Professional Documents
Culture Documents
Daud Fix
Daud Fix
MAKALAH
Oleh
M. Daud Rhosyidy
NUP. 20070913
MAKALAH
Oleh
M. Daud Rhosyidy
NUP. 20070913
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang … ……………………………………................... 1
B. Masalah dan Topik Pembahasan…………………………………... 1
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………… 2
BAB II TEKS UTAMA
A. KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) Syariah………………………. 3
B. Akad Istishna’…………………………………………………….. 5
iii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembiayaan adalah produk yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan baik
perbankan maupun non bank, konvensional maupun syariah. Pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil (Muhammad, 2014:
314).
Istilah pembiayaan pada intinya berarti I Believe, I Trust, “saya percaya” atau
“saya menaruh kepercayaan”. Perkataan pembiayaan yang artinya kepercayaan
(trust), berarti Lembaga Keuangan Syariah selaku shahibul maal menaruh
kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Dana
tersebut harus digunakan dengan benar, adil, dan harus disertai dengan ikatan dan
syarat-syarat yang jelas, dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak (Rifai
& Veithzal, 2008: 19).
Implementasi akad jual beli merupakan salah satu cara yang ditempuh bank
syariah dalam rangka menyalurkan dana kepada masyarakat. Akad bank yang yang
didasarkan pada akad jual beli adalah Murabahah, Salam, dan Istishna.
(Zulkifli, 2003: 41) al-Istishna’ adalah salah satu pengembangan dari prinsip
bai’ as-salam, dimana waktu penyerahan barang dilakukan di kemudian hari
sementara pembayaran dapat dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan. Dengan
demikian, ketentuan al-Istishna’ mengikuti ketentuan aturan akad as-Salam.
Biasanya istishna’ dipergunakan dibidang manufaktur dan kontruksi. Akad seperti
inilah yang digunakan pada transaksi KPR syariah.
1
2
TEKS UTAMA
3
4
B. Akad Istishna’
Dalam kamus bahasa arab Istishna’ berarti minta membuat (sesuatu)
(Anwar, t.t: 258). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam Istishna’ adalah akad yang
mengandung tuntunan agar shani’ membuatkan sesuatu pesanan dengan ciri-ciri
khusus dan harga tertentu (Dahlan, 1996: 778). Istishna’ ialah kontrak atau
transaksi yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan produsen untuk
pembuatan suatu jenis barang tertentu atau suatu perjanjian jual beli dimana barang
yang akan diperjual belikan belum ada (Rifai, 2002: 73).
Dalam fatwa DSN-MUI, Istishna’ merupakan akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli, mushtashni’) dan penjual (pembuat,
shani’) (DSN-MUI, 2003: 36). Akad Istishna’ hampir menyerupai akad Salam,
karena Istishna’ juga menjual barang yang tidak ada, dan barang yang dibuat itu
menjadi tanggungan atas pembuat yang menjual sejak akad disempurnakan. Sama
halnya dengan definisi yang diberikan oleh (Zulkifli, 2003: 41) yaitu al-Istishna’
adalah salah satu pengembangan dari prinsip bai’ as-salam, di mana waktu
penyerahan barang dilakukan di kemudian hari sementara pembayaran dapat
dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan. Dengan demikian, ketentuan al-
Istishna’ mengikuti ketentuan aturan akad as-Salam .biasanya istishna’
dipergunakan dibidang manufaktur dan kontruksi.
ISTISHNA'
KONSUMEN
barang yang tidak ada, dan barang yang dibuat itu menjadi tanggungan atas
pembuat yang menjual sejak akad dilakukan. Mengingat jual-beli istishna’
merupakan lanjutan dari jual-beli salam maka secara umum landasan syariah yang
berlaku pada jual-beli salam juga berlaku pada jual-beli istishna’. Namun demikian,
para ulama membahas lebih lanjut keabsahan jual-beli istishna’ dengan penjelasan
berikut.
Menurut madzhab Hanafi, jual-beli istishna’ termasuk akad yang dilarang
karena bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada
argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual,
sedangkan pada istishna’ pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual.
Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak jual-beli istishna’ atas
dasar istishsan karena alasan-alasan berikut ini (Antonio, 2001: 114):
1) Masyarakat telah mempraktekkan jual-beli istishna’ secara luas dan terus
menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan jual-
beli istishna’ sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
2) Di dalam syariah dimungkingkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma’ ulama.
3) Keberadaan jual-beli istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat.
Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar
sehingga mereka cenderung melakukan kontrak agar orang lain
membuatkan barang untuk mereka.
4) Jual-beli istishna’ sah sesuai aturan umum mengenai kebolehan kontrak
selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa jual-beli istishna’ adalah
sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual-beli biasa
dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.
Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang
dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta
bahan material pembuatan barang tersebut.
َ ََٰٓيأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓواْ ِإذَا تَدَا َينتُم ِبدَ ۡي ٍن إِلَ َٰٓى أ َ َج ٖل ُّم
…… ُسمى فَ ۡٱكتُبُوه
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya.....” (Al-Baqarah : 282)
Dalam kaitannya ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan
ayat tersebut dengan transaksi jual-beli salam , yang dalam hal ini pun
tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam)
yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada
kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di atas.
b) Produsen bisa ditunjuk langsung oleh bank (pihak pertama) atau bisa juga
pilihan dari nasabah (pilihan nasabah)
4) Pemesan/ Pembeli (Mustashni’)
a) Nasabah harus cakap hukum.
b) Mempunyai kemampuan untuk membayar.
c) Pesanan yang sudah selesai wajib dibeli oleh nasabah/ pemesan.
d) Jika ada perubahan kriteria pesanan, maka harus segera dilaporkan ke bank
dan bank akan menyampaikannya kepada produsen.
e) Perubahan bisa dilakukan apabila pihak produsen dan bank menyetujui.
f) Jika terjadi perubahan kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah
akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung
nasabah.
5) Mashnu’ (Barang/Objek Pesanan)
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2000,
tentang jual-beli Istishna’ khusunya pada ketetapan kedua mengenai “Ketentuan
Tentang Barang”, maka telah ditetapkan:
a) Harus jelas cirri-cirinya dapat diakui sebagai hutang
b) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya
c) Penyerahannya dilakukan kemudian
d) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan
e) Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya
f) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan sejenis sesuai kesepakatan
g) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad
lain. Jika terjadi dharar yakni kerugian finansial pada salah satu pihak
– pihak yang tidak membatalkan akad-, maka pihak yang dirugikan
itu boleh menuntut ganti rugi.
j. Penjual (ash-shâni’) wajib menyerahkan barang sesuai spesifikasi yang
disepakati pada waktu yang disepakati.
k. Pada saat barang diserahkan, pembeli (al-mustashni’) memiliki hak khiyâr
ar-ru’yah. Yaitu ketika melihat barang jika ia mendapati ketidaksesuaian
dengan spesifikasi yang disepakati maka ia memiliki pilihan:
1) Menerima barang tersebut, atau
2) Menolak menerima barang tersebut dan meminta penjual untuk
menyerahkan barang sesuai spesifikasi yang disepakati, dan
memberikan tambahan tempo waktu kepada penjual. Dalam hal ini,
pembeli tidak boleh tetap menerima barang dan meminta kompensasi
finansial atas ketidaksesuaian barang dengan spesifikasi, sebab jika
begitu artinya terlah terjadi dua jual beli dalam satu jual beli dan itu
adalah haram.
3) Menolak barang tersebut dan meminta kembali harga yang sudah
dibayarkan, dan artinya akad istishnâ’ tersebut batal.
4) Setelah point c tersebut, dimungkinkan untuk dilakukan jual beli yang
baru atas barang tersebut, namun tidak ada hubungannya dengan akad
istishnâ’ yang sudah dibatalkan.
l. Jika penjual (ash-shâni’) meninggal dunia sebelum barang itu selesai,
maka pemesan (al-mustashni’) memiliki khiyar. Yaitu antara menerima
diberikan barang dari pembuat (ash-shâni’) lainnya atau membatalkan
akad tersebut.
m. Jika pembeli (al-mustashni’) meninggal dunia sebelum barang diserahkan
maka harus dilihat. Jika barang belum dibuat oleh penjual (ash-shâni’)
maka kelanjutan akad istishna’ tersebut diserahkan kepada penjual apakah
tetap dilanjutkan atau dibatalkan. Jika barang sedang dalam proses
pembuatan atau sudah selesai dibuat tetapi belum diserahkan, maka ahli
waris pembeli wajib mengambil alih tanggungjawab pembeli.
15
A. Kesimpulan
1. Implementasi akad istishna’ pada Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)
Syariah dilakukan setelah konsumen melakukan proses ta’aruf yakni
meliputi, pengajuan permohonan, mempelajari syarat-syarat transaksi
kemudian ditetapkan layak oleh pihak developer sampai pada yang terakhir
yaitu membayar tanda jadi (mengurangi uang muka). Istishnâ’ yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah jual beli sesuatu yang dideskripsikan
berada dalam tanggungan yang proses pembuatannya berlangsung dari
penjual.
2. Mekanisme pembayaran angsuran pada Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)
Syariah sebagai berikut:
a. Kewajiban konsumen membayar angsuran adalah terhitung sejak
konsumen melakukan ta’aruf dan dianggap layak dalam pengajuan
permohonannya, membayar uang sebagai tanda jadi (mengurangi uang
muka). Uang muka dapat di angsur selama 6 kali maksimal 30 hari sejak
dilakukan pembayaran tanda jadi.
b. Besarnya angsuran ditentukan oleh uang muka dikurangi tanda jadi,
dibagi jumlah bulan, dan atau sesuai kesepakatan.
c. Pembayaran harga dilakukan secara kredit dengan angsuran selama
jangka waktu yang telah disepakati
B. Saran
1. Mengenai harga agar dipertimbangkan kembali, yakni memgeluarkan
produk dengan membangun property yang dapat dijangkau oleh lebih
banyak segmen kelas masyarakat.
2. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat dalam bentuk edukasi melalui
seminar ataupun workshop tentang RIBA ataupun transaksi yang
mengandung unsur keharaman, dengan demikian diharapkan dapat
menambah kesadaran masyarakat tentang bagaimana cara bermuamalah
yang sesuai dengan syariat Islam.
18
DAFTAR PUSTAKA
Arcarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
(2007)
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema
Insani Press (2001)
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. Cet-I. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve (1996)
Harahap, Sofyan Syafri, dkk. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPEE Usakti
(2005)
Hardjono. Mudah Memiliki Rumah Lewat KPR. Jakarta: PT. Pustaka Grahatama
(2008)
Haris, Helmi. Pembiayaan Kepemilikan Rumah (Sebuah Inovasi Pembiayaan
PerbankanSyari’ah). Jurnal Ekonomi Islam (2007)
Muhamad. Manajemen Dana Bank Syariah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
(2014)
Rifai, Moh. Konsep Perbankan Syari’ah. Semarang: Wicaksana (2002)
Rifai, Veithzal dan Andria Permata. Islamic Financial Management: Teori,
Konsepdan Aplikasi Panduan Praktis untuk lembaga Keuangan, Nasabah,
Praktisi, dan Mahasiswa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. (2008)
Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Panduan Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul
Hakim (2003)
19