Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Mohamad Rosyidin, Konflik Internasional Abad Jurnal

ke-21? Benturan Antarnegara


Ilmu Sosial dan IlmuDemokrasi
Politik
dan Masa Depan Politik Dunia
Volume 18, Nomor 3, Maret 2015 (223-236)
ISSN 1410-4946

Konflik Internasional Abad ke-21? Benturan Antarnegara


Demokrasi dan Masa Depan Politik Dunia

Mohamad Rosyidin•

Judul : The Triumph of Democracy and the Eclipse of the West


Penulis : Ewan Harrison and Sara McLaughlin Mitchell
Penerbit : Palgrave Macmillan
Cetakan : I (2014)
Tebal : 264 + xviii halaman
ISBN : 978-1-137-35386-3

Abstract
‘The clash of civilizations’ of Samuel Huntington and ‘the end of history’ of Francis Fukuyama are two grand
theories that have been widely accepted as the most dominant narratives in post- Cold War international
relations. Unfortunately, there have been little theoretical developments in today’s world to predict the
future of international conflict. The theory assumed that the future international conflict will not occur
between democracies and non-democracies as Democratic Peace Theory proposed, but between established
democracies and emerging democracies. The established democracies reluctant to share their power with the
emerging democracies on how to manage global order. This reluctancy will lead to political frictions and
conflicts among them. In spite of its theoretical breakthrough, this theory suffers of logical inconsistency
since it does not distinguish between emerging democracies and emerging powers. Instead of conflict
among democracies, this article argues that international conflicts in the 21st century will be dominated
by asimetrical conflict between nation-states and radical movements, conflicts due to information openess,
and conflict over natural resources.

Keywords:
international conflict; the clash of democratization theory.

Abstrak
Tesis ‘benturan antar peradaban’ dari Samuel Huntington dan ‘akhir sejarah’ dari Francis
Fukuyama merupakan dua teori besar yang dipandang luas sebagai narasi paling dominan pada
pasca Perang Dingin. Sayangnya, sedikit sekali prestasi teoretis semacam itu di era sekarang untuk
memprediksi masa depan konflik internasional. Teori ‘benturan antar demokrasi’ berasumsi
bahwa konflik internasional yang akan datang bukan konflik antara negara demokrasi dan
non-demokrasi sebagaimana proposisi Teori Perdamaian Demokratis, melainkan antara negara
demokrasi mapan dan negara demokrasi baru. Negara demokrasi mapan enggan berbagi
kekuasaan dengan negara demokrasi baru dalam mengelola tatanan global. Keengganan tersebut
akan memicu gesekan dan konflik politik di antara mereka. Meskipun muncul dengan terobosan
teoretis, teori ini mengandung inkonsistensi karena tidak membedakan antara negara demokrasi


Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Diponegoro.
Email: mohamad.rosyidin@gmail.com

223
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 3, Maret 2015

baru dan kekuatan yang sedang bangkit. Tulisan ini berpendapat bahwa alih-alih konflik antar
negara demokrasi, skenario konflik masa depan akan lebih banyak berkutat pada tiga bentuk:
konflik asimetris antara negara dan kelompok radikal, konflik akibat keterbukaan informasi, dan
konflik perebutan sumberdaya alam.

Kata Kunci:
konflik internasional; teori benturan antar negara demokrasi.

Dua tokoh terkemuka realisme pasca runtuhnya Uni Soviet. Tragedi 11


politik internasional, John Mearsheimer September 2001 yang menyulut pecahnya
dan Stephen Walt (2013), menulis bahwa Perang Afganistan dan Perang Irak disebut-
penelitian yang hanya sekedar menguji sebut sebagai puncak keakuratan prediksi
hipotesis dengan data empiris mencerminkan Huntington. Sementara itu, tren demokratisasi
prospek kemunduran dalam perkembangan yang melanda banyak negara mengonfirmasi
studi Hubungan Internasional (HI). Menurut teori Fukuyama. Kedua penulis pun mengakui
mereka, kebanyakan karya dalam bidang bahwa karya mereka merupakan sintesis antara
studi HI saat ini bertujuan bukan untuk gagasan Fukuyama dan Huntington (hlm. 12).
menciptakan teori, melainkan sekedar menguji Dari Fukuyama, buku ini setuju dengan tesis
teori dengan menitikberatkan pada kekuatan bahwa demokrasi akan tetap menjadi ideologi
data. Pendapat itu sesuai dengan kenyataan favorit negara-negara di dunia, sedangkan dari
sebab sangat jarang ilmuwan HI membuat Huntington, buku ini sepakat bahwa masa
terobosan besar sebagaimana yang telah depan politik internasional akan tetap diwarnai
dilakukan oleh para teoretis seperti Kenneth oleh konflik.
Waltz, Alexander Wendt, Samuel Huntington, Tulisan ini adalah ulasan terhadap buku
dan Francis Fukuyama. Para pemikir ini tidak Harrison dan Mitchell, yang akan dibagi dalam
saja mengguncang dunia keilmuan karena tiga bagian. Bagian pertama tulisan mengulas
keaslian gagasan mereka, tetapi juga mampu teori ketidakdamaian demokrasi yang menjadi
mempengaruhi dunia hingga beberapa dekade. inti argumen buku ini. Teori ini menyangkal
Jika dahulu para ilmuwan cukup produktif argumen teori perdamaian demokratis yang
dalam menghasilkan sebuah teori umum (grand beranggapan bahwa sesama negara demokrasi
theory) yang memiliki kemampuan prediktif tidak akan berkonflik satu sama lain. Kontras
yang sangat akurat tentang masa depan dunia, dengan klaim tersebut, buku ini berpendapat
kini prestasi semacam itu semakin langka. bahwa konflik antarnegara demokrasi
Romantisme akan kemunculan gagasan disebabkan oleh perbedaan kepentingan
besar yang menawarkan gambaran masa antara negara demokrasi baru dan negara
depan dunia direspon dengan sangat baik oleh demokrasi yang sudah mapan. Bagian kedua
dua pengarang buku ini. Buku ini berupaya tulisan memberikan komentar terkait argumen
menawarkan cara pandang baru terhadap utama buku ini. Beberapa kelemahan buku ini
lanskap politik internasional abad ke-21. antara lain bahwa bangunan argumentasinya
Mereka terobsesi dengan gagasan Huntington mengandung kontradiksi internal, kekeliruan
tentang “benturan antarperadaban” dan ide konseptual dalam memahami negara demokrasi
Fukuyama mengenai “berakhirnya sejarah.” yang baru muncul (emerging democracies) dan
Gagasan kedua ilmuwan Amerika itu dapat kekuatan baru yang sedang tumbuh (emerging
memproyeksikan dengan sangat akurat pola powers), pengabaian prediksi sebelumnya, dan
dan kecenderungan politik internasional ketidakjelasan dalam memaknai konflik dan

224
Mohamad Rosyidin, Konflik Internasional Abad ke-21? Benturan Antarnegara Demokrasi
dan Masa Depan Politik Dunia

perang. Bagian ketiga tulisan ini memberikan juga demokratis. Dalam tradisi teoretis HI,
pandangan alternatif mengenai wajah konflik pandangan ini dikenal dengan teori perdamaian
internasional abad ke-21. Setidaknya terdapat demokratis (democratic peace theory) yang
tiga bentuk konflik internasional di masa yang berasumsi bahwa sesama negara demokrasi
akan datang, yakni konflik asimetris, konflik tidak akan berperang satu sama lain. Konflik
teknologi, dan konflik perebutan sumberdaya hanya terjadi antara negara demokrasi melawan
alam. negara non-demokrasi. Pandangan ini ditolak
oleh Harrison dan Mitchell, yang menulis
Teori Ke(tidak)damaian Demokrasi bahwa konflik masa depan bukan berupa
Gelombang demokratisasi yang melanda konflik antara negara demokrasi melawan
negara-negara Arab di Timur Tengah dan negara non-demokrasi, juga bukan “benturan
Afrika Utara – dikenal juga sebagai Arab peradaban,” tetapi “benturan demokratisasi”
Spring– memperkuat tesis Fukuyama tentang (hlm. x). “Benturan demokratisasi” adalah
kemenangan ide Barat.1 Fenomena itu menepis konflik antarnegara demokrasi, khususnya
pesimisme Huntington (1991) yang mengatakan antara negara demokrasi Barat yang sudah
bahwa selain Konfusianisme, Islam merupakan mapan (established democracies) dan negara
budaya yang menjadi pengalang terbesar demokrasi baru yang sedang berkembang
bagi demokratisasi. Tesis Huntington meleset (emerging democracies). Implikasinya, sekalipun
dalam mengaitkan antara faktor budaya dan demokrasi telah menjadi ideologi dominan
prospek demokratisasi. Tumbangnya rezim- umat manusia, politik dunia tetap akan diliputi
rezim otokratik Timur Tengah lebih sesuai oleh pesimisme mengenai prospek perdamaian
dengan optimisme Larry Diamond (1997: 52) antarnegara.
yang mengatakan bahwa “Di negara-negara Basis argumentasi konflik antara established
Islam Timur Tengah juga, [perkembangan] democracies dan emerging democracies berakar dari
demokrasi tampaknya masuk akal di masa kondisi demokrasi di kedua kubu. Established
yang akan datang.” Runtuhnya pemerintahan democracies adalah negara-negara Barat yang
otokratik Timur Tengah membuktikan tidak kondisi demokrasinya sudah terkonsolidasi
adanya alternatif ideologi politik yang lebih dengan baik. Sementara itu, emerging democracies
baik selain demokrasi. adalah negara-negara demokrasi ‘Dunia
Pe r t a n ya a n n ya k e m u d i a n a d a l a h Ketiga’ yang kurang terkonsolidasi sehingga
bagaimana dampak perubahan politik itu rentan mengalami kemunduran (hlm. 103).
terhadap hubungan internasional? Buku Perbedaan ini menimbulkan ketidakpercayaan
ini berangkat dengan asumsi bahwa Arab di kalangan negara demokrasi mapan terhadap
Spring memunculkan paradoks yang bertolak negara demokrasi baru itu. Negara-negara
belakang dengan pandangan kaum liberal- Barat menghadapi dilema mengenai format
demokratik. Menurut pandangan kaum kerja sama yang akan mereka bangun dengan
liberal-demokratik, semakin demokratis negara demokrasi baru. Di satu sisi, mereka
sebuah negara, semakin kecil kemungkinan bersuka cita menyambut masuknya negara-
negara tersebut berkonflik dengan negara yang negara demokrasi baru ke dalam “komunitas
demokrasi,”karena itu artinya menambah
jumlah teman yang berpeluang menjadi sekutu
1
Istilah ‘Barat’ di sini merujuk pada kawasan Eropa
atau mitra kerja sama. Namun di sisi lain,
Barat dan Amerika Utara. Dalam sejarah pemikiran
umat manusia, ide-ide Barat berakar dari peradaban negara-negara Barat cenderung enggan berbagi
Yunani dan Romawi yang menjadi cikal-bakal tatanan tanggung jawab dan kekuasaan (power sharing)
masyarakat Eropa modern, seperti ide tentang
demokrasi dan liberalisme. terkait tata kelola global (global governance)

225
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 3, Maret 2015

dengan “kawan baru” mereka. Cepat atau negara-negara di belahan dunia lain (The Rest)
lambat, negara demokrasi baru akan menuntut terus mengalami kemajuan dalam mengadopsi
peran yang lebih besar dalam berbagai isu nilai-nilai Barat.
internasional. Itu artinya, mereka menghendaki Untuk menghindari benturan, solusinya
agar Barat bersedia berbagi tempat dengan adalah mengupayakan “proses sosialisasi
mereka. Namun, bagi Barat, mengakomodasi timbal-balik” (hlm. 157) antara Barat dan negara
permintaan dari negara demokrasi baru untuk demokrasi baru. Barat harus bersedia berbagi
mendapatkan akses terhadap kekuasaan dan kekuasaan dan wewenang dengan negara
tanggung jawab internasional akan sangat demokrasi baru, sementara yang terakhir ini
menyakitkan (hlm. 157). Aspirasi negara harus serius untuk meninggalkan identitasnya
demokrasi baru akan status dan peran mereka sebagai negara sedang berkembang. Sosialisasi
di dunia internasional, ditambah dengan harus bersifat dua arah, yaitu negara Barat
resistensi Barat untuk melibatkan mereka, tidak boleh secara sepihak mengajari negara
akan berujung pada konflik yang mengganggu non-Barat norma yang mereka anut, tetapi
stabilitas sistem internasional. juga mau mendengarkan dan mengapresiasi
Jangan dibayangkan konflik antara Barat aspirasi negara non-Barat (Xiaoyu, 2012).
dan negara demokrasi baru itu berupa konflik Kishore Mahbubani (2011: 257) sudah
bersenjata atau perang. Konflik yang akan mengajukan rekomendasi semacam ini:
terjadi lebih bersifat politis ketimbang militer “Sudah tiba waktunya bagi Barat untuk
(hlm. 162). Konflik dua kubu negara demokrasi mempertimbangkan kemungkinan bahwa
yang berbeda pengalaman sejarah itu terfokus bangsa lain dan komunitas lain juga sekompeten
pada masalah tata kelola global. Kemunculan seperti Barat, jika tidak mau dikatakan lebih
negara-negara demokrasi dari Dunia Ketiga kompeten, dalam menjawab tantangan global
membawa aspirasi untuk merestorasi tatanan dan regional.” Jika Barat selalu mendorong
global yang telah lama didominasi oleh negara lain untuk menjadi demokratis, ia
Barat, misalnya reformasi institusi keuangan harus berkomitmen untuk mengikutsertakan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia yang mereka dalam tata kelola global. Sayangnya,
selama ini hanya menjadi alat kepentingan Barat masih belum mau mengakui kompetensi
Barat. Kepemimpinan organisasi-organisasi kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya. Barat
ini tidak bisa lagi menjadi hak prerogatif masih belum mampu melepaskan diri dari
Amerika Serikat (AS) dan Eropa (hlm. 165). pemikiran kolot bahwa mereka adalah puncak
Munculnya Brazil dan India sebagai kekuatan peradaban universal dan ditakdirkan sebagai
besar dari Dunia Ketiga juga turut membawa penguasa dunia.
aspirasi untuk mereformasi Dewan Keamanan Ironisnya, resistensi tidak hanya menjangkiti
Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Isu lain negara-negara Barat saja, melainkan juga negara-
seperti liberalisasi perdagangan dan lingkungan negara demokrasi baru. Misalnya India, tidak
juga mencerminkan bagaimana benturan itu mau melepaskan identitasnya sebagai negara
terjadi. Kebijakan Barat menutup pintu impor Dunia Ketiga. Narlikar (2006: 76) mengatakan
produk-produk tekstil dan pertanian dari bahwa India “tidak sepenuhnya meninggalkan
negara sedang berkembang serta keengganan diplomasi pro-Dunia Ketiga-nya, retorika
untuk meratifikasi Protokol Kyoto merupakan peradabannya atau [memilih] strategi distributif
simpul konflik kedua kubu. Kesimpulannya, yang mendukung negara-negara maju.”
konflik itu terjadi karena masalah psikologis Latar belakang sejarah India sebagai negara
semata, yakni kecenderungan Barat (The West) bekas penjajahan membuat ia memiliki ikatan
untuk mempertahankan status quo di saat emosional dengan sesama negara Dunia Ketiga.

226
Mohamad Rosyidin, Konflik Internasional Abad ke-21? Benturan Antarnegara Demokrasi
dan Masa Depan Politik Dunia

Terlebih lagi, masuknya India dalam forum kepada pembaca, tetapi argumentasi yang
BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan South dibangun jelas dipengaruhi oleh pesimisme
Africa) menjadikan kebijakan luar negerinya ala Huntington.2 Alasannya, tersebar-luasnya
lebih condong pada kepentingan negara-negara demokrasi ke seluruh dunia merupakan
sedang berkembang. Meskipun India menjalin pertanda baik bagi masa depan umat manusia.
hubungan diplomatik yang sangat erat dengan Demokrasi yang mengglobal berarti membuka
Barat (Amerika Serikat), tetapi India mampu peluang bagi terciptanya tatanan dunia yang
memainkan identitas yang berbeda untuk damai, stabil, makmur, penuh kerja sama, dan
menjaga keseimbangan antara Barat dan non- kebebasan manusia yang tak pernah terjadi
Barat (Rosyidin, 2013). Resistensi India ini bisa sebelumnya (hlm. 20). Pernyataan ini tentu
menghambat proses sosialisasi timbal-balik kontradiktif dengan paradigma konfliktual
karena justu akan menciptakan garis demarkasi yang dipakai sebagai basis argumentasi buku
identitas antarnegara demokrasi. Meskipun ini. Jika dunia yang akan datang diwarnai oleh
sama-sama menganut demokrasi, bahkan konflik antar sesama negara demokrasi, maka
Presiden Barack Obama pernah mengatakan optimisme bahwa demokrasi akan membawa
bahwa India dan Amerika Serikat adalah tatanan dunia seperti itu jelas tidak dapat
“sekutu alami” (natural ally) karena sama-sama diterima.
sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, Kedua, yang paling fatal, buku ini tidak
namun keengganan India untuk menanggalkan konsisten dalam memilih variabel dependen
identitasnya sebagai ‘aspirator negara sedang untuk membangun teori tentang benturan
berkembang’ menciptakan gesekan-gesekan antarnegara demokrasi. Secara metodologis,
politik antara negara-negara maju dan sedang buku ini tidak konsisten dalam bangunan
berkembang. teoritisnya; kesahihan internal teori yang
Berbekal skenario semacam itu, masa dikemukakan dalam buku ini amat lemah.
depan politik dunia masih akan tetap suram. Buku ini ingin menjelaskan konflik antara
Kendati semakin banyak negara yang memilih negara demokrasi Barat dan negara demokrasi
demokrasi sebagai sistem politik yang dapat baru (emerging democracies), namun dalam
menjanjikan kemakmuran dan kemajuan, perjalanannya buku ini justru mengambil
namun dalam praktiknya perdamaian yang kasus-kasus konflik antara kekuatan Barat
dielu-elukan oleh para pendukung teori dan kekuatan Dunia Ketiga yang sedang
perdamaian demokratis tidak mudah untuk mengalami kebangkitan (emerging powers)
diwujudkan. Sifat keras kepala Barat sebagai seperti India, Cina, Rusia, Brazil, dan lain-lain.
pihak yang merasa berhak mengatur dunia, Negara-negara itu tidak bisa dikategorikan
ditambah dengan tipikal negara-negara sebagai emerging democracies. Kecuali Cina dan
demokrasi baru yang cenderung anti status Rusia, kekuatan-kekuatan dunia baru yang
quo, menimbulkan friksi-friksi politik yang tak sekaligus merupakan negara-negara demokrasi
terhindarkan. baru, seperti Brazil, Turki, Indonesia, dan
India, adalah “global swing states,”3 (Kliman and
Emerging Democracies atau Emerging
Powers? 2
Pesimisme Huntington berangkat dari paradigma realis
yang menekankan pada sifat hubungan internasional
Meskipun mencoba merevisi tesis yang cenderung konfliktual. Huntington melihat
H u n t i n g t o n d a n F u k u ya m a , b u k u i n i konflik internasional pasca Perang Dingin bukan lagi
mengandung beberapa kelemahan, dengan konflik ideologi, melainkan konflik identitas.
3
Global swing states merujuk pada negara-negara
satu di antaranya cukup fatal. Pertama, yang mengombinasikan kebijakan pro-negara maju
buku ini menyampaikan pesan optimisme dan pro-negara berkembang. Mereka cenderung

227
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 3, Maret 2015

Fontaine, 2012) yang kendati memiliki pretensi emerging powers memiliki kepentingan untuk
untuk mereformasi tatanan global, namun tidak meningkatkan status dan peranan mereka di
sampai menimbulkan gejolak internasional level internasional. Mengutip kalimat Voltaire,
yang mengganggu. Sama seperti negara- “kekuatan yang besar mendorong tanggung
negara besar lainnya, mereka lebih cenderung jawab yang besar ” (withgreat power comes
pragmatis dengan mengintegrasikan diri dalam great responsibility). Negara emerging powers
tata kelola internasional ketimbang berupaya umumnya memiliki pondasi ekonomi yang
menciptakan gelombang revolusi untuk kokoh dan militer yang kuat. Mengikuti logika
mengubahnya (Kahler, 2013: 712). Kontras perimbangan kekuatan klasik, tidak boleh ada
dengan hal tersebut, buku ini berpandangan satu pun negara yang mendominasi sistem
bahwa aspirasi global negara-negara itu akan internasional. Ketika kekuatan-kekuatan baru
menimbulkan konflik internasional. Alhasil, itu tumbuh, mereka menghendaki supaya
konflik seperti yang digambarkan dalam buku dominasi segera diakhiri. Dalam proses inilah
ini lebih condong pada konflik antara emerging benturan kepentingan antara kekuatan baru
powers melawan established powers, bukan dan lama terjadi.
antara emerging democracies dan established Ketiga, masih berhubungan dengan
democracies. argumen sebelumnya, gagasan tentang
Secara konseptual, terdapat perbedaan konflik antara Barat dan negara sedang
mendasar antara emerging democracies dan berkembang sebagai bagian dari teori “benturan
emerging powers dalam hal strategi dan prioritas demokratisasi” tidaklah bersifat prediktif.
kebijakan luar negeri. Negara demokrasi Konflik seperti itu sudah lama terjadi seiring
baru, setidaknya untuk jangka pendek, tidak dengan munculnya kekuatan-kekuatan besar
memprioritaskan kebutuhan untuk berbagi dari negara non-Barat, khususnya Asia. Jim
peran dan tanggung jawab internasional O’Neill pada tahun 2001 sudah memprediksi
bersama dengan negara demokrasi maju. munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi
Mereka lebih memusatkan perhatian pada baru yang akan mengubah pola interaksi
konsolidasi demokrasi di dalam negeri internasional. Dalam tulisannya, O’Neill
ketimbang berambisi mendapatkan status (2001: 10) menganjurkan supaya forum-forum
istimewa di level internasional. Mereka pembuat kebijakan dunia perlu ditata kembali;
harus memperkuat pondasi domestik forum G7 secara khusus harus memasukkan
sebelum berkiprah di level internasional dan kekuatan-kekuatan baru tersebut supaya
memperkuat struktur ekonomi supaya mampu “pembuatan keputusan global [menjadi] lebih
meningkatkan posisi tawar di hadapan negara efektif.” Munculnya kekuatan-kekuatan baru
lain. Diamond berpendapat bahwa kebanyakan non-Barat akan mengubah sistem internasional
negara demokrasi baru memerlukan yang tadinya unipolar menjadi multipolar.
reformasi kelembagaan dan memperkuat Seperti dikatakan Andrew Cooper and Alan
“demokrasi delegatif” karena masih kuatnya Alexandroff (2010: 6), “Kunci tatanan [global]
partikularisme, minimnya akuntabilitas, dan abad ke-21 akan ditentukan oleh bagaimana
korupsi (dalam Diamond et.al, 1997: xviii). visi kekuatan-kekuatan baru itu terhadap
Berbeda dengan emerging democracies, negara organisasi tata kelola global. [Sedangkan]
masalahnya terletak pada upaya kekuatan-
kekuatan lama untuk mempertahankan hak
mempertahankan tatanan internasional yang sudah
ada, meskipun kadangkala masih berkeinginan untuk istimewanya.” Dengan kata lain, konflik yang
mereformasinya. Mereka adalah negara-negara yang digambarkan merupakan konflik antarnegara
memiliki kapabilitas ekonomi yang kuat, letak geografis
yang strategis, dan mengadopsi sistem demokrasi. demokrasi sebenarnya merupakan konflik

228
Mohamad Rosyidin, Konflik Internasional Abad ke-21? Benturan Antarnegara Demokrasi
dan Masa Depan Politik Dunia

yang muncul sebagai konsekuensi logis dari semacam itu sudah diajukan oleh beberapa
pergeseran kekuatan global (power shift) yang pakar hubungan internasional beberapa tahun
sudah tampak kecenderungannya pada awal lalu. Kupchan dalam bukunya yang berjudul No
dekade 2000-an. One’s World (2012) menyatakan bahwa abad ke-
Keempat, buku ini mendua dalam 21 bukan milik Amerika Serikat, Eropa, apalagi
memprediksi bentuk konflik internasional Cina. Dalam situasi di mana terdapat banyak
masa depan. Sebagaimana sudah disampaikan, pusat gravitasi kekuatan dunia, konflik akan
Harrison dan Mitchell berargumen bahwa semakin banyak bermunculan. Sejalan dengan
bentuk konflik antara Barat dan non-Barat hal itu, Bremmer (2012) juga menyatakan
di masa depan adalah konflik politik, bukan dengan nada pesimis bahwa kondisi di mana
militer. Hal ini berarti konflik yang dimaksud tidak ada kepemimpinan global atau “G-Zero
hanya sebatas gesekan kepentingan atau World,” kapabilitas negara-negara untuk
perbedaan pendapat yang tidak akan bereskalasi menjaga perdamaian akan berkurang; mereka
menjadi benturan (clash) dalam pengertian akan kesulitan dalam memperluas kerja
yang sebenarnya. Benturan yang terjadi sama dan akan menciptakan sumber-sumber
hanya di tataran ide, bukan fisik. Menurut pertikaian baru.
buku ini, hal itu disebabkan kecenderungan
negara demokratis untuk menyelesaikan Memetakan Konflik Internasional di
masalah dengan cara non-kekerasan (hlm. 154). Abad ke-21
Konsepsi konflik internasional masa depan Memprediksi adalah upaya tersulit
ini jelas berbeda dengan konsepsi Huntington dalam kegiatan keilmuan. Memprediksi pada
yang mendefinisikan “benturan” sebagai dasarnya tidak sama dengan meramal. Bila
konflik fisik alias perang. Huntington (1993: meramal tidak membutuhkan penalaran,
25) menulis bahwa “perbedaan antarperadaban memprediksi mensyaratkan adanya
telah menimbulkan konflik yang paling analisis sebagai bahan pertimbangan untuk
lama dan paling keras [cetak miring dari mengeluarkan dugaan-dugaan tentang apa
penulis].” Akibat kesalahan konseptual tentang yang akan terjadi. Memprediksi sama artinya
bentuk konflik masa depan ini, buku ini telah dengan mengajukan hipotesis, berhipotesis
mengaburkan perbedaan antara kondisi juga berarti berteori. Memprediksi adalah
perang dan damai. Dalam khasanah pemikiran kegiatan men-teori-kan masa depan.
HI, konflik tanpa melibatkan benturan fisik Dalam literatur politik internasional,
dapat disebut sebagai kondisi damai. Buku sudah banyak upaya prediksi yang dilakukan
ini terlalu membesar-besarkan persoalan para sarjana Barat dalam memetakan masa
perbedaan pendapat dan kepentingan antara depan konflik internasional. Salah satu prediksi
Barat dan non-Barat sebagai sebuah skenario yang sangat berbobot, namun sekaligus memicu
konflik masa depan. Mengingat hubungan kontroversi besar, adalah teori Huntington
internasional tidak mungkin sepenuhnya tentang “benturan antarperadaban.” Prediksi
diliputi kerja sama, konflik-konflik yang Huntington mampu menjelaskan dengan baik
disebabkan oleh perbedaan pendapat dan perihal konflik antara perdaban Barat dan
kepentingan antarnegara, sekalipun tanpa non-Barat, khususnya Islam dan Cina. Akan
melibatkan kekuatan militer, adalah hal yang tetapi, analisis itu cenderung sangat simplistis
lumrah. sehingga terkesan mengabaikan dimensi-
Di luar hal tersebut, paradigma buku dimensi internal dari setiap peradaban. Sebagai
ini yang melihat dunia secara konfliktual contoh, konflik yang terjadi di Timur Tengah
sebetulnya bukan barang baru. Skenario dan Afrika kebanyakan bernuansa sektarian

229
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 3, Maret 2015

yang memecah-belah suatu negara ketimbang nasional negara penyerang. Perang sangat
konflik antarnegara. Bahkan di Cina, konflik mungkin didorong oleh doktrin klasik “just
kerap terjadi di Xinjiang antara etnis Uighur dan war” yang lebih mempertimbangkan aspek-
mayoritas Han. Artinya, dunia masih diwarnai aspek kemanusiaan seperti pelanggaran berat
oleh “sindrom pasca Perang Dingin,” yakni hak asasi manusia (HAM) oleh rezim otoriter.
konflik-konflik internal yang berlatarbelakang Invasi NATO ke Libya pada 2011 merupakan
perbedaan identitas. contoh kasus menarik bagaimana konflik
Tulisan ini berpendapat bahwa sejak antarnegara berjalin-berkelindan dengan
berakhirnya Perang Dingin hingga sepuluh atau konflik yang terjadi di dalam negara tersebut.
dua puluh tahun mendatang, konflik akibat Berbeda dengan serangan AS ke Afganistan
perbedaan identitas masih akan mendominasi dan Irak, serangan negara-negara Barat ke
wajah politik dunia abad ke-21. Konflik seperti Libya dipicu oleh perang saudara antara
ini lebih berbahaya dibandingkan konflik kelompok pro dan anti-pemerintah. Begitu
antarnegara yang relatif lebih mudah dicari pula, intervensi militer Perancis ke Mali pada
penyelesaiannya. Alasannya, konflik identitas 2013 juga dipicu oleh konfl ik yang terjadi
bersumber dari nilai-nilai yang diyakini di dalam negara itu. Jadi, dapat dikatakan
sehingga seringkali konflik tidak lagi rasional. bahwa konflik antarnegara sekarang dan di
Sebagai contoh, konflik etnis antara Hutu dan masa depan akan tumpang-tindih dengan
Tutsi, Bosnia dan Serbia, dan lain sebagainya konfl ik internal di salah satu negara yang
membunuh jutaan jiwa, belum lagi dendam terlibat.
yang diwariskan secara turun-temurun solusi Masih terkait dengan karakteristik konflik
berjangka panjang atasnya sulit dicari. Klaim di atas, kondisi keamanan internasional akan
ini tentu saja bukan berarti mengesampingkan diperburuk dengan menguatnya kelompok
konflik antarnegara, namun saat ini konflik fanatik yang merongrong kekuasaan negara.
akan memiliki bentuk yang lebih kompleks Kelompok-kelompok radikal sejak lama
dibandingkan konflik antarnegara klasik di menjadi musuh nomor satu bagi seluruh
mana satu negara secara frontal menyerang negara di dunia untuk diperangi. Konflik
negara lainnya. Agresi Rusia terhadap Ukraina antara aktor negara melawan aktor non-
baru-baru ini, misalnya, mencerminkan negara ini dapat disebut sebagai konflik
anakronisme itu. Intervensi militer Rusia di asimetris. Ferguson dan Mansbach (2004: 254)
Ukraina dianggap sebagian besar pengamat menulis bahwa “Melihat berbagai konflik yang
dan komunitas internasional sebagai “sindrom sedang muncul, perang pos-internasional akan
Perang Dingin” (Slantchev, 2014). Anggapan mengambil bentuk [perang] asimetri.” Konflik
ini tidak terlalu berlebihan sebab cara-cara asimetris didefinisikan sebagai konflik antara
konflik antarnegara semacam itu, di mana pihak-pihak yang memiliki kesenjangan dalam
satu negara melanggar kedaulatan negara lain hal sumberdaya, kekuasaan, dan strategi.
secara langsung, merupakan karakteristik dari Pola konflik semacam ini sebetulnya sudah
politik internasional era Perang Dingin. lama terjadi, tetapi menguat kembali sejak
Perang antarnegara seperti invasi AS ke permulaan abad ke-21 ketika negara-negara
Afganistan dan Irak mungkin akan terjadi lagi Barat berperang melawan kelompok-kelompok
dalam waktu dekat. Tetapi, sekali lagi tulisan radikal yang berafiliasi dengan jaringan teroris
ini berpendapat bahwa konflik semacam itu Al Qaeda.
lebih dipicu oleh masalah lain yang jauh lebih Perang asimetris cenderung berlangsung
kompleks ketimbang sekedar mengatakan lebih lama dibandingkan perang antarnegara
bahwa faktor utamanya adalah keamanan konvensional. Bandingkan antara invasi Rusia

230
Mohamad Rosyidin, Konflik Internasional Abad ke-21? Benturan Antarnegara Demokrasi
dan Masa Depan Politik Dunia

ke Ukraina yang hanya berlangsung sekejap4 dendam,” menurut Richard Ned Lebow
dengan perang AS melawan gerilyawan di Irak (2010: 185), “adalah ekspresi kemarahan
dan Taliban di Afganistan yang berlangsung ... dan semangat” untuk melawan musuh.
bertahun-tahun tanpa menemukan titik akhir. Konflik horizontal antaraliran keagamaan
Pakar geopolitik George Friedman memprediksi yang dipadu dengan konflik vertikal melawan
bahwa konflik antara AS melawan kelompok negara Irak berkembang seperti bola salju
radikal belum menujukkan tanda-tanda akan yang akhirnya menyeret keterlibatan negara-
berakhir dan paling tidak akan berlangsung negara besar. AS memutuskan melakukan
hingga tahun 2020 (Friedman, 2009: 38). Ketika serangan udara yang dibantu oleh Perancis.
Presiden George W. Bush (2003) mengklaim Sejumlah negara bersepakat untuk membantu
dalam pidatonya bahwa “kita telah menang” menghancurkan ISIS, seperti Turki, Jerman,
(mission accomplished), dapat dinilai bahwa Australia, Arab Saudi, dan negara-negara
kesimpulannya itu terlalu prematur. Faktanya, sekutu Barat lainnya.
AS justru semakin dibuat frustrasi dengan Terlepas dari teori konspirasi yang
semakin meningkatnya perlawanan dari mengatakan bahwa kekacauan yang diakibatkan
kelompok-kelompok radikal yang muncul oleh kemunculan ISIS adalah bagian dari
secara sporadis di berbagai belahan dunia. strategi AS untuk memecah-belah kawasan,5
Perang asimetris akan menjadi konflik yang perang asimetris antara sekelompok negara
tidak berkesudahan. melawan sepasukan kecil kelompok fanatik
Di kawasan konflik paling panas, merupakan fakta yang tidak dapat disangkal.
Timur Tengah, dapat dilihat bagaimana Karena strategi yang dipakai kedua kubu
perang asimetris berlangsung dengan sengit. sangat berbeda, dimana negara menggunakan
Kemunculan kelompok ultra-radikal “Negara kekuatan militer sedangkan kelompok teroris
Islam” (sering dinamakan ISIS atau the Islamic menggunakan kekuatan teror dan propaganda,
State in Iraq and Syria) sangat fenomenal: ia maka dapat dipastikan negara sangat sulit
dapat menyeret banyak negara – lebih dari memenangkan perang tersebut. Amerika
60 negara bergabung dalam koalisi melawan Serikat terbukti sangat kewalahan melawan
ISIS yang dikomando oleh Amerika Serikat kelompok militan Taliban di Afganistan dan
– untuk terlibat langsung di dalam pusaran Pakistan, sekalipun ia mengerahkan alat-
konflik. Kelompok sempalan Al Qaeda ini alat perang berteknologi tinggi seperti drone.
menebar teror di dua “negara gagal,” yaitu Pelajaran ini berpotensi ditiru oleh kelompok-
Suriah dan Irak, dan telah memproklamirkan kelompok lain dalam meraih tujuan mereka
berdirinya “negara Islam,” sebuah keputusan sehingga konflik asimetris akan dapat bertahan
berani yang bahkan jauh melampaui Al cukup lama di waktu yang akan datang.
Qaeda. Sebelum menjelma menjadi perang Selain konflik asimetris yang mengusung
asimetris, pola konflik yang berkembang visi-visi apokaliptik, konflik masa depan juga
mengikuti pola konflik sektarian yang dipicu
oleh aksi balas dendam ISIS kepada kelompok 5
Salah satu teori konspirasi itu adalah “Strategi
minoritas Syiah yang mengontrol Irak. “Balas Sarang Lebah” (Hornet’s Nest Strategy) yang diungkap
oleh mantan pegawai Badan Keamanan Nasional
Amerika (NSA) Edward Snowden. Menurut teori ini,
4
Meskipun hingga kini konflik kedua negara masih kemunculan ISIS tidak dapat dilepaskan dari strategi
berlangsung, namun eskalasinya relatif menurun rahasia antara CIA, MI6, dan Mossad untuk menarik
jika dibandingkan dengan awal mula agresi yang para “ekstrimis”di seluruh dunia ke satu tempat (Timur
dilancarkan Rusia pada bulan Maret 2014. Sejak Tengah) guna mengacaukan stabilitas negara-negara
Januari 2015, pertempuran-pertempuran yang terjadi Arab. Teori itu juga mengungkapkan bahwa pemimpin
bersifat sporadis yang melibatkan kelompok-kelompok ISIS Abu Bakr Al Baghdadi pernah dilatih oleh Mossad
paramiliter antara kedua kubu. di Yordania (Liveleak, 2014).

231
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 3, Maret 2015

sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. terhadap suatu negara dapat disamakan
Dunia digital dewasa ini telah mengalami dengan invasi sehingga dapat dianggap
perkembangan yang sangat luar biasa. melanggar kedaulatan (Betz and Stevens,
Kehidupan manusia di banyak aspek saat ini 2011: 61). Ketika Wikileaks membocorkan
tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Internet. ribuan kawat diplomatik berkategori sangat
Pesatnya perkembangan teknologi informasi rahasia (top secret) dan mempublikasikannya
dan komunikasi didasari oleh Hukum Moore ke seluruh dunia melalui Internet, hal ini
yang mengatakan bahwa kecepatan chip sama artinya dengan ancaman terhadap
komputer pengolah data berlipat setiap 18 keamanan nasional suatu negara. Ancaman
bulan atau hanya satu setengah tahun (Schmidt ini pada gilirannya dapat memicu kemarahan
and Cohen, 2013: xiii). Dapat dibayangkan sehingga berpotensi menimbulkan konflik
bagaimana teknologi berubah sangat cepat antarnegara. Meskipun Julian Assange sebagai
hanya dalam tempo beberapa tahun saja. pendiri Wikileaks dapat dikenai pidana akibat
Imbas dari kemajuan teknologi dalam pembocoran informasi, Wikileaks tidak menjadi
bidang hubungan internasional menyentuh musuh dalam konflik yang dapat terjadi. Hal
sampai pada level kebijakan negara. Menurut yang serupa berlaku dalam kasus pembocoran
Joseph Nye, penguasaan teknologi informasi hasil penyadapan telepon NSA yang dilakukan
sangat menentukan pengaruh suatu negara oleh Snowden. Begitu mengetahui NSA
di dunia internasional. Penguasaan teknologi menyadap pembicaraan telepon para pejabat
merupakan sumberdaya penting pada mereka, Jerman dan Brazil marah besar kepada
abad ke-21 sebagai salah satu instrumen AS dan Indonesia marah kepada Australia.
mencapai kepentingan nasional. Nye menyebut Hubungan Indonesia dan Australia bahkan
sumberdaya ini sebagai cyberpower yang sempat memburuk akibat kejadian tersebut.
didefinisikan sebagai “kemampuan mencapai Kasus-kasus ini membuktikan bahwa konflik
keinginan melalui penggunaan sumberdaya antarnegara di masa yang akan datang tidak
informasi yang terkoneksi secara elektronik hanya dipicu masalah yang terkait dengan
dalam sebuah ruang cyber” (Nye, 2011: kepentingan geopolitik dan geostrategi, tetapi
123). Biasanya, teknologi informasi dapat juga diakibatkan maraknya ‘kebebasan tanpa
dimanfaatkan negara sebagai soft power untuk batas’ ruang cyber yang mengancam keamanan
membentuk opini pihak lain, misalnya melalui nasional suatu negara.
informasi-informasi yang dipublikasikan Bentuk konflik internasional lain di
di Internet. Namun, teknologi dapat pula abad ke-21 yang dapat diprediksi adalah
berperan sebagai hard power yang mampu konflik yang disebabkan oleh perebutan
memberikan efek mengancam bagi pihak lain, sumberdaya alam. Sejak ribuan tahun lalu
misalnya perang cyber dan penggunaan drone peradaban-peradaban besar dunia saling
(pesawat tanpa awak berteknologi tinggi). menaklukkan dan menumpahkan darah
Insiden Wikileaks dan pembocoran satu sama lain demi menguasai sumberdaya
hasil sadapan Badan Keamanan Nasional alam. Benar kata banyak orang, sejarah selalu
Amerika (NSA) oleh Edward Snowden berulang. Masa depan umat manusia agaknya
merupakan contoh kasus menarik terkait akan kembali ke masa lampau di mana negara-
dengan wajah konflik internasional abad ke- negara akan saling berebut sumberdaya alam
21. Meskipun teknologi informasi tidak dapat demi menjaga kelangsungan hidup penduduk
menghapus kedaulatan, ruang cyber tidak mereka. Akses terhadap sumberdaya alam
mengenal kedaulatan; eksistensinya bahkan akan menjadi tujuan utama dari strategi
dapat melanggar kedaulatan. Ancaman cyber keamanan nasional sehingga persaingan dalam

232
Mohamad Rosyidin, Konflik Internasional Abad ke-21? Benturan Antarnegara Demokrasi
dan Masa Depan Politik Dunia

mendapatkan akses tersebut akan menjadi sedang bangkit, Cina membutuhkan suplai
sumber instabilitas politik internasional (Garrett energi yang sangat besar untuk menggerakkan
and Piccini, 2012: 7-8). Bagaimana klaim ini sektor industrinya. Salah satu implikasi dari
dapat dipercaya? Logikanya cukup sederhana. kepentingan ini adalah konflik di Laut Cina
Jumlah penduduk bumi saat ini lebih dari tujuh Selatan di mana Cina terlihat sangat agresif
milyar jiwa. Menurut data Biro Sensus Amerika untuk menguasai kawasan yang menyimpan
Serikat, per 1 Januari 2015 jumlah penduduk cadangan minyak sebesar 11 milyar barel
dunia telah menembus angka 7,2 milyar jiwa dan gas 190 triliun kaki kubik itu (U.S Energy
(Republika, 2015). Dengan jumlah itu tentu Information Administration, 2014).
saja ada banyak mulut untuk diberi makan Contoh kedua adalah logam mulia. Jika
dan minum agar dapat hidup dan produktif. dahulu para penjajah Eropa berperang untuk
Di luar itu, tentu saja manusia membutuhkan mendapatkan akses terhadap rempah-rempah
alat untuk menopang kebutuhan dan aktivitas dan emas, kini industrialisasi mendorong
mereka, misalnya kendaraan untuk pergi negara-negara mendapatkan akses terhadap
bekerja, pabrik untuk memproduksi barang- logam-logam yang jauh lebih mulia daripada
barang, dan seterusnya. Kebutuhan manusia emas dan perak. Beberapa unsur tanah langka
di jaman serba canggih dewasa ini tidak hanya seperti scandium, yttrium, lantanum, dan cerium
sebatas makan, minum, dan bekerja, tetapi juga adalah sumberdaya alam masa depan yang saat
kebutuhan menggunakan perangkat teknologi ini menjadi unsur terpenting dari perangkat-
mutakhir seperti telepon seluler, laptop, perangkat canggih seperti bahan baterai untuk
komputer tablet, dan perangkat-perangkat mobil hibrida, i-Pad, Blackberry, ponsel cerdas,
canggih lainnya. lensa kamera, memori komputer, bahkan
Terdapat empat kebutuhan pokok manusia sistem rudal terpandu (Hiscock, 2012: 3).
di abad ke-21, yaitu pangan, air, energi, dan Kepentingan ekonomi di balik produksi alat-
logam (Hiscock, 2012). Keempat kebutuhan alat berteknologi tinggi akan membawa negara-
pokok tersebut merupakan konsumsi dasar negara maju ke dalam friksi-friksi yang akan
manusia. Semakin banyak jumlah penduduk terjadi di masa depan. Pola konflik antarnegara
dunia, semakin meningkat konsumsi mereka. seperti ini sudah pernah terjadi. Pada tahun
Semakin meningkat konsumsi, semakin 2012, misalnya, AS, Jepang, dan 27 negara
meningkat permintaannya. Semakin meningkat anggota Uni Eropa menuntut Cina ke World
permintaan, semakin meningkat pula keinginan Trade Organization (WTO) karena membatasi
pemerintah suatu negara untuk mendapatkan pasokan logam langka. Cina menguasai 97
sumber-sumber kebutuhan tersebut. Ketika persen suplai logam langka dunia sehingga
peningkatan kebutuhan itu menjadi tak dapat memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap
dibendung, pemerintah akan menggunakan negara industri maju. Monopoli Cina justru
berbagai cara untuk mendapatkannya. Hal memicu konflik dengan negara-negara maju
ini sangat berpotensi menjadi ‘garis singgung’ yang kemudian ingin mencari sumber-sumber
konflik antarnegara. Msalnya, kebutuhan akan baru untuk mengamankan pasokan. Afrika dan
energi. Kebutuhan Cina sekarang ini akan sejumlah negara lainnya kemungkinan besar
pasokan minyak sangat besar. Cina merupakan akan menjadi lahan perburuan logam langka
negara pengimpor minyak terbesar kedua di di kemudian hari.
dunia setelah AS. Kebutuhan minyak Cina
diperkirakan mencapai 10,7 juta barel per Kesimpulan
hari (U.S Energy Information Administration, Memprediksi gambaran konflik dunia di
2014). Sebagai salah satu kekuatan dunia yang masa depan tidak mudah, sama halnya dengan

233
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 3, Maret 2015

memprediksi bagaimana perdamaian dunia atau meminjam istilah Fareed Zakaria (2008),
bisa terwujud. Secara keseluruhan, buku ini “the rise of the rest.” Bedanya, teori ini bernada
dapat dikatakan hanya tinggal obsesi. Buku ini pesimistis karena percaya bahwa masa depan
berupaya merumuskan suatu teori baru tentang politik internasional bernuansa konfliktual
konflik internasional di abad ke-21, tetapi gagal ketimbang kerjasama.
dalam menyediakan bukti-bukti empiris untuk Terlepas dari itu semua, buku ini berhasil
mendukungnya. Kontribusi teoritis yang mengombinasikan berbagai pendekatan yang
diharapkan dapat memberikan paradigma tampak saling berseberangan menjadi satu
baru dalam memahami masa depan politik paradigma tunggal yang koheren. Berbeda
dunia masih menyisakan tanda tanya besar. dengan kebanyakan teoritisi yang cenderung
Kegagalan buku ini dalam memilah antara mendasarkan diri pada satu paradigma tunggal,
pergeseran kekuasaan (power shifting) dan buku ini memakai metodologi campuran atau
demokratisasi berujung pada kemenduaan teori apa yang kemudian dikenal dengan “pendekatan
“benturan demokratisasi” dalam memprediksi eklektis” (Sil and Katzenstein, 2010). Bangunan
konflik antarnegara di abad ke-21. teoritis buku ini setidaknya menggabungkan
Pemilihan Arab Spring sebagai titik tolak tiga paradigma, yaitu paradigma konflik
perumusan teori “benturan demokratisasi” yang dipinjam dari Huntington, paradigma
tidak ditindaklanjuti secara konsisten. Alih- kemenangan demokrasi dari Fukuyama, dan
alih memprediksi apa yang bakal terjadi paradigma pragmatismenya Mahbubani.
dengan negara-negara demokrasi baru dalam Kombinasi berbagai pendekatan ini menarik
hubungannya dengan negara-negara demokrasi sehingga menjadi kontribusi berharga
Barat, buku ini justru menyimpang dengan bagi khasanah pemikiran dalam lingkup
membahas kasus-kasus konflik antara emerging studi HI kontemporer. Sebagai gagasan
powers dan Barat mengenai tata kelola global. yang berorientasi prediktif, dunia masih
Alhasil, teori Harrison dan Mitchell cacat menanti apakah prediksi teori “benturan
secara internal karena inkonsistensi dalam demokratisasi” yang dikemukakan dalam
bangunan argumentasinya. Padahal, teori yang buku ini akan menemukan pembuktiannya,
baik minimal mengandung dua syarat: sahih serupa dengan serangan teroris 11 September
secara internal dan sahih secara eksternal. yang membuktikan tesis Huntington dan Arab
Untuk sahih secara internal, sebuah teori Spring yang membuktikan tesis Fukuyama.
harus konsisten dalam segi logika berpikirnya. Kompleksitas hubungan internasional
Sebagai contoh, jika ingin merumuskan teori abad ke-21 tidak menghalangi kita untuk
tentang negara maju, maka negara maju menerka-nerka seperti apa gambaran masa
harus menjadi variabel yang dijelaskan, depan umat manusia. Bagaimanapun, konflik
bukan negara miskin. Sedangkan sahih secara dan pertumpahan darah akan terus terjadi di
eksternal maksudnya adalah bahwa sebuah tengah-tengah gelombang demokratisasi dan
teori harus cocok dengan fakta-fakta yang meningkatnya standar kehidupan masyarakat
terjadi. Teori “benturan demokratisasi” tidak dunia. Skenario konflik di masa yang akan
sahih secara internal karena tidak konsisten datang akan memiliki banyak bentuk. Tulisan
antara apa yang ingin dijelaskan dan logika ini memberikan sudut pandang yang berbeda
apa yang mendasarinya. Walaupun berguna dengan skenario yang ditawarkan buku ini.
untuk memahami pola interaksi internasional Tiga skenario konflik masa depan yang paling
kontemporer, teori ini tidak lebih daripada mungkin adalah perang asimetris antara negara
upaya mengafirmasi kecenderungan global melawan kelompok radikal, konflik antarnegara
dengan bangkitnya negara-negara non-Barat, akibat keterbukaan informasi yang tak dapat

234
Mohamad Rosyidin, Konflik Internasional Abad ke-21? Benturan Antarnegara Demokrasi
dan Masa Depan Politik Dunia

dibendung, dan konflik antarnegara akibat Huntington, S. (1991). Democracy’s Third


perebutan sumberdaya alam yang semakin Wave. Journal of Democracy, Vol. 2, No. 2
langka. Gambaran suram tentang masa depan (Spring), pp. 12-34.
umat manusia di abad ke-21 hendaknya menjadi Huntington, S. (1993). The Clash of Civilization?
bahan kajian dan refleksi mendalam bagi seluruh Foreign Affairs, Vol. 72, No. 3 (Summer), pp.
elemen masyarakat internasional untuk mencari 22-49.
strategi paling masuk akal untuk mengelola Kahler, M. (2013). Rising Powers and Global
konflik-konflik mendatang dengan baik agar Governance: Negotiating Change in A
dunia menjadi lebih aman untuk ditinggali. Resilient Status Quo. International Affairs,
Vol. 89, No. 3, pp. 711-729.
Daftar Pustaka Kliman, D. and R. Fontaine. (2012). Global Swing
Betz, D. and T. Stevens. (2011). Cyberspace and States: Brazil, India, Indonesia, Turkey and the
The State: Toward A Strategy for Cyber-Power. Future of International Order. Washington,
London: Routledge & IISS. DC: Center for a New American Security
Bremmer, I. (2012). Every Nation for Itself: and the German Marshall Fund of the
Winners and Losers in a G-Zero World. United States.
London: Penguin. Kupchan, C. (2012). No One’s World: The West,
Bush, G.W. (2003). Bush makes historic speech the Rising Rest, and the Coming Global Turn.
aboard warship. (Online). (http://edition. New York: Oxford University Press.
cnn.com/2003/US/05/01/bush.transcript/, Lebow, R. (2010). Why Nations Fight: Past
diakses 2 Juli 2015). and Future Motives for War. Cambridge:
Cooper, A. and A. Alexandroff. (2010). Cambridge University Press.
Introduction. Dalam A. Cooper and A. Liveleak (2014). Snowden document revealed:
Alexandroff (eds.), Rising States, Rising ISIS caliphate working for America and
Institutions: Challenges for Global Governance. Israel. (Online). (http://www.liveleak.com/
Washington D.C: Brookings Institution view?i=76b_1406255768, diakses 20 Juni
Press. 2015).
Diamond, L. (1997). Introduction: In Search Mahbubani, K. (2011).Asia Hemisfer Baru Dunia:
of Consolidation. Dalam L. Diamond, Pergeseran Kakuatan Global ke Timur yang Tak
et.al (eds.), Consolidating the Third Wave Terelakkan, terj. Th. Bambang Murtianto.
Democracies: Regional Challenges. Baltimore: Jakarta: Kompas Media Nusantara.
John Hopkins University Press. Mearsheimer, J.and S. Walt. (2013). Leaving
Diamond, L. (1997). The End of the Third theory behind: Why simplistic hypothesis
Wave and the Global Future of Democracy. testing is bad for International Relations.
Political Science Series No. 45 (July). European Journal of International Relations,
Ferguson, Y. and R. Mansbach. (2004). Remapping Vol. 19, No. 3, pp. 427-457.
Global Politics: History’s Revenge and Future Narlikar, A. (2006). Peculiar Chauvinism or
Shock. Cambridge: Cambridge University Strategic Calculation? Explaining the
Press. Negotiating Strategy of A Rising India.
Friedman, G. (2009). The Next 100 Years: A International Affairs, Vol. 82, No. 1, pp. 59-76.
Forecast for the 21 st Century. New York: Nye, J. (2011). The Future of Power. New York:
Doubleday. Public Affairs.
Garrett, N. and A. Piccini. (2012). Natural Resources O’Neill, J. (2001). Building Better Global
and Conflict: A New Security Challenge for the Economic BRICs. Global Economic Paper, No.
European Union. Stockholm: SIPRI. 66 (November).

235
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 3, Maret 2015

Republika. (2015). Jumlah penduduk dunia terus across Research Traditions. Perspectives on
meningkat. (Online). (http://www.republika. Politics, Vol. 8, No. 1 (June), pp. 411-431.
co.id/berita/internasional/global/15/01/01/ Slantchev, B. (2014). Crisis in Ukraine, Part 2:
nhgy2a-jumlah-penduduk-dunia-terus- The Cold War Syndrome. (Online). (http://
meningkat, diakses 2 Juli 2015). slantchev.ucsd.edu/comments/2014-4-cold-
Rosyidin, M. (2013). Politik Luar Negeri dalam war-syndrome.html, diakses 14 Oktober
Suasana Dilema: Politik Keseimbangan India 2014).
terhadap BRICS dan Amerika Serikat, tesis U.S Energy Information Administration.
MA, tidak dipublikasikan, Universitas (2014). China. (Online). (http://www.eia.
Gadjah Mada. gov/countries/cab.cfm?fips=ch, diakses 15
Schmidt, E. and J. Cohen. (2013). The New Oktober 2014).
Digital Age: Cakrawala Baru Negara, Bisnis, Xiaoyu, P. (2012). Socialisation as a Two-way
dan Hidup Kita, terj. Selviya Hanna. Jakarta: Process: Emerging Powers and the Diffusion
Kepustakaan Populer Gramedia. of International Norms. The Chinese Journal
Sil, R. and P. Katzenstein. (2010). Analytic of International Politics, Vol. 5, No. 4 (Winter),
Eclecticism in the Study of World Politics: pp. 341-367.
Reconfiguring Problems and Mechanisms Zakaria, F. (2008). The Post-American World.
New York: W.W Norton.

236

You might also like