Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 17

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA (MAHKAMAH

SYAR'IYAH) DI NAD DALAM MELAKUKAN EKSEKUSI


SANKSI PIDANA ISLAM (HUKUM JINAYAT) MENURUT
KETENTUAN HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI
INDONESIA

Gemala Dewi'

Abstrak
Historically, Religious Court in Indonesia was built by the time of Dutch
Colony with the purpose to reduce the applicability of Islamic Law practice
in the Country. However, to a certain extent, these days, it grows as the
religiOUS conscious of the people developed to apply Islamic law teaching to
the most detail in the reformation era. The special case occurs in Aceh
province which has autonomy afier Helsinki Agreement. The problem exist to
the unity of regulation on the country, since it has ratified the UN
Convention against tortured on human body. Based on this problem, this
article explored the possibility of the Religious Court in Aceh to apply
Islamic Criminal Law and it's punishment in Indonesia. The research will
address the problem from qualitative point of view. Comparing ideas,
reasons and historical background of the existing law and also using legal
normative way ofresearch methodology. By doing library research in finding
data, this research got to the conclusion that Aceh has a Constitutional Right
to implement Islamic Criminal Law due to the International agreement in
Helsinki. In relation with Indonesian System of Law the solution should be
compromising the law on how to solve the problem in policy making to this
case.

Kata kunci: peradilan agama, hukum pidana islam dan hak asasi manusia

I. Pendahnlnan

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Propinsi di ujung barat Indonesia


adalah tanah yang paling terakhir mengenyam penjajahan pada zaman

I Penulis adaJah staf pengajar pacta Fakultas Hukum Universitas Indonesia A1arnat
korespondensi: gemaladw@yahoo.co.id and gernaladewi@ui.ac.id.
238 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI

kolonial Belanda. 2 Dengan minimnya pengalaman penjajahan, mungkin


mendorong tiap Individu di "tanah rencoog" tersebut merasa bebas uotuk
menjalankan pilihan hidupnya sendiri. Demikian pula sikap gerakao Aceh
Merdeka (GAM) yang selama ini menghendaki untuk lepas dari NKRI yang
kemudian berujung di meja perjanjian damai di Helsinki tanggal 15 Agustus
tahun 2005 lalu. Sejak saat jtu Propinsi Nanggore Aceh Darussalam (untuk
selanjutnya disebut dengan NAD) kini berbenah diri agar dapat menampilkan
dirinya dalam kebersamaannya dengan provinsi lainnya membangun bangsa
dan negara Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan dalam NKRI.
Namun demikian, berdasarkan fakta sejarah, prinsip kemasyarakatan
dan keistimewaan lainnya, Propinsi NAD memiliki status kekbususan. Status
kbusus diperoleh dengan mengacu kepada UU No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan
memperoleh status otonomi kbusus seperti diatur dalam UU No. 18 tabun
200 I yang kemudian dicabut oleh UU No. II tahuo 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dengan status terse but Pemerintab Daera/) Propinsi
NAD kemudian memberlakukan Qonun (setingkat Peraturan Daerah bagi
propinsi lain) untuk mengatur wilayahnya sendiri.
Di NAD seodiri hiogga saat ini tercatat sekitar tujuh Qanun telah
dikeluarkan sejak tahun 2002 sampai tabun 2007, yang mengatur berbagai
hal. Dari ketujuh Qanun tersebut, diantaranya mengatur antara lain tentang
peradilan Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aq idah, Ibadah dan Syiar
Islam (Qanun No. 1112002), tentang Minuman Khamar dan sejenisnya
(Qonun No, 12/2003), tentang perjudian (maysir) (Qanun No. 13 /2003),
tentang mesum (khalwat) (Qanun no. 1412003) dan tentang pengelolaan
zakat dan baitul mal (Qanun No. 7/2004). Dewasa ini sedang "digodog" dua
Qanun yang berkaitan dengan penerapan hukum Jinayat (bidang pidana),
yaitu tentang peraturan hukum jinayat sebagai hukum materil dan dilengkapi
dengan ketentuan Hukum Acara Peradilan Pidana Syariah tersebut. Namun
demikian, rancangan ketentuan Qanun yang disebut di atas, menimbulkan
permasalahan karena penetapan sanksi hukum pidana Islam (hukum jinayat)
yang dianggap bertentangan dengan UUD 45 dan penempatan sanksi hukum
yang kontroversial. Yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM). Bagaimana kewenangan Mahkamah Syar'iyah dalam
menangani perkara pidana sebagaimana yang akan diatur dalam kedua
rancangan Qonun tersebut, inilah yang akan kita tinjau dalam tulisan ini.

2 NAD baru dapat ditaklukan Beland. sekitar tabun 1904 yang berarti hanya
beberapa tahun kemudian sebelum Indonesia merdeka di rtahun 1945 .
Kewenangan Pengad ilan Agama di NAD, Dewi 239

II. Kewenangan Peradilan Agama Pad a Masa Penjajaban Belanda

Di masa lampau Mahkamah Syar'iyah adalah sebutan nama peradilan


agama di luar Jawa dan Madura yang sudah berdiri sejak awal kemerdekaan
Indonesia, tepatnya dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 45
tabun 1957 yang mengatur tentang pembentukan Mahkamah Syar'iyah untuk
peradilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar'iyah Tingkat Provinsi untuk
badan peradilan tingkat banding. Namun demikian pada masa itu,
kewenangan Mahkamah Syar'iyah masih sangat terbatas, yang hanya
meliputi perkara-perkara domestik, yang meliputi perkara perkawinan,
kewarisan, wakaf dan wasiat. Sehingga fungsi peradilan agama "Mahkamah
Syar"iyah" dapat dikategorikan sebagaifamily court.
Keterbatasan kewenangan Mahkamah Syar'iyah sebagaimana
disebutkan di atas tidak lepas dari pengaruh struktur kekuasaan zaman
penjajahan Belanda. Pengadilan Agama, yang pada masa itu disebut
priesterraad, semula merupakan Peradilan "Surambi" karena bertempat
kedudukan di serambi-serambi masjid di suatu wilayah, kemudian memiliki
kompetensi relatifuya sendiri yang jangkauannya seluas kewenangan relatif
bagi landraad (peradilan umum). Hal tersebut terjadi sekitar abad 19 sejak
dikeluarkannya Stb!. 1882 No,152 yang mengatur pembentukan lembaga
Peradilan Agama (priesterraad) di Jawa dan Madura.' Di dalam Pasal I Stb!.
1882 No. 152 disebutkan bahwa di tempat-tempat di mana telah dibentuk
(pengadilan) landraad maka di sana di bentuk sebuah Pengadilan Agama
priesterraad. Di dalam Stb!. 1882 No. 152 tersebut tidak disebut mengenai
kewenangan Pengadilan Agama. Di dalam Pasal 7 hanya disinggung
potongan kalimat yang berbunyi "keputusan raad agama yang melampaui
batas wewenang" yang memberikan petunjuk ada peraturan sebelumnya
yang mengatur mengenai ordonansi yang menyangkut wewenang Pengadilan
Agama. Ordonansi tersebut adalah Stb1.l820 No.22 kemudian StbLI 835
No.58. Dalam Pasal 13 Stb!. 1820 No. 22 jo. Stbl 1835 No.58, disebutkan:

Jika di antara orang Jawa dengan orang Madura terjadi


perselisihan (sengketa) mengenai perkawinan atau pembagian
harta pusaka dan sengketa-sengketa sejenis dengan itu harus
diputus menurut Hukum Syara' (agcima) Islam, maka yang
menjatuhkan keputusan dalam hal itu hendaknya betul-betul
ahli Agama Islam, akan tetapi segala persengketaan dari hal
pembagian harta benda atau pembayaran yang terjadi karena

3 H Zaini Ahmad Noeh dan A. Basit Adnan, "Sejarah Singkat Pengadilan Agama
Islam di Indonesia", (Surabaya: PT. Bina I1mu, 1983), hal. 32.
240 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI

keputusan itu harus dibawa ke muka pengadilan biasa;


pengadilan itulah yang akan menyeleaikan perkara itu dengan
mengingat keputusan ahli agama dan supaya keputusan itu
dijalankan 4

Dari ketentuan pasal te~ebut nampak keberlakuan hukum Islam dalam


memutus perkara di antara umat Islam di Indonesia. Di samping itu putusan
penyelesaian sengketa harus diberikan oleh seorang hakim yang betul-betul
ahli Agama Islam. Di sini nampak berlakunya teori Receptio in Complexu'
yang dikemukakan oleh L.W.C. Van den Berg yang mengatakan bahwa, bagi
orang Islam berlaku penuh Hukum Islam sebab dia telah memeluk agama
Islam, walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-
penyimpangan. Dari pernyataan teori terse but nampaklah bahwa hukum
Islam itu berlaku secara keseluruhannya yang mengikuti liap individu umat
Islam, walaupun dalam penerapannya belum sepenuhnya mampu dijalankan.
Sehingga dapat dilihat adanya kompetensi absolut hukum Islam bagi tiap-tiap
orang Islam. Di sini pula dapat dilihat adanya "asas personalitas keislaman"
berlaku pada badan peradilan agama pada masa itu.
Pada perkembangan sejarah selanjutnya, Pemerintah penjajahan
Belanda merobah strategi penjajahan yang dipengaruhi oleh berlakunya teori
Receptie yang dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje. Teori terse but pada
intinya kemudian membatasi kewenangan absolute lembaga Peradilan
Agama tersebut.secara bertahap, Hingga sampai pada masa berlakunya
konstitusi penjajahan Hindia Belanda yang dituangkan dalam Indische Staats
Regeling (IS) dinyatakan ketidak berlakuan hukum Islam di tanah jajahan
Hindia Belanda. Hal ini nampak pada bunyi Pasal 134 ayat (2) IS, yang
isinya berbunyi:

Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam


akan diselesaikan oleh Hakim Agama Islam apabila Hukum
Adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain
dengan suatu ordonansi. 6

4 Lihatjuga A.Gani Abdullah, Op.Cit., hal. 32-33.

S Sayuti Thalib, "Reception a Con/rario, Hubungan Hukum Adat dengan Hukum


Islam", (Jakarta: Bina Aksara, Cet.4., 1985), hal. 6-7.

• A. Gani Abdullah, Peradilan Agama dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan


Bima (1947-1957), (Bandung: Ulul Albab Press, 1998), hal. 37.
Kewenangan Pengadilan Agama di NAD, Dewi

Dari pernyataan dalam ayat di atas nampak bahwa Pemerintah Hindia


Belanda menghapus keberlakuan hukum Islam dengan jalan
menyerahkannya pada keberlakuan hukum adat. Sehingga bila adapt tidak
menggunakan hokum Islam berarti hokum Islam tidak berlaku, sedangkan
bila hukum Islam baru berlaku jika digunakan oleh hukum adat, maka pada
prinsipnya hukum adat itulah yang berlaku bukan hukum Islam. Secara tidak
langsung tindakan dari penjajah Hindia Belanda terse but diistilahkan oleh
Prof. Hazairin sebagai mengikuti teori"Iblis", karena bertujuan sarna yaitu
menjauhkan urnat Islam dari kepatuhan terhadap hukum agamanya. Inilah
strategi penjajahan Hindia Belanda dalam rangka megurangi kewenangan
Peradilan Agama dalam menangani sengketa antara urnat Islam berdasarkan
ketentuan hukum Islam 7•

III. Mahkamah Syar'iyah dan Strnktur Lembaga Peradilan di


Indonesia

Adanya Peradilan Agama sebagai badan peradilan pelaksana


kekuasaan kehakiman telah dijamin dalam UUD' 45 pasal 24 dan 25.
Penerimaan lembaga Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di
antara empat badan peradilan yang ada di Indonesia, yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal
tersebut dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia telah diakui sejak
dikeluarkannya Undang-undang Kekuasaan Kehakiman lama, yaitu pada
Pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang kini telah diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Syar' iyah di NAD merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Agama. Mengenai kekhususan status Mahkamah
Syar' iyah NAD, sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman di
lingkungan Peradilan Agama.tersebut telah diatur dalam UU No 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 15 ayat (2) dari UU No.4
Tahun 2004 ini disebutkan bahwa:

Pengadilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh


Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam

7 Sebagai contoh kongkret Penjajah Hindia Belanda pada Tahun 1937


menghapuskan kewenangan Pengadilan Agama di Iawa dan Madura dan Kerapatan Qadi di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dari menangani perkara bidang kewarisan.
242 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI

lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya


menyangkut kewenangan peradilan umum. 8

Dari bunyi ketentuan Pasal tersebut nampak bahwa Mahkamah


Syar'iyah yang pada pasal tersebut disebut sebagai Pengadilan Syariat Islam
di NAD berada dalam dua lingkungan peradilan, yaitu merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan agama, dan merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan umum. Mengenai bunyi pasal 15 Ayat
(2) ini, menurut Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, ketentuan dalam Pasal 15
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman di atas merupakan
ketentuan yang raneu, karena temyata Mahkamah Syariyah. di NAD
merupakan kekhususan dari dua lingkungan peradilan sekaligus. Menurut
hemat beliau, seharusnya Mahkamah Syar' iyah ini merupakan kekhususan
dari Peradilan Agama saja atau dijadikan sebagai peradilan yang mandiri,
khusus untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang dialami oleh orang
yang beragama Islam. 9 Sehingga pada Mahkamah Syar'iyah dapal
diberlakukan hukum Islam dalam liap sengketa diantara orang-orang yang
beragama Islam, sebagairnana pemah diatur keberlakuan hukum Islam
menurut teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh L.W.c. van
Den Berg di masa lampau namun dalam suasana yang berbeda dan
dengan kewenangan yang lebih luas, sesuai kebutuhan umat Islam di
zaman kini. Seperti yang telah diuraikan terdahulu bahwa di NAD saat ini
hukum Syariat diberlakukan dan dituangkan dalam bentuk qanun, yang
mengatur bidang-bidang hukum tertentu, yang diantaranya termasuk Qanun
jinayat. Untuk itu selanjutnya akan kita jabarkan tentang kemungkinan
penerapan Qanun Jinayat di NADpada sub bab berikutnya.

IV. Penerapan Qanun Jinayat sebagai Hukum Materil Mahkamah


Syar'iyah di NAD Menumt Ketentuan Hukum Positif

Penerapan Hukum Jinayat sebagai sumber hokum materil bagi


Mahkamah Syar'iyah di NAD tentulah mengundang perdebatan dikarenakan
akan menyebabkan perluasan hukum materil dalam ketentuan hokum positif
di NKRI. Perluasan hukum materil tersebut nampak dari adanya berbagai

I Narnun demikian.

9 Abdul Ghofur Anshon, "Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No 3 Tabun


2006", (Yogyakarta: un Press 2007). hal. 119.
Kewenangan Pengadilan Agama di NAD, Dewi 243

delik baru (aturan baru terhadap tindakan yang dapat dikenai sangsi pidana)
dan terjadinya perluasan delik (perluasan unsure-unsur pidana) terhadap
delik yang sudah ada, serta terdapatnya jenis hukuman baru. Terdapatnya
berbagai delik baru yang terdapat dalam aturan Qonun Jinayat terse but
antara lain sebagai berikut:
I. Khalwat: -perbuatan berada pada tempat tertutup atau
bersembunyi antara dua orang yang berlainan jenis kelamin,
2. Ikhtilath:- perbuatan bermesraan antara laki-Iaki dan perempuan
yang bukan suami atau isteri baik pada tempat tertutup atau
terbuka.
3. Liwath:- hubungan seksual antara laki-Iaki dengan laki-Iaki yang
dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.
4. Musahaqah: - hubungan seksual antara perempuan dengan
perempuan yang dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.
5. Qadzaf:- menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat
membuktikan dengan menghadirkan 4 (empat) orang saksi.
Terjadinya perluasan delik dengan diangkatnya qonun J inayat sebagai
hokum materil peradilan agama, dapat dilihat dari terdapatnya perluasan
unsure-unsur pidana tertentu dari jenis delik yang sudah ada. Sebagai contoh
pada delik zina. Dalam Pasal 284 KUHP perbuatan zina hanyalah
dihukumkan bagi mereka yang terbukti memiliki 4 (empat) unsure yaitu: I)
seorang laki-Iaki (perempuan) yang sudah menikah dengan perempuan (Iaki-
laki) yang sudah menikah; 2) atau seorang laki-Iaki yang belum menikah tapi
mengetahui bahwa perempuan sudah menikah; 3) overspel (bergendak) dan
4) delik pengaduan. Jika ditambahkan dengan unsure-unsur perzinahan
menurut hokum J inayat, maka terdapat perluasan jangkauan yang juga
meliputi unsure-unsure - persetubuhan, seorang laki-Iaki dengan seorang
perempuan; tanpa ikatan perkawinan dan dengan kerelaan kedua belah pihak.
Sedangkan Jenis hukuman baru akan dapat dilihat bahwa selain 5 (lima) jenis
hukuman pidana pokok dan 4 (empat) buah jenis pidana tambahan yang
dikenal menurut pasal 10 KUHP, akan terdapat pula jenis hukuman pidana
baru, meliputi:
I. Hukum cambuk 'uqubat cambuk';
2. Hukum Rajam (sampai mati)/('uqubat rajamlhukum mati);
3. Denda emas mumi;
4. Penjara;
5. Perampasan barang-barang tertentu;
6. Pencabutan izin dan pencabutan hak;
7. Kompensasi.
244 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI

Dalam hal memasukan hokum Jinayat sebagi hokum materil yang


hams ditegakkan dalam mahkamah syariah di NAD nantinya tentulah akan
menemui hambatan-hambatan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Hambatan dari dalam negeri yang utama adalah kesiapan Mahkamah Syariah
itu sendiri dalam menyediakan fasilitas untuk terlaksananya sanksi-sanksi
hukuman tersebut, yang tentunya juga meliputi Sunber daya manusia yang
memadai dalam penegakan Iiukum tersebut. Demikian pula implikasinya
nanti terhadap perluasan hukum materil yang akan meliputi juga meliputi
pengaruhnya terhadap politik hukum pidana: kodifikasi hukum, unifikasi
hukum kecuali dengan undang-undang khusus. Terdapat pula implikasinya
terhadap penegakan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan jaminan
perlindungan konstitusi bagi tiap warga Negara. Hal-hal terse but akan
dijabarkan pada sub tersendiri dibawah ini.

V. I mpJikasi Penerapao Qoouo Jioayat Sebagai Hokum Materil bagi


Mahkamah Syar'iyah NAD terhadap Jamioan Perlioduoagn
Konstitusi

Sebagai penjabaran dari implikasi penerapan Qonun Jinayat terhadap


perluasan hokum materil di NAD, dimulai dengan penjabarannya dari sisi
implikasinya terhadap jaminan konstitusi.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sejak perjanjian Helsinki mulai
dijalankan, pemerintah daerah NAD telah mengeluarkan beberapa Qanun
untuk mengatur wi layahnya sendiri berdasarkan syariat Islam. Dalam hukum
positif di Indonesia, ke berlakuan Qonun sebagai landasan hukum materil di
wilayah NAD memiliki landasan hukum yang kuat. Dalam Pasal 18B (1 )
UUD 1945 yang telah diamandemen dinyatakan: " Mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bers ifat khusus atau
bersifat istimewa". Oleh karena itulah NAD sebagaimana telah diuraikan di
atas memiliki status otonomi daerah didasarkan kekhususan agama.
Bila kita kaji lebih teliti mengenai DUD 45 sejak kelahirannya, adanya
Qanun j inayat NAD tersebut tidaklah bertentangan dengan DUD 45. Perlu
diingat UUD 45 tidak bo\eh hanya ditafsirkan secara pragmatis saja, namun
perlu ditafsirkan berdasarkan sejarah dan hendaknya diperhatikan dengan
cermat, terutama dari sisi kebebasan beragama. Akhir-akhir ini ada
kekhawatiran akan adanya diskriminasi terhadap kaum minoritas yang
beragama lain di wilayah muslim, khususnya NAD. Perlu kita ketahui bahwa
memang benar Indonesia bukan Negara· Agama, namun Indonesia adalah
Negara yang "beragama" hal ini dibuktikan dengan bunyi Pasal 29 UUD 45
ayat (1) bahwa "Negara berdasarkan atas Ketuhanan YME" dan" ayat (2)
Kewenangan Pengadilan Agama d; NAD, Dew; 245

menyebutkan "Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk menjalankan


agamannya dan beribadah menurut keyakinan agama dan kepercayaannya
itu" .
Menurut Prof. Hazairin 'o yang merujuk pada ucapan Moh.Hatta pada
saat merumuskan bunyi Pasal tersebut, tafsir dari ayat tersebut memiliki tiga
penafsiran pokok yang dapat penulis simpulkan sebagai 1) adanya
perlindungan hukum bagi pemeluk agama untuk menjalankan agamannya, 2)
adanya jaminan terlaksananya ketentuan ajaran agama melalui dukungan
Negara dan 3) para pemeluk agama dapat mengatur dirinya sendiri dalam
hal-hal yang tidak memerlukan intervensi Negara di dalamnya, seperti
masalah aqidah dan ibadah. Mengenai penmiran yang pertama redaksi yang
digunakan Prof. Hazairin berbunyi:

Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi alau


berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam
bagi umal Islam, alau yang berlentangan dengan kaidah-kaidah
agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang berlenlangan
dengan kaidah-kaidah agama Hindu Bali bagi orang-orang
Hindu Bali alau yang bertentanlfan dengan kesusilaan agama
Budha bagi orang-orang Budha. I

Mengenai hal ini, Prof. H Moh. Daud Ali, SH 12 menyimpulkan berarti


tidak boleh berlaku hukum yang bertentangan dengan norma-norma hukum
agama dan norma kesusilaan bangsa Indonesia yang berdasarkan agama
tersebut. Hal ini menunjukkan tidak adanya diskriminasi bagi umat beragama
di Indonesia, bahwa ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan agama dan bahkan sebaliknya kemerdekaaan memeluk dan
menjalankan syariat agama dijamin serta wajib di dukung oleh kebijakan
negara bila diperlukan. Untuk itll, diperlukan peraturan-peraturan negara
yang menjamin terlaksananya ketentuan agama bagi pemeluknya. Hal ini
berlaku di seluruh wilayah Indonesia, terutama di NAD yang sudah sejak
awal dasar otonomi. Namun demikian da1am penerapan Qanun di NAD ini
mengalami banyak tantangan.

\0 Hazairin, "Demokrasi Panseasila", (Jakarta: Bina Aksara, 1981).

II Ibid,

12 Muhammad Daud Ali, "Hukum Islam: Pengantar lImu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia", edisi. ed 6 eet 7 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999).
246 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI

VI. Implikasi Penerapan Qonun Sebagai Hukum Materil Bagi


Mahkamah Syar'iyah Terhadap Keutuhan; NKRI.

Khusus untuk NAD berdasarkan Pasal4 ayat (I) UU No. 44 tabun


1999 ditegaskan bahwa penyelenggarraan kehidupan beragama di Aceh
diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam. ; Mengenai hal ini
bukan berarti adanya diskriminasi terhadap propinsi lain di Indonesia yang
dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara (NKRI) sebagaimana yang
digembar-gemborkan kaum yang anti terhadap penerapan syariat Islam di
Aceh, melainkan sifat keistimewaan dari Aceh itu sendiri yang telah melekat
berakar di masyarakat sejak dabulu sehingga tanah Aceh bergelar "serambi
mekah." Dengan demikian khusus untuk Provinsi NAD sepanjang mengenai
Qanun jinayat dikecualikan dari ketentuan sanksi pidana yang terdapat dalam
UU No. 3212004 yang menurut ketentuan Pasal 143 ayat (2) hanya
membolehkan sanksi berupa 6 bulan kurungan dan denda maksimum 50 juta
rupiab. Pengecualian tersebut diatur berdasarkan pasal 24i ayat (4) UU No.
Ii /2006 yang memungkinkan adanya sanksi lain, seperti cambuk dan rajam
sesuai ketentuan hukum Islam ..
Dalam hal ini, terhadap penganut agama selain Islam semestinya tidak
ada alasan untuk merasa khawatir akan keberlakuan hukum Islam bagi
mereka di NAD. Karena hukum yang berlaku dalam lingkungan Peradilan
Agama di Indonesia (termasuk di Mahkamah Syar'iyab di Aceh sebagai
peradilan khusus di lingkungan Peradilan Agama) menganut "Asas
Personalitas Keislaman" (Ps I, 2 dan 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama jo UU No 3 Tabun 2006 yang mengamandemen UU No. 7
tahun 1989). Jadi yang tunduk dan dapat ditundukan dalam putusan peradilan
di lingkungan peradilan agama adalab orang-orang yang beragama Islam
saja atau orang dan badan hukum yang dengan sengaja menundukan diri
pada ketentuan agama Islam. Oleh karena itu mereka tidak perlu takut
adanya pemberlakuan hukum jinayat bagi non muslim. Sehingga mereka
terbebas dari sanksi hukum tersebut, namun tetap akan diproses berdasarkan
KUHAP dan akan diterapkan ketentuan hukum dalam KUHPidana.
Dari sisi lain dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan Qanun
tersebut dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum atau peraturan yang lebih tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 136
ayat (4) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerab dan PasaJ 232 ayat
(2) UU No. 1112006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menjamin hak-hak
dasar individu yang mengacu pada kemajemukan masyarakat, di mana tiap
warga negara harns dihargai sebagai pribadi yang mandiri, tidak boleh
diperlakukan berdasarkan dominasi baik etnis, agama maupun ikatan
primordial lain. Dalam hal ini ketentuan Qanun jinayat tersebut bekerja
Kewenangan Pengadilan Agama d; NAD, Dew; 247

berdasar asas "lex specialis derogate legi generali" (special norms suppress
general norms) terhadap KUHAP dan KUHP.

VII. Implikasi Penerapan Qonun Sebagai Hukum Materil Bagi


Mahkamah Syar'iyah Terhadap Penegakan Hak-hak Asasi
Mannsia (HAM)

Bila membicarakan tentang kewenagna absolut, kembali teringat kita


kepada pembahasan di muka ten tang sejarah Peradilan Agama di Indonesia,
dimana pengaruh strategi penjajahan sangat kuat. Berkurangnya
kewenagnagn absolute lembaga peradilan Agama memang dikehendaki
untuk mengurangi keberlakuan hukum Islam di Nusantara Hal yang menarik
sehubungan dengan kompetensi absolut ini adalah yang berkaitan dengan
hukum materil di bidang hukum Jinayat (Hukum Pidana Islam), dikarenakan
penerapan kewenangan di bidang perdata tidak banyak pertentangan dengan
sistem hukum lainnya di tanah air. Berkaitan dengan kewenangan absolut di
bidang pidana ini adalah dikarenakan adanya ketentuan sanksi hukuman fisik
yang dirasakan bertentangan dengan Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
Terhadap penerapan hukum jinayat ini nantinya melalui lembaga peradilan
Mahkamah Syar'iyah haruslah dikaj i lebih dalam hakekat dari ketentuan
hukum jinayat itu sendiri yang dalam al-Qur'an ditegaskan Allah sebagai
hukum yang menjamin kehidupan manusia (Q.S .2: I 78, 179).
Bila ditinjau lebih jauh sanksi hukum rajam ataupun hukum cambuk
bagi perzinahan sebenarnya justru menjaga hak-hak asasi manusia yang
sangat hakiki yaitu hak untuk hid up layak sejak dilahirkan. Tiap manusia
tentu menginginkan lahir dalam lingkungan rumah tangga yang tenteram
memiliki ayah dan ibu yang sah yang menyayangi dan mengharap kan
kehadirannya di muka bumi. Hak hidup layak sejak lahir inilah yang perlu
dipertimbangkan sebelum memikirkan hak-hak kebebasan lainnya pada masa
mereka dewasa.
Bila dilihat kembali ketentuan mengenai pelarangan terhadap
perbuatan zina dalam hukum Islam diatur secara tidak langsung. Delik
perzinahan yang tegas diatur pada saat menentukan sanksinya (Q.S .24:2).
Sedangkan larangannya sendiri bukan hanya perbuatan zina itu saja,
melainkan semua hal yang membawalmendekatkan manusia pada
perberbuatan perzinahan (takrobuz-zina). Hal ini menunjukkan Islam
menghendaki terciptanya suasana masyarakat yang berperilaku "sehat" yang
ditata oleh rumah tangga-rumah tangga yang rukun dan harmon is, tidak
terdapat perseling kuhan. Untuk itu hal-hal yang memungkinkan terjadinya
perselingkuhan tersebut harus dipersempit melalui aturan tata kehidupan
248 Jurna/ Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Nata/is 85 Tahun FHU/

yang tidak memungkinkan adanya sikap atraktif untuk menarik lawan jenis
(prostitusi) dan perbuatan mesum (khalwat). Bila aturao tersebut ditegakkan
maka perzinahan sangat jauh sekali kemungkinannya untuk terjadi, sehingga
pelaksanaan hukum cambuk maupun rajam yang ditakuti sejauh mungkin
dapat dihindari.
Mengenai pandangan bahwa hukum cambuk 100 kali berdasarkan QS
24:2 dan hukum rajam berdasarkan hadits Nabi merupakan sanksi hukum
biadab yang bertentangan dengan Pasal 16 Konvensi Anti Penyiksaan dan
Amandemen UUD 45 tentang hak untuk bebas dari penyiksaan (pasal 28G
ayat (2) dan Pasal 281 ayat (I)B menurut penulis hal tersebut merupakan
kekeliruan dalam mendudukan permasalahan. Hak untuk tidak disiksa (Pasal
281 (I)) yang dimasud pada amandemen UUD' 45 bersifat umum yang
merupakan hak dasar bagi setiap orang, bahwa tidak ada alasan bagi
seseorang menyiksa orang lain, kecuali berdasarkan atas hukum. Hal ini
berlaku juga bagi hak untuk hidup yang diatur dalam Pasal dan ayat yang
sarna yang tentunya dibatasi oleh hukum juga. Jika hak hidup seseorang bisa
dicabut oleh negara berdasarkan hukum karena telah melanggar hak hidup
orang lain, apa lagi jika seseorang telah melanggar hak Tuhan (Allah SWT)
yang kedudukannya lebih tinggi atas manusia tersebut, karena Dialah yang
menciptakan manusia tersebut.. Sedangkan ketentuan Konvensi Anti
Penyiksaan yang dengan tegas membatasi jenis sanksi hukuman pada negara
yang meratifikasinya perlu dikaji ulang ratifikasinya, dikarenakan isi
ketentuan itu merupakan pembatasan manusia terhadap hak-hak Tuhan bila
dipandang dari sudut ajaran Islam, yang merupakan agama resmi yang diakui
dalam NKRI yang kebebasan menjalankannyajuga diatur dalam Konstitusi.
Dalam tatanan hukum Islam terdapat ketentuan mengenai hak Allah
yang hersifat non-derogable rights. Adalah hak Allah untuk menentukan hak
hidup atau matinya seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak
berhak semaunya menampilkan manusia lain untuk hidup di dunia tanpa ada
tujuan yang jelas mengenai kehadirannya, atau terlahir dalam hidup yang
tidak jelas akan hak-haknya. Dengan demikian sanksi hukum berat bagi
kaum pezina yang tidak mau terikat dengan ketentuan hukum perkawinan
yang jelas memberikan hak-hak materil maupun imateril dalam hubungan
rumah tangga melalui lembaga perkawinan yang suci, merupakan suatu hal

\3 Pasal 16 Konvensi Anti Penyiksaan dan Penghukuman Yang Tidak Manusiawi


Tahun 1984, mengatur sebagai berikut:
"Setiap Negara Pihak harus mencegah, di wi/ayah kewenangan hukumnya
per/akuan atau penghukuman lamyang kejam, tidak manusiawi, alau merendahkan
mar/abat manusia".
Salah satu elemen dari penghuruman yang kejam dan tidak manusiawi adalah
penghukuman fisik (corporal punishment).
Kewenangan Pengadilan Agama di NAD, Dewi 249

yang pantas dan patut ditegakkan. Sanksi hukum tersebut merupakan


perlindungan hukum bagi calon manusia yang akan lahir kemud ian yang juga
berarti suatu perlindungan hukum bagi nyawa manusia. Demikian pula
sanksi hukum ini dikembalikan kepada keadiJan Allah si pencipta manusia
yang tidak rnemandang manusia hanya dari tatanan hidup individual
melainkan tatanan umat manusia secara universal.
Demikian halnya juga jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28G
(2) UUD'45. Pasal 28 G ayat (2) tersebut berbunyi: " Setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan atau aperilau yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka poJitik dari Negara lain".
Pada ayat tersebut, hak untuk bebas dari penyiksaan dikaitkan dengan
perilaku yang merendahkan derajat martabat manusia yang diatur dalam ayat
yang sarna sebagai substitusi (dengan mengg.makan kala "atau"). Dari ayat
ini, untuk kasus perzinahan atau pemerkosaan nampak berlaku bagi si
korban. Sebab jika dikaji lebih jauh sanksi hllkulDan berat yang ditentukan
tersebut sebenarnya malah bertujuan melindungi manusia dari kebinasaan
akibat kebejatan manusia itu sendiri. Selain perzinaban itu sendiri bukanlah
perilaku yang manusiawi bagi pasangan hidup yang sah sebagai korban,
tindakan tersebut juga merupakan perilaku binatang yang merendahkan
derajat manusia yang bertanggungjawab dan beradab.
Bila kita mau berpikir lebih jauh dan tidak pragmatis untuk kelanjutan
generasi penerus bangsa, perlulah kita merenung untuk sejenak
memperhatikan kejadian-kejadian di sekitar kita. Tidak j arang dalam berita
dikabarkan terjadinya pembunuhan sadis yang tetjadi pada pasangan
selingkuh .ataupun para remaja yang belum menikah akibat ketakutan
perbuatan mereka diketahui pasangan sahnya atanpun orang tua mereka.
Demikian pula berapa banyak lagi calon-caJon bayi harus mati sebelum
sempat menghirup udara kehidupan karena dibunuh oleh orang-tua mereka
sendiri.
Bila dikaji lebih jauh, sanksi hukum berat ketika ayat al-Qur'an
diturunkan hanya diterapkan satu atau dua kaJj ~a baik di masa Rasulullah
maupun di masa Khulafa'ur-rasyidiin (masa kepemimpioan Sahabat sebagai
penerus Nabi). Setelah sanksi tersebut diterapkan maka penerapan hukum
tersebut menimbulkan rasa takut bagi orang lain yang menyaksikan
pelaksanaan sanksi terse but sehiogga perbuatan tersebut tidak terjadi lagi.
Hal inilah yang perlu dipahami bahwa tujuan dari jarimah hudud (delik
pidana yang telah ditegaskan sanksinya dalarn aJ-Qur'an dan Hadits) bersifat
preventif dimaksudkan untuk mencegah manusia dari perbuatan keji tersebut.
Penerapan sanksi hukum carnbuk ataupun rajarn daIarn ajaran Islam memiliki
persyaratan yang cukup ketat sehingga tidak mudah untuk dikenakan, harus
ada alat bukti yang valid berdasarkan ketentuan agama Q.S. 24:4), sehingga
250 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI

seorang hakim harus menjalankannya seadil mungkin. Kita perlu ketahui


bahwa selainjarimah hudud, terdapat pulajarimah takzir (delik pidana yang
sanksinya ditentuakn oleh kretifitas hakim untuk menimbulkan efek jera bagi
pelakunya) dan Qisas (yang merupakan hukum kesetaraanlbalasan
setimpal/equity) yang memungkinkan si korban menentukan sanksi diyat
(tebusan atas luka atau jiwa korban) yang berdasarkan asas kemanfaatan.
Seorang hakim harus jeli dan' sangat bijak dalam menerapkan sanksi hukum
terhadap ketiga macam delik yang dikenal dalam hukum Islam tersebut.

VIII. Kompetensi Absolut Mahkamah Syar'iyah bidang kesusilaan dan


hak berekspresi Perempuan

Salah satu delik yang mungkin controversial dari kompetensi absolute


Mahkamah Syar'iyah adalab adanya Qanun yang mengatur delik silsila yang
melarang berpakaian ketat bagi perempuan atau pun kewaj iban mengenakan
jilbab di NAD yang dianggap telah melanggar hak-hak pribadi wanita untuk
berpakaian dan berekspresi. Mengenai hal ini, perlulab untuk dicermati
dampaknya dari berbagai sisi terhadap perempuan itu sendiri. Seorang
perempuan memang menyukai keindahan yang sebenarnya hal tersebut juga
dimiliki kaum laki-Iaki. Bahkan ajaran [slam menyebutkan bahwa Allab
.SWT sendiri adalab Maha Indab (sumber dari segala keindahan) dan Dia
menyintai keindaban. Larangan berpakaian ketat dan ditambah dengan
kewajiban mengenakan jilbab yang menutup rambut dalam AI-Qur'an juga
disertai dengan pengungkapan tujuan dikeluarkannya perintah tersebut.
Dalam Surat AI-Ahzab (Q.S. 33:59), Allah SWT menghendaki perempuan
muslimab menampakkan kesalehan meieka melalui pakaian tersebut dengan
demikian mereka tidak akan diganggu atau dilecehkan lawan jenisnya.
Kebanyakan wanita di zaman kini menonjolkan lekuk-Iekuk tubuhnya
sehingga memancing lawan jenisnya untuk terbelalak memperhatikan gaya
mereka. Namun kenyataan yang diterima oleh perempuan tersebut seringkali
tidak berupa pujian melainkan gairab untuk melecehkan melalui siulan
ataupun sindiran bahkan tidak jarang mengeluarkan kata-kata yang tidak
sopan terutama jika pakaian ketat tersebut tidak pas dengan bentuk tubuh si
perempuan terse but. Apakab hal demikian yang diinginkan perempuan untuk
diperjuangkan sebagai hak asasi mereka?
Sebenarnya pakaian longgar lebih membawa perempuan ke tempat
yang terhormat Dengan pakaian longgar yang tidak menampakan lekuk
tubuh akan menghasilkan penilaian yang lebih obyektif terhadap nilai harga
diri wanita yang tidak hanya didasarkan pada keindaban fisik semata.
Terciptanya persaingan yang fair antara sesama wan ita yang tidak hanya
Kewenangan Pengadi/an Agama d; NAD, Dew; 251

dinilai dari bentuk fisik semata namun akan terlihat kepribadian perempuan
tersebut melalui sikap tingkah laku dan tutur kata dari perempuan itu sendiri.
Nilai seorang perempuan akan lebih nampak dari sisi intelegensianya
dibanding bentuk fisik yang merupakan pemberian cuma-cuma dari Allah
SWT. Di lain pihak pakaian minim dan ketat memberikan dampak
ketidakadilan seleksi dari lingkungan yang sekaJigus merupakan proses
seleksi yang kurang menyenangkan terhadap perempuan yang memiliki
tubuh yang tidak ideal. Disamping itu juga pakaian minim dan ketat mungkin
saja malah dapat mempersempit gerakan wanita itu sendiri.
Pakaian minim dan ketat lebih banyak rnenirnbulkan mudharat dari
pada manfaatnya. Sebaliknya, pakaian longgar mernberikan banyak manfaat
bagi perempuan terutama guna rnenghasilkan kornpetisi yang wajar antara
sesama perempuan. Aturan penggunaan pakaian longgar juga tidak hanya
berguna bagi perempuan namun juga kepada pihak laki-Iaki itu sendiri, yaitu
dapat mencegah dari hal-hal yang tidak diharapkan serta memudahkan laki-
laki dalam memelihara pandangan. Sebab, apapun alasannya, terjadinya
perselingkuhan atau perzinahan (atas dasar saling suka atau tertarik) maupun
pemerkosaan (bila salah satu pihak tidak tertarik) akan mengakibatkan hal-
hal yang merugikan dikemudian hari. Penerapan terhadap hak berekspresi
dengan membiarkan wanita-wanita berpakaian minim dan ketat yang
kebanyakan hanya untuk dijadikan sebagai obyek pemuas "nafsu" sesaat
saja baik bagi perempuan itu sendiri ataupun bagi laki-Iaki.yang ingin
menyeleksi perempuan berdasarkan bentuk tubuhnya adalah suatu tindakan
yang "salah kaprah" terhadap keindahan ekspresif itu sendiri yang dapat
ditfsirkan lebih luas dan kreatif.

IX. Penutup

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa sejarah panjang


pembentukan lembaga peradilan agama, ada perbedaan hal yang melandasi
pengaturan tentang kompetensi absolute antara pembentukan lernbaga
pengadilan Agama pada umumnya dengan Mahkamah Syar'iyah dii NAD.
Dalam sejarah semangat dalam mengatur kewenangan Pengadilan agama
yang dilakukan oleh pemerintah penjajahan adalah untuk sebesar mungkin
menjauhkan umat Islam dari ketentuan agamannya. Sebaliknya setelah
Indonesia merdeka semangat untuk mengatur mengenai kompetensi absolut
Perasdilan Agama, khususnya di Mahkamah Syar'iyah NAD didorong oleh
keinginan untuk menjalankan hukum Islam yang menjadi bagian dari
keyakinan agamanya. Secara materiil ketentuan hukum pidana Islam (hukum
Jinayat) yang menjadi dasar kompetensi absoIut Mahkamah Syar'iyah
252 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI

merupakan cerminan hak-hak asasi manusia dibalik ketentuan sanksi pidana


yang seolah nampak kejam dan berupa penyiksaan.
Kewenangan Pengadi/an Agama di NAD, Dewi 253

Daftar Pus taka

Abdullah A. Gani. Peradilan Agama dalam Pemerintahan Islam di


Kesultanan Bima (I 947-1957), Bandung: Ulul Albab Press, 1998.
Ali, M. Daud. Hukum Islam: Pengantar IImu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, edisi. ed 6 cet 7 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1999.
Anshori, Abdul Ghofur, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No.3
Tahun 2006, Yogyakarta: UII Press, 2007.
Hazairin, Demokrasi Panscasila, Jakarta: Bina Aksara, 1981.
Lubis, Sulaikin, Wismar Ain Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Prenada media, 2007.
Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan
Agama Islam di Indonesia, Surabaya: PT. Bina lImu, 1983.
Thalib, Sayuti. Receptio A Contrario, Hubungan Hukum Adat dengan
Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1985.

You might also like