Professional Documents
Culture Documents
Gender Gapdalampenyerapan Tenaga Kerja Formal
Gender Gapdalampenyerapan Tenaga Kerja Formal
Gender Gapdalampenyerapan Tenaga Kerja Formal
net/publication/328449258
CITATIONS READS
0 4,374
2 authors, including:
Ema Tusianti
Statistics Indonesia
12 PUBLICATIONS 4 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
POLICY BRIEF PENINGKATAN KINERJA PERTANIAN INDONESIA MENUJU KEDAULATAN PANGAN View project
All content following this page was uploaded by Ema Tusianti on 23 October 2018.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan gender gap (ketimpangan gender) dalam
penyerapan tenaga kerja formal dan membandingkan faktor-faktor yang memengaruhi
peningkatan tenaga kerja formal antargender. Penelitian ini menggunakan analisis deksriptif
dan inferensia dengan model multilevel panel. Hasil analisis deskriptif menunjukkan masih
terdapat ketimpangan penyerapan tenaga kerja formal antara laki-laki dan perempuan
berdasarkan berbagai karakteristik (daerah tempat tinggal, lapangan usaha, pendidikan dan
akses terhadap pelatihan kerja). Sementara analisis multilevel panel menunjukkan bahwa rata-
rata lama sekolah, penduduk usia produktif, pengeluaran per kapita, pelatihan, PDRB dan share
industri dalam PDRB berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja formal baik
laki-laki maupun perempuan.
Kata Kunci: ketimpangan gender, tenaga kerja formal, daya saing, multilevel, panel
Abstract
This research aims to analyse gender gap on formal employment and influential factors of
formal employment by gender. By harnessing descriptive analysis this study reveals that gender
gap exists in some characteristics (location, economic sector, education level, and access to
training). Meanwhile, multilevel panel analysis shows that mean year of schooling, population
of productive age, per capita expenditure, training accessibility, GRDP and manufacture share
on GRDP significantly determine number of female and male working on formal status.
Key Words: gender gap, formal employment, competitiveness, multilevel, panel
PENDAHULUAN
Masih tingginya proporsi sektor informal dalam perekonomian menjadi tantangan
informal menurun selama periode sepuluh tahun terakhir, namun masih terdapat banyak
1
Dipresentasikan pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ke XX di Trans Luxury Hotel Bandung, 9
Agustus 2018, file presentasi di http://kongres.iseibandung.or.id/download/
1
permasalahan pada sektor informal, di antaranya adalah tidak adanya jaminan hak-hak dan
proteksi sosial bagi para pekerjanya (World Bank, 2011; ILO, 2018; Vanek, dkk, 2014). Hal ini
layak (decent work) untuk semua sebagai target pembangunan (United Nations, 2014). Dalam
RPJMN 2014-2019, menciptakan pekerjaan layak bagi semua golongan merupakan bagian dari
Selama kurun waktu satu dasawarsa terakhir, jumlah angkatan kerja perempuan memiliki
pertumbuhan yang cukup tinggi. Selama periode 2014-2017 saja, angkatan kerja perempuan
rata-rata tumbuh 2,09 persen per tahun, jauh di atas angkatan kerja laki-laki yang hanya 1,43
persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak kaum hawa yang terlibat dalam
memproduksi barang dan jasa. Namun sayangnya status pekerjaan perempuan justru masih
banyak bersifat informal. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)
Agustus 2017, persentase perempuan di sektor informal sebanyak 61,37 persen, lebih tinggi
dari jumlah tenaga kerja laki-laki pada status yang sama yang hanya 54,34 persen.
Namun demikian, secara komposisi, proporsi perempuan yang menjadi pejabat, manajer
dan tenaga profesional, pada periode 2010-2016 meningkat cukup pesat. Pada tahun 2010,
perempuan yang menjadi pimpinan dan tenaga profesional masih berada pada posisi 44,02
persen, enam tahun kemudian sudah berada pada posisi 47,59 persen (BPS & KPPPA, 2017).
Artinya, secara komposisi jumlah perempuan pada posisi ini semakin mengurangi porsi tenaga
kerja laki-laki pada posisi yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa daya saing
2
66,46
64,95 65,22
68,84 64,13
62,22 61,84 61,37
64,66
59,78
57,25 57,02 56,52
55,11 54,95 54,34
Laki-laki Perempuan
Salah satu ukuran lain untuk melihat perbandingan daya saing perempuan adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) menurut jenis kelamin. Dalam periode 2010-2016, IPM
perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan laki-laki (Gambar 2). Namun, kecepatan
capaian IPM perempuan lebih tinggi dari laki-laki (BPS & KPPPA, 2017). Dengan kata lain,
66,98 67,44
65,56 66,27
64,83
63,43 63,96
3
kesenjangan (ketimpangan) akses ekonomi bagi perempuan (BPS & KPPPA, 2016). Persoalan
ketimpangan gender dalam ekonomi tidak hanya sekedar terlibat atau tidak terlibatnya
perempuan dalam pasar tenaga kerja, tetapi juga ketika perempuan telah memasuki dunia kerja.
Faktanya, upah tenaga kerja perempuan cenderung lebih rendah dari laki-laki meskipun sama-
sama dalam status informal atau informal (Vanek, dkk, 2014 & World Bank, 2011).
Sejumlah faktor turut berpengaruh dalam membatasi keterlibatan perempuan dalam jenis
pekerjaaan tertentu. Banyak di antara jenis pekerjaan perempuan dicirikan dengan karakteristik
seperti paruh waktu (OECD, 2008), kasual, tidak tetap dan tidak menentu (World Bank, 2011),
musiman dan bahkan pekerjaan rumahan (home-based jobs) (ILO, 2018 & Vanek, dkk, 2014)
atau disebut sebagai pekerjaan informal. Mayoritas perempuan yang memilih bekerja di sektor
informal disebabkan karena pekerjaan tersebut fleksibel dan tidak harus meninggalkan tugas-
tugas rumah tangga (Maloney, 2004). Dengan demikian, tenaga kerja perempuan cenderung
lebih banyak yang tidak memiliki proteksi sosial ekonomi dalam pekerjaannya, dan dibayar
dengan upah lebih rendah dari laki-laki karena kebanyakan bekerja paruh waktu (World Bank,
2011).
penelitian yang dilakukan oleh Klasen dan Lamanna (2009) memperlihatkan bahwa
ekonomi yang hilang akibat ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan sekitar 4 kali lebih
Memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk bekerja di sektor formal
dapat membuat pasar tenaga kerja menjadi lebih kompetitif (World Bank, 2011). Daya saing
tenaga kerja & pool of talent yang dibutuhkan pengusaha perlu variasi (Esteve-Volart, 2009).
Sebagaimana diketahui, karakteristik laki-laki dan perempuan berbeda, tentu hal ini akan
4
memberi warna tersendiri dalam dunia kerja. Di sisi lain, pentingnya pelibatan perempuan
dalam dunia kerja adalah untuk meningkatkan daya saing global (Seguino, 2000). Masuknya
tenaga kerja asing, baik laki-laki maupun perempuan, yang lebih terampil akan semakin
power dalam lingkup domestik (rumah tangga) dan publik, serta mengurangi kekerasan
(SPHPN) 2016 yang dilakukan oleh BPS dan KPPPA, kekerasan fisik dan/ atau seksual lebih
banyak dialami perempuan yang berstatus tidak bekerja (35,1 persen). Selain itu, prevalensi
perempuan (16-64 tahun) yang pernah/sedang menikah dan pernah mengalami kekerasan
ekonomi selama hidup ada sekitar 24,5 persen. Kekerasan ekonomi ini dilakukan oleh
pasangannya.
Dengan melihat latar belakang di atas, penelitian ini akan memfokuskan ketimpangan
gender dalam penyerapan tenaga kerja formal. Pekerjaan formal tersebut mengacu pada konsep
BPS, yaitu pekerjaan dengan status berusaha dengan dibantu buruh tetap/dibayar dan status
karyawan/pekerja/buruh yang dibayar. Secara khusus studi ini juga melihat perubahan gender
gap (ketimpangan gender) penyerapan tenaga formal sebagai salah satu proksi dalam pekerjaan
layak (decent work). Di samping itu, juga menyelidiki faktor-faktor yang memengaruhi
METODE PENELITIAN
Studi ini menggunakan dua pendekatan analisis. Pertama, analisis deskriptif yang berguna
untuk melihat perubahan ketimpangan gender (gender gap) dalam penyerapan tenaga kerja
formal ditinjau dari berbagai faktor pembeda. Data yang digunakan untuk analisis gap adalah
Sakernas 2008-2017 kondisi Agustus. Gap tersebut dihitung dengan formula sebagai berikut:
5
𝑇𝐾𝐹𝑙 𝑇𝐾𝐹𝑝
𝐺𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟 𝐺𝑎𝑝 ∗= ( 𝑥100%) − ( 𝑥100%)
𝑇𝐾𝑙 𝑇𝐾𝑝
Keterangan:
TKFl = Tenaga kerja formal laki-laki
TKl = Total tenaga kerja laki-laki
TKFp = Tenaga kerja formal perempuan
TKl = Total tenaga kerja perempuan
Catatan: *Diadaptasi dari ILO (2018) dalam publikasi Women and Men In The Informal Economy: A
Statistical Picture (Third Edition)
formal menggunakan analisis regresi multilevel panel dengan menggunakan data tahun 2010-
2016 seluruh provinsi di Indonesia. Regresi jenis ini digunakan karena teridentifikasi adanya
struktur data hirarki yakni klasifikasi kawasan Indonesia. Kawasan barat meliputi provinsi-provinsi
di pulau Sumatera, Jawa, dan Bali. Sementara kawasan Indonesia tengah meliputi provinsi-provinsi
yang ada di pulau Kalimantan dan Sulawesi. Selebihnya adalah kepulauan di Nusa Tenggara, kepulauan
Maluku dan Papua yang berada di kawasan timur Indonesia. Adapun data yang digunakan dalam
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sektor informal di Indonesia identik dengan aktivitas ekonomi skala kecil, kurang
produktif dan tidak mempunyai prospek yang menjanjikan. Di sisi lain, situasi menjadi rumit
karena tidak adanya jaminan hak-hak dan proteksi sosial bagi para pekerja sektor informal
(Pitoyo, 2007). Kondisi ini diperparah jika pemerintah lamban memberikan respon,
informal.
Dengan demikian, upaya yang perlu diangkat segera adalah bagaimana meningkatkan
jumlah tenaga kerja formal khususnya perempuan, sehingga lambat laun tenaga kerja di sektor
informal akan mulai berkurang. Oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari faktor-faktor
apa saja yang diduga kuat membedakan dan memengaruhi dinamika jumlah tenaga kerja
Perbandingan kontribusi tenaga kerja formal terhadap total tenaga kerja antargender
menunjukkan pola yang searah dengan indikator kesetaraan gender dan IPM. Di Sulawesi
Utara, DKI Jakarta, Sulawesi Tengah dan Gorontalo, justru share tenaga kerja formal laki-laki
lebih rendah di bandingkan perempuan. Hal ini dapat dimaklumi. Berdasarkan data BPS &
KPPPA (2017), Sulawesi Utara dan DKI Jakarta merupakan provinsi yang memiliki Indeks
Pemberdayaan Gender (IDG) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) pada urutan ke lima
yang bekerja sebagai tenaga manajer, profesional, administrasi, teknisi tertinggi. Jumlahnya
mencapai 59,55 persen terhadap keseluruhan penduduk yang bekerja. Artinya rasio antara
7
tenaga kerja perempuan dan laki-laki dengan jenis pekerjaan tersebut sebesar 60:40. Di samping
itu, Gorontalo juga dikenal provinsi yang memiliki persentase anggota DPRD perempuan
Jika Laki-laki > Perempuan, gap 0-2,5% Jika Perempuan > Laki-laki, gap 0-2,5%
Jika Laki-laki > Perempuan, gap 2,5-5% Jika Perempuan > Laki-laki, gap 2,5-5%
Gambar 3. Gender Gap dalam Share Tenaga Kerja Formal terhadap Total Tenaga Kerja (%)
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2017 (Gambar diolah)
Sebaliknya, Papua dan Papua Barat yang memiliki IPG yang terendah di Indonesia,
memiliki gender gap dalam penyerapan tenaga kerja formal yang paling buruk. Hal ini
mengisyaratkan bahwa ketimpangan kualitas SDM antara laki-laki dan perempuan turut
menentukan ketimpangan penyerapan lapangan kerja yang berkualitas dan responsif gender.
Uniknya provinsi yang memiliki peringkat IPM tertinggi di Indonesia seperti Bali dan
Kalimantan Timur justru memiliki gender gap serapan tenaga kerja formal yang tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa pembangunan kualitas SDM yang telah diupayakan masih belum inklusif.
Gender Gap dalam Penyerapan Tenaga Kerja Formal Menurut Berbagai Karakteristik
Ditinjau dari berbagai karakteristik, gender gap dalam penyerapan tenaga kerja formal
terlihat cukup nyata. Berdasarkan hasil olah Sakernas 2008-2017 diperoleh fakta bahwa gender
8
gap penyerapan tenaga kerja formal di perkotaan semakin meningkat. Tren ketimpangan yang
meningkat juga terlihat dari penyerapan di Sektor Industri. Bahkan, pada sektor yang relatif
padat tenaga kerja ini, gender gap paling besar dibandingkan sektor lainnya.
Sementara itu, serapan tenaga kerja formal pendidikan SMA ke atas pada laki-laki
maupun perempuan gap nya relatif kecil. Demikian halnya dengan pelatihan kerja yang pernah
didapatkan tenaga kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan kerja dapat
10,0% 22,0%
8,0% 17,0%
6,0%
12,0%
4,0%
7,0%
2,0%
2,0%
0,0%
-3,0%
10,0% 10,0%
8,0% 8,0%
6,0% 6,0%
4,0%
4,0%
2,0%
2,0%
0,0%
0,0%
-2,0%
-2,0%
-4,0%
Gambar 4. Gender Gap dalam Share Tenaga Kerja Formal terhadap Total Tenaga Kerja
Menurut Berbagai Karakteristik (%)
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2008-2017 (Gambar diolah)
9
Determinan Tenaga Kerja Formal
Ada dua model (persamaan dari regresi multilevel panel) yang terbentuk berdasarkan
jenis kelamin yakni model statistik untuk laki-laki dan model statistik untuk perempuan. Hasil
estimasi paramater dari kedua model ini kemudian dibandingkan agar diketahui faktor mana
yang dominan berpengaruh terhadap tenaga kerja formal laki-laki dan perempuan. Setelah
melalui serangkan pengujian baik simultan maupun parsial, didapatkan kedua model signifikan
Kedua model (persamaan statistik), baik pada laki-laki dan perempuan menunjukkan
bahwa pengaruh rata-rata lama sekolah terhadap tenaga kerja formal adalah positif dengan nilai
koefisien yang hampir sama, yakni 0,89. Jika rata-rata lama sekolah meningkat 1 persen, maka
akan berkontribusi meningkatkan tenaga kerja formal baik pada laki-laki dan perempuan
masing-masing sebesar 0,89 persen. Angka ini cukup besar. Peran pendidikan sangat
10
menentukan dalam meningkatkan akses dalam pasar kerja. Kajian yang dilakukan World Bank
Di Negara Afrika dan Asia Pasifik, perbedaan jumlah pekerja di sektor formal sangat
nyata antara mereka yang menamatkan sekolah menengah ke atas dengan mereka yang tidak
sekolah atau hanya tamat SD (ILO, 2018). Hal ini disebabkan pekerjaan formal mensyaratkan
pendidikan tertentu. Di Indonesia, pada tahun 2016 rata-rata lama sekolah perempuan sebesar
7,84 tahun, sementara pada laki-laki mencapai 7,95 tahun (BPS & KPPPA, 2017). Faktor inilah
yang dapat menyebabkan serapan tenaga kerja formal perempuan lebih rendah dibanding laki-
laki. Oleh karena itu, memberikan kesempatan sekolah seluas-luasnya terutama bagi
perempuan adalah suatu keharusan dalam mengejar ketertinggalan dari kaum laki-laki.
Pengaruh variabel penduduk usia produktif terhadap tenaga kerja formal menunjukkan
dua hal yang berbeda pada kedua model. Pada model statistik perempuan, semakin banyak
jumlah penduduk usia produktif akan semakin banyak jumlah perempuan pada perkerjaan
formal. Jika penduduk usia produktif perempuan tumbuh sebesar 1 persen maka akan mampu
Faktor teknologi seperti terciptanya peralatan listrik rumah tangga dan alat transportasi
yang cepat dan efisien menyebabkan lebih banyaknya waktu luang perempuan (Ramey, 2009);
(Masse, 2003). Hal tersebut memberikan akses lebih luas pada kaum hawa untuk turut bersaing
Sementara itu, pada laki-laki, hubungan antara penduduk usia produktif dengan
penyerapan tenaga kerja formal bersifat negatif. Hal ini bisa dimungkinkan terjadi karena pada
provinsi tertentu sudah berada pada kondisi jenuh, sehingga pertumbuhan penduduk usia
11
produktif laki-laki tidak serta merta meningkatkan tenaga kerja formal. Pada situasi ini
penduduk usia produktif laki-laki bertambah, namun ketersediaan pekerjaan formal terbatas
sehingga tidak mampu menyerap semua tenaga kerja. Pada akhirnya mereka akan masuk ke
Diagram pencar antara penduduk usia produktif dengan jumlah tenaga kerja formal juga
menunjukkan kesimpulan yang sejalan (lihat pada lampiran). Diagram pencar antara jumlah
laki-laki usia produktif dengan jumlah pekerja formal ada penyimpangan pada beberapa titik.
Pada saat penduduk usia produktif meningkat jumlah tenaga kerja formal justru ada yang
menurun. Jika ditelaah lebih dalam, beberapa provinsi di Kalimantan dan Sulawesi mengalami
fluktuasi tenaga kerja formal. Pada periode 2010-2017 beberapa perusahaan pertambangan
melakukan PHK (Garaga, 2017), sehingga diduga kuat ada fenomena migrasi tenaga kerja
Pengeluaran per kapita terhadap tenaga kerja formal berpengaruh positif dan signifikan.
Pengaruh ini lebih besar terjadi pada laki-laki daripada perempuan, 0,83 dibandingkan 0,27.
Jika pengeluaran per kapita meningkat 1 persen, maka akan meningkatkan jumlah tenaga kerja
formal laki-laki sebanyak 0,83 persen. Sedangkan pada perempuan, pengaruhnya hanya 0,27
persen.
Hubungan ini dapat dijelaskan melalui tingkat kesejahteraan. Pengeluaran per kapita
sendiri adalah proksi dari pendapatan atau tingkat kesejahteraan secara ekonomi. Kesejahteraan
yang tinggi memberikan peluang lebih besar bagi seorang untuk meningkatkan keahlian dan
pendidikan. Sementara keahlian dan pendidikan dapat mendorong pekerja masuk pada
pekerjaan formal. Dari sisi makro dapat dijelaskan bahwa kesejahteraan suatu daerah
12
berhubungan dengan ketersediaan pekerjaan yang laik (decent work) yang merupakan ciri dari
Kedua model menunjukkan bahwa PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap
tenaga kerja formal. Jika ekonomi tumbuh sebesar 1 persen, mampu mendorong tumbuhnya
tenaga kerja formal laki-laki sebesar 0,12 persen dan tenaga kerja formal perempuan sebesar
0,10 persen. Umumnya kondisi perekonomian yang terjaga serta terus tumbuh, mampu
mendorong jumlah tenaga kerja formal di suatu daerah. Ekonomi tumbuh memberi arti situasi
ekonomi yang stabil, sehingga akan mendorong ketersediaan pangsa pekerjaan formal di pasar
ekonomi yang hilang akibat ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan sekitar 4 kali lebih
besar dibandingkan ketimpangan gender dalam pendidikan (Klasen & Lamanna, 2009).
Jumlah tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan merupakan proksi dalam mengukur
seberapa besar jumlah tenaga kerja yang berkualitas dari sisi skill. Semakin besar jumlah tenaga
kerja yang mendapatkan pelatihan maka semakin tinggi pula tingkat kualitas dari tenaga kerja.
Pada model statistik laki-laki dan perempuan, terbentuk elastisitas pelatihan sebesar 1,17 dan
0,48. Artinya, pengaruh jumlah tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan terhadap penyerapan
tenaga kerja sektor formal lebih besar pengaruhnya pada laki-laki. Pengaruh pelatihan pada
tenaga kerja laki-laki juga lebih besar dari pengaruh pendidikan. Hal ini dapat dimaklumi,
karena pendidikan belum menjamin akses pada pekerjaan yang lebih produktif (ILO, 2018)
Selain dapat ditujukan pada mereka yang sudah bekerja, pelatihan kerja juga dapat
diberikan kepada para pencari kerja, agar mereka mempunyai peluang lebih besar memasuki
13
pekerjaan formal atau bahkan dapat menciptakan suatu pekerjaan formal. Pelatihan menjadi
sangat penting bagi tenaga kerja terlebih lagi pada pekerjaan formal. Pelatihan terbukti
meningkatkan keahlian bagi tenaga kerja, sekaligus meningkatkan performance dan daya saing
Pengaruh Share Sektor Industri Dalam PDRB terhadap Tenaga kerja Formal
Pengaruh share sektor industri dalam PDRB terhadap tenaga kerja formal adalah positif
dengan nilai koefisien sebesar 0,00467 dan 0,01114. Karena struktur data dari share sektor
industri dalam bentuk persen, sementara modelnya adalah fungsional, maka agar dapat
diinterpretasikan sebagai elastisitas, maka dikali dulu dengan nilai 100. Dengan demikian,
pertumbuhan 1% share sektor industri dalam PDRB mampu meningkatkan tenaga kerja formal
laki-laki sebesar 0,47 persen dan tenaga kerja formal perempuan sebesar 1,11 persen.
Pada model perempuan, besaran 1,11 persen dari share sektor industri dalam PDRB
merupakan yang paling besar di antara variabel lainnya. Pada banyak kondisi tenaga kerja
formal di sektor industri sebagian besarnya diperlukan kekhususan dari tenaga kerja
perempuan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perempuan dapat mengerjakan
pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, kesabaran dan kejelian. Hal ini terjadi di negara
Australia, pada sektor industri pekerja perempuannya cukup mendominasi (Australian Human
Rights Comission, 2013). Inilah sebabnya jika ingin meningkatkan peran perempuan sebagai
tenaga kerja formal, maka perlu didorong industri yang padat tenaga kerja dapat merekrut
14
SIMPULAN DAN SARAN
Rata-rata lama sekolah, jumlah penduduk usia produktif, pengeluaran perkapita, PDRB,
pelatihan kerja, dan kontribusi industri dalam PDRB mempunyai pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap tenaga kerja formal laki-laki dan perempuan. Hanya jumlah penduduk usia
produktif pada model (persamaan statistik) laki-laki yang justru menurunkan penyerapan
tenaga kerja formal. Jika memperhatikan latar belakang penulisan ini, bahwa masih tinggi
proporsi tenaga kerja informal pada perempuan, maka rekomendasi penelitian adalah
bagaimana peran serta perempuan pada dunia kerja di sektor formal dapat meningkat.
Setidaknya ada tiga faktor yang berperan besar dalam mendongkrak tenaga kerja formal
perempuan. Tiga variabel terrsebut berdasarkan urutan pengaruh terbesar adalah share industri
dalam PDRB, rata-rata lama sekolah dan tenaga kerja yang mendapatkan pelatihan.
Industri yang sifatnya padat tenaga kerja hendaknya memberikan kesempatan yang lebih
besar bagi perempuan. Terlebih lagi saat ini Indonesia sedang mengalami proses transformasi
ke sektor industri. Sementara dari sisi individu, perempuan harus diberikan kesempatan
yang lebih besar. Secara makro, marginal return investasi pendidikan perempuan terhadap
ekonomi lebih besar dari laki-laki karena adanya dampak langsung dan tak langsung (World
Jika ketiga hal ini bersinergi maka kesenjangan gender dalam status pekerjaan formal
akan mengecil. Pada saat bersamaan, daya saing perempuan dalam dunia kerja dan kualitas
perempuan juga akan meningkat. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tercipta juga
inklusif, dengan memberikan akses pekerjaan layak bagi semua (laki-laki dan perempuan)
secara berkeadilan.
15
Sinergitas peningkatan kesempatan kerja layak bagi perempuan terutama dengan
meingkatkan peran industri padat tenaga kerja dan pendidikan bagi kaum perempuan akan
mewujudkan empat tujuan SDGs sekaligus, yaitu tujuan 5 (mencapai kesetaraan gender dan
dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua)
tujuan 9 (mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan), dan pada akhirnya tujuan
REFERENSI
16
Masse, R. (2003). Energy, Poverty, and Gender: Impacts of Rural Electrification on Poverty
and Gender in Sri Lanka. Washington DC: Wolrd Bank.
OECD. (2008). Gender and Sustainable Development MAXIMISING THE ECONOMIC,
SOCIAL AND ENVIRONMENTAL ROLE OF WOMEN. Paris: OECD.
Pitoyo, A. J. (2007). Dinamika Sektor Informal di Indonesia: Prospek, Perkembangan dan
Kedudukannya dalam Sistem Ekonomi Makro. Populasi Vol. 18 No. 2, 129-146.
Ramey, V. A. (2009). Time Spent in Home Production in the Twentieth-Century United
States: New Estimates from Old Data. THE JOURNAL OF ECONOMIC HISTORY
Volume 69, 1-47.
Seguino, Stephanie. (2000). ‘‘Accounting for Gender in Asian Economic Growth.’’Feminist
Economics 6(3), 27–58.
United Nations. (2014). WORLD SURVEY ON THE ROLE OF WOMEN IN
DEVELOPMENT 2014 GENDER EQUALITY AND SUSTAINABLE
DEVELOPMENT. New York: The Research and Data section of UN Women.
Vanek , J., Chen , M. A., Carré , F., Heintz , J., & Hussmanns, R. (2014). Statistics on the
Informal Economy: Definitions, Regional Estimates & Challenges. Cambridge:
WIEGO.
World Bank.(2001). Engendering Development. Washington, DC: World Bank.
World Bank. (2011). World Development Report 2012 Gender Equality and Development.
Washington DC: The World Bank.
17
LAMPIRAN
A. Diagram Pencar Rata-Rata Lama Sekolah dengan Tenaga kerja Formal
8000000
4000000
Pekerja Formal Perempuan (jiwa)
6000000
3000000
4000000
2000000
2000000
1000000
0
0
4000000
6000000
3000000
4000000
2000000
2000000
1000000
0
4000000
6000000
3000000
4000000
2000000
2000000
1000000
0
0
18
8000000
Gambar D. Diagram Pencar Pengeluaran Perkapita dengan Tenaga kerja Formal
4000000
Pekerja Formal Perempuan (jiwa)
6000000
3000000
4000000
2000000
2000000
1000000
0
0
Gambar E. Diagram Pencar Tenaga kerja yang Mendapat Pelatihan dengan Tenaga kerja
Formal
8000000
4000000
6000000
3000000
4000000
2000000
2000000
1000000
0
Gambar F. Diagram Pencar Share Industri dalam PDRB dengan Tenaga kerja Formal
8000000
4000000
6000000
3000000
4000000
2000000
2000000
1000000
0
0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00
Share Industri dalam PDRB (%) Share Industri dalam PDRB (%)
19