Teh Daun Kelor

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

PENGARUH FREKUENSI BLANCHING TERHADAP

TINGKAT KESUKAAN MASYARAKAT TERHADAP


TEH DAUN KELOR

Artikel
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga

Oleh
Irma Dwi Oktaviani
5401416027

JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA


PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020
PENGESAHAN

Artikel dengan judul “Pengaruh Frekuensi Blnaching Terhadap Tingkat


Kesukaan Masyarakat Terhadap Teh Daun Kelor” telah disetujui sebagai
syarat kelulusan pada
Hari :
Tanggal :

Dosen Pembimbing Artikel Ketua Jurusan

Ir. Bambang Triatma, M.Si. Dr. Sri Endah Wahyuningsih, M.Pd.


NIP. 196209061988031001 NIP. 196805271993032010
PENGARUH FREKUENSI BLANCHING TERHADAP
TINGKAT KESUKAAN MASYARAKAT TERHADAP
TEH DAUN KELOR

Irma Dwi Oktaviani1, a) dan Bambang Triatma2, b)

1
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang,
Gedung E7 Lt. 2 Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
2
Dosen Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang, Gedung
E7 Lt. 2 Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
a)
Corresponding author: irmadwioktaviyani@students.unnes.ac.id
b)
bambangtriatmaunnes@mail.unnes.ac.id

Abstract. Tea as a beverage ingredient is made from the young tea leaves that have
undergone specific processs. Nowadays, tea not only from the tea leaf, but tea also can from
the other plants like the Moringa leaf. Moringa leaf has many benefits, but many people did
not like it because of the smell. In this research, the researcher used the blanching method to
get rid of the smell. The object of the research was the different blanching frequencies,
namely 0x blanching / without blanching, 1x blanching, and 2x blanching, with 5 minutes per
blanching. This research aimed to (1) find out the effect of blanching frequencies on the level
of public preference, (2) The level of public preference, (3) Protein and iron content, and (4)
The determination of BEP (Break Even Point). The data collection methods used subjective
assessments through the preference tests, objective assessments through the chemical tests in
the laboratory, and calculation of the selling price. The data analysis methods used the
percentage of descriptive analysis and the Break Even Point (BEP) analysis. The findings of
this research indicate an effect of blanching frequency on the level of public preference.
Sample C was the most preferred by the public, with a percentage of 93.96%; also, the lowest
was sample A of 89.31%. The highest brand was sample 1, with 81.06%, and the lowest was
sample 3 of 73.13%. The highest protein content was in sample C of 38.6632%, and the
highest iron content was in sample A of 64.5888 mg / 100g. Based on the Break Even Point
analysis findings, the product’s selling price is Rp. 11.600,- with 500 units of BEP.
Keywords: Tea, Moringa Leaf, Protein, Iron, Break Even Point (BEP).

Abstrak. Teh sebagai bahan minuman dibuat dari pucuk muda daun teh yang telah
mengalami proses pengolahan tertentu. Pada masa kini minuman teh tidak hanya
menggunakan daun teh saja, akan tetapi dapat menggunakan tanaman lain seperti halnya
daun kelor. Daun kelor kaya akan manfaat, namun banyak masyarakat yang tidak suka
dikarenakan bau langunya. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode blanching
untuk menghilangkan bau langu tersebut. Obyek penelitian ini adalah fekuensi blanching
yang berbeda yakni 0x blanching/ tanpa blanching, 1x blanching, dan 2x blanching dengan
waktu 5 menit setiap blanching. penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui pengaruh
frekuensi blanching terhadap tingkat kesukaan masyarakat, (2) Tingkat kesukaan masyarakat,
(3) Kandungan kadar protein dan zat besi , dan (4) Penentuan BEP (Break Even Point).
Metode pengumpulan data menggunakan penilaian subyektif melalui uji kesukaan, penilaian
obyektif melalui uji kimiawi di laboratorium, dan perhitungan harga jual. Metode analisis
data yang digunakan adalah analisis deskriptif prosentase dan analisis Break Even Point
(BEP). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh frekuensi blanching terhadap
tingkat kesukaan masyarakat. Sampel BLC2 paling disukai masyarakat dengan presentase
93,96% dan terendah sampel BLC0 sebesar 89,31%. Brand/merk tertinggi yaitu sampel 1
sebesar 81,06% dan terendah sampel 3 sebesar 73,13%. Kandungan kadar protein tertinggi
pada sampel BLC2 sebanyak 38,6632% dan zat besi tertinggi pada sampel BLC0 sebanyak
64,5888 mg/100g. Berdasarkan hasil analisis break even point harga jual produk sebesar Rp.
11.600,- dan BEP sebanyak 500 unit.
Kata kunci: Teh, Daun Kelor, Blanching, Protein, Zat Besi, Break Even Point (BEP).

PENDAHULUAN

Teh sebagai bahan minuman dibuat dari pucuk muda daun teh yang telah mengalami
proses pengolahan tertentu seperti pelayuan, penggilingan, oksidasi enzimatis dan
pengeringan (Juniaty, 2013). Minuman teh tidak hanya menggunakan daun teh saja tetapi
dapat menggunakan tanaman lain, contohnya daun kelor. Daun kelor atau merunggai
(Moringa oleifera) adalah tumbuhan yang biasanya sering digunakan sebagai pagar hidup
yang ditanam di sepanjang ladang atau tepi sawah (Yulianti, 2008). Daun kelor juga memiliki
berbagai macam manfaat dan kegunaan, bahkan disebut juga sebagai tanaman serbaguna.
Hasil penelitian uji fitokimia Nweze (2014), daun kelor mengandung flavonoid,
antrakuinon, alkaloid, saponin, trepenoid, antosianin, tanin, dan karotenoid. Berdasarkan
penelitian Ojiako (2014), ekstrak daun kelor mengandung tanin (8,22%), saponin (1,75%),
alkaloid (0,42), dan fenol (0,19). Menurut hasil penelitian Haryadi (2011) daun kelor kering
per 100 gram mengandung 0,075% air, 2,05% kalori, 0,382% karbohidrat, 0,271% protein,
0,023% lemak, 0,192% serat, 20,03% kalsium, 3,68% magnesium, 2,04% fosfor, 0,006%
tembaga, 0,282% besi, 8,7% sulfur, dan 13,24% protasium serta 10% flavonoid. Bahkan
dalam 100 g daun kelor kering mengandung potassium 15 kali lebih banyak dari buah pisang,
vitamin A sebanyak empat kali lebih banyak dari wortel, zat besi sebanyak tiga kali lebih
banyak dari bayam, vitamin C tujuh kali lebih banyak dari buah jeruk, kalsium sebanyak 17
kali lebih banyak dari susu dan protein sembilan kali lebih banyak dari yogurt. Bahkan daun
kelor banyak digunakan dalam pengobatan peradangan, disfungsi kardiovaskular, penyakit
hati, dan kerusakan fungsi hematologis dan ginjal (Adeyemi, 2014). Konsumsi pangan
dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Volume dan kualitas konsumsi pangan dan gizi
dalam rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan dan budaya masyarakat.
Walaupun secara umum kualitas konsumsi masyarakat pada 2005-2008 cenderung membaik,
yang dicirikan oleh meningkatnya konsumsi kacang-kacangan, pangan hewani serta produk
hortikultura, namun pada tahun 2008 terjadi sedikit penurunan yang dicerminkan oleh
penurunan skor PPH. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009
tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya
Lokal. Perpres tersebut telah menetapkan sasaran skor Pola Pangan Harapan (PPH) nasional
sebesar 88,1 tahun 2011 dan 95 pada 2015. Untuk mencapai target dilakukan dua tahap yaitu
Tahap I (2009-2011), dan Tahap II (2012-2015).
Berdasarkan uraian diatas, dalam penelitian ini akan dibuat teh daun kelor dengan
pengaruh frekuensi blanching. Permasalahan pada penelitian ini adalah adakah pengaruh
frekuensi blanching terhadap tingkat kesukaan masyarakat terhadap teh daun kelor,
bagaimana tingkat kesukaan masyarakat terhadap produk dan brand/merk teh daun kelor,
seberapa besar kandungan kadar protein dan zat besi yang terdapat pada teh daun kelor
pengaruh frekuensi blanching serta bagaimana Break Even Point (BEP) teh daun kelor.

METODE PENELITIAN

Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan teh daun kelor pengaruh frekuensi
blanching ini adalah daun kelor segar dan air. Alat yang digunakan dalam pembuatan teh
daun kelor pengaruh frekuensi blanching adalah dandang, timbangan, nampan, baskom,
saringan, solet plastik, gelas ukur, termometer digital, kompor dan gas, tampah, wajan, dan
susruk. Proses pembuatan teh daun kelor pengaruh frekuensi blanching terdiri dari tahap
persiapan yang meliputi persiapan bahan, penimbangan, dan persiapan alat, selanjutnya tahap
pelaksanaan yang meliputi perlakuan blanching dengan frekuensi 0x blanching, 1x
blanching, dan 2x blanching dengan air sebanyak 400 ml pada setiap kali blanching terlebih
dahulu, kemudian dilanjutkan dengan penirisan, penyangraian dan terakhir tahap
penyelesaian yang meliputi pengemasan. Objek penelitian dari penelitian ini adalah teh daun
kelor dengan pengaruh frekuensi blanching. Variabel bebasnya adalah frekuensi blanching
yang berbeda yaitu 0x blanching (tanpa blanching), 1x blanching dan 2x blanching. Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kesukaan pengaruh frekuensi blanching terhadap
teh daun kelor, kandungan gizi meliputi kadar protein dan zat besi, dan Break Even Point
(BEP).
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimen. Desain eksperimen yang
digunakan adalah true experimental design dengan one-short case study. Peneliti melakukan
3 kali ulangan untuk setiap perlakuan agar mendapatkan hasil yang sama dan konsisten.
Metode pengumpulan data yang digunakan ada tiga, yaitu penilaian subyektif, penilaian
obyektif, dan perhitungan biaya produksi. Penilaian subyektif dilakukan dengan uji kesukaan
terhadap produk teh daun kelor pengaruh frekuensi blanching menggunakan panelis tidak
terlatih yang berjumlah 80 orang dengan menggunakan alat lembar penilaian, sedangkan
penilaian obyektif yang digunakan yaitu dengan melakukan uji laboratorium untuk
mengetahui kadar protein dan zat besi yang terkandung pada teh daun kelor pengaruh
frekuensi blanching. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif prosentatif, pada uji kadar protein analisis data dilakukan dengan menggunakan
metode Kjeldahl, sedangkan pada zat besi analisis data dilakukan dengan menggunakan
metode Spectrofotometry. Kemudian perhitungan biaya produksi dilanjutkan dengan analisis
Break Even Point (BEP).
Pembuatan Teh Daun Kelor :
a. Pemetikan teh daun kelor urutan ketiga dari pucuk.
b. Pisahkan daun kelor dari batangnya.
c. Cuci daun kelor menggunakan air bersih setelah dipisahan dari batangnya, serta
siapkan dandang yang telah diisi air sebanyak 400 ml untuk mengukus (blanching)
daun kelor.
d. Daun kelor yang telah dicuci ditaruh di dandang, kemudian dikukus menggunakan
api kecil selama 5 menit dengan suhu dandang 85º C. Tutup dandang dibungkus
oleh kain agar uap air tidak menetes ke daun kelor.
e. Setelah 5 menit, matikan api dan pindahkan daun kelor dalam loyang untuk diangin-
anginkan ± 1-2 hari sampai kadar airnya berkurang. Jika frekuensi blanching 2x
maka, setelah proses blanching pertama daun kelor di diamkan sebentar sembari
mengganti air untuk kukusan kemudian di blanching kembali selama 5 menit. Air
kukusan hanya digunakan sekali untuk 1x proses blaching.
f. Proses selanjutnya yaitu penyangraian dengan api kecil. Proses ini berlangsung
sampai daun kelor benar-benar kering dan renyah.
g. Kemudian setelah di sangrai, daun kelor dikemas ke dalam standing pouch eco
laminated craft paper ukuran 50 g.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji kesukaan telah dilakukan oleh 80 orang panelis tidak terlatih berumur 12 – 55 tahun
untuk uji kesukaan produk teh daun kelor dan berumur 17 – 22 tahun untuk uji kesukaan
brand/merk teh daun kelor. Panelis tidak terlatih yang digunakan dalam penelitian ini adalah
masyarakat umum daerah tempat tinggal peneliti yaitu Banjaran, Salem, Brebes. Hasil
analisis data tingkat kesukaan masyarakat terhadap teh daun kelor pengaruh frekuensi
blanching dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Hasil Uji Kesukaan Produk

Sumber: Hasil Perhitungan

Berdasarkan hasil uji kesukaan yang telah dilakukan oleh 80 orang panelis tidak terlatih
menunjukkan bahwa para panelis memiliki nilai kesukaan yang berbeda baik dari indikator
warna, aroma, tekstur dan rasa. Pada tabel diatas menunjukkan kesukaan panelis terhadap
sampel BLC0 (0x blanching/tanpa blanching) dengan rata-rata presentase 92,75% dengan
kriteria sangat suka, sampel BLC1 (1x blanching) dengan rata-rata presentase 89,31% dengan
kriteria sangat suka, sampel BLC2 (2x blanching) dengan rata-rata presentase 93,69% dengan
kriteria sangat suka. Secara umum dari keseluruhan indikator (keseluruhan, warna hijau,
aroma teh, rasa langu daun kelor, dan after taste pahit) masyarakat cenderung lebih memilih
sampel BLC2 (2x blanching) karena memiliki rata-rata nilai yang paling tinggi dibandingkan
sampel yang lain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik radar dibawah ini:

Gambar 1. Grafik Radar Rata-Rata Tingkat Kesukaan Masyarakat pada


Teh Daun Kelor

Dilihat dari luas wilayah pada grafik diatas dapat diketahui bahwa sampel BLC2 (2x
blanching) memiliki daerah yang lebih luas, artinya sampel BLC2 (2x blanching) tingkat
kesukaan masyarakatnya adalah sangat suka dan merupakan sampel dengan nilai paling
tinggi. Sedangkan sampel BLC0 (0x blanching) memilikiluas wilayah yang hampir sama
dengan sampel BLC 2 sehingga memiliki arti bahwa sampel BLC0 memiliki nilai tertinggi
kedua dan disukai oleh masyarakat dengan kriteria sangat suka, dan BLC1 (1x blanching)
memiliki luas wilayah yang paling kecil yang artinya sampel tersebut memiliki nilai yang
paling rendah namun dengan kriteria sangat suka. Dilihat dari grafik radar, the daun kelor
hasil eksperimen pada masing-masing sampel memiliki rerata yang berbeda baik dari segi
keseluruhan, warna hijau, aroma teh, rasa langu daun kelor, dan after taste pahit.
Keseluruhan merupakan kesatuan dari seluruh aspek atau indikator yang telah
ditentukan. Menurut Angraiyati Dewi dan Faizah Hamzah (2017), perbedaan rasa suka
ataupun tidak suka oleh panelis adalah tergantung kesukaan panelis terhadap masing-masing
perlakuan. Daroini ((2006) menyatakan bahwa parameter warna, aroma dan rasa dapat
dikatakan gabungan dari penilaian keseluruhan yang tampak. Penilaian secara keseluruhan
dapat dikatakan gabungan dari yang dilihat, dirasa dan dicium seperti warna, aroma dan rasa.
Hal ini sejalan dengan penilaian panelis secara uji kesukaan teh daun kelor bervariasi dari
tingkat warna hijau, aroma teh, rasa langu daun kelor dan after taste pahit. Penilaian secara
keseluruhan merupakan penilaian terakhir yang diamati oleh panelis. Dari hasil uji kesukaan
dapat disimpulkan bahwa teh daun kelor BLC0 (0x blanching/ tanpa blanching) paling
disukai oleh masyarakat dengan kriteria suka.
Warna hijau menjadi faktor yang penting dalam sebuah produk karena hal pertama yang
dilihat konsumen adalah penampilannya. Warna teh yang dihasilkan adalah hijau kecoklatan.
Teh daun sampel BLC0 lebih disukai panelis karena warnanya lebih jernih sehingga enak
dipandang dan menarik perhatian. Warna hijau pada teh daun kelor disebabkan oleh klorofil
atau pigmen hijau yang terdapat pada daun kelor. Frekuensi blanching dan lama proses
pengeringan pada teh daun kelor berpengaruh terhadap warna pada teh yang dihasilkan. Maka
semakin besar frekuensi blanching dan semakin lama pengeringan maka warna yang
dihasilkan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena warna hijau pada daun kelor
mengalami degradasi akibat pemanasan sehingga klorofil daun kelor tidak stabil dan
membentuk warna hijau. Selain itu proses blanching (pengukusan sementara) juga
mengakibatkan warna hijau pada daun kelor berubah menjadi kusam . hasil penelitian ini
sesuai dengan pernyataan Hermani dan Nurdjanah (2004), bahwa proses pengeringan
meyebabkan warna hijau klorofil pada daun teroksidasi menjadi coklat. Hal ini dikarenakan
terjadi peristiwa pencoklatan.
Aroma teh merupakan sebuah bau yang dapat ditangkap oleh indera penciuman.
Menurut Soekarto (1990), aroma adalah salah satu parameter yang menentukan tingkat
penerimaan konsumen. Dalam industri pangan, pengujian aroma dianggap penting karena
dengan cepat dapat dianggap memberikan penilaian terhadap suatu produk, apakah produk
disukai atau tidak disukai konsumen. Menurut SNI 3836 (2013) dalam Angraiyati Dewi dan
Faizah Hamzah (2017), aroma seduhan teh yang baik adalah khas produk teh. Teh daun kelor
sampel BLC2 (2x blanching) lebih disukai masyarakat karena memiliki aroma khas teh dan
tidak berbau langu khas daun kelor. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering frekuensi
blanching maka semakin menurun pula aroma bau langu khas daun kelor. Penurunan ini
disebabkan karena enzim lipoksidase penyebab bau langu tersebut diinaktifkan dengan proses
blanching. ini sejalan dengan tujuan dari blanching yaitu untuk menghilangkan bau dan
flavor yang tidak dikehendaki serta menginaktifkan enzim serta sejalan dengan Ilona (2015)
bahwa aroma langu dapat dikurangi dengan cara blanching. Menurut Ciptadi dan Nasution
(1979), senyawa pembentuk aroma teh terutama terdiri dari minyak atsiri yang bersifat
mudah menguap dan bersifat mdah direduksi sehingga dapat menghasilkan aroma harum
pada teh.
Rasa langu daun kelor merupakan faktor yang juga menjadi penentu tingkat
kesukaan konsumen pada produk teh daun kelor. Menurut Angraiyati Dewi dan Faizah
Hamzah (2017), rasa merupakan kriteria penting dalam menilai suatu produk pangan yang
banyak melibatkan indra pengecap yaitu lidah. Rasa terbentuk dari sensasi yang berasal dari
perpaduan bahan pembentuk dan komposisinya pada suatu produk makanan yang ditangkap
oleh indra pengecap serta merupakan salah satu pendukung citarasa yang mendukung kualitas
suatu produk. Menurut SNI 3836 (2013) dalam Angraiyati Dewi dan Faizah Hamzah (2017),
rasa sduhan teh yang baik adalah khas produk teh. Rasa dasar pada daun kelor adalah langu,
hal ini disebabkan karena daun kelor mengandung enzim lipoksidase yang terdapat pada
sayuran hijau dengan menghidrolisis atau atau menguraikan lemak menjadi senyawa-
senyawa penyebab bau langu yang tergolong pada kelompok heksanal 7 dan heksanol. Teh
daun kelor sampel BLC2 (2x blanching) paling disukai oleh masyarakat karena memiliki rasa
langu daun kelor itu tidak ada, yang terasa hanya rasa enak. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin sering frekuensi blanching maka semakin menurun pula rasa langu khas daun kelor.
Penurunan ini disebabkan karena enzim lipoksidase penyebab bau langu tersebut diinaktifkan
dengan proses blanching. ini sejalan dengan tujuan dari blanching yaitu untuk
menghilangkan bau dan flavor yang tidak dikehendaki serta menginaktifkan enzim.
After taste pahit taste pahit disebabkan oleh senyawa alkaloid, yaitu senyawa yang
banyak ditemukan pada daun-daun yang memiliki rasa pahit salah satunya daun kelor. Teh
pada sampel BLC2 (2x blanching) paling disukai karena terasa seperti teh pada umumnya,
selain itu after taste pahitnya yaitu agak pahit. Hal ini disebabkan karena rasa pahit pada daun
kelor menurun dengan perlakuan blanching. sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin
lama frekuensi blanching maka semakin menurun pula rasa pahit daun kelor. Penurunan ini
disebabkan karena kadar alkaloid menurun seiring dengan proses blanching dilakukan. Hal
ini sejalan dengan Lantah et al (2017), yang menyatakan bahwa alkaloid memiliki sifat tidak
tahan panas.
Kemudian data hasil uji kesukaan brand/merk pada seluruh aspek menghasilkan
brand/merk yang paling disukai oleh masyarakat terdapat pada sampel 1 dengan presentase
sebesar 81,06%. Kemudian diikuti sampel 3 dengan presentase sebesar 73,13%. Dan terakhir
pada sampel 2 dengan presentase sebesar 77,06%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Radar Rata-Rata Tingkat Kesukaan Masyarakat pada


Brand/merk Teh Daun Kelor

Selain uji kesukaan, dilakukan uji laboratorium untuk mengetahui kandungan gizi
meliputi kadar protein dan zat besi yang ada pada teh daun kelor hasil eksperimen. Uji
laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Chemix Pratama, Bantul, Yogyakarta. Hasil
analisis data kandungan kadar protein dan zat besi teh daun kelor dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium

Sumber: Hasil Penghitungan

Berdasarkan tabel di atas, kandungan kadar protein dan zat besi pada teh daun kelor
variasi frekuensi blanching diatas dapat diketahui jumlah kandungan kadar protein dan zat
besinya. Kandungan kadar protein dan zat besi pada teh daun kelor sampel BLC0 (0x
blanching) sebesar 33,4435% kandungan kadar protein dan 64,5888 mg/100g kandungan zat
besi. Kemudian pada teh daun kelor sampel BLC1 (1x blanching) sebesar 31,7593%
kandungan kadar protein dan 36,2587 mg/100g kandungan zat besi. Dan pada teh daun kelor
sampel BLC2 (2x blanching) sebesar 38,6632% kandungan kadar protein dan 36,9026
mg/100g kandungan zat besi. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel terbaik
produk teh daun kelor frekuensi blanching yaitu pada sampel BLC2 (2x blanching). Hal
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zaki Irwan (2020), yang menyatakan
bahwa kandungan protein tertinggi daun kelor ditemukan pada metode pengeringan dengan
melakukan pemanasan pendahuluan (blanching), hal ini menggambarkan bahwa protein pada
daun kelor sangat terpengaruh dengan berbagai proses yang terjadi pada daun baik yang
secara alami maupun sengaja dilakukan, oleh karena itu untuk dapat mempertahankan
kandungan protein pada daun kelor, maka perlu dilakukan perlakuan awal blanching.
Terakhir adalah hasil perhitungan BEP (Brak Even Point), perkiraan biaya produksi
pada teh daun kelor dengan variasi frekeunsi blanching 0x blanching (tanpa blanching), 1x
blanching, dan 2x blanching untuk satu kali produksi dengan menggunakan variasi frekuensi
blanching 2x menghasilkan 100 kemasan. Perkiraan satu kali produksi teh daun kelor
frekuensi blanching dapat diperoleh perhitungan sebagai berikut: total biaya bahan baku Rp.
2.323.500,- , penyusutan alat sebesar Rp. 48.250,- , biaya tambahan lain-lain sebesar Rp.
1.906.000,- , total biaya tetap sebesar Rp. 1.564.250,- , total biaya variabel atau tidak tetap
sebesar Rp. 4.229.500,- , total biaya produksi sebesar Rp. 5.793.750,-. Pada perhitungaan
laba diambil 20% dari total biaya produksi yaitu Rp. 1.158.750,- , dari perhitungan laba
diperoleh harga teh daun kelor perbungkus yaitu Rp. 11.600,- , dan harga pokok produksi per
bungkus sebesar Rp. 9.700,- serta BEP 500 unit. Dari hasil analisis inilah didapatkan bahwa
Harga teh daun kelor frekuensi blanching 2x blanching setelah dikalkulasi adalah seharga
Rp. 11.600,- per bungkus dengan berat kurang lebih 50 gram. Harga pokok produksi teh daun
kelor adalah Rp. 9.700,- per bungkus, berdasarkan harga pokok tersebut perusahaan
mengambil keuntungan sebesar Rp. 1.900,- per bungkusnya. Setelah dilakukan perhitungan
dapat diketahui bahwa break even point dapat dicapai oleh perusahaan jika perusahaan
mampu menjual 500 unit atau bungkus teh daun kelor dalan kurun waktu kurang dari satu
bulan. Hal ini berarti bahwa perusahaan harus menjual sebanyak 500 bungkus teh daun kelor
dalam waktu satu bulan (24 hari) jika perusahaan tidak ingin mengalami kerugian. Namun,
jika dalam jangka waktu 24 hari tersebut perusahaan hanya mampu menjual sebanyak 498
bungkus teh daun kelor saja, maka perusahaan tidak mengalami kerugian juga tidak
mendapatkan keuntungan. Dikarenakan keuntungan yang didapatkan selama penjualan bulan
pertama akan digunakan sebagai modal usaha.

KESIMPULAN

Adanya pengaruh frekuensi blanching terhadap tingkat kesukaan masyarakat pada teh
daun kelor ditinjau dari semua aspek yaitu keseluruhan (after taste pahit, warna hijau, aroma
teh, rasa langu daun kelor), warna hijau, aroma teh, rasa langu daun kelor dan after taste
pahit. Tingkat kesukaan masyarakat trhadap teh daun kelor variasi frekuensi blanching yaitu
sampel BLC0 (0x blanching/ tanpa blanching), sampel BLC1 (1x blanching) dan sampel
BLC2 (2x blanching) ditinjau dari aspek keseluruhan (after taste pahit, warna hijau, aroma
teh, rasa langu daun kelor), warna hijau, aroma teh, rasa langu daun kelor dan after taste pahit
mempunyai kriteria cukup suka hingga sangat suka. Dari hasil uji kesukaan, yang paling
disukai oleh masyarakat adalah teh daun kelor sampel BLC2 (2x blanching), kemudian teh
daun kelor sampel BLC0 (0x blanching/tanpa blanching), dan terakhir adalah teh daun kelor
sampel BLC1 (1x blanching). Sedangkan tingkat kesukaan masyarakat terhadap merk/brand
teh daun kelor dilihat dari aspek kelengkapan informasi, kesesuaian gambar, kekontrasan
warna, dan penataan template mempunyai kriteria suka. Dari hasil uji kesukaan brand/merk
yang paling disukai oleh masyarakat adalah brand/merk sampel 1. Kemudian untuk hasil uji
kandungan kadar protein dan zat besi pada teh daun kelor variasi frekuensi blanching sampel
BLC0 (0x blanching/tanpa blanching) sebesar 33,4435% kandungan kadar protein dan
64,5888 mg/100g kandungan zat besi. Kemudian pada teh daun kelor sampel BLC1 (1x
blanching) sebesar 31,7593% kandungan kadar protein dan 36,2587 mg/100g kandungan zat
besi. Dan pada teh daun kelor sampel BLC2 (2x blanching) sebesar 38,6632% kandungan
kadar protein dan 36,9026 mg/100g kandungan zat besi. Sedangkan berdasarkan analisis
Break Even Point (BEP), harga jual teh daun kelor frekuensi blanching 2x blanching per
bungkus adalah Rp. 11.600,- dengan berat kurang lebih 50 gram. Dan BEP dapat tercapai
dalam waktu 24 hari dengan jumlah penjualan sebesar Rp. 5.800.000,-.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adeyemi, E. 2014. Moringa Oleifera Supplemented Diets Prevented Nickel-Induced


Nephrotoxicity in Wistar Rats. Journal of Nutrition and Metabolism. 4(2): 1-8.
2. Angraiyati, Dewi dan Faizah Hamzah. 2017. Lama Pengeringan Pada Pembuatan Teh
Herbal Daun Pandan Wangi (Pandanus amarylifolius Roxb.). JOM Faperta UR. Vol. 4.
No.1.
3. Ciptadi, W. dan M. Z. Nasution. 1979. Mempelajari Cara Pemanfataan Teh Hitam Mutu
Rendah Untuk Pembuatan Teh Dadak. IPB, Bogor.
4. Daroini, O. 2006. Kajian Proses Pembuatan Teh Herbal dari Campuran Teh Hijau
(Camellia sinensis), Rimpang Bangle (Zingiber cassumunar Roxb.) dan Daun Cermai
(Phyllanthus acidus (L.) Skeels.). Skripsi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
5. Haryadi, N. K. 2011. Kelor herbal Multikhasiat Ampuh Melawan diabetes Mellitus,
Kolesterol tinggi dan Penyakit Lainnya. Surakarta: Delta Media.
6. Hermani dan R. Nurdjanah. 2004. Aspek Pengeringan dalam Mempertahankan
Kandungan Metabolit Sekunder pada Tanaman Obat. Jurnal Perkembangan Teknologi
Tro. Vol 21(2): 15-21.
7. Ilona A.D dan Rita Ismawati. 2015. Pengaruh Penambahan Ekstrak Daun Kelor dan
Waktu Inkubasi Terhadap Sifat Organoleptik Yoghurt. Jurnal Tata Boga, 4 (3). 151-159.
8. Juniaty, Towaha Balittri. 2013. Kandungan Senyawa Kimia Pada Daun Teh (Camellia
simensis). Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol. 19 No. 3.
9. Lantah, P.L., L. A. D. Y. Montolalu & A. R. Reo. 2017. Kandungan Fitokimia dan
Kandungan Antioksidan Ekstrak Metanol Rumput Laut (Kappaphycus alvarezji). Jurnal
Media Teknologi Hasil Perikanan. Vol. 5. No. 3.
10. Nweze, Nkechinyere Onyekwere and Nwafor, Felix I. 2014. Phytochemical, Proximate
and Mineral Composition of Leaf Extracts of Moringa oleifera Lam. From Nsukka,
South-Eastern Nigeria. Journal of Pharmacy and Biological Sciences. Volume 9, Issue
1.
11. Ojiako, E.N. 2014. Phytochemical Analysis and Antimicrobial Screening Of Moringa
oleifera Lam. Leaves Extract. The Internasional Journal Of Engineering And Science.
Volume 3, Issue 3.
12. Soekarto, S.T. 1990. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
IPB Press. Bogor.
13. Winarno, F.G. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
14. Yulianti, R. 2008. Pembuatan Minuman Jeli Daun Kelor (Moringa oleifera Lamk)
Sebagai Sumber Vitamin C dan β-Karoten. Skripsi: Bogor: Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.
15. Zaki Irwan. 2020. Kandungan Zat Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Berdasarkan
Metode Pengeringan. Jurnal Kesehatan Manarang. Vol. 6, No.2. Hal 69-77.

You might also like