Prospek Sumber Daya Arkeologi Prasejarah Pulau Rote Ndao Dalam Konteks Pengembangan Kawasan Perbatasan

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

PROSPEK SUMBER DAYA ARKEOLOGI PRASEJARAH

PULAU ROTE NDAO


DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN
The Prospect of Prehistoric Archaeology Recources in Rote Ndao Islands Within
Context of Borderline Region Development

Nasruddin

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jln. Raya Condet Pejaten No.4, Jakarta Selatan 12510
Email: undink.anaugi@gmail.com

Naskah diterima : 30 September 2016


Naskah diperiksa : 7 Oktober 2016
Naskah disetujui : 25 Oktober 2016

Abstract. The potential of cultural heritage especially prehistoric sites along the karst hills on
Rote island has significant value in the context of understanding and knowledge about archeology
in East Nusa Tenggara. Cave sites in Rote island were started to be inhabited since the late
Pleistocene and early Holocene, based on the presence of human settlement traces found in the
caves and niches. Another historical evidence was a bronze axe which showed that Rote Island
was a strategic region on Paleometalic era. The fragments of potteries, flakes, animal bones, dan
mollusc shells found in the area sprang some questions if this area was used only as a settlement
or had any other purposes. The aim of this research is to reveal the archaeological resources
owned by the island, along with its geological condition. The method applied in this study is using
field observation (survey) followed by excavation on prehistory sites that represent Rote Ndao
human settlements. Numerous lithic artifacts were gathered for reasearch data, such as flakes,
pottery, and mollusc shell and bone deposits. These data about prehistoric karst in Rote Ndao
island have important value to reveal the migration path, particularly its geographic position as
the foremost island and borderline region between East Timor and Australia.
Keywords: Prehistory, Paleometalik, Borderline region

Abstrak. Potensi warisan budaya terutama situs-situs prasejarah di sepanjang bukit-bukit karst di
Pulau Rote memiliki nilai penting dalam konteks pemahaman dan pengetahuan arkeologi Nusa
Tenggara Timur. Situs-situs gua karst di Pulau Rote, dimulai pada masa akhir Pleistosen dan
awal Holosen dengan adanya jejak-jejak hunian manusia di gua dan ceruk. Bukti historis lainnya
adanya temuan kapak perunggu yang menunjukkan bahwa Pulau Rote merupakan wilayah yang
strategis pada era paleometalik. Ditemukannya berbagai jenis pecahan tembikar, serpih dan
fragmen tulang fauna, sisa-sisa makanan moluska menimbulkan beberapa pertanyaan terhadap
lokasi ini di masa lalu, apakah situs ini memiliki fungsi hunian semata, ataukah mempunyai
fungsi lain. Tujuan penelitian ini untuk mengungkap sumberdaya arkeologi beserta kondisi
geologi yang dimiliki Pulau Rote. Metode yang digunakan yaitu melakukan observasi lapangan
(survei) dan dilanjutkan dengan ekskavasi terhadap situs yang memiliki indikasi kuat sebagai
hunian prasejarah Rote dan dianggap mewakili situs hunian prasejarah Rote Ndao. Dari penelitian
ini diperoleh sejumlah data artefak litik berupa alat-alat serpih, tembikar dan deposit cangkang
moluska dan tulang. Potensi data arkeologi (prasejarah karst) Pulau Rote Ndao memiliki nilai
penting untuk mengungkap jalur migrasi, terutama posisi geografinya sebagai pulau terdepan dan
wilayah perbatasan antara Timor Leste dan Australia.
Kata kunci: Prasejarah, Paleometalik, Wilayah perbatasan

87
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (87-102)

1. Pendahuluan sebagai menghasilkan ikan tuna yang cukup


Kabupaten Kepulauan Rote Ndao besar.
merupakan salah satu dari 92 pulau pesisir Sejak tahun 1936 daerah ini telah
terluar Indonesia, yang terletak di perbatasan diteliti oleh para ahli, selanjutnya penelitian
laut dengan Negara Timor Leste dan Australia dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi
dengan kondisi tertinggal, khususnya Nasional, tetapi potensi sumberdaya
infrastruktur. Kabupaten Kepulauan Rote Ndao arkeologi khususnya arkeologi prasejarah
adalah bagian dari Provinsi Nusa Tenggara belum mendapat perhatian dari pemerintah
Timur (NTT), yang turut membentengi setempat. Seyogyanya data itu menjadi asset
perairan provinsi tersebut, seluas 200.000 km2, dan potensi cagar budaya pemda Kabupaten
dengan panjang garis pantai 5.700 km dari Rote Ndao untuk segera diinventarisasi
negara Timor Leste dan Australia. Sebelum menjadi database kebudayaan yang bersifat
referendum tahun 1999, Wilayah Timor Leste, kebendaan (tangible). Situs prasejarah di
masih merupakan bagian dari Indonesia, wilayah ini merupakan peninggalan arkeologi
dan sudah 15 tahun ini menjadi salah satu yang memiliki kedudukan yang sama dengan
tetangga terdekat Kabupaten Kepulauan Rote data kepurbakalaan lainnya karena termasuk
Ndao. Australia merupakan negara terdekat di bagian penting UU Cagar Budaya No.11 tahun
bagian Tenggara, dengan posisi geografis Rote 2010 yang perlu dilestarikan.
Ndao tampak lebih dekat ke Benua Australia. Kondisi Rote Ndao secara keseluruhan-
Secara geografis Pulau Rote terletak di selatan nya masih terisolasi dan terbelakang, termasuk
Samudera Hindia, letaknya menjadi strategis dari akses darat dan laut. Kabupaten kepulauan
dan penting artinya, karena merupakan salah itu masih sangat tergantung pada eksistensi
satu kabupaten kepulauan terluar, berbatasan armada feri atau jenis kapal yang tetap mampu
langsung dengan perairan Australia. beroperasi selama musim angin barat. Waktu
Sebelah utara dan barat wilayah tempuh langsung melalui transportasi laut
Kabupaten Kepulauan Rote Ndao dibatasi antara Rote Ndao-Kupang, ibukota Provinsi
Laut Sawu, dan merupakan wilayah konservasi NTT, mencapai 5 jam, termasuk untuk rute
alam yang luas di wilayah Indonesia Timur, pelayaran jarak pendek, sedangkan rute
khususnya Provinsi NTT kaya dengan Sumber Kupang ke wilayah lainnya memakan jarak
Daya Alam (SDA), terutama minyak dan tempuh rata-rata 10 sampai 25 jam. Akibatnya,
mineral, serta flora dan fauna, yang menjadi Kabupaten Kepulauan Rote Ndao menjadi
warisan dunia (world heritage). Taman wilayah NTT yang terisolasi, apalagi selama
Nasional Laut Sawu, yang statusnya menjadi musim angin barat. Terbatasnya armada feri
Taman Nasional Perairan, dari luas 3,55 juta yang berjumlah enam kapal untuk melayani
ha, sekitar 2,95 juta ha berada di wilayah seluruh perairan kepulauan di Provinsi NTT
perairan Timor NTT, Rote Ndao, Sabu Raijua, tidak mampu beroperasi selama musim barat,
dan Batek. Kepentingan negara asing terhadap sehingga baik mobilitas warga, barang, maupun
kawasan ini sangat tinggi, yang ditandai jasa benar-benar terhambat selama musim itu
dengan tingginya nilai bantuan mereka, dan (Kathryn A dkk. 2000) .
banyaknya LSM asing dan lokal bekerja Terhambatnya jalur transportasi darat,
sama dalam berbagai proyek konservasi alam. laut, dan udara akibat masalah alam ini
Sebelah timur wilayah perairan Rote Ndao menjadi masalah besar buat Provinsi NTT dan
dibatasi Laut Banda, yang merupakan salah Kabupaten Kepulauan Rote Ndao, oleh karena
satu perairan terdalam di dunia dengan potensi itu, keterpencilan dan ketertinggalan sejak dini
sumber daya alam yang tinggi terutama harus diatasi dengan membuka akses wilayah

88
Prospek Sumber Daya Arkeologi Prasejarah Pulau Rote Ndao dalam Konteks Pengembangan Kawasan Perbatasan, Nasruddin

seluas-luasnya bagi pendatang, dengan sama terjadi pada pada tahun 1960 oleh tim
menyediakan berbagai jenis transportasi. Direktorat Geologi Bandung dan memiliki
Infrastruktur lain, seperti kondisi pelabuhan pula konteks dengan temuan artefak serpih
udara dan laut, jalan raya, angkutan darat, dan dan kapak perimbas. Tidak hanya di daerah
pasokan listrik, hotel, dan sebagainya perlu Flores, temuan fosil fauna Stegodon dan
perhatian dari pemerintah setempat. fosil kura-kura dan 5 tahun kemudian (1969)
oleh Sartono melaporkan temuan barunya
1.1 Latar Belakang Penelitian yaitu fosil Stegodon dari situs Weiawe.
Penelitian arkeologi di Indonesia bagian Temuan tersebut memiliki morfologi lebih
timur, terutama di kawasan Nusa Tenggara kecil bila dibandingkan dengan Stegodon
Timur, tersebar di situs gua-gua Flores bagian trigonocephalus.
barat yang dirintis oleh Th. Verhoeven sejak Penelitian-penelitian arkeo-
tahun 1951-1952. Penelitian yang bersifat paleontologis semakin digiatkan di jalur
eksplorasi terhadap situs-situs prasejarah pulau-pulau Nusa Tenggara Barat hingga di
di wilayah ini pernah pula dilakukan oleh Nusa Tenggara Timur. Akhirnya penelitian
S.Sulaiman, R.P. Soejono, Nies Anggraeni, kerjasama antara Puslit Arkenas dan Geologi
Rokhus Due Awe, dan E.A Kosasih, dan Bandung membuahkan hasil dengan temuan
sejumlah peneliti asing dari Australia, New fosil rahang bawah Stegodon di Sumba pada
Zealand, dan New Caledony. Penelitian bulan Agustus 1978. Fosil tersebut ditemukan
tersebut antara lain ingin mengetahui jejak- oleh Rokhus Due Awe ketika melakukan
jejak kesamaan budaya dan hubungan antara pengamatan di Kampung Watu Mbaka, yaitu
Nusa Tenggara Timur dan wilayah Pasifik sekitar 14 km di sebelah timur Waingapu.
melalui data-data ragam hias tembikar Lapita. Fosil tersebut kemudian dikenal dengan nama
Situs-situs yang dikunjunginya antara lain Stegoodon sumbaensis (Sartono 1982).
Melolo, Leoleba, Lambanapu, dan Liang Bua Usaha memahami kehidupan prasejarah
(Soejono 2008). Nusa Tenggara Timur, terus dikaji dari berbagai
Para peneliti sangat yakin, bahwa sisi, terutama terhadap jejak-jejak hunian
tinggalan budaya di Indonesia bagian timur dan budaya manusia melalui penelitian dan
memiliki keterkaitan budaya dengan Pasifik ekskavasi. Para peneliti seperti Th. Verhooven
yang didasarkan atas temuan kapak perunggu dan Heekeren memfokuskan perhatiannya
tipe Soejono VII yang ditemukan di Pulau di gua-gua Flores barat, dan Flores tengah
Rote. Ragam hias dengan pola wajah (topeng) meliputi situs Rica, Labuanbajo, Warloka,
memiliki kesamaan dengan hiasan tembikar Pegunungan Reo, dan sebelah selatan Riung.
Lapita yang ditemukan di New Galedonia. Arti Di Leang Toge berhasil ditemukan beragam
penting daratan Flores, Sumba, hingga daratan jenis alat-alat serpih bilah seperti pisau-pisau
Timor dan pulau-pulau sekitarnya memang kecil, serut dari kerang, dan perhiasan dari
tidak dapat dipisahkan dengan migrasi fauna kulit kerang mutiara.
dan budaya plestosen yang membuktikan Berdasarkan analisis (Jacob T. 1967),
bahwa wilayah Nusa Tenggara Timur di masa bahwa manusia dari Liang Toge memiliki
ribuan tahun silam, pernah menjadi jembatan ciri-ciri ras Austomelanesid yang ditaksir
kolonialisasi fauna dan manusia yang cukup berumur 3000-4000 SM, sementara penelitian
tua. Menurut Hooijer bahwa di Flores pernah di wilayah Timor dan pulau Rote, antara
berkembang subspecies dari genus Stegodon lain; W.Meyer, Buhler, dan Willems pernah
yang dinamakan Stegodon trigonocephalus melakukan penelitian pada sekitar tahun 1935
florensis (Hooijer 1969). Penemuan fosil yang yang mendahului Th. Veerhoven. Laporan

89
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (87-102)

mereka menyebutkan adanya temuan artefak hingga pulau-pulau terdepan yang berbatasan
prasejarah berupa alat-alat batu serpih dengan dengan Australia, dapat dikonstruksikan
bentuk teknologi yang sederhana dan tidak bahwa manusia yang menghuni daratan Timor
mengalami pemangkasan sekunder. Temuan- termasuk Pulau Rote telah berlangsung cukup
temuan itu berasal dari situs Gua Neoal, tua dan kemudian terjalin hubungan dengan
Dengka, dan Rote Barat. Identifikasi artefak komunitas pendatang pada era pasca neolitik,
serpih tersebut meliputi; pisau, lancipan dan kemungkinan hal tersebut dipengaruhi juga
gurdi yang dibuat dari batuan jasper berwarna oleh budaya Austronesia dengan kehadiran
kuning dan coklat. Ditemukan juga serut artefak kapak perunggu yang memiliki ragam
bertangkai dan alat dari kulit penyu (Soejono pola hias topeng yang sangat unik (Anonim
1961). Ekskavasi yang dilakukan di Timor di 1996). Pada masa prasejarah terutama pasca
beberapa gua di Soe, terutama di Niki-Niki, neolitik sudah terjalin kontak-kontak budaya
berhasil ditemukan beragam jenis artefak yang dengan kelompok Lapita maupun kelompok-
mewakili layer pra-neolitik, periode logam, kelompok lainnya dan perlu dikaji dengan
hingga artefak tembikar bercampur keramik lebih intens lagi.
Cina (Subagus 1991). Berkaitan dengan hal tersebut maka
Ditemukannya berbagai jenis pecahan fokus utama penelitian ini adalah bertujuan
tembikar, serpih dan fragmen tulang fauna, memahami hubungan antara aspek budaya
sisa-sisa makanan moluska menimbulkan dan lingkungan alamnya dengan pendekatan
beberapa pertanyaan terhadap peran lokasi landscape (Mundardjito 1985), sehingga
tersebut di masa lalu, apakah situs ini memiliki diperlukan data penelitian yang meliputi;
fungsi hunian semata, ataukah mempunyai benda-benda arkeologi (artefak dan ekofak),
fungsi lain? fitur dan situs secara kontektual, sedangkan
Berdasarkan hasil-hasil penelitian pengumpulan data lingkungan yang perlu
tersebut di atas, maka daratan Flores, Sabu diperhatikan adalah data lingkungan abiotik

Gambar 1. Peta Pulau Rote Ndao, NTT (Sumber: Rosidi 1996)

90
Prospek Sumber Daya Arkeologi Prasejarah Pulau Rote Ndao dalam Konteks Pengembangan Kawasan Perbatasan, Nasruddin

antara lain; bentuk lahan (lansekap) yang lontar, wisata alam pantai, musik sasando,
meliputi ketinggian tempat, kelerengan, jenis dan topi adat Ti’i Langga-nya, sekarang, ia
tanah, batuan, jarak situs dengan bentang memiliki “gelar” sebagai kabupaten melalui
alam yang diamati. Data lingkungan ini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002.
dimaksudkan sebagai upaya memahami Kabupaten Rote-Ndao mempunyai batas-
hubungan antara aspek lingkungan dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah utara
data arkeologi berdasarkan kepadatan temuan, berbatasan dengan Laut Sawu dan Teluk
keragaman dan kompleksitas temuan. Ungga, sebelah timur Teluk berbatasan
dengan Tanjung Pukuafu, dan LautTimor,
1.2 Gambaran Umum Geografis Pulau sebelah selatan berbatasan dengan Samudera
Rote Indonesia; dan sebelah barat berbatasan
Pada zaman penjajahan, wilayah dengan Laut Sawu.
ini merupakan bagian dari Kleine Sunda Secara geografis, Pulau Rote yang
Eilanden atau pulau-pulau Sunda Kecil dan berjarak sekitar 16 km dari ujung baratdaya
merupakan bagian dari Residentie Timor en Pulau Timor yang dikelilingi oleh Laut Sawu
Onderhorigheden dan Rote Ndao serta pulau di utara dan barat, Laut Timor di timur, dan
sekitarnya merupakan suatu Onderafdeeling Lautan Hindia di selatan. Pulau ini berbentuk
termasuk Pulau Sabu. Ketika lahir Undang- memanjang dengan keletakan membujur,
Undang No.9 Tahun 2002, DPR RI menyetujui kurang lebih, pada arah timur laut-tenggara.
Rote Ndao menjadi satu kabupaten tersendiri, Luas pulau mencapai 1.214,30 Km² dengan
lepas dari Kabupaten Kupang. panjang sekitar 80 km dan bagian terlebar
Di dalam arsip pemerintahan Hindia sekitar 23 km. Kepulauan Rote merupakan
Belanda pulau ini ditulis dengan nama Rotti bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur
atau Rottij kemudian menjadi Roti. Akan tetapi, atau dikenal dengan nama Lesser Sunda Island
masyarakat Rote yang mempunyai 9 dialek (Mayr 1945). Kondisi lingkungan sangat
seringkali mereka menyebut pulau ini ”Lote”, berbeda pada musim hujan dan kemarau. Jika di
khusus bagi mereka yang tidak bisa menyebut musim kemarau, rata-rata lebih panjang setiap
huruf ”R”, padahal nama asli dari pulau ini tahun, lanskap menjadi sangat terbuka dan
adalah ”Lolo Neo Do Tenu Hatu” (gelap) ada kering, di musim hujan berubah menjadi lebih
juga yang menyebut ”Lino Do Nies” (Pulau hijau dengan pepohonan dan semak belukar
yang sunyi dan tidak berpenghuni). merambah menutupi sebagian permukaan
Secara administratif Kabupaten bukit. Di kala musim hujan yang relatif pendek
Rote Ndao terbagi atas 8 kecamatan, yaitu (sekitar 3-4 bulan) penduduk lebih dapat
Kecamatan Rote Timur, Kecamatan Pantai memanfaatkan lahan untuk kegiatan pertanian.
Baru, Kecamatan Rote Tengah, Kecamatan
Lobalain, Kecamatan Rote Barat Daya, 1.2.1 Geologi Pulau Rote
Kecamatan Rote Barat Laut, Kecamatan Rote Secara umum bentang alam (morfologi)
Selatan dan Kabupaten Rote Barat. Menurut di wilayah Kabupaten Rote Ndao pada
legenda, penduduk sekarang pulau ini dulunya pengamatan lapangan, memperlihatkan kondisi
merupakan campuran dengan orang-orang dataran bergelombang. Kondisi bentang alam
Portugis yang kapalnya tenggelam di laut seperti ini, apabila di klasifikasikan dengan
ratusan tahun yang lalu (Andre Z. Soh dan mempergunakan Sistem Desaunettes (Sartono
Maria N.D.K 2008). S 1979), yang berdasarkan atas besarnya
Pulau Rote dulu hanya dikenal sebagai prosentase kemiringan lereng dan beda tinggi
bagian dari Kupang dengan kekhasan budidaya relief suatu tempat, maka wilayah Kabupaten

91
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (87-102)

Rote Ndao terbagi atas tiga satuan morfologi kecoklatan, sedangkan batugamping terumbu
yaitu: berasal dari filum Echinodermata, berongga
a. Satuan morfologi dataran halus, setempat berlapis buruk, pejal,
b. Satuan morfologi bergelombang mengandung fragmen moluska-foram, lapis
lemah lapukan permukaan berongga dan tajam
c. Satuan morfologi karst (karren).
Bagian utara dan selatan berupa pantai Batugamping (limestone) termasuk
dengan dataran rendah, sementara bagian dalam jenis batuan sedimen yang berwarna
tengah merupakan lembah dan perbukitan. segar putih kekuningan dan lapuk berwarna
Satuan Morfologi Dataran, dicirikan putih kecoklatan. Tekstur termasuk dalam
dengan bentuk permukaan yang sangat landai kelompok Non Klastik dengan struktur
dan datar, dengan prosentase kemiringan tidak berlapis (non stratified). Komposisi
lereng antara 0 - 2%. Satuan morfologi ini mineralnya adalah kalsium karbonat (CaCO3).
terletak di bagian utara dan selatan wilayah Berdasarkan klasifikasi atas genesanya, maka
penelitian atau dekat pantai selatan dan pantai batuan tersebut, termasuk pada batuan sedimen
utara yang berhadapan langsung dengan laut. kimia.
Satuan morfologi dataran, pada umumnya Batu gamping terumbu termasuk dalam
ditempati oleh penduduk sebagai wilayah jenis batuan sedimen yang berwarna segar
pemukiman, dan pertanian. putih kekuningan dan lapuk berwarna putih
Satuan Morfologi Bergelombang kecoklatan. Tekstur termasuk dalam kelompok
Lemah, dicirikan dengan bentuk bukit yang non klastik dengan struktur bioherm (external
landai, relief halus, lembah yang melebar dan structure). Komposisi mineralnya adalah
menyerupai huruf “U”, bentuk bukit yang kalsium karbonat (CaCO3), fosil Discocyclina,
agak membulat dengan prosentase kemiringan Camerina, Coral reef dan Lepidocyclina.
lereng antara 2 - 8%. Satuan morfologi ini Berdasarkan klasifikasi atas genesanya,
terletak di bagian tengah wilayah penelitian. maka batuan tersebut, termasuk pada batuan
Satuan morfologi bergelombang lemah, pada sedimen organik (Jatmiko dan Intan S. Fadhlan
umumnya berupa hutan yang ditumbuhi oleh M. 2009).
pohon-pohon besar, dan semak belukar (Dati
2008). 2. Metode
Satuan Morfologi Bergelombang Metode analisa yang akan diterapkan
Karst, tersusun oleh batugamping, dengan terhadap temuan artefak litik yaitu meng-
kenampakan khas seperti bentuk bukit bulat gunakan analisis khusus (specific analysis).
dengan lereng tegak, dolena, pipa kras, stalaktit Analisis ini menggunakan metode klasifikasi,
dan stalagmit, travertin, sungai bawah tanah, yaitu usaha pemilahan artefak ke dalam kelas-
voclus, ponore, gua-gua sisi lereng dan gua- kelas yang layak berdasarkan ciri-ciri yang
gua kaki cadas yang disebut clift foot cave sama. Salah satu tujuan dari klasifikasi adalah
(Delinom R. 1987). meringkas dan mengumpulkan ciri-ciri dari
suatu temuan atas dasar atribut-atribut yang
1.2.2 Satuan Batugamping diakhiri dengan tipe (Fagan 1978).
Satuan batugamping di Pulau Rote, dapat Klasifikasi yang didasarkan atas tipe-
dibagi menjadi dua batuan yaitu batugamping, tipe atau varietas ini disebut klasifikasi
dan batugamping terumbu. Batugamping taksonomi (taxonomi classification), yaitu
bersifat kapuran, berongga, kristalin, agak klasifikasi yang menekankan perhatian atas
keras, tanah lapukannya berwarna merah sejumlah atribut yang kemudian dijadikan

92
Prospek Sumber Daya Arkeologi Prasejarah Pulau Rote Ndao dalam Konteks Pengembangan Kawasan Perbatasan, Nasruddin

indikator pembentukan tipe, yaitu dilakukan c. Analisis stilistik atau gaya, mengiden-
secara bertahap atas dasar jenis bahan, bentuk, tifikasi aspek dekoratif, seperti warna,
dan ukuran (Rouse 1971). hiasan, dan ragam hiasnya. Dengan
Adapun metode analisis yang dapat analisis ini dapat dipakai untuk
dilakukan dengan dua cara: menentukan ciri-ciri asal dan masa
1. Analisis terhadap satuan-satuan benda pembuatannya. Namun tidak seluruh
artefak secara individual, yaitu disebut artefak memiliki ciri stilistik, sehingga
analisis spesifik (specific analysis) pada beberapa artefak, analisis ini tidak
2. Analisis terhadap suatu himpunan temuan dapat dilakukan.
yang memperhatikan hubungan antara d. Analisis jejak pakai, mengkhususkan
artefak dengan artefak, hubungan pada pengamatan terhadap hal-hal
artefak dengan fitur, dan artefak dengan yang menunjukkan penggunaan dan
sumbedaya alam, yang disebut dengan pemakaian artefak. Analisis ini bertujuan
analisis konteks (contextual analysis). untuk mengidentifikasi apakah suatu
Dengan penggunaan analisis spesifik artefak pernah digunakan atau tidak.
terhadap sejumlah temuan artefak batu Di dalam menggunakan analisis atribut,
tersebut, maka dapat diidentifikasi berdasarkan juga dikenal klasifikasi analitik (analytic
atributnya. Atribut tidak lain adalah satuan classification) yang hanya memperhitungkan
pengamatan terkecil dari suatu artefak yang satu atau beberapa atribut bentuk, ukuran,
teramati melalui: teknologis, dan stilistik, serta hubungan-
a. Atribut bentuk dan ukuran secara hubungannya dalam dimensi fungsi dan
keseluruhan (formal attribute); perkiraan kronologis maupun pase budaya.
b. Atribut teknologis, yaitu pengamatan Selain artefak itu sendiri sebagai produk
dari sisi cara pembuatan dan akhir yang menjadi obyek analisis, tetapi
pembentukan suatu artefak ataupun juga perlu melakukan pengamatan terhadap
teknik penggosokan dan penghalusan benda-benda lainnya seperti bahan dan jenis
seperti pada artefak beliung; batuan ataupun perlengkapan yang digunakan
c. Artribut gaya (stylistic attribute) seperti membuat arterfak, serta limbah produksi
warna dan tekstur pada jenis batuan. (waste atau debitage) dalam proses pembuatan
Dalam melakukan identifikasi artefak artefak.
terdapat empat macam cara yang perlu
dilakukan berdasarkan Mundardjito (1985), 3. Hasil dan Pembahasan
yaitu meliputi: 3.1 Hasil
a. Analisis morfologi, ialah mengidentifikasi 3.1.1 Survei
dari sudut bentuk (shape) dan ukuran Hasil penelitian yang dilakukan Pusat
(size) suatu artefak. Penelitian Arkeologi Nasional di kawasan
b. Analisis teknologi, ialah mengidentifikasi karst Pulau Rote, telah berhasil memperoleh
teknik pembuatan artefak berdasarkan sejumlah situs gua dan ceruk yang memiliki
bahan baku, pengolahan bahan, teknik indikasi hunian prasejarah, seperti tercatat
Tabel: Distribusi situs
pengerjaan gua dan
sampai ceruk di
benda itukawasan karst Pulau Rote (Sumber: Penelitian Prasejarah,
dihasilkan.
Puslitarkenas 2008)
dalam tabel berikut:
Tabel 1. Distribusi situs gua dan ceruk di kawasan karst Pulau Rote (Sumber: Penelitian Prasejarah, Puslitarkenas 2008)
No Nama Desa/Kel Kecamatan Koordinat Arah Indikator Keterangan
Situs urahan Hadap Temuan
1 Gua Lua Tuanatuk Lobalain 10º45’19.9” LS Timur laut Alat litik, Terletak di tebing bukit
Mangget 123º02’08,1” BT (N20ºE) kerang kemiringan 30°. Dengan
ek ketinggian 3 meter dari
dataran
2 Gus Mokdale Mokdale 10º 44’51,0” LS Barat Alat litik, Terletak di kaki bukit
Mbia 123º 03’15.0” BT (N270 ºE) kerang
Hudale
93
3 Gua Lekik Rote Barat 10º 51’06,0” LS Barat --- Terletak di kaki bukit
Londalil Daya 122º 59’42,8”.BT (N250 ºE)
o
4 Gua Lekik Rote Barat 10º 51’17,7” LS Barat --- Terletak di kaki bukit
Tabel: Distribusi situs gua dan ceruk di kawasan karst Pulau Rote (Sumber: Penelitian Prasejarah,
Puslitarkenas 2008)

KALPATARU,
No Nama
Majalah Arkeologi Vol.
Desa/Kel
25 No. 2, November
Kecamatan
2016 (87-102) Arah
Koordinat Indikator Keterangan
Tabel: Distribusi
Situs situs gua dan ceruk di kawasan karst Pulau Rote (Sumber:
urahan Hadap Penelitian
Temuan Prasejarah,
Puslitarkenas 2008)
1 Gua Lua Tuanatuk Lobalain 10º45’19.9” LS Timur laut Alat litik, Terletak di tebing bukit
Mangget 123º02’08,1” BT (N20ºE) kerang kemiringan 30°. Dengan
No Nama
ek Desa/Kel Kecamatan Koordinat Arah Indikator Keterangan
ketinggian 3 meter dari
Situs urahan Hadap Temuan dataran
1
2 Gua
GusLua Tuanatuk
Mokdale Lobalain
Mokdale 10º 44’51,0” LS
10º45’19.9” LS Timur
Baratlaut Alat litik, Terletak
Terletakdiditebing bukit
kaki bukit
Mangget
Mbia ”
03’15.0” BT
123º02’08,1
123º (N20ºE)
(N270 ºE) kerang kemiringan 30°. Dengan
ek
Hudale ketinggian 3 meter dari
dataran
3 Gua Lekik Rote Barat 10º 51’06,0” LS Barat --- Terletak di kaki bukit
’ ”
2 Gus
Londalil Mokdale Mokdale
Daya 10º 44
122º 59’51,0 LS
42,8”.BT BaratºE)
(N250 Alat litik, Terletak di kaki bukit
Mbia
o 123º 03’15.0” BT (N270 ºE) kerang
Hudale
4 Gua Lekik Rote Barat 10º 51’17,7” LS Barat --- Terletak di kaki bukit
3 Gua
Safu Lekik Rote Barat
Daya 10º 51’06,0” LS
122º59’38,8” BT BaratºE)
(N290 --- Terletak di kaki bukit
Londalil Daya 122º 59 ’
42,8 ”
” .BT
(N250 ºE)
5 GuaoLua Oenitas Rote Barat 10º50’52,2 LS Barat Tidak ada Terletak di tebing bukit,
Mesalol 122º59’38,8” BT (N230 ºE) sedimen kemiringan lereng 30°
4 Gua
o Lekik Rote Barat 10º 51’17,7” LS Barat --- Terletak
dengan 30di meter
kaki bukit
dari
Safu Daya 122º59’38,8” BT (N290 ºE) dataran
5
6 Gua Lua
Gua Oenitas Rote Barat 10º50’52,2” LS
10º50’54,9 Barat
Tenggara Tidak ada Terletak di tebing bukit,
Mesalol
Tolobalu 122º52’35,5” BT
122º59’38,8” (N230 ºE)
(N130ºE) sedimen kemiringan
kemiringanlereng
15°30°
o dengan 30 meter dari
7 Gua Boa Boa Rote Barat 10º56’06,5” LS Tenggara --- Terletak di kaki bukit
dataran
122º50’34,4” BT (N130ºE)
6 Gua Oenitas Rote Barat 10º50’54,9” LS Tenggara Tidak ada Terletak di tebing bukit,
8 Gua Lua
Tolobalu Owe Rote Barat 10º46’38,1” LS
122º52’35,5” BT Timur
(N130ºE) Serpih,
sedimen Terletak di tebing
kemiringan bukit,
15°
Meo Milan Laut 122º01’00,8” BT (N90ºE) kerang kemiringan 40° dengan

7 Gua Boa Boa Rote Barat 10º56’06,5 LS Tenggara --- Terletak di
ketinggian 15kaki bukit
meter dari
122º50’34,4” BT (N130ºE) dataran
8
9 Gua Lua Owe
Mokdale Rote Barat
Lobalain 10º44’55,0” LS
10º46’38,1 Timur
Barat laut Serpih,
--- Terletak
Terletakdiditebing bukit,
kaki bukit
Meo
Oe Milan Laut 122º01’00,8” BT
123º03’10,9” (N90ºE)
(N330ºE) kerang kemiringan 40° dengan
ketinggian 15 meter dari
10 Gua Sotimori Rote Timur 10º34’17,9” LS Utara (N10 Serpih, Terletak di kaki bukit
dataran
Harak 123º19’46,1” BT ºE) kerang
9 Gua Lua
Kecil Mokdale Lobalain 10º44’55,0” LS Barat laut --- Terletak di kaki bukit
Oe 123º03’10,9” BT (N330ºE)
11 Gua Sotimori Rote Timur 10º34’20,2” LS Timur laut Alat litik, Terletak di kaki bukit.
10 Gua
Harak Sotimori Rote Timur 10º34’17,9” LS
123º19’46,9” BT Utara (N10
(N45ºE) Serpih,
kerang, Terletak di kaki bukit
Harak
Utama 123º19’46,1” BT ºE) kerang
tulang
Kecil
12 Gua Lua Oe Lobalain 10º45’34,6” LS Selatan Alat litik, Terletak di tebing bukit,
11 Gua
Bafak Sotimori
Matambo Rote Timur 10º34’20,2” LS
123º07’24,8” BT Timur
(N170 laut
ºE) Alat litik,
kerang, Terletak di kaki
kemiringan bukit.
lereng 25º
Harak li 123º19’46,9” BT (N45ºE) kerang,
tembikar, dengan ketinggian dari
Utama tulang dataran 5 meter
12
13 Gua Lua
Gua Oe Lobalain 10º45’34,6” LS
10º45’58,6 Selatan
Barat laut Alat litik, Terletak di tebing bukit,
Bafak
Bote Matambo 123º07’24,8” BT
123º07’48,6” (N170 ºE)
(N300ºE) kerang, 25º
kemiringan lereng 20º
li tembikar, dengan ketinggian dari
tulang
manik- dataran 55 meter.
dataran meter
manik
13 Gua Oe Lobalain 10º45’58,6” LS Barat laut Alat litik,
kerang Terletak di tebing bukit,
Bote Matambo 123º07’48,6” BT (N300ºE) kerang, kemiringan lereng 20º
14 Gua li
Oetutulu Rote Barat 10º46’06,0” LS Timur tembikar,
Tidak ada dengan ketinggian
Terletak dari
di tebing bukit,
Kaiseu-1 Laut 123º00’36,7” BT (N90ºE) manik- dataran 5lereng
kemiringan meter.10º
manik dengan ketinggian dari
kerang dataran 2 meter.
14
15 Gua Oetutulu Rote Barat 10º46’06,0” LS
10º46’05,6 Timur Tidak ada
Cangkang Terletak di tebing bukit,
Kaiseu-1
Kaiseu-2 Laut 123º00’36,7” BT
123º00’36,5” (N90ºE)
(N75ºE) kerang kemiringan lereng 10º
dengan ketinggian dari
dataran 2 meter.
15
16 Gua Oetutulu Rote Barat 10º46’05,6” LS
10º46’04,6 Timur
Timur Laut Cangkang
Tidak ada Terletak di tebing bukit,
Kaiseu-2
Kaiseu-3 Laut 123º00’36,5” BT
123º00’36,7” (N75ºE)
(N60ºE) kerang kemiringan lereng 10º
dengan ketinggian dari
dataran
dataran 23 meter.
meter
16
17 Gua
Gua Bai Oetutulu Rote Barat 10º46’04,6” LS
10º45’51,4 Timur Laut
Tenggara Tidak ada Terletak di tebing bukit,
Kaiseu-3
Henek Laut 123º00’36,7” BT
123º00’48,2”BT (N60ºE)
(N120ºE) 10º
kemiringan lereng 30º
Luan dengan ketinggian dari
dataran 63 meter
17
18 Gua
GuaBai Oetutulu
Delehulu RoteSelatan
Rote Barat 10º46’09,2” LS
10º45’51,4 Tenggara
Barat laut Tidak
--- ada Terletakdidikaki
Terletak tebing bukit,
bukit, tipe
Henek
Aleksan Laut 123º00’48,2”BT
123º09’09,7” BT (N120ºE)
(N345ºE) kemiringan
luwenglereng 30º
Luan
der dengan ketinggian dari
dataran 6 meter
19 Sungai Nggodi Rote Tengah 10º39’34,7” LS -- Alat-Alat Situs paleolitik
18 Gua
Kola Delehulu
Meda Rote Selatan 10º46’09,2” LS
123º09’17,7” BT Barat laut ---
Litik Terletak di kaki bukit, tipe
Aleksan 123º09’09,7” BT (N345ºE) luweng
der
3.1.2 Ekskavasi lokasi --ini karena potensi temuan moluska
19 Sungai Nggodi Rote Tengah 10º39’34,7” LS Alat-Alat Situs paleolitik
Kola Meda 123º09’17,7” BTdan sejumlah batu serpihan yang tersingkap
Litik
Salah satu situs gua yang dipilih untuk
ekskavasi dengan metode test-pit, yaitu di sangat padat dan tersebar luas di permukaan
situs Gua Harak Utama. Alasan pemilihan lantai ceruk, terutama pada bekas galian

94
Prospek Sumber Daya Arkeologi Prasejarah Pulau Rote Ndao dalam Konteks Pengembangan Kawasan Perbatasan, Nasruddin

Gambar 2. Kondisi lingkungan situs Gua Harak Utama yang sedang di ekskavasi (Sumber: Nasruddin 2014)

tanah oleh penduduk. Kenampakan serpihan- membuka kotak test-pit, yaitu kotak dengan
serpihan batu rijang tersebut disebabkan oleh ukuran 2x2 meter di permukaan tanah yang
adanya penggalian liar yang belum diketahui belum terganggu, dengan teknik penggalian
tujuan untuk apa, sehingga deposit tumpukan yang sistematis. kotak ini (testpit) bersifat
moluska dan batuan yang tertutup oleh tanah pengujian untuk mengetahui secara cepat,
menjadi tersingkap ke permukaan tanah. seberapa dalam atau ketebalan deposit lapisan
Hasil identifikasi tim penelitian terhadap tanah sebagai layer budaya dalam tanah.
lokasi penemuan dan konsentrasi moluska Konsentrasi moluska dan disertai pecahan
dan batuan itu, menunjukkan tanda dan ciri tembikar sangat padat hingga pada kedalaman
jejak hunian manusia. Atas indikasi inilah 50 cm.
kemudian dilakukan penggalian di sekitar a. Artefak Alat Batu
temuan konsentrasi yang paling padat. Pada spit awal sudah mulai ditemukan
Penentuan lokasi penggalian ini, selain sebaran batu serta serpih, yaitu terdiri atas
didasarkan atas pertimbangan kepadatan bakal alat, serpih bekas pecahan dan pecahan
temuan juga disebabkan oleh adanya batuan lainnya yang kelihatan bulbusnya, bekas
kebutuhan memperoleh data spatial dan pukulan, disamping itu ditemukan juga batu
stratigrafi budaya. Pada saat itu diputuskan inti dan fragmen calon alat belincung. Semakin
dalam penggalian (40-50), menunjukkan
temuan makin banyak dan bervariasi, terutama
temuan batu chert bercampur dengan berbagai
jenis cangkang moluska.
Pada kedalaman lebih lanjut, temuan
makin banyak, sehingga penggalian dilakukan
dengan teknik ‘scrap’ dengan menggunakan
cetok.
Temuan menarik yang diperoleh
dari kotak ekskavasi (kedalaman 40-50
cm) berupa pahat kecil dari batu kalsedon
berwarna putih bening, disertai sebuah
alat batu berbentuk daun cendana. Alat ini
agak panjang berupa bilah berpunggung
Gambar 3. Alat Serpih dari batuan jasper coklat yang
menunjukkan jejak retus yang intensif pada dan ujungnya meruncing. Kemungkinan
sisi ventral (Sumber: Nasruddin 2014) merupakan alat mata tombak yang siap

95
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (87-102)

dipakai. Temuan ini berkorelasi dengan bekas-bekas kehidupan tersebut, dimana


tumpukan moluska. Dilihat dari bahannya dari hasil pengamatan yang telah dilakukan
berasal dari batu rijang berwarna hitam meskipun secara eksploratif, cangkang-
keabuan. Temuan seperti ini kemungkinan cangkang moluska berasosiasi dengan fosil
cukup langka dan merupakan temuan baru fauna dan beberapa serpihan batu merupakan
dalam penelitian di pulau Rote. salah satu data bahwa masyarakat dimasa
Berdasarkan hasil klasifikasi, himpunan itu telah mengkonsumsi moluska dan fauna
temuan batu umumnya berupa serpihan sebagai bahan makanan.
(tatal) yaitu pecahan dari batu inti yang tidak
disempurnakan lebih lanjut atau dikenal sebagai
limbah dari hasil pembuatan. Sementara
temuan alat batu lainnya, memperlihatkan
bekas pengerjaan untuk mendapatkan
ketajaman melalui pemangkasan pada sisi-sisi
tertentu dan menghasilkan jenis-jenis maupun
bentuk-bentuk serpih, serut, bilah lancipan,
dan lain sebagainya bahkan juga ditemukan
jenis batu pukul.

Gambar 5. Alat kerang yang digunakan sebagai serut


(Sumber: Nasruddin 2014)

Dari pengamatan makro berdasarkan


bekas-bekas dari sisa makanan, memper-
lihatkan adanya berbagai jenis moluska yang
telah dikonsumsi, baik dari kelas Pelecypoda
maupun Gastropoda. Secara kuantitas, temuan
hasil ekskavasi khususnya moluska sangat
melimpah dalam berbagai jenis dan ukuran,
Gambar 4.
Alat bilah dengan bentuk meman-
jang dan kedua sisi dipangkas
termasuk pecahan tembikar, serpih, fragmen
untuk menampakkan tajaman, tulang fauna ataupun sisa-sisa makanan hewan
sedangkan bagian ujung bentuknya laut lainnya.
meruncing dan memiliki tangkai. Secara
keseluruhan menyerupai mata tombak
(Sumber : Nasrudin 2014)
Umumnya artefak batu yang dapat
diidentifikasi meliputi batuan meta gamping
(metamorf) dan rijang (sedimen) dengan warna
kekuningan dan coklat kehitaman. Seluruh
temuan artefak yang terkumpul yang diamati,
yaitu jenis batu inti cukup banyak. Hal ini
memperlihatkan presentasi kulit batu (cortex)
antara 70% sampai dengan 80%.
b. Cangkang Kerang dan Siput
Gambar 6. Jenis moluska (kerang) yang (Sumber:
Situs-situs gua dan ceruk di wilayah P.
Nasruddin 2014) sangat dominan di dalam
Rote ini, merupakan salah satu bukti adanya kotak galian (Sumber: Nasruddin 2014)

96
Prospek Sumber Daya Arkeologi Prasejarah Pulau Rote Ndao dalam Konteks Pengembangan Kawasan Perbatasan, Nasruddin

c. Tembikar terhadap proses pembentukan gua di kawasan


Temuan tembikar umumnya ini. Sampai saat ini, belum ada bukti yang
fragmentaris dengan kondisi rapuh, sangat akurat, kapan manusia mulai menghuni gua
sederhana tanpa hiasan, begitu pula jenis untuk pertama kalinya. Oleh karena itu, data-
warna sudah tidak dapat diidentifikasi. Pada data di kawasan ini penting dipelihara untuk
lapisan awal penggalian ditemukan tembikar studi tentang manusia purba yang diduga mulai
yang bercampur dengan deposit kerang dan hidup pada kisaran puluhan ribu tahun yang
tulang fauna, semakin dalam kotak uji, temuan lalu (Mahirta 2003).
pecahan tembikar tidak ditemukan lagi, Tidak disangkal lagi bahwa gua
sehingga asumsinya bahwa pengenalan wadah merupakan salah satu fenomena alam dan
tembikar pada masa hunian gua berlangsung hasil rekayasa alam yang secara khusus
dalam periode neolitik akhir atau ketika terjadi terjadi dan terbentuk di kawasan batugamping
persentuhan dengan budaya Lapita, tetapi tentu karst pada kisaran waktu puluhan juta tahun
masih perlu kajian yang sistematis. ke belakang. Gua tidak saja dapat dijumpai di
dataran tinggi, dataran rendah serta lembah,
3.2 Pembahasan tetapi juga di dasar laut dalam bentuk tebing
Persoalan permukiman manusia di gua- dan terjalan. Peristiwa pasang-surut yang
gua alam adalah sesuatu yang penting dalam berlangsung terus menerus, ternyata sangat
perjalanan sejarah okupasi manusia pada berpengaruh terhadap proses pembentukan
kurun waktu prasejarah. Oleh sebab itu perlu gua di dalamnya, di samping pengaruh dari
dilakukan kajian untuk memahami mengenai gejala-gejala alam lain seperti misalnya letusan
penghunian manusia terhadap gua-gua serta gunung berapi dan gempa bumi. Setelah gua-
adaptasinya terhadap lingkungan sekitarnya. gua bawah laut terangkat ke permukaan
Hal ini dianggap bahwa dukungan lingkungan tanah, mungkin masih memerlukan waktu
sangat menentukan hasil budaya manusia jutaan tahun lagi sebelum gua tersebut
yang tercermin dari tinggalan-tinggalannya, dimanfaatkan oleh manusia.
maka sejauh mana manusia mengeksploitasi Sejak masa prasejarah adaptasi
lingkungan agar stabil dalam mempertahankan manusia terhadap lingkungan alamnya mulai
diri. terlihat dengan adanya kecenderungan untuk
Demikian pula gua sebagai alternatif memanfaatkan dan melakukan strategi adaptasi
tempat tinggal manusia prasejarah, tentunya pada tempat-tempat yang dekat dengan sumber
memiliki strategi dalam menempati gua sebagai air, dekat dari sumber-sumber makanan berupa
tempat hunian atau pola-pola tertentu dalam flora dan fauna serta pada tempat-tempat yang
memilih gua. Jadi pemilihan gua tidak hanya aman dan nyaman. Berdasarkan pertimbangan
sebagai tempat tinggal semata tanpa strategi- beberapa faktor tersebut, maka lokasi situs
strategi tertentu bagi manusia. Diketahui, gua prasejarah banyak ditemukan pada tempat-
merupakan salah satu fenomena hasil rekayasa tempat yang dekat dengan pantai, danau,
alam yang secara khusus terjadi dan terbentuk rawa atau aliran sungai. Untuk memperoleh
di kawasan batu gamping karst pada kisaran tempat berlindung baik secara tetap maupun
waktu puluhan juta tahun silam. Gua dan ceruk sementara, mereka memanfaatkan gua (cave)
di kawasan Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao atau ceruk (rock shelter) yang sudah ada
berada di dataran berbukit dan dataran rendah karena bentukan alam. Pemilihan gua atau
yang tandus dan kering. ceruk sebagai tempat hunian merupakan
Peristiwa pasang-surut yang berlangsung bukti kearifan manusia pada masa itu dalam
terus menerus dan sangat berpengaruh memanfaatkan sumberdaya alam. Gua atau

97
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (87-102)

ceruk yang dipilih sebagai lokasi hunian laut dari berbagai spesies. Pengamatan pada
umumnya memiliki sirkulasi udara yang baik, gua-gua dan ceruk memperlihatkan beragam
sinar matahari cukup, lantai yang relatif rata binatang pernah hidup di daerah ini. Untuk
(datar), dekat dengan sumber makanan (flora daerah pesisir, sisa binatang laut (Moluska)
dan fauna), dan sumber air. Gua atau ceruk lebih banyak ditemukan sedang semakin
harus terlindung dari gangguan iklim, cuaca jauh dari pantai, sisa binatang darat semakin
(angin, hujan, panas maupun dingin) dan dari dominan.
gangguan serta serangan binatang buas atau Sumber daya lingkungan yang tidak kalah
ancaman dari kelompok manusia lainnya. pentingnya adalah keberadaan batugamping
Gua dan ceruk disamping digunakan kersikan yang memungkinkan berkembangnya
sebagai tempat hunian, juga merupakan teknologi litik yang khas. Sumber bahan baku
pusat segala aktivitas keseharian, baik ruang tersebut banyak terdapat di sekitar situs. Tidak
bagian dalam maupun disekitarnya. Aktivitas mengherankan, bahwa kekayaan sumberdaya
keseharian tersebut antara lain aktivitas ini memungkinkan terbentuknya industri-
mengolah makanan, baik aktivitas pembuatan industri didalam gua dan ceruk, seperti yang
alat batu, maupun alat kayu atau tulang. diperlihatkan oleh serpihan-serpihan rijang
Jika berpegang pada asumsi sementara yang banyak ditemukan di beberapa gua dan
tentang adanya empat kelompok budaya ceruk, bercampur dengan alat-alat batu.
mesolitik di Nusantara, maka di daerah ini Tinggalan-tinggalan berdasarkan
terdapat dua kelompok budaya (industri indikasi permukaan gua dan ceruk
bilah dan tembikar) yang berkembang memperlihatkan corak budaya yang khas secara
bersamaan dalam satu konteks geografis. Hal umum berdasarkan tipo-teknologi tergolong
ini setidaknya menunjukkan bahwa Pulau dalam budaya mesolitik. Dari hasil “selectif
Rote merupakan daerah yang strategis dalam sampling” dapat diketahui bahwa peralatan
persentuhan budaya. Uraian yang lebih jelas yang diproduksi tergolong pada alat serpih
tentang kelompok-kelompok budaya ini bilah, yaitu berupa alat serpih, bilah, serut, dan
diharapkan dapat diberikan bersamaan dengan lancipan. Proses pembuatan alat-alat tersebut
penelitian-penelitian intensif di masa datang. melalui suatu proses, mulai dari pelepasan
Keberadaan gua dan ceruk di daerah batu intinya sampai menghasilkan serpihan-
ini menjadi pusat-pusat kegiatan seperti serpihan yang banyak dan terendapkan di
dibuktikan oleh tinggalan-tinggalan yang dalam gua.
terendapkan didalamnya. Pemanfaatan ceruk- Sampah dapur yang terdeposit dan
ceruk alam ini merupakan suatu kecenderungan merupakan tumpukan dari sisa berbagai
manusia prasejarah, karena sangat baik sebagai binatang dan sisa pembakaran merupakan
tempat berlindung, baik dari ancaman binatang suatu bukti hunian dan kegiatan yang pernah
ataupun dari iklim. Kehidupan manusia berlangsung didalamnya. Diduga kulit-
prasejarah di daerah ini tidak semata karena kulit moluska dan tulang-tulang binatang
keberadaan gua, tetapi ditentukan juga oleh tersebut merupakan sisa-sisa makanan yang
sumber daya lingkungan lainnya. dibuang di salah satu bagian dalam gua dan
Salah satu diantaranya adalah bercampur dengan peralatan yang terbuang
sumber daya fauna. Lingkungan geografis (seperti alat serpih). Suatu deposit dapat
yang cenderung kering dan didominasi mencapai ketebalan 2,5 meter dari lantai gua
gamping yang terbentang di daerah pesisir sekarang dan hal ini merupakan bukti adanya
memungkinkan hidupnya berbagai jenis hunian yang berkesinambungan di dalam gua.
binatang, baik binatang darat maupun binatang Kehidupan yang mulai menetap didalam gua

98
Prospek Sumber Daya Arkeologi Prasejarah Pulau Rote Ndao dalam Konteks Pengembangan Kawasan Perbatasan, Nasruddin

atau ceruk merupakan salah satu ciri kehidupan dengan berbagai posisi dengan tangan terlipat
pra-neolitik di dalam gua-gua. atau lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat
Nusa Tenggara Timur merupakan pintu dengan lutut menekuk dibawah dagu dan
masuk manusia purba sejak jaman Pleistosen tangan melipat dibagian leher atau kepala.
Akhir. Jalur migrasi manusia yang menyebar Dalam periode penghunian gua, kegiatan
hingga Pulau Rote, kemungkinan berasal dari penguburan merupakan salah satu kegiatan
selatan Sulawesi ke barat hingga Kepulaun manusia yang dianggap penting.
Pasifik (Bellwood 2007). Bukti peninggalan Awalnya penguburan dilakukan dalam
manusia berupa peralatan batu ditemukan gua yang sama dengan tempat hunian, yaitu
juga di gua-gua hunian masa prasejarah (rock di tempat yang agak dalam dan gelap. Namun
shelter) yang tersebar di daratan Flores, Timor seiring perkembangan jumlah anggota dan
dan pulau-pulau terdepan hingga ke Pulau wawasan pengetahuan, maka manusia mencari
Rote. lokasi khusus yang digunakan sebagai lokasi
Berdasarkan temuan temuan artefak kuburan yang terpisah dari lokasi hunian.
batu di sejumlah situs Gua di Pulau Rote, dapat
diketahui adanya fungsi-fungsi gua yang dapat c. Sebagai lokasi kegiatan industri alat batu
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: Selain sebagai tempat hunian dan
kuburan, fungsi yang lainnya adalah sebagai
a. Sebagai tempat tinggal tempat memproduksi alat-alat batu atau
Gua-gua dan ceruk payung peneduh perbengkelan. Indikasi ini berhasil ditemukan
(rock shelter), sering digunakan manusia di situs gua-gua prasejarah Pulau Rote
sebagai tempat berlindung dari gangguan berdasarkan temuan alat-alat batu dan sisa-sisa
iklim, cuaca (angin, hujan dan panas), dan juga pembuatannya. Hal itu terlihat pada bekas-
gangguan dari serangan binatang buas atau bekas pengerjaan alat batu yang dianalisis
kelompok manusia yang lain. Pada periode berupa jejak serpihan batu yang merupakan
penghunian gua, yang paling awal tampak pecahan batu inti sebagai bahan dasar dari
adalah gua digunakan sebagai tempat tinggal alat batu. Situs perbengkelan seperti ini,
(hunian), kemudian kurun waktu berikutnya banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa
dijadikan tempat kuburan dan kegiatan spiritual (daerah Pacitan), dan juga di Sulawesi Selatan
lainnya. Pada awal-awal penghunian, tempat (Forestier 2007).
hunian menyatu dengan tempat kuburan.
Tetapi seiring perkembangan wawasan dan 4. Penutup
pengetahuan, manusia kemudian memisahkan Dari hasil dan pembahasan berupa
tempat hunian dan kuburan. temuan peninggalan yang ada dapat diketahui
fungsi dari gua hunian di Pulau Rote. Gua
b. Sebagai kuburan maupun ceruk merupakan situs tempat tinggal
Selain sebagai tempat tinggal, gua (hunian) yang menyatu dengan bengkel, hal
hunian juga berfungsi sebagai kuburan. Pola ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa
penguburan dalam gua secara umum dapat aktifitas manusia masa lampau dan temuan
dibagi menjadi penguburan langsung (primair tumpukan kerang yang bercampur dengan
burial) dan penguburan tidak langsung (second alat-alat serpih. Walau tidak ditemukan pola
burial), baik yang menggunakan wadah penguburan berupa rangka dan posisinya,
ataupun yang tidak menggunakan wadah. tetapi temuan berupa gigi ditemukan tanpa
Posisi mayat yang paling sering konteks yang jelas melalui lapisan yang sudah
ditemukan adalah lurus, bisa telentang, miring teraduk. Temuan ini menunjukkan adanya

99
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 2, November 2016 (87-101)

fungsi situs sebagai penguburan. Selain itu Daftar Pustaka


terdapat temuan sisa pembakaran dan sisa Andre Z. Soh dan Maria N.D.K. 2008. “Rote
sampah dapur (kulit kerang dan siput yang Ndao Mutiara dari Selatan, Falsafah dan
merupakan makanan manusia penghuni gua). Pandangan Hidup Suku Rote Tentang
Lontar.” Jakarta.: Kelopak, 1–6.
Memahami hasil-hasil penelitian
Anonim. 1996. “Bena Makna Sebuah Kosmis,
tersebut, maka daratan Flores, Sabu hingga Ekspedisi Flores 1996.” Arsitektur
pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan Hijau. Bandung Universitas Katolik
Australia, dapat dikonstruksikan bahwa Parahyangan 7–8.
manusia yang menghuni daratan Timor Bellwood, Peter. 2007. Prehistory of the
termasuk Pulau Rote telah berlangsung cukup Indo-Malaysian Archipelago. Book. 3rd.
Canberra: The Australian National
tua. Selanjutnya terjalin hubungan dengan University Press.
komunitas pendatang pada era pasca neolitik,
Dati, Nawasti. 2008. “Perladangan Dengan
serta kemungkinan dipengaruhi pula oleh Sistem Tebas dan Bakar, Penyebab
budaya Austronesia dengan kehadiran artefak Kerusakan Hutan di Provinsi NTT,” no.
kapak perunggu yang memiliki ragam pola Lomba Tulis YPHL. Kabar lndonesia:
11–15.
hias topeng yang sangat unik. Kemungkinan
di masa prasejarah terutama pasca neolitik de Vos, John, S Sartono, S Hardjasasmita,
and Paul Y Sondaar. 1982.
sudah terjalin kontak budaya dengan kelompok “The Fauna from Trinil, Type Locality
Lapita maupun kelompok-kelompok lainnya. of Homo Erectus: A Reinterpretation.”
Hal ini tentunya perlu dikaji dengan lebih Article. Geol. Mijnbouw. 61: 207–11.
intens lagi. Delinom R., & Jouannic C. 1987. “Terumbu
Kuarter Terangkat dan Neotektonik
Data prasejarah yang dimiliki Pulau Vertikal di Daerah Kupang dan
Rote seperti yang telah dibahas di atas, Sekitarnya.” Pertemuan Ilmiah Tahunan
menunjukkan adanya jejak-jejak hunian XVI. Bandung: Ikatan Ahli Geologi
Indonesia, 32–35.
manusia yang menempati ceruk dan gua-gua
karst. Bukti-bukri ini tentu menjadi penting Fagan, Brian M. 1978. “Archaeology: A Brief
Introduction. Little,.” Boston-Toronto.:
artinya bagi sejarah dan ilmu pengetahuan, Brown and Company, 57–59.
terutama bagi pemerintah daerah setempat
Forestier, Hubert. 2007. Ribuan Gunung,
untuk segera melakukan registrasi situs dan Ribuan Alat Batu. Book. Edited by Truman
persebarannya sebagai suatu data cagar budaya Simanjuntak. Translated by Gustaf Sirait,
prasejarah. Daniel Perret, and Ida Ida Budipranoto.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Dalam kaitan wilayah perbatasan dan
Hooijer, D.A. 1969. “The Stegodon from Timo.”
pulau terdepan, maka Pemda Rote dan Pemprov
In Proceedings Koninklijke Nederlandse
Nusa Tenggara Timur perlu menyusun data Akademie van Wetenschappen, 203–4.
base situs-situs prasejarah di Rote sebagai
Jacob, T. 1967. “Some Problems Pertaining the
data sumberdaya arkeologi, karena data Racial History of Indonesia Region,
arkeologi memiliki kedudukan yang sama Utrech,” 55–57.
dengan sumberdaya alam lainnya, terutama Jatmiko, Intan S. Fadhlan M., dan Simanjuntak.
sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui 2009. “Penelitian Gua-Gua Hunian pada
Kala Holosen di Pulau Rote, Kab. Rote
dan sifatnya terbatas. Oleh karenanya perlu Ndao, Prov. Nusa Tenggara Timur (Tahap
dimasukkan dalam program pelestarian II).” Jakarta.
warisan budaya dalam rangka pengembangan Kathryn A, Monk. 2000. Ekologi Nusa
dan penguatan wilayah perbatasan. Tenggara Timur dan Maluku”.

100
Prospek Sumber Daya Arkeologi Prasejarah Pulau Rote Ndao dalam Konteks Pengembangan Kawasan Perbatasan, Nasruddin

Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.
Mahirta. 2003. “Human Occupation on Roti
and Sawu Island, Nusa Tenggara Timur.”
Australian National University.
Mayr, E. 1945. “Wallace Line in the Light of
Recent Zoogeographic Studies.” Science
and Scientists in Nederlands Indies. New
York, 243–45.
Mundardjito. 1985. “Metode Penelitian
Permukiman Arkeologi.” Inproceedings.
In , 4. Pandenglang: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional.
Rouse, Irving. 1971. “The Classification of
Artifact in Archaeology”.” In Man’s
Imprint from the Past, edited by James
Deetz, 2nd Printi, 108–25. Boston: Little,
Brown and Company.
Sartono S. 1979. “Stratigrafi Indonesia. Fak
Teknik Geologi,.” In , 37–39. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
----------.1982. “Stegodon Sumbaensis” A
New pygmy species from the island of
Sumba (East-Indonesia) dalam Berita
Penelitian Arkeologi No. 8 Jakarta :
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 5-8
Soejono, R.P. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia I. Edited by Marwati Djoened &
Nugroho Notosusanto. Zaman Pras.
Jakarta: Departemen Pendidikan &
Kebudayaan P.N. Balai Pustaka.
Soejono, R.P. 1961. “Ikhtisar Hasil-Hasil
Penyelidikan Prasejarah di Nusa Tenggara
Timur Selama Masa 1956-1958.” In
Medan Ilmu Pengetahuan, 32–40.
Subagus, Nies. A. 1991. “Kehadiran Manusia
Penghuni Gua Oensik, Desa Camplong,
Kecamatan Fatuleu, Nusa Tenggara
Timur.” Universitas Indonesia Jakarta.
http://www.aiya.org.au/2015/12/ (diunduh:
22 Oktober 2016).

101
102
Kondisi Lingkungan Situs Gua Loa Batak
Lobalain, Rote

You might also like