Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol.

5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110

Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran


Masa Pemerintahan Mangkunegara VII
Sriyadi,* R. M. Pramutomo

Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni, Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta
Jl. Ki Hadjar Dewantara Jebres, Surakarta - Indonesia
*
Alamat korespondensi: yadisri375@gmail.com
DOI: https://doi.org/10.14710/jscl.v5i1.26657

Diterima/Received: 21 November 2019; Direvisi/Revised: 26 Maret 2020; Disetujui/Accepted: 7 April 2020

Abstract

The history of dance in Mangkunegaran is basically using the Surakarta style. During the reign of Mangkunegara VII there was the
dance called Bedhaya Bedhah Madiun dance with Yogyakarta style. This study tries to describe the factors of Yogyakarta dance
style in Pura Mangkunegaran by choosing a specific dance called Bedhaya Bedhah Madiun. It is ethnochoreological research using
the historical approach. The existence of the Bedhaya Bedhah Madiun dance in Pura Mangkunegaran is mostly influenced by the
social and political demands of Mangkunegaran. As the top of the social and political hierarchy in Mangkunegaran, Mangkunegara
VII' has policy impacts on the budgetary of the Bedhaya Bedhah Madiun dance in Mangkunegaran. The most challenging policy
is the political nuance which is carried out with the Yogyakarta Sultanate Palace. Mangkunegara VII's marriage to Gusti Timur was
blessed with a daughter, who is confirmed by her ability in dancing bedhaya and srimpi. Around 1934 Gusti Nurul was permitted
to be sent to Krida Beksa Wirama to study the Yogyakarta style of bedhaya and srimpi dance. One of the learning materials is the
Bedhaya Bedhah Madiun dance, which is then presented at Pura Mangkunegaran.

Keywords: History of Dance; Absorption; Bedhaya Bedhah Madiun; Mangkunegaran.

Abstrak

Tari yang berkembang di Mangkunegaran pada dasarnya menggunakan gaya Surakarta. Pada masa pemerintahan Mangkunegara
VII terdapat tari Bedhaya Bedhah Madiun dengan gaya Yogyakarta. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan faktor keberadaan tari
gaya Yogyakarta di Mangkunegaran, dengan memilih studi kasus pada tari Bedhaya Bedhah Madiun. Pendekatan yang digunakan
dalam studi ini adalah etnokoreologi dengan metode penelitian sejarah. Keberadaan tari Bedhaya Bedhah Madiun di
Mangkunegaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Keadaan sosial politik yang dihadapi Mangkunegaran sangat memengaruhinya.
Sebagai puncak hierarki strata sosial di Mangkunegaran, kebijakan Mangkunegara VII berdampak pada kemunculan tari Bedhaya
Bedhah Madiun di Mangkunegaran. Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap hal itu adalah pelaksanaan politik pernikahan
dengan Kasultanan Yogyakarta. Pernikahan Mangkunegara VII dengan Gusti Timur dikaruniai seorang putri yaitu G.R.Aj. Siti
Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardani yang memiliki kemampuan menari bedhaya dan srimpi. Penegasan kedudukan tidak
lepas dari peranan Gusti Timur, sebagai ibu dan permaisuri. Sekitar tahun 1934 Gusti Nurul disertai beberapa kerabat disekolahkan
ke Kridha Beksa Wirama untuk belajar tari bedhaya dan srimpi gaya Yogyakarta. Salah satu materi pembelajarannya adalah tari
Bedhaya Bedhah Madiun, yang kemudian disajikan di Mangkunegaran.

Kata Kunci: Sejarah Tari; Absorpsi; Bedhaya Bedhah Madiun; Mangkunegaran.

Pendahuluan adalah putra Pangeran Arya Mangkunegara, yang


lahir pada 7 April 1726. Kadipaten Mangkunegaran
Pura Mangkunegaran yang berada di Kota berdiri berkat perjuangan R.M. Said melawan
Surakarta dahulu merupakan sebuah pusat Belanda, Susuhunan Paku Buwana II, dan
pemerintahan kadipaten yang terbentuk pada Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku
1757. Kadipaten Mangkunegaran didirikan oleh Buwana I). Perlawanan itu berlanjut ketika
R.M. Said atau Pangeran Sambernyawa. R.M. Said Surakarta di bawah pemerintahan Susuhunan Paku

28
Sriyadi dan R.M. Pramutomo (Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran)

Buwana III. Perlawanan berakhir setelah perjanjian bagian beksan dibagi menjadi dua yaitu beksan
Salatiga yang menetapkan R.M. Said sebagai pokok I dengan Gendhing Gandakusuma,
Adipati dengan gelar K.G.P.A.A. Mangkunegara I Gending Gambuh, dan Ladrang Gurisa
(Pakempalan Pengarang Serat ing Mangkunagaran Mengkreng, serta bagian beksan pokok II dengan
dan Kamajaya, 1993:248–49). Gendhing Ketawang Widharingtyas. Gendhing
Kadipaten Mangkunegaran adalah salah satu dalam tari Bedhaya Bedhah Madiun menggunakan
wilayah Kasunanan Surakarta, sehingga dalam Laras Pelog Pathet Nem.
sistem pemerintahan berada di bawah kekuasaan Pola gerak yang digunakan dalam tari
Kasunanan yang merupakan kerajaan (Sunarmi, Bedhaya Bedhah Madiun di Mangkunegaran
2005:35). Bentuk gaya tari yang digunakan di menyerupai pola gerak gaya Yogyakarta. Pola gerak
Mangkunegaran adalah tari gaya Surakarta, karena tersebut adalah kapang-kapang, sembahan
kekuasaannya berada di bawah Kasunanan nglayang, nggrudha, nggenceng, gidrah,
Surakarta. Pada masa pemerintahan K.G.P.A.A. pendhapan, gudawa, nduduk wuluh, atrap
Mangkunegara VII terdapat karya tari yang nama sumping, ulap-ulap, atur-atur, kipat gajahan,
dan bentuk geraknya menyerupai tari gaya lampah sekar, lembehan sirig, tinting, dan
Kasultanan Yogyakarta. Karya tari tersebut adalah sebagainya. Perbedaan dari pola gerak tari Bedhaya
tari Bedhaya Bedhah Madiun, tari Srimpi Muncar, Bedhah Madiun di Mangkunegaran dan
tari Srimpi Pandhelori, tari Golek Montro, tari Kasultanan Yogyakarta adalah pada teknik
Golek Lambangsari, dan tari Golek Clunthang. pelaksanaannya. Di Mangkunegaran aksentuasi
Pada dasarnya tari gaya Yogyakarta yang dari pola gerak lebih sedikit dan terkesan lentur,
berkembang di Mangkunegaran adalah tari putri, sedangkan di Yogyakarta terkesan patah-patah.
sedangkan tari putra menggunakan tari gaya Berdasar informasi di atas timbul pertanyaan
Surakarta (Koentjaraningrat, 1984:297). mengenai alasan Mangkunegaran memiliki tari
Tari Bedhaya Bedhah Madiun di Bedhaya Bedhah Madiun gaya Yogyakarta.
Mangkunegaran adalah salah satu karya tari Mangkunegaran yang merupakan bagian dari
dengan nama, gendhing, dan bentuk gerak yang Kasunanan Surakarta, berdasar pada tradisi
menyerupai karya tari di Kasultanan Yogyakarta. menggunakan tari gaya Surakarta. Pada masa
Tari Bedhaya Bedhah Madiun berdasar nama pemerintahan Mangkunegara VII di
gendhing pokok yang digunakan disebut tari Mangkunegaran terdapat tari Bedhaya Bedhah
Bedhaya Gandakusuma. Tari Bedhaya Bedhah Madiun dengan gaya Yogyakarta. Dari pertanyaan
Madiun menceritakan peperangan Panembahan yang diajukan, kajian ini bertujuan mendeskrip-
Senapati melawan Retna Dumilah. Panembahan sikan faktor keberadaan tari gaya Yogyakarta di
Senapati adalah raja Mataram Islam yang pertama. Mangkunegaran, dengan memilih studi kasus pada
Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan tari Bedhaya Bedhah Madiun.
Panembahan Senapati melakukan ekspansi dengan Analisis masalah menggunakan konsep
menaklukan beberapa kadipaten, salah satunya penyebaran unsur-unsur kebudayaan oleh
adalah Kadipaten Madiun. Kerajaan Mataram Koentjaraningrat. Penyebaran unsur-unsur
memenangkan pertempuran. Rangga Jumena, kebudayaan dapat didasarkan atas pertemuan-
Adipati Madiun kemudian melarikan diri dan pertemuan antara individu dalam suatu kelompok
mengutus putrinya, Retna Dumilah untuk manusia dengan individu kelompok tetangga.
melawan Panembahan Senapati. Panembahan Pertemuan antara berbagai kelompok-kelompok
Senapati dan Retna Dumilah akhirnya jatuh cinta semacam itu dapat berlangsung dengan berbagai
dan menikah (Sajid, 1985:1–3). cara (Koentjaraningrat, 2015:199). Salah satu cara
Struktur sajian tari Bedhaya Bedhah Madiun pertemuan adalah melalui sebuah pernikahan.
terbagi menjadi tiga, yaitu maju beksan, beksan, Berdasar pada studi Brandon (1989: 28) dan Holt
dan mundur beksan. Gendhing yang digunakan (2000: 31), dapat diketahui bahwa melalui
dalam bagian maju beksan dan mundur beksan pernikahan antara orang India dengan pemimpin
adalah gendhing Lagon dan gendhing Ladrang lokal unsur-unsur kebudayaan India mulai masuk
Langenbranta dengan garap irama tanggung. Pada ke Indonesia. Menurut R.M. Soedarsono (1979:

29
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110

87), tari Jawa memengaruhi tari Bali pada masa Metode


Hindu-Jawa Timur sejak adanya perkawinan
antara putri Kerajaan Kahuripan dengan Raja Kajian ini merupakan kajian kualitatif dengan
Udayana. Kajian Kusmayati (1988: 81) dan pendekatan etnokoreologi yang menekankan
Soemaryatmi (1998: 62) menerangkan, bahwa peng-kajian terhadap budaya tari etnik non-Barat
pernikahan Sri Paku Alam VII dengan putri Sri berdasar teks kebudayaan yang melahirkan budaya
Susuhunan Paku Buwana X merupakan titik tolak tari tersebut (Suharti, 2015:30). Artinya, kehadiran
keberadaan tari bedhaya gaya Surakarta di Paku tari tidak lepas dari sebuah konteks, karena tari
Alaman. Dari beberapa pendapat tersebut peneliti merupakan teks budaya masyarakat setempat.
berasumsi bahwa Mangkunegaran memiliki tari Pendekatan etnokoreologi dibentuk dari landasan
Bedhaya Bedhah Madiun karena pernikahan pemikiran yang dipinjam dari berbagai disiplin.
K.G.P.A.A. Mangkunegara VII dengan putri Sri Pendekatan ini mengandalkan data kualitatif yang
Sultan Hamengku Buwana VII. didominasi oleh studi pustaka dan etnografi tari
Studi tari Bedhaya Bedhah Madiun sudah (Pramutomo, Joko, dan Mulyana, 2016:17–18).
banyak dilakukan, namun yang secara spesifik Studi pustaka dan studi arsip digunakan
menganalisis faktor keberadaan tari Bedhaya untuk mendeskripsikan faktor keberadaan tari
Bedhah Madiun gaya Yogyakarta di Bedhaya Bedhah Madiun di Mangkunegaran.
Mangkunegaran belum dilakukan. Munarsih Metode penelitian arsip adalah metode yang
(2010) membahas tentang kedudukan tari melibatkan studi dokumen sejarah, yaitu dokumen
Bedhaya Bedhah Madiun di Mangkunegaran. Tari yang dibuat di beberapa titik pada masa lalu,
ini digunakan untuk melegitimasi kekuasaan memberikan informasi mengenai sebuah
K.G.P.A.A. Mangkunegara VII. Kusumo (2015) organisasi (negara, istana, kelompok seni, dan
mendeskripsikan tari Bedhaya Bedhah Madiun sebagainya), individu, dan kegiatan-kegiatan pada
gaya Yogyakarta hasil rekonstruksi Kadaryati. masa itu. Artinya arsip dapat digunakan sebagai
Kusumo mendeskripsikan tari Bedhaya Bedhah sumber data untuk mengetahui peristiwa masa lalu
Madiun dengan menganalisis motif gerak, pola (Ventresca dan Mohr, 2002: 1–4).
lantai, dan kostum. Rohmawati (2016) membahas Sumber data yang digunakan dalam artikel
tentang nilai estetik tari Bedhaya Bedhah Madiun. ini adalah arsip atau dokumen yang tersimpan di
Dari beberapa kajian itu dapat diketahui, bahwa Mangkunegaran (catatan karya seni yang dimiliki,
kajian faktor keberadaan tari Bedhaya Bedhah surat, piagam, laporan kerja, dan sebagainya),
Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran biografi, surat kabar, majalah, artikel jurnal,
belum dilakukan. Dengan demikian, keaslian kajian literatur akademik (buku dan laporan penelitian).
ini dapat dipertanggungjawabkan. Selain dokumen yang bersifat narasi atau teks,
Kajian lain yang terkait dengan hal ini adalah gambar (foto dan video) juga menjadi sumber data
studi yang dilakukan oleh Suharti (1990). Suharti dalam metode penelitian arsip. Endter (2000: 20-
telah mengungkapkan pengaruh tari gaya 21) berpendapat bahwa gambar merupakan
Yogyakarta di Mangkunegaran pada masa dokumentasi dari pengalaman yang menyatakan
pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunegara VII. bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi.
Pengaruh itu terjadi karena adanya hubungan Menurutnya, gambar merupakan sebuah memori
pernikahan antara Mangkunegara VII dan G.K.R. kolektif yang dapat digunakan untuk mengetahui
Timur. Suharti menekankan bahwa hubungan kehidupan masyarakat pada masa lalu.
pernikahan antara pihak Mangkunegaran dan
Kasultanan Yogyakarta menjadi faktor keberadaan Latar Belakang Kehidupan Mangkunegara VII
tari Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran. Akan
tetapi, Suharti kurang memerhatikan faktor lain Genealogi dan Sosialisasi
dari keadaan sosial politik Mangkunegaran yang Mangkunegara VII memiliki nama kecil B.R.M.
menyebabkan terjadinya hubungan pernikahan Surya Suparto. Garwa ampil Mangkunegara V,
tersebut dan penyerapan tari gaya Yogyakarta B.R. Purnamaningrum melahirkan Suparto pada
dengan memilih karya tari dalam genre bedhaya 12 November 1885 atau dalam tahun Jawa
dan srimpi. bertepatan pada Kamis Wage, 3 Sapar tahun Dal

30
Sriyadi dan R.M. Pramutomo (Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran)

1815. Suparto adalah anak ketujuh dan merupakan ketika menjadi pemimpin Mangkunegaran
putra laki-laki ketiga dari Mangkunegara V (Singgih, 1986: 22–23).
(Darmawan, 2006:4). Sejak kecil Suparto Suparto dalam perantauannya sangat giat
diberikan kepada R.M. Suyitno untuk diangkat dalam belajar, bekerja, serta berkenalan dengan
sebagai putranya, sehingga pengasuhan dan orang-orang Belanda dan pribumi di luar istana.
pendidikan dilakukan oleh keluarga Suyitno. Sikap Suparto meskipun hanya lulus dari Sekolah
disiplin dan inovatif yang dimiliki Suyitno tentunya Rendah Eropa, tetapi memiliki semangat belajar
berpengaruh pada kepribadian Suparto (Wasino, yang sangat tinggi. Berdasar pidato M.J.J. Treur
1994:83). (1987: 2–3), Suparto sangat rajin dalam belajar
Pada 1896 Mangkunegara V wafat, bahasa Belanda dan kesusastraan Jawa.
kemudian digantikan oleh R.M. Suyitno dengan Kepandaian berbahasa Suparto memberikan
gelar K.G.P.A.A. Mangkunegara VI (1896-1916). kemudahan dalam berkomunikasi, sehingga dapat
Ketika naik tahta, Mangkunegara VI dihadapkan mendekatkan diri kepada Belanda dan masyarakat
pada kerusakan ekonomi Mangkunegaran. Jawa (Singgih, 1986: 25). Hal itu di kemudian hari
Kerusakan ekonomi disebabkan oleh beberapa tentunya sangat berpengaruh pada kedudukan dan
faktor, yaitu (1) pada masa pemerintahan gaya kepimimpinan Suparto di Mangkunegaran.
Mangkunegara V terjadinya krisis ekonomi dunia Pada 20 Maret 1911, Suparto diangkat
yang memengaruhi perekonomian Mangkunega- menjadi juru bahasa sementara (adjunct
ran, (2) kemunculan hama tanaman yang merusak translateur) di Kantor Juru Bahasa Surakarta.
perkebunan Mangkunegaran, dan (3) kesalahan Residen Surakarta G.F. van Wijk (1909-1914)
manajemen yang dilakukan oleh Mangkunegara V memberikan perhatian khusus pada Suparto,
(Wasino, 1994:74). karena etos kerjanya yang baik. Selain menjadi
Mangkunegara VI melakukan penghematan penerjemah, Suparto juga aktif dalam organisasi
dalam segala bidang dan menerapkan hidup Budi Utomo dan sebagai korespondensi dari
sederhana untuk memulihkan perekonomian harian Jawa Darmo Kondo. Pekerjaan baru ini
(Anonim, 1996:3–4). Penerapan politik banyak memengaruhi relasi Suparto baik dengan
penghematan Mangkunegara VI berdampak pada orang Belanda maupun pribumi, sehingga dapat
pembatasan pendidikan para pangeran. memperluas pandangan dan gagasannya (Anonim,
Mangkunegara VI membatasi pendidikan para 1987a:3–4).
pangeran dengan studi paling tinggi di Europesche Pandangan demokratis Suparto serta
Lagere School (ELS). Penetapan pembatasan kepandaian dalam berkomunikasi dan
pendidikan memengaruhi studi Suparto, yang berpenampilan simpatik memberikan kesan baik
berharap dapat melanjutkan studi di Hogere kepada Mr. C. Th. van Deventer. Atas bantuan
Burger School (HBS). Antusiasnya untuk Deventer, Wijk, dan J.H. Abendanon pada 4 Juni
melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi ditolak 1913 Suparto dapat berangkat ke Belanda dengan
oleh Mangkunegara VI. Penolakan itu dana pribadinya (Anonim, 1987a:4; Muhlenfeld,
menyebabkan Suparto meninggalkan Mangkune- 1989:30; Singgih, 1986:24–25). Suparto ke
garan pada 1902 (Anonim, 1986:13; Darmawan, Belanda bertujuan untuk memperluas pandangan
2006: 7; Wasino, 1994: 85–86). dan memperdalam studinya. Suparto belajar sastra
Suparto meninggalkan Mangkunegaran di Fakultas Kesusastraan Timur Universitas Leiden
dengan bekal minimum dan ditemani oleh seorang (Hermono, 2014:24).
abdi dalem. Suparto melamar dan bekerja di luar Pada saat libur akademik, Suparto mengikuti
istana, serta manjelajahi seluruh Pulau Jawa dengan latihan kemiliteran sebagai cadangan, yang
berjalan kaki atau naik kereta kelas 3, dan sering kemudian karena Perang Dunia I harus tetap
menginap di rumah kepala desa atau warga. mengikuti pelatihan tersebut (Singgih, 1986:25).
Pengalaman perjalanan tersebut menimbulkan Suparto diterima sebagai sukarelawan pada
kepekaan terhadap lingkungan sosial yang Sekolah Kader Cadangan pada 27 Desember 1913.
berpengaruh pada pandangan hidup dan sikapnya Berdasar Surat Kapten yang bertugas memimpin
kursus-kursus Militer Provinsi Zuid-Holland 27

31
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110

Februari 1914 No. 161 LI Suparto menerima dengan meniadakan pengeluaran yang dianggap
panggilan untuk mengikuti Kursus Musim Dingin tidak berguna. Mangkunegara VI menerapkan cara
bagi Kader Cadangan. Pada 23 Maret 1915 hidup sederhana dengan jarang melakukan pesta,
Suparto diangkat menjadi bintara dan berdasar yang umumnya secara tradisional digunakan untuk
Surat Keputusan Ratu Belanda 7 Mei 1915 menunjukkan kewibawaan kaum aristokrat
diangkat menjadi Letnan Dua Cadangan bagian (Anonim, 1996:3–4). Hal tersebut diasumsikan
Infanteri yang ditempatkan di Resimen Grenadiers menjadi faktor penghambat perkembangan
(Anonim, 1989:1–2). Melalui kedudukannya itu kesenian pada masa Mangkunegara VI.
Suparto mulai dikenal Ratu Belanda, yang Politik penghematan yang diterapkan
berpengaruh pada pengangkatannya sebagai Mangkunegara VI mampu memperbaiki
pemimpin Mangkunegaran (Wasino, 1994:92). perekonomian Mangkunegaran. Pada 1899
Suparto kembali dari Belanda pada Juni Mangkunegara berhasil melunasi utangnya kepada
1915. Sesampainya di Surakarta, Suparto aktif Belanda dan bahkan dapat mengisi kas negara yang
dalam organisasi Budi Utomo. Suparto semula kosong. Pangreh Praja Belanda yang
menggantikan Radjiman Wedyodiningrat menjadi dibentuk untuk mengawasi keuangan
presiden Budi Utomo pada Juli 1915. Selain itu, ia Mangkunegaran ketika mengalami kerusakan
juga aktif kembali dalam surat kabar Darmo ekonomi tidak lagi melakukan tugasnya, karena
Kondo. Berdasar Surat Keputusan Direktur dianggap keadaan perekonomian sudah sangat
Pangreh Praja (Binnenlandsch Bestuur) 5 Oktober baik. Mangkunegara VI dianggap sebagai ahli
1915 No. 1318, Suparto diangkat menjadi Ajun keuangan karena keberhasilannya tersebut
Kontrolir urusan agraria di wilayah (Anonim, 1996:2–5; Darmawan, 2006:26; Metz,
Mangkunagaran. Jabatan tersebut hanya 1987:7).
berlangsung lima bulan, karena setelah itu Suparto Gaya hidup hemat dan sederhana yang
menggantikan Mangkunegara VI memimpin bertentangan dengan gaya hidup para bangsawan,
Mangkunegaran. Kedudukkan Suparto yang menyebabkan politik penghematan Mangkunegara
terakhir menyebabkannya harus melepas jabatan VI banyak mendapatkan respons negatif. Puncak
Ketua Budi Utomo pada Juni 1916 dan berhenti dari dampak politik penghematan Mangkunegara
dari anggota militer pemerintah Belanda (Anonim, VI adalah pengiriman petisi kepada pemerintah
1989:2; Darmawan, 2006:25; Sunarmi, 2005:35; Hindia Belanda pada Januari 1908. Petisi tersebut
Wasino, 1994:94). berisi permohonan supaya gelar kebangsawanan
Pendidikan dan riwayat pekerjaan Suparto di dari putra Mangkunegara VI dicabut. Petisi itu
atas tentunya sangat berpengaruh dalam dibuat oleh enam pangeran Mangkunegaran yang
kepemimpinannya di Mangkunegaran. Sikap di antaranya adalah putra Mangkunegara V. Para
domokratis yang didukung kemampuan pengeran tersebut tidak suka terhadap pengawasan
komunikasi serta etos kerja yang baik dapat yang sangat ketat terhadap kas Mangkunegaran,
memperbanyak relasi Suparto, sehingga memper- serta keprihatinan mengenai pewaris tahta
luas padangan dan gagasannya. Pandangan dan Mangkunegaran (Larson, 1990:96). Para pangeran
gagasan Suparto yang luas menjadikannya sebagai berharap ketika putra Mangkunegara VI dicabut
pemimpin yang modern serta berpikiran kritis gelar kebangsawanannya, maka tidak dapat
(Larson, 1990:103; Suharti, 1990:40–41). Hal itu mewarisi tahta ayahnya. Menurut hemat penulis,
tentunya memengaruhi perkembangan seni di pengiriman petisi ini bertujuan untuk mengkudeta
Mangkunegaran. pemerintahan Mangkunegara VI dengan
menghapus pewaris tahtanya.
Pergantian Pemerintahan K.G.P.A.A. Berdasar penyelidikan pemerintah Hindia
Mangkunegara VI ke K.G.P.A.A. Mangkunegara Belanda, putra Mangkunegara VI lahir dari seorang
VII pelayan tingkat rendah serta tidak memiliki
Mangkunegara VI menanggapi perekonomian kejelasan mengenai kelahirannya. Melalui surat
Mangkunegaran yang rusak dengan melakukan rahasia, Gubernur Jenderal Hindia Belanda
politik penghematan. Mangkunegara VI memutuskan bahwa R.M. Suyono sebagai anak tiri
melakukan penghematan dalam segala bidang Mangkunegara VI. Jadi, Suyono tidak berhak
32
Sriyadi dan R.M. Pramutomo (Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran)

menjadi pewaris tahta Mangkunegaran (Larson, pengganti Mangkunegara VI (Larson, 1990:97–


1990:96). Keputusan Gubernur Jenderal membuat 98).
penurunan kewibawaan Mangkunegara VI di Keterpilihan Suparto sebagai pengganti
keluarganya, sehingga kedudukan sebagai kepala Mangkunegara VI tidak lepas dari dukungan
keluarga Mangkunegaran sulit untuk politikus Belanda C. Th. van Deventer dan mantan
dipertahankan. Antara Mangkunegara VI dengan Residen Surakarta G.F. van Wijk. Pemerintah
para pangeran pengirim petisi muncul kebencian. Hindia Belanda meyakini pendapat Deventer dan
Menurut laporan van Wijk Mangkunegara VI jatuh Wijk mengenai kemampuan Suparto untuk
sakit dan sering menyendiri, bahkan mengancam menjalankan Politik Etis yang sedang diterapkan
untuk mengakhiri hidupnya. Residen Surakarta Belanda (Darmawan, 2006: 26; Lelyveld, 1989:
Sollewijn Galpke (1914-1918) mengatakan bahwa 75). Pada 15 Februari 1916 Suparto
keadaan yang paling memalukan dan menyakitkan menandatangani Akta van Verband, dengan syarat
hatinya adalah keputusan gubernemen untuk mengundurkan diri dari Ketua Budi Utomo, Ajun
mengeluarkan Suyono sebelum Mangkunegara VI Kontrolir sementara Urusan Agraria, dan tentara
wafat. Hal itu yang kemudian mendorong Cadangan Belanda (Anonim, 1989:2; Larson,
Mangkunegara VI untuk mengundurkan diri dari 1990:98). Suparto secara resmi menjadi pemimpin
jabatannya. Mangkunegara VI bertemu dengan Mangkunegaran dengan gelar K.G.P.A.A. Prabu
Gelpke dan memutuskan untuk mengundurkan Prangwedana VII pada 3 Maret 1916. Pada 4
diri pada 27 Agustus 1914. Pada 11 Januari 1915 September 1924 ditetapkan menjadi K.G.P.A.A.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyetujui Mangkunegara VII Kolonel Komandan Legiun
keinginannya dengan syarat menunggu satu tahun Mangkunegaran ing Surakarta (Anonim, t.t.:1–2).
untuk mencari penggantinya (Anonim, 1996: 4; Banyak orang yang tidak mengira bahwa
Larson, 1990: 96–97; Metz, 1987: 7). Suparto terpilih sebagai pemimpin Mangku-
Mangkunegara VI beserta keluarga pada negaran, karena menjadi calon kelima atau keenam
Januari 1916 dengan diam-diam pergi dan menetap (Muhlenfeld, 1989:31). Residen Surakarta F.P.
di Surabaya. Mangkunegara VI pergi sebelum Sollewijn Gelpke (1914-1918) dan penggantinya
pelaksanaan perpisahan yang direncanakan dengan yaitu A.J.W. Harloff (1918-1922) memiliki
resepsi besar-besaran. B.R.Ay. Partini menyatakan hubungan tidak baik dengan Mangkunegara VII.
bahwa setelah Mangkunegara VI turun tahta, Gelpke menentang pengangkatan Suparto menjadi
banyak orang yang membicarakan mengenai pemimpin Mangkunegaran. Gelpke berpendapat,
penggantinya, kondisi Mangkunegaran tampak bahwa Suparto adalah penghasut para pangeran
sunyi dan suram (Singgih, 1986:36). untuk mengirim petisi tentang putra
Pada 1915 terdapat tiga putra Mangkunegara VI. Menurut Harloff, Suparto
Mangkunegara III, dua putra Mangkunegara IV adalah seorang pemuda Jawa yang progresif
(1853-1881), dan tiga belas putra Mangkunegara dengan banyak kekurangan. Suparto terlalu cepat
V yang dapat dipertimbangkan menjadi pengganti menyimpulkan dengan pengalaman dan
Mangkunegara VI. Pangeran yang dipilih oleh pengetahuan yang kurang mendalam. Suparto
Residen Surakarta, Penasihat Urusan Bumiputra, dianggap ingin dilihat oleh masyarakat umum tidak
Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, dan hanya memajukan Mangkunegaran, tetapi juga
mayoritas anggota Dewan Hindia Belanda adalah membentuk sebuah negara ideal. Suparto
seorang putra dari Mangkunegara IV. Seorang merupakan orang yang mudah dirayu dan
anggota Dewan Hindia Belanda, Mr. A.C.D. de dimanfaatkan untuk menghasut pemerintah
Greaff menyatakan pandangan yang menentang Belanda. Penasihat Urusan Bumiputra, D.A.
pendapat mayoritas. Greaff menyatakan bahwa Rinkes berkeberatan dengan keputusan Suparto
putra dari Mangkunegara IV tersebut tidak menjadi pemimpin Mangkunegaran. Rinkes
memiliki kemampuan untuk memimpin memiliki kekhawatiran karena Suparto merupakan
Mangkunegaran. Gubernur Jendral A.W.F. seorang pemimpin nasionalis muda, yang akan
Indeburg (1909-1916) terpengaruh oleh pendapat mengepalai sebuah praja dengan kekayaannya
Greaff dan kemudian Suparto yang dipilih sebagai (Larson, 1990:100–103). Menurut penulis, pada

33
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110

dasarnya para pejabat Belanda yang menolak Hubungan Sosial Politik Kasunanan Surakarta
pengangkatan Suparto memiliki rasa khawatir akan dan Mangkunegaran Akhir Abad XIX- Awal
kemampuannya untuk melawan Belanda. Abad XX
Pengunduran diri Mangkunegara VI Bagi Mangkunegara I, Perjanjian Salatiga telah
membuat kondisi sosial politik Mangkunegaran mengagalkan cita-citanya untuk menjadi raja, maka
kurang stabil. Sebagai pewaris, Mangkunegara VII untuk memperkuat kekuasaannya menggunakan
harus mampu menunjukkan kemampuan dalam politik pernikahan, ekonomi, dan secara bergantian
memimpin Mangkunegaran. Dalam pidato mendekatkan diri dengan Sunan serta Belanda.
pengangkatan Suparto menjadi Mangkunegara Politik pendekatan diri dengan Belanda
VII, Residen Surakarta Sollewijn Gelpke menyebabkan Mangkunegaran menjadi pion
menyatakan bahwa: dalam struktur politik yang terpecah belah di Jawa.
“Ing Mangkunegaran wonten sadhiyan Dampak dari peran positif Mangkunegaran
bandha cekap, saged katanjakaken dados sebagai pion Belanda adalah mulai kuatnya
sarana kamajenganing praja lan kawula, kedudukan Mangkunegaran di Jawa dengan
miturut karsa lan keyakinan panjenengan...” pembentukan legiun, perluasan wilayah, dan akta
Punika wonten wangsulan-dalem ingkang pengikat (Houben, 1989:9–13).
mungel: “Sasampunipun setaun, bénjing Pada masa Mangkunegara I (1757-1796)
kénging dipun tingali” (Anonim, 1986:16). dan Mangkunegara II (1796-1833) akta pengikat
sebagai dasar pengangkatan mereka menunjukkan
Terjemahan: bahwa Mangkunegara menjadi kawula Susuhunan
“Mangkunegaran memiliki banyak dana dan Belanda. Kedudukan Susuhunan di
yang cukup untuk memajukan negara dan Mangkunegaran mulai berkurang sejak masa
rakyat, berdasarkan kehendak dan keya- pemerintahan Mangkunegara III (1833-1853).
kinan Paduka...” Ini jawaban dari Paduka Dalam akta pengikat Mangkunegara I dan II
yang berbunyi: “Setelah satu tahun, akan tertulis bahwa pengangkatan mereka “atas
dapat dilihat.” kebaikan hati Pemerintah Hindia Belanda dan
Susuhunan”, sedangkan pada akta pengikat
Residen Surakarta yang pada dasarnya Mangkunegara III tertulis bahwa pengangkatannya
memiliki hubungan tidak baik dengan “atas kebaikan hati Pemerintah Hindia Belanda
Mangkunegara VII, dalam pidatonya seperti dengan sepengetahuan Susuhunan.” Mulai
memberikan sebuah tantangan. Tanggapan Mangkunegara VI rumusan “dengan
Mangkunegara VII terhadap sikap residen adalah sepengetahuan Susuhunan” tidak disebutkan
dengan melakukan banyak pembangunan, di dalam akta pengikat. Artinya, Mangkunegara VI
antaranya dalam bidang pendidikan, olah raga, diangkat dan bertanggung jawab kepada
penyiaran radio (Solosche Radio Vereeniging), pemerintah Hindia Belanda. Jadi, secara politis
kesehatan, pertanian, pembaharuan instalasi pabrik Mangkunegara VI sudah tidak terikat dengan
gula, pembuatan jalan dan jembatan, Susuhunan (Houben, 1989:12–13; Metz, 1987:4–
pembangunan kantor dinas, pendirian Bank Desa, 7; Wasino, 1994:73–74).
pendirian Java Instituut (1919), dan Studi Kring Kedudukan Mangkunegaran yang merdeka
(Studi Kebudayaan dan Filsafat) (1931), serta dari Kasunanan Surakarta mendapat respons
pengembangan kesenian (Anonim, 1986:16–19, negatif dari Sri Susuhunan Paku Buwana X (1893-
Anonim, t.t.:3–5; Darmawan, 2006:28–51; Metz, 1939). Susuhunan Paku Buwana X menganggap
1987:78–80). Tindakan Mangkunegara VII bahwa secara politis Mangkunegaran tidak terikat
tersebut berhasil memenuhi harapan pemerintah dengan kekuasaannya, tetapi secara kultural tetap
Hindia Belanda. Pada akhir 1931 Mangkunegara terikat dengan Kasunanan. Mangkunegaran hanya
VII mendapatkan gelar Zijne Hoogheid, serta replika dari kebudayaan Jawa, sedangkan
ketika berusia 50 tahun diangkat menjadi ajudan Kasunanan Surakarta adalah pusat kebudayaan
Ratu Belanda (Metz, 1987:8). Jawa di Surakarta. Hal itu ditunjukkan dari tradisi
kenegaraan di Mangkunegaran, seperti bahasa,
busana, etika, pengelolaan praja, serta upacara
34
Sriyadi dan R.M. Pramutomo (Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran)

kenegaraan yang hampir sama dengan Kasunanan Kencana. Mursudariyah merupakan adik kandung
Surakarta (Wasino, 1994:79–80). Selain itu, gaya dari B.R.Aj. Mursudarinah dan B.R.M. Sugiri atau
tari yang digunakan di Mangkunegaran pada G.P.H. Tejokusumo. Mursudarinah menjadi
dasarnya adalah tari gaya Surakarta. permaisuri kedua Sri Susuhunan Paku Buwana X
Sikap Susuhunan Paku Buwana X yang tidak dengan gelar G.K.R. Hemas pada Oktober 1915.
rela atas kemerdekaan Mangkunegaran G.P.H. Tejokusumo adalah salah satu pelopor
diimplementasikan dalam tindakan-tindakannya, pendirian Kridha Beksa Wirama (KBW).
terutama pada masa Mangkunegara VII yang Tejokusumo sangat berpengaruh dalam
sedang berusaha mengembangkan kebudayaan perkembangan tari di Mangkunegaran. Setelah
Jawa. Kedekatan Mangkunegara VII dengan menikah dengan Mangkunegara VII, Mursudariah
Belanda dimanfaatkan oleh Susuhunan Paku oleh Sultan Hamengku Buwana VII diberi nama
Buwana X dengan menggerakkan organisasi- G.K.R. Timur (Hermono, 2014:29).
organisasi kebangsaan yang bersifat radikal dan Pernikahan Mangkunegara VII dan Gusti
nonkooperatif terhadap Kolonial untuk mengkritik Timur dilaksanakan di Keraton Kasultanan
Mangkunegara VII. Hal itu dilakukan, karena Yogyakarta pada 6 September 1920. Selayaknya
Susuhunan Paku Buwana X merasa iri atas pernikahan putri Sultan yang lahir dari permaisuri,
kemajuan Mangkunegaran dari segi politik pernikahan Mangkunegara VII dan Gusti Timur
maupun kemakmuran. Susuhunan Paku Buwana X berlangsung mewah, serta kaya adat istiadat yang
merasa disaingi oleh sebuah kadipaten, yang pada berlaku. Pada 14 September 1920 Gusti Timur
mulanya merupakan vasal (Wasino, 1994:97). diboyong ke Mangkunegaran dengan
Tindakan lain yang dilakukan Susuhunan menggunakan kereta api Ekspress. Mangkunegara
Paku Buwana X adalah ketidakhadirannya pada VII dan Gusti Timur dari Stasiun Balapan menuju
setiap kongres pengembangan budaya melalui Java Mangkunegaran menggunakan Kereta Kyai
Instituut yang diprakarsai oleh Mangkunegara VII. Candrakantha. Pesta pernikahan di Mangku-
Pengembangan budaya yang dilakukan oleh negaran berlangsung meriah. Dalam pesta
Mangkunegara VII kiranya tidak mendapatkan pernikahan, di Pendapa Mangkunegaran
simpati dari Susuhunan Paku Buwana X, sebab dipertunjukkan wayang orang, pesta dansa, dan tari
dapat meningkatkan kewibawaan Mangkunegaran Bali. Tari Bali merupakan persembahan dari Raja
(Sunarmi, 2005:45). Dalam pandangan raja atau Karangasem Bali, Ida Anak Agung Bagus Djlantik.
para bangsawan Jawa, kebudayaan adiluhung Selain itu, di depan pura diselenggarakan
mencerminkan kekuasaan, kemegahan, serta pemutaran film dan lomba untuk masyarakat
kebesaran, yang dapat memperkokoh (Djlantik, 1989:201; Hermono, 2014:30–31;
kedudukannya (Kartodirdjo, dkk., 1987:53–56; Singgih, 1986:63–65).
Soedarsono, 2003:74; Soeratman, 1989:119). Jadi, Dalam literatur “Pangeran Adipati Aria
apabila Mangkunegaran dapat mengembangkan Mangkunegara VII dan Gusti Kanjeng Ratu Timur
kebudayaan, maka dapat memperkuat statusnya dari Yogyakarta, suatu Pernikahan Raja Jawa”
sebagai sebuah kadipaten yang merdeka dari terbitan Rekso Pustoko (Anonim, 1987b:3–4),
Kasunanan Surakarta. Melalui kebudayaan, dijelaskan bahwa Pernikahan Mangkunegara VII
Susuhunan Paku Buwana X ingin dan Gusti Timur memiliki arti kultural dan historis.
mempertahankan kedudukan, yang secara Memiliki arti kultural karena dipergelarkan
tradisional sebagai puncak hierarki strata sosial di berbagai bentuk kesenian dalam pesta perayaan-
Surakarta. nya. Memiliki arti historis karena lebih dari satu
abad antara Mangkunegaran dan Kasultanan
Pernikahan K.G.P.A.A. Mangkunegara VII Yogyakarta tidak ada hubungan pernikahan. Hal ini
dengan G.K.R. Timur berawal dari perselisihan Sri Sultan Hamengku
K.G.P.A.A. Mangkunegara VII memilih B.R.Aj. Buwana I (1755-1792) dengan Mangkunegara I,
Mursudariyah sebagai permaisuri. Mursudariyah yang menyebabkan Mangkunegara I berkeinginan
adalah putri ke-12 dari Sri Sultan Hamengku sampai dengan generasi ketujuh tidak diadakan
Buwana VII dengan permaisuri ketiga G.K.R. hubungan pernikahan dengan Kasultanan

35
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110

Yogyakarta. Sumpah tersebut didasarkan atas pengembangan budaya yang diprakarsai


harapan Sultan Hamengku Buwana I untuk tidak Mangkunegara VII. Melalui politik pernikahan ini
wafat lebih dulu, karena khawatir kekuasaannya Mangkunegara VII berharap dapat mendekatkan
akan dibagi dua yaitu untuk Kasunanan Surakarta diri dengan Kasultanan, sehingga mendapatkan
dan Mangkunegaran. Mangkunegara II sampai dukungan untuk mengembangkan kebudayaan
dengan Mangkunegara VI telah memegang teguh Jawa. Kasultanan Yogyakarta dipilih karena
janji tersebut, tetapi Mangkunegara VII telah merupakan pewaris dari Kerajaan Mataram Islam,
memulihkan hubungan dengan menikahi salah yang menjadi pusat pengembangan budaya Jawa di
satu putri Sultan. Yogyakarta. Secara tradisional, Kasultanan
Para bupati atau adipati pada umumnya Yogyakarta merupakan puncak hierarki strata
melakukan pernikahan dengan keluarga kerajaan sosial pemerintahan di Jawa, yang sejajar dengan
untuk memperkuat statusnya (Kartodirdjo, dkk., Kasunanan Surakarta. Interpretasi ini didasarkan
1987:179). Hal tersebut dilakukan oleh para pada fakta setelah adanya pernikahan antara pihak
adipati di Mangkunegaran. Keluarga Mangku- Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta,
negara menjalin hubungan pernikahan dengan absorpsi karya tari gaya Yogyakarta di
keluarga Susuhunan di Surakarta, khususnya ketika Mangkunegaran, dan didirikan kantor serta
keberadaannya secara politis masih di bawah museum Java Instituut di Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta (Anonim, 1986:21–22).
Putra sulung Mangkunegara I, dinikahkan dengan Pengembangan Seni Tari di Mangkunegaran
putri Susuhunan III yang bernama Kanjeng Ratu pada Masa Pemerintahan K.G.P.A.A.
Alit. Istri Mangkunegara II, Raden Ayu Gugu Mangkunegara VII
adalah anak dari patih Surakarta yang bernama
Raden Adipati Sindurejo. Mangkunegara III pada Gagasan Mangkunegara VII
1823 menikah dengan saudara Susuhunan VI. Dalam memajukan Mangkunegaran, salah satu
Mangkunegara III juga merencanakan pernikahan tindakan Mangkunegara VII adalah
dengan putri tunggal dari permaisuri Susuhunan mengembangkan kebudayaan. Mangkunegara VII
VII yang bernama Raden Ayu Sekar Kedaton. berpendapat bahwa diperlukan pengenalan budaya
Melalui pernikahan itu, Mangkunegara III Jawa ke Belanda, untuk menunjukkan bahwa Jawa
berharap dapat menggantikan Susuhunan yang pada dasarnya memiliki peradaban yang besar
belum memiliki putra mahkota. Rencana (Darmawan, 2006: 29; Hermono, 2014: 78–79).
Mangkunegara III ini tidak berhasil, sebab Gaya kepemimpinan Mangkunegara VII yang
lamarannya ditolak oleh pihak Kasunanan. demokratis, modern, dan memiliki pandangan
Permaisuri Susuhunan IX merupakan kemenakan serta gagasan luas menyebabkan Mangkunegaran
Mangkunegara IV. Permaisuri Susuhunan IX menjadi salah satu pusat pengembangan
adalah putra K.P.H. Hadiwijaya II, sedangkan kebudayaan Jawa (Muhlenfeld, 1989:31). Dalam
Mangkunegara IV merupakan adik Hadiwijaya II. mengembangkan kebudayaan Jawa,
Putri Mangkunegara IV, adik Mangkunegara V Mangkunegara VII mempelajari dan mengambil
menjadi permaisuri pertama Susuhunan X, yang nilai-nilai positif dari kebudayaan Barat, namun
bernama G.K.R. Paku Buwana (Houben, 1989:14; tetap mempertahankan pandangan dan gagasan
Soeratman, 1989:52–54). masyarakat Jawa (Cannegieter, 1986:7–17).
Mangkunegara VII memperkuat kedu- Mangkunegara VII memiliki kepedulian terhadap
dukannya dengan mengambil permaisuri dari putri hubungan budaya antardaerah, antaristana, serta
Sri Sultan Hamengku Buwana VII (1877-1921). apresiasi terhadap kebudayaan antarbangsa
Hal tersebut dilakukan karena menanggapi (Soeryosoeyarso dan Darmawan, 1992:9).
keadaan sosial politik yang kurang baik dengan Dalam mengembangkan kebudayaan,
Kasunanan Surakarta. Keadaan tersebut kesenian menjadi salah satu pusat perhatian
disebabkan oleh sikap Susuhunan Paku Buwana X Mangkunegara VII (Wedyodiningrat, 1944:1).
yang tidak rela atas kemajuan politik dan Mangkunegara VII memiliki pandangan bahwa
kemakmuran Mangkunegaran. Sikap Susuhunan pembangunan kembali bangsa Jawa dapat
Paku Buwana X berdampak negatif dalam didasarkan pada sejarahnya yang agung
36
Sriyadi dan R.M. Pramutomo (Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran)

(Muhlenfeld, 1989:29). Pandangan tersebut melihat dan memimpin latihan, memberikan kritik
direalisasikan melalui pengumpulan produk- yang membangun, memperbaiki gerak para penari,
produk unggulan dari kesenian Jawa Kuna untuk memberikan keterangan suatu karya tari,
dijadikan sumber inspirasi pada karya seninya. menciptakan suatu formasi dalam tari kelompok,
Pencarian produk tidak hanya di wilayah serta memikirkan warna dan detail kostum (Holt,
Mangkunagaran, namun sampai ke daerah 1989:218).
Cirebon, Jawa Timur, Madura, dan Bali Gusti Timur, karena putri Sultan dan
(Stutterheim, 1989:51). permaisuri, maka di Mangkunegaran secara hieraki
Gaya kepemimpinan Mangkunegara VII menempati strata sosial yang lebih tinggi dari pada
yang demokratis, modern, dan memiliki garwa ampil Mangkunegara VII. Kedudukan strata
pandangan serta gagasan luas memengaruhi sosial yang tinggi ditunjukkan dalam beberapa foto
perkembangan seni di Mangkunegaran. Gaya Mangkunegara VII dengan Gusti Timur. Pada
kepemimpinan Mangkunegara VII tersebut umumnya, dalam pandangan Jawa seorang wanita
menyebabkan bentuk kesenian dari luar yang berada di sisi kiri suaminya dalam upacara
memiliki koherensi dengan kebudayaan Jawa dapat pernikahan maupun pertemuan-pertemuan resmi,
diterima. Kesenian tersebut diserap kemudian tetapi dalam beberapa foto resmi yang ditemukan
diinovasi sesuai dengan keadaan sosial budaya Gusti Timur berada di sisi kanan Mangkunegara
Mangkunegaran. Salah satu contohnya adalah VII. Artinya, sebagai putri Sultan Gusti Timur
penyerapan karya tari gaya Yogyakarta yang menempati strata sosial yang tinggi. Kedudukan
dipelajari melalui KBW. Selain itu adalah Gusti Timur memberikan sebuah harapan untuk
penyerapan beberapa asesoris dari Cirebon dan dapat menurunkan pewaris Mangkunegaran,
Bali untuk kostum tari di Mangkunegaran. sebagai trahing kusuma, rembesing madu, wijining
Misalnya, dari Cirebon Mangkunegara VII tapa, tedhaking andana warih. Dalam mewujudkan
menyerap tekes yang digunakan untuk tari hal tersebut Gusti Timur harus melahirkan putra
Bandabaya, jamang untuk tari Sari Tunggal, tari laki-laki, sehingga dapat menggantikan kedudukan
Bedhaya Bedhah Madiun, tari Srimpi Pandhelori, Mangkunegara VII. Harapan Gusti Timur tidak
dan tari Srimpi Muncar, sedangkan dari Bali adalah dapat terpenuhi, karena tidak dikaruniai putra laki-
kalung kace yang digunakan oleh prajurit kera laki. Pernikahan Mangkunegara VII dan Gusti
(kethek kenyung). Timur dikaruniai seorang putri, bernama G.R.Aj.
Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardani.
Peranan G.K.R. Timur dalam Pengembangan Gusti Nurul dilahirkan di Mangkunegaran pada
Seni di Mangkunegaran Sabtu Legi 17 September 1921 (Hardjawahana,
Gusti Timur sebagai permaisuri selalu 1939:2; Soeryosoeyarso dan Darmawan, 1992:23).
mendampingi, mendukung, dan memberi Gusti Nurul merupakan putri tunggal,
masukan dalam pengembangan seni di sehingga memiliki hubungan kedekatan yang
Mangkunegaran. Dukungan dan masukan Gusti sangat erat dengan Gusti Timur. Gusti Nurul
Timur diterima oleh Mangkunegara VII dengan melalui Gusti Timur banyak mendapatkan
kebijaksanaannya (Hermono, 2014:33). Gusti pendidikan mengenai sikap seorang putri
Timur sebagai putri Sultan (penggambaran ini bangsawan. Kedekatan itu menyebabkan Gusti
dapat dilihat pada Gambar 1) memiliki jiwa Nurul dapat merasakan bahwa kedudukan ibunya
seniman, didasari dari pendidikannya di Keraton sebagai permaisuri tidak sepenuhnya bahagia.
Kasultanan Yogyakarta. Dalam “Serat Lelampahan Gusti Nurul merasakan, hal ini karena
Dalem Suwargi K.G.P.A.A. Mangkunegara VII ing Mangkunegara VII memiliki banyak selir. Hal ini
Surakarta” (Anonim, t.t.:4), dinyatakan bahwa tercemin dalam pesan yang selalu disampaikan
Mangkunegara VII didampingi permaisuri yaitu, “Nduk, mugo-mugo suk kowe ojo dimaru”
(Gambar 2), setiap Rabu pagi dan Sabtu malam (nak, mudah-mudahan nanti kamu jangan
berperan serta dalam proses latihan di Pendapa dimadu). Gusti Timur merasakan kebahagiaan
Ageng. Mangkunegara VII dan permaisuri adalah ketika akan memiliki putra keduanya, namun
ahli dalam seni tari. Mangkunegara VII selalu karena keguguran menyebabkan kegembiraan

37
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110

tersebut tidak lama (Hermono, 2014:32–33). 1987:143–44). R.M. Suyitno diangkat menjadi
Menurut penulis, kesedihan Gusti Timur karena Mangkunegara VI atas peranan ibunya yang
tidak memiliki anak laki-laki, yang dapat merupakan permaisuri Mangkunegara IV bernama
meneruskan tahta Mangkunegara. Gusti Timur K.B.R.Ay. Mangkunegara IV (Wasino, 1994:73).
yang diharapkan dapat menurunkan pewaris Gusti Nurul memiliki kedudukan putri
sebagai trahing kusuma, rembesing madu, wijining mahkota, karena merupakan putri tunggal dari
tapa, tedhaking andana warih, hanya dikaruniai permaisuri. Sebagai putri mahkota, Mangkunegara
seorang putri. VII selalu melibatkan dan memberi tugas resmi
kepada Gusti Nurul yang harus dijalankan sebagai
wakil dari Mangkunegaran. Salah satu tugas
tersebut adalah menyajikan Tari Sari Tunggal di
Belanda dalam acara pernikahan Pangeran
Bernhard dan Putri Juliana pada 1937 (Hermono,
2014:27–74). Pujian dan sanjungan dari Belanda
menunjukkan keberhasilan Gusti Nurul dalam
menjalankan tugas sebagai putri mahkota
(Hermono, 2014:71–78; Treur, 1987:7).
Keberhasilan Gusti Nurul dalam menyajikan Tari
Sari Tunggal di Belanda dimuat dalam beberapa
Gambar 1. Perayaan Pernikahan K.P.A.A. majalah, salah satunya adalah “Een Javaansch
Mangkunegara VII dan G.K.R. Timur di Pura
Prinsesje Danst” dalam Op de Hoogte terbit Juni
Mangkunegaran, Gusti Timur sebagai putri Sultan
duduk di sebalah kanan suaminya.
1937 di Belanda. Keberhasilan Gusti Nurul tidak
Sumber: Koleksi Rekso Pustoko Mangkunegaran, lepas dari peranan serta dukungan Gusti Timur
Repro Sriyadi, 2019. (Soeryosoeyarso dan Darmawan, 1992:19).

Sebagai cucu Sultan dan putri mahkota yang


lahir dari permaisuri, Gusti Nurul secara hierarki
menempati strata sosial lebih tinggi dari pada
putra-putri Mangkunegara VII yang lahir dari
garwa ampil. Gusti Nurul meskipun menempati
strata sosial yang lebih tinggi, karena seorang putri
maka tidak dapat mewarisi tahta di
Mangkunegaran. Hal itu menyebabkan perlunya
penegasan status Gusti Nurul untuk memperkuat
kedudukannya sebagai putri mahkota. Dalam
penegasan status Gusti Nurul tidak lepas dari
peranan Gusti Timur sebagai permaisuri dan
ibunya. Peranan permaisuri dalam sistem kerajaan
Jawa memiliki pengaruh terhadap kedudukan
anaknya. Misalnya, permaisuri Mangku Rat II yang
bernama Gusti Kencana mengupayakan anaknya
(R.M. Sutikna) dapat mewarisi tahta ayahnya. Ratu
Ageng, permaisuri Susuhunan Paku Buwana I Gambar 2. K.G.P.A.A. Mangkunegara VII dan
menobatkan seorang putranya, yaitu Pangeran G.K.R Timur
Blitar untuk menggeser kedudukan Mangku Rat Sumber: Felde, 1937, Koleksi KITLV 183886, Repro
IV. Permaisuri Susuhunan Paku Buwana II Sriyadi, 2019.
mendesak agar secepatnya menandatangani teks
perjanjian yang disodorkan Verenigde Salah satu cara untuk menegaskan status
Oostindische Compagnie (VOC), supaya Gusti Nurul dibangun melalui eksistensinya dalam
kedudukan putranya terjamin (Moedjanto, menari tari bedhaya dan srimpi. Keahliannya dalam

38
Sriyadi dan R.M. Pramutomo (Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran)

membawakan tari bedhaya dan srimpi dapat Interaksi budaya antara Mangkunegaran dan
meningkatkan kewibawaan sebagai putri keraton, Kasultanan Yogyakarta juga ditunjukkan dari
sehingga memperkuat kedudukannya sebagai putri pergelaran tari gaya Yogyakarta di
mahkota. Hal ini menjadi salah satu faktor Mangkunegaran. Pada 6 September 1924 wayang
penyerapan tari bedhaya dan srimpi gaya orang gaya Yogyakarta dengan lakon Jaya Pusaka
Yogyakarta di Mangkunegaran. Dalam menyerap dipentaskan di Mangkunegaran. Pementasan
tari gaya Yogyakarta tersebut tentunya tidak lepas tersebut merupakan hasil kerja sama antara KBW
dari peran serta Gusti Timur. dan Jong Java atas arahan Mangkunegara VII. Pada
Tari dapat menjadi simbol status yang 15 September 1941, wayang orang gaya
digunakan sebagai pelengkap kebesaran. Artinya, Yogyakarta dengan lakon Sembadra Dados Ratu
kewibawaan dari suatu kedudukan belum lengkap ing Nusa Tembini telah dipergelarkan oleh Majelis
apabila belum memiliki suatu karya tari Luhur Perguruan Nasional Taman Siswa di
(Poerwanto, 1989:16). Tari bedhaya atau srimpi Mangkunegaran. Srimpi Merak Kesimpir gaya
menjadi salah satu karya tari yang digunakan Yogyakarta juga dipergelarkan di Mangkunegaran
sebagai pelengkap kebesaran. Tari ini memiliki dengan dua penari dari KBW dan dua penari dari
kandungan makna filosofis yang dalam terkait Mangkunegaran (Soeryosoeyarso & Darmawan,
dengan nilai-nilai kehidupan berdasar pandangan 1992 13–15; Suharti, 1990:74–76).
dan gagasan masyarakat Jawa (Brongtodiningrat, Menurut Abdullah (2007:83) dalam
1981:17–21). Di Kasultanan Yogyakarta seorang interaksi antaretnik simbol-simbol dapat saling
putri diwajibkan belajar tari bedhaya dan srimpi dipertukarkan, yang menyebabkan terjadinya
sebagai sarana pendidikan karakter. Tari bedhaya penyerapan ekspresi kebudayaan suatu etnis dalam
dan srimpi mencerminkan kesusilaan dan lingkungan pemukiman tertentu. Pernikahan
keanggunan dari seorang putri keraton (Agatha antara Mangkunegara VII dan Gusti Timur
dan Satronaryatmo, 1990:74–77; Hughes- menyebabkan terjadinya interaksi budaya antara
Freeland, 2009:72–73; Suryobrongto, 1976:17). Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta.
Interaksi budaya tersebut menyebabkan terjadinya
Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun penyerapan seni tari gaya Yogyakarta di
Mangkunegaran.
Pernikahan Mangkunegara VII dan Gusti Timur Interaksi kebudayaan besar (lebih tinggi)
menyebabkan terjadinya interaksi budaya antara dan kebudayaan kecil (lebih rendah)
Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta. mengakibatkan kebudayaan besar diserap oleh
Interaksi budaya ditunjukkan dari pengiriman kebudayaan kecil. Krajan kecil berorientasi
seniman Mangkunegaran untuk belajar di kepadanya krajan besar dan menjadikan seni yang
Kasultanan Yogyakarta, dan sebaliknya yaitu lebih halus sebagai modelnya (Kayam, 1981:26).
mengundang guru tari Kasultanan Yogyakarta ke Pengaruh India masuk ke Jawa sebagai akibat dari
Mangkunegaran. Pada awal masa pernikahan dorongan para pemuka Jawa untuk mengambil
dengan Gusti Timur, Mangkunegara VII bagian dalam kemajuan budaya. Pada masa itu
mengirimkan beberapa seniman untuk belajar tari kebudayaan India sedang menonjol kewibawaan-
golek di Kasultanan Yogyakarta. Salah satu penari nya, sehingga terjadinya penyerapan kebudayaan
yang dikirim adalah Jaikem atau Ny. Ng. Hindia oleh masyarakat Jawa (Sedyawati,
Mardusari, yang belajar tari Golek Clunthang di 1985:10). Pernikahan antara putri dari sebuah
Yogyakarta. Mangkunegara VII juga memanggil kerajaan yang mempunyai gaya seni tersendiri
guru tari dari Yogyakarta yang dapat mengajarkan (lebih tinggi) dengan seorang raja dari kerajaan
Golek Lambangsari di Mangkunegaran. Putri lain, mengakibatkan adanya pengenalan seni dari
tunggal Mangkunegara VII dan Gusti Timur, yaitu negeri sang putri ke kerajaan suaminya
G.R.Aj. Siti Nurul Kamaril Ngasarati (Soedarsono, 1979:87).
Kusumawardani disertai beberapa kerabat Pada masa pemerintahan Mangkunegara VI
disekolahkan di KBW untuk belajar tari bedhaya kesenian mengalami kemunduran, sehingga
dan srimpi (Soeryosoeyarso dan Darmawan, Mangkunegara VII merintis kembali dalam
1992:13–15; Suharti, 1990:72–76).
39
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110

mengembangkan kesenian. Hal ini menjadi salah Bandinah, R.Aj. Surarsi, R.Aj. Pudiatmi, R.Aj.
satu faktor terjadinya penyerapan tari gaya Sunarni, R.Aj. Sunituti (Gusti Putri Mangkunegara
Yogyakarta di Mangkunegaran, karena di VIII), dan Nduk Nah (seorang abdi dalem
Yogyakarta telah didirikan sekolah seni KBW. Mangkunegaran yang pandai menari). Dalam
B.P.H. Suryadiningrat dan G.P.H. Tejokusumo pergelaran tersebut Gusti Nurul berperan sebagai
mendirikan KBW pada 17 Agustus 1918, didukung batak, sedangkan R.Aj. Bandinah sebagai endhel
oleh 14 ahli dalam bidang karawitan dan tari, yang (Soemarsono, dkk., 2011:35).
keseluruhan memiliki hubungan erat dengan
Kasultanan Yogyakarta. KBW mendapat izin resmi
dari Hamengku Buwana VII yang diteruskan pada
masa Hamengku Buwana VIII. Tujuan pendirian
KBW adalah mengupayakan tari klasik gaya
Yogyakarta (termasuk bedhaya dan srimpi) untuk
dapat dipelajari di luar tembok keraton
(Soerjadiningrat, 1993:1–3). KBW merupakan
pemasok utama penari-penari andal dalam
pertunjukan-pertunjukan besar di Keraton
Kasultanan Yogyakarta pada era pemerintahan
Hamengku Buwana VIII (Pramutomo, 2010:79). Gambar 3. Pergelaran Tari Bedhaya Bedhah Madiun di
KBW memiliki penggarapan tari secara sunguh- Mangkunegaran pada 16 Juni 1939
sungguh dan memelopori pendidikan tari dengan dalam rangka memperingati Tri Windu Jumeneng
metode pengajaran yang teratur dan memuaskan Mangkunegara VII.
Sumber: Koleksi Rekso Pustaka Mangkunegaran,
(Rustopo, 1990:148). Prestasi KBW tersebut
Reproduksi Sriyadi 2019.
menyebabkan Mangkunegaran yang sedang
merintis pengembangan kesenian menyerap tari Simpulan
gaya Yogyakarta melalui KBW.
Pada 1934 Gusti Nurul disekolahkan di Tari yang berkembang di Mangkunegaran pada
KBW Yogyakarta. Setiap Minggu, Gusti Nurul dasarnya menggunakan gaya Surakarta. Pada masa
disertai beberapa kerabat dan para niyaga pemerintahan Mangkunegara VII terdapat tari
Mangkunegaran berlatih di Yogyakarta. Bedhaya Bedhah Madiun dengan gaya Yogyakarta.
Rombongan berangkat pada pagi hari dan pulang Berdasar analisis yang dilakukan, Mangkunegaran
sore hari dengan menaiki kereta api. Pelatih tari di memiliki tari Bedhaya Bedhah Bedhah Madiun
KBW adalah Gusti Tejokusumo, kakak Gusti disebabkan oleh beberapa faktor. Keadaan sosial
Timur. Kegiatan ini berjalan atas perkenaan politik Mangkunegaran yang kurang stabil
Mangkunegara VII, yang sebenarnya tertarik pada menyebabkan terjadinya politik pernikahan antara
dinamika karawitan Yogyakarta. Materi Mangkunegaran dengan Kasultanan Yogyakarta.
pembelajaran yang pertama adalah tari Sari Dampak dari politik pernikahan adalah terjadinya
Tunggal, sebagai dasar tari putri gaya Yogyakarta. interaksi budaya antara Mangkunegaran dan
Selanjutnya Gusti Nurul belajar tari Srimpi Kasultanan Yogyakarta. Interaksi budaya itu
Pandhelori, Bedhaya Bedhah Madiun, dan Srimpi didukung dengan adanya kebijakan Mangkunegara
Muncar (Soemarsono, Brotohatmodjo, dan VII untuk mengembangkan kesenian di
Widyohamijoyo, 2011:33; Soeryosoeyarso dan Mangkunegaran. Gaya kepemimpinan Mangkune-
Darmawan, 1992:15–16). gara VII yang demokratis, modern, dan
Tari Bedhaya Bedhah Madiun di berpandangan luas menyebabkan terjadinya
Mangkunegaran pertama kali dipergelarkan pada absorpsi tari gaya Yogyakarta dari interaksi budaya
16 Juni 1939 (Gambar 3), dalam rangka tersebut. Dalam menyerap tari gaya Yogyakarta
memperingati Tri Windu Jumeneng dimanfaatkan Gusti Timur untuk menegaskan
Mangkunegara VII (Anonim 1939; Suharti kedudukan putri tunggalnya yaitu Gusti Nurul,
1990:80). Tari Bedhaya Bedhah Madiun ditarikan sehingga memengaruhi perkembangan seni tari di
oleh tujuh orang penari, yaitu Gusti Nurul, R.Aj.
40
Sriyadi dan R.M. Pramutomo (Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran)

Mangkunegaran. Tari Bedhaya Bedhah Madiun Anonim (t.t.) "Lelampahan Suwargi Kanjeng Gusti
merupakan salah satu karya tari yang berhasil Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara VII
diserap oleh Gusti Nurul melalui sistem ing Surakarta," Surakarta: t.p. Koleksi Rekso
pembelajaran di KBW. Pustoko Pura Mangkunegaran, MN. 486.
Brandon, J. R. (1989). Seni Pertunjukan di Asia
Referensi
Tenggara, terj. R.M. Soedarsono.
Yogyakarta: ISI Yogyakarta.
Abdullah, I. (2007). Konstruksi dan Reproduksi
Brongtodiningrat, K. P. H. (1981). “Falsafah Beksa
Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bedhaya Sarta Beksa Srimpi ing
Agatha, dan M. Satronaryatmo (1990). “Joged
Ngayogyakarta.” Kawruh Joged Mataram.
Kanggo Sarana Ngalusake Bebuden.” Jaya
Yogyakarta: Yayasan Siswa Among Beksa.
Baya, 74–77.
Cannegieter, H. G. (1986). “Pangeran Adipati Ario
Anonim (1939). “Bedaja-Dans van Zeven
Mangkunagara VII.” Morks-Magazijn,
Jonkvrouwen, Uitgevoerd bij Gelegenheid
Maret 1937, terj. Husodo Pringgokusumo.
van het Triwindhoe-Bestuursjubeleum van
Koleksi Rekso Pustoko Pura Mangkunega-
Z.H. Pangeran Adipati Aria Mangkoenagara
ran, MN. 846.
VII.” Surakarta: t.p. Koleksi Rekso Pustoko
Darmawan, R. A. H. (2006). Mengenang B.R.M.
Pura Mangkunegaran, MN. 345.
Soerya Soeparto, Bergerak dan Melangkah
Anonim (1986). “Pahargyan Mangkunegaran
Maju untuk Bangsanya. Surakarta: t.p.
Tigang Windu.” Majalah Djawa, No. 48
Koleksi Rekso Pustoko Pura
Tahun ke XIV, 16 Juni 1939. Terj. Soeroyo
Mangkunegaran, MN. 1000.
Tarusuwardjo. Koleksi Rekso Pustoko Pura
Djlantik, I. A. A. B. (1989). “Surat Pujian.” Dalam
Mangkunegaran, MN 783.
Buku Kenangan Tri Windu Mangkunegara
Anonim (1987a). “Menyambut Yubileum
VII, terj. Husodo Pringgokusumo.
Pemerintah (25 Tahun) Pangeran
Surakarta: t.p. Koleksi Rekso Pustoko Pura
Mangkunagara VII.” Tijdbeeld, Maret 1941.
Mangkunegaran, MN. 1518.
Terj. Husodo Pringgokusumo. Surakarta:
Endter, I. L. (2000). “Community Memory
t.p. Koleksi Rekso Pustoko Pura
Building Multimedia Archives on the
Mangkunegaran, MN. 983.
Internet.” Tesis Program in Media Arts and
Anonim (1987b). "Pangeran Adipati Ario
Sciences, School of Architecture and
Mangkunagoro VII dan Gusti Timur dari
Planning at the Massachusetts Institute of
Yogyakarta: Suatu Perkawinan Raja Jawa,"
Technology.
terj. Husodo Pringgokusumo. Surakarta: t.p.
van Eysselsteijn, B. (1937). “Een Javaansch
Koleksi Rekso Pustoko Pura Mangkunega-
Prinsesje Danst.” Op de Hoogte, Juni, 182–
ran, MN. 977.
83.
Anonim (1989). "Karier (Riwayat Pekerjaan)
Hardjawahana, S. (1939). “Sampean Dalem
Pangeran Adipati Aria Mangkunegara VII,
Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati Arja
yang telah disampaikan kepada Volksraad
Mangkoenagara ingkang kaping VII.”
pada Tahun 1921," terj. Husodo
Wahjoe, Juni, 1–3.
Pringgokusumo. Surakarta: Rekso Pustoko
Hermono, U. (2014). Gusti Noeroel: Streven Naar
Pura Mangkunegaran, MN. 1410.
Geluk (Mengejar Kebahagiaan). Jakarta:
Anonim (1996). “P.A.A. Mangkunegara VI.”
Kompas.
Dalam, Majalah Djawa Edisi XV. Terj. H.R.
Holt, C. (1989). “Perkembangan Seni Tari di
Soetono. Koleksi Rekso Pustoko Pura
Mangkunegaran.” Buku Kenangan Tri
Mangkunegaran, MN. 2005.
Windu Mangkunegara VII, terj. Husodo
Pringgokusumo. Surakarta: t.p. Koleksi:

41
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110

Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran, MN. Pringgokusumo. Koleksi Rekso Pustoko


1518. Pura Mangkunegaran, MN. 832.
Holt, C. (2000). Melacak Jejak Perkembangan Moedjanto, G. (1987). Konsep Kekuasaan Jawa:
Seni di Indonesia, terj. R.M. Soedarsono. Penerapannya oleh Raja-raja Mataram.
Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Yogyakarta: Kanisius.
Indonesia. Muhlenfeld, A. (1989). “Beberapa Kenangan
Houben, V. J. H. (1989). “Kedudukan Pangeran Pribadi.” Buku Kenangan Tri Windu
Mangkunegara dalam Struktur Politik yang Mangkunegara VII, terj. Husodo
Terpecah Belah di Jawa Tengah,” terj. Pringgokusumo. Surakarta: t.p. Koleksi
Husodo Pringgokusumo. Surakarta: Rekso Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran, MN.
Pustoko Pura Mangkunegaran, MN 1424. 1518.
Hughes-Freeland, F. (2009). Komunitas yang Munarsih, S. (2010). “Tari Bedhaya Bedhah
Mewujud : Tradisi Tari dan Perubahan di Madiun Pura Mangkunegaran Surakarta,
Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Legitimasi Kekuasaan Mangkunegara VII
Perss. Melalui Kebudayaan.” Tesis Program Studi
Kartodirdjo, S. A. S., dan Hatmosuprobo, S. Kajian Budaya UNS.
(1987). Perkembangan Peradaban Priyayi. Pakempalan Pengarang Serat ing Mangkunagaran,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss. dan Kamajaya (1993). Babad KGPAA
Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa).
Jakarta: Balai Pustaka. Jakarta: Yayasan Mangadeg dan Yayasan
Koentjaraninngrat (2015). Pengantar Ilmu Centhini.
Antropologi. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Poerwanto (1989). “Nlusur Tari Lewat Candhi:
Cipta. Tari Jawa Kuna Dadi Simbol Status.” Mekar
Kusmayati, A. M. H. (1988). “Bedhaya di Pura Sari, September 20, 15–16.
Paku Alaman: Pembentukan dan Pramutomo, R. M. (2010). Tari, Seremoni, dan
Perkembangannya 1909-1987.” Tesis, Politik Kolonial II. Surakarta: ISI Press.
Program Studi Sejarah Pascasarjana Pramutomo, R. M., Aswoyo Joko, dan Aton
Universitas Gadjah Mada. Rustandi Mulyana. (2016). Revitalisasi
Kusumo, D. N. A. (2015). “Analisis Koreografi Budaya Lokal Berbasis Ekspresi Seni
Bedhaya Bedhah Madiyun Gaya Komunitas. Surakarta: ISI Press.
Yogyakarta: Rekonstruksi Juni 2014 oleh Redfield, R. (1982). Masyarakat Petani dan
R.Ay. Sri Kadaryati.” Skripsi Program Studi Kebudayaan, terj. Daniel Dhakidae. Jakarta:
S-1 Tari Jurusan Tari Fakultas Seni Rajawali.
Pertunjukan Institut Seni Indonesia Rohmawati, D. (2016). “Kajian Nilai Estetis Tari
Yogyakarta. Bedhaya Bedhah Madiun di Pura
Larson, G D. (1990). Masa Menjelang Revolusi: Mangkunegaran Surakarta.” Skripsi Jurusan
Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik
1912-1942, terj. A. B. Lapian. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Gadjah Mada University Perss. Semarang.
van Lelyveld, Th. B. (1989). “Sebuah Kenangan.” Rustopo (1990). “Gendon Humardani (1923-
Buku Kenangan Tri Windu Mangkunegara 1983) Arsitek dan Pelaksana Pembangunan
VII, terj. Husodo Pringgokusumo. Kehidupan Seni Tradisi Jawa yang Modern
Surakarta: t.p. Koleksi Rekso Pustoko Pura MenIndonesia suatu Biografi.” Tesis
Mangkunegaran, MN. 1518. Program Studi Sejarah Pascasarjana
Metz, Th. M. (1987). “Mangkunegaran: Analisis Universitas Gadjah Mada.
Sebuah Kerajaan Jawa,” terj. Husodo

42
Sriyadi dan R.M. Pramutomo (Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran)

Sajid, R. M. (1985). “Carios Wontenipun Beksan Stutterheim, W. F. (1989). “Sri Paduka


Bedhaya Bedhah Madiun.” Koleksi Rekso Mangkunegara dan Masa Silam Pulau Jawa.”
Pustoko Pura Mangkunegaran, G. 165. Buku Kenangan Tri Windu Mangkunegara
Sedyawati, E. (1985). “Pengaruh India pada VII, terj. Husodo Pringgokusumo.
Kesenian Jawa: Suatu Tinjauan Proses Surakarta: t.p. Koleksi Rekso Pustoko Pura
Akulturasi.” Soedarsono, R. M. Pengaruh Mangkunegaran, MN. 1518.
India, Islam, dan Barat dalam Proses Suharti, T. (1990). “Tari di Mangkunegaran Suatu
Pembentukan Kebudayaan Jawa. Pengaruh Bentuk dan Gaya dalam Dimensi
Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Kultural 1916-1988.” Tesis Program Studi
Pengkajian Kebudayaan Nusantara Sejarah Pascasarjana Universitas Gadjah
Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Mada.
P dan K. Suharti, T. (2015). Bedhaya Semang Karaton
Singgih, R. P. (1986). Partini: Tulisan Kehidupan Ngayogyakarta Hadiningrat Reaktualisasi
Seorang Putri Mangkunegaran. Jakarta: Sebuah Tari Pusaka. Yogyakarta: Kanisius.
Djambatan. Sunarmi (2005). Interior Pracimayasa di Pura
Soedarsono, R. M. (1979). “Hubungan dan Mangkunegaran Surakarta: Karya Budaya
Pengaruh Tari Jawa Terhadap Tari Bali.” Mangkunegara VII (Kajian Estetik).
Laporan Penelitian Proyek Pengembangan Surakarta: UNS Press.
Institut Kesenian Indonesia Jakarta. Suryobrongto, G. B. P. H. (1976). Tari Klasik Gaya
Soedarsono, R.M. (2003). Seni Pertunjukan Dari Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Kraton
Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss. Treur, M. J. J. (1987). “Pidato Gubernur Surakarta
Soemarsono, R., Wishnu, R. P., Widyohamijoyo, Ditujukan Kepada Sri Paduka Pangeran
P.S. (2011). Lembar Kenangan Gusti Adipati Ario Mangkunagara VII pada Pesta
Noeroel. Jakarta: HKMN. Peringatan Panobatan Beliau Serta Hari
Soemaryatmi (1998). “Kehidupan Tari Gaya Ulang Tahun Beliau ke-50 pada tanggal 19
Surakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta.” Mei 1934 atau 4 Sapar Tahun Wawu 1865,”
Tesis Program Studi Pengkajian Seni terj. Husodo Pringgokusumo. Koleksi Rekso
Pertunjukan Pascasarjana Universitas Pustoko Pura Mangkunegaran, MN. 1040.
Gadjah Mada. Kayam, U. (1981). Seni Tradisi Masyarakat.
Soeratman, D. (1989). Kehidupan Dunia Kraton Jakarta: Sinar Harapan.
Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Taman Ventresca, M. J., dan J. W. Mohr. (2002). Archival
Siswa. Research Methods. USA: Blackwell
Soerjadiningrat, R. M. (1993). “Krida Beksa Publishers.
Wirama.” Majalah Djawa, Edisi Tahun. Wasino (1994). “Kebijaksanaan Pembaharuan
1940, terj. Husodo Pringgokusumo. Koleksi Pemerintahan Praja Mangkunegaran: Studi
Rekso Pustoko, Pura Mangkunega-ran, tentang Strategi Pemerintahan Tradisional
G.480. dalam Menanggapi Perubahan Sosial (Akhir
Soeryosoeyarso, G. R. dan H. Darmawan (1992). Abad XIX-Pertengahan Abad XX).” Tesis
“Adaptasi Tari Gaya Yogyakarta terhadap Program Studi Sejarah Pascasarjana
Tari Gaya Mangkunegaran pada Waktu Universitas Gadjah Mada.
Mangkunegara VII.” Kebudayaan Kraton Wedyodiningrat (1944). “SP Mangkunagoro VII
sebagai Puncak Kebudayaan Daerah kalijan Kaboedajan Djawi.” Koleksi Rekso
Pelestarian Warisan Adiluhung Leluhur Pustoko Pura Mangkunegaran MN 414.
Bangsa Menyongsong Era Tinggal Landas.
Yogyakarta: Kagama UGM.

43

You might also like