
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 481
Wibisana

Sebagai contoh, peta jalan dapat dirumuskan sebagai berikut: “Setelah


Pendahuluan, Bagian I akan menjelaskan gambaran mengenai….
Selanjutnya, analisa mengenai […] akan diberikan pada Bagian II….
Kesimpulan akan diberikan pada Bagian [….]”.48
Uniknya, di Indonesia justru peta jalan ini masih belum sepenuhnya
diterapkan. Banyak artikel pada jurnal hukum yang pada bagian
pendahuluannya sama sekali tidak memberikan keterangan mengenai
bagaimana artikel akan disusun. Hal ini patut disayangkan, mengingat peta
jalan memiliki arti penting baik bagi pembaca maupun bagi penulis. Bagi
pembaca, peta jalan berfungsi memberikan informasi bagaimana penulis akan
membahas permasalahan yang diajukannya. Bagi penulis, peta jalan
membantunya mengorganisasikan argumen dan pemikirannya. Apabila diikuti,
peta jalan akan membantu penulis membangun alur cerita yang mengalir,
lancar dan jelas.

2. Metodologi?
Pada beberapa kesempatan menjadi mitra bebestari, beberapa jurnal
hukum meminta adanya penilaian mengenai kesesuaian antara topik artikel
dengan metodologi yang dipilih. Permintaan adanya penilaian mengenai
metodologi ini menunjukkan bahwa metodologi dianggap sebagai sesuatu
yang penting di dalam penulisan artikel hukum.
Pada umumnya, artikel hukum di Indonesia menuliskan pada bagian
metodologinya kalimat yang kira-kira berbunyi: “Artikel ini ditulis dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang
menggunakan studi dokumen atau kepustakaan. Artikel ini menggunakan
bahan hukum primer berupa…., bahan hukum sekunder berupa…”.
Penjabaran metodologi seperti ini bermasalah karena dua hal. Pertama,
apabila artikel tersebut hendak ditulis untuk jurnal internasional, maka istilah
“yuridis normatif” sebagai penelitian berbasis bahan pustaka/dokumen, adalah
istilah yang membingungkan dan perlu dihindari. Di negara lain, penelitian
normatif sepertinya tidaklah diartikan sebagai penelitian kepustakaan. Smits,
misalnya, mengartikan penelitian normatif tidak sebagai bentuk data, tetapi
sebagai sifat penelitian mengenai apa yang seharusnya “what ought to be”.49
Kedua, menjelaskan metodologi dengan jalan menerangkan jenis data/bahan
hukum pada akhirnya akan membuat bagian metodologi ini menjadi bagian
yang membosankan karena tidak ada perbedaan yang mendasar di antara
satu artikel dengan artikel lainnya.
Mayoritas, kalau bukan semua, artikel hukum di jurnal hukum di AS
atau Eropa tidak akan memuat bagian mengenai metodologi dalam arti jenis
data atau sebagai keterangan mengenai bahan hukum. Pada jurnal-jurnal ini,
metodologi biasanya akan diterangkan hanya jika artikel didasarkan pada
penelitian empiris (non- doktrinal), yang memang sangat penting untuk
menjelaskan bagaimana, di mana, dan kapan data penelitian diperoleh.
Untuk artikel yang didasarkan pada penelitian kepustakaan, yang di
Indonesia sering kali disebut dengan penelitian yuridis normatif, maka yang
diterangkan

center/upload/Bolles-Introductions-and-Conclusions-for-Scholarly-Papers.pdf>, diakses pada


Februari 2018, hlm. 3.
48
Contoh lainnya, dapat dilihat dari tulisan berikut: “This Article is organized as
follows. Part I provides the background …. Part II discusses the theoretical basis for …. Part
III investigates …. Part IV proposes reforms to …. Part V explores the question of why ...”
Lihat: Eric Posner dan Cass R. Sunstein, “Dollars and Death”, University of Chicago Law
Review, Vol. 72 (2005), hlm. 543.
49
Jan M. Smits, The Mind and Method of the Legal Academic (Cheltenham, UK:
Edward Elgar, 2012), hlm. 35-99.
482 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

bukanlah mengenai jenis data dan bagaimana bahan hukum diperoleh, tetapi
bagaimana bahan hukum (data) tersebut akan dianalisa. Dalam hal ini, yang
perlu diterangkan adalah bagaimana pembahasan akan artikelnya akan
didasarkan pada pendekatan teoretis tertentu, misalnya dengan menggunakan
analisa ekonomi, sosiologi hukum, atau mungkin perbandingan hukum.
Pendekatan teoretis ini memegang peranan penting dalam menentukan
kualitas artikel, karena sebuah artikel yang baik tidak boleh hanya merupakan
tulisan yang bersifat deskriptif, tetapi harus juga mampu memberikan analisa
berdasarkan pendekatan tertentu. Pendekatan yang digunakan perlu ditulis di
dalam artikel, namun tanpa menyebutnya sebagai metodologi.

3. Bagaimana Memulai Pendahuluan?


Memulai bagian pendahuluan, yang juga memulai sebuah tulisan,
seringkali merupakan urusan yang cukup sulit. Jika dimulai dengan
pernyataan yang terlalu umum, pendahuluan akan sangat panjang dan
membutuhkan beberapa halaman hanya untuk sampai pada persoalan dan
thesis statement. Pendahuluan seperti ini beresiko tidak hanya menjadi
pendahuluan yang membosankan, tetapi juga gagal membungkus topik
dalama frame yang jelas. Sebaliknya, jika pendahuluan dimulai terlalu singkat,
terlalu dekat dengan persoalan yang akan dibahas, akan muncul resiko bahwa
pendahuluan menjadi gagal untuk menarik perhatian pembaca dan
menunjukkan bahwa persoalan yang akan dibahas adalah persoalan yang
memang penting. Terlepas dari dua kemungkinan di atas, satu hal yang pasti
adalah semakin umum pernyataan yang digunakan untuk memulai
pendahuluan, maka akan semakin panjang pula pendahuluan tersebut.50
Berikut ini adalah beberapa tips memulai pendahuluan. Pertama,
bagian pendahuluan dimulai dengan langsung menjabarkan pertanyaan atau
persoalan yang ingin dijawab.51 Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam
Gunningham yang memulai artikelnya dengan serentetan pertanyaan berikut:
“How can the substantial shifts that have taken place in environmental
law, regulation and governance over the last four decades be
explained? Are the sorts of policy mechanisms that are in place today
more effective, efficient or politically acceptable than their
predecessors? Has the nature of the environmental challenge itself
changed and if so, with what implications? Are the techniques that are
necessary to deal with today’s challenges radically different from those
that served us well in earlier decades? And what is the role of the
state in countries substantially shaped by neo-liberal ideology, in
which the roles of government have been both changed and
weakened? Have we, for example, moved ‘from regulation to
governance’?” 52

Dalam paragraf selanjutnya, Gunningham menyatakan bahwa tujuan


dari artikelnya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan
menguji perkembangan hukum, regulasi, dan tata kelola lingkungan hidup.
Menurutnya, “[t]his article explores these and related questions by seeking to
examine the basic

50
Sebagai rule of thumb, dapat kiranya digunakan patokan bahwa Pendahuluan kira-
kira sebanyak 10% dari total panjang artikel. Artinya, sebuah artikel dengan panjang
Pendahuluan 10 halaman, maka panjang artikel keseluruhannya kira-kira adalah 100
halaman.
51
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 42.
52
Neil Gunningham, “Environment Law, Regulation and Governance: Shifting
482 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Architectures”,
Journal of Environmental Law, Vol. 21:2 (2009), hlm. 179-180.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 483
Wibisana

architectures of environmental law, regulation and governance and how they


have changed since the first major environmental legislation was enacted in
the 1970s”.53
Kedua, bagian pendahuluan dimulai dengan contoh (masalah) kongkret
yang mendorong pembaca untuk bertanya-tanya bagaimana contoh (masalah)
kongkret tersebut akan diatasi. Pendahuluan demikian tidak hanya akan
membuat masalah yang akan dibahas menjadi lebih tegas, tepapi juga akan
menunjukkan bahwa masalah tersebut penting untuk dibahas. 54 Contoh dari
model bagian pendahuluan seperti ini dapat dilihat dari tulisan Kysar di bawah
ini:
“Climate change is coming to the common law. Plaintiffs in several
cases have pressed tort claims against carefully composed groups of
greenhouse gas emitting defendants, seeking monetary damages and
injunctive relief to lessen the threat and financial burden of climate
change’s harmful impacts. Surprisingly, not all of these cases have
been dead on arrival. Although malleable and expedient doctrines
such as standing, political question, and preemption might be invoked
to justify dismissal, at least one climate change tort suit instead was
poised to proceed to the merits, at least until the Supreme Court
granted review of the Second Circuit Court of Appeals’ refusal to
dismiss the suit on justiciability grounds. Depending on the outcome of
that appeal, the question of whether greenhouse gas emissions
constitute an actionable tort under federal or state law, much
discussed in law journals, may eventually receive full judicial airing—
[catatan kaki diabaikan].”55

Dalam bagian pendahuluannya yang bertenaga tersebut, Kysar tidak


hanya mampu menjelaskan contoh kongkret berupa berkembangnya gugatan
perubahan iklim, tetapi juga mampu menerangkan persoalan yang akan
dibahas dan thesis dari artikelnya (“the question of whether greenhouse gas
emissions constitute an actionable tort under federal or state law, much
discussed in law journals, may eventually receive full judicial airing”).
Semuanya dikerjakan dalam satu paragraf.
Ketiga, bagian pendahuluan dimulai dengan cerita, dapat cerita
kongkret atau cerita hipotetis, yang menarik dan membekas untuk pembaca,
namun tetap terkait dengan topik/gagasan dari artikel. 56 Heinzerling menulis:
“In 1990, North Carolina scientists testing for contaminants in the local
water supply decided to use Perrier as a control sample. Clearly, they
figured that Perrier would be free of the contaminants for which they
were testing. They figured wrong: Perrier contained benzene. Not only
that, Perrier contained benzene at levels far exceeding the U.S.
Environmental Protection Agency's standard for benzene in drinking
water. Perrier responded by voluntarily recalling its U.S. inventory
while asserting that the rest of its worldwide inventory contained no
benzene. Soon thereafter, benzene was found in Perrier bottles in
Europe. Perrier then recalled its entire worldwide inventory-
approximately 230 million bottles. The recall and relaunch of the
product cost over $250 million.”

53
Ibid., hlm. 180. Contoh lain dari artikel yang dimulai dengan pertanyaan dapat dilihat
pada, misalnya: Richard B. Stewart, “A New Generation of Environmental Regulation?”,
Capital University Law Review, Vol. 29 (2001); atau Daniel Schwarcz, “Shame, Stigma, and
Crime: Evaluating the Efficacy of Shaming Sanctions in Criminal Law”, Harvard Law Review,
Vol. 116:7 (May, 2003).
54
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 43-44.
55
Douglas A. Kysar, “What Climate Change Can Do about Tort Law”, Environmental
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 483
Law, Vol. 41 (2011), hlm. 2.
Wibisana
56
Ibid., hlm. 44-47.
484 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Heinzerling kemudian mengaitkan antara kejadian ditemukannya


karsinogen dalam minuman kemasan (Perrier) dengan penggunaan Cost-
Benefit Analysis oleh EPA ketika Lembaga ini memutuskan batasan
kandungan arsenik di dalam air mimum. Lebih jauh lagi, Heinzerling menilai
bahwa penggunaan CBA dalam kebijakan batasan arsenik pada air minum
juga didukung pendapat Cass Sunstein, seorang guru besar hukum ternama
di AS. Artikel Heinzerling ini dimaksudkan untuk membantah pandangan EPA
dan Sunstein tentang penggunaan CBA dalam kebijakan terkait perlindungan
lingkungan hidup dan kesehatan publik. 57 Penggunaan cerita kongkret, apalagi
jika cerita itu merupakan skandal yang membekas dalam ingatan publik,
merupakan cara yang baik untuk meyakinkan pembaca bahwa artikel yang
sedang dibuat adalah artikel yang penting.
Contoh lainnya, perhatikan dua paragraf awal dari tulisan Posner dan
Sunstein berikut:
“How should the legal system assign dollar values to human lives?
Consider a highly publicized example.
“On September 22, 2001, Congress enacted legislation to compensate
the survivors of those killed in the attacks of eleven days earlier.
Under the final regulations, survivors were permitted to claim amounts
for both economic and noneconomic losses. The economic losses
were to be measured by calculating each victim's expected lost wages
from September 11, 2001, through the anticipated date of retirement,
subject to several adjustments, including a reduction by an estimate of
household consumption or expenditure by the victim. Noneconomic
losses were set at $250,000 per victim plus $100,000 per surviving
spouse and for each surviving child— [catatan kaki diabaikan].”58

Kutipan dari Posner dan Sunstein di atas menyajikan cerita kongkret


yang masih membekas pada pembaca, yaitu baru empat tahun dari tahun
publikasi. Selanjutnya, kedua pengarang kemudian memaparkan bagaimana
penghitungan “harga” nyawa manusia di AS dibentuk oleh dua cabang hukum,
yaitu hukum administrasi yang memberikan “harga” melalui Cost-Benefit
Analysis (CBA), dan hukum pertanggungjawaban perdata (torts) yang
memberikan “harga” atas kerugian melalui pengadilan. Sebelum sampai
kepada gagasannya untuk menunjukkan bahwa kedua cabang hukum
tersebut dapat belajar satu-sama lain terkait penghitungan “harga” nyawa,
kedua pengarang memaparkan bagaimana hukum administrasi (melalui
regulasi) dan hukum perdata (melalui torts) berbeda dalam cara, penekanan,
dan nilai apa saja yang perlu diperhatikan ketika menentukan “harga” nyawa
manusia.59
Keempat, bagian pendahuluan dimulai dengan pemaparan kontroversi
yang sedang terjadi.60 Case dalam paragraf pembukanya menerangkan kritik
terhadap pendekatan “Atur dan Awasi” (command and control, CAC) sebagai
upaya mendorong munculnya ketaatan (compliance) dalam pengelolaan
lingkungan. Menurut Case,
“Calls are universal among scholars and policy analysts for innovation
in creation and implementation of American environmental regulatory
policy.

57
Ibid., hlm. 2312-2313.
58
Eric Posner dan Cass R. Sunstein, op cit., hlm. 537.
59
Ibid., hlm. 538-543,
60
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 47-50.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 485
Wibisana

Traditional regulatory approaches to controlling pollution are often


pejoratively labeled as “command-and-control.” Since the early 1970s,
however, these approaches are credited with substantial, yet critically
limited, successes in reducing the harmful environmental impacts of
industrial activity…There is, however, considerable debate over the
efficiency of command-and-control approaches and whether similar
gains could have been obtained through alternative regulatory
strategies at far less cost… — [catatan kaki diabaikan]” 61

Kritik ini menempatkan CAC sebagai pusat kontroversi, yang kemudian


akan dibandingkan dengan pendekatan lainnya, yaitu Environmental
Management System (EMS) sebagai pendekatan yang lebih mengandalkan
kesukarelaan. Artikel Case tersebut merupakan pembahasan superioritas
pendekatan alternatif ini dibandingkan dengan CAC. 62
Kelima, bagian pendahuluan dimulai dengan pandangan atau aturan
yang hendak dibantah.63 Lihat misalnya kutipan paragraf pembuka dari artikel
dari Weinrib berikut ini:
“The theories of civil recourse and corrective justice are so closely
related that when Ben Zipursky was in Toronto several years ago
presenting his paper Civil Recourse, Not Corrective Justice, I publicly
asked him whether the word “not” in the title was a typo. Civil recourse
takes over the central insights of corrective justice: that the conceptual
apparatus of tort law ought to be understood in its own terms rather
than as a disguise for instrumental considerations; that tort law is not
an operation of distributive justice; that tort liability is a response to
wrongdoing; and that wrongs are violations of norms that relate the
plaintiff and the defendant to each other. Although acknowledging their
indebtedness to corrective justice (and indeed saluting it as “a major
advance in modern interpretive tort theory”), John Goldberg and Ben
Zipursky nonetheless have always insisted that civil recourse is
significantly different.”64

Dalam kutipan di atas terlihat bahwa Weinrib hendak mengajukan


bantahan pada artikel Golberg dan Zipursky yang memandang keadilan
korektif dan teori civil recourse adalah dua hal yang berbeda. Menurut
Weinrib, keadilan korektif dan teori civil recourse adalah dua hal yang sama.
Sebuah artikel dapat saja ditujukan untuk mendukung satu pandangan
tertentu, dan bukan sebagai bantahan atas pandangan tersebut. Jika ini yang
terjadi, maka pembukaan bagian pendahuluan dapat dimulai sebagaimana
terlihat dalam artikel Heinzerling berikut: “[m]y goal here is modest: I simply
wish to defend the view that the moral commitment against knowing killing
should play a role in decisions about environmental problems. In recent years,
economic analysis has substantially succeeded in de-ethicizing environmental
issues; this paper is part of an effort to re- ethicize them.”65

61
David W. Case. “Changing Corporate Behavior Through Environmental Management
Systems”, William and Mary Environmental Law and Policy Review, Vol. 31 (2006), hlm. 75-76.
62
Ibid., hlm. 77.
63
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 51-52.
64
Ernest J. Weinrib, “Civil Recourse and Corrective Justice”, Florida State University
Law Review, Vol 39 (2011), hlm. 273.
65
Lisa Heinzerling, “Knowing Killing and Environmental Law”, NYU Environmental Law
Journal, Vol. 16 (2006), hlm. 521.
486 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Keenam, bagian pendahuluan yang secara langsung menyatakan


tujuan dari artikel. Pendahuluan semacam ini mirip dengan bagian
pendahuluan yang dimulai dengan pertanyaan. Hal ini misalnya dapat dilihat
dari tulisan Marong, yang sejak paragraf pertama mengutarakan tujuan dari
artikel yang dibuatnya. Marong menyatakan:
“This paper has three broad objectives. First, it seeks to establish that
the historical development of sustainable development as a legal
concept shows that it implies the pursuit of economic development,
environmental protection, and social development as non-hierarchical
objectives of international society. Secondly, it is argued that while
sustainable development enjoys significant support in international
legal instruments, and is endorsed by a large number of other
international actors, it falls short of a principle of customary
international law and is best approached as a legitimate expectation
that actors at the international and domestic levels ought to conduct
their affairs to facilitate the realization of the above objectives. Thirdly,
it is argued that legal norms such as the precautionary principle, the
principle of environmental impact assessment, and public participation
in decision-making could play an important role in the realization of
sustainable development….”66

H. STRUKTUR ARTIKEL, MUATAN DAN BAHASA


Seperti juga artikel hukum pada umumnya, sebuah artikel hukum
haruslah mampu menerangkan gagasan yang ingin disampaikan oleh
penulisnya. Untuk itu, seorang penulis harus mengetahui apa yang menjadi
gagasannya dan bagaimana mendukung gagasan tersebut. Sepanjang
artikelnya, penulis harus mampu memaparkan thesis statement, dan
kemudian membangun argumen yang terorganisasi dengan baik untuk
mendukung pernyataan tersebut.67 Bagian ini akan menerangkan beberapa
hal penting dari sebuah artikel hukum, yaitu: struktur, kemasukakalan, sitasi,
dan bahasa.

1. Struktur
Di Indonesia, seringkali ditemukan jurnal hukum yang meminta agar
struktur artikel ditulis berdasarkan format: Pendahuluan—Metodologi—
Data/Hasil— Diskusi—Kesimpulan, atau Pendahuluan—Pembahasan—
Kesimpulan. Kedua format ini bukan hanya kaku dan lebih cocok untuk jurnal
non hukum, tetapi juga membatasi penulis untuk menyusun argumennya
sesuai dengan persoalan (pertanyaan) yang telah dirumuskan sebelumnya.
Menurut Samuelson, struktur artikel harus disusun sedemikian rupa sehingga
memungkinkan penulis untuk mengintegrasikan fakta, data, atau analisa
putusan dan peraturan ke dalam argumen yang hendak dibangunnya.

66
Alhaji B.M. Marong, “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of
International Legal Norms in Sustainable Development”, Georgetown International
Environmental Law Review, Vol. 16 (2003), hlm. 21-22.
Contoh lainnya dapat ditemukan dalam Maggio, yang menulis dalam paragraf pertama
dari artikelnya tentang fokus dari artikel tersebut: “[t]his article focuses on the "equity" aspect
of sustainable development, especially as it relates to conservation of resources of biological
diversity. This article discusses…”intergenerational equity,” and analyzes its current
applications in international law.” Lihat: G.F. Maggio, “Inter/intra-generational Equity: Current
Applications under International Law for Promoting the Sustainable Development of Natural
Resources”, Buffalo Environmental Law Journal, Vol. 4 (1997), hlm. 162.
67
M.H. Sam Jacobson, “The Legal Writer: What's Your Point? Tips For Writing Clearly”,
Oregon State Bar Bulletin, Vol. 71 (2011), hlm. 13.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 487
Wibisana

Karena sebuah artikel disusun untuk meyakinkan pembaca dengan gagasan


penulis, maka struktur artikel tidak boleh menghambat penulis untuk
menyampaikan gagasannya tersebut.68
Uraian Samuelson di atas menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada
batasan atau konvensi khusus terkait struktur sebuah artikel. Namun
demikian, beberapa pola dapat lah kiranya disampaikan di sini.
Menurut Lebovits, standar jurnal hukum di AS biasanya merumuskan
struktur sebuah artikel dalam bentuk:69
1. Pendahuluan, yang biasanya memuat ruang lingkup pembahasan dan
kerangka (peta jalan) artikel;
2. Bagian latar belakang (overview)
3. Bagian diskusi dari peraturan atau putusan pengadilan
4. Bagian analisa
5. Bagian diskusi tentang kebijakan/respon yang diusulkan
6. Kesimpulan.

Alternatifnya, struktur dapat dirumuskan lebih padat sebagai berikut: 70


1. Pendahuluan;
2. Bagian diskusi tentang hukum (aturan) tertentu, termasuk
perkembangannya;
3. Bagian diskusi tentang unsur dari hukum (aturan) tersebut berdasarkan
bahan hukum primer dan sekunder;71
4. Bagian yang mendiskusikan konsekuensi praktis dari aturan yang
didiskusikan;
5. Kesimpulan.

Sementara itu, Motro menganalogikan struktur artikel pada jurnal


hukum dengan sebuah drama tiga babak, yang terdiri dari eksposisi,
konfrontasi, dan resolusi. Babak Pertama dari drama adalah eksposisi, yang
bertujuan memperkenalkan konflik antara “sang penjahat” (the villain) dan
“sang jagoan” (the hero). Bagian ini akan menjelaskan keburukan dan
kelemahan dari sang penjahat. Pada Babak Kedua, digambarkan konfrontasi.
Inilah bagian inti dari drama, yang mengetengahkan panggung pertarungan
antara sang penjahat dan sang pahlawan. Pertarungan, tentu saja, harus
dimenangkan oleh sang pahlawan. Pada Babak Ketiga, yaitu resolusi, konflik
akan diselesaikan, berbagai pertanyaan akan terjawab, dan cerita akan
disimpulkan.72 Bagaimana “drama” ini dikaitkan dengan artikel dapat dilihat
dalam penjelasan berikut.
Ketika menyusun bagian pendahuluan dan Bagian I dari artikelnya,
Motro membayangkan bagian eksposisi sebuah drama. Menurutnya,
pendahuluan memperkenalkan konflik antara sang pahlawan, yaitu gagasan
penulis (idea), dengan sang penjahat, yaitu gagasan yang hendak dibantah
atau berseberangan dengan gagasan penulis (counter idea). Pendahuluan ini
bukan hanya memperkenalkan pembaca dengan konflik tersebut, tetapi juga
menerangkan bahwa konflik tersebut penting untuk diketahui oleh Pembaca. 73
Peta jalan di dalam pendahuluan sangat

68
69
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152-155.
Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51 dan 64.
70
Ibid., hlm. 51.
71
Perlu diketahui bahwa diskusi di sini tidak hanya dibatasi pada unsur-unsur menurut
peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga harus termasuk putusan pengadilan yang
menafsirkan atau menerapkan aturan hukum yang didiskusikan tersebut.
72
Shari Motro, “The Three-Act Argument: How to Write a Law Article that Reads Like
a Good Story”, Journal of Legal Education, Vol. 64 (2015), hlm. 707-708.
73
Ibid., hlm. 708.
488 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

penting sebagai cara untuk menjelaskan bagaimana penulis akan membangun


argumennya dan membuktikan gagasannya.
Setelah itu, Bagian I, atau seringkali disebut latar belakang atau
overview, akan menjelaskan sang penjahat, yaitu gagasan yang hendak
dibantah (counter idea). Gagasan yang hendak dibantah ini dapat berupa
pandangan umum yang berlaku (conventional wisdom), peraturan perundang-
undangan, persoalan yang belum terpecahkan, gagasan yang baru
berkembang, atau kecenderungan pandangan tertentu. Secara singkat,
gagasan ini adalah status quo yang hendak dibantah. Pada bagian ini,
seorang penulis perlu untuk menggambarkan latar belakang pemikiran atau
alasan pembenar (rationales) dari status quo atau counter idea yang hendak
dibantahnya.74
Untuk menjamin non-obviousness dari artikel yang hendak dibuat,
penulis perlu menggambarkan bahwa status quo atau counter idea memiliki
landasan pemikiran yang cukup kuat. Jika landasan pemikiran counter idea
ternyata lemah, artikel menjadi tidak menarik karena, seperti diutarakan Motro,
“anybody can tear down a paper tiger”.75 Dalam konteks ini, kelebihan-
kelebihan dari status quo atau counter idea perlu pula tergambarkan dengan
jelas.
Setelah memaparkan bagaimana kuatnya status quo atau counter idea,
panggung kemudian terbuka untuk Bagian II. Inilah panggung untuk
munculnya sang pahlawan, gagasan utama dari penulis. Pada bagian ini,
penulis harus mampu melumpuhkan setiap argumen, pembenaran, dan
kelebihan dari status quo atau counter idea yang dipaparkan sebelumnya.
Pada bagian ini pula penulis memblejeti kelemahan-kelamahan dari sang
penjahat. Pada akhir dari Bagian II, sang pahlawan, argument-argumen
penulis, harus muncul sebagai pemenang.76
Selanjutnya, Bagian III menawarkan resolusi. Inilah bagian ketika
penulis membayangkan apa yang mungkin terjadi setelah argumen penulis
mengalahkan status quo atau counter idea. Setalah berhasil menunjukkan
kelemahan status quo atau counter idea, Bagian III akan menunjukkan bahwa
kelemahan tersebut menemukan obatnya pada gagasan yang ditawarkan
penulis. Inilah saatnya sang pemenang terbang dan bermimpi lebih jauh. 77
Artinya, penulis dapat mengetengahkan rekomendasi atau proposal baru
untuk menggantikan yang lama, atau mencari batas/tantangan dari
gagasannya.
Penutup adalah epilog. Pada bagian ini penulis menjelaskan hal-hal
terpenting dari pertarungan yang sudah dilaluinya, sambil menjelaskan sekali
lagi pentingnya gagasan utama dari artikel yang ditulisnya.
Motro menggambarkan artikel drama tiga babaknya dalam abstrak
berikut:
“[I] Under current law [counter idea]. The main rationales for this
rule/approach/paradigm are… [II] A closer look, however, reveals
several problems. For one, the current rule… The current rule also
fails to… Finally, it… [III] This article proposes that the current rule be
replaced/modified… [Closer].”78

74
75
Ibid.
Ibid.
76
Ibid., hlm. 709.
77
Ibid.
78
Motro menjelaskan pula bahwa apabila artikel dimaksudkan untuk mendukung, dan
bukan membantah, sebuah status quo, maka struktur tulisan dapat dimulai dari pembahasan
tentang adanya upaya untuk mengganti status quo (Bagian I). Menyusul kemudian bantahan
dari penulis tentang upaya penggantian tersebut (Bagian II). Ibid.
Karena Motro tidak menjelaskan bentuk Bagian III dan penutupnya, maka sepertinya
488 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Bagian III ini akan tetap merupakan rekonsiliasi (sintesa) antara Bagian I dan Bagian II,
sedangkan penutup tetap sebagai epilog dari artikel.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 489
Wibisana

Ada pun struktur dari artikel tersebut akan terlihat seperti di


bawah ini:79 Pendahuluan
I. Status Quo dan Pembenarannya
A. Penjelasan tentang Status Quo
B. Pembenaran atas Status Quo
1. Pembenaran 1
2. Pembenaran 2
II. Argumen Bantahan terhadap Status Quo
A. Subbagian 1
B. Subbagian 2
III. Proposal/implikasi hukum atau
kebijakan Kesimpulan

2. Kemasukakalan (Soundness), Referensi dan Gaya Sitasi


Seorang penulis perlu selalu menanyakan kepada dirinya apakah
klaim/gagasan yang dibuatnya adalah gagasan yang masuk akal. Penulis
perlu mengajukan beberapa pengujian terhadap gagasannya, untuk
memperlihatkan sejauh mana gagasannya dapat bertahan dari beberapa
serangan. Dalam tulisannya, Volokh menggambarkan beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pengujian, misalnya bahwa pengujian harus masuk akal,
harus melibatkan putusan/preseden yang terkenal, dan putusan atau gagasan
yang dijadikan alat pengujian harus dapat memberikan tantangan pada
gagasan penulis.80 Artikel tentu saja perlu disesuaikan (direvisi) sesuai dengan
hasil pengujian yang dilakukan.81 Proses pengujian ini pada akhirnya ditujukan
untuk membuktikan bahwa gagasan yang diusung oleh penulis dapat bekerja
dengan baik, sebagaimana diklaim olehnya pada bagian abstrak dan
pendahuluan.82
Sebuah artikel yang baik memiliki gagasan dan argumen yang kokoh.
Untuk membentuk argumen yang kokoh ini diperlukan bukti yang kuat. Karena
itu, artikel tidak hanya harus konsisten dan koheren, tetapi juga harus
didukung oleh bahan-bahan pendukung. Sebuah artikel hukum akan
menggunakan bahan dukungan yang diperoleh dari peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, dan artikel/pendapat dari penulis yang
memiliki otoritas.
Referensi atau seringkali pula disebut catatan kaki atau sitasi, merujuk
pada caranya penulisannya di dalam artikel, memiliki peran yang sangat
penting di dalam artikel hukum. Untuk mendukung argumen/gagasan yang
diajukan, maka penulis harus merujuk pada putusan yang diterima,
peraturan/hukum yang berlaku, atau teori dari ahli hukum atau dari disiplin
lain. Dalam hal ini, penulis harus mampu menyeleksi referensi yang ada,
sehingga referensi tersebut adalah referensi yang paling penting atau relevan,
yang berasal dari sumber yang autoritatif. 83 Penulis perlu pula mengusahakan
agar setiap rujukan harus selalu merujuk pada sumber utama (primary
reference). Selain itu, setiap artikel juga harus menghindari penggunaan
Wikipedia atau blogspot sebagai dasar rujukan.
Referensi sering dianggap sebagai cara mudah untuk mengukur
kualitas tulisan. Dalam arti bahwa referensi yang baik dan mampu
mendukung argumen

79
Diadaptasi dari: Ibid., hlm. 710.
80
Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 25-27.
81
Ibid., hlm. 24-25.
82
Michael J. Madison, “The Lawyer as Legal Scholar”, University of Pittsburgh Law
Review, Vol. 65 (2003), hlm. 71.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 489
Wibisana83 Joseph Kimble, op cit., hlm. 201-202.
490 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

penulisnya, pada akhirnya akan mengarah pada artikel yang baik. Pada
dasarnya, setiap pernyataan yang merujuk pada hukum atau fakta tertentu
harus mencantumkan rujukan dan referensi, yang biasanya dituliskan pada
catatan kaki.84
Selain itu, referensi yang baik juga merupakan bukti adanya kejujuran
dari penulis, yang memberikan kredit pada sumber acuan artikelnya.
Karenanya, penulis juga diminta untuk akurat dalam menuliskan referensinya,
sebab tidak akuratnya referensi yang digunakan dapat berakibat pada
hilangnya kepercayaan pembaca pada apapun yang dikatakan oleh penulis. 85
Selain untuk menuliskan sumber referensi, catatan kaki/akhir memiliki
fungsi lain, yaitu:86
a) Memberikan informasi mengenai contoh yang mengilustrasikan
pernyataan penulis di dalam teks;
b) Mendemonstrasikan kedalaman penelitian yang dilakukan;
c) Memberikan penghargaan pada sumber yang telah menjadi acuan dalam
penulisan artikel;87
d) Mendemonstrasikan kedalaman pemahaman penulis tentang apa yang
sedang ditulisnya;
e) Mengangkat/mendiskusikan hal tertentu yang terkait dengan gagasan
utama tulisan, tetapi akan mengaburkan pembahasan apabila hal tersebut
didiskusikan di dalam teks utama.
f) Membahas keberatan dari pembaca yang mungkin muncul dan tidak
dapat diabaikan, tetapi tidak dapat dibahas panjang lebar di dalam teks
utama karena akan mengganggu alur pembahasan.

Mayoritas jurnal hukum meminta penulisan sitasi dengan menggunakan


catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote). Penulisan referensi
melalui catatan

84
Lebovits menyatakan bahwa penulisan referensi dimaksudkan untuk mendukung
argumen yang diajukan, sehingga berarti bertujuan untuk memperkuat artikel, dan bukan
untuk memperpanjang artikel. Gerald Lebovits, “Legal-Writing Myths”, The Scribes Journal of
Legal Writing, Vol. 16 (2014), hlm. 121.
Perlu pula disampaikan di sini bahwa tidak semua ahli hukum tampaknya setuju
dengan manfaat dari referensi (catatan kaki). Hakim Mikva, seorang mantan hakim pada
pengadilan banding Circuit, yang ketika mahasiswa merupakan editor in chief dari University
of Chicago Law Review, menulis: “I have mentioned footnotes, and I might as well disclose my
real bias against them. I stopped using them in my opinions and still do not use them for any
substantive purpose. I think footnotes are an abomination. If God had intended the use of
footnotes to be a norm, He would have put our eyes in vertically instead of horizontally ….”
Lihat: Honorable Abner J. Mikva, “Law Reviews, Judicial Opinions, and Their Relationship To
Writing”, Stetson Law Review, Vol. XXX (2000), hlm. 524.
Selanjutnya, Mikva juga menyebut paksaan untuk menggunakan referensi (catatan
kaki) sebanyak mungkin sebagai virus yang perlu disingkirkan. Satu-satunya penyesalan dari
Hakim Mikva adalah “I just wish it had not taken me so long to get rid of the footnote virus and
that I did not still secretly think that maybe the number of footnotes does have something to do
with the worthiness of the writing.” Ibid., hlm. 525.
Bradford menduga bahwa keengganan, atau lebih tepatnya pemberontakan, Hakim
Mikva terhadap tuntutan untuk menggunakan catatan kaki pada akhirnya berkontribusi pada
kegagalannya menjadi hakim agung di AS. Karena itu, kejadian ini didisebut dengan “Mikva
mistake”, sebuah penolakan atas penggunaan catatan kaki yang berakhir pada kegagalan
seseorang mencapai karir hukum yang lebih tinggi. Lihat: C. Steven Bradford, op cit., hlm. 24.
85
Joseph Kimble, op cit., hlm. 202.
86
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 161.
87
Dalam bahasa Lebovits: “[f]ootnotes and endnotes provide authority for assertions
and attribute borrowed material. They also get your name and paper into the stream of
discussion.By quoting others, you’ll get noticed by those you quoted. In turn, they’ll quote you.
Then you and your paper become immortal”. Lihat: Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 491
Wibisana

kaki/akhir berfungsi sebagai textual footnote, yaitu keterangan mengenai


sumber yang dijadikan acuan oleh penulis di dalam teksnya. Referensi dapat
juga berfungsi sebagai authoritative footnote, yang menjelaskan,
membuktikan, atau mengindikasikan bahwa argumen yang digunakan penulis
didasarkan pada sumber/pandangan yang autoritatif.
88

Penulis harus senantiasa memutakhirkan gaya sitasinya, sehingga


mengikuti gaya selingkung dari jurnal yang akan ditujunya. Di AS, hampir
semua jurnal hukum menggunakan catatan kaki (footnote) dengan gaya sitasi
bluebook.89 Sedangkan jurnal- jurnal yang diterbitkan di Eropa, biasanya
menggunakan catatan kaki dengan model sitasi Oscola. 90 Mengingat baik
Bluebook maupun Oscola memuat keterangan lengkap tentang sumber yang
dirujuk, misalnya nama pengarang, judul buku beserta tahun publikasi, serta
judul artikel berserta nama jurnal, volume dan tahunnya, maka jurnal AS dan
Eropa yang menggunakan kedua gaya sitasi tersebut tidak menggunakan
daftar pustaka.91 Kegagalan untuk mengikuti gaya selingkung dari jurnal yang
akan dituju seringkali berakhir pada penolakan dari jurnal tersebut.
Sayangnya, di Indonesia sepertinya tidak ada kesepakatan di antara
pengelola jurnal hukum tentang gaya sitasi. Lebih dari itu, gaya yang biasanya
digunakan di Indonesia adalah gaya sitasi yang ada di luar negeri, misalnya
Turabian, sehingga menimbulkan kebingungan ketika seseorang hendak
menuliskan sitasi dari bahan hukum primer, terutama putusan pengadilan dan
peraturan perundang-undangan. Untuk menghindari berlarutnya persoalan
gaya sitasi ini, para pengelola jurnal hukum dan para pengajar mata kuliah
penelitian hukum perlu duduk bersama dan menentukan gaya sitasi yang
disepakatinya.
Hal terakhir yang perlu dibicarakan pada bagian ini adalah parafrase
dan kutipan langsung. Meskipun sebuah tulisan telah mencantumkan referensi
untuk sumber yang menjadi rujukannya, penulis masih perlu melalukan
parafrase. Ini adalah sebuah proses di mana penulis menuangkan pernyataan
yang dirujuknya dengan menggunakan kalimatnya sendiri, tanpa mengubah
makna dari pernyataan yang menjadi rujukan. Penulis harus menunjukkan
bahwa pernyataan yang ditulisnya berbeda dengan pernyataan yang menjadi
rujukannya, tetapi tetap memiliki arti yang sama. 92
Parafrase tidak dilakukan dalam hal penulis memilih untuk melakukan
kutipan langsung. Kutipan langsung ini lebih baik dibatasi hanya pada situasi
di mana penulis ingin menunjukkan bahwa pernyataan yang dirujuk adalah
benar-benar dari sumber yang dirujuk tanpa adanya intervensi dari penulis.

3. Bahasa
Samuelson menulis bahwa di dalam sebuah artikel, hal yang sama
pentingnya dengan adanya gagasan (thesis) adalah adanya kemampuan
untuk menyampaikan

88
Richard Delgado, op cit., hlm. 451.
89
Anonymous, The Bluebook: A Uniform System of Citation, 19th Ed. (The Harvard
Law Review Association, 2010).
90
Anonymous, “OSCOLA: Oxford University Standard for the Citation of Legal
Authorities”, 4th ed., Faculty of Law, University of
Oxford, tersedia pada:
<https://www.law.ox.ac.uk/sites/files/oxlaw/oscola_4th_edn_hart_2012.pdf>
91
Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana disyaratkan adanya informasi yang
lengkap tentang referensi di dalam catatan kaki, dan pada saat yang sama juga disyaratkan
adanya daftar pustaka. Sebuah pemborosan halaman.
92
Untuk contoh penggunaan parafrase, lihat misalnya: Lisa Webley, Legal Writing, 4th
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 491
ed. (London: Routledge, 2016), hlm. 108-110.
Wibisana
492 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

gagasan/itu dengan masuk akal.93 Banyak sarjana hukum, sayangnya,


berpandangan bahwa gaya penulisan tidaklah penting, sebab yang penting
adalah isi dari tulisan. Hal ini tidak tepat. Lebovits menyebutnya sebagai mitos.
Menurut Lebovits, “[y]ou can't be a great lawyer, whatever your other qualities,
unless you write well.” Selanjutnya, Lebovits mengutip pandangan Dekan dari
Fordham Law School yang menulis bahwa “[w]ithout good legal writing, good
lawyering is wasted, if not impossible”.94 Dengan demikian, gaya penulisan
juga penting untuk diperthatikan.

Kesederhanaan, Kejelasan, dan Kalimat yang Efektif


Pertanyaannya, gaya penulisan yang seperti apa yang perlu diikuti?
Rowe menjawab: tulisan hukum harus ditulis secara sederhana. Menurutnya,
kesederhanaan akan membawa kejelasan (clarity), yang merupakan kunci
bagi sebuah tulisan yang baik.95
Dari tulisan Abrams dan tulisan Rowe dapat diidentifikasi setidaknya
tiga hal yang penting dalam pembentukan gaya tulisan yang sederhana, yaitu
kata yang pendek (short words), kalimat yang pendek (short sentences), dan
struktur yang sederhana (simple structure).
a) Kata yang pendek/sederhana
Abrams menulis bahwa dalam pidato pelantikannya sebagai presiden,
Presiden Kennedy hanya menggunakan satu kata yang panjangnya lebih
dari dua suku kata, yaitu “americans”. Beberapa kata terdiri dari dua suku
kata, dan sisanya, sebagian besar, merupakan kata dengan satu suku
kata. Pidato itu masih dianggap sebagai salah satu pidato pelantikan
terbaik sampai saat ini, salah satu sebabnya karena kesederhanaan
pidato tersebut.96 Menurut Abrams, ahli hukum juga seharusnya
menggunakan kata-kata yang pendek, yang justru lebih bertenaga dan
akurat dalam menerangkan fakta dan hukum.97
Mungkin dalam bahasa Indonesia sedikit sulit untuk menemukan kata-kata
yang pendek, yang hanya terdiri dari satu suku kata. Namun demikian,
pesan penting yang ingin disampaikan di sini adalah kesederhanaan.
Pilihlah kata yang sederhana dan tidak rumit. Yang panjang dan kompleks
adalah gagasan penulis, bukan kata-kata yang dipilihnya. Persis seperti
judul dari artikel Abrams: long ideas, short words.
b) Kalimat pendek
Sama seperti kata, kalimat juga seharusnya merupakan kalimat yang
pendek. Kalimat yang pendek akan mampu memberikan kejelasan lebih
baik dibandingkan dengan kalimat yang panjang. Hal-hal yang memang
memiliki pokok pikiran atau pesan yang berbeda, harus ditulis dalam
kalimat yang berbeda.98
c) Struktur kalimat sederhana
Struktur kalimat yang sederhana dapat membuat tulisan menjadi lebih
mudah dipahami. Dalam bahasa Inggris, kalimat yang sederhana
biasanya memiliki pola:

93
Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152.
94
Gerald Lebovits (2014), op cit., hlm. 113.
95
Suzanne E. Rowe, “The Legal Writer: Keep It Simple: ‘Short and Sweet’ Brings
Clarity to Legal Writing”, Oregon State Bar Bulletin, Vol. 68 (2008), hlm.
96
Douglas E. Abrams, “Writing It Right: Long Ideas, Short Words”, Journal of the
Missouri Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 148.
97
Ibid.
98
Suzanne E. Rowe, op cit., hlm. 12-13.
Rowe mengusulkan agar kalimat terdiri dari paling banyak 25 kata. Jika ada satu dan
lain hal satu kalimat memiliki lebih dari 25 kata, maka pada bagian lain harus diseimbangkan
dengan kalimat yang kurang dari 25 kata. Ibid.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 493
Wibisana

subject—verb—object, di mana subject adalah aktor dari kalima, verb


adalah tindakan dari aktor tersebut, dan object adalah yang menerima
tindakan.99 Dalam bahasa Indonesia, pola kalimat sederhana biasanya
terdiri dari: subyek— predikat—obyek—keterangan.
Usahakan agar sebuah kalimat tidak memuat anak kalimat. Jika terpaksa,
maka jumlah anak kalimat dalam sebuah kalimat perlu dibatasi tidak lebih
dari satu anak kalimat.

Alur Cerita dan Paragraf


Karena kalimat dibuat pendek, maka kalimat menjadi tidak mengalir
dengan baik. Mirip seperti seseorang yang sedang belajar mengendarai mobil.
Terlalu sering mobil berhenti secara mendadak. Untuk melancarkan alur
cerita, maka diperlukan adanya kata penghubung. Dengan kata penghubung
ini, kalimat-kalimat menjadi menyatu dan mengalir dengan lebih baik. Ibarat
mobil, maju dan lajunya menjadi lebih halus dan lancar.
Perhatikan contoh di bawah ini:
“Terdapat dua tipe integrasi perizinan, yang keduanya diharapkan oleh
UU No. 32 Tahun 2009 yaitu integrasi izin yang bersifat internal,
dalam arti izin- izin pengelolaan lingkungan disatukan menjadi izin
lingkungan, yang lazim disebut dengan integrasi izin, dan integrasi
eksternal, dalam arti integrasi izin usaha dengan izin lingkungan, yang
lazim disebut dengan izin berantai yang oleh ahli hukum Indonesia
dianggap sebagai sistem izin yang berasal dari Belanda, yaitu ketting
verguning, di mana izin lingkungan dijadikan syarat dari izin usaha,
dan apabila izin lingkungan dicabut, maka izin usaha menjadi tercabut
pula atau menjadi batal demi hukum.”

Paragraf di atas nyaris tidak dapat dipahami. Kalimat-kalimat yang


disampaikan terlalu panjang, dan tidak memiliki satu kerangka berpikir yang
sama. Selain itu, paragraf di atas juga buruk karena menurut kebiasaan,
sebuah paragraf terdiri lebih dari satu kalimat.
Untuk memperbaiki paragraf di atas, maka kalimat yang ada harus
dipecah menjadi kalimat-kalimat pendek. Agar kalimat-kalimat pendek tersebut
dapat memiliki keterkaitan satu-sama lain, sehingga dapat mengalir dengan
lebih baik, maka perlu pula digunakan kata-kata penghubung. Dalam kutipan
di bawah ini, kata penghubung ditulis dengan garis bawah:
“Sedianya, UU No. 32 Tahun 2009 diharapkan memuat dua tipe
integrasi perizinan. Pertama, adalah integrasi izin yang bersifat
internal, dalam arti izin-izin pengelolaan lingkungan disatukan menjadi
izin lingkungan. Hal ini lazimnya disebut dengan integrasi izin. Kedua,
integrasi eksternal, dalam arti integrasi izin usaha dengan izin
lingkungan. Hal ini lazimnya disebut dengan izin berantai. Dalam hal
ini, izin lingkungan dijadikan syarat dari izin usaha, dan apabila izin
lingkungan dicabut, maka izin usaha menjadi tercabut pula atau
menjadi batal demi hukum. Terkait izin berantai ini, ahli hukum
Indonesia beranggapan bahwa sistem izin berantai ini berasal dari
Belanda, sehingga seringkali sistem ini disebut dengan ketting
verguning, yang artinya izin berantai—[garis bawah adalah kata
penghubung].”

99
Ibid., hlm. 13.
494 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Pemilihan kata penghubung yang tepat membutuhkan kemahiran yang


terasah oleh latihan. Namun demikian, untuk membantu pemilihan kata
penghubung ini, beberapa buku menyediakan daftar kata penghubung. Untuk
tulisan berbahasa Inggris, kumpulan kata/frasa penghubung dapat ditemukan
pada buku yang ditulis Ryan Deane.100
Koherensi sebuah artikel ditandai dengan kesatuan (unity) dan
keterkaitan (cohesion) antara satu kalimat dengan kalimat lainnya, antara satu
paragraf dengan paragraf lainnya, dan antara satu bagian dengan bagian
lainnya. Dalam hal ini, elemen- elemen dari satu artikel harus disusun dalam
kesatuan yang saling mendukung.
Paragraf hanya memuat satu pokok pikiran. Setiap paragraf dimulai
oleh kalimat utama, atau disebut juga topic/thesis sentence, yang memuat
pokok pikiran. Kalimat-kalimat lainnya di dalam paragraf tersebut adalah
kalimat pendukung, yang bertugas menjelaskan atau mendiskusikan kalimat
utama.101 Koherensi dibangun dengan membuat kalimat-kalimat di dalam
paragraf terkait dengan kalimat utama. Paragraf diakhiri dengan konfirmasi
atas kalimat utama, atau dengan penjelasan tentang keterkaitan paragraf
dengan gagasan artikel dan permasalahan. 102 Paragraf dapat pula diakhir
dengan sebuah kalimat penghubung.
Guna membangun koherensi dan alur cerita yang baik, maka perlu ada
jalinan antara satu paragraf atau bagian dengan paragraf atau bagian lainnya.
Untuk itu, di antara paragraf yang satu dengan yang lain seringkali perlu
disambungkan dengan kalimat penghubung. Kalimat penghubung ini biasanya
ditulis sebagai kalimat terakhir dari sebuah paragraf. Sedangkan untuk
mengaitkan satu bagian dengan bagian lainnya, kadang kala perlu dibuat pula
paragraf penghubung, yang biasanya terletak pada paragraf paling awal atau
terakhir akhir dari sebuah bagian (subbab). Paragraf ini dapat berisi
rangkuman dari apa yang telah dibahas dan apa yang akan dibahas
selanjutnya.

V. CATATAN PENUTUP

Di Indonesia tidak terdapat standar yang seragam mengenai struktur,


gaya selingkung, model penulisan rujukan, dan sampai panjang halaman dari
artikel hukum. Akibatnya, beberapa jurnal mengikuti aturan penulisan yang
mirip dengan jurnal ilmu sosial. Hal ini pada gilirannya menjadikan bentuk dan
gaya (style) dari artikel-artikel hukum di Indonesia berbeda dengan artikel-
artikel pada jurnal hukum di luar negeri.
Tulisan ini menganggap bahwa publikasi di dalam jurnal di Indonesia
sesungguhnya memiliki manfaat yang lebih besar untuk perkembangan hukum
Indonesia, dibandingkan dengan publikasi dalam jurnal terindeks scopus.
Namun demikian, tulisan ini menyadari bahwa kebiasaan penulisan artikel
hukum di Indonesia, yang dipaparkan di atas, perlu segera dihentikan.
Kebiasaan tersebut hanya menyebabkan artikel tersebut memiliki kualitas
yang tidak terlalu baik.
Karena itu, para pengajar metode penelitian hukum dan para pengelola
jurnal hukum perlu segera duduk bersama dan mencapai kesepakatan
mengenai muatan dan

100
Ryan Deane, Make Your Writing Flow: A Practical Guide to Transitional Words and
Phrases
(Create Space Independent Publishing Platform, 2015).
101
Untuk diskusi lebih jauh tentang penyusunan paragraf, lihat: E. Scott Fruehwald,
Legal Writing Exercises: A Practical Guide to Clear and Persuasive Writing for Lawyers (ABA
Publishing, 2014), hlm. 105-108.
494 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Buku Komposisi sangat penting untuk diperhatikan karena buku ini juga
mengungkapkan bagaimana menyusun paragraf yang baik dan apa saja variasi penyusunan
paragraf. Lihat: Gorys Keraf, Komposisi, Cet. 8 (Jakarta: Penerbit Nusa Indah, 2016), hlm. 62-
105.
102
Lisa Webley, op cit., hlm. 25-26.
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 495
Wibisana

gaya bagi penulisan artikel hukum di Indonesia, sehingga artikel di Indonesia


memiliki kualitas yang tidak berbeda dengan artikel yang dimuat di dalam
jurnal-jurnal hukum di negara lain. Sebuah artikel yang cemerlang tetaplah
akan cemerlang, tanpa peduli apakah artikel tersebut ditulis dalam Bahasa
Indonesia atau bahasa lain. Jika sudah demikian, dapatlah kita berharap
bahwa jurnal-jurnal hukum Indonesia menjadi jurnal bergengsi, yang berisi
perdebatan mutakhir dan bernas, bukan hanya dari para penulis Indonesia
tetapi juga dari para sarjana di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, “OSCOLA: Oxford University Standard for the Citation of Legal


Authorities”, 4th ed., Faculty of Law, University of Oxford, tersedia
pada:
<https://www.law.ox.ac.uk/sites/files/oxlaw/oscola_4th_edn_hart_2012.
pdf> Anonymous, The Bluebook: A Uniform System of Citation, 19th Ed. (The
Harvard Law
Review Association, 2010).
Abrams, Douglas E. “Writing It Right: Writing in Law Reviews, Bar Association
Journals, and Blogs (Part 1)”. Journal of the Missouri Bar, Vol. 72
(2016).
Abrams, Douglas E. “Writing It Right: Long Ideas, Short Words”. Journal of the
Missouri Bar, Vol. 72 (2016).
Bolles, Emily. “Introductions and Conclusions for Scholarly Papers”, The Writing
Center at Georgetown University Law Center, 2015, tersedia pada:
<https://www.law.georgetown.edu/academics/academic-
programs/legal- writing-scholarship/writing-center/upload/Bolles-
Introductions-and- Conclusions-for-Scholarly-Papers.pdf>, diakses
pada Februari 2018, hlm. 3.
Bradford, C. Steven. “As I Lay Writing: How to Write Law Review Articles for
Fun and Profit: A Law-and-Economics, Critical, Hermeneutical, Policy
Approach and Lots of Other Stuff That Thousands of Readers Will
Find Really Interesting and Therefore You Ought to Publish in Your
Prestigious, Top- Ten, Totally Excellent Law Review”. Journal of Legal
Education, Vol. 44 (1994).
Case, David W. “Changing Corporate Behavior Through Environmental
Management Systems”. William and Mary Environmental Law and
Policy Review, Vol. 31 (2006).
Deane, Ryan. Make Your Writing Flow: A Practical Guide to Transitional
Words and Phrases (CreateSpace Independent Publishing Platform,
2015).
Delgado, Richard. “How to Write a Law Review Article”. University of San
Francisco Law Review, Vol 20 (1986).
Fruehwald, E. Scott. Legal Writing Exercises: A Practical Guide to Clear and
Persuasive Writing for Lawyers (ABA Publishing, 2014).
Gunningham, Neil. “Environment Law, Regulation and Governance: Shifting
Architectures”. Journal of Environmental Law, Vol. 21:2 (2009).
Heinzerling, Lisa. “Knowing Killing and Environmental Law”. NYU
Environmental Law Journal, Vol. 16 (2006).
Jacobson, M.H. Sam. “The Legal Writer: What's Your Point? Tips For Writing
Clearly”. Oregon State Bar Bulletin, Vol. 71 (2011).
Keraf, Gorys. Komposisi, Cet. 8. Jakarta: Penerbit Nusa Indah, 2016.
Kimble, Joseph. “Tips for Better Writing in Law Reviews (and Other Journals)”,
Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan 495
Wibisana Thomas M. Cooley Law Review, Vol. 30 (2013).
496 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Kysar, Douglas A. “What Climate Change Can Do about Tort Law”.


Environmental Law, Vol. 41 (2011).
Lebovits, Gerald. “Academic Legal Writing: How to Write and Publish”. New
York State Bar Association Journal, Vol. 78:1 (2006).
Lebovits, Gerald. “Legal-Writing Myths”. The Scribes Journal of Legal Writing,
Vol.
16 (2014).
Madison, Michael J. “The Lawyer as Legal Scholar”, University of Pittsburgh
Law Review, Vol. 65 (2003).
Maggio, G.F. “Inter/intra-generational Equity: Current Applications under
International Law for Promoting the Sustainable Development of
Natural Resources”. Buffalo Environmental Law Journal, Vol. 4 (1997).
Marong, Alhaji B.M. “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of
International Legal Norms in Sustainable Development”. Georgetown
International Environmental Law Review, Vol. 16 (2003).
Mikva, Honorable Abner J. “Law Reviews, Judicial Opinions, and Their
Relationship to Writing”. Stetson Law Review, Vol. XXX (2000).
Motro, Shari. “The Three-Act Argument: How to Write a Law Article that Reads
Like a Good Story”. Journal of Legal Education, Vol. 64 (2015)
Osbeck, Mark K. “What Is “Good Legal Writing” and Why Does It Matter?”.
Drexel Law Review, Vol. 4 (2012).
Posner, Eric dan Cass R. Sunstein, “Dollars and Death”. University of Chicago
Law Review, Vol. 72 (2005).
Robson, Ruthann. “Law Students as Legal Scholars: An Essay/Review of
Scholarly Writing for Law Students and Academic Legal Writing”. City
University of New York Law Review, Vol. 7:1 (2004).
Rowe, Suzanne E. “The Legal Writer: Keep It Simple: ‘Short and Sweet’ Brings
Clarity to Legal Writing”. Oregon State Bar Bulletin, Vol. 68 (2008).
Samuelson, Pamela. “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes”.
University of Pittsburgh Law Review, Vol. 46 (1984).
Schwarcz, Daniel. “Shame, Stigma, and Crime: Evaluating the Efficacy of
Shaming Sanctions in Criminal Law”. Harvard Law Review, Vol. 116:7
(May, 2003).
Siems, Mathias M. “Legal Originality”. Oxford Journal of Legal Studies, Vol.
28:1 (2008).
Smits, Jan M. The Mind and Method of the Legal Academic (Cheltenham, UK:
Edward Elgar, 2012).
Sternberg, David. How to Complete and Survive a Doctoral Dissertation. New
York: St. Martin’s Press, 1981.
Stewart, Richard B. “A New Generation of Environmental Regulation?”. Capital
University Law Review, Vol. 29 (2001)
Volokh, Eugene. “Writing a Student Article” Journal of Legal Education, Vol.
48:2 (June 1998).
Volokh, Eugene. Academic Legal Writing: Law Review Articles, Student Notes,
Seminar Papers, and Getting on Law Review, 3rd ed. New York:
Foundation Press, 2007.
Webley, Lisa. Legal Writing, 4th ed. London: Routledge, 2016.
Weinrib, Ernest J. “Civil Recourse and Corrective Justice”. Florida State
University Law Review, Vol 39 (2011).

You might also like