Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

PENGOLAHAN LIMBAH SAYURAN DENGAN METODE CONDUCTIVE DRYING

Nova Isva Tusania


15513053

ABSTRACT

Vegetable waste is organic solid waste that contains high water content and
quickly decays. If vegetable waste is disposed of directly in a state wrapped in the
absence of oxygen (anaerobic), will produce methane (CH4) and carbon dioxide (CO2)
which can pollute the environment for example such as depletion of the ozone layer.
Based on these problems, research on Vegetable Waste Treatment using the Conductive
Drying Method (a method of drying that does not come in direct contact between the
material and the hot media). Designed of the tool called Food Waste Recycler which aims
to reduce the volume and generation of vegetable waste, especially at the source. In the
treatment process, the water content in vegetable waste will decrease and make the
o
waste dry. Tested at 70 C with a weight of 500gram vegetable waste for 5 hours and 10
hours. In the 5-hour test, the mass of waste becomes 180gram with a moisture content of
86.8% and a dry content of 13.2%. Whereas in 10 hours, the waste mass becomes
86gram with a moisture content of 5.3% and a dry content of 94.7%. The difference
between the two results is due to the process of mass transfer of water vapor from the
material to the air and if the moisture content is higher than the dry content, the material
contains a lot of water. At 5 hours, the texture of the waste is still wet, the color just turns
yellowish and still smells. Whereas on processing for 10 hours, the texture of the waste
dries, the color becomes brownish, and odorless. For nutrient content of Nitrogen (N),
Phosphorous (P), Potassium (K) at 5 hours the results obtained (N) 0.91%, (P) 1.12%,
(K) 1.42%. At 10 hours the results obtained (N) 0.84%, (P) 1.10%, (K) 1.36%. In the 5-
hour test, the C / N ratio was 13.32 and at 10 hours the C / N ratio was 13.25. The results
of this study indicate that the FWR tool can change the physical and chemical
characteristics of vegetable waste.

Keywords: Conductive Drying, Food Waste Recycler

ABSTRAK
Limbah sayuran merupakan limbah padat organik yang mengandung kadar air
yang tinggi dan cepat membusuk. Jika limbah sayuran dibuang langsung dengan
keadaan terbungkus tanpa adanya oksigen (anaerob), akan menghasilkan gas metana
(CH4) dan karbondioksida (CO2) yang dapat mencemari lingkungan contohnya seperti
penipisan lapisan ozon. Berdasarkan permasalahan tersebut, dilakukan penelitian
mengenai Pengolahan Limbah Sayuran dengan Metode Conductive Drying (metode
pengeringan yang tidak berkontak langsung antara bahan dengan media panas).
Dirancang sebuah alat bernama Food Waste Recycler yang bertujuan untuk mengurangi
volume dan timbulan limbah sayuran khususnya di sumber. Pada proses pengolahannya,
kadar air pada limbah sayuran akan berkurang dan membuat limbah menjadi kering.
o
Pengujian dilakukan pada suhu 70 C dengan berat limbah sayuran sebanyak 500gram
selama 5 jam dan 10 jam. Pada pengujian 5 jam, massa limbah menjadi 180gram
dengan kadar air 86,8% dan kadar kering 13,2%. Sedangkan pada waktu 10 jam, massa
limbah menjadi 86gram dengan kadar air 5,3% dan kadar kering 94,7%. Perbedaan
kedua hasil tersebut, dikarenakan adanya proses perpindahan massa uap air dari bahan
ke udara dan jika nilai kadar air lebih tinggi dibandingan kadar kering, maka bahan
tersebut mengandung banyak air. Pada waktu 5 jam, tekstur limbah masih basah, warna
hanya berubah menjadi kekuningan dan masih berbau. Sedangkan pada pengolahan
selama 10 jam, tekstur limbah mengering, warna menjadi kecoklatan, dan tidak berbau.
Untuk kandungan hara Nitrogen (N), Phosphor (P), Kalium (K) pada waktu 5 jam

1
didapatkan hasil (N) 0,91%, (P) 1,12%, (K) 1,42%. Pada waktu 10 jam didapatkan hasil
(N) 0,84%, (P) 1,10%, (K) 1,36%. Pada pengujian 5 jam, rasio C/N didapatkan hasil
13,32 dan pada waktu 10 jam rasio C/N didapatkan hasil 13,25. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa alat FWR dapat mengubah karakteristik fisik dan kimia pada limbah
sayuran.

Kata kunci: Conductive Drying, Food Waste Recycler

1. PENDAHULUAN
Limbah merupakan buangan yang dihasilan dari suatu kegiatan baik industri
maupun domestik. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia
dengan jumlah penduduk sebanyak 413.961 jiwa pada tahun 2018 (Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta). Dari tahun ketahun, jumlah penduduk akan
semakin bertambah begitu juga dengan jumlah limbahnya. Limbah organik yang berasal
dari pasar dan rumah tangga, menempati posisi tertinggi timbulan sampah hingga 50%.
Pada umumnya, penanganan limbah di Yogyakarta saat ini sebagian besar hanya
ditumpuk di tempat pembuangan dan selanjutnya dibuang ke TPA (Tempat Pemrosesan
Akhir) tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu. Pada limbah organik seperti limbah
sayuran, jika dibuang dengan keadaan terbungkus tanpa adanya oksigen akan
menghasilkan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) yang dapat mencemari
lingkungan contohnya seperti penipisan lapisan ozon. (Silvia, 2019). Selain itu limbah
sayuran mengandung kadar air yang tinggi, sehingga bila tidak ditangani dengan cepat
akan mengalami pembusukan dan menimbulkan bau.
Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat dilakukan pengolahan pada limbah
sayuran menggunakan alat Food Waste Recycler (FWR) dengan metode conductive
drying atau pengeringan. Metode yang digunakan merupakan teknik pengeringan yang
dimana bahan tidak berkontak langsung dengan media panas. FWR dapat menurunkan
kadar air dan berat pada limbah dari adanya proses perpindahan massa uap air dari
bahan ke udara. Penelitian ini dilakukan berdasarkan dari teknologi yang sudah ada,
yaitu Zera Food Recycler dan Food Cycler. Kedua produk tersebut adalah teknologi yang
dapat mengolah limbah sisa makanan dengan menggunakan metode conductive drying.
o
Pada penelitian ini suhu yang digunakan saat proses pengolahan adalah 70 C
dengan waktu 10 jam. Berdasarkan pada penelitian pendahulu, pada suhu tersebut
limbah sayuran menjadi kering. Sebagai pembanding hasil, dilakukan pengolahan
o
selama 5 jam dengan suhu yang sama yaitu 70 C. Perbandingan tersebut bertujuan
untuk melihat perubahan karakteristik fisik (berat, warna, bau, kadar air, kadar kering,
kadar volatil dan kadar abu) dan kimia (pH, nitrogen (N), phosphor (P), kalium (K), karbon
organik, dan rasio C/N) pada limbah sayuran setelah dilakukan proses pengolahan
dengan alat FWR.

2. METODE PENELITIAN
Dilakukan penelitian dengan merancang suatu alat yang dapat mengolah limbah
sisa makanan dengan menggunakan metode conductive drying (teknik pengeringan yang
tidak berkontak langsung antara media panas dan bahan). Konsep dari alat ini adalah
merubah energi listrik menjadi energi panas, sehingga limbah sayuran mengalami
perubahan karakteristik fisik (massa, bau, warna) dan karakteristik kimia (kadar air, kadar
abu, kadar volatil, pH, nitrogen, phosphor, kalium, karbon organik, dan rasio C/N).

2.1 Food Waste Recycler


Dilakukan perancangan alat Food Waste Recycler yang bertujuan untuk
mengolah limbah organik dan/atau sisa makanan dengan metode Conductive
Drying. Alat ini berfungsi untuk mengeringkan limbah sayuran dan menurunkan
kadar air serta volume pada limbah. Komponen-komponen alat Food Waste
Recycler dapat dilihat pada tabel 1.

2
Tabel 1. Komponen-komponen alat Food Waste Recycler
NO Komponen Gambar

1 Penutup wadah pengolahan


1
2 Mixed blend yang menggunakan 2
prinsip blender dengan diameter
pisau 18 cm
3
3 Bucket waste dengan bahan
stainless steel 0,8 mm (berlubang
diameter 1 mm) dengan dimensi 5 4
diameter 19,5 cm, tinggi dalam
10,8 cm, tinggi luar 13 cm dan
6
volumenya 3 liter

4 Body utama dengan bahan


8 7
stainless steel 430 0,8 mm
finishing coating polished dan
adanya alas kayu, dengan
dimensi alat 40 (panjang) x 30
9
(lebar) x 35 cm (tinggi)

5 Control interface dengan layar


OLED Arduino 2,4” dengan
adanya tombol pengatur waktu
dan suhu

6 Electronic box yang berisi


termostat dengan dimensi 15 cm
(panjang x 30 cm (lebar) x 35 cm
(tinggi)

7 Heater dengan daya 400-750 watt

8 Air cooler untuk membuang panas


yang dihasilkan ke udara

9 Motor crusher dengan planetary


gear 36 high torque and speed
Gambar 1. Desain Alat

3
2.1. Merkanisme Food Waste Recycler
Cara kerja alat dapat dilihat pada gambar 2.

Limbah sayuran

Wadah penampungan

Mencacah sampah dengan menekan switch on alat, “B” pada keypad untuk
mixed blend, dan menekan “B” kembali jika pencacahan selesai

Proses pengeringan dengan mengatur suhu dan waktu pada


keypad dengan kode Suhu#Jam#Menit#D

Menunggu hasil dari pengeringan dan ketika proses telah selesai akan ada
alarm yang berbunyi dan mematikan alat dengan menekan switch off

Gambar 2. Diagram Cara Kerja Alat

2.2. Metode Pengujian


Dilakukan pengujian terhadap karakteristik fisik dan kimia pada pengolahan limbah
o
sayuran pada suhu 70 C selama 5 dan 10 jam. Metode yang digunakan dalam pengujian
hasil pengolahan dapat dilihat pada tabel 3 dan langkah pengujian kadar air, kadar
volatil, nitrogen total, phosfor, kalium dan karbon organik dapat dilihat pada lampiran

Tabel 2. Metode Pengujian

No Parameter Satuan Metode Acuan

1. pH Menggunakan pH meter -

o
2. Suhu C Menggunakan termometer -

Kadar air dan Pengeringan dengan oven


3. % o *
Kadar Kering selama 16 jam pada suhu 105 C
Kadar Volatil dan Pemanasan dengan furnance
4. % o *
Kadar Abu selama 24 jam pada suhu 600 C
5. Nitrogen Total % Kjeldahl **

6. Phosfor (P2O5) % Ekstrak HNO3+HClO4 **

7. Kalium (K2O) % Ekstrak HNO3+HClO4 **

8. Karbon Organik % Ekstrak HNO3+HClO4 *


*) Balai Penelitian Tanah (2003) **) SNI 2803:2010 NPK Padat

4
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengolahan Limbah Organik dengan Food Waste Recycler
Food Waste Recycler merupakan alat yang dimana pada proses
pengolahannya dapat mengurangi kadar air pada limbah organik dan membuat
limbah menjadi kering. Metode yang digunakan pada alat ini adalah metode
Conductive Drying (teknik pengeringan yang tidak berkontak langsung antara
media panas dan bahan). Pada alat FWR, antara heater (media panas) yang
digunakan letaknya berada di bawah wadah penampung limbah (bucket).
Kemudian crusher pada FWR berfungsi untuk memperkecil ukuran sampah atau
mencacah sampah. Sampah dicacah terlebih dahulu dikarenakan ukuran sampah
sangat mempengaruhi cepatnya proses pengeringan.
o
Suhu yang digunakan pada saat pengujian yakni 70 C. berdasarkan pada
o
penelitian Kucbel (2019), pengomposan secara otomatis pada suhu diatas 70 C
dengan alat Green Good Composter, hasil akhir yang didapatkan kandungan
senyawa organik pada limbah makanan rendah. Kemudian, pada penelitian
pendahulu, dilakukan proses pengolahan menggunakan suhu 60℃ dan 70℃.
Faktor yang dapat mempengaruhi proses pengeringan dengan metode Conductive
Drying yaitu massa limbah, suhu pengolahan dan waktu pengolahan. Suhu dan
massa limbah sangat mempengaruhi lamanya proses pengeringan. Jika massa
limbah banyak, waktu yang dibutuhkan dalam proses pengolahan juga banyak.
o
Sehingga, pada penelitian ini ditetapkan suhu 70 C selama 10 jam (F2) dengan
berat limbah sayuran 500gram. Saat proses pengeringan berjalan, jika suhu
o
mencapai 70 C, heater akan berhenti bekerja hingga mencapai suhu maksimum
dan air cooler pada alat akan membuang panas yang dihasilkan. Sebagai
pembanding, penelitian ini menggunakan waktu pengolahan selama 5 jam (F1)
yang bertujuan untuk melihat perubahan karakteristik fisik dan kimia dari hasil
pengolahan dengan alat Food Waste Recycler.

3.2 Analisis Karakteristik Fisik Limbah Sayuran


Proses pengolahan pada limbah sayuran dengan metode Conductive Drying dapat
mengubah karakteristik fisik seperti massa limbah, kadar air, kadar kering, kadar volatil,
kadar abu, warna dan bau yang terkandung pada limbah. Waktu pengolahan merupakan
salah satu faktor adanya perubahan karakteristik fisik pada limbah (Tabel 3)

Tabel 3. Karakteristik Fisik Limbah Sayuran setelah Pengolahan


Parameter

Waktu Massa Massa Kadar Kadar Kadar Kadar


(Jam) Awal Akhir Warna Bau Air Kering Volatil Abu
(gram) (gram) (%) (%) (%) (%)

*F1 180 Kuning Berbau 86,8 13,2 84,1 15,9


500
**F2 86 Coklat Bau Tanah 5,3 94,7 81,2 18,8

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 3) menunjukkan bahwa, waktu atau lamanya


proses pengolahan sangat mempengaruhi perubahan karakteristik fisik pada limbah
sayuran. Berikut adalah pembahasan dari tiap parameter setelah adanya proses
pengolahan selama 5 jam dan 10 jam.

3.2.1 Massa Limbah


Massa limbah menunjukkan berat limbah akhir setelah dilakukan proses
pengolahan. Pada sampel F1penurunan massa limbah sebesar 64% dengan
massa akhir 180gram dan pada sampel F2 penurunan sebesar 83% dengan

5
massa akhir 86gram. Pada pengolahan 10 jam, penurunan lebih besar
dibandingkan dengan pengolahan 5 jam, karena waktu pengolahan sangat
mempengaruhi penurunan kadar air pada limbah. Udara yang terdapat dalam
proses pengeringan memiliki fungsi sebagai pemberi panas pada bahan, sehingga
menyebabkan terjadinya proses penguapan kadar air dari bahan ke udara. Dari
adanya penguapan tersebut dapat menurunkan massa pada limbah.
3.2.2 Bau dan Warna pada Limbah
Dari hasil pengolahan pada sampel F1, warna tidak berubah menjadi
kecoklatan melainkan warna hanya menjadi kekuningan, tekstur sampah basah
dan masih berbau. Sedangkan pada sampel F2 terjadi perubahan warna menjadi
kecoklatan, bau seperti tanah dan sampah mengering. Dapat disimpulkan bahwa,
limbah akan mengering dan bau akan berkurang bila proses pemanasan
berlangsung lebih lama.
3.2.3 Kadar Air dan Kadar Kering Limbah
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Limbah sayuran memiliki kadar air yang cukup tinggi,
yaitu 90% (Cahaya, 2009). Pada sampel F1 (pemanasan 5 jam) nilai kadar air
sebesar 86,8% dan nilai kadar kering yakni 13,2%. Sedangkan untuk sampel F2
(pemanasan 10jam) nilai kadar air lebih rendah dibandingkan F1, yakni 5,3% dan
kadar kering sebesar 94,7%. Jika nilai kadar air lebih tinggi daripada kadar kering,
maka bahan tersebut mengandung banyak air atau bahan tersebut basah. Sesuai
dengan output yang dihasilkan, pada sampel F1 bahan masih basah. Berbeda
dengan sampel F2 output yang dihasilkan telah kering. Dapat disimpulkan bahwa
waktu pengolahan mempengaruhi nilai kadar air pada bahan. Dari penelitian
terdalu, pada alat Vessel Composting Machine kadar air turun hingga 48,9% dan
46,9% (Shamsuddin, 2017), kemudian Smart Composting nilai kadar air yang
dihasilkan 25% (Chiplunkar,2018) dan S-FRB 35% (Yeo,2019). Perbedaan nilai
kadar air tersebut dipengaruhi oleh perbedaan suhu yang digunakan pada saat
o
pemanasan dibawah 70 C.
3.2.4 Kadar Volatil dan Kadar Abu Limbah
o
Pemanasan dilakukan dengan menggunakan furnace pada suhu 600 C
selama 24 jam. Tujuan penentuan kadar volatil sampah bertujuan untuk
memperkirakan seberapa besar efektifitas pengurangan (reduksi) sampah
menggunakan metode pembakaran berteknologi tinggi. Sedangkan kadar abu
merupakan sisa proses pembakaran pada suhu tinggi. Dengan penentuan kadar
abu dapat dilihat keefektifan kinerja proses pembakaran tersebut. Hasil
perhitungan menunjukkan kadar volatil pada sampel F1 adalah 84,1% dengan
kadar abu 15,9%. Untuk sampel F2 kadar volatil yang dihasilkan adalah 81,2%
dengan kadar abu 18,8%. Dapat disimpulkan bahwa dari dua waktu tersebut nilai
kadar volatil lebih tinggi dibandingkan kadar abu, yang berarti dua sampel tersebut
memiliki kandungan organik yang tinggi.

3.3 Analisis Karakteristik Kimia Limbah Sayuran


Pengolahan limbah sayuran dengan menggunakan metode Conductive Drying
dapat mengubah karakteristik kimia seperti nilai pH, kadar nitrogen (N), phosphor (P),
kalium (K), karbon organik dan rasio C/N. Waktu pengolahan merupakan salah satu
faktor utama dari adanya perubahan karakteristik fisik limbah sayuran (Tabel 4).

6
Tabel 4. Karakteristik Fisik Limbah Sayuran setelah Pengolahan
Parameter

Waktu Karbon
Nitrogen (N) Rasio Phosphor (P) Kalium (K)
(Jam) pH Organik (C)
(%) C/N (%) (%)
(%)

*F1 6,5 12,12 0,91 13,32 1,12 1,42


**F2 7 11,31 0,84 13,25 1,10 1,36

Berikut adalah pembahasan dari tiap parameter setelah adanya proses


pengolahan selama 5 jam dan 10 jam.
3.3.1 Derajat Keasaman
pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman
atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. pH normal limbah
organik memiliki nilai 7 sementara bila nilai pH >7 menunjukkan zat memiliki sifat
basa, sedangkan bila nilai pH <7 menunjukkan keasaman (Hartas, 2008). pH pada
limbah sayuran memiliki pH >7 (basa). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data
o
pH untuk sayuran 8 (Angelia, 2017). Untuk output yang dihasilkan pada suhu 70 C
dengan waktu 5 jam memiliki pH 6,5 dan pada waktu 10 jam memiliki pH 7. pH
diukur dengan menggunakan pH meter.
3.3.2 Kadar Karbon Organik (C)
C-organik berfungsi sebagai sumber enegi. Jika c-organik mengalami
peningkatan yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan protein pada
tanaman (Bachtiar, 2006). Limbah sayuran memiliki kandungan karbon organik
33% (Katre, 2012) dan 45,4% (Cahaya, 2009). Pada sampel F1 diperoleh hasil c-
organik 12,12% dan pada sampel F2 didapatkan hasil 11,13%. Bila dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar karbon
organik dipengaruhi oleh lamanya proses pengolahan, dimana semakin lama
waktu proses maka kadar karbon organik akan menurun.
3.3.3 Kadar Nitrogen (N)
Nitrogen bagi tanaman berguna untuk merangsang pertumbuhan tanaman
secara keseluruhan, khususnya batang, cabang dan daun (Lindawati, 2000).
Nitrogen penting dalam hal pembentukan hijau daun yang berguna dalam proses
fotosintesis. Pada limbah sayuran memiliki kandungan nitrogen sebesar 1,50%
(Katre, 2012) dan 3,65% (Chirila, 2013). Selain itu, penelitian lain menunjukkan
kadar nitrogen pada sayuran adalah 0,95% (Gunawan, 2015). Kadar nitrogen (N)
yang dihasilkan pada sampel F1adalah 0,91% dan pada sampel F2 hasilnya
0,84%. Dapat disimpulkan bahwa, penurunan kadar nitrogen pada bahan
dikarenakan adanya proses penguapan nitrogen bersama air (Spencher, 2013).
Selain itu dikarenakan NH3 yang tervolatilisasi lebih besar dibandingkan bahan
organik yang terdegradasi (Kurnia, 2017)
3.3.4 Rasio C/N
Ketersediaan c-organik sebagai sumber energi. Bahan organik tidak dapat
langsung dimanfaatkan oleh tanaman bila perbandingan C/N dalam bahan relatif
tinggi (Bachtiar, 2006). Jika rasio C/N yang terlalu tinggi, bahan organik menjadi
mentah dan akan merugikan bila diberikan pada tanah, karena bahan organik
dapat digunakan oleh mikroba seperti bakteri untuk mendapatkan energi hara yang
seharusmya digunakan oleh tanaman (Wahyuni, 2017). Hasil rasio C/N pada
limbah sayuran adalah 22 (Katre, 2012). Pada sampel F1 didapatkan hasil 13,32
dan pada sampel F2 adalah 13,25. Rasio C/N rendah disebabkan karena
kandungan nitrogen yang tinggi dan nitogen akan hilang ke atmosfir dalam bentuk
gas sehingga menimbulkan bau busuk.

7
3.3.5 Kadar Phosphor (P)
fosfor (P) bagi tanaman berguna untuk merangsang pertumbuhan akar
dan sebagai bahan untuk pembentukan protein. Pada penelitian terdahulu, limbah
sayuran memiliki kandungan fosfor 0,4% (Chirila, 2013) dan 0,10% (Gunawan,
2015). Hasil penelitian kadar (P) pada sampel F1 didapatkan hasil 1,12% dan pada
sampel F2 didapatkan hasil 1,10%. Peningkatan kadar phosphor dikarenakan
massa hilang pada proses pengolahan (Lu, 2013). Menurut Setyawati (2012)
peningkatan kandungan phosphor juga dipengaruhi oleh lama waktu pemrosesan.
3.3.6 Kadar Kalium (K)
Kalium (K) berguna untuk membantu pembentukan protein dan
karbohidrat serta memperkuat tubuh tanaman (Lingga, 2008). Diperoleh hasil
kadar kalium sebesar 0,47% (Gunawan, 2015). Pada pengolahan waktu 5 jam
didapatkan hasil kadar kalium 1,42% dan pada waktu 10 jam didapatkan hasil
1,36%. Peningkatan kadar kalium setelah proses pengolahan akibat dari
kehilangan karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen yang membentuk CO 2 dan
H2O (Larney 2006). Selain itu nilai kalium meningkat karena adanya penurunan
massa limbah pada saat proses pengolahan (Lu 2013).

4. KESIMPULAN
Faktor yang mempengaruhi hasil dari proses pengolahan dengan alat Food Waste
Recycler adalah massa sampah, suhu pengolahan, dan waktu pengolahan. Ditetapkan
o
waktu pengolahan selama 10 jam dengan suhu 70 C dan massa limbah sebanyak
500gram. Pada sampel F1, massa limbah menjadi 180gram dengan kadar air 86,8% dan
kadar kering 13,2%. Sedangkan pada sampel F2, massa limbah menjadi 86gram dengan
kadar air 5,3% dan kadar kering 94,7%. Pada waktu 5 jam, tekstur limbah masih basah,
warna hanya berubah menjadi kekuningan dan masih berbau. Sedangkan pada
pengolahan selama 10 jam, tekstur limbah mengering, warna menjadi kecoklatan, dan
tidak berbau. Untuk kandungan hara Nitrogen (N), Phosphor (P), Kalium (K) pada waktu
5 jam didapatkan hasil (N) 0,91%, (P) 1,12%, (K) 1,42%. Pada waktu 10 jam didapatkan
hasil (N) 0,84%, (P) 1,10%, (K) 1,36%. Pada pengujian 5 jam, rasio C/N didapatkan hasil
13,32 dan pada waktu 10 jam rasio C/N didapatkan hasil 13,25.

5. DAFTAR PUSTAKA

Angelia, I.O. 2017. Kandungan pH, Total Asam Tertitrasi, Padatan Terlarut dan
Vitamin C pada beberapa Komoditas Hortikultura. Gorontalo: Politeknik Gorontalo

Anonim. 2019. Food Cycler. https://nofoodwaste.com/. Diunduh pada 31 Januari 2019

Anonim. 2019. Zera Food Recycler. https://wlabsinnovations.com/pages/zera. Diunduh


pada 31 Januari 2019

Anonim. 2019. Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2018.


https://kependudukan.jogjaprov.go.id. Diunduh pada 25 Agustus 2019
Bachtiar, E. 2006. Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian USU: Medan

Brata, K.R., Nelistya, K.R. 2008. Lubang Resapan Biopori. Jakarta

Cahaya, T. 2009. Pembuatan Kompos dengan Menggunakan Limbah Padat


Organik. Semarang

8
Center, F. 1997. Quality Control for Organic Fertilizer. Taiwan: Food and Fertilizer
Technology Center

Chirila, E. 2013. Preliminary Studies on some Waste Vegetable


Contribution to the Soil Fertility. Romania: University from Constania
Damanhuri, E.D. 2010. Pengelolaan Sampah. Bandung: Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan Institut Teknologi Bandung.

Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2004. Pedoman Pengawasan Pupuk Bersubsidi.


Jakarta: Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Bina Sarana
Pertanian.

Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Pupuk


Organik dan Pembenah Tanah. Jakarta: Direktorat Jenderal Prasarana dan
Sarana Pertanian

Dwiyatmo, K. 2007. Pencemaran Lingkungan dan Penanganannya. Citra Aji Parama.


Yogyakarta
Faizah. 2008. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Masyarakat (Studi
Kasus di Kota Yogyakarta), Thesis, Semarang: Program Pasca Sarjana Ilmu
Lingkungan Universitas Diponegoro Kementerian Lingkungan Hidup

Farkas, B., Hubbard, L, J. 2000. Analysis of convective heat transfer during


immersion frying. Drying Technology 18, 1269-1285.

Fialho, L.L., Da Silva, W.T.L., Milori, D.M.B.P., Simoes, M.L., Martin-Neto, L. 2010.
Characterization of organic matter from composting of different residues by
physicochemical and spectroscopic methods. Bioresour. Technol. 101, 1927–
1934.

Gunawan. 2015. Studi Pemanfaatan Sampah Organik Sayuran Sawi dan Limbah
Rajungan untuk Pembuatan Kompos Organik Cair. Bangka Belitung:
Universitas Bangka Belitung

Gustavsson, J., Cederberg, C., Sonesson, U., Van Otterdijk, R., Meybeck, A. 2011.
Global Food Losses and Food Waste. Food and Agriculture Organization of
the United Nations. Rom.

Hartas, H.S. 2008. Pendeteksian Keasaman dan Kebasaan pada Pembuburan


Kertas dengan Menggunakan pH meter pada Proses Bleaching. Medan:
Universitas Sumatera Utara

Katre, Nambhau, H. 2012. Use of Vegetable Waste through Aerobic Composting of


Village Bamhani. India

Latifah, R.N., Winarsih., Rahayu Y,S. 2012. Pemanfaatan Sampah Organik sebagai
Bahan Pupuk Cair untuk Pertumbuhan Tanaman Bayam Merah. Jurnal
LenteraBio 1:139-144

Larney, F. J., Sullivan, D. M., Buckley, K. E., & Eghball, B. 2006. The Role of
Composting in Recycling Manure Nutrients. Canadian Journal of Soil Science,
86(4), 597-611.

9
Lindawati, N., Izhar, dan Syafira, H. 2000. Pengaruh Pemupukan Nitrogen dan Interval
Pemotongan Terhadap Produktivitas dan Kualitas Rumput Lokal Kumpai
pada Tanah Podzolik Merah Kuning. JPPTP 2(2):130-133

Lingga, P. 2008. Buku Petunjuk Penggunaan Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta

Mansy. 2002. Komposisi Beberapa Jenis Limbah Sayuran. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Naryono, E.S. 2013. Pengeringan Sampah Organik Rumah Tangga. Indonesian Green
Technology Journal.

Silva, V., Mol, H.G.J., Tinstra, M., Ritsema, C.J., Geissen, V. 2019. Pesticide residues
in European agricultural soils – A hidden reality unfolded. Sci. Total Environ.
653, 1532–1545.

Setyorini. 2006. Kompos. Bogor: Balitbang Sumber Daya Lahan Pertanian.

Spencher, J. L., & Van Heyst, B. J. 2013. Effect of Different Intermediate


Amendsments On pH and Ammonia Emissions of Composted Poultry
Mortalitites. Journal of Applied Poultry Research, 22(4), 700-714.

Sudradjat, H.R. 2006. Mengelola Sampah Kota. Penebar Swadaya. Jakarta

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.


Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Sutejo, M.M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta

Suwerda, B. 2012. Bank Sampah (Kajian Teori dan Penerapan). Pustaka Rihama.
Yogyakarta

Tan, K.H. 1994. Environmental Soil Science. New York: Marcel Dekker, Inc

Velis, C. A., P. J. Longhurst., G. H. Drew., R. Smith., S. J. T. Pollard. 2009.


Biodrying for Mechanical–Biological Treatment of Wastes: A Reviewof
Process Science and Engineering. 100(11) : 2747 – 2761

Wahyuni, Tri. 2017. Status Unsur Hara Karbon Organik dan Nitrogen Tanah Sawah
Tiga Kabupaten. Bengkulu

Waluyo, L,. 2007. Mikrobiologi Umum. UPT Penerbitan UMM. Malang

Wardana, W. 2007. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta

10
11

You might also like