Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

Studi terhadap Pemahaman, Keyakinan, dan Praktik


Keberagamaan Masyarakat Batak Angkola di
Padangsidimpuan Perspektif Antropologi

Sumper Mulia Harahap


IAIN Padang Sidimpuan

Abstract
Ritual is an expression of the religious ceremony system that reflect the relationship between
human and spiritual nature. For user or participants, the ritual has an important social
function, namely to integrate individuals in the community and to become instruments tend to
channel negative energy. In the context of Islam, elements in Panaek Bungkulan scent mystical
and superstitious deem incompatible with Sharia rules need to be eliminated, but for the elements
of the other during the ritual can still be communicated and do not damage the faith of course
still be done. Penetration of religion in the perspective of Panaek Bungkulan does not necessarily
all eliminate the ritual practices of Angkola Batak Padangsidimpuan society. Although people
accept Islam as a faith, in addition to receiving the teachings of Islam as a faith, in addition to
receiving the teachings of modern into building a house, they still do not lose local traditions as
custom value in the middle of modern globalisation era. The relationship between Islam and
local traditions has formed a new habitat called local Islamic traditions. Dialectic between Islam
and culture puts religious and local ritual as a field of contestation; it is such as panaek
bungkulan tradition. This tradition is a heritage tradition that has been known to the people of
Angkola batak long before Islam entered the batak land.

Keywords: Islam, culture and Panaek Bungkulan

Abstrak
Ritual merupakan ekspresi dari sistem upacara keagamaan yang merefleksikan adanya
hubungan manusia dengan alam spiritual. Bagi Pelakunya, ritual memiliki fungsi sosial
yang penting, yaitu mengintegrasikan individu-individu dalam masyarakat dan menjadi
instrumen untuk menyalurkan energi negatif. Dalam konteks Islam, unsur-unsur dalam
Panaek Bungkulan yang beraroma mistik dan tahayul dianggap tidak sesuai dengan
aturan syariat perlu dihilangkan, tetapi untuk unsur-unsur ritual yang lain selama masih
bisa dikomunikasikan dan tidak merusak akidah tentu masih bisa dilakukan. Penetrasi
agama dalam perspektif Panaek Bungkulan tidak serta merta menghilangkan praktik-

154|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

praktik ritual masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan. Meski masyarakat


menerima ajaran Islam sebagai keyakinan, di samping menerima ajaran Islam sebagai
keyakinan, dan menerima ajaran-ajaran modern dalam membangun rumah, mereka
tetap tidak kehilangan tradisi lokal sebagai nilai adat di tengah-tengah arus grobalisasi-
modern. Relasi antara Islam dan tradisi lokal telah membentuk habitat baru yang disebut
tradisi Islam lokal. Dialektika antara Islam dan budaya menempatkan religi dan ritual
lokal sebagai medan kontestasi, seperti tradisi panaek bungkulan. Tradisi ini merupakan
tradisi warisan leluhur yang telah dikenal masyarakat Batak Angkola jauh sebelum
Islam masuk ke tanah Batak.

Kata kunci: Islam, Adat, dan Bungkulan

Pendahuluan transenden itu bukan pula satu-satunya


Persoalan interaksi Islam dan budaya paradigma yang membentuk atau
lokal selalu melibatkan pertarungan atau mempengaruhi manusia. Manusia melalui
ketegangan antara agama sebagai doktrin kemampuan nalar yang menghasilkan
yang bersifat absolut yang berasal dari pengetahuan dari pengalaman
Tuhan dengan nilai-nilai budaya yang empirisnya, membangun konstruksi
bersifat empiris. Dalam hal ini, agama realita sendiri yang mungkin khas dan
memberikan sejumlah konsepsi kepada berbeda (distinctive) vis a vis agama.
manusia mengenai konstruk realitas yang Konstruksi realitas yang bersifat
didasarkan bukan pada pengetahuan dan kemanusiaan inilah yang kemudian kita
pengamalan empiris kemanusiaan itu kenal sebagai tradisi adat atau budaya.
sendiri, melainkan dari otoritas Tradisi atau adat ini tentu saja dapat
ketuhanan. Tetapi konstruk realitas yang dipengaruhi oleh konstruksi realitas
bersifat transenden tidak bisa sepenuhnya transenden melalui interaksi tertentu,
dipahami manusia untuk diwujudkan. tetapi ketegangan tercipta ketika kedua
Karena tak jarang konsepsi itu konstruksi realitas itu bersikukuh
disampaikan melalui simbolisme dan mempertahankan eksistensinya masing-
ambiguitas yang pada gilirannya masing. Sebaliknya, ketegangan itu
menciptakan perbedaan-perbedaan menyurut ketika salah satu pihak
interpretasi dan pemahaman di antara memberikan akomodasi apakah secara
individu-individu atau kelompok. Hal ini sukarela atau terpaksa kepada pihak lain.
merupakan ketegangan ekstra yang sulit Dilihat dari segi ini, maka ketegangan
dihindari (Azyumardi Azra, 1999: 229- yang terjadi di dalam interaksi Islam dan
230). budaya lokal boleh jadi bersifat perenial,
Sementara itu konstruksi realitas terus berkelanjutan. Tetapi hal ini tidak

155|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

selalu harus dipahami secara negatif, berkembang di Jazirah Arab. Hal ini dapat
bahkan dalam kenyataan historis dipahami karena setiap agama, tak
ketegangan ini merupakan salah satu terkecuali Islam, tidak bisa lepas dari
faktor pendorong terjadinya dinamika realitas di mana ia berada. Islam bukanlah
kontinyu di dalam masyarakat Islam. agama yang lahir dalam ruang yang
Munculnya upaya dan gerakan hampa budaya. Antara Islam dan realitas,
intensifikasi Islam, Islamisasi dan meniscayakan adaya dialog yang terus
pembahar uan dalam banyak segi berlangsung secara dinamis.1
merefleksikan aspirasi individu-individu Jika melihat corak keberagamaan
untuk mendekatkan konstruksi realitas Islam di Indonesia dari satu sudut
kemanusiaan dengan konstruksi realitas pandang saja, hanya akan menjadikan
transenden (Azyumardi Azra, 1999: 229- pandangan terdistorsi dan tidak utuh. Ada
230). kompleksitas, dan pernik-pernik yang
Varian Islam lokal tersebut- untuk butuh pengamatan yang lebih dalam, yang
selanjutnya penulis menyebutnya Islam tidak bisa dilihat sepintas lalu. Di sana
kultural terus lestari dan mengalami kadang terdapat pergulatan yang cukup
perkembangan di berbagai sisi. Islam serius antara Islam dan kepercayaan-
Kultural tetap menjadi ciri khas dari kepercayaan pra-Islam, negosiasi Islam
fenomena keberislaman masyarakat dan budaya lokal, serta proses saling
Indonesia. Hal ini tak lepas dari mempengaruhi satu sama lain yang
heterogenitas dan kemajemukan bangsa kadang berwujud dalam pola sinkretis,
Indonesia. Indonesia sebagai negara konflik, atau pola-pola lain yang kadang
plural, tidak hanya beragam dari segi sulit untuk didefinisikan (Mangun
agama, keyakinan, budaya, suku bangsa, Budiyanto, 2008: 165).
dan juga bahasa. Negeri ini juga multi- Islam Batak merupakan salah satu
etnis (Dayak, Kutai, Banjar, Makassar, varian Islam kultural yang ada di
Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Madura, Aceh, Indonesia setelah terjadinya dialektika
Minang, Flores, Bali, dan seterusnya), dan antara Islam dengan budaya Batak
juga menjadi medan pertarungan
berbagai pengaruh multi-mental dan
ideologi (India, Cina, Belanda, Portugis, 1
Jika dianalisa lebih jauh, Islam pun merupakan
Hinduisme, Budhisme, Konfuisme, produk lokal yang diuniversalkan dan ditransendensi.
Islam, Kristen, Kapitalisme, sosialisme, Dalam konteks Arab, yang dimaksud Islam sebagai
produk lokal adalah Islam yang lahir di Arab, tepatnya
dan seterusnya) (Asman Aziz, 2009: 104). di daerah Hijaz untuk menjawab persoalan-persoalan
Penyebaran Islam ke berbagai wilayah di yang ada dan berkembang saat itu. Islam Arab itu
dunia ini, menyebabkan corak dan varian kemudian berkembang ketika bertemu dengan
kebudayaan lain, termasuk Indonesia. Maka, dalam hal
Islam memiliki kekhasan dan keunikan ini, Islam senantiasa mengalami dinamisasi kebudayaan
tersendiri daripada Islam yang dan peradaban. Baca, Masnun Thahir (2007: 174).

156|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Angkola. Proses dialektika tersebut pada budaya lokal Batak Angkola.


gilirannya menghasilkan Islam Batak yang Agama dalam kaitannya dengan
unik, khas, dan esoterik, dengan manusia, tidak seyogianya dipahami
ragamnya tradisi-tradisi yang sudah sebagai seperangkat doktrin dan sistem
disisipi nilai-nilai Islam. Pada moral an sich, yang terpisah dari kehidupan
perkembangan selanjutnya, Islam dan manusia. Agama sebagaimana dipahami
tradisi Batak menjadi satu kesatuan yang Zamakhsyari Dhofier dan Abdurrahman
tidak dapat dipisahkan meski masih dapat Wahid (1978: 27), tidak mengandung
dibedakan satu sama lain. nilai-nilai dalam dirinya, tetapi
Tradisi Batak Angkola yang Islami mengandung ajaran-ajaran yang
terpelihara kelestariannya hingga kini. menanamkan nilai-nilai sosial pada
Namun, bukan berarti tanpa perubahan penganutnya, sehingga ajaran-ajaran
sama sekali. Di berbagai sisi, terdapat agama tersebut merupakan salah satu
beberapa perubahan yang menunjukkan elemen yang membentuk sistem nilai
adanya dinamisasi Islam kultural yang budaya. Dalam kerangka ini, agama
tumbuh dan berkembang di Batak memberikan sumbangsih yang signifikan
Angkola. Sebab, pada dasarnya dalam sistem moral maupun sosial dalam
perubahan memang suatu hal yang masyarakat. Nilai-nilai agama dijadikan
niscaya. Hal ini dapat dipahami karena pedoman dalam berbagai tindakan dan
perubahan senantiasa terjadi, bahkan pola perilaku manusia. Sehingga, pada
hampir dalam semua ruang kehidupan perkembangannya, nilai-nilai agama
manusia, baik menyangkut persoalan dikonstruk oleh penganutnya menjadi
politik, sosial, budaya, maupun ekonomi. nilai-nilai budaya, yang dipakai dan
Perubahan dimaksud bisa dilatari oleh dipraktikkan dalam kehidupan
perkembangan pengetahuan yang dimiliki masyarakat dimaksud.
oleh manusia ataupun lingkungan yang Secara eksplisit, Geertz (1981)
mengitarinya, yang kemudian dapat memahami agama sebagai sistem
mempengaruhi kehidupan manusia. kebudayaan. Dalam pandangan Geertz
Kajian ini berupaya untuk agama didefinisikan sebagai pola bagi
mengungkap dan memaparkan dinamika kelakuan yang terdiri dari serangkaian
Islam kultural yang ada, tumbuh, dan aturan-aturan, resep-resep, rencana-
berkembang di Batak Angkola. Seberapa rencana, petunjuk-petunjuk, yang
besar perubahan yang terjadi dan faktor digunakan manusia untuk mengatur
apa yang melatari perubahan tersebut. tingkah lakunya. Kebudayaan dengan
Dari kajian ini diharapkan dapat demikian juga dilihat pengorganisasian
memberikan manfaat dan memperkaya pengertian-pengertian yang tersimpul
khazanah keilmuan, khususnya yang dalam simbol-simbol yang berkaitan
membahas dialektika antara Islam dan dengan ekspresi manusia (M. Ali al-

157|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Humaidy, 2007: 278). Karena itu, Geertz partikular, relatif, dan temporer. Agama
kemudian memahami agama tidak saja tanpa kebudayaan memang dapat
sebagai seperangkat nilai di luar manusia, bekembang sebagai agama pribadi, tetapi
tapi juga merupakan sistem pengetahuan tanpa kebudayaan agama sebagai
dan sistem simbol yang memungkinkan kolektivitas tidak akan mendapat tempat
terjadinya pemaknaan (Nur Syam, 2007: (Kuntowijoyo, 2001: 196).
13). I Ketut Gobyah (http://
Sementara agama sebagai sistem www.balipos.co.id) mengatakan bahwa
simbol, dalam agama terdapat simbol- budaya (kearifan lokal) adalah
simbol tertentu untuk mengaktualisasikan kebenaran yang telah mentradisi atau
ajaran agama yang dipeluknya, baik ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal
simbol-simbol dimaksud berupa merupakan perpaduan antara nilai-nilai
perbuatan, kata-kata, benda, sastra, dan suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang
sebagainya. Sujud misalnya, merupakan ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai
sebentuk simbolisasi atas kepasrahan dan keunggulan budaya masyarakat setempat
penghambaan penganutnya pada maupun kondisi geografis dalam arti luas.
pencipta. Sujud merupakan simbol Kearifan lokal merupakan produk budaya
totalitas kepasrahan hamba, dan masa lalu yang patut secara terus-menerus
pengakuan secara sadar akan dijadikan pegangan hidup. Meskipun
kemahabesaran Allah. Dalam hal ini, bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung
sujud yang terdapat dalam shalat di dalamnya dianggap sangat universal.
merupakan bagian dari ritual keagamaan S. Swarsi Geriya (http://
dalam kehidupan masyarakat beragama www.balipos.co.id) berpendapat bahwa
(M. Ali al-Humaidy, 2007: 282-284). budaya secara konseptual, kearifan lokal,
Dari itu dapat dipahami bahwa antara dan keung gulan lokal merupakan
kebudayaan dan agama masing-masing kebijaksanaan manusia yang bersandar
mempunyai simbol-simbol dan nilai pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara,
tersendiri. Agama adalah simbol yang dan perilaku yang melembaga secara
melambangkan nilai ketaatan kepada tradisional. Kearifan lokal adalah nilai
Tuhan. Kebudayaan juga mengandung yang dianggap baik dan benar sehingga
nilai dan simbol supaya manusia bisa dapat bertahan dalam waktu yang lama
hidup di dalamnya. Agama memerlukan dan bahkan melembaga.
sistem simbol, dengan kata lain agama Dialog kreatif antara Islam dan
memerlukan kebudayaan agama. Tetapi budaya lokal tidaklah berarti
keduanya perlu dibedakan. Agama adalah mengorbankan Islam, dan menempatkan
sesuatu yang final, universal, abadi Islam kultural sebagai hasil dari dialog
(parennial) dan tidak mengenal perubahan tersebut, sebagai jenis Islam yang
(absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat rendahan dan tidak bersesuaian dengan

158|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Islam yang murni, yang ada dan “Assalamu’alaikum” dengan ucapan


berkembang di Jazirah Arab, tapi Islam “selamat pagi” (Budhy Munawwar
kultural harus dilihat sebagai bentuk Rahman, 1994: 515), sikap pro dan
varian Islam yang sudah berdialektika kontrapun bermunculan. Kemudian
dengan realitas di mana Islam berada dan muncul pertanyaan apakah ada
berkembang. Menjadi Islam, tidak harus ketegangan antara agama yang cenderung
menjadi Arab. Islam memang lahir di permanen dengan budaya yang dinamis?
Arab, tetapi tidak hanya untuk bangsa Bagaimana hubungan ajaran agama yang
Arab. Proyek Arabisme merupakan universal dengan setting budaya lokal
proyek politik yang berkedok purifikasi yang melingkupinya? Lalu, bagaimana
Islam yang berusaha menjadikan Islam sikap masyarakat dalam mengakomodasi
sebagai sesuatu yang tunggal dan seragam tradisi dan nilai-nilai Islam. Pada saat yang
(Abdurrahman Wahid, 2009: 19-20). sama, dalam menerjemahkan konsep-
Dalam pemahaman mereka, Islam kaffah konsep langitnya ke bumi, Islam
adalah Islam yang ada dan berkembang mempunyai karakter dinamis, elastis dan
di Arab, sehingga seluruh komunitas akomodatif dengan budaya lokal, selama
Islam har us mengikuti pola tidak bertentangan dengan prinsip-
keberagamaan dan keyakinan yang prinsip Islam itu sendiri.
mereka anut dan praktikkan. Tradisi dan Permasalahannya terletak pada tata cara
adat-istiadat setempat bagi mereka dan teknis pelaksanaan. Inilah yang
merupakan bid’ah (sesat), yang dapat diistilahkan Gus Dur dengan
mencemarkan ajaran Islam yang “pribumisasi Islam”.
sesungguhnya. Gus Dur menilai antara agama (Islam)
Islam mempertimbangkan kebutuhan dan budaya mempunyai independensi
lokal dalam merumuskan hukum-hukum masing-masing, tetapi keduanya memiliki
agama tanpa mengubah hukum itu wilayah tumpang tindih. Tumpang tindih
sendiri. Juga bukan berarti meninggalkan agama dan budaya akan terjadi terus
norma demi budaya, tetapi agar norma- menerus sebagai suatu proses yang akan
norma itu menampung kebutuhan- memperkaya kehidupan dan
kebutuhan dari budaya dengan membuatnya tidak gersang. Gagasan
menggunakan peluang yang disediakan tentang pribumisasi Islam menjadi sangat
oleh variasi pemahaman nash dengan urgen. Hal demikian karena dalam
tetap memberi peranan kepada ushul fiqh pribumisasi Islam tergambar bagaimana
dan kaidah fiqh (Abdurrahman Wahid, Islam sebagai ajaran normatif yang
2001b: 111). berasal dari Tuhan diakomodasikan ke
Ketika Abdurrahman Wahid (biasa dalam kebudayaan yang berasal dari
dipanggil Gusdur) menyentak kesadaran manusia tanpa kehilangan identitasnya
masyarakat muslim dengan isu mengganti masing-masing. Bagi Abdurrahman

159|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Wahid (2001a: xxvii), Arabisasi atau Sedang sinkretisme adalah usaha


proses mengidentifikasi diri dengan memadukan teologi atau sistem
budaya Timur Tengah adalah kepercayaan lama tentang sekian banyak
tercerabutnya kita dari akar budaya kita hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib
sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum berikut dimensi eskatologisnya dengan
tentu cocok dengan kebutuhan. Islam yang lalu membentuk panteisme
Pribumisasi bukan upaya (Abdurrahman Wahid, 2001b: 19).
menghindarkan timbulnya perlawanan Islam masuk dan berkembang di
dari kekuatan budaya-budaya setempat, tanah Batak, sebagaimana juga di Jawa
akan tetapi justru agar budaya itu tidak melalui transfor masi kultural yang
hilang. Karena inti pribumisasi Islam dilakukan oleh para penyebar Islam.
adalah kebutuhan bukan untuk Dengan demikian, Islam yang ada dan
menghindarkan polarisasi antara agama berkembang di Batak adalah Islam
dan budaya. Pribumisasi Islam bertujuan kultural, yang berbasis pada tradisi
untuk menjadikan agama dan budaya masyarakat. Tradisi-tradisi lokal Batak
tidak saling mengalahkan, melainkan Angkola yang sudah ada sejak zaman pra-
berwujud dalam pola nalar keagamaan Islam, dimodifikasi dan kemudian disisipi
yang tidak lagi mengambil bentuk yang nilai dan spirit Islam agar menjadi budaya
otentik dari agama, serta berusaha yang Islami. Tradisi-tradisi tersebut tetap
mempertemukan jembatan yang selama lestari hingga kini. Hal ini dimungkinkan
ini memisahkan antara agama dan budaya. lantaran pola keberagamaan yang dianut
Dalam praktiknya, konsep pribumisasi oleh masyarakat Batak Angkola berbasiskan
Islam ini dalam semua bentuknya pada nilai-nilai tradisi yang dalam hal ini
bertujuan untuk memberikan peluang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama.
bagi keanekaragaman interpretasi dalam Nahdlatul Ulama (kemudian disebut
praktik kehidupan beragama di setiap NU) bagi masyarakat Batak Angkola tidak
wilayah yang berbeda-beda. Lebih dari itu hanya dipandang sebagai organisasi sosial
pribumisasi Islam juga bukanlah bentuk dari keagamaan, tapi sebagai paham
“Jawanisasi” atau sinkretisme, sebab keagamaan itu sendiri. Ajaran-ajaran yang
pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan ditradisikan dan dipraktikkan di kalangan
kebutuhan-kebutuhan lokal dalam NU merupakan ajaran Islam yang dianut
merumuskan hukum-hukum agama, tanpa dan dipraktikkan oleh masyarakat.
mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan Hing ga pada umumnya, pada
upaya meninggalkan norma demi budaya, masyararakat awam, sulit membedakan
tetapi agar norma-norma itu menampung antara Islam dan NU. Fanatisme ke-NU-
kebutuhan-kebutuhan dari budaya an masyarakat Batak Angkola membawa
dengan mempergunakan peluang yang efek ganda dalam pola keberagamaan
disediakan oleh berbagai pemahaman. mereka. Satu sisi, Islam kultural dapat

160|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

terpelihara dengan baik dan bahkan pramuka. Ketiga, gula bargot, gula enau
terlembagakan sebagai bagian integral yang melambangkan harapan agar
tradisi-tradisi NU. Namun di lain sisi, pada kehidupan penghuni rumah itu manis
umumnya mereka ekslusif terhadap bagaikan manisnya gula enau. Agar
paham dan ajaran Islam selain NU. Meski rezekinya baik, pencaharian dan
demikian, fanatisme ke-NU-an tidak penghasilan membuahkan kebahagiaan.
lantas menyulut permusuhan yang Keempat, pohon tebu lengkap dengan
berpretensi pada tindakan anarkis. daunnya yang melambangkan harapan
Ada beberapa tradisi Islam Batak yang agar pemilik rumah itu menyenangkan
banyak melibatkan Malim dan komunitas dan erat bersatu padu dengan kerabat-
masyarakat, yaitu tradisi panaek bungkulan kerabatnya, bagaikan rimbun dan
(upacara memasang bubungan rumah). rapatnya pohon-pohon tebu.
Hal ini membuktikan kuatnya nilai-nilai Sisa kepercayaan masa lalu yang
persaudaraan dalam masyarakat Batak berakar dari animisme, dinamisme tidak
Angkola. Nilai kebersamaan senantiasa sepenuhnya hilang, tetapi justru
tercer min dalam seluruh proses mewarnai identitas keislaman mereka.
kehidupan, termasuk ketika mendirikan Dari penelusuran sejarah yang dilakukan,
rumah baru. Setiap tahapan diawali ditemukan bahwa Islam tidak terlepas dari
dengan upacara yang membuktikan adanya pengaruh dari kepercayaan lokal.
bahwa seluruh proses mendirikan rumah Sehingga, ketika Islam datang dan
baru berjalan sesuai dengan hasil mufakat bertemu dengan kultur yang sudah ada
bersama. Salah satu tahap yang paling sebelumnya, saling mempengaruhi antara
penting adalah panaek bungkulan. yang satu dengan yang lainnya. Pada
Pada saat melakukan ritual panaek kenyataannya keberadaan manusia dan
bungkulan, ada empat bahan sesajian yang agama merupakan dua hal yang tidak
disediakan, yaitu; Pertama, pisang sitabar dapat dipisahkan. Selur uh agama
atau pisang sitambatu di daerah Jawa merupakan perpaduan kepercayaan dan
dikenal dengan nama pisang kepok sejumlah upacara. Kepercayaan beragama
lengkap dengan pohonnya. Masyarakat adalah sekumpulan jawaban yang
Batak Angkola menyakini bahwa pisang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau
sitabar melambangkan daya tahan untuk penafsiran atas kekuatan-kekuatan gaib
hidup dan dapat memberikan keturunan. terhadap berbagai pertanyaan mendasar
Hal ini merupakan bentuk pengharapan yang ditimbulkan oleh akal pikiran
agar penghuni rumah itu kelak memiliki manusia, demikian dikatakan Francisco
daya tahan hidup yang kuat dan memiliki Jose Moreno (1985: 121).
keturunan yang terus berkembang. Kedua, Suku Batak Angkola sebagai salah
kelapa yang tumbuh (bertunas), seperti satu suku Batak yang berasal dari Tapanuli
bibit kelapa yang menjadi lambang Selatan memahami bahwa adat adalah

161|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

sebuah aktivitas dalam sistem kekerabatan terintegrasi oleh hukum Islam adalah
masyarakat, kemudian dijadikan sebagai tradisi panaek bungkulan. Perubahan
rujukan dalam bersikap, berperilaku, perilaku sosial keberagamaan di atas, di
berinteraksi dengan lingkungan sosial dan mata antropolog dianggap sebagai proses
tidak bertentangan dengan ajaran agama eksternalisasi, internalisasi, maupun
serta menjadi identitas orang Batak objektivasi.
(Parsadaan Marga Harahap, 1993: 15).
Kajian tentang agama akan terus Rumusan Masalah
berkembang karena unversalitas agama Agar lebih terarahnya kajian ini,
dalam masyarakat, dan kajian tentang penulis membatasi dengan rumusan
masyarakat tidak akan lengkap tanpa masalah sebagai berikut:
melihat agama sebagai salah satu a. Bagaimana proses integrasi hukum
faktornya. Antropologi sebagai ilmu yang Islam dengan tradisi adat Batak
mempelajari manusia menjadi sangat Angkola?
penting untuk memahami agama Islam, b. Bagaimana nilai-nilai keagamaan yang
karena konsep manusia sebagai khalifah terkandung dalam tradisi adat Batak
merupakan simbol betapa pentingnya Angkola pada masyarakat
posisi manusia dalam memahami agama. Padangsidimpuan?
Persoalan utama memahami agama
adalah bagaimana memahami manusia Kajian Terdahulu
dan kelompoknya. Pembahasan dalam kajian agama dan
Kajian ini lebih melihat kepada budaya lokal telah banyak ditemukan dan
bagaimana hukum Islam berhadapan dikaji dalam berbagai kajian atau jurnal
dengan budaya lokal adat Batak Angkola di antaranya:
serta melihat bagaimana konstruksi JC. Vergouwen (2004), The Social
hukum Islam berintegrasi dengan budaya Organisation and Customary Law of the Toba
Batak Angkola di Padangsidimpuan Batak of Northern Sumatra. Kajian ini
sebagai wajah Islam yang menyatu dalam menguraikan kehidupan masyarakat
adat-istiadat. Pertemuan hukum Islam Batak Toba sejak tahun 1927-1930. Buku
dan budaya lokal Batak Angkola dari hasil riset ini menjelaskan konsep-
melahirkan integrasi antara Islam dan konsep dasar mengenai kepercayaan asli
budaya Batak Angkola sesuai dengan Batak Toba yang terkait dengan tondi dan
falsafah budaya hombar adat dohot ibadat sistem kekerabatan. Pada sisi lain buku
yang berarti adat dan ibadah saling ini juga menjelaskan sifat otoritas kepala
beriringan, walaupun budaya lokal adat yang memuat aturan-aturan dalam
masyarakat Batak Angkola belum kehidupan bersama.
diterima secara keseluruhan oleh Hukum Bungaran Antonius Simanjuntak
Islam. Salah satu budaya yang sudah (2009), Konflik Status dan Kekuasaan Orang

162|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Batak Toba. Disertasi ini menjelaskan ini mengungkap salah satu aspek
bahwa konflik yang terjadi pada religiusitas nelayan Mandar, yakni
masyarakat Batak Toba bukan hanya menyangkut ritual nelayan. Ritual nelayan
perseorangan, tetapi juga konflik dalam Mandar adalah ekspresi dari system religi
gereja Batak. Kajian ini menyimpulkan lokal yang telah mengalami percampuran
penyebab konflik bersumber dari dengan nalar Islam seperti tradisi
pimpinan gereja (Pendeta) yang makkuliwa dan maqappu yaitu ritual rutin
mempertahankan jabatannya dan nelayan sebagai persiapan sebelum melaut
pemaksaan pergantian pendeta oleh Puck untuk melaksanakan operasi
pimpinan (Ephous). Background konflik penangkapan ikan atau telur ikan terbang.
biasanya terkait dengan harta gereja Fauzie Nurdin (2009), Integrasi Islam
maupun keuangan yang berlatar dan Nilai-nilai Filosofi Budaya Lokal Pada
hasangapon dan hamoraon, sehing ga Pembangunan propinsi Lampung. Jurnal ini
lembaga adat pada dasarnya diharapkan menyebutkan bahwa integrasi Islam dan
mampu mendamaikan konflik yang nilai-nilai filosofi budaya lampung
terjadi dalam gereja dan kehidupan sehari- mengandung nilai-nilai etis, moral,
hari. spiritual, material dan non material yang
Puji Kurniawan (2014), Mengakhiri dimaknai dalam sistem sosial budaya
Pertentangan Budaya dan Agama. Buku ini masyarakat Pesawangan Lampung. Nilai-
berawal dari tesis di UIN Syarif nilai Islam yang terintegrasi dengan
Hidayatullah Jakarta. Percampuran Islam upacara adat Lampung terefleksi dalam
dan Tradisi Batak Angkola di filsafat Piil Pesenggiri sebagai pandangan
Padangsidimpuan menunjukkan bahwa hidup yang dinamis dalam membangun
Islam dan tradisi lokal sebagai kesatuan Provinsi Lampung.
yang utuh dalam kehidupan masyarakat. Muhammad Djakfar (2012), Tradisi
Hal ini dilihat dari bentuk kepribadian Toron Etnis Madura, Memahami Pertautan
masyarakat dalihan natolu. Dialetika agama Agama, Budaya dan Etos Bisnis. Jurnal Ini
dan budaya menempatkan religi sebagai menjelaskan bahwa tradisi toron (pulang
medan kontestasi, seperti tradisi marpege- kampung) telah mentradisi di kalangan
pege dan mangupa. Kedatangan Islam etnis Madura dengan berbagai motifnya.
memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai Tradisi toron memiliki pertautan antara
adat. Pergeseran nilai-nilai adat pasca nilai agama, budaya, dan etos bisnis.
masuknya Islam dari kepercayaan lokal Kajian ini menunjukkan di kalangan
kenilai keagamaan memberi warna santri tradisi toron memperingati maulud
tersendiri tanpa mengubah bentuk sitem untuk menghormati Rasul dan ibarat haul
adat. bagi kedua orang tua mereka. Non Santri
Arifuddin Ismail, Agama Nelayan mengadakan maulud sebagai tawasul untuk
Pergumulan Islam dan Budaya Lokal. Kajian menebus dosa, kemudian peringatan

163|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

maulud di kampung halaman merupakan Falsafah Batak Hombar Adat Dohot Ibadat
prestis yang mencerminkan kesuksesan adalah salah satu bentuk pertautan antara
bisnis mereka di rantau orang, sebagai agama dan budaya. Agama tidak bisa
bukti pekerja keras. dipisahkan dari ruang lingkup budaya,
M. Bambang Pranowo (2011), sehingga agama menjadi pedoman dalam
Memahami Islam Jawa. Buku ini berawal setiap tindakan. Falsafah di atas juga
dari disertasi di Monash University. mencerminkan pandangan masyarakat
Kajian Bambang Pranowo membuktikan Batak Angkola mengenai fungsi Islam
bahwa kategorisasi Jawa Clifford Geertz dalam kehidupan mereka, yakni: Pertama,
itu lemah. Penggunaan santri dan pedoman hidup yang paling dasar,
abangan dalam mengkaji kehidupan sosial sumber keselamatan dan kesejahteraan
masyarakat Jawa harus dibaca sebagai hidup. Kedua, Islam sebagai sumber
data lokalitas bukan sebagai laporan pemahaman kehidupan yang universal
tentang Jawa yang ada pada saat ini secara dan bersifat primordial, Islam merupakan
umum. Bambang menambahkan identitas yang esensial dan primordial bagi
pandangan keagamaan masyarakat Jawa masyarakat.
harus dilihat sebagai proses yang dinamis Pandangan yang demikian bisa saja
ketimbang statis. Pada perspektif benar, apalagi jika mengacu pada salah
keagamaan, setiap individu dianggap satu sumber pengetahuan Islam
berada pada proses “menjadi” (becoming) masyarakat Sasak, sebagaimana yang
bukan “mengada” (being). Bambang dikemukakan ustadz Yusuf (2015) bahwa
Pranowo menilai Geertz terperangkap dengan pengetahuan agama masyarakat di
tradisi kajian antropologi konvensional yang samping didapat melalui pengajian-
cenderung mencermati “tradisi kecil” pengajian ming guan dan pengajian
dibandingkan pola yang lebih general. umum, juga didapat melalui praktik dan
pengalaman budaya Batak Angkola yang
Dimensi-dimensi Keagamaan dilaksakan sehari-hari, terutama saat
Masyarakat Batak Angkola di pelaksanaan acara-acara adat, seperti
Padangsidimpuan pernikahan dan kematian.
Tipologi Keyakinan dan tradisi keberislaman Menurut Ustadz Yusuf, justru
Masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan pengetahuan agama bagi masyarakat
Pemahaman keislaman di sini Batak Angkola khususnya kebanyakan
dimaknai sebagai bentuk pengetahuan didapat melalui pengajian dan
atau wawasan keislaman masyarakat pengalaman pelaksanaan tata Budaya
Batak Angkola Padangsidimpuan. Adat Batak itu sendiri. Pemaknaan
Bagi Masyarakat Batak Angkola, tersebut juga bisa dilihat dari pandangan
Islam adalah merupakan agama yang bahwa tata-budaya adat Batak Angkola,
akomodatif terhadap budaya lokal. falsafah hidup semuanya bersumber pada

164|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Islam. Jika ada yang bersumber dari luar menyebarkan Islam ke seluruh penjuru
Islam, maka ia tidak dihapus atau diwarnai dunia, yang sampai ke lapisan-lapisan
dengan Islam, atau diislamkan. Seperti sosial yang tidak bisa dijangkau oleh
Budaya Mangupa dan Panaek Bungkulan yang konsep ajaran Islam yang asli yang terlihat
berasal dari kepercayaan lokal (Sipele Begu). agak kaku dan for mal. Para sufi
Dengan demikian, akulturasi Islam melakukan dakwah dengan cara damai,
dengan budaya Lokal Batak Angkola akulturatif, dan adaptif dengan budaya
sudah terjadi sejak awal, sehingga Islam lokal dan kepercayaan masyarakat yang
dan budaya Batak Angkola menjadi dua telah lebih dulu eksis. Konsekuensi dari
hal yang inheren dalam kehidupan metode dakwah yang demikian adalah
masyarakat. Namun, ini masih terkait Islam seringkali mengarah pada bentuk
dengan budaya dalam bentuk pandangan sinkretik. Sebagaimana yang dikemukakan
hidup. Bagaimana dengan budaya dalam Gellner, konsekuensi Islam yang dibawa
bentuk budaya seni, baik seni tari, seni oleh kaum sufi adalah munculnya Folk
sastra, seni musik, dan ritual adat? Islam, yakni literasi Islam dipergunakan
Budaya-budaya ini mungkin tidak lahir untuk masalah-masalah magis daripada
dari falsafah hidup tersebut, melainkan sebagai ilmu pengetahuan.
bisa jadi datang dari luar, atau dibentuk
oleh kepercayaan-kepercayaan dan Dalihan Natolu Sebagai Sistem Sosial
agama-agama yang pernah dianut Masyarakat Batak Angkola di
masyarakat Batak. Padangsidimpuan
Ajaran satu-satunya kelurusan atau Masyarakat Batak Angkola
agama parmalim, seiring dengan merupakan salah satu sub Suku Batak
perkembangan sejarah masyarakat Batak, yang memiliki seperangkat struktur dan
kemudian mengalami reduksi dan distorsi sistem sosial yang diakui adat secara turun
oleh kepercayaan-kepercayaan yang temurun sebagai warisan yang berasal dari
pernah ada pada masyarakat Batak, leluhur. Struktur dan sistem sosial
seperti animisme dan dinamisme. Agama tersebut mengatur kehidupan
Hindu dan Budha juga berperan dalam bermasyarakat, baik dalam tata hubungan
membentuk keyakinan masyarakat Batak. sesama anggota masyarakat, kerabat
Setelah itu baru Islam datang, sehingga dekat, kerabat secara luas, saudara
ajaran agama Hindu dan Budha masih semarga, saudara beda marga, serta
dianut masyarakat tersebut terhadap masyarakat umum. Sruktur dan sistem
budaya Batak, sehingga perlu dilakukan sosial masyarakat Batak disebut dengan
islamisasi. istilah dalihan natolu (Basa Sahala Harahap,
Dalam pandangan Robert N. Bellah wawancara, 11 Oktober 2015).
dan Geertz (1970: 156-157), sufisme Kata dalihan dalam bahasa Batak
memiliki peran yang besar dalam artinya tungku, sedangkan natolu ada tiga.

165|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Secara sederhana dalihan natolu adalah tiga kandungnya Siboru Pareme. Akibat dari
buah tunggu, dan ada juga yang peristiwa marsumbang Saribu Raja lari ke
menyebutnya dengan tunggu berkaki tiga hutan, sementara Siboru Pareme diusir
yang digunakan sebagai tempat dari kampung Sianjurmula-mula.
meletakkan alat memasak makanan. Pada Masa berikutnya terjadi
Ketiga tungku letaknya persis seperti peristiwa yang sama pada Raja Lotung
segitiga sama sisi. Istilah itu kemudian yang mengawini ibu kandungnya Siboru
diadopsi dan menjadi simbol yang Pareme dan menimbulkan jolak sosial dan
bermakna filosofis. Masyarakat Batak menyebabkan perpecahan pada
diibaratkan sebagai kuali besar, maka yang keturunan Tatea Bulan. Belajar dari
menjadi tungkunya adalah dalihan natolu. peristiwa memalukan tersebut keturunan
Menurut masyarakat Batak Angkola Tatea Bulan dan Raja Isumbaon
dalihan natolu mengandung makna tiga menggagas norma adat dengan suatu
kelompok masyarakat yang merupakan konsep dasar falsafah, tentang batasan-
dasar, tumpuan, dan penyeimbang dalam batasan hubungan kekerabatan antar
menjalankan roda kehidupan sesama keturunan mereka. Aturan ini
bermasyarakat (Gultom Rajamarpondang, tidak dibuat secara tertulis melainkan
1992: 377; Bungaran Antonius secara tutur atau lisan dan menjadi falsafah
Simanjuntak, 2006: 99; Irapas, 1975: 5). yang kemudian dikenal dengan istilah
Dalihan natolu adalah sistem sosial dalihan natolu (Ibrahim Gultom, 2010: 60;
masyarakat yang menyangkut WM Hutagalung, 1991: 36-37).
kekerabatan dalam menjalankan segala Konsep dalihan natolu bertujuan
aktivitas yang bertalian dengan adat. membentuk sistem kekerabatan yang
Artinya, setiap kegiatan yang menjadi patuh kepada adat, meskipun pada saat
aktivitas masyarakat Batak harus berasas yang bersamaan masyarakat Batak belum
kepada nilai falsafah dalihan natolu dan memeluk agama secara khusus sebagai
menjadi rujukan dalam bersikap dan panutan. Nilai-nilai etika tumbuh secara
berperilaku dalam kehidupan sosial. naluriah dan memutuskan larangan
Sejarah lahirnya dalihan natolu tidak perkawinan terhadap saudara sedarah dan
diketahui secara pasti, tetapi masyarakat ibu kandung. Peraturan yang berupa
batak berpendapat bahwa lahirnya dalihan anjuran dan larangan dibungkus dalam
natolu memiliki proses sejarah yang satu kemasan yang disebut adat. Peraturan
panjang dan dilatarbelakangi dengan ini terus menjalar, berkembang, dan
terjadinya peristiwa krisis sosial mendarah daging secara turun temurun
kekerabatan secara beruntun pada kepada keturunan Batak sampai sekarang.
generasi ketiga setelah Siraja Batak. Suku Batak yang menikahi wanita satu
Peristiwa marsumbang (kawin incest) antara marga disebut naso maradat (tidak beradat),
tuan Saribu Raja dengan iboto atau saudara dan hukuman terberat diusir dari

166|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

kampung adat dan tidak dilibatkan dalam Pakpak menyebutnya dengan Daliken
segala hal yang berhubungan dengan Sitelu yang terdiri dari Kula-kula, dengan
upacara adat, seperti pesta adat Tubuh, dan berru.
perkawinan. Konsep perkawinan semarga Konsep dalihan natolu sejalan dengan
pada sebagian masyarakat Batak muslim teori Levi Strauss (1977) tentang segitiga
sudah mulai bergeser, hal ini disebabkan kuliner (triangle culinaire). Menurut Strauss
karena pengaruh agama. salah satu syarat dalam pelaksanaan horja
Unsur-unsur dalihan natolu terdiri dari tiga perkawinan harus dihadiri tiga kelompok
kelompok yaitu: pertama, kelompok pertalian atau sejumlah kelompok yang dapat dibagi
darah yakni semarga atau dongan sabutuha dan tiga, yaitu pemberi istri harus lebih tinggi
dalam istilah Batak Angkola disebut dengan dari yang menerima, walaupun pada
Kahanggi. Kedua, adalah kelompok karena prinsipnya ketiga unsur memiliki posisi
hubungan perkawinan yakni kelompok yang sama dalam konsep dalihan natolu.
pemberi boru (anak perempuan yang Secara praktik mora menempati
dijadikan istri atau kelompok mertua) dalam kedudukan tertinggi dalam sistem sosial
istilah batak Angkola disebut mora. Ketiga, masyarakat Batak dan lebih istimewa dari
kelompok penerima boru (anak perempuan kedudukan kelompok dalihan lainnya.
yang dijadikan istri/menantu) dalam istilah Besarnya pengaruh dan kedudukan mora
Batak Angkola disebut dengan anak boru dan dibuktikan dalam pesta adat. Kelompok
kelompok yang ketiga ini juga terbentuk mora dipandang sebagai sumber restu.
karena hubungan perkawinan (Parsadaan Penghormatan terhadap mora akan
Marga Harahap Dohot Anak Boruna ,1993: memberikan keselamatan jasmani, materi,
85). bahkan rohani. Mora dalam kehidupan
Ketiga unsur dalihan natolu menjadi sosial orang Batak adalah posisi sangat
satu kesatuan, saling terikat dan memiliki dihormati, disanjung dan disegani. Mora
fungsi serta peran penting dalam tataran tidak boleh diperintah, disuruh dan
nilai-nilai budaya Batak, baik dalam idea dipaksa oleh anak boru (Bungaran
maupun dalam pengamalan. Walaupun Antonius Simanjuntak, 2009: 80).
tiga unsur ini memiliki nama atau istilah Keberadaan mora, Kahanggi, dan anak
penyebutan yang berbeda pada setiap sub boru merupakan analogi keberadaan tiga
suku Batak seperti, Batak Toba misalnya dewata yaitu Batara Guru, Batara Sori dan
adalah dalihan natolu terdiri dari hula hula, Balabuhan.2 Keberadaan mora dalam hal
dongan tubu, dan boru. Batak Simalungun ini, dianalogikan sebagai Dewata Batara
menyebut dalihan natolu dengan istilah tolu
sahundulan, yaitu tondong, sanina, dan boru. 2
Batara Guru, Batara Sori, dan Balabuhan disebut
Menurut sub suku Batak Karo adalah juga dengan Debata Natolu. Debata Natolu diciptakan
Rakut Sitelu yaitu Kalimbubu, Sembuyak, dan oleh Debata Mulajadi Nabolon untuk memberikan
pemberkatan kepada manusia dalam arti luas. Tugas
Anak Beru, sedangkan sub suku Batak Batara Guru adalah menurunkan kerajaan, keadilan,

167|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Guru yang merupakan manifestasi dari telah memberikan boru (anak gadis) atau
dewa tertinggi sehingga mora menempati wife givers kepada anak boru (menantu) yang
posisi yang lebih tinggi dari unsur dalihan akan melahirkan generasi selanjutnya bagi
yang lain (Vergouwen, 2004: 56). Mora keturunan anak boru. Mora memiliki sahala
sebagai kelompok mertua dianggap yang ditebarkan kepada anak boru dengan
mempunyai kekuatan magis untuk pemberkatan ketika pahoras tondi3 dan
melimpahkan pasu-pasu (kekuatan rohani) manyulangi anak boru. Kekuatan sahala
pada kelompok anak boru atau kelompok tondi4 yang dimiliki mora untuk melindungi
menantu (Parkin, 1978: 253; Ben dan memberi kesejahteraan kepada anak
Marohajan Pasaribu, 1986: 46).
Mora merupakan sumber kekuatan 3
Tondi sering diterjemahkan dengan kata roh atau
supranatural yang dapat memberi zat yang tidak tampak. Tondi akan selalu menyertai
semangat dalam pandangan rohani manusia selama hidupnya, namun ketika yang
bersangkutan menderita sakit, tondi akan meninggalkan
maupun jasmani masyarakat Batak. jasad selama penyakitnya belum sembuh. Tondi juga
Masyarakat Batak Angkola menempatkan mampu bergerak keluar dari jasad di saat tidur dan
posisi mora dan melegalisasinya dalam berkomunikasi dengan makhluk lain. Tondi merupakan
kekuatan sehingga tondi harus selalu menyatu dengan
sikap sosial dengan falsafah somba jasad. Masyarakat Batak sering melakukan ritual
marmora, artinya sembah kepada mora atau mangupa untuk mengikat dan kenguatkan tondi dalam
hula-hula. Somba dalam konteks jasad dengan salah satu doa, pir tondi madingin horas
tondi matogu. Maksudnya adalah semoga tondi kokoh
masyarakat batak adalah bertingkah laku dan sejuk, semoga tondi kokoh dan kuat dan selamat
yang hormat, sikap pandang yang lebih, selamanya. Baca, Vergouwen (2004: 91-101).
pemberian pelayanan yang terbaik dalam 4
Sahala dalam bahasa Batak-Indonesia diartikan
dengan kharisma dan wibawa, walaupun sesungguhnya
sosial dan adat (Bungaran Antonius maknanya belum sepenuhnya tepat. Vergouwen
Simanjuntak, 2009: 81). memaknakan sahala adalah daya khusus dari tondi
Mora dipandang sebagai sumber (jiwa). Menurut kepercayaan agama Malim sahala
adalah ruh suci yang bersumber dari Debata Mulajadi
kehidupan, kesejahteraan lahir dan batin Nabolon yang diturunkan kepada manusia pilihan.
bagi anak boru, antara lain karena mora Sahala tidak dapat dipelajari dan tidak diperoleh dengan
cara dipanggil, melainkan ia datang sendiri hinggap
kepada seorang manusia tanpa sepengetahuan yang
bersangkutan. Sahala bisa hinggap dengan waktu yang
kebijaksanaan, dan pengetahuan kepada manusia di lama atau hanya sekedar singgah pada diri seseorang.
bumi. Menur ut keyakinan masyarakat Batak, Sahala adalah wujud yang gaib dan tidak dapat ditanggap
kedudukan raja (harajaon) dan kharisma kerajaan (sahala oleh panca indra manusia, namun ia bisa menyatu
harajaon) adalah berkat titisan dari Batara Guru, seperti dengan jiwa dan badan. Manusia yang dihinggapi oleh
Sisingamangaraja yang memegang kekuasaan dan raja sahala akan terlihat pada sikap dan perilaku
di tanah Batak, mulai dari Sisingamangaraja I-XII. kehidupannya sehari-hari. Ciri-ciri manusia yang
Batara Sori bertugas menurunkan dan menyebarkan marsahala (orang yang memiliki sahala) akan menjauhkan
hamalimon (keagamaan) dan nilai-nilai kesucian, diri dari sikap dan perilaku yang buruk, baik pada dirinya
sedangkan Balabuhan bertugas memberikan maupun kepada orang lain, kelihatan tampak berwibawa
panurirangon (kemampuan memberikan nasehat), dan mampu memberikan pertolongan dalam bidang
hadatuon (pengobatan), dan hagogoan (kekuatan). Baca, pengobatan. Lihat J.C. Vergounwen (2004: 76); Ibrahim
Ibrahim ( 2010: 118-121). Gultom (2010: 192-194).

168|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

boru, sehingga mora menduduki posisi kelompok ini diikat melalui marga sebagai
yang paling terhormat di antara dalihan bukti satu keturunan dan dilahirkan dari
natolu. Leluhur Batak mewariskan sikap ompung atau nenek moyang yang sama
somba marmora terhadap anak boru (Schreiner, 2002: 42).
bertujuan agar kehidupan yang harmonis Masyarakat Batak mengakui
dapat terwujud dengan saling kekerabatan dalam kelompok kahanggi
menyayangi, menghormati, dan sopan dengan istilah manat mardongan tubu atau
santun dalam berperilaku (avoidance manat markahanggi artinya teliti, hati-hati,
relationship) khususnya pada kelompok dan bijaksana terhadap saudara semarga.
mora (Parsadaan Marga Harahap Dohot Fungsi kahang gi dalam sistem
Anak Boruna, 1993: 103). kekerabatan adalah sebagai pendamping
Kahanggi atau dongan tubu dan disebut dan penolong bagi keluarga yang satu
juga dengan istilah dongan sabutuha atau marga ketika suatu masa keluarga
dongan saina berarti teman satu kelahiran. semarga bertindak sebagai suhut (tuan
Kahanggi dalam konteks dongan sabutuha r umah) dalam suatu hor ja (pesta).
menggambarkan hubungan saudara yang Hubungan dongan sabutuha dalam
masih memiliki hubungan darah konteks pergaulan tidak sekaku dan
tergolong dekat satu ompung (kakek), dan seketat hubungan antara anak boru dan
masih terlihat jelas kedekatannya melalui mora. Dongan sabutuha atau semarga boleh
silsilah tarombo. Kahanggi dalam konteks bercengkrama, bersendau gulau, dan
semarga, adalah keluarga besar yang satu bebas berbicara apa saja (joking
marga 5 tanpa memandang hubungan relationship) (Ibrahim Gultom, 2010: 65).
silsilah yang dekat. Kelompok sosial ini Ungkapan Btak yang menekankan
dianggap saudara dekat, walaupun sesama garis kebijaksanaan di dalam hubungan
keturunan tidak saling mengenal antara sosial dengan saudara semarga sebagai
satu sama lain. Kekerabatan dalam antisipasi bahwa hubungan bersaudara
dapat menjadi buruk dan berbahaya,
bahkan cenderung menimbulkan konflik
5
Marga adalah kelompok kekerabatan yang merujuk yang mengarahkan pada perpecahan
kepada asal keturunan. Menurut suku Batak, marga sosial. Ungkapan manat markahanggi
dan jenis-jenisnya berasal dari nenek moyang laki-laki
(patrilineal). Marga mer upakan dasar untuk
adalah sebagai peringatan kepada saudara
menentukan partuturon, hubungan persaudaraan, baik satu marga agar tetap waspada dan hati-
untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang hati dalam menjaga hubungan baik dan
dari marga lain. Menurut ketentuan adat setelah tujuh
atau delapan generasi dari marga lama, marga baru
keutuhan dalam markahanggi. Titik rawan
boleh dimunculkan setelah memenuhi persyaratan konflik di kalangan sakahanggi biasanya
adat, atau karena pelanggaran adat yang dinamakan berkaitan dengan harta pusaka karena
dengan manompas bongbong (memecahkan tembok
marga). Lihat, Bungaran Antonius Simanjuntak (2006:
sifat late (iri hati), hosom (dengki), dan teal
79-80). (sombong) yang berasal dari gutgut

169|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

(Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Panaek Bungkulan; Tradisi


Boruna,1993: 102). Keagamaan dalam Bingkai
Marga adalah identitas masyarakat Humanisme Pada Masyarakat
Batak yang mengambil garis keturunan Batak Angkola Padangsidimpuan
dari ayah (patrilineal) (Pandapotan Rumah bagi masyarakat Batak bukan
Nasution, 1994: 16). Apabila ayah hanya merupakan kebutuhan pokok
bermarga Harahap, maka seluruh anak jasmani. Bagi mereka rumah justru
keturunannya akan bermarga Harahap, memiliki nilai spiritual. Rumah dianggap
baik anak laki-laki maupun perempuan. dan diperlakukan sebagai bagian dari
Peranan marga dalam sistem masyarakat kehidupan yang religius dan
Batak telah mendarah daging sehingga kemasyarakatan. Itu sebabnya dalam
dalam kebiasaan masyarakat Batak, jika proses pendirian rumah, mulai dari
bertemu pertama kali dengan orang lain perencanaan, pengumpulan bahan
dan ingin berkenalan, maka yang bangunan, mendirikan sampai pada
ditanyakan bukanlah nama dari orang penghuni rumah itu diwarnai oleh banyak
yang bersangkuatan melainkan marga kegiatan kemasyarakatan yang dijiwai oleh
(martarombo) (Porkas Dalimunthe, semangat adat dan keagamaan.
wawancara, 28 Oktober 2015). Mendirikan rumah baru merupakan
Ketiga unsur dalam dalihan natolu tidak pekerjaan berat, sehingga pekerjaaan itu
hanya pada setiap upacara perkawinan, melibatkan banyak kerabat atau unsur-
tetapi diterapkan juga dalam tata krama unsur dalihan natolu. Kebersamaan
pergaulan sehari-hari. Inti dari konsep senantiasa tercermin dalam seluruh
hormat marmora, elek maranak boru manat proses mendirikan rumah baru. Setiap
markahang gi adalah anak boru harus tahap penting diawali dengan upacara
hormat jika berhadapan dengan mora, dan yang membuktikan bahwa seluruh proses
mora juga harus sayang, pandai bersikap mendirikan rumah baru berjalan sesuai
membujuk kepada anak boru. Sedangkan dengan hasil mufakat bersama. Salah satu
sesama saudara kandung dan sesama tahap yang paling penting dalam proses
marga har us lebih hati-hati dalam membangun rumah yang baru adalah
bersikap. Sikap kebersamaan dijalin tradisi panaek bungkulan atau menaikkan
dalam ikatan dalihan natolu adalah holong bubungan.
dohot domu (kasih dan rukun) atau domu Sebelum panaek bungkulan terlebih
adalah perwujudan dari holong, sesuai dahulu ada musyawarah dalihan natolu.
dengan gambaran masyarakat Batak Pada Akhir musyawarah para kaum
Angkola Mandailing salaklak sasingkoru kerabat yang hadir dalam sidang itu
sasang gar saria-ria saanak saboru membaca Basmalah dan meneriakkan
suangnamarsada ina (Pandapotan Nasution, Horas, Horas, Horas. Kemudian bubungan
1994: 88). rumah dinaikkan oleh kerabat dalihan

170|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

natolu secara bersama-sama. Besar kekuatan dalam menghadapi kehidupan.


kecilnya upacara adat ini tergantung pula Bibit kelapa juga memberi pesan untuk
pada kemampuan yang mempunyai hajat senantiasa menabur kebaikan dan
mendirikan rumah itu. menjadi manusia yang berguna dan
Dalam membangun rumah adalah hal bermanfaat kepada orang banyak. Ketiga,
penting dari sebuah bangunan rumah, gula bargot atau guna enau yang
Batak pondasi disebut sinot. Selain melambangkan harapan agar penghuni
pondasi ada juga yang tidak kalah penting rumah itu manis, bagaikan manisnya gula
dari sebuah bangunan, yaitu bungkulan. enau. Gula bargot sebagai simbol rezeki.
Istilah bungkulan berasal dari kata Sehingga, gula bargot menjadi simbol
bukhulan, artinya adalah tumpuan atap kepada pemilik rumah untuk mencari
rumah, sehingga bukhulan merupakan rezeki secara luas dan memiliki
titik temu dari semua arah dan sudut penghasilan yang melimpah. Keempat,
rumah. Secara filosofis, bukhulan pohon tebu lengkap dengan daunnya
dimaknakan dengan pardomuan (tempat yang melambangkan harapan agar
berkumpul), artinya bahkan rumah yang pemilik r umah itu saor dan domu.
hendak dibangun akan menjadi tempat Maknanya agar pemilik rumah itu
perkumpulan keluarga dalam menjalin menyenangkan dan erat bersatu padu
hubungan silaturrahim (H. Abdul dengan kerabat-kerabatnya, bagaikan
Rahman Harahap, wawancara, 11 rimbun dan rapatnya pohon tebu (H.
Oktober 2015). Abdul Rahman Harahap, wawancara, 11
Ada empat bahan yang digunakan Oktober 2015).
pada tradisi panaek bungkulan, yaitu; Setelah semua bahan bangunan
Pertama, pisang sitabar atau pisang tersedia dan telah dipersiapkan oleh
sitambatu di Jawa dikenal dengan istilah tukang, sehingga siap didirikan menjadi
pisang kepok. Pisang yang dimaksud kerangka rumah baru, maka seluruh
dalam tradisi panaek bungkulan satu pohon kerabat berkumpul kembali di rumah
pisang lengkap dengan buahnya. Secara orang yang hendak mendirikan rumah itu.
filosofis pisang ini melambangkan Setelah rangka bangunan rumah itu
kesuburan. Sehingga pisang digunakan berdiri, rumah itupun disantani dan
sebagai simbol atas pengharapan bagi semua kerabat yang hadirpun memakan
para penghuni rumah memiliki banyak santan, sebagai cara untuk memohon
keturunan yang shaleh, shalehah, dan kepada Tuhan agar penghuni rumah ini
memiliki daya hidup yang kuat dan kelak dalam keadaan damai, hidup
memiliki keturunan yang terus tenteram. Selain itu, santan juga
berkembang. Kedua, bibit kelapa yang bermakna permohonan kepada Tuhan
tumbuh seperti lambang pramuka. Bibit agar didinginkan hati setiap orang yang
kelapa melambangkan kekokohan dan berniat tidak baik, sehingga niat buruk

171|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

kepada kerabat yang mendirikan rumah adab yang baik kepada tukang haruslah
itu menjadi hilang. Juga mengandung ditunjuk oleh pemilik rumah. Sebab
harapan agar semua tukang yang tukang itulah yang benar-benar
membangun itu dalam keadaan sehat, bertanggung jawab membangun rumah
tanpa ada halangan dan bahaya selama itu sebaik-baiknya. Mutu rumah
membangun rumah. Acara makan santan tergantung pada tukang. Oleh karena itu,
ini juga merupakan cara bermohon pelayanan kepada tukang harus
kepada Tuhan semoga kerabat dalam diperhatikan secara khusus.
keadaan senantiasa seiya sekata tanpa ada Adapun hal yang sangat menarik dari
pertikaian. perilaku tukang dalam membangun
Setelah semua rangka itu berdiri, para rumah adalah rasa suka cita dan
tukang dan semua kerabat yang hadir di kegembiraan yang mereka rasakan dalam
tempat itu makan bersama. Setelah makan melaksanakan tugas. Pada umumnya para
bersama, maka tahapan berikutnya adalah tukang memiliki selera humor yang tinggi.
menaikkan atau memasang bungkulan Ada cara mereka untuk menyampaikan
rumah dengan segala kelengkapan yang pesan-pesan tertentu kepada pemilik
telah disebut di atas. rumah, misalnya dengan bunyi dentang
Dengan naiknya bungkulan rumah itu, pukulan palu. Irama dentang pukulan itu
maka tahap yang penting dalam proses dapat berarti tukang kayu sudah merasa
mendirikan rumah sudah dilalui. Semua lapar, oleh karena itu pemilik rumah harus
kaum kerabat tetap hadir di tempat itu. menyiapkan makanan. Ada lagi dentang
Kehadiran mereka adalah realisasi holong palu yang meminta kopi atau teh, atau
sesamanya, yang senantiasa bersedia dentang palu sore hari berarti tukang
menolong secara ikhlas. Kebaikan- sudah lelah dan mereka akan mengakhiri
kebaikan yang diberikannya kepada pekerjaannya. Demikian sebuah rumah
kerabat yang mendirikan rumah tersebut dibangun di daerah perkampungan
merupakan bukti rasa kekerabatan yang (Azizun Harahap, wawancara, 11
kuat. Pada gilirannya, setiap anggota Oktober 2015).
kerabat Dalihan Natolu akan menerima Membangun rumah baru menjadi
kebaikan-kebaikan serupa itu dari seluruh tradisi tersendiri bagi masyarakat Batak
kerabatnya (Rapotan Harahap, Angkola, membangun rumah bukan
wawancara, 11 Oktober 2015). hanya memiliki dimensi yang bersifat
Pembangunan rumah itu seharusnya individual tetapi juga mengandung nilai-
dilakukan oleh beberapa orang kerabat nilai sosial kemasyarakatan. Membangun
atau boleh juga seluruhnya diserahkan rumah baru menjadi ajang silaturrahmi
kepada tukang. Pengawasan dan antar sesama masyarakat dan
pelayanan tukang selanjutnya dilakukan memperkuat hubungan kekerabatan
oleh pemilik rumah. Perlu diingat pula diantara keluarga.

172|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Membangun rumah juga bukti membangun rumah, tetapi juga menjadi


pemerataan sosial ekonomi, dengan ajang silaturrahmi dalam menguatkan
membangun rumah secara bersama- ikatan kekerabatan dalam bingkai Dalihan
sama, sama halnya dengan bagi-bagi Natolu.
rezeki dengan sesama keluarga, sehingga
tidak jarang ditemukan tukang yang Kesimpulan
membangun rumah masih memiliki Ritual mer upakan ekspresi dari
ikatan kekeluargaan dengan pemilik sistem upacara keagamaan yang
rumah. Hal ini juga dapat mempermudah meref leksikan adanya hubung an
pengontrolan pembangunan rumah yang manusia dengan alam spiritual. Bagi
dilakukan oleh para tukang. pelakunya, ritual memiliki fungsi sosial
Dalam konteks keyakinan beragama, yang sang at penting, yaitu
panaek bungkulan juga sebagai simbol mengintegrasikan individu-individu
kesyukuran pada Tuhan, karena dengan dalam masyarakat dan menjadi
limpahan karunia dan rezekinya dapat instrumen untuk menyalurkan energi
membangun rumah sebagai tempat negatif.
berteduh dan mendidik keluarga dengan Pelaksanaan ritual dicita-citakan dapat
cara yang baik. mengembalikan ritme harmonitas dan
Membangun keluarga adalah salah unitas masyarakat dari tekanan-tekanan
satu komponen penting dalam sosial. Terkait dengan ritual komunitas
mewujudkan masyarakat yang humanis masyarakat Batak Angkola memiliki
yang menghargai nilai-nilai sosial pandangan serta tata cara khusus. Ritual
masyarakat. Perwujudan hukum di dijadikan sebagai media yang bisa
masyarakat berawal dari bagaimana membantu mengatasi persoalan
kepatuhan dan ketaatan anggota hidupnya, memberi ketenangan
masyarakat terhadap nilai-nilai yang psikologis, sekaligus pengharapan rezeki
ditanamkan dalam keluarga. Pembinaan yang melimpah. Ini menandakan bahwa
yang dilakukan di dalam keluarga menjadi posisi ritual bagi masyarakat Batak sangat
penentu bagimana terwujudnya menonjol. Ritual dimaksudkan untuk
masyarakat yang madani. Keterlibatan menghadapi gangguan ketika bekerja
masyarakat dalam membangun rumah mencari nafkah, sekaligus mengatasi krisis
baru adalah salah satu bukti bahwa hidup yang dialami. Sebagaimana temuan
hubungan sosial harus tetap terbina Turner ketika meneliti masyarakat
dalam masyarakat sebagai wujud dari rasa Ndembu di Zambia, Afrika Selatan.
holong kepada sesama. Dalam konteks Islam, unsur-unsur
Oleh karena itu, panaek bungkulan dalam Panaek Bungkulan yang beraroma
dalam tradisi Batak Angkola bukan hanya mistik dan tahayul dianggap tidak sesuai
diang gap sebagai ritual dalam dengan aturan syariat perlu dihilangkan,

173|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

tetapi untuk unsur-unsur ritual yang lain Daftar Kepustakaan


selama masih bisa dikomunikasikan dan
tidak merusak akidah tentu masih bisa Buku
dilakukan. Penetrasi agama dalam Abdurrahman Wahid. (1994).
perspektif Panaek Bungkulan tidak serta Universalisme Islam dan
merta menghilangkan praktik-praktik Kosmopolitanisme Peradaban
ritual masyarakat Batak Angkola Islam. Dalam Budhy Munawwar
Padangsidimpuan. Meski masyarakat Rahman (ed). Kontekstualisasi
menerima ajaran Islam sebagai keyakinan, Doktrin Islam dalam Sejarah. Cet. I.
di samping menerima ajaran-ajaran Jakarta: Yayasan Paramadina.
modern dalam membangun rumah, ———. (2001a). Islamku Islam Anda Islam
mereka tetap tidak kehilangan tradisi lokal Kita Agama Masyarakat Negara
sebagai nilai adat di tengah-tengah arus Demokrasi. Jakarta: Desantara.
grobalisasi-modern. ———. (2001b) Per gulatan Negara,
Relasi antara Islam dan tradisi lokal Agama, dan Kebudayaan. Jakarta:
telah membentuk habitat baru yang Desantara.
disebut tradisi Islam lokal. Dialektika ———-. (2009). Musuh dalam Selimut.
antara Islam dan budaya menempatkan Sebuah Pengantar pada buku Ilusi
religi dan ritual lokal sebagai medan Negara Islam: Ekspansi Gerakan
kontestasi, seperti tradisi panaek bungkulan. Islam Transnasional di Indonesia.
Tradisi ini merupakan tradisi warisan Jakarta: The Wahid Institute
leluhur yang telah dikenal masyarakat bekerjasama dengan Gerakan
Batak Angkola jauh sebelum Islam masuk Bhinneka Tunggal Ika dan Maarif
ke tanah batak. Institute.
Kedatangan Islam memberikan Azyumardi Azra. (1999). Islam Reformis
pengaruh terhadap nilai-nilai adat. Dinamika Intelektual dan Gerakan.
Pergeseran nilai-nilai adat pasca Jakarta: Rajawali Pers.
masuknya Islam, dari kepercayaan lokal Bellah, Robert N. (1970). Beyond Belief:
ke nilai keagamaan memberikan warna Essay on Religion in a Post-
tersendiri, tanpa mengubah bentuk sistem Tradisionalist World. California:
adat. Pergumulan hukum Islam dan University of California Press.
budaya lokal merupakan proses timbal Ben Marohajan Pasaribu. (1986). Taganing
balik yang produktif dan kreatif, sehingga Batak Toba: Suatu Kajian dalam
tradisi tidak berdiri sendiri tapi terkait Konteks Gondang Sabangunan.
dengan keyakinan, pengetahuan, Medan: USU Press.
pengalaman (realitas) dan kondisi Bungaran Antonius Simanjuntak. (2006).
spritualitas sebagai unsur-unsur Struktur Sosial dan Sistem Politik
religiusitas. Batak Toba Suatu Pendekatan

174|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Sejarah, Antropologi Budaya Politik. Society.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak
———. (2009). Konflik Status dan Boruna. (1993). Horja Adat
Kekuasaan Orang Batak Toba. Istiadat Dalihan Natolu. Bandung:
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Grafitri.
Geertz, Clifford. (1981). Abangan, Santri, Puji Kurniawan. (2014). Mengakhiri
dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pertentangan Budaya dan Agama.
Jakarta: Pustaka Jaya. Pustaka Aura Semesta.
Gultom Rajamarpondang. (1992). Dalihan Schreiner, Lonthar. (2002). Adat dan Injil.
Natolu Nilai Budaya Suku Batak. Jakarta: Gunung Mulia.
Medan: Armanda. Strauss, Levi. (1977). Structural
Ibrahim Gultom. (2010). Agama Malim di Anthropology. Middlesex: Peregrine
Tanah Batak. Jakarta: Bumi Books.
Aksara. Vergouwen, J.C. (2004). Masyarakat dan
Irapas. (1975). Adat Batak II. Pematang Hukum Adat Batak Toba.
Siantar: Lembaga Penelitian Yogyakarta: LkiS.
Universitas HKPB Siantar.
Kuntowijoyo. (2001). Muslim Tanpa
Masjid, Essai-essai Agama, Budaya, Jurnal
dan Politik dalam Bingkai
Strukturalisme Transendental. A. Fauzie Nurdin. (2009). Integrasi Islam
Bandung: Mizan. dan Nilai-nilai Filosofi Budaya
M. Bambang Pranowo. (2011). Memahami Lokal Pada Pembangunan
Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Propinsi Lampung. Dalam
Alvabet. UNISIA, XXXII (71).
Moreno, Francisco Jose. (1985). Agama Asman Aziz. (2009) Multikulturalisme:
dan Akal Pikiran, Naluri Rasa Wawasan Alternatif Mengelola
Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi. Kemajemukan Bangsa. Dalam
Terjemahan M. Amin Abdullah. Jurnal Titik-Temu, Jurnal Dialog
Jakarta: Rajawali Press. Peradaban, 2 (1), 104.
Nur Syam. (2007). Madzhab-madzhab M. Ali al-Humaidy. (2007). Tradisi
Antropologi. Yogyakarta: LkiS. Molodhan: Pemaknaan
Pandapotan Nasution. (1994). Uraian Kontekstual Ritual Agama
Singkat Tentang Adat Mandailing Masyarakat Pamekasan, Madura.
Serta Tata cara Perkawinannya. Dalam Jurnal ISTIQRO’, Jurnal
Jakarta: Widya Press. Penelitian Islam Indonesia, 06 (01),
Parkin, Harry. (1978). Batak Fruit Hindu 278; 282-284.
Thought. Madra: Cristian Literature Mangun Budiyanto. (2008). Pergulatan

175|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Sumper Mulia Harahap: Islam dan Budaya Lokal

Agama dan Budaya: Pola Kearifan Lokal” dalam http://


Hubungan Islam dan Budaya www.balipos.co.id, diakses 17/
lokal di Masyarakat Tutup Ngisor 9/2003.
Lereng Merapi Magelang Jawa
Tengah. Dalam Jurnal Penelitian
Agama, XVII (3), 165. Wawancara
Masnun Thahir. (2007). Pergumulan Wawancara, Porkas Dalimunthe Gelar
Hukum Islam dan Budaya Sasak; Patuan Kumala Suangkupon
Mengarifi Fiqih Islam Wetu Telu. (Raja Panusunan Bulung Bagas
Dalam Jurnal ISTIQRO’, Jurnal Godang Luat Muaratais Batang
Penelitian Islam Indonesia, 06 (01), Angkola), tanggal 28 Oktober
174. 2015.
Muhammad Djakfar. (2012). Tradisi Wawancara, H. Abdul Rahman Harahap
Toron Etnis Madura Memahami (Tokoh Masyarakat Kota
Pertautan Agama, Budaya dan Padangsidimpuan), tanggal 11
Etos Bisnis. Dalam El Harakah, Oktober 2015.
14 (1). Wawancara, Rapotan Harahap (Tokoh
Zamakhsyari Dhofier dan Abdurrahman Masyarakat Kota Padangsidimpuan),
Wahid. (1978). Penafsiran tanggal 11 Oktober 2015.
Kembali Ajaran Agama; Dua Wawancara, Azizun Harahap (Tokoh
Kasus dari Jombang. Dalam Masyarakat Kota Padangsidimpuan),
Prisma, 03, 27. tanggal 11 oktober 2015.
Wawancara, H. Muhammad Yusuf (Tokoh
Masyarakat dan Pemilik Pengajian
Website Al Yusufiyah Batang Angkola),
tanggal 10 Oktober, 2015.
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Wawancara, Basa Sahala Harahap Gelar
Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” Sutan Enda Kumala Angkola (
dalam Iun, http:// Raja Bagas Godang Pijorkoling
www.balipos.co.id Padangsidimpuan), tanggal 11
I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Oktober 2015.

176|TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,


Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015

You might also like