Professional Documents
Culture Documents
ID Implementasi Kebijakan Pengendalian Keba
ID Implementasi Kebijakan Pengendalian Keba
ID Implementasi Kebijakan Pengendalian Keba
ABSTRACT
Land and forest fires in Indonesia occur almost every year since 1997. The main causes of fires are due to human
activities, driven by El Nino during dry season and biophysical conditions of degraded land. In Indonesia land and
forest fires have an impact on socio-cultural, economic and political aspects. Therefore, Indonesian government
involves multi institutions to control land and forest fire. Thus, to manage fire, coordination among institutions is
absolutely necessary. This study using qualitative approach to analyze coordination among government agencies
in term of land and forest fire control with case in South Sumatera Province. The results showed that coordination
among government agencies occured in the context of fire suppression and the performance was less than optimal
when viewed from the achievement of fire fighting targets. Factors influenced the coordination of fire management
were authority, communication, controlling and leadership. Therefore, need to be improved by considering that fire
suppression in peatlands is relatively difficult.
Keyword: Land and forest fire; fire management; institutions; coordination; South Sumatera Province.
ABSTRAK
Kebakaran lahan dan hutan (Karhutla) di Indonesia terjadi hampir setiap tahun sejak 1997. Penyebab utama
kebakaran berkaitan dengan aktivitas manusia, didorong kondisi iklim ekstrem yang dipengaruhi El Nino saat
musim kemarau dan kondisi biofisik lahan terdegradasi. Di Indonesia kebakaran berdampak pada aspek sosial
budaya, ekonomi dan politik. Oleh karena itu pemerintah Indonesia melibatkan multi institusi pemerintah dalam
pengendalian Karhutla. Dengan demikian koordinasi antar institusi mutlak diperlukan dalam pengendalian Karhutla.
Studi dengan pendekatan kualitatif ini menganalisis koordinasi antar instansi pemerintah dalam pengendalian
Karhutla dengan kasus di Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koordinasi antar instansi
pemerintah terjadi dalam konteks pemadaman kebakaran. Kinerja yang dihasilkan kurang optimal ditinjau dari
capaian target pemadaman. Faktor yang memengaruhi koordinasi adalah kewenangan, komunikasi, kontrol dan
kepemimpinan. Koordinasi perlu ditingkatkan dalam konteks pencegahan Karhutla mengingat pemadaman api di
lahan gambut relatif sulit dikendalikan.
Kata kunci: Kebakaran hutan dan lahan; pengendalian; institusi pemerintah; koordinasi; Provinsi Sumatera Selatan.
©2017 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2017.14.2.165-186 165
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
166
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
Daerah dimana urusan kehutanan di tingkat ditangani banyak lembaga pemerintah terkait.
kabupaten ditarik ke tingkat provinsi kecuali Melalui Inpres Nomor 16 Tahun 2011
urusan taman hutan raya. Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran
Tulisan ini menyajikan pengetahuan Hutan dan Lahan yang direvisi dengan Inpres
tentang implementasi pengendalian Karhutla Nomor 11 Tahun 2015 bahwa ada 25 lembaga
di daerah khususnya kajian koordinasi antar pemerintah yang terlibat dalam pengendalian
institusi dalam pengendalian Karhutla. Karhutla. Implementasi pengendalian
Kasus pengendalian Karhutla yang diungkap Karhutla yang melibatkan banyak lembaga
berasal dari Sumatera Selatan yang termasuk memerlukan sebuah koordinasi sebagai suatu
salah satu provinsi rawan kebakaran hutan di usaha kerja sama antara badan, instansi, unit
Indonesia. dalam pelaksanaan tugas sehingga terdapat
saling mengisi, saling membantu dan saling
II. METODE PENELITIAN melengkapi.
Kerangka pikir utama yang digunakan
A. Kerangka Pikir Penelitian dalam penelitian ini untuk menggunakan
Kebakaran hutan dan lahan yang luas dan teori koordinasi sebagai sebuah proses.
tak terkendali terjadi hampir sepenuhnya Sebagai sebuah proses koordinasi diawali
akibat ulah manusia (anthropogenic) dengan dengan adanya perspektif yang sama tentang
kepentingan utama meliputi untuk pemenuhan objek yang dikoordinasikan, komunikasi,
kebutuhan sehari-hari, pengembangan usaha pembuatan keputusan bersama dan terakhir
perkebunan atau kehutanan bahkan ada proses koordinasi terjadi (Malone &
yang terkait dengan menjadi sebuah upaya Crowston, 1990). Taraf analisis penelitian ini
perlawanan atas konflik lahan. Kebakaran menelaah koordinasi pengendalian Karhutla
terjadi baik di kawasan hutan, perkebunan di level provinsi. Khususnya koordinasi antar
ataupun areal penggunaan lainnya. Kebakaran institusi pemerintah di tingkat provinsi yang
tersebut berdampak kerugian pada aspek terlibat dalam pengendalian Karhutla.
lingkungan, sosial dan ekonomi. Berlatar Adapun telaah terhadap kebijakan tentang
penyebab kebakaran, dimana kebakaran peningkatan pengendalian Karhutla dilakukan
terjadi dan dampak dari kebakaran tersebut, analisis isi Inpres Nomor 16 Tahun 2011
pemerintah menginstruksikan agar Karhutla dan Inpres Nomor 11 Tahun 2015. Analisis
167
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
isi akan melihat perubahan Inpres, tema dan luas areal terbakar. Penelitian dilaksanakan
fungsi dan peran lembaga yang memperoleh pada bulan Juli hingga November 2015.
instruksi, sekaligus mengevaluasi keterlibatan
lembaga serta memberikan masukan untuk C. Pengumpulan dan Analisis Data
peningkatan pengendalian Karhutla. Teknik pengumpulan data yang
Pendekatan kualitatif digunakan dalam digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian ini agar dapat mengungkap teknik penggandaan dokumen, wawancara
bagaimana implementasi koordinasi yang mendalam, Focussed Group Discussion
berlangsung selama ini dalam pengendalian atau FGD dan pengamatan lapangan. Tema
Karhutla. Pemilihan informan dalam penelitian yang dikaji dalam penelitian ini adalah
ini dilakukan secara purposive (sengaja sesuai tentang kebijakan pengendalian Karhutla
dengan kebutuhan akan keterlibatan mereka dan pelaksanaan pengendalian Karhutla
dalam pengendalian Karhutla) antara lain yang dilakukan oleh intansi pemerintah di
yakni Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) level provinsi. Rincian data yang diperlukan,
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, sumber data, strategi pengumpulan data dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah alat analisis terdapat dalam Tabel 1.
Provinsi Sumatera Selatan, Badan Perencana
Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumatera Selatan, Balai Konservasi Sumber 1. Karhutla di Sumatera Selatan
Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, Dinas
Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Di Sumatera Selatan dalam periode 6
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura tahun terakhir mengalami kebakaran setiap
Sumatera Selatan, dan Badan Lingkungan tahun. Pantauan titik panas tahunan setiap
Hidup Provinsi Sumatera Selatan. kabupaten di Sumatera Selatan dalam periode
tersebut terdapat dalam Tabel 2. Berdasarkan
B. Lokasi data rekapitulasi titik panas seperti pada Tabel
Penelitian ini dilaksanakan di Sumatera 2, bahwa dalam periode 2010 hingga 2015
Selatan dengan unit analisis di level provinsi. ada kecenderungan terjadi peningkatan titik
Seperti diketahui bahwa Provinsi Sumatera panas tahunan per kabupaten. Selama periode
Selatan termasuk ke dalam salah satu provinsi tersebut titik panas paling tinggi mencapai
rawan kebakaran di Indonesia. Provinsi 27.043 di tahun 2015.
Sumatera Selatan dalam lima periode terakhir Pada tahun 2014 di Sumatera Selatan dari
selalu mengalami kebakaran di posisi tiga total hot spots 7.234 ditemukan 4.229 titik
teratas dalam pantauan hot spots (titik panas) panas di Kabupaten OKI, 617 titik panas di
168
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
Kabupaten Musi Banyu Asin (Muba), 494 APL (Ditjen Perkebunan, 2014).
titik panas di Kabupaten Muara Enim dan 436 Pada kejadian Karhutla tahun 2015 di
di Kabupaten Banyu Asin. Data penyebaran Sumatera Selatan, jumlah total titik panas
titik panas tahun 2014 menunjukkan 40% titik mencapai 27.043 yang tersebar di tiga
panas terdapat di Hutan Produksi (HP), 34% di kabupaten terbanyak yakni Kabupaten Ogan
perkebunan, 7% di Hutan Lindung (HL), 5% Komering Ilir (OKI) sebanyak 16.008 titik
di pertanian, 5% di Hutan Produksi Konversi panas, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba)
(HPK), selebihnya 9% di Hutan Produksi 5.249 titik panas, dan Kabupaten Banyuasin
Terbatas (HPT), Hutan Suaka Alam dan 1.665 titik panas. Pada Gambar 2 tampak
pemukiman (UPTD Pengendalian Kebakaran bahwa tiga kabupaten yang cenderung
Hutan dan Lahan Provinsi Sumatera Selatan, memiliki titik panas tahunan terbesar adalah
2015). Sementara data yang terekam dalam Kabupaten OKI, Kabupaten Muba dan
Laporan Kegiatan Pengawalan Pemantauan Kabupaten Banyu Asin.
Kebakaran Lahan dan Kebun tahun 2014 Kejadian Karhutla di Sumatera Selatan
menunjukkan bahwa di Sumatera Selatan, baik tahun 2014 maupun tahun 2015
di kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menunjukkan bahwa titik panas dominan
terdapat titik panas 0,92%, kawasan Hutan ditemukan di Kabupaten OKI, Kabupaten
Tanaman Industri (HTI) 17,9%, di kawasan Muba dan Kabupaten Banyu Asin. Hasil
perkebunan 8,46% dan sisanya 72,71% di pantauan Karhutla tahun 2105 oleh UPTD
169
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
Keterangan/remark:
A Palembang
B Pagar Alam
C Lubuk Linggau
D Prabumulih
E Ilir
F OKI
G OKU
H OKU Timur
I OKU Selatan
J Musi Rawas
K MUBA
L Banyu Asin
M Empat Lawang
N Lahat
O Muara enim
P Muara Tara
Q PALI
Sumber (Source) : UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Sumatera Selatan, 2015
Gambar 2. Titik panas tahunan periode 2010-2015 di Provinsi Sumatera Selatan.
Figure 2. Yearly hotspot in periode 2010-2015 in South SumateraProvince.
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Sumatera Selatan bahwa titik panas terbanyak
(PKHL) Provinsi Sumatera Selatan bahwa ditemukan di Kabupaten OKI yaitu 16.008
di kedua kabupaten tersebut titik panas titik atau sebanyak 59% dari total titik api
senantiasa eksis berbulan-bulan. (Tabel 2). Berdasarkan penafsiran citra satelit
Pada kasus kebakaran tahun 2015 di bahwa luas areal terbakar lebih dari 50%
170
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
Tabel 4. Distribusi hutan dan lahan terbakar tahun 2015 di Sumatera Selatan
Table 4. Distribution of land and forest burnt in 2015 in South Sumatera
terjadi di wilayah Kabupaten OKI seluas Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Musi
377.467 hektar. Ini menunjukkan ada korelasi Banyuasin berturut-turut adalah 141.124
antara jumlah titik hot spots dengan luas areal hektar dan 108.329 hektar (UPTD PKHL
terbakar. Provinsi Sumatera Selatan, 2015).
Titik panas selama ini dijadikan sebagai Adapun distribusi hutan dan lahan yang
indikator kejadian kebakaran, meskipun terbakar berdasarkan jenis penutupan lahan
tidak selamanya titik panas yang terekam disajikan dalam Tabel 4. Berdasarkan data
dalam citra satelit menunjukkan terjadinya yang tersaji dalam Tabel 4 menunjukkan
kebakaran. Namun secara kualitas biasanya kebakaran terjadi di kawasan HP 39,99%, di
jumlah titik panas yang bergerombol, perkebunan 32,03%, di kawasan Hutan Suaka
disertai asap dan terpantau terjadi berulang Alam (HSA) 12,32%, selebihnya di HL, HPK,
menunjukkan adanya kejadian kebakaran HPT, pemukiman dan lainnya (BPBD, 2015).
di suatu wilayah (Lapan, 2016). Dengan Berdasarkan data kejadian Karhutla tahun
demikian data titik panas hingga saat ini 2014 dan 2015 di Sumatera Selatan, bahwa
masih digunakan sebagai cara paling efektif selain sektor kehutanan, sektor perkebunan
dalam memantau kebakaran untuk wilayah juga berkontribusi terhadap Karhutla yang
luas secara cepat (near real time). terjadi.
Berdasarkan hasil perhitungan digitasi Dalam periode 2000-2016 kejadian
Citra Satelit Landsat bahwa luas hutan dan Karhutla di Sumatera Selatan dominan terjadi
lahan terbakar tahun 2015 di Sumatera di Kabupaten OKI, Kabupaten MUBA dan
Selatan mencapai 736.587 hektar. Data luas Kabupaten Banyu Asin (Tabel 3). Hal ini
areal terbakar yang dipetakan per kabupaten terkait dengan kondisi lahan gambut yang
terdapat dalam Tabel 3. Dari total luas ada. Identifikasi karakteristik gambut pernah
areal terbakar di Sumatera Selatan sebanyak dilakukan dalam South Sumatera Forest Fire
51,23% atau seluas 377.367 hektar terdapat Management Project (SFFMP)-Europe Union
di wilayah Kabupaten OKI. Areal terbakar di pada tahun 2008 menghasilkan data tentang
171
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
lahan gambut di Sumatera Selatan mencapai 3). Lahan gambut lainnya (non peat dome)
1.476.335 hektar dengan 653.726 hektar lahan seluas 822.609 hektar tersebar di Kabupaten
gambut memiliki kecenderungan menyerupai OKI, Kabupaten Muba dan Kabupaten
kubah gambut (peat dome) yang dominan Banyuasin (SSFFMP, 2008 dalam BKSDA
berada di Kabupaten OKI dan Kabupaten Sumatera Selatan, 2015) ). Rincian sebaran
Muba, sebagian kecil di Kabupaten Musi dan luas kawasan gambut di Sumatera Selatan
Rawas dan Kabupaten Muara Enim (Gambar terdapat dalam Tabel 5.
172
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
Tabel 6. Jumlah titik panas tahun 2015 dan desa rawan kebakaran di Sumatera Selatan
Table 6. Hotspots 2015 and prone fire village in South Sumatera
173
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
174
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
Gambar 4. Satgas siaga darurat bencana asap akibat Karhutla Provinsi Sumatera Selatan tahun 2015.
Figure 4. Regional Forest Fire Taskforce in South Sumatera in 2015.
175
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
176
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
Tabel 8. Personil dan peralatan operasi pemadaman Karhutla 2015 di Sumatera Selatan
Table 8. Personnel and equipment operation in fire fighting in 2015 in South Sumatra
BPBD dan perusahaan HTI. Sementara juga operasi udara dilakukan ketika operasi
untuk memadamkan api tidak dapat darat tidak mampu melakukan pemadaman.
dilakukan dengan tangan terbuka disamping Biasanya operasi udara diperlukan untuk
personil harus memiliki keterampilan dalam kejadian Karhutla di area yang aksesnya
menggunakan peralatan dan menguasai sulit dijangkau (remote area). Bila kabupaten
teknik-teknik pemadaman api yang bervariasi tidak mampu menanggulangi Karhutla yang
tergantung kondisi lahan terbakar. Akan tetapi terjadi, maka kabupaten meminta bantuan
saat kejadian Karhutla bersifat masif, setiap ke provinsi. Dalam konteks Karhutla telah
unit kerja menurunkan stafnya untuk terjun ditetapkan gubernur dalam status siaga
ke lapangan memadamkan api meski mereka darurat tetapi bila provinsi tidak sanggup
bukan tim pemadam kebakaran. maka meminta bantuan nasional dari Badan
Upaya pemadaman lewat udara atau disebut Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
177
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
Hanya saja bantuan nasional dapat diberikan dalam status darurat, komunikasi antar
apabila asap telah melintas batas provinsi. lembaga dimulai biasanya dilakukan dalam
Atau biasanya apabila bandara setempat sudah rapat. Pertemuan mingguan yang dikoordinir
tiga hari berturut-turut tidak beroperasi karena oleh BPBD dihadiri oleh UPTD PKHL
asap yang tebal. Padahal ketika kondisi sudah Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Kehutanan,
seperti itu areal kebakaran sudah meluas, asap Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, BLH,
tebal sehingga jarak pandang relatif pendek Bakorluh, TNI, POLRI, BMKG, BKSDAE/
sehingga menyulitkan juga bagi helikopter Manggala Agni, Dinas Kesehatan dan Dinas
untuk melakukan water bombing. Rekapitulasi Perhubungan. Intensitas rapat semakin tinggi
operasi udara pemadaman Karhutla 2015 di bila kebakaran semakin intensif yang biasanya
Sumatera Selatan terdapat dalam Tabel 9. terjadi saat status tanggap darurat ditetapkan
Dalam perspektif praktisi penanggulangan pimpinan daerah. Pokok bahasan dalam
Karhutla, terdapat masalah yang dihadapi rapat perihal kedudukan titik panas yang
dalam penanggulangan Karhutla tahun 2015 selanjutnya perlu direspon dengan patroli,
di Sumatera Selatan antara lain kebakaran aksi pemadaman lewat darat atau penentuan
terjadi di lokasi sulit dijangkau, kebakaran titik bombing terhadap lokasi yang memang
dominan terjadi di lahan gambut sehingga sulit dijangkau melalui darat. Dalam rapat
cepat meluas namun sulit dipadamkan, tersebut juga direncanakan pemadaman api
kesadaran sebagian masyarakat masih rendah dari semua operasi baik darat maupun udara.
untuk turut membantu pemadaman api, cuaca Dalam kasus Karhutla di Sumatera Selatan
ekstrim sehingga sangat terbatas ketersediaan tahun 2015, berbagai upaya telah dilakukan
air untuk pemadaman dan ketersediaan awan oleh pemerintah daerah baik dalam operasi
untuk proses Teknologi Modifikasi Cuaca darat, operasi udara, operasi sosialisasi dalam
(TMC), tidak tersedia radio komunikasi situasi kebakaran sudah termasuk darurat.
udara dan darat sehingga proses operasi udara Hasil dari pemadaman Karhutla di Sumatera
tidak optimal dan hambatan birokrasi dalam Selatan pada tahun 2015 terdapat dalam Tabel
ijin terbang pesawat untuk melakukan water 10.
bombing. Data hasil pemadaman Karhutla tahun
2015 di Sumatera Selatan dilaporkan oleh
3. Koordinasi dalam Pengendalian BKSDA dari hasil pelaksanaan pemadaman di
Karhutla lapangan oleh Manggala Agni. Berdasarkan
Koordinasi dilihat sebagai sebuah proses Tabel 10 total luas areal terbakar yang mampu
diawali dengan perspektif terhadap objek, dipadamkan seluas 971,85 hektar atau 19,37%
kemudian terjadi komunikasi lalu pembuatan dari luas areal yang terbakar 5.016,95 hektar.
keputusan bersama dan terjadilah koordinasi. Di era Presiden Jokowi untuk
Perspektif umum di kalangan pemerintah pengendalian Karhutla melibatkan banyak
daerah terhadap kebakaran bahwa kebakaran lembaga pemerintah. Penambahan lembaga
di kawasan hutan menjadi tanggung jawab pemerintah dalam Inpres Nomor 11 Tahun
SKPD yang mengurusi kehutanan, namun bila 2015 menyesuaikan dengan perubahan
kebakaran terjadi di areal perkebunan maka struktur kabinet pemerintahan disamping
menjadi urusan Dinas Perkebunan. Dengan sebagai proses pembelajaran kasus kebakaran
kata lain pada situasi normal kebakaran tahun 2015 yang berdampak kerugian
menjadi urusan kehutanan atau perkebunan pada aspek sosial khususnya. Sehingga
saja. Namun saat kebakaran berada dalam Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan
status siaga darurat kebakaran menjadi urusan dan Kebudayaan, dan Menteri Sosial
banyak lembaga. diinstruksikan untuk menangani Karhutla.
Dalam konteks pengendalian Karhutla Selain itu menetapkan Kepala BMKG juga
178
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
terlibat mengingat faktanya lembaga tersebut memadamkan api sebesar 19,37% (Tabel 10)
selama ini berperan dalam memberikan atau bila dibandingkan dengan perhitungan
laporan cuaca dan iklim. luas areal terbakar berdasarkan penafsiran
Inpres Nomor 11 Tahun 2015 digunakan citra satelit seluas 736.587 ha maka dari upaya
sebagai rujukan pembentukan satuan tugas penanggulangan yang telah dilakukan hanya
penanggulangan Karhutla di daerah, namun mampu memadamkan api sebanyak 1,3%.
tidak menyerupai secara keseluruhan. Dari pelaksanaan koordinasi pengendalian
Pimpinan daerah biasanya membentuk Satgas Karhutla, faktor-faktor yang memengaruhi
ini ketika kondisi kebakaran sudah terjadi efektivitas koordinasi pengendalian Karhutla
ditetapkan sebagai kondisi darurat. Satgas ini meliputi kewenangan, komunikasi, kontrol
dibentuk cenderung untuk penanggulangan dan kepemimpinan. Kewenangan terkait
kebakaran yang telah terjadi. dengan siapa yang memiliki otoritas
Persoalan kebakaran hutan yang sudah dalam pengendalian Karhutla. Penguatan
menjadi persoalan lintas sektor memerlukan kelembagaan pengendalian Karhutla
koordinasi bukan hanya saat penanggulangan memerlukan struktur kelembagaan dari
saja. Fakta yang terjadi banyak sumber daya provinsi hingga tapak (desa). Brigade
yang dikerahkan seperti sumber daya manusia Pengendalian Kebakaran Hutan yang dimiliki
(SDM), peralatan, teknologi, dan anggaran KLHK telah dibangun di tingkat lapang
untuk memadamkan api namun kebakaran akan tetapi tidak memiliki struktur hingga di
sulit dipadamkan terutama di lahan gambut. tingkat desa meski di beberapa lokasi telah
Akan tetapi dengan pengerahan sumber dibentuk Masyarakat Peduli Api (MPA)
daya yang tidak sedikit kebakaran tetap namun lembaga ini sifatnya masih voluntary
terjadi berbulan-bulan seperti dalam kasus (sukarela). Pemerintah daerah sendiri masih
kebakaran tahun 2015. Kasus kebakaran terbatas brigadenya umumnya bergerak saat
tahun 2015 di Sumatera Selatan hanya mampu Karhutla ditetapkan status darurat. Selain
179
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
180
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
181
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
- KLHK: mengingat KLHK adalah gabungan rangka menata aspek sosial terkait dengan
kehutanan dan lingkungan tugas baru pendidikan dan kesehatan. Selain itu terkait
ditambah untuk menangani kebakaran di dengan konflik lahan maupun pembangunan
lahan selain kawasan hutan, memberikan infrastruktur.
sanksi kepada pemegang izin usaha bila Akan tetapi yang terkait dengan
tidak memiliki SDM, sarpras dan tidak pembangunan desa belum termasuk dalam
melaksanakan pengendalian kebakaran, institusi pemerintah yang terlibat dalam
koordinator pemulihan lingkungan hidup pengendalian Karhutla. Secara mendasar
akibat Karhutla, meningkatkan koordinasi bahwa ke depan untuk pengendalan Karhutla
dan memberikan bantuan teknis untuk yang berkelanjutan semetinya melibatkan
kerja sama regional dan internasional pemerintahan desa.
yang menyebabkan kerusakan lingkungan
hidup akibat Karhutla; 5. Mewujudkan Koordinasi Hingga
- Menristekdikti: penambahan tugas Tingkat Desa
kementerian di bidang pendidikan tinggi Koordinasi dalam pengendalian Karhutla
sehingga tugas terkait Karhutla adalah di daerah belum berjalan baik. Mekanisme
mengupayakan langkah agar proses koordinasi antar institusi pemerintah mulai
kegiatan pendidikan tidak terganggu berlangsung saat pimpinan daerah menetapkan
dengan penyediaan bantuan dana bagi kondisi Karhutla dalam status darurat.
masyarakat yang terkena dampak Sementara strategi koordinasi berupa rapat
Karhutla, dan mendayagunakan para biasanya dalam penentuan memadamkan api
dosen dan mahasiswa fakultas kedokteran yang saat kondisi darurat cenderung titik api
berpartisipasi membantu penanganan tersebar atau telah membakar area yang luas.
masalah kesehatan di daerah terkena Hal itu sejalan dengan koordinasi dalam
dampak Karhutla; tim pengawasan pangan dan gizi di Jogjakarta
- Gubernur: mengalokasikan biaya bahwa mekanisme koordinasi belum berjalan
pelaksanaan pengendalian Karhutla, dengan baik dimana adanya ketidakjelasan
melaporkan pelaksanaan pengendalian leading sector hingga belum ada penyesuaian
Karhutla ke Menteri Koordiantor Bidang bersama dan pengawasan langsung.
Politik dan Keamanan Adapun strategi berupa rapat koordinasi
- Penambahan Menteri Koordinator pimpinan instansi maupun rapat informal
Bidang Politik dan Keamanan, Menteri belum memperbaiki koordinasi (Suharto &
Koordinator Bidang Perekonomian, Trisnantoro, 2006).
Menteri Koordinator Bidang Banyaknya instansi pemerintah yang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, terlibat dalam pengendalian Karhutla
Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan seharusnya persoalan Karhutla dapat
dan Kebudayaan, Menteri Sosial, Menteri lebih mudah diatasi. Namun sejak Inpres
Komunikasi dan Informasi, Menteri Pengendalian Karhutla dicanangkan, Karhutla
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetap terjadi. Kinerja penanggulangan
Kepala Badan Pertanahan Nasional kebakaran juga sulit mencapai target.
(BPN), Menteri Pekerjaan Umum, dan Sebenarnya yang diperlukan bukan
Kepala BMKG banyaknya institusi akan tetapi kejelasan
Perubahan secara mendasar terkait peran dan fungsi. Selain tata hubungan kerja
penambahan jumlah institusi yang dilibatkan. antar institusi.
Institusi-institusi yang baru dimasukkan Upaya untuk pengendalian Karhutla di
ini terkait peran dan fungsinya dalam daerah telah ada, hanya saja pendekatan yang
182
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
183
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
184
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan .............(Kushartati Budiningsih)
Selatan, Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera dan lahan. (Laporan Hasil Penelitian).
Selatan dan Puslitbang Sosial, Ekonomi, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan
Kebijakan dan Perubahan Iklim yang telah Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan
membantu dalam penelitian serta khusus Kehutanan.
kepada Ibu Surati, S.Hut, M.Si yang telah Ditjen Perkebunan. (2014). Laporan kegiatan
mendampingi penulis saat pengumpulan data pengawalan pemantauan kebakaran lahan
di lokasi. dan kebun. Jakarta: Ditjen Perkebunan.
Cattau, M.E., Harrison, M.E., Shinyo, I., Tungau, S.,
Uriarte, M., & DeFries, R. (2016). Sources
of antrhopogenic fire ignitions on the peat-
DAFTAR PUSTAKA swamp landscape in Kalimantan, Indonesia.
Global Environmental Change, 39 (205-219).
Akbar, A. (2008). Pengendalian kebakaran hutan Harun Ali, S. Y. (2016). Koordinasi antara Pemerintah
berbasis masyarakat sebagai upaya mengatasi Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten
risiko dalam REDD. Tekno Hutan Tanaman, Rokan Hilir dalam menangani kebakaran
I(1), 11–22. hutan dan lahan (Karhutla) di Rokan Hilir
Akbar, A. (2011). Studi kearifan lokal penggunaan api tahun 2010-2013. Jurnal Online Mahasiswa
persiapan lahan : Studi kasus di Hutan Mawas (JOM) Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Sosial 3(1), 1–13.
dan Ekonomi Kehutanan, 8(3), 211–230. Heil, A., Langmann, B., & Aldrian, E. (2007).
Akbar, A. (2012). Pencegahan kebakaran hutan rawa Indonesian peat and vegetation fire emissions:
gambut berbasis masyarakat (Studi kasus Study on factors influencing large-scale smoke
di Hutan Konservasi Mawas Kalimantan haze pollution using a regional atmospheric
Tengah). Yogyakarta: Universitas Gajah chemistry model. Mitigation and Adaptation
Mada. Strategies for Global Change, 12(1), 113–133.
Ananto, E., & Pasandaran. (2010). Pengelolaan lahan https://doi.org/10.1007/s11027-006-9045-6
gambut di Provinsi Sumatera Selatan. In Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang
K.Suradisastra, S.M.Pasaribu, B.Sayaka, Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan
A.Dariah, I.Las, & H. dan E. Pasandaran dan Lahan.
(Eds.). Membalik kecenderungan degradasi Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2011 Tentang
sumber daya lahan dan air (pp. 194–211). Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan
Bogor: IPB Press. dan Lahan.
Bappeda Provinsi Sumatera Selatan. (2014). Rencana KLHK. (2016). Rekapitulasi luas kebakaran hutan
pembangunan jangka menengah daerah dan lahan (ha) per provinsi di Indonesia
(RPJMD) Provinsi Sumatera Selatan tahun tahun 2011-2016. Jakarta: KLHK.
2013-2018. Palembang: Bappeda Provinsi Lapan. (2016). Informasi titik panas (hotspot)
Sumatera Selatan. kebakaran hutan/lahan. Jakarta: Lapan.
Bappenas. (2016). Grand design pencegahan Malone, T., & Crowston, K. (1990). What is
kebakaran hutan kebun dan lahan. Jakarta: coordination theory and how can it help design
Bappenas. cooperative work systems. In Proceeding
BKSDA Sumatera Selatan. (2015). Pengendalian of the 1990 ACm conference on computer-
kebakaran hutan dan lahan oleh Manggala supported cooperation work (pp. 357–370).
Agni BKSDA Sumatera Selatan. Palembang: Los Angeles, USA.
BKSDA Sumatera Selatan. Martin, E., & B.Winarno. (2010). Peran para pihak
BNPB. (2016). Evaluasi penanggulangan bencana dalam pemanfaatan lahan gambut : Studi
2015 dan prediksi bencana 2016. Jakarta: kasus di Kabupaten Gan Komering Ilir
BNPB. Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan
BPBD. (2015). Laporan posko satuan tugas darurat Kehutanan, 7(2), 81–95.
bencana asap akibat kebakaran hutan dan Novra, A., & Fazrias. (2008). Kajian kebijakan
lahan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2015. pengendalian kebakaran lahan dan hutan
Palembang: BPBD. Provinsi Jambi : Analisis kebijakan secara
Budiningsih, K., Ekawati, S., Wibowo, A., & Surati. antisipatif dan responsif. Jambi: Balai
(2015). Analisis konflik kepentingan lintas Penelitian dan Pengembangan Daerah
sektor dan konflik kewenangan antar institusi Provinsi Jambi.
dalam penanggulangan kebakaran hutan
185
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14 No.2, November 2017 : 165-186
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Project FireFight South East Asia.
Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Subarudi. (2002). Sistem kelembagaan pencegahan
Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan dan pengendalian kebakaran hutan. Sosial
Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Ekonomi, 3 (1).
Purnasari. (2011). Strategi pencegahan kebakaran Suharto, T., & Trisnantoro, L. (2006). Koordinasi lintas
berbasis masyarakat: Kajiaan biofisk, sektor pada tim sistem kewaspadaan pangan
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan gizi di Kabupaten Sleman (Cross sectoral
sekitar kawasan Suaka Margasatwa Padang coordination of food and nutrition alert system
Sugihan di Provinsi Sumatera Selatan. team at Sleman District). Jurnal Manajemen
(Tesis). Semarang: Universitas Diponegroro. Pelayanan Kesehatan (Health Service and
Putra, E.I, Hayasaka, H., Takahashi, H., Usup, A. Management Journal), 9(4), 185–191.
(2008). Recent peat fire activity in the Sunanto. (2008). Peran serta masyarakat dalam
mega rice project area, Central Kalimantan, pencegahan dan penanggulangan kebakaran
Indonesia. Journal of Disaster Research, 3(5), lahan. (Tesis). Semarang: Universitas
334-341. Diponegroro.
Ritzema, H., Limin, S., Kusin, K., Jaunianien, J., & Thoha, A. (2014). Model penguatan kelembagaan
Wosten, H. (2104). Canal blocking strategies pengelolaan risiko kebakaran hutan dan
for hydrological restoration of degraded lahan berbasis masyarakat. (Tesis). Bogor:
tropical peatland in Central Kalimantan Institut Pertanian Bogor.
Indonesia. Catena, 114, 11–20. UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Saharjo, B., & Yungan, A. (2014). Pengaruh kebijakan Provinsi Sumatera Selatan. (2015). Statistik
dalam upaya pengendalian kebakaran hutan penyebaran hotspot tahun 2014 Provinsi
dan lahan terhadapa penurunan emisi gas Sumatera Selatan. Palembang: UPTD
rumah kaca. Jurnal Silvikultur Tropika, 05(2), Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
124–130. Provinsi Sumatera Selatan.
Simorangkir, D., & Sumantri. (2002). A review of Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang
legal, regulatory and institutional aspects Pemerintahan Daerah.
of forest and land fires in Indonesia. Bogor:
186