Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

NILAI KEARIFAN LOKAL, MORAL DAN ETIKA DALAM POTENSI

WHISTLEBLOWING PENGELOLAAN DANA DESA

Katarina Dwi Utami1, Intiyas Utami2 dan Aprina Nugrahesthy Sulistya Hapsari3

1Program Studi Akuntansi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga
Email: 232013297@student.uksw.edu
2 Program Studi Akuntansi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga

Email: intiyas@staff.uksw.edu
3 Program Studi Akuntansi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga

Email: esthy@staff.uksw.edu

ABSTRACT

This study aimed to find out the potential of doing whistleblowing in village government offices and
the factors which influenced somebody to do whistleblowing in Bringin Village, Disctric of Bringin,
Semarang Regency. The method used in this study was qualitative which focused on descriptive
approach in which sequential technique was used to gather the data. The result of this study showed
that first, the local wisdoms were the underlying reasons of the citizens courage to do whistleblowing
because they felt responsible in building their village and got rid of the bad things which might happen
to their village. Second, there was benevolence ethical climate in that village in which the government
officials nurtured the society awareness by giving explanation about the effects to the society if there
was village fund wrongdoing. This was supported by the moral intensity in which the society always
tried to maintain good moral by nurturing the awareness of the importance of revealing fraud for the
sake of the society wellbeing. Third, the principle ethical climate used by the government officials
nurtured the society courage to do whistleblowing by showing the sanctions of the village fund
wrongdoing which would affect all part of society and also the steps taken by the government
officials regarding the case of village fund wrongdoing.
Keywords : whistleblowing, local wisdom, moral intensity, ethical climate

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pelaksanaan whistleblowing pada pemerintah
desa dan mengetahui faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan whistlebowing.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Metode
penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan metode deskriptif kualitatif dengan
teknik pengumpulan data yaitu teknik sequential. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
pertama, nilai kearifan lokal mendasari keberanian masyarakat untuk melakukan whistleblowing
karena masyarakat memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun desa dan mengusir hal
buruk yang dapat berimbas bagi seluruh warga desa. Kedua, adanya iklim etika-benevolence
dimana perangkat desa menumbuhkan kesadaran masyarakat dengan cara memberikan
penyuluhan mengenai dampak yang ditanggung seluruh warga desa jika terjadi penyalahgunaan
dana desa. Hal ini juga didukung dengan adanya intensitas moral sehingga masyarakat selalu
berusaha bermoral baik dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengungkapan
kecurangan demi kepentingan bersama. Ketiga, dengan iklim etika-principle perangkat desa
menumbuhkan keberanian masyarakat dengan memberikan penyuluhan terkait sanksi
penyalahgunaan dana desa yang berimbas bagi seluruh masyarakat desa dan tindak lanjut yang
dilakukan perangkat desa dalam menangani kasus penyalahgunaan dana desa.
Kata kunci: whistleblowing, kearifan lokal, intensitas moral, iklim etika

1
Pendahuluan
Dana desa merupakan dana yang bersumber dari APBN yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan (infrastuktur, kesehatan, pendidikan
dan ekonomi), pembinaan masyarakat desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Pelaksanaan dan
pengelolaan dana desa diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 (Indonesia,
2014a). Pelaksanaan dan pengelolaan dana desa dengan baik diharapkan akan makin
mempercepat pembangunan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terbukti
dengan adanya pembangunan infrastruktur di beberapa desa Kabupaten Semarang. Sebagai
contoh adalah pembangunan jamban sehat pada 30 desa di Kabupaten Semarang (Junaedi, 2016);
diresmikannya lapangan desa dengan fasilitas yang memadai seperti adanya drainase yang baik,
peninggian lapangan dan pembuatan taman di Kecamatan Bancak, Kab. Semarang (Hermansyah,
2016); pembangunan bak penampung sumber air terkait penanganan bencana longsor di desa
Sepakung, Banyubiru (Ranin, 2016); dan pembangunan jalan darurat di dusun Bungkah, Desa
Sepakung (Setiawan, 2016).
Fenomena yang marak terjadi belakangan ini adalah tindakan penyalahgunaan pengelolaan
dana desa, sebagai contoh adalah kasus kecurangan pengelolaan dana desa di Kabupaten
Semarang sudah banyak dimuat di media massa, seperti terungkapnya 30 kasus korupsi oleh
Pengadilan Tipikor Semarang yang menyeret para penyelenggara pemerintah desa dan dari 30
kasus korupsi yang ditangani oleh Pengadilan Tipikor Semarang, terdapat 6 kasus korupsi
pengelolaan dana desa yaitu di Desa Popongan Kec. Bringin, Desa Tegalwaton Kec. Tengaran, Desa
Jatirunggo Kec. Pringapus, Desa Kebonagung Kec. Sumowono, Desa Rowoboni Kec. Banyubiru dan
di Desa Dadapayam, Kec Susukan (Senjaya, 2014). Kasus penyalahgunaan dana desa oleh mantan
Kepala Desa dan Sekretaris terjadi di Desa Popongan yang menggunakan dana desa tidak sesuai
dengan semestinya dan merugikan negara sebesar Rp103 juta. Kasus serupa mengenai korupsi
penggunaan dana desa yang menyeret Kepala Desa Milir, Kec. Bandungan, akibatnya pemerintah
mengalami kerugian sebesar Rp67,5 juta. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan dan
pengelolaan dana desa dibutuhkan pengawasan yang baik dari pemerintah, mengingat bahwa
tujuan utama dari pemberian dana desa adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat
desa.
Banyaknya tindak penyalahgunaan pengelolaan dana desa berakibat kepercayaan
masyarakat menurun, sehingga pemerintah berupaya untuk mengurangi tingkat penyalahgunaan
dana desa dengan melakukan pengawasan dan menyediakan sistem yang mampu menampung
pelaporan masyarakat terhadap penggunaan dana desa atau yang biasa disebut whistleblowing
system. Whistleblowing system memungkinkan penyalahgunaan wewenang dapat dengan cepat
diidentifikasi dan dikoreksi sehingga bisa meningkatkan efisiensi, meningkatkan moral pegawai,
menghindari tuntutan hukum, dan menghindari citra negatif (Graham, Miceli, & Near, 1993). Hal
ini didukung dengan peran pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Bina
Pemerintah Desa) yang telah menyediakan website bagi whistleblower untuk melaporkan jika
memiliki informasi atau mengetehaui adanya tindak penyimpangan pengelolaan dana desa.
Website tersebut bisa diakses melalui laman resmi Whistleblowing System Kementrian Keuangan
dan website LAPOR (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat). Aturan terkait
whistleblowing telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (Indonesia, 2014b) . Undang-undang ini merupakan perubahan
atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang mengatur tentang perlindungan saksi dan
korban dan selanjutnya hanya disebut sebagai “pengungkap fakta” (Mulyadi, 2014).
Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Indonesia, 2014) menyebutkan bahwa
perangkat desa dan pihak yang berkepentingan berhak untuk mengurus dan menentukan
pembangunan desa yang dijalankan sesuai dengan asas kearifan lokal suatu desa. Kearifan lokal
memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan tradisional pada sebuah desa, dan dalam
kearifan lokal tersebut banyak mengandung suatu pandangan maupun aturan agar masyarakat
lebih memiliki pijakan dalam menentukan suatu tindakan seperti perilaku masyarakat sehari-hari.
Nilai kearifan lokal yang diajarkan secara turun-temurun merupakan kebudayaan yang patut
dijaga dan dapat dijadikan aset apabila dikelola dengan optimal. Nilai kearifan lokal dapat dilihat
dari beberapa sisi yaitu dari sisi budaya, sisi adat istiadat, sisi agama, sisi keyakinan, sisi
pariwisata maupun dari sisi substansi pemerintahan yang berupa gotong royong, kebersamaan,
kekeluargaan, musyawarah dan kemandirian. Desa Bringin, salah satu desa di Kabupaten
Semarang, Propinsi Jawa Tengah masih sangat kental dengan adat dan filosofi kehidupan yang
diwariskan leluhur sebagai bentuk nilai kearifan lokal yang menjadi jati diri dari desa tersebut.
2
Dalam mengambil keputusan etis, seseorang akan memutuskannya berdasarkan persepsi
nilai, norma dan aturan yang berlaku di suatu wilayah atau yang biasa disebut iklim etika.(Ahmad,
Yunos, Ahmad, & Sanusi, 2014) mendefinisikan iklim etika sebagai dimensi etis yang mampu
memberikan gambaran budaya organisasi. Seseorang yang melakukan keputusan etis berdasarkan
iklim etika mempunyai kesadaran baik dan buruk atas keputusan yang mereka buat. Menurut
(Victor & Cullen, 1988), iklim etika terdiri dari 3 indikator yaitu egoism, principle dan benevolence.
Iklim etika egoism, sebagian masyarakat masih memiliki rasa takut dan sungkan mengungkapkan
penyalahgunaan dana desa. Rasa takut dan sungkan ini timbul jika pihak yang melakukan
penyalahgunaan adalah kerabat atau sahabatnya dan pengungkapan penyalahgunaan tersebut
dapat berimbas pada hubungan persaudaraan ataupun pada posisinya sebagai perangkat desa.
Salah satu cara untuk menumbuhkan keberanian dan moral yang baik ditengah masyarakat
dalam melakukan whistleblowing adalah dengan memberikan penyuluhan yang dapat
membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengawasan dan pengungkapan
penyalahgunaan dana desa. Iklim etika benevolence merupakan kesadaran dalam diri individu
untuk melakukan yang terbaik demi kesejahteraan bersama dan tidak membenarkan adanya
tindakan yang memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Nilai kearifan lokal yang ada di Desa
Bringin memberikan gambaran bahwa masyarakat bersyukur atas kekayaan alam yang ada,
berusaha membangun desa demi kesejahteraan masyarakat serta memerangi hal negatif yang
dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat (korupsi, penyalahgunaan wewenang).
Iklim etika principle, pemerintah telah membuat peraturan mengenai aturan pencairan dana
desa, penentuan pembangunan prioritas, pelaporan penggunaan dana desa serta sanksi yang
diberikan bagi desa yang menyalahgunakan dana pembangunan. Sanksi yang diberikan bagi desa
yang melakukan penyalahgunaan dana desa adalah penundaan pencairan dana pada tahap
selanjutnya atau sampai laporan penggunaan dana desa selesai dibuat sesuai dengan standar
pembangunan yang telah ditetapkan dalam MUSRENBANGDES. Sanksi yang diberikan oleh
pemerintah ini berimbas bagi seluruh masyarakat desa. Dengan adanya penyuluhan tentang
dampak dan dukungan yang diberikan oleh perangkat desa, masyarakat diharapkan untuk berani
mengungkapkan penyalahgunaan dana desa sejak dini agar dapat diselesaikan dengan cara
kekeluargaan tanpa melibatkan pemerintah.
Penelitian-penelitian sebelumnya tentang whistleblowing banyak membahas tentang faktor
yang mempengaruhi seseorang menjadi whistleblower. Penelitian terkait intensi karyawan
pemerintahan dalam melakukan whistleblowing ini dilakukan oleh (Alam, 2013) serta (Noviani &
Sambharakreshna, 2014). (Alam, 2013) menyatakan bahwa whistleblowing berpotensi dalam
mengurangi tindak kecurangan yang terjadi di Pemerintahan Kota Malang. Hasil penelitian
tersebut konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh (Noviani & Sambharakreshna, 2014)
yaitu whistleblowing berpengaruh signifikan terhadap pencegahan kecurangan dalam organisasi
pemerintahan. Sementara itu penelitian terkait intensitas moral dan whistleblowing dilakukan oleh
(Zanaria, 2013) yang menyatakan bahwa intensitas moral berpengaruh positif terhadap niat
melakukan whistleblowing. Penelitian sejalan dilakukan oleh (Kreshastuti & Prastiwi, 2014) yang
menyatakan bahwa intensitas moral berpengaruh terhadap tindakan auditor untuk melakukan
whistleblowing. Penelitian yang dilakukan oleh (Chen & Lai, 2011);(Taylor & Curtis, 2010);
(Shawver, 2011) juga membuktikan intensitas moral berpengaruh terhadap niat pelaporan. Hasil
yang berbanding terbalik ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh (Gandamihardja,
Gunawan, & Maemunah, 2016) yang memperoleh hasil bahwa intensitas moral berpengaruh
negatif terhadap intensi auditor internal dalam melakukan whistleblowing.
Penelitian mengenai iklim etika dilakukan oleh (Huang, Lo, & Wu, 2013);(Rothwell & Baldwin,
2006); (Victor & Cullen, 1988) dengan objek penelitian yang bervariasi. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh (Setyawati, Ardiyani, & Sutrisno, 2015) menunjukkan bahwa iklim etika–egoism
dan iklim etika-benevolence tidak berpengaruh signifikan terhadap niat untuk melakukan
whistleblowing internal. Namun iklim etika-principle berpengaruh positif terhadap niat melakukan
whistleblowing internal. (Huang et al., 2013) menyimpulkan bahwa iklim etika berpengaruh
terhadap niat seseorang melakukan whistleblowing. Berbanding terbalik dengan penelitian yang
dilakukan (Rothwell & Baldwin, 2006) yang menyatakan bahwa iklim etika tidak mampu
memprediksi niat mengungkapkan whistleblowing.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi penerapan whistleblowing dalam
pengelolaan dana desa terkait adanya nilai kearifan lokal, iklim etika dan intensitas moral pada
perangkat desa. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai nilai
3
kearifan lokal, iklim etika dan intensitas moral dalam ruang lingkup pemerintahan desa yang dapat
menimbulkan niat melakukan whistleblowing. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
masukan kepada pemerintah dalam melakukan sosialisasi website pelaporan tindak kecurangan
dana desa dan tindaklanjut terhadap pelaporan tindak kecurangan. Informan dalam penelitian ini
adalah perangkat desa pada pemerintahan Kabupaten Semarang, khususnya Kecamatan Bringin.
Kearifan lokal

Menurut (Rahyono, 2009) kearifan lokal adalah kecerdasan manusia yang dimiliki oleh
kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat, artinya kearifan lokal
adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh
masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan
nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat
tersebut. (Wandansari, 2015) mendefinisikan kearifan lokal sebagai nilai-nilai positif yang tumbuh
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat desa
dapat mempengaruhi keberhasilan pembangunan desa jika digunakan dengan maksimal (Tiza,
Hakim, & Haryono, 2014). (Juniarta, Susilo, & Primyastanto, 2013) menyatakan bahwa kearifan
lokal merupakan tata nilai kehidupan yang telah diwariskan oleh leluhur berbentuk agama, budaya
ataupun adat istiadat yang berbentuk lisan dalam sistem sosial masyarakat.
Good governance perlu diwujudkan salah satunya dengan efektivitas komunikasi antara
pemerintah dengan masyarakat, dan hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan
lokal masyarakat dalam praktek pemerintahan. Sebagai instansi yang paling memungkinkan
untuk mengakomodasi segala kebutuhan masyarakat dari bawah, maka pemerintah adalah pihak
yang sangat tepat untuk mempraktekkan kearifan lokal dalam pelaksanaan pemerintahan. Dari
sisi substansi pemerintahan, perangkat desa memiliki nilai kearifan lokal seperti gotong royong,
kebersamaan, kekeluargaan, musyawarah, kemandirian, kemandirian, tenggang rasa. Nilai
kearifan lokal inilah yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan bagi perangkat desa.
Whistleblowing

Whistleblowing menurut Komite Nasional Kebijakan Governance di dalam Pedoman Sistem


Pelaporan Pelanggaran (Governance, 2008) adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau
pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau
perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan
oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat
mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Whistleblowing merupakan sebuah proses yang
melibatkan faktor-faktor pribadi dan budaya organisasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh (MICELI & NEAR, 1988), tipikal yang berkecenderungan melakukan whistleblowing adalah
orang yang menduduki jabatan profesional, mempunyai reaksi positif terhadap pekerjaannya, lebih
lama melayani (lama bekerja, usia dan jumlah tahun sampai pensiun).
Terdapat dua tipe whistleblowing, pertama whistleblowing internal yang terjadi ketika
seorang atau beberapa orang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh karyawan
lain atau kepala bagiannya, kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada pimpinan
perusahaan yang lebih tinggi. Kedua, whistleblowing eksternal yang terjadi ketika seorang
karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannya lalu membocorkan kepada
masyarakat karena dia tahu bahwa kecurangan tersebut akan merugikan masyarakat.
(Park & Blenkinsopp, 2009) menyatakan bahwa niat melakukan whistleblowing adalah
sejauh mana individu mengevaluasi keuntungan dan kerugian yang ia yakini jika melakukan
whistleblowing. Untuk menjadi whistleblower seseorang harus memiliki keyakinan, bahwa
whistleblowing memberikan dampak positif bagi semua orang. Penelitian ini menggunakan 4
indikator terkait whistleblowing, yaitu keaktifan melaporkan pelanggaran, pertimbangan resiko
dan keinginan menjadi whistleblower.
Iklim etika
Iklim etika merupakan salah satu aspek dalam suatu organisasi yang menjelaskan tentang
persepsi norma, nilai dan perilaku yang berlaku dalam sebuah organisasi. Iklim etika tidak hanya
membantu individu menentukan perilaku yang dapat diterima dalam organisasi, tetapi juga
memiliki pengaruh pada moralitas anggotanya (Victor & Cullen, 1988). Iklim etika mendiskripsikan
dari nilai-nilai dan tanggungjawab karyawan atas perilaku dalam organisasi (Simha & Cullen,
2012).

4
(Victor & Cullen, 1988) membuat framework yang terdiri dari dua model dimensi dari tipe
iklim etika, yaitu filsafat etika dan teori sosiologi. (Victor & Cullen, 1988) menjabarkan indikator
iklim etika menurut filsafat etika seperti pada Tabel 1.

DAFTAR TABEL Tabel 1.Indikator Kriteria Iklim Etika


Kriteria Etika Indikator Analisis

Individual Local Cosmopolitan


Egoism Self-interest Self Profit
Benevolence Friendship Social Responsibility
Principle Personal Rule, Standard Operating Laws, Professional
Morality Procedures Codes

(Ahmad et al., 2014) menyatakan bahwa dimensi etika mencakup 3 kriteria, yaitu egoism,
kebajikan dan prinsip. Egoism mengacu pada perilaku yang berkaitan dengan kepentingan diri
sendiri. Kebajikan merupakan keputusan dan tindakan yang diambil untuk menghasilkan
kebaikan untuk semua orang. Prinsip berhubungan dengan keputusan yang dibuat dan tindakan
yang diambil sesuai dengan undang-undang, peraturan, kode etik dan prosedur. Iklim etika
cenderung mampu mendorong perilaku yang menghasilkan hal yang positif bagi orang lain.
Intensitas moral
(Kreshastuti & Prastiwi, 2014) menyatakan bahwa intensitas moral merupakan sebuah unsur
yang mencakup karakteristik terkait dengan isu moral utama yang akan mempengaruhi persepsi
individu. (Jones, 1991) menyatakan bahwa perilaku etis seseorang bergantung pada keputusan
moral yang diambil. (Novius & Arifin, 2011) melakukan identifikasi bahwa intensitas moral dapat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan seseorang dengan tingkat intensitas moral yang
bervariasi.
Penelitian ini menggunakan 2 elemen intensitas moral (Jones, 1991) yaitu besaran
konsekuensi dan konsensus sosial. Besaran konsekuensi didefinisikan sebagai jumlah kerugian
yang dihasilkan dari sebuah tindakan moral, sedangkan konsensus sosial didefinisikan sebagai
tingkat kesepakatan sosial bahwa sebuah tindakan dianggap jahat atau baik.

Metoda Penelitian

Penelitian ini akan melihat fenomena nilai-nilai kearifan lokal, intesitas moral dan iklim etika
dapat menimbulkan potensi dalam mengungkap penyalahgunaan dana desa, sehingga metoda
penelitian yang dipilih adalah metoda kualitatif. Metoda penelitian kualitatif digunakan untuk
mengulas nilai kearifan lokal, intensitas moral dan iklim etika pada pemerintah desa. Penelitian
ini menggunakan metoda analisis deskriptif yaitu metoda yang digunakan untuk menggambarkan
atau menganalisis hasil penelitian. Penggunaan metoda deskriptif kualitatif digunakan untuk
menggambarkan fenomena objek dan kondisi yang terjadi.
Informan dalam penelitian ini adalah perangkat desa yang menangani pengelolaan keuangan
dana desa di Desa Bringin, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Penentuan informan
dilakukan dengan teknik sequential yaitu tidak ada batasan dalam pemilihan informan, jumlah
informan akan bertambah sampai informasi yang didapatkan sudah tidak dapat dikembangkan
dan informan sudah mencapai titik jenuh (Neuman, 2014).
Penelitian ini mengumpulkan data secara terbuka dengan metoda wawancara. Pertanyaan
yang digunakan sebagai acuan dapat berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan.
Teknik pengumpulan data dimulai dengan melakukan wawancara dengan informan. Penelitian ini
menggunakan teknik wawancara semi-terstruktur dengan pertanyaan bersifat fleksibel sesuai
dengan keadaan yang ada di lapangan yang bertujuan mengumpulkan informasi mengenai niat
melakukan whistleblowing. Hasil dari wawancara akan di analisis dan disimpulkan menurut
jawaban dari informan.

5
Hasil dan Pembahasan

Pengelolaan dana desa

Pemerintah akan memberikan pencairan dana desa dengan syarat perangkat desa sudah
menentukan pembangunan prioritas pada tahun selanjutnya melalui MUSRENBANGDES
(Musyawarah Rencana Pembangunan Desa). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2014 (Indonesia, 2014), MUSRENBANGDES ini diikuti oleh perangkat desa, perwakilan
masyarakat (RT/RW), tokoh agama, tokoh masyarakat, LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat
Desa) dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Dalam musyawarah ini tiap dusun diberi
kesempatan untuk mengajukan usulan pembangunan di dusunnya. Dana desa ini digunakan
untuk melakukan pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Kecamatan
Bringin, khususnya pada Desa Bringin menggunakan dana desa untuk pembangunan fisik (jalan,
saluran irigasi, talut, pembangunan gedung PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), bantuan untuk
siswa kurang mampu, bantuan untuk lansia, bantuan makanan balita di Posyandu, bantuan
jamban sehat pada keluarga kurang mampu, bantuan untuk rumah tidak layak huni. Perangkat
desa menentukan prioritas pembangunan berdasarkan tingkat kerusakan dan tingkat kebutuhan
masyarakat. Dengan adanya musyawarah yang diadakan perangkat desa beserta masyarakat,
dapat menanggulangi kesalahpahaman antar masyarakat terkait pembangunan yang
diprioritaskan atau terdapat toleransi pada tiap masyarakat desa terkait pembangunan prioritas
yang disetujui. Hal ini sesuai dengan jawaban yang diutarakan oleh Bapak IY dan Bapak IS:
“Untuk rencana pembangunan sendiri sih kami akan melakukan MUSRENBANGDES mbak, atau
Musyawarah Rencana Pembangunan Desa. Biasanya diikuti oleh Perangkat desa, Masyarakat
(RT/RW), Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) dan BPD
(Badan Permusyawaratan Desa. Musyawarah itu ditujukan untuk menentukan pembangunan yang
akan dilakukan.”
Bapak Is menambahkan:
“Setiap dusun diberi kesempatan untuk mengusulkan pembangunan desa, dalam
MUSRENBANGDES nanti akan dipilah-pilah berdasarkan tingkat kerusakan dan tingkat
mendesaknya kebutuhan masyarakat.”
Setelah bendahara desa menerima pencairan dana desa, tugas dari dusun yang menjadi
prioritas pembangunan tahun tersebut adalah membentuk panitia pembangunan. Panitia
pembangunan atau biasa disebut POKJA terdiri dari ketua, bendahara, sekretaris dan bagian
penghimpun masyarakat. Pembentukan POKJA ini diikuti oleh RT/RW, tokoh masyarakat dan
perangkat desa (kepala dusun). POKJA bertugas untuk melaksanakan pembangunan dan
membelanjakan dana yang diberikan oleh perangkat desa mengacu pada RAB yang telah
ditetapkan dalam MUSRENBANGDES. Selaras dengan hasil wawancara Bapak IS:
“Setelah dana desa itu cair nanti bendahara desa akan menghitung sesuai dengan RABnya mbak,
setelah sudah cocok langsung diserahkan ke POKJA agar mereka dapat segera membelanjakan dan
memulai pembangunan. POKJA itu tugase ya membelanjakan dana itu mbak buat kebutuhan
pembangunan. Untuk memantau penggunaan dana ya kita selalu minta bukti pembelian dan
membentuk TPK (tim pengawas kegiatan).”
Dalam melaksanakan pembangunan desa, masyarakat bergotong royong untuk
menyelesaikan proyek pembangunan secara cepat, karena pembangunan yang cenderung lamban
akan berdampak bagi pembangunan desa lainnya dan juga dapat menghambat pencairan dana
desa tahap selanjutnya. Kepala Desa membentuk sebuah tim untuk mengawasi pembangunan
yang biasa disebut TPK (Tim Pengawas Kegiatan) yang bertugas untuk mendorong masyarakat agar
cepat menyelesaikan pembangunan desa. Dukungan masyarakat juga diwujudkan dengan
memberikan bantuan berupa uang, tenaga, atau pun makanan. Hal ini didukung oleh kutipan
wawancara dengan Bapak IS:
“Saat pembangunan desa berlangsung gitu pasti ada pengawas dari perangkat desa sendiri mbak,
namanya TPK (Tim Pengawas Kegiatan). Itu biasanya diutus oleh Kepala Desa mbak, ada SKnya.
TPK ini bertugas untuk ngoyak-ngoyak pekerja ne mbak, soalnya kan kalau ndak selesai tepat waktu
ya pembangunan di dusun lain kan ndak bisa terlaksana, kan gitu. Kalo ndak selesai-selesai ya
gimana bikin SPJ nya? Kan ya itu juga menghambat pencairan dana tahap selanjutnya kan. Ya gitu
tu mbak, saling sambung renteng jadi ya kudu cepet le ngerjake, ben kabeh komanan.”

6
Saat merealisasikan pembangunan desa, perangkat desa sering menemukan masalah, baik
material maupun non material. Material, ketika mengalami kekurangan dana untuk menyediakan
makanan atau minuman bagi para POKJA atau untuk pembelian bahan bangunan. Selanjutnya
masyarakat akan bergotongroyong menyumbangkan uangnya untuk mencukupi kebutuhan dana
yang ada. Hal ini selaras dengan wawancara yang dilakukan dengan Ibu NY dan Bapak IS:
“Pembangunan fisik desa gitu itu tidak murni dari dana desa atau dana yang lain (ADD dan BHPDRD)
mbak, kalau cuma mengandalkan itu ya kurang. Biasanya ada swadaya masyarakat, biasanya
masyarakat menyumbangkan uangnya untuk sekedar membeli bahan untuk pembangunan maupun
bahan untuk menyediakan makanan untuk POKJA.”

Selama merealisasikan anggaran pembangunan desa ada kalanya terdapat sisa dana. Jika
ada sisa dana yang cukup besar akan digunakan untuk pengembangan proyek, dengan catatan
pengembangan tersebut harus sesuai dengan standar pembangunan fisik yang sudah disetujui
dalam MUSRENBANGDES. Hal ini sesuai dengan jawaban yang diutarakan oleh Bapak IS:

“Kalau ada sisa dana pembangunan itu biasanya dipakai untuk pengembangan mbak, tapi dengan
catatan pengembangan itu harus sesuai dengan standar yang udah ditetapkan dalam
MUSRENBANGDES. Kalau ada pengembangan tapi tidak sesuai dengan standar ya malah jadi
masalah mbak. Kalau ada pengembangan tapi tidak sesuai dengan standar yang ditentukan ya itu
yang jadi masalah”
Sebaliknya, jika terdapat sisa dana yang kecil maka akan dicatat dalam SPJ yang biasa
disebut SILPA. SILPA ini nantinya akan dikembalikan oleh perangkat desa ke kas negara (PP No
60 Tahun 2014). Pengembalian SILPA ini sesuai dengan pendapat Ibu NY:
“Ya kalau ada sisa ya harus dilaporkan mbak, mau cuma 100 rupiahpun ya harus dilaporkan, sisa
itu nantinya akan dikembalikan ke kas negara mbak ndak bisa dipake buat pembangunan desa
tahun berikutnya. Tahun berikutnya ya pakai dana yang cair di tahun depan.”
Perangkat desa memahami bahwa pelayanan masyarakat dan pembangunan desa
merupakan hal yang harus dilakukan secara maksimal. Perangkat desa sangat mengedepankan
kepentingan masyarakat, hal ini sesuai dengan visi Kantor Kepala Desa Bringin yaitu siap
mengabdi bagi masyarakat dan siap mendapat kritikan yang membangun. Oleh sebab itu
perangkat desa sangat tidak setuju jika terjadi pelanggaran peraturan atau penyalahgunaan dana
desa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan masyarakat dan
pembangunan desa. Hal ini didukung oleh kutipan wawancara dengan Bapak IY:

“Kami disini selalu berusaha memberikan yang terbaik buat masyarakat, ya dengan cara
memberikan pelayanan yang seoptimal mungkin, datang dalam acara mereka (posyandu, pkk, bersih
desa,dll) untuk menawarkan kritik dan saran yang membangun, memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengajukan pembangunan fisik yang dibutuhkan dan akan dibawa dalam
MUSRENBANGDES. Dalam hal transparansi kami juga selalu share penerimaan dana desa dan
memberikan rincian dipakai untuk apa saja. Ya jaga-jaga supaya masyarakat tidak bertanya-tanya.”
Perpindahan dana dari Bendahara Desa sampai akhirnya diterima oleh POKJA
membutuhkan pengawasan yang ketat. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk mempercepat
pembangunan desa dan untuk menanggulangi penyalahgunaan dana desa. Tidak hanya perangkat
desa yang melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana desa dan pembangunan desa,
pemerintah yang diwakili oleh BPD juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
pembangunan desa seperti yang termuat dalam UU No. 6 Tahun 2014 (55) (Indonesia, 2014). Hal
tersebut diperkuat dengan hasil wawancara dengan Bapak RM:
“Kalau pembangunan gitu tu ada yang ngawasi dan yang mendorong POKJA biar cepet selesai
pembangunane, biar bisa gantian sama dusun lain gitu. Tim itu diberi nama TPK (Tim Pengawas
Kegiatan) itu terdiri dari perangkat desa, tokoh masyarakat, BPD dan LKMD. Tim ini dibentuk
berdasar Surat Keputusan dari Kepala Desa mbak, jadi ndak sembarangan.”
Dalam hal akurasi dan konsistensi SPJ dan realisasi pembangunan, pemerintah yang
diwakili BKD melakukan pengawasan saat SPJ pembangunan desa sudah diselesaikan. BKD
ditugaskan untuk mengecek SPJ serta melakukan pengecekan terhadap hasil fisik bangunan. Hal
ini mengacu pada hasil wawancara yang dilakukan dengan Ibu NY:

7
“Kita ndak bisa main-main dalam menggunakan dana desa mbak, soalnya itu ada pengawasan dari
BKD, mereka selalu cek SPJ kami dan cek di lapangan juga mbak, kalau tidak sesuai standar ya
pasti akan dipertanyakan dan diselidiki. Kalau misal ternyata ada penyalahgunaan ya pasti bakal
di bawa ke ranah hukum mbak.”
Perangkat desa berpendapat bahwa penyalahgunaan dana desa adalah tindakan yang sangat
fatal, karena dapat menimbulkan dampak yang besar bagi masyarakat desa. Kepala desa selalu
menghimbau kepada perangkat desa dan masyarakat yang mengetahui penyalahgunaan dana desa
agar segera melaporkan pada kepala desa supaya dapat ditindaklanjuti secara kekeluargaan dalam
forum diskusi dengan perangkat desa lainnya.

Nilai-nilai kearifan lokal dan iklim etika pada niat melakukan whistleblowing
Desa Bringin di Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang merupakan wilayah yang masih
menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai leluhurnya. Nilai kearifan lokal yang dimaksud adalah
pertama, ritual popokan (lempar lumpur) merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat desa atas
keberhasilan pendiri desa yang dapat mengusir hal-hal yang dapat membahayakan masyarakat.
Kedua, nyadran kubur merupakan adat membersihkan makam kerabat sebelum bulan puasa yang
bertujuan untuk bersilaturahmi dengan kerabat yang sudah meninggal, adat ini diakhiri dengan
makan bersama (tumpengan). Dalam budaya nyadran kubur ini, masyarakat saling memberikan
rejeki kepada kaum janda dan orang yang tidak mampu dilingkungan tempat tinggalnya. Ketiga,
merti dusun (bersih desa) merupakan ungkapan rasa syukur, pengharapan dan juga kekeluargaan
(gotong royong, saling toleransi, guyub rukun). Ungkapan pengharapan ini ditujukan agar di masa
mendatang tidak ada hal buruk yang menaungi desa tersebut. Tradisi yang ada di Desa Bringin
mengajarkan sikap saling gotong royong, kekeluargaan, saling membantu dan sikap persaudaraan
antar masyarakat desa. Perangkat desa selalu mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta
mengawasi penggunaan dana tersebut agar tidak menghambat pembangunan desa, melaporkan
masalah yang terjadi saat pelaksanaan pembangunan serta ikut bergotong royong dalam
pembangunan desa agar dapat diselesaikan tepat waktu.
Perangkat desa, khususnya kepala desa memiliki tanggung jawab kepada pemerintah dalam
melaporkan penggunaan dana desa. Rasa tanggung jawab ini membuat kepala desa memberikan
himbauan kepada perangkat desa untuk membuat laporan pertanggungjawaban dengan baik dan
benar sesuai dengan pelaksanaan pembangunan desa. Dalam menjalankan pemerintahannya,
perangkat desa dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat desa baik dari segi
pelayanan masyarakat maupun dalam penggunaan dana desa. Kepala desa menghimbau bagi
perangkat desa agar mengedepankan kepentingan masyarakat terlebih dahulu dan meminimalisir
penyalahgunaan dana desa. Sebagai kepala pemerintahan di Desa Bringin, kepala desa juga
memberikan pendekatan kepada perangkat desa untuk ikut serta mengawasi penggunaan dana
desa dan melaporkan tindakan yang penyalahgunaan dana desa. Pendekatan yang dimaksud
adalah mengenai dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan dana desa yaitu perangkat desa
akan menjadi saksi kasus penyalahgunaan serta menimbulkan rasa saling curiga dan tidak
nyaman antar perangkat desa. Selain pendekatan mengenai dampak yang ditimbulkan, perangkat
desa juga memberikan pendekatan mengenai dukungan dan respon terkait pengungkapan
penyalahgunaan dana pembangunan desa. Partisipasi masyarakat ini diharapkan agar kasus
penyalahgunaan dana desa dapat diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu tanpa campur
tangan dari pemerintah (BPKP) sehingga tidak menghambat pembangunan desa.
Pendekatan dari perangkat desa terkait dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan dana
desa, pemberian dukungan dan solusi bagi penyalahgunaan dana desa serta keinginan masyarakat
untuk menjaga desanya agar terhindar dari hal-hal buruk membuat masyarakat berani untuk
menjadi seorang whistleblowing. Niat menjadi whistleblower ini timbul karena masyarakat merasa
memiliki tanggung jawab untuk mengusir segala hal buruk yang dapat merugikan warga.
Partisipasi dari masyarakat didukung oleh perangkat desa dengan memberikan transparansi
penerimaan dan pembangunan dana desa disertai syarat pembangunan yang telah ditetapkan
pada MUSRENBANGDES.
Faktor yang mempengaruhi niat masyarakat dan perangkat desa dalam melakukan
whistleblowing adalah nilai-nilai kearifan lokal yang dilihat dari adat istiadat dan filosofi nilai
kehidupan Jawa. Adat istiadat yang mampu mempengaruhi niat melakukan whistleblowing yaitu
pertama, merti dusun yang merupakan ungkapan syukur dan pengharapan agar di masa
mendatang tidak ada hal-hal buruk yang menaungi desanya (korupsi, kejahatan, keserakahan).
Kedua, ritual popokan yang menggambarkan tentang ungkapan rasa syukur masyarakat desa
terhadap keberhasilan pemangku desa. Dalam kehidupan dimasa kini menggambarkan dukungan
8
dan peran perangkat desa dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan dana desa tanpa
mengambat pembangunan desa. Ketiga, tentang filosofi nilai jawa yaitu “Hayuning Bawana,
Ambrasta dur Hangkara” yang berarti bahwa manusia mengusahakan kebahagiaan, kesejahteraan
serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak yang ada dalam diri sendiri maupun
masyarakat desa. Nilai kearifan lokal mengajarkan kepada masyarakat untuk bersyukur atas yang
dimiliki, berusaha memberikan yang terbaik bagi desanya dan menjaga desanya dari hal-hal buruk
seperti korupsi, kejahatan dan keserakahan. Hal inilah yang membuat masyarakat berani untuk
melakukan whistleblowing.
Niat melakukan whistleblowing juga dipengaruhi oleh persepsi nilai, norma dan aturan yang
berlaku di Desa Bringin atau yang biasa disebut iklim etika. Iklim etika egoism ditunjukkan dengan
sebagian masyarakat masih memiliki rasa takut dan sungkan mengungkapkan penyalahgunaan
dana desa. Hal ini dikarenakan, pertama, pihak yang melakukan penyalahgunaan dana desa
adalah kerabat atau sahabat karibnya, sehingga hanya memberikan teguran agar tidak melakukan
penyalahgunaan lagi. Kedua, pengungkapan penyalahgunaan yang dilakukan oleh kerabat
maupun sahabatnya akan menimbulkan keretakan dalam hubungan keluargaan dan
persahabatan. Ketiga, jika pengungkapan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pihak yang
memiliki wewenang dalam pemerintahan desa (kepala desa atau sekretaris desa ataupun
bendahara desa) tidak didukung oleh pemerintahan yang lebih tinggi (Kecamatan) dapat
mengancam posisinya di dalam masyarakat. Keempat, ada rasa takut jika pengungkapan yang
dilakukan dapat menimbulkan permasalahan yang lebih besar. Melihat masih kurangnya
keberanian dan kesadaran masyarkat untuk mengungkapkan hal yang buruk ditengah
masyarakat, maka perlu ada perangkat desa atau aparat pemerintahan yang memberikan
penyuluhan terkait pentingnya mengungkap hal-hal buruk yang dapat berimbas bagi seluruh
masyarakat desa.
Iklim etika benevolence merupakan kesadaran dalam diri individu untuk memberikan yang
terbaik demi kesejahteraan bersama dan tidak membenarkan adanya tindakan yang memberikan
dampak buruk bagi masyarakat seperti kejahatan ataupun korupsi. Kesadaran akan pentingnya
kesejahteraan masyarakat desa di pengaruhi oleh adat istiadat dan filosofi kehidupan yang
diwariskan leluhur Desa Bringin atau yang biasa disebut nilai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal
yang ada di Desa Bringin memberikan gambaran bahwa masyarakat bersyukur atas kekayaan
alam yang ada, berusaha membangun desa demi kesejahteraan masyarakan serta memerangi hal
negatif yang dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat (korupsi dan kejahatan).
Kesadaran akan pentingnya menyejahterakan perlu diimbangi dengan keberanian masyarakat
untuk mengungkapkan tindakan tidak etis yang dapat memberikan dampak buruk bagi seluruh
warga desa. Salah satu cara menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melakukan
whistleblowing adalah memberikan penyuluhan terkait dampak yang akan ditimbulkan dari
penyalahgunaan dana desa dan dukungan yang diberikan bagi masyarakat yang mau
mengungkapkan penyalahgunaan dana desa.
Iklim etika principle, merupakan pengambilan keputusan berdasarkan pada peraturan yang
ada di suatu wilayah dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah telah membuat
peraturan mengenai aturan pencairan dana desa, penentuan pembangunan prioritas, pelaporan
penggunaan dana desa serta sanksi yang diberikan bagi desa yang menyalahgunakan dana
pembangunan. Penyalahgunaan dana desa memberikan dampak buruk bagi seluruh warga desa,
karena dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan fisik dan pemberdayaan
masyarakat digunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan dana desa
juga berimbas pada ketidakpercayaan pemerintah terhadap masyarakat desa dan sanksi yang
diberikan bagi desa yang menyalahgunakan dana desa adalah penundaan pencairan pada tahap
selanjutnya atau bahkan pengurangan dana yang akan dicairkan pada tahap selanjutnya. Dengan
adanya penyuluhan tentang dampak dan dukungan yang diberikan oleh perangkat desa,
masyarakat diharapkan untuk berani mengungkapkan penyalahgunaan dana desa sejak dini agar
dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan tanpa melibatkan pemerintah.
Intensitas moral pada niat melakukan whistleblowing
(Kreshastuti & Prastiwi, 2014) menyatakan bahwa intensitas moral merupakan sebuah unsur
yang mencakup karakteristik terkait dengan isu moral utama yang akan mempengaruhi persepsi
individu. (Taylor & Curtis, 2010) mengatakan bahwa seseorang mengambil keputusan untuk
melaporkan pelanggaran orang lain berdasarkan dari keseriusan pelanggaran dan tanggung jawab
dalam organisasi untuk melaporkan pelanggaran. Persepsi kontrol perilaku seorang individu
9
dipengaruhi oleh faktor internal (persepsi dalam diri individu) dan eksternal yaitu lingkungan
tempat individu tinggal (Setiawati & Sari, 2016).
Dalam melaksanakan pembangunan desa, masyarakat memiliki peran penting untuk
menyelesaikan pembangunan sesuai batas waktu yang ditentukan serta membelanjakan dana
tersebut untuk keperluan pembangunan desa. Setelah dana tersebut dicairkan, nantinya
perangkat desa akan mencocokan dengan RAB (Rencana Anggaran Belanja) yang kemudian akan
diserahkan pada POKJA ditiap dusun. Pengawasan penggunaan dana desa penting dilakukan
karena POKJA diberi kekuasaan untuk membelanjakan dana tersebut sesuai dengan kebutuhan
pembangunan desa.
Perangkat desa memberikan dorongan bagi masyarakat untuk ikut serta mengawal
penggunaan dana desa dengan mengawasi penggunaan dana desa dan berani melaporkan tindak
penyalahgunaan dana desa. Dorongan yang dilakukan perangkat desa untuk masyarakat ini
bertujuan untuk menumbuhkan moral yang baik bagi masyarakat. Jika masyarakat yang
mengetahui penyalahgunaan dana desa tidak berani mengungkapkan dan membiarkan kasus
penyalahgunaan dana desa terjadi maka akan menimbulkan moral yang tidak baik bagi
masyarakat desa. Dikatakan sebagai moral yang tidak baik karena jika masyarakat membiarkan
penyalahgunaan dana desa terus terjadi maka dapat berpotensi tumbuh kasus penyalahgunaan
lain yang dapat memberikan dampak buruk bagi seluruh masyarakat desa. Walaupun demikian
tidak mudah menjadi seorang whistleblower, mengingat masyarakat desa cenderung sungkan dan
takut untuk mengungkapkan penyalahgunaan, apalagi jika pihak yang melakukan
penyalahgunaan adalah kerabat atau sahabat sendiri. Perangkat desa menyadari bahwa
mengatakan hal yang baik dan mengungkapkan hal-hal buruk memang seharusnya dijadikan
kebiasaan bagi masyarakat, karena penyalahgunaan dana desa dapat berimbas bagi seluruh
masyarakat desa. Perangkat desa menyiasati perasaan masyarakat yang takut dan sungkan
mengungkapkan penyalahgunaan dana desa dengan memberikan penyuluhan, yaitu terkait
dampak yang timbul dan tindakan perangkat desa terkait pengungkapan yang dilakukan oleh
masyarakat.
Penyalahgunaan dana desa yang tidak segera ditangani memberikan dampak buruk bagi
masyarakat desa, yaitu pembangunan desa menjadi terhambat, tidak ada dana tambahan dari
pemerintah, sanksi dari pemerintah berupa penundaan pencairan dana untuk tahap selanjutnya
serta sanksi berupa ganti rugi kepada negara jika kasus tersebut sudah dibawa ke ranah hukum.
Selain memberikan penyuluhan terkait dampak yang timbul akibat penyalahgunaan dana desa,
perangkat desa juga meyakinkan masyarakat untuk berani mengungkapkan penyalahgunaan dana
desa. Penyuluhan yang dimaksud adalah mengenai dukungan dan tindakan yang diambil oleh
perangkat desa. Untuk menindak kasus korupsi yang diungkapkan warga, perangkat desa
melakukan identifikasi terlebih dahulu dan mengawasi pihak yang bersangkutan. Jika terbukti
pihaknya melakukan tindakan korupsi nantinya akan diberikan teguran dan dibawa dalam
musyawarah dengan POKJA dan pihak Kecamatan untuk mencari titik temu dan sanksi bagi
pelaku agar kasus tersebut tidak menghambat pembangunan desa.
Keputusan menjadi whistleblower merupakan hal yang tidak mudah diputuskan secara
langsung, apalagi masyarakat desa masih memiliki rasa sungkan dan takut untuk
mengungkapkan penyalahgunaan dana desa. Maka perlu ada perangkat desa atau aparat
pemerintah yang dapat menumbuhkan kesadaran dan keberanian masyarakat untuk berani
melakukan whistleblowing. Cara menumbuhkan kesadaran dan keberanian masyarakat dapat
dilakukan melalui gambaran terkait dampak yang dirasakan oleh seluruh masyarakat desa jika
terjadi penyalahgunaan dana desa. Melalui dorongan dari perangkat desa untuk berani menjadi
whistleblower dan gambaran tentang dampak yang timbul membuat masyarakat berani
mengungkapkan penyalahgunaan dana desa kepada perangkat desa. Hal ini dibuktikan dengan
adanya penyelesaian kasus korupsi dana desa oleh perangkat desa yang dapat diselesaikan tanpa
melibatkan pemerintah dan tidak menghambat proses pembangunan desa yang sedang
berlangsung. Bapak camat Bringin juag membenarkan adanya penyelesaian kasus korupsi yang
diuangkapkan oleh masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa keputusan menjadi
whistleblower dipengaruhi pada faktor persepsi dalam diri individu, dorongan dari perangkat desa
untuk menumbuhkan moral yang baik bagi masyarakat, juga pendekatan mengenai dampak dan
dukungan yang diberikan oleh perangkat desa bagi whistleblower.

10
Simpulan dan Saran
Penelitian ini mendapatkan temuan bahwa perangkat desa paham betul penggunaan dana
desa adalah untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yaitu pembangunan
infrastruktur yang berhubungan langsung dengan masyarakat (pembangunan jalan, talut, dan
saluran irigasi) bantuan siswa kurang mampu, bantuan jamban sehat dan bantuan rumah tidak
layak huni. Perangkat desa juga masih memegang teguh budaya untuk melakukan musyawarah
dalam mengambil keputusan pembangunan desa yang biasa disebut MUSRENBANGDES
(Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), musyawarah ini bertujuan agar antar masyarakat
desa dapat bertoleransi terhadap pembangunan desa yang diprioritaskan, sehingga tumbuh sikap
tenggangrasa di setiap diri masyarakat, karena pada hakikatnya prioritas pembangunan desa
didasarkan pada tingkat mendesaknya kebutuhan masyarakat dan tingkat kerusakan yang terjadi.
Perangkat desa dihimbau oleh Kepala Desa agar lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat
dengan meminimalisir kesalahan dalam pelayanan dan kasus penyalahgunaan dana desa. Sebagai
bentuk pengawasan terhadap pengelolaan dana desa, Kepala Desa juga membentuk tim pengawas
yang disebut TPK (Tim Pengawasan Kerja) yang bertugas untuk mencegah penyalahgunaan
pengelolaan dana desa.
Penelitian ini juga menemukan bahwa whistleblowing tidak hanya dapat diterapkan pada
perusahaan besar saja tetapi dapat diterapkan pada aparat desa di Desa Bringin. Whistleblowing
yang dianut di Desa Bringin adalah whistleblowing internal karena Kepala Desa menginginkan
kasus penyalahgunaan desa diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak melibatkan pihak luar
(pemerintah). Whistleblowing merupakan upaya yang dilakukan perangkat desa untuk mengurangi
tindak penyalahgunaan pengelolaan dana desa. Masyarakat dan perangkat desa berani untuk
melakukan whistleblowing dipengaruhi oleh yang pertama, kesadaran masyarakat untuk
mengungkapkan hal buruk untuk melindungi dan menyejahterakan warga desa. Kedua, iklim
etika egoism penelitian ini menemukan bahwa masih ada beberapa orang yang merasa sungkan
untuk melakukan whistleblowing karena takut menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks
dan takut jika pengungkapannya dapat mempengaruhi kedudukannya di tengah masyarakat.
Ketiga, yang mempengaruhi niat melakukan whistleblowing adalah iklim etika benevolence.
Munculnya niat masyarakat untuk melakukan whistleblowing dipengaruhi oleh kesadaran
masyarakat akan pentingnya menyejahterakan masyarakat dan keberanian masyarakat untuk
melakukan whistleblowing. Keempat adalah iklim etika principle, perangkat desa menumbuhkan
kesadaran masyarakat dengan penyuluhan tentang dampak yang akan ditimbulkan jika terjadi
penyalahgunaan dana desa dan dukungan perangkat desa dalam menyelesaikan kasus
penyalahgunaan dana desa. Keenam, niat melakukan whistleblowing oleh masyarakat didasarkan
pada dorongan perangkat desa untuk menumbuhkan moral yang baik bagi masyarakat untuk
mengungkapkan hal-hal buruk agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat
desa.

Daftar Pustaka
Ahmad, S. A., Yunos, R. M., Ahmad, R. A. R., & Sanusi, Z. M. (2014). Whistleblowing Behaviour:
The Influence of Ethical Climates Theory. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 164, 445–
450. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.11.101
Alam, M. D. (2013). Persepsi Aparatur Pemerintah dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota Malang Terhadap Fraud dan Peran Whistleblowing Sebagai Upaya Pencegahan dan
Pendeteksian Fraud. Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya, 2(2). Retrieved from
http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/1280
Chen, C.-P., & Lai, C.-T. (2011). Moral Intensity and Organisational Commitment: Effects on
Whistle-blowing Intention and Behaviour. In European Business Ethics Network Ireland
Research Conference. Retrieved from https://ebeni.files.wordpress.com/2011/09/does-
integrity-matter-eben-research-conference-dublin-june-2011.pdf
Gandamihardja, V. K., Gunawan, H., & Maemunah, M. (2016). Pengaruh komitmen profesional dan
intensitas moral terhadap intensi melakukan whistleblowing (Studi auditor internal yang
bekerja di BUMN). In Seminar Penelitian Sivitas Akademika Unisba (pp. 271–278).

11
Governance, K. N. K. (2008). Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System).
Retrieved from http://www.knkg-indonesia.org/dokumen/Pedoman-Pelaporan-Pelanggaran-
Whistleblowing-System-WBS.pdf
Graham, J. W., Miceli, M. P., & Near, J. P. (1993). Blowing the Whistle: The Organizational and Legal
Implications for Companies and Employees. Administrative Science Quarterly (Vol. 38).
https://doi.org/10.2307/2393341
Hermansyah. (2016, May 21). Menpora Imam Resmikan Lapangan Olahraga di Desa Wonokerto.
Harian Terbit. Retrieved from
http://nasional.harianterbit.com/nasional/2016/05/21/62163/25/25/Menpora-Imam-
Resmikan-Lapangan-Olahraga-di-Desa-Wonokerto
Huang, C.-F., Lo, K.-L., & Wu, C.-F. (2013). Ethical climate and whistleblowing: an empirical study
of Taiwan’s construction industry. Pakistan Journal of Statistics, 29(5), 681–696. Retrieved
from
http://web.b.ebscohost.com/abstract?direct=true&profile=ehost&scope=site&authtype=craw
ler&jrnl=10129367&AN=97359027&h=6yU5s%2Bt16pekwKNRC9eKmzQ3Ot2kYF18oRmXrX
25bHaLZPA6XRbzy7UDvjBVwQfuvGBBUiGIS%2F7jRYVmI2Fkbw%3D%3D&crl=f&resultNs=A
dminWebAuth&resultLocal=
Indonesia, P. (2014). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2014
TENTANG DANA DESA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
NEGARA (pp. 1–13). Retrieved from http://www.peraturan.go.id/pp/nomor-60-tahun-2014-
11e4bbf0f784ee84a5c5313334373134.html
Indonesia, P. (2014). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (pp. 1–16). Retrieved from
http://peraturan.go.id/uu/nomor-31-tahun-2014.html
Indonesia, P. (2014). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
DESA (pp. 1–49). Retrieved from http://peraturan.go.id/uu/nomor-6-tahun-2014.html
Jones, T. M. (1991). Ethical Decision Making by Individuals in Organizations: An Issue-Contingent
Model. Academy of Management Review, 16(2), 366–395.
https://doi.org/10.5465/AMR.1991.4278958
Junaedi. (2016). 30 Desa Deklarasikan Setop BAB Sembarangan. Retrieved December 24, 2016,
from http://www.semarangkab.go.id/utama/berita/kegiatan-pemerintahan/1846-30-desa-
deklarasikan-setop-bab-sembarangan.html
Juniarta, H. P., Susilo, E., & Primyastanto, M. (2013). KAJIAN PROFIL KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT PESISIR PULAU GILI KECAMATAN SUMBERASIH KABUPATEN
PROBOLINGGO JAWA TIMUR. ECSOFIM (Economic and Social of Fisheries and Marine), 1(1).
Retrieved from http://ecsofim.ub.ac.id/index.php/ecsofim/article/view/10
Kreshastuti, D. K., & Prastiwi, A. (2014). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
WHISTLEBLOWING (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Semarang). Diponegoro
Journal of Accounting, 3(2), 1–15.

MICELI, M. P., & NEAR, J. P. (1988). INDIVIDUAL AND SITUATIONAL CORRELATES OF WHISTLE‐
BLOWING. Personnel Psychology, 41(2), 267–281. https://doi.org/10.1111/j.1744-
6570.1988.tb02385.x
Mulyadi, L. (2014). Menggagas Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum terhadap
Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di
Indonesia Masa Mendatang. Hukum Dan Peradilan, 3(2), 101–116.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.25216/JHP.3.2.2014.101-116
Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Relevance
of social research (Vol. 8). https://doi.org/10.2307/3211488

12
Noviani, D. P., & Sambharakreshna, Y. (2014). PENCEGAHAN KECURANGAN DALAM ORGANISASI
PEMERINTAHAN. JAFFA Oktober, 2(2), 61–70.
Novius, A., & Arifin. (2011). Perbedaan persepsi intensitas moral mahasiswa akuntansi dalam
proses pembuatan keputusan moral (studi survei pada mahasiswa S1 Akuntansi, Pendidikan
Profesi Akuntansi Universitas Diponegoro Semarang). Diponegoro University Semarang.
Retrieved from http://eprints.undip.ac.id/17167/
Park, H., & Blenkinsopp, J. (2009). Whistleblowing as planned behavior - A survey of south korean
police officers. Journal of Business Ethics, 85(4), 545–556. https://doi.org/10.1007/s10551-
008-9788-y
Rahyono. (2009). Kearifan budaya dalam kata. Wedatama Widyasastra.
Ranin, A. (2016, November 3). Pembangunan Bak Penampung Minimalisasi Risiko Longsor.
Retrieved December 24, 2016, from http://berita.suaramerdeka.com/pembangunan-bak-
penampung-minimalisir-resiko-longsor/
Rothwell, G. R., & Baldwin, J. N. (2006). Ethical Climates and Contextual Predictors of Whistle-
Blowing. Review of Public Personnel Administration, 26(3), 216–244.
https://doi.org/10.1177/0734371X05278114
Senjaya, I. C. (2014, December 31). Catatan Akhir Tahun -Dana Desa dan Maraknya Korupsi
Kades. Antara Jateng. Retrieved from http://www.antarajateng.com/detail/catatan-akhir-
tahun-dana-desa-dan-maraknya-korupsi-kades.html
Setiawan, D. (2016, December 4). Pembangunan Jalan di Sepakung Dianggarkan Rp 1,5 Miliar.
Tribun Jateng. Retrieved from http://jateng.tribunnews.com/2016/12/04/pembangunan-
jalan-di-sepakung-dianggarkan-rp-15-miliar
Setiawati, L. P., & Sari, M. M. R. (2016). Profesionalisme, komitmen organisasi, intensitas moral
dan tindakan akuntan melakukan whistleblowing. E-Journal Akuntansi Universitas Udayana,
17(1), 257–282. Retrieved from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Akuntansi/article/view/18947
Setyawati, I., Ardiyani, K., & Sutrisno, R. C. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Niat untuk
Melakukan Whistleblowing Internal (The Factors Influencing Internal Whistleblowing
Intentions). Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 17(September), 22–33.
Shawver, T. (2011). The Effects of Moral Intensity on Whistleblowing Behaviors of Accounting
Professionals. Accounting, Journal of Forensic & Investigative, 3(2), 162–190.
Simha, a., & Cullen, J. (2012). Ethical Climates and their Effects on Organizational Outcomes -
Implications from the Past, and Prophecies for the Future. Academy of Management
Perspectives, 20–35. https://doi.org/10.5465/amp.2011.0156
Taylor, E. Z., & Curtis, M. B. (2010). An examination of the layers of workplace influences in ethical
judgments: Whistleblowing likelihood and perseverance in public accounting. Journal of
Business Ethics, 93(1), 21–37. https://doi.org/10.1007/s10551-009-0179-9
Tiza, A. L., Hakim, A., & Haryono, B. S. (2014). Implementasi program pembangunan desa mandiri
anggaran untuk rakyat menuju sejahtera (anggur merah) (studi di badan perencanaan
pembangunan daerah Kabupaten Timor Tengah Utara). Wacana, Jurnal Sosial Dan Humaniora
Universitas Brawijaya, 17(1). Retrieved from
http://wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/view/296
Victor, B., & Cullen, J. B. (1988). The Organizational Bases of Ethical Work Climates. Source:
Administrative Science Quarterly, 33(1), 101–125. https://doi.org/10.2307/2392857

Wandansari, G. K. . (2015). Aktualisasi nilai-nilai tradisi budaya daerah sebagai kearifan lokal
untuk memanapkan jatidiri bangsa. In Konferensi Internasional Budaya Daerah III di
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Retrieved from
http://ikadbudi.uny.ac.id/sites/ikadbudi.uny.ac.id/files/lampiran/MAKALAH_0.pdf

13
Zanaria, Y. (2013). Pengaruh Profesionalisme Audit, Intensitas Moral untuk Melakukan Tindakan
Whistleblowing (Studi pada KAP di Indonesia). In Seminar Nasional dan The 3rd Call for Syariah
Paper FEB UMS (pp. 569–577). Retrieved from
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/7302/52 - Yulita
Zanaria.pdf?sequence=1&isAllowed=y

14

You might also like