Professional Documents
Culture Documents
Peta Gerakan Literasi Digital Di Indonesia: Studi Tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran Dan Mitra
Peta Gerakan Literasi Digital Di Indonesia: Studi Tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran Dan Mitra
Peta Gerakan Literasi Digital Di Indonesia: Studi Tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran Dan Mitra
Novi Kurnia
novikurnia@ugm.ac.id
Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada
Santi Indra Astuti
santi.indraastuti@gmail.com
Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung
Abstrack
Digital society nowadays faces various problems such as hoax or fake news, privacy
violation, cyberbullying, violence and pornography content, digital media addiction.
The question is whether such problems are emerging because of there is no adequate
digital literacy in Indonesia? To answer this question, Jaringan Pegiat Literasi Digital
(Japelidi, Network of Digital Literacy Activists) conducts a mapping research on digital
literacy movement in Indonesia. This study involves 56 researchers from 26 universities
in Indonesia. It maps out 342 digital literacy activities conducted in 9 cities in Indonesia.
Some research findings are: universities are the main actor in literacy digital movement in
Indonesia, public speaking forums are the most frequent digital literacy activities, main
target group for digital literacy is the youth and schools are the best partners for digital
literacy activities. Based on these findings, the study recommends some suggestions:
to increase the digital literacy activities conducted by various actors in Indonesia, to
develop various methods of digital literacy programs, to widen the target groups, and
to establish relationship with various partners not only schools, but also government,
media and corporation. In addition, the study recommend that digital literacy should be
implemented in various levels: family, schools, and the state.
Abstrak
Beragam persoalan seperti informasi hoaks, pelanggaran privacy, cyberbullying,
konten kekerasan dan pornografi, dan adiksi media digital dianggap sebagai persoalan
masyarakat digital terkini. Pertanyaannya, apakah problem tersebut muncul karena
rendahnya literasi digital di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Jaringan
Pegiat Literasi Digital (Japelidi) melakukan pemetaan gerakan literasi digital di
Indonesia. Dengan metode desk study dan case study, penelitian melibatkan 56 peneliti
dari 28 prodi yang berasal dari 26 perguruan tinggi. Kajian mencakup 342 kegiatan
literasi digital di 9 kota di Indonesia memetakan setidaknya 342 kegiatan. Temuan utama
penelitian ini antara lain: perguruan tinggi adalah pelaku utama atau motor dalam
gerakan literasi digital, sosialisasi adalah kegiatan yang paling sering dilakukan, kaum
muda merupakan kelompok sasaran yang paling dominan, dan mitra yang paling adalah
sekolah. Penelitian merekomendasikan perlunya lebih banyak pelaku kegiatan yang
bukan berasal dari perguruan tinggi, pentingnya mengeksplorasi ragam literasi digital
yang bersifat kreatif dan ‘empowerment’, perlunya memperluas target sasaran literasi
digital supaya tidak hanya tertuju pada kaum muda saja, dan pentingnya kemitraan
149
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017
dengan berbagai pihak diperluas dan diperkuat, khususnya dengan pemerintah, media
dan korporasi. Selain itu, peneliti merekomendasikan bahwa literasi digital harus
diberikan dalam level keluarga, sekolah, dan negara.
Keywords: Digital Literacy, Movement, Mapping.
151
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017
kehidupan politik, dan sebagainya. Sesuai retoris-filosofis “What’s new for society
dengan konteksnya, maka literasi sebagai about the new media?” Flew menyatakan
‘keaksaraan’ berkembang menjadi beragam bahwa new media bukanlah semata-mata
jenis literasi, seperti literasi politik, literasi Internet, World Wide Web, atau lompatan
finansial, literasi hukum, termasuk literasi perkembangan teknologi komunikasi dan
media, literasi informasi, dan literasi digital. informasi. Adalah penting untuk memahami
Konsep literasi media muncul seiring new media sebagai pertumbuhan media yang
dengan dominasi media di tengah kehidupan berkaitan dengan proses-proses sosial dan
manusia yang mentransfer data dan teknologi dalam tiga aspek: (1) digitization
informasi yang digunakan manusia untuk dan konvergensi; (2) interaktivitas; dan (3)
melaksanakan perikehidupannya sehari- network dan networking (Flew, 2004:19).
hari. Potter mencatat, pada awalnya para Kompleksitas new media membutuhkan
pakar mendefinisikan media literacy sebagai adanya kemampuan literasi baru—yang
‘the ability to access and process information tidak semata-mata mengerangka literasi
from any form of transmission’. Definisi media sebagai cara untuk mengakses dan
tersebut kemudian didetailkan menjadi “... menggunakan media. Pada titik inilah konsep
the ability to access, analyse, evaluate and literasi digital muncul sebagai tuntutan
create messages across a variety of contexts sekaligus panduan untuk menempatkan diri
(Livingstone, 2003). Inilah definisi yang di dalam peradaban media baru.
menjadi pijakan para pegiat literasi media Konsep literasi digital dilontarkan oleh
maupun perencana pendidikan untuk Paul Gilster pertama kali pada tahun 1997
diintegrasikan di dalam kurikulum yang dalam buku berjudul Digital Literacy. Gilster
bertujuan menciptakan manusia yang mendefinisikannya secara sederhana sebagai
mampu berfungsi dengan baik di Abad ‘literacy in the digital age’, atau kemampuan
Informasi. Pendekatan ini dimaknai sebagai untuk memahami dan menggunakan in-
pendekatan ‘life skill’. formasi melalui beragam sumber digital
Namun, pertumbuhan media dan (Bowden dalam Lankshear & Knobel, 2008:
fenomenanya ternyata tidak cukup lagi 18). Dalam perkembangannya, digital literacy
menyelesaikan permasalahan literasi me- atau tepatnya digital literacies didefinisikan
dia. Diperlukan cara pandang baru, yang sebagai ‘practices of communicating, relating,
tidak semata-mata mengerangka literasi thinking and ‘being’ associated with digital
media sebagai perkara membangun life media’ (Jones & Hafner, 2012:13). Definisi ini
skill. Pendekatan life skill memang menye- bersumber dari akar konsepsi perkembangan
lesaikan masalah-masalah teknis. Namun, media digital sebagai social phenomenon—
kenyataannya, pendekatan ini juga menuntut fenomena sosial, yang membawa berbagai
konsumsi media dalam intensitas tinggi, konsekuensi ekonomi, sosial dan politik.
sehingga sulit dikendalikan dan cenderung Istilah ‘practices’ dipilih karena konsep ini
sehingga berlebihan. Menurut Potter, saat- mencakup segala cara untuk memanfaatkan
nya kini mengembangkan media literacy as literasi secara aktif, termasuk aktivitas
a set of perspective that we actively use to pemaknaan yang melandasinya.
expose ourselves to the media and interpret “Literacy practices are made up of
the meaning of the messages we encounter. specific activities and at the same time
It is multidimensional, and a continuum are part of broader social processes…
(Potter, 2014:14). The concept provides the route map for
Karakter literasi media yang disebut- thinking about topics as diverse as the
sebut Potter sebagai ‘multidimensional’ role of agency, and the significance of
dan ‘continuum’ menjadi sangat penting the body, objects and texts. It clarifies
ketika dunia memasuki abad baru, the relations of actions and discourse
… Human life are made up of social
yaitu new media. Menjawab tantangan
practices. That is the reason why we
Livingstone yang melontarkan pertanyaan
152
Novi Kurnia dan Santi Indra Astuti, Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, ...
emphasize people’s lived experiences totaled 13.4 billion pages in the World
and everyday relations to technologies Wide Web (Kunder, 2013) which has
…” (Barton & Lee, 2013: 30-31). been estimated to be only 1% of all web
pages (Sponder, 2012) (Potter, 2014:5-4).
Dalam dunia virtual dimana internet
menjadi media baru yang sangat penting Potter mengilustrasikan pertumbuhan
dalam kehidupan sehari-hari, dibutuh- media di tahun 2014, berdasarkan observasi
kan adanya pemahaman dan agensi peng- di tahun 2013. Maka bisa dibayangkan, ketika
gunanya, sebab teknologi hanyalah alat tulisan ini dibuat, sudah berapa kali lipat
semata yang tidak menentukan bagaimana pertumbuhan yang terjadi.
kita harus bertindak (Koltay, 2011). Untuk Sementara pertumbuhan media baik
itu dibutuhkan serangkaian pemahaman dari segi konten maupun teknologi dan
dan tindakan dengan menerapkan berbagai aplikasi berkembang pesat, tidak demikian
literasi media baru alias literasi digital. halnya dengan kemampuan manusia untuk
Arti penting literasi digital tidak hanya mencerna, menyeleksi dan memahami
dikarenakan tingginya terpaan media saja, pesan-pesan komunikasi. Setidaknya, ini
melainkan adanya beberapa faktor lainnya. tergambar dari tingkat literasi yang dari
Pertama, peran penting informasi dalam tahun ke tahun sangat mencemaskan karena
proses demokrasi. Kedua, peran penting mengalami penurunan kapasitas literasi
partisipasi budaya dan kewarganegaraan. sebagaimana disimpulkan oleh kajian-kajian
Ketiga, berkembangnya budaya popular yang memetakan tingkat literasi warga, di
membuat anak dan remaja semakin banyak antaranya “The World’s Most Literate Nation
mengakses media digital (Koltay, 2011). Potter (WMLN)” dari Jhon W. Miller, Presiden
menambahkan, peran penting literasi media Central Connecticut State University New
dalam bentuk baru ini juga didorong oleh Britain (CCSU, 2016) dan Programme for
tingginya pertumbuhan media yang tidak International Student Assessment (PISA)
sebanding dengan kemampuan manusia (OECD, 2012).
untuk mengimbanginya. Sebagai gambaran, Dalam konteks media baru yang ditandai
pertumbuhan media dirinci oleh Potter; oleh konvergensi media dan interaktivitas,
Our culture is saturated with media literasi tidak hanya terkait dengan mencerna
messages—far more than you may isi media saja, melainkan juga memproduksi
realize. Hollywood releases more than teks yang bersifat multimedia dan bahkan
700 hours feature films each years, teks yang bersifat interaktif dalam
which adds to its base of more than konteks hypermedia. Hal ini disebabkan
100.000 hours of films they have already pertumbuhan penggunaan internet yang
released in the previous years. In sangat pesat (Buckingham, 2006). Tantangan
addition, users of a video platform such media baru bukan hanya bersumber dari sisi
as YouTube upload more than 100.000 teknologinya, atau bentuk pasar/industri
new hours of video every day (Youtube, yang menyertainya. Pada media digital,
2013). Commercial television stations terjadi perubahan posisi khalayak dari
generate about 48 million hours of video audiens pasif menjadi audiens yang memiliki
messages every year worldwide, and
keleluasaan untuk mereproduksi teks secara
radio station send out 65.5 million hours
of original programming each year. We mandiri berkat sejumlah fasilitas yang
now have more than 140 million books dimiliki internet. Di satu sisi, keistimewaan
titles in existence, and another 1.500 ini merupakan affordances—keuntungan. Di
new book titles are published through sisi lain membawa tekanan tersendiri karena
the world each day. Then there is the untuk mampu memanfaatkan affordances
World Wide Web—or Internet which tersebut, dibutuhkan kemampuan yang tidak
is so huge that no one knows how big sekadar terbatas pada penguasaan akses dan
it really is. Google started indexed web teknologi.
pages about a decades ago and has now
153
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017
154
Novi Kurnia dan Santi Indra Astuti, Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, ...
gerakan literasi digital pun dirancang dan UNESCO Policy Brief mengenai digital
diselenggarakan di berbagai wilayah. Tujuan literacy setahun kemudian, walaupun
dari kegiatan literasi digital pada dasarnya pelbagai studi pendahuluan dan aktivitas di
sama, walaupun aktivitasnya bervariasi. ruang pendidikan telah dimulai sejak 2006,
di antaranya melalui proyek besar Digital
A digitally literate person: (1) Possesses
Information Forecast Research (2006-2011)
the variety of skills – technical and
cognitive – required to find, understand, dan Project of Information Literacy yang
evaluate, create, and communicate dimulai sejak 2008 (Head, 2009:2). Negara-
digital infor-mation in a wide variety negara di Asia seperti China dan Jepang
of formats; (2) Is able to use diverse dengan cepat juga menyamai gerak negara-
technologies appropriately and negara maju tersebut dalam mengakuisisi
effectively to re-trieve information, konsep-konsep literasi digital untuk
interpret results, and judge the quality pengembangan SDM. India dan Singapura
of that in-formation; (3) Understands tidak ketinggalan.
the relationship between technology, Di belahan Afrika, Afrika Selatan
life-long learning, personal privacy,
tercatat sebagai negara yang cukup progresif
and stewardship of information; (4)
Uses these skills and the appropriate dalam memasukkan literasi digital sebagai
technology to communicate and bagian dari kurikulum pendidikan formal.
collaborate with peers, colleagues, Dimulai dari tingkat perguruan tinggi (2012),
family, and on occasion, the gen-eral selanjutnya literasi digital diadopsi menjadi
public; and (5) Uses these skills to bagian dari kurikulum dasar. Studi tentang
actively participate in civic society and literasi digital pada siswa sendiri secara
contribute to a vibrant, informed, and general telah dimulai pada tahun 2010,
engaged community. (ALA Digital kemudian berlanjut pada topik-topik yang
Literacy Taskforce, 2011) lebih spesifik semisal pemanfaatan blogging,
Dengan tujuan menciptakan visual arts melalui media digital, hingga
manusia digital berikut segala kapasitas/ digital story-telling dan music making. Saat
kompetensinya, menjadi jelas bahwa tugas kurikulum literasi digital mulai diadopsi
literasi digital tidaklah mudah—bahkan pada tahun 2014, Afrika Selatan memiliki
untuk lembaga dunia sekelas PBB. Walaupun persiapan yang cukup matang (Brown &
proyek digitalisasi telah dimulai sejak Mayisela, 2015:3).
1980, UNESCO baru menyentuh persoalan Di Indonesia, aroma literasi digital
literasi digital pada bulan Mei 2007 sebagai sesungguhnya sudah tercium sejak
tindak lanjut Konferensi Lisbon. Secara kurikulum TIK (Teknologi Informasi dan
resmi, aspek-aspek literasi digital menjadi Komunikasi) menjadi bagian dari Kurikulum
bagian dari 16 indikator yang dirumuskan 2006 atau KTSP. Dengan alasan bahwa pem-
oleh Education Council sebagai wujud belajaran TIK dapat diintegrasikan pada
‘measuring information society’. Aspek- mata pelajaran lainnya, maka subjek TIK pun
aspek literasi digital tersebut adalah ICT dihilangkan dari Kurikulum 2013, sehingga
skills, civic skills, learning to learn skills, dan menimbulkan kontroversi yang cukup panas
participation of adults in lifelong learning, di kalangan pendidik, baik dari komunitas
dengan prioritas pada area-area yang terkait guru-guru TIK maupun lingkungan sekolah
dengan pengembangan digital competence— secara general. Terlepas dari pro kontra
termasuk pengembangan infrastruktur (IITE yang terjadi, kegiatan literasi digital di
Policy Brief, 2011). Sebagai catatan, isu literasi Indonesia berlangsung terus, termasuk yang
baru masuk agenda UNESCO pada tahun berbasis kerelawanan. Di tingkat nasional,
2004, jadi jangan terkejut jika isu literasi Gerakan Relawan TIK (RTIK) dimotori
digital baru muncul tiga tahun kemudian. oleh Kemkominfo dan berhasil menjaring
Negara-negara maju seperti Amerika simpatisan di berbagai propinsi. Perguruan
Serikat, Kanada dan Australia merespons tinggi pun aktif bergerak, khususnya prodi
155
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017
ilmu komunikasi di berbagai wilayah yang masing institusi pada level kota merupakan
sebelumnya pernah terlibat dalam gerakan tahapan selanjutnya (Tier Kedua), yang
literasi media. Di luar itu, komunitas- lantas dijadikan satu sebagai hasil penelitian
komunitas dan LSM juga aktif berkiprah, bersama yang menggambarkan gerakan
terutama setelah isu hoax-anti hoax bergema literasi digital di 9 kota di Indonesia (Tier
di tingkat nasional. Pada titik ini, kebutuhan Ketiga). Laporan penelitian ini adalah
literasi digital tampaknya berhasil me- output dari Tier Ketiga, yaitu hasil penelitian
nyatukan berbagai pihak dengan latar bersama yang memetakan aktivitas literasi
belakang yang bervariasi untuk bersama- digital di 9 kota (data nasional).
sama mengangkat isu ini. Penelitian ini melibatkan 56 peneliti
yang berasal dari 28 prodi dari 26 perguruan
METODE tinggi di 9 kota di Indonesia (Yogyakarta,
Salatiga, Semarang, Surakarta, Malang,
Penelitian bersama ini dilakukan Bandung, Banjarmasin, Bali dan Jakarta)
dengan metode Desk Study dan Case Study. sebagaimana yang terlihat dalam tabel 1.
Metode Desk Study dilaksanakan melalui
studi literatur mengenai gerakan literasi Dari tabel 1 terlihat bahwa peneliti
digital di Indonesia berdasarkan dokumen- masih didominasi kota-kota di pulau Jawa,
dokumen terkait, seperti laporan kegiatan, sedangkan yang berasal dari luar Jawa hanya-
berita media massa, arsip, dan sebagainya. lah Bali dan Banjarmasin. Menimbang
Sementara Case Study untuk mengeksplorasi keterlibatan institusi, maka Kota Yogyakarta
keunikan maupun tantangan khas di adalah yang terbanyak—diwakili 10 per-
setiap kota dilaksanakan melalui FGD guruan tinggi. Demikian pula dengan jumlah
atau wawancara mendalam terhadap para penelitinya, sebagaimana terlihat dalam
pemangku kepentingan literasi digital. Grafik 1 dan 2 berikut ini. Para peneliti di
sini adalah dosen, alumni, dan mahasiswa.
Sebagai penelitian yang melibatkan Gambaran selengkapnya dapat dilihat dalam
banyak sumberdaya, maka salah satu Grafik 1 dan 2 berikut ini.
tantangan yang dihadapi adalah mengelola
kelompok besar yang masing-masing
memiliki berbagai kesibukan tersendiri.
Untuk memudahkan pengelolaan tim
peneliti, sekaligus menyelaraskannya dengan
tujuan penelitian, maka dalam prosesnya
penelitian ini dibagi-bagi menjadi sejumlah
tahapan yang terangkum dalam alur seperti
tergambar dalam Bagan 1.
Alur pada bagan 1 memperlihatkan empat
tahapan penelitian bersama. Tahap Nol (Tier Grafik 1. Jumlah Prodi/Fak Per Kota
0) dimulai dari penelitian individu peneliti di
masing-masing prodi/perguruan tinggi yang
sifatnya adalah pilihan. Sedangkan Tahap
Pertama (Tier Pertama) adalah penelitian
di level prodi/perguruan tinggi yang wajib
dilakukan oleh peneliti atau tim peneliti di
masing-masing insitusi untuk memetakan
gerakan literasi digital di perguruan tinggi
masing-masing dan atau insitusi lainnya
sesuai kesepakatan dengan perguruan
tinggi lain di kota yang sama, jika ada. Hasil Grafik 2. Jumlah Peneliti Per Kota
gabungan dari laporan penelitian di masing-
156
peneliti, sekaligus menyelaraskannya dengan tujuan penelitian, maka dalam
prosesnya penelitian ini dibagi-bagi menjadi sejumlah tahapan yang terangkum
dalam
Novi alur seperti
Kurnia tergambar
dan Santi dalam Bagan
Indra Astuti, 1.
Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, ...
Bagan
Bagan 1. Penelitian
1. Alur
157
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017
Dari Grafik 1 terlihat bahwa jumlah prodi akhirnya merefleksikan visi dan misi literasi
terbanyak di peringkat kedua ada di Salatiga, digital, maka apapun nama dan kemasan
Semarang, dan Jakarta. Kota Surakarta, kegiatannya tetap disertakan dalam
Malang, Bandung dan Banjarmasin berada di pemetaan ini.
peringkat ke-3. Adapun Bali menjadi wilayah Setelah temuan setiap kota
dengan jumlah peneliti paling sedikit diakumulasikan, terkumpul tak kurang dari
karena hanya diwakili oleh 1 prodi dari 1 342 kegiatan literasi digital di 9 kota, dengan
universitas. Sementara itu, kalau dilihat komposisi terbesar adalah Yogyakarta
dari jumlah peneliti, Yogyakarta memiliki (24,85%), diikuti oleh Bandung (23,09%)
jumlah peneliti yang paling banyak (18 dan Banjarmasin di posisi ketiga (13,15%).
peneliti) sedangkan Bali yang paling sedikit Yang paling sedikit adalah Salatiga (4.09%).
(2 peneliti). Dengan begitu, jumlah peneliti Kegiatan literasi digital yang dicover
berbanding lurus dengan jumlah perguruan berlangsung dari tahun 2010 hingga 2017 per
tinggi sebagaimana bisa dilihat dalam grafik Juni 2017. Rentang waktunya mencapai 8
2. (delapan) tahun.
Sejumlah 56 peneliti yang tergabung Pengumpulan 342 kegiatan literasi
dalam Japelidi memetakan tidak kurang dari digital ini berdasarkan metode snowballing
342 kegiatan literasi digital di kota masing- yang bergulir dari satu kegiatan literasi digital
masing, baik yang dilakukan di perguruan ke kegiatan lainnya yang dilakukan oleh
tinggi tempatnya bekerja, maupun oleh para pegiat literasi digital di kota masing-
berbagai institusi lain seperti pemerintah, masing pada kurun waktu April hingga
komunitas, media, korporasi, dan lainnya. awal September 2017. Proses snowballing
Adapun persebaran kegiatan literasi digital dimulai dari masing-masing peneliti yang
yang tercatat dalam penelitian bisa dilihat kemudian dibawa ke level perguruan tinggi
pada grafik berikut. untuk kemudian disinkronkan dengan
perguruan tinggi lain di kota yang sama.
Grafik 3. Presentase Kegiatan Literasi Gabungan dari data yang didapatkan dari
Digital Per Kota 9 kota kemudian dikumpulkan menjadi
satu untuk menunjukkan data “Indonesia”.
Data ini bukanlah sampel yang dapat
digeneralisasikan secara statistik. Namun
setidaknya, geliat literasi digital di 9 kota
ini dapat memberikan gambaran mengenai
upaya yang telah dilakukan berbagai pihak
di Indonesia untuk mengatasi permasalahan
yang bermuara pada literasi digital.
158
Novi Kurnia dan Santi Indra Astuti, Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, ...
159
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017
digital. Di Bali, pelaku perguruan tinggi Ragam kegiatan literasi digital sangat
sama banyaknya dengan pelaku pemerintah. penting dipetakan karena memperlihatkan
Sedangkan di Surakarta, pelaku dominannya dua hal: (1) cara pandang terhadap solusi
bukanlah perguruan tinggi melainkan problematika literasi digital; dan (2)
komunitas. Yang dimaksud dengan pelaku model/ragam kegiatan dominan maupun
sendiri adalah aktor atau inisiator atau yang belum banyak dieksplorasi untuk
manajer utama dari kegiatan literasi digital, mengedukasi atau mengampanyekan literasi
sebagaimana ditemukan dalam laporan desk digital. Data pada Grafik 7 memperlihatkan
study. Para pelaku kegiatan literasi digital ini bahwa ‘kurikulum’ masih menempati urutan
menjadi penanggungjawab formal kegiatan terendah sebagai ragam kegiatan literasi
yang dilaksanakan. Apabila pelaku kegiatan digital. Ini disebabkan baru sebagian kecil
lebih dari satu, maka yang menandatangani perguruan tinggi yang menempatkan literasi
laporan kegiatan atau penanggungjawab media atau digital sebagai satu mata kuliah
kegiatan otomatis dianggap punya peran tersendiri. Di antara tim sendiri, tercatat
paling dominan sehingga dikategorikan baru beberapa perguruan tinggi yang sudah
sebagai pelaku. Tanpa mengurangi peng- mempunyai mata kuliah literasi media atau
hargaan kepada kontribusi masing-masing, literasi digital, yaitu UGM, Unisba, UNY,
pihak lain yang kurang dominan sebagai Unriyo dan Universitas Paramadina Jakarta.
pelaksana kegiatan literasi digital lantas Selanjutnya, terdapat dua grafik yang
diposisikan sebagai ‘mitra’. akan menjelaskan pemetaan ragam kegiatan
literasi digital di 9 kota secara lebih teperinci.
Ragam Kegiatan Literasi Digital Grafik 8 memaparkan frekuensi kegiatan
terbanyak berdasarkan kategori kegiatan.
Dilihat dari ragam kegiatan, sosialiasi Sedangkan Grafik 9 memaparkan temuan
atau ceramah (29,64%) adalah kegiatan ragam kegiatan di masing-masing kota. Jika
literasi digital yang paling sering dilakukan, dilihat dari cluster ragam kegiatan terbanyak
diikuti oleh workshop atau pelatihan (20,9%), pada Grafik 8, nampak bahwa bahwa kegiatan
seminar atau diskusi (14,32%), peneliti- sosialisasi (37 kegiatan) paling banyak di-
an (11,33%), talkshow (11,08%), publikasi temukan di Banjarmasin sebagaimana
(4,78%), kampanye dan advokasi (4,28%), publikasi (7 kegiatan). Sedangkan kegiatan
lain-lain (kompetisi dan pendampingan dan talkshow (21 kegiatan) dan seminar (19
pembentukan unit anti hoaks) sebesar 2,01% kegiatan) ditemukan paling banyak di Yogya-
dan kurikulum (1,51%). Data selengkapnya karta. Sementara itu, workshop (18 kegiatan)
bisa dilihat di Grafik 7. dan kurikulum (3 kegiatan) paling banyak
ditemukan di Jakarta. Kegiatan penelitian
paling banyak ditemukan di Bandung (3
kegiatan), juga ragam kegiatan ‘lain-lain’ (4
kegiatan). Sedangkan di Malang, kegiatan
paling banyak adalah kampanye (5 kegiatan).
Yang termasuk dalam kategori ‘lain-lain’
contohnya adalah lomba bertema literasi
digital yaitu blogging dan vlogging, juga
pembuatan alat bantu edukasi literasi digital
seperti kuartet dan video.
160
Novi Kurnia dan Santi Indra Astuti, Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, ...
161
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017
162
Novi Kurnia dan Santi Indra Astuti, Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, ...
163
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017
SIMPULAN
Pemetaan kegiatan literasi digital di 9
kota di Indonesia menghasilkan beberapa
kesimpulan. Pertama, pelaku kegiatan lebih
banyak didominasi oleh perguruan tinggi.
Kedua, ragam kegiatan masih lebih banyak
Grafik 15. Mitra Kegiatan Literasi Digital berbentuk sosialisasi/ceramah satu arah.
Paling Dominan per Kota Ketiga, target sasaran kegiatan literasi digital
sebagian besar membidik kaum remaja/
Sesuai dengan data grafik sebelumnya, pelajar. Keempat, mitra terbanyak berasal
maka Yogyakarta didominasi oleh mitra dari kalangan sekolah.
sekolah, demikian pula halnya dengan Bali. Kesimpulan umum ini sedikit berbeda di
Semarang, Jakarta dan Banjarmasin me- setiap kota. Terkait dengan empat komponen
miliki kemitraan yang menonjol dengan utama literasi digital yakni pelaku, ragam
pemerintah. Surakarta dikuasai oleh ko- kegiatan, kelompok sasaran, dan mitra,
munitas, Malang menjalin kemitraan ter- masing-masing kota memiliki temuan yang
banyak dengan media, sementara Bandung khas.
dan Salatiga bervariasi. Untuk Bandung, Pertama, di Yogyakarta ditemukan
kemitraan terbanyak dijalin dengan LSM, pelaku dominan kegiatan literasi digital
Komunitas dan perguruan tinggi lain. adalah PT, dengan ragam talk show, me-
Salatiga didominasi oleh kemitraan bersama narget sasaran masyarakat umum dan pelajar,
sekolah dan pemerintah. serta bermitra dengan sekolah.
Terdapat beragam alasan dan Kedua, di Salatiga, pelaku dominan
pertimbangan untuk menjalin kemitraan kegiatan literasi digital adalah perguruan
dalam melaksanakan kegiatan literasi digital. tinggi, dengan ragam sosialisasi dan ce-
Satu hal yang menarik, pemetaan mem- ramah, menarget sasaran remaja dengan
perlihatkan ragam mitra kegiatan literasi mitra sekolah dan pemerintah.
digital yang tidak semata-mata bersandar Ketiga, di Semarang, pelaku dominan
pada sekolah. Banyak pihak lain juga telah adalah perguruan tinggi, dengan ragam
dilibatkan. Ini bermakna, banyak pihak seminar, menarget mahasiswa dengan mitra
yang sama-sama menganggap literasi digital pemerintah.
adalah isunya juga, bukan semata-mata Keempat, di Surakarta pelaku dominan
permasalahan inisiator kegiatan. Namun, adalah komunitas, dengan ragam sosialisasi,
seperti telah diungkapkan sebelumnya, lebih menarget masyarakat umum, dengan ke-
dari 50% kegiatan literasi digital dilangsung- mitraan bersama sesama komunitas.
kan tanpa mitra. Tidak masalah karena tidak
ada kewajiban untuk bermitra, namun dari Kelima, di Malang, pelaku dominan
perspektif literasi digital yang menekankan adalah perguruan tinggi, dengan ragam
164
Novi Kurnia dan Santi Indra Astuti, Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang Pelaku, ...
165
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember 2017
166