Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 17

BIDANG KAJIAN:

ILMU EKONOMI

DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR


JAWA TIMUR BERBASIS POTENSI LOKAL

Oleh:
Nurul Istifadah

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Airlangga Surabaya
2013

1
Abstract
The purpose of this study is to analyze the performance of the manufacturing
industry to the economy of East Java in the face of local and global competitiveness. This
study uses shift share analysis. This method is used to identify the manufacturing industry
in East Java which has a higher relative change in performance, as measured from the
shift in the growth of manufacturing industries in East Java to the growth of the national
manufacturing industry. This analysis method can also identify the types of industries that
have manufacturing competitiveness (competitive advantage) is relatively higher than the
national manufacturing industry.
The results showed that the food and beverage industries (ISIC 15) and tobacco
manufacturing (ISIC 16) has a comparative advantage and contribute to a positive total
performance of manufacturing industry in East Java by 25%. Contributions increase the
performance of the largest manufacturing industries in East Java contributed by the oil
refining industry (ISIC 23), which is nearly 30%. However, the competitiveness or
competitive advantage of the industry ISIC 15 and ISIC code 16 is low.
Manufacturing industries in East Java which has a comparative advantage
(improved performance) and high competitive advantage, are: (a) textile industry (ISIC
17), (b) industrial wood and articles of wood (ISIC 20), (c) industry paper and paper
products (ISIC 21); (d) of oil and gas refining industry (ISIC 23), (e) the rubber industry
(ISIC 25), and (f) industrial radio, television and communication equipment (ISIC 32).
Two of the six types of manufacturing industry, paper industry (ISIC 21) and wood
industry (ISIC 20) has a local and international competitiveness are relatively higher.

Keywords : manufacturing industries, shift share analysis, competitive advantage.

1. Pendahuluan
Perkembangan ekonomi dunia pada era global dewasa ini semakin menuju ke arah
meningkatnya keterbukaan hubungan ekonomi antar-bangsa. Kondisi ini menyebabkan
persaingan yang semakin meningkat, baik di pasar domestik maupun di pasar dunia.
Provinsi Jawa Timur sebagai penyumbang perekonomian nasional terbesar kedua
setelah DKI Jakarta, mempunyai peran yang besar dalam meningkatkan daya saing
perekonomian nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memprioritaskan
pengembangan ekonominya pada sektor-sektor unggulan. Sektor unggulan adalah sektor
yang mempunyai prospek dan potensi untuk dikembangkan di masa mendatang, yaitu
sektor yang mampu mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya dengan cepat dan
mempunyai daya saing (competitiveness) yang tinggi (Widodo (2006: 111&185).
Perekonomian Jawa Timur selama ini didominasi oleh tiga sektor ekonomi, yaitu
industri manufaktur; perdagangan, hotel & restoran; serta pertanian, peternakan,
kehutanan & perikanan. Gambar 1 berikut ini menunjukkan bahwa kontribusi industri
manufaktur terhadap PDRB Jawa Timur (disebut juga rasio industrialisasi) memiliki

2
kecenderungan yang semakin menurun. Sebaliknya, sektor perdagangan, hotel dan
restoran terhadap PDRB Jawa Timur cenderung semakin meningkat. Hal ini merupakan
indikasi terjadinya kecenderungan perubahan struktur ekonomi dari industri ke
perdagangan.

Gambar 1: Rasio Industri terhadap PDRB Jawa Timur, Tahun 2003-2011 (%)
29.00
28.00
28.02
27.00 27.87 27.55
26.00 27.27 26.92 26.52
25.00 25.96
24.00 25.39 25.12
23.00
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Sumber: BPS, diolah.

Meskipun rasio industrialisasi cenderung turun, namun secara absolut nilai output
industri manufaktur Jawa Timur senantiasa meningkat. Selama periode tahun 2003-2011,
pertumbuhan rata-rata nilai output industri manufaktur atas dasar harga konstan tahun
2000 sebesar 4,11%, yaitu dari Rp 64,133.63 Milyar pada tahun 2003 meningkat menjadi
Rp 92,171.19 Milyar pada tahun 2011 (BPS).
Turunnya kontribusi industri manufaktur Jawa Timur terhadap nilai PDRB Jawa
Timur diduga merupakan gejala bahwa industri manufaktur Jawa Timur sedang
mengalami de-industrialisasi atau penyusutan (sunset industry). Sunset industry adalah
suatu kondisi industri yang menurun yang telah melewati puncaknya atau periode boom
(www.wikipedia.org). Bank Indonesia Regional Jawa Timur Bidang Ekonomi Moneter,
Wibisono (Japos, 14 Juni 2010) mengatakan bahwa turunnya rasio industri manufaktur
Jawa Timur tersebut akibat pengaruh resesi global. Beberapa pihak juga berpendapat
bahwa industri manufaktur Jawa Timur sedang mengalami penyusutan (sunset industry)
atau industri redup (Kompas, 13 Februari 2012). Namun demikian, dari berbagai jenis
industri manufaktur, tidak semuanya mengalami penurunan. Terdapat beberapa jenis
industri manufaktur yang tumbuh pesat dan sebaliknya terdapat jenis industri manufaktur
yang mengalami perlambatan pertumbuhan.
Turunnya rasio industri manufaktur tersebut juga mengindikasikan bahwa
perekonomian Jawa Timur tidak lagi terkonsentrasi pada sektor industri. Namun
demikian, mengingat industri manufaktur merupakan salah satu kontributor terbesar dalam
perekonomian nasional dan mempunyai value added yang relatif besar, serta mampu

3
menyerap angkatan kerja serta mempunyai tingkat produktivitas yang relatif lebih tinggi
dari sektor ekonomi lainnya, maka perlu meningkatkan kinerja industri manufaktur Jawa
Timur secara optimal dan meningkatkan daya saingnya di tingkat lokal maupun global.
Dari latar belakang di atas, memberi gambaran bahwa industri manufaktur Jawa
Timur merupakan salah satu sektor yang memiliki potensi relatif besar dan merupakan
sektor penggerak perekonomian di Jawa Timur. Apabila industri manufaktur Jawa Timur
meningkat, maka diharapkan akan meningkatkan pula sektor-sektor ekonomi lainnya.
Oleh karena itu, perlu analisis kinerja industri manufaktur Jawa Timur sebagai landasan
perencanaan dan pengembangan perekonomian Jawa Timur dalam menghadapi daya saing
baik di tingkat lokal maupun global.

2. Landasan Teori
2.1 Konsep Daya Saing Berbasis Potensi Daerah
Kata daya saing (competitiveness) bermakna daya atau kekuatan dan kata saing
bermakna mencapai lebih dari yang lain, atau beda dengan yang lain dari segi mutu, atau
memiliki keunggulan tertentu (Sumihardjo, 2008: 8). Artinya, daya saing dapat bermakna
kekuatan untuk berusaha menjadi unggul dalam hal tertentu yang dilakukan oleh
seseorang, kelompok atau institusi tertentu.
Konsep daya saing daerah adalah konsep yang mengukur dan membandingkan
seberapa baik suatu daerah dalam menyediakan iklim tertentu yang kondusif untuk
mempertahankan daya saing domestik maupun global dari pesaing yang ada di lingkungan
wilayahnya. Daya saing daerah berkaitan dengan kemampuan ekonomi daerah dalam
memanfaatkan potensi daerah untuk menghasilkan dan memasarkan produk atau jasa
yang dibutuhkan pasar secara berkesinambungan.
Kata kunci pemahaman daya saing berbasis potensi daerah terletak pada
kemampuannya menjadi unggul yang didasarkan atas sumber-sumber yang dimilikinya.
Kemampuan menjadi unggul merupakan proses pengelolaan mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi atas sumber-sumber yang dimiliki daerah agar
menguntungkan masyarakat daerah.
Beberapa konsep tentang daya saing di level nasional dikemukakan oleh berbagai
pihak, diantaranya oleh Pusat Pendidikan dan Studi Kebank-sentralan Bank Indonesia
(PPSK-BI), yaitu konsep produktivitas yang didefinisikan sebagai nilai output yang
dihasilkan oleh seorang tenaga kerja (Porter, 1990; Abdullah, 2002:11). Konsep lainnya

4
dikemukakan oleh Bank Dunia, yaitu mendefinisikan sebagai daya saing yang mengacu
pada besaran serta laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh
perusahaan. Akan tetapi, baik Bank Dunia maupun Porter memandang bahwa daya saing
tidak secara sempit mencakup hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan. Daya
saing mencakup aspek yang lebih luas, tidak hanya pada level mikro perusahaan, tetapi
juga mencakup aspek di luar perusahaan seperti iklim berusaha (business environment).
Aspek tersebut dapat bersifat firm-specific, region-specific, atau bahkan country-specific.
Selanjutnya, daya saing suatu daerah di dalam suatu negara (regions atau sub-nations)
didefinisikan oleh United Kingdom-Department of Trade and Industry (UK-DTI) sebagai
kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang
tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional.
Dari berbagai konsep dan definisi daya saing di atas dapat disimpulkan bahwa kata
kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya
daya saing suatu perekonomian adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan (level of
living) penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan tidak hanya
tergambarkan dari pertumbuhan ekonomi, namun juga peningkatan standar kehidupan
masyarakat.

2.2 Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif


Istilah keunggulan komparatif dimulai pada masa David Ricardo. David Ricardo
membedakan perdagangan ke dalam dua keadaan, yaitu perdagangan dalam negeri dan
luar negeri. Di dalam negeri, perdagangan akan dijalankan atas dasar biaya tenaga kerja
saja (labour cost). Hal ini disebabkan karena adanya persaingan bebas dan kebebasan
bergerak faktor-faktor produksi, tenaga kerja dan modal.
Jadi, kalau di suatu tempat, harga barang berada di atas biaya tenaga kerja (labour
cost) yang dibutuhkan untuk membuat barang tersebut, maka produsen barang di tempat
itu memperoleh laba yang cukup besar, namun terjadi persaingan dalam produksi dan
penjualan barang tersebut, sehingga harga akan dipaksa turun dan selaras kembali dengan
biaya tenaga kerjanya. Dengan demikian, untuk perdagangan dalam negeri berlaku prinsip
keuntungan mutlak (absolute advantage) seperti yang dikemukakan Adam Smith. Masing-
masing tempat akan melakukan spesialisasi dalam produksi barang-barang tertentu yang
mempunyai biaya tenaga kerja paling kecil dibandingkan dengan tempat lain dan
menukarkannya dengan barang-barang yang dihasilkan oleh tempat lain.

5
Perdagangan luar negeri, menurut Ricardo, di lain pihak tidak mungkin dilakukan
atas dasar keuntungan/biaya mutlak (absolute advantage). Hal ini karena faktor-faktor
produksi tidak dapat bergerak bebas antar negara (Soelistyo, 2004). Dengan demikian
barang-barang yang dihasilkan oleh suatu negara mungkin akan ditukarkan dengan
barang-barang lain dari negara lain walaupun biaya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
membuat barang-barang tersebut berlainan.
Dalam perdagangan internasional, biaya tenaga kerja tidak menentukan dasar tukar
barang-barang. Menurut Ricardo, dasar tukar itu ditentukan oleh biaya komparatif
(comparative cost). Menurut teori biaya komparatif, masing-masing negara akan
cenderung untuk melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang yang
diproduksinya yang memiliki keuntungan komparatif. Keuntungan komparatif diukur
dalam biaya riil yang mencerminkan biaya tenaga kerja. Jadi walaupun perdagangan antar
negara tidak ditentukan oleh biaya tenaga kerja namun tetap disandarkan atas teori nilai
yang didasarkan atas tenaga kerja. Teori Ricardo ini relevan dengan kondisi di era
globalisasi sekarang karena suatu negara biasanya akan berspesialisasi pada satu bidang
saja yang memiliki biaya komparatif. Jika suatu negara terintegrasi dengan negara lain
maka kesempatan suatu perusahaan untuk memperoleh faktor produksi yang murah akan
lebih mudah sehingga keuntungan komparatif yang didapat akan semakin besar.
Keunggulan komparatif lebih menekankan pada kepemilikan sumber daya alam,
sumber daya manusia, infrastruktur, kelembagaan suatu daerah, dan lain-lain. Sementara
keunggulan kompetitif lebih menekankan pada efisiensi pengelolaan penggunaan sumber-
sumber tersebut. Pembangunan ekonomi akan optimal apabila didasarkan pada
keungggulan komparatif dan kompetitif. Pembangunan ekonomi yang didasarkan pada
keunggulan kompetitif akan lebih berkelanjutan daripada yang didasarkan pada
keunggulan komparatif.
Di lain pihak, perkembangan perekonomian global mendorong setiap produsen
untuk mencari pasar yang seluas-luasnya bagi barang hasil produksinya di seluruh dunia.
Hal ini menciptakan persaingan global, tidak hanya pada tingkat negara tetapi sampai ke
tingkat lokal/wilayah. Oleh karena itu, persaingan global mulai mengarah ke
perekonomian lokal/wilayah. Industri lokalpun tidak hanya bersaing dengan pesaing
regional, namun mereka juga harus menghadapi pesaing internasional untuk
memperebutkan pasar. Dengan demikian, persaingan dan daya saing industri menjadi kata

6
kunci yang sangat penting bagi upaya pengembangan perekonomian wilayah di abad ke-
21 (Setiono, 2011:535).

2.3 Konsep Pembangunan Berbasis Pengembangan Wilayah


Masing-masing daerah mempunyai potensi, kemampuan, hambatan, dan tantangan
yang berbeda. Hal tersebut menyebabkan output yang dihasilkan masing-masing daerah
juga berbeda. Perbedaan tersebut menimbulkan kesenjangan antar daerah yang
menimbulkan kecemburuan sosial dan kerawanan disintegrasi bangsa. Kebijakan
pembangunan yang berbasis pengembangan wilayah diharapkan dapat mengurangi
kesenjangan antar daerah tersebut, disamping untuk meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat (Menkimpraswil, 2003:12).
Konsep pengembangan wilayah pada dasarnya harus disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan pembangunan di masing-masing daerah. Beberapa konsep pengembangan
wilayah tersebut meliputi (Bappenas 2007: 35):
1. Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumberdaya lokal. Konsep ini
menekankan pada pilihan komoditas/sektor unggulan sebagai motor penggerak
pembangunan, baik di tingkat domestik maupun internasional.
2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang. Konsep ini menekankan
perlunya berinvestasi di wilayah growth centre yang memiliki infrastruktur yang baik
sehingga menghemat pengeluaran investasi. Sementara itu, pengembangan daerah
sekitarnya akan terjadi melalui proses trickle down effect. Contoh konsep ini adalah:
Kawasan Andalan, Wilayah Pembangunan Utama, dan Satuan Wilayah Pembangunan.
3. Konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini menekankan upaya
pembangunan yang bersifat lintas sektoral dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di daerah yang relatif tertinggal. Misal:
program pengembangan wilayah terpadu (integrated community development), dll.

3. Metode Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada jenis-jenis industri manufaktur menurut kode
ISIC/KLUI dua digit, yang terdiri dari 22 jenis industri manufaktur. Data yang digunakan
adalah data sekunder yang bersumber dari BPS, internet, dan sumber-sumber terkait
lainnya.

7
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis shift share. Metode analisis ini
mengidentifikasi jenis-jenis industri manufaktur Jawa Timur yang memiliki perubahan
kinerja relatif lebih tinggi dan mempunyai daya saing relatif lebih tinggi (keunggulan
kompetitif). Analisis shift share mengukur pertumbuhan industri manufaktur Jawa Timur
secara relatif terhadap industri manufaktur nasional. Dengan asumsi bahwa tingkat
pertumbuhan industri manufaktur Jawa Timur dan industri manufaktur nasional harus
sama, maka perbedaan (simpangan) yang terjadi antara tingkat pertumbuhan industri
manufaktur Jawa Timur dan tingkat pertumbuhan industri manufaktur nasional disebut
sebagai pergeseran (shift).
Dengan analisis shift share dapat dianalisis jenis-jenis industri manufaktur yang
memiliki kinerja atau pertambahan nilai absolut yang positif, yaitu dekomposisi dari dua
komponen share dan shift, yang terdiri dari national share (national growth effect),
proportional shift (MIX effect) dan differential shift (DIF effect). National growth effect
adalah pengaruh pertumbuhan industri manufaktur nasional terhadap kinerja industri
manufaktur Jawa Timur. Proportional shift atau MIX effect disebut juga pengaruh bauran
industri (industry mix), yaitu output yang dihasilkan akibat interaksi antar kegiatan industri
dimana adanya aktivitas-aktivitas yang berhubungan satu sama lain. Hasil perhitungan
MIX effect ini untuk mengetahui jenis-jenis industri manufaktur Jawa Timur yang tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan jenis-jenis industri manufaktur yang sama di tingkat
nasional. Sedangkan Differential shift (DIF effect) disebut juga competition shift, yaitu
mengukur daya saing industri manufaktur Jawa Timur (local competitiveness)
dibandingkan industri manufaktur nasional. Apabila nilai DIF effect tersebut positif, maka
industri manufaktur tersebut memiliki daya saing lokal yang relatif lebih tinggi dibanding
jenis industri manufaktur yang sama di tingkat nasional. Pergeseran diferensial ini disebut
juga pengaruh keunggulan kompetitif.
 Formula dekomposisi shift dan share dalam analisis shift share ini adalah: Dij = Nij +
MIX + DIF, dimana Dij merupakan total kinerja atau kenaikan nilai absolut industri
manufaktur Jawa Timur.
 Rumus Nij atau national growth effect adalah: Nij = Eij x rn

E 1¿
E0ir
( )
n

 Rumus MIX atau komposisi MIX effect adalah: MIX =∑ 0 0 E1n


i=1 Er E¿ − 0
En

8
E0ir E1ir

( )
n

 Rumus DIF atau komposisi DIF effect adalah: DIF=∑ E1¿


i=1 E0r E0ir −
E0¿

Dimana notasi “E” merupakan variabel nilai industri manufaktur di Jawa Timur; notasi “r”
adalah laju pertumbuhan industri manufaktur; notasi “i” merupakan jenis industri
manufaktur menurut kode ISIC/KLUI dua digit di Jawa Timur (22 jenis industri
manufaktur); notasi “n” adalah data di level nasional, dan notasi “j” adalah data di level
Jawa Timur.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Gambaran Umum Industri Manufaktur Jawa Timur
Industri manufaktur merupakan salah satu kontributor terbesar perekonomian Jawa
Timur. Industri manufaktur Jawa Timur juga mampu menyumbang lebih dari 16% total
output industri manufaktur nasional dengan trend yang semakin meningkat. Dengan
demikian, industri manufaktur Jawa Timur memiliki peran yang strategis dalam
perekonomian Jawa Timur dan pengembangan industri manufaktur nasional.

Gambar 2: Kontribusi Output Industri Manufaktur Jawa Timur Terhadap Industri


Manufaktur Nasional, Tahun 2003-2011 (%)
16.50 16.38 16.37 16.35 16.35
16.40 16.28
16.3016.18
16.20 16.14 16.12
16.09
16.10
16.00
15.90
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Sumber: BPS, diolah.

Industri manufaktur merupakan sektor yang mampu menyerap banyak angkatan


kerja. Pekerja di sektor industri manufaktur adalah yang terbesar ketiga setelah sektor
pertanian dan perdagangan, hotel & restoran (Gambar 3). Pada tahun 2011, industri
manufaktur Jawa Timur menyerap angkatan kerja sebesar 14,07% (BPS). Dalam konteks
nasional, 25% angkatan kerja yang bekerja di sektor industri manufaktur nasional berada
di Jawa Timur (Dick, 1993).

9
Meskipun jumlah pekerja di sektor industri manufaktur hanya seperempat dari
jumlah pekerja di sektor pertanian, namun tingkat produktivitas pekerja industri
manufaktur jauh melampaui produktivitas pekerja di sektor pertanian, kehutanan &
perikanan serta di sektor perdagangan, hotel & restoran. Produktivitas pekerja di sektor
industri manufaktur adalah tertinggi di antara sektor-sektor ekonomi lainnya. Besarnya
produktivitas pekerja industri manufaktur hampir enam kali dari produktivitas pekerja di
pertanian. Produktivitas pekerja industri manufaktur diukur dari rasio jumlah output
industri manufaktur dan jumlah pekerja di sektor industri manufaktur (Gambar 4).

Gambar 3: Gambar 4:
Penyerapan Angkatan Kerja Menurut 4 Sektor Produktivitas Pekerja Industri Manufaktur
Terbesar di Jawa Timur serta Perdagangan,Hotel&Restoran
Tahun 2003-2011 (%) Tahun 2003-2011 (Juta Rp/Orang)

40.00
32.28 33.59 34.92 35.00 34.58
35.0030.50 29.45 29.28 31.59
30.00
25.00
20.00
28.05 29.85
23.79 22.62 24.08 24.40
15.0020.13 22.35 22.16
10.00
5.00
-
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
industri manufaktur
Perdagangan, Hotel&Restoran

60.00
Pertanian,
50.00 kehutanan,
perburuan,
40.00 perikanan
Industri
30.00
pengolahan
20.00 Perdagangan
besar,eceran,r
10.00 umah
makan&hotel
0.00
Keuangan dan
03 04 05 06 07 08 09 10 11 Jasa-Jasa
20 20 20 20 20 20 20 20 20
Sumber: BPS, diolah.

Sektor industri manufaktur dalam PDRB Jawa Timur dibagi ke dalam 9 jenis
industri. Industri makanan, minuman, dan tembakau memberikan nilai output produksi
yang paling besar, yaitu lebih dari 50% dari total output produksi industri manufaktur di
Jawa Timur. Disamping membagi jenis industri manufaktur menurut PDRB, jenis-jenis

10
industri manufaktur Jawa Timur juga dapat digolongkan berdasarkan Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) atau kode ISIC (International Standard Industrial
Classification) yang terdiri dari 22 jenis industri.
Berdasarkan KLUI 2 digit, jenis industri manufaktur yang menyumbang output
relatif besar adalah: (1) industri pengolahan tembakau (KLUI 16); (2) industri makanan
dan minuman (KLUI 15); (3) industri pengolahan kertas dan barang dari kertas (KLUI
21); serta (4) industri kimia (KLUI 24). Sejak tahun 2009 kontribusi industri makanan
dan minuman (KLUI 15) melampaui kontribusi industri pengolahan tembakau (KLUI 16).
Kontribusi industri makanan dan minuman (KLUI 15) adalah lebih dari 25% terhadap
total output industri manufaktur di Jawa Timur.
Apabila dilihat dari jumlah perusahaannya, jenis industri makanan dan minuman
(KLUI 15) juga yang terbanyak memiliki unit usaha/perusahaan. Namun, apabila dilihat
dari pertumbuhan jumlah perusahaan, industri tekstil (KLUI 17) adalah yang tumbuh
paling pesat, jumlahnya meningkat sampai dengan 80% selama periode tahun 2003-2011,
yaitu dari 199 perusahaan pada tahun 2003 menjadi 357 perusahaan pada tahun 2011.
Pesatnya pertumbuhan jumlah perusahaan pada industri tekstil ini dimungkinkan karena
pesatnya perkembangan industri kreatif fashion dan kesadaran akan budaya lokal batik di
Jawa Timur. Hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur mempunyai ciri khas (corak)
batik yang berbeda-beda.
Apabila dilihat dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, jenis industri makanan
dan minuman (KLUI 15) serta industri pengolahan tembakau (KLUI 16) adalah dua jenis
industri manufaktur di Jawa Timur yang bersifat padat karya (labor intensive). Lebih dari
40% tenaga kerja di sektor industri manufaktur Jawa Timur bekerja di kedua jenis industri
manufaktur tersebut, selebihnya bekerja di 20 jenis industri manufaktur lainnya.

4.2 Daya Saing Industri Manufaktur Berbasis Potensi Lokal


Hasil perhitungan analisis shift share selama periode 2003-2011 menunjukkan
bahwa kenaikan kinerja atau pertambahan nilai absolut industri manufaktur Jawa Timur
sebesar Rp 41.390 Milyar yang dikontribusi oleh semua jenis industri kecuali industri
barang logam selain mesin dan peralatannya (KLUI 28). Kenaikan kinerja industri
manufaktur tersebut didominasi oleh 9 jenis industri, yaitu:
1. industri makanan dan minuman (KLUI 15)
2. industri pengolahan tembakau (KLUI 16)

11
3. industri kertas dan barang dari kertas (KLUI 21)
4. industri pengilangan migas (KLUI 23)
5. industri kimia dan barang dari kimia (KLUI 24)
6. industri karet dan barang dari karet (KLUI 25)
7. industri barang galian bukan logam (KLUI 26)
8. industri logam dasar (KLUI 27), dan
9. industri radio, televisi, dan peralatan komunikasi (KLUI 32)
Industri pengilangan migas (KLUI 23) dan industri makanan dan minuman (KLUI 15)
menyumbang kinerja yang paling besar. Lebih dari 48% kinerja industri manufaktur
dikontribusi oleh kedua jenis industri tersebut. Namun demikian, industri makanan dan
minuman (KLUI 15) mempunyai daya saing lokal atau keunggulan kompetitif yang
rendah (Nilai DIF negatif).

Tabel 1: Hasil Perhitungan Analisis Shift Share Industri Manufaktur Jawa Timur
Tahun 2003-2011
Kod Komponen (Milyar Rp)
e Jenis Industri Manufaktur
KLUI Nij MIXij DIFij Dij
17,321.6
15 industri makanan dan minuman (7,285) (2,645) 7,392
5
18,691.2
16 industri pengolahan tembakau (15,117) (852) 2,723
5
17 industri tekstil 1,720.02 (1,236) 454 937
18 industri pakaian jadi 624.66 (389) (94) 141
19 industri kulit dan barang dari kulit 1,358.69 (943) (17) 398
20 industri kayu dan barang dari kayu 2,005.23 (2,160) 914 759
21 industri kertas dan barang dari kertas 7,122.54 (4,884) 368 2,607
industri penerbitan, percetakan, dan reproduksi
22 1,043.14 (572) 92 563
media rekaman
industri batu bara, pengilangan minyak bumi,
23 pengolahan gas bumi, barang-barang dari hasil 1,052.70 1,793 9,823 12,669
pengilangan minyak bumi dan bb nuklir
24 industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia 7,140.62 (2,934) (2,409) 1,798
25 industri karet dan barang dari karet 5,328.56 (1,907) 530 3,952
26 industri barang galian bukan logam 3,494.75 (2,203) 107 1,398
27 industri logam dasar 5,314.47 (3,343) (39) 1,932
industri barang dari logam kecuali mesin dan
28 3,540.69 (1,231) (2,554) (244)
peralatannya
29 industri mesin dan perlengkapannya 687.10 144 (572) 260
31 industri mesin listrik lainnya dan perlengkapannya 1,039.93 (316) (422) 302
industri radio, televisi, peralatan komunikasi, serta
32 578.95 (492) 1,420 1,508
perlengkapannya
industri peralatan kedokteran, alat-alat ukur,
33 36.63 2 62 101
peralatan navigasi, peralatan optik, jam, dan lonceng
34 industri kendaraan bermotor 951.80 (396) (16) 539

12
industri alat angkutan, selain kendaraan bermotor
35 1,212.22 (364) (307) 541
roda empat atau lebih
36 industri furnitur dan industri manufaktur lainnya 2,672.33 (1,359) (677) 636
37 industri daur ulang 80.08 165 234 479
Total 83,018 3,400 41,390
Sumber: BPS, diolah

Sementara itu, proses bauran industri (industry mix) atau interaksi antar jenis
industri manufaktur di Jawa Timur sebagian besar berdampak negatif. Hanya beberapa
yang memiliki dampat positif. Output hasil bauran industri yang positif menggambarkan
adanya interaksi antar kegiatan industri yang berdampak pada kenaikan output industri
manufaktur Jawa Timur. Industri tersebut adalah:
1. industri pengilangan migas (KLUI 23)
2. industri mesin dan perlengkapannya (KLUI 29)
3. industri peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik dan jam (KLUI 33), dan
4. industri daur ulang (KLUI 37)
Selanjutnya, jenis industri manufaktur yang memiliki tingkat daya saing
(competitiveness) atau keunggulan kompetitif yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis industri manufaktur yang sama di tingkat nasional adalah:
1. industri tekstil (KLUI 17)
2. industri kayu dan barang dari kayu (KLUI 20)
3. industri kertas dan barang dari kertas (KLUI 21)
4. industri penerbitan, percetakan, dan reproduksi media rekaman (KLUI 22)
5. industri pengilangan migas (KLUI 23)
6. industri karet dan barang dari karet (KLUI 25)
7. industri barang galian bukan logam (KLUI 26)
8. industri radio, televisi dan peralatan komunikasi (KLUI 32)
9. industri peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik, dan jam (KLUI 33), dan
10. industri daur ulang (KLUI 37)

Dari hasil perhitungan pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan


industri manufaktur di tingkat nasional memberikan pengaruh positif terhadap
pertumbuhan industri manufaktur di Jawa Timur (national growth effect), baik dilihat
secara total industri manufaktur di Jawa Timur maupun pengaruhnya terhadap setiap jenis
industri manufaktur. Total national growth effect sebesar Rp 83,018 Milyar. Industri
makanan dan minuman (KLUI 15) serta industri pengolahan tembakau (KLUI 16)

13
merupakan dua jenis industri manufaktur di Jawa Timur yang memperoleh dampak
pertumbuhan industri manufaktur nasional terbesar.
Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat jenis-jenis industri manufaktur di Jawa
Timur yang memiliki keunggulan komparatif (kinerja yang meningkat) dan keunggulan
kompetitif yang tinggi, yaitu:
1. industri tekstil (KLUI 17)
2. industri kayu dan barang dari kayu (KLUI 20)
3. industri kertas dan barang dari kertas (KLUI 21)
4. industri pengilangan migas (KLUI 23)
5. industri karet (KLUI 25)
6. industri radio, televisi dan perlatan komunikasi (KLUI 32)
Dari keenam jenis industri di atas, industri kertas (KLUI 21) dan industri kayu (KLUI 20)
mempunyai daya saing lokal dan internasional yang relatif lebih tinggi. Kedua jenis
industri tersebut merupakan salah satu komoditas ekspor utama menurut kelompok SITC 2
Digit.

5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan


Hasil analisis menunjukkan bahwa, kontribusi kenaikan kinerja terbesar industri
manufaktur Jawa Timur disumbang oleh:
a. industri pengilangan migas (KLUI 23) sebesar 30%
b. industri makanan dan minuman (KLUI 15) sebesar 18%
c. industri pengolahan tembakau (KLUI 16) sebesar 7%.
Namun demikian, industri makanan, minuman, dan pengolahan tembakau mempunyai
daya saing lokal atau keunggulan kompetitif yang rendah (Nilai DIF negatif).
Industri manufaktur di Jawa Timur yang memiliki keunggulan kompetitif dan
keunggulan komparatif (kinerja) yang cukup tinggi adalah:
a. industri tekstil (KLUI 17)
b. industri kayu dan barang dari kayu (KLUI 20)
c. industri kertas dan barang dari kertas (KLUI 21)
d. industri pengilangan migas (KLUI 23)
e. industri karet (KLUI 25)
f. industri radio, televisi dan perlatan komunikasi (KLUI 32)

14
Dari keenam jenis industri di atas, industri kertas (KLUI 21) dan industri kayu (KLUI 20)
mempunyai daya saing lokal dan internasional yang relatif lebih tinggi.
Kebijakan secara umum dalam pengembangan industri manufaktur di Jawa Timur
adalah (1) mempertahankan industri manufaktur yang memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif yang tinggi, (2) mengembangkan jenis-jenis industri yang memiliki kinerja
tinggi (keunggulan komparatif), tetapi daya saingnya rendah (keunggulan kompetitif) agar
lebih berdaya saing dengan cara mengembangkan sesuai potensi dan ciri khas lokalnya
sehingga unik dan terdiferensiasi, namun disesuaikan dengan selera dan permintaan
global.

15
Daftar Pustaka
Abdullah, Piter et al. 2002. Daya Saing Daerah, Konsep dan Pengukurannya di
Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.
Antara News. 2007. Daya Saing Indonesia Terperosok. http://www.antara.co.id. 3 Juni
2010.
Armstrong, Harvey and Taylor, Jim. 2001. Regional Economics And Policy. Third Edition.
Blackwell Publishers. United Kingdom.
Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah.
BPFE. Yogyakarta.
Astuti, Dewi. 2010. Peringkat Daya Saing RI Naik dari 42 jadi 35. http://web.bisnis.com.
2 Juni 2010.
Aziz, Iwan Jaya. 1994. Ilmu Ekonomi Regional Dan Beberapa Aplikasinya Di Indonesia.
LPFE-UI. Jakarta.
Badan Pusat Statik Provinsi Jawa Timur
Bappenas, 2007, Evaluasi Kebijakan Perencanaan Program Pembangunan dan Pengembangan
Wilayah Tertinggal Khusus Terisolir dan Terpencil, Laporan Akhir, Direktorat Kawasan
Khusus dan Daerah Tertinggal Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas, Jakarta.
Capello, Roberta. 2007. Regional economics. Routledge. London and New York.
Djingan. 1996. Ekonomi Pembangunan Dan Perencanaan. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Gaspersz, Vincent. 1990. Analisis Kuantitatif Untuk Perencanaan. Penerbit Tarsito.
Bandung.
Gatfield, Terry and Cathy Yang. 2006. New Industrial Space Theory – A Case Study And
Empirical Analysis of Factors Effecting Newly Emerging Key Industries in
Queensland. Australasian Journal of Regional Studies, Vol. 12, No. 1..
Glasson, John. 1990. Pengantar Perencanaan Regional. terjemahan. terjemahan. LPFE-
UI. Jakarta.
Hill, Charles. 2008. International Business: Competing in the Global Market Place. 7th
edition. McGrawHill.
Jhingan. 1996. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Raja Grafindo Persada Jakarta.
Khor, Martin. 2002a. Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Globalization and
the South: Some Critical Issues Third World Network (TWN). Terjemahan.
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas (CPRC). Yogyakarta.

16
Khor, Martin. 2002b. Globalisasi Dan Krisis Pembangunan Berkelanjutan. Cindelaras
Pustaka Rakyat Cerdas (CPRC). Yogyakarta.
Kompas. 13 Februari 2012. Hentikan Stigma Industri Sunset. www.idsaham.com. 13
Februari 2012.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan,
Strategi, dan Peluang. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Strategi Pengembangan Wilayah Dalam Kerangka
Pembangunan nasional yang lebih merata dan Lebih Adil, Makalah, disampaikan dalam
Konferensi Nasional Mengagas Format Garnd Strategy Ekonomi
Morgan, Theodore. 1975. Economic Development: Concept and Strategy. Harper & Ror
Publishers. New York.
Prabowo, Dibyo dan Sonia Wardoyo. 2004. AFTA Suatu Pengantar. BPFE. Yogyakarta.
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia. 2002. Daya Saing Daerah,
Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. BPFE. Yogyakarta.
Richardson, W. Harry. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional. Terjemahan. LPFE-
UI. Jakarta.
Setiono, Dedi NS. 2011. Ekonomi Pengembangan Wilayah, Teori dan Analisis. LPFEUI.
Jakarta.
Sumihardjo, Tumar. 2008. Daya Saing Berbasis Potensi Daerah. Fokus Media. Bandung.
Sukirno, Sadono. 1985. Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah. LPFE-
UI. Jakarta.
Sumihardjo, Tumar. 2008. Daya Saing Berbasis Potensi Daerah. Pusat Studi
Pemerintahan Daerah. Fokusmedia. Bandung.
Syafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. PT Raja Grafindo Perkasa. Jakarta.
Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.
Teguh, Muhammad. 2010. Ekonomi Industri. PT Raja Grafinco Persada. Jakarta.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1986. Perencanaan Pembangunan. Gunung Agung. Jakarta.
Widodo, Tri. 2006. Perencanaan Pembangunan. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
Wifipedia. 2010. Laporan Daya Saing Global. http://id.wikipedia.org. 9 Juni 2010
www.organisasi.org/ pengertian definisi macam jenis dan penggolongan industri di
Indonesia perekonomian bisnis

17

You might also like