Professional Documents
Culture Documents
De Jure
De Jure
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
ABSTRAK
Kabupaten Bener Meriah merupakan kabupaten hasil pemekaran dari KabupaenAceh Tengah,. Kabupaten Bener
Meriah memiliki hak atas tanah yang diamnfaatkan bersama oleh masyarakat adatnya untuk untuk keperluan
bersama seperti hulu air sebagai kerperluan sehari-hari dalam mengairi sawah ladang, air minum, dan tanah
wilayah peternakan. Seiring pertumbuhan jumlah penduduk semakin besar pula masyarakat membutuhkan tanah
untuk kehidupanya, sehingga banyak lahan-lahan untuk kepentingan bersama diambil alih untuk kepentingan
indevidual. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Pengakuan terhadap
Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan bagaimana perlindung hukum Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten
Bener Meriah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empirik dengan pendekatan kualitatif.Dengan jenis
dan pendekatan penelitian tersebut, peneliti mengumpulkan data dan informasi melalui wawancara dengan
Ketua Lembaga Adat, Kepala Desa Bale Atu, Kepala Bagain Hukum Pemerintah Tingkat II Bener Meriah dan
Beberapa Tokoh Masyarakat untuk menemukan jawaban pertanyaan penelitian yang selanjutnya dilakukan
analisis. Hasil penelitian ini menemukan hasil bahwa di Kabupaten Bener Meriah Pertama, masyarakat masih
mengakui keberadaan Lembaga-lembaga Adat sebagai lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat, ini
dibuktikan dengan dikeluarkannya Qanun Nomor 08 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Mukim. Kedua,
keberadaan tanah adat sebagai tanah persekutuan masih cukup dikenal dan dilindungi terutama tanah adat
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 289 - 304 289
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
diperuntukan untuk perueren (pertenakan), ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Qanun Nomor 05 tahun
2011 tentang Lokasi Peternakan (Peruweren) Uber-Uber dan Blang Paku.
Kata Kunci: Hak Tanah Adat
290 Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat... (Ahyar Ari Gayo)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
yang menyatakan bahwa kearifan lokal adalah No. 3886) Pasal 6 Ayat (1) menyebutkan bahwa
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tatanan hidup hak adat yang secara nyata masih berlaku dan
masyarakat. dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam
tanah dipahami sebagai suatu kesatuan geografis rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi
dan sosial yang secara turun-temurun dihuni, Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan
dikuasai dan dikelola masyarakat adat baik sebagai memperhatikan hukum dan peraturan perundang-
penyangga sumber-sumber penghidupan maupun undangan.
sebagai penanda atas identitas sosial yang diwarisi Dilatarbelakangi pada fakta-fakta bahwa
dari leluhur mereka, atau yang diperoleh melalui masih minimnya pemahaman hukum masyarakat,
pemberian dan kesepakatan dengan masyarakat aparatur penyelenggara negara, dan penegak
adat lainnya, seperti misalnya hasil penelitian ini hukum mengenai kedudukan hukum dan hak-hak
di Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh dimana masyarakat hukum adat yang harus mendapatkan
kesatuan masyarakat adat memiliki secara bersama penghormatan, dan perlindungan. Khususnya
wilyah tanah untuk keperluan bersama seperti hulu mengenai pengakuan eksistensi hak-hak
air sebagai kerperluan sehari-hari dalam mengairi masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya, yang
sawah ladang dan air minum. Tanah Peruweren merupakan wujud identitas teritorial masyarakat
(lokasi perternakan kerbau/sapi). Identitas budaya (hukum) adat yang bersangkutan, maka penelitian
dan wilayah inilah yang menjadi sumber hak ini perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana
kolektif bagi masyarakat hukum adat dan hak-hak pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat dan
ini merupakan hak konstitusional yang dinyatakan bagaiaman perlidungan hukum terhadap hak atas
dalam Qanun. tanah adat untuk menjamin kepastian hukum.
Adanya wilayah-wilayah untuk kepentingan
bersama kesatuan-kesataun masyarakat adat METODE PENELITIAN
tersebut, dalam kenyataan dan perkembangannya Penelitian ini merupakan penelitian hukum
saat ini ternyata memunculkan persoalan dimana empirik dengan pendekatan kualitatif. Dengan
sebagaian masyarakat tidak menyetujui atas jenis dan pendekatan penelitian tersebut, peneliti
keberadaan tanah-tanah untuk kepentingan mengumpulkan informasi dan data yang dapat
bersama tersebut, karena menghilangkan hak- menjawab dua pertanyaan penelitian, yang
hak yang seharusnya dimiliki oleh seseorang meliputi: pertama, bagaimna pengakuan terhadap
yang telah diturunkan oleh orang tua mereka eksistensi masyaraat adat; kedua bagaimana
sebelumnya. Inipun juga disebabkan semakin perlindungan hukum hak atas tanah adatt.
terbatasnya lahan untuk kehidupan mereka. Untuk mendapatkan data dan informasi terhadap
Adanya tuntutan sebagian masyarakat dua permasalahan tersebut, dilakukan melalui
untuk memeiliki hak atas tanah tersebut, tentu wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait
saja dalam konteks negara hukum, konstitusi dengan penelitian ini diantaranya Ketua Majelis
Indonesia menjamin persamaan setiap warga Adat Aceh, Dekan Fakultas Hukum Universitas
negara di hadapan hukum, sebagai salah satu Syiah Kuala Banda Aceh, Kepala Kampung Desa
prinsip dasar yang menjadi tuntutan dalam Bale Atu, Kepala Bagian Hukum Sekretariat
kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar Daerah Pemerintah Kabupaten Bener Meriah dan
prinsip tersebut, setiap warga negara berhak Tokoh Masyarakat. Selain itu, juga digunakan
memperoleh upaya hukum sekaligus pemulihan bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-
atas pelanggaran hak yang mereka derita maupun undangan yang berhubungan dengan penelitian
penyelesaian hukum secara adil. Negara, dalam ini dan bahan hukum sekunder yaitu buku, jurnal,
hal ini, memiliki kewajiban untuk memastikan hail-hasil penelitian.
pemenuhan hak-hak tersebut. Berbasis hak
warga negara yang demikian, maka mendasar
sifatnya untuk memberikan jaminan akses
keadilan yang merupakan jaminan konstitusional
hak asasi manusia (BPHN, 2013). Begitu juga
dalam penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 289 - 304 291
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
292 Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat... (Ahyar Ari Gayo)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
pengakuan dari Negara/pemerintah baik secara juga ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28I Ayat
politik maupun secara hukum, melalui pengaturan (3) yang menyebutkan, “Identitas budaya dan hak
hak dan kewajiban pemerintah dalam memberikan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
penghormatan, kesempatan dan perlindungan perkembangan jaman dan peradabannya”. Pasal
bagi berkembangnya masyarakat hukum adat 33 UUD NRI 1945 mewajibkan agar bumi, air
beserta hak-hak tradisional yang dimiliki dalam dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa Negara/ sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sejalan
pemerintah telah mengakui, menyatakan sah/ dengan ketentuan tersebut, harus senantiasa
benar atau menyatakan masyarakat hukum adat mengandung jiwa dan semangat kerakyatan,
berhak atas sumber daya alam yang dimiliki dan berkeadilan dan berkelanjutan. Pengakuan
mewajibkan pemerintah untuk melinduingi hak- terhadap eksistensi masyarakat adat tidak hanya
hak tersebut dari ancaman/gangguan pihak lain. berhenti pada ranah konstitusi. Sejumlah undang-
Pengakuan tersebut merupakan pengakuan yang undang mengatur lebih lanjut eksistensinya
diformulasikan dalam bentuk hukum Negara (Syafa’at, 2008: 28).
terhadap hak masyarakat hukum adat atas tanah Untuk menafsirkan ketentuan Pasal 18B Ayat
dan sumber daya alam lainnya (2) di atas, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Hak-hak masyarakat hukum adat meliputi Nomor 31/PUU/2007 menetapkan tolok ukur
hak-hak tradisional yang merupakan hak yang lahir untuk menilai keberadaan masyarakat hukum
dari masyarakat tersebut sebagaimana dilegitimasi adat, yaitu:
oleh hukum adatnya (hak bawaan) serta hak-hak 1. Masih hidup:
lain yang diberikan oleh negara. Di antara hak- Ada masyarakat dengan warga yang
hak tradisional yang ada pada masyarakat hukum memiliki perasaan kelompok (in-group
adat adalah hak ulayat atau disebut pula dengan feeling)
berbagai nama lainnya. Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ada pranata pemerintahan adat
Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) Ada harta kekayaan dan/atau benda-
menyatakan pengakuan terhadap hak ulayat benda adat
tersebut sepanjang menurut kenyataan masih Ada perangkat norma hukum adat
ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan Jika bersifat territorial ada wilayah
negara, berdasrkan persatuan bangsa dan tidak tertentu
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat:
undangan lain yang lebih tinggi. Sejalan dengan
cakupan konsep agraria yang luas dalam UUPA Keberadaannya telah diakui berdasarkan
yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam undang-undang yang berlaku sebagai
yang terkandung di dalamnya, maka pengakuan pencerminan perkembangan nilai-nilai
terhadap hak ulayat sebagaimana disebutkan yang dianggap ideal dalam masyarakat
dalam Pasal 3 UUPA juga berlaku pada hak ulayat dewasa ini, baik undang-undang yang
yang dipraktikan di wilayah masyarakat adat bersifat umum maupun bersifat sektoral,
(Ahyar, 2015: 20). seperti bidang agraria, kehutanan,
perikanan, dan lain-lain maupun dalam
Eksistensimasyarakatadat di Indonesia diakui peraturan daerah;
secara konstitusional sebagaimana tertuang dalam
Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Substansi hak-hak tradisional tersebut
NRI Tahun 1945 dan perubahannya menyatakan diakui dan dihormati oleh warga
bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat yang bersangkutan
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta maupun masyarakat yang lebih luas,
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan serta tidak bertentangan dengan hak-
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan hak asasi manusia.
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam Undang-Undang. Pengakuan
terhadap eksistensi masyarakat adat secara de jure
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 289 - 304 293
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
294 Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat... (Ahyar Ari Gayo)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
politik, sosial, dan hukum. Undang-undang ini sehingga kasus-kasus pertanahan yang berbuntut
merumuskan tanggung jawab pemerintah untuk pada kekerasan horizontal maupun vertikal
mengakui, menghormati dan melindungi hak- sebagaimana yang terjadi di Mesuji, Sumatera
hak masayarakat adat, masyarakat tradisional, Selatan, Riau dan Jambi tidak terulang kembali.
dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau- Selain itu diharapakan juga dapat memberikan
pulau kecil yang telah di manfaatkan secara turu- pedoman/pencerahan dalam rangka memberikan
temurun. Meskipun undang-undang ini lebih maju pengetahuan bagi masyarakat khususnya
namun belum ada peraturan pelaksana tentang masyarakat hukum adat dalam melindungi hak-
pelaksanaan tanggung jawab pemerintah terhadap haknya, yang memang menurut kenyataanya
masyarakat adat. masih ada.
Pengaturan dalam beberapa ketentuan Dengan demikian menurut penulis, jika
peraturan perundang-undangan tersebut, ada undang-undang yang tidak mengakui
kemudian dikuatkan kembali berdasarkan Putusan keberadaan hak-hak tradisional komunitas maka
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 undang-undang tersebut jelas-jelas bertentangan
menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat dengan Undang-undang Dasar Negera Republik
merupakan subjek hukum. Dengan putusan ini Indonesia Tahun 1945. Untuk itu pemerintah perlu
maka hukum Indonesia mengenai tiga bentuk untuk segera mensahkan Rancangan Undang-
subjek hukum yaitu perseorangan, badan hukum undang tentang Pengakuan dan Perlindungan
dan masyarakat hukum adat. Sebagai subjek Hak Masyarakat Adat. RUU tersebut sangat
hukum maka masyarakat hukum adat merupakan diperlukan guna memberi kepastian hukum
penyandang hak dan kewajiban. Hal ini ditegaskan atas berlangsungnya masyarakat adat dalam
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ mempertahankan tradisi dan budayanya. Karena
PUU-X/2012 dengan menyatakan: selama ini, telah terjadi perampasan secara sepihak
Dalam ketentuan konstitusional tersebut, hak-hak masyarakat adat dan konflik sosial yang
terdapat satu hal penting dan fundamental dalam terjadi di masyarakat adat. Konflik agraria yang
lalu-lintas hubungan hukum. Hal penting dan melibat masyarakat adat sudah sangat kronis dan
fundamental tersebut adalah masyarakat hukum memprihatinkan. RUU ini bertujuan melindungi
adat tersebut secara konstitusional diakui dan hak-hak masyarakat adat agar tidak dirampas
dihormati sebagai ―penyandang hak yang semena-mena dan diabaikan. Masyarakat adat
dengan demikian tentunya dapat pula dibebani punya hak berekonomi, hak perlindungan
kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum dan pemilikan tanah ulayat, mempertahankan
adat adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum kepercayaan spiritual hingga pewarisan nilai
di dalam suatu masyarakat yang telah menegara budayanya. Oleh sebab itu, mendesak untuk
maka masyarakat hukum adat haruslah mendapat diperjuangkan perlindungan dan pengakuan
perhatian sebagaimana subjek hukum yang atas masyarakat adat melalui sebuah RUU yang
lain ketika hukum hendak mengatur, terutama representatif mewakili seluruh komunitas adat di
mengatur dalam rangka pengalokasian sumber- Indonesia (https://www.change.org/p/sahkan-
sumber kehidupan. ruu-pengakuan-dan-perlindungan-hak-
masyarakat-adat, diakses 9April 2018).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/
PUU-X/2012 menegaskan tidak dibenarkannya Secara khusus di Kabupaten Bener Meriah
diskriminasi terhadap masyarakat hukum adat terhadap pengakuan keberadaan masyarakat adat
sebagai subjek hukum. Demikianlah maka diatur dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008
penguasaan negara atas sumber daya alam wajib Tentang Lembaga Adat dan Qanun Kabupaten
melindungi, menghormati dan memenuhi hak Bener Meriah Nomor: 08 Tahun 2009 Tentang
masyarakat hukum adat. Pemerintahan Mukim. Berdasarkan Pasal 1
Qanun tersebut yang dimaksud dengan mukim
Berbagai peraturan hukum yang telah ada
adalah kesatuan masyarakat Hukum di bawah
mengatur mengenai masyarakat adat , seharusnya
Kecamatan yang terdiri atas gabungan berapa
dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian
Kampung yang mempunyai batas-batas wilayah
berbagai masalah pertanahan di Indonesia
tertentu yang dipimpin oleh Kepala Mukim yang
khsusnya konflik pertanahan yang menepatkan
berkedudukan langsung dibawah Camat. Namun
masyarakat hukum adat sebagai korban,
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 289 - 304 295
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
menurut peneliti terutama keberadaan Qanun air) sebagai sumber mata air, baik sebagai sumber
Kabupaten Bener Meriah Nomor: 08 Tahun 2009 air pertanian dan sumber air sebagai air untuk
Tentang Pemerintahan Mukim perlu dikaji ulang, dikosumsi masyarakat.
sebab apabila dicermati penempatan mukim Mengingat akan fakta dimaksud diatas,
antara camat dan kepala kampung terkadang seharusnya antara persekutuan dengan tanah
menimbulkan dilema. “Pemahaman terhadap yang didudukinya itu terdapat hubungan yang
mukim ini harus digali lebih dalam lagi, apakah bersifat religio-magis dan ini menyebabkan
ini arah lembaga pemerintahan, apakah lembaga persekutuan memperoleh hak untuk menguasai
adat. Hal ini dikuatkan oleh responden Dosen tanah, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil
Hukum Universitas Syaiah Kuala Banda Aceh, dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah
kedepan hal ini harus dipertimbangkan dan itu juga berburu terhadap binatang-binatang yang
dielaborasi, seperti apa sebenarnya kedudukan hidup di wilayah persekutuan tersebut.
lembaga mukim, agar keberadaan lembaga mukim
Berdasarkan informasi yang diungkapkan
benar-benar memberi hasil yang positif, mungkin
Informan Bapak Muchtaruddin Gayo, MBA
sebagai pengawasan kepala kampung di daerahnya
(tokoh masyarakat) kepada peneliti, bahwa
masing-masing, selama ini, mungkin lebih banyak
dalam rangka perlindungan hak atas tanah,
kalau ada permasalahan di kampung kepala mukim
informan menyampaikan salah satu kasus adalah
dilibatkan, tapi dari itu belum lagi termanfaatkan
penggadaan tanah untuk pembagunan pasar
secara maksimal posisi dari lembaga mukim,
sayur mayur, menurut beliau (lihat lintas Gayo)“
sehingga kedepan perlu kita kaji lebih mendalam
Kisruh pengadaan tanah untuk lokasi pusat pasar
seperti apa sebenarnya idealnya lembaga mukim
sayur-mayur Bener Meriah menjadi perhatian
itu. Mukim harus diposisikan sebagai bagian dari
banyak pihak baik masyarakat di Bener Meriah
pemerintahan. Namun, yang terjadi sering kali
maupun masyarakat Gayo perantauan di Banda
posisi imam mukim hanya sebagai sebuah struktur
Aceh, Medan dan Jakarta. Hal tersebut dapat
pemerintah pelengkap.
dipahami karena masyarakat Bener Meriah sangat
Sering kali kesadaran masyarakat dalam mendambakan kehadiran Pusat Pasar Sayur-mayur
melihat mukim hanya sebatas sebuah institusi guna meningkatkan kegiatan perekonomian para
adat bukan dipandang sebagai bagian dari petani sayur dan pedagang sayur di daerah sentra
pemerintahan. Pola pandang yang sedemikian produksi sayur-mayur tersebut.
tidak sepenuhnya salah, ini cerminan dari
Seperti diketahui bahwa tanah lokasi pusat
realitas obyektif di mana lembaga mukim saat
pasar tersebut berada di wilayah hukum Desa Bale
ini dalam praktek pemerintahan diberi ruang dan
Atu Kecamatan Bukit. Selama ini status tanah
kewenangan yang jelas.
tersebut adalah tanah Negara bekas perkebunan
C. Hak Atas Tanah Adat pinus/ damar Perusahaan Negara Perkebunan
Di Kabupaten Bener Meriah istilah tanah (PNP). Perkebunan Negara ini pernah mengalami
adat sebenarnya masih cukup dikenal dalam masa jayanya pada kurun waktu tahun 1960 –
kehidupan sosial. Misalnya terkait tanah adat 1980 an dengan beroperasinya pabrik pengolahan
yang diperuntukkan untuk perueren (peternakan), minyak terpenting di Lampahan Kabupaten Aceh
sumber mata air untuk pertanian dan sumber Tengah saat itu dengan kapasitas produksi terbesar
air untuk dikonsumsi serta aset lainnya yang di Asia Tenggara. Dalam perjalannya Instansi yang
dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat. telah mengangkat nama Kabupaten Aceh Tengah
Namun sayangnya, kearifan dan kekayaan di dunia minyak terpenting secara berangsur
lokal ini semakin hari semakin terkikis, terlebih mengalami kemunduran dan akhirnya ditutup.
tidak adanya perlindungan secara khusus dari Tidak jelas apa penyebab kemundurannya, diduga
lembaga-lembaga terkait khususnya wilayah salah satunya akibat tidak kondusifnya situasi
sumber mata air. Sehingga bukan mustahil satu keamanan di Provinsi Aceh kala itu.
saat nanti kekayaan berupa Tanah Adat tersebut PT. Alas Helau pada tahun 1991 berhasil
akan beralih fungsi atau malah beralih tangan dan memperoleh izin operasi Hak Penguasaan Hutan
hilang. Misalnya saja sebagaimana diungkapkan (HPH) dari pemerintah dengan nomor SK.HPH.
informan Kepala Kampung Bale Atu mengenai No.20/KPTS-II/1991 Tanggal 11 Januari 1991
keberadaan wilayah lokasi tanah ulu ni wih (hulu untuk pengolahan areal kawasan hutan pinus
296 Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat... (Ahyar Ari Gayo)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Burni Telong, lokasi bekas Perusahaan Negara “Bahwa tanah Nasional Indonesia mengakui
Perkebunan (PNP). PT. Alas Helau sebagai adanya Hak Ulayat dan serupa itu dari
pemegang HPH dan PT. Kertas Keraf Aceh masyarakat hukum adat sepanjang pada
(KKA) mulai menebang hutan pinus sebagai kenyataannya masih ada”. (b). Definisi hak
bahan baku kertas keraf dibawa ke pabrik KKA di ulayat menurut Peraturan Menteri Negara
Lhoseumawe (Aceh Utara) . Dalam perjalanannya Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
tidak terlalu sukses karena alasan keamanan dan No. 5 tahun 1999 : “Pedoman Penyelesaian
terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sekitar Masalah Hak Ulayat Masyarakat hukum adat
tahun 1997 dan kegiatan perusahaan mulai Pasat 1 Ayat 1 berbunyi; “ Hak ulayat dan
berkurang menjelang HPH berakhir tahun 2003. hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum
Akibat dari krisis ekonomi semakin meluas adat, didefinisikan sebagai: Kewenanangan
dan semakin parah, pada bulan April 1999 yang menurut hukum adat dipunyai oleh
Masyarakat Adat Desa Bale Atu dan ahli waris masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
Raja Husin Setje Gunung yang diketuai oleh putra tertentu yang merupakan lingkungan
kandung almarhum Raja Husin Setje Gunung, hidup para warganya untuk mengambil
Abdullah Husin, BBA pemegang mandat surat manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah adat; “ De Zelfbestuurder van het lanschap tanah wilayah tersebut, bagi kelangsungan
Boeket, tanggal 20 Agustus tahun 1929 yang hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
diperoleh dari Raja Ilang, Raja Boekit saat itu hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-
mengajukan permohonan kepada Direksi PT. temurun dan tidak terputus antara masyarakat
Alas Helau untuk mengijinkan masyarakat adat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
Desa Bale Atu menggarap lahan perkebunan bersangkutan”.
secara tumpang sari di sekitar areal Desa Bale Atu 3. Masyarakat Adat dan Ulayat Blah Setie
untuk meningkatkan perekonomian masyakarat. Gunung Desa Bale Atu /Ahli waris
Permohonan tersebut disetujui oleh pihak PT. Alas melaporkan kepada Bupati Aceh Tengah
Helau dengan surat No.142/01-10/IV/1999 tanggal bahwa realisasi penggarapan lahan HPH
14 April 1999 dengan beberapa persyaratan. PT. Alas Helau dengan sistim tumpang sari
Selanjutnya Abdullah Husin, BBA sebagai ketua ternyata dapat mengatasi kesulitan ekonomi
Masyarakat Adat Desa Bale Atu mengkapling masyarakat Desa Bale Atu di saat masa krisis
tanah adat tersebut untuk dibagikan kepada +/- dan kaondisi keamanan yang tidak kondusif.
200 Kepala Keluarga masyarakat adat Desa Bale 4. Berdsarkan hasil Musyawarah Masyarakat
Atu dengan status “Numpang Usaha” menanam Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung Desa
sayur-mayur secara tumpang sari dengan tidak Bale Atu/Ahli waris pada 1 April 1999
merusak kebun pinus. diambil beberapa keputusan sebagai berikut:
Pada bulan Semptember 2002 Ketua Badan (a). Meningkatkan aktifitas penggarapan
Kekerabatan Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung, lahan tumpang sari. (b). Mengamankan
Desa Bale Atu/Ahli waris Amanah Raja Oesin areal tanah garapan masing-masing
Setia Gunung, Abdullah Husin, BA mengirim anggota masyarakat Desa Bale Atu yang
surat kepada Bupati Aceh Tengah nomor surat: 01/ telah menerima pembagian kapling tanah
AH/IX/2002 isi surat tersebut antara lain : garapan. (c.) Mencegah upaya masyarakat
1. Mengingatkan Pemda Aceh Tengah dan PT. luar menguasai lahan secara ilegal dengan
Alas Helau bahwa HPH atas Hutan Pinus mengatasnamakan masyarakat adat Desa
areal Burni Telong akan berakhir 12 Januari Bale Atu dan mencegah terjadinya benturan
2003. Masyarakat Adat dan Ulayat Blah Setie kepentingan pada akhirnya terjadi bentrok
Gunung Desa Bale Atu/Ahli waris memohon fisik di lapangan.
kiranya Pemda Aceh Tengah berkenan untuk Setelah izin operasi HPH PT. Alas Helau
mengembalikan areal tanah adat kepada berakhir tahun 2003 secara otomatis areal hutan
mereka. pinus Burni Telong kembali ke Pemda. Kabupaten
2. Dasar hukum yang dipakai adalah: (a). UU Aceh Tengah telah dimekarkan menjadi Kabupaten
No.5 tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah dengan
Pokok-pokok Agraria Pasal 3 menyatakan:
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 289 - 304 297
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
UU. No.41 Tahun 2003 sehingga areal bekas HPH kharismatik (Wicaksono dan Ananda Prima
dimaksud kembali kepada Pemda Bener Meriah. Yurista, 2018: 276).
Melihat dua surat sebelumnya tahun 1999 Menurut peneliti dalam rangka mencari
dan tahun 2002 tidak mendapat tanggapan dari solusi atas berbagai sengketa pertanahan harus
pihak Pemda maka Ketua Badan Kekerabatan dilakukan dengan secara hati-hati untuk kondisi
Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung, Desa Bale sosial, budaya dan Hukum pertanahan pada
Atu/Ahli waris Amanah Raja Oesin Setia Gunung, masyarakat Bener Meriah yang beraneka ragam.
Abdullah Husin, BBA mengirim surat kembali Kehati-hatian perlu dilakukan utuk menjegah
kepada Bupati Bener Meriah nomor surat: 01/ terjadinya konflik` dan pertikaian.
ADT-BSG/III/2004 isi surat tersebut antara lain: Sebab pengambilalihan hak ulayat tanpa
meminta kembali Pemda mengembalikan areal persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk
bekas HPH PT. Alas Helau kepada masyarakat pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana
Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung, Desa Bale tertuang dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor
Atu. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Karena setelah dibangunnya Bandara yang berbunyi: “Dalam rangka penegakan hak
Rembele di Desa Bale Atu tanah adat tersebut asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
telah menjadi incaran banyak pihak mulai dari masyarakat hukum adat harus diperhatikan
oknum Pemda, oknum DPRK, oknum Angkatan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan
dan para makelar tanah, sehingga banyak terjadi Pemerintah“. Kepemilikan tanah rakyat adalah
transaksi penjualan Tanah Negara “di bawah merupakan sebuah hak asasi manusia yang
tangan” yang dilegalisasi oleh oknum Camat dilindungi oleh hukum Internasional maupun
Bukit berupa penerbitan SKT-SKT illegal mulai hukum nasional. Dalam hukum Internasional, hak
tahun 1999 sampai sekarang. Pada lokasi tanah milik ini diatur dalam Deklarasi Universal Hak
Negara yang sama telah dibangun kantor KIP Asasi Manusia (DUHAM), yaitu:
Kabupaten Bener Meriah, komplek sekolahan Pasal 17 Ayat (1): Setiap orang berhak untuk
STM dan beberapa tapak rumah Dhuafa dilepas memiliki harta benda baik secara pribadi
dengan SK Bupati untuk keperluan Negara dan / maupun bersama-sama dengan orang lain;
Masyarakat. Akan tetapi yang sangat aneh pada
Pasal 17 Ayat (2): Tidak seorangpun dapat
lokasi tanah Negara yang sama pula Pemda Bener
dirampas harta bendanya secara sewenang-
Meriah membeli lahan seluas 15.000 meter untuk
wenang;
lokasi Pusat Pasar Sayur dari “R” oknum anggota
DPRK Bener Meriah dengan nilai Rp.1,125 Pasal 30: Tidak ada satu ketentuan pun
Milyar yang nota bene masih berstatus tanah dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan
Negara. Dalam kasus ini masyarakat meminta sebagai memberikan hak pada suatu Negara,
kepada Bupati Bener Meriah untuk menjelaskan kelompok atau orang untuk terlibat dalam
status tanah dimaksud dengan sejujurnya apakah aktivitas atau melakukan suatu tindakan
lokasi pembangunan Pusat Pasar Sayur di Desa yang bertujuan untuk menghancurkan hak
Bale Atu Kecamatan Bukit tersebut Tanah Negara dan kebebasan apapun yang diatur dalam
Atau Tanah Masyarakat. deklarasi ini.
Menyimak dari contoh kasus di atas, Menyikapai adanya konflik hak atas
berdasarkan hasil Penelitian Fakultas Hukum tanah masyarakat, yang sebagaian masyarakat
Universitas Nusa Cendana yang bekerjasama menyatakan bahwa tanah terebut adalah
dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai, yang meruapakan bagain dari tanah ulayat masyarakat
menyimpulkan bahwa peran dan fungsi adat Bener Meriah dan sebagaian lagi dari
norma adat dalam penyelesaian konflik tanah masyarakat mengatakan bahwa tidak ada lagi tanah
masih kuat, dengan mengutamakan musyawarah ulayat tapi merupakan tanah indevidu–indevidu
yang bermuara pada perdamaian dan pemulihan masyarakat miliki. Berdasarkan informasi yang
keharmonisan hubungan antara manusia dengan diberikan informan, Ketua Lembaga Majelis Adat
sesamanya dan manusia dengan khalik tertinggi Gayo Bener Meriah dan Kepala Bagian Hukum
serta semesta alam, melalui lembaga adat Sekretariat Daerah Kabupaten Bener Meriah
untuk mendapatkan legitimasi tradisional dan kepada peneliti pada tanggal 23 Maret 2018 bahwa
298 Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat... (Ahyar Ari Gayo)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Kabupaten Bener Meriah sudah mempunyai peta Adapun objek hak ulayat yang Masih
tanah adat. Salah satu peta adat tersebut adalah dijumpai di Kabupaten Bener Meriah berdasarkan
penetapan wilayah peruwuren yaitu berdasar penelitian adalah: a. Peruweren (Padang
Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor 05 tahun Pengembalaan) terdapat di daerah Kecamatan
2011 tentang Lokasi Peternakan (Peruweren) Mesidah yaitu Kampung Perumpakan Benjadi; b.
Uber-Uber dan Blang Paku. Peruweren adalah Mersah dan Berawang serta Doyah (tempat Ibadah
sebuah lokasi peternakan tempat masyarakat dan Tempat pemandian). c. Pekuburen (tanah
adat untuk melaksanakan aktifitas peternakan/ Kuburan). d. Tamak (Tambak)/Nien (Kulam). e.
penggembalaan hewan ternak. Tujuan dari Arul/Rerak/Tali Air (Irigasi/Pengairan) f. Belang
penunjukan peruweren ini adalah melestarikan Kampung/Penyemuren (Lapangan Kampung) g.
fungsi strategis peternakan tradisional yang sudah Tanoh Pengkaron (Medan Berburu). h. Empus
dilakukan masyarakat adat setempat. Meskipun Kampung (Kebun Kampung) terdapat di kampung
qanun ini hanya untuk peternakan saja, sementara Kenawat. Objek hak ulayat ini masih diberlakukan
untuk tanah untuk kepentingan bersama yang hukum adat Gayo sebagai hukum yang mengatur
masyarakat tidak menyetujuinya seperti wilayah peruntukan dan pemanfaatan, serta sanksi yang
ulu ni wih (daerah hulu air), dimana aliran hulu air dikenakan kepada para anggota masyarakat adat
ini dimanfaatkan bersama untuk pengairan sawah, yang melakukan pelanggaran yang berkaitan
dan air minum, sehingga aliran air untuk irigisasi dengan objek ulayat tersebut (Yowa, 2016: 190).
semakin kecil dan berkurang. Menurut penulis, walaupun secara umum
Dari penuturan informan tersebut dapat di Provinsi Aceh istillah hak ulayat sebagaimana
ditarik kesimpulan bahwa walaupun ada bagian di wilayah lain di Indonesia atau sesuai dengan
tanah yang telah menjadi bagian tanah persekutuan ketentuan peraturan hampir tidak ada ditemukan.
yang ditetapkan melalui qanun, namun di bagian Namun melihat karakteritik pengelolaan tanah
lain tanah yang pemanfaatannya secara bersama bersama di Bener Meriah yang diperuntukan baik
untuk kepentingan bersama pula seperti aliran alir, untuk lokasi peternakan mapun pengairan irigasi
ditarik kembali oleh pemiliknya. Hal ini dilakukan persawahan, maka hanya penamaannya saja yang
pemiliknya dikarenakan mengingat semakin berbeda akan tetapi bentuknya sama dengan apa
sempitnya tanah yang dibutuhkan. Tentu hal yang disebut dengan hak ulayat di wilayah lain di
demikian menjadi salah satu faktor melemahkan Indonesia. Dimana ada dari tanah sesuai dengan
hak atas tanah (ulayat). apa yang dituturkan informan Ketua Majelis Adat
Sebagaimana juga hasil penelitian yang Kabupaten Bener Meriah kepada peneliti, bahwa
sudah pernah dilakukan Yowa dkk “ segi konsep tanah adat/tanah ulayat adalah tanah yang
Budaya Hukum dalam Perlindungan Hak Ulayat dikuasai seseorang atau sekelompok masyarakat
Masyarakat Adat Gayo di Kabupaten Bener Meriah secara adat untuk kepentingan perorangan
Pengaruh intern yang melemahkan hak ulayat atau kepentingan kelompok adat tertentu telah
masyarakat adat Gayo di Kabupaten Bener Meriah berlangsung lama dan turun-temurun.
ini mengakibatkan berkurangnya luas tanah ulayat Halyangsamasebagaimanajugadiungkapkan
peruweren dari sekitar 32.000 hektar, menjadi informan Ketua Majelis Adat Aceh kepada pada
sekitar 4.000 hektar saja. Pertumbuhan penduduk peneliti, bahwa yang sangat dikenal “hak atas
yang mengakibatkan meningkatnya peralihan tanah adat” “Hak-hak umum” masyarakat/hak
sawah menjadi tempat tinggal mengakibatkan bersama masyarakat. Di kalangan masyarakat
kebutuhan akan irigasi yaitu rerak menjadi yang dikenal adalah “hak adat/hak umum” sebagai
semakin berkurang karena sawah yang biasanya makna hak ulayat. Konsep: melekat hak-hak
diairi oleh rerak menjadi berkurang bahkan hilang bersama/komunal yang sering disebut “hak-hak
Secara Umum Hak atas tanah adat di Gayo adat masyarakat yang penguasaan masyarakat,
dibagi 2 yaitu Hakullollah/Hak Allah (tanah yang ada yang bersifat; gampong (desa), mukim,
tidak bertuan) dan Hakuledem/Hak Adam (tanah kecamatan, kabupaten. Yang menjadi obyek hak
yang bertuan). Hak atas tanah diberikan oleh yang ulayat adalah tanah, air, sungai (danau, pantai/
berwenang (sarakopat) dengan membayar teragu perairan), tumbuh-tumbuhan yang hidup secara
yaitu sejumlah uang kepada bendahara Sarakopat liar (pohon buah-buahan, pohon hutan kayu) dan
untuk Kas Kampung. binatang yang hidup didalamnya. Pada hak ulayat/
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 289 - 304 299
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
hak umum melekat hak-hak individual anggota D. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan
masyarakat setempat untuk memiliki, menguasai dalam Masyarakat Adat
dan mengelola serta mengawasi segala sumber Setiap masyarakat dalam kehidupannya
alam, berupa tanah dan segala lat-batat kayee- pasti mengalami perubahan-perubahan,
batee (sumber manfaat lainnya) yang ada di atas begitupun terhadap di lingkungan masyarakat
maupun di bawah bumi untuk kesejahteraan hidup adat di Kabupaten Bener Meriah. Berdasarkan
(mengatasi kemiskinan/jak geumadee/ tangan di sifatnya, perubahan yang terjadi bukan hanya
bawah). menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga
Namun sebaliknya dikatakan informan menuju ke arah kemunduran. Perubahan sosial
Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala yang terjadi memang telah ada sejak dari zaman
bahwa memang tidak dikenal tanah ulayat di dahulu. Ada kalanya perubahan-perubahan yang
Provinsi Aceh tetapi tanah gampong dan tanah terjadi berlangsung demikian cepatnya, sehingga
umum merupakan istilah yang bermakna sama masyarakat belum siap menghadapinya.
atau hampir sama dengan hak ulayat. Tanah adat/ Perubahan sosial adalah perubahan unsur-
tanah ulayat merupakan tanah yang dikuasai oleh unsur atau struktur sosial dan perilaku manusia
masyarakat/desa /gampong/mukim berdasarkan dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke
hukum adat setempat. keadaan yang lain. Perubahan sosial budaya itu
Padahal, hak ulayat diisyaratkan sebagai hak biasanya terjadi karena adanya dorongan dari
penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan beberapa faktor baik yang berasal dari dalam
wilayah suatu masyarakat hukum adat (Pasal 3 masyarakat (internal) maupun yang berasal
UUPA). Pemegang hak ulayat adalah masyarakat dari luar masyarakat (eksternal) (https://www.
hukum adat yang bersangkutan, sedangkan dictio.id/t/faktor-faktor-apa-sajakah-yang-
pelaksananya adalah Penguasa Adat masyarakat m em pengaruhi -t erj adi nya - perubahan -
hukum adat yang bersangkutan, yaitu Kepala sosial/1164, diakses 9April 2018).
Adat sendiri atau bersama-sama para tetua adat Perubahan sosial ini dapat merupakan
masing-masing (http://semestahukum.blogspot. perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-
com/2016/08/perlindungan -hukum-hak- lembaga kemasyarakatan dalam masyarakat yang
ulayat.html, diakses 4 Juni 2018). memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai,
Hal mana sesuai Peraturan Menteri Agraria sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut.
Nasional (BPN) Nomor 9 tahun 2015 (selanjutnya Faktor-faktor apa sajakah yang memperngaruhi
disebut Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015) terjadinya perubahan sosial antara lain bisa
yang mengatur tata cara penetapan hak komunal 1. Faktor yuridis
atas tanah untuk masyarakat hukum adat, dan
Hukum adat di Indonesia adalah suatu
untuk masyarakat yang berada dalam kawasan
kompleks norma-norma yang bersumber pada
kehutanan, perkebunan dan lainnya. Peraturan
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang
ini menghapuskan Peraturan Menteri Negara
serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku
Agraria/Kepala BPN nomor 5 tahun 1999 tentang
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis,
Masyarakat Hukum Adat. Masyarakat Hukum
senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat,
Adat dirumuskan oleh peraturan baru ini adalah
karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Hukum
suatu kelompok masyarakat yang secara fisik
adat pada umumnya belum atau tidak tertulis
menguasai tanah, sumber daya alam, dan wilayah
adat mereka secara terus-menerus, bercirikan Eksistensi masyarakat adat Indonesia secara
paguyuban yang memiliki kelembagaan perangkat umum telah mendapatkan pengakuannya secara
penguasa adatnya, wilayah hukum adat yang jelas, konstitusi demikian pula halnya dengan eksistensi
dengan pranata dan perangkat hukum adatnya masyarakat Adat di Kabupaten Bener Meriah.
masih ditaati oleh masyarakatnya (Ahyar dan Pengakuan tersebut telah dituangkan dalam
Nevey, 2016: 167). konstitusi yaitu UUD Tahun 1945 baik setelah
Amandemen maupun sesudah amandeman UUD
1945, di mana pada Amandemen ke-IV (tahun
300 Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat... (Ahyar Ari Gayo)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
2000) menambahkan dua pasal tentang masyarakat 1. Dalam rangka penegakan HAM, perbedaan
HUKUM ADAT. dan kebutuhan dalam masyarakat Hukum
Pasal 18B Ayat (2): Adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah.
“negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat 2. Identitas budaya masyarakat hukum adat
baik hak-hak tradisionalnya sepanjang masih termasuk Hak Atas Tanah Ulayat dilindungi
selaras dengan perkembangan zaman.
hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Penegasan hukum Adat beserta hak-hak atas
Republik Indonesia diatur oleh UU”. tanah ulayat pada masyarakat adat sebagai hak
dasar (asasi) tersebut merupakan suatu kemajuan
Pasal 28I Ayat (3):
yang tentunya, tidak saja dalam pengaturan tapi
“identitas budaya dan hak masyarakat juga dalam implementasi.
tradisional dihormati selama dengan Seperti halnya Kabupaten Bener Meriah
perkembangan zaman dan peradaban”. misalnya sejak dari dahulu Uber-Uber dan Blang
Penjabaran mengenai pengakuan dan Paku merupakan lokasi peternakan, namun seiring
penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan dengan perkembangan jaman maka wilayah
masyarakat Hukum Adat, dituangkan antara lain Uber-Uber dan Blang Paku ini sebagai wilayah
dalam pasal dan ayat (g) Undang Undang No. peternakan masyarakat ditetapkan berdasarkan
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor 05 tahun
sebagaimana telah dirubah dengan Undang- 2011 tentang Lokasi Peternakan (Peruweren)
undang Nomor 9 Tahun 2015, yang memberikan Uber-Uber dan Blang Paku. Penetapan dengan
otonomi kepada Pemerintah Daerah. Pada qanun tersebut untuk memberikan perlindungan
prinsipnya pelaksanaan otonomi daerah adalah kepada hak-hak persekutuan dan juga memberikan
memberikan desentralisasi dan dekosentrasi. kepastian kepada masyarakat persekutuan sebagai
Untuk melakukan pengaturan dan pengkondisian sumber kehidupan mereka.
sendiri aspirasi yang berkembang di daerahnya, 2. Faktor Ekonomi dan Budaya Masyarakat
supaya tidak bertentangan dengan peraturan
Bagi masyarakat Aceh pada umumnya dan
perundang-undangan nasional
khususnya di Kabupaten Mener yang sudah secara
Dengan demikian masyarakat Adat berhak turun temurun mendiami wilayah di sekitar gunung
pula untuk membuat peraturan sendiri di bidang Burni Telong, sampai saat ini masih nampak
pertanahan pada khususnya sesuai dengan eksistensi masyarakat adatnya. Dimana mereka
kondisi masyarakat setempat. Dimana pada secara turun-temurun masih konsisten melakukan
kenyataannya perlakuan hukum yang bersifat kegiatan-kegiatannya untuk menunjang ekonomi
nasional pada masyarakat adat. Seolah telah masyarakatnya yaitu dengan memanfaatakan
melakukan pengingkaran (inkonsistensi) terhadap tanah-tanah mereka dengan mendasarkan kepada
asas, nilai, atau sistem kearifan lokal masyarakat kearifan lokal yang mereka peroleh sejak nenek
Adat yang selama ini telah diyakini dan dilakukan moyang, sehingga untuk itu perlindungan yang
sesuai dengan ajaran nenek moyangnya sehingga memadai dari pemerintah sangat diperlukan
melahirkan konflik hukum dalam pemanfaatan terhadap hak-hak atas tanah atau sumber daya
hak atas tanah, sumber daya alam dan sumber alam di wilayah mereka, karena masyarakat
daya air sebagai pertanian. mempunyai keterkaitan yang tinggi dengan alam
Pengingkaran atas pemberlakuan hak-hak lingkungannya yang ada saat ini. Seperti dalam hal
atas masyarakat adat tersebut, apabila dikaitkan hal yang menyangkut sumber mata air (mata/ulu ni
dengan pengaturan hak-hak asasi manusia wih), jika tidak ada perlindungan atau pelestarian
juga sangat bertentangan. Penghormatan dan dari masyakat atau bahkan dari pemerintah melalui
pengakuan eksistensi hukum adalah dalam hak lembaga-lembaganya ini akan berdampak buruk
ulayat sebagai hak asasi manusia, serta identitas terhadap kehidupan. Yang lebih nyata adalah
budaya dan hak masyarakat tradisional selaras menyempitnya pemanfaatan lahan persawahan
dengan perkembangan zaman dan peradaban. akibat berkurangnya debit air (keperluan irigasi
Hal mana dapat dilihat dalam Pasal 6 UU No. 39 persawahan), belum lagi konsumsi air bersih bagi
Tahun 1999 tentang HAM masyarakat luas.
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 289 - 304 301
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
302 Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat... (Ahyar Ari Gayo)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian disimpulkan yakni
bahwa eksinstensi masyarakat adat di Kabupaten
Bener Meriah diakui keberadaannya dengan
dibentuknya Lembaga-lembaga Adat di tingkat
Kabupaten maupun di setiap kecamatan dan
kampung berdasarkan Qanun Aceh Nomor 10
Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat dan Qanun
Kabupaten Bener Meriah Nomor: 08 Tahun
2009 Tentang Pemerintahan Mukim. Walaupun
keberadaan qanun tersebut masih memerlukan
beberapa kajian tentang kewenangan mukim itu
sendiri
Tanah Adat sebagai tanah persekutuan
dalam masyarakat Gayo di Kabupaten Bener
Meriah masih cukup dikenal dan dilindungi
terutama terkait tanah adat yang diperuntukkan
untuk perueren (pertenakan) yaitu melalui Qanun
Nomor 05 tahun 2011 tentang Lokasi Peternakan
(Peruweren) Uber-Uber dan Blang Paku.
SARAN
Perlu dikaji lebih mendalam lagi tentang
Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor: 08
Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Mukim selain
itu, perlunya dibuatkan qanun tanah adat di ulu ni
uih (Sumber Mata Air) sebagai lokasi sumber air
pertanian dan air untuk dikonsumsi masyarakat.
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 289 - 304 303
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
304 Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat... (Ahyar Ari Gayo)