Professional Documents
Culture Documents
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan Di Sulawesi Selatan: The Determinant Factors of Poverty Causes in South Sulawesi
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan Di Sulawesi Selatan: The Determinant Factors of Poverty Causes in South Sulawesi
8
FAKTOR DETERMINAN PENYEBAB KEMISKINAN
DI SULAWESI SELATAN
Abstract
The research aimed to reveal the dominant factors that cause poverty. The research used quantitative and
qualitative techniques. The determination of research location used purposive technique, chosenfrom one of 34
provinces used as research location of Concept and Indicator of Poverty. The research population was the entire poor
families, registered and unregistered. The samples were determined randomly, totaling 1,200 people from two regions
(Makassar City and Maros Regency). Each area of 600 people with 540 details comes from poor registered family
heads and 60 non-registered poor families. Data collected through questionnaires, interview guides, observation
guide, documentary analysis, and otherrelevant parties. Quantitative data and information were computed using
Excel and SPSS version 17.00 for Windows,poverty construct test using confirmatory analysis factor with the help
of Lisrel 8.4 program, the result was described. The research found that the cultural dimension has positive and
significant contribution in forming poverty in South Sulawesi, especially in the City of Makassar and Maros Regency.
The founding was relevant to the condition of Indonesian society in general, which still prioritizes socio-cultural
values in everyday life. These values, such as the strength of the spirit of mutual cooperation, kinship relationships,
the habit of conducting deliberations in deciding the problem, were still firmly rooted in the life of society. Knowing
the determinants of the causes of poverty in South Sulawesi (Makassar City and Maros Regency), the intervention
needed in poverty alleviation should be more emphasized on the awareness of the society about the habits that have
become cultural and burdensome society, especially the poor. It needed also an elucidation and social counseling
not living frugally, not making it up, and helping them as what might be able to be done by notleaving current poverty
alleviation programs. In addition, it is also strived to foster community empowerment for the creation of community
independence, as the community will gain understanding and be able to control the social, economic, and political
power in order to improve their social welfare.
Abstrak
Penelitian tentang Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengetahui
faktor dominan yang menyebabkan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan teknik pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Lokasi penelitian menggunakan teknik purposive, yaitu memilih salah satu provinsi dari 34 provinsi yang
digunakan sebagai lokasi penelitian, Konsep dan Indikator Kemiskinan. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh
keluarga fakir miskin yang teregister dan yang tidak teregister. Sampel akan ditentukan secara random berjumlah
1.200 orang berasal dari dua wilayah (Kota Makassar dan Kabupaten Maros),tiap wilayah 600 orang dengan rincian
199
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214
540 orang berasal dari kepala keluarga miskin teregister dan 60 orang kepala keluarga miskin non-register atau
yang belum mendapat program. Teknik pengumpulan data digunakan kuesioner, panduan wawancara, panduan
pengamatan, dan telaah dokumen yang relevan. Data dan informasi yang dijaring secara kuantitatif diolah secara
komputasi dengan menggunakan program excel dan statistik SPSS versi 17.00 for Windows, serta pengujian
konstruk kemiskinan menggunakan confirmatory faktor analysis dengan bantuan program LISREL 8.4, hasilnya
dideskripsikan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dimensi budaya memiliki konstribusi yang positif dan signifikan
dalam membentuk kemiskinan di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Hasil
tersebut relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang masih mengedepankan nilai sosial
budaya dalam kehidupansehari-hari. Nilai tersebut, seperti kuatnya semangat gotong royong, hubungan kekerabatan,
kebiasaan melakukan musyawarah dalam memutuskan permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan
diketahuinya faktor determinan penyebab kemiskinan di Sulawesi Selatan, intervensi yang dibutuhkan dalam
penanggulangan kemiskinan lebih dititikberatkan pada penyadaran masyarakat tentang berbagai kebiasaan yang
sudah menjadi budaya dan memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Penyuluhan dan bimbingan
sosial tentang hidup hemat, tidak mengada-ada, dan menolong semampunya perlu lebih sering dilakukan dengan
tidak meninggalkan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sudah berjalan. Perlu diupayakan pula
penumbuhan keberdayaan masyarakat untuk terciptanya kemandirian masyarakat, karena masyarakat akan
memperoleh pemahaman dan mampu mengontrol daya sosial, ekonomi, dan politik agar dapat meningkatkan
kesejahteraan sosialnya.
200
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)
Kemiskinan dapat pula didefinisikan standard of living of part of society the poor in
sebagai suatu kondisi ketidakberuntungan, equality refers to relative living standards across
sebagaimana pendapat Sutomo (2008), yakni the whole society” (Gunawan Sumodiningrat,
kondisi yang disebabkan karena beberapa 1999). Dengan kata lain, kemiskinan dapat
kekurangan dan kecacatan individual, baik diukur dengan membandingkan tingkat
dalam bentuk kelemahan biologis, psikologis pendapatan orang atau rumah tangga dengan
maupun kultural yang menghalangi seseorang tingkat pendapatan yang diperlukan untuk
memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. memenuhi kebutuhan minimum. Dari sisi ini,
Lebih lanjut Sutomo (2008)) menyitir pendapat kemiskinan bisa dibedakan menjadi dua yakni
Chamber yang menyatakan bahwa, pada kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
dasarnya kemiskinan disebabkan oleh lima Menurut Muhadjir Darwin (2005), kemiskinan
ketidak-beruntungan (disadvantages), yakni: absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep
1) Keterbatasan kepemilikan asset (poor); 2) kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan
Kondisi fisik yang lemah (psysically weak); materi dikaitkan dengan standar kelayakan
3) Keterisolasian (isolation); 4) Kerentanan hidup seseorang/keluarga. Kemiskinan absolut
(vulnerable); dan 5) Ketidakberdayaan adalah derajat kepemilikan materi atau standar
(powerless). Kelima aspek tersebut kelayakan hidup seseorang atau keluarga yang
menyebabkan kondisi seseorang, kelompok berada di garis atau di bawah garis subsistem.
atau masyarakat menjadi miskin. Dilihat dari Lebih lanjut Muhadjir Darwin juga mengutip
sisi poverty profile masyarakat, menurut pendapat Sayogyo yang menyebutkan bahwa,
Tjokrowinoto seperti dikutip Ambar Teguh kemiskinan absolut adalah suatu kondisi di
Sulistiyani (2004), kemiskinan tidak hanya mana tingkat pendapatan seseorang tidak
menyangkut persoalan kesejahteraan (welfare) cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya,
semata, tetapi juga menyangkut kerentanan seperti pangan, sandang, papan, kesehatan,
(vulnerability), ketidakberdayaan (powerless), dan pendidikan. Sementara itu, Ambar Teguh
tertutupnya akses kepada pelbagai peluang Sulistiyani (2004) menyatakan kemiskinan
kerja, menghabiskan sebagian besar absolut adalah suatu keadaan dimana tingkat
penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi pendapatan masyarakat rendah, sehingga
pangan, angka ketergantungan yang tinggi tidak memiliki kemampuan yang cukup
karena besarnya keluarga, dan kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal
terefleksi dalam budaya kemiskinan yang seperti kebutuhan pangan, sandang, papan,
diwarisi dari satu generasi ke generasi pendidikan, dan kesehatan dasar. Orang miskin
berikutnya.Dengan demikian, pengertian absolut biasanya akan mengalami kesulitan
kemiskinan mengalami perluasan, tidak untuk bertahan hidup karena pendapatannya
saja mencakup ketidakmampuan memenuhi berada di bawah garis kemiskinan, sehingga
kebutuhan dasar, tetapi juga menyangkut aspek tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk
lain, seperti kerentanan, ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan minimal.
menyampaikan aspirasi,dan ketidakberdayaan. Kemiskinan relatif pada dasarnya
Pada umumnya kemiskinan diukur dengan menunjuk pada perbedaan relatif tingkat
tingkat pendapatan dan kebutuhan. Kebutuhan kesejahteraan antar kelompok masyarakat.
hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau Mereka yang berada di lapis terbawah dalam
kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan presentil derajat kemiskinan suatu masyarakat
seseorang dapat hidup secara layak. Jika digolongkan sebagai penduduk miskin. Dengan
tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kategorisasi seperti ini, dapat saja mereka yang
kebutuhan minimum, maka orang atau rumah digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah
tangga tersebut dikatakan miskin. Dalam kaitan dapat mencukupi hak-hak dasarnya, namun
ini, Bank Dunia mendefinisikan keadaan miskin tingkat keterpenuhannya berada di lapisan
sebagai : “Poverty is concern with absolute terbawah (Muhadjir Darwin, 2005). Sementara
201
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214
Ambar Teguh Sulistiyani (2004) menyatakan tidak bekerja secara penuh (full time). Ketiga,
kemiskinan relatif adalah suatu keadaan mereka kebanyakan tidak mempunyai peralatan
dimana tingkat pendapatan masyarakat sudah produksi/peralatan kerja yang memadai.
mencapai kemampuan untuk memenuhi Keempat, sebagian besar penduduk miskin
kebutuhan pokok minimum, akan tetapi secara berpendidikan rendah.
relatif mereka berada di bawah rata-rata Kemiskinan juga bisa diklasifikasikan
pendapatan masyarakat yang ada di sekitarnya. berdasarkan akar penyebab yang
Pendapat senada dikemukakan Gunawan melatarbelakanginya, dikenal dengan
Sumodiningrat (1999), seseorang atau rumah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural.
tangga dikatakan miskin secara relatip apabila Sunyoto Usman (dalam Istiana dkepala
tingkat pendapatannya sudah mencapai tingkat keluarga, 2015) menyatakan bahwa klasifikasi
kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural
dibandingkan dengan pendapatan masyarakat adalah pengkajian kemiskinan dengan fokus
sekitarnya. Oleh karena itu, orang atau pada sebab terjadinya kemiskinan. Muhajir
rumah tangga tersebut masih berada dalam Darwin (2005) menyebutkan kemiskinan
keadaan miskin. struktural adalah kemiskinan yang disebabkan
Berdasarkan indikator kemiskinan menurut oleh berbagai kebijakan negara yang bukan
BPS (dalam Wignyo Adiyoso, 2009 ) penduduk saja tidak menguntungkan, melainkan juga
dikategorikan miskin adalah penduduk dengan menjadikan mereka dimiskinkan. Dengan
sumber pendapatan yang tidak cukup untuk demikian, mereka yang termasuk ke dalam
menanggung kehidupan yang layak. Ciri- golongan miskin tidak berdaya untuk mengubah
cirinya yaitu pendapatan rendah atau dibawah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki
garis kemiskinan. Garis kemiskinan diukur dari hidupnya. Sementara Selo Sumardjan (dalam
jumlah pengeluaran kebutuhan dasar makanan, Sutomo, 2008) mengemukakan bahwa,
seperti beras, gula, garam, minyak goreng, dan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang
kebutuhan non-makanan seperti perumahan, diderita oleh suatu golongan masyarakat karena
pendidikan dasar, dan kesehatan. Sementara struktur sosial yang ada dalam masyarakat
itu, Emil Salim (1980) mengemukakan lima tersebut menghambat mereka untuk dapat ikut
ciri-ciri penduduk yang hidup di bawah garis menggunakan sumber-sumber pendapatan yang
kemiskinan. Pertama, pada umumnya mereka sebenarnya tersedia bagi mereka. Pernyataan di
tidak mempunyai faktor produksi seperti atas senada dengan pendapat Sutomo (2008),
tanah, modal, ataupun keterampilan, sehingga karena tidak meratanya penguasaan sumber
kemampuan untuk memperoleh pendapatan daya dalam masyarakat, maka sebagian
menjadi terbatas. Kedua, mereka tidak memiliki anggota masyarakat tetap miskin. Dalam kondisi
kemungkinan untuk memperoleh aset produksi demikian kelompok masyarakat menjadi tidak
dengan kekuatan sendiri. Ketiga, tingkat berdaya (powerless) dan rentan, sehingga akan
pendidikan mereka umumnya rendah karena semakin mengukuhkan posisi miskin tersebut.
waktu mereka tersita untuk mencari nafkah Dengan demikian, kemiskinan struktural ini
dan mendapatkan penghasilan. Keempat, terjadi bukan karena “ketidakmauan” seseorang
kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. untuk bekerja (malas), melainkan karena
Kelima, mereka yang hidup di kota masih berusia “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial
muda dan tidak didukung oleh keterampilan dalam masyarakat menyediakan kesempatan-
yang memadai. Selanjutnya menurut Dalil kesempatan yang memungkinkan orang dapat
Hasan (dalam Gunawan Sumodiningrat, 1999), bekerja atau mendapatkan sumber daya yang
kelompok penduduk miskin mempunyai ciri- dibutuhkannya.
ciri sebagai berikut: pertama, sebagian besar Sementara itu, kemiskinan kultural
penduduk miskin tidak mempunyai penghasilan disebabkan oleh faktor-faktor budaya setempat
tetap. Kedua, pada umumnya penduduk miskin (lokal). Nilai-nilai dan kebudayaan yang diyakini
202
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)
atau yang dianut dan dikembangkan dalam ditunda dengan dalih apapun dan harus
masyarakat, menyebabkan proses pelestarian menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan
kemiskinan dalam masyarakat itu sendiri, karena pembangunan kesejahteraan sosial, mengingat
banyak diwarnai oleh sikap dan cara pandang masalah kemiskinan sangat besar dampaknya
masyarakat tersebut terhadap kehidupan. Sikap- bagi perkembangan masalah sosial lain yang
sikap tersebut antara lain tercermin dalam watak lebih kompleks. Berdasarkan data dari Badan
mereka yang cenderung fatalistik, “nrimo”, dan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskindi
kurang berorientasi ekonomi. Kegiatan ekonomi Indonesia pada September 2016 sebanyak
lebih dipandang sebagai cara untuk memenuhi 27,76 juta jiwa (10,70%), menurun dibandingkan
kebutuhan subsistensi saja dan bukan untuk September tahun sebelumnya yang mencapai
memupuk kapital. Dengan cara pandang 28,59 juta jiwa (11,22%) dari total penduduk
semacam itu, maka secara turun temurun Indonesia. Angka tersebut mengandung makna
mewariskan kemiskinan kultur pada generasi bahwa dalam waktu satu tahun pemerintah baru
berikutnya, sehingga “lingkaran kemiskinan” mampu mengentaskan kemiskinan sebanyak
terus membelit dan tak kunjung putus (Gunawan 0,52 persen. Oleh karena itu, kemiskinan di
Sumodiningrat, 1999).Lebih lanjut Oscar Lewis Indonesia merupakan masalah yang serius dan
berpendapat (dalam Gunawan Sumodiningrat, penanganannya menjadi prioritas, sehingga
1999), bahwa orang-orang miskin adalah perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar.
kelompok sosial yang mempunyai budaya Penanggulangan kemiskinan memerlukan
sendiri. Budaya itu, diturunkan dari generasi pendekatan komprehensif dan terpadu,
ke generasi yang dilestarikan secara terus melibatkan berbagai pihak terkait.
menerus, memiliki karakteristik sosial dan Menurut Gunawan Sumodiningrat (1999),
psikologis tersendiri bagi anggotanya. Lewis masalah kemiskinan pada dasarnya bukan saja
mengkonseptualisasikan sebagai kebudayaan berurusan dengan persoalan ekonomi semata,
kemiskinan (cultural of poverty). Demikian pula tetapi bersifat multi-dimensional, yang dalam
Andre Bayo Ala(1981) juga menyitir pendapat kenyataannya juga berurusan dengan berbagai
Lewis, yang menyatakan ciri-ciri kebudayaan persoalan non-ekonomi (sosial, budaya, dan
kemiskinan adalah orang-orang miskin tidak politik). Karena sifat multi-dimensialnya tersebut,
mempunyai respek dan tidak terintegrasikan maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan
dengan lembaga-lembaga utama yang ada kesejahteraan materi (material well-being),
dalam masyarakat. tetapi juga berurusan dengan kesejahteraan
Masalah kemiskinan juga dijumpai di sosial (social well-being). Andre Bayo Ala
Indonesia, dengan penyebab yang bersumber (1981) menyatakan bahwa, kemiskinan itu
karena struktural maupun kultural, dan masalah multidimensional, karena banyak sekali nilai-nilai
ini menjadi salah satu tantangan besar yang yang dibutuhkan atau kebutuhan manusia itu
harus diatasi secara serius. Meskipun telah bermacam-macam, maka kemiskinan memiliki
lama diupayakan untuk dihapuskan, namun banyak aspek. Demikian pula pernyataan
masalah kemiskinan itu tetap ada dan hidup Saunders yang dikutip Istiana, bahwa
bersama bangsa ini (Gunawan Sumodiningrat, kemiskinan adalah persoalan multidimensional.
1999). Sebenarnya dapat dikatakan kemiskinan Studi mengenai kemiskinan harus diletakan
merupakan ironi di negeri ini. Sebagai negeri keluargaan dalam konteks ketidakadilan sosial
yang kaya dengan sumber daya alam dan ekonomi dalam struktur, proses, kebijakan dan
sumber daya manusia, Indonesia masih saja nilai-nilai yang mendasarinya. Oleh karena itu,
menghadapi masalah kemiskinan yang hampir kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh ada
merata di sejumlah provinsi di Indonesia. atau tidak adanya satu faktor saja, melainkan
Melihat kenyataan tersebut, maka diperlukan disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat
tekad bersama untuk memerangi kemiskinan. mempengaruhi. Heru Nugroho mengemukakan
Penanggulangan kemiskinan tidak dapat bahwa kemiskinan merupakan masalah
203
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214
multidimensional yang tidak saja melibatkan pangan, sandang, dan perumahan. Kemiskinan
faktor ekonomi, tetapi juga politik dan budaya. berdimensi ekonomi dapat dimaknai sebagai
Hal senada juga dinyatakan oleh Moestopo, kondisi ketidakmampuan keluarga dalam
bahwa kemiskinan pada hakikatnya adalah pemenuhan kebutuhan pangan yang berkualitas,
masalah kompleks yang meliputi kemiskinan kemampuan pemenuhan kebutuhan sandang
ekonomi, kemiskinan sosial, kemiskinan (membeli pakaian setiap anggota keluarga)
budaya, kemiskinan psikologis, kemiskinan pertahun, ketersediaan tempat tinggal yang
religi, dan kemiskinan politik. Sementara itu layak. Di samping itu, juga dalam pemenuhan
Susetiawan mengemukakan bahwa dimensi kebutuhan pendidikan dasar, pemenuhan
kemiskinan terdiri atas: Pertama, kemiskinan kebutuhan pelayanan kesehatan, pemenuhan
berdimensi ekonomi atau material;Kedua, kebutuhan pekerjaan, ketersediaan sumber
kemiskinan berdimensi sosial budaya;Ketiga, penghasilan, kepemilikan aset, dan pemenuhan
kemiskinan berdimensi struktural atau politik. kebutuhan rekreasi. Kedua, kemiskinan
Lebih lanjut Sukmana menjabarkan dimensi berdimensi sosial. Kemiskinan ini dapat
tersebut, dimensi ekonomi atau material dimaknai sebagai kondisi yang menghambat
mencakup berbagai kebutuhan manusia keluarga dalam menjalankan relasi dan fungsi
yang bersifat material seperti sandang, sosial serta dalam mengakses sumberdaya
pangan, papan, perumahan, kesehatan, dan yang dibutuhkan. Hambatan tersebut meliputi
sebagainya. Dimensi sosial budaya terkait keterbatasan dalam berpartisipasi pada
melembaganya budaya apatis, apolitik, fatalistik, kegiatan sosial-keagamaan di lingkungannya,
ketidakberdayaan yang melekat pada kaum keterbatasan dalam komunikasi dengan anggota
miskin. Kemiskinan secara ekonomi sulit diatasi keluarga, keterbatasan dalam pengambilan
jika budaya ini tidak dihilangkan. Sedangkan keputusan, keterbatasan dalam pengumpulan
dimensi struktural politik terkait ketiadaan sarana dana sosial/bantuan kemanusiaan, keterbatasan
dan akses bagi kaum miskin untuk terlibat dalam dalam mengakses pelayanan sosial/publik
prosespolitik, sehingga tidak memiliki kekuatan (seperti layanan pemerintah dalam penerbitan
politik. Kemiskinan politik ini akan berimbas akta kelahiran dan identitas/KTP, layanan
pada kemiskinan ekonomi (Istiana, 2015). kesehatan, layanan pendidikan, layanan air
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bersih/listrik, layanan transportasi) yang menjadi
masalah kemiskinan sangatlah kompleks dan hak keluarga fakir miskin.
multidimensi. Kemiskinan tidak hanya memiliki Ketiga, kemiskinan berdimensi budaya.
dimensi tunggal yaitu ekonomi saja, tetapi juga Kemiskinan ini dapat dimaknai sebagai
memiliki dimensi sosial, budaya, psikis, dan kondisi yang menggambarkan tidak adanya
politik. Sebagaimana dinyatakan Gunawan harmonisasi/kerukunan di antara keluarga
Sumodiningrat (1999), dimensi-dimensi dalam kehidupan bermasyarakat, tidak adanya
kemiskinan pada hakikatnya merupakan kebiasaan hidup bersih dan sehat, adanya etos
refleksi bahwa kebutuhan manusia yang tidak kerja yang rendah, tidak adanya kebiasaan
hanya bersifat ekonomi semata. Oleh karena itu hidup hemat, suka menabung/investasi dan
program pengentasan kemiskinan seyogyanya memiliki perencanaan yang matang, kurang
tidak hanya memprioritaskan ekonomi, tetapi memiliki orientasi ke masa depan (keinginan
juga memperhatikan dimensi lain. Dimensi untuk maju), kurang mandiri/sangat tergantung
kemiskinan ini saling berpengaruh satu sama pada orang lain, terjerat dalam sistem ekonomi
lain, untuk itu akan diuraikan dimensi-dimensi yang merugikan dan terbelenggu dalam norma
apa saja yang menyertai kemiskinan. adat dan nilai sosial budaya yang menghambat.
Pertama, yang paling jelas adalah bahwa Keempat, kemiskinan berdimensi psikis.
kemiskinan berdimensi ekonomi. Dimensi Kemiskinan ini dapat dimaknai sebagai sebagai
ini menjelma dalam berbagai kebutuhan kondisi yang menghambat keluarga dalam
dasar manusia yang sifatnya material, seperti menjalankan agama dan kepercayaan sesuai
204
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)
keyakinan, tidak terpenuhinya rasa aman/bebas karena dapat menggali tentang kehidupan
dari rasa takut, tidak adanya rasa percaya diri, sosial masyarakat melalui pandangan dan
tidak terpenuhinya lingkungan alam dan sosial pengalaman-pengalamannya, sementara
yang sehat, tidak dapat memanfaatkan waktu pendekatan kuantitatif sebagai metode
luang secara bermakna, dan keterbatasan dalam sekunder. Menurut Lewis seperti dikutip Wignyo
memperoleh bantuan dari saudara, kerabat atau Adiyoso (2009), kelebihan pendekatan ini adalah
teman ketika membutuhkan. Kelima, kemiskinan peneliti bisa mendapatkan perspektif yang lebih
berdimensi politik. Kemiskinan ini dapat alamiah/natural dari kehidupan masyarakat dan
dimaknai sebagai kondisi yang menghambat membuka peluang untuk pendalaman yang
keluarga dalam menggunakan hak politik lebih rinci dari pandangan individu-individu
dalam pemilihan umum, berpartisipasi dalam dalam masyarakat.
perencanaan pembangunan di wilayahnya, Fokus penelitian ini adalah mengetahui
berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan faktor diterminan penyebab kemiskinan di
di wilayahnya, berpartisipasi dalam pengawasan Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, penelitian
pembangunan di wilayahnya, dan berpartisipasi ini dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan.
dalam penentuan sasaran program layanan Penentuan lokasi menggunakan teknik
sosial/publik (penerima bantuan). purposive,yaitu memilih salah satu provinsi
Mengingat masalah kemiskinan sangatlah dari 34 provinsi yang digunakan sebagai lokasi
kompleks dan multidimensi, maka untuk penelitian Konsep dan Indikator Kemiskinan.
mengatasi masalah kemiskinan juga harus Populasi penelitian ini adalah seluruh keluarga
bersifat multidimensional atau menggunakan fakir miskin yang teregister dan yang tidak
pendekatan yang komprehensif dan lintas teregister. Sampel dalam penelitian ini
sektoral.Namun demikian, harus pula ditelusuri ditentukan secara acak/random berjumlah 1.200
faktor apa yang cukup dominan menjadi orang berasal dari dua wilayah (Kota Makassar
penyebab kemiskinan di suatu daerah atau & Kabupaten Maros). Tiap wilayah 600 orang
yang diderita suatu masyarakat, sehingga dengan rincian 540 orang berasal dari kepala
diperlukan identifikasi yang jelas untuk lebih keluarga miskin teregister dan 60 orang kepala
memudahkan upaya mengatasinya. Untuk keluarga miskin non register atau yang belum
mengetahui faktor dominan yang menyebabkan mendapatkan program.
kemiskinan di Sulawesi Selatan, penelitian Instrumen pengumpulan data yang
ini dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan digunakan meliputi: angket/kuesioner,
dapat memberikan masukan bagi lembaga panduan wawancara, lembar pengamatan, dan
terkait, khususnya Kementerian Sosial RI dokumentasi. Instrumen angket digunakan untuk
sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun mengumpulkan data tentang kondisi kemiskinan
kebijakan yang berkait dengan upaya mengatasi responden. Untuk memperoleh informasi
masalah kemiskinan. secara mendalam tentang kondisi responden
digunakan teknik wawancara mendalam (indepth
B. METODE PENELITIAN interview) dengan berpedoman pada panduan
Penelitian tentang faktor diterminan wawancara (interview guide).Adapun studi
penyebab kemiskinan di Provinsi Sulawesi dokumentasi dilaksanakan untuk memperoleh
Selatan menggunakan metode pendekatan data-data sekunder yang dapat dimanfaatkan
kuantitatif dan kualitatif. Komponen kuantitatif untuk memperkaya data penelitian, baik yang
dan kualitatif saling berproses secara simultan, dilaporkan oleh lembaga resmi maupun laporan
kedua pendekatan menuju pada pertanyaan- yang dibuat oleh pihak lain yang relevan.
pertanyaan yang sama, tetapi disampaikan Data dan informasi yang dijaring
dengan cara dan teknik yang berbeda sehingga secara kuantitatif diolah secara komputasi
menghasilkan data yang terpadu. Pendekatan dengan menggunakan program excel dan
kualitatif digunakan sebagai metode utama statistik SPSS versi 17.00 for Windows, serta
205
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214
206
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)
2012, Kota Makassar dan Kabupaten Maros yakni keluarga fakir miskin yang mencapai
tahun 2013 tersaji dalam tabel berikut. 208.277 kepala keluarga. Demikian pula untuk
Tabel 3 Kota Makassar maupun Kabupaten Maros,
PMKS di Sulawesi Selatan (2012), keluarga fakir miskin menempati urutan pertama
Makassar dan Maros (2013) masalah sosial di wilayah tersebut. Kemiskinan
Jumlah merupakan akar berbagai masalah sosial seperti
No Jenis
Sulsel Makassar Maros
keterlantaran anak dan lansia, rumah yang
1 Anak Balita 37.943 1.887 59
Terlantar tidak layak huni, bermasalah sosial psikologis,
2 Anak Terlantar 111.454 6.064 2.508 terpaksa menjadi gepeng dan pemulung,
3 Anak Nakal 3.947 25 135 serta rentan tindak kekerasan. Pekerja migran
4 Anak Jalanan 2.161 1.769 - terlantar mencapai 832.910 orang, jumlah
5 Orang Dengan 82.170 1.431 1.172 yang relatif banyak. Hal ini dikarenakan selain
Kecacatan
6 Lanjut Usia 87.177 3.998 2.396 Sulsel sebagai daerah asal pekerja migran juga
Terlantar sebagai daerah antara/transit. Kebanyakan
7 Tuna Susila 475 346 - migran terlantar berasal dari Kabupaten Bone,
8 Gelandangan 684 340 - Sinjai, Bulukumba, dan Selayar yang merupakan
& Pengemis
9 Pekerja Migran 832.910 97 206 kantong-kantong pekerja migran. Sedangkan
Terlantar pekerja migran yang berasal dari luar propinsi,
10 Keluarga Fakir 208.277 45.236 20.188 umumnya dari NTT, NTB, Jawa Timur, dan
Miskin kepala
Jawa Barat. Pemerintah Sulsel menyediakan
keluarga
11 Keluarga 1.610 - 22.771 Rumah perlindungan Trauma Centre (RPTC)
Rentan/ kepala untuk menampung sementara pekerja migran
Daerah keluarga sebelum diambil oleh petugas dinas sosial dari
Bencana
12 Kel Bermslh 2.064 143 259 daerah asal mereka.
Sos Psikologis kepala Sementara data tentang potensi sumber
keluarga kesejahteraan sosial Propinsi Sulawesi Selatan
13 Korban Napza 112.944 82 -
terdiri dari.
14 Korban 1.350 255 858
Bencana Alam Tabel 4
15 Korban 447 210 - PSKS di Sulawesi Selatan,
Bencana Makassar, dan Maros 2013
Sosial Jumlah
16 Rumah Tidak 203.530 3.197 6.374 No Jenis
Sulsel Makassar Maros
Layak Huni 1 Pekerja Sosial 43 37 -
17 Komunitas 5.330 43 451 Profesional
Adat Terpencil 2 Pekerja Sosial 1.765 126 170
18 ODHA 39 28 - Masyarakat
19 Wanita Rawan 30.693 1.487 1.011 3 Karang Taruna 2.043 143 98
Sos Ek 4 TAGANA 1.987 248 35
20 Korban Tindak 929 85 - 5 WKSBM 211 143 20
Kekerasan
6 LKS/Orsos 501 168 35
21 Eks Kusta/ - 2.025 43
Penyakit 7 LK3 26 1 1
Kronis 8 Keluarga Pionir 1 - -
22 Eks Binaan LP - 25 366 9 DU - UKS 59 - -
23 Pemulung - 997 - 10 Tenaga 25 - 41
Pelopor/Kader
Sumber: Pusdatin, Kemensos, 2014 dan Dinso Kota Wanita
Makassar dan Dinsonakertrans Kabupaten Maros, 11 TKSK 306 14 14
2015
Sumber : Dinas Sosial Propinsi Sulsel, 2015
Masalah sosial terbanyak di propinsi
Personil representasi Kementerian Sosial
Sulawesi Selatan sama dengan propinsi lain,
yang dikenal sebagai TKSK, TKSM, TAGANA,
207
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214
PSM maupun kelembagaan seperti Karang gabungan antara data di Kota Makassar dan
Taruna, WKSBM, LK3, LKS jumlahnya sudah Kabupaten Maros terlihat dalam tabel berikut.
sangat menggembirakan. Berbagai personil Tabel5
tersebut selain mendapat tali asih dan atau Pendidikan Terakhir Kepala Keluarga
honor dari Kementerian Sosial juga mendapat di Makassar dan Maros
insentif dari APBD I dan APBD II. Demikian pula
Makasar Maros
keberadaan berbagai lembaga yang bergerak Tingkat
No
dalam pelayanan kesejahteraan sosial selain Pendidikan
F % F %
mendapat bantuan APBN melalui Kementerian 1 Tidak Sekolah 65 10.83 117 19.50
Sosial juga banyak yang telah mendapatkan 2 Belum/Tidak 126 93 15.50
bantuan operasional dan pembinaan dari Tamat SD/
Sederajat 21.00
pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota.
3 SD/MI/Sederajat 211 35.17 271 45.10
Responden yang berjumlah 1.200 kepala 4 SMP/MTs/ 95 57 9.50
keluarga menurut jenis kelamin terdiri dari 959 Sederajat 15.83
orang (80%) laki-laki sebagai kepala keluarga dan 5 SMA/SMK/MA/ 102 57 9.50
241 orang (20%) perempuan. Kepala keluarga Sederajat 17.00
6 Diploma I/II 0 0.00 1 0.17
laki-laki di Kota Makassar berjumlah 485 orang
7 Diplomat III/ 0 2 0.33
dan perempuan 115 orang, sedangkan kepala Sarjana Muda 0.00
keluarga laki-laki di Kabupaten Maros sebanyak 8 Diploma IV/S1 1 0.17 2 0.33
474 orang dan perempuan 126 orang. Data 9 S2/S3 0 0.00 0 0.00
tersebut menunjukan bahwa mayoritas keluarga, Jumlah 600 100.00 600 100.00
baik di Makassar maupun Maros dikepalai oleh Sumber : Data primer, 2015
Tabel 6
Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga di Makassar dan Maros
Makassar Maros
No Jenis Pekerjaan
Utama Sampingan Utama Sampingan
F % F % F % F %
1 Usaha Sendiri 74 12.33 8 1.33 108 18.00 24 4.00
2 Usaha dengan buruh
tetap/tidak tetap 65 10.83 5 0.83 28 4.67 14 2.33
3 Buruh/Karyawan/
Pegawai Tetap 78 13.00 10 1.67 105 17.50 8 1.33
4 Buruh pertanian
tidak tetap 12 2.00 3 0.50 103 17.17 17 2.83
5 Buruh tidak tetap
non pertanian 181 30.17 11 1.83 47 7.83 20 3.33
208
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)
209
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214
210
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)
penyebab kemiskinan di Provinsi Sulawesi masih berlaku baik dalam kehidupan sehari-hari
Selatan adalah dimensi budaya karena dimensi maupun event-event tertentu seperti hajatan.
ini menduduki urutan pertama, kemudian disusul Satu nilai positif dengan masih terjaganya
urutan kedua dimensi psikis, ketiga dimensi extended family dan resiprokal yakni mampu
sosial, keempat dimensi ekonomi, dan urutan membetengi masyarakat miskin untuk tidak
kelima dimensi politik. terjerat rentenir.
Hasil analisis tersebut, didukung oleh data Terkait dengan aspek budaya yang
kuantatif deskriptif yang menunjukan bahwa menempati posisi tertinggi sebagai faktor yang
responden penelitian yakni keluarga miskin di mempengaruhi kemiskinan, kiranya tidak lepas
Propinsi Sulawesi Selatan (Kota Makasar dan dari budaya siri’ na pacce. Kata siri dalam
kabupaten Maros) tidak memiliki kebiasaan bahasa Bugis dan Makassar berarti “malu”,
bekerja dan atau mengerjakan pekerjaan sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti
rumah tangga selama lebih dari 40 jam/ “tidak tega”/“kasihan”/“iba”. Pacce merupakan
minggu. Keluarga miskin memiliki kebiasaan kecerdasan emosional untuk turut merasakan
membelanjakan uangnya untuk kebutuhan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam
non primer seperti handphone, sepeda motor, komunitas (solidaritas dan empati).Struktur Siri’
dan barang elektronik lainnya sehingga tidak dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai
memiliki tabungan. Berbagai barang tersebut empat kategori, yaitu:
mereka anggap sebagai kebutuhan pokok 1. Siri’ Ripakasiri’, yang berhubungan dengan
dan dapat meningkatkan status di lingkungan harga diri pribadi, serta harga diri atau
pergaulan maupun tempat tinggal. Kebiasaan harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini
belanja kebutuhan non primer ini sesuai dengan adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk
ditemukannya pengeluaran non konsumsi dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
yang lebih tinggi di banding konsumsi pada 2. Siri’ Mappakasiri’siri’, Siri’ jenis ini
masyarakat miskin. berhubungan dengan etos kerja. Dalam
Keluarga miskin tidak atau kurang falsafah Bugis disebutkan, “Narekepala
memiliki aspirasi masa depan khususnya keluargao degaga siri’mu, inrengko siri’.”
dalam menyiapkan sumber daya manusia Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka
generasi berikutnya. Alasan ketiadaan biaya pinjamlah kepada orang yang masih memiliki
untuk transportasi dan pembelian peralatan rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya,
sekolah menyebabkan anak-anak dari keluarga “Narekepala keluargao engka siri’mu, aja’
miskin rata-rata hanya menamatkan pendidikan mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda
dasar (SD/SMP) yang keberadaan fasilitas punya malu maka jangan membuat malu
pendidikannya tidak jauh dari tempat tinggal (malu-maluin). Implementasi dari siri’ ini,
dan relatif tidak membutuhkan tambahan biaya ketika sanak keluarga atau kerabat tertimpa
karena sudah ada BOS. Masyarakat Sulawesi kesusahan atau musibah maka keluarga
Selatan masih memiliki sistem kekerabatan yang lain ikut membantu. Apabila seseorang
yang tinggi baik karena ikatan darah maupun akan terjerumus ke dalam nista karena
kedekatan tempat tinggal. Extended family khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk
bukan nuclear family masih banyak ditemui memperingatkan dan meluruskannya.
pada masyarakat kelas menengah ke bawah 3. Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’),
di propinsi ini, sehingga jamak terjadi dalam yakni rasa malu seseorang hilang “terusik”
satu rumah dihuni oleh beberapa keluarga karena sesuatu hal. Misalnya, ketika
yang berasal dari empat generasi, mulai dari seseorang memiliki utang dan telah berjanji
kakek-nenek, bapak-ibu, anak-menantu, dan untuk membayarnya maka si pihak yang
cucu/cicit. Kondisi ini menyebabkan keluarga berutang berusaha sekuat tenaga untuk
miskin memiliki ketergantungan tinggi pada menepati janjinya atau membayar utangnya
saudara atau kerabat, dan sistem resiprokal sebagaimana waktu yang telah ditentukan
211
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214
(disepakati). Ketika sampai waktu yang Kasus yang banyak terjadi di Kacamatan
telah ditentukan, jika si berutang ternyata Marusu, Maros merupakan contoh aspek psikis
tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah penyeban kemiskinan. Banyak keluarga miskin di
mempermalukan dirinya sendiri. kecamatan ini mendadak kaya karena mendapat
4. Siri’ Mate Siri’. Siri’ yang berhubungan uang kompensasi lahan perluasan bandar udara.
dengan iman. Dalam pandangan orang Masih bertahannya budaya urutan penempatan
Bugis/Makassar, orang yang matesiri’-nya duduk berdasar status sosial seseorang pada
adalah orang yang di dalam dirinya sudah berbagai pertemuan telah menginspirasi
tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang keluarga yang mendadak kaya tersebut untuk
seperti ini biasa disebut sebagai bangkai meningkatkan status sosialnya. Sebutan “haji”
hidup yakni orang yang hidup tapi sudah tidak atau “hajah” menempati status sosial kedua
punya rasa. setelah pejabat, oleh karena itu banyak keluarga
Kemudian, guna melengkapi keempat yang menggunakan uang kompensasi untuk
struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse berangkat haji seluruh anggota keluarganya
menduduki satu tempat, sehingga membentuk tanpa memikirkan pengganti penghasilan
suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan dari lahan yang telah berpindah kepemilikan.
sebutan Siri’ Na Pacce. Jadi, pacce’ adalah Akibatnya, sepulang dari haji memang keluarga
perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit tersebut naik statusnya tetapi kehidupannya
dari dalam kalbu yang dpaat merangsang tidak lebih baik dari sebelumnya bahkan
kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos sangat mungkin semakin terpuruk karena telah
(sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai kehilangan lahan yang selama ini produktif dan
pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar menunjang kehidupannya.
dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam Urutan ketiga faktor penyebab kemiskinan
dirinya. Siri’ dan pacce’ inilah yang mengarahkan berupa aspek sosial, yakni menyangkut
tingkah laku masyarakat Sulawesi Selatan paranserta/partisipasi dan aksesibilitas. Sistem
dalam pergaulan sehari-hari sebagai “ motor “ kekerabatan yang masih kental pada lingkungan
penggerak dalam memanifestasikan pola-pola keluarga miskin dengan asas resiprokalnya yang
kebudayaan dan sistem sosialnya (disarikan tercermin dalam budaya saling tolong menolong
dari https://imbasadi.wordpress.com/agenda/ melonggarkan sistem kepemilikan dalam
data-karya-ilmiah-bebas/ unhas/makna-siri- masyarakat Sulawesi Selatan. Masalah yang
na-pacce-dimasyarakat-bugis-makassar- dihadapi keluarga khususnya terkait dengan
friskawini/, diakses 25 Desember 2015). kebutuhan dasar seperti papan, sandang, dan
Aspek psikis menempati urutan kedua pangan dipandang sebagai masalah keluarga
sebagai faktor penyebab kemiskinan di Sulawesi besar dan ditanggung bersama-sama. Falsafah
Selatan. Kuatnya ikatan keluarga yang tercermin “semakin banyak kasih makan orang semakin
masih banyak keluarga miskin yang menganut banyak rejeki diterima” tertanam kuat pada
extended family dan masih terpeliharanya kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan,
asas resiprokal sedikit banyak mempengaruhi sehingga jamak ditemukan satu keluarga
kenyamanan hidup responden. Kondisi ini mengundang makan keluarga lain, atau
dapat diibaratkan sebagai dua sisi keping mata mengantarkan makanan pada keluarga lain.
uang. Di satu sisi merupakan kebaikan, yakni Demikian pula jika ada kerabat yang sedang
mampu berperan sebagai penangkal dan solusi hajatan, sanak keluarga dan tetangga pasti
berbagai masalah yang menimpa keluarga memberikan bantuan moril maupun materiil.
miskin, di sisi lain melemahkan semangat untuk Sebagaimana telah diuraikan di atas pada aspek
mandiri dan memperjuangkan hidup lebih layak. psikis, kondisi ini selain menguntungkan karena
Kebutuhan psikis untuk dipandang terhormat masih kuatnya rasa saling tolong menolong
kadang mengabaikan kondisi riil keluarga tetapi juga sebagai beban psikis dan sosial
miskin, mereka rela membeli baju mahal untuk yakni harus mampu membalas kebaikan dan
menunjang penampilan saat hajatan keluarga. pertolongan.
212
Faktor Determinan Penyebab Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Kissumi Diyanayati dan Etty Padmiati)
213
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 2, Agustus 2017, 201-214
dapat terlaksana dengan bantuan sanak Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah
saudara. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan meningkatkan keterampilan teknis maupun
pada saat harus gantian membalas tidak manajerial mereka, sehingga akan terjadi
punya sarana untuk melakukan, sehingga kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan
terpaksa berhutang. Budaya ini sangat terkait kecakapan keterampilan yang memadai. Dengan
dengan kondisi psikis. Oleh karena itu, tidak demikian, terciptalah kemandirian masyarakat
heran jika faktor kedua penyebab kemiskinan untuk dapat mencari solusi atas permasalahan
adalah psikis. Merasa utang budi dan gengsi yang dihadapi.
merupakan manifestasi dari kondisi psikis yang Ucapan Terima Kasih
dialami keluarga miskin.
Dengan diketahuinya faktor determinan Diucapkan terima kasih dan penghargaan
penyebab kemiskinan, hendaknya intervensi yang setingginya kepada sumber data penelitian,
dibutuhkan dalam penanggulangan kemiskinan redaksi, dan mitra bestari atas terselesaikannya
lebih dititik beratkan pada penyadaran dan terbitnya artikel ini.
masyarakat tentang berbagai kebiasaan yang
sudah menjadi budaya dan memberatkan
DAFTAR PUSTAKA
masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Penyuluhan dan bimbingan sosial tentang hidup
Ambar Teguh Sulistiyani, 2004. Kemitraan
hemat, tidak mengada-ada, dan menolong dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta :
semampunya perlu lebih sering dilakukan Gava Media.
dengan tidak meninggalkan berbagai program Andre Bayo Ala, 1981. Kemiskinan dan
penanggulangan kemiskinan yang selama ini Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta:
sudah berjalan. Di samping itu, untuk mengubah Liberty.
kondisi tersebut perlu dilakukan dengan Arif Satria, 2016. Pesisir dan Laut Untuk
mendorong dan membangkitkan kesadaran Rakyat. Bogor : IPB
masyarakat akan potensi yang dimiliki serta Bagong Suyanto, 1996. Perangkap
berupaya untuk mengembangkannya. Dalam Kemiskinan Problem dan Strategi
mengembangkan potensi tersebut, diperlukan Pengentasannya Dalam Pembangunan Desa.
Yogyakarta : Aditya Media.
upaya untuk membantu meningkatkan
Emil Salim, 1980. Perencanaan
kemampuan yang dimiliki masyarakat, agar
Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan.
masyarakat mempunyai kemampuan atau
Jakarta : Yayasan Idayu
keberdayaan untuk menentukan masa
Gunawan Sumodiningrat, 1999.
depan kehidupannya. Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. Jakarta:
Menumbuhkan keberdayaan pada Impac.
masyarakat dapat memberikan konstribusi Istiana, dkepala keluarga, 2015. Konsep
terciptanya kemandirian masyarakat, karena dan Indikator Kemiskinan. Yogyakarta : B2P3KS
masyarakat akan memperoleh pemahaman dan Press.
mampu mengontrol daya sosial, ekonomi, dan Muhadjir M Darwin, 2005. Memanusiakan
politik agar dapat meningkatkan kesejahteraan Rakyat. Penanggulangan Kemiskinan Sebagai
sosialnya. Untuk mencapai kemandirian Arus Utama Pembangunan. Yogyakarta :
tersebut diperlukan sebuah proses, dengan Benang Merah.
kata lain masyarakat harus menjalani proses Sutomo, 2008. Masalah Sosial dan Upaya
Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
belajar. Melalui proses belajar, masyarakat
Wignyo Adiyoso, 2009. Menggugat
secara bertahap memperoleh kemampuan
Perencanaan Partisipatif Dalam Pemberdayaan
yang memadai untuk mengantarkan
Masyarakat. Surabaya : Putra Media
pada kemandirian. Kemandirian tersebut
Nusantara.
meliputi: kemandirian berpikir, bertindak, dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan.
214