Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

Occasional anxiety is an expected part of life.

Someone might feel anxious when faced


with a problem at work, before taking a test, or before making an important decision. But
anxiety disorders involve more than temporary worry or fear. For a person with an
anxiety disorder, the anxiety does not go away and can get worse over time. The
symptoms can interfere with daily activities such as job performance, school work, and
relationships. There are several types of anxiety disorders, including generalized
anxiety disorder, panic disorder, and various phobia-related disorders. This paper deals
specifically with anxiety disorders experienced by medical students.

Kecemasan sesekali merupakan bagian dari kehidupan yang diharapkan. Anda


mungkin merasa cemas saat menghadapi masalah di tempat kerja, sebelum mengikuti
tes, atau sebelum membuat keputusan penting. Tetapi gangguan kecemasan
melibatkan lebih dari sekedar kekhawatiran atau ketakutan sementara. Bagi seseorang
dengan gangguan kecemasan, kecemasan tersebut tidak kunjung hilang dan bisa
menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu. Gejalanya dapat mengganggu aktivitas sehari-
hari seperti prestasi kerja, tugas sekolah, dan hubungan. Ada beberapa jenis gangguan
kecemasan, di antaranya gangguan kecemasan umum, gangguan panik, dan berbagai
gangguan terkait fobia. dalam tulisan ini dibahas secara khusus gangguan kecemasan
yang dialami oleh mahasiswa kedokteran.

Medical schools around the world aim to train and produce competent and empathetic physicians
to help the sick, advance medical knowledge, and promote public health. However, medical
education is considered to be one of the most academically and emotionally demanding training
programs out of any profession, and consequently, the time and emotional commitment
necessary for medical students to devote to their training is extensive. Such demands and stress
cause a negative effect on the students’ psychological well-being, and can precipitate depression
and anxiety. Anxiety, although as common and arguably as debilitating as depression, has
garnered less attention and is often undetected and undertreated in the general population. In
addition to intense feelings of fear or panic, sufferers of anxiety can experience other
physiological symptoms including fatigue, dizziness, headaches, nausea, abdominal pain,
palpitations, shortness of breath, and urinary incontinence. Anxiety can also impair goal-directed
attention and concentration, working memory, and perceptual-motor function, all of which are
important domains which enable medical students and physicians to provide safe and efficacious
medical care to patients.

Sekolah kedokteran di seluruh dunia bertujuan untuk melatih dan menghasilkan dokter
yang kompeten dan empati untuk membantu orang sakit, memajukan pengetahuan
medis, dan meningkatkan kesehatan masyarakat [1]. Namun, pendidikan kedokteran
dianggap sebagai salah satu program pelatihan yang paling menuntut secara akademis
dan emosional dari semua profesi [2], dan akibatnya, waktu dan komitmen emosional
yang diperlukan bagi mahasiswa kedokteran untuk mengabdikan diri pada pelatihan
mereka sangat luas. Tuntutan dan stres tersebut menyebabkan efek negatif pada
kesejahteraan psikologis siswa [3], dan dapat memicu depresi dan kecemasan [4].
Kecemasan, meskipun umum dan bisa dibilang melemahkan seperti depresi [5], telah
mendapatkan lebih sedikit perhatian dan sering tidak terdeteksi dan tidak diobati [6]
pada populasi umum. Selain perasaan takut atau panik yang intens [7], penderita
kecemasan dapat mengalami gejala fisiologis lainnya termasuk kelelahan, pusing, sakit
kepala, mual, sakit perut, jantung berdebar, sesak napas, dan inkontinensia urin [8].
Kecemasan juga dapat mengganggu perhatian dan konsentrasi yang diarahkan pada
tujuan [9], memori kerja [10], dan fungsi motorik perseptual [11], yang semuanya
merupakan domain penting yang memungkinkan mahasiswa kedokteran dan dokter
untuk memberikan perawatan medis yang aman dan efektif kepada pasien. .

Medical Students are students training to become physicians. In the Indonesia, undergraduate medical
education consists of 3,5 years of study in school of medicine, and 2 years doctor Profession school.

Mahasiswa Kedokteran adalah mahasiswa yang dididik menjadi dokter. Di Indonesia, pendidikan sarjana
kedokteran terdiri dari 3,5 tahun studi di sekolah kedokteran, dan 2 tahun sekolah profesi dokter.

In most indonesia medical schools, students spend the first 3,5 years of study primarily in classrooms,
seminar sessions, and laboratories, and only enter the clinical setting for basic training in medical history
taking and physical examination or as observers.

Then, beginning in the fourth year of medical school, Medical Students participate in clerkships in
various clinical departments and medical and surgical specialties. During these clerkships or rotations,
they continue to function primarily as students, but their role is more applied to real time patient care.
This becomes even more hands-on during the fourth year of medical school during subinternships.

Di sebagian besar sekolah kedokteran di Indonesia, siswa menghabiskan 3,5 tahun pertama studi
terutama di ruang kelas, sesi seminar, dan laboratorium, dan hanya memasuki pengaturan klinis untuk
pelatihan dasar dalam pengambilan riwayat medis dan pemeriksaan fisik atau sebagai pengamat.

Kemudian, mulai tahun keempat sekolah kedokteran, Mahasiswa Kedokteran berpartisipasi dalam
kepaniteraan di berbagai departemen klinis dan spesialisasi medis dan bedah. Selama juru tulis atau
rotasi ini, mereka terus berfungsi terutama sebagai pelajar, tetapi peran mereka lebih diterapkan pada
perawatan pasien waktu nyata. Ini menjadi lebih praktis selama tahun keempat sekolah kedokteran
selama subinternships.
Medical students have a school schedule that is rigorous and demanding. While learning the skills to
counsel and care for a broad range of patients and diseases, self-care and exercise often are not the
priority. However, knowing that moderate exercise can improve mood and sleep and lead to a sense
of well-being, it should be thought of as an essential part of every medical student’s busy schedule
(I. Aronson, Kerri & Dana Zappetti 2019)1. A combination of a lot of assignments and busy
lectures in a short time, makes medical students vulnerable to anxiety disorders.

Mahasiswa kedokteran memiliki jadwal sekolah yang ketat dan menuntut. Sementara mempelajari
keterampilan untuk menasihati dan merawat berbagai macam pasien dan penyakit, perawatan diri dan
olahraga sering kali tidak menjadi prioritas. Namun, mengetahui bahwa olahraga ringan dapat
meningkatkan suasana hati dan tidur serta mengarah pada perasaan sejahtera, ini harus dianggap
sebagai bagian penting dari jadwal sibuk setiap mahasiswa kedokteran (I. Aronson, Kerri & Dana
Zappetti 2019).

Anxiety is the body's natural reaction to stress, which can actually make us more careful and alert.
However, anxiety can be unhealthy if it appears excessively, is difficult to control, or it interferes with
daily activities. This condition is known as an anxiety disorder.

Rasa cemas merupakan reaksi alami tubuh terhadap stres, yang sebenarnya bermanfaat untuk
membuat kita menjadi lebih berhati-hati dan waspada. Namun, rasa cemas bisa menjadi tidak
sehat jika muncul secara berlebihan, sulit dikontrol, atau sampai mengganggu aktivitas sehari-
hari. Kondisi ini disebut sebagai gangguan kecemasan.

A mental health disorder characterized by feelings of worry, anxiety, or fear strong enough to
interfere with daily activities. Examples of anxiety disorders include panic attacks, obsessive-
compulsive disorder, and post-traumatic stress disorder. Symptoms include stress that is
incompatible with the impact of the event, an inability to dismiss worries, and anxiety.

Gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan perasaan khawatir, cemas, atau takut yang
cukup kuat untuk mengganggu aktivitas sehari-hari. Contoh gangguan kecemasan yaitu
serangan panik, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan stres pascatrauma. Gejala berupa
stres yang tidak sesuai dengan dampak peristiwa, ketidakmampuan untuk menepis
kekhawatiran, dan gelisah.
Our findings suggest a high prevalence of anxiety among medical students. A previous
systematic review by Hope et al. found the prevalence of anxiety among medical students
outside of North America to range between 7.7% and 65.5%. Similarly, a systematic review of
anxiety among medical students in North America described a high prevalence rate as compared
to age-matched general population. In this study, we found a pooled prevalence of anxiety
ranging from 29.2% to 38.7% among medical students globally. As a comparison, the prevalence
of anxiety among the general population was found to be 3% as screened by the DASS-21, 8.2%
as screened by the GAD-7, not more than 10% as screened by the BAI-21 and not more than
25% as screened by the HADS-A (Maser, Brandon MD, et al. 2019).

Temuan kami menunjukkan prevalensi kecemasan yang tinggi di kalangan mahasiswa


kedokteran. Tinjauan sistematis sebelumnya oleh Hope et al. [ 12 ] menemukan prevalensi
kecemasan di kalangan mahasiswa kedokteran di luar Amerika Utara berkisar antara 7,7% dan
65,5%. Demikian pula, tinjauan sistematis kecemasan di kalangan mahasiswa kedokteran di
Amerika Utara menggambarkan tingkat prevalensi yang tinggi dibandingkan dengan populasi
umum yang sesuai dengan usia [ 1 ]. Dalam studi ini, kami menemukan prevalensi kecemasan
yang dikumpulkan mulai dari 29,2% hingga 38,7% di antara mahasiswa kedokteran di seluruh
dunia. Sebagai perbandingan, prevalensi kecemasan di antara populasi umum ditemukan menjadi
3% seperti yang disaring oleh DASS-21 [ 96 ], 8,2% seperti yang disaring oleh GAD-7 [ 97 ],
tidak lebih dari 10% seperti yang disaring oleh BAI-21 [ 98] dan tidak lebih dari 25% seperti
yang disaring oleh HADS-A [ 99 ].

It is no surprise that medical students experience a much higher prevalence of anxiety compared
to the general population. There are many factors that can explain this. Medical schools preselect
for people who tend to be more neurotic and perfectionistic, and such personality traits
predispose an individual to anxiety. Anxiety can be precipitated in situations such as when self-
set lofty goals by these ambitious medical students are not met. Other factors like academic
workload, consequent sleep deprivation, financial burden, exposure to deaths of patients and
student abuse [] have also been postulated to be possible reasons for medical students’ high rate
of anxiety. Medical schools can help medical students by addressing some of the modifiable
factors listed above. For example, frequent reminders about sleep hygiene and its effect on
mental health can be sent through e-mails to students. School counsellors can check in with
students identified to be financially burdened (e.g., students on tuition loan or financial aid) on a
frequent basis to find out if they require additional financial help. Medical schools should also
have a robust and anonymized platform for students to give feedback on abusive medical
educators and readily provide psychological support to students affected.

Tidaklah mengherankan jika mahasiswa kedokteran mengalami prevalensi kecemasan yang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan hal
ini. Sekolah kedokteran memilih sebelumnya untuk orang-orang yang cenderung lebih neurotik
dan perfeksionis [ 100 ], dan ciri-ciri kepribadian seperti itu mempengaruhi seseorang untuk
mengalami kecemasan [ 101 ]. Kecemasan dapat dipicu dalam situasi seperti ketika tujuan luhur
yang ditetapkan sendiri oleh mahasiswa kedokteran yang ambisius ini tidak terpenuhi. Faktor-
faktor lain seperti beban kerja akademis [ 102 ], akibat kurang tidur [ 103 ], beban keuangan
[ 103 ], paparan kematian pasien [ 104 ] dan pelecehan pelajar [] juga telah didalilkan menjadi
kemungkinan alasan tingginya tingkat kecemasan mahasiswa kedokteran. Sekolah kedokteran
dapat membantu mahasiswa kedokteran dengan menangani beberapa faktor yang dapat
dimodifikasi yang tercantum di atas. Misalnya, pengingat rutin tentang kebersihan tidur dan
pengaruhnya terhadap kesehatan mental dapat dikirim melalui email kepada siswa. Konselor
sekolah dapat memeriksa siswa yang diidentifikasi memiliki beban keuangan (misalnya, siswa
dengan pinjaman uang sekolah atau bantuan keuangan) secara berkala untuk mengetahui apakah
mereka memerlukan bantuan keuangan tambahan. Sekolah kedokteran juga harus memiliki
platform yang kuat dan anonim bagi siswa untuk memberikan umpan balik tentang pendidik
medis yang kasar dan siap memberikan dukungan psikologis kepada siswa yang terkena dampak.

When comparing the prevalence of anxiety in medical students among different continents, we
found that Middle Eastern and Asian medical students had the highest prevalence of anxiety. We
hypothesize that this could be due to the differing views and level of acceptance of people with
mental illness in different cultures. For instance, it has been described that people in the Middle
East value ‘concealing emotion’. Sharing how one feels with another is uncommon in Middle
Eastern cultures, leading to stigmatization towards seeking help from a mental health
professional. In Asian cultures, being diagnosed with a mental illness is thought to reflect the
patient’s family weakness and is perceived to be shameful. In contrast, it was found that people
of Caucasian descent have a lower rate of stigmatization towards mental illness than other socio-
cultural groups. Hence, the leaders of medical schools have to take into consideration the unique
sociocultural context in developing strategies to tackle anxiety among medical students (et.al,
2019).

Ketika membandingkan prevalensi kecemasan pada mahasiswa kedokteran di antara berbagai benua,
kami menemukan bahwa mahasiswa kedokteran Timur Tengah dan Asia memiliki prevalensi kecemasan
tertinggi. Kami berhipotesis bahwa ini mungkin karena perbedaan pandangan dan tingkat penerimaan
orang dengan penyakit mental dalam budaya yang berbeda. Misalnya, telah dijelaskan bahwa orang-
orang di Timur Tengah menghargai 'menyembunyikan emosi'. Berbagi perasaan dengan orang lain
adalah hal yang tidak biasa dalam budaya Timur Tengah, yang mengarah pada stigmatisasi untuk
mencari bantuan dari seorang profesional kesehatan mental [ 106 ]. Dalam budaya Asia, didiagnosis
dengan penyakit mental dianggap mencerminkan kelemahan keluarga pasien dan dianggap memalukan
[]. Sebaliknya, ditemukan bahwa orang keturunan Kaukasia memiliki tingkat stigmatisasi yang lebih
rendah terhadap penyakit mental dibandingkan kelompok sosial budaya lainnya [ 108 ]. Oleh karena itu,
para pemimpin sekolah kedokteran harus mempertimbangkan konteks sosial budaya yang unik dalam
mengembangkan strategi untuk mengatasi kecemasan di kalangan mahasiswa kedokteran.

From the results of research BMC Medical Education said that, In the 21 identified studies, 11 reported
on the prevalence of anxiety. Based on the 11 articles, the prevalence of anxiety ranged from 8.54 to
88.30%. The mean prevalence of anxiety was 27.22%. However, 6 different assessment tools were used
in different articles. For example, the Beck Anxiety Inventory (BAI) defined a score of > 5 out of 63 to
indicate anxiety. The Hamilton Anxiety Scale (HAMA) defined a score of > 14 out of 56 to indicate
anxiety. The Self-rating Anxiety Scale (SAS) defined a score of > 40 out of 80 to indicate anxiety. Amongst
all the determinants evaluated, the anxiety analysis identified 20 relevant determinants, including 13
individual factors, six social and economic factors, and one environmental factor.

dari hasil penelitian BMC Medical Education mengatakan bahwa, Dalam 21 studi yang diidentifikasi, 11
melaporkan tentang prevalensi kecemasan. Berdasarkan 11 artikel, prevalensi kecemasan berkisar
antara 8,54 sampai 88,30%. Prevalensi rata-rata kecemasan adalah 27,22%. Namun, 6 alat penilaian
yang berbeda digunakan dalam artikel yang berbeda. Misalnya, Beck Anxiety Inventory (BAI)
mendefinisikan skor> 5 dari 63 untuk mengindikasikan kecemasan. Hamilton Anxiety Scale (HAMA)
menentukan skor dari> 14 dari 56 untuk menunjukkan kecemasan. Peringkat Diri Skala Kecemasan (SAS)
mendefinisikan skor> 40 dari 80 untuk menunjukkan kecemasan. Di antara semua faktor penentu yang
dievaluasi, kecemasan Analisis mengidentifikasi 20 faktor penentu yang relevan, termasuk 13 faktor
individu, enam faktor sosial dan ekonomi, dan salah satu faktor lingkungan.

People with generalized anxiety disorder (GAD) display excessive anxiety or worry,
most days for at least 6 months, about a number of things such as personal health,
work, social interactions, and everyday routine life circumstances. The fear and anxiety
can cause significant problems in areas of their life, such as social interactions, school,
and work. Generalized anxiety disorder symptoms include: 1)Feeling restless, wound-
up, or on-edge, 2)Being easily fatigued, 3)Having difficulty concentrating; mind going
blank, 4)Being irritable, 5)Having muscle tension, 6)Difficulty controlling feelings of
worry, 7)Having sleep problems, such as difficulty falling or staying asleep,
restlessness, or unsatisfying sleep.

Orang dengan gangguan kecemasan umum (GAD) menunjukkan kecemasan atau


kekhawatiran yang berlebihan, hampir setiap hari selama minimal 6 bulan, tentang
sejumlah hal seperti kesehatan pribadi, pekerjaan, interaksi sosial, dan keadaan
kehidupan rutin sehari-hari. Ketakutan dan kecemasan dapat menyebabkan masalah
yang signifikan dalam bidang kehidupan mereka, seperti interaksi sosial, sekolah, dan
pekerjaan. Gejala gangguan kecemasan umum meliputi: 1) Merasa gelisah, bingung,
atau gelisah, 2) Mudah lelah, 3) Mengalami kesulitan berkonsentrasi; keberatan
menjadi kosong, 4) Menjadi mudah tersinggung, 5) Mengalami ketegangan otot, 6)
Kesulitan mengendalikan perasaan khawatir, 7) Mengalami masalah tidur, seperti sulit
tidur atau tertidur, gelisah, atau tidur yang tidak memuaskan.
Treatment decisions are based on how significantly generalized anxiety disorder affects a person's ability
to function in everyday life. The two main treatments for generalized anxiety disorder are
psychotherapy and medication. Treatment can get the maximum benefit from the combination of the
two. It may take some trial and error to find which treatment works best.

Other possible solutions include, talk therapy or psychological counseling, psychotherapy involves
working with a therapist to reduce symptoms of anxiety. Cognitive behavioral therapy is the most
effective form of psychotherapy for generalized anxiety disorders.

Generally short-term treatment, cognitive behavioral therapy focuses on teaching specific skills to
directly manage worry and help gradually return to activities that have been avoided due to anxiety.
Through this process, a person's symptoms improve as they build on success.

Keputusan pengobatan didasarkan pada seberapa signifikan gangguan kecemasan umum memengaruhi
kemampuan Seseorang untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Dua pengobatan utama untuk
gangguan kecemasan umum adalah psikoterapi dan pengobatan. Pengobatan bisa mendapatkan
keuntungan maksimal dari kombinasi keduanya. Mungkin perlu beberapa percobaan dan kesalahan
untuk menemukan perawatan mana yang paling cocok.

Solusi lain yang dapat dilakukan berupa, terapi bicara atau konseling psikologis, psikoterapi melibatkan
bekerja dengan terapis untuk mengurangi gejala kecemasan. Terapi perilaku kognitif adalah bentuk
psikoterapi paling efektif untuk gangguan kecemasan umum.

Umumnya pengobatan jangka pendek, terapi perilaku kognitif berfokus pada mengajari keterampilan
khusus untuk secara langsung mengelola kekhawatiran dan membantu secara bertahap kembali ke
aktivitas yang telah dihindari karena kecemasan. Melalui proses ini, gejala seseorang membaik saat
membangun kesuksesan.

From the results of research on Mental Health of Medical Students in Different Levels of Training in U.S
America, the prevalence of psychological morbidity among Iranian undergraduate medical students in
different levels of training. Nearly half of the students scored above threshold on the scale measuring
psychological distress (GHQ), indicating significant mental problems. The results revealed that the
medical students had a higher level of psychological distress compared to their peers in Iranian general
population (44%). In addition, the percentage of psychological morbidity determined by this study (50%)
was found to be higher than those reported by Guthrie et al. Aktekin et al. reported that the prevalence
of psychological distress was 48% in the second-year Turkish medical students. Also a lower prevalence
of psychological morbidity was reported among Nepalese medical students (21%).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai prevalensi morbiditas psikologis di kalangan mahasiswa
kedokteran Iran di berbagai tingkat pelatihan. Hampir setengah dari siswa mendapat skor di atas
ambang batas pada skala pengukuran tekanan psikologis (GHQ), yang menunjukkan masalah mental
yang signifikan. Hasilnya mengungkapkan bahwa mahasiswa kedokteran memiliki tingkat tekanan
psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di populasi umum Iran (44%).
[ 19 ] Selain itu, persentase morbiditas psikologis yang ditentukan oleh penelitian ini (50%) ditemukan
menjadi lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Guthrie et al . [ 4 ] Aktekin et al . melaporkan bahwa
prevalensi tekanan psikologis adalah 48% pada mahasiswa kedokteran Turki tahun kedua. [17 ] Juga
prevalensi morbiditas psikologis yang lebih rendah dilaporkan di antara mahasiswa kedokteran Nepal
(21%). [ 23 ]

From Mental health of medical students in different levels of training. International journal of preventive
medicine journal, said : We received a total of 4,613 valid participants out of 11,469 students who
received the survey, a participation rate of 40.2% (Table 1). There were no significant
differences between early respondents and late respondents for gender, year of study, mean K6
score, mood disorders, anxiety disorders, or suicidal ideation. However, late respondents (mean
age = 25.38 years, SD = 3.40) were significantly older than early respondents (mean age =
23.91 years, SD = 3.35, P < .001), with a mean age difference of 1.47 years. Analyses were run
using both weighted and unweighted data, and there were no significant differences between
weighted and unweighted results. Data were also compared between respondents from the
entire first (November–December 2015) and second (February–March 2016) response periods
to determine whether the timing of response was associated with differing outcomes. As with
early and late respondents, participants in the second response period were significantly older
than those in the first response period (P < .001). There was also a significant difference in year
of study between these 2 response periods (P < .001), with second-year students being more
likely to have responded in the first response period. However, there were no significant
differences between these 2 response periods for gender, mean K6 score, mood disorders,
anxiety disorders, or suicidal ideation (Maser, Brandon MD, et. Al 2019).

Kami menerima total 4.613 peserta yang valid dari 11.469 siswa yang menerima survei, tingkat
partisipasi 40,2% ( Tabel 1 ). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara responden awal dan
akhir untuk jenis kelamin, tahun studi, skor K6 rata-rata, gangguan mood, gangguan
kecemasan, atau keinginan untuk bunuh diri. Namun, responden yang terlambat (usia rata-rata
= 25,38 tahun, SD = 3,40) secara signifikan lebih tua daripada responden awal (usia rata-rata =
23,91 tahun, SD = 3,35, P<0,001), dengan perbedaan usia rata-rata 1,47 tahun. Analisis
dijalankan menggunakan data tertimbang dan tidak tertimbang, dan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara hasil tertimbang dan tidak tertimbang. Data juga dibandingkan antara
responden dari seluruh periode tanggapan pertama (November – Desember 2015) dan kedua
(Februari – Maret 2016) untuk menentukan apakah waktu tanggapan dikaitkan dengan hasil
yang berbeda. Seperti pada responden awal dan akhir, peserta pada periode respons kedua
secara signifikan lebih tua dibandingkan dengan responden pada periode respons pertama ( P
< .001). Ada juga perbedaan yang signifikan selama tahun studi antara 2 periode respon ini ( P
<0,001), dengan siswa tahun kedua lebih cenderung merespons pada periode respons
pertama. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara 2 periode respons ini untuk jenis
kelamin, skor K6 rata-rata, gangguan mood, gangguan kecemasan, atau keinginan untuk bunuh
diri.

1. I. Aronson, Kerri & Dana Zappetti 2019. Incorporating Exercise into a Busy Life in
Medical School. In book: Medical Student Well-Being (pp.97-107)
2. Goodwin, G.M. (2015). The Overlap Between Anxiety, Depression, and Obsessive-
Compulsive Disorder. Dialogues in Clinical Neuroscience. 17(3), pp. 249–260.

3. National Health Service UK (2017). Health A to Z. Social Anxiety (Social Phobia).

4. National Institutes of Health (2018). National Institute of Mental Health. Anxiety


Disorders.

5. American Psychological Association (2008). FYI Anxiety Disorders: The Role of


Psychotherapy in Effective Treatment.

6. Chandavarkar, U., Azzam, A., & Mathews, C. A. (2007). Anxiety symptoms and perceived
performance in medical students. Depression and anxiety, 24(2), 103-111.

7. Tian-Ci Quek, T., Tam, W. S., X Tran, B., Zhang, M., Zhang, Z., Su-Hui Ho, C., & Chun-Man Ho,
R. (2019). The global prevalence of anxiety among medical students: a meta-
analysis. International journal of environmental research and public health, 16(15), 2735.

8. Mao, Y., Zhang, N., Liu, J., Zhu, B., He, R., & Wang, X. (2019). A systematic review of
depression and anxiety in medical students in China. BMC medical education, 19(1), 1-13.

9. uthrie E, Black D, Bagalkote H, Shaw C, Campbell M, Creed F. Psychological stress and burnout in
medical students: A five-year prospective longitudinal study. J R Soc Med.  1998;91:237–43.
10. Maser, Brandon MD; Danilewitz, Marlon MD; Guérin, Eva PhD; Findlay, Leanne PhD; Frank,
Erica MD, MPH 2019. Medical Student Psychological Distress and Mental Illness Relative to
the General Population: A Canadian Cross-Sectional Survey, Academic Medicine: Volume
94 - Issue 11 - p 1781-1791 doi: 10.1097/ACM.0000000000002958.

11. Jafari, N., Loghmani, A., & Montazeri, A. (2012). Mental health of medical students in different
levels of training. International journal of preventive medicine, 3(Suppl1), S107.

12. Thinagar, M., & Westa, W. Tingkat Kecemasan Antara Mahasiswa Kedokteran dari Universitas
Udayana dan Implikasinya Pada Hasil Ujian.

13. Bandelow, B., Michaelis, S., & Wedekind, D. (2017). Treatment of Anxiety Disorders.
Dialogues in Clinical Neuroscience. 19(2), pp. 93-107.

You might also like