Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Peran Media Sosial dalam Proses Agenda Setting Media Cetak di Bali

(Studi Kasus : Pemberitaan Kasus Pembunuhan Angeline


di SuaraBali dan TribunBali)

Ni Made Ras Amanda Gelgel


Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Udayana, Bali
rasamanda13@gmail.com

Abstract
Social Media and netizens are now considered to become one of the pillars of democracy in Indonesia.
Traditional mass media such as print media are now preaching often refers to the issues that arise in
social media. Bali is one of the areas where development of social media is quite high in Indonesia. The
research was carried out to find out how the influence of social media on media agenda setting in Bali.
The objective of this study focused on case studies reporting the murder of Angeline in Bali on Tribun
Bali dan Suara Bali.The study used a qualitative approach that uncovers the struggle in the newsroom
on the issue in social media. Data collection techniques were an interview, observation, and document
study reports. The study found out that there had been a shift in the pattern of an editorial meeting
where the news tended to be packed as public opinion in social media. The readers preferred news that
seems true to reality in social media than in reality. In conclusion, there had been a change in media
consumption patterns, in which the readers were no longer passive but very active in finding and
choosing the news to fulfill their satisfaction.

Abstrak
Media sosial dan netizen kini dinilai telah menjadi salah satu pilar dalam demokrasi di Indonesia. Media
massa tradisional seperti media cetak pun kini dalam pemberitaannya sering kali mengacu pada isu yang
muncul di media sosial. Bali adalah salah satu daerah di mana perkembangan media sosialnya cukup
tinggi di Indonesia. Untuk itu penelitian ini mengenai bagaimana pengaruh media sosial terhadap
agenda setting media cetak di Bali, untuk mempersempit objek penelitian maka penelitian akan
difokuskan pada studi kasus pemberitaan pembunuhan angeline di Bali di media Tribun Bali dan Suara
Bali. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang membongkar bagaimana pergulatan di ruang
redaksi terhadap isu di media sosial. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi dan studi
dokumen pemberitaan. Informan akan diambil secara purposive yakni kepala redaksi, wartawan, dan
editor dari surat kabar serta para netizen yang aktif bersuara di media sosial di Bali. Dari penelitian
diketahui telah terjadi pergeseran pola rapat redaksi di mana pemberitaan cenderung dikemas untuk
sejalan dengan opini publik yang berkembang di media sosial. Hal ini dikarenakan pembaca lebih
memilih berita yang disangka benar oleh realitas di media sosial dibandingkan pada realitas sosialnya.
Telah terjadi perubahan pola konsumsi media, di mana pembaca tidak lagi pasif namun sangat aktif
dalam mencari dan membaca berita dengan realitas media yang diinginkan saja.

Keywords : agenda setting, Bali, newspaper, social media


PENDAHULUAN
Dalam perkembangan media massa di Indonesia, kemajuan teknologi telah memegang
peranan yang penting. Komunikasi dan berinteraksi kini banyak dilakukan melalui media online
dan internet yang dikenal dengan media sosial. Hal ini juga didorong dengan munculnya media
sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, BBM. Akses terhadap media sosial ini pun
sangat mudah di mana dapat diakses melalui telepon pintar atau smart phone.
Berdasarkan data APJII atau Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2015),
jumlah pengguna internet dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pada tahun 2014 APJII
mencatat terdapat 88,1 juta pengguna internet di Indonesia, angka ini naik drastis dari tahun
2012 di mana pengguna internet hanya 55 juta pengguna saja. APJII juga mencatat bahwa dari
78,5% juta pengguna internet di Indonesia berdomisili di Indonesia Bagian Barat, dan tinggal di
wilayah urban Indonesia.
Indonesia pun tercatat sebagai Negara yang cukup aktif dalam penggunaan media
sosialnya. Kominfo (2014) mencatat 95 persen pengguna internet di Indonesia menggunakan
internet untuk mengakses jejaring sosial. Indonesia pun tercatat sebagai Negara keempat
terbesar pengguna facebook di Indonesia di bawah Negara USA, Brazil dan India. Kominfo
merilis berdasarkan data Webershandwick, jumlah pemiliki akun facebook di Indonesia
mencapai 65 juta akun, di mana 55 juta penggunanya mengakses facebook melalui smart
phone.
Media sosial lainnya yakni twitter pun menjadi pilihan sebagian besar pengguna internet
di Indonesia. PT Bakrie Telecom (2014) merilis bahwa pengguna twitter di Indonesia mencapai
19,5 persen. Media sosial lainnya juga mendapat porsi pengguna internet, penggguna Path di
Indonesia mencapai 700 ribu Line 10 juta pengguna. Pentingnya media sosial pun disadari oleh
media massa arus utama, kini hampir seluruh media massa memiliki laman sendiri di dunia
maya, dan juga ikut aktif dalam media sosial baik di twitter hingga facebook.
Informasi di sosial media kini bagaikan arus yang tidak lagi dapat terbendung, bahkan
dapat dikatakan liar. Sebuah isu dapat berkembang dan menyebar dalam hitungan waktu yang
singkat. Bahkan tak jarang kebenaran atas isu tersebut seringkali diragukan. Namun ironisnya,
netizen seringkali tidak menyadari bahwa yang tersaji di media sosial bisa tidak memiliki
kebenaran di dalamnya, dan langsung menanggap hal tersebut adalah realitas sosial yang
terjadi.
Hal ini pun terjadi di Bali. Kasus pembunuhan Angeline, anak usia 8 tahun, di Denpasar
Bali adalah salah satu kasus yang menjadi perhatian netizen, tidak hanya di Bali namun juga di
seluruh Indonesia. Kasus ini dimulai dengan tersebarnya foto yang menyatakan telah hilang
seorang anak di Denpasar bernama Angeline di media sosial baik facebook hingga path.
Penyebaran foto ini pun cukup massif, tidak hanya di Bali namun juga di seluruh Indonesia.
Dalam perkembangannya, opini publik yang berkembang di Media Sosial bergerak lebih liar dan
massif dibandingkan fakta ataupun realitas sosial yang terjadi. Media massa pun terus menerus
memberitakan perkembangan kasus Angeline ini. Bahkan media pun cenderung memberitakan
apa yang berkembang di media sosial. Pihak berwenang khususnya pihak kepolisian bahkan
merasa ditekan oleh media massa maupun media cetak.
Kejadian di atas cenderung menggambarkan bagaimana media sosial menjadi salah satu
faktor pendorong disorotnya sebuah isu di media massa. Pengaruhnya pun tidak hanya
berhenti di media massa namun juga mampu untuk mempengaruhi atau mendesak pembuat
kebijakan. Fenomena di atas juga menarik karena adanya korrelasi antara isu di media sosial
dan isu di media massa. Bahkan terdapat kecenderungan adanya pemenuhan kebutuhan
informasi berdasarkan opini yang berkembang di media sosial dengan isu yang berkembang di
media massa. Untuk itu akan menarik untuk diketahui bagaimana pengaruh media sosial
terhadap agenda setting media massa serta pengaruhnya pada pola perilaku konsumen media
massa khususnya di Bali.

Rumusan Permasalahan
Dari pemaparan di atas maka penelitian ini mengangkat sebuah permasalahan yakni (1)
Bagaimana pengaruh media sosial terhadap agenda setting media cetak di Bali, dengan objek penelitian
pada pemberitaan kasus pembunuhan Angeline di Bali di media Tribun Bali dan Suara Bali. Kedua media
ini dijadikan objek penelitian karena memiliki alasan tertentu. Tribun Bali adalah salah satu media cetak
harian yang cukup progresif dan cukup aktif dalam media sosial. Sedangkan SuaraBali adalah adalah
media cetak yang terbit dwimingguan yang juga aktif di media sosial, sehingga SuaraBali menarik untuk
dijadikan salah satu objek penelitian, mengingat rentang waktu yang cukup panjang dalam penentuan
agenda settingnya. Permasalahan kedua (2) Bagaimana pengaruh fenomena ini terhadap pola perilaku
konsumen media massa khususnya di Bali.

TINJAUAN TEORI/KONSEP
Konstruksi Realitas
Konsep konstruksi atas realitas sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas
Luckman (1966) dalam bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality. A Treatise in
the Sociology of Knowledge” di mana digambarkan bahwa proses sosial melalui tindakan dan
interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki
dan dialami bersama secara subyektif.
Namun dalam perkembangannya, Bungin menggambarkan betapa media massa telah
menjadi sangat subtansi dalam proses konstruksi realitas sosial. Dan dari kontens konstruksi
sosial media massa, dan proses kelahiran konstruksi sosial media massa melalui tahapan
tertentu, yakni tahap menyiapkan materi konstruksi, tahap sebaran konstruksi, tahap
pembentukan konstruksi realitas, dan tahap konfirmasi.
Bungin mencatat terdapat tiga hal penting dalam tahap pertama penyiapan materi
konstruksi sosial, yaitu keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu
kepada masyarakat, dan keberpihakan pada kepentingan umum. Tiga faktor ini berpengaruh
dalam proses penyiapan materi konstruksi sosial. Pada tahap sebaran konstruksi, prinsipnya
dalah semua informasi harus sampai pada pemirsa atau pembaca secepatnya dan setepatnya
berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting
pula bagi pemirsa atau pembaca.
Bungin juga menjelaskan mengenai tahap pembentukan konstruksi realitas dengan
melalui tiga tahap yakni konstruksi realitas pembenaran, kesediaan dikonstruksi oleh media
massa, dan pilihan konsumtif. Konstruksi realitas pembenaran adalah sebagai suatu bentuk
konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja
yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran. Kemudian tahap terakhir
adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, di mana seseorang secara
habit tergantung pada media massa. Atau dapat dikatakan bahwa media massa adalah bagian
kebiasaan hidup yang tidak bisa dilepaskan. Dalam hal ini sosial media pun kini telah menjadi
bagian kebiasaan hidup yang tidak dapat dipisahkan (Bungin, 2008:193-201).

Agenda Setting
Teori agenda setting adalah teori yang telah lama berkembang, namun teori ini menjadi
dikenal oleh penelitian yang dilakukan McCombs dan Shaw (1972). Namun ternyata jauh
sebelum McCombs dan Shaw, telah terdapat buah pemikiran mengenai teori ini walau tidak
menyebtkan nama konsep dan teori Agenda-setting. Cohen (1963) telah mendefinisikan ide
Lipman ke dalam teori agenda-setting. Cohen menulis :
“Barangkali mereka (pers) tidak terlalu sukses dalam menyuruh apa yang dipikirkan
seseorang, tetapi mereka biasanya sukses menyuruh orang mengenai apa yang
seharusnya mereka pikirkan” (Baran&Davis, 2010:61)

Tulisan yang disampaikan Cohen ini menjadi pondasi penting dari yang kita kenal dengan
teori agenda-setting. McCombs dan Shaw (1972) menilai bahwa terdapat korelasi yang kuat
dan signifikan antara apa yang diagendakan oleh media massa dan apa yang menjadi agenda
publik. Stephen W. Littlejohn (dalam Tamburaka, 2012:68-69) mengatakan, agenda-setting
beroperasi dalam tiga bagian sebagai berikut:
1. Agenda media itu sendiri harus diformat. Proses ini akan memunculkan masalah
bagaimana agenda media itu terjadi pada waktu pertama kali.
2. Agenda media dalam banyak hal memengaruhi atau berinteraksi dengan agenda
publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik. Hal ini memunculkan pertanyaan,
seberapa besar kekuatan media mampu memengaruhi agenda publik dan
bagaimana publik itu melakukannya.
3. Agenda publik memengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan. Agenda
kebijakan adalah pembuatan kebijakan publik yang dianggap penting bagi individu.
Pengalaman Pribadi dan Komunikasi antarpersona

Gatekeeper Agenda Agenda Agenda


Mempengaruhi Media Publik Kebijakan
Media

Indikasi Pentingnya Suatu Agenda atau Peristiwa

Bagan 1. Bagan Agenda Setting

Maka dari itu Agenda-setting beroperasi dalam tiga bagian, yaitu:


1. Agenda Media. Agenda harus diformat, proses akan memumculkan masalah
bagaimana agenda media ini terjadi pada waktu pertama kali dengan dimensi yang
berkaitan, antara lain: jumlah dan tingkat menonjolnya berita, tingkat menonjolnya
bagi khalayak, valensi atau menyenangkan atau tidak menyenangkan cara
pemberitaan bagi suatu peristiwa.
2. Agenda Khalayak/Publik. Agenda media dalam banyak hal memengaruhi atau
berinterkasi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik. Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa dimensi yakni familiarity, personal salience, dan
favorability.
3. Agenda Kebijakan. Agenda publik memengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda
kebijakan. Agenda kebijakan adalah pembuatan kebijakan publik yang dianggap
penting bagi individu. Dimensi yang berkaitan antara lain: dukungan, kemungkinan
kegiatan, kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diharapkan, kebebasan
bertindak, yakni nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah. (Tamburaka,
2012, 68-69)
Uses And Gratifications
Teori Uses and gratifications adalah salah satu teori yang menempatkan audiens sebagai
fokus. Studi dalam bidang ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) isi media untuk
mendapatkan pemenuhan (gratifications) atas kebutuhan seseorang. Katz (1974 dalam Djuarsa,
2002) menggambarkan logika dari pendekatan uses and gratifications sering memasukkan
unsure motif untuk memuaskan kebutuhan dan ‘alternatif fungsional’ untuk memenuhi
kebutuhan.
Versi lain dari pendekatan ini dikemukakan Karl Erik Rosengren (1974) yang
memodifikasi elemen uses and gratifications menjadi 11 elemen. Salah satu elemennya adalah
adanya berbagai motif untuk mencari pemenuhan atau penyelesaian persoalan yang akhirnya
menghasilkan perbedaan pola konsumsi dan perbedaan pola perilaku yang sekaligus akan
mempengaruhi struktur media dan berbagai struktur politik, kultural, dan ekonomi dalam
masyarakat. Rosengren (1974) menyatakan karena kebutuhan, persoalan, dan motif berbeda
bagi individu atau kelompok yang berbeda, maka hasilnya adalah pola-pola perilaku yang
berbeda pula. Sejumlah orang akan mencari sesuatu yang menghibur, lainnya mencari
informasi, dan sejumlah lainnya bahkan tidak menggunaka media sama sekali. Keseluruhan
proses ini menunjukkan bahwa uses and gratifications dapat mempengaruhi masyarakat dan
media yang beroperasi di dalamnya. Pendekatan uses and gratifications ditujukan untuk
menggambarkan proses penerimaan dalam komunikasi massa dan menjelaskan penggunaan
media oleh individu (Djuarsa, 2002:5.41).

Information Seeking
Information seeking yang dikemukaka Donohew dan Tipton (1973) menjelaskan
mengenai pencarian, penghindaran, dan pemproses informasi, disebut memiliki akar dari
pemikiran psikologi sosial tentang kesesuaian sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah orang
cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan ‘image reality’nya karena
terasa membahayakan.
Prosesnya dijelaskan dalam beberapa tahap. Proses dimulai ketika individu diterpa oleh
sejumlah stimuli. Kepada stimuli tersebut, individu dapat memperhatikan atau tidak
memperhatikan. Pada tahap berikutnya, terjadi suatu perbandingan antara stimuli (informasi)
dan ‘image of reality’ yang dimiliki individu tersebut. Kemudian muncul persoalan apakah
stimuli tersebut menuntut suatu tindakan atau tidak. Seandainya dalam menilai suatu situasi,
seseorang memberikan prioritas lebih pada suatu stimuli dibandingkan stimuli lainnya, maka ia
dapat memilih untuk mencukupkan pencarian informasinya atau mencari informasi lebih jauh.
Seandainya terdaoat lebih daru satu sumber informasi yang potensial, orang tersebut harus
memikirkan strategi informasi apa yang dipilih. Apapun strateginya, seseorang akan mencapai
titik di mana dia sudah merasa cukup mendapatkan informasi, yang biasanya akan dilanjutkan
dengan dilakukannya suatu tindakan. Dalam kedua strategi ini, seseorang akan melalui
sejumlah ‘information-seeking loops’ sebelum dia merasa cukup (Djuarsa, 2002:5.44-5.45).

Opini Publik
Menurut Arifin (2010:5) opini publik terdiri atas dua kata yakni opini dan publik. Opini
diambil dari kata opinion dalam bahasa Inggris yang berarti pendapat. Kata publik juga dalam
bahasa Inggris adalah public yang apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia memiliki
beberapa pengertian tergantung pada konteks kata yang mengiringinya. Jika dirangkaikan
dengan yakni publik opinion maka kata tersebut berarti pendapat umum atau opini publik.
Dalam konteks agenda setting media massa Arifin (2010) memaparkan tiga undur dari opini
publik ini yakni :
(1) Harus ada peristiwa atau kata-kata, penting dan menyangkut kepentingan umum yang
disiarkan media massa
(2) Harus ada sejumlah orang yang mendiskusikan isu tersebut dan menghasilkan kata
sepakat, mengenai sikap dan pendapat mereka.
(3) Pendapat mereka harus diekspresikan atau dinyatakan dalam bentuk lisan, tertulis, dan
gerak-gerik.
Opini publik dapat terbagi menjadi dua yakni yang bersifar latent dan aktual. Opini publik actual
adalah pendapat umum yang nyata karena dinyatakan secara terbuka dan ditanggapi dengan
intensif oleh publik dan bahkan berpengaruh secara luas.
Opini Publik menurut batasan dari Hennessy (1970, dalam Blake 2003:119) adalah
kekuatan kerangka pikiran yang seringkali berasal dari sutau susunan pendapat yang berbeda-
beda dinyatakan secara terbuka oleh sejumlah besar orang tentang suatu ihwal masyarakat.
Kekuatan kerangka pikiran menyatakan berkumpulnya sejumlah besar pendapat pribadi dengan
tujuan membedakan keadaan ini dari semua keadaan lainnya yang ada. Susunan pendapat yang
berbeda menyatakan bahwa setiap isu tertentu akan menghasilkan dua atau lebih, mungkin
banyak sekali sudut pandang. Dinyatakan secara terbuka, pendapat ini dikomunikasikan dalam
cara demikian sehingga memperoleh perhatian dari para pengambil keputusan atau
pemerintah. Suatu isu yang berkenaan dengan ihwal masyarakat adalah suatu keadaan yang
berhubungan dengan banyak orang dan berkenaan dengan adanya kemungkinan
ketidaksepakatan.

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif konstuktivis.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena
atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan
masalah dan unit yang diteliti. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan
hubungan antar variabel yang ada; tidak dimaksudkan untuk menarik generasi yang
menjelaskan variabel-variabel antesenden yang menyebabkan sesuatu gejala atau kenyataan
sosial. Oleh karena itu, pada suatu penelitian deskriptif, tidak menggunakan dan tidak
melakukan pengujian hipotesis; sehingga tidak dimaksudkan untuk membangun dan
mengembangkan pembendaharaan teori.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah
suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki
suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu
gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan
melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15).
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam
penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki
bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek
yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai.

Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Kota Denpasar, Bali.

Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan efektif selama empat bulan dari mulai persiapan, proses
pengumpulan data, proses pengolahan data, analisa dan persiapan pembuatan laporan hingga
seminar hasil penelitian.

Tehnik Pengumpulan Data


Tehnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik yang
telah biasa digunakan dalam penelitian kualitatif yakni wawancara, observasi, dan studi
dokumen. Wawancaran (Bungin, 2007) merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap
informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan
dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam.
Berikutnya adalah observasi. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi
adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan
perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik
perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku
manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan
umpan balik terhadap pengukuran tersebut.
Berikutnya adalah studi dokumen. Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan
yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk data-data di
media sosial, pemberitaan di media massa khususnya di media Tribun Bali dan SuaraBali.

Penentuan Informan
Penentuan informan dilakukan secara purposive sampling, di mana tidak semua
populasi dapat dijadikan sampel hanya individu dengan syarat tertentu yang dapat dijadikan
sampel. Teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu
yang dibuat periset berdasarkan tujuan riset. Sedangkan orang-orang yang tidak sesuai dengan
kriteria tidak akan dijadikan sampel. Biasanya teknik purposive sampling dipilih untuk riset yang
lebih mengutamakan kedalaman data daripada untuk tujuan representative yang dapat
digeneralisasikan( Kriyantono, 2012:158-159). Untuk itu dalam penelitian ini hanya pihak-pihak
tertentu saja yang dijadikan narasumber tidak seluruh populasi. Informan dalam penelitian ini
adalah para pemimpin umum dari SuaraBali, Hery Indrawan dan pemimpin redaksi Tribun Bali,
yakni dan Sunarko.

ANALISIS

Opini Publik di Media Sosial atas Kasus Pembunuhan

Kasus pembunuhan Angeline, anak usia 8 tahun, di Denpasar Bali adalah salah satu kasus yang
menjadi perhatian netizen, tidak hanya di Bali namun juga di seluruh Indonesia. Kasus ini dimulai dengan
tersebarnya foto yang menyatakan telah hilang seorang anak di Denpasar bernama Angeline di media
sosial baik facebook hingga path. Penyebaran foto ini pun cukup massif, tidak hanya di Bali namun juga
di seluruh Indonesia.
Gambar 1. Meme atau gambar yang pertama kali beredar di Media Sosial,
seperti Facebook hingga Path

Berita mengenai hilangnya Angeline mulai menghiasi media cetak, hingga media sosial.
Adapun berita mengenai hilangnya Angeline beragam sudut pandang, mulai dari Angeline yang
merupakan anak angkat, hingga berita mengenai Angeline yang merupakan korban salah asuh,
yang dipekerjakan oleh Ibu angkatnya Margariet untuk memelihara ayam dan sebagainya. Ada
pula perkembangan berita adalah Angeline yang diberitakan tidak mendapat perlakuan yang
manusiawi pergi kabur dari rumah hingga dijemput ibu aslinya. Namun diketahui bahwa opini
publik yang terbentuk di sosial media adalah Angeline anak angkat yang dipekerjakan dan
diperlakukan dengan penuh kekerasan oleh ibu angkatnya.
Perkembangan kasus semakin hangat dengan kehadiran pihak-pihak ketiga dari
pemerintah seperti KPAI, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Pemberdayaan
Perempuan yang dinilai tidak disambut cukup baik oleh pihak keluarga. Opini publik pun
semakin berkembang di mana dinilai keluarga memiliki andil dari hilangnya Angeline ini. Hal
yang cukup membuat netizen semakin beropini adalah walau keluarga terkesan menolak
bantuan dari pihak pemerintah namun keluarga melakukan penggalangan dana untuk Angeline
melalui media sosial facebook, dan akun lainnya.

Gambar 2. Akun Penggalangan Dana untuk Mencari Angeline

Kasus ini mulai menarik perhatian pada saat jasad Angeline ditemukan tertanam di
pekarangan rumahnya sendiri. Pemberitaan maupun informasi berkembang semakin liar di
media sosial. Informasi yang tersebar ada yang berupa tudingan hingga hujatan kepada pihak
keluarga, padahal belum terdapat informasi resmi dari kepolisian. Opini publik di media sosial
adalah Angeline dibunuh oleh ibu angkatnya Margariet.
Namun opini publik di media sosial ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang
diungkapkan kepolisian di mana tersangka adalah Agus Tey asisten rumah tangga di rumah
Margariet yang bertugas membantu Margariet mengurus ayam. Namun walau kepolisian telah
mengungkapkan Agus Tey sebagai tersangka, opini publik di media sosial tetap tidak berubah,
mereka tetap menghakimi Margariet sebagai otak dari pembunuhan Angeline.
Gambar 3. Salah satu Status di Sosial Media terkait Angeline

Opini publik mengenai pelaku utama adalah ibu angkatnya Margariet berjalan terus
walau Kepolisian pada awalnya hanya menetapkan Margariet sebagai tersangka penelantaran
anak. Bahkan kepolisian menilai proses penyelidikan yang mendapat sorotan nasional ini penuh
dengan tekanan, terutama dari media. Media dinilai ingin segera mendapatkan berita bahwa
Margariet adalah tersangka utama dari kasus ini.
Dalam kasus Angeline, media sosial berperan sebagai opinion maker, di mana terdapat
realitas yang dikonstruksi oleh media sosial. Realitas ini dapat dikatakan sebagai realitas media
sosial. Realitas media sosial terbentuk melalui interaksi yang terjadi di media sosial, dan
kemudian diyakini sebagai kebenaran bagi para netizen. Adapun realitas media sosial yang
terbentuk dalam kasus Angeline adalah, (1) Angeline adalah korban penelantaran anak oleh ibu
angkatnya Margariet, (2) Agus Tey hanyalah kambing hitam dari konspirasi pembunuhan
terhadap Angeline, (3) Margariet adalah ibu angkat yang membunuh Angeline dengan motif
harta, dan sebagainya.

Pengaruh Opini Publik (Realitas) Sosial Media atas Agenda Setting Media Cetak di Bali

Baik TribunBali maupun SuaraBali mengakui bahwa kini ruang redaksi sudah berubah, di
mana dalam menentukan isu atau berita yang akan cetak biasanya dipengaruhi oleh beberapa
hal, di antaranya adalah media sosial atau isu di sosial media. Tribun Bali adalah salah satu
media cetak harian yang cukup progresif dan cukup aktif dalam media sosial. Sedangkan
SuaraBali adalah adalah media cetak yang terbit dwimingguan yang juga aktif di media sosial.
Kedua media ini adalah media yang bermain di multiplatform tidak hanya media cetak saja
namun juga media online dan media sosial. Menurut Sunarko, Pemimpin Redaksi TribunBali,
TribunBali bahkan telah memiliki media online dua minggu sebelum TribunBali terbit pertama
kali pada tanggal 3 April 2015.

“Memiliki media kini harus multiplatform, karena harus diakui bahwa telah
terjadi stagnansi pembaca media cetak, dan peningkatan konsumsi media
online dan sosial media”

Sunarko, Pemimpin Redaksi TribunBali

Oleh karena itu strategi dalam mengembangkan dan menangkap audiens adalah dengan
adanya konvergensi media. Namun dengan adanya multiplatform media, media pun tetap
harus bisa untuk saling pelengkap dan pendorong bukan media yang saling mematikan.
Menurut Sunarko, Pemimpin Redaksi TribunBali, perlu adanya sinergi antara media-media
tersebut. Salah satu cara untuk saling melengkapi adalah media sosial digunakan sebagai
indikator dan referensi isu di media cetak. Hal ini diakui pemimpin umum Suara Bali, Hery
Indrawan.
“Kita biasa mengukur interest publik, mencari tahu apa yang menjadi
perhatian publik, ini melalui media sosial seperti apa sih yang menjadi top
viewer atau issued apa yang trending atau hits setiap bulannya”

Hery Indrawan, Pemimpin Umum Suara Bali

Media sosial dan media online tentu saja memilki kelebihan dalam beberapa aspek
dibandingkan media cetak namun media cetak untuk tetap hidup harus mampu mencari celah
agar media cetak tidak tersalip oleh media online. Media cetak memiliki keleluasaan space
pemberitaan dibandingkan media online, oleh karena itu media cetak saat ini harus dapat
berpikir lebih cerdas dalam mengemas berita secara mendalam dan memberikan informasi
yang baru yang tidak termuat di media online atau berkembang di sosial media.
“Kini kita kadang harus menahan bahan atau embargo untuk tidak dimuat
terlebih dahulu di on line, untuk kita simpan besok naik cetak, kita harus
mencari lebih, lebih dalam, lebih maju..”
Sunarko, Pemimpin Redaksi TribunBali

Media sosial pun diharapkan dapat menjadi rujukan isu, namun diakui kadang kala yang
menjadi trend di media sosial menjadi hal yang penting pula untuk didiskusikan apakah isu
tersebut layak naik di media cetak. Hery menjelaskan pihaknya memiliki staf khusus yang terus
memantau perkembangan isu di sosial media.
“Kami tidak hanya memantau di media sosial yang telah kami punya
namun juga memantau di sosial media lainnya yakni group, twitter dan
facebook, jadi tidak hanya melihat apa yang menjadi perhatian di Bali saja
namun juga di seluruh Indonesia”

Hery Indrawan, Pemimpin Umum Suara Bali

Begitu pula halnya dengan kasus Angeline. Kasus ini langsung menjadi berita bersambung di
kedua media. Kasus ini menjadi isu tidak hanya di Bali saja namun juga isu nasional. Kedua
media cetak yang memiliki kedekatan secara geografis tentu saja berusaha memberikan
informasi yang baru dan cepat. Awalnya berita hilangnya Angeline tidak menempati berita
prioritas, namun dengan berjalannya waktu di mana telah menjadi kehebohan di dunia maya,
maka berita ini terus menjadi berita utama. Informasi yang beredar di media sosial pun semakin
liar.

“Kami sebenarnya tidak ingin terpengaruh pada pendapat orang


kebanyakan di facebook ya, karena menurut kami pendapat orang
kebanyakan di facebook itu cenderung liar tidak berdasar, namun viewers
atau clickers lebih menyukai judul-judul yang bombastis, judul-judul
hanya menjadi triggerr”

Hery Indrawan, Pemimpin Umum Suara Bali

Hery menjelaskan pertama kali SuaraBali tidak begitu ingin terjebak oleh realitas yang tercipta
atau opini publik di sosial media mengenai kasus Angeline. SuaraBali tidak ingin menjadi media
yang provokatif dengan mengeluarkan judul-judul yang bombastis walau tidak sesuai dengan isi
dari beritanya. Hery menjelaskan SuaraBali berusaha untuk tetap membuat berita berbasis
pada realitas sosial atau bukti-bukti dan fakta hukum. Namun berdasarkan pantauan dari tim
SuaraBali, berita yang arah pemberitaannya sejalan dengan realitas di sosial media akan
mendapat tanggapan yang lebih besar dibanding sebaliknya.

“Kejadian angeline ini diakui belum ada fakta-fakta hukum mengenai


tersangka namun orang di media sosal cenderung telah menghakimi, tanpa
membaca beritanya juga orang biasanya langsung berkomentar”

“Kami akui kami pernah mengangkat isu yang hampir tidak bertentangan
dengan opini para netizen dalam kasus Angeline, apa yang terjadi adalah
kami seperti dihujat di online dan di FB”
Hery Indrawan, Pemimpin Umum Suara Bali

Hal ini membuat kedua media membuat arah pemberitaan sesuai dengan realitas yang tercipta
di sosial media. Arah atau isu yang dicari di lapangan pun yang memiliki arah sejalan dengan
yang terbentuk di sosial media. Dalam hal in media dapat dikatakan melakukan praktik market
driven journalism. Di mana praktik-praktik jurnalistik yang dilakukan berdasarkan keinginan
pasar.

“Ya kita penuhi saja keinginan pasar, ya kita ikuti selera pasar ya.. pasar kita
kan pembaca kita, kalau itu yang diinginkan pasar ya berikan saja., asal kita
tahu kok batasannya”
Sunarko, Pemimpin Redaksi TribunBali

Sunarko mengakui bahwa media cetak yang beredar di Indonesia lebih cenderung kea rah
pragmatis. Hal ini dilakukan untuk tetap dapat bertahan hidup. Media besar seperti Tempo atau
Kompas dinilai tidak memiliki tantangan ini sehingga dinilai masih dapat memegang teguh
idealism mereka. Sedangkan media cetak lainnya tentu saja masih cenderung pragmatis. Maka
tidak jarang arah pemberitaan maupun isu yang dimuat di media cetak disesuaikan dengan
selera atau keinginan pasar. Di mana media cetak mengetahui selera atau keinginan pasar
adalah melalui sosial media.
“Ya kami akui apabila kami memberitakan berita yang sesuai dengan opini
di online atau social media maka pembacanya tinggi, yang share atau like
juga banyak, cukup tinggilah dibanding apabila berita kita bertentangan
dengan opini yang ada di sosial media”

Hery Indrawan, Pemimpin Umum Suara Bali


Namun Sunarko mengakui kerap kali sosial media dijadikan ajang trial and error dalam
pengembangan sebuah isu baru. Jadi sosial media tidak selalu menjadi sumber di sini namun
juga media sosial menjadi penerima. Sunarko menyatakan seringkali mencoba melepas sebuah
isu melalui sosial media. Apabila isu ini mendapat perhatian lebih dari netizen maka isu ini
kemudian dapat digarap lebih lanjut untuk naik cetak. Namun Sunarko juga mengakui bahwa
tidak semua isu di media sosial dapat naik atau mendapat tanggapan yang positif di media
cetak. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah keberlanjutan isu
tersebut, dan dampak dari isu tersebut.

DISKUSI

Berdasarkan hasil temuan di lapangan yang telah dipaparkan di atas, maka dari model Agenda
setting yang dikemukakan di atas terdapat penambahan satu lagi agenda yakni agenda di sosial
media. Agenda sosial media yang dimaksud adalah konstruksi realitas yang terbentuk di media
sosial. Dalam kasus ini terbukti bahwa isu atau opini publik atas kasus pembunuhan Angeline
mempengaruhi agenda media. Isu atau opini publik telah menjadi agenda besar di sosial media,
walau dapat realitas yang terbentuk di sosial media cenderung liar dan tidak mendasar. Namun
dalam perkembangannya pembaca media cenderung untuk membaca informasi yang ia
inginkan atau yang ia yakini benar. Teori information seeking menyatakan bahwa konsumen
atau audiens cenderung akan menghindari informasi yang bertentangan dengan yang ia
inginkan. Dalam hal ini, media yang pragmatis, mencoba selalu mengikuti keinginan atau opini
dari pembaca maka informasi yang disajikan pun mengikuti opini di sosial media.

Oleh karena itu, terdapat satu bagian lagi dalam bagan agenda setting yakni adanya Agenda
Media sosial. Hal ini dapat dilihat dalam gambar bagan di bawah ini:

Agenda Sosial Agenda Agenda Agenda


Media Media Publik Kebijakan
Bagan. 2. Bagan Agenda Sosial Media Mempengaruhi Agenda Media

Teori Uses and Gratifications juga menyatakan bahwa pola konsumsi media massa dipengaruhi
oleh kepuasan konsumen itu sendiri. Dalam kasus pembunuhan Angeline, diketahui bahwa
pembaca memiliki kecenderungan untuk membaca berita-berita yang memuaskan
keinginannya. Hal ini menyebabkan pembaca pada akhirnya hanya akan menerima informasi
yang ia inginkan. Apabila hal ini terjadi pada kasus yang menjadi pro kontra, maka pembaca
tidak pernah membaca informasi yang balanced atau cover both sides. Hal ini dapat membawa
dampak, di mana kalau pembaca hanya baca yang provokatif maka mereka para pembaca tidak
akan mendapatkan informasi apapun.

KESIMPULAN

Terdapat beberapa kesimpulan dari penelitian ini, yakni media sosial memiliki pengaruh
terhadap agenda setting media cetak. Isu yang terkonstruksi di media sosial memengaruhi secara tidak
langsung isu yang akan diangkat melalui agenda setting sebuah media cetak. Hal ini terjadi di media
cetak harian maupun tabloid dwimingguan seperti Tribun Bali dan Suara Bali. Agenda di sosial media
memiliki pengaruh atas agenda media. Perubahan ini juga didorong oleh perubahan pola konsumsi
media di mana kini audiens dapat lebih aktif dalam memilih dan memilah informasi. Dampak dari
perubahan pola konsumsi yang hanya membaca dan membagikan informasi yang diinginkan
memengaruhi pola media cetak untuk lebih bersikap pragmatis. Maka dampak luas dari perubahan pola
konsumsi media seperti ini adalah konsumen menjadi audiens yang berpotensi kehilangan informasi
yang lengkap dan tidak menjadi konsumen yang bijak.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anwar. (2010). Opini Publik. Jakarta : Gramata Publishing


Baran, Stanley. J & Davis, Dennis K. (2010). Teori Dasar Komunikasi, Pergolakan dan Masa
Depan Massa. Jakarta : Salemba Humanika
Berger, Peter L. & Thomas, Luckmann. (1966). “The Social Construction of Reality. A Treatise in
the Sociology of Knowledge”.
Bungin, Burhan. (2008). Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi, dan Keputusan Konsumen serta Krtitik terhadap Peter L. Berger &Thomas
Luckmann. Jakarta : Kencana
Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group
Creswell, J. W. (1998). Qualitatif Inquiry and Research Design. California : Sage Publications, Inc
Djuarsa Sendjaja, Sasa.( 2002). Teori Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka
Kriyantono, Rachmat.( 2012). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Tamburaka, Apriadi. (2012). Agenda Setting Media Massa. Jakarta : RajaGrafindo

You might also like