S-Corry Shirleyana Putri

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN

GANGREN KAKI DIABETES DI RSAL Dr. MINTOHARDJO PADA


TAHUN 2012
Corry Shirleyana Putri, Maksum Radji, Siti Fauziyah

Sarjana Farmasi, Fakultas Farmasi

ABSTRACT

Diabetic foot gangrene is one of complications happened in many patients with diabetes
mellitus. Antibiotic therapy has become a common thing to overcome diabetic foot infection.
Rational antibiotic therapy is necessary for patients with diabetic foot gangrene infection
because it is expected to reduce the occurrence of bacterial resistance, prevent the
amputation, reduce cost, and patient’s length of stay time. The purpose of this study was to
obtain an overview rational usage of antibiotics in patients with diabetic foot gangrene in
Naval Hospital Dr. Mintohardjo during 2012, through the appropriate indication, appropriate
drug, appropiate dose, appropiate patient, no drugs interaction. Researcher collected
secondary data from medical record during January-December 2012 and used cross-sectional
design. By total sampling technique, there were 18 samples were obtained in accordance with
inclusion criteria of study. Appropriate assessment based on number of antibiotics given,
showed 27,78% appropriate dose, 38,89% appropriate indication, 72,22% no drugs
interaction, 8,33% appropriate patient, and 13,80% appropriate drug. Based on the number
diabetic foot gangrene patients, there were 16,67% patients received appropriate dose,
16,67% received appropriate indication of antibiotics, 55,56% patients had no drugs
interaction 11,11% patients received appropriate antibiotics as their own condition, and 0%
patients received appropriate drug. Based on the result of, it was concluded that, there were
no diabetic foot gangrene patients who received rational antibiotic treatment.

Key Words : Antibiotic, appropiate, diabetic foot gangrene, rational

ABSTRAK

Gangren kaki diabetik ialah salah satu bentuk komplikasi yang dialami oleh banyak pasien
penderita diabetes melitus. Pemberian terapi antibiotik sudah menjadi hal yang umum untuk
mengatasi infeksi gangren kaki diabetik. Terapi antibiotik yang rasional sangat diperlukan
bagi penderita infeksi gangren kaki diabetik kerena diharapkan dapat mengurangi terjadinya
resistensi bakteri dan mencegah dilakukannya tindakan amputasi, mengurangi biaya dan
waktu lama perawatan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien penderita gangren kaki diabetik yang di
RSAL Dr. Mintohardjo pada tahun 2012, melalui penilaian ketepatan indikasi, ketepatan
obat, ketepatan dosis ketepatan pasien, dan tidak adanya interaksi obat. Peneliti melakukan
pengambilan data melalui data sekunder berupa rekam medis pasien periode Januari–
Desember 2012 dengan desain cross-sectional. Dengan menggunakan teknik total sampling,
didapatkan 18 sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian. Pada hasil penyajian
data secara deskriptif, penilaian ketepatan berdasarkan pemberian antibiotik pada pasien
terdapat tepat dosis sebesar 27,78%, tepat indikasi 38,89%, tidak adanya interaksi obat
72,22%, tepat pasien 8,33%, dan tepat obat 13,89%. Pada penilaian terhadap jumlah pasien
gangren kaki diabetik, terdapat 16,67% pasien sudah mendapatkan dosis yang tepat, 16,67%
pasien mendapatkan antibiotik sesuai indikasi, 55,56% pasien tidak mengalami interaksi obat,
11,11% pasien mendapatkan terapi antibiotik tepat dengan kondisi pasien, dan 0% pasien
mendapatkan antibiotik tepat obat. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa tidak ada
pasien gangren kaki diabetik yang mendapatkan pengobatan antibiotik secara rasional.

Kata Kunci : antibiotik, ketepatan, gangren kaki diabetik, rasional

PENDAHULUAN
Diabetes melitus merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang mematikan pada
manusia. Penderita diabetes melitus meningkat setiap tahunnya. Sehingga, hal ini menjadi
suatu ancaman utama bagi kesehatan manusia. Menurut perkiraan yang dibuat WHO pada
tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta manusia dan
dalam kurun waktu 25 tahun, diperkirakan pada tahun 2025 jumlah tersebut akan mengalami
peningkatan menjadi 300 juta manusia penderita diabetes melitus. Menurut penelitian
Epidemiologi WHO yang dilakukan di Indonesia angka penderita diabetes melitus tipe II
pada tahun 1997 mencapai 1,4 – 1,6 % kecuali Manado yang mencapai angka 6 % dan
Semarang 2,3 %. Di Indonesia sendiri masalah diabetes melitus sudah merupakan masalah
masyarakat luas karena pravelensinya meningkat 2-3 kali lebih cepat dari negara maju
(Depkes RI, 2005). Penderita diabetes melitus mempunyai resiko terjadinya ulkus kaki 50
kali lebih mudah daripada bukan penderita diabetes melitus (Suyono, 1996). Komplikasi ini
dapat terjadi akibat faktor neuropati dan hambatan sistemik pada sirkulasi darah. Kebanyakan
dari pasien penderita diabetes tidak menyadari terdapat luka pada daerah tubuh, terutama
pada kaki, disebabkan dari neuropati yang menganggu respon sensorik dan motorik.
Akibatnya, Jaringan luka tersebut sudah menjadi jaringan yang terinfeksi oleh bakteri dan
terlambat untuk ditanggulangi. Selain itu, faktor penyakit yang ditimbulkan dari diabetes
salah satunya ialah hambatan pada pembuluh darah besar arteri. Luka yang timbul tidak
mendapatkan suplai oksigen dan nutrisi yang cukup dari sirkulasi sistemik sehingga akan
menimbulkan gangren pada jaringan luka tersebut. Infeksi oleh kuman yang terjadi semakin
berkembang akibat penurunan aliran darah besar. Infeksi inilah yang akan menyertai
timbulnya gangren kaki diabetik. Apabila infeksi kaki diabetik tidak dapat ditangani secara
serius maka akan mengarah pada tindakan amputasi. Resiko amputasi 15-40 kali lebih sering
terjadi pada penderita diabetes melitus dibandingkan non-diabetes melitus (Singh, 2005).
Amerika Serikat memiliki jumlah amputasi kaki sekitar 35.000 kasus pertahun. Namun,
setelah amputasi dilakukan masalah yang berkaitan dengan gangren diabetik tidak
terselesaikan. Amputasi disebabkan oleh gangren diabetik 15 kali lebih banyak dibandingkan
dengan gangren non-diabetik. Di Amerika serikat kurang lebih terdapat 50.000 amputasi
karena gangren diabetik setiap tahunnya (Waspaji, 2006). Untuk itu diperlukan
penanggulangan pemberian antibiotik yang tepat terhadap gangren akibat dari infeksi bakteri
pada kaki diabetik tersebut. Dengan mengetahui antibiotik yang rasional pada penderita kaki
diabetik, maka diharapkan dapat mengurangi terjadinya resistensi bakteri, komplikasi hingga
amputasi. Sehingga, dengan penanggulangan tersebut akan mengefisiensikan biaya dan
waktu perawatan pasien.
Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan gambaran kerasionalan penggunaan antibiotika
pada pasien penderita gangren kaki diabetik di RSAL Dr. Mintohardjo, melalui penilaian
ketepatan indikasi, ketepatan obat, Ketepatan dosis, bketepatan pasien, dan tidak adanya
interaksi obat.

TINJAUAN TEORITIS
Patofisiologi Gangren Kaki Diabetik
Gangren merupakan merupakan suatu bentuk kematian jaringan pada tubuh.
Kematian jaringan ini dapat terjadi diakibatkan oleh terhentinya sirkulasi darah pada jaringan
tersebut. Awal terjadinya gangren ialah dikarenakan luka infeksi yang timbul dan
penanggulangan yang terlambat. Komplikasi tersebut jika didukung dengan faktor
terhambatnya sirkulasi sistemik pada jaringan luka, maka akan menimbulkan terjadinya
gangren dan nekrosis.
Terdapat beberapa komplikasi dari timbulnya luka pada kulit, diantaranya (Price
&Wilson, 2006) :
1) Infeksi
Invasi bakteri pada luka terjadi saat trauma, selama pembedahan atau paska- pembedahan.
Gejala infeksi biasanya timbul 2-7 hari setelah pembedahan. Gejala berupa munculnya
purulent (menghasilkan atau mengandung nanah (Mosby’s Medical Dictionary 8th edition,
2009)), nyeri, kemerahan, dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan
jumlah sel darah putih.
2) Gangren
Gangren dalah jenis kematian jaringan yang terjadi karena hilangnya suplai darah. Gangren
dapat mengikuti cedera atau infeksi dan dapat juga disebabkan oleh perlambatan sirkulasi
darah dalam jangka panjang, seperti diabetes melitus yang menjadi penyebab utama gangren.
Gangren yang sudah tdak dapat ditangani akan menyebabkan amputasi jaringan atau bagian
tubuh tertentu. Gejala umum dari gangren dapat berupa : perubahan warna dari daerah yang
terkena kematian jaringan, Mula-mula jaringan tersebut akan terlihat berwarna kemerahan,
kemudian coklat, dan akhirnya akan menghitam
Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang
berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai bawah (Boulton,
et. al, 2004). Gangren pada kaki diabetik dapat muncul dikarenakan oleh komplikasi dari
hiperglikemia pada diabetes melitus yang tidak terkontrol. Komplikasi yang dapat
menimbulkan terjadinya gangren kaki diabetik ialah komplikasi angiopati perifer, neuropati,
dan trauma ringan yang dapat menimbulkan ulkus tanpa disadari. Penderita gangren kaki
diabetik akan memerlukan perawatan yang lebih lama dan akan beresiko dilakukan amputasi.
Berikut dibawah ini adalah bagan mekanisme terjadinya ulkus kaki diabetik.
Diabetes melitus

Terjadi trauma

Mikrovaskuler
Neuropati motor

Neuropati Sensori
Iskemia

Neuropati Autonom

Ulkus Kaki Diabetik

Amputasi

Gambar 1 Mekanisme terjadinya ulkus kaki diabetik


Elemen kunci dalam klasifikasi klinis infeksi ulkus diabetes melitus disingkat menjadi
PEDIS (Perfusion, Extent/size, Depth/tissue loss, Infection, and Sensation). Pedis dibagi
menjadi : derajat 2 (infeksi ringan; melibatkan jaringan kulit dan subkutis), derajat 2 (infeksi
ringan : melibatkan jaringan kulit dan subkutis), derajat 3 (infeksi sedang : terjadi selulitis
luas atau infeksi lebih dalam) dan derajat 4 (infeksi berat : dijumpai adanya sepsis).
Pada ulkus kaki diabetik terinfeksi (tanpa ulkus) harus dilakukan kultur sensitifitas
kuman. Standar kultur adalah dari debridemen jaringan nekrotik. Kuman pada infeksi kaki
diabetik bersifat polimikroba seperti Staphylococcus dan Streptococcus. Terapi antibiotik
yang tepat sesuai dengan kuman yang menginfeksi gangren perlu dilakukan. Pemberian
antibiotik tepat pada gangren akan mencegah terjadinya resistensi dan perawatan infeksi yang
lebih lama. Selain itu, penanggulangan Beberapa tindakan bedah perlu dilakukan untuk
menghentikan infeksi serius yang terjadi seperti debridemen. Tujuan dilakukan debridemen
adalah untuk mengevakuasi bakteri kontaminasi, mengangkat jaringan nekrotik sehingga
dapat mepercepat penyembuhan, menghilangkan jaringan kalus, dan mengurangi resiko
infeksi lokal (Suharjo, 2007).

Antibiotik
Antibiotik adalah suatu jenis obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat
menghambat pertumbuhan atau dapat membunuh mikroorganisme lain (Anief, 1996).
Antibiotik secara umum digunakan untuk mengobati suatu infeksi yang terjadi pada tubuh
dan disebabkan oleh bakteri. Antibiotika memiliki beberapa mekanisme kerja pada kuman,
antara lain (Jawetz, 1987):
1) Antibiotika yang bekerja menghambat sintesis dinding sel kuman, contoh : sefalosporin,
sikloserin, penisilin, ristosetin
2) Antibiotika yang merubah permeabilitas membrane sel atau mekanisme transport aktif
sel, contoh : amfoterisin, kolistin, imidazol, nistatin, dan polimiksin
3) Antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesis protein, contoh : kloramfenikol,
eritromisin, linkomisin, tetrasiklin, dan aminoglikosida
4) Antibiotika yang bekerja melalui penghambatan sintesis asam nukleat, contoh : asam
nalidiksat, novobiosin, pirimetamin, rifampisin, sulfonamida, trimetoprim
Beberapa bakteri sangat berperan dalam infeksi luka, terutama bakteri yang sering
berkembang pada bagian kulit. Hal ini sangat penting untuk pemilihan antibiotika yang
sesuai pada jenis bakteri yang menginfeksi. Berikut di bawah ini yang merupakan beberapa
bakteri penginfeksi luka beserta antibiotik yang tepat digunakan.
Tabel 1 Jenis bakteri penyebab infeksi pada luka kulit (Antibiotik Therapy in clinical
Practice : Schattauer, 1993)

No. Bakteri Penyebab Antibiotik Pilihan Antibiotik Pilihan ke-


dua
1 Staphylococci penisilin, sefazolin klindamisin, asam
fusidat, vankomisin
2 Streptococci benzilpenisilin, sefalosporin,
fenoksimetilpenisilin eritromisin
3 Enterococci ampisilin eritromisin,
doksisiklin,
mezlokolin, quinolone

4 Pseudomonas azlosilin + tobramisin, gentamisin, amikasin,


aeruginosa siprofloksasin seftazidim, piperasilin,
aztreonam, imipenem
5 Proteus vulgaris sefotaksim, gentamisin, Piperasilin, quinolon,
seftazidim, cefoksin aztreonam, imipenem
6 Klabsiella sefotaksim, gentamisin, quinolon, piperasilin,
mezlosilin aztreonam, imipenem
7 Escherichia coli ampisilin atau gentamisin, co-
sefalosporin atau co- amoksiklaf, quinolon,
trimoksazol imipenem
8 Bacteroides fragilis metronidazol, sefositin, imipenem,
klindamixin flomoksef, co-
amoksiklaf
9 Clostridium perfingens Benzilpenisilin doksisiklin,
sefalosporin,
metronidazole

Berdasarkan klasifikasi tingkat keparahan bakteri penginfeksi gangren kaki diabetik,


antibiotik yang disarakan utuk digunakan ialah sebagai berikut :

Tabel 2 Tingkat keparahan gangren dan antibiotik yang cocok digunakan (Suharjo, 2007)

NO DERAJAT ANTIBIOTIKA YANG ANTIBIOTIKA


INFEKSI DIREKOMENDASIKAN ALTERNATIF
DAN RUTE
PEMBERIAN
1 Ringan/Sedang sefaleksin 500 mg/ 6 jam levofloksasin750/ 2 u
(oral) jam +/-
amoksisilin/ klavulanat / klindamisin 300 mg /
12 jam 8 jam

klindamisin 300 mg/ 8 trimetropim-


jam sulfametoksazol 960
mg /12 jam
2 Berat/ sedang ampisilin/ sulbaktam 3 g/ piperasilin/tazobaktam
IV sampai 6 jam 3.3 g/ 6 jam
stabil, ganti
oral
klindamisin 450 mg/ 6 klindamicin 600 mg/ 8
jam + siprofloksasin 750 jam + seftazidim 2 g/
mg/ 12 jam 8 jam
3 Mengancam imipenem/ kilastatin 500 vankomisin 15 mg
jiwa ( IV lebih mg/ 6 jam /Kg BB/ 12 jam +
lama ) Aztreonam 2 g / 8 jam
+ metronidazol 7,5
mg / Kg BB / 6 jam
klindamisin 900 mg/ 8
jam + Tobramisin 5,1
mg/Kg BB/24 jam +
ampisilin 50 mg/ kg BB/
6 jam

Pemilihan antibiotika pada pasien gangren kaki diabetik diharapkan memenuhi aspek
ketepatan. Antibiotik yang rasional, menurut WHO ialah sesuai dngan kebutuhan pasien,
diberikan dalam jangka waktu sesuai dengan biaya termurah pasien dan komunitasnya.
Pemberian antibiotik yang tidak sesuai dengan prosedur terapi menyebakan timbul kasus atau
efek yang tidak diinginkan, salah satunya terjadi resistensi. Hal yang harus diperhatikan
dalam pemberian antibiotika secara rasional diantaranya : (Wattimena, 1991)
1) Tepat indikasi
Kesesuaian pemberian antibiotik dengan indikasi yang dilihat dari diagnosis utama yang
tercantum dalam kartu rekam medis.
2) Tepat Dosis
Pemberian obat dengan besarnya dosis, rute, frekuensi, dan lama pemberian yang
disesuaikan
3) Tepat Pasien
Pemberian obat dengan besarnya, rute, frekuensi dan lama pemberian yang disesuaikan.
Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis untuk
mengatasi infeksi (Menkes, 2011). Pada kasus gangren kaki diabetik, dimana infeksi yang
terjadi tidak termasuk infeksi yang ringan maka diperlukan pemberian kombinasi antibiotik,
namun penggunaannya perlu diperhatikan dengan baik. Indikasi penggunaan antibotik
kombinasi (Brunton et. Al, 2008; Archer, GL., 2008):
1) Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).
2) Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi campuran aerob dan
anaerob).
3) Terapi empiris pada infeksi berat.
Menurut Permenkes tahun 2011, tujuan dari pemberian antibiotik kombinasi ialah
meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek sinergis) dan memperlambat
serta mengurangi resiko timbulnya bakteri yang resisten.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional. Pengambilan data dilakukan


secara retrospektif yaitu dengan melakukan pengambilan data dari data sekunder rekam
medik pasien selama periode Januari_Desember 2012 di RSAL Dr. Mintohardjo. Populasi
yang digunakan dalam penelitian ini ialah seluruh pasien rawat inap di ruang instalasi
penyakit dalam RSAL Dr. Mintohardjo ( Ruang P. Sangean, Ruang P. Selayar, Ruang P.
Tarempa). Kriteria inklusi sampel penelitian, diantaranya : pasien rawat inap dari segala usia
yang memiliki diagnosa penyakit diabetes melitus dengan gangren kaki diabetik., pasien
menjalani terapi antibiotika di RSAL Dr. Mintohardjo dengan rentang waktu bulan Januari-
Desember 2012, dan pasien rawat inap di instalasi penyakit dalam (R. P. Sangean, R. P.
Selayar, dan R. P. Tarempa).
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah antibiotik yang digunakan
terhadap pasien gangren kaki diabetik yang memiliki gangren kaki diabetik yang tercantum di
rekam medik RSAL Dr. Mintohardjo. Variabel terikat yang digunakan diantaranya ialah
ketepatan antibiotik yang dinilai dari ketepatan dosis, ketepatan indikasi, tidak adanya
interaksi obat, ketepatan pasien, dan ketepatan obat. Kemudian analisis data disajikan secara
deskriptif dari pengolahan analisis data secara statistik.

HASIL PENELITIAN
Demografi Pasien
Pasien dengan karakteristik gangren kaki diabetik selama tahun 2012 di ruang rawat
inap Sangean, Selayar, dan Tarempa RSAL Dr. Mintohardjo yang memasuki kriteria inklusi
ialah sebanyak 18 pasien. Berdasakan hasil analisis yang disajikan secara deksriptif terdapat
55,56% pasien pria dan 44,44% pasien wanita penderita gangren kaki diabetik di RSAL Dr.
Mintohardjo. Penderita gangren kaki diabetik mulai rentan terjadi pada usia 56 ke atas hingga
usia 65 sebanyak 27,78%. Pasien juga mengalami lama perawatan yag terlama ialah selama
50 hari sebesar 5,56%, sementara itu lama perawatan tertinggi ialah selama 10 hari sekitar
22,18% pasien. Dari ke-15 jenis antibiotik yang diberikan pada pasien ganren kaki diabetik,
seftriakson merupakan antibiotik dengan frekuensi tertinggi pada pasien gangren kakid
iabetik di RSAL Dr. Mintohardjo, yaitu sebesar 41,67%. Selain itu, masih terdapat 61,11%
pasien gangren kaki diabetik tanpa tindakan operasi dan tindakan amputasi sebesar 16,67%.
Kemudian status pasien yang dinyatakan sembuh dari gangren kaki diabetik berdasarkan data
yang tertera pada rekam medik sebesar 88,89% pasien

Angka Sensitifitas Antibiotik pada Pemetaan Kuman


Peneliti juga mengamati angka resistensi pemetaan kuman di RSAL Dr. Mintohardjo
selama tahun 2012. Hasil pengamatan terlihat pada Gambar 2 berikut bakteri yang paling
banyak berkembang pada pus ialah Staphylococcus aureus (47,45%).

Staphylococcus aureus Coliform


Pseudomonas sp. Streptococcus sp. (haemolyticus)

8,47%

18,64% 47,46%

25,42%

Gambar 2 Diagram distribusi frekuensi kuman yang terdapat pada luka gangren dari pus
pasien pada pemetaan kuman RSAL Dr. Mintohardjo selama tahun 2012

Berdasarkan pengamatan angka sensitifitas pemetaan kuman terdapat sensitifitas


yang cukup tinggi untuk bakteri Staphylococcus ialah pada antibiotik fosfomisin dengan
angka sensitifitas 89,29 %, vankomisin 78,57%, kemudian meropenem 77,78%. Imipenem
memiliki sensitifitas terhadap Staphylococcus sebesar 69,23%, sefrozil 55,56%, sefepin
53,57%, dan netilmisin 50,00%. Terlihat pada Tabel 3 dibawah ini jenis antibiotik yang
diberikan pada pasien gangren kaki diabetik dengan angka sensitifitasnya pada pemetaan
resistensi kuman.

Tabel 3 Penggunaan antibiotik pada pasien penderita gangren kaki diabetik dengan
sensitifitas peta resistensi kuman di RSAL Dr. Mintohardjo

No Jenis Antibiotik yang Golongan Jumlah Jumlah Sensitifitas peta kuman


. diberikan pada Pasien Penggunaan Penggun
Gangren Kaki Diabetik Antibiotik aan (%)
Staphylococcus Streptococcus Pseudomonas Coliform

1 Seftriakson Sefalosporin 15 41,67 35,71 20,00 18,18 13,13


2 Siprofloksasin Quinolon baru 4 11,11 35,71 40,00 36,36 6,67
3 Meropenem Karbapenem 3 8,33 77,78 80,00 90,91 66,67
4 Seftazidim Sefalosporin 2 5,56 35,71 20,00 45,45 13,33
5 Sefiksim Sefalosporin 2 5,56 34,62 20,00 27,27 6,67
6 Levofloxasin Quinolon baru 1 2,78 15,15 11,11 36,36 7,14
7 Sefotaksim Sefalosporin 1 2,78 0,00 0,00 18,18 13,13
8 Sefoperazon Sefalosporin 1 2,78 34,62 20,00 27,27 6,67
9 Sefoperazon + Sefalosporin 1 2,78 34,62 20,00 27,27 6,67
sulbaktam
10 Linkomisin Antibiotik 1 2,78 17,65 0,00 54,55 13,33
spektrum
sempit
(polimiksin)
11 Klindamisin Antibiotik 1 2,78 17,65 0,00 54,55 13,33
spektrum
sempit
(polimiksin)
12 Seftizoksim Sefalosporin 1 2,78 25,00 0,00 18,18 7,14
13 Fosfomisin Golongan 1 2,78 89,29 80,00 72,73 66,67
antibiotik lain

14 Doksisiklin Tetrasiklin 1 2,78 0,00 0,00 0,00 0,00


15 Gentamisin Aminoglikosida 1 2,78 50,00 0,00 54,55 46,67
baru

Jumlah 36 100,00

Analisis Kerasionalan Antibiotika


Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan 15 jenis antibiotik dengan 36
penggunaan antibiotik yang diberikan pada 18 pasien gangren kaki diabetik. Pasien dapat
dikatakan telah mendapatkan pemberian antibiotik secara rasional jika telah memenuhi
evaluasi ketepatan dan tidak ada satupun dari antibiotik yang diberikan tidak memenuhi
evaluasi ketepatan pemberian antibiotik. Berikut, pada Gambar 3 terdapat gambaran
penilaian evaluasi ketepatan berdasarkan pemberian antibiotik pada pasien gangren kaki
diabetik.

Gambar 3 Diagram presentase jumlah analisis ketepatan berdasarkan pemberian antibiotik


Pada perhitungan analisis kerasionalan berdasarkan jumlah pasien penderita gangren
kaki diabetik yang mendapat terapi antibiotik, terlihat pada Gambar 4 Jumlah pasien yang
paling rendah frekuensinya ialah terdapat pada tepat obat (0%).

Gambar 4 Diagram presentase jumlah analisis ketepatan berdasarkan jumlah pasien


penderita gangren kaki diabetik yang mendapatkan terapi antibiotik.

Evaluasi Analisis Kerasionalan


Pemberian antibiotik sudah dinyatakan rasional jika sudah dinyatakan tepat pada
setiap lima aspek ketepatan (tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat tepat pasien, dan
tanpa interaksi obat) pada setiap pemberian antibiotika pada pasien Pada ke-lima aspek
penilaian ketepatan dilakukan uji Contingency coefficient menggunakan SPSS 20.0 untuk
mengetahui aspek ketepatan yang paling berpengaruh terhadap pemberian antibiotik.
ketepatan obat memiliki pengaruh yang kuat terhadap penggunaan antibiotik terhadap pasien.
Berdasarkan uji Contingency coefficient, Untuk ketepatan obat didapatkan angka
Contingency coefficient 0,707 (>0,700). Sehingga dapat dikatakan ketepatan obat memiliki
pengaruh yang kuat terhadap penggunaan antibiotik terhadap pasien.

PEMBAHASAN
Demografi Pasien
Berdasarkan penelitian ini dapat terlihat secara deskriptif, penderita gangren kaki
diabetik lebih banyak terjangkit pada laki-laki dibanding pada pasien wanita. Terlihat bahwa
penderita gangren kaki diabetik mulai rentan terjadi pada usia 56 ke atas hingga usia 65. Pada
penelitian deskriptif sebelumnya yang dilakukan di Poliklinik diabetes melitus, Bandung,
mengenai gambaran perawatan kaki dan sensasi sensorik pada pasien diabetes melits tipe II
frekuensi usia responden sebagian besar responden dengan usia 55 tahun melakukan
perawatan kaki dengan baik. Sedangkan sebagian lainnya berada pada usia di atas 55 tahun
ke atas melakukan perawatan kaki yang buruk (Dhora, et. al, 2012). Lama perawatan pada
pasien menunjukkan efektifas terapi antibiotik yang diberikan dan efisiensi terapi pengobatan
pada pasien, namun masih terdapat pasien dengan lama perawatan hingga 50 hari.
Berdasarkan hasil survey pada pasien dengan gagnguan kaki di negara Amerika, 20-50%
pasien opname di Amerika Serikat berhubungan dengan masalah kaki dengan waktu opname
rata-rata 25 hari (Waspaji, 2006). Antibiotik yang paling sering digunakan pada pasien ialah
seftriakson dan siprofloksasin, namun pemilihan pemberian antibiotik ini juga harus
disesuaikan dengan peta resistensi kuman yang berkembang pada pus pasien. Selain itu,
tindakan yang operasi yang dilakukan terhadap pasien masih lebih rendah dibandingkan
dengan pasien tanpa tindakan operasi, dan pada data menunjukkan bahwa jumlah pasien yang
dinyatakan sembuh jauh lebih tinggi dibadingkan dengan pasien yang dinyatakan pulang
paksa atau meninggal.

Angka Sensitifitas Antibiotik pada Pemetaan Kuman


Pada kasus gangren kaki diabetik secara umum, bakteri penginfeksi gangren seperti
Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri penyerta bukan berasal dari tempat terjadinya
gangren, melainkan dari lingkungan sekitar seperti Coliform dan Pseudomonas yang
seringkali berpengaruh saat menginfeksi bagian dari luka pada kulit, untuk itu kultur dapat
dilihat melalui bakteri yang berkembang pada pus. Pada Tabel 3 penggunaan antibiotik
seftriakson seringkali digunakan sebagai terapi infeksi pada gangren kaki daibetik, padahal
pada peta resistensi seftriakson termasuk antibiotik dengan sensitifitas yang rendah. Pada
umumnya, seftriakson memang dapat digunakan untuk infeksi pada jaringan kulit (Drug
Information Handbook). Akan tetapi, pada beberapa penelitian terdahulu seperti penelitan
pada tahun 2008 oleh Eva Drecoli di RSUP Dr. M. Djamil Padang, dapat dilihat bahwa
seftriakson termasuk antibiotik dengan nilai sensitifitas yang kurang pada terapi kaki gangren
kaki diabetik. Angka sensitifitas seftriakson hanya mencapai 31,5%. Begitupun pada
pemetaan resistensi di RSAL Dr. Mintohardjo, seftriakson hanya mencapai 35,71% untuk
Staphylococcus. Penggunaan antibiotik juga kurang tepat pada untuk siprofloksasin karena
angka sensitifitas pada peta kuman mencapai 40,00% untuk bakteri Streptococcus.
Sementara antibiotik yang memiliki spektrum cukup luas seperti meropenem cukup banyak
digunakan (8,33%) karena memiliki sensitifitas yang cukup tinggi untuk semua bakteri pada
pus luka Staphylococcus (77,78%), Streptococcus (80,00%), Coliform (66,67%), dan
Pseudomonas (90,91%). Selain itu juga antibiotik fosfomisin memiliki angka sensitifitas pada
ke-empat bakteri pus pada luka, namun penggunaannya pada pasien penderita gangren kaki
diabetik jarang digunakan yaitu hanya sekitar 2,78% penggunaan dari 18 pasien penderita
gangren kaki diabetik.
Pada resistensi pemetaan kuman di RSAL Dr. mintohardjo, seftriakson memiliki
angka sensitifitas yang rendah pada ke-empat bakteri yang rentan pada infeksi kulit
(Staphylococcus, Streptococcus, Coliform, dan Pseudomonas) yaitu pada Staphylococcus
35,71%, Streptococcus 20,00%, Coliform 13,38%, dan Pseudomonas 18,18%. Untuk itu
penggunaan seftriakson kurang tepat pada penderita gangren kaki diabetik di RSAL Dr.
Mintohardjo dikarenakan angka sensitifitas yang rendah dan penggunaanya dalam jangka
waktu yang lama akan menimbulkan berbagai kerusakan fungsi organ. Selain itu, pengunaan
antibiotik yang cukup banyak yaitu siprofloksasin 11,11% dan meropenem 8,33%. Pada
angka sensitifitas kuman di RSAL Dr. Mintohardjo meropenem memiliki angka sensitifitas
yang sangat tinggi pada keempat jenis bakteri penginfeksi gangren yaitu : Staphylococcus
77,78%, Streptococcus 80,00, Coliform 66,67%, dan Pseudomonas 90,91%.

Analisis Kerasionalan Antibiotika


Presentase analisis ketepatan didapatkan dari 36 penggunaan antibiotik dengan 15
jenis antibiotik berbeda yang diberikan pada 18 pasien. Pada diagram tersebut terlihat bahwa
angka ketepatan paling tinggi terdapat pada tanpa interaksi obat sebesar 72,22%. Kemudian,
tepat indikasi menunjukkan presentase 38,89%, tepat dosis 27,78%, tepat obat 13,89% dan
angka terkecil terdapat padatepat pasien, yaitu 8,33%. Hal ini menggambarkan bahwa banyak
pemberian antibiotik tidak sesuai dengan kondisi pasien, baik pada dosis, kedaan pasien,
resiko timbulnya efek samping pada pasien, penyakit penyerta dan diagnosis yang ada pada
pasien.
Pada tabel dan diagram distribusi frekuensi penilaian ketepatan berdasarkan jumlah
pasien, tanpa interaksi obat memiliki presentase tertinggi yaitu 55,56%, tepat dosis 16,67%,
tepat pasien masing-masing sebesar 11,11 %, dan tepat indikasi sebesar 16,67%, dan angka
terkecil terdapat pada tepat obat yaitu 0%. Hal ini membuktikan bahwa semua pasien gangren
kaki diabetik di instalasi rawat inap RSAL Dr. Mintohardjo tidak memenuhi terapi antibiotik
tepat obat karena tidak sesuai dengan angka resistensi pemetaan kuman di RSAL Dr.
Mintohardjo.
Evaluasi Analisis Kerasionalan
Analisis evaluasi kerasionalan dilakukan dengan memperhatikan evaluasi hasil tepat
indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat tepat pasien, dan tanpa interaksi obat. Ke-lima aspek
ketepatan ini harus dapat memberikan nilai tepat hingga hasil akhir evaluasi dinyatakan tepat
seluruhnya. Dari semua penilaian ke-18 kasus gangren kaki diabetik pada pasien tidak ada
pemberian terapi antibiotik yang memenuhi angka ketepatan, maka tidak ada pasien yang
menerima terapi antibiotik secara rasional. hanya ketepatan obat yang dapat dilakukan uji
Contingency coefficient karena pada ketepatan dosis, ketepatan indikasi, tanpa interaksi obat,
dan ketepatan pasien menunjukkan angka H0 > 0,005, yang menyebabkan nilai H0 diterima,
sehingga tidak ada pengaruh dengan penggunaan antibiotik. Hal ini menyebabkan ketepatan
tersebut tidak dapat dilakukan uji kekuatan hubungan Contingency coefficient.
Untuk ketepatan obat memiliki pengaruh yang kuat terhadap penggunaan antibiotik
terhadap pasien. Hal ini juga dapat diperkuat dengan faktor angka resistensi pemetaan kuman
yang terdapat di RSAL Dr. mintohardjo sebagai salah satu kriteria penilaian ketepatan obat.

KESIMPULAN
Berdasarkan penilaian evaluasi ke-5 aspek ketepatan, dapat ditarik kesimpulan bahwa
tidak satupun pasien gangren kaki diabetik (0%) di ruang instalasi penyakit dalam RSAL Dr.
Mintohardjo yang dinyatakan rasional terhadap pemberian antibiotik.

SARAN
1) Perlu ditingkatkan lagi pemberian antibiotika yang tepat kepada pasien, terutama
penegakkan diagnosis pada pasien.
2) Pemeriksaaan kultur dari pus gangren perlu dilakukan pada pasien penderita gangren kaki
diabetik untuk menentukan antibiotik yang tepat.
3) Untuk terapi empiris pada pasien penderita gangren kaki diabetik diharapkan dalam
pemilihan antibiotika melihat keadaan diagnosis pasien dan memperhatikan hasil
laboratorium fisiologis pasien, untuk menghindari ketidak tepatan obat terhadap pasien.
4) Perlu diketahui angka resistensi pemetaan kuman yang terjadi di rumah sakit setiap
tahunnya. Sehingga, dapat dijadikan sebagai stándar kuman yang berkembang di RSAL
Dr. Mintohardjo untuk menentukan antibiotik yang sesuai pada kuman tersebut.
KEPUSTAKAAN
Anief, Moh. (1996). Penggolongan Obat, Cetakan ke-5. Yogyakarta : Universitas Gajah
Mada Press.

Boulton, AJ., Kirsner, S., Vileykite, L. (2004). Neuropathic Diabetic Foot Ulcers. New
England : Jurnal Medical.

Brunton, L, Parker, K, Blumenthal, D, Buxton, l. (2008). Goodman & Gilman’s Manual of


Pharmacology and Therapeutics. New Yoork : International Edition McGraw-Hill.

Cahyono, JB Suharjo B. (2007).Manajemen Ulkus Kaki Diabetik. Palembang : Jurnal DEXA


MEDIA No. 3 Vol. 20.

Departemen Kesehatan RI. (2005). Pharmaceutical care untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Kementrian Kesehatan


Mengenai Penggunaan Antibiotika. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Drecoli, Eva, et all. (2008). Profil Ulkus Diabetik pada Penderita Rawat Inap di Bagian
Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang. Padang : Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas, Artikel Penelitian.

Jawetz, E., et al. (1982). Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan Edisi 14. Terjemahan : dr.
Gerard Bonang. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia
Atmajaya.

Mosby. (2009). Mosby’s Medical Dictionary 8th Edition. Elsevier

Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. (2006). Patofisologi Volume 1: Konsep Klinis Proses –
Proses Penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Simon, C., Stille, W., Wilkinson P.J. (1993). Antibiotik Therapy in Clinical Practice.
Stuttgart-New York : Penerbit Schattauer.

Singh, N., Armstrong, DG., Lipsky, BA. (2005). Preventing Foot Ulcer in Patients with
Diabetes. Jurnal.

Suyono, Slamet. (1996). Diet pada Diabetes dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta :
FKUI.

Waspaji, Sarwono. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 3, Edisi 4. Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wattimena, J. R. , Sugiarso, N. C. , Widianto, M. B. , Sukandar, E.Y. , Soemardji, A. A. ,


Setiadi, A. R. (1991). Farmakodinamika Dan Terapi Antibiotik, 31-32.Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.

WHO. (2012). Medicines WHO. Geneva,


http://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/.1 Juni 2012

You might also like