Professional Documents
Culture Documents
ID Revitalisasi Prinsip Pembedaan Distincti
ID Revitalisasi Prinsip Pembedaan Distincti
200-208
ABSTRAK
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji konsep dan implementasi
prinsip pembedaan hukum humaniter internasional agar dapat
memberikan perlindungan efektif terhadap kombatan dan penduduk
VOL. 23 NO. 2
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
DESEMBER 2016
sipil dalam konflik bersenjata modern. Metode yang di humaniter internasional tidak mengatur tentang larangan
gunakan yuridis normatif, dengan pendekatan sejarah perang tetapi mengatur tentang perlindungan terhadap
hukum dan asas-asas hukum. adapun analisis yang di korban perang. Sehingga, sebagai wujud dari perlindungan
gunakan adalah deskriptif analitis yuridis, yaitu terhadap korban perang, para pihak wajib menghormati
menganalisis identifikasi masalah berdasarkan data Prinsip Kemanusiaan, Prinsip Proporsionalitas dan Prinsip
sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum
Pembedaan secara bersamaan dalam perang. Prinsip
sekunder dan bahan hukum tertier yang kemudian
Pembedaan (distinction principle) pada dasarnya adalah
dianalisis secara yuridis kualitatif. Adapun hasil
memberikan pembatasan kepada kombatan yang terlibat
penelitian ini adalah: Pertama, Konsep prinsip
pembedaan (distinction principle) hukum humaniter dalam konflik bersenjata dan perlindungan bagi penduduk
internasional mampu memberikan perlindungan efektif sipil. Prinsip Pembedaan mulai diatur dalam Konvensi Den
terhadap korban konflik bersenjata jika negara-negara Haag 1907 namun belum secara eksplisit. Akan tetapi secara
peserta konvensi berkomitmen bahwa dalam konflik implisit dapat ditemui dalam Pasal 1 Bab 1 konvensi yang
bersenjata, para pihak yang berkonflik wajib meng- dinyatakan bahwa: hukum, hak dan kewajiban perang tidak
hormati prinsip pembedaan, prinsip proporsionaltas hanya berlaku bagi tentara saja tetapi juga bagi milisi dan
dan prinsip kemanusiaan dalam konflik bersenjata secara korps sukarela yang memenuhi syarat sebagai kombatan.
bersamaan. Kedua, Prinsip pembedaan hukum Sedangkan dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa angkatan
humaniter internasional tidak dapat terimplementasi bersenjata dari pihak berperang terdiri dari kombatan dan
secara maksimal dalam konflik bersenjata modern
non-kombatan. Apabila tertangkap oleh musuh, keduanya
karena dipengaruhi perkembangan bentuk konflik, yang
harus diperlakukan sebagai tawanan perang. Namun, perlu
tadinya hanya konf lik bersenjata internasional
digaris bawahi bahwa non-kombatan yang dimaksud
kemudian muncul konflik bersenjata non internasional;
adanya perbedaan norma antara Protokol Tambahan I bukanlah penduduk sipil, tetapi bagian dari angkatan
dan II tahun 1977; dan adanya perbedaan penafsiran bersenjata yang tidak bertempur seperti tenaga medis dan
terhadap objek; serta Sulitnya membedakan antara rohaniawan (Haryomataram, 1994:68).
kombatan dan non kombatan dalam perang modern Pengaturan pembedaan yang lebih menekankan pada
saatini. istilah combatant dalam Konvensi Den Haag tahun 1907
Kata Kunci:Efektif, Konflik Bersenjata,Obyek sipil, berbeda halnya dengan Konvensi Jenewa tahun 1949 yang
Perlindungan, Penduduk Sipil,Prinsip Pembedaan. menggunakan istilah ‘yang berhak mendapatkan
perlindungan’ seperti yang diatur dalam Pasal 13 Konvensi
1. PENDAHULUAN Jenewa I dan II, ‘yang berhak mendapatkan perlakuan
Perang merupakan bagian dari sejarah hidup manusia sebagai tawanan perang’ bila jatuh ke tangan musuh yang
yang hampir tidak pernah bebas dari peperangan. Mochtar diatur dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa III 1949. Penggolongan
Kusumaatmadja mengatakan bahwa suatu kenyataan yang yang tidak tegas antara combatants dan civilians dalam
menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, Konvensi Den Haag 1907 dan dalam Konvensi Jenewa IV
umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian tahun 1949 kemudian disempurnakan dalam Protokol
(Kusumaatmadja, 1998: 10). Oleh karena itu, peperangan Tambahan I tahun 1977.
meskipun dibenci, tampaknya menjadi hiasan perjalanan Istilah kombatan dalam Protokol Tambahan I dinyatakan
sejarah manusia dimuka bumi. Sejak masa kuno hingga secara eksplisit dalam Pasal 43 ayat 2 yang secara tegas
modern, kenyataaan membuktikan bahwa peperangan selalu menentukan bahwa mereka yang dapat digolongkan sebagai
digunakan sebagai alat solusi antar kelompok manusia. kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian
namun, upaya untuk menghapus perang tidak pernah angkatan bersenjata (armed forces) suatu negara, dan
membuahkan hasil, karena perang merupakan Sunnatullah. mereka yang termasuk dalam pengertian angkatan bersenjata
Jadi, karena perang adalah Sunnatullah maka hukum itu adalah ‘mereka yang memiliki hak untuk berperan serta
201
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
202
VOL. 23 NO. 2
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
DESEMBER 2016
III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS dapat diterimadan tidak dapat diterima dari perang,dan
A. Konsep Prinsip Pembedaan Hukum penargetan warga sipil tidak dapat dibenarkan. Sebagaimana
dicatatoleh Mahkamah Internasional pada tahun 1996 dalam
Humaniter Internasional mampu
putusannya yang menetapkan ancaman atas penggunaan
Memberikan Perlindungan Efektif Terhadap
senjatanuklir, dan penghormatan terhadap prinsip perbedaan
Kombatandan Penduduk Sipil yang fundamental (Engeland, 2011:61). Prinsip perbedaan
Konsep prinsip pembedaan hukum humaniter merupakan dasar perlindungan terhadap warga sipil.
internasional menekankan pada perlindungan dan Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949, melindungi warga
pembatasan penggunaan kekerasan dalam konflik bersenjata sipil saat konflik bersenjata internasional. Pasal 4 memberikan
terhadap: Pertama, mereka yang tidak atau tidak lagi definisi tentang orang-orang yang dilindungi saat konflik,
berpartisipasi langsung dalam permusuhan; Kedua, yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka yang dalam
pembatasan jumlah sarana yang digunakan, semata-mata suatu sengketa bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada
untuk mencapai tujuan dari konflik, yakni melemahkan suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga,
potensi militer musuh. Kedua hal tersebut di atas menjadi ada dalam tangan suatu pihak dalam sengketa atau kekuasaan
intisari prinsip pembedaan yang harus dihormati dan pendudukan, yang bukan negara mereka.
diimplementasikan oleh para pihak yang terlibat dalam Ketika menegakkan perlindungan yang diberikan kepada
konflik bersenjata sebagai bentuk penghormatan terhadap warga sipil,tidak boleh ada diskriminasi. Pasal 13 Konvensi
nilai-nilai kemanusiaan sebagai prinsip dasar hukum Jenewa IV 1949 menegaskan bahwa “Seluruh penduduk
humaniter internasional (Geoffrey, 1991:3-26). dari negara-negara yang bersengketa, tanpa perbedaan yang
Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 yang merupakan merugikan apapun yang didasarkan atas suku, kebangsaan,
bagian dari hukum hukum humaniter, menjelaskan agama, atau pendapat politik,dan dimaksudkan untuk
bagaimana kombatan harus bersikap terhadap warga sipil meringankan penderitaan yang disebabkan oleh perang”.
dandilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap Sehingga, prinsip perbedaan memberikan kekebalan
warga sipil. Konvensi ini berlakupada saat konflik bersenjata terhadap penduduk sipil,dan obyek sipil.
internasional dan ketika ada pendudukan sebagian atau Jadi, pada dasarnya tujuan Konvensi adalah untuk
seluruh wilayah suatu pihak. Memiliki ruang lingkup yang melindungi warga sipildari akibat perang seperti yang diatur
luas, yang berlaku untuk hampir semua situasi.Protokol dalam Pasal 14 Konvensi Jenewa IV. Hal ini berarti bahwa
Tambahan I dan hukum kebiasaan melengkapi konvensi pihak yang bersengketa memiliki kewajiban positif untuk
dalam menyelesaikan kasus-kasus konflik bersenjata memberikan kekebalan terhadap warga sipil. Contoh
internasional. Warga sipil dalam konflik bersenjata non- kekebalan dan tindakan memanusiawikan perang meliputi,
internasional dilindungi oleh Pasal 3 Konvensi Jenewa, Pasal 31, 32, dan 33 Konvensi Jenewa IV.Pasal yang
Protokol Tambahan II, dan aturan kebiasaan yang diatur melindungi penduduk sipil dari penyiksaan (Pasal 31) dan
dalam hukum humaniter internasional. dari pemusnahan fisik (Pasal 32). Pasal 31 menyatakan bahwa
Dengan munculnya Konvensi Jenewa, terdapat tidak boleh dilakukan paksaan fisik atau moral yang dapat
pembagian hukum perang modern dalam dua kategori:jus dilakukan terhadap warga sipil untuk memperoleh informasi.
in bello andjus ad bellum.Jus in bello mengatur tentang Hal ini menunjukkan bahwa dilarang menyiksa warga sipil
bagaimana kombatan harus bertindak setelah perang untuk mendapatkan informasi tentang, misalnya,
dimulai, sementara jus ad bellum mengatur seperangkat keberadaan lawan, skenario yang akan dilakukan lawan.
kriteria yang harus dilakukan sebelum terlibat dalam perang Sebagai contoh, Pemerintah Srilangkadi laporkan telah
untuk menentukan apakah perang dapat dilakukan. Prinsip menyiksa warga sipiluntuk mendapatkan informasi tentang
perbedaan merupakan akar dari jus in bello(Dinstein, 2002: organisasi gerilyawan Macan Tamil, hal ini jelas melanggar
34). Karena, jus in bello membedakan antara perilaku yang konvensi (Rejali, 2007:50).
203
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Pasal 31dilengkapi denganPasal 32, Konvensi Jenewa obyek sipil dalam perang akan maksimal.
yang secara detail melarang tindakan apapun yang Terkait dengan perlindungan obyek sipil, yang dimaksud
menimbulkan penyiksaan mencakup hukuman fisik atau dengan obyek sipil yang tidak boleh dijadikan sasaran militer
penyalahgunaan bentuk fisik. Pasal ini memperjelas definisi adalah semua obyek yang tidak memiliki sumbangan yang
yang dikemukakan dalam Konvensi1984 tentang penyiksaan. efektif bagi aksi-aksi militer, yang jika dihancurkan secara
Selanjutnya, Pasal 32mengatakan bahwa para pihak harus total atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, tidak
menahan diri dari mengambil tindakan yang bisa memberikan keuntungan militer yang pasti. Oleh karena itu
“menyebabkan penderitaan fisik atau pembasmian orang dalam Pasal 54 ayat 2 Protokol Tambahan 1 tahun 1977
yang dilindungi yang ada dalam kekuasaan mereka”. menegaskan larangan untuk menyerang, menghancurkan,
Larangan tidak hanya berlaku untuk pembunuhan, memindahkan atau merusak obyek-obyek dan sarana-sarana
penyiksaan, hukuman fisik,mutilasi, danmedis atau yang mutlak diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk
percobaan kedokteran yang tidak diperlukan oleh perawatan sipil, seperti bahan makanan dengan berbagai macamnya,
kedokteran terhadap seseorang yang dilindungi. daerah-daerah pertanian yang memproduksi bahan makanan,
Naskahpasal di atas jelas bertentangan dengan kekejaman hasil panen, ternak, instalasi air minum, irigasi dan
perang Jerman seperti tindakan Josef Mengele, yang kebutuhan-kebutuhan primer penduduk sipil lainnya.
melakukan perbuatan tidak manusiawi terhadap tahanan dan Selanjutnya, Pasal 54 ayat 4 Protokol Tambahan 1
atau penghuni kamps elama Perang Dunia II. Selanjutnya menegaskan bahwa obyek-obyek dan sarana-sarana tersebut
Pasal 32 menjelaskan tentang “langkah-langkah lain dari tidak boleh dijadikan sasaran pembalasan suatu aksi militer.
kebrutalan apakah diterapkan oleh seorang warga sipil atau Oleh karena itu, Prinsip pembedaan pada dasarnya
militer”. Selanjutnya Pasal 33 mencegah penggunaan membedakan target yang sah (obyek militer) dan target yang
hukuman kolektif terhadap warga sipil, seperti tindakan tidak sah (obyek sipil). Dalam perang dilarang untuk
intimidasi, tindakan terorisme, perampokan, dan menargetkan obyek sipil, sementara untuk obyek militer
pembalasan. Hukuman kolektif dianggap merupakan boleh dijadikan target serangan. Pada dasarnya tidak ada
kejahatan perang menurut Konvensi Jenewa. Pelanggaran definisi harta benda penduduk sipil dalam hukum humaniter
terhadap Pasal 33, misalnya hukuman kolektif, yang terjadi internasional. Oleh karena itu, perlu mengetahui definisi
selama Perang Dunia II, dan khususnya, kejahatan yang sasaran militer untuk mengetahui apa yang dimaksud
dilakukan oleh Jerman, misalnya, 124 penduduk desa di dengan obyek sipil. Pasal 52 ayat 2 Protokol Tambahan I
bantai oleh Nazi pada bulan agustus 1944 di Maille, Perancis. memberikan definisi sasaran militer adalah “sasaran-sasaran
Di desa Oradour sur Glane Perancis, 642 penduduk dibunuh militer dibatasi pada obyek-obyek yang oleh sifatnya, letak
sebagai pembalasan atas tindakan Perlawanan yang dilakukan tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan
oleh FFI (Forces Angkatan Françaises Intérieurs), sebuah sumbangan yang efektif bagi aksi militer yang jika
kelompok yang memayungi semua pergerakan melawan dihancurkan secara menyeluruh atau sebagian, direbut atau
pendudukan Jerman (Engeland, 2011:13). dinetralisasi, di dalam keadaan yang berlaku pada waktu
Selain itu, Pasal 34 melarang penggunaan sandera. Ini itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti. Ada
mencegah penggunaan sandera seperti yang digunakan dua kriteria untuk mengidentifikasi sasaran militer (Engeland,
Saddam Hussein di Irak pada tahun 1991 atau yang 2011:49):
digunakan dalam wilayah Palestina (Al Mezan Center for 1. Sifat, tempat, tujuan, atau penggunaan objek harus
Human Rights, 2008). Beberapa contoh ini menunjukkan efektif berkontribusi terhadap aksi militer.
betapa pentingnya Konvensi Jenewa IV tahun 1949 untuk 2. Penghancuran objek, penangkapan, atau netralisasi dan
memanusiawikan perang, menghormati prinsip pembedaan, memiliki kontribusi yang efektif terhadap aksi militer.
danmenerapkan prinsip proporsionalitas dalam memberikan Dalam hal keraguantentang apakah sebuah benda
perlindungan terhadap kombatan, danpenduduk sipil serta merupakan obyek sipil atau militer, dan jika objek tersebut
204
VOL. 23 NO. 2
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
DESEMBER 2016
biasanya digunakan untuk tujuan sipil, maka pihak yang Angkatan Udara Israel mengatakan bahwa pada dasarnya
berperang harus menganggap benda tersebut adalah obyek mereka menargetkan posisi Hizbullah dan infrastruktur
sipil dan tidak dapat dijadikan target (Pasal 52 ayat 3 Protokol militernya, tetapi mengakibatkan kerusakan obyek sipil dan
Tambahan I). Jika salah satu pihak memutuskan untuk korban tewas penduduk sipil. Hal ini terjadi karena Hizbullah
menyerang, maka serangan tersebut haruslah menjadi menggunakan “sipil sebagai tameng”. Namun, intensitas
serangan yang sah. Pihak penyerang harus mampu serangan, serta jumlah korban sipil, menimbulkan
membuktikan bahwa obyek tersebut digunakan untuk pertanyaan. Sehingga konsep kerusakan sampingan (collat-
kepentingan militer. Komandan militer harus mengambil eral damage) tidak menjadi alasan untuk menargetkan warga
tindakan pencegahan sebelum dan pada saat dilakukan sipil dengan sengaja. Dalam situasi ini, memungkinkan
serangan untuk melindungi penduduk sipil dan obyek sipil. tentara untuk menunjukkan bahwa serangan tersebut sebuah
Oleh Karena itu, melindungi penduduk sipil dan obyek kecelakaan yang tidak di sengaja. Di era teknologi yang
sipil serta kombatan yang tidak terlibat lagi dalam begitu maju sebuah bom dapat menghancurkan manusia
peperangan merupakan wujud prinsip pembedaan hukum tanpa merusak infrastruktur.
humaniter internasional. Jadi, pembaharuan dalam tataran Kasus lainnya, Pemerintah Srilangkadi laporkan telah
konsep dan implementasi terhadap prinsip pembedaan menyiksa warga sipil untuk mendapatkan informasi tentang
mampu di lakukan jika prinsip kemanusian, prinsip organisasi gerilyawan Macan Tamil (Rejali, 2007:75). Pada
proporsionalitas dan prinsip pembedaan diterapkan kasus lain, kejahatan yang dilakukan oleh Jerman, misalnya,
bersamaan dan konsisten dalam konflik bersenjata. 124 penduduk desa dibantai oleh Nazi pada bulan agustus
1944 di Maille, Perancis. Di desa Oradour sur Glane Perancis,
B. Implementasi Prinsip Pembedaan 642 penduduk dibunuh sebagai pembalasan atas tindakan
Perlawanan yang dilakukan oleh FFI (Forces Angkatan
Hukum Humaniter Internasional Dalam
Françaises Intérieurs), sebuah kelompok yang memayungi
Korban Konflik Bersenjata Modern
semua pergerakan melawan pendudukan Jerman (James,
Secara filosofis, perang atau konflik bersenjata merupakan
2000:131-132).
instink yang ada pada manusia sejak lahir sampai mati, atau
Pada kasus lain, Perang dibekas Yugoslavia sarat dengan
dengan kata lain merupakan turunan sifat dasar manusia
contoh serangan terhadap obyek sipil yang seolah-olah
yang tetap sampai sekarang memelihara dominasi dan
mereka dianggap obyek militer yang sah. Beberapa target
persaingan sebagai sarana memperkuat eksistensi diri dengan
yang digunakan untuk tujuan sipil dan militer (jembatan,
cara menundukkan kehendak pihak yang dimusuhi baik
kereta api, stasiun radio, dan lain-lain) oleh sebagian orang
secara psikologis maupun fisik. Akibat perang dapat
dianggap sebagai obyek militer. Oleh karena itu, adalah sah
menimbulkan kesedihan dan kemiskinan yang
untuk mempertanyakan apakah jumlah kerusakan bangunan
berkepanjangan (Jamal, 1991:87). Sebagai contoh, konflik
bekas Yugoslavia yang dilakukan oleh NATO bukanlah hasil
bersenjata antara Israel dan Libanon. Pada musim panas
dari kecerobohan dan mengabaikan prinsip pembedaan?
2006, Angkatan Udara Israel melancarkan lebih dari 7.000
Kecerobohan dan pengabaian prinsip pembedaan hukum
serangan udara padas ekitar 7.000 sasaran di Lebanon antara
humaniter internasional ternyata menjadi salah satu pemicu
12 Juli dan 14 Agustus, sementara Angkatan Laut melakukan
tidak terimplementasinya secara maksimal Konvensiyang di
2.500 pemboman tambahan. Serangan, meskipun luas,
peruntukkan untuk melindungi warga sipil tersebut dari
terutama terkonsentrasi pada tertentu daerah. Selain korban
akibat perang seperti yang diatur dalam Pasal 14 Konvensi
manusiadi perkirakan 1.183 korban jiwa, sekitar sepertiga
Jenewa IV. Jadi, jika diteliti, selain dari sisi implementasi,
dari antaranya anak-anak, 4.054 orang luka-luka dan
dari segi konsep pun hukum humaniter membutuhkan
970.000 orang Lebanon mengungsi, Infrastruktur sipil rusak
sebuah pembaharuan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa
berat (Lichtenberg, 2003:14).
faktor diantaranya:
205
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
1. Adanya perbedaan penafsiran terhadap prinsip penduduk sipil dalam konflik bersenjata dan sejalan dengan
pembedaan hukum humaniter internasional; Konvensi Jenewa IV 1949, serta Protokol Tambahan tahun
2. Sulitnya membedakan antara kombatan dan non 1977. Adapun yang termasuk kategori obyek militer dalam
kombatan dalam perang modern saat ini; UK LOAC Manual 2004 adalah (UK Ministry of Defence,
3. Adanya perkembangan bentuk konflik yang tadinya 2004:13): benda yang dengan lokasi mereka, sifat, tujuan
hanya konflik bersenjata internasional kemudian muncul atau kegunaannya memberikan kontribusi yang efektif untuk
konflik bersenjata non internasional; serta adanya aksi militer yang jika dihancurkan secara total atau sebagian,
perbedaan norma antara Protokol Tambahan I dan II direbut atau netralisasi, dalam keadaan yang ada pada saat
tahun 1977. itu, menawarkan keuntungan militer yang pasti, seperti:
Adanya perbedaan pengaturan, penafsiran, norma, bangunan, ladang ranjau, senjata, konsentrasi pasukan dan
kewajiban negara dalam konflik internasional dan non- penembak jitu.
internasional serta perkembangan bentuk konflik bersenjata Selain itu, semua orang harus diperlakukan secara
sangat berpengaruh pada tatanan implementasi khususnya manusiawi dalam segala situasi dan ‘tanpa pembedaan yang
pengaturan terhadap pihak yang tidak terlibat dan tidak lagi merugikan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,
terlibat dalam konflik bersenjata, dan perlindungan terhadap bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik atau
penduduk sipil. lainnya, asal nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau
Jadi, untuk meminimalisir terjadinya penyerangan status lainnya ataupun pada kriteria serupa lainnya. Setiap
terhadap penduduk dan obyek-obyek sipil, para kombatan orang harus dijaga kehormatannya, keyakinan, dan praktik
perlu dibekali pedoman militer (military manual).Pedoman keagamaan harus dihormati (UK Ministry of Defence,
militer adalah instrumen yang memfasilitasi penghormatan 2004:216).
terhadap hukum humaniter internasional. Hal ini sangat Selain Inggris, Jerman dalam Germany military manual
diperlukan bagi pemerintah dan angkatan bersenjata dalam 1992 menyatakan bahwa tujuan/obyek militer adalah
menjamin komitmen mereka untuk menjamin penghor- angkatan bersenjata. Adapun “pesawat militer dan kapal
matan terhadap hukum humaniter internasional dalam perang, dan penduduk sipil yang berada disekitar instalasi
konflik bersenjata, termasuk Konvensi Jenewa, Protokol militer tidak dilindungi dari serangan yang diarahkan pada
Tambahan dan hukum kebiasaan internasional yang relevan. instalasi militer tersebut. Oleh karena itu, kehadiran pekerja
Jadi, pentingnya Pedoman militer tersebut untuk sipildi pabrik produksi senjata, misalnya,tidak akan
memberikan pemahaman yang lebih mendetail, praktis dan mencegah angkatan bersenjata menyerang sasaran militer
simple baik untuk prajurit di lapangan serta para perwira tersebut. Sedangkan dalam Israel Manual On The Rules Of
hukum demi meminimalisir kesalahan di lapangan. Warfare 2006 menjelaskan bahwa sebuah sasaran militer
Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana jika adalah target apapun itu, jika diserang, akan berpengaruh
tiap negara memberikan penafsiran terhadap prinsip terhadap kepentingan militer. Berbeda halnya dalam United
pembedaan hukum humaniter dalam pedoman militernya? States of America: The US Naval Handbook (1995),
sebagai contoh Inggris memiliki Pedoman militer untuk menerangkan bahwa sasaran militer adalah kombatan dan
mencapai tujuan perangnya, Penerbitan buku pedoman ini benda-benda yang menurut sifatnya, lokasi, tujuan atau
harus dilihat sebagai sebuah sebuah bentuk penafsiran Inggris penggunaan, berkontribusi efektif terhadap pasukan perang
terhadap hukum konflik bersenjata. pedoman ini akan musuh.
menjadi dasar untuk pelatihan hukum personil militer Inggris Jadi, terjadinya perbedaan penafsiran terhadap prinsip
dan akan digunakan secara luas untuk menginformasikan pembedaan hukum humaniter kedalam pedoman militer
pengambilan keputusan praktis. Dalam The UK LOAC Manual setiap negara berkontribusi terhadap pelanggaran prinsip
2004 dijelaskan bahwa Tindakan-tindakan yang dilarang pembedaan. Karena itu,perlu untuk “memperbarui”
merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap Konvensi dengan Protokol yang mencakup perlindungan
206
VOL. 23 NO. 2
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
DESEMBER 2016
terhadap penduduk sipil dan obyek sipil. Perbaikan termasuk 2. Agar Pemerintah Indonesia melalui kementerian luar
penjelasan tata letak prinsip pembedaan dalam Pasal 48 negeri mendorong Dewan Keamanan Perserikatan
Protokol Tambahan I. Pasal 51 dan 52 menegaskan bahwa Bangsa-Bangsa bertindak tegas, dan adil terhadap negara-
penduduk sipil, dan obyek sipil harus dilindungi dari akibat negara yang melanggar ketentuan hukum humaniter
permusuhan. Mereka tidak dapat dijadikan target dalam internasional.
operasi militer, yang merupakan dasar dari prinsip
pembedaan. Perlombaan senjata dan perkembangan DAFTAR PUSTAKA
teknologi yang cepat ini menyebabkan Pasal 35 Protokol A. Burger, James, International Humanitarian Law and
Tambahan I, menekankan bahwa ”dalam setiap konflik the Kosovo Crisis: Lessons Learned or to Be Learned,
bersenjata, para pihak yang berkonflik berhak untuk memilih ICRC, 2000
metode atau alat perang tidak tak terbatas.” Ini berarti bahwa Anicee Van Engeland, Civilian Or Combatant, New York:
ketidakpahaman atau bahwa kekurangtelitian terhadap jenis
Oxford University Press, 2011
Arlina Permanasari et.al, 1999, Pengantar Hukum
sebuah senjata maka senjata tersebut tidak boleh digunakan
Humaniter, ICRC, Jakarta
karena akan membahayakan penduduk sipil akibat salah
Barber dan Peter, Scuds, Shelters and Retreating soldiers:
sasaran.
The Laws of Aerial Bombardment and the Gulf War, XXXI
No.4 Alberta Law Review, 1993
IV. SIMPULAN DAN SARAN David Éric, Principes de droit des conflits armés, Brussels:
A. Simpulan Bruylant, 2002
1. Konsepprinsip pembedaan (distinction principle) hukum Dinstein, Yoram., 2002, Legitimate Military Objectives
humaniter internasional mampu memberikan perlindu- under the Current Jus in Bello, Isr. Ybook, New York
ngan efektif terhadap korban konflik bersenjata jika Farmer, Sarah., 2007, Oradour, Arret Sur Memoire, Perrin
negara-negara peserta konvensi berkomitmen bahwa
Press,Paris
Haryomataram,1994,Sekelumit Tentang Hukum
dalam konflik bersenjata, para pihak yang berkonflik wajib
Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta
menghormati prinsip pembedaan, prinsip proporsionaltas
Henckaerts, Jean-Marie and Doswald-Beck, Louise (eds),
dan prinsip kemanusiaan dalam konflik bersenjata secara
Customary International Humanitarian Law, 2005
bersamaan. Howard M, Hensel., (ed.), 2008 The Legitimate Use of
2. Prinsip pembedaan hukum humaniter internasional tidak Military Force: the Just War Tradition and the Custom-
dapat terimplementasi secara maksimal dalam konflik ary Law of Armed Conflict, Hampshire, Ashgate,
bersenjata modern karena dipengaruhi perkembangan Jenewa
bentuk konflik, yang tadinya hanya konflik bersenjata Igor Primoratz,Civilian Immunity in War: Its Grounds,
internasional kemudian muncul konflik bersenjata non Scope, and Weight, New York: Oxford University Press
internasional; adanya perbedaan norma antara Protokol Inc., 2007
Tambahan I dan II tahun 1977; dan adanya perbedaan J. Fenrick, William, Targeting and Proportionality During
penafsiran terhadap objek; serta Sulitnya membedakan the NATO Bombing Campaign Against Yugoslavia, 12
E.J.I.L., 2001
antara kombatan dan non kombatan dalam perang mod-
Judith Lichtenberg, The Ethics of Retaliation, dalam.
ern saat ini.
Gehring ed., Lanham, Md.: Rowman & Littlefi eld
B. Saran Publishers, 2003
1. Agar Pemerintah Indonesia melalui kementerian luar Julius Stone, Legal Controls of International Conflict: A
negeri mendorong Dewan Keamanan Perserikatan Treatise on the Dynamic of Dispute 684, New York:
Bangsa-Bangsa untuk melakukan amandemen hukum Rinehart Press, 1954
humaniter internasional Lazreg, Marnia., 2008,Torture and the Twilight of Empire:
From Algiers to Baghdad, Princeton University Press,
207
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
208