Professional Documents
Culture Documents
Article Text-63-1-10-20190416
Article Text-63-1-10-20190416
Agus Akhmadi
Abstrak
Keragaman (multibudaya) merupakan realita kehidupan. Di Madrasah
Aliyah, fenomena multibudaya siswa juga terjadi, dikarenakan
variabel etnografik, demografik dan status. Dalam Agama Islam,
keragaman adalah untuk li-taarofu, mengenal dan memahami serta
membantu. Perbantuan konseling terhadap siswa mengharuskan
kompetensi konseling multibudaya (KKM). Penelitian ini
mendeskripsikan KKM Guru BK Madrasah Aliyah, mencakup
11
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
12
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
adalah multibudaya, terdiri dari beragam Menurut Yusuf dkk., (2007), secara
agama dan budaya, oleh karena itu manusia umum kompetensi Guru BK termasuk pada
diharuskan lita’arofu (saling mengenal), saling kategori tinggi, walaupun dari analisis
kerjasama. Ayat ini menjadi motivasi Guru BK komponen-komponen kompetensi, terdapat
untuk memahami dan empati terhadap komponen kompetensi yang rendah dan perlu
keragaman klien khususnya dalam layanan ditingkatkan. Guru BK perlu meningkatkan
konseling. Klien yang berbeda budaya, latar kesadaran, pengetahuan dan keterampilan
keluarga, agama, suku, bahasa, umur, gender, konseling multibudaya, mengetahui pandangan
tempat tinggal, status sosial, ekonomi, hidup, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan,
pendidikan, dan status bertemu saling perbedaan perilaku, gaya komunikasi dan
berinteraksi untuk mendapatkan layanan praktek stereotype serta bias-bias budaya.
yang sesuai dengan keragaman mereka. Berdasarkan kajian di atas, maka
Siswa madrasah tidak hanya mengikuti kompetensi konseling multibudaya Guru BK
pembelajaran, namun juga membutuhkan di madrasah penting diteliti, karena layanan
perbantuan berupa layanan konseling. konseling di madrasah yang multibudaya
Dalam standar kompetensi guru BK memerlukan Guru BK yang kompeten dalam
(Kemendikbud, 2016), klien yang beragam memberikan layanan konseling yang ber-
semestinya menyadarkan Guru BK tentang martabat, yang empati dengan keragaman
pentingnya konseling multibudaya agar klien. Masalah yang diteliti adalah seberapa
layanan yang diberikan tidak salah. Guru kompetensi Guru BK madrasah dalam hal
BK perlu mengubah persepsi mereka, konseling multibudaya di Madrasah Aliyah
meningkatkan pengetahuan tentang budaya, Jawa Timur ?. Berapa tingkat kesadaran,
bentuk-bentuk diskriminasi, stereotip dan pengetahuan, dan keterampilan konseling
rasisme serta berperan aktif dalam layanan multibudaya Guru BK madrasah di Jawa Timur.
yang bermartabat (Holcomb-McCoy C. , 2005). Temuan tentang tingkat kompetensi itu akan
Prinsip bimbingan dan konseling (BK) berguna untuk memetakan aspek kompetensi
yang tercantum dalam (Permendikbud, 2014) yang rendah yang perlu ditingkatkan melalui
Nomor 111, bahwa BK diperuntukkan untuk desain pendidikan dan pelatihan.
semua tanpa diskriminatif. Layanan tanpa
diskriminatif berarti, setiap layanan BK harus Kerangka Konseptual Konseling
empati terhadap beragam klien. Dalam Multibudaya
konteks ke-Indonesiaan, hal ini sesuai Vontress, & Jackson, (2004) menyatakan,
dengan budaya Indonesia yang beragam, bahwa konseling multibudaya adalah
dimana keragaman membutuhkan layanan ”konseling ketika konselor dan klien berbeda
yang selaras dan serasi dengan nilai-nilai budaya karena proses sosialisasi budaya,
multibudaya demi harmonisasi layanan. sub-sub budaya, suku, etnis atau sosial
Bemak, (2005) prihatin atas kompetensi ekonomi”. Menurut Sue, konseling multi-
guru BK (konselor) dalam konseling budaya terjadi dalam situasi ketika: a)
multibudaya, karena seringkali praktek konselor dan klien adalah individu minoritas
konseling kurang efektif. Guru BK mengabaikan dari kelompok minoritas yang berbeda; b)
keragaman budaya, perbedaan nilai-nilai konselor adalah seorang minoritas tetapi
hidup yang dianut, perbedaan bahasa, klien bukan atau sebaliknya; c) konselor dan
pandangan hidup, agama, latar belakang klien memiliki kesesuaian ras dan etnis
keluarga, sikap dan kemampuan klien. Hal namun berbeda kelompok budaya (misalnya
inilah yang mendorong perlunya Guru BK jenis kelamin, orientasi seksual, faktor sosial-
kompeten dalam layanan yang adaptif ekonomi, orientasi religius atau usia).
dan efektif dalam setiap pertemuan konseling. Dari pendapat tersebut, maka konseling
13
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
multibudaya adalah peran dan proses penelitian tersebar di kabupaten dan kota
perbantuan yang menggunakan modalitas dan wilayah kerja Kementerian Agama Propinsi
menetapkan tujuan yang konsisten terhadap Jawa Timur. Dari alumni diklat yang diundang
nilai-nilai budaya, identitas budaya, mencakup ke Kantor Wilayah Kementerian Agama
dimensi individual, kelompok dan universal Propinsi Jawa Timur dalam rangka workshop
serta mendukung penggunaan strategi dan BK dan sekaligus pengumpulan data, sebanyak
peran universal dan kultural dalam layanan 42 Guru BK MA menjadi responden.
konseling, menyeimbangkan pentingnya Metode penelitian ini menggunakan
individualisme dan kolektivisme dalam descriptive kualitatif (Sugiyono, 2009), yaitu
mengases, mendiagnosis dan menangani melakukan survey. Data kompetensi di-
klien. peroleh dengan survey dan pengukuran
Konseling multibudaya berkembang dengan angket persepsi diri Guru BK
seiring pemaknaan terhadap hakekat terhadap konseling multibudaya, mencakup
manusia dan perkembangan psikofisiknya kesadaran, pengetahuan dan keterampilan
yang tidak akan terlepas dari pengaruh konseling multibudaya.
budaya. Konseling multibudaya memandang Untuk mengungkap data kompetensi
unsur budaya sebagai ruh bagi layanan yang berupa kesadaran, pengetahuan dan
konseling (Rakhmat, 2008), sehingga struktur keterampilan konseling multibudaya diguna-
budaya masyarakat yang multibudaya kan instrumen angket. Instrumen angket
berimplikasi terhadap konstruksi ideal mengacu pada skala Likert untuk mengukur
dari koeksistensi interaksi antar budaya. sikap, pendapat dan persepsi Guru BK, berupa
Perkembangan konseling multibudaya pernyataan dengan klasifikasi; sangat
berasal dari kesadaran dan pengalaman setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan
bangsa Amerika yang plural dan multibudaya. sangat tidak setuju (STS).
Dalam keragaman budaya, berbagai pendekatan Penyusunan angket dilakukan dengan
dan teknik konseling diharapkan mampu tahapan : a) Pengembangan kisi-kisi
memberikan layanan yang lebih efektif. Tahun instrumen, b) Penentuan Skor, c) Uji coba
1990 menjadi awal pengkajian peranan instrumen pengumpulan data.
budaya terhadap konseling dan telah K isi-kisi angket mencakup indikator
dikembangkan guideline konseling terhadap pengetahuan, kesadaran dan keterampilan
klien multibudaya multibudaya dari Ponterotto & Casas (1997);
Arredondo (2006). Kesadaran konseling
Metode penelitian multibudaya meliputi : kesadaran akan
Fokus penelitian ini adalah kesadaran, keragaman nilai-nilai, keyakinan dan
pengetahuan dan keterampilan konseling pandangan hidup, kesadaran terhadap adanya
multibudaya Guru BK. Subyek penelitian bias dan stereotip dan kesadaran terhadap
adalah Guru BK Madrasah Aliyah alumni keterbatasan diri sendiri dalam konseling
diklat guru Bimbingan dan Konseling Balai multibudaya. Pengetahuan konseling
Diklat Keagamaan Surabaya dari tahun multibudaya meliputi : pengetahuan akan
2010 – 2014. Alumni Diklat dipilih menjadi keragaman warisan budaya setiap individu,
subyek penelitian ini setidaknya melihat pengetahuan akan ketidakadilan, rasisme,
kompetensi alumni setelah mengikuti diklat, stereotip dalam layanan konseliing,
disamping menjalin komunikasi setelah pengetahuan terhadap perbedaan bahasa
terbentuknya Musyawarah Guru Bimbingan dan gaya komunikasi, dan pengetahuan
Konseling (MGBK) Madrasah di tingkat akan karakteristik konseling multibudaya.
Propinsi Jawa Timur. Keterampilan konseling multibudaya
Alumni diklat yang menjadi subyek meliputi : aktif mengembangkan keterampilan
14
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
15
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
16
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
teknik konseling efektif untuk beragam konseli, konseling multibudaya sangat rendah.
c) kurang mengetahui bahwa semua konseli Sejumlah 14 % konselor memiliki keterampilan
mampu melakukan kontak mata dalam konseling multibudaya rendah. Sejumlah
konseling, d) kurang mengetahui bahwa tidak 79 % konselor memiliki keterampilan
semua konseling punya pandangan kompetitif konseling multibudaya tinggi. Dan sejumlah 7 %
dan berorientasi pada prestasi. konselor memiliki keterampilan konseling
multibudaya sangat tinggi.
Keterampilan Konseling Multibudaya Dilihat dari komponen keterampilan
Kompetensi ketiga adalah fleksibel konseling multibudaya, aspek yang rendah
dan terampil melakukan konseling multi- dengan rerata 2,9 adalah : a) kurang merasa-
budaya, mencakup perluasan tata pandang kan konseling yang kurang tepat, b) kurang
tentang konsep keluarga, mempertimbangan terlatih menerapkan teknik konseling pada
gejala dalam konteks budaya, dan kesiapan beragam konseli, c) memahami kekhasan
dalam hubungan konseling mencakup hak dan bahasa, serta jika perlu mengalihtangan-
tanggung jawab, penggunaan waktu, tujuan kan pada konselor yang lebih memahami
konseling, sistem kerahasiaan, tata pandang budaya konseli, d) kurang terlatih mengguna-
yang berlaku setempat, dan kemungkinan kan instrumen pengukuran dan melakukan
kolaborasi dengan terapi lain atau penggunaan interpretasi data hasil pengukuran sesuai
pendekatan lain yang khas (Sue & Sue, 2003). budaya konseli.
Guru BK yang terampil dalam konseling
multibudaya ditandai a) dapat membangkit- Kompetensi Konseling Multibudaya (KKM)
kan berbagai respon baik verbal - non verbal, Kompetensi konseling multibudaya
b) mengirim dan menerima pesan verbal - non menurut Sue & Sue adalah:
verbal secara akurat dan tepat, c) melakukan ”acquisition of awareness, knowledge and
intervensi kepada klien dengan tepat, skill needed to function effectively in a
d) mengakui keterbatasan dirinya dan dapat pluralistic democratic society (ability to
mengantisipasi pengaruh perbedaan budaya, communicate, interact, negotiate and
e) melakukan konseling sesuai karakteristik intervene on behalf of clients from diverse
klien dan tidakterjebak pada konseling backgrounds). And on a organizational/
konvensional. Kesimpulannya, Guru BK yang societal level, advocating effectively to
terampil dalam konseling multibudaya develop new theories, practices, policies
adalah sensitif terhadap multibudaya dan and organizational structures that are more
dapat melakukan intervensi yang sesuai responsive to all groups”. (Sue, & Sue, 2003)
dengan budaya klien (Ponterotto, 2003).
Kompetensi ini berupa perolehan dan
Tabel 3 Keterampilan Konseling Multibudaya proses integrasi dari kesadaran, pengetahuan
Guru BK dan keterampilan budaya dalam layanan
Sangat Sangat konseling yang berfokus pada teknik terapi
Jumlah Rendah Tinggi
Rendah Tinggi yang efektif dan harmoni dengan budaya klien.
Respon-
den % % % % Dalam konseling multibudaya tidak
mengabaikan pendekatan tradisional yang
42 - - 6 14 33 79 3 7 monokultur, melainkan mengintegrasikan-nya
dengan perspektif budaya yang beragam
Dari tabel 3, menunjukkan bahwa dari 42 (Rakhmat, 2008), tujuannya adalah memperkaya
konselor MA yang menjadi responden dapat teori dan metode konseling yang sesuai.
dinyatakan bahwa tidak ada konselor yang Guru BK bersikap proaktif terhadap
menyatakan diri memiliki keterampilan perbedaan budaya, mengenali dan menghargai
budaya klien serta memiliki keyakinan, sikap
17
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
dan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. terhadap informasi pribadi (Hayden Davis,
Ketiganya merupakan modal Guru BK untuk 2006). Saat ini setiap saat Guru BK melakukan
berinteraksi, berkomunikasi, bernegosiasi layanan konseling multibudaya, karena (1)
dalam melayani klien multibudaya dalam setiap klien memiliki cara efektif dan spesifik
lingkungan yang demokratis dan pluralistik. dalam menyelesaikan masalah, (2) setiap
Guru BK mendukung secara efektif interaksi konseling merupakan hubungan
pengembangan teori, praktik, kebijakan multibudaya, (3) setiap kondisi sosial
organisasi yang lebih responsif dalam layanan budaya memengaruhi layanan konseling,
konseling. (4) model layanan konseling berawal dari
praktek budaya barat yang belum tentu
Tabel 4 Kompetensi Konseling Multibudaya cocok, oleh karena itu, layanan konseling
Guru BK yang harmoni terhadap keragaman, ber-
Sangat Sangat martabat dan tidak malapraktek tentu
Jumlah Rendah Tinggi
Rendah Tinggi membutuhkan kompetensi. Malapraktik
Respon-
den % % % % dalam konseling timbul ketika adanya
ketidak harmonisan antara Guru BK dan klien
42 - - 6 14 36 86 - - dalam hal pandangan hidup, nilai-nilai yang
dianut, serta ketidak-empatian Guru BK
Hasil penelitian di tabel 4 menunjukkan terhadap latar budaya klien. Kompetensi
bahwa Guru BK MA memiliki KKM tinggi ini sesuai dengan amanat (Depdiknas, 2007),
dalam konseling multibudaya. 86 % Guru BK MA bahwa Guru BK perlu peka budaya (culturally
menyatakan diri kompeten dalam konseling sensitive) agar dapat melayani klien secara
multibudaya. 14 % Guru BK MA menyatakan efektif.
memiliki kompetensi konseling multibudaya
yang rendah.
Pendekatan experiential untuk
Kompetensi konseling yang tinggi
peningkatan kompetensi Guru BK
menjadi tuntutan dalam layanan yang
Program diklat menjadi kebutuhan
bermartabat dan sesuai harapan klien,
setiap organisasi yang menginginkan
sehingga perlu ditingkatkan secara ber-
peningkatan layanan dan bagi individu yang
kelanjutan. Semua kompetensi semestinya
membutuhkan perkembangan kompetensi.
ditingkatkan, khususnya yang rendah melalui
Menurut Moehyi, (2005), pelatihan adalah
pendidikan dan pelatihan untuk menghindar-
usaha-usaha terencana dalam meningkatkan
kan layanan malapraktek dalam konseling.
kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan.
Urgensi KKM Program diklat kompetensi Guru BK dapat
Seberapa penting kompetensi konseling dilakukan pada aspek pengetahuan dan
multibudaya di madrasah ? secara teoritis, kesadaran konseling multibudaya, hal ini
KKM semakin diperlukan, karena dalam sesuai pendapat Robinson, bahwa diklat
menghadapi beragam klien (multibudaya) dapat meningkatkan kompetensi multi-
tidak cukup hanya menggunaan pendekatan budaya pada aspek sikap-sikap, keyakinan-
konvensional, yang menyebabkan layanan keyakinan, pengetahuan dan keterampilan
kurang efektif (Pedersen, 2003). Demikian (Robinson, 2009).
juga, profesi Guru BK diharapkan profesional Pelatihan multibudaya dapat menerap-
dan memiliki kualifikasi dalam memenuhi kan metode yang bervariasi, misalnya dalam
kebutuhan klien, yaitu terampil berkomunikasi bentuk perkuliahan, diskusi kelompok,
secara efektif, penuh perhatian, keterampilan pendekatan belajar pengalaman (experiential),
empati, pengungkapan diri dan pemahaman role playing/ simulasi, praktek terapi,
18
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
19
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
dan khususnya Guru BK perlu didorong untuk menerapkan dikjartih dengan beragam model
meningkatkan kompetensi multibudaya dan pelatihan yang aktif dan memberikan
profesional dalam setiap layanan konseling. pengalaman (eksperiensial) belajar yang
Ketiga, Bagi Widyaiswara: Diklat bermakna.
merupakan kerja sinergis antara pelatih dan Keempat, bagi peneliti: subyek
peserta dalam menciptakan pembelajaran penelitian ini sangat terbatas, sehingga
yang efektif dan efisien bertumpu pada perlu penelitian dalam lingkup yang lebih
pembelajaran andragogi. Guru BK di variatif. Penelitian ini hanya melakukan
madrasah dapat mengembangkan kompetensi survey persepsi diri Guru BK, untuk itu
profesional jika difasilitasi dengan pelatihan penelitian lebih lanjut perlu dilakukan
yang tepat, untuk itu widyaiswara perlu dengan pengukuran kompetensi secara
otentik. []
DAFTAR PUSTAKA
Banun Sri Haksasi, H. M. (2015). MODEL PENGEMBANGAN KOMPETENSI KONSELOR MULTIKULTUR
BERBASIS EXPERIEN LEARNING MELALUI MEDIA FILM POPULER. MAJALAH ILMIAH
PAWIYATAN, Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015, 136 - 145.
Bemak, F. (2005). Reflections on Multiculturalism, Social Justice, and Empowerment Groups for
Academic Success: A Critical Discourse for Contemporary Schools. Professional School
Counseling, 8, 401-406.
Brangwetan. (2007, 02 10). sepuluh-wilayah-kebudayaan. Retrieved 12 10, 2016, from brangwetan
wordpress.com
Depdiknas. (2007). Standar Kompetensi Konselor. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Hayden Davis, A. M. (2006). Multicultural Counseling Competencies Of School Counselors. Athens,
Georgia: The University Of Georgia.
Holcomb-McCoy, C. (2005). Investigating School Counselors’ Perceived Multicultural Competence.
Professional School Counseling, 8(5) , 414-423.
Kemendikbud. (2016). Pedoman Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah. Jakarta: Kemendikbud.
Lago, C. (2006). Race, Culture and Counselling. England: Open University Press.
Locke, D. (1992). Increasing Multicultural Understanding: a Comprehensive Model. Newbury Park
California: Sage Publication.
Moehyi, A. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Unit Penerbitan Fakultas
Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Nagda, B. G. (2003). Transformative Pedagogy for Democracy and Social Justice. Race and Ethnicity
and Education Journal , 6, 166-191.
Pedersen, P.B. (2002). The Making of Culturally Competent. In W.J Lonner, dkk (Eds). Online Reading
in Psychology and Culture. http:www.wwu.edu/-culture. Diakses 5 Agustus 2011.
Permendikbud. (2014). Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan dasar dan Menengah. Jakarta.
Ponterotto, d. (2003). Assesing Multicultural Counseling Competence: A review of Instrumentation.
Journal of Counseling and Development.
Quran. (2010). Al Quran dan Terjemahan. Jakarta: Kementerian Agama.
Rakhmat, C. (2008). Paradigma Konseling Berbasis Budaya: Metateori yang membumikan Konseling
dalam konteks Budaya. Pidato pengukuhan Guru Besar pada FIP UPI. Bandung : UPI.
Redman, G. L. (1999). Casebook for Exploring Diversity in K-12 Classrooms, . Colombus Ohio: Merrill.
20
Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 11, no. 1, Januari - Maret 2017
Robinson, T. L. (2009). The Convergence of race, Ethnicity and Gender: Multiple identities in
Counseling. New Jersey: Pearson Education.
Siap. (2016, Desember 10). SIAP. Retrieved 12 10, 2016, from http://jatim.siap-online.com/ S u e ,
D.W. & Sue, D. (2003). Counseling Culturally Diverse: Theory and Practice Fourth Edition.
USA: John Wiley & Sons. Inc.
Vontress, C.E & Jackson, M.L. (2004). Reactions to TThe Multicultural Counseling Competencies
Debate. Journal of Mental Health Counseling 26 (1), 74-80.
Yusuf, Syamsu L.N. dkk. (2007). Profil Kompetensi Sosial Konselor Sekolah. Laporan Penelitian
Prodi BK. Bandung : Pascasarjana UPI.
21