Skripsi. Pengemasn. Jenis Kemasan Karton

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 84

KAJIAN PENGARUH TIPE VENTILASI DAN SUHU PENYIMPANAN

TERHADAP PERUBAHAN MUTU BUAH ALPUKAT


(Persea Americana, Mill) DAN SEBARAN SUHU DALAM KEMASAN

SKRIPSI

DETI KUSNIATI
F14070080

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
STUDY ON THE EFFECT OF VENTILATION TYPE AND STORAGE TEMPERATURE ON THE
QUALITY CHANGES OF AVOCADO (Persea Americana, Mill)
AND THE DISTRIBUTION OF TEMPERATURE INSIDE PACKAGING

Deti Kusniati
Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor
Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia
Phone 62 857 158 55114, e-mail: detikusniati@ymail.com

ABSTRACT

Post harvest handling of avocado in Indonesia usually are still done with less carefull during
harvesting, packaging, transportation, and storage can lead to mechanical, physiological, chemical,
and microbiological damage. Mechanical damage during the distribution process of fruits due to
impact between fruit inside the packaging, the impact of the fruit with a wall packaging, as well as
the excess pressure due to pile in one package. The use of corrugated box packaging by giving
insulation between the fruit and ventilation holes are expected to reduce mechanical damage and
changes in avocado fruit quality such as shrinkage weight, hardness, total soluble solids, and physical
damage during storage. This research was done to investigate four packaging types : packaging
without ventilation, circle type ventilation packaging, oblong type, insulation type; and two treatment
of storage temperature of room temperature and 8 0C temperature.
The testing result in the temperature distribution on the packaging indicates that the packaging
with oblong ventilation type most quickly reach the expected storage temperature. The transport
simulation results of the which was equivalent with 184.82 miles in the road out of town or
approximately 3:08 hours for trucks with speed of 60 km / h shows the level of fruits mechanical
damage in 0% on all packaging.
Although the package with oblong ventilation is better in distribution temperature, but overall,
the decreasing quality of avocado in circle ventilation package is slower than the other packages. Due
to, the best package to be distributed the avocado is package with circle ventilation in temperature of
8 oC.

Keyword : Avocado, package, ventilation


Deti Kusniati. F14070080. Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap
Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana, Mill) dan Sebaran Suhu dalam Kemasan.
Di bawah bimbingan Sutrisno dan Emmy Darmawati. 2011

RINGKASAN

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah,
tanah yang subur, dan dapat ditanami berbagai macam tanaman, sehingga dapat menghasilkan produk
hortikultura yang potensial. Buah-buahan sebagai komoditas hortikultura memiliki potensi untuk
dikembangkan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Salah satunya yaitu
buah alpukat, Alpukat merupakan salah satu jenis buah bergizi tinggi yang semakin banyak diminati
dan tidak kalah bersaing jika dibandingkan dengan buah-buahan lainnya yang memiliki nilai
komersial lebih tinggi.
Penanganan buah alpukat masih dilakukan seadanya oleh petani, sehingga penanganan yang
kurang hati-hati pada saat panen, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan mengakibatkan
kerusakan buah yang tinggi. Kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan mekanis, fisiologis,
kimiawi, dan mikrobiologis. Selama proses distribusi masih banyak terjadi kerusakan mekanis pada
buah alpukat seperti luka gores, luka memar, dan luka pecah akibat terjadinya benturan antar buah di
dalam kemasan, benturan antara buah dengan dinding kemasan, serta tekanan akibat tumpukan
berlebih dalam satu kemasan.
Penggunaan kemasan karton dewasa ini telah menjadi kemasan yang popular untuk produk
holtikultura, hal ini disebabkan karena kemasan dengan peti karton lebih ringkas dan rapi. Kemasan
karton dapat dilengkapi dengan ventilasi agar adanya sirkulasi udara, dan dilengkapi penyekat antar
buah sehingga kerusakan akibat gesekan dan tekanan dapat dihindari. Ventilasi penting untuk
kemasan produk pertanian khususnya komoditas holtikultura segar yang masih mengalami proses
respirasi yang memerlukan aliran udara yang memadai untuk membuang panas yang terjadi karena
proses respirasi.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh tipe ventilasi kemasan dan suhu
penyimpanan terhadap perubahan mutu buah alpukat dan sebaran suhu dalam kemasan. Perlakuan
untuk melihat pengaruh ventilasi ada empat yaitu kemasan tanpa ventilasi, ventilasi circle, ventilasi
oblong, dan ventilasi searah sekat. Sedangkan untuk suhu penyimpanannya terdiri dari penyimpanan
di suhu ruang dan penyimpanan di suhu dingin 8 ˚C.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP)
Departeman Teknik Mesin dan Biosistem IPB. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari 17 Maret 2011 –
25 April 2011. Bahan utama yang digunakan adalah buah alpukat yang diperoleh dari petani di daerah
Sukabumi, Jawa Barat. Bahan lain yang digunakan yaitu karton sebagai bahan untuk pembuatan
kemasan outer dan sekat antar buah. Peralatan yang digunakan meja simulator, Rheometer,
Refraktometer, Refrigerator, dan timbangan Mettler.
Kemasan hasil rancangan berukuran (37 x 23 x 21) cm dengan dua layer. Desain kemasan
memiliki perkiraan berat bersih alpukat 5-6 kg, dengan kapasitas 30 buah yaitu pada masing-masing
layer sebanyak 15 buah. Kemasan karton yang digunakan yaitu tipe Regular Slotted Container (RSC).
Penyimpanan buah alpukat dilakukan pada suhu ruang dan suhu 8 ˚C. Pengamatan yang dilakukan
yaitu pencapaian kestabilan suhu dalam masing-masing kemasan, dan parameter mutu buah alpukat
seperti kerusakan mekanis, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, dan kerusakan selama
penyimpanan.
Hasil pengujian sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan, menunjukkan
kemasan yang disimpan pada suhu ruang 28 ˚C memiliki kestabilan suhu berkisar antara 28-29.1 ˚C,
sedangkan kemasan yang disimpan pada suhu 8 ˚C dapat mencapai kestabilan suhu berkisar antara 7.4
– 8 ˚C. Kemasan dengan ventilasi tipe oblong dan circle merupakan kemasan yang paling cepat
mencapai suhu penyimpanan yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, tipe ventilasi
kemasan berpengaruh nyata terhadap suhu dalam kemasan. Dari hasil uji lanjut Duncan, kemasan
dengan ventilasi tipe circle dan oblong, menhasilkan suhu dalam kemasan yang tidak berbeda nyata.
Hasil konversi frekuensi dan amplitudo selama simulasi transportasi berdasarkan konversi
truk selama dua jam di jalan luar kota, menunjukkan bahwa dua jam pada alat simulasi transportasi
setara dengan 184.82 km di jalan luar kota atau lebih kurang 3.08 jam perjalanan truk dengan
kecepatan 60 km/jam, dan tingkat kerusakan mekanis setelah simulasi transportasi pada tiap tipe
kemasan adalah 0 %. Selama penyimpanan juga dilakukan pengamatan terhadap kerusakan fisik buah
alpukat, dan perubahan mutunya. Kerusakan fisik tertinggi dialami oleh buah alpukat pada kemasan
tanpa ventilasi yang disimpan pada suhu ruang, dengan kerusakan sebesar 21.67 % setelah enam hari
penyimpanan. Sedangkan pada penyimpanan di suhu 8 ˚C, hanya kemasan dengan ventilasi tipe
oblong yang mengalami kerusakan fisik.
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan, tipe kemasan tidak berpengaruh
nyata terhadap kerusakan mekanis, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, dan kerusakan fisik
selama penyimpanan. sedangkan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan
mekanis, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, dan kerusakan fisik selama penyimpanan.
semakin tinggi suhu penyimpanan maka akan semakin tinggi pula laju respirasi yang terjadi yang akan
berpengaruh terhadap mutu buah.
Berdasarkan hasil penelitian, kemasan yang sesuai untuk distribusi alpukat yang dapat
mempertahankan mutu fisik alpukat dalam beberapa hari penyimpanan adalah kemasan dengan
ventilasi tipe circle. Karena pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin 8 ˚C, buah alpukat
yang disimpan pada kemasan tersebut menghasilkan mutu yang lebih baik dari kemasan lainnya
seperti persentase susut bobot rendah, kekerasan tinggi, peningkatan TPT yang rendah, dan tidak
mengalami kerusakan selama penyimpanan.
KAJIAN PENGARUH TIPE VENTILASI DAN SUHU PENYIMPANAN
TERHADAP PERUBAHAN MUTU BUAH ALPUKAT
(Persea Americana, Mill) DAN SEBARAN SUHU DALAM KEMASAN

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Mayor Teknik Pertanian
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
DETI KUSNIATI
F14070080

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

i
Judul Skripsi : Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap
Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana,Mill) dan Sebaran Suhu
Dalam Kemasan
Nama : Deti Kusniati
Nrp : F14070080

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr.) (Dr.Ir.Emmy Darmawati, M.Si.)


NIP 19590720 198601 1 002 NIP 19610505 198601.2.001

Mengetahui :
Ketua Departemen,

(Dr.Ir. Desrial, M.Eng )


NIP 19661201 199103.1.004

Tanggal lulus :

ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Pengaruh
Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea
Americana, Mill) dan Sebaran Suhu Dalam Kemasan adalah hasil karya saya sendiri dengan
arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011


Yang membuat pernyataan

Deti Kusniati
F14070080

iii
© Hak cipta milik Deti Kusniati, tahun 2011
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,
microfilm, dan sebagainya

iv
BIODATA PENULIS

Deti Kusniati. Lahir di Serang, 2 Desember 1989 dari ayah Dedi Kusnawan
dan ibu Juarsih S.Pd, sebagai putri pertama dari empat bersaudara. Pada
tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Serang,
kemudian melanjutkan SMA pada tahun 2007 di SMA Negeri 1 Serang, dan
pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) sebagai Mahasiswa dengan Mayor Teknik Pertanian,
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian.
Pada tahun 2010, penulis memilih bagian Lab. Teknik Pengolahan Pangan
dan Hasil Pertanian (TPPHP). Sewaktu kuliah Penulis aktif di beberapa
organisasi kemahasiswaan maupun kepemudaan. Pada tahun 2008-2009 penulis aktif sebagai Staff
bidang Riset dan Teknologi (Ristek) Biosistem HIMATETA (Himpunan Mahasiswa Teknik
Pertanian). Pada tahun 2010, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Rajawali Nusantara
Indonesia (RNI) II Unit PG. Sindang Laut Cirebon dengan judul “Aspek Keteknikan Pertanian Pada
Proses Pengolahan Gula Tebu di PT.RNI II Unit PG.Sindang Laut Cirebon”.
Pada tahun 2011 penulis menjadi Asisten Praktikum Terpadu Mekanika dan Bahan Teknik
(PTMBT). Dan sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis
melaksanakan penelitian yang berjudul “Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan
terhadap Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana, Mill) dan Sebaran Suhu dalam
Kemasan”.

v
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya
sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan
Suhu Penyimpanan Terhadap Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana,Mill) dan Sebaran
Suhu Kemasan dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian
(TPPHP) Departeman Teknik Pertanian IPB sejak bulan Maret sampai April 2011. Dengan telah
selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, Msi sebagai dosen pembimbing
akademik atas bimbingannya selama ini.
2. Ir. Agus Sutejo, M.Si selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan koreksi dan saran terhadap skripsi Penulis.
3. Ayahanda, Ibunda, adik-adik tercinta (Suci, Vivi, dan Anida), serta saudara-saudara yang
selalu mengalirkan doa untuk kelancaran kegiatan penelitian, dan memberikan semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Sugiyono, S.Tp, M.Si atas bimbingan dan arahannya kepada penulis
5. Bapak Sulyaden dan Bapak Ahmad sebagai laboran di Laboratorium Teknik TPPHP dan LBP
yang telah membantu selama penelitian.
6. Teman-teman sepermain dan seperjuangan Siska Febriana, Huda Fatmawati, Anggy Fajar M,
Rahma Utami, Dewi Sartika, dan Ratna Aprilynda.
7. Teman-teman satu bimbingan Ilah Fadilah, Tri Yulni, Sartika R, Tulus Hirdata dan Adi
Nuryadi.
8. Henni, Ani, Yuni, Thea, Spetri, Okta, Wendi, Suherman, Surianta, Zani, Yan, Wawat, Sabil,
dan rekan TEP 44 (ENSEMBLE) lainnya yang tentunya secara langsung maupun tidak
langsung telah turut membantu dalam penyusunan skripsi ini.
9. Kakak-kakak TEP 43(Ka Nanda, Ka Enny, Ka Dani Boy) yang bersedia meluangkan waktunya
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis, serta adik-adik TMB 46 yang memberi
dukungan dan semangat.
10. Fiman, Muhammad Firdaus, dan Zaid yang memberikan semangat dan motivasi kepada penulis
untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
11. Penghuni wisma “LUKITA” ( Nunge, Eka, Nivi, Mba Erna, dll ) atas dukungannya.
12. Seluruh Dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem atas ilmu, dan pengalaman yang telah
diberikan kepada penulis.
13. Seluruh staf Departemen Teknik Mesin dan Biosistem (Ibu Rusnawati, Ibu Mar, dll) atas
kebaikan dan bantuannya kepada penulis.

Akhir kata, meskipun banyak kekurangan. Semoga tulisan ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
penulis atau pembaca.

Bogor, Oktober 2011

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ vi


DAFTAR TABEL .................................................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................................. x

I. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Tujuan ................................................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 3
A. Alpukat .............................................................................................................. 3
B. Pengemasan ....................................................................................................... 6
C. Peti Karton Bergelombang ................................................................................ 7
D. Ventilasi............................................................................................................. 10
E. Bahan Pengisi Kemasan .................................................................................... 11
F. Penyimpanan Buah ............................................................................................ 12
G. Kerusakan Pasca Panen ..................................................................................... 13
H. Transportasi ....................................................................................................... 14
I. Simulasi Transportasi ....................................................................................... 14
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................ 16
A. Tempat dan Waktu ............................................................................................ 16
B. Bahan dan Alat .................................................................................................. 16
C. Model Kemasan ................................................................................................. 16
D. Prosedur Penelitian ............................................................................................ 17
E. Pengamatan........................................................................................................ 20
F. Kesetaraan Simulasi Transportasi ...................................................................... 22
G. Rancangan Percobaan ........................................................................................ 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................... 25
A. Kemasan Alpukat Hasil Rancangan .................................................................... 25
B. Pola Kestabilan Suhu Kemasan ......................................................................... 27
C. Pengaruh Tipe Ventilasi Terhadap Sebaran Suhu dalam Kemasan ................... 30
D. Tingkat Kerusakan Mekanis Setelah Simulasi Transportasi .............................. 32
E. Pengaruh Tipe Kemasan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah
Alpukat ............................................................................................................. 33
F. Pemilihan Kemasan yang Sesuai ....................................................................... 45
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 46
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 46
B. Saran .................................................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 47
LAMPIRAN ................................................................................................................. 49

vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Syarat mutu buah alpukat.......................................................................................... 4
Tabel 2. Karakteristik jenis alpukat......................................................................................... 5
Tabel 3. Kandungan nilai nutrisi buah alpukat per 100 gr bahan ............................................ 5
Tabel 4. Susunan flute pada karton gelombang komersial ...................................................... 8
Tabel 5. Tipe flute dan sifat karton gelombang ....................................................................... 8
Tabel 6. Kebutuhan kondisi penyimpanan dan sifat dari buah-buahan................................... 12
Tabel 7. Data goncangan truk .............................................................................................. 15
Tabel 8. Data rataan dimensi dan berat buah alpukat ............................................................. 25
Tabel 9. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam
kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang ....................................................... 31
Tabel 10. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam
kemasan selama penyimpanan pada suhu 8˚C ......................................................... 32
Tabel 11 Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap susut bobot alpukat. ................................ 36
Tabel 12. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap susut bobot alpukat ...................................... 36
Tabel 13. Pengaruh tipe kemasan berventilasi terhadap kekerasan buah alpukat. .................... 39
Tabel 14. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan buah alpukat ................................ 39
Tabel 15. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap total padatan terlarut buah alpukat ......... 41
Tabel 16. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap total padatan terlarut buah alpukat ............... 41

viii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bentuk dan penampang alpukat mentega .......................................................... 3


Gambar 2. Penggolongan karton gelombang ....................................................................... 7
Gambar 3. Tipe flute............................................................................................................ 8
Gambar 4. Kemasan karton gelombang tipe Regular Slotted Container ( RSC ) ............... 9
Gambar 5. Kemasan karton gelombang tipe Half Telescopic Container ( HTC ) .............. 9
Gambar 6. Kemasan karton gelombang tipecFull Telescopic Container ( RSC ) ............. 9
Gambar 7. Sekat karton ...................................................................................................... 11
Gambar 8. Model kemasan dalam penelitian ...................................................................... 17
Gambar 9. Ilustrasi gerakan ................................................................................................. 18
Gambar 10. Diagram alir prosedur penelitian ....................................................................... 19
Gambar 11. (a) Bagian dalam kemasan…………………………………………………….. 21
(b) Posisi titik pengukuran suhu ......................................................................... 21
Gambar 12. Flute AB kemasan outer .................................................................................... 26
Gambar 13. Penyusunan buah alpukat dalam kemasan ......................................................... 26
Gambar 14. Rancangan kemasan alpukat .............................................................................. 27
Gambar 15. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan .................................................... 28
Gambar 16. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu ruang ................... 28
Gambar 17. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu 8 ˚C ..................... 29
Gambar 18. Suhu rata-rata masing kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang ............ 30
Gambar 19. Suhu rata-rata masing kemasan selama penyimpanan pada suhu 8˚C ............... 31
Gambar 20. Simulasi transportasi desain kemasan alpukat ................................................... 32
Gambar 21. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan selama
Penyimpanan pada suhu ruang (28-30˚C) …………………………………….. 34
Gambar 22. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan selama
penyimpanan pada suhu 8˚C ……………………………………………….......34
Gambar 23. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan pada
suhu ruang (28 - 30 ˚C) …………………………………………………........... 37
Gambar 24. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan pada suhu 8˚C …....... 37
Gambar 25. Perubahan warna kecoklatan dan timbul jamur pada alpukat untuk
penyimpanan 6 hari pada suhu ruang (28-30˚C) ……………..………….….…. 38
Gambar 26. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan
pada suhu ruang (28-30 ˚C) ……………………………………………….….. 39
Gambar 27. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu 8˚C …….. … 40
Gambar 28. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada
suhu ruang………………………………………………………………………. 42
Gambar 29. Kerusakan buah alpukat pada kemasan K1T1 setelah penyimpanan
hari ke-3…………………………………………………………………….….. 42
Gambar 30. Perubahan buah alpukat ................................................................................... .. 43
Gambar 31. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada
suhu 8˚C ………………………….. ................................................................ .. 44
Gambar 32. Jenis kerusakan buah ....................................................................................... .. 44

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Dimensi dan berat buah alpukat........................................................................... 50


Lampiran 2. Perhitungan dimensi kemasan karton .................................................................. 51
Lampiran 3. Perhitungan ventilasi kemasan............................................................................. 52
Lampiran 4. Peralatan yang digunakan .................................................................................... 53
Lampiran 5. Simulasi transportasi............................................................................................ 54
Lampiran 6. Grafik pengujian sebaran suhu kemasan.............................................................. 57
Lampiran 7. Suhu rata-rata dalam kemasan selama penyimpanan ........................................... 60
Lampiran 8. Persentase susut bobot buah alpukat selama penyimpanan ................................. 61
Lampiran 9. Perubahan total padatan terlarut buah alpukat selama penyimpanan ................... 62
Lampiran 10. Penurunan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan ................................... 63
Lampiran 11. Kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan ............................................ 64
Lampiran 12. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan susut
bobot buah alpukat selama penyimpanan ..................................................... …. 65
Lampiran 13. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kekerasan
buah alpukat selama penyimpanan ...................................................................... 66
Lampiran 14. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan total padatan
terlarut buah alpukat selama penyimpanan ........................................................ 67
Lampiran 15. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam
kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang ................................................ 68
Lampiran 16. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam
kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 ˚C ................................................. 69
Lampiran 18. Penampakan buah alpukat pada akhir penyimpanan .......................................... 70

x
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil produk hortikultura yang potensial. Buah-buahan


sebagai salah satu komoditas hortikultura memiliki potensi untuk dikembangkan baik untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Indonesia mengekspors komoditas
hortikultura ke sejumlah negara maju seperti Singapura, Cina, Taiwan, Hongkong, Belanda, Perancis,
Spanyol, dan Timur Tengah. Produk hortikultura yang diekspor pada umumnya berupa buah segar
sehingga kadar air sangat menentukan kualitasnya.
Beberapa jenis buah-buahan Indonesia yang disukai oleh Negara lain diantaranya adalah
alpukat, mangga, manggis, melon, papaya, nanas, kesemek, apel, rambutan, dan lain-lain. Dalam
perdagangan dunia, buah alpukat merupakan komoditas buah yang penting, volume perdagangannya
menempati urutan kelima susudah jeruk, pisang, nenas, dan mangga (Winarno, 2002). Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1997 hingga tahun 2010, produktivitas alpukat di
Indonesia mengalami kenaikan. Pada tahun 1997 produksi alpukat yaitu 129,952 ton, sedangkan pada
tahun 2010 produksi alpukat mencapai 225,143 ton. Produksi alpukat tertinggi di Indonesia selama
kurun waktu 13 tahun, yaitu pada tahun 2009 mencapai angka 257,642 ton. Buah alpukat yang
diekspor ke pasar Eropa mencapai 20,000 ton pertahun (Winarno, 2002). Pada tahun 2011 permintaan
ekspor alpukat oleh Singapura akan meningkat, karena adanya pembatasan impor dari negara China.
Berbeda dengan buah lain, alpukat mengandung lemak yang lumayan tinggi yakni 6,50 – 25,18
gram per 100 gram daging buah. Di antara buah-buahan, rasa alpukat unik, rasanya bukan manis atau
pun masam, tetapi rasanya seperti kacang-kacangan. Rasa ini berasal dari daging buah yang
konsistensinya menyerupai mentega. Lemak yang terdapat dalam alpukat sebagian besar (63%)
merupakan asam lemak tak jenuh tunggal yang lebih dibutuhkan oleh tubuh manusia. Walaupun
demikian, buah alpukat masih belum mendapatkan perhatian yang khusus dari masyarakat. Hal ini
disebabkan belum diketahui potensinya secara luas. Buah alpukat masih ditangani dengan kurang
tepat sehingga nilai jualnya rendah. Penanganan pasca panen (pengangkutan, sortasi, pengemasan dan
penyimpanan) yang tidak tepat mempengaruhi tingkat perubahan mutu produk. Perubahan mutu
selama proses penyimpanan terjadi karena buah-buahan dan sayuran masih melakukan respirasi,
dimana selama proses respirasi tersebut produk mengalami pematangan dan kemudian diikuti dengan
proses pembusukkan.
Kerusakan akibat pasca panen ini dapat berupa kerusakan fisik, mekanik, biologi, kimia,
maupun mikrobiologi. Diperkirakan lebih dari 30% komoditas buah, sayur, dan bunga segar di
Indonesia mengalami kerusakan setelah sampai di tangan konsumen, akibat penanganan yang kurang
baik. Kerusakan-kerusakan selama pengangkutan tersebut umumnya memar, hancur, dan mutunya
tidak seragam. Penyebab utama kerusakan tersebut adalah pengemasan yang tidak sesuai atau kurang
tepat. Efisiensi penanganan komoditas hasil pertanian dapat ditingkatkan melalui kemasannya.
Kemasan ini diharapkan dapat memberikan perlindungan yang maksimum kepada produk yang
dikemas, sehingga produk dapat sampai ke tangan konsumen dalam kondisi mutu yang seragam dan
penampakan yang baik.
Kemasan ada beberapa macam, mulai dari yang alami hingga buatan, mulai dari yang
sederhana sampai yang paling canggih. Jenis kemasan yang dipilih harus dapat memberikan kondisi
yang cocok bagi produk holtikultura sehingga dapat mencegah atau mengurangi terhadap

1
kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan keadaan yang dapat menyebabkan kerusakan
selama didistribusikan seperti perubahan suhu, kelembaban, goncangan, kontaminasi dan sebagainya.
Secara ekonomis ukuran kemasan harus dibuat seefisien mungkin, tidak banyak ruangan kosong serta
ukuran dan densitasnya perlu diketahui.
Kemasan yang cukup baik digunakan untuk distribusi buah alpukat adalah kemasan kotak
karton atau kardus. Hal ini disebabkan kemasan dengan kotak karton lebih ringkas dan rapi. Kemasan
karton dapat dilengkapi dengan ventilasi untuk sirkulasi udara, dan penyekat antar buah untuk
menghindari gesekan dan tekanan. Ventilasi penting pada kemasan produk pertanian khususnya
komoditas holtikultura segar karena bahan tersebut masih mengalami respirasi yang mengakibatkan
akumulasi panas dalam kemasan, oleh karena itu diperlukan aliran udara yang memadai untuk
membuang panas tersebut. Kekuatan kardus dapat ditingkatkan dengan penambahan sekat di
dalammnya, pelapis-pelapis tambahan, atau dengan menggunakan kardus teleskopik penuh yang
mempunyai dua dinding luar (Pantastico, 1986).
Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan penelitian ini untuk mengetahui kesesuaian jenis
bahan karton sebagai kemasan distribusi, pengaruh ventilasi pada kemasan untuk mempertahankan
mutu buah didalamnya, mengetahui pengaruh ventilasi terhadap sebaran suhu dalam kemasan, juga
suhu penyimpanan yang sesuai. Dengan penelitian ini juga dapat dilakukan penanganan yang tepat
untuk kegiatan transportasi agar kualitas buah alpukat yang didistribusikan dari produsen kepada
konsumen masih layak konsumsi.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan:


1. Mengetahui pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan dan mutu
buah alpukat (susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut dan kerusakan fisik).
2. Mengetahui pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan mutu buah alpukat
3. Menentukan tipe kemasan dan suhu penyimpanan yang sesuai untuk mengurangi kerusakan
mekanis dan penurunan mutu buah alpukat dalam kemasan.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Alpukat
Alpukat (Persea Americana, Mill) merupakan jenis tanaman yang termasuk famili Lauraceae,
genus Parsea dan spesies americana. Tanaman alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon
dengan nama alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur/Jawa Tengah), boah pokat, jamboo pokat
(Batak), advokat, jamboo mentega, jamboo pooan, pookat (Lampung) dan lain-lain. Tanaman alpukat
berasal dari dataran rendah/tinggi Amerika Tengah dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad
ke-18. Secara resmi antara tahun 1920-1930 Indonesia telah mengintroduksi 20 varietas alpukat dari
Amerika Tengah dan Amerika Serikat untuk memperoleh varietas-varietas unggul (Rismunandar,
1981).
Berdasarkan sifat ekologis, tanaman alpukat terdiri dari 3 tipe keturunan/ras, yaitu Meksiko,
Guatemala, dan Hindia Barat, masing-masing ras memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Ras Meksiko
memiliki buah buah yang kecil dengan berat 100-225 g, bentuk oval, bertangkai pendek, kulitnya
tipis dan licin seta biji buahnya besar dan memenuhi rongga buah. Daging buah ras ini mempunyai
kandungan minyak /lemak yang paling tinggi. Ras Guatemala mempunyai buah yang berukuran
cukup besar, berat berkisar antara 200-300 g, kulit buah tebal, keras, mudah rusak dan kasar
(berbintil-bintil). Bijinya relatif berukuran kecil dan menempel erat dalam rongga, dengan kulit biji
yang menempel erat. Daging buahnya memiliki kandungan minyak yang sedang. Sedangkan ras
Hindia Barat mempunyai buah dengan berat 300-400 g, tangkai pendek, kulit buah licin, agak liat,
dan tebal. Kandungan minyak daging buahnya paling kecil bila dibandingkan dengan ketiga ras yang
lain. (Prihatman, 2000). Bentuk dan penampang buah alpukat dapat dilihat pada Gambar 1.

Kulit

Daging T

Biji

Gambar 1. Bentuk dan Penampang Alpukat Mentega. T (tinggi), D (diameter)

Alpukat merupakan salah satu tanaman holtikultura yang dapat tumbuh di daerah agak kering
dan daerah basah. Tanah yang dikehendaki agar pohon alpukat dapat tumbuh dengan baik adalah
tanah yang gembur dan memungkinkan adanya aerasi atau peredaran udara dengan pH antara 5.0-6.0.
Pada daerah tropis seperti Indonesia, tanaman alpukat dapat tumbuh subur di atas dataran rendah
sampai dataran tinggi yang berketinggian 2000 m di atas permukaan laut (dpl).
Rismunandar (1981), menyatakan bahwa musim berbunga alpukat bergantung pada daerah
dan jenis alpukat. Biasanya alpukat berbunga pada bulan April-Agustus dan bulan Oktober-

3
November, sedangkan berbuah pada bulan Desember-Februari dan Mei-Juli. Alpukat yang ditanam
dari biji akan berbuah pada umur 5-6 tahun sedangkan yang ditanam dengan okulasi berbuah pada
umur 3-4 tahun. Pemanenan buah alpukat sebaiknya dilakukan pada saat yang tepat yaitu pada
saat buah sudah tua tetapi belum masak. Kematangan buah alpukat ini dapat dilihat dari penampakan
kulitnya. Bila masih mengkilap, maka buah masih belum cukup waktu matang walaupun bentuknya
sudah cukup besar. Ciri kedua adalah bila buah diketuk dengan punggung kuku, menimbulkan bunyi
yang nyaring. Sedangkan ciri yang terakhir adalah bila digoyang-goyangkan, akan terdengar
goncangan biji, gejala ini menunjukkan buah sudah cukup matang (Rismunandar, 1986). Sebaiknya
perlu diamati waktu bunga mekar sampai enam bulan kemudian, karena buah alpukat biasanya tua
setelah 6-7 bulan dari saat bunga mekar.
Menurut Muchtadi (1988) usaha-usaha penentuan kematangan buah untuk dipanen secara
obyektif belum diperoleh. Biasanya indeks panen yang digunakan adalah ukuran buah, warna dan
sebagainya yang diperoleh berdasarkan pengalaman petani. Ada juga yang mencoba menentukan
indeks panen berdasarkan kadar lemak minimum pada buah, tetapi hal ini tidak praktis dilakukan.
Penentuan indeks panen yang lebih praktis adalah berdasarkan berat buah minimum dan diameter
buah.
Buah alpukat memiliki komposisi kimia yang sangat lengkap. Besar kandungan ini tergantung
dari jenis serta tingkat kematangan buah. Mutu buah alpukat ditentukan oleh waktu dan cara
pemetikannya. Menurut Pantastico (1986), untuk menentukan waktu panen dapat dilakukan dengan
beberapa cara:
1. Secara visual, dengan melihat warna kulit dan ukuran buah, adanya sisa tangkai putik,
mengeringnya tepi daun tua, dan mengeringnya tubuh tanaman.
2. Secara fisik, dilihat dari mudah tidaknya buah terlepas dari tangkai dan berat jenisnya.
3. Secara analisi kimia, kandungan zat padat, zat asam, perbandingan zat padat dengan asam
dan kandungan zat pati.
4. Secara perhitungan, jumlah hari setelah bunga mekar dalam hubungannya dengan tanggal
berbunga.
5. Secara fisiologi, dengan melihat respirasinya.
Penggolongan mutu buah alpukat dilakukan berdasarkan syarat mutu buah alpukat menurut
Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (1989), seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu buah alpukat

Karakteristik Syarat Mutu


I II
Kesamaan sifat varietas Seragam Seragam
Tingkat kematangan Matang, tidak terlalu masak Matang, tidak terlalu masak
Bentuk Normal Kurang normal
Kekerasan Keras Keras
Ukuran Seragam Seragam
Kerusakan maks. (%) 5 10
Busuk maks. (%) 1 2
Kotoran Bebas Bebas
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (1989).
Buah alpukat jenis unggul yang dianjurkan Departemen Pertanian adalah alpukat hijau panjang,
alpukat hijau bundar (bulat) dan alpukat hijau lonjong (fuerte) (Sarjito dalam Anggraini 1992).

4
Tabel berikut ini menunjukkan perbedaan ketiga varietas alpukat tersebut.

Tabel 2. Karakteristik jenis alpukat

Jenis Alpukat
Karakteristik Hijau panjang Hijau bulat Hijau lonjong (fuerte)
(mentega) (mentega/susu)
Bentuk Pear Bulat Bulat lonjong
Leher Panjang Tidak ada Pendek
Ujung buah Tumpul Bulat Tumpul
Pangkal buah Runcing Tumpul Runcing
Warna kulit Hijau bintik kuning Hijau licin berbintik Hijau agak kasar
kuning berbintik kuning
Tebal kulit (mm) 1.5 1.0 1.5
Daging buah :
-Warna Kuning Kuning hijau Kuning
-Diameter 6.5 7.5 7.5
-Panjang 11.5 9.0 11.0
Biji :
Bentuk Jorong Jorong Lonjong
-Ukuran (cm) 5.5 x 4 5.5 x 4 5.0 x 4
-Hasil/tahun 16.1 kg/pohon 22.0 kg/pohon 45.1 kg/pohon
Sumber : Baga (1997)

Alpukat merupakan salah satu jenis buah bergizi tinggi yang semakin banyak diminati yang
tidak kalah bersaing jika dibandingkan dengan buah-buahan lainnya yang memiliki nilai komersial
lebih tinggi. Kandungan nilai nutrisi dari buah alpukat dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 3. Kandungan nilai nutrisi buah alpukat per 100 gr bahan

No Jenis Satuan Jumlah


1 Kalori kal 85
2 Lemak g 6.5
3 Karbohidrat g 7.7
4 Vit A IU 180
5 Vit B Mg 0.05
6 Vit C Mg 13
7 Ca Mg 10
8 Fe Mg 0.9
9 Phosphorus Mg 0.6
10 Soduim Mg 4.0
11 Air (%) 84.3
12 Protein g 2.2
13 Potassium Mg 604.0
14 Energi Kcal 73.6
Sumber : Direktorat Gizi, 1997

5
B. Pengemasan

Pengemasan adalah suatu usaha untuk melindungi komoditas dari penurunan mutu dan
kerusakan mekanis, fisik, kimia dan mikrobiologi dan pada saat diterima konsumen akhir nilai
pasarnya tetap tinggi (Soedibyo, 1985). Kualitas produk holtikultura yang rendah ketika sampai
dipihak konsumen dapat disebabkan oleh sarana dan penanganan pasca panen yang belum
diperhatikan. Penanganan pasca panen produk holtikultura dimulai dari pemanenan hingga
penanganan sebelum diterima konsumen, termasuk didalamnya cara-cara pengemasan, penyimpanan,
bongkar muat, dan transportasi/distribusi yang dapat mempengaruhi mutu produk.
Pengemasan berfungsi untuk mempertahankan produk agar lebih bersih dan memberikan
perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran, melindungi bahan pangan terhadap kerusakan fisik,
air, O2, dan sinar, memberi perlindungan bagi konsumen dalam membuka wadah tersebut dan
memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusian, serta memberikan daya tarik
penjualan dan pendistribusian (Buckle et.al.,1987).
Menurut Purwadaria (1998), perancangan kemasan selama pengangkutan ditunjukan untuk
meredam goncangan dalam perjalanan yang dapat mengakibatkan kememaran dan penurunan
kekerasan holtikultura. Faktor yang perlu diperhatikan meliputi kemasan yaitu jenis, sifat, tekstur dan
dimensi bahan, komoditas yang diangkut, sifat fisik, bentuk, ukuran, struktur dan pola susunan biaya
pengangkutan dibandingkan dengan harga komoditas, permintaan waktu, jarak dan keadaan jalan
yang dilintasi.
Ada beberapa sifat kemasan distribusi yang diinginkan, yaitu sesuai dengan produk yang
dikemas, cukup kuat untuk melindungi produk dari resiko-resiko yang terjadi selama pengangkutan
dan penyimpanan, memiliki lubang ventilasi yang cukup (bagi produk tertentu yang memang
membutuhkannya), dapat dibongkar dengan mudah tanpa menggunakan buku petunjuk, dan
menyediakan informasi yang memungkinkan identifikasi produk yang dikemas, tempat produsen, dan
tujuan pengiriman (Paine dan Paine, 1983).
Menurut Satuhu (2004), bahan dan bentuk kemasan secara umum dapat dibagi menjadi dua
jenis, yaitu:
1) Kemasan langsung
Yaitu kemasan utama yang langsung berhubungan dengan buah yang dikemas. Bahan
pengemas utama ini dapat berupa karung, plastik, kertas, atau bahkan daun.
2) Kemasan tidak langsung
Merupakan kemasaan kedua dari buah yang tidak bersentuhan langsung. Wadah kedua
dimaksudkan untuk melindungi bahan dari kerusakan fisik dan mekanis terutama untuk
memudahkan pengaturan dalam gudang penyimpanan, dan distribusi serta memudahkan
pengaturan dalam alat angkut. Bahan pengemas jenis ini dapat dibuat dari peti kayu, peti
plastik, peti karton, dan keranjang bambu.

Pada umumnya pembuatan kemasan sayur-sayuran dan buah-buahan untuk keperluan


domestik lebih mengutamakan kemasan yang mempermudah transportasi, mempermudah selama
pemuatan ke dalam kendaraan dan pembongkaran kemasan dari angkutan, maupun pemindahan dari
suatu tempat ke tempat lainnya. Pencegahan terhadap kerusakan yang terjadi akibat benturan mekanis
masih kurang mendapat perhatian. Untuk keperluan ekspor, kemasan yang digunakan tidak hanya
ditunjukkan untuk mempermudah transportasi, namun kemasan tersebut digunakan juga sebagai
pelindung terhadap kerusakan mekanis maupun kerusakan non mekanis, bahkan kemasan tersebut
dijadikan sebagai sarana promosi. (Soesarsono, 1989).

6
Bahan pengemas digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dan lingkungan luar yang
bertujuan untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et.al.,1987 ).
Berdasarkan dengan fungsinya tersebut maka pemilihan bahan kemasan harus tepat dan sesuai dengan
sifat komoditi yang akan dikemas. Bahan kemasan untuk pengangkutan dirancang sedemikian rupa
disesuaikan jarak angkut, lama perjalanan, keadaaan jalan yang dilalui, jenis alat angkut, panas
respirasi yang timbul, serta kehilangan air atau kesegaran akibat proses respirasi. Wadah yang
dimaksud juga harus cukup kecil agar mudah diangkat ketika telah diisi buah, dan cukup kuat untuk
melindungi buah selama diangkat, dipindahkan, atau ditumpuk. Permukaannya harus lembut untuk
menghindari kerusakan mekanis, dan punya lubang ventilasi yang cukup (Liu, 1997).

C. Peti Karton Bergelombang

Karton gelombang adalah karton yang dibuat dari satu atau beberapa lapisan kertas medium
bergelombang dengan kertas linear sebagai penyekat dan pelapisnya. Pada akhir Perang Dunia II, 80%
kemasan distribusi dibuat dalam kemasan peti karton gelombang, dan sisanya dibuat dari peti kayu
(Anonim, 1994). Bahan kemasan karton gelombang merupakan bahan kemasan hasil industri kertas,
jenis dan tipenya sudah terdapat standarnya. Sehingga pemilihan bahan kemasan karton gelombang
lebih mudah dibandingkan dengan kayu. Papan karton gelombang yang telah dibentuk menjadi bentuk
kemasan disebut kardus.
Karton gelombang merupakan bahan kemasan distribusi yang paling umum dan paling banyak
digunakan untuk berbagai jenis produk, mulai dari buah-buahan sampai dengan peralatan elektronik
atau mesin untuk industri. Hal ini disebabkan harganya yang relatif murah dan daya tahan yang dapat
diatur sesuai dengan jenis produk yang dikemas dan jenis transportasi yang digunakan (Triyanto,
1991). Agar dapat berfungsi dengan maksimal, pemakaian kotak karton gelombang harus
memperhatikan penggunaan bahan baku yang baik, pengendalian mutu yang memadai selama proses
pembuatan, spesifikasi kotak yang dibuat, baik dari segi ukuran, berat, dan lain-lain.
Kertas gelombang antara permukaan pada papan karton gelombang disebut fluting atau media
bergelombang. Kualitas terbaik dari fluting adalah yang terbuat dari serat kayu dengan metode
pengolahan pulp secara khusus. Peleg (1985) mengklasifikasikan karton gelombang berdasarkan
lapisan kertas (flat sheet) dan flute penyusunnya. Karton gelombang diklasifikasikan menjadi single
wall board ( flute terletak di tengah-tengah flat sheet), double wall board ( dua lapis single wall board
yang saling berhadapan satu sama lain ), dan triple wall board ( terdiri dari tiga flute dan empat flat
sheet ), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Penggolongan karton gelombang (sumber : www.tri-wall.co.jp)

Lott (1977) menyatakan struktur flute yang digunakan pada karton gelombang komersial tediri
atas 4 ukuran yaitu A (course), B (fine), C (medium), dan E (very fine). Flute pada karton gelombang
tipe A, B, dan C banyak digunakan untuk keperluan industri, misalnya untuk keperluan transportasi.
Bentuk masing-masing flute seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

7
Gambar 3. Tipe Flute (sumber : www.dusobox.com)

Menurut Jaswin (1999), flute A memiliki sifat bantalan (cushioning) yang baik karena
ketebalannya dapat meredam daya tekan yang terjadi pada saat kemasan ditumpuk. Flute B memiliki
bantalan yang tidak terlalu tinggi sehingga cocok untuk produk yang sebelumnya telah dikemas dalam
kaleng. Namun flute B memiliki ketahanan tekan datar (flat crush resistant) yang paling baik. Flute C
dibuat dengan karakteristik berada diantara flute A dan B dengan harga lebih murah, memiliki daya
bantalan yang tinggi seperti flute A dan memiliki ketahanan tekan datar yang baik seperti flute B.
Sedangkan flute E banyak digunakan untuk kemasan display dengan dinding luar terbuat dari white
kraft sebagai karton printed. Sifat dan tipe flute dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4. Susunan flute pada karton gelombang komersial

Flute Number of flutes per Flute height Minimum flat


-2
configuration meter (mm)
crush (Nm )
A (coarse) 104-125 4.5-4.7 140
B (fine) 150-184 2.1-2.9 180
C (medium) 120-145 3.5-3.7 165
E (very fine) 275-310 1.15-1.65 185
Sumber : Lott, di dalam Paine, F. A. The Packaging Media (1977)

Tabel 5. Tipe flute dan sifat karton gelombang

Jenis flute Ketebalan (mm) Kekuatan tekan tepi (kg/cm)


Single-wall
A 4.9-5.5 6.8-7.6
B 2.9-3.5 5.2-7.3
C 3.9-4.5 5.4-7.5
Double-wall
A+B 7.8-9.0 9.0-12.1
A+C 8.8-10.0 9.1-12.3
Sumber : Peleg (1985)

Kemasan dari karton gelombang memiliki banyak tipe kemasan. Peleg (1985) menyatakan
bahwa terdapat beberapa tipe kemasan karton gelombang yang umum digunakan yaitu :
1. Regular Slotted Container ( RSC )
Regular Slotted Container ( RSC ) biasa disebut wadah celah teratur karena kedua tutup sama
panjang dan bertemu ditengah pada saat ditutup. Kemasan ini merupakan tipe yang paling banyak

8
digunakan sebagai kemasan distribusi produk holtikultura dari kedua tipe yang lain karena memiliki
kontruksi yang lebih sederhana. Tipe kemasan RSC tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kemasan karton gelombang tipe Regular Slotted Container ( RSC )

2. Half Telescopic Container ( HTC )


Kemasan ini terdiri dari dua wadah yang ditumpuk dimana satu kotak sedikit lebih kecil dari
kotak yang lainnya. Keunggulan dari kemasan ini adalah dapat menyesuaikan dengan tinggi atau
panjang barang yang dibawa, selain itu ketebalan karton gelombang di keempat sisinya memberikan
perlindungan dan kekuatan pada produk meskipun kemasan ditumpuk-tumpuk. Kemasan ini banyak
digunakan pada palletized product seperti lemari es dan mesin cuci. Tipe kemasan HTC tersebut
ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Kemasan karton gelombang tipe Half Telescopic Container ( HFC )

3. Full Telescopic Container ( FTC )


Kemasan ini terdiri dari dua wadah yang tertutup yang terpisah wadah bagian atas dan wadah
bagian bawah. Wadah penutup yang dalam hingga ke bagian bawah memberikan tambahan ketebalan
papan pada semua panel samping dan bawah. Ini memberikan kuat tekan yang baik untuk
penumpukan barang rapuh dan tinggi. Tipe kemasan FTC tersebut ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Kemasan karton gelombang tipe Full Telescopic Container ( FTC )

Penggunaan peti karton bergelombang sekarang ini sudah cukup mendesak penggunaan peti
kayu (Satuhu, 2004). Hal tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu :
1) Pembuatannya dilakukan secara masinal ( dengan mesin ) sehingga dapat diproduksi
secara besar-besaran sesuai dengan ukuran dan kapasitas yang diinginkan.

9
2) Kemasan peti karton bekas dapat dipakai kembali dan setelah rusak dapat di daur ulang
menjadi karton kembali.
3) Perancangannya dapat disesuaikan dengan kondisi buah yang dikemas.

D. Ventilasi

Pada kemasan untuk produk-produk hasil pertanian, biasanya terdapat beberapa lubang
ventilasi. Dengan adanya ventilasi, menyebabkan sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga
akan menghindarkan kerusakan komoditas akibat akumulasi CO 2 pada suhu tinggi (Hidayati, 1993).
Perbedaan desain, bentuk, dan ukuran dari lubang ventilasi biasanya disesuaikan dengan tipe produk,
penyimpanan, dan mode transportasi.
Peleg (1985) juga menyatakan bahwa untuk mendesain sebuah kemasan baik untuk
penyimpanan maupun distribusi buah (produksi holtikultura) perlu diperhatikan sirkulasi udara
dengan memberikan ventilasi dengan tujuan mempertahankan kesegaran buah. Letak lubang ventilasi
pada kemasan karton, biasanya terdapat pada bagian samping kemasan karton, bukan di bagian atas
(penutup) kemasan. Adanya lubang ventilasi di bagian samping dapat mengurangi kekuatan kemasan
yang lebih besar daripada pemotongan di bagian atas dan bawah kemasan peti karton (Peleg,1985).
Jika semakin besar luasan ventilasi yang diberikan kepada peti karton maka semakin kecil
compression strength peti karton tersebut. Dalam hal ini desain ventilasi harus memperhatikan letak
atau posisi vertikal serta luasan ventiasi agar tercapai kekuatan kemasan yang optimal (Aspihani,
2006).
Menurut New, et al. (1978) lubang ventilasi pada peti karton biasanya dibuat bulat (circle
ventilation) atau celah panjang dengan sudut-sudutnya dibulatkan (oblong ventilation). Silvia (2006)
juga menyatakan bahwa tipe kemasan peti karton yang banyak digunakan di Indonesia adalah tipe
RSC dan FTC dengan ventilasi tipe oblong ventilation dan circle ventilation. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian terdahulu (McDonald, et al. (1979), Paklamjeak, et al. (1988), dan Won Ok (2003) dalam
Aspihani, 2006) dilakukan ventilasi sebagai berikut :
a. Untuk tipe oblong ventilation diberi persentase luasan ventilasi sebesar 1%, 3%, dan 5% dari
luas keseluruhan peti karton.
b. Untuk tipe circle ventilation diberi persentase luasan ventilasi sebesar 1%, 2%, dan 3% dari
luas keseluruhan peti karton.
Perbedaan perlakuan luasan ventilasi antara tipe oblong dan circle ventilation disebabkan
penempatan lubang ventilasi pada tipe circle ventilation hanya di dua sisi. Apabila digunakan luasan
ventilasi sampai dengan 5% akan menyebabkan diameter lubang ventilasi pada tipe circle ventilation
cukup besar sehingga diperkirakan kemasan mudah rusak bila terkena tekanan. Pemberian lubang
ventilasi pada kemasan peti karton menyebabkan penurunan compression strength, semakin besar
luasan ventilasi terhadap luasan peti karton maka semakin kecil compression strength peti karton
tersebut. Penurunan compression sthrength peti karton karena pemberian luasan ventilasi dapat
dinyatakan dengan nilai faktor koreksi (FK). FK untuk tipe oblong ventilation dengan luasan ventilasi
1% terhadap seluruh luas permukaan kemasan sebesar 0.83, sedangkan untuk luasan 3% dan 5%
sebesar 0.70. Faktor koreksi (FK) untuk tipe circle ventilation, peti karton dengan luasan ventilasi 1%
sebesar 0.93, dengan luasan ventilasi 2% sebesar 0.83, dan dengan luasan ventilasi 3% sebesar 0.73
(Aspihani, 2006).
Adhinata (2008), dari hasil penelitiannya diperoleh pola hubungan waktu terhadap suhu,
dimana pada kemasan berventilasi lingkaran dan berventilasi oval memiliki pola yang sama,
sedangkan untuk kemasan berventilasi campuran cenderung memiliki pola yang sama dengan
kemasan tanpa ventilasi. Hasil simulasi menunjukkan pola sebaran suhu dipengaruhi oleh bentuk

10
ventilasi. Keadaan suhu pada pada daerah yang searah dengan ventilasi menghasilkan sebaran suhu
yang relatif sama dengan suhu lingkungan.
Menurut Sakti (2010) bahwa kemasan yang berventilasi lingkaran lebih reponsif terhadap suhu
lingkungan daripada kemasan yang berventilasi oval dan kemasan tanpa ventilasi. Hal ini
menyebabkan buah tomat yang dikemas dengan kemasan berventilasi lingkaran laju penurunan
kekerasan dan laju peningkatan total padatan terlarutnya lebih besar daripada buah yang dikemas pada
kemasan lainnya.

E. Bahan Pengisi Kemasan (Inner)

Selama transportasi dan penyimpanan, kemasan dan bahan segar akan menghadapi beberapa
bahaya, baik dari segi mekanis, lingkungan ataupun biologi. Bahaya mekanis dapat dinyatakan
sebagai bahaya yang disebabkan oleh tumbukan, getaran, kompresi dan tusukan. Kerusakan
tumbukan dapat terjadi jika kemasan jatuh atau terlempar. Buah didalamnya akan bergerak dan
bersentuhan antara sesama buah dan antara buah dengan kemasan yang mengakibatkan kerusakan.
Untuk mengurangi efek tersebut pada produk, kemasan harus dibuat tidak bergerak dan
membagi beban yang ada pada setiap bagian dan memberikan bantalan. Efek merugikan dari getaran
termasuk luka lecet yang disebabkan efek perpindahan relatif produk dari kemasan dan dari produk
yang lain bisa dikurangi dengan menahan tiap bagian produk. Kerusakan kompresi terjadi selama
penumpukan kemasan. Kemasan kaku yang terlampau penuh atau cacat dapat menyebabkan gaya
kompresi yang ada dari penumpukan lebih banyak dilanjutkan kepada produk daripada kemasannya.
Hal ini berakibat produk menjadi memar dengan tingkat keparahannya tergantung pada besarnya
gaya yang terjadi dan tingkat kematangan dari produk (Burdon, 1997).
Beberapa dari kerusakan ini dapat diminimalisir dengan menghindari adanya ruang kosong
yang terdapat didalam kemasan serta melindungi tekanan dan gesekan antara sesama produk ataupun
antara produk dengan kemasan selama kegiatan transportasi. Bahan yang digunakan untuk mengisi
ruang tersebut sering disebut dengan istilah bahan pengisi kemasan. Bahan ini dapat mengurangi
sebagian besar kerusakan yang terjadi selama transportasi. Selain itu bahan ini dapat juga menjadi alat
penyekat antar produk, sebagai bahan pelapis dinding kemasan, atau sebagai bahan pengganjal untuk
melindungi buah atau sayur terhadap pergeseran dengan dinding kemasan atau sebagai bahan pengisi
disela-sela antara setiap komoditas yang dikemas untuk mencegah terjadinya pergeseran letak
komoditas. Bahan yang umum digunakan adalah merang atau jerami, daun-daun kering, pelepah
batang pisang, tikar, styrofoam, kertas koran atau kertas lainnya dan sebagainya. Penggunaan bahan
pengisi kemasan dan contoh sekat karton seperti yng ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Sekat karton

11
F. Penyimpanan Buah

Penyimpanan adalah salah satu cara tindakan pengamanan yang selalu terkait dengan faktor
waktu dengan tujuan menjaga dan mempertahankan nilai komoditi yang disimpan (Soesarsono,1988).
Peranan penyimpanan antara lain dalam hal penyelamatan dan pengamanan hasil panen,
memperpanjang umur simpan, terutama untuk komoditas musiman sehingga dapat mempertahankan
harga.
Menurut Pantastico,et.al.(1975), penyimpanan buah-buahan dan sayuran dapat memperpanjang
daya guna dan dalam kemasan tertentu dapat mempertahankan mutunya. Produk dikatakan berada
didalam kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan
seperti yang diinginkan oleh konsumen, serta selama bahan pengemasnya masih memiliki integritas
serta melindungi isi kemasan. Menurut Shewfelt (1987), masa simpan ialah batas waktu suatu produk
untuk dapat mempertahankan kualitas penerimaannya dibawah kondisi penyimpanan tertentu.
Kebutuhan kondisi penyimpanan dan sifat-sifat dari buah-buahan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kebutuhan kondisi penyimpanan dan sifat-sifat dari buah-buahan

Titik beku
Komoditi Suhu simpan oC RH (%) Masa simpan Kadar air (%)
tertinggi oC
Alpukat 4 s/d 13 85-90 2-4 minggu 65 -0.3
Apel -1 s/d 4 90 3-8 bulan 84 -1.1
Pisang 13 s/d 15 90-95 4–7 hari 75 -0.8
Mangga 13 85-90 2-3 minggu 81 -0.9
Jambu biji 7 s/d 10 90 2-3 minggu 83 -
Sumber : Winarno (2002)

Menurut Muchtadi (1992), karakteristik penyimpanan buah-buahan dan sayuran dipengaruhi


oleh faktor-faktor antara lain : varietas, iklim tempat tumbuh, kondisi tanah, derajat kematangan, dan
perlakuan sebelum penyimpanan. Tujuan utama penyimpanan buah segar adalah pengendalian laju
transpirasi dan respirasi antara lain mengatur suhu dan kelembaban ruangan, mengendalikan infeksi
penyakit dan mempertahankan produk dalam bentuk yng paling berguna bagi konsumen
(Pantastico,1986)
Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka penting dijaga agar suhu ruang penyimpanan relatif
tetap. Perubahan 2-3 oC dari suhu yang dikehendaki sebaiknya dicegah. Sayuran dan buah-buahan
yang yang disimpan pada suhu 2-3 oC lebih tinggi dari yang seharusnya bila suhu pendingin tidak
segera dicapai, akan sangat memungkinkan terjadinya pembusukan atau proses pematangan yang
tidak baik. Makin lama keadaan diatas saat suhu optimum tersebut berlangsung, makin besar
kemungkinan terjadinya kerusakan pada bahan yang akan disimpan (Syarif dan Hariyadi,1990).
Perubahan-perubahan fisik yang umumnya terjadi pada buah-buahan selama pematangan dan
penyimpanan diantaranya adalah tekstur, warna, kandungan gula, keasaman, susut bobot, kadar air,
dan kandungan vitamin C.
Salah satu faktor dari lingkungan penyimpanan buah adalah suhu penyimpanannya. Suhu dan
kelembaban harus dijaga agar tetap konstan demikian (Satuhu, 2004). Kelembaban udara yang rendah
dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan kehilangan
bobot yang cukup besar selama penyimpanan. Penyusutan bobot menyebabkan buah mengkerut dan
layu serta dapat mencegah pertumbuhan jasad renik pembusuk sehingga bahan yang disimpan menjadi

12
cepat rusak. Selain itu dengan mengurangi suhu dapat memperlambat terjadinya metabolisme,
menghambat terjadinya perubahan, dan mengurangi kehilangan air dan peningkatan pathogen
(Pantastico, 1975). Pada penyimpanan buah-buahan, sirkulasi udara harus tetap dijaga (Satuhu,
2004).
Penyimpanan pada suhu dingin diperlukan untuk komoditi sayuran dan buah-buahan yang
mudah rusak, karena cara ini dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya. Proses
penuaan terjadi karena adanya proses pematangan, pelunakan, dan perubahan warna serta tekstur,
kehilangan air dan pelayuan, kerusakan karena aktivitas mikroba (bakteri,kapang, dan khamir) dan
proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki, misalnya pertunasan pada umbi-umbian (Muchtadi,
1988). Selain itu yang perlu diperhatikan pada penyimpanan dingin adalah suhu dari pendingin harus
berada pada titik yang tepat. Suhu yang terlalu dingin akan menyebabkan terjadinya kerusakan buah
akibat suhu dingin (chilling injury). Gejala chilling injury antara lain adalah buah menjadi berlubang,
penghitaman kulit, gagal menjadi masak dan rentan mengalami pembusukan (Nakasone, 1998).
Dengan penyimpanan, respirasi komoditi segar dapat dikendalikan. Asas dasar penyimpanan
pada temperatur rendah adalah penghambatan respirasi dengan temperatur rendah. Panas yang
ditimbulkan respirasi tertimbun dalam ruang penyimpanan dan jika tidak disediakan sarana untuk
menghilangkannya maka laju respirasi komoditi yang disimpan akan bertambah besar. Ventilasi
secara tidak langsung berhubungan dengan respirasi. (Muchtadi, 1988)

G. Kerusakan Pasca Panen

Penanganan pasca panen harus ditangani secara hati-hati untuk memperoleh buah-buahan yang
segar dan mempunyai mutu yang tinggi. Kerusakan dapat terjadi karena kesalahan penanganan dalam
salah satu atau beberapa tahapan penanganan atau tindakan manusia.Kerusakan pada produk pertanian
bentuknya beragam, tergantung pada sifat-sifat fisik dan biologi produk serta tipe beban yang bekerja.
Pada umumnya kerusakan mekanis pada produk-produk pertanian dapat disebabkan oleh gaya-gaya
luar (statik ataupun dinamis) dan gaya-gaya dalam yang disebabkan oleh perubahan fisik bahan
tersebut. Perubahan fisik dapat disebabkan oleh perubahan kadar air, temperatur, biologis, dan kimia.
Kerusakan mekanis dapat terjadi karena buah menerima pembebanan, baik berupa tekanan atau
pukulan. Kerusakan mekanis yang terjadi selama pengangkutan dapat terjadi karena tumpukan buah
yang terlalu tinggi. Hal tersebut mengakibatkan tekanan yang besar terhadap buah yang terdapat pada
lapisan bawah sehingga meningkatkan kerusakan akibat kompresi (Anonim, 2008).
Kerusakan fisik suatu produk holtikultura dapat diakibatkan oleh insekta atau rodentia,
kondisi lingkungan seperti suhu, dan sinar matahari. Kerusakan fisik akibat insekta ditandai dengan
adanya lubang atau bekas gigitan, kerusakan fisik akibat suhu tinggi menyebabkan memar dan
lembek, dan kelembaban relatif yang rendah dapat menyebabkan kehilangan air. Jika kehilangan air
dari dalam produk yang telah dipanen jumlahnya relatif masih kecil mungkin tidak akan
menyebabkan kerugian atau dapat ditolelir, tetapi apabila kehilangan air tersebut jumlahnya banyak
akan menyebabkan hasil panen yang diperoleh menjadi layu dan bahkan dapat menyebabkan produk
hortikultura menjadi mengkerut. Kerusakan fisik juga dapat ditandai dengan adanya pecah (kulit
terkelupas), memar dan luka pada buah. Kerusakan ini diakibatkan oleh benturan dan getaran dari
kendaraan pengangkut.
Sedangkan kerusakan biologis disebabkan karena serangan serangga, binatang pengerat, dan
sebagainya. Masuknya ulat serangga ke dalam buah dapat merusak bagian dalam buah. selain itu
memudahkan mikroba perusak masuk sehingga buah menjadi cepat menjadi busuk (Satuhu, 1993).

13
H. Transportasi

Produk sayuran dan buah-buahan hasil panen akan didistribusikan hingga sampai ke tangan
konsumen. Distribusi produk holtikultura dapat melewati berbagai jenis jalur transportasi, tergantung
tujuan dan jarak distribusi. Transportasi dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari
tempat asal ke tempat tujuan. Transportasi yang baik salah satunya adalah transportasi yang mampu
memberikan kerusakan minimal pada produk, terutama pada produk holtikultura yang sangat rentan
terhadap goncangan dan faktor lingkungan (Pantastico, 1986).
Masalah pengangkutan merupakan masalah yang sangat penting pada rantai pemasaran
holtikultura. Pengangkutan mempunyai peranan penting pada setiap tingkat distribusi, sebab harga
total hasil holtikultura yang dipasarkan berhubungan erat dengan masalah pengangkutan (Sjaifullah,
1996). Goncangan yang terjadi selama pengangkutan baik di jalan raya maupun di rel kereta api dapat
mengakibatkan kemeraman, susut berat, dan memperpendek masa simpan (Purwadaria, 1997).
Perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan mengakibatkan jumlah kerusakan pada
komoditas hingga sampai ke tempat tujuan mencapai kurang lebih 30-50 %. Selain terjadinya susut
bobot dan kerusakan mekanis akibat adanya goncangan selama dalam perjalanan, biaya angkut yang
cukup mahal juga termasuk kendala dala pengangkutan (Soedibyo, 1992).

I. Simulasi Transportasi

Pengangkutan merupakan mata rantai yang penting dalam penanganan, penyimpanan, dan
distribusi buah-buahan serta sayuran. Pengangkutan dilakukan untuk menyampaikan komoditas hasil
pertanian secara cepat dari produsen ke konsumen. Di Indonesia perhubungan lewat darat sangat
dominan terhadap pengangkutan buah yang hendak dipasarkan selanjutnya. Alat angkut yang umum
digunakan adalah truk, mobil bak terbuka atau sejenisnya, dan menggunakan kereta api (Sutuhu,
2004).
Dalam kondisi jalan yang sebenarnya, permukaan jalan ternyata memiliki permukaan yang
tidak rata. Permukaan jalan yang tidak rata ini menyebabkan produk mengalami berbagai guncangan
selama transportasi. Besarnya guncangan yang terjadi bergantung kepada kondisi jalan yang dilalui.
Ketidakrataan ini disebut amplitudo dan tingkat kekerapan terjadinya guncangan akibat ketidakrataan
jalan tersebut dinyatakan sebagai frekuensi. Kondisi transportasi yang buruk ini dan penanganan yang
tidak tepat pada komoditi yang ditransportasikan (buah dan sayuran) dapat menyebabkan kerugian
berupa turunnya kualitas komoditi yang akan disampaikan ke tangan konsumen. Penurunan kualitas
yang sering terjadi adalah kerusakan mekanis pada buah dan sayuran.
Untuk memperoleh gambaran mengenai kerusakan mekanis yang dialami oleh komoditi
pertanian akibat guncangan selama transportasi dilakukan perancangan alat simulasi transportasi. Alat
tersebut dapat mewakili pengaruh guncangan yang terjadi pada kondisi jalan yang sebenarnya. Desain
alat simulasi ini telah disesuaikan dengan jalan yang terdapat di dalam dan luar kota (Purwadaria,
1977). Dasar yang membedakan antara jalan dalam dan luar kota adalah besarnya amplitudo yang
terukur. Jalan dalam kota memiliki amplitudo yang lebih rendah dibandingkan jalan luar kota, jalan
buruk, dan jalan berbatu. Pada simulasi pengangkutan dengan menggunakan truk guncangan yang
dominan adalah guncangan pada arah vertikal. Sedangkan guncangan pada kereta api adalah
guncangan horizontal (Soedibyo, 1992).
Menurut Darmawati (1994), yang menjadi dasar perbedaan jalan dalam kota dan luar kota
adalah besar amplitudo yang terukur dalam suatu panjang jalan tertentu, dimana jalan dalam kota
mempunyai amplitudo yang rendah dibanding jalan luar kota, maupun jarak buruk aspal dan jalan

14
buruk berbatu. Frekuensi alat angkut yang tinggi bukan penyebab utama kerusakan buah dalam
pengangkutan, tetapi yang lebih berpengaruh terhadap kerusakan buah adalah amplitudo jalan.
Lembaga Uji Konstruksi BPPT tahun 1986 telah mengukur goncangan truk yang diisi 80% penuh
dengan kecepatan 60 km/jam dalam kota dan 30 km/jam untuk jalan buruk (aspal) dan jalan berbatu,
seperti ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Data goncangan truk

Amplitude getaran vertikal (cm)


Jumlah kejadian
Jalan dalam Jalan buruk
Amplitudo Jalan luar kota Jalan aspal
kota berbatu
1 3.5 3.9 4.8 5.2
500 3.2 3.6 4.2 4.1
1000 2.9 3.3 3.9 3.8
1500 2.5 3.0 3.5 3.6
2000 2.2 2.8 3.1 3.2
2500 1.8 2.5 2.8 2.6
3000 1.6 2.1 2.8 2.6
3500 1.5 2.0 2.0 2.0
4000 1.1 1.7 1.2 1.1
4500 0.9 1.3 0.8 0.7
5000 0.0 0.1 0.2 0.1
Amplitudo 1.3 1.74 1.85 1.71
Rataan
Sumber : Lembaga Uji Konstruksi, BPPT(1986)

15
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian
(TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Waktu pelaksanaan penelitian selama 3 bulan terhitung mulai Maret hingga Juni 2011.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu :
a. Buah alpukat varietas mentega yang termasuk alpukat mutu I, dan memiliki karakteristik
ras Meksiko antara lain bentuk buah seperti buah pear, dengan tangkai buah pendek,
berkulit tipis, halus dan licin, memiliki ukuran buah yang kecil dengan berat 100-225 g,
diperoleh dari kebun Alpukat di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Sampel alpukat yang
dibawa dari Sukabumi diangkut menggunakan motor dan dikemas menggunakan karton.
Alpukat yang digunakan dalam penelitian diusahakan seragam yaitu dalam hal dimensi,
bentuk, warna, ukuran, dan tingkat kekerasan serta keadaan segar dan tidak cacat.
b. Kemasan berupa karton gelombang tipe flute AB, dengan dimensi 370 x 230 x 210 mm.
Kemasan karton gelombang yang digunakan tipe kemasan RSC dengan sekat karton.
Kemasan yang diuji adalah tanpa ventilasi, ventilasi tipe circle (lingkaran), ventilasi tipe
oblong (oval), dan ventilasi searah sekat, dengan masing-masing luasan ventilasi sebesar
2% dari luas kemasan.

2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah meja simulator dengan
kompresor, Termokopel tipe Cover Constanta (CC) untuk mengukur suhu di dalam kemasan
dan suhu lingkungan, Chino Recorder Yokogawa tipe 3058 untuk membaca hasil pengukuran
suhu yang diperoleh dari Termokopel, Rheometer tipe CR-3000 DX untuk mengukur
kekerasan buah, Refractometer digital Atago tipe PR-201 untuk mengukur total padatan
terlarut (TPT), Refrigerator untuk penyimpanan suhu dingin, serta alat-alat lainnya yang
menunjang terlaksananya penelitian ini. Gambar dari peralatan yang digunakan terdapat pada
Lampiran 4.

C. Model Kemasan

Kemasan karton gelombang dengan dimensi 370 x 230 x 210 mm. Kemasan karton
gelombang yang digunakan tipe kemasan RSC dengan sekat karton. Perlakuan kemasan yang diuji
adalah kemasan tanpa ventilasi, ventilasi tipe circle (lingkaran), ventilasi tipe oblong (oval), dan
ventilasi searah sekat, seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Sedangkan detail gambar dengan ukuran
dalam satuan mm terdapat pada Lampiran. Presentase luasan ventilasi sebesar 2% dari luas kemasan.

16
(a) (b)

(c) (d)

Gambar 8. Model kemasan dalam penelitian, (a) tanpa ventilasi, (b) ventilasi circle,
(c) ventilasi oblong, (d) ventilasi searah sekat

D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan sebagai berikut :

a. Perancangan Kemasan
Perkiraan kapasitas dan dimensi kemasan, kapasitas ditentukan berdasarkan kemasan
yang digunakan untuk pasar ekspor . Dimensi kemasan ditentukan berdasarkan ukuran
buah, jumlah layer, tipe kemasan, dan tebal bahan yang digunakan.
b. Alpukat yang telah diperoleh dari kebun, dibersihkan, kemudian disortasi. Alpukat yang
dipilih tidak memiliki kerusakan atau cacat pada kulit buahnya serta memiliki ukuran
yang seragam.
c. Alpukat kemudian dimasukkan ke dalam 8 buah kemasan karton dengan kapasitas
masing-masing 5 kg alpukat, yaitu 2 kemasan tanpa ventilasi (tipe 1), 2 kemasan
ventilasi tipe circle (tipe 2), 2 kemasan ventilasi tipe oblong (tipe 3) dan 2 kemasan
ventilasi searah sekat (tipe 3).
d. Buah alpukat disusun secara teratur atau dikenal dengan pattern pack dengan arah
vertikal, dan dibentuk dalam dua layer (tumpukan).

17
e. Buah dalam kemasan karton tersebut disusun pada meja stimulator untuk simulasi
transportasi.
f. Penggetaran pada simulasi tersebut dilakukan selama 2 jam pada arah vertikal
berdasarkan jarak tempuh pendistribusian buah alpukat dari Sukabumi menuju Jakarta,
amplitudo yang digunakan sebesar 5.34 cm dan frekuensi 3.44 Hz. Ilustrasi gerakan pada
jalan sebenarnya dan pada simulasi meja getar ditunjukkan pada Gambar 9.

Permukaan jalan

Gambar 9. ilustrasi gerakan pada (a) Angkutan truk (b) Meja simulasi getar (Hayati, 2009)

g. Setelah perlakuan simulasi transportasi, kemudian dilakukan pengamatan kerusakan


mekanis untuk mengetahui jumlah dan persentase alpukat yang mengalami kerusakan
akibat guncangan selama simulasi transportasi
h. Tahap selanjutnya pasca simulasi transportasi, kemasan buah alpukat disimpan pada
suhu ruang 28 oC dan suhu dingin 8 oC ( berdasarkan kebutuhan kondisi penyimpanan
alpukat menurut Winarno (2002) ). Kemudian dilakukan pengukuran suhu dalam
kemasan dan suhu lingkungan. Penyimpanan pada suhu ruang 28 oC dilakukan selama 6
hari, sedangkan pada suhu 8 oC selama 12 hari untuk selanjutnya dilakukan pengamatan
setiap 3 hari sekali. Waktu penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan
berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Adapun data-data yang
diambil selama pengamatan adalah pengukuran dan pengamatan terhadap kerusakan
mekanis, kekerasan, total padatan terlarut, dan susut bobot. Penyimpanan pada suhu 8 oC
ini bertujuan agar masa simpan buah alpukat dapat bertahan lebih dari seminggu.
Diagram alir prosedur penelitian ditunjukkan pada Gambar 10.

18
Perancangan 4 tipe kemasan

Alpukat dibersihkan dan di sortasi ( ukuran


seragam, tidak terdapat luka atau goresan)

Pengemasan Tipe 1 Pengemasan Tipe 2 Pengemasan Tipe 3 Pengemasan Tipe 4

Simulasi Transportasi
t = 2 jam A = 5.34 cm f = 3.44 Hz ∑kardus = 8 buah

Pengamatan kerusakan mekanis

Penyimpanan pada suhu 28 oC Penyimpanan pada suhu 8 oC

Pengukuran sebaran suhu dalam


kemasan dan lingkungan

Pengamatan : Pengukuran Fisiologis


Kerusakan Selama Penyimpanan Susut bobot, Kekerasan, Uji total
Memar kulit, Pecah/retak kulit, busuk padatan terlarut

Pengolahan data

Kemasan yang
direkomendasikan

Gambar 10. Diagram alir prosedur penelitian

19
E. Perhitungan, Pengamatan, dan Pengukuran

1. Dimensi dan Berat Buah


Dimensi buah alpukat diukur menggunakan penggaris dan jangka sorong, pengukuran
dilakukan untuk mengetahui diameter minor, diameter mayor buah dan untuk mengetahui tinggi buah
dari bawah sampai ujung buah . Berat buah diukur menggunakan timbangan metler PM-4800.

2. Penentuan Dimensi Kemasan


Dimensi kemasan dihitung berdasarkan nilai dimensi buah dan ketebalan kemasan. Lebar dan
panjang kemasan diperoleh dari penjumlahan seluruh diameter mayor buah alpukat dengan tebal
dinding vertikal kemasan yang terdapat pada sisi panjang dan lebar, baik dinding outer maupun inner.
Sedangkan tinggi kemasan diperoleh dari penjumlahan tinggi alpukat yang dikalikan jumlah
tumpukan layer dengan tebal dinding horisontal kemasan, baik dinding outer maupun dinding inner
kemasan pada sisi panjang. Sedangkan persentase luasan ventilasi dihitung berdasarkan luasan
dinding vertikal kemasan.

Formula untuk menghitungan dimensi outer kemasan:


P = TDMBP + TDOV + TDVIP + TB ........................................................................(1)
Dimana : P = Panjang kemasan
TDMBP = Total diameter mayor buah pada sisi panjang
TDVO = Total tebal dinding vertikal outer
TDVIP = Total tebal dinding vertikal kemasan inner pada sisi panjang
TK = Tebal tekukan

L = TDMBL + TDOV + TDIVL + TB .......................................................................(2)


Dimana : L = Lebar kemasan
TDMBL = Total diameter mayor buah pada sisi lebar
TDOV = Total tebal dinding vertikal outer
TDVIP = Total tebal dinding vertikal kemasan inner pada sisi lebar
TK = Tebal tekukan

T = TTB + TTAIP .............................................................................................................(3)


Dimana: T = Tinggi kemasan
TTBT = Total tinggi buah pada sisi tinggi
TTAIP = Total tebal alas inner pada sisi tinggi

Formula menghitungan dimensi inner kemasan:


P = TDMBP + TDVIP .......................................................................................................(4)
Dimana: P = Panjang kemasan
TDMBP = Total diameter mayor buah pada sisi panjang
TDVIP = Total tebal dinding vertikal kemasan inner pada sisi panjang
L= TDMBL + TDOV + TDIVL ........................................................................................(5)
Dimana: P = Lebar kemasan
TDMBP = Total diameter mayor buah pada sisi lebar
TDOV = Total tebal dinding vertikal inner
Tinggi kemasan = tinggi buah ...........................................................................................(6)

20
3. Sebaran Suhu Dalam Kemasan
Pengukuran sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan menggunakan thermocouple
dan Hybrid Recorder. Jumlah titik pengukuran suhu yang dilakukan yaitu sebanyak 5 titik pada
masing-masing kemasan diletakkan pada sepanjang diagonal kemasan, dan1 titik pengukuran suhu
lingkungan. Pengukuran suhu dititik tersebut untuk melihat sebaran suhu dalam masing-masing tipe
kemasan. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan berada di bagian layer bawah, seperti
ditunjukkan pada Gambar 11.

(a) (b)

Gambar 11. Bagian dalam kemasan (a) dan posisi titik pengukuran suhu (b).

Pengujian sebaran suhu dilakukan pada dua perlakuan suhu ruang penyimpanan yaitu suhu
ruang tropis 28 C dan suhu ruang penyimpanan 8 C. Fokus utama dari pengujian ini adalah
0 o

menentukan waktu yang dibutuhkan kemasan agar dapat mencapai suhu ruang penyimpanan, dan
bagaimana sebaran suhu pada titik-titik sampel koordinat yang dipilih setelah suhu dalam kemasan
stabil.

4. Susut Bobot
Susut bobot merupakan perbedaan berat komoditas sebelum dan setelah aktivitas pemanenan.
Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. Penurunan susut bobot
berdasarkan persentase penurunan berat bahan sejak awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung susut bobot adalah sebagai berikut:

( ) ..............................(7)

dimana : W = bobot bahan awal penyimpanan (gram)


Wa = bobot bahan akhir penyimpanan (gram)

5. Kekerasan
Pengukuran kekerasan adalah salah satu metode yang digunakan dalam menilai kualitas
tekstural produk buah segar. Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap jarum
penusuk dari rheometer dengan mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penekanan 10 mm,
kecepatan penurunan beban 60mm/menit, dengan diameter jarum 5 mm. Uji kekerasan dilakukan pada
tiga titik yang berbeda yaitu bagian tengah, bagian bawah, dan bagian atas. Pengukuran dilakukan
sebanyak 3 kali ulangan dan kemudian dirata-ratakan nilainya. Pengukuran kekerasan ini dilakukan

21
tiap tiga hari sekali hingga buah dalam keadaan tidak layak konsumsi lagi. Nilai pengukuran dapat
dilihat pada alat yang dinyatakan dalam kg-force.

6. Total Padatan Terlarut


Pengukuran total padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Cairan dari
daging buah yang telah dihancurkan, diletakkan pada prisma refraktormeter, kemudian dilakukan
pembacaan. Sebelum dan sesudah pembacaan, prisma refraktormeter dibersihkan dengan aquades.
Angka yang tertera pada refraktormeter menunjukan kadar total padatan terlarut (°Brix) yang
mewakili rasa manis. Pengukuran total padatan terlarut setiap 3 hari sekali dengan perlakuan tiga kali
ulangan terhadap masing-masing sampel.

7. Kerusakan Mekanis
Pengamatan terhadap tingkat kerusakan mekanis alpukat bertujuan untuk melihat cacat yang
dialami oleh alpukat setelah kegiatan simulasi transportasi. Pengamatan dilakukan secara visual
berdasarkan adanya luka gores, memar, dan pecah pada buah.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerusakan mekanis yang terjadi adalah sebagai
berikut:
KM = (JAR/TBA) x 100% .....................................(8)
Dimana :
KM = Kerusakan mekanis (%)
JAR = Jumlah alpukat rusak (buah)
TBA = Total buah alpukat (buah)

Klasifikasi kerusakan pada alpukat adalah luka memar yang terjadi akibat adanya benturan
antar produk dengan dinding alat pengemasan atau tekanan sesama produk, luka gores terjadi akibat
adanya gesekan antar produk dengan kemasan atau dengan sesama produk, dan luka pecah terjadi
akibat adanya tekanan yang terjadi dari arah vertikal maupun dari arah horizontal produk, atau dapat
juga karena guncangan selama proses pengangkutan.

8. Kerusakan selama penyimpanan


Pengamatan terhadap tingkat kerusakan alpukat selama penyimpanan bertujuan untuk
melihat kerusakan fisik dan biologis yang dialami oleh alpukat selama penyimpanan didalam
kemasan. Pengamatan dilakukan secara visual berdasarkan adanya luka memar, pecah, perubahan
warna, dan kebusukan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerusakan selama penyimpanan
yang terjadi adalah sebagai berikut:
K = (JMRs/TBMs) x 100% ....................................(9)
Dimana :
K = Kerusakan selama penyimpanan (%)
JARs = Jumlah alpukat rusak selama penyimpanan (buah)
TBAs = Total buah alpukat yang disimpan (buah)

F. Kesetaraan Simulasi Transportasi


Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan meja getar dapat
dihitung dengan menggunakan persaman di bawah ini:
Input fm = frekuensi meja getar (Hz)
Am = amplitudo meja getar (cm)

22
Ft = frekuensi truk (Hz)
Amplitudo rata-rata getaran bak truk (At)

At = ∑ (Ni x Ai)/ ∑ (Ni) ……………….…..…….…….(10)

Dimana :
Ni = jumlah kejadian amplitude ke-i
Ai = amplitudo getaran vertical truk di jalan luar kota pada saat i (cm)

Luas satu siklus bak truk jalan kota ( Lt )


Lt = ∫ Sin WT Tt dTt …………………..….…(11)
Dimana :
Tt = 1/ft Tt = periode truk (detik/getaran)
Wt = 2π/Tt Wt = kecepatan sudut truk (getaran/detik)

Jumlah luas seluruh getaran bak truk jalan luar kota selama 0.5 jam (Lt (0.5))
Lt(0.5) = t x f x Lt…………………..………….….....(12)
Dimana :
t = lama penggetaran (0.5 jam)

Luas satu siklus getaran vibrator (Lm)


Lm = A ∫T o P Sin WT dT ………………….….…...(13)
Dimana :
Tm = 1/fm Tm = Periode meja getar (detik/getaran)
W = 2π/Tm Wm = Kecepatan sudut meja getar (getaran/detik)

Jumlah seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Gm)


Gm = t x fm …………………..……………....…....(14)
Dimana :
T = lama penggetaran (1jam)

Jumlah luas seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Lm(1))


Lm(1) = Gm x Lm ………..…………………………(15)

Kesetaraan panjang jalan selama 30 menit dengan 30 km


( )
= x 30 km ……………………………...……(16)
( )

G. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dan factorial dengan dua kali ulangan
perlakuan. Factor perlakuan yang digunakan adalah K (tipe kemasan), yaitu K1 (kemasan tanpa
ventilasi), K2 (kemasan ventilasi tipe circle), K3 (kemsasan ventilasi tipe oblong) dan K4 (kemasan
ventilasi searah sekat). Sedangkan faktor perlakuan suhu (T), yaitu T1 (suhu ruang), T2 (suhu 8 oC).
Kombinasi perlakuan dua factor tersebut adalah K1T1, K1T2, K2T1, K2T2, K3T1,
K3T2,K4T1,K4T2.

23
Model umum dari rancangan percobaan tersebut adalah :
Yijk = µ + Ki + Tj (KT)ij + Cijk ……….………………(17)
Dimana : Yijk = Pengamatan perlakuan K ke i dan T ke j pada ulangan ke k
µ = Nilai rata-rata harapan
Ki = Perlakuan K ke i
Tj = Perlakuan T ke j
(KT)ij = Interaksi K ke i dan T ke j
Cijk = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan K ke i dan T ke j pada ulangan
ke k
i = 1,2,3,4 (jenis kemasan)
j = 1,2 (suhu)
k = 1,2 (ulangan)
Analisis data didasarkan pada analisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh dan interaksi
perlakuan, serta dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf f = 0.05

24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kemasan Alpukat Hasil Rancangan

Kemasan distribusi dirancang dan dipilih terutama untuk mengatasi faktor getaran (vibrasi) dan
kejutan (shock) karena faktor ini sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya kerusakan yang terjadi.
Sementara pengaruh yang lain seperti RH dan suhu dapat diatasi dengan modifikasi kecil dari
rancangan yang ada (Maezawa, 1990). Kemasan alpukat untuk pasar lokal berbeda dengan kemasan
untuk tujuan ekspor. Untuk pasar lokal, pendistribusian alpukat dari kebun ke pedagang pengumpul
menggunakan karung-karung plastik atau peti kayu albasia dengan kapasitas 40-50 kg dan diangkut
dengan truk. Sedangkan untuk kemasan ekspor umumnya menggunakan kotak karton berventilasi.
Bentuk peti kemasan ada tiga jenis yaitu kemasan kapasitas 5.7 kg, 11.3 kg, dan 14.5 kg. Namun
umumnya pasar dunia menyukai kemasan dengan kapasitas 5 kg. Setelah dilakukan grading, didalam
peti buah hanya disusun selapis saja dan setiap buah diberi penyekat karton berbentuk H atau bentuk Z
dengan tujuan agar tidak terjadi gesekan antar buah (Supriyono,2003).
Pada proses pendistribusian buah sering terjadi kerusakan akibat penanganan selama
transportasi sehingga buah mengalami tekanan fisik, getaran, gesekan yang memacu proses pelayuan.
Kerusakan fisik yang terjadi seperti adanya memar, luka tusukan, terpotong, lecet, dan bagian yang
pecah. Kerusakan fisik juga memacu kerusakan fisiologis maupun patologis (serangan
mikroorganisme pembusuk). Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa perbaikan terhadap
penanganan buah alpukat yaitu perancangan kemasan karton buah alpukat dengan penambahan lubang
ventilasi, layer dan sekat - sekat antar buah, serta penyimpanan pada suhu dingin untuk mengurangi
kerusakan mekanis dan kerusakan fisik buah alpukat selama distribusi.
Informasi yang dibutuhkan dalam perancangan kemasan adalah dimensi, berat, dan jumlah
buah yang dikemas. Tahap selanjutnya adalah memilih bahan kemasan dengan karakteristik tertentu
yang disesuaikan dengan kondisi buah dan menentukan tipe kemasan. Pemilihan tipe kemasan yang
tepat berdampak pada meningkatnya efektifitas dan efisiensi kemasan (Sukmana, 2011). Alpukat
memiliki beberapa jenis varietas, namun alpukat yang digunakan sebagai acuan untuk perancangan
kemasan adalah alpukat mentega ras Mexico, dan termasuk alpukat kecil dengan berat 100-225 g.
Data rataan dimensi dan berat buah alpukat ditunjukkan pada Tabel 8. Sample dimensi dan berat
masing-masing buah alpukat dicantumkan pada Lampiran 1.

Tabel 8. Data rataan dimensi dan berat buah alpukat

No. Data Pengukuran Rataan


1 Berat (gram) ± 172.51
2 Tinggi (cm) ± 8.46
3 Diameter (cm) ± 6.66

Perancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi diutamakan pada penentuan dimensi
kemasan yang dinyatakan dalam tiga macam dimensi yaitu dimensi dalam (inner dimension), dimensi
pola (design dimension) dan dimensi luar (outer dimension). Dari data diatas, kemasan hasil
rancangan berukuran (pxlxt) adalah 370 mm x 230 mm x 210 mm dengan dua layer. Perhitungan
perancangan dimensi kemasan karton terdapat pada Lampiran 2. Desain kemasan memiliki perkiraan

25
berat bersih alpukat 5-6 kg, dengan kapasitas 30 buah yaitu pada masing-masing layer sebanyak 15
buah. Kemasan karton yang digunakan yaitu tipe Regular Slotted Container (RSC). Tipe RSC
merupakan kemasan distribusi yang paling banyak digunakan karena memiliki bentuk yang sederhana
dan ekonomis dalam penggunaan material, karena bahan yang digunakan minimal tetapi volumenya
maksimal walaupun tidak memiliki kekuatan yang baik. Jenis karton gelombang yang digunakan yaitu
double wall board sehingga kemasan karton dapat lebih kokoh dan dapat menahan tumpukan lebih
banyak, serta dapat meredam goncangan yang terjadi selama poses transportasi. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Silvia (2006) bahwa tipe kemasan peti karton yang banyak digunakan di Indonesia
adalah tipe RSC dan FTC dengan ventilasi tipe oblong ventilation dan circle ventilation selain itu tipe
flute kemasan yang digunakan yaitu tipe flute AB karena banyak digunakan untuk kemasan distribusi,
seperti dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Flute AB kemasan outer

Selain kemasan outer, terdapat kemasan inner berupa tambahan sekat karton dengan dua layer.
Penambahan inner bertujuan untuk membatasi kontak antar buah alpukat yang berpotensi
menimbulkan kerusakan mekanis buah. Sekat-sekat antar buah ini dibuat dari karton tipe flute BC.
Buah alpukat disusun secara teratur dengan arah vertikal agar dapat mengurangi kerusakan mekanis
akibat benturan pada dinding kemasan, dan memperkecil ukuran kemasan. Pola susunan alpukat
dalam kemasan ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 13. Penyusunan buah alpukat dalam kemasan tumpukan bawah

Kemasan untuk produk holtikultura terutama untuk buah-buahan sangat membutuhkan lubang
ventilasi, karena buah-buahan selama proses pematangan menghasilkan gas etilen dan panas respirasi.
Jika gas etilen dan panas respirasi terakumulasi mengakibatkan proses pematangan buah semakin
cepat berdampak pada penurunan mutu dan umur simpan buah. Adanya ventilasi ini menyebabkan

26
sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga dapat menghindari kerusakan komoditas akibat
akumulasi CO2 pada suhu tinggi (Hidayati,1993).
Oleh karena itu selain penambahan sekat, masing-masing kemasan juga diberi lubang ventilasi.
Gambar 14 menunjukkan empat jenis rancangan kemasan alpukat yaitu kemasan berventilasi tipe
circle, tipe oblong, ventilasi searah sekat, dan kemasan tanpa ventilasi. Penentuan luas ventilasi
kemasan harus mempertimbangkan kemungkinan penurunan kekutan kemasan. Penggunaan ventilasi
dan hand hold sebesar 2% dari bidang vertikal kemasan akan mengurangi kekuatan kemasan karton
sebesar 10 % dari kemasan tanpa ventilasi dan hand hole (Singh, 2008). Luasan lubang ventilasi yang
digunakan dalam perancangan sebesar 2% dari total luasan dinding kemasan, karena penggunaan
ventilasi dan hand hole melebihi 2 % dapat mengurangi kekuatan tekan vertikal kemasan yang cukup
signifikan. Selain kemasan outer yang diberi lubang ventilasi, kemasan inner atau sekat-sekat antar
buah juga diberi lubang ventilasi agar udara didalam kemasan tetap mengalir walaupun adanya sekat.
Perhitungan luasan ventilasi kemasan terdapat pada Lampiran 3.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 14. Rancangan Kemasan Alpukat model (a) tanpa ventilasi, (b) tipe ventilasi circle,
(c) ventilasi oblong, dan (d) ventilasi searah sekat.

B. Pola Kestabilan Suhu Dalam Kemasan

Suhu merupakan salah satu faktor penting pada sistem kemasan produk holtikultura, karena
suhu mempengaruhi proses respirasi produk. Oleh karena itu dalam perancangan kemasan untuk
produk hasil pertanian diperlukan ventilasi yang cukup untuk mengeluarkan panas hasil metabolisme.
Dengan ventilasi sirkulasi udara dalam kemasan menjadi lebih baik dan menghindarkan kerusakan
komoditas akibat akumulasi CO2 pada suhu tinggi (Hidayati, 1993). Udara dalam kemasan perlu

27
disirkulasikan agar suhunya merata. Suhu dalam kemasan selama penyimpanan dapat bervariasi
karena peningkatan suhu akibat mengambil panas dari komoditi atau adanya kebocoran pada beberapa
bagian dalam ruang penyimpanan.
Penentuan sebaran suhu dalam kemasan saat penyimpanan digunakan untuk mengetahui
kemampuan kemasan dalam beradaptasi terhadap suhu penyimpanan. Buah alpukat, pisang, nangka,
jambu, mangga, papaya, dan markisa termasuk kedalam buah klimakterik (Winarno,2002). Buah
klimakterik merupakan buah yang masih mengalami proses pematangan, dan mengalami peningkatan
respirasi. Sehingga untuk menghambat proses respirasi, diperlukan penyimpanan dingin yang sesuai.
Oleh karena itu, suhu dalam kemasan harus sesuai dengan suhu ruang penyimpanan yang diharapkan.
Kebutuhan untuk sirkulasi udara yang cepat terutama pada saat penyesuaian suhu produk dengan suhu
penyimpanan dingin untuk menghilangkan panas lapangan. Posisi titik pengukuran suhu dalam
kemasan ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan

32,0

31,0 K1T1

30,0 K2T1
Suhu ( ˚C )

29,0 K3T1

28,0 K4T1

27,0 TLingkungan

26,0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
waktu ( menit )

Gambar 16. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu ruang

Gambar 16. menunjukkan pola sebaran suhu masing-masing kemasan dan suhu lingkungan
pada penyimpanan suhu ruang selama 24 jam dari awal penyimpanan. Dari grafik dapat dilihat bahwa
semua perlakuan kemasan menunjukkan pola sebaran suhu yang sama, terjadi peningkatan sampai
waktu tertentu, kemudian turun kembali mengikuti penurunan suhu lingkungan. Pada menit ke-265
hingga menit ke-415 terjadi peningkatan suhu lingkungan, namun tidak diikuti oleh suhu masing-
masing kemasan. Fluktuasi suhu dalam kemasan tersebut disebabkan pengaruh suhu lingkungan atau

28
ruangan berpendingin (AC) yang tidak kontinyu. Suhu kemasan tanpa ventilasi lebih tinggi dari suhu
kemasan berventilasi, karena tidak terjadinya pertukaran udara dari lingkungan ke dalam kemasan
atau sebaliknya. Oleh karenaa itu, suhu didalam kemasan tidak dapat bergerak bebas keluar dan
menyebabkan terjadinya suhu yang tinggi di dalam ruang kemasan.
Suhu pada perlakuan K1T1 yaitu kemasan tanpa ventilasi, membutuhkan waktu yang paling
lama untuk mencapai suhu yang stabil yaitu 540 menit (9 jam). Hal ini terjadi karena proses
pemindahan udara lingkungan ke dalam kemasan atau udara dalam kemasan ke lingkungan sulit
terjadi karena tidak adanya ventilasi. Untuk perlakuan K2T1 (kemasan dengan ventilasi tipe circle)
waktu yang dibutuhkan yaitu 265 menit (± 4 jam), K3T1 (ventilasi tipe oblong) memerlukan waktu
210 menit (3.5 jam), dan K4T1 (ventilasi searah sekat) memerlukan waktu 495 menit (± 8 jam) pada
kestabilan suhu berkisar 28-29.1 oC.
Dengan demikian pola perubahan suhu lingkungan lebih cepat daripada suhu dalam kemasan.
Hal ini disebabkan oleh udara pada bagian lingkungan lebih bebas dari pada pergerakan udara dalam
kemasan. Keadaan ventilasi berpengaruh pada proses perubahan suhu dalam kemasan terhadap suhu
lingkungan untuk mencapai kondisi seimbang. Adanya ventilasi pertukaran udara lebih mudah
dilakukan daripada tanpa ventilasi (Adhinata, 2008).

30,0

25,0 K1T2

20,0 K2T2
Suhu (˚C)

15,0 K3T2

K4T2
10,0
TLingkungan
5,0

0,0
0 200 400 600 800 1000 1200
Waktu (menit)

Gambar 17. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu 8 oC

Gambar 17. menunjukkan pola sebaran suhu masing-masing kemasan dan suhu lingkungan
pada penyimpanan suhu dingin. Pengukuran suhu dilakukan dari awal penyimpanan (suhu 27 oC)
hingga mencapai suhu 8 oC, dimana tiap kemasan membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai
suhu optimum yang diharapkan. Suhu pada perlakuan K1T2 yaitu kemasan tanpa ventilasi,
membutuhkan waktu yang paling lama untuk mencapai suhu pendingin yang diharapkan. Pada
perlakuan tersebut diperlukan waktu 1120 menit (± 18 jam) untuk mencapai kondisi suhu 8 o C yang
stabil. Hal serupa untuk kemasan tanpa ventilasi pada penyimpanan suhu ruang, proses pemindahan
udara lingkungan ke dalam kemasan atau udara dalam kemasan ke lingkungan sulit terjadi karena
tidak adanya ventilasi. Untuk perlakuan K2T2 (kemasan dengan ventilasi tipe circle) waktu yang
dibutuhkan yaitu 715 menit (± 12 jam), K3T2 (ventilasi tipe oblong) selama 580 menit (± 10 jam),
dan K4T2 (ventilasi searah sekat) selama 915 menit (± 15 jam) untuk mencapai kestabilan suhu
pendingin yang diharapkan. Kestabilan suhu awal penyimpanan yang didapat berkisar pada suhu 7.4 -
8 oC. Suhu pada kemasan dengan tipe ventilasi oblong, lebih cepat mencapai suhu penyimpanan yang
diharapkan. Semakin cepat suhu dalam kemasan mencapai kondisi ruang penyimpanan, maka laju
respirasi buah dapat diperlambat, sehingga dapat memperpanjang umur simpan buah tersebut.

29
Dari keempat tipe kemasan, ternyata kemasan dengan ventilasi tipe oblong merupakan
kemasan yang paling cepat menyesuaikan suhu kemasan di dalamnya dengan suhu lingkungan.
Perbedaan waktu kemasan ventilasi tipe oblong dengan ventilasi circle dalam menyesuaikan dengan
suhu lingkungan tidak begitu jauh. Kemasan dengan ventilasi tipe oblong paling cepat menyesuaikan
dengan suhu lingkungan dikarenakan kemasan tersebut memiliki lubang ventilasi pada empat bagian
sisinya yaitu bagian depan belakang dan samping kiri dan kanan, sehingga dengan adanya lubang
ventilasi di empat bagian sisinya lebih memudahkan terjadinya pertukaran udara dan penyebaran
udara didalam kemasan. Grafik sebaran suhu masing-masing kemasan pada awal penyimpanan dapat
dilihat pada Lampiran 6.

C. Pengaruh Tipe Ventilasi Terhadap Sebaran Suhu dalam Kemasan

Suhu tiap kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang mengalami kenaikan dari awal
penyimpanan hingga akhir penyimpanan, seperti ditunjukkan pada Gambar 17. Hal ini disebabkan
alpukat selama penyimpanan terus mengalami respirasi, sehingga timbul panas di dalam ruang
kemasan. Suhu yang paling tinggi yaitu pada kemasan tanpa ventilasi (K1T1) karena panas hasil
respirasi alpukat tidak dapat keluar dari dalam ruang kemasan, sehingga terjadi akumulasi panas di
dalam kemasan. Selain karena proses respirasi dari alpukat, peningkatan suhu rata-rata selama
penyimpanan juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang mengalami kenaikan. Suhu kemasan yang
tinggi dengan kelembaban yang rendah mempengaruhi mutu produk didalamnya. Karena dengan suhu
ruang penyimpanan yang tinggi dapat mempercepat laju respirasi, sehingga mempercepat proses
pematangan yang tidak sempurna.

31

30,5 K1T1
30 K2T1
Suhu ( ˚C )

29,5 K3T1
29 K4T1

28,5 TLingkungan

28
0 3 6
Hari ke-

Gambar 18. Suhu rata-rata masing kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tipe ventilasi kemasan sangat berpengaruh nyata
terhadap suhu dalam kemasan, karena nilai p < α = 0.05. Dari hasil uji lanjut Duncan (Tabel.9), pada
penyimpanan hari ke-0 kemasan K1T1 (kemasan tanpa ventilasi) dengan K2T1 ( ventilasi tipe circle
) tidak menghasilkan suhu yang berbeda nyata. Pada penyimpanan hari ke-3 hingga hari ke-6,
perlakuan K1T1 berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya, tetapi kemasan berventilasi
menunjukkan suhu yang tidak berbeda nyata.

30
Tabel 9. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan
selama penyimpanan pada suhu ruang

suhu ( ˚C )
Tipe Kemasan
H-0 H-3 H-6
K1T1 28.98 a 30.68 a 30.72 a
K2T1 28.98 a 30.12 b 30.22 b
K3T1 28.78 ab 29.68 bc 29.98 bc
K4T1 28.56 b 29.48 c 29.8 c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
DMRT 5%

Suhu rata-rata masing-masing kemasan pada suhu penyimpanan 8 ˚C selama 12 hari


penyimpanan terlihat stabil (Gambar 21). Penurunan suhu terjadi pada awal penyimpanan hingga
mencapai suhu dingin optimum yang diharapkan. Namun suhu rata-rata selama penyimpanan yang
dicapai pada masing-masing kemasan hanya berkisar antara 7.1 - 7.6 ˚C, hal ini dikarenakan suhu
rata-rata penyimpanan/refrigerator diperoleh dari pengukuran proses perubahan suhu dalam
refrigerator, karena kondisi pendingin mengalami on-off. Dapat dilihat bahwa suhu kemasan tertinggi,
sama seperti pada penyimpanan suhu ruang yaitu kemasan tanpa ventilasi. Grafik suhu yang dibentuk
oleh kemasan K2T2 (tipe ventilasi circle) dan K3T2 (tipe ventilasi oblong) membentuk garis yang
berhimpitan berarti menunjukkan suhu rata-rata yang sama hingga akhir penyimpanan. Suhu kemasan
K2T2 dan K3T2 lebih rendah dibandingkan suhu pada kemasan K1T2 dan K4T2, namun suhu pada
kemasan K2T2 dan K3T2 cenderung mendekati suhu lingkungan selama penyimpanan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kemasan K2T2 dan K3T2 merupakan kemasan yang cepat menyesuaikan dengan
suhu lingkungan penyimpanan.

9,5
9 K1T2
8,5
K2T2
Suhu ( ˚C )

8
7,5 K3T2

7 K4T2

6,5 TLingkungan
6
0 3 6 9 12
Hari ke-

Gambar 19. Suhu rata-rata masing-masing kemasan selama penyimpanan pada suhu 8˚C

Berdasarkan analisa sidik ragam nilai p < α = 0.05 sehingga tipe ventilasi kemasan berpengaruh
nyata terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu dingin. Dari hasil uji
lanjut Duncan (Tabel. 10), pada hari ke-0 suhu dalam kemasan tanpa ventilasi (K1T2) berbeda nyata
dengan K2T2, K3T2, dan K4T2. Sedangkan untuk hari ke-3 hingga hari ke-12 , hanya suhu dalam

31
kemasan K2T2 dan K3T2 yang tidak berbeda nyata. Jadi penggunaan tipe ventilasi circle dan oblong
pada penyimpanan suhu dingin, tidak menghasilkan beda nyata pada suhu dalam kemasan.

Tabel 10. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam
kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 ˚C

suhu (˚C)
Tipe Kemasan
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
K1T2 9.2 a 7.64 a 7.5 a 7.54 a 7.56 a
K2T2 8 bc 7.2 c 7.16 b 7.24 c 7.24 c
K3T2 7.52 c 7.2 c 7.1 b 7.18 c 7.16 c
K4T2 8.18 b 7.44 b 7.36 a 7.42 b 7.44 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
DMRT 5%

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Adhinata (2008), dimana pola grafik hubungan
waktu terhadap suhu pada kemasan berventilasi lingkaran dan oval memiliki pola yang sama,
sedangkan kemasan berventilasi campuran cenderung memiliki pola yang sama dengan kemasan
tanpa ventilasi. Hasil simulasi juga menunjukkan pola sebaran suhu dipengaruhi oleh bentuk ventilasi.
Keadaan suhu pada daerah yang searah dengan ventilasi menghasilkan sebaran suhu yang relatif sama
dengan suhu lingkungan. Data suhu rata-rata selama penyimpanan dapat dilihat di Lampiran 7.

D. Tingkat Kerusakan Mekanis Setelah Simulasi Transportasi

Simulasi transportasi dilakukan menggunakan meja getar dengan tujuan untuk mendapatkan
kondisi yang homogen pada tiap ulangan yang sulit diperoleh pada kondisi real di jalan, dan untuk
mendapatkan gambaran kerusakan mekanis buah alpukat apabila mengalami goncangan dan getaran
selama transportasi. Simulasi transportasi dilakukan selama dua jam, berdasarkan lama pengiriman
buah alpukat yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kecil di Sukabumi ke pengumpul besar di
Jakarta.

Gambar 20. Simulasi transportasi disain kemasan alpukat

Hasil konversi frekuensi dan amplitudo selama simulasi transportasi penggetaran berdasarkan
konversi angkutan truk selama dua jam pada alat simulasi transportasi (terdapat pada Lampiran 5)

32
setara dengan 184.82 km dijalan luar kota atau lebih kurang 3.08 jam perjalanan truk dengan
kecepatan 60 km/jam. Pada jalan buruk beraspal jarak yang ditempuh 89.6 km atau lebih kurang 2.98
jam perjalanan truk dengan kecepatan 30 km/jam. Hal ini cukup sesuai dengan jarak yang ditempuh
oleh pedagang pengumpul kecil di Sukabumi ke pengumpul besar di Jakarta yaitu ±115 km.
Dalam pengangkutan juga perlu diperhatikan kondisi lingkungan. Pengangkutan dengan truk
tanpa pendingin, sebaiknya dilakukan pada malam hari untuk menghindari suhu lingkungan yang
terlalu tinggi. Karena hal ini akan berpengaruh pada umur simpan buah alpukat. Pada malam hari suhu
udara relatif lebih rendah dan dapat mengurangi resiko kerusakan mekanis akibat kenaikan suhu.
Pengukuran tingkat kerusakan mekanis buah alpukat setelah simulasi transportasi dilakukan
secara visual pada penampakan luar buah alpukat dan jumlah buah yang rusak pada tiap kemasan.
Buah dinyatakan rusak jika terjadi penyimpangan tekstur dari keadaan normal. Parameter kerusakan
buah alpukat dapat dilihat dari adanya luka memar, luka gores, dan luka pecah pada kulit. Kerusakan
mekanis akibat memar ditandai dengan terbentuknya bagian dengan warna agak berbeda dan lunak,
sedangkan luka gores ditandai dengan adanya luka seperti sayatan pada kulit buah, dan luka pecah
ditandai dengan kulit buah alpukat yang berwarna agak berbeda namun keras (Destiyani, 2010).
Dari hasil studi lapang transportasi buah alpukat yang didistribusikan dengan menggunakan
peti kayu berkapasitas 44 Kg pada suhu ruang memiliki tingkat kerusakan mekanis sebesar 26.81 %,
sedangkan pengemasan alpukat dengan menggunakan kemasan karton berkapasitas 15 Kg tanpa
bahan pengisi pada suhu ruang memiliki kerusakan mekanis sebesar 12.93 % dan pengemasan alpukat
dengan menggunakan karton berkapasitas 7 Kg dengan bahan pengisi berupa potongan karton cacah
pada suhu ruang memiliki tingkat kerusakan mekanis sebesar 4.05 % (Destiyani, 2010).
Dari hasil pengamatan secara visual pada buah alpukat setelah simulasi transportasi pada empat
macam kemasan dengan tipe ventilasi yang berbeda-beda, tidak ditemukan kerusakan mekanis seperti
luka memar, luka gores, dan luka pecah pada kulit alpukat. Karena adanya kemasan inner berupa
sekat-sekat pada ruang kemasan tidak menyebabkan terjadinya benturan antar buah alpukat yang
dapat mengakibatkan luka memar. Permukaan karton gelombang yang halus dibandingkan kemasan
kayu juga dapat memperkecil terjadinya luka gores pada kulit alpukat. Kemungkinan kerusakan dapat
terjadi akibat benturan buah terhadap permukaan kemasan. Namun belum dapat terlihat karena kulit
alpukat yang keras. Kerusakan fisik dari alpukat dapat dilihat setelah penyimpanan pada berbagai
kondisi seperti suhu ruang dan 8 ˚C.

E. Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah


Alpukat

1. Susut Bobot

Susut bobot terjadi karena selama proses penyimpanan menuju pematangan terjadi perubahan
fisiokimia berupa penyerapan dan pelepasan air dari dan ke lingkungan penyimpanan. Kehilangan air
pada bahan tersimpan selama periode penyimpanan tidak hanya menyebabkan kehilangan berat, tetapi
dapat juga menyebabkan kerusakan dan penurunan kualitas. Kehilangan berat dalam jumlah sedikit
yang terjadi secara perlahan mungkin saja tidak berarti bagi bahan tersebut, tetapi kehilangan yang
besar dan terjadi secara cepat akan menyebabkan pengkeriputan dan pelayuan. (Muchtadi, 1988).
Susut bobot setelah transportasi disebabkan oleh faktor metabolisme buah, yaitu proses
transpirasi dan respirasi. Proses transpirasi adalah proses penguapan air dari komoditi segar keluar
melalui permukaan luar komoditi. Proses transpirasi ini dapat menurunkan tekstur, menyebabkan
pelayuan, dan pengerutan. Jika kerusakan mekanis pasca transportasi yang terjadi pada permukaan

33
buah relatif besar maka penguapan dan kehilangan air dapat terjadi lebih cepat sebaliknya jika
kerusakan mekanis pasca transportasi yang terjadi pada permukaan buah relatif kecil maka penguapan
dan kehilangan air yang terjadi selama penyimpanan akan berjalan lambat. Hal ini disebabkan buah
kehilangan pelindung alaminya sehingga proses transpirasi berlangsung lebih cepat. Pola perubahan
persentase susut bobot buah alpukat yang dikemas dalam berbagai tipe kemasan selama penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22.

18
15
Susut Bobot (%)

12 K1T1
K2T1
9
K3T1
6
K4T1
3
0
0 3 6 9
Lama Penyimpanan (Hari)

Gambar 21. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan


selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30oC)

7
6
Susut Bobot (%)

5 K1T2
4 K2T2
3 K3T2
2 K4T2
1
0
0 3 6 9 12 14
Lama Penyimpanan (Hari)

Gambar 22. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan


selama penyimpanan pada suhu 8oC.

Berdasarkan Gambar 21 dan 22. terlihat bahwa semakin lama penyimpanan maka susut bobot
buah pada setiap perlakuan semakin meningkat. Dari Gambar 21. Persentase susut bobot buah alpukat
tertinggi pada penyimpanan suhu ruang (28-30 oC ) yaitu kemasan tanpa ventilasi (K1T1) sebesar
14.84 %. Hal ini dapat terjadi karena suhu di dalam kemasan yang tinggi dibandingkan kemasan
berventilasi. Pada kemasan berventilasi terjadi pertukaran udara dari lingkungan dengan suhu dalam
kemasan. Umumnya semakin tinggi suhu ruang penyimpanan maka semakin tinggi laju penurunan
bobot buah, karena transpirasi yang terjadi semakin besar. Kehilangan air 5 – 10 % dari berat semula
melalui transpirasi dianggap tidak laku dijual sehingga merugikan pada tingkat penjualan eceran
(Pantastico, 1989).

34
Transpirasi yang tinggi dapat menurunkan kadar air buah alpukat sehingga susut bobot menjadi
tinggi. Selain itu suhu tinggi menyebabkan respirasi meningkat, substrat yang dihasilkan pada proses
fotosintesis diuraikan menjadi gula sederhana sehingga dihasilkan CO 2 dan air pada proses respirasi,
akibatnya terjadi penurunan air dalam bahan yang menyebabkan penurunan bobot. Sedangkan
persentase susut bobot terkecil pada penyimpanan suhu ruang adalah pada kemasan dengan ventilasi
tipe circle (K2T1) sebesar 11.74 %. Hal ini dikarenakan dengan adanya ventilasi pada bagian sisi
kemasan, terjadi sirkulasi udara dari dalam kemasan ke luar lingkungan sehingga tidak terjadi
akumulasi panas dalam kemasan yang dapat mempercepat laju respirasi alpukat.
Berdasarkan Gambar 22. Dapat dilihat bahwa persentase susut bobot buah alpukat terkecil pada
penyimpanan suhu 8 oC yaitu kemasan tanpa ventilasi (K1T2) sebesar 4.85%. Sama seperti halnya
pada kemasan ventilasi yang disimpan pada suhu ruang, perubahan suhu lingkungan kurang
berpengaruh terhadap suhu dalam kemasan tanpa ventilasi. Sehingga saat suhu lingkungan lebih
rendah dari suhu penyimpanan dingin yang diharapkan, suhu pada ruang kemasan tanpa ventilasi
tidak mengalami penurunan yang drastis dari suhu yang diharapkan. Kemasan tanpa ventilasi (K1T2)
memiliki persentase susut bobot paling kecil dikarenakan tidak adanya lubang ventilasi menyebabkan
kandungan oksigen rendah didalam kemasan akan menghambat laju respirasi, sehingga proses
perombakan senyawa makromolekul seperti karbohidrat, lemak, dan protein menjadi gula sederhana
terhambat, CO2 dan air yang dikeluarkan pun berkurang.
Buah yang disimpan pada suhu ruang (28-30 oC) sebagian sudah mengalami pembusukan pada
hari ke-6 sehingga tidak dapat bertahan hingga hari ke-12. Hal ini sesuai dengan Sudarminto (1992)
bahwa alpukat pada kondisi penyimpanan udara normal dengan suhu 25-32 oC hanya dapat bertahan
selama 5-8 hari. Oleh karena itu penting dijaga agar suhu dan kelembaban ruang penyimpanan relatif
tetap. Karena perubahan suhu penyimpanan sebesar 2-3oC lebih tinggi dari suhu yang dikehendaki
sangat memungkinkan terjadinya pembusukan atau proses pematangan yang tidak baik dan
kelembaban udara yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan yang dapat
menyebabkan kehilangan bobot yang cukup besar.
Susut bobot pada penyimpanan suhu 8 oC lebih kecil daripada penyimpanan pada suhu ruang
(28-30 oC). Hal ini disebabkan perbedaan kelembapan relatif pada suhu ruang penyimpanan. Ryali
dan Pentzer (1982) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi susut bobot salah satunya adalah
kelembapan relative (RH) pada ruang simpan. Kelembapan udara yang rendah dapat mempercepat
terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan kehilangan bobot yang cukup
besar selama penyimpanan. Apabila ruang simpan memiliki RH tinggi maka susut bobot yang dialami
lebih kecil dibandingkan dengan ruang simpan yang memiliki RH rendah. Kelembaban relatif (RH)
pada suhu 8 oC sebesar 85-95 %, sedangkan RH pada suhu ruang 28 oC sebesar 60 – 70 %. Meskipun
kelembapan yang tinggi mencegah terjadinya pembusukan, namun kelembapan yang tinggi juga dapat
mengakibatkan penyusutan yang berlebihan, pengkeriputan, dan kerusakan kulit (Pantastico, 1989).
Dari hasil analisis sidik ragam, terbukti bahwa model (interaksi antara kemasan, suhu,
danlama penyimpanan) berpengaruh nyata terhadap susut bobot buah alpukat selama penyimpanan.
Ternyata dari hasil analisis sidik ragam, tipe ventilasi kemasan tidak berpengaruh signifikan terhadap
susut bobot, tetapi suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan terhadap susut bobot, karena p
value < .0001. Dari hasil uji lanjut Duncan (Tabel 11 dan 12), ternyata kemasan dan interaksi dari
tiap-tiap faktor perlakuan tidak berbeda nyata pada susut bobot, sehingga penggunaan tipe ventilasi
yang berbeda atau tanpa penggunaan ventilasi pada kemasan tidak memberikan perbedaan yang
signifikan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat. Sedangkan interaksi antara suhu terhadap
waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut bobot sehingga memberikan perbedaan yang
signifikan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat pada tiap suhu penyimpanan yang berbeda.

35
Hal ini berarti bahwa susut bobot termasuk parameter mutu yang tidak dapat menggambarkan
pengaruh ragam perlakuan pada tipe ventilasi kemasan, tetapi menggambarkan ragam perlakuan pada
suhu penyimpanan. Dengan demikian penggunaan kemasan dengan tipe ventilasi kemasan yang
berbeda ataupun tanpa menggunakan ventilasi, tidak terlalu menghasilkan perbedaan peningkatan
susut bobot yang signifikan, tetapi suhu penyimpanan justru yang sangat berpengaruh terhadap susut
bobot. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 12.

Tabel 11. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap susut bobot alpukat
Susut Bobot (%)
Tipe Kemasan
H-3 H-6 H-9 H-12
K1 2.1542 a 8.8575 a 3.8350 a 4.8450 a
K2 2.0658 a 7.5300 a 4.4450 a 5.6500 a
K3 2.0394 a 7.6200 a 4.1850 a 5.4100 a
K4 2.0984 a 8.0875 a 4.7850 a 5.8500 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada DMRT 5%

Tabel 12. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap susut bobot buah alpukat
Suhu Susut bobot (%)
Penyimpanan H-3 H-6 H-9 H-12
T1 ( 28 o C ) 2.5864 a 12.8913 a
o
T2 ( 8 C) 1.5925 b 3.1563 b 4.3125 5.4387
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada DMRT 5%

2. Kekerasan

Kekerasan merupakan salah satu parameter yang menunjukan kualitas tekstural produk segar
holtikultura. Pengukuran uji kekerasan dilakukan sebagai salah satu indikasi terjadinya kerusakan
pada suatu komoditi, dimana semakin kecil nilai tekan buah maka akan semakin rusak buah tersebut.
Buah yang matang dan siap konsumsi relatif lebih lunak daripada buah yang masih mentah
(Sjaifullah,1996). Menurut Pantastico (1986), ketegangan disebabkan oleh tekanan isi sel pada
dinding sel dan bergantung pada konsentrasi zat-zat osmotic aktif pada vakuola, permeabilitas
protoplasma, dan elastisitas dinding sel. Buah-buahan akan kehilangan airnya karena proses
transpirasi dan respirasi setelah pemanenan, sehingga tekanan turgornya menjadi semakin kecil dan
menyebabkan komoditas tersebut menjadi lunak. Air sel yang menguap membuat sel menciut
sehingga ruangan antar sel menyatu dan zat pectin menjadi saling berikatan.
Pengaruh dari kerusakan mekanis selama transportasi, mengakibatkan buah mengalami
penurunan kekerasan karena beberapa jenis luka menyebabkan struktur permukaan buah terjadi
kerusakan sel-sel penyusun jaringan dan akan terpisah ikatannya. Menurut Pantastico (1989),
parahnya tingkat kerusakan dapat memicu respirasi. Hal ini akan menyebabkan proses metabolisme
buah tersebut akan berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya (buah yang tidak rusak). Selain itu
tingginya susut bobot buah juga mempengaruhi tingkat kekerasan suatu buah. Perubahan kekerasan
buah alpukat pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar berikut ini.

36
4,00

Kekerasan buah (Kgf)


3,00
K1T1

2,00 K2T1
K3T1
1,00 K4T1

0,00
0 3 6 9
Lama Penyimpanan (Hari)

Gambar 23. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan


pada suhu ruang (28 - 30 oC)

4,00
Kekerasan Buah (Kgf)

3,50
K1T2
3,00 K2T2

2,50 K3T2
K4T2
2,00

1,50
0 3 6 9 12 14
Lama Penyimpanan (Hari ke-)

Gambar 24. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan


pada suhu 8 oC

Dari Gambar 23. dapat dilihat bahwa pola perubahan kekerasan pada penyimpanan suhu ruang
terjadi penurunan kekerasan, yang menandakan bahwa buah alpukat semakin lunak. Penurunan
kekerasan disebabkan oleh proses respirasi yang membutuhkan air dari sel sehingga terjadinya
pengurangan air pada sel yang berakibat sel kehilangan kekerasannya. Semakin tinggi laju respirasi,
maka kekerasanya akan semakin menurun. Berdasarkan hasil penelitian Soesarsono (1989) pada
penyimpanan suhu ruang, laju respirasi alpukat yang ditempatkan dalam wadah kedap udara
menunjukkan puncak respirasi terjadi pada hari kedua penyimpanan dengan jumlah 342.42
mg/kg.jam, sedangkan pada penyimpanan semi kedap udara mengalami puncak respirasi pada hari
ketiga dengan laju respirasi 350 mg/kg.jam. Laju penurunan kekerasan yang lambat pada
penyimpanan ruang adalah pada kemasan ventilasi tipe circle (K2T1), pada akhir penyimpanan
kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan lain yaitu sebesar 0.69 Kgf, hal ini sesuai
dengan penurunan susut bobot yang rendah pada kemasan K2T1 dibandingkan dengan kemasan
lainnya.
Menurut Muchtadi (1988) proses pelunakan buah alpukat terjadi karena buah mengalami
pemasakan dan pembongkaran protopectin tak larut menjadi asam pektat dan pectin yang lebih mudah

37
larut, maupun terjadinya hidrolisi pati (seperti pada buah “squash”) atau lemak (pada buah alpukat).
Kecepatan reaksi pematangan (ripening) sampai dengan pembusukan (deterioration) buah alpukat
pada suhu ruang jauh lebih cepat dibandingkan dengan suhu dingin. Pada suhu diantara (0 – 35 oC)
kecepatan respirasi pada sayuran dan buah-buahan 2-3 kali lipatnya untuk tiap kenaikan suhu sebesar
10 oC, yang menunjukkan adanya pengaruh proses biologis maupun kimia.
Pada hari ke-3 pada penyimpanan suhu ruang, nilai kekerasan buah alpukat mengalami
penurunan. Hal ini disebabkan buah mulai mengalami kerusakan akibat pemanasan, sehingga terjadi
perubahan warna dan aroma. Menurut Pantastico (1986) pemberian suhu diatas 25 oC terlalu lama
menyebabkan kerusakan pada buah alpukat. Buah yang disimpan pada suhu 27-30 oC memiliki ciri
antara lain : tidak matang secara normal, penampakan fisik buruk, daging buah lunak secara tidak
merata, timbulnya noda-noda berwarna kecoklatan pada kulit, serta timbulnya rasa dan bau yang tidak
dikehendaki. Pada suhu 32 oC daging buah alpukat menjadi kenyal, dan muncul gejala-gejala
pengkeriputan pada kulit. Pada akhir penyimpanan (hari ke-6) semakin terjadinya penurunan
kekerasan yang drastis, hal ini berarti buah alpukat semakin lunak. Pelunakan buah alpukat pada akhir
penyimpanan disebabkan terjadinya pembusukan, dan pertumbuhan jamur pada pangkal dan ujung
buah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 25.

Gambar 25. Perubahan warna kecoklatan dan timbul jamur pada alpukat untuk
penyimpanan 6 hari pada suhu ruang (28-30˚C)

Gambar 24. Menunjukkan perubahan kekerasan buah alpukat pada penyimpanan suhu 8 ˚C
cenderung mengalami penurunan hingga pertengahan hari penyimpanan yang terjadi tidak signifikan.
Namun pada perlakuan K2T2 dan K3T2 kekerasan buah alpukat mengalami kenaikan pada
penyimpanan hari ke-9 hingga hari akhir penyimpanan yaitu pada hari ke-12. Nilai kekerasan pada
K2T2 sebesar 3.03 Kgf dan K3T2 sebesar 2.97 Kgf. Kenaikan nilai kekerasan ini diikuti dengan
adanya sedikit pengkeriputan kulit buah akibat penyimpanan suhu rendah yang terlalu lama. Kenaikan
nilai kekerasan ini disebabkan kulit buah yang menjadi keriput, sehingga nilai tekannya semakin
besar. Menurut Pantastico (1986), buah alpukat dapat mengalami kerusakan apabila disimpan pada
waktu cukup lama pada suhu rendah. Gejala kerusakan yang dialami oleh alpukat antara lain :
pengeriputan, timbul warna kuning kecoklatan pada daging buah sekitar biji atau pada jaringan
dipertengahan biji dan kulit, aroma dan rasa yang tidak dikehendaki, serta jaringan pembuluh tampak
berwarna kuning kecoklatan. Penurunan kekerasan pada kemasan K1T2 dan K4T2 menunjukkan pola
yang hampir sama, tidak mengalami peningkatan kekerasan seperti K2T2 dan K3T2. Nilai kekerasan
pada K1T2 sebesar 2 Kgf dan K4T2 sebesar 2.33 Kgf yang masih dapat diterima konsumen.

38
Hasil analisis sidik ragam didapat bahwa tipe kemasan tidak berpengaruh nyata pada tingkat
kekerasan buah alpukat, sedangkan suhu penyimpanan memberikan pengaruh nyata pada tingkat
kekerasan alpukat masing-masing kemasan dengan nilai p < α=0.05. Berdasarkan hasil analisa uji
lanjut Duncan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13 dan 14, tipe kemasan tidak menghasilkan
perbedaan kekerasan yang signifikan, sedangkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan
buah alpukat menunjukkan perbedaan yang signifikan antara penyimpanan pada suhu ruang dengan
penyimpanan suhu dingin 8 oC. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada
Lampiran 13.
Tabel 13. Pengaruh tipe kemasan berventilasi terhadap kekerasan buah alpukat
Kekerasan (Kgf)
Tipe Kemasan
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
K1 3.2200 b 2.7300 a 1.8255 a 2.5550 b 1.9950 a
K2 3.3550 a 2.9325 a 1.9250 a 2.8700 a 3.0250 a
K3 3.4500 a 2.2650 a 1.6850 a 2.5650 b 2.9700 a
K4 3.2125 b 2.5300 a 1.8850 a 2.91 a 2.3250 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5%
Tabel 14. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan buah alpukat
Kekerasan hari ke- (Kgf)
Suhu Penyimpanan
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
T1 ( 28 o C ) 3.24125 b 1.8800 b 0.49150 b
o
T2 ( 8 C) 3.37750 a 3.3488 a 3.16875 a 2.7250 2.57875
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5 %

3. Total Padatan Terlarut

Kandungan total padatan terlarut (TPT) pada suatu bahan menunjukkan kandungan gula yang
terdapat pada bahan tersebut (Sjaifullah, 1996). Pengamatan kandungan gula pada buah termasuk ke
dalam indikator dari rusaknya buah tersebut karena buah semakin lama semakin berkurang kadar
gulanya diiringi proses respirasi dari buah tersebut. Pada saat respirasi, terjadi pemecahan oksidatif
dari bahan-bahan yang kompleks seperti karbohidrat, lemak, dan protein (Muchtadi, 1988).

9
Total Padatan Terlarut ( Brix )

8,5
8 K1T1
K2T1
7,5
K3T1
7
K4T1
6,5
6
0 3 6 9
Lama Penyimpanan ( Hari )
Gambar 26. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30 oC)

39
9

Total padatan terlarut (Brix)


8,5

8 K1T2
K2T2
7,5
K3T2
7 K4T2

6,5
0 3 6 9 12 14
Lama Penyimpanan (Hari)

Gambar 27. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu 8oC

Pola perubahan total padatan terlarut pada penyimpanan suhu ruang menunjukkan terjadinya
kecenderungan menurun sejak awal hingga akhir penyimpanan (Gambar 26). Penurunan total padatan
terlarut terjadi karena kematangan yang tidak sempurna pada buah alpukat. Penyimpanan pada suhu
ruang (28-30 oC) selama 6 hari menunjukkan penurunan total padatan terlarut yang drastis, diikuti
dengan busuknya buah alpukat. Hal ini karena adanya perombakan gula dalam alpukat menjadi
alkohol. Proses ini ditandai dengan munculnya senyawa volatile seperti aroma tidak sedap ( busuk ).
Selain itu, akan timbul pula jamur pada bonggol dan kulit alpukat. Hal ini sesuai pendapat Biale dan
Young (1962) di dalam Kartasapoetra (1994), bahwa penyimpanan pada suhu 30 oC dapat
mengakibatkan buah alpukat tidak masak.
Berdasarkan Gambar 27. dapat dilihat bahwa total padatan terlarut pada penyimpanan suhu
dingin menunjukan kenaikan diawal proses penyimpanan di hari ke-3, dan mengalami penurunan pada
pertengahan penyimpanan (hari ke-6 dan hari ke-9), kemudian mengalami kenaikan di akhir
penyimpanan (hari ke–12). Pola peningkatan total padatan terlarut pada hari ke-12 disebabkan
terjadinya hidrolisis pati menjadi gula. Pola perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan
tersebut merupakan indikasi perubahan komposisi total padatan terlarut buah alpukat dipengaruhi laju
respirasi klimaterik buah alpukat.
Menurut Pantastico (1986), terdapatnya kecenderungan kenaikan dan penurunan dalam proses
pemasakan merupakan sifat khas dari buah dalam keadaan klimakterik. Secara umum selama proses
pematangan terjadi peningkatan kadar gula buah-buahan karena terjadi proses hidrolisa pati menjadi
zat gula baik dalam bentuk sukrosa, glukosa, maupun fruktosa. Kondisi ruang penyimpanan buah
alpukat yang tertutup dan bersuhu rendah mempengaruhi perubahan komposisi total gula daging buah
alpukat karena menurunkan kadar oksigen dan meningkatkan kadar karbondioksida. Menurut Ulrich
di dalam Pantastico (1986), konsentrasi oksigen yang rendah berpengaruh terhadap penundaan proses
pematangan, sedangkan peningkatan kadar karbondioksida berpengaruh terhadap penurunan reaksi
sintesis pematangan dan perubahan perbandingan berbagai gula.
Nilai total padatan terlarut terbesar dimiliki oleh perlakuan K3T2 yaitu kemasan dengan
ventilasi tipe oblong pada suhu penyimpanan dingin 8 oC selama 12 hari sebesar 8.655 ˚Brix.
Sedangkan total padatan terlarut terendah dimiliki oleh buah alpukat pada perlakuan K2T1 yaitu pada
kemasan dengan ventilasi tipe circle pada penyimpanan suhu ruang sebesar 6.12˚Brix setelah enam
hari penyimpanan.

40
Total padatan terlarut akan meningkat dengan cepat ketika buah mengalami pematangan dan
akan terus menurun seiring lama penyimpanan. hal ini disebabkan terjadinya hidrolisis pati yang tidak
larut dalam air menjadi gula yang larut dalam air. Selanjutnya dalam proses penuaan semakin
berlanjut kadar gula menurun, hal ini diduga karena hidrolisis pati sedikit sekali, sehingga proses
respirasi meningkat dan sintesa asam yang mendegradasi gula berjalan terus. Hasil analisa sidik
ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 14.

Tabel 15. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap total padatan terlarut (TPT) buah alpukat

Total Padatan Terlarut (˚Brix)


Tipe Kemasan
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
K1 8.0000 a 7.7450 a 6.9675 a 7.7100 a 7.9400 a
K2 7.5825 a 7.4550 a 7.0300 a 7.9850 a 8.1500 a
K3 8.0275 a 7.7950 a 7.1250 a 8.2050 a 8.6550 a
K4 7.4300 a 7.5500 a 6.6900 a 7.8150 a 8.2200 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5 %

Tabel 16. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap total padatan terlarut (TPT) buah alpukat

Total Padatan Terlarut hari ke- (˚Brix)


Suhu Penyimpanan
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
o
T1 (28 C) 7.8 a 7.1575 b 6.2125b
o
T2 (8 C) 7.72 a 8.1150 a 7.6938 a 7.92875 8.24125
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada DMRT 5 %

Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, hubungan antara tipe ventilasi kemasan, suhu
penyimpanan, dan waktu tidak berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut, sedangkan suhu
penyimpanan berpengaruh nyata karena P value < α=0.05. Perlakuan tipe ventilasi kemasan tidak
berpengaruh nyata pada total padatan terlarut. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Tabel 15 dan 16) suhu
penyimpanan memberikan perbedaan yang nyata terhadap perubahan pada total padatan terlarut buah
alpukat. Hal ini berarti perubahan total padatan terlarut buah alpukat hanya dipengaruhi oleh suhu
penyimpanan, sedangkan tipe kemasan tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Buah alpukat
merupakan produk pertanian yang sulit dicari keseragaman dari tingkat kematangannya sehingga total
padatan terlarut termasuk parameter mutu yang tidak dapat menggambarkan pengaruh ragam
perlakuan, yaitu tipe ventilasi kemasan.
Kandungan gula atau total padatan terlarut merupakan refleksi dari manis, yang juga
menunjukkan tingkat ketuaan dan kematangan. Umumnya, total padatan terlarut pada buah-buahan
akan meningkat cepat ketika buah mengalami pematangan dan terus menurun seiring dengan lama
penyimpanan buah. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan pati yang tidak larut dalam air menjadi
gula yang larut dalam air. Menurut Wilson (1989), beberapa penyebab perubahan total padatan
terlarut diantaranya karena proses pematangan, pemecahan pati menjadi gula dan karena adanya
penumpukan substrat sebagai akibat dari respirasi. Aktivitas etilen dalam pematangan buah akan
menurun dengan menurunnya suhu. Selain suhu, salah satu faktor yang mempercepat proses

41
pematangan adalah kerusakan mekanis pada buah. Kecepatan proses pematangan buah akan
meningkatkan total padatan terlarut buah.

4. Kerusakan Buah Alpukat Selama Penyimpanan

Kerusakan produk holtikultura selama penyimpanan dapat berupa kerusakan fisik dan
kerusakan biologis. Kerusakan fisik yang terjadi dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, sedangkan
kerusakan biologis dapat dipengaruhi oleh laju respirasi yang tergantung kondisi suhu dan lama
simpan. Kerusakan mekanis yang terjadi setelah simulasi transportasi belum terlihat pada masing-
masing perlakuan tipe kemasan, namun mulai tampak terjadi perubahan pada alpukat setelah
pengamatan di hari ke-3 hingga akhir penyimpanan seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.

25
K1T1
kerusakan fisik (%)

20
K2T1
15

10 K3T1

5
K4T1
0
0 3 6
Lama Penyimpanan (Hari)

Gambar 28. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada suhu ruang

Berdasarkan Gambar 28. kerusakan tertinggi buah alpukat pada penyimpanan suhu ruang
terdapat pada perlakuan KIT1 (kemasan tanpa ventilasi) dengan persentasi kerusakan sebesar 21.67
%. Pada penyimpanan hari ke-3 pada suhu ruang, mulai terlihat luka memar dan timbul warna
kecoklatan pada bagian ujung buah seperti di tunjukkan pada Gambar 29. Luka memar tersebut
diakibatkan oleh benturan alpukat dengan dinding kemasan yang baru terlihat setelah dilakukan
penyimpanan. Luka atau memar yang terjadi pada buah-buahan akan meningkatkan sintesa etilen.
Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan kecepatan respirasi, karena etilen dapat
menstimulir reaksi enzimatis dalam buah-buahan (Muchtadi,1988)

Gambar 29. Kerusakan buah alpukat pada kemasan K1T1 setelah penyimpanan hari ke-3

42
Pada penyimpanan hari ke-6 pada suhu ruang, kerusakan pada buah semakin meningkat. Buah
mulai layu, mengkerut, bahkan terdapat buah yang busuk dan ditumbuhi kapang atau jamur pada
bagian bonggol dan kulit buah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 29. Kerusakan ini dipengaruhi
oleh suhu ruang kemasan yang tinggi, dan relative lembab, sehingga mempercepat laju respirasi dan
kebusukan. Kerusakan tertinggi pada K1T1 (tanpa ventilasi) dikarenakan dengan tidak adanya lubang
ventilasi, suhu didalam kemasan akan tinggi dan mempercepat laju respirasi dan kandungan CO 2 yang
meningkat didalam kemasan, yang akan merusak buah dan mempercepat kebusukan.

(a)

(b)

(c)
Gambar 30. Perubahan buah alpukat (a) kerutan pada kulit, (b). busuk bagian ujung, dan
(c) pertumbuhan jamur

43
12

Kerusakan Mekanis (%)


10
K1T2
8
K2T2
6
K3T2
4
2 K4T2

0
0 3 6 9 12
Lama Penyimpanan (Hari)

Gambar 31. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada suhu 8˚C

Berdasarkan Gambar 31. perlakuan tiap kemasan yang disimpan di suhu 8 ˚C kerusakan
mekanis hanya terdapat pada perlakuan K3T2 (ventilasi tipe oblong). Kerusakan yang terjadi berupa
luka pecah dan memar akibat penggetaran saat transportasi yang baru terlihat setelah penyimpanan di
hari ke-3 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 32. Pada penyimpanan dingin tidak terdapat
kerusakan akibat jamur atau busuk hingga di akhir penyimpanan, karena suhu dingin dapat
menghambat pertumbuhan jamur atau kapang.

(a) (b)
Gambar 32. Jenis kerusakan buah yang berupa (a) Luka pecah dan (b) Luka memar

Penampilan buah alpukat pada penyimpanan suhu dingin masih tampak terlihat segar, tidak
terjadi kerusakan seperti pada penyimpanan di suhu ruang. Namun pada masing-masing kemasan
terdapat beberapa buah alpukat mengalami keriput pada kulit. Hal ini terjadi karena suhu dalam ruang
pendingin yang tercapai dibawah suhu optimum yang diharapkan yaitu 8 ˚C, karena pengaturan suhu
seharusnya diset pada suhu 10 ˚C sehingga ketika terjadi on-off pada refrigerator, suhunya tidak
dibawah 8˚C.
Meskipun penampilan buah yang disimpan pada kemasan tanpa ventilasi terlihat baik lebih
lama daripada buah yang berada didalam kemasan berventilasi, hal ini dikarenakan termodifikasinya
udara menjadi udara dengan kandungan oksigen rendah, dan karbondioksida yang meningkat. Namun
bau dan rasa yang tidak diinginkan dapat timbul dalam kemasan yang tertutup rapat, meskipun

44
penampilannya terlihat baik. Penampilan fisik buah alpukat pada akhir penyimpanan dapat dilihat
pada Lampiran 17.

F. Pemilihan Kemasan yang Sesuai


Berdasarkan hasil penelitian Destiyani (2010), kemasan karton dengan ukuran 38 cm x 26 cm x
18 cm dengan kapasitas 7 kg yang memiliki tumpukan dua layer dengan bahan pengisi potongan atau
cacahan kertas koran yang disimpan pada suhu 5 oC merupakan kemasan yang paling baik digunakan
kemasan distribusi buah alpukat, namun masih terjadi kerusakan mekanis sebesar 3.65%.
Berdasarkan hasil penelitian, kemasan berukuran 37 cm x 23 cm x 21 cm dari bahan karton
gelombang dengan double wall, flute tipe AB, dua layer dan penambahan sekat/inner pada tiap buah,
dapat mengurangi kerusakan mekanis selama transportasi. Dengan pemberian sekat, buah dalam
kemasan tidak saling berbenturan, dan dengan penambahan karton gelombang sebagai alas layer juga
dapat mengurangi kerusakan akibat tertindih atau tertekan buah lainnya.
Dengan pemberian lubang ventilasi memungkinkan masuknya oksigen yang cukup dan
menghindarkan kerusakan karena akumulasi karbondioksida selama penyimpanan pada suhu tinggi.
Dilihat dari waktu yang digunakan untuk mencapai suhu optimum yang diharapkan, kemasan dengan
ventilasi oblong merupakan kemasan yang mencapai suhu optimum yang lebih cepat dibandingkan
kemasan dengan tipe ventilasi lainnya. Namun waktu yang dicapai antara kemasan ventilasi tipe
oblong dengan kemasan ventilasi tipe circle tidak berbeda jauh.
Walaupun kemasan dengan ventilasi oblong lebih baik dalam sebaran suhu dalam kemasan,
tetapi secara keseluruhan, perubahan penurunan mutu buah alpukat yang disimpan pada kemasan
dengan ventilasi circle lebih lambat. Nilai persentase susut bobot yang dihasilkan lebih kecil di
bandingkan kemasan lainnya, kekerasan yang masih tinggi, persentase kerusakan selama
penyimpanan yang rendah, dan penampilan yang masih dapat diterima konsumen. Oleh karena itu,
kemasan yang sesuai untuk distribusi alpukat adalah kemasan dengan ventilasi tipe circle, dengan
suhu penyimpanan 8 ˚C.

45
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, tipe ventilasi kemasan (kemasan tanpa ventilasi,
kemasan ventilasi tipe circle, tipe oblong, dan tipe ventilasi searah sekat) berpengaruh
nyata terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan. Berdasarkan uji
lanjut Duncan, antara kemasan tipe ventilasi circle dan tipe ventilasi oblong
menunjukkan suhu dalam kemasan yang tidak berbeda nyata. Jadi penggunaan tipe
ventilasi circle atau oblong pada kemasan tidak memberikan sebaran suhu yang
berbeda.
2. Hasil pengujian sebaran suhu dengan penggunaan luasan ventilasi sebesar 2% dari
luasan permukaan kemasan menunjukkan kemasan yang disimpan pada suhu ruang 28
˚C memiliki kestabilan suhu berkisar antara 28-29.1 ˚C, sedangkan kemasan yang
disimpan pada suhu 8 ˚C dapat mencapai kestabilan suhu berkisar 7.4-8 ˚C. Kemasan
dengan ventilasi tipe oblong dan circle merupakan kemasan dengan waktu paling cepat
mencapai suhu optimum yang diharapkan dibandingkan kemasan lainnya.
3. Kemasan karton gelombang berukuran 37 cm x 23 cm x 21 cm tipe RSC dengan dua
layer dan penambahan sekat, dapat mencegah kerusakan mekanis akibat benturan antara
buah alpukat hingga 0 % setelah simulasi transportasi.
4. Kemasan berventilasi tidak berpengaruh nyata terhadap kerusakan mekanis, susut
bobot, total padatan terlarut, kekerasan, dan kerusakan fisik selama penyimpanan.
5. Suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut bobot, kekerasan, total padatan
terlarut dan kerusakan buah alpukat selama penyimpanan. Semakin tinggi suhu
penyimpanan maka semakin cepat buah mengalami transpirasi atau penguapan. Susut
bobot buah pada kemasan ventilasi tipe circle pada penyimpanan suhu ruang (K2T1)
adalah sebesar 11.74 %, sedangkan pada penyimpanan suhu 8 ˚C (K2T2) sebesar 5.45
%, sehingga penyimpanan pada suhu 8 ˚C dapat mengurangi persentase susut bobot buah
alpukat dari penyimpanan suhu ruang.
6. Kemasan yang paling sesuai untuk distribusi alpukat adalah kemasan dengan ventilasi
tipe circle yang disimpan pada suhu 8 ˚C. Kemasan tersebut memiliki persentase susut
bobotnya rendah, kekerasan yang tinggi, persentase kerusakan fisik yang rendah selama
penyimpanan, dan penampilan fisik masih dapat diterima.

B. Saran

1. Kemasan distribusi yang sesuai untuk buah alpukat yaitu kemasan ventilasi tipe circle
berkapasitas 5 kg dengan tumpukan dua layer, pemberian sekat pada masing-masing
buah, yang disimpan pada suhu 8 ˚C sehingga dapat mengurangi kerusakan mekanis
buah alpukat selama transportasi.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketersedian oksigen dan pengukuran
kelembaban didalam kemasan dengan tujuan untuk mendapatkan tipe ventilasi yang
optimum untuk kemasan distribusi produk hortikultura .

46
DAFTAR PUSTAKA

Adhinata Y. 2008. Analisis pengaruh Ventilasi Terhadap Suhu, RH, dan Aliran Udara pada Kemasan
Karton (Corrugated Box) Menggunakan Teknik Computational Fluid Dynamics (CFD).
[Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Anonim. 1988. Manual on The Packaging of Fresh Fruits and Vegetables. International Trade Centre
UNCTAD/GATT, Geneva, Switzerland.
Anonim. 2004a. Alpukat (Persea Americana Mill). http://www.ristek.go.id. [02 Februari 2011].
Anonim. 2004b. Pemanfaatan Alpukat (Persea Americana Mill). http://www.ristek.go.id. [02 Februari
2011].
Aspihani H. 2006. Kajian Pengaruh Tipe Kemasan, Bahan Kemasan, dan Pengaruh Ventilasi
Terhadap Kekuatan Kemasan Peti Karton (Corrugated Box) Untuk Distribusi. Skipsi. Fakultas
Teknologi Petanian, IPB.
Baga, K. M. 1997. Alpukat, Budidaya dan Pengembangannya. Penerbit Kansius, Yogyakarta.
Biale, J. BEM dan Young, R. E. 1971. The Avocado pear. Di dalam Hulme, A.C. 1971. The
Biochemistry of Fruit and Their Produce. Vol 2. Academic Press, London.
Biro Pusat Statistik (BPS). Data Statistik Alpukat 1999.http://www.bps.go.id/.BPS. [26 Juli 2011].
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G.H. Fleet dan M.Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: Purnomo
Adiono. UI Press. Jakarta.
Darmawati E. 1994. Simulasi Komputer untuk Perancangan Kemasan Karton Bergelombang dalam
Pengangkutan Buah-buahan [Tesis]. Program Studi Keteknikan Pertanian. IPB. Bogor.
Destiyani E. 2010. Kajian Kemasan Karton untuk Transportasi Buah Alpukat (Persea
Americana,Mill) [Skripsi]. Departemen Teknik Pertanian. FATETA. IPB. Bogor.
Hayati R. 2009. Simulasi Transportasi Darat pada Kentang (Solanun tuberosum) Dalam Kemasan
Untuk Mempelajari Kerusakan Mekanis Akibat Guncangan. [Skripsi]. Departemen Teknik
Pertanian. FATETA. IPB. Bogor.
Hidayati N. 1993. Teknik Pengemasan Buah Nanas (Ananas comosus,L) Dalam Kemasan Karton
Untuk Mempertahankan Mutu Segarnya. [Skripsi]. Departemen Teknik Pertanian. FATETA.
IPB. Bogor.
Jaswin, M. 1999. Teknologi Pengemasan. Industri Pengemasan Indonesia. Jakarta.
Kartasapoetra, A.G. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. PT. Rieneka Cipta, Jakarta.
Lott, A. R. 1977. Solid and Corrugated Fibreboard Cases. Di dalam Paine, F. A. 1977. The Packaging
Media. Blackie & Son Ltd, London, Inggris.
Maezawa, E. 1990. Cushioning Package Design. Japan Packaging Institute, Jepang.
McDonald, R. E., T. H. Camp and W. F. Goddard, Jr. 1979. A modified fiberboard citrus box for
conventional refrigerated trailers and USDA experimental van container. USDA Marketing Res.
Rep. No. 1100, 12 pp.
Muchtadi, D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi. IPB, Bogor.
Nakasone, H.Y. and R.E. Paull. 1997. Tropical Fruit. P.359 – 375. Cab International.
Paine FA. 1977. The Packaging Media. Blackie & Son Ltd, london, Inggris.
Paine FA, Paine HY. 1983. A Handbook of Food Packaging. London : Leonard Hill.
Pantastico, ER B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan, dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan
Sayur-Syuran Tropika dan Sub tropika. Gajah Mada Press. Yogyakarta.
Pantastico, E.B. 1989. Fisiologi Pasca Panen. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

47
Peleg, Kalman. 1985. Storage and Preservation Techniques. Dalam Produce Handling, Packaging and
Distribution. AVI Publishing Co. Inc., Connecticut.
Prihatman, K. 2000. Alpukat/Avocad. http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/alpukat.pdf [20
April 2011]
Purwadaria, HK. 1992. Sistem Pengangkutan Buah-buahan dan Sayuran. Makalah Penelitian
Teknologi Pasca Panen Buah-buahan dan Sayuran. PAU Pagan dan Gizi, IPB. Bogor, 24
Februari 1992.
Rismunandar. 2008. Bertanam Buah-buahan di Pekarangan.Bumi Aksara. Jakarta
Rismunandar. 1981. "Memperbaiki lingkungan dengan bercocok tanam jambu mede dan alpukat".
Bandung: Sinar Baru 39 hal.
Ryall, A.L. and Pentzer, W.T. (1983). Handling, Transportation and Storage of Fruit and Vegetable.
AVI Publishing Co.Inc., Westport, Connecticut, USA.
Sakti GA. 2010. Kajian Perubahan Suhu dalam Kemasan berventilasi Untuk Komoditas hortikultura,
Studi Kasus Kemasan Karton (Corrugated Box) Dengan Komoditas Tomat (Lycopersicum
esculentum mill). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Satuhu, Suyanti. 2004. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Shewfelt R.L. and Prussia, S.E. (eds). 1993. Postharvest Handling A Systems Approach. Academic
Press. San Diego.
Silvia, A. 2006. Perancangan Sistem Manajemen Basis Data untuk Kemasan Transportasi Komoditas
Hortikultura (Buah-buahan dan Sayuran). Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian, IPB, Bogor.
Singh J, Olsen E, Singh SP. 2008. The Effect of Ventilation and Hand Holes on Loss of Compression
Strength in Corrugated Boxes. Journal of Applied Packaging Research 2.4 : 227-238.
Sjaifullah. 1996. Petunjuk Memilih Buah Segar. Penebar Swadaya. Jakarta
Soedarminto, E. 1992. Mempelajari Pengaruh Modified Atmosfer Packaging Terhadap Alpukat.
Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Soedibyo M. 1985. Penanganan Pasca Panen Buah-buahan dan Sayur-sayuran ( Khusus Pengepakan,
Pengangkutan, dan Penyimpanan). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sub Balai
Penelitian Tanaman Pangan, Jakarta.
Soedibyo M. 1992. Alat simulasi buah-buahan segar dengan mobil dan kereta api. Jurnal Holtikultura
2(1) : 6-73.
Soesarsono. 1989. Laporan Penelitian Studi Kemasan Komoditi Buah-buahan, Sayur-sayuran dan
Bunga-bungaan Segar yang Bernilai Ekonomis Tinggi dalam Rangka Meningkatkan Ekspor Non
Migas, IPB. Bogor.
Sukmana. 2011. Perancangan dan Pengujian Kemasan Berbahan Karton Gelombang (Corrugated
Fiber Board) Untuk Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB.
Syarif, R. dan Hariyadi, H.1990. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi. IPB, Bogor.
Triyanto HS. 1991. Karton Gelombang dan Kotak Karton gelombang (Sifat-sifat dan spesifikasinya).
Makalah Seminar Kotak Karton Gelombang: 9 Juli 1991, Hyatt regency, Surabaya.
Winarno, F.G. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Holtikultura. M-BRIO PRESS. Bogor. Cetakan 1.
Won Ok, Lee. 2006. Packing Strawberries in Paper Boxes Designed for Chilling Storage.
http://www.fftc.com [29 Mei 2011].
Wilson, et all. (1989). 1989. Postharvests An Istroduction To The Physiologi and Handling og Fruit
and Vegetables. NSW Presslimited. Australia.

48
LAMPIRAN

49
Lampiran 1. Sample dimensi dan berat buah alpukat

Sample Berat Diameter Tinggi


(g) (cm) (cm)
1 181.11 7 8.68
2 173.12 6.83 8.47
3 170.56 6.51 8.44
4 164.63 6.31 8.1
5 172.54 6.65 8.51
6 179.75 6.8 8.83
7 165.86 6.54 8.2
Rata-rata 172.51 6.66 8.46

50
Lampiran 2. Perhitungan dimensi kemasan karton

Dimensi rata-rata buah alpukat tinggi = 8.46 cm, diameter = 6.66 cm


Tebal bahan outer = 0.7 cm Tebal bahan inner : 0.35 cm

Formula untuk menghitungan dimensi outer kemasan:


1. P = TDMBP + TDOV + TDVIP + TB
= (5x6.66) + (2x0.7) + (4x0.35) + 0.8
= 36.9 cm = 37 cm

2. L = TDMBL + TDOV + TDIVL + TB


= (3x6.66) + (2x0.7) + (2x0.35) + 0.6
= 23.38 cm = 23 cm

3. T = TTB + TTAIP
= (2x8.46) + 1.7
= 18.62 cm = 21 cm

Jadi, dimensi outer adalah 37 cm x 23 cm x 21 cm

Formula menghitungan dimensi inner kemasan:


1. P = TDMBP + TDVIP
= (5x6.66) + (4x0.35)
= 34.7 cm = 35 cm

2. L = TDMBL + TDOV + TDIVL


= (3x6.66) + (2x0.7) + (2x0.35)
= 22.08 cm

3. T = TB + TTAIP
= 8.46 + 1.7
= 10.16 cm

Jadi, dimensi inner adalah 35 cm x 22 cm x 10 cm

51
Lampiran 3. Perhitungan ventilasi kemasan

Dimensi kemasan: Panjang= 37 cm, Lebar= 23 cm, Tinggi= 21 cm


Luas ventilasi kemasan adalah 2% dari totql luasan dinding kemasan.

Total luas dinding kemasan (LA):


=2(pxl) + 2(pxt) + 2(lxt)
=2(37x23) + 2(37x21) + 2(23x21)
= 4222 cm2
2% dari total luas dinding vertikal kemasan (LB):
=2% x 4222 cm2
=84.44 cm2

a. Ventilasi circle (lingkaran)


Dalam satu kemasan terdapat 8 lubang ventilasi (LV), jadi luas tiap lubang ventilasi :
LV = LB/8
= 10.555 cm2
LV = Luas lingkaran = πr2
πr2 = 10.555
r2 = 3.36 cm,
jadi jari-jari ventilasi circle r = 1.8 cm

b. Ventilasi oblong (oval)


Dalam satu kemasan terdapat 6 lubang ventilasi (LV), jadi luas tiap lubang ventilasi :
LV = LB/8
= 14.07 cm2
LV = Luas oval = (pxl) + (πr2)
14.07 = (3rx2r)
6 r2 + πr2 = 14.07
r2 = 1.54 cm
r = 1.24 cm
p = (3x1.24) + (2x1.24) = 6.2 cm
l = 2 x 1.24 =2.48 cm

c. Ventilasi searah sekat


Dalam satu kemasan terdapat 20 lubang ventilasi (LV), jadi luas tiap lubang ventilasi :
LV = LB/20
= 4.222 cm2
LV = Luas lingkaran = πr2
πr2 = 4.22 cm2
r2 = 1.344 cm, r = 1.16 cm
jadi jari-jari ventilasi circle searah sekat r = 1.16 cm

52
Lampiran 4. Peralatan yang digunakan

Rheometer Refraktometer

Recorder Meja simulator

Timbangan digital

53
Lampiran 5. Simulasi Transportasi

 Sebelum meja getar ( Jalan luar kota )

Amplitudo rata-rata getaran bak truk (At)


At = ∑ (Ni x Ai)/ ∑ (Ni)

( ) ( ) ( ) ( ) ( )
At =
= 1.742 cm
Ft = 1.442 Hz
Maka : Tt = = 1/1.442 = 0.693 detik/getaran

Wt = = = 9.062 getaran/detik

Luas satu siklus bak truk jalan kota ( Lt )


Lt = ∫ Sin WT Tt dTt
=∫ ( )

= 1.742 [ ( )]

= 1.742 [ ( ( ) ( ))]
2
= 0.00115 cm /getaran

Jumlah luas seluruh getaran bak truk jalan luar kota selama 0.5 jam (Lt (0.5))
Lt(0.5) = t x f x Lt
= 30 menit x 60 detik/menit x 1.442 getaran/detik x 0.00115 cm2/getaran
= 2.985 cm2/jam

 Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan meja getar dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini :
Frekuensi rata-rata = 3.44 Hz
Amplitudo rata-rata = 5.34 cm
Dimana :
Tm = 1/fm = 1/3.44 = 0.291 detik/getaran
Wm = 2π/Tm = = 21.58 getaran/detik

Luas satu siklus getaran vibrator (Lm)


Lm = A ∫T o P Sin WT dT
Luas satu siklus getaran meja getar (simulasi) :
= 5.34 ∫

= 5.34 [ ( )]

= 5.34 [ ( ( ) ( ))]
-3 2
= 1.4848 x 10 cm /getaran

Jumlah seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Gm)

54
Gm = t x fm
= 1 x 60 menit/jam x 60 detik/menit x 3.44 getaran/detik
= 12384 getaran/jam

Jumlah luas seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Lm(1))


Lm(1) = Gm x Lm
= 12384 getaran/jam x 1.4848 x 10-3 cm2/getaran
= 18.39 cm2/jam

Kesetaraan panjang jalan selama 30 menit dengan 30 km


( )
= x 30 km
( )

= x 30 km

= 92.41 km
Karena dilakukan selama 2 jam maka panjang jalan :
= 2 x 92.41 km = 184.82 km

 Jalan buruk aspal

Amplitudo rata-rata getaran bak truk (At)


At = ∑ (Ni x Ai)/ ∑ (Ni)

( ) ( ) ( ) ( ) ( )
At =
= 1.791 cm
Frekuensi bak truk = 1.442 Hz
Maka : Tt = = 1/1.442 = 0.693 detik/getaran

Wt = = = 9.062 getaran/detik

Luas satu siklus bak truk jalan kota ( Lt )


Lt = ∫ Sin WT Tt dTt
=∫ ( )

= 1.791 [ ( )]

= 1.791 [ ( ( ) ( ))]
= 0.001186 cm2/getaran
Jumlah luas seluruh getaran bak truk jalan luar kota selama 0.5 jam (Lt (0.5))
Lt(0.5) = t x f x Lt
= 30 menit x 60 detik/menit x 1.442 getaran/detik x 0.001186 cm2/getaran
= 3.078 cm2

55
 Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan meja getar dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini :
Frekuensi rata-rata = 3.44 Hz
Amplitudo rata-rata = 5.34 cm
Tm = 1/fm = 1/3.44 = 0.291 detik/getaran
Wm = 2π/Tm = = 21.58 getaran/detik
Berdasarkan konversi angkutan truk selama 0.5 jam 30 Km, maka simulasi pengangkutan
dengan truk
selama 1 jam jalan diluar kota :

= x 15 km

= 44.8 km
Karena dilakukan selama 2 jam maka panjang jalan :
= 2 x 44.8 km = 89.6 km

56
Lampiran 6. Grafik pengujian sebaran suhu masing-masing kemasan pada awal penyimpanan

a. Kemasan tanpa ventilasi

31,0
T1
30,0
T2
29,0
Suhu( ˚C )

T3
28,0
T4
27,0
T5
26,0
TLingkungan
25,0
0 250 500 750 1000 1250 1500
Waktu (menit)

Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K1T1


pada Suhu Ruang ( 28 - 30 oC )

30
T1
26
T2
22
Suhu ( ˚C )

T3
18 T4
14 T5
10 T Lingkungan
6
0 250 500 750 1000 1250 1500
Waktu ( Menit )

Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K1T2


pada suhu pendingin ( 8 oC )

b. Kemasan ventilasi tipe circle

31,0
T1
30,0
T2
Suhu ( ˚C )

29,0
T3
28,0 T4
27,0 T5
26,0 TLingkungan

25,0
0 250 500 750 1000 1250 1500
Waktu ( menit )
Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K2T1
pada Suhu Ruang ( 28 - 30 oC )

57
30
25 T1
20 T2

Suhu ( ˚C )
T3
15
T4
10 T5
5 Tlingkungan

0
0 200 400 600 800 1000
Waktu ( menit )
Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K2T2
pada suhu pendingin ( 8 oC )

c. Kemasan ventilasi tipe oblong

31,0

30,0
T1
29,0
Suhu ( ˚C )

T2
T3
28,0
T4
27,0 T5
TLingkungan
26,0

25,0
0 250 500 750 1000 1250 1500
Waktu ( menit )

Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K3T1


pada Suhu Ruang ( 28 - 30 oC )

30
T1
25
T2
20
Suhu ( ˚C )

T3
15 T4

10 T5
TLingkungan
5

0
0 200 400 600 800
Waktu ( menit )

Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K3T2


pada suhu pendingin ( 8 oC )

58
d. Kemasan ventilasi sejajar sekat

31,0

30,0 T1

29,0 T2
Suhu ( ˚C )

T3
28,0
T4
27,0
T5
26,0 TLingkungan
25,0
0 250 500 750 1000 1250 1500
Waktu ( menit )

Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K4T1


pada Suhu Ruang ( 28 - 30 oC )

30

25 T1

20 T2
Suhu (˚C )

T3
15
T4
10
T5
5
TLingkungan
0
0 250 500 750 1000 1250
Waktu ( menit )
Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K4T2
pada suhu pendingin ( 8 oC )

59
Lampiran 7. Suhu rata-rata dalam kemasan selama penyimpanan

Kemasan Hari ke- T1 T2 T3 T4 T5 Trata-rata Stdev T Ling


0 29.2 29.1 28.9 29.1 28.6 29.0 0.22 28.6
K1T1 3 30.6 31.8 30.5 30.2 30.3 30.7 0.64 29.4
6 30.9 30.9 30.9 30.3 30.6 30.7 0.29 29.5
0 28.9 28.9 29.0 29.2 28.9 29.0 0.13 28.6
K2T1 3 29.9 30.3 30.2 30.2 30.0 30.1 0.15 29.4
6 30.1 30.4 30.3 30.2 30.1 30.2 0.13 29.5
0 29.0 28.9 28.7 28.6 28.7 28.8 0.17 28.6
K3T1 3 29.8 29.8 29.7 29.5 29.6 29.7 0.11 29.4
6 30.1 30.2 30.0 29.7 29.9 30.0 0.22 29.5
0 28.5 28.8 28.7 28.7 28.1 28.6 0.26 28.6
K4T1 3 29.4 29.7 29.6 29.6 29.1 29.5 0.26 29.4
6 29.7 30.0 30.0 29.8 29.5 29.8 0.23 29.5

Kemasan Hari ke- T1 T2 T3 T4 T5 Trata-rata Stdev T Ling


0 9.7 9.9 9.5 8.5 8.4 9.2 0.7 7.9
3 7.7 7.6 7.7 7.6 7.6 7.6 0.1 7.1
K1T2 6 7.5 7.5 7.5 7.5 7.5 7.5 0.0 7.0
9 7.6 7.5 7.6 7.5 7.5 7.5 0.1 7.1
12 7.6 7.6 7.6 7.5 7.5 7.6 0.1 7.1
0 8.1 8.5 8.0 7.5 7.9 8.0 0.3 7.9
3 7.2 7.1 7.1 7.3 7.3 7.2 0.1 7.1
K2T2 6 7.1 7.1 7.0 7.3 7.3 7.1 0.1 7.0
9 7.2 7.2 7.2 7.3 7.3 7.2 0.1 7.1
12 7.2 7.2 7.2 7.3 7.3 7.2 0.1 7.1
0 7.3 7.8 7.2 7.6 7.7 7.5 0.3 7.9
3 7.1 7.2 7.1 7.3 7.3 7.2 0.1 7.1
K3T2 6 7.1 7.0 7.0 7.2 7.2 7.1 0.1 7.0
9 7.1 7.2 7.1 7.3 7.2 7.2 0.1 7.1
12 7.1 7.2 7.1 7.2 7.2 7.2 0.1 7.1
0 7.8 8.5 8.3 8.1 8.2 8.2 0.3 7.9
3 7.2 7.4 7.4 7.6 7.6 7.5 0.2 7.1
K4T2 6 7.2 7.3 7.3 7.5 7.5 7.4 0.2 7.0
9 7.3 7.4 7.4 7.5 7.5 7.4 0.1 7.1
12 7.3 7.4 7.4 7.5 7.6 7.4 0.1 7.1

60
Lampiran 8. Persentase susut bobot buah alpukat selama penyimpanan

Perlakuan Susut Bobot Hari Ke- (%)


Ulangan
Kemasan H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
K1T1 0 7.78 14.68
K1T2 0 2.5 3.38 4.21 5.15
K2T1 0 6.07 12.25
K2T2 0 3.07 4.15 5.24 6.49
Ulangan 1
K3T1 0 6.63 12.59
K3T2 0 2.24 3.3 4.34 5.51
K4T1 0 6.69 14.09
K4T2 0 3 4.17 5.31 6.71
K1T1 0 6.41 15
K1T2 0 1.4 2.37 3.46 4.54
K2T1 0 5.45 11.23
K2T2 0 1.38 2.49 3.65 4.81
Ulangan 2
K3T1 0 5.33 11.86
K3T2 0 1.51 2.73 4.03 5.31
K4T1 0 5.34 11.43
K4T2 0 1.53 2.66 4.26 4.99

Susut Bobot Hari Ke- (%)


Perlakuan Kemasan
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
K1T1 0 7.095 14.84
K1T2 0 1.95 2.875 3.835 4.845
K2T1 0 5.76 11.74
K2T2 0 2.225 3.32 4.445 5.45
K3T1 0 5.98 12.23
K3T2 0 1.875 3.015 4.185 5.745
K4T1 0 6.015 12.76
K4T2 0 2.265 3.415 4.785 5.85

61
Lampiran 9. Perubahan total padatan terlarut buah alpukat selama penyimpanan

Perlakuan Total Padatan Terlarut (TPT)


Ulangan
Kemasan H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
K1T1 7.93 7.48 6.87
K1T2 7.84 7.59 7.6 7.64 7.78
K2T1 7.34 6.96 7.52
K2T2 7.62 7.87 7.58 7.69 7.99
Ulangan 1
K3T1 8.47 7.37 7.33
K3T2 7.26 7.56 7.86 7.67 7.58
K4T1 7.59 7.39 7.3
K4T2 7.23 7.37 7.2 7.44 7.61
K1T1 7.86 6.84 5.7
K1T2 8.37 9.07 7.7 7.78 8.1
K2T1 7.94 6.87 4.72
K2T2 7.43 8.12 8.3 8.28 8.31
Ulangan 2
K3T1 8.01 7.47 5.07
K3T2 8.37 8.78 8.24 8.74 9.73
K4T1 7.26 6.88 5.19
K4T2 7.64 8.56 7.07 8.19 8.83

TPT (Brix )
Perlakuan Kemasan
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
K1T1 7.895 7.16 6.285
K1T2 8.105 8.33 7.65 7.64 7.94
K2T1 7.64 6.915 6.12
K2T2 7.525 7.995 7.94 7.69 8.15
K3T1 8.24 7.42 6.2
K3T2 7.815 8.17 8.05 7.67 8.655
K4T1 7.425 7.135 6.245
K4T2 7.435 7.965 7.135 7.44 8.22

62
Lampiran 10. Penurunan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan

Kekerasan (Kgf)
Ulangan Perlakuan Kemasan
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
K1T1 3.1 1.6 0.41
K1T2 3.43 3.59 3.23 2.64 2.49
K2T1 3.14 2.46 0.41
K2T2 3.62 3.41 3.25 2.96 2.69
Ulangan 1
K3T1 3.4 0.86 0.29
K3T2 3.55 3.22 3.18 2.63 2.78
K4T1 3.28 1.06 0.41
K4T2 3.16 3.38 3.13 2.95 2.28
K1T1 3.04 2.4 0.55
K1T2 3.31 3.33 3.11 2.47 1.5
K2T1 3.23 2.45 0.97
K2T2 3.43 3.41 3.07 2.78 3.36
Ulangan 2
K3T1 3.49 1.91 0.22
K3T2 3.36 3.07 3.05 2.5 3.16
K4T1 3.25 2.3 0.67
K4T2 3.16 3.38 3.33 2.87 2.37

Kekerasan (Kgf)
Perlakuan Kemasan
H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
K1T1 3.07 2.00 0.48
K1T2 3.37 3.46 3.17 2.56 2.00
K2T1 3.19 2.46 0.69
K2T2 3.53 3.41 3.16 2.87 3.03
K3T1 3.45 1.39 0.26
K3T2 3.46 3.15 3.12 2.57 2.97
K4T1 3.27 1.68 0.54
K4T2 3.16 3.38 3.23 2.91 2.33

63
Lampiran 11. Kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan

Tipe H-0 H-3 H-6 H-9 H-12


Ulangan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Rusak Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Kemasan
Rusak (buah) (%) Rusak (buah) (%) (buah) (%) Rusak (buah) (%) Rusak (buah) (%)
K1T1 1 0 0 2 6.67 5 16.67 . . . .
2 0 0 2 6.67 8 26.67 . . . .
K1T2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K2T1 1 0 0 1 3.33 2 6.67 . . . .
2 0 0 0 0 8 26.67 . . . .
K2T2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K3T1 1 0 0 2 6.67 6 20.00 . . . .
2 0 0 1 3.33 5 16.67 . . . .
K3T2 1 0 0 2 6.67 2 6.67 2 6.7 2 6.7
2 0 0 0 0 0 0 1 3.3 1 3.3
K4T1 1 0 0 2 6.67 6 20 . . . .
2 0 0 1 3.33 3 10 . . . .
K4T2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

64
Lampiran 12. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat
selama penyimpanan.

Hasil Analisa ragam

Susut Bobot Hari ke-3

Sum ofSource DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 7 4.04666015 0.57809431 10.73 0.0016
suhu 1 3.95188810 3.95188810 73.36 <.0001
tipe kemasan 3 0.02931739 0.00977246 0.18 0.9061
tipe kemasan*suhu 3 0.06545466 0.02181822 0.41 0.7536
Error 8 0.43092986 0.05386623
Corrected Total 15 4.47759002
R-Square Coeff Var Root MSE susut_bobot Mean
0.903759 11.10779 0.232091 2.089444

Susut Bobot Hari ke-6

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 7 390.6347750 55.8049679 59.01 <.0001
Suhu 1 379.0809000 379.0809000 400.83 <.0001
Tipe kemasan 3 4.4240250 1.4746750 1.56 0.2732
Tipe kemasan*Suhu 3 7.1298500 2.3766167 2.51 0.1323
Error 8 7.5660000 0.9457500
Corrected Total 15 398.2007750
R-Square Coeff Var Root MSE Susut_bobot Mean
0.981000 12.12023 0.972497 8.023750

Susut Bobot Hari ke-9

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr >F


Model 3 0.97015000 0.32338333 0.60 0.6466
Suhu 0 0.00000000 . . .
Tipe Kemasan 3 0.97015000 0.32338333 0.60 0.6466
Tipe kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . .
Error 4 2.14460000 0.53615000
Corrected Total 7 3.11475000
R-Square Coeff Var Root MSE Susut_bobot Mean
0.311470 16.97908 0.732223 4.312500

Susut Bobot Hari ke-12

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr >F


Model 3 1.13423750 0.37807917 0.49 0.7088
suhu 0 0.00000000 . . .
Tipe kemasan 3 1.13423750 0.37807917 0.49 0.7088
Tipe kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . .
Error 4 3.09645000 0.77411250
Corrected Total 7 4.23068750
R-Square Coeff Var Root MSE Susut_bobot Mean
0.268098 16.17718 0.879837 5.438750

65
Lampiran 13. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kekerasan buah alpukat
selama penyimpanan.

Hasil Analisa ragam


Kekerasan Hari ke-0

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 7 0.37364375 0.05337768 7.96 0.0045
Suhu_Penyimpana 1 0.07425625 0.07425625 11.07 0.0104
Tipe kemasan 3 0.15691875 0.05230625 7.80 0.0093
Tipe kemasan*suhu 3 0.14246875 0.04748958 7.08 0.0122
Error 8 0.05365000 0.00670625
Corrected Total 15 0.42729375
R-Square Coeff Var Root MSE Kekerasan Mean
0.874442 2.474537 0.081892 3.309375

Kekerasan Hari ke-3

Sum ofSource DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 7 10.00624375 1.42946339 6.79 0.0075
Suhu_Penyimpanan 1 8.62890625 8.62890625 40.96 0.0002
Tipe Kemasan 3 0.97501875 0.32500625 1.54 0.2769
Suhu*tipe kemasan 3 0.40231875 0.13410625 0.64 0.612
Error 8 1.68515000 0.21064375
Corrected Total 15 11.69139375
R-Square Coeff Var Root MSE Kekerasan Mean
0.855864 17.55523 0.458959 2.614375

Kekerasan Hari ke-6

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 1.13423750 0.37807917 0.49 0.7088
suhu 0 0.00000000 . . .
Tipe kemasan 3 1.13423750 0.37807917 0.49 0.7088
Tipe kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . .
Error 4 3.09645000 0.77411250
Corrected Total 7 4.23068750
R-Square Coeff Var Root MSE Kekerasan Mean
0.991267 9.744321 0.178333 1.830125

Kekerasan Hari ke-9

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 0.21950000 0.07316667 6.92 0.0462
Suhu 0 0.00000000 . . .
Tipe kemasan 3 0.21950000 0.07316667 6.92 0.0462
Tipe kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . .
Error 4 0.04230000 0.01057500
Corrected Total 7 0.26180000
R-Square Coeff Var Root MSE kekerasan Mean
0.838426 3.773755 0.102835 2.725000

Kekerasan Hari ke-12

Sum of source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 1.51473750 0.50491250 2.55 0.1935
Suhu 0 0.00000000 . . .
Tipe kemasan 3 1.51473750 0.50491250 2.55 0.1935
TipeKemasan*Suhu 0 0.00000000 . . .
Error 4 0.79075000 0.19768750
Corrected Total 7 2.30548750
R-Square Coeff Var Root MSE kekerasan Mean
0.657014 17.24171 0.444621 2.578750

66
Lampiran 14. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan total padatan terlarut
buah alpukat selama penyimpanan.

Hasil Analisa ragam

Total padatan terlarut Hari ke-0

Sum ofSource DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 7 1.31630000 0.18804286 1.25 0.3767
Tipe Kemasan 3 1.07825000 0.35941667 2.39 0.1440
Suhu 1 0.02560000 0.02560000 0.17 0.6905
Tipe Kemasan*Suhu 3 0.21245000 0.07081667 0.47 0.7104
Error 8 1.20130000 0.15016250
Corrected Total 15 2.51760000
R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean
0.522839 4.993661 0.387508 7.760000

Total padatan terlarut Hari ke-3

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 7 4.09597500 0.58513929 1.60 0.2613
Kemasan 3 0.30927500 0.10309167 0.28 0.837
Suhu 1 3.66722500 3.66722500 10.04 0.0132
Kemasan*Suhu 3 0.11947500 0.03982500 0.11 0.95241
Error 8 2.92260000 0.36532500
Corrected Total 15 7.01857500
R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean
0.583591 7.915157 0.604421 7.636250

Total padatan terlarut Hari ke-6


Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 7 9.80979375 1.40139911 1.15 0.4191
Kemasan 3 0.41956875 0.13985625 0.11 0.9488
Suhu 1 8.77640625 8.77640625 7.22 0.0277
Kemasan*Suhu 3 0.61381875 0.20460625 0.17 0.9148
Error 8 9.72915000 1.21614375
Corrected Total 15 19.53894375
R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean
0.502064 15.86034 1.102789 6.953125

Total padatan terlarut Hari ke-9


Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr> F
Model 3 0.28053750 0.09351250 0.36 0.7859
Suhu 0 0.00000000 . . .
Tipe_Kemasan 3 0.28053750 0.09351250 0.36 0.7859
Tipe_Kemasan*Suhu 0 0.00000000 . . .
Error 4 1.03755000 0.25938750
Corrected Total 7 1.31808750
R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean
0.212837 6.423471 0.509301 7.928750

Total padatan terlarut Hari ke-12

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 0.54143750 0.18047917 0.23 0.8723
Suhu 0 0.00000000 . . .
Tipe_Kemasan 3 0.54143750 0.18047917 0.23 0.8723
Suhu*Tipe_Kemasan 0 0.00000000 . .
Error 4 3.15785000 0.78946250
Corrected Total 7 3.69928750
R-Square Coeff Var Root MSE tpt Mean
0.146363 10.78134 0.888517 8.241250

67
Lampiran 15. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam kemasan
selama penyimpanan pada suhu ruang.

Hasil Analisa ragam

Suhu hari ke-0

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 0.60150000 0.20050000 4.48 0.01
Error 16 0.71600000 0.04475000
Tipe_kemasan 3 0.60150000 0.20050000 4.48 0.0182
Corrected Total 19 1.31750000
R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean
0.456546 0.733884 0.211542 28.82500

Suhu hari ke-3

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 4.24600000 1.41533333 10.93 0.0004
Tipe_kemasan 3 4.24600000 1.41533333 10.93 0.0004
Error 16 2.07200000 0.12950000
Corrected Total 19 6.31800000
R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean
0.672048 1.199937 0.359861 29.9900

Suhu hari ke-6

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 2.38800000 0.79600000 18.62 <.0001
Tipe_kemasan 3 2.38800000 0.79600000 18.62 <.0001
Error 16 0.68400000 0.04275000
Corrected Total 19 3.07200000
R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean
0.777344 0.685092 0.206761 30.18000

68
Lampiran 16. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam kemasan
selama penyimpanan suhu 8

Hasil Analisa ragam

Suhu hari ke-0

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 7.50150000 2.50050000 13.27 0.0001
Tipe_kemasan 3 7.50150000 2.50050000 13.27 0.0001
Error 16 3.01600000 0.18850000
Corrected Total 19 10.51750000
R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean
0.713240 5.278612 0.434166 8.225000

Suhu hari ke-3

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 0.67800000 0.22600000 17.73 <.0001
Tipe_kemasan 3 0.67800000 0.22600000 17.73 <.0001
Error 16 0.20400000 0.01275000
Corrected Total 19 0.88200000
R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean
0.768707 1.532102 0.112916 7.370000

Suhu hari ke-6

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 0.50800000 0.16933333 14.72 <.0001
Tipe_kemasan 3 0.50800000 0.16933333 14.72 <.0001
Error 16 0.18400000 0.01150000
Corrected Total 19 0.69200000
R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean
0.734104 1.473050 0.107238 7.280000

Suhu hari ke-9

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 0.40950000 0.13650000 27.30 <.0001
Tipe_kemasan 3 0.40950000 0.13650000 27.30 <.0001
Error 16 0.08000000 0.00500000
Corrected Total 19 0.48950000
R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean
0.836568 0.962705 0.070711 7.345000

Suhu hari ke-12

Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 0.50200000 0.16733333 30.42 <.0001
Tipe_kemasan 3 0.50200000 0.16733333 30.42 <.0001
Error 16 0.08800000 0.00550000
Corrected Total 19 0.59000000
R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean
0.850847 1.009007 0.074162 7.350000

69
Lampiran 17. Penampakan buah alpukat masing-masing kemasan pada akhir penyimpanan

70

You might also like