Professional Documents
Culture Documents
190 327 1 SM
190 327 1 SM
Gemala Dewi'
Abstrak
Historically, Religious Court in Indonesia was built by the time of Dutch
Colony with the purpose to reduce the applicability of Islamic Law practice
in the Country. However, to a certain extent, these days, it grows as the
religiOUS conscious of the people developed to apply Islamic law teaching to
the most detail in the reformation era. The special case occurs in Aceh
province which has autonomy afier Helsinki Agreement. The problem exist to
the unity of regulation on the country, since it has ratified the UN
Convention against tortured on human body. Based on this problem, this
article explored the possibility of the Religious Court in Aceh to apply
Islamic Criminal Law and it's punishment in Indonesia. The research will
address the problem from qualitative point of view. Comparing ideas,
reasons and historical background of the existing law and also using legal
normative way ofresearch methodology. By doing library research in finding
data, this research got to the conclusion that Aceh has a Constitutional Right
to implement Islamic Criminal Law due to the International agreement in
Helsinki. In relation with Indonesian System of Law the solution should be
compromising the law on how to solve the problem in policy making to this
case.
Kata kunci: peradilan agama, hukum pidana islam dan hak asasi manusia
I. Pendahnlnan
I Penulis adaJah staf pengajar pacta Fakultas Hukum Universitas Indonesia A1arnat
korespondensi: gemaladw@yahoo.co.id and gernaladewi@ui.ac.id.
238 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI
2 NAD baru dapat ditaklukan Beland. sekitar tabun 1904 yang berarti hanya
beberapa tahun kemudian sebelum Indonesia merdeka di rtahun 1945 .
Kewenangan Pengad ilan Agama di NAD, Dewi 239
3 H Zaini Ahmad Noeh dan A. Basit Adnan, "Sejarah Singkat Pengadilan Agama
Islam di Indonesia", (Surabaya: PT. Bina I1mu, 1983), hal. 32.
240 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI
I Narnun demikian.
delik baru (aturan baru terhadap tindakan yang dapat dikenai sangsi pidana)
dan terjadinya perluasan delik (perluasan unsure-unsur pidana) terhadap
delik yang sudah ada, serta terdapatnya jenis hukuman baru. Terdapatnya
berbagai delik baru yang terdapat dalam aturan Qonun Jinayat terse but
antara lain sebagai berikut:
I. Khalwat: -perbuatan berada pada tempat tertutup atau
bersembunyi antara dua orang yang berlainan jenis kelamin,
2. Ikhtilath:- perbuatan bermesraan antara laki-Iaki dan perempuan
yang bukan suami atau isteri baik pada tempat tertutup atau
terbuka.
3. Liwath:- hubungan seksual antara laki-Iaki dengan laki-Iaki yang
dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.
4. Musahaqah: - hubungan seksual antara perempuan dengan
perempuan yang dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.
5. Qadzaf:- menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat
membuktikan dengan menghadirkan 4 (empat) orang saksi.
Terjadinya perluasan delik dengan diangkatnya qonun J inayat sebagai
hokum materil peradilan agama, dapat dilihat dari terdapatnya perluasan
unsure-unsur pidana tertentu dari jenis delik yang sudah ada. Sebagai contoh
pada delik zina. Dalam Pasal 284 KUHP perbuatan zina hanyalah
dihukumkan bagi mereka yang terbukti memiliki 4 (empat) unsure yaitu: I)
seorang laki-Iaki (perempuan) yang sudah menikah dengan perempuan (Iaki-
laki) yang sudah menikah; 2) atau seorang laki-Iaki yang belum menikah tapi
mengetahui bahwa perempuan sudah menikah; 3) overspel (bergendak) dan
4) delik pengaduan. Jika ditambahkan dengan unsure-unsur perzinahan
menurut hokum J inayat, maka terdapat perluasan jangkauan yang juga
meliputi unsure-unsure - persetubuhan, seorang laki-Iaki dengan seorang
perempuan; tanpa ikatan perkawinan dan dengan kerelaan kedua belah pihak.
Sedangkan Jenis hukuman baru akan dapat dilihat bahwa selain 5 (lima) jenis
hukuman pidana pokok dan 4 (empat) buah jenis pidana tambahan yang
dikenal menurut pasal 10 KUHP, akan terdapat pula jenis hukuman pidana
baru, meliputi:
I. Hukum cambuk 'uqubat cambuk';
2. Hukum Rajam (sampai mati)/('uqubat rajamlhukum mati);
3. Denda emas mumi;
4. Penjara;
5. Perampasan barang-barang tertentu;
6. Pencabutan izin dan pencabutan hak;
7. Kompensasi.
244 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI
II Ibid,
12 Muhammad Daud Ali, "Hukum Islam: Pengantar lImu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia", edisi. ed 6 eet 7 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999).
246 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI
berdasar asas "lex specialis derogate legi generali" (special norms suppress
general norms) terhadap KUHAP dan KUHP.
yang tidak memungkinkan adanya sikap atraktif untuk menarik lawan jenis
(prostitusi) dan perbuatan mesum (khalwat). Bila aturao tersebut ditegakkan
maka perzinahan sangat jauh sekali kemungkinannya untuk terjadi, sehingga
pelaksanaan hukum cambuk maupun rajam yang ditakuti sejauh mungkin
dapat dihindari.
Mengenai pandangan bahwa hukum cambuk 100 kali berdasarkan QS
24:2 dan hukum rajam berdasarkan hadits Nabi merupakan sanksi hukum
biadab yang bertentangan dengan Pasal 16 Konvensi Anti Penyiksaan dan
Amandemen UUD 45 tentang hak untuk bebas dari penyiksaan (pasal 28G
ayat (2) dan Pasal 281 ayat (I)B menurut penulis hal tersebut merupakan
kekeliruan dalam mendudukan permasalahan. Hak untuk tidak disiksa (Pasal
281 (I)) yang dimasud pada amandemen UUD' 45 bersifat umum yang
merupakan hak dasar bagi setiap orang, bahwa tidak ada alasan bagi
seseorang menyiksa orang lain, kecuali berdasarkan atas hukum. Hal ini
berlaku juga bagi hak untuk hidup yang diatur dalam Pasal dan ayat yang
sarna yang tentunya dibatasi oleh hukum juga. Jika hak hidup seseorang bisa
dicabut oleh negara berdasarkan hukum karena telah melanggar hak hidup
orang lain, apa lagi jika seseorang telah melanggar hak Tuhan (Allah SWT)
yang kedudukannya lebih tinggi atas manusia tersebut, karena Dialah yang
menciptakan manusia tersebut.. Sedangkan ketentuan Konvensi Anti
Penyiksaan yang dengan tegas membatasi jenis sanksi hukuman pada negara
yang meratifikasinya perlu dikaji ulang ratifikasinya, dikarenakan isi
ketentuan itu merupakan pembatasan manusia terhadap hak-hak Tuhan bila
dipandang dari sudut ajaran Islam, yang merupakan agama resmi yang diakui
dalam NKRI yang kebebasan menjalankannyajuga diatur dalam Konstitusi.
Dalam tatanan hukum Islam terdapat ketentuan mengenai hak Allah
yang hersifat non-derogable rights. Adalah hak Allah untuk menentukan hak
hidup atau matinya seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak
berhak semaunya menampilkan manusia lain untuk hidup di dunia tanpa ada
tujuan yang jelas mengenai kehadirannya, atau terlahir dalam hidup yang
tidak jelas akan hak-haknya. Dengan demikian sanksi hukum berat bagi
kaum pezina yang tidak mau terikat dengan ketentuan hukum perkawinan
yang jelas memberikan hak-hak materil maupun imateril dalam hubungan
rumah tangga melalui lembaga perkawinan yang suci, merupakan suatu hal
dinilai dari bentuk fisik semata namun akan terlihat kepribadian perempuan
tersebut melalui sikap tingkah laku dan tutur kata dari perempuan itu sendiri.
Nilai seorang perempuan akan lebih nampak dari sisi intelegensianya
dibanding bentuk fisik yang merupakan pemberian cuma-cuma dari Allah
SWT. Di lain pihak pakaian minim dan ketat memberikan dampak
ketidakadilan seleksi dari lingkungan yang sekaJigus merupakan proses
seleksi yang kurang menyenangkan terhadap perempuan yang memiliki
tubuh yang tidak ideal. Disamping itu juga pakaian minim dan ketat mungkin
saja malah dapat mempersempit gerakan wanita itu sendiri.
Pakaian minim dan ketat lebih banyak rnenirnbulkan mudharat dari
pada manfaatnya. Sebaliknya, pakaian longgar mernberikan banyak manfaat
bagi perempuan terutama guna rnenghasilkan kornpetisi yang wajar antara
sesama perempuan. Aturan penggunaan pakaian longgar juga tidak hanya
berguna bagi perempuan namun juga kepada pihak laki-Iaki itu sendiri, yaitu
dapat mencegah dari hal-hal yang tidak diharapkan serta memudahkan laki-
laki dalam memelihara pandangan. Sebab, apapun alasannya, terjadinya
perselingkuhan atau perzinahan (atas dasar saling suka atau tertarik) maupun
pemerkosaan (bila salah satu pihak tidak tertarik) akan mengakibatkan hal-
hal yang merugikan dikemudian hari. Penerapan terhadap hak berekspresi
dengan membiarkan wanita-wanita berpakaian minim dan ketat yang
kebanyakan hanya untuk dijadikan sebagai obyek pemuas "nafsu" sesaat
saja baik bagi perempuan itu sendiri ataupun bagi laki-Iaki.yang ingin
menyeleksi perempuan berdasarkan bentuk tubuhnya adalah suatu tindakan
yang "salah kaprah" terhadap keindahan ekspresif itu sendiri yang dapat
ditfsirkan lebih luas dan kreatif.
IX. Penutup