Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

REKONSTRUKSI SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF KEMANDIRIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pujiyono
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Jalan Prof. Soedarto. SH. Tembalang, semarang
Email: pujifh@yahoo.com

Abstract

Criminal justice system as a tool of law enforcement, didn't work optimally in Indonesia. It often being used
by executive power because its position and function didn't independent and subordinated by executive
power. Judicial power is an independent power, but other subsistem in CJS such as investigative power,
prosecution power, and Executors power structurally and functionally are under executive power, and as
result that their roles as a power instrument to service power's interest. This research purpose to set ideal
format in integrated CJS working , to manifest judicial power in the independency and integrated criminal
law enforcement through reconstruction and reorientation of criminal justice system construction,
substantial and cultural. Main object in this research is criminal law enforcement policy, juridical normative
and sociological approach, primary and secondary data as a main data to qualitative analyzing. The result of
this research show that function of subsystem in criminal justice system (such as investigation, prosecution,
and execution power ) have not show independent yet, cause of under the executive power. Anyway judicial
power is set as independent power out of executive power, in organizationing, budgeting, staffing, and
carrier system under one roof system that subordinated by Supreme Court . Here CJS is unsystemic but
partially and fragmentair. This situation result subsytem rivality and in the end can be barrier in CJS
performances. There is policy measures to implement integrally of independency criminal justice system by
systemic approach to reset related policy in the law substance, the law structure and the law culture.

Keywords : reconstruction, criminal justice system, independency and judicial power.

Abstrak

Sistem peradilan pidana sebagai sistem penegakan hukum, tidak berjalan secara optimal bahkan menjadi
alat penguasa karena kedudukannya yang tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif. Sub-sistem SPP
kecuali pengadilan secara struktural dan fungsional berada di bawah kekuasaan eksekutif, sehingga
perannya sebagai penegak hukum terlihat melayanai kepentingan penguasa. Penelitian ini bertujuan untuk
menemukan format ideal penyelenggaraan sistem peradilan pidana yang integral dan independen
sehingga terwujud kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum pidana yang merdeka dan integral,
dengan melakukan rekonstruksi dan reorientasi struktural, substansial dan kultural terhadap sistem
peradilan pidana. Objek utama penelitian ini adalah terhadap kebijakan penegakan hukum pidana,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan sosiologis dilengkapi dengan
pendekatan historis dn komparatif, dengan mengutamakan data sekuder dengan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan sub-sistem dalam sistem peradilan pidana (sub-sistem penyidikan,
penututan dan pelkasana pidana) secara fungsional dan kelembagaan belum menujukkan adanya
independensi karena secara struktutral berada dibawah kekuasaan esekutif. Sedangkan kekuasaan
mengadili (pengadilan) sudah ditempatkan sebagai kekuasaan yang merdeka/independen lepas dari
kekausaan eksekutif, baik secara organisasi kelembagaan, anggaran, kepegawaian dan sistem kerier
dibawah satu atap (one roof system) dibawah Mahkamah Agung. Ketidakmandirian disebabkan
kelembagaan yang tidak independen, kerancuan atau tumpang tindih substansi hukum dan faktor budaya
hukum pelaksana sub-sistem peradilan pidana yang cenderung arogan, ego sentris, komersial dan
melayanai kepentingan-kepentingan pragmatis diluar tujuan penegakan hukum.

Kata kunci: rekonstruksi, sistem peradilan pidana, kemandirian dan kekuasaan kehakiman

118
Pujiyono, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Pendahuluan Tinggi Polri yang ditengarai hasil korupsi dari


Secara yuridis dan faktual, sub-sistem Sistem perolehan suap pelaku illegal loging, pemberian
Peradilan Pidana (SPP) sebagai pengemban Lepas Bersyarat Hutomo Mandala Putra, proses
kekuasaan penegakan hukum, tidak bernaung dalam pembebasan bersyarat terpidana kasus Bantuan
satu atap kekuasaan yudikatif. Kepolisian dan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) David Nusa Wijaya
Kejaksaan dua pilar penegakan hukum dalam fungsi yang ditengarahi sarat dengan intervensi internal
penyidikan dan penuntutan disamping Lembaga (Departemen Hukum dan HAM) dan tidak ada
Pemasyarakatan sebagai pelaksana pidana di bawah koordinasi dengan lembaga Kejaksaan, menunjukkan
kendali kekuasaan Pemerintah.Dilihat dari perspektif lemahnya lembaga sub-sistem peradilan pidana dari
konstitusi, secara kelembagaan ketiga lembaga campurtangan dan intervensi kekuasaan ekstra
pengemban fungsi Yudikatif tersebut adalah organ yudisial.
Eksekutif dan di bawah subordinasi kekuasaan Kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum
Eksekutif. Kalau secara konstitusional Kekuasaan pidana, untuk menuju kondisi impartial
Kehakiman diakui sebagai kekuasaan yang merdeka, (independency) dan merdeka diperlukan adanya
tentunya sub-sistem penyelenggara Kekuasaan kemandirian secara integral yang terwujud dalam
Kehakiman di bidang penegakan hukum pidanapun setiap sub-sistem dalam kekuasaan kehakiman
harus berada dalam satu atap atau dalam satu ranah penegakan hukum pidana. Dari kacamata
kekuasaan yudikatif. manajemen peradilan, kemandirian secara
Kajian secara umum terhadap hakekat lembaga, integrative dapat terwujud apabila terdapat satu
termasuk lembaga-lembaga sub-sistem dalam sistem kebijakan yang integral dan sistemik.
peradilan pidana, ada 2 (dua) unsur pokok yang saling Berangkat dari pemikiran tersebut perlu adanya
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, kajian secara mendalam yang bersifat retrospeksi dan
yaitu antara lembaga sebagai organ dan functie. rekonstruksi untuk membangun keterpaduan
Lembaga sebagai organ adalah bentuk atau kekuasaan kehakiman khususnya berkaitan dengan
wadahnya, sedangkan functie adalah isinya yaitu sistem penegakan hukum pidana yang bersifat
gerakan wadah sesuai dengan tujuan integral, sehingga terwujud kekuasaan kehakiman
pembentukannnya. Lembaga sub-sistem peradilan yang merdeka, mandiri dan integral. Oleh karena itu
pidana (Polisi/ penyidik, Kejaksaan/ penuntut dan penelitian ini mengambil judul” Rekontruksi Sistem
Lembaga Pemasyarakatan/ pelaksana pidana) Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif
sebagai organ “mereka” adalah intrumen Eksekutif, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”
sedangkan fungsinya adalah pengemban fungsi 1. Bagaimanakah gambaran secara faktual fungsi
penyelenggaraan penegakan hukum pidana, dan kedudukan sistem peradilan pidana dalam
bersama-sama dengan lembaga pengadilan adalah penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
penopang kekuasaan yudikatif. Kajian tersebut di atas merdeka atau mandiri saat ini? Faktor-faktor
menunjukkan tidak adanya sinkronisasi antara apakah yang mempengaruhi penyelenggaraan
dimensi organ dan fungsi. Hal tersebut berdampak kekuasaan kehakiman yang merdeka atau
pada praktek penyelenggaraan sistem peradilan mandiri dalam penegakan hukum pidana?
pidana, sering menimbulkan banyak masalah yang Implikasi apakah yang timbul sehubungan
bermuara tidak optimalnya kinerja sistem peradilan dengan kedudukan sub-sistem peradilan pidana
pidana. yang tidak merdeka ?
Sebagai satu kesatuan manajemen peradilan, 2. Bagaimanakah secara konseptual, konstruksi
posisi tersebut sangat tidak menguntungkan. Kondisi ideal sistem peradilan pidana terpadu yang
ini menyebabkan sub-sistem dalam sistem peradilan selaras dengan konsep kemandirian kekuasaan
pidana tidak independen dan mudah terintervensi kehakiman yang integral?
oleh faktor-faktor kekuasaan lain, baik oleh
kekuasaan Pemerintah (eksekutif) maupun induk dari Metode Penelitian
organisasinya (seperti lembaga Kepolisian, Dalam penelitian ini digunakan metoda
Kejaksaan maupun Departemen Hukum dan HAM). pendekatan ganda (multy approach). Pendekatan
Beberapa fakta menguatkan hipotesa tersebut, seper pertama yang digunakan adalah pendekatan yuridis-
berhentinya kasus pemeriksaan Rekening Perwira normatif dan yuridis–sosiologis, yang dilengkapi

119
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

dengan pendekatan historis dan pendekatan yuridis- pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan
komparatif. penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan
kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan
Fungsi Dan Kedudukan Sub-sistem Sistem lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Peradilan Pidana dalam Penegakan Hukum Secara khusus dapat kita lihat bahwa fungsi
Pidana. penegakan hukum yang dilakukan Polri berada di
1. Sub-sistem Penyidikan bawah kekuasaan eksekutif, karena institusi Polri di
a. Penyidik Polri bawah Presiden. Kapolri sebagai Kepala Kepolisian
Penyidik Polri merupakan bagian tidak Republik Indonesia adalah anak buah Presiden dan
terpisahkan dari fungsi dan kedudukan Kepolisian segala pelaksanaan tugasnya
Republik Indonesia (Polri) sebagai aparatur Negara di dipertanggungjawabkan kepada Presiden.
bawah Presiden. Fungsi penyidikan menjalankan Fungsi penyelidikan dan penyidikan yang
sebagian tugas Polri, khususnya di bidang penegakan dilakukan kepolisian adalah bagian dari pelaksanaan
hukum. Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 proses penegakan hukum pidana. Secara integral
tentang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan merupakan bagian dari keseluruhan sub-sistem
bahwa tugas pokok Polri adalah: a. memelihara sistem peradilan pidana. Posisi sentralnya dalam
keamanan dan ketertiban masyarakat; b. fungsi penyidikan adalah bertindak sebagai penegak
menegakkan hukum; dan c. memberikan hukum. Secara konseptual, sebagai pengemban
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada fungsi penegakan hukum institusi ini harus bersifat
masyarakat. memelihara keamanan dan ketertiban independen dan merdeka. Ia harus bersifat non
masyarakat. Fungsi penyidikan di tubuh Polri partisan dan imparlsial. Pasal 8 UU No. 2 Tahun 2002
dilaksanakan oleh satuan reserse yang oleh tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU
peraturan perundang-undang mempunyai Kepolisian) tidak memberikan jaminan tersebut,
kewenangan melaksanakan penyelidikan, penyidikan mengingat Kepolisian RI adalah instrument
dan koordinasi serta pengawasan terhadap Penyidik pemerintah.
Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Secara rinci menurut
Pasal 16 (1) dalam rangka menyelenggarakan tugas b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Pengakuan adanya Penyidik Pegawai Negeri
di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Sipil (PPNS) terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-
Indonesia berwenang untuk : a. melakukan Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik
penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan
atau memasuki tempat kejadian perkara untuk Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
kepentingan penyidikan; c. membawa dan khusus oleh Undang-Undang. Kewenangan
menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS didasarkan
penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang pada undang-undang yang menjadi dasar
dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengaturannya, jadi bersifat lex specialis derogate lex
pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan generalis. Kewenangan penyidikan tunduk ketentuan
penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar KUHAP sepanjang undang-undang yang menjadi
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. dasar pengaturannnya tidak memberikan aturan
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam khusus. Bisa terjadi kewenangan penyidikan semata-
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mata sesuai dengan ketentuan KUHAP terkait upaya
mengadakan penghentian penyidikan; i. paksa, maupun kewenangan lainnya (Pasal 7
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut KUHAP), menurut kewenangan diberikan oleh
umum; j. mengajukan permintaan secara langsung undang-undang yang mengaturnya. Sehingga dari
kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat peraturan yang ada, pengaturan kewenangan
pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau terhadap PPNS yang hingga saat ini berjumlah
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang kurang lebih 52 (lima puluh dua) jenis PPNS, dengan
yang disangka melakukan tindak pidana; k. memberi kewenangan yang berbeda-beda.
petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik Kewenangan penyidikan oleh PPNS dilakukan

120
Pujiyono, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia

sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
Undang yang menjadi dasar hukumnya. Artinya besar lembaga negara yang independen dan bebas dari
kecilnya kewenangan tergantung pengaturan yang pengaruh kekuasaan manapun. KPK memiliki 5 tugas
diberikan oleh undang-undang yang mengaturnya. dan 29 wewenang. Berdasar Pasal 6( UU No.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 30Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak
kewenangan PPNS berbeda-beda, berkaitan dengan pidana Korupsi), tugas KPK adalah:
masalah kewenangan upaya paksa, penyampaian a. Koodinasi dengan instansi yang berwenang
berkas perkara, pemberitahuan dimulai penyidikan melakukan pemberantasan tindak pidana
(SPDP) dan fungsi koordinasi. korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang
c. Penyidik Kejaksaan melakukan pemberantasan tindak pidana
Menurut UU No. 16 Tahun 2004 tentang korupsi;
Kejaksaan RI, Kejaksaan adalah lembaga pemerintah c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
penuntutan. Menurut Pasal 37 wewenang penuntutan d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
dilaksanakan secara independen dan pidana korupsi; dan
pertanggungjawaban disampaikan kepada Presiden e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip pemerintahan negara.
akuntabilitas. Undang-undang Dasar 1945 secara Dalam melaksanakan tugas tersebut dalam
implisit mengatur keberadaan Kejaksaan RI dalam Pasal 6, KPK mempunyai kewenangan-kewenangan
sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait yang diatur pada - Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat (3) Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 30
UUD 1945 amandemen ke-3 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2002.
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), Berdasarkan Pasal 7 sampai dengan Pasal 14
sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali menempatkan KPK sebagai lembaga yang bersifat
proses perkara yang menentukan dapat tidaknya super body, selain mengkoordinasikan fungsi
seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam penyidikan
ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah tindak pidana, dapat melakukan pengambil alihan
menurut undang-undang, dan sebagai executive (take over) kasus yang ditangani oleh Kepolisian dan
ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan Kejaksaan yang dinilai lamban dan ada konflik
pengadilan dalam perkara pidana. kepentingan.
Di bidang penyidikan, Kejaksaan mempunyai
kewenangan berawal dari ketentuan Pasal 284 e. Penyidik Angkatan laut
KUHAP. Kewenangan Kejaksaan untuk menyidik Terbatasnya personil, sarana prasarana,
suatu tindak pidana adalah bersifat sementara dan kemampuan penegak hukum (Kepolisian) dan
untuk tindak pidana- tindak pidana tertentu. Politik penegak hukum lainya dalam penegakan hukum di
hukum KUHAP dalam bidang penyidikan wilayah perairan, undang-undang memberikan
menempatkan penyidik Polri sebagai penyidik utama kewenangan kepada Tentara Nasional Indonesia
yang berwenang melakukan penyidikan terhadap Angkatan Laut (TNI AL) untuk melakukan tugas
semua jenis tindak pidana. Meskipun demikian politik penegakan hukum berupa melakukan penyidikan
hukum pembuat undang-undang masih memberikan terhadap tindak pidana yang terjadi di wilayah
kewenangan penyidikan kepada kejaksaan, khusus perairan.
untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu (tindak Secara universal TNI AL mengemban tiga peran
pidana khusus). Hal ini terlihat dari politik hukum yang yaitu peran militer, peran polisionil dan peran
tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 diplomasi. Peran polisionil dilaksanakan dalam
tentang Kejaksaan dan Undang-Undang No. 16 tahun rangka menegakkan hukum di laut, melindungi
2004 tentang Kejaksaan. Secara eksplisit tertuang sumberdaya dan kekayaan laut nasional, memelihara
dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d. keamanan dan ketertiban di laut serta mendukung
pembangunan bangsa.
d. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi I

121
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

Subsistem Penuntutan dibawah komando KPK. Sewaktu-waktu apabila


Menurut Pasal 13 KUHAP penuntutan dilakukan sudah tidak dibutuhkan dapat dikembalikan kepada
oleh penuntut umum yaitu jaksa yang diberi instansi asal (mengingat KPK bersifat Ad-Hoc), atau
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan sewaktu-waktu bisa ditarik oleh instansinya apabila
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. instansi asal membutuhkan. Kondisi ini menyebabkan
Untuk semua jenis tindak pidana penuntut umum dari segi personil tidak independen dan kinerja
adalah jaksa pada lembaga Kejaksaan Republik Penuntut Umum KPK tidak maksimal.
Indonesia, kecuali untuk tindak pidana korupsi
terdapat jaksa penuntut umum dari lembaga KPK. Subsistem Peradilan
a. Penuntut Umum Lembaga Kejaksaan Secara konstitusional, susunan dan organisasi
Tugas dan wewenang Kejaksaan tertuang Pasal sistem peradilan Indonesesia dapat kita lihat dalam
30 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang ketentuan Pasal 24 UUD NRI 1945 Amandemen dan
Kejaksaan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) adalah undang-undang organik yang mengatur kekuasaan
lembaga eksekutif atau pemerintah, yang kehakiman. Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa”
menyelenggarakan fungsi yudikatif dalam bidang kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah
penentutan perkara pidana. Prinsip dasar penegakan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
hukum adalah independen dan merdeka. Kedudukan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
kejaksaan sebagai aparat pemerintah sebagaimana lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
tertuang dalam Pasal 19 adalah tidak independen, militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan
tersubordinasi bahkan terkooptasi oleh kekuasaan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
pemerintah. Akibatnya pelaksanaan penegakan Menurut Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945,
hukum yang dilakukan kejaksaan tidak akan Mahkamah Agung merupakan puncak dari peradilan.
independen. 1 Penegasan lebih lanjut tercantum dalam Pasal 20
ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
b. Lembaga Penuntut Umum KPK Kekuasaan Kehakiman (UUKK) bahwa Mahkamah
KPK adalah lembaga “super body” memiliki Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari
beberapa kewenangan yang tidak dimiliki oleh empat lingkungan peradilan. Mahkamah Agung
penegak hukum lainnnya. Lembaga KPK memiliki 3 sebagai puncak peradilan membawa konsekuensi
(tiga) kewenangan sekaligus, sebagai penyelidik, adanya one roof system, dalam penyelenggaraan
penyidik dan penuntut sekaligus. sistem peradilan di Indonesia. Sehingga pembinaan
Kewenangan penuntutan yang dilakukan KPK yudisial maupun susunan organisasi, administrasi
adalah bersifat independen, tidak dibawah koordinasi kepegawaian dan masalah finasial badan peradilan
maupun pengawasan lembaga lain. Hal ini ditegaskan yang di bawahnya berada di Mahkamah Agung.
dalam Pasal 39 ayat (2) UU KPK, bahwa penyelidikan, (Pasal 13 ayat (1) UU KK).
penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan Subsistem Pelaksana Pidana
bertindak untuk dan atas nama Komisi Lembaga Pemasyarakatan adalah instansi teknis
Pemberantasan Korupsi. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang
KPK meskipun secara kelembagaan bersifat bertanggungjawab pelaksanaan pembinaan
independen, tenaga penyidik dan penuntutnya tidak narapidana (warga binaan), diatur dalam Undang-
didukung oleh sumber daya manusia dari KPK sendiri. Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Personil penuntutan (Penuntut Umum) merupakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah bagian
personil Penuntut Umum Kejkasaan yang di BKO kan dari Departemen Hukum dan Perundang-undangan.
(Bawah Komando Operasi). Artinya untuk sementara Dengan demikian Lembaga Pemsyarakatan adalah
personil Penuntut Umum Kejaksaan yang bagian dari institusi Pemerintah (eksekutif) yang
diperbantukan kepada KPK, menjadi pegawai dan menjalankan rangkaian fungsi penegakan hukum

1 Tesis tersebut sesuai dengan fakta, penyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji pada saat memberikan ceramah umum di depan civitas Fakultas Hukum UNDIP ,
bahwa Jaksa Agung sebagai aparat Pemerintah bawahan Presiden tidak akan melakukan penyidikan terhadap Kepala Daerah yang disangka melakukan tindak
piana korupsi sepanjang belum mendapat ijin untuk melakukan pemeriksaan oleh Presiden. Sikap demikian menujukkan Jaksa Agung tidak independen dan
terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif (Presiden), memperlihat adanya ketaatan yang lebih kepada kekuasaan (penguasa) dari pada ketaatan terhadap hukum .
Seara nyata sikap tersebut menunjukkan Jaksa Agung tidak independen atau mandiri dalam melakukan penegakan hukum.

122
Pujiyono, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia

sebagai pelaksanaan pidana (eksekutor pidana). Satuan, Kepala Direktorat bahkan Kepala Badan)
Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan sering terjadi bukan dari pejabat yang berkarier dari
pidana yang dijatuhkan oleh Hakim berupa putusan serse, misalnya bisa dari Satuan Lalu Lintas,
pemidanaan khususnya pidana penjara. Binamitra dan lain-lain. Tidak adanya jenjang karier
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem secara berkesinambungan bagi personil reserse
pemasyarakatan terkait dengan tujuan dari khusus dibidang reserse, menyebabkan personil
pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan dengan reserse berganti-ganti sehingga sulit untuk
demikian menentukan kebijakan pelaksanaan mendapatkan penyidik yang profesional.
pidana, sesuai dengan sistem yang ditetapkan.
Lembaga Pemasyarakatan mempunyai 2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
kewenangan-kewenangan untuk menetapkan Dalam praktek PPNS sering tidak independen,
hukumnya terkait dengan kebijakan “pemidanaan”. bahkan seakan-akan tersubordinasi dan ditempatkan
Lembaga Pemasyarakatan dapat “mengurangi” masa sebagai pembantu Penyidik Kepolisian. Pasal 3 ayat
pidana atau tenggang waktu pelaksanaan pidana (1) UU No. 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa
yang ditetapkan oleh Hakim sebagai batas atas. pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa putusan hakim Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a.
yang mempunyai kekuatan tetap itu dapat “diubah” kepolisian khusus; b. penyidik pegawai negeri sipil;
oleh Lembaga Pemasyarakatan. Kebijakan dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
“perubahan” tersebut dapat melalui instrumen PPNS ditempatkan sebagai pembantu fungsi
pemberian “remisi” maupun “pelepasan bersyarat”. kepolisian khususnya di bidang penegakan hukum
(penyidikan). Hal ini bertentangan dengan ketentuan
Faktor Penyebab Tidak Merdekanya Kekuasaan KUHAP Pasal 1 butir 1 Jo Pasal 6 ayat (1), kedudukan
Kehakiman dalam Penegakan Hukum Pidana PPNS dan Penyidik Polri adalah dalam kedudukan
1. F a k t o r P e r u n d a n g - u n d a n g a n d a n yang setara. Di dalam KUHAP memang diatur bahwa
Kelembagaan PPNS dalam menjalankan tugasnya berada di bawah
Faktor-faktor yang membuat kekuasaan kehakiman koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri (Pasal 7
dalam penegakan hukum pidana tidak independen ayat (2) KUHAP). Pengawasan dan koordinasi tidak
dari sudut kelembagaan. dalam arti posisi sub-ordinasi akan tetapi dalam posisi
a Lembaga Penyidik yang setara. Posisi setara tersebut akan terlihat jelas
dengan mengkaji perkembangan politik hukum dari
1). Penyidik Kepolisian perundang-undangan yang mengatur kewenangan
Meskipun kepolisian kini menjadi organ sipil (civil PPNS, dimana kewenangan PPNS dalam penyidikan
in uniform) garis komando masih sangat kuat. tindak pidana-tindak pidana tertentu seperti tindak
Penyidik tidak mandiri dan profesional, tidak bertindak pidana keimigrasian, cukai, yang terakhir tindak
dalam kapasitas personal akan tetapi sepenuhnya pidana lingkungan hidup, PPNS punya kewenangan
tergantung komando. Penyidik sering tidak punya yang sangat luas sampai kewenangan penahanan.
harga diri di mata tersangka, karena tersangka Dalam beberapa perundang-undangan PPNS
merasa dekat dan dapat “menguasai” atasan.2 Secara bisa menyerahkan langsung ke Jaksa Penuntut
administrasi berkaitan ijin pemeriksaan tersangkan Umum tanpa melalui Penyidik Polri. Deskripsi di atas
yang berstatus pejabat, sering terhambat oleh jenjang dapat kita simpulkan bahwa PPNS tidak dalam
birokrasi administrasi dengan menghambat ijin kapasitas pembantu Penyidik Polri, apalagi sebagai
bahkan tidak memberikan ijin (pengantar ijin ”asesoris” atau ”pelengkap” dalam fungsi penyidikan.
pemeriksaan), karena faktor kepentingan pejabat Penegasan pemahaman seperti ini sangat diperlukan
atasan langsung yang menghendaki kasus untuk agar Penyidik Polri tidak ”melihat dengan sebelah
tidak diteruskan.3 mata” bahkan dianggap mengganggu tugas
Faktor lain yang membuat penyidik tidak Kepolisian.
independen dan tidak profesional adalah penempatan Wakadif Humas Mabes Polri (saat itu. pen)
pejabat struktural reserse (Kepala Unit, Kepala Brigjen (Pol) Anton Bachrul dihadapan Komisi III
2 Wawancara dengan Suliadi, petugas reserse Kepolisian Kota Besar Semarang.
3 Wawancara pribadi dengan petugas reserse Kepolisian Daerah Jawa-Tengah

123
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

Dewan Perwakilan Rakyat, menyatakan tugas-tugas selalu waspada jangan sampai menyinggung
penyidikan Polri sering terhambat oleh PPNS karena kepentingan politik Presiden yang ujung-ujungnya
tidak bisa masuk karena kewenangan PPNS seperti menjadikan dia tidak independen.8 Merujuk dari
penyidikan Bea Cukai. Selanjutnya dikatakan bahwa realitas sejarah tersebut, lembaga kejaksaan dewasa
fungsi PPNS sering disalahgunakan oleh karena itu ini adalah tidak mandiri karena sebagai aparat
Polri siap mengambil alih kewenangan PPNS.4 pemerintah (lembaga pemerintah) dibawah
Kepolisian bertindak tidak positif dengan melakukan kekuasaan eksekutif sebagai bawahan Presiden (Ps.
proses hukum terhadap PPNS yang melakukan tugas 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004) . Posisi yang tidak
penyidikan. Di Semarang, PPNS di bidang lingkungan mandiri tersebut berimbas pada pelaksanaan fungsi
hidup diperiksa polisi dengan alasan masuk yang tidak independen karena sebagai aparat
perusahaan dengan tidak sah dan tanpa pemerintah harus dituntut loyalitas yang tinggi dalam
kewenangan. Dalam kasus itu PPNS dalam kapasitas menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, meskipun
melaksanakan tugas untuk memeriksa Unit Pasal2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 menjamin
Pengolahan Limbah (UPL) perusahaan, yang dalam menjalankan fungsi penuntutan dijamin
dianggap telah melakukan pencemaran lingkungan kemerdekaannya. Ada kondisi yang bersifat dilematis
hidup.5 Kasus lain adalah, penyidikan yang dilakukan dan kontradiktif dalam kedudukan dan fungsi
PPNS dimentahkan dengan cara Penyidik Polri Kejaksaan.
menyidik kasus yang ditangani PPNS dan ternyata
kasusnya tidak berlanjut.6 4) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
Secara internal keorganisasian PPNS sangat KPK dengan kedudukannya yang sangat
tidak independen, sebagai pegawai negeri dan fungsi independen, dari hasil penelitian ini dari sisi personil
penyidikan merupakan tugas tambahan. Sehingga terutama ketersediaan tenaga penyidik dan penuntut
dalam banyak hal tugas penyidikan sering merupakan umum masih tergantung dengan lembaga Kepolisian
tugas sampingan disamping tugas utamanya sebagai dan Kejaksaan, karena status personil penyidikan dan
pengelola birokrasi pemerintahan. Banyak terhambat penunutan adalah personil yang ditempatkan bawah
oleh ijin pimpinan (kurang mendapat dukungan komando operasional KPK (di bawah BKO KPK),
atasan), tidak profesional karena hanya mendapat meskipun begitu masuk ke KPK mereka menjadi
pendidikan beberapa bulan dan tidak terhimpun personil KPK. Akan tetapi, mengingat status KPK
dalam suatu badan.7 sebagai lenbaga Ad Hoc yang sewaktu-waktu bisa
dibubarkan, membuat personil yang di BKO-kan tidak
3) Penyidik Kejaksaan bekerja secara total, karena sewaktu-waktu bisa
Sesudah tahun 1959 tepatnya pada tahun 1961 kembali ke instansi induknya. Kondisi seperti ini
kejaksaan ”mandiri” dalam arti berdiri sebagai menyebabkan adanya dualisme loyalitas, yang pada
lembaga atau badan tersendiri terlepas dari akhirnya bisa memperngaruhi kinerja KPK, bahkan
Departemen Kehakiman, namun Kejakasaan tidak campur tangan instansi asalnya. Kasus ”perseteruan”
independen atau tidak merdeka karena statusnya lembaga kepolisian yang ”didukung” lembaga
bukan lagi Jaksa Agung dalam Mahkamah Agung, kejaksaan dengan KPK membuktikan hal ini.
tetapi berstatus sebagai Menteri atau berstatus
sebagai anggota kabinet (pembantu presiden), dan 5) Penyidik Tentara Nasional Angkatan Laut (TNI-
tidak pensiun pada usia 65 tahun sehingga ada AL)
kekhawatiran setiap saat kekhawatiran setiap bisa Penyidik Perwaira TNI-AL adalah anggota militer
diganti oleh Presiden. Kondisi demikian menurut Andi meskipun mengemban fungsi penyidikan. Sebagai
Hamzah menyebabkan Jaksa Agung dalam institusi militer tunduk pada disliplin militer dan adanya
menjalankan tugas penegakan hukum selalu harus loyalitas total terhadap atasan mapun kesatuannya.

4 Polisi Siap Ambil Alih Kewenangan PPNS, Tersedia di : www.berpolitik.com diakses tanggal 22 September 2009
5 Dialog peserta BIntek (Bimbingan Teknis) dan Rapat koordinasi PPNS Jawa Tengah, Hotel Ungaran Cantik. Diikuti oleh PPNS Provonsi Jawa Tengah
6 Dialog peserta Bintek (Bimbingan Teknis) dan Rapat Koordinasi PPNS Jawa Tengah, Hotel Ungaran Cantik
7 Hasil penelitian Nikmah Rodisah (Tesis S2,UI) “Manfaat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Upaya Penegakan Peraturan Daerah. Hambatan tugas
PPNS anatar lain adalah tidak adanya dukungan atasan, karena tugas PPNS justru mengganggu tugas utamanya sebagai pengelola adminsitrasi birokrasi
pemerintahan. Tersedia di: http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jps.id (diakses tanggal 5 Nopember 2009)
8 Andi amzah, Loc-Cit

124
Pujiyono, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Doktrin militer sangat berlainan dengan doktrin 3. Aturan yang bersifat menegasikan (meniadakan)
institusi sipil. Fungsi penegakan hukum yang kewenangan lembaga lain.
dilakukan oleh TNI-AL terhadap pelaku tindak di 4. Aturan yang tidak sinkron dengan jiwa dan
bidang perairan adalah orang sipil (kebanyakan orang semangat reformasi.
sipil). Ditinjau dari segi kesetaraaan status (sipil dan 5. A t u r a n y a n g m e m p u n y a i s i f a t
militer) dan doktrin, fungsi penyidikan yang dilakukan ”mensubordinasikan” lembaga penegak hukum
oleh institusi penyidik Perwira TNI-AL menimbulkan yang satu dengan yang lain.
kerawanan adanya pelanggaran Hak Asas Manusia.
Ditinjau dari sisi kelembagaan TNI-AL yang 2. Rekonstruksi Lembaga Hukum
mementingkan garis komando, memunculkan potensi Barda Nawawi Arief menyamakan kekuasaan
yang sangat besar adanya intervensi secara kehakiman sebagai kekuasaan ”mengadili” semata,
kelembagaan. UUD NRI 1945 (amandemen) lebih
menekankan/menonjolkan pengertian kekuasaan
Faktor Budaya Hukum kehakiman dalam arti sempit.9 Kekuasaan kehakiman
Dalam penelitian ini ditemukan fakta budaya untuk menegakkan hukum pidana, tidak hanya
hukum pelaksanaan penegakan tindak pidana korusi dijalankan atau ditopang oleh lembaga pengadilan
menunjukan citra yang sangat buruk. Muncul semata. Kekuasaan kehakiman dalam
arogansi kelembagaan, berfikir ragmentaris,sektoral penyelenggaraan penegakan hukum pidana ditopang
dan tidak berfikir sistemik. Istilah ”Cicak dan Buaya” oleh empat lembaga yang secara linier mempunyai
adalah satu refleksi arogansi lembaga kepolisian kewenangan yang sangat menentukan.
terhadap lembaga lain (KPK). Disamping itu muncul Penyelenggaraan sistem peradilan pidana dengan
adagium yang direfleksikan dari praktek peradilan model ”efek domino”, dimana peradilan bergulir
pidana yang tidak baik atau kotor dipenuhi dengan dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di
mafia peradilan, yang bersumber dari moralitas yang depan pengadilan (pengadilan) dan pelaksanaan
rendah dan tidak profesional. Istilah KUHP pidana. Dari perspektif sistem peradilan pidana
diplesetkan menjadi ”Kasih Uang Habis Perkara”, dengan model ”kemudi”, masing-masing pemegang
dagang hukum, penyelesaian perkara dengan peran/kewenangan (sub-sistem SPP) mempunyai
”amplop” dan lain-lain. kewenangan untuk menetapkan hukumnya. Penyidik
bisa menghentikan pemeriksaan (menetapkan
Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Menuju hukumnya terhadap kasus tersebut) dalam hal tidak
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Secara cukup bukti atau bukan perkara pidana dengan
Integral mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
1. Rekonstruksi Substansi Hukum Penyidikan (SP3), sehingga kasus tidak bergulir ke
Rekonstruksi substansi hukum adalah tingkat penuntutan, Jaksa Penuntut Umum dangan
rekonstruksi berkaitan dengan substansi hukum yang instrumen SKP2 (Surat Keputusan Penghentian
mengatur fungsi, kedudukan dan wewenang lembaga Penuntutan) dan kewenangan menyampingkan
penegakan hukum pidana. Penelitian ini menemukan perkara (deponering), dapat menghentikan proses
realitas bahwa peraturan saling tumpang tindih perkara sehingga perkara tidak bergulir pada
(overlap) tidak sinkron baik secara vertikal maupun pemeriksaan pengadilan.
horisontal. Kondisi peraturan yang tidak sinkron Secara keseluruhan melihat tiadanya
tersebut dapat dikelompokkan menjadi: independensi kelembagaan sub-sistem dalam
1. Aturan yang mengatur sub-sistem bersifat peradilan pidana, perlu adanya penataan yang
parsial/sektoral tidak meunjukkan adanya bersifat sistem dan menyeluruh (integral), dalam
keterpaduan. tatanan konstruksi baru dimana mengacu pengertian
2. Adanya aturan yang bersivat overlapping, kekuasaan kehakaiman dalam arti luas, sub-sistem
keadaan ini muncul sehubungan beberapa aturan dalam penyelenggaraan penegakan hukum pidana
memberikan pengaturan kewenangan yang sama (SPP terpadu) lembaga-lembaga pendukung perlu
terhadap beberapa lembaga penegak hukum. rekonstruksi dibawah satu atap kekuasaan

9 Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu.

125
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

kehakiman (kekuasaan yudikatif) yang berpuncak di kemerdekaan sistem peradilan pidana yang
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung bertindak integral dilakukan dengan pendekatan sistemik
sebagai ”the top law officer” dalam penegakan hukum dengan penataan kebijakan dibidang terkait
pidana. Sehingga akan terbentuk bangunan yang penataan substansi hukum, struktur atau
terfokus pada ranah yudikatif, otomatis sub-sistem- kelembagaan hukum dan budaya hukum.
sub-sistem akan merdeka secara integral, sebagai
pengemban kekuasaan kehakiman dalam DAFTAR PUSTAKA
penyelenggaraan penegakan hukum pidana.
Admasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana
Simpulan Perspektif Eksistensialisme dan
1. Pelaksanaan sistem perdilan pidana, hingga saat Abolisionisme, Bandung: Penerbit Putra A
ini belum menunjukkan kinerja secara optimal Bardin.
dikarenakan secara struktural tidak bersifat Asshiddiqie, Jimly, 2006, Konstitusi dan
mandiri, sebab berkedudukan di bawah Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
kekuasaan eksekutif (pemerintah) sehingga Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
dalam hal-hal tertentu pelaksanaan penegakan Mahkamah Konstitusi RI
hukum pidana mendapat campur tangan …………….,2005, Implikasi Perubahan UUD'45
eksekutif. Sistem peradilan pidana juga belum Terhadap Pembangunan Hukum Nasional,
terwujud secara sistemik, cenderung bersifat Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
parsial, fragmenter sehingga menimbulkan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
rivalitas antar sub-sistem yang berujung tidak ……………,2005 ,Format Kelembagaan Negara dan
optimalnya kinerja sistem peradilan pidana Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945,
bahkan dalam kasus rivalitas Polri dengan KPK Jogyakarta: Penerbit Universitas Islam
cenderung distruktif dan mematikan. Faktor Indonesia
ketidakmandirian sistem peradilan pidana secara Azhari, Aidul Fitriciada,2005, Kekuasaan Kehakiman
rinci berkaitan faktor kelembagaan yang tidak yang Merdeka dan Bertanggung Jawab Di
independen, faktor substansi hukum yang Mahkamah Konstitusi: Upaya
menimbulkan kerancuan kewenangan sehingga Hamzah, Andi, 2003, Kemandirian dan Kemerdekaan
tumpang tindih dan faktor budaya hukum Kekuasaan Kehakiman, Makalah Seminar
pelaksana sub-sistem peradilan pidana yang Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan
cenderung arogan, ego sentris, komersial dan tema, “Penegakan Hukum Dalam Era
melayani kepentingan-kepentingan pragmatis Pembangunan Berklanjutan”, (Denpasar ,
diluar tujuan penegakan hukum. BPHN, DEPKUMHAM RI, 14 - 18 Juli 2003)
2. Pembentukan sistem peradilan pidana yang Muladi, 2002, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
merdeka secara integral dilakukan dengan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, The
merekonstruksi sub-sistem peradilan pidana Habibie Center
secara kelembagaan, ditempatkan dibawah …………...,1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan
kekuasan kehakiman (kekuasaan yudikatif) baik Pidana, Semarang: Badan Penerbit
secara organisasi, anggaran, sistem karir, Universitas Diponegoro
adminstrasi kepegawaian dengan menempatkan ……………,1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan
Mahkamah Agung sebagai pengawas dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan
pengendali puncak/tertinggi (”the top leader ” atau Penerbit Universitas Diponegoro.
”the top law enforcement officer”) dari seluruh Mahfud MD, Moh, 1999, Pergulatan Politik dan
proses penegakan hukum pidana. Khusus sub- Hukum di Indonesia,Yogyakarta:Penerbit PT
sistem kekuasaan penyidikan perlu dibentuk Gama Media.
lembaga tersendiri dalam satu institusi , seperti Nawawi Arief, Barda, 1998, Beberapa Aspek
lembaga kejaksaan, pengadilan sehingga tidak Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
ada lagi pluralisme kelembagaan dalam Hukum Pidana,Bandung: Citra Aditya
kewenangan penyidikan. Langkah–langkah Bakti
kebijakan yang dilakukan dalam mewujudkan ………..…,2006, Kapita Selekta Hukum Pidana

126
Pujiyono, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana,
(Integrated Criminal Justice Bandung: Penerbit Alumni.
System),Semarang: Badan Penerbit ………….,1983, Hukum dan Hukum Pidana,
Universitas Diponegoro Bandung:Penerbit Alumni
…………..,1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Syahrizal, Ahmad, 2006, Evolusi Kekuasaan
Pidana, Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Kehakiman dalam Empat Periode UUD,
Bakti. Jakarta, Jurnal Konstitusi, Mahkamah
…………..,1998/1999, Pokok-Pokok Pikiran Konstitusi RI.
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka, Thohari, A Ahsin,2004, Komisi Yudisial dan
(Makalah sebagai bahan masukan Reformasi Peradilan,Jakarta: Penerbit
Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar ELSAM- Lembaga Studi dan Advokasi
Departemen Kehakiman) Masyarakat.
…………..,2002, Independensi dan Sinkronisasi Tunas, Billy, 2007, Memahami dan Memecahkan
Wewenang Penyidikan Dan Penuntutan Masalah dengan Pendekatan Sistem,
Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Jakarta: Penerbit PT Nimas Multina.
Makalah Pada Pemahasan RUU Kejagung. Umar, Bambang Widodo, 2007, Jati Diri Polri
…………..,1999, Kebijakan Pengembangan Dipermasalahkan, Makalah, Jakarta.
Peradilan, (Makalah Seminar Nasional Wahyudi, Agus, 2005, Doktrin Pemisahan
Reformasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Kekuasaan: Akar Filsafat dan Praktek,
Menanggulangi Mafia Peradilan di Indonesia, Jakarta: Jantera (Jurnal Hukum), Pusat Studi
Semarang: FH UNDIP. hukum dan Kebijakan, Edisi 8-Tahun III Maret
Reksodiputro, Mardjono, 1993, Sistem Peradilan
Pidana Indonesia (Melihat kepada kejahatan Konvensi Internasional:
dan penegakan hukum dalam batas- International Bar Association Code of Minimum
batas toleransi), Pidato Pengukuhan Guru Standart of Judicial Independence, Tha
Besar, Jakarta, Universitas Indonesia. Jerussalem Approved Standardst of the 19th
Rosidah, Nikmah, 2005, Manfaat Penyidik Pegawai IBA Biennal Conference Held on Friday, 22nd
Negeri Sipil (PPNS) Dalam Upaya Oktober 1982, in New Delhi, India.
Penegakan Peraturan Daerah, (5 Nopember)
Setyowati, Dina dan Rini Narwati, Kewenangan Polri
dan TNI AL dalam Penegakan Hukum Di
Wilayah Perairan Republik Indonesia,
Laporan Penelitian.

127

You might also like