Professional Documents
Culture Documents
ID Islam Dan Budaya Lokal Studi Terhadap Pemahaman Keyakinan Dan Praktik Keberagama
ID Islam Dan Budaya Lokal Studi Terhadap Pemahaman Keyakinan Dan Praktik Keberagama
Abstract
Ritual is an expression of the religious ceremony system that reflect the relationship between
human and spiritual nature. For user or participants, the ritual has an important social
function, namely to integrate individuals in the community and to become instruments tend to
channel negative energy. In the context of Islam, elements in Panaek Bungkulan scent mystical
and superstitious deem incompatible with Sharia rules need to be eliminated, but for the elements
of the other during the ritual can still be communicated and do not damage the faith of course
still be done. Penetration of religion in the perspective of Panaek Bungkulan does not necessarily
all eliminate the ritual practices of Angkola Batak Padangsidimpuan society. Although people
accept Islam as a faith, in addition to receiving the teachings of Islam as a faith, in addition to
receiving the teachings of modern into building a house, they still do not lose local traditions as
custom value in the middle of modern globalisation era. The relationship between Islam and
local traditions has formed a new habitat called local Islamic traditions. Dialectic between Islam
and culture puts religious and local ritual as a field of contestation; it is such as panaek
bungkulan tradition. This tradition is a heritage tradition that has been known to the people of
Angkola batak long before Islam entered the batak land.
Abstrak
Ritual merupakan ekspresi dari sistem upacara keagamaan yang merefleksikan adanya
hubungan manusia dengan alam spiritual. Bagi Pelakunya, ritual memiliki fungsi sosial
yang penting, yaitu mengintegrasikan individu-individu dalam masyarakat dan menjadi
instrumen untuk menyalurkan energi negatif. Dalam konteks Islam, unsur-unsur dalam
Panaek Bungkulan yang beraroma mistik dan tahayul dianggap tidak sesuai dengan
aturan syariat perlu dihilangkan, tetapi untuk unsur-unsur ritual yang lain selama masih
bisa dikomunikasikan dan tidak merusak akidah tentu masih bisa dilakukan. Penetrasi
agama dalam perspektif Panaek Bungkulan tidak serta merta menghilangkan praktik-
selalu harus dipahami secara negatif, berkembang di Jazirah Arab. Hal ini dapat
bahkan dalam kenyataan historis dipahami karena setiap agama, tak
ketegangan ini merupakan salah satu terkecuali Islam, tidak bisa lepas dari
faktor pendorong terjadinya dinamika realitas di mana ia berada. Islam bukanlah
kontinyu di dalam masyarakat Islam. agama yang lahir dalam ruang yang
Munculnya upaya dan gerakan hampa budaya. Antara Islam dan realitas,
intensifikasi Islam, Islamisasi dan meniscayakan adaya dialog yang terus
pembahar uan dalam banyak segi berlangsung secara dinamis.1
merefleksikan aspirasi individu-individu Jika melihat corak keberagamaan
untuk mendekatkan konstruksi realitas Islam di Indonesia dari satu sudut
kemanusiaan dengan konstruksi realitas pandang saja, hanya akan menjadikan
transenden (Azyumardi Azra, 1999: 229- pandangan terdistorsi dan tidak utuh. Ada
230). kompleksitas, dan pernik-pernik yang
Varian Islam lokal tersebut- untuk butuh pengamatan yang lebih dalam, yang
selanjutnya penulis menyebutnya Islam tidak bisa dilihat sepintas lalu. Di sana
kultural terus lestari dan mengalami kadang terdapat pergulatan yang cukup
perkembangan di berbagai sisi. Islam serius antara Islam dan kepercayaan-
Kultural tetap menjadi ciri khas dari kepercayaan pra-Islam, negosiasi Islam
fenomena keberislaman masyarakat dan budaya lokal, serta proses saling
Indonesia. Hal ini tak lepas dari mempengaruhi satu sama lain yang
heterogenitas dan kemajemukan bangsa kadang berwujud dalam pola sinkretis,
Indonesia. Indonesia sebagai negara konflik, atau pola-pola lain yang kadang
plural, tidak hanya beragam dari segi sulit untuk didefinisikan (Mangun
agama, keyakinan, budaya, suku bangsa, Budiyanto, 2008: 165).
dan juga bahasa. Negeri ini juga multi- Islam Batak merupakan salah satu
etnis (Dayak, Kutai, Banjar, Makassar, varian Islam kultural yang ada di
Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Madura, Aceh, Indonesia setelah terjadinya dialektika
Minang, Flores, Bali, dan seterusnya), dan antara Islam dengan budaya Batak
juga menjadi medan pertarungan
berbagai pengaruh multi-mental dan
ideologi (India, Cina, Belanda, Portugis, 1
Jika dianalisa lebih jauh, Islam pun merupakan
Hinduisme, Budhisme, Konfuisme, produk lokal yang diuniversalkan dan ditransendensi.
Islam, Kristen, Kapitalisme, sosialisme, Dalam konteks Arab, yang dimaksud Islam sebagai
produk lokal adalah Islam yang lahir di Arab, tepatnya
dan seterusnya) (Asman Aziz, 2009: 104). di daerah Hijaz untuk menjawab persoalan-persoalan
Penyebaran Islam ke berbagai wilayah di yang ada dan berkembang saat itu. Islam Arab itu
dunia ini, menyebabkan corak dan varian kemudian berkembang ketika bertemu dengan
kebudayaan lain, termasuk Indonesia. Maka, dalam hal
Islam memiliki kekhasan dan keunikan ini, Islam senantiasa mengalami dinamisasi kebudayaan
tersendiri daripada Islam yang dan peradaban. Baca, Masnun Thahir (2007: 174).
Humaidy, 2007: 278). Karena itu, Geertz partikular, relatif, dan temporer. Agama
kemudian memahami agama tidak saja tanpa kebudayaan memang dapat
sebagai seperangkat nilai di luar manusia, bekembang sebagai agama pribadi, tetapi
tapi juga merupakan sistem pengetahuan tanpa kebudayaan agama sebagai
dan sistem simbol yang memungkinkan kolektivitas tidak akan mendapat tempat
terjadinya pemaknaan (Nur Syam, 2007: (Kuntowijoyo, 2001: 196).
13). I Ketut Gobyah (http://
Sementara agama sebagai sistem www.balipos.co.id) mengatakan bahwa
simbol, dalam agama terdapat simbol- budaya (kearifan lokal) adalah
simbol tertentu untuk mengaktualisasikan kebenaran yang telah mentradisi atau
ajaran agama yang dipeluknya, baik ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal
simbol-simbol dimaksud berupa merupakan perpaduan antara nilai-nilai
perbuatan, kata-kata, benda, sastra, dan suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang
sebagainya. Sujud misalnya, merupakan ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai
sebentuk simbolisasi atas kepasrahan dan keunggulan budaya masyarakat setempat
penghambaan penganutnya pada maupun kondisi geografis dalam arti luas.
pencipta. Sujud merupakan simbol Kearifan lokal merupakan produk budaya
totalitas kepasrahan hamba, dan masa lalu yang patut secara terus-menerus
pengakuan secara sadar akan dijadikan pegangan hidup. Meskipun
kemahabesaran Allah. Dalam hal ini, bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung
sujud yang terdapat dalam shalat di dalamnya dianggap sangat universal.
merupakan bagian dari ritual keagamaan S. Swarsi Geriya (http://
dalam kehidupan masyarakat beragama www.balipos.co.id) berpendapat bahwa
(M. Ali al-Humaidy, 2007: 282-284). budaya secara konseptual, kearifan lokal,
Dari itu dapat dipahami bahwa antara dan keung gulan lokal merupakan
kebudayaan dan agama masing-masing kebijaksanaan manusia yang bersandar
mempunyai simbol-simbol dan nilai pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara,
tersendiri. Agama adalah simbol yang dan perilaku yang melembaga secara
melambangkan nilai ketaatan kepada tradisional. Kearifan lokal adalah nilai
Tuhan. Kebudayaan juga mengandung yang dianggap baik dan benar sehingga
nilai dan simbol supaya manusia bisa dapat bertahan dalam waktu yang lama
hidup di dalamnya. Agama memerlukan dan bahkan melembaga.
sistem simbol, dengan kata lain agama Dialog kreatif antara Islam dan
memerlukan kebudayaan agama. Tetapi budaya lokal tidaklah berarti
keduanya perlu dibedakan. Agama adalah mengorbankan Islam, dan menempatkan
sesuatu yang final, universal, abadi Islam kultural sebagai hasil dari dialog
(parennial) dan tidak mengenal perubahan tersebut, sebagai jenis Islam yang
(absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat rendahan dan tidak bersesuaian dengan
terpelihara dengan baik dan bahkan pramuka. Ketiga, gula bargot, gula enau
terlembagakan sebagai bagian integral yang melambangkan harapan agar
tradisi-tradisi NU. Namun di lain sisi, pada kehidupan penghuni rumah itu manis
umumnya mereka ekslusif terhadap bagaikan manisnya gula enau. Agar
paham dan ajaran Islam selain NU. Meski rezekinya baik, pencaharian dan
demikian, fanatisme ke-NU-an tidak penghasilan membuahkan kebahagiaan.
lantas menyulut permusuhan yang Keempat, pohon tebu lengkap dengan
berpretensi pada tindakan anarkis. daunnya yang melambangkan harapan
Ada beberapa tradisi Islam Batak yang agar pemilik rumah itu menyenangkan
banyak melibatkan Malim dan komunitas dan erat bersatu padu dengan kerabat-
masyarakat, yaitu tradisi panaek bungkulan kerabatnya, bagaikan rimbun dan
(upacara memasang bubungan rumah). rapatnya pohon-pohon tebu.
Hal ini membuktikan kuatnya nilai-nilai Sisa kepercayaan masa lalu yang
persaudaraan dalam masyarakat Batak berakar dari animisme, dinamisme tidak
Angkola. Nilai kebersamaan senantiasa sepenuhnya hilang, tetapi justru
tercer min dalam seluruh proses mewarnai identitas keislaman mereka.
kehidupan, termasuk ketika mendirikan Dari penelusuran sejarah yang dilakukan,
rumah baru. Setiap tahapan diawali ditemukan bahwa Islam tidak terlepas dari
dengan upacara yang membuktikan adanya pengaruh dari kepercayaan lokal.
bahwa seluruh proses mendirikan rumah Sehingga, ketika Islam datang dan
baru berjalan sesuai dengan hasil mufakat bertemu dengan kultur yang sudah ada
bersama. Salah satu tahap yang paling sebelumnya, saling mempengaruhi antara
penting adalah panaek bungkulan. yang satu dengan yang lainnya. Pada
Pada saat melakukan ritual panaek kenyataannya keberadaan manusia dan
bungkulan, ada empat bahan sesajian yang agama merupakan dua hal yang tidak
disediakan, yaitu; Pertama, pisang sitabar dapat dipisahkan. Selur uh agama
atau pisang sitambatu di daerah Jawa merupakan perpaduan kepercayaan dan
dikenal dengan nama pisang kepok sejumlah upacara. Kepercayaan beragama
lengkap dengan pohonnya. Masyarakat adalah sekumpulan jawaban yang
Batak Angkola menyakini bahwa pisang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau
sitabar melambangkan daya tahan untuk penafsiran atas kekuatan-kekuatan gaib
hidup dan dapat memberikan keturunan. terhadap berbagai pertanyaan mendasar
Hal ini merupakan bentuk pengharapan yang ditimbulkan oleh akal pikiran
agar penghuni rumah itu kelak memiliki manusia, demikian dikatakan Francisco
daya tahan hidup yang kuat dan memiliki Jose Moreno (1985: 121).
keturunan yang terus berkembang. Kedua, Suku Batak Angkola sebagai salah
kelapa yang tumbuh (bertunas), seperti satu suku Batak yang berasal dari Tapanuli
bibit kelapa yang menjadi lambang Selatan memahami bahwa adat adalah
sebuah aktivitas dalam sistem kekerabatan terintegrasi oleh hukum Islam adalah
masyarakat, kemudian dijadikan sebagai tradisi panaek bungkulan. Perubahan
rujukan dalam bersikap, berperilaku, perilaku sosial keberagamaan di atas, di
berinteraksi dengan lingkungan sosial dan mata antropolog dianggap sebagai proses
tidak bertentangan dengan ajaran agama eksternalisasi, internalisasi, maupun
serta menjadi identitas orang Batak objektivasi.
(Parsadaan Marga Harahap, 1993: 15).
Kajian tentang agama akan terus Rumusan Masalah
berkembang karena unversalitas agama Agar lebih terarahnya kajian ini,
dalam masyarakat, dan kajian tentang penulis membatasi dengan rumusan
masyarakat tidak akan lengkap tanpa masalah sebagai berikut:
melihat agama sebagai salah satu a. Bagaimana proses integrasi hukum
faktornya. Antropologi sebagai ilmu yang Islam dengan tradisi adat Batak
mempelajari manusia menjadi sangat Angkola?
penting untuk memahami agama Islam, b. Bagaimana nilai-nilai keagamaan yang
karena konsep manusia sebagai khalifah terkandung dalam tradisi adat Batak
merupakan simbol betapa pentingnya Angkola pada masyarakat
posisi manusia dalam memahami agama. Padangsidimpuan?
Persoalan utama memahami agama
adalah bagaimana memahami manusia Kajian Terdahulu
dan kelompoknya. Pembahasan dalam kajian agama dan
Kajian ini lebih melihat kepada budaya lokal telah banyak ditemukan dan
bagaimana hukum Islam berhadapan dikaji dalam berbagai kajian atau jurnal
dengan budaya lokal adat Batak Angkola di antaranya:
serta melihat bagaimana konstruksi JC. Vergouwen (2004), The Social
hukum Islam berintegrasi dengan budaya Organisation and Customary Law of the Toba
Batak Angkola di Padangsidimpuan Batak of Northern Sumatra. Kajian ini
sebagai wajah Islam yang menyatu dalam menguraikan kehidupan masyarakat
adat-istiadat. Pertemuan hukum Islam Batak Toba sejak tahun 1927-1930. Buku
dan budaya lokal Batak Angkola dari hasil riset ini menjelaskan konsep-
melahirkan integrasi antara Islam dan konsep dasar mengenai kepercayaan asli
budaya Batak Angkola sesuai dengan Batak Toba yang terkait dengan tondi dan
falsafah budaya hombar adat dohot ibadat sistem kekerabatan. Pada sisi lain buku
yang berarti adat dan ibadah saling ini juga menjelaskan sifat otoritas kepala
beriringan, walaupun budaya lokal adat yang memuat aturan-aturan dalam
masyarakat Batak Angkola belum kehidupan bersama.
diterima secara keseluruhan oleh Hukum Bungaran Antonius Simanjuntak
Islam. Salah satu budaya yang sudah (2009), Konflik Status dan Kekuasaan Orang
Batak Toba. Disertasi ini menjelaskan ini mengungkap salah satu aspek
bahwa konflik yang terjadi pada religiusitas nelayan Mandar, yakni
masyarakat Batak Toba bukan hanya menyangkut ritual nelayan. Ritual nelayan
perseorangan, tetapi juga konflik dalam Mandar adalah ekspresi dari system religi
gereja Batak. Kajian ini menyimpulkan lokal yang telah mengalami percampuran
penyebab konflik bersumber dari dengan nalar Islam seperti tradisi
pimpinan gereja (Pendeta) yang makkuliwa dan maqappu yaitu ritual rutin
mempertahankan jabatannya dan nelayan sebagai persiapan sebelum melaut
pemaksaan pergantian pendeta oleh Puck untuk melaksanakan operasi
pimpinan (Ephous). Background konflik penangkapan ikan atau telur ikan terbang.
biasanya terkait dengan harta gereja Fauzie Nurdin (2009), Integrasi Islam
maupun keuangan yang berlatar dan Nilai-nilai Filosofi Budaya Lokal Pada
hasangapon dan hamoraon, sehing ga Pembangunan propinsi Lampung. Jurnal ini
lembaga adat pada dasarnya diharapkan menyebutkan bahwa integrasi Islam dan
mampu mendamaikan konflik yang nilai-nilai filosofi budaya lampung
terjadi dalam gereja dan kehidupan sehari- mengandung nilai-nilai etis, moral,
hari. spiritual, material dan non material yang
Puji Kurniawan (2014), Mengakhiri dimaknai dalam sistem sosial budaya
Pertentangan Budaya dan Agama. Buku ini masyarakat Pesawangan Lampung. Nilai-
berawal dari tesis di UIN Syarif nilai Islam yang terintegrasi dengan
Hidayatullah Jakarta. Percampuran Islam upacara adat Lampung terefleksi dalam
dan Tradisi Batak Angkola di filsafat Piil Pesenggiri sebagai pandangan
Padangsidimpuan menunjukkan bahwa hidup yang dinamis dalam membangun
Islam dan tradisi lokal sebagai kesatuan Provinsi Lampung.
yang utuh dalam kehidupan masyarakat. Muhammad Djakfar (2012), Tradisi
Hal ini dilihat dari bentuk kepribadian Toron Etnis Madura, Memahami Pertautan
masyarakat dalihan natolu. Dialetika agama Agama, Budaya dan Etos Bisnis. Jurnal Ini
dan budaya menempatkan religi sebagai menjelaskan bahwa tradisi toron (pulang
medan kontestasi, seperti tradisi marpege- kampung) telah mentradisi di kalangan
pege dan mangupa. Kedatangan Islam etnis Madura dengan berbagai motifnya.
memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai Tradisi toron memiliki pertautan antara
adat. Pergeseran nilai-nilai adat pasca nilai agama, budaya, dan etos bisnis.
masuknya Islam dari kepercayaan lokal Kajian ini menunjukkan di kalangan
kenilai keagamaan memberi warna santri tradisi toron memperingati maulud
tersendiri tanpa mengubah bentuk sitem untuk menghormati Rasul dan ibarat haul
adat. bagi kedua orang tua mereka. Non Santri
Arifuddin Ismail, Agama Nelayan mengadakan maulud sebagai tawasul untuk
Pergumulan Islam dan Budaya Lokal. Kajian menebus dosa, kemudian peringatan
maulud di kampung halaman merupakan Falsafah Batak Hombar Adat Dohot Ibadat
prestis yang mencerminkan kesuksesan adalah salah satu bentuk pertautan antara
bisnis mereka di rantau orang, sebagai agama dan budaya. Agama tidak bisa
bukti pekerja keras. dipisahkan dari ruang lingkup budaya,
M. Bambang Pranowo (2011), sehingga agama menjadi pedoman dalam
Memahami Islam Jawa. Buku ini berawal setiap tindakan. Falsafah di atas juga
dari disertasi di Monash University. mencerminkan pandangan masyarakat
Kajian Bambang Pranowo membuktikan Batak Angkola mengenai fungsi Islam
bahwa kategorisasi Jawa Clifford Geertz dalam kehidupan mereka, yakni: Pertama,
itu lemah. Penggunaan santri dan pedoman hidup yang paling dasar,
abangan dalam mengkaji kehidupan sosial sumber keselamatan dan kesejahteraan
masyarakat Jawa harus dibaca sebagai hidup. Kedua, Islam sebagai sumber
data lokalitas bukan sebagai laporan pemahaman kehidupan yang universal
tentang Jawa yang ada pada saat ini secara dan bersifat primordial, Islam merupakan
umum. Bambang menambahkan identitas yang esensial dan primordial bagi
pandangan keagamaan masyarakat Jawa masyarakat.
harus dilihat sebagai proses yang dinamis Pandangan yang demikian bisa saja
ketimbang statis. Pada perspektif benar, apalagi jika mengacu pada salah
keagamaan, setiap individu dianggap satu sumber pengetahuan Islam
berada pada proses “menjadi” (becoming) masyarakat Sasak, sebagaimana yang
bukan “mengada” (being). Bambang dikemukakan ustadz Yusuf (2015) bahwa
Pranowo menilai Geertz terperangkap dengan pengetahuan agama masyarakat di
tradisi kajian antropologi konvensional yang samping didapat melalui pengajian-
cenderung mencermati “tradisi kecil” pengajian ming guan dan pengajian
dibandingkan pola yang lebih general. umum, juga didapat melalui praktik dan
pengalaman budaya Batak Angkola yang
Dimensi-dimensi Keagamaan dilaksakan sehari-hari, terutama saat
Masyarakat Batak Angkola di pelaksanaan acara-acara adat, seperti
Padangsidimpuan pernikahan dan kematian.
Tipologi Keyakinan dan tradisi keberislaman Menurut Ustadz Yusuf, justru
Masyarakat Batak Angkola Padangsidimpuan pengetahuan agama bagi masyarakat
Pemahaman keislaman di sini Batak Angkola khususnya kebanyakan
dimaknai sebagai bentuk pengetahuan didapat melalui pengajian dan
atau wawasan keislaman masyarakat pengalaman pelaksanaan tata Budaya
Batak Angkola Padangsidimpuan. Adat Batak itu sendiri. Pemaknaan
Bagi Masyarakat Batak Angkola, tersebut juga bisa dilihat dari pandangan
Islam adalah merupakan agama yang bahwa tata-budaya adat Batak Angkola,
akomodatif terhadap budaya lokal. falsafah hidup semuanya bersumber pada
Islam. Jika ada yang bersumber dari luar menyebarkan Islam ke seluruh penjuru
Islam, maka ia tidak dihapus atau diwarnai dunia, yang sampai ke lapisan-lapisan
dengan Islam, atau diislamkan. Seperti sosial yang tidak bisa dijangkau oleh
Budaya Mangupa dan Panaek Bungkulan yang konsep ajaran Islam yang asli yang terlihat
berasal dari kepercayaan lokal (Sipele Begu). agak kaku dan for mal. Para sufi
Dengan demikian, akulturasi Islam melakukan dakwah dengan cara damai,
dengan budaya Lokal Batak Angkola akulturatif, dan adaptif dengan budaya
sudah terjadi sejak awal, sehingga Islam lokal dan kepercayaan masyarakat yang
dan budaya Batak Angkola menjadi dua telah lebih dulu eksis. Konsekuensi dari
hal yang inheren dalam kehidupan metode dakwah yang demikian adalah
masyarakat. Namun, ini masih terkait Islam seringkali mengarah pada bentuk
dengan budaya dalam bentuk pandangan sinkretik. Sebagaimana yang dikemukakan
hidup. Bagaimana dengan budaya dalam Gellner, konsekuensi Islam yang dibawa
bentuk budaya seni, baik seni tari, seni oleh kaum sufi adalah munculnya Folk
sastra, seni musik, dan ritual adat? Islam, yakni literasi Islam dipergunakan
Budaya-budaya ini mungkin tidak lahir untuk masalah-masalah magis daripada
dari falsafah hidup tersebut, melainkan sebagai ilmu pengetahuan.
bisa jadi datang dari luar, atau dibentuk
oleh kepercayaan-kepercayaan dan Dalihan Natolu Sebagai Sistem Sosial
agama-agama yang pernah dianut Masyarakat Batak Angkola di
masyarakat Batak. Padangsidimpuan
Ajaran satu-satunya kelurusan atau Masyarakat Batak Angkola
agama parmalim, seiring dengan merupakan salah satu sub Suku Batak
perkembangan sejarah masyarakat Batak, yang memiliki seperangkat struktur dan
kemudian mengalami reduksi dan distorsi sistem sosial yang diakui adat secara turun
oleh kepercayaan-kepercayaan yang temurun sebagai warisan yang berasal dari
pernah ada pada masyarakat Batak, leluhur. Struktur dan sistem sosial
seperti animisme dan dinamisme. Agama tersebut mengatur kehidupan
Hindu dan Budha juga berperan dalam bermasyarakat, baik dalam tata hubungan
membentuk keyakinan masyarakat Batak. sesama anggota masyarakat, kerabat
Setelah itu baru Islam datang, sehingga dekat, kerabat secara luas, saudara
ajaran agama Hindu dan Budha masih semarga, saudara beda marga, serta
dianut masyarakat tersebut terhadap masyarakat umum. Sruktur dan sistem
budaya Batak, sehingga perlu dilakukan sosial masyarakat Batak disebut dengan
islamisasi. istilah dalihan natolu (Basa Sahala Harahap,
Dalam pandangan Robert N. Bellah wawancara, 11 Oktober 2015).
dan Geertz (1970: 156-157), sufisme Kata dalihan dalam bahasa Batak
memiliki peran yang besar dalam artinya tungku, sedangkan natolu ada tiga.
Secara sederhana dalihan natolu adalah tiga kandungnya Siboru Pareme. Akibat dari
buah tunggu, dan ada juga yang peristiwa marsumbang Saribu Raja lari ke
menyebutnya dengan tunggu berkaki tiga hutan, sementara Siboru Pareme diusir
yang digunakan sebagai tempat dari kampung Sianjurmula-mula.
meletakkan alat memasak makanan. Pada Masa berikutnya terjadi
Ketiga tungku letaknya persis seperti peristiwa yang sama pada Raja Lotung
segitiga sama sisi. Istilah itu kemudian yang mengawini ibu kandungnya Siboru
diadopsi dan menjadi simbol yang Pareme dan menimbulkan jolak sosial dan
bermakna filosofis. Masyarakat Batak menyebabkan perpecahan pada
diibaratkan sebagai kuali besar, maka yang keturunan Tatea Bulan. Belajar dari
menjadi tungkunya adalah dalihan natolu. peristiwa memalukan tersebut keturunan
Menurut masyarakat Batak Angkola Tatea Bulan dan Raja Isumbaon
dalihan natolu mengandung makna tiga menggagas norma adat dengan suatu
kelompok masyarakat yang merupakan konsep dasar falsafah, tentang batasan-
dasar, tumpuan, dan penyeimbang dalam batasan hubungan kekerabatan antar
menjalankan roda kehidupan sesama keturunan mereka. Aturan ini
bermasyarakat (Gultom Rajamarpondang, tidak dibuat secara tertulis melainkan
1992: 377; Bungaran Antonius secara tutur atau lisan dan menjadi falsafah
Simanjuntak, 2006: 99; Irapas, 1975: 5). yang kemudian dikenal dengan istilah
Dalihan natolu adalah sistem sosial dalihan natolu (Ibrahim Gultom, 2010: 60;
masyarakat yang menyangkut WM Hutagalung, 1991: 36-37).
kekerabatan dalam menjalankan segala Konsep dalihan natolu bertujuan
aktivitas yang bertalian dengan adat. membentuk sistem kekerabatan yang
Artinya, setiap kegiatan yang menjadi patuh kepada adat, meskipun pada saat
aktivitas masyarakat Batak harus berasas yang bersamaan masyarakat Batak belum
kepada nilai falsafah dalihan natolu dan memeluk agama secara khusus sebagai
menjadi rujukan dalam bersikap dan panutan. Nilai-nilai etika tumbuh secara
berperilaku dalam kehidupan sosial. naluriah dan memutuskan larangan
Sejarah lahirnya dalihan natolu tidak perkawinan terhadap saudara sedarah dan
diketahui secara pasti, tetapi masyarakat ibu kandung. Peraturan yang berupa
batak berpendapat bahwa lahirnya dalihan anjuran dan larangan dibungkus dalam
natolu memiliki proses sejarah yang satu kemasan yang disebut adat. Peraturan
panjang dan dilatarbelakangi dengan ini terus menjalar, berkembang, dan
terjadinya peristiwa krisis sosial mendarah daging secara turun temurun
kekerabatan secara beruntun pada kepada keturunan Batak sampai sekarang.
generasi ketiga setelah Siraja Batak. Suku Batak yang menikahi wanita satu
Peristiwa marsumbang (kawin incest) antara marga disebut naso maradat (tidak beradat),
tuan Saribu Raja dengan iboto atau saudara dan hukuman terberat diusir dari
kampung adat dan tidak dilibatkan dalam Pakpak menyebutnya dengan Daliken
segala hal yang berhubungan dengan Sitelu yang terdiri dari Kula-kula, dengan
upacara adat, seperti pesta adat Tubuh, dan berru.
perkawinan. Konsep perkawinan semarga Konsep dalihan natolu sejalan dengan
pada sebagian masyarakat Batak muslim teori Levi Strauss (1977) tentang segitiga
sudah mulai bergeser, hal ini disebabkan kuliner (triangle culinaire). Menurut Strauss
karena pengaruh agama. salah satu syarat dalam pelaksanaan horja
Unsur-unsur dalihan natolu terdiri dari tiga perkawinan harus dihadiri tiga kelompok
kelompok yaitu: pertama, kelompok pertalian atau sejumlah kelompok yang dapat dibagi
darah yakni semarga atau dongan sabutuha dan tiga, yaitu pemberi istri harus lebih tinggi
dalam istilah Batak Angkola disebut dengan dari yang menerima, walaupun pada
Kahanggi. Kedua, adalah kelompok karena prinsipnya ketiga unsur memiliki posisi
hubungan perkawinan yakni kelompok yang sama dalam konsep dalihan natolu.
pemberi boru (anak perempuan yang Secara praktik mora menempati
dijadikan istri atau kelompok mertua) dalam kedudukan tertinggi dalam sistem sosial
istilah batak Angkola disebut mora. Ketiga, masyarakat Batak dan lebih istimewa dari
kelompok penerima boru (anak perempuan kedudukan kelompok dalihan lainnya.
yang dijadikan istri/menantu) dalam istilah Besarnya pengaruh dan kedudukan mora
Batak Angkola disebut dengan anak boru dan dibuktikan dalam pesta adat. Kelompok
kelompok yang ketiga ini juga terbentuk mora dipandang sebagai sumber restu.
karena hubungan perkawinan (Parsadaan Penghormatan terhadap mora akan
Marga Harahap Dohot Anak Boruna ,1993: memberikan keselamatan jasmani, materi,
85). bahkan rohani. Mora dalam kehidupan
Ketiga unsur dalihan natolu menjadi sosial orang Batak adalah posisi sangat
satu kesatuan, saling terikat dan memiliki dihormati, disanjung dan disegani. Mora
fungsi serta peran penting dalam tataran tidak boleh diperintah, disuruh dan
nilai-nilai budaya Batak, baik dalam idea dipaksa oleh anak boru (Bungaran
maupun dalam pengamalan. Walaupun Antonius Simanjuntak, 2009: 80).
tiga unsur ini memiliki nama atau istilah Keberadaan mora, Kahanggi, dan anak
penyebutan yang berbeda pada setiap sub boru merupakan analogi keberadaan tiga
suku Batak seperti, Batak Toba misalnya dewata yaitu Batara Guru, Batara Sori dan
adalah dalihan natolu terdiri dari hula hula, Balabuhan.2 Keberadaan mora dalam hal
dongan tubu, dan boru. Batak Simalungun ini, dianalogikan sebagai Dewata Batara
menyebut dalihan natolu dengan istilah tolu
sahundulan, yaitu tondong, sanina, dan boru. 2
Batara Guru, Batara Sori, dan Balabuhan disebut
Menurut sub suku Batak Karo adalah juga dengan Debata Natolu. Debata Natolu diciptakan
Rakut Sitelu yaitu Kalimbubu, Sembuyak, dan oleh Debata Mulajadi Nabolon untuk memberikan
pemberkatan kepada manusia dalam arti luas. Tugas
Anak Beru, sedangkan sub suku Batak Batara Guru adalah menurunkan kerajaan, keadilan,
Guru yang merupakan manifestasi dari telah memberikan boru (anak gadis) atau
dewa tertinggi sehingga mora menempati wife givers kepada anak boru (menantu) yang
posisi yang lebih tinggi dari unsur dalihan akan melahirkan generasi selanjutnya bagi
yang lain (Vergouwen, 2004: 56). Mora keturunan anak boru. Mora memiliki sahala
sebagai kelompok mertua dianggap yang ditebarkan kepada anak boru dengan
mempunyai kekuatan magis untuk pemberkatan ketika pahoras tondi3 dan
melimpahkan pasu-pasu (kekuatan rohani) manyulangi anak boru. Kekuatan sahala
pada kelompok anak boru atau kelompok tondi4 yang dimiliki mora untuk melindungi
menantu (Parkin, 1978: 253; Ben dan memberi kesejahteraan kepada anak
Marohajan Pasaribu, 1986: 46).
Mora merupakan sumber kekuatan 3
Tondi sering diterjemahkan dengan kata roh atau
supranatural yang dapat memberi zat yang tidak tampak. Tondi akan selalu menyertai
semangat dalam pandangan rohani manusia selama hidupnya, namun ketika yang
bersangkutan menderita sakit, tondi akan meninggalkan
maupun jasmani masyarakat Batak. jasad selama penyakitnya belum sembuh. Tondi juga
Masyarakat Batak Angkola menempatkan mampu bergerak keluar dari jasad di saat tidur dan
posisi mora dan melegalisasinya dalam berkomunikasi dengan makhluk lain. Tondi merupakan
kekuatan sehingga tondi harus selalu menyatu dengan
sikap sosial dengan falsafah somba jasad. Masyarakat Batak sering melakukan ritual
marmora, artinya sembah kepada mora atau mangupa untuk mengikat dan kenguatkan tondi dalam
hula-hula. Somba dalam konteks jasad dengan salah satu doa, pir tondi madingin horas
tondi matogu. Maksudnya adalah semoga tondi kokoh
masyarakat batak adalah bertingkah laku dan sejuk, semoga tondi kokoh dan kuat dan selamat
yang hormat, sikap pandang yang lebih, selamanya. Baca, Vergouwen (2004: 91-101).
pemberian pelayanan yang terbaik dalam 4
Sahala dalam bahasa Batak-Indonesia diartikan
dengan kharisma dan wibawa, walaupun sesungguhnya
sosial dan adat (Bungaran Antonius maknanya belum sepenuhnya tepat. Vergouwen
Simanjuntak, 2009: 81). memaknakan sahala adalah daya khusus dari tondi
Mora dipandang sebagai sumber (jiwa). Menurut kepercayaan agama Malim sahala
adalah ruh suci yang bersumber dari Debata Mulajadi
kehidupan, kesejahteraan lahir dan batin Nabolon yang diturunkan kepada manusia pilihan.
bagi anak boru, antara lain karena mora Sahala tidak dapat dipelajari dan tidak diperoleh dengan
cara dipanggil, melainkan ia datang sendiri hinggap
kepada seorang manusia tanpa sepengetahuan yang
bersangkutan. Sahala bisa hinggap dengan waktu yang
kebijaksanaan, dan pengetahuan kepada manusia di lama atau hanya sekedar singgah pada diri seseorang.
bumi. Menur ut keyakinan masyarakat Batak, Sahala adalah wujud yang gaib dan tidak dapat ditanggap
kedudukan raja (harajaon) dan kharisma kerajaan (sahala oleh panca indra manusia, namun ia bisa menyatu
harajaon) adalah berkat titisan dari Batara Guru, seperti dengan jiwa dan badan. Manusia yang dihinggapi oleh
Sisingamangaraja yang memegang kekuasaan dan raja sahala akan terlihat pada sikap dan perilaku
di tanah Batak, mulai dari Sisingamangaraja I-XII. kehidupannya sehari-hari. Ciri-ciri manusia yang
Batara Sori bertugas menurunkan dan menyebarkan marsahala (orang yang memiliki sahala) akan menjauhkan
hamalimon (keagamaan) dan nilai-nilai kesucian, diri dari sikap dan perilaku yang buruk, baik pada dirinya
sedangkan Balabuhan bertugas memberikan maupun kepada orang lain, kelihatan tampak berwibawa
panurirangon (kemampuan memberikan nasehat), dan mampu memberikan pertolongan dalam bidang
hadatuon (pengobatan), dan hagogoan (kekuatan). Baca, pengobatan. Lihat J.C. Vergounwen (2004: 76); Ibrahim
Ibrahim ( 2010: 118-121). Gultom (2010: 192-194).
boru, sehingga mora menduduki posisi kelompok ini diikat melalui marga sebagai
yang paling terhormat di antara dalihan bukti satu keturunan dan dilahirkan dari
natolu. Leluhur Batak mewariskan sikap ompung atau nenek moyang yang sama
somba marmora terhadap anak boru (Schreiner, 2002: 42).
bertujuan agar kehidupan yang harmonis Masyarakat Batak mengakui
dapat terwujud dengan saling kekerabatan dalam kelompok kahanggi
menyayangi, menghormati, dan sopan dengan istilah manat mardongan tubu atau
santun dalam berperilaku (avoidance manat markahanggi artinya teliti, hati-hati,
relationship) khususnya pada kelompok dan bijaksana terhadap saudara semarga.
mora (Parsadaan Marga Harahap Dohot Fungsi kahang gi dalam sistem
Anak Boruna, 1993: 103). kekerabatan adalah sebagai pendamping
Kahanggi atau dongan tubu dan disebut dan penolong bagi keluarga yang satu
juga dengan istilah dongan sabutuha atau marga ketika suatu masa keluarga
dongan saina berarti teman satu kelahiran. semarga bertindak sebagai suhut (tuan
Kahanggi dalam konteks dongan sabutuha r umah) dalam suatu hor ja (pesta).
menggambarkan hubungan saudara yang Hubungan dongan sabutuha dalam
masih memiliki hubungan darah konteks pergaulan tidak sekaku dan
tergolong dekat satu ompung (kakek), dan seketat hubungan antara anak boru dan
masih terlihat jelas kedekatannya melalui mora. Dongan sabutuha atau semarga boleh
silsilah tarombo. Kahanggi dalam konteks bercengkrama, bersendau gulau, dan
semarga, adalah keluarga besar yang satu bebas berbicara apa saja (joking
marga 5 tanpa memandang hubungan relationship) (Ibrahim Gultom, 2010: 65).
silsilah yang dekat. Kelompok sosial ini Ungkapan Btak yang menekankan
dianggap saudara dekat, walaupun sesama garis kebijaksanaan di dalam hubungan
keturunan tidak saling mengenal antara sosial dengan saudara semarga sebagai
satu sama lain. Kekerabatan dalam antisipasi bahwa hubungan bersaudara
dapat menjadi buruk dan berbahaya,
bahkan cenderung menimbulkan konflik
5
Marga adalah kelompok kekerabatan yang merujuk yang mengarahkan pada perpecahan
kepada asal keturunan. Menurut suku Batak, marga sosial. Ungkapan manat markahanggi
dan jenis-jenisnya berasal dari nenek moyang laki-laki
(patrilineal). Marga mer upakan dasar untuk
adalah sebagai peringatan kepada saudara
menentukan partuturon, hubungan persaudaraan, baik satu marga agar tetap waspada dan hati-
untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang hati dalam menjaga hubungan baik dan
dari marga lain. Menurut ketentuan adat setelah tujuh
atau delapan generasi dari marga lama, marga baru
keutuhan dalam markahanggi. Titik rawan
boleh dimunculkan setelah memenuhi persyaratan konflik di kalangan sakahanggi biasanya
adat, atau karena pelanggaran adat yang dinamakan berkaitan dengan harta pusaka karena
dengan manompas bongbong (memecahkan tembok
marga). Lihat, Bungaran Antonius Simanjuntak (2006:
sifat late (iri hati), hosom (dengki), dan teal
79-80). (sombong) yang berasal dari gutgut
kepada kerabat yang mendirikan rumah adab yang baik kepada tukang haruslah
itu menjadi hilang. Juga mengandung ditunjuk oleh pemilik rumah. Sebab
harapan agar semua tukang yang tukang itulah yang benar-benar
membangun itu dalam keadaan sehat, bertanggung jawab membangun rumah
tanpa ada halangan dan bahaya selama itu sebaik-baiknya. Mutu rumah
membangun rumah. Acara makan santan tergantung pada tukang. Oleh karena itu,
ini juga merupakan cara bermohon pelayanan kepada tukang harus
kepada Tuhan semoga kerabat dalam diperhatikan secara khusus.
keadaan senantiasa seiya sekata tanpa ada Adapun hal yang sangat menarik dari
pertikaian. perilaku tukang dalam membangun
Setelah semua rangka itu berdiri, para rumah adalah rasa suka cita dan
tukang dan semua kerabat yang hadir di kegembiraan yang mereka rasakan dalam
tempat itu makan bersama. Setelah makan melaksanakan tugas. Pada umumnya para
bersama, maka tahapan berikutnya adalah tukang memiliki selera humor yang tinggi.
menaikkan atau memasang bungkulan Ada cara mereka untuk menyampaikan
rumah dengan segala kelengkapan yang pesan-pesan tertentu kepada pemilik
telah disebut di atas. rumah, misalnya dengan bunyi dentang
Dengan naiknya bungkulan rumah itu, pukulan palu. Irama dentang pukulan itu
maka tahap yang penting dalam proses dapat berarti tukang kayu sudah merasa
mendirikan rumah sudah dilalui. Semua lapar, oleh karena itu pemilik rumah harus
kaum kerabat tetap hadir di tempat itu. menyiapkan makanan. Ada lagi dentang
Kehadiran mereka adalah realisasi holong palu yang meminta kopi atau teh, atau
sesamanya, yang senantiasa bersedia dentang palu sore hari berarti tukang
menolong secara ikhlas. Kebaikan- sudah lelah dan mereka akan mengakhiri
kebaikan yang diberikannya kepada pekerjaannya. Demikian sebuah rumah
kerabat yang mendirikan rumah tersebut dibangun di daerah perkampungan
merupakan bukti rasa kekerabatan yang (Azizun Harahap, wawancara, 11
kuat. Pada gilirannya, setiap anggota Oktober 2015).
kerabat Dalihan Natolu akan menerima Membangun rumah baru menjadi
kebaikan-kebaikan serupa itu dari seluruh tradisi tersendiri bagi masyarakat Batak
kerabatnya (Rapotan Harahap, Angkola, membangun rumah bukan
wawancara, 11 Oktober 2015). hanya memiliki dimensi yang bersifat
Pembangunan rumah itu seharusnya individual tetapi juga mengandung nilai-
dilakukan oleh beberapa orang kerabat nilai sosial kemasyarakatan. Membangun
atau boleh juga seluruhnya diserahkan rumah baru menjadi ajang silaturrahmi
kepada tukang. Pengawasan dan antar sesama masyarakat dan
pelayanan tukang selanjutnya dilakukan memperkuat hubungan kekerabatan
oleh pemilik rumah. Perlu diingat pula diantara keluarga.