Konsep Ta'Dib: Dosen Pembimbing Amir Mukminin, S.Pd.I, M.PD

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 16

KONSEP TA’DIB

DOSEN PEMBIMBING

Amir Mukminin, S.Pd.I, M.Pd.

DISUSUN OLEH :

Sri lestari

P.03.20.0056

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MULIA ASTUTI

WONOGIRI

1
2001

ABSTRACT
In an effort to return the goals of Islamic education to the path that has been forgotten, real efforts
are needed to achieve this. One of the efforts to rebuild the orientation of Islamic education which
began to be intimidated by romanization is to restore the concept of Islamic education which
emphasizes ta'dib. So, it can be understood that the purpose of Islamic education is to monotheise
oneself to Allah. That is, monotheism oneself to Allah is the main priority in Islamic education apart
from scientific goals (science and technology, expertise, skills and professionalism), shaping humans
to become caliphs, forming noble morals, forming Islamic beings for themselves and for society, and
preparing humans. for life in this world and the hereafter. Therefore, the direction and objectives,
material content, methods, and evaluation of students and teachers must be arranged in such a way
as not to deviate from the foundation of Islamic faith. Ta'dib as a concept of Islamic education which
is indispensable in this modern era. This paper examines the concept of Islamic education At-ta'dib
which was initiated by Syed Naquib Al-Attas. This is a form of effort to bring back the concept of
Islamic education which has started to veer away from the basic concept of education instilled by
Islam. Related to this in the philosophy of Islamic education, the terms tarbiyah, ta'līm and ta'dīb are
known. Even though the term ta'dīb is actually the most appropriate to be used because this term
does not only contain the concept of knowledge transfer but also value transfer to students.

Keyword : Concept of islamic education At-ta’dib

ABSTRAK
Dalam upaya mengembalikan tujuan pendidikan Islam kepada jalan yang selama ini terlupakan,
diperlukan usaha-usaha yang nyata untuk menggapai hal tersebut. Salah satu usaha membangun
kembali orientasi pendidikan Islam yang mulai terintimidasioleh romanisasi adalah mengembalikan
konsep pendidikan Islam yang mengedepankan ta’dib. Sehingga, bisa dipahami bahwa tujuan dari
pendidikan Islam adalah untuk mentauhidkan diri kepada Allah. Artinya, mentauhidkan diri kepada
Allah adalah prioritas utama dalam pendidikan Islam selain dari tujuan keilmuan (IPTEK, keahlian,
keterampilan dan profesionalisme), membentuk manusia untuk menjadi khalifah, pembentukan
akhlak yang mulia, membentuk insan Islami bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, serta
mempersiapkan manusia bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, arah dan tujuan,
muatan materi, metode, dan evaluasi peserta didik dan guru harus disusun sedemikan rupa agar
tidak menyimpang dari landasan akidah Islam. Ta’dib sebagai suatu konsep pendidikan islam yang
sangat diperlukan pada masa modern ini. Tulisan ini mengkaji lebih dalam konsep pendidikan Islam
At-ta’dib yang digagas oleh Syed Naquib Al-Attas. Hal tersebut merupakan bentuk usaha
mengembalikan kembali konsep pendidikan Islam yang selama ini mulai berbelok arah dari konsep
dasar pendidikan yang di tanamkan oleh Islam. Terkait dalam hal ini dalam filsafat pendidikan Islam
dikenal istilah tarbiyah, ta’līm dan ta’dīb. Padahal Istilah ta’dīb sesungguhnya adalah yang paling
tepat di pergunakan sebab istilah ini tidak hanya mengandung konsep transfer ilmu pengetahuan
akan tetapi juga transfer nilai kepada peserta didik.

Kata kunci: Konsep pendidikan islam At-ta’dib

2
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………………………....………….............1

ABSTRAK ...................................................................................................2

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………............…...........3

KATA PENGANTAR………………………………………………………….........………….........4

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………..…....………........5

A. Latar Belakang …………………………………………………........……….………...5

B. Rumusan Masalah ……………………………………........……………………....…6

C. Tujuan Penulisan makalah ………………………………......……………..….....6

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………..........……....……....6

A. Pengertian akhlaq .........................................................................6

B. Makna pendidikan islam ...............................................................6

C. Konsep ta’dib Oleh Syed M Naquib Al-Attas ………………………………..7

D. Implikasi Konsep Ta’dib yang Digunakan Oleh Syed M Naquib Al-Attas dalam Konteks
pendidikan Karakter...................................................................8

BAB III PENUTUP.........................................................................................14

A. kesimpulan…………………………………………………...……..................…….…14

B. Saran ……………………………………………………………………….........…….….....14

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………........………...……….....15

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan rahmat , hidayah
serta kemudahan sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “konsep ta’dib”
ini tepat pada waktunya. Tidak lupa shawalat serta salam kita curahkan bagi Baginda Agung
Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wassalam yang syafaatnya akan kita nantikan kelak. Makalah berjudul
“konsep ta’dib” ini menjelaskan bahwa Konsep pendidikan baik formal, informal maupun non-formal
dalam perspektif pendidikan Islam pada dasarnya tidak hanya ditujukan untuk membekali peserta
didik agar memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan, akan tetapi juga memiliki kecerdasan
emosional, sosial dan spiritual. Hal inilah yang akan membentuk mereka menjadi manusia yang
berkarakter insān kāmil . Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Bapak Dosen Amir Mukminin, S.Pd.I, M.Pd. pada mata kuliah tafsir pendidikan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang konsep mendidik bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Amir Mukminin, S.Pd.I, M.Pd., selaku dosen
mata kuliah tafsir pendidikan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Penulis menyadari,
makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Wonogiri, Maret 2021

Sri lestari

4
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Karakter pendidikan yang dikehendaki oleh Islam adalah pendidikan yang bisa
membentuk manusia unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral
dan kebijakan. Tujuan akhir dari pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-
cita ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an surat al-Anbiya’ (21) ayat 107,
yang artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” Ayat tersebut mengandung hakikat tentang misi Islam, yaitu membawa
kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Jika ayat tersebut dikaitkan dengan pendidikan, maka
dapat dipahami bahwa pendidikan berorientasi untuk melahirkan generasi yang mampu
melaksanakan misi rahmatan lil al-alamin.

Meskipun demikian, dalam suasana kehidupan modern dan kebudayaan yang


mengglobal serta terpenuhinya berbagai mobilitas kehidupan secara teknologis saat ini,
manusia mulai berhadapan dengan masalah klasik mengenai jati-diri dan tujuan hidupnya.
Selanjutnya, perkembangan dan kemajuan IPTEK juga mengakibatkan munculnya nilai-nilai
baru. Nilai-nilai itu sebagian sejalan dengan ketentuan-ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala,
namun ada juga yang dapat menyesatkan manusia. Salah satunya adalah nilai individualisasi
bergerak ke arah individualisme dan bahkan egoisme, memunculkan sikap acuh pada
kepentingan bersama. Usaha tolong-menolong untuk berbuat kebaikan cenderung
berkurang, tetapi sebaliknya tolong menolong untuk berbuat keburukan dan kerusakan di
bumi semakin meningkat.

Sudah menjadi rahasia umum, kejahatan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai saat ini
telah dilakukan oleh berbagai golongan dalam lapisan masyarakat dan berbagai aspek
kehidupan. Ironisnya kejahatan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai ini justru banyak di
lakukan oleh kaum atau golongan yang seharusnya memberikan teladan kepada masyarakat
luas atau yang dikenal dengan sebutan penjahat kerah putih (white collor crime). Tindakan
yang merugikan masyarakat luas ini merupakan kejahatan yang dilakukan oleh golongan
terpelajar, pengusaha, pejabat dalam menjalankan peran dan fungsinya. Bahkan kejahatan
kerah putih ini lebih berbahaya daripada yang di lakukan oleh kaum kerah biru (blue collor
crime), yaitu golongan yang menempati strata rendah, kaum kurang terdidik atau kurang
terpelajar. Jika dikaitkan dengan pendidikan, hal itu menunjukkan rapuhnya landasan moral
dan nilai-nilai dalam pendidikan. Sistem nilai dan moral yang terbangun dari dunia
pendidikan masih jauh dari harapan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pendidikan
Islam perlu merekonstruksi kembali konsep dan sistem pendidikannya sesuai dengan moral
dan nilai-nilai Islam sehingga dapat membangun peradaban sesuai dengan misi Islam.
Dengan demikian, tulisan ini akan mencoba memahami dan menggali informasi salah satu
konsep pendidikan yang fundamental dari seorang tokoh pendidikan, yaitu Syed
Muhammad
5
Naquib al-Attas. Salah satu konsep pendidikan yang fundamental, integral dan dianggap
mampu membangun peradaban serta dapat dijadikan sebagai kerangka ataupun landasan
pendidikan dalam perspektif Syed M. Naquib al-Attas tersebut adalah konsep ta’dib.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang
ada dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan konsep ta'dib dalam pemikiran

Syed Muhammad Naquib al-Attas?

2. Bagaimana implikasi ta'dib dalam pendidikan Islam?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk
memenuhi tugas dalam perkuliahan, juga agar saya khususnya dan semua mahasiswa pada
umumnya bisa memahami lebih rinci konsep pendidikan ta’dib, serta mampu
mengimplikasikan ta’dib dalam pendidikan islam di lingkungan kita sehingga terwujud
generasi yang ber akhlaqul karimah, generasi yang Rabbani dalam suasana kehidupan
modern dan kebudayaan yang mengglobal.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlaq

Akhlak Menurut al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Abidin Ibn Rusn, akhlak
adalah:“Suatu sikap yang mengakar dalam jiwa, yang darinya lahir berbagai perbuatan
dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu lahir
darinya perbuatan baik dan terpuji, baik dari segi akal maupun syar’i, maka ia disebut akhak
yang baik, dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela maka sikap tersebut dikatakan
sebagai akhlak yang buruk”.1 Mengenai akhlak terdapat beberapa hal penting yang perlu di

1
Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta:
6
pahami guna mendapatkan pengertian yang komprehensif tentang akhlak. Di antaranya
pemahaman terhadap apa yang menjadi lapangan dan wilayah akhlak adalah salah satu hal
penting yang perlu diketahui. Kahar Masykur menerangkan lapangan akhlak secara garis
besar meliputi: pertama, bagaimana seharusnya manusia kepada khaliknya (penciptanya).
Kedua, bagaimana sikap manusia kepada manusia dan ketiga, bagaimana sikap manusia
terhadap makhluk lainnya.2

B. Pendidikan Islam

Menurut al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, pendidikan


Islam haruslah diarahkan kepada dua aspek, pertama, Insan purna, yang bertujuan
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala, kedua, Insan Kamil yang bertujuan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 3 Dengan demikian pendidikan haruslah
memiliki tujuan akhir kepada terbentuknya seorang hamba yang taat dan patuh kepada
Allah Subhanahu Wata’ala sebagai suatu perintah yang tidak bisa di tawar-tawar lagi dan
merupakan sesuatu yang mutlak.

Selanjutnya dalam hubungan dengan nilai akhlak, pendidikan Islam apabila tidak
berhasil mengantarkan seorang individu sebagai peserta didik menuju tujuan luhur Islam,
yakni kedekatan pada Tuhan dan kebagusan akhlak, maka tatanan pendidikan itu di anggap
rapuh dan proses pendidikan itu di anggap gagal. 4

C. Konsep Ta'dib Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam yaitu at-tarbiyah, al
ta’lim dan salah seorang pembicara utama dan mengetuai komite yang membahas cita-cita
dan tujuan pendidikan at-ta’dib. Umumnya, istilah pendikan Islam banyak menggunakan at
Tarbiyah. Padahal menurut Naquib Al Attas, pengertian ta’dib lebih tepat di pakai untuk
pendidikan Islam daripada ta’lim atau tarbiyah. Ta’dib merupakan mashdar dari addaba yang
secara konsisten bermakna mendidik. Ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib,
muaddib. Seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian disebut juga mu’addib.
Setidaknya. Seorang pendidik (muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan,
pengembangan diri atau suatu ilmu agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu,
menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi

Pustaka Pelajar, Cet I, 1998), hal. 93

2
Kahar Masykur, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta: Rineka Cipta,

1994Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1995), hal. 3-4

3
Fathiyah Hasan Sulaiman, Pendidikan Versi Al-Ghazali, terjemahan

Fathur Rahmaan, (Bandung: Al-Ma'arif, 1986), hal.24

4
H. B. Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang,

1993), hal. 109


7
Rasulullah Shllallaahu ‘alaihi wassalam. Cara mendidiknya perlu dengan menggunakan cara-
cara yang benar sesuai kaidah. Karena itu ta’dib berbeda dengan mengajarkan biasa sebagai
mana umumnya mengajarkan siswa di sekolah yang hanya dominan mengejar akademis dan
nilai.

Konsep Ideal pendidikan Islam secara sistematis telah disampaikan Al-Attas dalam
sebuah Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam di Makkah pada awal tahun
1977. Pada Konferensi tersebut, Al-Attas menjadi pembicara. Dalam kesempatan ini, Al-Attas
mengajukan agar definisi pendidikan Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah
pendidikan Islam menjadi ta’dib. Konsep ta’dib ini disampaikan kembali oleh Al-Attas pada
Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad,
pada 1980.

Sebenarnya apa yang menjadi alasan Al-Attas terus-menerus memperjuangkan


konsep ta’dib sebagai pengganti dari Pendidikan Islam? Itu tidak lain, karena menurut Al-
Attas, jika benar-benar di pahami dan di jelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep
yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim. Sebab, Al-Attas
melanjutkan, bahwa struktur kata ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi
(ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa
konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep
tarbiyah-ta’lim-ta’dib. (baca The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic
Philosophy of Education).

Masih dalam karya yang sama, Al-Attas juga menegaskan bahwa istilah “pendidikan”
yang digunakan sekarang ini, secara normal, bersifat fisik dan material serta berwatak
kuantitatif. Hal tersebut lebih disebabkan oleh konsep bawaan yang termuat dalam istilah
tersebut berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja. Esensi
sejati proses pendidikan telah diatur menuju pencapaian tujuan yang berhubungan dengan
intelek atau ‘aql yang ada hanya pada diri manusia.

Dari sinilah kemudian, dengan konsep ta’dib-nya, Al-Attas menjelaskan bahwa orang
terpelajar adalah orang baik. “Baik” yang dimaksudkan di sini adalah adab dalam pengertian
yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha
menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.” Oleh karena itu, orang yang benar-benar
terpelajar menurut perspektif Islam didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab.
(baca: Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas).

Oleh sebab itu, pendidikan, menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman
adab dalam diri seseorang—ini disebut dengan ta’dib.” (baca: Aims and Objectives).
Sebagaimana al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalan
Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wassalam, yang oleh kebanyakan sarjana Muslim
disebut sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Perkataan
adab sendiri memiliki arti yang sangat luas dan mendalam. Selain itu, Al-Attas melanjutkan,
ide yang dikandung dalam perkataan ini sudah diislamisasikan dari konteks yang dikenal
pada masa sebelum Islam dengan cara menambah elemen-elemen spiritual dan intelektual
pada dataran semantiknya.

8
Maka, berdasarkan arti perkataan adab yang telah diislamisasikan itu dan berangkat
dari analisis semantisnya, Al-Attas mengajukan definisinya mengenai adab: Adab adalah
pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu yang ada
terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan
bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas,
kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya. (baca: The Semantics of Adab)

Al-Attas, sekali lagi menegaskan bahwa pendidikan sebagai penanaman adab ke


dalam diri, sebuah proses yang sebenarnya tidak dapat diperoleh melalui suatu metode
khusus. Dalam proses pembelajaran, siswa akan mendemonstrasikan tingkat pemahaman
terhadap materi secara berbeda-beda, atau lebih tepatnya pemahaman terhadap makna
pembelajaran itu. Hal ini karena ‘ilm dan hikmah yang merupakan dua komponen utama
dalam konsepsi adab benar-benar merupakan anugerah Allah Swt. (baca: Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam, Syed M. Naquib Al-Attas).

Bahwa adab mensyaratkan ilmu pengetahuan dan metode mengetahui yang benar.
Dari sinilah kemudian, pendidikan Islam memainkan peranannya serta tanggung jawabnya di
dunia dan tujuan akhirnya di akhirat. Dari sini tampak sangat jelas dalam mata hati kita
bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras
dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta’dib. Dari sinilah kemudian,
menurut Al-Attas, konsep ideal pendidikan Islam adalah ta’dib.

4. Implikasi Ta’dib Dalam Pendidikan Islam

Pemikiran pendidikan Islam yang terformula dan ditawarkan al-Attas, pada prinsipnya
merupakan konsep pendidikan yang bercorak moral dan religius, yang tetap menjaga prinsip
keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsepsinya
tentang ta'dib (adab) yang di dalamnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Dalam
definisinya dijelaskan bahwa, setelah manusia di kenalkan akan posisinya dalam tatanan
kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di
masyarakat berdasarkan nilai-nilai moral dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda
dapat dikatakan bahwa dalam penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus
melandasi keduanya berdasarkan pada pertimbangan nila-inilai yang bersumber dari ajaran
agama ataupun nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Nilai-nilai tersebut berfungsi sebagai
pengendali dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu, pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan lebih
bermakna dan dapat dilaksanakan dalam kerangka ibadah guna kemaslahatan manusia.

Pendidikan al-Attas ini, berupaya untuk mengembangkan nilai-nilai normatif ilahiyah


(nilai-nilai spritual) yang dijadikan sumber moral khususnya moral Islam (akhlak). Oleh
karena itu, pendidikan yang dikembangkan harus berupaya memanusiakan manusia dengan
menekankan keharmonisan hubungan sesama manusia, masyarakat dan lingkungannya.
Dalam pandangan Islam, manusia adalah sentral sasaran ajarannya dan proses pendidikan
baik manusia hubungannya dengan Tuhannya, hubungan antara sesama manusia dan antara
manusia dengan alamnya.5 Nilai-nilai tersebut diperlukan dan harus dikembangkan, karena

5
A. Qodry Abdullah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta,
9
jika nilai-nilai itu hilang, maka akan terjadi disintegrasi atau kekacauan dalam kehidupan
individu dan masyarakat.6

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka konsep pendidikan Islam harus


dibangun dan bersumber dari konsep ketuhanan (ilahiyah) dan kemanusiaan dalam rangka
membangun moralitas dan akhlak manusia yang anggun untuk dapat mewujudkan
kehidupan manusia yang seimbang dan integratif antara nilai-nilai ilahiyah, kemanusiaan
(insaniyah) dan nilai-nilai budaya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia yang
“menghargai spiritual adalah manusia yang membangun ilmu pengetahuan dan iman secara
integratif, manusia yang mengembangkan amal dan karya secara sungguh-sungguh serta
manusia yang mengaplikasikan akhlak dan moral secara menyeluruh dalam prilaku
kehidupan dan kehidupannya.7

1. Tujuan Pendidikan Islam

Menurut al-Attas, pada prinsipnya pendidikan itu bertujuan untuk melahirkan manusia
yang baik, manusia adab atau Insan kamil yang beriman dan taqwa kepada Allah Subhanahu
Wata’ala sebagai khaliq Sang Penciptanya.

Menurut Achmadi, insan kamil adalah manusia yang bercirikan:

1. Manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian;

a) dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan

b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi


lingkungan sosial alamnya.

2. Manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya. 8

Uraian di atas menunjukkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan


manusia yang seimbang; selain manusia tersebut mempunyai kemampuan intelektual, ia
juga memiliki kesadaran moral dan spiritual yang selalu membimbingnya dalam setiap
aktivitas kehidupan. Dalam aktifitas pendidikan, aspek moralspiritual ini mempunyai

Kajian Historis Normative, dalam Ismail SM, Abdullah Mukti (Editor), Pendidikan

Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,

2000), hlm. 103

6
Ibid, hal. 173

7
Abd. Rahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam

Rekonstruksi Pemikiran daam Tinjauan Filsafat Pendidikan Isam, (Yogyakarta: UII

Press, 2002), hal. 231

8
Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), hal. 76


10
signifikansinya bila dijadikan sebagai konsep dasar dalam merumuskan tujuan pendidikan
Islam atau dijadikan sebagai core (inti) dalam mengembangkan pendidikan Islam. Karena,
lulusan pendidikan yang kurang memiliki nilai-nilai moral, keimanan dan ketakwaan yang
kuat, pada gilirannya dapat menimbulkan krisis multidimensional sebagaimana keadaan
bangsa saat ini, yang intinya terletak pada krisis moral atau akhlak. 9

Rumusan tujuan pendidikan Islam ini harus tetap dalam bingkai konfigurasi integral,
sehingga tidak menimbulkan ketimpangan dalam pendidikan. Karena, Islam sendiri dengan
serangkaian ajarannya selalu mengintegrasikan dimensi ilahiyah dan dimensi duniawiyah
dalam satu kesatuan yang utuh. Artinya, Islam tidak mengenal konsep pemisahan antara
kedua dimensi tersebut dalam bentuk peradaban. 10 Implikasinya dalam tujuan pendidikan
Islam yakni tujuan pendidikan Islam diarahkan untuk menghasilkan manusia-manusia
seimbang yang pandai dan cerdas, yang memiliki moral anggun dan akhlakul karimah, serta
memiliki iman dan takwa yang tercermin dalam perilaku kesehariannya, sehingga dapat
membawa manusia pada kehidupan yang baik atau kebahagiaan dunyawiyah dan
ukhrawiyah.

Atau dengan bahasa berbeda, menghasilkan manusia dengan ilmu dan teknologi
modern yang lebih mengutamakan kepada upaya meningkatkan kemampuan berilmu
pengetahuan dan berteknologi dengan iman dan takwa kepada Allah sebagai pembimbing
dan pengendalinya.

2. Kurikulum Pendidikan Islam

Bangunan kurikulum pendidikan Islam, menurut al-Attas, berangkat dari pandangan


bahwa karena manusia itu bersifat dualistik. 11 kandungan kurikulum pendidikan harus
memenuhi dua aspek dasar manusia tersebut. Pertama, memenuhi kebutuhannya yang
berdimensi permanen dan spiritual atau fardhu ‘ain; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan
material-emosional atau fardhu kifayah. Pemahaman dan pelaksanaan yang tepat terhadap
kategori ilmu pengetahuan fardhu 'ain (kewajiban bagi diri) dan fardhu kifayah (kewajiban
bagi masyarakat) ini akan memastikan realisasi kesejahteraan individu dan sosial. Walaupun
kategori pengetahuan yang kedua (fardhu kifayah) berkaitan langsung dengan masyarakat,
peranan pengetahuan pertama (fardhu 'ain) akan mempunyai pengaruh signifikan secara
tidak langsung.

Dimensi pertama di atas dijadikan nilai-nilai dasar (core values) bagi pengembangan
dimensi selanjutnya, yang meliputi aspek keilmuan, aspek life skill dan aspek-aspek lainnya.

9
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut

Dunia Pendidikan, (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), hal. 187

10
Abdurrahmansyah, Wacana Pedidikan Islam (Khazanah Filosofis dan

Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas),

(Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005), hal. 180

11
Syed M. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, hal. 85
11
Jika aspek keilmuan dikembangkan dengan berlandaskan pada aspek keilmuan pertama,
maka ilmu pengetahuan di sini menjadi media memahami dan menghayati Tuhan dalam
bentuk kelakuan empirik ketundukan kepada segala peraturan Allah Subhanahu Wata’ala. 12
Nilai-nilai dasar (core values) akan memberikan makna terhadap suatu proses sebagai
pengabdian kepada Tuhan.13 Sebab dalam Islam sendiri tidak mengena dikotomi ilmu
pengetahuan, karena itu, semua disiplin ilmu bisa didekati dengan nuansa “ilahiyah” dalam
mengantarkan manusia dan peradabannya menuju kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam
merumuskan konsep kurikulum, norma agama perlu dijadikan dasar dalam menafsirkan
semua pengetahuan modern dari sudut pandang slam. 14

Dengan demikian, implikasinya dalam merumuskan kurikulum pendidikan Islam


hendaknya bentuk dan formulasi kurikulum di sini harus mengandung makna dan nuansa
nilai-nilai “ilahiyah” yang tidak mesti dipahami dalam bentuk dikotomis, yakni
mengalokasikan pada satu bidang disiplin ilmu yang khusus dalam membahas mengenai
masalah nilai. Akan tetapi proses sosialisasinya bisa didekati dengan muatan semua disiplin
ilmu yang diajarkan dengan ruh dan semangat moralitas atau akhlak Islam. Karena Islam
sebagai sumber nilai dalam kehidupan, tentu menghendaki agar nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya bermakna dan diterima secara universal, sehingga setiap penelaahan disiplin
ilmu selalu dalam nuansa akhlaki dalam pengertian yang luas.

3. Metode Pendidikan Islam

Pada intinya Pendidikan dalam perspektif al-Attas (ta’dib) adalah proses penanaman
adab. Dalam menyelesaikan permasalahan di atas ta'dib menempati relevansinya, karena
dalam konteks metodologis dan pedagogis selain mengandung proses intelektualisasi, ta'dib
juga mengandung proses inkulturisasi, proses pembudayaan anak didik dan orang-orang
yang terlibat di dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang luhur. Hal ini menjadi sangat
relevan dengan zaman sekarang yang sering disebut sebagai zaman pascamodernisme
(posmodernisme); suatu masa di mana globalisasi mengakibatkan semakin tingginya
dislokasi kekacauan sosial atau juga alienasi, dan lain sebagainya. Pembentukan watak ini
menurut Azra menjadi sangat penting. Karena, orang-orang yang berkepribadian kuat, yang
berkarakter, akan lebih tangguh menghadapi globalisasi ataupun dampak-dampak
negatifnya.

Dengan demikian implikasinya dalam metode pendidikan Islam, yakni metodologi


pengajaran pendidikan Islam perlu disintesiskan secara kreatif sehingga menjadi perpaduan
harmonis antara pendekatan doktriner dan saintifik, dan lebih merupakan proses learning

12
Usman Abu Bakar & Surahim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan

Islam, Yogyakarta: Safiria Insania, 2005), hal. 139

13
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun

Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 145

14
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, hal. 183
12
(proses pendidikan) ketimbang hanya proses teaching (proses pengajaran). Hal ini
dimaksudkan dalam upaya untuk meningkatkan kecerdasan, yang tidak hanya sekedar
pengisian intelektual, tapi juga pembentukan kepribadian dan watak. Selain kebutuhan
aspek kognitif dan psikomotorik, aspek iman (afektif) juga dapat tersaji dan terpenuhi dalam
satu kesatuan yang utuh lewat berbagai metodologi dan pola pengajaran pendidikan Islam di
zaman ini. Oleh karena itu, pendidikan Islam diharapkan dapat menghasilkan sumber daya
manusia yang bermutu, berkualitas dalam bidang intelektual dan yang paling mendasar
adalah nilai-nilai moral-agama selalu membimbingnya, sehingga menciptakan situasi serta
kondisi sedemikian rupa dalam membangun peradaban saat ini dan di masa depan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Mentauhidkan diri kepada Allah adalah prioritas utama dalam pendidikan Islam.
Hal tersebut tidak lain diperoleh melalui ridha Allah. Dengan mengajukan konsep ta’dib
sebagai pengganti dari pendidikan Islam diharapkan agar peserta didik tidak hanya
13
memperoleh intelek dan ‘aql saja. Tetapi lebih dari itu semua, yaitu peserta didik benar-
benar mampu menjadi orang yang terpejalar, dan orang yang beradab.

Berdasarkan konsep ta'dib menurut al-attas maka dapat disimpulkan sebagai


berikut. naquib Al Attas dengan konsep ta'dib atau penamaan adab akhlak sopan santun
dan etika dalam pendidikan di mana konsep tersebut lebih kompleks berbeda dengan
konsep tarbiyah dan ta'lim karena dalam konsep ta'dib mencakup ilmu amal dan adab.
Tujuan akhir dari pendidikan dengan konsep takdir ini adalah menghasilkan generasi
penerus yang selalu memperhatikan adab dalam proses pencarian ilmu pengetahuan
dan dengan adab pula mereka mengamalkan kan ilmu pengetahuan yang telah
diperolehnya. Apabila konsep ini diterapkan dengan baik dalam dunia pendidikan,maka
generasi penerus bangsa memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi berbagai
tantangan global.

B. SARAN

Penulis memberikan saran yang bersifat konstruktif untuk semua elemen yang
terkait dengan dunia pendidikan kan mulai dari peserta didik pendidik kurikulum sampai
dengan pemerintahan agar bisa diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya
pendidikan Islam di Indonesia, sehingga ga ga peserta didik sebagai generasi penerus
telah siap menghadapi era globalisasi yang sangat terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, Cet I, 1998), hal. 93

14
Kahar Masykur, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta: Rineka Cipta,

1994Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1995), hal. 3-4

Fathiyah Hasan Sulaiman, Pendidikan Versi Al-Ghazali, terjemahan

Fathur Rahmaan, (Bandung: Al-Ma'arif, 1986), hal.24

H. B. Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang,

1993), hal. 109

https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2011/06/17/2195/tadib-konsep-
ideal-pendidikan-islam.html

A. Qodry Abdullah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta,

Kajian Historis Normative, dalam Ismail SM, Abdullah Mukti (Editor), Pendidikan

Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,

2000), hlm. 103

Abd. Rahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam

Rekonstruksi Pemikiran daam Tinjauan Filsafat Pendidikan Isam, (Yogyakarta: UII

Press, 2002), hal. 231

Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), hal. 76

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut

Dunia Pendidikan, (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), hal. 187

15
Abdurrahmansyah, Wacana Pedidikan Islam (Khazanah Filosofis dan

Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas),

(Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2005), hal. 180

Syed M. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, hal. 85

Usman Abu Bakar & Surahim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan

Islam, Yogyakarta: Safiria Insania, 2005), hal. 139

Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun

Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 145

Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, hal. 183

16

You might also like