Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 33

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342820864

Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) Unggul


(F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera selatan

Chapter · December 2019

CITATIONS READS

0 1,159

4 authors, including:

Imam Muslimin Agus Kurniawan


Forestry Research and Development Agency Environment and Forestry Research and Development Agency of Palembang
10 PUBLICATIONS   11 CITATIONS    8 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Syaiful Islam
Universitas Padjadjaran
2 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

The potential of degenerative medicinal plants in South Sumatra View project

Funding by Environment and Forestry Research and Development Agency Of Palembang View project

All content following this page was uploaded by Imam Muslimin on 09 July 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Bunga Rampai Editor:
M. Hesti Lestari Tata
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Indonesia untuk Mendukung Bunga Rampai
Sustainable Development Goals Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Indonesia untuk Mendukung
Sustainable Development Goals

Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung


Sustainable Development Goals

Bunga Rampai

Kehutanan
ISBN : 978-602-440-992-0
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Indonesia untuk Mendukung
Sustainable Development Goals

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan


Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Bogor, Desember 2019
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Indonesia untuk Mendukung
Sustainable Development Goals

Reviewer:
Nina Mindawati
Totok Kartono Waluyo

Editor:
M. Hesti Lestari Tata

Penerbit IPB Press


Jalan Taman Kencana No. 3,
Kota Bogor - Indonesia

C.01/12.2019
Judul Buku:
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung
Sustainable Development Goals

Tim Penyusun:
Hesti Lestari Tata, Merryana Kiding Allo, Aswandi, Cut Rizlani Kholibrina,
Imam Muslimin, Agus Kurniawan, Kusdi, Syaiful Islam, Antun Puspanti,
Septina Asih Widuri, Noorcahyati, Yusub Wibisono, Mardi T. Rengku,
Retno Agustarini, Yetti Heryati, Michael Daru Enggar Wiratmoko, Avry Pribadi,
Andika Silva Y., Syasri Janetta, Ramiduk Nainggolan, Lolia Shanti, Rozy Hardinasty,
Nurhaeda Muin, Nur Hayati, Wahyudi Isnan, Zainuddin, Lincah Andadari,
Asmanah Widarti, Andrian Fernandes, Rizki Maharani, Gusmailina, Gustan Pari,
Sri Komarayati, Nur Adi Saputra
Reviewer:
Nina Mindawati
Totok Kartono Waluyo
Editor:
Dr. Hesti Lestari Tata, SSi. MSi.
Desain Sampul & Penata Isi:
Makhbub Khoirul Fahmi
Jumlah Halaman:
246 + 22 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Desember 2019

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: penerbit.ipbpress@gmail.com
www.ipbpress.com

ISBN: 978-602-440-993-7

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku


tanpa izin tertulis dari penerbit
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
limpahan karunia-Nya sehingga buku bunga rampai “Pengembangan Hasil
Hutan Bukan Kayu untuk Mendukung Sustainable Development Goals” ini
dapat diselesaikan.
Buku ini merupakan persembahan dan hasil karya para Peneliti Badan Litbang
dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang terlibat
dalam kegiatan Rencana Penelitian dan Pengembangan (RPPIg) Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK), selama tiga tahun mulai dari tahun 2017-2019.
Kegiatan RPPI pengembangan HHBK merupakan upaya pencapaian target
Rencana Strategis KLHK dan lebih jauh berkontribusi dalam pencapaian
target tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals,
SDG). Pengelolaan HHBK secara lestari akan mendukung 7 target dari 17
target SDGs yang sudah dicanangkan akan tercapai pada tahun 2030.
Pengembangan HHBK memerlukan koordinasi dan integrasi berbagai
sektor dan para pihak mulai dari hulu di penyediaan bahan baku, hingga ke
bagian hilir, pada proses produksi dan industry. Selain dukungan pendanaan
dan kebijakan yang kondusif.
Buku ini membahas sebagian komponen dalam pengembangan dan
pengelolaan beberapa komoditas HHBK, yaitu meliputi aspek teknologi
budidaya untuk menyediaan bahan baku, aspek lingkungan, manusia dan
manajemennya, serta aspek diversifikasi produk HHBK. Semua aspek yang
dibahas dalam buku ini memiliki relevansinya terhadap tujuan pembangunan
berkelanjutan (atau SDG).
Kami menyadari buku bunga rampai ini masih banyak kekurangannya.
Tetapi kami berharap buku ini dapat menjadi landasan bagi berbagai pihak
yang berminat mengelaborasi praktik-praktik terbaik dalam pengembangan
HHBK di Indonesia. Besar harapan kami agar buku bunga rampai ini
bisa menjadi referensi, lesson learned, dan alat penyadartahuan terkait
pengembangan dan pengelolaan HHBK.
Terima kasih kami ucapkan kepada para penulis yang telah berkontribusi
dalam buku bunga rampai ini, Peer Review, Tim Editor, Tim Sekretariat,
dan pihak Penerbit, yang telah membantu penyusunan buku bunga rampai
ini.
Semoga buku Bunga Rampai ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2019


Kepala Pusat
Penelitian & Pengembangan Hutan

Dr. Ir. Kirsfianti Linda Ginoga, M.Sc.


BAB 6
BUDIDAYA TANAMAN KAYU
PUTIH (Melaleuca cajuputi Subs.
Cajuputi) UNGGUL (F1) DI KHDTK
KEMAMPO, SUMATERA SELATAN

Imam Muslimin, Agus Kurniawan, Kusdi, Syaiful Islam


Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang
Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Puntikayu Palembang
Imam_balittaman@yahoo.co.id

6.1 Pendahuluan
Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) merupakan salah
satu jenis tanaman asli Indonesia yang umumnya terdapat di daerah Indonesia
Bagian Timur. Tanaman ini menghasilkan produksi hasil hutan bukan kayu
berupa minyak kayu putih yang didapatkan dari proses penyulingan daun
melalui prinsip destilasi. Minyak kayu putih umumnya digunakan sebagai
bahan baku obat-obatan yang sudah sejak lama digunakan oleh masyarakat
Indonesia.
Kebutuhan akan minyak kayu putih di dalam negeri diperkirakan sebesar 1.500
ton minyak kayu putih untuk setiap tahunnya. Di lain pihak, kemampuan
produksi minyak kayu putih Indonesia sekitar 450 ton setiap tahunnya,
dimana produksi tersebut berasal dari 24.000 hektar areal tanaman kayu putih
yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan data dan informasi tersebut,
maka diperkirakan setiap tahun terdapat defisit pasokan kebutuhan minyak
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

kayu putih sekitar 1.000 ton (Kartikawati dan Rimbawanto, 2012). Adanya
kekurangan pasokan akan kebutuhan kayu putih di sisi yang lain merupakan
peluang untuk dilakukannya pengembangan pembangunan hutan tanaman
dan pembangunan industri minyak kayu putih di Indonesia.
Langkah kongkrit sebagai salah satu upaya untuk peningkatan produksi
minyak kayu putih adalah dilakukannya kegiatan penelitian pemuliaan pohon
kayu putih untuk mendapatkan benih unggul. Salah satu benih unggul kayu
putih yang telah dihasilkan adalah benih unggul kayu putih F1 hasil dari
B2P2BPTH Yogyakarta. Keunggulan dari benih kayu putih yang dihasilkan
adalah terletak pada potensi produksi daun, nilai rendemen dan kandungan
sineol. Benih unggul kayu putih F1 Yogyakarta mampu menghasilkan 3-5
kg daun, mempunyai rendemen rata-rata 2% dan kandungan sineol sebesar
65% (Kartikawati, 2017). Penggunaan benih unggul mempunyai produksi
yang sangat besar bilamana dibandingkan dengan benih biasa yang umumnya
menghasilkan 1kg daun, rendemen 0,5-1% serta kandungan sineol <60%.
Potensi produksi tanaman kayu putih benih unggul mempunyai peningkatan
produktivitas sebesar 200-400% untuk produksi daun, 100-250% untuk
nilai rendemen dan peningkatan kandungan sineol sebesar 8-21% lebih baik
bila dibandingkan dengan tanaman yang biasa (benih biasa).
Cara lain yang dilakukan dalam upaya pemenuhan akan kebutuhan minyak
kayu putih adalah melalui perluasan lahan tanaman kayu putih. Tanaman
kayu putih saat ini mulai dikembangkan dan mengarah pada lahan-lahan di
luar sebaran alaminya. Tanaman kayu putih yang dikembangkan di Pulau Jawa
oleh Perum Perhutani mempunyai luasan 24.255,56 hektar dengan kapasitas
produksi sebesar 400 ton/hektar (Perum Perhutani, 2016), pengembangan
di P. Sumbawa, Nusa tenggara Barat pada tahun 2015 sebesar 4.000 ha
(Rimbawanto, 2017b). Pulau Sumatera merupakan salah satu tempat
yang dimungkinkan untuk dikembangkan tanaman kayu putih melalui
pengambangan usaha budidaya di dalam wilayah KPH. luas lahan KPH
yang belum terbebani izin pengusahaan hutan pada tahun 2012, terdapat

100
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

848.038,47 Ha untuk lahan KPHP se-Sumatera dan Bangka Belitung. Luas


lahan tersebut merupakan 16,52% dari total luas lahan keseluruhan KPH
(baik KPHP dan KPHL) yang ada di seluruh Indonesia (Direktorat Wilayah
Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan, 2012).
Bilamana areal KPHP yang belum terbebani izin tersebut dilakukan
penanaman kayu putih dengan benih yang biasa maka dibutuhkan luasan
sebesar 56.000 Ha untuk mendukung kekurangan pasokan kebutuhan
minyak kayu putih 1.000 Ha. Namun jumlah luasan yang dibutuhkan
akan semakin berkurang bilamana benih yang dimanfaatkan dalam kegiatan
budidaya adalah benih unggul hasil kegiatan pemuliaan pohon. Dengan
kapasitas peningkatan rendemen sebesar 159% bila dibandingkan dengan
benih asalan, maka hanya dibutuhkan sekitar 2.133 Ha lahan KPH untuk
pemenuhan kekurangan kebutuhan minyak kayu putih sebesar 1.000 ton.
Penggunaan benih unggul tanaman kayu putih di Pulau Sumatera untuk
pembangunan tanaman sebagai bahan baku produksi minyak kayu putih
belum pernah dilakukan. Oleh karena itu Balai Penelitian dan pengembangan
Lingkungan Hidup dan kehutanan Palembang pada tahun 2016 mencoba
untuk mengembangkan tanaman kayu putih di Kawasan Hutan Dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo. Salah satu tujuan dari adanya plot
pengembangan ini adalah sebagai penyedia data dan informasi berhubungan
dengan jenis tanaman kayu putih unggul (F1) Yogyakarta yang dikembangkan
di luar sebaran alaminya dalam rangka mendukung upaya pengembangan
perluasan lahan penanaman.
Makalah ini menyajikan data dan informasi serta pengelolaan tanaman kayu
putih unggul (F1) yang dikembangkan di luar wilayah sebaran alaminya,
khususnya di KHDTK Kemampo (Sumatera Selatan). Data dan informasi
yang di dapatkan nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam perluasan pembangunan tanaman kayu putih khususnya di wilayah
Sumatera Selatan.

101
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

6.2 Sekilas tentang Kayu Putih (Melaleuca


cajuputi subsp. cajuputi)
Tanaman kayu putih merupakan jenis tanaman penghasil hasil hutan bukan
kayu (HHBK) yang populasi alaminya banyak terdapat di Provinsi Maluku
(Indonesia) (Sudaryono, 2010), Thailand (Trung, 2009), Myanmar (Burma)
dan Australia (Weiss, 1997). Secara alamiah, tanaman kayu putih tumbuh
pada kondisi suhu 21-35 oC, retensi hara 7.0-8.0, C organik 6.0-7.0, salinitas
<4, pH tanah 4,3-7,3, curah hujan 800 - <1.200 mm (Sudaryono, 2010).
Beberapa studi mengisyaratkan bahwasanya jenis tanaman kayu putih bisa
tumbuh pada daerah dengan kondisi geografis yang beragam. Trung (2009)
dan Salim et al., (2013) mengemukakan bahwasanya jenis tanaman kayu
putih bisa tumbuh pada daerah yang tergenang (rawa), tanah dengan pH
asam (Osaki et al., 1998), lahan gambut (Nuyim, 1997, Osaki et al., 1998,
Bozzano et al., 2014, Taing et al., 2017). Tanaman kayu putih juga mampu
hidup pada lahan bekas tambang batubara yang umumnya mempunyai
kondisi tanah yang asam dan kesuburan tanah yang rendah (Kodir et al.,
2016). Selain itu, Mohd et al., (2013) juga mengemukakan bahwasanya
Melaleuca cajuputi bisa digunkan sebagai tanaman remediasi tanah yang
terkontaminasi logam berat sebagai tanaman Phytoextraction.
Tanaman kayu putih pada umumnya dimanfaatkan daunnya untuk
menghasilkan minyak kayu putih yang sebelumnya telah melalui proses
penyulingan (destilasi). Keberadaan minyak ini sebenarnya tidak hanya
terdapat dalam daun, bagian ranting, kayu dan bahkan kulit batang tanaman
kayu putih juga menghasilkan minyak namun dengan produksi yang sangat
sedikit. Adanya kandungan minyak kayu putih yang terdapat di bagian daun
ini berhubungan dengan adanya kelenjar minyak yang banyak terdapat di
bagian daun (Kantachot at el., 2007). Sehingga sebenarnya produksi minyak
yang dihasilkan dari tanaman kayu putih sangat bergantung pada jumlah dan
ukuran kelenjar minyak yang terdapat dalam daun. Produksi minyak kayu

102
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

putih yang dihasilkan oleh masyarakat lokal di Kepulauan Maluku (Seram


dan Buru) menghasilkan rendemen minyak yang rendah yaitu sebesar 0,6%
(Rimbawanto, 2017b).
Masyarakat pada umumnya menggunakan minyak kayu putih sebagai bahan
utama obat-obatan. Minyak kayu putih bisa digunakan secara langsung
untuk antiseptik dan anti nyamuk (Doran et al., 1997). Minyak kayu
putih digunakan untuk mengobati penyakit ringan seperti masuk angin,
influenza, gatal karena gigitan serangga, digunakan sebagai pewangi pada
sabun, kosmetik, deterjen dan parfum (Rimbawanto, 2017). Tanaman kayu
putih mempunyai bunga yang sangat banyak sebagai penghasil biji untuk
materi perkembangbiakan generatif, agen penyerbuk (polinator) dari Apis
dorsata yang datang untuk melakukan penyerbukan bisa dibudidayakan
untuk menghasilkan madu (Khalil et al., 2011). Limbah proses penyulingan
minyak kayu putih berupa ranting dan daun bisa digunakan untuk
pembuatan papan partikel (Haroen, 2016).
Adanya beragam manfaat dari tanaman budidaya kayu putih, maka
diperlukan pengembangan budidaya tanaman kayu putih dengan skala
yang lebih luas. Nilai penting ppaya pengembangan tanaman kayu putih
dijelaskan sebagai berikut.
1. Tanaman kayu putih mempunyai rentang geografis yang lebar untuk
tumbuh. Sehingga jenis ini bisa dikembangkan dalam lokasi yang lebih
luas. Salah satu peluang yang bisa dikembangkan adalah upaya budidaya
tanaman kayu putih pada lahan gambut yang banyak terdegradasi di
Pulau Sumatra dan Kalimantan.
2. Tanaman kayu putih mempunyai beragam produk yang bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat.

103
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

3. Kebutuhan akan produk minyak kayu putih masih terbuka lebar.


Kekurangan kebutuhan nasional Indonesia akan minyak kayu putih
sekitar 1.000 ton (Rimbawanto, 2017b). Luasan untuk program
pengembangan budidaya tanaman kayu putih ini bisa menggunakan
lahan-lahan tidur yang banyak terdapat di luar P. Jawa.
4. Tanaman kayu putih yang dimanfaatkan adalah bagian daunnya.
Produksi daun dilakukan selama periode rotasi 6-12 bulan. Pemanenan
bagian tanaman yang bukan kayu mempunyai manfaat kondisi tanaman
tetap ada sehingga bisa mempertahankan aspek konservasi dan tutupan
lahan.
5. Pemanfaatan daun tanaman kayu putih secara periodik dilakukan
setiap periode 6-12 bulan. Pemanenan daun umumnya menggunakan
sistem pemangkasan, sehingga kondisi tanaman tidak begitu tinggi
yang sekaligus sebagai upaya untuk memudahkan pemanenan tahap
berikutnya. Pertumbuhan tanaman yang tidak dibuat tinggi, memberikan
peluang untuk dilakukannya pembuatan tanaman campuran dengan
tanaman semusim. Pola penanaman dengan tanaman semusim dapat
dilakukan dalam jangka pangjang, mengingat pertumbuhan tanaman
kayu putih yang tidak terlalu tinggi sehingga cahaya matahari masih
bisa dimanfaatkan oleh tanaman semusim. Budiadi et al., (2005)
mengemukakan bahwa tanaman kayu putih di Jawa yang di tumpangsari
dengan tanaman semusim (padi dan ubi kayu) mempunyai kandungan
sineol yang relatif tetap bila dibandingkan dengan tanaman kayu putih
monokultur yang mempunyai kandungan sineol yang menurun pada
tanaman berumur tua.
6. Tanaman kayu putih termasuk tumbuh cepat. Pemanfaatan daun untuk
penyulingan bisa dilakukan pada umur 3-4 tahun, namun pada periode
umur 2 tahun pemanfaatan daun untuk penyulingan pada dasarnya
sudah bisa dilakukan dan memberikan kualitas minyak yang bagus.

104
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Masa panen dan produksi yang relatif lebih cepat akan mendorong
pengembalian modal usaha yang lebih cepat juga, sehingga secara
ekonomi juga memberikan keuntungan yang lebih cepat.
7. Aspek teknologi perbanyakan (vegetatif dan generatif ), teknik budidaya
tanaman serta penyediaan benih/ bibit unggul tanaman kayu putih
sudah tersedia. Teknologi yang telah di kuasai mulai dari perbenihan
sampai dengan produksi akan mempercepat proses pengembangan dan
transfer teknologi maju kepada pengelola sebagai upaya peningkatan
produktivitas tanaman dan hasil produksi.

6.3 Budidaya Kayu Putih di KHDTK


Kemampo (Sumatera Selatan)
a. Tipologi tempat tumbuh KHDTK Kemampo
Lokasi pembangunan tanaman kayu putih dilakukan di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo. KHDTK Kemampo Secara
administratif pemerintahan termasuk dalam wilayah Desa Kayuara Kuning,
Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan.
Secara administratif kehutanan termasuk dalam wilayah pengelolaan Dinas
Kehutanan Aksesibilitas ke lokasi KHDTK Kemampo cukup baik. Lokasi
tersebut dapat dicapai dengan mudah melalui jalan raya Palembang-
Pangkalan Balai. Lokasinya berada di Selatan dari Jalan Raya Palembang-
Pangkalan Balai. Dari jalan raya, untuk menuju ke lokasi melalui jalan ber
aspal dan dilanjutkan dengan jalan bertanah. Kondisi jalan tanah sangat
baik dan pada beberapa tempat yang menggenang air sudah dilakukan
penimbunan dengan batu sehingga jalan menjadi keras. Tempat pemukiman
penduduk yang terdekat dengan lokasi KHDTK adalah Desa Kayuara.
Jarak tempuh ke lokasi sekitar 2 km dari Desa Kayuara, 4 km dari jalan raya

105
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Palembang-Pangkalan Balai, 41 km dari Palembang. Untuk mencapai lokasi


dari Palembang dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat
dibutuhkan waktu sekitar 1 jam.
Wilayah KHDTK Kemampo umumnya mempunyai tipe hujan B (Schmidt
dan Fergusson). Rerata curah hujan 2.581,3 mm/tahun atau 215,11 mm/
bulan dengan 15,4 hari hujan/bulan dan intensitas hujan sebesar 13,48 mm/
hari. Bulan basah terjadi selama 7 bulan berturut-turut, yaitu mulai Oktober
hingga April. Sedangkan bulan kering umumnya berlangsung hanya selama
2 bulan, yaitu pada bulan Agustus dan September. Rerata penguapan air
bulanan berkisar antara 98,96 hingga 131,43mm/bulan dan rerata 114,21
mm/bulan. Penguapan tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan terendah
terjadi pada bulan Januari.
Rerata suhu udara bulanan berkisar 25,7 - 27,0o C, rerata kelembaban udara
bulanan berkisar 81,0%-87,6%. Penyinaran matahari berkisar 40,4% -
67,3% atau 5 - 8 jam/hari. Penyinaran matahari < 50% atau < 6 jam/hari
terjadi pada bulan Oktober - Pebruari atau selama 5 bulan. Pada bulan-bulan
tersebut curah hujan > 200 mm/bulan (termasuk bulan basah). Kecepatan
angin tergolong rendah, yaitu antara 2,250 - 3,921 km/jam dan rata-rata
2,529 km/jam. Arah angin dominan adalah angin tenggara yaitu angin
yang bertiup dari tenggara ke arah Barat Laut dengan frekuensi 54,20% dan
kecepatan sekitar 2,5-3,5 km/jam. Arah angin dominan kedua adalah dari
Barat Laut dengan frekuensi sebesar 39,30% dan kecepatan sekitar 2,5-3,5
km/jam. Selebihnya adalah arah angin timur dengan frekuensi hanya 6,60%
dengan kecepatan < 2,5 km/jam.
Pembangunan ujicoba penanaman benih unggul F1 kayu putih di KHDTK
Kemampo dilakukan pada akhir tahun 2016. Lokasi penanaman termasuk
dalam Satuan Peta Tanah (SPT) 2 (Balittaman dan Unsri, 2002) yang pada
awalnya merupakan hutan sekunder dan didominasi oleh jenis tanaman
mangium (Acacia mangium), Seru (Schima walichii), Pelangas, Simpur,

106
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Talok. Satuan Peta Tanah (SPT 2) mempunyai tanah Typic Hapludult yang
mempunyai ukuran besar butir berlempung halus, kedalaman efektif sedang
(25- 75cm), keadaan drainase baik, terletak pada fisiografi dataran. Terbentuk
dari bahan sedimen bereaksi masam dan berukuran halus. Bentuk lahan
datar hingga berombak dan umumnya berlereng antara 0 sampai dengan
8%. Arah lereng membujur dari Barat ke timur, dimana pada bagian barat
terdapat rawa pasang surut yang mengalir sepanjang arah utara-selatan.
Berdasarkan analisis kimiawi tanah, kadar N-total tanah lokasi pembangunan
tergolong rendah (0,2%), kadar C-organik sedang (2,4%) dan nisbah C dan
N (12,9) yang tergolong sedang. Berdasarkan kadar C-organik dan nisbah C
dan N tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa laju mineralisasi N tergolong
cepat. Melalui proses mineralisasi N tersebut sebagian N-organik akan
berubah menjadi bentuk tersedia bagi tanaman. Dapat diasumsikan jumlah
N-tersedia bagi tanaman adalah sekitar 1% dari kadar N-total, sehingga
prediksi jumlah rerata N-tersedia tersebut sebesar 32 kg N/ha. Sedangkan,
rerata kebutuhan tanaman akan N adalah lebih dari 100 Kg N/ha.
Ketersediaan P sangat rendah dengan rerata 2,9 ppm P. Tingkat ketersediaan
P yang sangat rendah tampaknya tidak ada hubungannya dengan tingkat
kemasaman dan kejenuhan Al serta kandungan C-organik tanah tersebut.
Tingkat kemasaman dan kejenuhan Al tanah termasuk kategori tinggi. Nilai
pH H2O mempunyai rerata 4,9 yang tergolong bereaksi masam dengan
kejenuhan Al rerata sebesar 52,7%. Kadar K-dd tergolong rendah (0,2),
sedangkan kadar Ca-dd (0,4) dan Mg-dd tergolong sangat rendah (0,1).
Kadar Na-dd tergolong sedang (0,3).

b. Pertumbuhan tanaman kayu putih


Uji coba penanaman tanaman kayu putih dilakukan pada bulan Desember
2016 di KHDTK Kemampo seluas 3 hektar. Rerata pertumbuhan tanaman
kayu putih pada umur 1 tahun mempunyai tinggi 125,2 cm dan diameter

107
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

13,4 mm (Muslimin et al, 2017), sedangkan pertumbuhan tanaman pada


umur 2 tahun mempunyai rerata umum sebesar 288,68 cm untuk tinggi dan
sebesar 26,16 mm untuk pertumbuhan diameter (Muslimin et al., 2018).
Pertumbuhan tanaman kayu putih yang terdapat di KHDTK Kemampo
mempunyai pertumbuhan yang kurang lebih sama dengan pertumbuhan
tanaman kayu putih di Paliyan (Gunung Kidul) yang menggunakan materi
benih yang sama, yaitu mempunyai pertumbuhan tinggi 250cm dan diameter
29 mm (Kartikawati, 2017). Data dan informasi ini mengindikasikan
bahwasanya pertumbuhan tanaman kayu putih yang dikembangkan di
luar sebaran alaminya (Pengembangan di Sumatera Selatan) mempunyai
pertumbuhan yang normal dan sesuai dengan pertumbuhan tanaman kayu
putih yang dikembangkan di Jawa.
Pertumbuhan tanaman kayu putih di beberapa tempat lain juga disampaikan
oleh beberapa peneliti lainnya. Tanaman kayu putih pada lahan bekas
tambang batubara mempunyai tinggi 4,31m dan diameter 8,82 cm pada
umur 4 tahun (Kodir et al., 2016). Pertumbuhan tanaman Melaleuca cajuputi
untuk produksi kayu yang terdapat di Naratiwat (Thailand) mempunyai
diameter 16 cm pada umur 11 tahun, dengan kerapatan 750 kg/cm3 yang
kurang lebih sama dengan pertumbuhan Dipterocarpus dan Jati, sedangkan
pertumbuhan tanaman di Ca Mau pada umur 10 tahun mempunyai tinggi
8,07 m dan diameter <14 cm (Trung, 2009). Pertumbuhan Melaleuca
cajuputi di lahan gambut Sungaikolok Thailand umur 3 tahun mempunyai
persentase hidup tanaman 88%, diameter 12,53 cm, tinggi 6,36 m dan
produksi 12,87 ton/ hektar (Nuyim, 1997).
Pertumbuhan tanaman kayu putih yang terdapat di KHDTK Kemampo
dapat dikatakan mempunyai pertumbuhan yang normal. Kondisi
lingkungan geografis klimatis mempunyai nilai yang relatif sama dengan
kondisi tempat tumbuh alaminya, walaupun kondisi edaphis (tipe tanahnya)
berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang tidak terhambat

108
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

ini nantinya diharapkan juga tidak mengalami kendala dalam hal produksi
daun dan kualitas minyak kayu putih yang dihasilkannya. Karena memang
produk utama dari pengusahaan tanaman kayu putih adalah kualitas minyak
kayu putih.

(a) (b) (c)


Gambar 6.1 Pertumbuhan tanaman kayu putih umur 2 tahun di KHDTK
Kemampo (a), pemanenan daun kayu putih (b), proses
penyulingan minyak kayu putih (c)

c. Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman merupakan kegiatan perawatan terhadap tanaman
agar dapat tumbuh baik dan optimal serta terbebas dari segala hal yang dapat
menganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Kegiatan pemeliharaan
tanaman yang dapat dilakukan adalah:
• Pembebasan gulma
Gulma merupakan tumbuhan lain yang keberadaannya dapat
mengganggu tanaman pokok. Gulma dapat berupa tumbuhan
bawah, perdu ataupun tumbuhan tingkat tinggi (pohon).
Keberadaan gulma dapat mengganggu tanaman pokok melalui
mekanisme persaingan ruang tumbuh dan penyerapan unsur hara
tanah.

109
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Hasil identifikasi jenis gulma yang di temukan di bawah tanaman


kayu putih di KHDTK Kemampo terdiri dari 15 famili, 15
genus dan 15 spesies. Nilai indeks nilai penting (INP) gulma
yang tertinggi yaitu Ageratum conyzoides (52,68%), Melastoma
candidum (30,83%), Borreria laevis (21,67%). Nilai indeks
keanekargaman (H’) sebesar -32,22 yang menunjukan bahwa
tingkat keanekaragaman gulma yang ada berada pada level sedang
(Cikya, 2017).
Kegiatan pembebasan gulma umumnya dilakukan melalui
mekanisme aplikasi teknik penyiangan dan kombinasi aplikasi
penyemprotan herbisida. Tahapan awal yang dilakukan adalah
kegiatan penyiangan gulma. Penyiangan dimaksudkan untuk
menebas batang gulma sampai pada ketinggian 10-15cm.
Penyiangan umumnya menggunakan parang tebas. Periode waktu
3-4 minggu setelah kegiatan penyiangan dilakukan, dilanjutkan
dengan kegiatan aplikasi (penyemprotan) herbisida. Herbisida
yang digunakan menggunakan dosis 150ml/ tangki penyemprot
kapasitas 15-20 liter. Aplikasi herbisida ini dapat mematikan gulma
yang ada serta dapat menekan pertumbuhan gulma sampai dengan
3 bulan. Kegiatan penyemprotan berikutnya bisa dilakukan periode
3-4 bulan berikutnya.
Salah satu teknik silvikultur yang salah satunya ditujukan untuk
menekan pertumbuhan gulma adalah melalui teknik pengaturan
jarak tanam. Jarak tanam rapat akan memacu pertumbuhan
meninggi tanaman, dan bilamana tajuk tanaman sudah bertemu,
maka intensitas cahaya matahari yang jatuh ke atas tanah menjadi
sedikit dan meminimalisir pertumbuhan tumbuhan bawah.
Sebaliknya, jarak tanam yang lebar akan memacu pertumbuhan
diameter tanaman pokok, namun intesitas cahaya yang besar

110
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

masuk sampai permukaan tanah juga akan memacu pertumbuhan


gulma. Idealnya adalah jarak tanam tanaman pokok tidak terlalu
lebar dan juga tidak terlalu rapat. Penanaman kayu putih dengan
jarak tanam yang lebih rapat yaitu 2x1m atau 2x2m dianggap lebih
optimal menekan pertumbuhan gulma.
Namun, kegiatan pemeliharaan tanaman berupa pembebasan
gulma tetap harus dilakukan terutama pada periode setelah kegiatan
pemanenan daun. Seperti diketahui bahwasanya tanaman kayu
putih nantinya akan dilakukan pemanenan daun yang digunakan
sebagai bahan baku penyulingan untuk menghasilkan minyak
kayu putih. Umumnya proses pemanenan dilakukan dengan
menebang batang tanaman pada ketinggian tertentu, kemudian
daun di kumpulkan dengan cara manual atau dengan dipangkas
sampai pada tingkatan ranting yang paling kecil. Tanaman kayu
putih nampak tidak mempunyai tajuk dan kelihatan gundul,
sehingga sinar matahari dapat masuk sampai permukaan tanah
dan mengaktifkan pertumbuhan tumbuhan bawah. Dalam kondisi
seperti ini, pemeliharaan tanaman dari gangguan gulma mutlak
untuk dilakukan agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman
pokok yang sedang aktif menghasilkan daun baru sebagai bahan
baku penyulingan rotasi berikutnya.
• Pemupukan tanaman
Pemupukan tanaman dimaksudkan untuk memberikan tambahan
nutrisi ke dalam tanah untuk dapat di serap oleh tanaman sehingga
mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Kegiatan pemupukan sangat dianjurkan untuk jenis tanah Podsolik
Merah Kuning (PMK) yang umum terdapat di wilayah Sumatera
Selatan. Mengingat tanah jenis PMK mempunyai kandungan unsur
hara makro yang rendah sebagai akibat pH tanah yang masam.

111
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Ujicoba pemupukan tanaman kayu putih di tanah PMK telah


dilakukan oleh Muslimin et al., (2018). Tanaman berumur 1
tahun dipupuk sebanyak 3 kali selama 1 tahun (aplikasi 4 bulan
sekali) menggunakan pupuk NPK taraf dosis 0-100gr/ tanaman.
Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah pemupukan terakhir.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwasanya pertumbuhan
tinggi, diameter dan produksi daun mempunyai nilai yang tidak
berbeda nyata di antara perlakuan pemupukan. Namun, produksi
minyak (rendemen) mempunyai nilai yang tinggi pada aplikasi
pemupukan 75 gr/ tanaman dengan nilai 1,02% sedangkan pada
perlakuan kontrol (tanpa pemupukan) mempunyai rendemen
0,70% (Muslimin et al., 2018).
Variasi geografis menyebabkan adanya perbedaan komposisi
kandungan minyak yang terdapat dalam daun kayu putih (Kim
et al., 2005). Tanaman kayu putih yang tumbuh pada lahan sulfat
masam dan tanah gambut, mempunyai akumulasi kandungan Na
yang sangat banyak di dalam daun (pucuk) meskipun di dalam
tanah mempunyai konsentrasi Na yang rendah. Dalam kondisi
tanah yang tinggi konsentrasi Al dan Na, tanaman kayu putih
mempunyai 2 tindakan strategi yaitu 1). Mengakumulasikan Al
dan Na di daun serta 2). Mengeluarkan Al dan Na dari daun.
Konsentrasi Al di daun mempunyai hubungan yang negatif dengan
unsur hara lainnya kecuali N dan Mn, sedangkan konsentrasi Na
di daun juga mempunyai hubungan negatif dengan P, Zn, Mn, Cu,
dan Al (Osaki et al., 1998).

112
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

• Pemangkasan batang
Pemangkasan batang menjadi elemen yang sangat penting dalam
pengusahaan tanaman kayu putih. Pemangkasan batang menjadi
bagian dari manajemen produksi. Pemangkasan yang baik akan
menghasilkan produksi daun yang berlimpah dan meningkat
sebagai bahan baku proses penyulingan rotasi berikutnya.
Kegiatan pemangkasan batang pada tahapan awal umumnya dilakukan
pada umur 3 tahun pada ketinggian 1,5m. Pada umur tersebut, di tengarai
kandungan minyak telah maksimal sehingga dapat diperoleh rendemen
minyak yang stabil (Rimbawanto, 2017b). Periode pemangkasan batang
berikutnya dilakukan secara rutin setiap 9-12 bulan sekali sebagai proses
untuk mendukung kontinuitas produksi, dimana waktu panen daun terbaik
adalah pada saat musim kemarau karena daun mempunyai kadar air yang
rendah (Rimbawanto, 2017b).
Pemangkasan batang ini mempunyai beberapa fungsi yaitu: (i) Pemangkasan
batang adalah sebagai upaya untuk peremajaan daun sebagai bahan baku
utama penyulingan, karena memang pengusahaan tanaman kayu putih
adalah untuk memproduksi daun dan bukan memproduksi kayu. (ii)
Batang yang telah di pangkas, maka daun dari batang yang terpangkas bisa
dimanfaatkan untuk bahan baku dalam proses penyulingan. (iii) Batang
utama sisa pemangkasan, pada periode waktu tertentu akan muncul trubusan
baru dalam jumlah yang banyak dan tumbuh normal sebagai batang baru.
Dengan semakin banyak jumlah tunas baru yang muncul dan tumbuh
normal, maka akan terbentuk tajuk yang lebih lebar dan produksi daun
juga akan mengalami peningkatan. (iv) Trubusan (tunas) baru yang tumbuh
mempunyai tinggi yang tidak terlalu tinggi. Hal ini nantinya akan sangat
memudahkan bagi petani untuk melakukan pemanenan daun sebagai bahan
baku utama penyulingan.

113
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Kegiatan ujicoba pemangkasan batang pada tanaman kayu putih di KHDTK


Kemampo telah dilakukan oleh Muslimin et al., (2018). Tanaman kayu putih
berumur 1,5 tahun dilakukan ujicoba pemangkasan dengan ketinggian 50, 80,
110 dan 140 cm. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 6 bulan
setelah kegiatan pemangkasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya
semakin rendah pemangkasan dilakukan, maka jumlah tunas juga semakin
meningkat. Pemangkasan batang yang rendah (50 cm) menghasilkan jumlah
rerata tunas sebanyak 3 tunas, sedangkan pemangkasan yang tinggi (140 cm)
menghasilkan tunas sebanyak 2 buah. Namun, dalam hubungannya dengan
produksi daun, pemangkasan batang yang rendah menghasilkan rerata daun
sebanyak 1,75 kg sedangkan pemangkasan yang tinggi menghasilkan rerata
daun sebanyak 2,5 kg. Hasil produksi daun ini kurang lebih mempunyai
nilai yang sama dengan rerata produksi daun yang dihasilkan oleh Perum
Perhutani yaitu sekitar 1-3 kg/pohon (Rimbawanto, 2017b), 2-3 kg daun
per pohon yang dihasilkan oleh KPH Yogyakarta (Rimbawanto, 2017b).
Produksi daun merupakan unsur utama yang harus diprioritaskan dalam
pengelolaan tanaman kayu putih. Strategi teknik silvikultur melalui
pemangkasan batang yang bisa dilakukan untuk menghasilkan produksi
daun tinggi adalah melalui kombinasi antara pemangkasan batang bawah
dan batang atas. Pemangkasan batang bawah (ketinggian 50-80 cm dari
permukaan tanah) menghasilkan tunas yang lebih banyak, dimana tunas
ini di pelihara untuk membentuk batang ganda tanaman. Batang ganda
ini nantinya akan menjadi batang utama tanaman. Pembentukan batang
utama tanaman yang lebih dari 1 batang, maka diharapkan produksi daun
tanaman akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi tanaman
hasil dari satu batang saja. Langkah berikutnya adalah membentuk batang
komersil, dimana pemangkasan batang tahap kedua dan seterunya dilakukan
pada masing-masing batang ganda tersebut pada ketinggian 110-140 cm.
Pemangkasan batang peiode kedua ini secara otomatis akan membentuk

114
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

batang ganda dobel di masing-masing batang ganda yang sudah ada. Batang
ganda di harapkan akan mempunyai produksi daun yang jauh lebih besar
bila dibandingkan dengan produksi daun pada batang biasa.

6.4 Produksi dan Penyulingan


Budidaya tanaman kayu putih ditujukan untuk menghasilkan daun sebagai
bahan baku utama proses penyulingan untuk menghasilkan minyak kayu
putih melalui proses penyulingan (destilasi). Produksi daun berhubungan
dengan kegiatan silvikultur yang diaplikasikan pada tanaman kayu putih.
Ukuran produksi minyak kayu putih yang dihasilkan dari proses penyulingan
dinyatakan dalam bentuk rendemen yaitu persentase perbandingan antara
minyak yang dihasilkan dari proses penyulingan dengan berat daun yang di
suling.
Rendemen minyak kayu putih mempunyai nilai yang berbeda-beda. Prediksi
nilai rendemen minyak kayu putih berdasarkan beberapa kondisi (perlakuan
silvikultur) terdapat pada Tabel 6.1.

115
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 6.1 Rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan dari berbagai
perlakuan
Rendemen
No Perlakuan Sumber
(%)
1 Ukuran bentuk daun Muslimin et al.,
Kayu putih berdaun besar* 0,73 (2018)

Kayu putih berdaun kecil* 0,78


2. Aplikasi pupuk NPK (15:15:15)
Pupuk NPK 25gr/ tanaman 0,71
Pupuk NPK 50gr/ tanaman 0,70
Pupuk NPK 75gr/ tanaman 1,02
Pupuk NPK 100gr/ tanaman 0,88
3. Kemurnian daun waktu proses
penyulingan
Daun murni 100% 1,30
Daun kotor (daun+ranting 0,70
kecil+sedikit buah)
4. Kayu putih tumpangsari dengan padi 0,61 Budiadi et al.,
dan ubi kayu (2005)
Kayu putih tumpangsari dengan padi 0,83
Kayu putih monokultur 0,92
5. M. cajuputi di lahan gambut Thailand 0,56-0,97 Kim et al., 2005
6. Tumbuh pada lahan bekas tambang 0,7 Kodir et al.,
batubara 2016
7. KPH Yogyakarta 0,9 Rimbawanto,
8. Perum Perhutani 0,7 2017b.
9. Sumber benih F1 Kartikawati,
Site Paliyan 1,7 2017

Site Ponorogo 3,8


Keterangan : *penyulingan mengikutsertakan ranting-ranting kecil, serta buah dalam jumlah
kecil.

116
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Produksi minyak kayu putih yang dihasilkan di KHDTK Kemampo


mempunyai rendemen 0,7-1,30 %. Nilai rendemen ini mempunyai nilai
yang kurang lebih sama dengan rendemen minyak kayu putih pada tempat
lainnya. Beberapa perlakuan silvikultur seperti pemilihan ukuran daun
minyak kayu ptuih, perlakuan pemupukan, teknik penyulingan (daun murni
dan daun kotor), teknik budidaya tumpangsari kayu putih, pemilihan site
yang tepat, serta penggunaan benih unggul ternyata mampu meningkatkan
rendemen minyak kayu putih.
Rendemen minyak kayu putih mempunyai hubungan dengan produksi
minyak yang bisa dihasilkan dari produksi daun yang dipanen. Namun, nilai
rendemen tidak menjadi ukuran untuk menentukan kualitas minyak kayu
putih yang dihasilkan. Standar kualitas minyak kayu putih ditentukan oleh
Standar Nasional Indonesia Minyak Kayu putih SNI 3954:2014 (Badan
Standarisasi Nasional, 2014). SNI minyak kayu putih digunakan untuk
menentukan kualitas minyak kayu putih yang ditentukan berdasarkan kadar
1,8 cineole. Dalam SNI tersebut, kualitas minyak kayu putih di bedakan
berdasarkan 3 kelas yaitu kelas mutu super dengan kandungan sineol >60
%, kelas mutu utama dengan kadar sineol 55-60 % dan kelas mutu pertama
dengan kadar sineol 50-<55 %. Analisis kualitas minyak kayu putih hasil
dari penyulingan daun tanaman kayu putih umur 1 tahun di KHDTK
Kemampo menghasilkan kadar 1,8 cineole sebesar 72,3% (Muslimin et al.,
2017) dan termasuk dalam kelas kualitas mutu super.

6.5 Penutup
Pengembangan budidaya jenis tanaman kayu putih mempunyai prospek
yang sangat baik. Pengembangan budidaya dilakukan pada daerah-daerah di
luar pulau Jawa yang memang mempunyai luasan lahan terlantar yang sangat
besar. Ujicoba budidaya penanaman kayu putih di luar sebaran alaminya

117
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

dengan menggunakan benih unggul (F1) dilakukan di KHDTK Kemampo


(Banyuasin, Sumatera Selatan). Ujicoba penanaman ini menghasilkan nilai
rendemen yang lebih kecil bila dibandingkan dengan sumber benihnya
(Paliyan, Gunung Kidul), namun mempunyai kandungan 1,8 cineole yang
sangat baik dan termasuk dalam kelas kualitas super. Data dan informasi
ini menunjukkan bahwasanya upaya pengembangan budidaya jenis kayu
putih di luar Pulau jawa pada umumnya dan pengembangannya di Pulau
Sumatera pada khususnya layak untuk dikembangkan karen memang
mampu menghasilkan kualitas mutu minyak kayu putih yang sudah sesuai
dengan SNI.

Daftar Pustaka
Bozzano, M., Jalonen, R., Thomas, E., Boshier, D., Gallo, L., Cavers, S.,
Bordács, S., Smith, P. & Loo, J., eds. (2014) Genetic considerations in
ecosystem restoration using native tree species. State of the World’s Forest
Genetic Resources – Thematic Study. Rome: FAO and Bioversity
International
Budiadi, Hiroaki, I., Sigit, S., Yoichi, K. (2005) Variation in Kayu Putih
(Melaleuca leucadendron Linn) oil quality under different farming
system in Java, Indonesia. Eurasian Journal Forest Research. 8(1):15-
20.
Balittaman & Unsri (2002) Desain engineering wanariset Kemampo.
Laporan hasil Kegiatan kerjasama Balittaman dan Unsri. Kementerian
Kehutanan. Tidak dipublikasikan.
Cikya (2017) Identifikasi gulma di bawah tegakan kayu putih di KHDTK
Kemampo. Laporan hasil praktek mahasiswa PGRI. Fakultas Biologi
Universitas PGRI Palembang. Tidak dipublikasikan.
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan
(2012) Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Kementerian Kehutanan.

118
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Doran, J.C., Baker, G.R., Murtagh, G.J., Southwell, I.A. (1997) Improving
tea tree yield and quality through breeding and selection. RIRDC
Research paper series No. 97/53. https :// rirdc. infoservices.com.
Diakses tanggal 27 Pebruari 2019.
Haroen, W. K. (2016) Diversifikasi serat pulp untuk produk inovatif. Journal
of Lignocellulose Technology. 1:15-25.
Kantachot, C., Chantaranothai, P., Thammathaworn, A. (2007)
Contribution to the leaf anatomy and taxonomy of thai Myrtaceae.
The Natural History of Chulalongkorn University. 7(1):35-45.
Kartikawati, N. K. (2017) Minyak Kayu Putih: Peningkatan Mutu Genetik
Tanaman Kayu putih. Yogyakarta: Kaliwangi.
Khalil, M. I., Mahaneem, M., Jamalullail, S. M. S., alam, N., Sulaiman, S. A.
(2011) Evaluation of radical scavenging activity and colour intensity
of nine Malaysian Honeys of Different origin. Journal of ApiProduct
and ApiMedical Science. 3(1):4-11. DOI. 10.3896/IBRA.4.03.1.02.
Kim, J. H., Liu, K. H., Yoon, Y., Sornnuwat, Y., Kitirattrakarn, T.,
Anantachoke, C. (2005) Essential leaf oils from Melaleuca cajuputi.
Proc. WOCMAP III. Vol. 6: Traditional Medicine Nutraceuticals.
Acta Hort.
Kodir, A., Hartono, D. M., Mansur, I. (2016) Cajuput in ex-coal mining
land to support sustainable development. International Journal of
Engineering Research & Technology (IJERT). 5(9):357-361. http://
www.ijert.org.
Mohd, S. N., Majid, N. M., Shazili, N. A. M., Abdu, A. (2013) Growth
performance, biomass and phytoextraction efficiency of Acacia mangium
and Melaleuca cajuputi in remediating heavy metal contaminated soil.
American Journal of Environmental Science. 9(4):310-316. DOI. 10.
3844/ajessp.2013.310.316.

119
Bunga Rampai
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia
untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Muslimin, I., Kurniawan, A., Kusdi, Syaiful, I. 2019. Pengembangan tanaman


unggulan hasil pemuliaan di KHDTK. Laporan hasil penelitian.
Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Tidak
dipublikasikan.
Muslimin, I., Kurniawan, A., Sagala, N., Kusdi. (2017) Pengembangan
tanaman unggulan hasil pemuliaan di KHDTK. Laporan hasil
penelitian. Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Palembang. Tidak dipublikasikan.
Nuyim, T. (1997) Peatswamp forest rehabilitation study in Thailand. The 6th
annual international workshop of BIO-Refor. December 2-5, 1997.
Brisbane. Australia.
Osaki, M., Watanabe, T., Ishizawa, T., Nilnond, C., Nuyim, T., Sittibush, C.,
Tadano, T. (1998) Nutritional characteristics in leaves of native plants
grown in acid sulfate, peat, sandy podzolic, and saline soils distributed
in Peninsular Thailand. Plant & Soil, 201(2):175-182. https://doi.
org/10.1023/A:1004389331808
Perum Perhutani (2016) Toko Perhutani: Minyak kayu putih. https://www.
tokoperhutani.com/produk/katalog/GTDdanMKP/6/minyak-kayu-
putih. Diakses tanggal 8 Maret 2019.
Rimbawanto, A. (2017) Minyak Kayu Putih: Seluk Beluk Tanaman Kayu
Putih. Yogyakarta: Kaliwangi.
Rimbawanto, A. (2017b) Minyak Kayu Putih: Budidaya Tanaman Kayu
Putih. Yogyakarta: Kaliwangi.
Salim, J. M., Husni, U., Junaidi, N. H. A.,Lammu, R., Salam, M. R.
(2013) Natural vegetation of BRIS soil ecosystem on coastal dune of
Terengganu. Seminar Kebangsaan Pemuliharaan Hutan Pesisir Pantai
Negara, 11−13 Jun 2013, Universiti Malaysia Terengganu, Kuala
Terengganu. https://www.researchgate.net/publication/267028776.

120
Bab 6
Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi)
Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Sudaryono (2010) Evaluasi kesesuaian lahan tanaman kayu putih


Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Jurnal Teknologi Lingkungan.
11(1):105:116.
Taing P., Eang P., Tann S. & Chakraborty, I. (2017) Carbon stock of peat
soils in mangrove forest in Peam Krasaop Wildlife Sanctuary, Koh
Kong Province, southwestern Cambodia. Cambodian Journal of
Natural History, 2017, 55–62.
Trung, N. Q. (2009) Melaleuca Timber. German: Deutsche Gesellschaft
fuer Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH.
Weiss, E.A. (1997) Melaleuca cajuputi, pp. 311-314. In E.A. Weiss, ed.,
Essential Oil Crops. Wallingford, Oxon, CAB International.

121
View publication stats

You might also like