Professional Documents
Culture Documents
Jurnalsusiati 2
Jurnalsusiati 2
net/publication/338670313
NILAI BUDAYA SUKU BAJO SAMPELA DALAM FILM THE MIRROR NEVER LIES
KARYA KAMILA ANDINI (The Cultural Values of The Bajo Sampela Ethnic
Group in The Mirror Never Lies Film
CITATIONS READS
0 149
1 author:
Susiati Susiati
Universitas iqra buru
30 PUBLICATIONS 109 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Susiati Susiati on 18 January 2020.
Susiati
Universitas Iqra Buru
JL. Universitas, Namlea, Kabupaten Buru, Maluku
Pos-el: kaledupa123@gmail.com
(Diterima: 12 November 2018; Direvisi: 14 Desember 2018; Disetujui: 19 Desember 2018)
Abstract
This study aims to describe cultural values of the Bajo Sampela Ethnic Group in The Mirror Never Lies
film by Kamila Andini. This research is a qualitative research. Data is collected using the audio visual method,
namely by seing and hearing an object from the pictures and sound. While, the data collection technique used
the tecnique to see and note. The data were analyzed descriptively according to the theory of classification of
cultural values by Koentjaraningrat. The results of the study indicate that cultural values of the Bajo Sampela
Ethnic Group in The Mirror Never Liesfilm by Kamila Andini covering: (1) system of belief, the SBS community
still trusted the sandro (the shaman); (2) system of knowledge, covering knowledge of nature, plants, animals,
the nature and behavior of fellow humans, space and time; (3) system of technology, including production
equipment, containers/places, weapons, food and beverages, clothing, shelter or houses, transportation
equipment; (4) system of society, SBS is very upholding togetherness, helping each other, and entertaining each
other; (5) system of livelihood, SBS cultivates seaweed (gelatin), fishes and sells it within SBS community or in
the market; (6) language, Bajo and Bahasa Indonesia are used among the SBS community; (7) art, SBS has
sound and dance arts.
Keywords: culture value, film, bajo sampela ethnic group
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai budaya Suku Bajo Sampela (SBS) dalam film
The Mirror Never Lies karya Kamila Andini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data dikumpulkan
dengan menggunakan metode audio visual, yakni dengan melihat dan mendengar suatu objek dari gambar dan
suara. Sementara itu, teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak dan catat. Data dianalisis secara
deskriptif sesuai dengan teori penggolongan nilai kebudayaan Koentjaraningrat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai-nilai budaya suku Bajo Sampela dalam film The Mirror Never Lies karya Kamila Andini meliputi
(1) sistem kepercayaan, masyarakat SBS masih mempercayai sandro (dukun); (2) sistem pengetahuan, meliputi
pengetahuan tentang alam, tumbuhan, binatang, sifat dan tingkah laku sesama manusia, ruang dan waktu; (3)
sistem teknologi, meliputi alat-alat produksi, wadah/tempat, senjata, makanan dan minuman, pakaian dan
perhiasan, tempat berlindung atau rumah, dan alat transportasi. (4) sistem kemasyarakatan, SBS sangat
menjunjung kebersamaan, saling tolong menolong, dan saling menghibur. (5) sistem mata pencaharian, SBS
membudidaya rumput laut (agar-agar), mencari ikan, dan menjualnya di lingkungan SBS atau di pasar; (6)
bahasa, SBS saat berinteraksi menggunakan bahasa Bajo dan bahasa Indonesia; (7) kesenian, SBS mempunyai
seni suara dan tarian.
Kata-kata Kunci: nilai budaya, film, suku Bajo Sampela
297
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—311
kebudayaan dan masyarakat sangat erat keselarasan juga berlaku, bahwa suku Bajo
kaitannya. Masyarakat adalah tempat Sampela tidak menyukai konflik dan
tumbuhnya budaya sedangkan budaya itu tertutup. Hal ini dipertegas oleh Suyuti
sendiri sesuatu yang ada dalam masyarakat. (1995) yang menyatakan bahwa peluang
Dengan kata lain, budaya ada karena ada bagi suku Bajo melakukan penolakan cukup
masyarakat sebagai tempat tumbuh dan tinggi akibat karakter budaya kelompoknya
berkembangnya. yang tertutup yang senantiasa memiliki
Sastra tidak lahir dalam situasi tempat terisolasi (segregatif) dan memiliki
kekosongan budaya tetapi muncul pada falsafah menghindari konflik. Selain hal
masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat tersebut, suku Bajo tidak mudah percaya
istiadat, konvensi, keyakinan, pandangan kepada orang asing (pendatang baru/tamu),
hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan terlihat dari sikap suku Bajo yag membagi
tentang astetika, dan lain sebagainya. Sastra penempatan orang ke dalam dua kelompok,
dapat dipandang sebagai bagian integral dari yaitu sama’ dan bagai. Sama’ adalah
kehidupan sosial budaya masyarakat yang sebutan bagi mereka yang masih termasuk
melahirkannya. Selain itu, bahwa sastra ke dalam suku Bajo. Bagai adalah sebuatan
muncul karena masyarakat menginginkan bagi mereka yang berasal dari luar suku
legitimasi kehidupan sosial budayanya, Bajo.
tepatnya legitimasi eksistensi kehidupannya. Kondisi di atas berpengaruh pada
Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan posisi/keberadaan masyarakat suku Bajo
kebudayaan memiliki objek yang sama, khususnya suku Bajo Sampela yang ada di
yakni manusia dalam masyarakat, manusia Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi
sebagai fakta sosial, manusia sebagai yang berada pada lapisan terbawa sistem
makhluk kultural. sosial. Hal ini diungkapkan pula oleh Wianti
Kebudayaan, khususnya kebudayaan (2011) bahwa tekanan-tekanan yang dialami
suku Bajo Sampela adalah pancaran atau oleh masyarakat suku Bajo Mantigola dan
pengejewantahan budi manusia suku Bajo Bajo Sampela yang dilakukan oleh orang-
yang merangkum kemauan, cita-cita, ide, orang Kaledupa dalam bentuk intimidasi dan
maupun semangat dalam mencapai perlakuan yang diskriminatif, secara
kesejahteraan, keselamatan, dan kontekstual terjadi karena posisi suku Bajo
kebahagiaan dalam hidup lahir dan batin. di Pulau Kaledupa berada pada lapisan
Meneliti budaya suatu bangsa, maka akan bawah sehingga kondisi tersebut
kita temukan nilai-nilai inti yang mendasari menimbulkan etos tersendiri dan
seluruh bangunan budaya tersebut. menciptakan mentalitas suku Bajo yang
Misalnya, budaya suku Bajo Sampela nilai cenderung penakut dan kurang berani
inti yang menjadi prinsip hidup suku Bajo mengambil resiko.
Sampela yang akan menjadi landasan Suku Bajo adalah suku yang
berpikir, bertindak, dan mengambil bertempat tinggal di atas air, biasa disebut
keputusan. Nilai tersebut merupakan nilai rumah terapung. Suku ini banyak ditemui di
keselarasan. Suku Bajo Sampela akan selalu Wakatobi. Wakatobi merupakan akronim
menjaga keselarasan dalam hubungannya dari empat pulau, yakni pulau Wangiwangi,
dengan alam maupun hubungannya dengan Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Dahulu
sesama manusia. Dalam hubungannya nama Wakatobi adalah Kepulauan Tukang
dengan alam suku Bajo Sampela Besi sekarang telah berubah nama menjadi
menjunjung tinggi kepeduliannya mereka Kabupaten Wakatobi (Susiati, 2017).
terhadap kesejahteraan alam khusunya yang Sebagai bagian kegiatan budaya
menyangkut dengan laut. Sementara, yang bersifat intelektual, karya sastra
hubungan dengan orang lain, prinsip sungguh-sungguh menyikapi kehidupan.
298
Nilai Budaya Suku …. (Susiati)
299
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—311
Istilah budaya berasal dari bahasa budaya suku Bajo Sampela dalam film The
Inggris, yakni Culture, yang artinya Mirror Never Lies karya Kamila Andini.
mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan Berikut ini adalah penjelasan
mengembangkan, terutama mengolah tanah mengenai ciri-ciri kebudayaan:
dan bertani. Dari segi arti ini kebudayaan a. Kebudayaan merupakan budaya sendiri
sebagai segala daya dan aktivitas manusia yang berada di daerah tersebut dan
untuk mengolah dan mengubah alam. dipelajari.
Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, b. Bisa disampaikan kepada setiap orang
yaitu budidhaya, bentuk jamak dari buddhi dan setiap kelompok serta bisa
yang berarti budi dan akal. Dalam bahasa diwariskan dari setiap generasi.
Latin makna ini sama dengan colere yang c. Bersifat dinamis, artinya suatu sistem
berarti mengolah, mengerjakan, terutama yang dapat berubah sepanjang waktu
menyangkut tanah. Konsep tersebut lambat atau mengikuti perkembangan jaman.
laun berkembang menjadi segala upaya serta d. Bersifat selektif, artinya mencerminkan
tindakan manusia untuk mengolah tanah dan pola perilaku pengalaman manusia
mengubah alam (Wiranata, 2002). secara terbatas.
Pengertian kebudayaan merupakan e. Memiliki unsur budaya dan saling
mekanisme kontrol bagi tingkah laku sosial berkaitan satu dengan yang lainnya.
anggota masyarakat pendukungnya, Geert f. Etnosentrik, artinya menganggap
(dalam Depdikbud, 2003). Sama halnya budaya sendiri sebagai budaya terbaik
dengan yang dikemukakan oleh Spardley atau menganggap budaya orang lain
(dalam Wiranata, 2002) bahwa kebudayaan sebagai budaya standar.
adalah pengetahuan yang diperoleh dan
digunakan oleh manusia Nilai Budaya
menginterpretasikan pengalaman dan Nilai budaya merupakan tingkat
menggerakkan kegiatan sosial. Dalam yang paling abstrak dari adat, hidup berakar
batasan itu kebudayaan boleh dikatakan dalam alam pikiran masyarakat dan sukar
sebagai pengetahuan manusia tentang etika diganti dengan nilai budaya lain dalam
dan aturan yang hanya mungkin diperoleh waktu singkat. Seperti yang diungkapkan
dalam kehidupan bermasyarakat. oleh Koentowidjoyo (2000) bahwa inti
Koentjaraningrat (2005) mengatakan kebudayaan yang mempengaruhi dan
bahwa unsur kebudayaan yang dianggap menata elemen-elemen yang ada pada
sebagai cultural universals, yaitu (1) religi struktur permukaan kehidupan manusia
dan sistem kepercayaan; (2) sistem yang meliputi perilaku sebagai kesatuan
pengetahuan; (3) sistem teknologi misalnya gejala baik berupa perilaku seni, perilaku
menyangkut cara-cara atau teknik spritual, perilaku ekonomi, perilaku politik,
memproduksi, memakai, serta memelihara dan perilaku lain dalam kehidupan dan
segala peralatan dan perlengkapan; (4) benda-benda sebagai kesatuan material.
sistem kemasyarakatan misalnya sistem Sistem ini juga merupakan pedoman bagi
kekerabatan, organisasi politik, sistem sistem perilaku manusia dalam tingkat yang
hukum, sistem perkawinan; (5) sistem mata lebih konkret, seperti norma, aturan-aturan,
pencaharian dan sistem ekonomi; (6) bahasa dan hukum.
sebagai media komunikasi baik lisan Koentjaraningrat (dalam Prihatmi,
maupun tulisan; (7) kesenian mencakup seni 2003) menyebutkan bahwa ada lima prinsip
rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya. dasar orientasi budaya jawa, yakni
Ketujuh unsur itulah yang dijadikan 1. Hakikat hidup
pula oleh peneliti untuk menggali nilai 2. Hakikat karya dan etos kerja
3. Hakikat hubungan dengan alam
300
Nilai Budaya Suku …. (Susiati)
301
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—311
302
Nilai Budaya Suku …. (Susiati)
303
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—311
menggambarkan budaya suku Bajo Sampela Bagi suku Bajo pengetahuan tentang
saat memancing ikan menggunakan alat binatang sangat penting karena cara terbaik
layang-layang. Alat pancingannya diikatkan untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan
pada tali layang-layang sementara layang- yang baik adalah perlu mengetahui
layangnya dilepas ke udara sehingga karakteristik suatu binatang. Berikut bukti
pancingan yang diarahkan ke dalam laut data:
bergerak-gerak mengikuti gerakan layang-
layang tersebut. Hal ini dilakukan oleh suku
Bajo Sampela untuk meringankan beban
mereka.
304
Nilai Budaya Suku …. (Susiati)
(Gambar I) (Gambar II) Sebelum melaksanakan aktivitas yang
sangat urgen untuk mereka, tidak lupa
mereka mendatangi dukun untuk
menanyakan hari baik. Pengetahuan SBS
tentang ruang dan waktu dianggap penting
karena dapat membawa mereka pada
keselamatan dan kelancaran aktivitas yang
(GambarIII)
akan mereka lakukan.
Ilustrasi gambar dalam film The Mirror
Never Lies di atas mendeskripsikan
3. Sistem Teknologi
pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku
Teknologi suku Bajo Sampela dalam
manusia yang dipahami oleh SBS. Pada
film The Mirror Never Lies yang
gambar I mendeskripsikan kebiasaan SBS
terdeskripsi pada unsur kebudayaan suku
yang ringan tangan (mudah memberi), rasa
Bajo adalah teknologi tradisional. Teknologi
tolong menolong di antara SBS sangat tinggi
tradisional adalah alat yang digunakan untuk
jika ada hasil melaut, mereka selalu
kehidupan sehari-hari yang tidak
membagikannya kepada tetangga.
dipengaruhi oleh adanya teknologi. Suku
Gambar II dan gambar III
Bajo sebagai gipsi laut mempunyai berbagai
menggambarkan kebiasaan SBS dalam
macam sistem teknologi, di antaranya:
kebersamaan mereka ketika mengalami
a. Alat-alat produksi
kedukaan ataupun acara-acara pernikahan,
Alat produksi adalah alat yang
sunatan, dan lain-lain. Kedua gambar di atas
digunakan dalam suatu aktivitas. Suku Bajo
memperlihatkan adanya prosesi kematian.
Sampela saat melakukan aktivitas sehari-
Para masyarakat SBS berdatangan ke rumah
sehari seperti membersihkan ikan mereka
duka untuk membawa sumbangan untuk
menggunakan parang; batu untuk
keluarga almarhum.
menghaluskan butiran beras (untuk bedak
dingin); lampu strongking untuk penerang
e. Pengetahuan tentang ruang dan waktu
saat mereka melaut; bambu panjang dayung
Pengetahuan suku Bajo Sampela
yang terbuat dari kayu untuk mengayuh
tentang ruang dan waktu digunakan untuk
sampan; mata-mata (kacamata selam) untuk
menghitung, mengukur, atau menentukan
menyelam ke dasar laut agar bisa melihat
hari baik seperti menentukan hari baik kala
dengan jelas binatang di bawah laut. Kaca
akan melangsungkan pernikahan, sunatan,
mata tersebut terbuat dari kayu dan
dan lain-lain. Penentuan waktu atau hari
ditempelkan kaca dan diikatkan tali untuk
baik tersebut mereka tanyakan kepada
menghubungkan setiap sisi sampai
sandro (dukun).
melingkari kepala; parutan ubi untuk
mengolah ubi untuk dijadikan makanan;
lesung untuk menumbuk jagung atau beras;
kangkurua (parutan kelapa) untuk memarut
kelapa yang belum terpisah dari cangkang
(tempurungnya). Berikut bukti data:
305
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—311
b. Wadah
Wadah, yaitu alat untuk menyimpan
barang. Selain untuk menyimpan barang,
wadah juga digunakan untuk memasang
ataupun membawa barang. Wadah yang
biasa digunakan oleh suku Bajo Sampela (Gambar VII) (Gambar VIII)
seperti kerang besar digunakan untuk wadah
membersihkan ikan atau binatang laut Ilustrasi kedelapan gambar dalam film
lainnya; baskom dan ember digunakan untuk The Mirror Never Lies di atas
menyimpan ikan, wadah mencuci pakaian, mendeskripsikan tempat atau wadah yang
dan tempat air; tapis digunakan untuk sering digunakan oleh SBS. Adapun tempat
membersihkan beras dan jagung; talang atau wadah-wadah yang dimaksud antara
digunakan untuk wadah menjajakan jualan lain cerek (tempat air minum), kerang besar
seperti ikan atau binatang laut lainnya, (tempat mencuci ikan atau binatang laut
tempurung kelapa digunakan untuk wadah lainnya), jirigen (tempat air), baskom
menyimpan kelapa yang diparut yang akan (tempat mencuci pakaian, ikan, dan
306
Nilai Budaya Suku …. (Susiati)
lainnya), tempurung kelapa (wadah untuk menangkap ikan dalam skala besar secara
kelapa yang sudah diparut, lalu kelapa bersamaan. Gambar IV terdapat senjata
tersebut dijadikan treatment rambut), talang berjenis sangkar yang biasa disebut dengan
(tempat untuk jajakan jualan), gayung polo. Perangkap ini digunakan oleh SBS
(tempat menimba air dari ember besar atau untuk menangkap ikan baik ikan besar
guci), tapis/gugura’a (tempat tirisan untuk ataupun kecil. Alat ini dimasukkan ke dasar
meniris kaopi yang akan dimasak untuk laut dan dipasang umpan di dalammya, jika
kasoami), piring dan gelas (tempat untuk ikan masuk ke dalam polo tersebut akan
makanan dan minuman). susah untuk keluar lagi. Alat ini sangat
c. Senjata aman digunakan karena tidak merusak biota
Senjata yang dipakai pada masyarakat laut di sekelilinnya.
suku Bajo Sampela masih bersifat
tradisional. Dalam film The Mirror Never
Lies senjata-senjata yang dideskripsikan d. Makanan dan minuman
antara lain parang, tombak, jaring, senapan Makanan tradisional suku Bajo
panah, dan alat pancing. Berikut bukti data: Sampela adalah kasoami (makanan yang
terbuat dari ubi kayu yang dikukus), ikan
parende (ikan kuah kuning yang dicampur
garam dan asam), ikan perangi (sashimi;
ikan mentah yang dipisahkan dari tulangnya
setelah itu diiris tipis-tipis, selanjutnya
dicampur dengan jeruk nipis, garam lalu di
remas-remas sampai rasa amisnya hilang),
nasi jagung (beras yang dikukus/dimasak
(Gambar I) (Gambar II) dengan jagung), ikan bakar, teripang, bulu
babi, rumput laut. Sementara, minuman
tradisional suku Bajo Sampela adalah air
putih.
307
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—311
yang sudah digepeng setelah itu dikukus. Baju SBS memiliki beragam model,
Kasoami menjadi andalan makanan seperti kaos pendek, kaos panjang, daster,
pengganti beras. Namun, di jaman modern celana, dan sarung. Sementara, secara
ini beras juga merupakan makanan pokok di historis para wanita SBS yang dirundung
SBS. Gambar II dan III terdapat ikan bakar kesedihan atas kematian atau kehilangan
dan bulu babi serta teripang mentah. SBS suami saat melaut, sepanjang hari mereka
mengolah ikan dalam berbagai macam memakai bedak dingin. Namun, sekarang
masakan, seperti ikan bakar, ikan perangi semua warga SBS memakai bedak dingin
(sashimi), ikan parende (ikan kuah kuning), karena untuk terhindar dari sinar matahari.
ikan pindang (ikan rebus kering), bulu babi
rebus dan mentah, teripang mentah, serta
latu (rumput laut). Olahan-olahan ini
menjadi kekhasan masakan hasil laut di f. Tempat berlindung atau rumah Tempat
Kabupaten Wakatobi termasuk pula di SBS. berlindung atau rumah suku
Bajo Sampela sudah bervariasi, antara lain
bentuk rumah panggung yang tiangnya
ditancapkan di dasar laut, beratapkan daun
sagu, berdinding jelajah, lantainya
e. Pakaian
menggunakan bambu; adapula rumah yang
Pakaian yang dipakai sehari-hari oleh
halamannya sudah di atas batu bersusun
suku Bajo Sampela sama seperti pakaian
sehingga tiangnya tidak menancap di dasar
masyarakat pada umumnya. Bentuk pakaian
laut, atap seng, dinding papan; dan bentuk
suku Bajo Sampela, yakni daster, kaos,
rumah beton. Model rumah di suku Bajo
sarung, dan kain penutup kepala dengan cara
Sampela bervariasi karena bergantung strata
dililit.
atau status sosial masyarakatnya.
Suku Bajo Sampela jarang
menggunakan perhiasan karena kegiatan
keseharian mereka adalah melaut dan
menjual ikan. Berikut bukti data:
g. Alat transportasi
Alat transportasi yang digunakan oleh
suku Bajo Sampela adalah sampan (lepa-
lepa), jonson, dan kapal.
Ilustrasi gambar dalam film The Mirror
Never Lies di atas mendeskripsikan berbagai
macam pakaian yang sering dipakai oleh
SBS. Pada gambar di atas menampakkan
pakaian khas masyarakat SBS, yakni
penutup kepala (kampuru). Penutup kepala
sering dipakai SBS saat mereka ingin
melaut. Penutup kepala tersebut dari sarung
atau selendang yang dililit di atas kepala. h. Bentuk permainan
Hal ini digunakan untuk menghindari terik Bentuk permainan anak-anak SBS
matahari dan hembusan angin. adalah burung, penyu, dan binatang laut
308
Nilai Budaya Suku …. (Susiati)
4. Sistem kemasyarakatan
Dalam kehidupan masyarakat SBS
biasanya diatur oleh suatu aturan atau adat
istiadat tentang kesatuan dalam suatu
lingkup. Sistem kekerabatan suku Bajo
Sampela dalam film The Mirror Never Lies
6. Bahasa
sangat berpengaruh seperti saling tolong
Bahasa adalah suatu unsur kebudayaan
menolong, hidup rukun antarwarga,
yang digunakan untuk berinteraksi
membantu warga yang membutuhkan.
antarsesama masyarakat. Suku Bajo
Seperti yang terlihat pada ketiga gambar di
Sampela dalam berinteraksi antarmereka
bawah ini, mereka sering memasak bersama-
menggunakan bahasa Bajoe dan bahasa
sama di pekarangan rumah, dan saling
Indonesia, kadang-kadang saat mereka
membantu saat melaut. Berikut bukti data:
berinteraksi dengan masyarakat Kaledupa
biasanya menggunakan bahasa Kaledupa.
Hal ini dipengaruhi karena letak suku Bajo
Sampela berada di Kecamatan Kaledupa,
Kabupaten Wakatobi.
309
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—311
Dalam film The Mirror Never Lies segala upaya pengobatan tradisional suku
karena yang digambarkan adalah totalitas Bajo. Kebiasaan ini dilakukan bila ada salah
kehidupan dan kebudayaan suku Bajo satu di antara mereka mengalami sakit keras
Sampela sehingga bahasa yang mereka dan tidak dapat disembuhkan dengan cara
gunakan adalah bahasa Bajoe dan bahasa lain atau pengobatan medis. Tradisi duata
Indonesia. Berikut bukti data: juga dapat dilakukan dalam acara syukuran
dan hajatan, dan penyambutan tamu. Hal
yang dilakukan ini sudah menjadi turun
temurun di suku Bajo Sampela. Berikut
bukti data:
310
Nilai Budaya Suku …. (Susiati)
lingkungan SBS atau di pasar; (6) bahasa, Semi, M. Atar. 2012. Metode Penelitian
SBS saat berinteraksi menggunakan bahasa Sastra. Bandung: Angkasa.
Bajoe dan bahasa Indonesia; (7) kesenian, Sumardjo, Jacob. 1995. Novel Indonesia
SBS mempunyai seni suara dan tarian. Mutakhir: Sebuah Pengantar.
Tarian tersebut bernama tarian duata. Bandung: Nurcahaya.
Sumarno, Marseli. 1996. Dasar-dasar
DAFTAR PUSTAKA Apresiasi Film. Jakarta: PT. Grasindo.
Depdikbud. 2003. Proyek Penelitian Susiati. 2017. “Tuturan Emosi Bahasa
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Indonesia Verbal dan Nonverbal Suku
Budaya. Ujung Pandang: Depdikbud. Bajo Sampela: Kajian Psikolinguistik”.
Tesis: Makassar: Universitas
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Hasanuddin.
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Suyuti, Nasruddin, dkk. 1995. “Pengkajian
Presindo. Sosial Budaya dan Lingkungan pada
Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Masyarakat Bajo di Desa Sulaho
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kecamatan Lasusua Kabupaten
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Kolaka”. Laporan Penelitian: Kerja
Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta. Sama FISIP Universitas Haluoleo
Koentowidjoyo. 2000. Budaya dan dengan Kanwil Depsos Provinsi
Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Sulawesi Tenggara.
Wacana. Sam, B., Iye, R., Ohoibor, M., Umanailo, M.
Moleong, Lexi. 2007. Metodologi Penelitian C. B., Rusdi, M., Rahman, A. B. D., &
Kualitatif. Bandung: Remaja Hajar, I. (2019). Female Feminism in
Rosdakarya. the Customary Island of Buru. Int. J.
Prihatmi, Sri Rahayu Th, dkk. 2003. Sci. Technol. Res, 8(8), 1877-1880.
Peribahasa Jawa sebagai Cermin, Iye, R. (2018). Tuturan emosi mahasiswa
Watak, Sifat, dan Perilaku Manusia kota baubau dalam ranah demonstrasi
Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa. [emotional speech of the students in
baubau city in the demonstration].
TOTOBUANG, 6 (1), 125, 138.
Iye, R., & Susiati, S. (2018). NILAI
EDUKATIF DALAM NOVEL
SEBAIT CINTA DI BAWAH
LANGIT KAIRO KARYA
MAHMUD JAUHARI ALI (Educative
Values in Sebait Cinta di Bawah
Langit Kairo by Mahmud Jauhari Ali).
Sirok Bastra, 6 (2), 185-191.
Susiati, S., & Iye, R. (2018). Kajian
Geografi Bahasa dan Dialek di
Sulawesi Tenggara: Analisis
Dialektometri. Gramatika: Jurnal
Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. 6
(2), 137-151.
Iye, R., No, J. P. D. H. B., & Buru, N. K.
TUTURAN DALAM PROSESI
LAMARAN PERNIKAHAN DI
TOMIA KABUPATEN WAKATOBI.
Susiati, S., & Iye, R. (2019). Hot Potatoes
Multimedia Applications in Evaluation
311
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—311
of Indonesian Learning In SMP MULTILINGUAL AND MONO-
Students in Buru District. ELS MULTILINGUAL
Journal on Interdisciplinary STUDENTS’PERFORMANCE IN
Studies in Humanities, 2(4), 556- ENGLISH SPEAKING. Journal of
570. Advanced English Studies, 1(2), 32-
Karim, K., Maknun, T., & Abbas, A. 38.
(2019). PRAANGGAPAN Bin-Tahir, S. Z., Suriaman, A., &
DALAM PAMFLET Rinantanti, Y. (2019). Designing
SOSIALISASI PELESTARIAN English Syllabus for Multilingual
LINGKUNGAN DI Students at Pesantren Schools. Asian
KABUPATEN WAKATOBI. EFL Journal, 23(3.3), 5-27.
JURNAL ILMU BUDAYA, 7(2), Bin Tahir, S. Z. (2015). Multilingual
241-247. behavior of Pesantren IMMIM
Bin-Tahir, S. Z., Bugis, R., Masniati, students in Makassar. Asian EFL
A., Tenriawali, A. Y., Azwan, A., Journal, 86, 45-64.
& Oktavianti, D. C. (2020, Amri, M., Afifuddin, A., & Bin-Tahir, S. Z.
January). The Role of Local (2018). Religious Pluralism of the
Language in Intercultural Indonesian Traditional Islamic
Communication among Societies Education Institutions. The Journal of
of Buru Island. In Proceeding of Social Sciences Research, 4(12), 446-
USN Kolaka-ADRI International 450.
Conference on Sustainable Bin Tahir, S. Z. (2017). Multilingual
Coastal-Community teaching and learning at Pesantren
Development (Vol. 1). Schools in Indonesia. Asian EFL
Sahid, A., Amirullah, I., Azis, A., Journal, 89, 74-94.
Rachman, A. A., & Bin-Tahir, S. Bin-Tahir, S. Z., Saidah, U., Mufidah, N., &
Z. (2019, November). Bugis, R. (2018). The impact of
Application of Bureaucratic translanguaging approach on teaching
Accountability in Public Service. Arabic reading in a multilingual
In Eastern Regional Organization classroom. Ijaz Arabi Journal of
for Public Administration Arabic Learning, 1(1).
Conference (EROPA 2018). Bin-Tahir, S. Z., Bugis, R., & Tasiana, R.
Atlantis Press. (2017). Intercultural Communication
Mufidah, N., Suryawati, D., Sa’adah, of a Multicultural Family in Buru
N., & Tahir, S. Z. B. (2019). Regency. Lingual: Journal of
LEARNING ARABIC Language and Culture, 9(2), 8.
WRITING SKILL BASED ON Musyawir, M., & Maâ, S. (2018). THE
DIGITAL PRODUCTS. Ijaz EFFECT OF TEACHER
Arabi Journal of Arabic Learning, ORGANIZATIONAL ACTIVITY OF
2(2). ADOLESCENT RED (PMR) ON
Farida, U., & Bin-Tahir, S. Z. (2019, EFFECTIVE TALKING ABILITY
October). Bureaucratic reform of STUDENT CLASS XI SMA NEGERI
tourism sector public services in 2 PANCA RIJANG DISTRICT
Tana Toraja Regency. In IOP SIDENRENG RAPPANG.
Conference Series: Earth and BAHTERA: Jurnal Pendidikan Bahasa
Environmental Science (Vol. 340, dan Sastra, 17(2), 67-81.
No. 1, p. 012045). IOP MUSYAWIR, M. (2017). Penyimpangan
Publishing. Prinsip Kesantunan Berbahasa dalam
Bin-Tahir, S. Z., Atmowardoyo, H., Interaksi Belajar-Mengajar Bahasa
Dollah, S., Rinantanti, Y., & Indonesia Siswa Kelas XI SMA Negeri
Suriaman, A. (2018). 2 Panca Rijang Sidenreng Rappang
310
Nilai Budaya Suku …. (Susiati)
(Doctoral dissertation,
Pascasarjana).
Wianti, Nur Isiyana. 2011.
“Kapitalisme Lokal Suku Bajo
(Studi Kasus Nelayan Bajo Mola
dan Mantigola, Kabupaten
Wakatobi, Provinsi Sulawesi
Tenggara)”. Tesis. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Wiranata, I Gede A.B. 2002.
Antropologi Budaya. Bandung:
Citra Adtya Bakti.
311