Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)

8
FAKTOR DETERMINAN PENYEBAB KEMISKINAN
DI SULAWESI SELATAN

THE DETERMINANT FACTORS


OF POVERTY CAUSES IN SOUTH SULAWESI

Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati


Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS)
Kementerian Sosial RI Jl. Kesejahteraan Sosial No. 1, Sonosewu, Yogyakarta, Indonesia
Hp. 081328308909 dan 08157904193
Email: diyanasasongko@gmail.com
Naskah diterima 7 Juni 2017, direvisi 13 Juli 2017, disetujui 3 Agustus 2017

Abstract

The research aimed to reveal the dominant factors that cause poverty. The research used quantitative and
qualitative techniques. The determination of research location used purposive technique, chosenfrom one of 34
provinces used as research location of Concept and Indicator of Poverty. The research population was the entire poor
families, registered and unregistered. The samples were determined randomly, totaling 1,200 people from two regions
(Makassar City and Maros Regency). Each area of ​​600 people with 540 details comes from poor registered family
heads and 60 non-registered poor families. Data collected through questionnaires, interview guides, observation
guide, documentary analysis, and otherrelevant parties. Quantitative data and information were computed using
Excel and SPSS version 17.00 for Windows,poverty construct test using confirmatory analysis factor with the help
of Lisrel 8.4 program, the result was described. The research found that the cultural dimension has positive and
significant contribution in forming poverty in South Sulawesi, especially in the City of Makassar and Maros Regency.
The founding was relevant to the condition of Indonesian society in general, which still prioritizes socio-cultural
values ​​in everyday life. These values, such as the strength of the spirit of mutual cooperation, kinship relationships,
the habit of conducting deliberations in deciding the problem, were still firmly rooted in the life of society. Knowing
the determinants of the causes of poverty in South Sulawesi (Makassar City and Maros Regency), the intervention
needed in poverty alleviation should be more emphasized on the awareness of the society about the habits that have
become cultural and burdensome society, especially the poor. It needed also an elucidation and social counseling
not living frugally, not making it up, and helping them as what might be able to be done by notleaving current poverty
alleviation programs. In addition, it is also strived to foster community empowerment for the creation of community
independence, as the community will gain understanding and be able to control the social, economic, and political
power in order to improve their social welfare.

Keywords: Determinant Factors,Poverty Causes.

Abstrak

Penelitian tentang Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengetahui
faktor dominan yang menyebabkan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan teknik pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Lokasi penelitian menggunakan teknik purposive, yaitu memilih salah satu provinsi dari 34 provinsi yang
digunakan sebagai lokasi penelitian, Konsep dan Indikator Kemiskinan. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh
keluarga fakir miskin yang teregister dan yang tidak teregister. Sampel akan ditentukan secara random berjumlah
1.200 orang berasal dari dua wilayah (Kota Makassar dan Kabupaten Maros),tiap wilayah 600 orang dengan rincian

199
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214

540 orang berasal dari kepala keluarga miskin teregister dan 60 orang kepala keluarga miskin non-register atau
yang belum mendapat program. Teknik pengumpulan data digunakan kuesioner, panduan wawancara, panduan
pengamatan, dan telaah dokumen yang relevan. Data dan informasi yang dijaring secara kuantitatif diolah secara
komputasi dengan menggunakan program excel dan statistik SPSS versi 17.00 for Windows, serta pengujian
konstruk kemiskinan menggunakan confirmatory faktor analysis dengan bantuan program LISREL 8.4, hasilnya
dideskripsikan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dimensi budaya memiliki konstribusi yang positif dan signifikan
dalam membentuk kemiskinan di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Hasil
tersebut relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang masih mengedepankan nilai sosial
budaya dalam kehidupansehari-hari. Nilai tersebut, seperti kuatnya semangat gotong royong, hubungan kekerabatan,
kebiasaan melakukan musyawarah dalam memutuskan permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan
diketahuinya faktor determinan penyebab kemiskinan di Sulawesi Selatan, intervensi yang dibutuhkan dalam
penanggulangan kemiskinan lebih dititikberatkan pada penyadaran masyarakat tentang berbagai kebiasaan yang
sudah menjadi budaya dan memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Penyuluhan dan bimbingan
sosial tentang hidup hemat, tidak mengada-ada, dan menolong semampunya perlu lebih sering dilakukan dengan
tidak meninggalkan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sudah berjalan. Perlu diupayakan pula
penumbuhan keberdayaan masyarakat untuk terciptanya kemandirian masyarakat, karena masyarakat akan
memperoleh pemahaman dan mampu mengontrol daya sosial, ekonomi, dan politik agar dapat meningkatkan
kesejahteraan sosialnya.

Kata kunci: Faktor Determinan, Penyebab Kemiskinan.

A. PENDAHULUAN lainnya ke lembah kemiskinan (Ambar Teguh


Kemiskinan merupakan bagian yang tidak Sulistiyani, 2004).
terpisahkan dari kehidupan manusia, dengan Apa itu kemiskinan? Berbagai pendapat
kata lain kemiskinan merupakan realitas sosial tentang kemiskinan telah berkembang dari
yang selalu ada di tengah-tengah masyarakat. waktu ke waktu. Merumuskan suatu definisi
Kemiskinan sesungguhnya merupakan suatu tentang kemiskinan dari sejumlah pandangan
kondisi yang tidak diinginkan manusia tetapi dan pendekatan yang dinamis memang
kenyataannya sulit untuk dihindarkan, bahkan tidak mudah, karena formulasi dari para ahli
hampir bisa dikatakan akan tetap menjadi dan peneliti dipengaruhi oleh kajian masing-
“kenyataan abadi” dalam kehidupan. Kondisi masing (Muhadjir Darwin, 2005). Bank
ini tidak hanya dialami negara yang sedang Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai
berkembang, tetapi juga dialami negara ketidakmampuan suatu individu untuk memenuhi
maju yang ternyata juga masih memiliki kebutuhan dasarnya (Gunawan Sumodiningrat,
kantong-kantong kemiskinan.Sebagaimana 1999). Senada dengan pendapat di atas
dikemukakan Gunawan Sumodiningrat (1999) Emil Salim (dalam Bagong Suyanto, 1996)
bahwa, kemiskinan tetap ada di negara-negara mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya
paling maju, kendati dalam skala yang lebih pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup
kecil. Namun sekecil apapun jumlah golongan yang pokok. Sedangkan Ritonga (dalam Arif
miskin, tetap merupakan masalah yang tidak Satria, 2016) mendefinisikan kemiskinan adalah
bisa dianggap enteng untuk dipecahkan, karena kondisi kehidupan yang serba kekurangan
menyangkut dimensi kemanusiaan. Betapa yang dialami seseorang atau rumah tangga,
menggelisahkan, pada era yang sudah semakin sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
canggih ini ternyata kemiskinan masih saja tetap minimal atau yang layak bagi kehidupannya.
dominan.Kemajuan jaman yang diekspresikan Kebutuhan dasar minimal yang dimaksud adalah
melalui ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan yang berkaitan dengan kebutuhan pangan,
modernitas, di satu sisi hanyalah memberikan sandang, perumahan, dan kebutuhan sosial
konstribusi kesejahteraan pada sebagian kecil yang diperlukan oleh penduduk atau rumah
penduduk dunia. Kejayaan sebagian kecil tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
manusia di belahan bumi ini seringkali menelan secara  layak.
dan mengorbankan sebagian besar manusia

200
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)

Kemiskinan dapat pula didefinisikan standard of living of part of society the poor in
sebagai suatu kondisi ketidakberuntungan, equality refers to relative living standards across
sebagaimana pendapat Sutomo (2008), yakni the whole society” (Gunawan Sumodiningrat,
kondisi yang disebabkan karena beberapa 1999). Dengan kata lain, kemiskinan dapat
kekurangan dan kecacatan individual, baik diukur dengan membandingkan tingkat
dalam bentuk kelemahan biologis, psikologis pendapatan orang atau rumah tangga dengan
maupun kultural yang menghalangi seseorang tingkat pendapatan yang diperlukan untuk
memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. memenuhi kebutuhan minimum. Dari sisi ini,
Lebih lanjut Sutomo (2008)) menyitir pendapat kemiskinan bisa dibedakan menjadi dua yakni
Chamber yang menyatakan bahwa, pada kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
dasarnya kemiskinan disebabkan oleh lima Menurut Muhadjir Darwin (2005), kemiskinan
ketidak-beruntungan (disadvantages), yakni: absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep
1) Keterbatasan kepemilikan asset (poor); 2) kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan
Kondisi fisik yang lemah (psysically weak); materi dikaitkan dengan standar kelayakan
3) Keterisolasian (isolation); 4) Kerentanan hidup seseorang/keluarga. Kemiskinan absolut
(vulnerable); dan 5) Ketidakberdayaan adalah derajat kepemilikan materi atau standar
(powerless). Kelima aspek tersebut kelayakan hidup seseorang atau keluarga yang
menyebabkan kondisi seseorang, kelompok berada di garis atau di bawah garis subsistem.
atau masyarakat menjadi miskin. Dilihat dari Lebih lanjut Muhadjir Darwin juga mengutip
sisi poverty profile masyarakat, menurut pendapat Sayogyo yang menyebutkan bahwa,
Tjokrowinoto seperti dikutip Ambar Teguh kemiskinan absolut adalah suatu kondisi di
Sulistiyani (2004), kemiskinan tidak hanya mana tingkat pendapatan seseorang tidak
menyangkut persoalan kesejahteraan (welfare) cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya,
semata, tetapi juga menyangkut kerentanan seperti pangan, sandang, papan, kesehatan,
(vulnerability), ketidakberdayaan (powerless), dan pendidikan. Sementara itu, Ambar Teguh
tertutupnya akses kepada pelbagai peluang Sulistiyani (2004) menyatakan kemiskinan
kerja, menghabiskan sebagian besar absolut adalah suatu keadaan dimana tingkat
penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi pendapatan masyarakat rendah, sehingga
pangan, angka ketergantungan yang tinggi tidak memiliki kemampuan yang cukup
karena besarnya keluarga, dan kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal
terefleksi dalam budaya kemiskinan yang seperti kebutuhan pangan, sandang, papan,
diwarisi dari satu generasi ke generasi pendidikan, dan kesehatan dasar. Orang miskin
berikutnya.Dengan demikian, pengertian absolut biasanya akan mengalami kesulitan
kemiskinan mengalami perluasan, tidak untuk bertahan hidup karena pendapatannya
saja mencakup ketidakmampuan memenuhi berada di bawah garis kemiskinan, sehingga
kebutuhan dasar, tetapi juga menyangkut aspek tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk
lain, seperti kerentanan, ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan minimal.
menyampaikan aspirasi,dan ketidakberdayaan. Kemiskinan relatif pada dasarnya
Pada umumnya kemiskinan diukur dengan menunjuk pada perbedaan relatif tingkat
tingkat pendapatan dan kebutuhan. Kebutuhan kesejahteraan antar kelompok masyarakat.
hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau Mereka yang berada di lapis terbawah dalam
kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan presentil derajat kemiskinan suatu masyarakat
seseorang dapat hidup secara layak. Jika digolongkan sebagai penduduk miskin. Dengan
tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kategorisasi seperti ini, dapat saja mereka yang
kebutuhan minimum, maka orang atau rumah digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah
tangga tersebut dikatakan miskin. Dalam kaitan dapat mencukupi hak-hak dasarnya, namun
ini, Bank Dunia mendefinisikan keadaan miskin tingkat keterpenuhannya berada di lapisan
sebagai : “Poverty is concern with absolute terbawah (Muhadjir Darwin, 2005). Sementara

201
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214

Ambar Teguh Sulistiyani (2004) menyatakan tidak bekerja secara penuh (full time). Ketiga,
kemiskinan relatif adalah suatu keadaan mereka kebanyakan tidak mempunyai peralatan
dimana tingkat pendapatan masyarakat sudah produksi/peralatan kerja yang memadai.
mencapai kemampuan untuk memenuhi Keempat, sebagian besar penduduk miskin
kebutuhan pokok minimum, akan tetapi secara berpendidikan rendah.
relatif mereka berada di bawah rata-rata Kemiskinan juga bisa diklasifikasikan
pendapatan masyarakat yang ada di sekitarnya. berdasarkan akar penyebab yang
Pendapat senada dikemukakan Gunawan melatarbelakanginya, dikenal dengan
Sumodiningrat (1999), seseorang atau rumah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural.
tangga dikatakan miskin secara relatip apabila Sunyoto Usman (dalam Istiana dkepala
tingkat pendapatannya sudah mencapai tingkat keluarga, 2015) menyatakan bahwa klasifikasi
kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural
dibandingkan dengan pendapatan masyarakat adalah pengkajian kemiskinan dengan fokus
sekitarnya. Oleh karena itu, orang atau pada sebab terjadinya kemiskinan. Muhajir
rumah tangga tersebut masih berada dalam Darwin (2005) menyebutkan kemiskinan
keadaan  miskin. struktural adalah kemiskinan yang disebabkan
Berdasarkan indikator kemiskinan menurut oleh berbagai kebijakan negara yang bukan
BPS (dalam Wignyo Adiyoso, 2009 ) penduduk saja tidak menguntungkan, melainkan juga
dikategorikan miskin adalah penduduk dengan menjadikan mereka dimiskinkan. Dengan
sumber pendapatan yang tidak cukup untuk demikian, mereka yang termasuk ke dalam
menanggung kehidupan yang layak. Ciri- golongan miskin tidak berdaya untuk mengubah
cirinya yaitu pendapatan rendah atau dibawah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki
garis kemiskinan. Garis kemiskinan diukur dari hidupnya. Sementara Selo Sumardjan (dalam
jumlah pengeluaran kebutuhan dasar makanan, Sutomo, 2008) mengemukakan bahwa,
seperti beras, gula, garam, minyak goreng, dan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang
kebutuhan non-makanan seperti perumahan, diderita oleh suatu golongan masyarakat karena
pendidikan dasar, dan kesehatan. Sementara struktur sosial yang ada dalam masyarakat
itu, Emil Salim (1980) mengemukakan lima tersebut menghambat mereka untuk dapat ikut
ciri-ciri penduduk yang hidup di bawah garis menggunakan sumber-sumber pendapatan yang
kemiskinan. Pertama, pada umumnya mereka sebenarnya tersedia bagi mereka. Pernyataan di
tidak mempunyai faktor produksi seperti atas senada dengan pendapat Sutomo (2008),
tanah, modal, ataupun keterampilan, sehingga karena tidak meratanya penguasaan sumber
kemampuan untuk memperoleh pendapatan daya dalam masyarakat, maka sebagian
menjadi terbatas. Kedua, mereka tidak memiliki anggota masyarakat tetap miskin. Dalam kondisi
kemungkinan untuk memperoleh aset produksi demikian kelompok masyarakat menjadi tidak
dengan kekuatan sendiri. Ketiga, tingkat berdaya (powerless) dan rentan, sehingga akan
pendidikan mereka umumnya rendah karena semakin mengukuhkan posisi miskin tersebut.
waktu mereka tersita untuk mencari nafkah Dengan demikian, kemiskinan struktural ini
dan mendapatkan penghasilan. Keempat, terjadi bukan karena “ketidakmauan” seseorang
kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. untuk bekerja (malas), melainkan karena
Kelima, mereka yang hidup di kota masih berusia “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial
muda dan tidak didukung oleh keterampilan dalam masyarakat menyediakan kesempatan-
yang memadai. Selanjutnya menurut Dalil kesempatan yang memungkinkan orang dapat
Hasan (dalam Gunawan Sumodiningrat, 1999), bekerja atau mendapatkan sumber daya yang
kelompok penduduk miskin mempunyai ciri- dibutuhkannya.
ciri sebagai berikut: pertama, sebagian besar Sementara itu, kemiskinan kultural
penduduk miskin tidak mempunyai penghasilan disebabkan oleh faktor-faktor budaya setempat
tetap. Kedua, pada umumnya penduduk miskin (lokal). Nilai-nilai dan kebudayaan yang diyakini

202
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)

atau yang dianut dan dikembangkan dalam ditunda dengan dalih apapun dan harus
masyarakat, menyebabkan proses pelestarian menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan
kemiskinan dalam masyarakat itu sendiri, karena pembangunan kesejahteraan sosial, mengingat
banyak diwarnai oleh sikap dan cara pandang masalah kemiskinan sangat besar dampaknya
masyarakat tersebut terhadap kehidupan. Sikap- bagi perkembangan masalah sosial lain yang
sikap tersebut antara lain tercermin dalam watak lebih kompleks. Berdasarkan data dari Badan
mereka yang cenderung fatalistik, “nrimo”, dan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskindi
kurang berorientasi ekonomi. Kegiatan ekonomi Indonesia pada September 2016 sebanyak
lebih dipandang sebagai cara untuk memenuhi 27,76 juta jiwa (10,70%), menurun dibandingkan
kebutuhan subsistensi saja dan bukan untuk September tahun sebelumnya yang mencapai
memupuk kapital. Dengan cara pandang 28,59 juta jiwa (11,22%) dari total penduduk
semacam itu, maka secara turun temurun Indonesia. Angka tersebut mengandung makna
mewariskan kemiskinan kultur pada generasi bahwa dalam waktu satu tahun pemerintah baru
berikutnya, sehingga “lingkaran kemiskinan” mampu mengentaskan kemiskinan sebanyak
terus membelit dan tak kunjung putus (Gunawan 0,52 persen. Oleh karena itu, kemiskinan di
Sumodiningrat, 1999).Lebih lanjut Oscar Lewis Indonesia merupakan masalah yang serius dan
berpendapat (dalam Gunawan Sumodiningrat, penanganannya menjadi prioritas, sehingga
1999), bahwa orang-orang miskin adalah perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar.
kelompok sosial yang mempunyai budaya Penanggulangan kemiskinan memerlukan
sendiri. Budaya itu, diturunkan dari generasi pendekatan komprehensif dan terpadu,
ke generasi yang dilestarikan secara terus melibatkan berbagai pihak terkait.
menerus, memiliki karakteristik sosial dan Menurut Gunawan Sumodiningrat (1999),
psikologis tersendiri bagi anggotanya. Lewis masalah kemiskinan pada dasarnya bukan saja
mengkonseptualisasikan sebagai kebudayaan berurusan dengan persoalan ekonomi semata,
kemiskinan (cultural of poverty). Demikian pula tetapi bersifat multi-dimensional, yang dalam
Andre Bayo Ala(1981) juga menyitir pendapat kenyataannya juga berurusan dengan berbagai
Lewis, yang menyatakan ciri-ciri kebudayaan persoalan non-ekonomi (sosial, budaya, dan
kemiskinan adalah orang-orang miskin tidak politik). Karena sifat multi-dimensialnya tersebut,
mempunyai respek dan tidak terintegrasikan maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan
dengan lembaga-lembaga utama yang ada kesejahteraan materi (material well-being),
dalam masyarakat. tetapi juga berurusan dengan kesejahteraan
Masalah kemiskinan juga dijumpai di sosial (social well-being). Andre Bayo Ala
Indonesia, dengan penyebab yang bersumber (1981) menyatakan bahwa, kemiskinan itu
karena struktural maupun kultural, dan masalah multidimensional, karena banyak sekali nilai-nilai
ini menjadi salah satu tantangan besar yang yang dibutuhkan atau kebutuhan manusia itu
harus diatasi secara serius. Meskipun telah bermacam-macam, maka kemiskinan memiliki
lama diupayakan untuk dihapuskan, namun banyak aspek. Demikian pula pernyataan
masalah kemiskinan itu tetap ada dan hidup Saunders yang dikutip Istiana, bahwa
bersama bangsa ini (Gunawan Sumodiningrat, kemiskinan adalah persoalan multidimensional.
1999). Sebenarnya dapat dikatakan kemiskinan Studi mengenai kemiskinan harus diletakan
merupakan ironi di negeri ini. Sebagai negeri keluargaan dalam konteks ketidakadilan sosial
yang kaya dengan sumber daya alam dan ekonomi dalam struktur, proses, kebijakan dan
sumber daya manusia, Indonesia masih saja nilai-nilai yang mendasarinya. Oleh karena itu,
menghadapi masalah kemiskinan yang hampir kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh ada
merata di sejumlah provinsi di Indonesia. atau tidak adanya satu faktor saja, melainkan
Melihat kenyataan tersebut, maka diperlukan disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat
tekad bersama untuk memerangi kemiskinan. mempengaruhi. Heru Nugroho mengemukakan
Penanggulangan kemiskinan tidak dapat bahwa kemiskinan merupakan masalah

203
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214

multidimensional yang tidak saja melibatkan pangan, sandang, dan perumahan. Kemiskinan
faktor ekonomi, tetapi juga politik dan budaya. berdimensi ekonomi dapat dimaknai sebagai
Hal senada juga dinyatakan oleh Moestopo, kondisi ketidakmampuan keluarga dalam
bahwa kemiskinan pada hakikatnya adalah pemenuhan kebutuhan pangan yang berkualitas,
masalah kompleks yang meliputi kemiskinan kemampuan pemenuhan kebutuhan sandang
ekonomi, kemiskinan sosial, kemiskinan (membeli pakaian setiap anggota keluarga)
budaya, kemiskinan psikologis, kemiskinan pertahun, ketersediaan tempat tinggal yang
religi, dan kemiskinan politik. Sementara itu layak. Di samping itu, juga dalam pemenuhan
Susetiawan mengemukakan bahwa dimensi kebutuhan pendidikan dasar, pemenuhan
kemiskinan terdiri atas: Pertama, kemiskinan kebutuhan pelayanan kesehatan, pemenuhan
berdimensi ekonomi atau material;Kedua, kebutuhan pekerjaan, ketersediaan sumber
kemiskinan berdimensi sosial budaya;Ketiga, penghasilan, kepemilikan aset, dan pemenuhan
kemiskinan berdimensi struktural atau politik. kebutuhan rekreasi. Kedua, kemiskinan
Lebih lanjut Sukmana menjabarkan dimensi berdimensi sosial. Kemiskinan ini dapat
tersebut, dimensi ekonomi atau material dimaknai sebagai kondisi yang menghambat
mencakup berbagai kebutuhan manusia keluarga dalam menjalankan relasi dan fungsi
yang bersifat material seperti sandang, sosial serta dalam mengakses sumberdaya
pangan, papan, perumahan, kesehatan, dan yang dibutuhkan. Hambatan tersebut meliputi
sebagainya. Dimensi sosial budaya terkait keterbatasan dalam berpartisipasi pada
melembaganya budaya apatis, apolitik, fatalistik, kegiatan sosial-keagamaan di lingkungannya,
ketidakberdayaan yang melekat pada kaum keterbatasan dalam komunikasi dengan anggota
miskin. Kemiskinan secara ekonomi sulit diatasi keluarga, keterbatasan dalam pengambilan
jika budaya ini tidak dihilangkan. Sedangkan keputusan, keterbatasan dalam pengumpulan
dimensi struktural politik terkait ketiadaan sarana dana sosial/bantuan kemanusiaan, keterbatasan
dan akses bagi kaum miskin untuk terlibat dalam dalam mengakses pelayanan sosial/publik
prosespolitik, sehingga tidak memiliki kekuatan (seperti layanan pemerintah dalam penerbitan
politik. Kemiskinan politik ini akan berimbas akta kelahiran dan identitas/KTP, layanan
pada kemiskinan ekonomi (Istiana,  2015). kesehatan, layanan pendidikan, layanan air
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bersih/listrik, layanan transportasi) yang menjadi
masalah kemiskinan sangatlah kompleks dan hak keluarga fakir miskin.
multidimensi. Kemiskinan tidak hanya memiliki Ketiga, kemiskinan berdimensi budaya.
dimensi tunggal yaitu ekonomi saja, tetapi juga Kemiskinan ini dapat dimaknai sebagai
memiliki dimensi sosial, budaya, psikis, dan kondisi yang menggambarkan tidak adanya
politik. Sebagaimana dinyatakan Gunawan harmonisasi/kerukunan di antara keluarga
Sumodiningrat (1999), dimensi-dimensi dalam kehidupan bermasyarakat, tidak adanya
kemiskinan pada hakikatnya merupakan kebiasaan hidup bersih dan sehat, adanya etos
refleksi bahwa kebutuhan manusia yang tidak kerja yang rendah, tidak adanya kebiasaan
hanya bersifat ekonomi semata. Oleh karena itu hidup hemat, suka menabung/investasi dan
program pengentasan kemiskinan seyogyanya memiliki perencanaan yang matang, kurang
tidak hanya memprioritaskan ekonomi, tetapi memiliki orientasi ke masa depan (keinginan
juga memperhatikan dimensi lain. Dimensi untuk maju), kurang mandiri/sangat tergantung
kemiskinan ini saling berpengaruh satu sama pada orang lain, terjerat dalam sistem ekonomi
lain, untuk itu akan diuraikan dimensi-dimensi yang merugikan dan terbelenggu dalam norma
apa saja yang menyertai kemiskinan. adat dan nilai sosial budaya yang menghambat.
Pertama, yang paling jelas adalah bahwa Keempat, kemiskinan berdimensi psikis.
kemiskinan berdimensi ekonomi. Dimensi Kemiskinan ini dapat dimaknai sebagai sebagai
ini menjelma dalam berbagai kebutuhan kondisi yang menghambat keluarga dalam
dasar manusia yang sifatnya material, seperti menjalankan agama dan kepercayaan sesuai

204
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)

keyakinan, tidak terpenuhinya rasa aman/bebas karena dapat menggali tentang kehidupan
dari rasa takut, tidak adanya rasa percaya diri, sosial masyarakat melalui pandangan dan
tidak terpenuhinya lingkungan alam dan sosial pengalaman-pengalamannya, sementara
yang sehat, tidak dapat memanfaatkan waktu pendekatan kuantitatif sebagai metode
luang secara bermakna, dan keterbatasan dalam sekunder. Menurut Lewis seperti dikutip Wignyo
memperoleh bantuan dari saudara, kerabat atau Adiyoso (2009), kelebihan pendekatan ini adalah
teman ketika membutuhkan. Kelima, kemiskinan peneliti bisa mendapatkan perspektif yang lebih
berdimensi politik. Kemiskinan ini dapat alamiah/natural dari kehidupan masyarakat dan
dimaknai sebagai kondisi yang menghambat membuka peluang untuk pendalaman yang
keluarga dalam menggunakan hak politik lebih rinci dari pandangan individu-individu
dalam pemilihan umum, berpartisipasi dalam dalam  masyarakat.
perencanaan pembangunan di wilayahnya, Fokus penelitian ini adalah mengetahui
berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan faktor diterminan penyebab kemiskinan di
di wilayahnya, berpartisipasi dalam pengawasan Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, penelitian
pembangunan di wilayahnya, dan berpartisipasi ini dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan.
dalam penentuan sasaran program layanan Penentuan lokasi menggunakan teknik
sosial/publik (penerima bantuan). purposive,yaitu memilih salah satu provinsi
Mengingat masalah kemiskinan sangatlah dari 34 provinsi yang digunakan sebagai lokasi
kompleks dan multidimensi, maka untuk penelitian Konsep dan Indikator Kemiskinan.
mengatasi masalah kemiskinan juga harus Populasi penelitian ini adalah seluruh keluarga
bersifat multidimensional atau menggunakan fakir miskin yang teregister dan yang tidak
pendekatan yang komprehensif dan lintas teregister. Sampel dalam penelitian ini
sektoral.Namun demikian, harus pula ditelusuri ditentukan secara acak/random berjumlah 1.200
faktor apa yang cukup dominan menjadi orang berasal dari dua wilayah (Kota Makassar
penyebab kemiskinan di suatu daerah atau & Kabupaten Maros). Tiap wilayah 600 orang
yang diderita suatu masyarakat, sehingga dengan rincian 540 orang berasal dari kepala
diperlukan identifikasi yang jelas untuk lebih keluarga miskin teregister dan 60 orang kepala
memudahkan upaya mengatasinya. Untuk keluarga miskin non register atau yang belum
mengetahui faktor dominan yang menyebabkan mendapatkan program.
kemiskinan di Sulawesi Selatan, penelitian Instrumen pengumpulan data yang
ini dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan digunakan meliputi: angket/kuesioner,
dapat memberikan masukan bagi lembaga panduan wawancara, lembar pengamatan, dan
terkait, khususnya Kementerian Sosial RI dokumentasi. Instrumen angket digunakan untuk
sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun mengumpulkan data tentang kondisi kemiskinan
kebijakan yang berkait dengan upaya mengatasi responden. Untuk memperoleh informasi
masalah  kemiskinan. secara mendalam tentang kondisi responden
digunakan teknik wawancara mendalam (indepth
B. METODE PENELITIAN interview) dengan berpedoman pada panduan
Penelitian tentang faktor diterminan wawancara (interview guide).Adapun studi
penyebab kemiskinan di Provinsi Sulawesi dokumentasi dilaksanakan untuk memperoleh
Selatan menggunakan metode pendekatan data-data sekunder yang dapat dimanfaatkan
kuantitatif dan kualitatif. Komponen kuantitatif untuk memperkaya data penelitian, baik yang
dan kualitatif saling berproses secara simultan, dilaporkan oleh lembaga resmi maupun laporan
kedua pendekatan menuju pada pertanyaan- yang dibuat oleh pihak lain yang relevan.
pertanyaan yang sama, tetapi disampaikan Data dan informasi yang dijaring
dengan cara dan teknik yang berbeda sehingga secara kuantitatif diolah secara komputasi
menghasilkan data yang terpadu. Pendekatan dengan menggunakan program excel dan
kualitatif digunakan sebagai metode utama statistik SPSS versi 17.00 for Windows, serta

205
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214

pengujian konstruk kemiskinan menggunakan Tabel 1


confirmatory Faktor Analysis dengan bantuan Partisipasi Sekolah berdasar Kelompok Umur
program LISREL 8.4, hasilnya dideskripsikan. No Usia Persentasi
Sehubungan dengan hal tersebut, maka 1 7 – 12 98,11
2 13 - 15 89,53
data yang sudah dikumpulkan dikelompokan
3 16 - 18 62,11
menurut substansi permasalahannya. Langkah
Sumber : Diolah dari Sulsel Dalam Angka, BPS: 2014
berikutnya diinterpretasikan dan dianalisis
secara diskriptif kualitatif, yaitu menjelaskan Data di atas menunjukan bahwa partisipasi
data sesuai dengan makna yang terkandung penduduk Sulawesi Selatan dalam menamatkan
di dalamnya dan menganalisa hasil interpretasi pendidikan dasar sembilan tahun (SLTP) sangat
data berdasarkan argumentasi yang bersifat menggembirakan, yakni hampir 90 persen dari
faktual dan ilmiah. Hasil interpretasi tersebut anak usia sampai dengan 15 tahun berstatus
disajikan dalam bentuk narasi sekolah. Sementara untuk jenjang SLTA masih
memerlukan perhatian lebih, karena baru
C. HASIL DAN PEMBAHASAN mencapai 62,11 persen anak usia 16 – 18 tahun
yang berpartisipasi sekolah.
1. Deskripsi Lokasi dan Responden
Derajat kesehatan masyarakat tidak
Penelitian
lepas dari ketersediaan infrastruktur kesehatan.
Propinsi Sulawesi Selatan memiliki luas Fasilitas kesehatan tahun 2013 tersaji dalam
wilayah 46.083,94 km, secara administrasi tabel berikut.
terbagi menjadi 21 kabupaten dan 3 kota. Ke Tabel 2
21 kabupaten meliputi Kepulauan Selayar, Jumlah Fasilitas Kesehatan
Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, No Nama Jumlah
Gowa, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone, Sulsel Makassar Maros
Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Enrekang, 1 Rumah Sakit 77 35 5
2 Puskesmas 431 43 14
Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur,
3 Puskesmas 1.267 40 33
dan Toraja Utara. Sementara 3 kota meliputi Pembantu
Makassar, Palopo dan Pare-Pare. 4 Puskesmas 450 30 16
Jumlah penduduk Sulawesi Selatan tahun Keliling
5 P o s y a n d u 9.183 972 388
2013 mencapai 8.342.027 jiwa, terdiri dari Paripurna
4.071.434 laki-laki dan 4.270.613 perempuan.
Sumber : Diolah dari Sulsel Dalam Angka, BPS: 2014
Jumlah penduduk Kota Makassar sebanyak
1.408.072 jiwa. Penduduk Kabupaten Maros Ketersediaan fasilitas kesehatan di atas
sebanyak 331.846 jiwa. Usia harapan hidup dilengkapi dengan paramedis yang berjumlah
(UHH) Propinsi Sulawesi Selatan mencapai 15.792 orang terdiri dari dokter sebanyak
70,60 tahun, Kota Makassar sebagai lokus 2.867 orang, bidan berjumlah 3.771 orang, dan
kajian tingkat kota mencapai UHH 74,38 perawat 9.154 orang sehingga mampu menekan
tahun,dan Kabupaten Maros sebagai lokus kematian ibu hamil dan kematian bayi. Data
kabupaten, mencapai UHH 73,55 tahun. Data kelahiran tahun 2012 mencapai 140.107 bayi,
ini menunjukan keluargaan bahwa UHH di dua hanya 2,7 persen lahir dengan berat badan
lokasi penelitian lebih tinggi dibanding UHH rendah (BBLR) dan yang mengalami gizi buruk
tingkat propinsi. Kondisi ini tidak lepas dari tingkat hanya 0,35%. Program Keluarga Harapan
pendidikan dan derajat kesehatan masyarakat. (PKH) ikut berperan dalam penurunan angka
Tingkat partisipasi sekolah penduduk menurut kematian bayi dan ibu hamil, serta peningkatan
usia terlihat dalam tabel berikut. partisipasi  sekolah.
Data penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) Provinsi Sulawesi Selatan tahun

206
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)

2012, Kota Makassar dan Kabupaten Maros yakni keluarga fakir miskin yang mencapai
tahun 2013 tersaji dalam tabel berikut. 208.277 kepala keluarga. Demikian pula untuk
Tabel 3 Kota Makassar maupun Kabupaten Maros,
PMKS di Sulawesi Selatan (2012), keluarga fakir miskin menempati urutan pertama
Makassar dan Maros (2013) masalah sosial di wilayah tersebut. Kemiskinan
Jumlah merupakan akar berbagai masalah sosial seperti
No Jenis
Sulsel Makassar Maros
keterlantaran anak dan lansia, rumah yang
1 Anak Balita 37.943 1.887 59
Terlantar tidak layak huni, bermasalah sosial psikologis,
2 Anak Terlantar 111.454 6.064 2.508 terpaksa menjadi gepeng dan pemulung,
3 Anak Nakal 3.947 25 135 serta rentan tindak kekerasan. Pekerja migran
4 Anak Jalanan 2.161 1.769 - terlantar mencapai 832.910 orang, jumlah
5 Orang Dengan 82.170 1.431 1.172 yang relatif banyak. Hal ini dikarenakan selain
Kecacatan
6 Lanjut Usia 87.177 3.998 2.396 Sulsel sebagai daerah asal pekerja migran juga
Terlantar sebagai daerah antara/transit. Kebanyakan
7 Tuna Susila 475 346 - migran terlantar berasal dari Kabupaten Bone,
8 Gelandangan 684 340 - Sinjai, Bulukumba, dan Selayar yang merupakan
& Pengemis
9 Pekerja Migran 832.910 97 206 kantong-kantong pekerja migran. Sedangkan
Terlantar pekerja migran yang berasal dari luar propinsi,
10 Keluarga Fakir 208.277 45.236 20.188 umumnya dari NTT, NTB, Jawa Timur, dan
Miskin kepala
Jawa Barat. Pemerintah Sulsel menyediakan
keluarga
11 Keluarga 1.610 - 22.771 Rumah perlindungan Trauma Centre (RPTC)
Rentan/ kepala untuk menampung sementara pekerja migran
Daerah keluarga sebelum diambil oleh petugas dinas sosial dari
Bencana
12 Kel Bermslh 2.064 143 259 daerah asal mereka.
Sos Psikologis kepala Sementara data tentang potensi sumber
keluarga kesejahteraan sosial Propinsi Sulawesi Selatan
13 Korban Napza 112.944 82 -
terdiri dari.
14 Korban 1.350 255 858
Bencana Alam Tabel 4
15 Korban 447 210 - PSKS di Sulawesi Selatan,
Bencana Makassar, dan Maros 2013
Sosial Jumlah
16 Rumah Tidak 203.530 3.197 6.374 No Jenis
Sulsel Makassar Maros
Layak Huni 1 Pekerja Sosial 43 37 -
17 Komunitas 5.330 43 451 Profesional
Adat Terpencil 2 Pekerja Sosial 1.765 126 170
18 ODHA 39 28 - Masyarakat
19 Wanita Rawan 30.693 1.487 1.011 3 Karang Taruna 2.043 143 98
Sos Ek 4 TAGANA 1.987 248 35
20 Korban Tindak 929 85 - 5 WKSBM 211 143 20
Kekerasan
6 LKS/Orsos 501 168 35
21 Eks Kusta/ - 2.025 43
Penyakit 7 LK3 26 1 1
Kronis 8 Keluarga Pionir 1 - -
22 Eks Binaan LP - 25 366 9 DU - UKS 59 - -
23 Pemulung - 997 - 10 Tenaga 25 - 41
Pelopor/Kader
Sumber: Pusdatin, Kemensos, 2014 dan Dinso Kota Wanita
Makassar dan Dinsonakertrans Kabupaten Maros, 11 TKSK 306 14 14
2015
Sumber : Dinas Sosial Propinsi Sulsel, 2015
Masalah sosial terbanyak di propinsi
Personil representasi Kementerian Sosial
Sulawesi Selatan sama dengan propinsi lain,
yang dikenal sebagai TKSK, TKSM, TAGANA,

207
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214

PSM maupun kelembagaan seperti Karang gabungan antara data di Kota Makassar dan
Taruna, WKSBM, LK3, LKS jumlahnya sudah Kabupaten Maros terlihat dalam tabel berikut.
sangat menggembirakan. Berbagai personil Tabel5
tersebut selain mendapat tali asih dan atau Pendidikan Terakhir Kepala Keluarga
honor dari Kementerian Sosial juga mendapat di Makassar dan Maros
insentif dari APBD I dan APBD II. Demikian pula
Makasar Maros
keberadaan berbagai lembaga yang bergerak Tingkat
No
dalam pelayanan kesejahteraan sosial selain Pendidikan
F % F %
mendapat bantuan APBN melalui Kementerian 1 Tidak Sekolah 65 10.83 117 19.50
Sosial juga banyak yang telah mendapatkan 2 Belum/Tidak 126 93 15.50
bantuan operasional dan pembinaan dari Tamat SD/
Sederajat 21.00
pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota.
3 SD/MI/Sederajat 211 35.17 271 45.10
Responden yang berjumlah 1.200 kepala 4 SMP/MTs/ 95 57 9.50
keluarga menurut jenis kelamin terdiri dari 959 Sederajat 15.83
orang (80%) laki-laki sebagai kepala keluarga dan 5 SMA/SMK/MA/ 102 57 9.50
241 orang (20%) perempuan. Kepala keluarga Sederajat 17.00
6 Diploma I/II 0 0.00 1 0.17
laki-laki di Kota Makassar berjumlah 485 orang
7 Diplomat III/ 0 2 0.33
dan perempuan 115 orang, sedangkan kepala Sarjana Muda 0.00
keluarga laki-laki di Kabupaten Maros sebanyak 8 Diploma IV/S1 1 0.17 2 0.33
474 orang dan perempuan 126 orang. Data 9 S2/S3 0 0.00 0 0.00
tersebut menunjukan bahwa mayoritas keluarga, Jumlah 600 100.00 600 100.00
baik di Makassar maupun Maros dikepalai oleh Sumber : Data primer, 2015

laki-laki/ayah. Sementara perempuan yang Mayoritas kepala keluarga baik di


menjadi kepala keluarga karena berstatus janda Kota Makassar maupun Kabupaten Maros
atau belum menikah dan masih tinggal dengan hanya berpendidikan dasar, sehingga layak
orangtua yang berstatus sebagai anggota apabila masuk dalam kategori miskin.
keluarga. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada
Tingkat pendidikan yang ditamatkan aksesibilitas seseorang terhadap lapangan
responden mayoritas tamatan SD/MI/Sederajat pekerjaan. Orang dengan tingkat pendidikan
berjumlah 487 orang (40,58%). Kondisi ini tentu rendah mustahil mendapatkan pekerjaan
berkait dengan jenis pekerjaan yang dapat dengan upah tinggi, kecuali mempunyai bakat
diakses dan besarnya penghasilan keluarga. usaha sebagai  wiraswasta.
Data tentang pendidikan terakhir kepala keluarga

Tabel 6
Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga di Makassar dan Maros

Makassar Maros
No Jenis Pekerjaan
Utama Sampingan Utama Sampingan
F % F % F % F %
1 Usaha Sendiri 74 12.33 8 1.33 108 18.00 24 4.00
2 Usaha dengan buruh
tetap/tidak tetap 65 10.83 5 0.83 28 4.67 14 2.33
3 Buruh/Karyawan/
Pegawai Tetap 78 13.00 10 1.67 105 17.50 8 1.33
4 Buruh pertanian
tidak tetap 12 2.00 3 0.50 103 17.17 17 2.83
5 Buruh tidak tetap
non pertanian 181 30.17 11 1.83 47 7.83 20 3.33

208
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)

6 Pensiun 0 0.00 0 0.00 1 0.17 0 0.00


7 Tidak Bekerja 160 26.67 535 89.17 160 26.67 468 78.00
8 Lainnya 30 5.00 28 4.67 30 8.00 48 8.00
Jumlah 600 100.00 600 95.50 600 100.00 599 100.00
Sumber : Data primer, 2015

Penghasilan keluarga di Makassar


Jumlah kepala keluarga sasaran penelitian berimbang dalam kategori 2, 3 dan 4 yakni
di Makassar maupun Maros yang berstatus tidak antara Rp. 601.000,- sampai dengan Rp.
bekerja dalam minggu terakhir dapat dikatakan 2.400.000,- dengan jumlah keluarga 166 –
seimbang. Di Makassar 160 orang (26,67%) 167 pada masing-masing kategori. Sementara
kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan penghasilan keluarga di Maros mayoritas berada
utama dan 535 orang (89,17%) tidak memiliki pada kategori 2 dan 3, yakni antara Rp. 601.000,-
pekerjaan sampingan. Sementara di Maros 160 sampai dengan Rp. 1.800.000,-. Perbedaan
orang (26,67%) juga tidak memiliki pekerjaan kisaran mayoritas penghasilan keluarga ini
utama dan 468 orang (78%) tidak memiliki terpengaruh oleh jenis pekerjaan. Kabupaten
pekerjaan sampingan. Jenis pekerjaan kepala Maros lebih unggul dalam penghasilan minimal
keluarga berkait erat dengan tingkat pendidikan maupun maksimal keluarga dibanding Kota
yang ditamatkan, dimana mayoritas tamatan Makassar, kondisi ini dikarenakan responden
SD dann hanya sedikit yang sampai jenjang dari salah satu kecamatan (Marusu) baru saja
tamat SMA/MA.Jumlah anggota keluarga yang menerima uang kompensasi pembebasan tanah
menjadi tanggungan sebanyak lebih dari empat bagi perluasan bandar udara Sultan Hasanuddin.
jiwa mencapai 41,25 persen, antara tiga sampai Menurut indikator kemiskinan Sulsel, keluarga
empat jiwa sebanyak 44,33 persen, dan kurang yang berpenghasilan < Rp. 500.000,- masuk
dari tiga sebanyak 14.42 persen. Hal ini dapat kategori sangat miskin, antara Rp. 500.000,- -
dimaknai bahwa rata-rata tanggungan kepala Rp. 1.500.000,- termasuk miskin, dan antara
keluarga pada kisaran tiga jiwa keatas. Rp. 1.600.000,- - Rp. 1.800.000,- rentan miskin.
Penghasilan keluarga per bulan di Kota Berdasar rata-rata penghasilan, keluarga
Makassar dan Kabupaten Maros terlihat pada sasaran penelitian di Makassar masuk kategori
tabel berikut. rentan miskin, sedangkan keluarga sasaran
penelitian di Maros termasuk kategori miskin.
Tabel 7
Penghasilan Keluarga (Bulan)
di Makassar dan Maros
Makassar Maros
Kategori
F % F %
≤ Rp 600.000,00 48 8.00 90 15.00
Rp 601.000,00 - Rp 1.200.000,00 166 27.67 203 33.83
Rp 1.201.000,00 - Rp 1.800.000,00 167 27.83 168 28.00
Rp 1.801.000,00 - Rp 2.400.000,00 166 27.67 82 13.67
Rp 2.401.000,00 - Rp 3.000.000,00 42 7.00 33 5.50
> Rp 3.000.000,00 11 1.83 24 4.00
Jumlah 600 100.00 600 100.00
Minimal 120000 200000
Maksimal 3600000 5600000
Rata-rata 1604873 1424043
Sunber : Data primer, 2015

209
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214

2. Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan Sedangkan dimensi politik memiliki muatan


faktor standar sebesar 0,48. Dengan demikian
Hasil analisis konstruk kemiskinan Propinsi
dapat disimpulkan, bahwa sebagian besar
Sulawesi Selatan (Kota Makasar dan Kabupaten
dimensi memiliki kontribusi yang tinggi dalam
Maros) melalui estimasi koefisien bobot faktor
membentuk kemiskinan karena memiliki muatan
(standardized loading factor) diketahui bahwa
faktor standar (≥ 0,50). Ini berarti, dimensi
dari lima dimensi yang membentuk kemiskinan,
budaya, psikis, sosial, dan ekonomi memiliki
yaitu dimensi ekonomi, sosial, psikis, budaya
kontribusi dalam membentuk kemiskinan di
dan politik, empat dimensi diantaranya memiliki
Provinsi Sulawesi Selatan, terutama di Kota
bobot faktor lebih besar dari 0.50. Dimensi
Makasar dan Kabupaten Maros.
tersebut adalah dimensi budaya pada posisi
tertinggi dengan loading factor 0.72, dimensi Gambar 2 : BasicT-Values
sosial pada posisi kedua dengan nilai loading
factor 0.71, dimensi sosial menduduki posisi
ketiga terbesar dengan bobot faktor 0.64 serta
dimensi ekonomi dengan bobot faktor 0.53.
Adapun dimensi politik diketahui memiliki nilai
loading factor sebesar 0.48 atau kurang dari
0.50. Hal tersebut berarti bahwa dimensi politik
kecil pengaruhnya terhadap kemiskinan.

Gambar 1 : Basic Model Standardized Solution

Untuk menguji intensitas pengaruh/


signifikan variabel observer terhadap variabel
latent ditampilkan dalam bentuk Basic T-Value
Model. Hasil analisis Basic T-Value Model dapat
dilihat dalam gambar 2 di atas. Dari gambar
tersebut dapat dimaknai bahwa semua manifest
memiliki t hitung> 1,96 sehingga dinyatakan
signifikan atau tidak sama dengan nol. Pada
path diagram di atas, diketahui nilai t statistik
Dari hasil pengukuran konstruk kelima dimensi yang membentuk kemiskinan
kemiskinan, terbukti bahwa empat variabel di Provinsi Sulawesi Selatan terutama Kota
teramati (observer) yaitu budaya, psikis, sosial, Makasar dan Kabupaten Maros. Nilai t statistik
dan ekonomi memiliki konstribusi yang relatif untuk dimensi politik mencapai 15,35, dimensi
sama besar dalam membentuk kemiskinan di ekonomi 17,20, dimensi sosial 21,54, dimensi
Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Hal ini psikis 24,18 dan dimensi budaya mencapai
bila dilihat dari besarnya nilai muatan faktor 24,83. Berdasarkan hasil tersebut, kelima
standar untuk ke empat variabel tersebut, yaitu dimensi memiliki konstribusi yang signifikan
≥ 0,50. Menurut Igbaria et al (dalam Istiana, dalam membentuk kemiskinan di Sulawesi
2015) bahwa suatu variabel dikatakan memiliki Selatan (Kota Makasar dan Kabupaten Maros).
validitas yang baik terhadap konstruk apabila Hasil penelitian ini menguatkan argumen bahwa
muatan standartnya (standardized factor kemiskinan di Indonesia adalah multi dimensi,
loading) ≤ 0,50. Empat dimensi dalam penelitian artinya kemiskinan yang terjadi dipengaruhi
ini memiliki validitas yang baik, karena muatan oleh banyak dimensi/variabel, bukan semata-
faktor standar dari dimensi budaya sebesar mata dipengaruhi dimensi tunggal yaitu dimensi
0,72, dimensi psikis 0,71, dimensi sosial ekonomi saja. Dengan demikian faktor diterminan
0,64, dan dimensi ekonomi sebesar 0,53.

210
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)

penyebab kemiskinan di Provinsi Sulawesi masih berlaku baik dalam kehidupan sehari-hari
Selatan adalah dimensi budaya karena dimensi maupun event-event tertentu seperti hajatan.
ini menduduki urutan pertama, kemudian disusul Satu nilai positif dengan masih terjaganya
urutan kedua dimensi psikis, ketiga dimensi extended family dan resiprokal yakni mampu
sosial, keempat dimensi ekonomi, dan urutan membetengi masyarakat miskin untuk tidak
kelima dimensi politik. terjerat rentenir.
Hasil analisis tersebut, didukung oleh data Terkait dengan aspek budaya yang
kuantatif deskriptif yang menunjukan bahwa menempati posisi tertinggi sebagai faktor yang
responden penelitian yakni keluarga miskin di mempengaruhi kemiskinan, kiranya tidak lepas
Propinsi Sulawesi Selatan (Kota Makasar dan dari budaya siri’ na pacce. Kata siri dalam
kabupaten Maros) tidak memiliki kebiasaan bahasa Bugis dan Makassar berarti “malu”,
bekerja dan atau mengerjakan pekerjaan sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti
rumah tangga selama lebih dari 40 jam/ “tidak tega”/“kasihan”/“iba”. Pacce merupakan
minggu. Keluarga miskin memiliki kebiasaan kecerdasan emosional untuk turut merasakan
membelanjakan uangnya untuk kebutuhan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam
non primer seperti handphone, sepeda motor, komunitas (solidaritas dan empati).Struktur Siri’
dan barang elektronik lainnya sehingga tidak dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai
memiliki tabungan. Berbagai barang tersebut empat kategori, yaitu:
mereka anggap sebagai kebutuhan pokok 1. Siri’ Ripakasiri’, yang berhubungan dengan
dan dapat meningkatkan status di lingkungan harga diri pribadi, serta harga diri atau
pergaulan maupun tempat tinggal. Kebiasaan harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini
belanja kebutuhan non primer ini sesuai dengan adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk
ditemukannya pengeluaran non konsumsi dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
yang lebih tinggi di banding konsumsi pada 2. Siri’ Mappakasiri’siri’, Siri’ jenis ini
masyarakat miskin. berhubungan dengan etos kerja. Dalam
Keluarga miskin tidak atau kurang falsafah Bugis disebutkan, “Narekepala
memiliki aspirasi masa depan khususnya keluargao degaga siri’mu, inrengko siri’.”
dalam menyiapkan sumber daya manusia Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka
generasi berikutnya. Alasan ketiadaan biaya pinjamlah kepada orang yang masih memiliki
untuk transportasi dan pembelian peralatan rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya,
sekolah menyebabkan anak-anak dari keluarga “Narekepala keluargao engka siri’mu, aja’
miskin rata-rata hanya menamatkan pendidikan mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda
dasar (SD/SMP) yang keberadaan fasilitas punya malu maka jangan membuat malu
pendidikannya tidak jauh dari tempat tinggal (malu-maluin). Implementasi dari siri’ ini,
dan relatif tidak membutuhkan tambahan biaya ketika sanak keluarga atau kerabat tertimpa
karena sudah ada BOS. Masyarakat Sulawesi kesusahan atau musibah maka keluarga
Selatan masih memiliki sistem kekerabatan yang lain ikut membantu. Apabila seseorang
yang tinggi baik karena ikatan darah maupun akan terjerumus ke dalam nista karena
kedekatan tempat tinggal. Extended family khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk
bukan nuclear family masih banyak ditemui memperingatkan dan meluruskannya.
pada masyarakat kelas menengah ke bawah 3. Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’),
di propinsi ini, sehingga jamak terjadi dalam yakni rasa malu seseorang hilang “terusik”
satu rumah dihuni oleh beberapa keluarga karena sesuatu hal. Misalnya, ketika
yang berasal dari empat generasi, mulai dari seseorang memiliki utang dan telah berjanji
kakek-nenek, bapak-ibu, anak-menantu, dan untuk membayarnya maka si pihak yang
cucu/cicit. Kondisi ini menyebabkan keluarga berutang berusaha sekuat tenaga untuk
miskin memiliki ketergantungan tinggi pada menepati janjinya atau membayar utangnya
saudara atau kerabat, dan sistem resiprokal sebagaimana waktu yang telah ditentukan

211
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214

(disepakati). Ketika sampai waktu yang Kasus yang banyak terjadi di Kacamatan
telah ditentukan, jika si berutang ternyata Marusu, Maros merupakan contoh aspek psikis
tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah penyeban kemiskinan. Banyak keluarga miskin di
mempermalukan dirinya sendiri. kecamatan ini mendadak kaya karena mendapat
4. Siri’ Mate Siri’. Siri’ yang berhubungan uang kompensasi lahan perluasan bandar udara.
dengan iman. Dalam pandangan orang Masih bertahannya budaya urutan penempatan
Bugis/Makassar, orang yang matesiri’-nya duduk berdasar status sosial seseorang pada
adalah orang yang di dalam dirinya sudah berbagai pertemuan telah menginspirasi
tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang keluarga yang mendadak kaya tersebut untuk
seperti ini biasa disebut sebagai bangkai meningkatkan status sosialnya. Sebutan “haji”
hidup yakni orang yang hidup tapi sudah tidak atau “hajah” menempati status sosial kedua
punya  rasa. setelah pejabat, oleh karena itu banyak keluarga
Kemudian, guna melengkapi keempat yang menggunakan uang kompensasi untuk
struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse berangkat haji seluruh anggota keluarganya
menduduki satu tempat, sehingga membentuk tanpa memikirkan pengganti penghasilan
suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan dari lahan yang telah berpindah kepemilikan.
sebutan Siri’ Na Pacce. Jadi, pacce’ adalah Akibatnya, sepulang dari haji memang keluarga
perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit tersebut naik statusnya tetapi kehidupannya
dari dalam kalbu yang dpaat merangsang tidak lebih baik dari sebelumnya bahkan
kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos sangat mungkin semakin terpuruk karena telah
(sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai kehilangan lahan yang selama ini produktif dan
pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar menunjang kehidupannya.
dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam Urutan ketiga faktor penyebab kemiskinan
dirinya. Siri’ dan pacce’ inilah yang mengarahkan berupa aspek sosial, yakni menyangkut
tingkah laku masyarakat Sulawesi Selatan paranserta/partisipasi dan aksesibilitas. Sistem
dalam pergaulan sehari-hari sebagai “ motor “ kekerabatan yang masih kental pada lingkungan
penggerak dalam memanifestasikan pola-pola keluarga miskin dengan asas resiprokalnya yang
kebudayaan dan sistem sosialnya (disarikan tercermin dalam budaya saling tolong menolong
dari https://imbasadi.wordpress.com/agenda/ melonggarkan sistem kepemilikan dalam
data-karya-ilmiah-bebas/ unhas/makna-siri- masyarakat Sulawesi Selatan. Masalah yang
na-pacce-dimasyarakat-bugis-makassar- dihadapi keluarga khususnya terkait dengan
friskawini/, diakses 25 Desember 2015). kebutuhan dasar seperti papan, sandang, dan
Aspek psikis menempati urutan kedua pangan dipandang sebagai masalah keluarga
sebagai faktor penyebab kemiskinan di Sulawesi besar dan ditanggung bersama-sama. Falsafah
Selatan. Kuatnya ikatan keluarga yang tercermin “semakin banyak kasih makan orang semakin
masih banyak keluarga miskin yang menganut banyak rejeki diterima” tertanam kuat pada
extended family dan masih terpeliharanya kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan,
asas resiprokal sedikit banyak mempengaruhi sehingga jamak ditemukan satu keluarga
kenyamanan hidup responden. Kondisi ini mengundang makan keluarga lain, atau
dapat diibaratkan sebagai dua sisi keping mata mengantarkan makanan pada keluarga lain.
uang. Di satu sisi merupakan kebaikan, yakni Demikian pula jika ada kerabat yang sedang
mampu berperan sebagai penangkal dan solusi hajatan, sanak keluarga dan tetangga pasti
berbagai masalah yang menimpa keluarga memberikan bantuan moril maupun materiil.
miskin, di sisi lain melemahkan semangat untuk Sebagaimana telah diuraikan di atas pada aspek
mandiri dan memperjuangkan hidup lebih layak. psikis, kondisi ini selain menguntungkan karena
Kebutuhan psikis untuk dipandang terhormat masih kuatnya rasa saling tolong menolong
kadang mengabaikan kondisi riil keluarga tetapi juga sebagai beban psikis dan sosial
miskin, mereka rela membeli baju mahal untuk yakni harus mampu membalas kebaikan dan
menunjang penampilan saat hajatan keluarga. pertolongan.

212
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)

Aksesibilitas keluarga miskin terhadap penerima berbagai program perlindungan sosial


berbagai fasilitas sosial dasar seperti pendidikan, masih ditentukan oleh pemerintah berdasar
kesehatan, dana fasilitas umum relatif baik. kuota yang ada.
Mereka telah banyak mendapatkan layanan, Senada dengan hal tersebut, data yang
seperti Raskin/Rastra, Jamkesmas/Jamkesda, diperoleh melalui in depth interview juga
dan BLSM. Permasalahan utama aksesibilitas menunjukan bahwa budaya khususnya harga
terhadap berbagai layanan perlindungan sosial diri/rasa malu telah menjadi beban psikis dalam
terkait dengan ketersediaan dana pendampingan hubungan sosial masyarakat miskin dan sedikit
program. Raskin/Rastra membutuhkan tebusan banyak berpengaruh terhadap perekonomian
Rp. 1.600,-/kg (Rp. 24.000,-/rumah tangga) mereka. Sebagaimana dikatakan oleh salah
acapkali memberatkan keluarga miskin. Beberapa seorang responden: “Harga diri yang dinilai dari
kabupaten/kota telah mengganggarkan tebusan materi terlihat dalam pemberian mahar. Semakin
tersebut melalui APBD sehingga keluarga miskin tinggi status perempuan, misal sarjana dan sudah
menerima Raskin/Rastra secara cuma-cuma. haji pasti keluarganya akan minta mahar yang
Perlindungan kesehatan gratis yang diberikan tinggi yang kadang tidak mungkin terjangkau oleh
melalui Jamkesmas/Jamkesda hanya untuk keluarga pihak laki-laki. Kebutuhan mahar dan
biaya pasien, sementara untuk mengakses pesta tersebut biasanya dirunding dan disokong
layanan kesehatan mereka membutuhkan biaya seluruh anggota keluarga. Meskipun tidak dibuat
dampingan seperti transportasi dan akomodasi perjanjian utang piutang, tetapi sudah menjadi
bagi diri dan atau pengantarnya. Demikian pula kewajiban untuk gantian saling membantu jika
dalam pencairan BLSM, mereka membutuhkan keluarga lain mengalami masalah”. Kebiasaan
biaya transportasi. saling tolong menolong merupakan modal sosial
Aspek ekonomi yang selama ini dianggap yang mampu menyelesaikan permasalahan,
sebagai aspek utama penyebab kemiskinan tetapi keberadaannya juga berdampak pada
kiranya hanya menempati urutan keempat untuk kebiasaan untuk menampilkan kemampuan
Propinsi Sulawesi Selatan. Keberadaan aspek semu bukan kemampuan nyata yang dimiliki
ekonomi yang tidak menempati urutan pertama oleh keluarga miskin.
di lokasi ini kiranya terkait dengan masih kuatnya
sistem kekerabatan dengan asas resiprokal D. SIMPULAN
pada keluarga miskin sasaran penelitian ini. Dari hasil pengukuran konstruk kemiskinan
Hampir tidak ditemukan keluarga yang tidak diketahui bahwa dari lima dimensi yang
mampu memenuhi kebutuhan makan minimal membentuk kemiskinan, yaitu dimensi ekonomi,
2 kali/sehari dan membeli satu stel pakaian/ sosial, psikis, budaya dan politik, empat dimensi
orang/tahun. Satu-satunya aspek ekonomi yang diantaranya (ekonomi, sosial, psikis, budaya)
menonjol berupa kepemilikan tempat tinggal. memiliki pengaruh besar terhadap kemiskinan.
Karena banyak keluarga yang masih menganut Namun, dari empat dimensi tersebut yang
extended family dan beberapa keluarga tinggal paling besar pengaruhnya adalah dimensi
dalam satu rumah sehingga aspek rumah tinggal budaya artinya, budaya merupakan faktor
berupa luas lantai 8m/orang tidak terpenuhi. utama penyebab kemiskinan. Dengan demikian
Aspek politik, diantaranya keterlibatan dapat dikatakan, bahwa dimensi budaya
dalam perencanaan dan pelaksanaan
memiliki konstribusi yang positif dan signifikan
pembangunan, serta pemanfaatan sumber dan
dalam membentuk kemiskinan di Sulawesi
potensi kiranya telah disadari dan dilaksanakan
Selatan, utamanya menyangkut kebiasaan
oleh keluarga miskin. Iklim keterbukaan dan
resiprokal atau saling membantu. Sebetulnya
pelibatan masyarakat dalam pembangunan
resiprokal merupakan modal sosial apabila
telah berlangsung di propinsi ini. Satu hal yang
tidak memberatkan dan tidak dianggap sebagai
belum dilakukan adalah pelibatan keluarga
utang budi. Di saat dibutuhkan semisal hajatan,
miskin dalam penentuan sasaran penerima
resiprokal sangat membantu karena kegiatan
bantuan perlindungan sosial. Selama ini sasaran

213
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214

dapat terlaksana dengan bantuan sanak Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah
saudara. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan meningkatkan keterampilan teknis maupun
pada saat harus gantian membalas tidak manajerial mereka, sehingga akan terjadi
punya sarana untuk melakukan, sehingga kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan
terpaksa berhutang. Budaya ini sangat terkait kecakapan keterampilan yang memadai. Dengan
dengan kondisi psikis. Oleh karena itu, tidak demikian, terciptalah kemandirian masyarakat
heran jika faktor kedua penyebab kemiskinan untuk dapat mencari solusi atas permasalahan
adalah psikis. Merasa utang budi dan gengsi yang dihadapi.
merupakan manifestasi dari kondisi psikis yang Ucapan Terima Kasih
dialami keluarga miskin.
Dengan diketahuinya faktor determinan Diucapkan terima kasih dan penghargaan
penyebab kemiskinan, hendaknya intervensi yang setingginya kepada sumber data penelitian,
dibutuhkan dalam penanggulangan kemiskinan redaksi, dan mitra bestari atas terselesaikannya
lebih dititik beratkan pada penyadaran dan terbitnya artikel ini.
masyarakat tentang berbagai kebiasaan yang
sudah menjadi budaya dan memberatkan
DAFTAR PUSTAKA
masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Penyuluhan dan bimbingan sosial tentang hidup
Ambar Teguh Sulistiyani, 2004. Kemitraan
hemat, tidak mengada-ada, dan menolong dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta :
semampunya perlu lebih sering dilakukan Gava Media.
dengan tidak meninggalkan berbagai program Andre Bayo Ala, 1981. Kemiskinan dan
penanggulangan kemiskinan yang selama ini Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta:
sudah berjalan. Di samping itu, untuk mengubah Liberty.
kondisi tersebut perlu dilakukan dengan Arif Satria, 2016. Pesisir dan Laut Untuk
mendorong dan membangkitkan kesadaran Rakyat. Bogor : IPB
masyarakat akan potensi yang dimiliki serta Bagong Suyanto, 1996. Perangkap
berupaya untuk mengembangkannya. Dalam Kemiskinan Problem dan Strategi
mengembangkan potensi tersebut, diperlukan Pengentasannya Dalam Pembangunan Desa.
Yogyakarta : Aditya Media.
upaya untuk membantu meningkatkan
Emil Salim, 1980. Perencanaan
kemampuan yang dimiliki masyarakat, agar
Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan.
masyarakat mempunyai kemampuan atau
Jakarta : Yayasan Idayu
keberdayaan untuk menentukan masa
Gunawan Sumodiningrat, 1999.
depan  kehidupannya. Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. Jakarta:
Menumbuhkan keberdayaan pada Impac.
masyarakat dapat memberikan konstribusi Istiana, dkepala keluarga, 2015. Konsep
terciptanya kemandirian masyarakat, karena dan Indikator Kemiskinan. Yogyakarta : B2P3KS
masyarakat akan memperoleh pemahaman dan Press.
mampu mengontrol daya sosial, ekonomi, dan Muhadjir M Darwin, 2005. Memanusiakan
politik agar dapat meningkatkan kesejahteraan Rakyat. Penanggulangan Kemiskinan Sebagai
sosialnya. Untuk mencapai kemandirian Arus Utama Pembangunan. Yogyakarta :
tersebut diperlukan sebuah proses, dengan Benang Merah.
kata lain masyarakat harus menjalani proses Sutomo, 2008. Masalah Sosial dan Upaya
Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
belajar. Melalui proses belajar, masyarakat
Wignyo Adiyoso, 2009. Menggugat
secara bertahap memperoleh kemampuan
Perencanaan Partisipatif Dalam Pemberdayaan
yang memadai untuk mengantarkan
Masyarakat. Surabaya : Putra Media
pada kemandirian. Kemandirian tersebut
Nusantara.
meliputi: kemandirian berpikir, bertindak, dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan.

214

You might also like