Rekonstruksi Paradigma CLS UI

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 15

Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 50 No.

1 (2020): 230-244
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

MEREKONSTRUKSI PARADIGMA GUGATAN CITIZEN LAWSUIT DI


INDONESIA SEBAGAI SENGKETA ADMINISTRASI

Muhammad Adiguna Bimasakti *

* Pegawai Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar


Korespondensi: muhammad1adiguna@gmail.com
Naskah dikirim: 26 Mei 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 23 Agustus 2019

Abstract
Citizen Lawsuit is an alternative law enforcement mechanism for citizens. Every
citizen has the same right to file a Citizen Lawsuit in the court. However, the problems
are that there is no definite regulation regarding the authority to adjudicate Citizen
Lawsuit, and its contact with the “Judicial Review” which is the constitutional
authority of the Supreme Court. In addition there are also problems related to
discretionary authority where there is a prohibition for judges to judge the good and
bad of the government's discretionary actions. This paper tries to answer these
problems through normative and theoretical approaches. The contact between
Judicial Review and Citizen Lawsuit is that if the object is an existing regulation.
Prohibition for judges from assessing the good and bad of the government's
discretionary action can be ruled out as long as the assessment is made regarding
purposes of discretionary actions ruled under Law No. 30 of 2014 concerning
Government Administration. The character of Citizen Lawsuit is administrative, not
civil, so it should be the authority of the State Administrative Court and not the
General Court to adjudicate.
Keywords: Citizen Lawsuit, Administrative Dispute, Administrative Court.

Abstrak
Citizen Lawsuit merupakan suatu mekanisme penegakkan hukum alternatif bagi warga
Negara. Setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk mengajukan gugatan
Citizen Lawsuit di muka pengadilan. Akan tetapi permasalahannya adalah belum ada
pengaturan yang pasti mengenai kewenangan mengadili dari Citizen Lawsuit dan
singgungannya dengan Hak Uji Materil (HUM) yang merupakan kewenangan
konstitusional Mahkamah Agung. Selain itu ada pula permasalahan terkait dengan
kewenangan diskresioner yang mana terdapat larangan bagi hakim untuk menilai baik
dan buruknya tindakan diskresioner pemerintah. Tulisan ini mencoba menjawab
persoalan-persoalan tersebut melalui pendekatan normatif dan teoretis. Titik singgung
antara HUM dan Citizen Lawsuit adalah ketika yang diuji merupakan peraturan
perundangan tertulis yang sudah ada. Untuk larangan hakim menilai baik dan
buruknya tindakan diskresioner pemerintah dapat dikesampingkan sepanjang penilaian
dilakukan atas tujuan diskresi dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan. Karakter Citizen Lawsuit adalah sengketa administrasi,
bukan keperdataan sehingga seharusnya menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha
Negara dan bukan Peradilan Umum.
Kata Kunci: Citizen Lawsuit, Sengketa Administrasi, Peradilan Tata Usaha Negara.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no1.2492
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 231

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara hukum (rechtstaat) sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Pasal 1 ayat (3) hasil amandemen. UUD 1945 pun menjamin hak-hak warga Negara
agar setiap warga Negara mendapat perlindungan dari pemerintahan Negara. Oleh
karena itu dibutuhkan mekanisme untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga
negara tersebut, yang salah satunya dijalankan melalui penyelesaian di pengadilan.
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam hal ini mengatur bahwa Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Lembaga Peradilan dalam hal ini menjadi salah satu garda
pengawal keadilan bagi para pencari keadilan. Kekuasaan kehakiman menjadi tempat
terakhir bagi rakyat pencari keadilan untuk mencari keadilan. Oleh karena itu
penguatan lembaga peradilan semestinya menjadi suatu keniscayaan demi tegaknya
hak-hak setiap orang.
Mengutip kalimat dari Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg Acton)
yang terkenal bahwa: “Power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutly”
(terjemah penulis: Kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan yang mutlak
pasti cenderung untuk korup), maka semestinya gugatan melalui pengadilan dapat
menjadi alternatif mekanisme penegakan hak-hak warga Negara melalui sistem check
and balances.

Perumusan Masalah
Dalam beberapa dekade terakhir, di dunia peradilan Indonesia muncul beberapa
model gugatan yang sebelumnya tidak dikenal dalam proses beracara dalam
lingkungan peradilan di Indonesia yang merupakan adopsi dari sistem hukum lain. Di
antara model gugatan baru tersebut adalah Gugatan “Citizen Lawsuit” atau dalam
terminologi hukum Indonesia saat ini diterjemahkan sebagai “Gugatan Warga
Negara”. Kemudian timbullah pertanyaan bahwa yang menjadi pokok objek gugatan
dalam gugatan ini adalah mengenai sikap tindak pemerintah (Negara) dalam
menjalankan urusan pemerintahan (bestuurzorg) yang mana semestinya hal ini
merupakan ranah hukum publik. Lalu mengapa gugatan Citizen Lawsuit di Indonesia
diadili oleh hakim perdata? Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Citizen Lawsuit
sebagai mekanisme dalam memperjuangkan hak-hak warga negara, karakteristik
sengketanya, serta tinjauan mengenai kompetensi absolut mengadilinya dari segi
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

II. PEMBAHASAN

Citizen Lawsuit sebagai Mekanisme Perlindungan Hak Warga negara


Menurut Isrok, Citizen Lawsuit merupakan mekanisme bagi warga Negara untuk
menggugat tanggung jawab Negara atas kesalahan1 dalam memenuhi hak-hak warga
Negara2. Dalam hal ini setiap warga Negara berhak dan memiliki kedudukan yang
sama untuk menggugat Negara di muka hakim agar Negara memenuhi hak-hak yang
dilanggar oleh Negara. Oleh karena itu dalam membuktikan kedudukan hukumnya
1
Kesalahan (schuld) dapat berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa).
2
Isrok dan Rizki Emil Birham, Citizen Lawsuit: Penegakan Hukum Alternatif Warga Negara,
Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010, hlm. 21.
232 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

untuk menggugat di hadapan hakim ia tidak perlu mendalilkan kepentingan yang


sifatnya individual dan nyata (tangible) 3.
Mekanisme gugatan Citizen Lawsuit ini muncul dan berkembang di Negara-
negara yang menganut sistem Anglo-Saxon yang kemudian diadopsi negara-negara
yang menganut Civil Law System. Kasus pertama mengenai gugatan Citizen Lawsuit
muncul di Amerika Serikat yang kemudian diakomodasikan dalam undang-undang
yakni pada Clean Air Act, Clean Water Act, dan sebagainya 4 . Sedangkan kasus
pertama di Indonesia yang menggunakan mekanisme Citizen Lawsuit sepanjang
pengetahuan Penulis adalah Kasus mengenai Penelantaran TKI di Nunukan yang
diajukan oleh Munir CS di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan No. Perkara
28/PDT.G/2003/PN.JKT.PST yang memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan
putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan No. Putusan 480/PDT/2005/PT.DKI.
Sedangkan putusan Citizen Lawsuit yang cukup fenomenal di Indonesia adalah Kasus
Ujian Nasional bagi pelajar SMP dan SMA yang diajukan oleh artis Sofia Latjuba dkk
yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Tahun 2006 yang dikabulkan
(sebagian) dan berakhir sampai kasasi dan memperoleh kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewisjde), yakni pada perkara No. 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST tanggal
21 Mei 2007. Pada perkara tersebut Para Penggugat menggugat agar Pemerintah
mengeluarkan kebijakan/peraturan (beleidsregel ataupun regeling) agar kelulusan
siswa sekolah tidak hanya ditentukan oleh nilai UN/UAN (Ujian Nasional) saja,
melainkan melalui pembagian antara nilai semester 1 dan 2 pada kelas 3 (tahun
terakhir), ditambah nilai UAN, lalu dibagi dua. Pemerintah mengajukan banding, lalu
sampai kasasi dan hakim tetap mengabulkan gugatan Penggugat. Akhirnya saat ini,
kelulusan siswa sekolah tidak hanya ditentukan oleh UN 5 . Berikut adalah amar
putusan pada pokok perkara pada perkara tersebut:
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Subsidair Para Penggugat;
2. Menyatakan :
- Tergugat I, Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik
Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono;
- Tergugat II, Negara Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia cq.
Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden Republik Indonesia, M.
Yusuf Kalla;
- Tergugat III, Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik
Indonesia cq. Menteri Pendidikan Nasional cq. Bambang
Sudibyo;
- Tergugat IV, Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik
Indonesia cq. Menteri Pendidikan Nasional cq. Ketua Badan
Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro;
Telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi
manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban Ujian Nasional
(UN) khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak anak;
3. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru,
kelengkapan sarana dan prasarana sekolah akses informasi yang
lengkap

3
Moch. Iqbal, Aspek Hukum Class Action dan Citizen Lawsuit serta Perkembangannya di
Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1 No. 1 Maret 2012, hlm. 106.
4
Op.Cit. hlm. 22.
5
Lebih lengkap baca: Muhammad Adiguna Bimasakti, Anomali Kompetensi Absolut Atas
Gugatan Citizen Lawsuit Dalam Hukum Acara Indonesia, http://www.ptun-
banjarmasin.go.id/artikel/anomali-kompetensi-absolut-atas-gugatan-citizen-lawsuit-dalam-hukum-
acara-indonesia.html.
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 233

di seluruh daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan


Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut;
4. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-langkah
konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik
akibat penyelenggaran Ujian Nasional;
5. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem
Pendidikan Nasional;
6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga
kini berjumlah Rp.374.000,- (tiga ratus tujuh puluh empat ribu rupiah).

Dari praktik yang ada selama ini dan berdasarkan yurisprudensi-yurisprudensi yang
diterima sebagai dasar hukum, maka Citizen Lawsuit dapat digunakan sebagai
mekanisme gugatan warga Negara kepada Negara (pemerintahan) agar negara
memenuhi hak-hak warga negara melalui tindakan tertentu berupa pembentukan
kebijakan atau peraturan tertentu.
Kemudian timbul masalah di mana dalam hal ini hakim pada gugatan Citizen
Lawsuit akan menilai tindakan dari Negara untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
terhadap tidak dipenuhinya hak warga Negara. Maksudnya adalah jika Penggugat
memohon kepada hakim agar Negara mengubah suatu peraturan tertentu agar
peraturan tersebut sesuai dengan dan memenuhi hak warga negara maka ia akan
bersinggungan dengan Hak Uji Materiil atas peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang yang mana hal ini merupakan kewenangan Mahkamah Agung.
Kemudian jika memang peraturan atau kebijakan yang diminta melalui Citizen
Lawsuit ini belum dibuat sebelumnya, maka apakah bisa seorang hakim menilai sikap
“diam” nya pemerintah ini dalam hal baik atau buruknya? Bukankah hal yang
demikian itu sama saja dengan hakim duduk di atas kursi pemerintah dalam hal
menentukan kebijaksanaan melalui peraturan kebijakan / beleidsregel yang notabene
merupakan kewenangan diskresioner / freies ermessen? Keduanya akan dibahas pada
pembahasan berikutnya.

Perbedaan Citizen Lawsuit dan Class Action dalam Praktik Beracara


Di Indonesia
Berdasarkan konsepnya, Citizen Lawsuit mirip dengan gugatan Class Action
(Gugatan Kelompok) yakni dalam hal kepentingan suatu kelompok masyarakat
diganggu oleh adanya suatu perbuatan hukum yang mana dalam hal Citizen Lawsuit
subjek pelaku perbuatan hukum tersebut adalah Pemerintah/Negara. Perbedaannya
adalah, kepentingan dalam Citizen Lawsuit bukanlah kepentingan yang bersifat
langsung namun lebih kepada hak-hak warga negara secara umum. Yang dimajukan
dalam hal ini adalah “kepentingan untuk menggugat” (Processbelang) sebagai warga
Negara (mewakili seluruh warga yang dilingkupi peraturan yang akan jadi objek) dan
bukan lagi semata-mata sebagai “kepentingan perlindungan nilai” (Het Rechtens te
Beschermen Belang). Menurut Ten Berge6 kepentingan dalam hukum publik memiliki
dua arti, yakni:

1. Het rechtens te bescherment belang atau Kepentingan yang menunjuk kepada


nilai yang harus dilindungi oleh hukum; dan

6
J.B.J.M. Ten Berge, dan A.Q.C. Tak, Hoofdlijnen van het Nederlands Administratief
Processrecht, Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, 1987, hlm. 65.
234 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

2. Processbelang atau Kepentingan Proses, yakni hal-hal yang hendak dicapai


dengan melakukan gugatan di pengadilan.

Hal ini jelas berbeda dengan hukum acara perdata yang mana berlaku asas Point
d’interet Point d’action (akan dibahas dalam bagian selanjutnya) yakni berarti pihak
yang berkepentingan adalah pihak yang berhak menggugat7. Secara harafiah point
d’Interét point d’action ini berarti “Titik Kepentingan, titik aksi”. Dalam gugatan
Citizen Lawsuit ini hal yang dibawa oleh penggugat bukanlah hanya kepentingannya
pribadi namun seluruh orang yang nantinya akan terikat pada produk yang menjadi
objek sengketa. Bahkan penggugat dalam Citizen Lawsuit tidak perlu membuktikan
adanya kerugian riil sebagaimana gugatan perdata pada umumnya8.
Unsur primer dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menjadi dalil PMH dalam
class action adalah adanya kerugian serta kewajiban ganti kerugian bagi pelaku PMH.
Hal ini berbeda dengan Gugatan Citizen Lawsuit yang misalnya dalam Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI (SK KMA) No. 36/KMA/SK/II/2013 Tahun
2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup
melarang meminta ganti rugi dalam Petitum Citizen Lawsuit, melainkan hanya
permintaan agar Tergugat mengeluarkan kebijakan/peraturan tertentu saja (lihat
halaman 22 SK KMA tersebut).
Hal tersebutlah yang membedakan antara gugatan Citizen Lawsuit dengan
Gugatan Class Action (Groep Actie – Gugatan Perwakilan Kelompok) yang mana
berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 Gugatan Perwakilan Kelompok ini harus
dapat diidentifikasi siapa saja yang termasuk anggota kelompok yang menjadi
penggugat 9 serta harus dibuktikan pula bahwa perwakilan kelompok memiliki
kepentingan yang sama dengan para anggota kelompok yang diwakilinya. Hal ini
berbeda dengan Citizen Lawsuit yang mana Penggugat tidak dapat
mengindividualisasi anggota kelompok yang diwakilinya karena sifatnya terlalu umum
dan bisa mencapai lingkup satu negara10 jika objek yang digugat berbentuk peraturan
di tingkat nasional /pemerintah pusat.
Berdasarkan hal-hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa Citizen Lawsuit
tidak sama dengan Gugatan Perwakilan Kelompok dalam hukum acara perdata yang
dikenal di Indonesia sebagaimana diatur PERMA No. 1 Tahun 2002. Oleh karenanya
semestinya gugatan Citizen Lawsuit tidak disamakan dengan proses gugatan Class
Action dalam PERMA tersebut dan tidak menggunakan PERMA tersebut sebagai
hukum acara bagi Citizen Lawsuit.

Titik Singgung antara Citizen Lawsuit dan Hak Uji Materil


Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Mahkamah Agung
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut maka yang berwenang untuk menguji
segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sudah tertulis

7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2006,
hlm. 53.
8
Moch. Iqbal, Aspek Hukum Class Action dan Citizen Lawsuit serta Perkembangannya di
Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1 No. 1 Maret 2012, hlm. 106.
9
Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Gugatan Perwakilan Kelompok,
PERMA No. 1 Tahun 2002, Pasal 3 huruf b.
10
Lebih lengkap baca: Muhammad Adiguna Bimasakti, Anomali Kompetensi Absolut Atas
Gugatan Citizen Lawsuit Dalam Hukum Acara Indonesia, http://www.ptun-
banjarmasin.go.id/artikel/anomali-kompetensi-absolut-atas-gugatan-citizen-lawsuit-dalam-hukum-
acara-indonesia.html.
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 235

adalah Mahkamah Agung saja dengan mekanisme Hak Uji Materil (selanjutnya
disebut HUM) yang saat ini diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.
1 Tahun 2011. Batu uji dari Hak Uji Materil atas Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang (vide Pasal 9 ayat (2) UU No.
12 Tahun 2011). Hakim pada Mahkamah Agung (Kamar Tata Usaha Negara) diberi
wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang bertentangan atau tidak dengan undang-undang. Terkadang dapat
dilihat bahwa ada persinggungan manakala objek gugatan Citizen Lawsuit yang
diminta sebenarnya sudah ada namun tidak sesuai dengan hak warga Negara sehingga
harus digantikan dengan yang baru. Maka dalam hal ini ada persinggungan antara
kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang
merupakan kewenangan konstitusional Mahkamah Agung (mekanisme HUM) dengan
mekanisme gugatan Citizen Lawsuit.
Sedikit membahas mengenai peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang, sebenarnya ada beberapa permasalahan terkait dengan jenis dan hierarkhi
peraturan perundang-undangan di Indonesia yakni pada Pasal 7 dan 8 UU No. 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 7
menyebutkan hierarkhi peraturan perundang-undangan dari yang paling tinggi sampai
yang paling rendah adalah dari UUD 1945 (selaku konstitusi), Undang-Undang
(selaku formelle gezet) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan
Daerah Kota/Kabupaten. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah di manakah
posisi peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dijelaskan pada Pasal 8
UU tersebut dalam hierarkhisme peraturan perundang-undangan (Peraturan Kepala
Daerah misalnya)? Bagaimana dengan peraturan kebijakan (beleidsregel) yang dibuat
dengan dasar kewenangan diskresioner karena belum diatur atau tidak diamanatkan
dalam undang-undang, apakah ia juga bisa diuji melalui HUM? Terkait dengan titik
singgung antara HUM dengan Citizen Lawsuit ini Penulis akan membahasnya melalui
pendekatan tugas dan fungsi administrasi pemerintahan yakni “mengatur” dalam
konteks sejauh apa hakim dalam Citizen Lawsuit dapat menguji peraturan yang sudah
ada agar jangan sampai melanggar kewenangan Mahkamah Agung dalam permohonan
HUM berkenaan dengan kewenangan diskresioner pemerintahan dan hierarkhisme
perundang-undangan di atas.
Dalam hukum administrasi Negara, tugas pemerintah “mengatur” dapat dibagi
menjadi dua konteks yakni pemerintah menjalankan fungsi legislatif dan fungsi
eksekutif. Kapankah dikatakan pemerintah menjalankan fungsi legislatif dan kapankah
dikatakan ia menjalankan fungsi eksekutif dalam konteks pembentukan perundang-
undangan?
Pemerintah bertindak sebagai legislatif mana kala undang-undang memberikan
kewenangan baik secara delegasi (menunjuk jenis peraturan di bawahnya) maupun
secara atribusi (menunjuk organ pemerintah tertentu) untuk membuat peraturan
pelaksanaan dari suatu norma tertentu dalam undang-undang. Indroharto menyebut hal
ini sebagai “sikap mundur (terugtred) dari pembuat undang-undang” 11 . Artinya
pembuat undang-undang menyerahkan kepada pemerintah untuk mengatur materi
muatan undang-undang tersebut agar lebih rinci karena dianggap pemerintahlah yang
mengetahui situasi konkret. Sehingga materi-materi yang dimuat dalam peraturan
pelaksana tersebut sesungguhnya juga merupakan materi undang-undang karena ia

11
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm.
154.
236 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

dibuat berdasarkan kewenangan delegasi atau atribusi (wet in materiele zin)12. Dalam
hal ini maka menurut hemat penulis Mahkamah Agung berwenang untuk menguji
apakah ia bertentangan dengan undang-undang formilnya (undang-undang sebagai wet
in formele zin)13.
Terkait dengan pemerintah bertindak selaku eksekutif, maka dalam hal ini
melihat pada kewenangan diskresioner yang dimilikinya selaku pelaksana kekuasaan
administrasi. Maka dalam konteks ini semestinya menurut hemat penulis hakim
melalui mekanisme gugatan Citizen Lawsuit juga berwenang menguji tindakan berupa
perundang-undangan di bawah undang-undang yang dibentuk berdasarkan
kewenangan diskresioner tersebut karena ia merupakan produk dari pemerintah selaku
eksekutif. Lalu bagaimana dengan jabatan administrasi di bawah presiden? Secara
teoretis sebetulnya sama saja, yakni karena ia memiliki kewenangan diskresioner
maka ia pun berwenang mengambil tindakan yang sama secara diskresioner dengan
syarat tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene
beginselen van behoorlijk bestuur), Detournement de Pouvoir (Penyalahgunaan
Wewenang), dan tidak melakukan Willekeur (sewenang-wenang), serta Tujuan
Diskresi dalam Pasal 22 UU Administrasi Pemerintahan. Setidaknya ada tiga sebab
mengapa administrasi pemerintahan diberi kewenangan diskresioner ini14:
a. Karena keseluruhan hukum administrasi pemerintahan itu sangat luas dan
tidak mungkin diatur seluruhnya dalam Undang-Undang formil;
b. Norma-norma yang ada harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang
aktual;
c. Akan lebih cepat membuat peraturan detail melalui kewenangan
pemerintahan ketimbang proses legislasi.
Maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sepanjang sumber kewenangannya adalah
diskresi, maka hakim peradilan di bawah Mahkamah Agung dapat mengadili gugatan
Citizen Lawsuit dengan menguji apakah norma yang ada telah sesuai dengan undang-
undang tanpa membatalkan norma tersebut. Ia hanya menilai apakah norma tersebut
sesuai atau tidak dengan hak-hak warga Negara yang harus dilindungi dan dijamin.
Jika tidak sesuai atau tidak menjamin hak warga negara maka hakim dapat
memerintahkan Negara untuk mengeluarkan norma baru yang menjamin hak warga
negara tersebut melalui gugatan Citizen Lawsuit. Hal ini dapat ditarik dari beberapa
yurisprudensi terkait Citizen Lawsuit seperti dalam kasus gugatan Ujian Nasional oleh
Sofia Latjuba dkk di atas yang pada dasarnya hakim menilai peraturan yang telah ada
tidak sesuai dengan hak warga Negara atas pendidikan, sehingga ia memerintahkan
agar meninjau kembali kebijakan ujian nasional dan menyiapkan segala hal agar mutu
pendidikan nasional lebih baik. Sedangkan jika ia merupakan peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang yang dibentuk atas kewenangan delegasi atau
atribusi dari undang-undang maka ia tidak bisa diajukan gugatan Citizen Lawsuit tanpa
melalui proses HUM terlebih dahulu di MA.

12
Wet in Materiele Zin adalah Undang-Undang dalam arti materil, yakni secara materi konten
dari aturan tersebut berisi konten undang-undang tetapi bentuk peraturannya bisa jadi “undang-undang”
atau bisa jadi bukan undang-undang (PERPPU atau Peraturan lainnya yang di bawah undang-undang).
Terkadang disebut sebagai Algemeen Verbinden Voorschrift (Peraturan tertulis yang mengikat umum).
13
Wet in Formele Zin adalah Undang-Undang dalam arti formil, yakni secara nomenklatur,
bentuk, dan tata cara Pembuatannya aturan tersebut adalah dengan cara pembentukan undang-undang
(legislasi), yang mana ia mengikat secara umum karena sifatnya sebagai undang-undang. Lihat Pasal 42
Grondwet (UUD) Belanda.
14
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm.
154.
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 237

Menakar Ulang Larangan Bagi Hakim Untuk “Duduk di Atas Kursi


Pemerintah”
Ada suatu doktrin terkait dengan kewenangan diskresioner (termasuk
kewenangan membuat beleidsregel) yang menarik bagi Penulis yang dikemukakan
oleh Indroharto yakni Hakim tidak boleh “duduk di atas kursi pemerintah” 15. Sejauh
apa hakim dapat menilai baik buruk tindakan diskresioner dari administrasi Negara
ini? Apakah benar hakim hanya berwenang menguji jika pemerintahan melakukan
suatu tindakan yang ultra vires (melakukan detournement de povoir atau willekeur16)
dalam menjalankan kewenangan diskresionernya?
Sjahran Basah menyatakan dalam orasi ilmiah Dies Natalis XXIX Universitas
Padjadjaran Tanggal 24 September 1986 berjudul: “Perlindungan Hukum Terhadap
Sikap-Tindak Administrasi Negara” bahwa apabila suatu tindakan hukum administrasi
Negara dilakukan secara ultra vires (melakukan detournement de povoir atau
willekeur) maka norma hukum yang menjadi produknya “tidak dibenarkan dan tidak
berharga menurut hukum”17. Suatu kewenangan diskresioner memang sangat rawan
untuk disalahgunakan karena memang pada dasarnya hal ini memberi kebebasan bagi
administrasi pemerintahan untuk sebebasnya melakukan tindakan administrasi yang
mana diberikan pilihan oleh undang-undang, belum diatur undang-undang, belum jelas
pengaturannya, atau adanya stagnansi pemerintahan. Hal ini sejalan dengan
pengaturan mengenai diskresi dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan Pasal 1 angka 9 Jo. Pasal 22. Akan tetapi kembali kepada
pertanyaan awal, apakah benar hakim tidak boleh menilai baik buruknya keputusan
diskresioner (duduk di atas kursi pemerintah)? Sebetulnya untuk hal ini Penulis
memiliki dua argumentasi.
Argumentasi pertama adalah menganalogikan antara pengujian baik buruknya
keputusan dari kewenangan diskresioner dengan pengujian norma legislatif berupa
undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika memang hakim
tidak boleh menilai baik buruknya tindakan diskresioner pemerintah maka mengapa
hakim konstitusi berhak menilai baik buruknya tindakan legislatif dalam materi
undang-undang untuk diuji kepada konstitusi? Bukankah dalam hal ini berarti “Hakim
duduk di atas kursi legislatif”? Semestinya apabila memang secara filosofis hakim
berwenang menilai baik buruknya materi undang-undang melalui judicial review
semestinya hakim juga boleh menilai baik buruknya keputusan dari kewenangan
diskresioner pemerintahan.
Argumentasi kedua adalah pengaturan diskresi dalam Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan yang membatasi penggunaan diskresi. Pasal 22 Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan membatasi tujuan dari kewenangan diskresioner.
Artinya apabila materi muatan dari keputusan diskresi tidak sesuai dengan tujuan-
tujuan dalam Pasal 22 tersebut maka mestinya harus dikatakan keputusan diskresioner
itu dapat dibatalkan. Berikut pembatasan tujuan diskresi dalam Pasal 22 ayat (2) UU
Administrasi Pemerintahan:
Pasal 22
(2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
15
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm.
59.
16
Dapat pula dipelajari pengaturan tertulis dari detournement de povoir dan willekeur dalam UU
Administrasi Pemerintahan Pasal 18 sampai 20.
17
Sjahran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Bandung:
Alumni, 1992, hlm. 10.
238 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

b. mengisi kekosongan hukum;


c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu
guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Berdasarkan kedua argumentasi tersebut maka menurut penulis saat ini hakim dapat
“duduk di atas kursi pemerintahan” dalam menilai keputusan diskresioner. Hal ini
berarti hakim dalam gugatan Citizen Lawsuit dapat menilai baik buruknya sikap diam
maupun tindakan diskresioner pemerintah dalam hal pembentukan kebijakan.

Citizen Lawsuit sebagai Sengketa Administrasi


Berbeda dengan gugatan perdata, objek gugatan (objectum litis) dalam Citizen
Lawsuit ini adalah meminta agar Tergugat (Negara) untuk mengeluarkan suatu
kebijakan atau peraturan yang menjamin terpenuhinya hak warga Negara yang
dijadikan dalil dalam gugatan. Oleh karena ia merupakan gugatan yang bersifat
mewakili kepentingan umum (algemeen belang) maka Penggugat tidak perlu melulu
merupakan pihak yang haknya dirugikan secara langsung oleh sikap diam atau
tindakan Negara. Seluruh warga Negara dapat mengajukan gugatan Citizen Lawsuit di
muka hakim karena pada dasarnya yang menjadi dasar gugatan bukanlah kepentingan
perlindungan nilai semata, namun juga kepentingan proses sebagaimana telah
dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dilihat adanya perbedaan yang mencolok
antara sengketa keperdataan dengan sengketa gugatan Citizen Lawsuit yang mana
Penggugat tidaklah mesti merupakan pihak yang dirugikan secara langsung.
Sedangkan dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya asas point d’interet point
d’action yakni orang yang berhak menggugat adalah orang yang memiliki kepentingan
langsung. Pada Hukum Acara Perdata, asas Point d’intret Point d’action ini
dicerminkan dalam Pasal 163 Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) Jo. Pasal 283
Reglement op de Buitengewesten (RBg). Lalu bagaimana mungkin seseorang yang
tidak punya kepentingan langsung atas suatu objek sengketa mengatasnamakan sekian
banyak orang untuk menggugat di muka hakim perdata? Tentu hal ini melanggar
hukum acara perdata yang berlaku dalam HIR/RBg.
Untuk menemukan rumusan yang tepat bagi penegakkan hukum guna
pemenuhan hak warga Negara melalui gugatan Citizen Lawsuit, maka perlu diketahui
terlebih dahulu jenis sengketa apakah Citizen Lawsuit ini. Apakah ia merupakan
sengketa di bidang hukum keperdataan atau hukum publik (administrasi)? Untuk
melihat apakah suatu tindakan baik aktif maupun pasif (diamnya) pemerintah
merupakan perbuatan hukum publik atau keperdataan, maka perlu dikaji lebih dahulu
tunduk kepada ranah hukum manakah tindakan tersebut.
Penulis pernah menuliskan sebuah artikel khusus yang membahas mengenai
pemisahan antara tindakan administrasi dan perbuatan hukum perdata dari pemerintah
ini dengan tajuk: “Batasan Tindakan Dalam Hukum Administrasi Pemerintahan dan
Perbuatan Dalam Hukum Perdata Oleh Pemerintah” 18. Dalam tulisan tersebut dapat
disimpulkan untuk melihat apakah suatu tindakan pemerintahan merupakan perbuatan
keperdataan atau tindakan administrasi harus dilihat:

18
Muhammad Adiguna Bimasakti, “Batasan Tindakan Dalam Hukum Administrasi
Pemerintahan dan Perbuatan Dalam Hukum Perdata Oleh Pemerintah”, http://ptun-
makassar.go.id/batasan-tindakan-dalam-hukum-administrasi-pemerintahan-dan-perbuatan-dalam-
hukum-perdata-oleh-pemerintah/
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 239

1. Apakah yang menjadi landasannya adalah Hak Keperdataan (Burgerrechten)


atau Kewenangan dalam Hukum Publik (Bevoegheid) 19 ? Jika landasannya
adalah hak keperdataan untuk menikmati hak keperdataan maka ia tunduk pada
hukum perdata. Namun jika landasannya adalah Kewenangan maka ia tunduk
pada hukum publik.
2. Apakah tindakan yang dilakukan pemerintah itu bersegi satu (eenzijdige) atau
justru bersegi dua atau lebih (meerzijdige)? Jika ia bersegi satu maka sudah
pasti ia tunduk pada hukum publik. Namun jika bersegi banyak maka bisa jadi
ia tunduk pada hukum perdata atau campuran antara hukum perdata dan
publik20.
Ciri-ciri bahwa suatu perbuatan hukum memiliki kecenderungan terhadap sifat
hukum administrasi dalam hal ini dapat dilihat dari pendapat E. Utrecht berikut:
Yang dimaksud dengan “administrasi” ialah gabungan jabatan-jabatan
(CompIex van ambten) yang di bawah pimpinan Pemerintah melaksanakan
bagian tertentu dari pekerjaan pemerintah (overheidstaak), yakni bagian dari
pekerjaan pemerintah yang tidak ditugaskan kepada badan-badan
pengadilan, badan legislatif (pusat) …21.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pula bahwa yang dapat diuji oleh hakim
administrasi dalam konteks Citizen Lawsuit hanyalah peraturan perundangan yang
bersifat beleidsregel atau peraturan kebijakan, sedangkan yang selain itu merupakan
murni kewenangan Mahkamah Agung melalui Hak Uji Materiil sebagaimana diatur
Pasal 24A UUD 1945 Jo. UU Mahkamah Agung Jo. PERMA No. 1 Tahun 2011.
Karena peraturan perundangan selain dari beleidsregel dibuat dalam rangka
menjalankan kewenangan atribusi atau delegasi dari undang-undang, sehingga bukan
merupakan fungsi pemerintahan melainkan fungsi legislatif. Yang merupakan fungsi
pemerintahan adalah pembuatan peraturan perundangan secara diskresioner berupa
beleidsregel. Kecuali jika sebelumnya memang belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur hal yang dimintakan, maka hakim berwenang
mengadili objek gugatan Citizen Lawsuit yang diminta.
Pembagian Tindakan Administrasi yang disebut di atas sebetulnya adalah untuk
memudahkan klasifikasi dalam rangka perlindungan hukum bagi warga Negara,
maupun bagi jabatan administrasi. Karena dalam sistem hukum yang dianut oleh
Indonesia keduanya memiliki perbedaan yang signifikan yang mana hukum
keperdataan lebih menonjolkan segi kesepakatan 22 , sedangkan segi hukum publik
lebih menekankan kepastian hukum.
Dalam hal objek gugatan pada Citizen Lawsuit ini sudah tentu tunduk kepada
hukum publik karena ia jelas-jelas merupakan kewenangan administrasi pemerintahan

19
Hadjon menggunakan kecakapan (bekwaamheid) ketimbang hak. Lihat: Philipus M. Hadjon,
et.,al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2008, hlm.
135.
20
Mengenai segi tindakan administrasi ini dapat dilihat di Safri Nugraha, Et.Al., Hukum
Administrasi Negara, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007, hlm. 85.
dan juga di Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara:
Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004,
hlm 145.
21
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: N.V. Penerbitan Dan Balai Buku
Indonesia, 1953, hlm. 245, dengan penyesuaian ejaan.
22
Bahkan para pihak dapat melakukan pilihan hukum dan memilih hukum asing untuk
diberlakukan dalam perjanjian, sehingga akhirnya sengketanya menjadi sengketa hukum perdata
Internasional karena adanya titik pertalian primer berupa Pilihan Hukum. Lihat Sudargo Gautama,
Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian 4 Buku Ke-5, Bandung: Alumni, 1998, hlm 5.
240 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

untuk membuat peraturan atau kebijakan. Oleh karenanya sengketa dalam Citizen
Lawsuit ini jelas merupakan sengketa administrasi.

Objek Gugatan Dalam Citizen Lawsuit


Objek Gugatan Citizen Lawsuit Berupa Petitum Agar Pemerintah
Mengeluarkan Kebijakan (Beleidsregel)
Dalam hal penggugat meminta agar Tergugat (Negara/pemerintah)
mengeluarkan suatu Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) dengan landasan kewenangan
diskresioner, maka hakim berwenang penuh untuk mengadilinya. Karena hal ini
merupakan murni kewenangan pemerintahan sehingga ia merupakan subjek dari
administrasi pemerintahan. Batu uji dari gugatan atas beleidsregel ini baik berupa
permohonan mengeluarkan kebijakan baru atau mengubah kebijakan yang lama adalah
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk
bestuur - AAUPB), Detournement de Pouvoir (Penyalahgunaan Wewenang), dan
tidak melakukan Willekeur (sewenang-wenang), serta Tujuan Diskresi dalam Pasal 22
UU Administrasi Pemerintahan. Jika terbukti dalam sikap diamnya (ketiadaan
kebijakan yang menjamin hak warga Negara) itu pemerintah melanggar salah satu asas
dalam AAUPB, Memenuhi unsur penyalagunaan wewenang, atau sewenang-wenang
baik dalam doktrin maupun dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan 23 ,
maka menurut hemat penulis gugatan harus dikabulkan oleh hakim.
Objek Gugatan Citizen Lawsuit Berupa Petitum Agar Pemerintah
Mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan Untuk Menjalankan Amanat
Undang-Undang (Regeling)
Dalam hal penggugat meminta agar Tergugat (Negara/pemerintah)
mengeluarkan suatu Peraturan (Regeling) dengan landasan kewenangan atributif atau
delegatif dari undang-undang, maka hakim tidak berwenang untuk mengadilinya
karena ia harus diuji melalui HUM di Mahkamah Agung. Karena hal ini merupakan
campuran dengan fungsi pemerintahan untuk menjalankan kewenangan legislatif
membentuk norma yang diamanatkan undang-undang secara kewenangan atributif
atau delegatif, dan bukan fungsi administrasi pemerintahan murni. Hakim dalam
gugatan Citizen Lawsuit baru berwenang mengadilinya apabila sudah ada putusan
HUM yang mengabulkan permohonan HUM atas norma yang dianggap bertentangan
dengan undang-undang, dan kemudian diajukan gugatan Citizen Lawsuit agar
dikeluarkan peraturan pengganti yang sesuai dengan hak warga Negara yang
dimaksud, jika memang tidak ada respon dari administrasi pemerintahan atas tindak
lanjut putusan HUM yang sudah ada sebelumnya.

Persoalan Kewenangan Mengadili Citizen Lawsuit di Indonesia


Telah menjadi yurisprudensi tetap yang diikuti di Indonesia bahwa perkara
gugatan Citizen Lawsuit menjadi kewenangan Peradilan Umum yang mana dalam hal
ini menjadi kewenangan hakim perdata untuk mengadilinya. Misal pada putusan
gugatan Citizen Lawsuit yang diajukan oleh artis Sofia Latjuba dkk pada tahun 2006
tentang Ujian Nasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana telah tersebut
di atas yang dikabulkan (sebagian) dan berakhir sampai kasasi dan memperoleh
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Dasar yang digunakan dalam gugatan
23
Untuk pengaturan tertulis mengenai Penyalahgunaan Wewenang lihat Pasal 18-20 UU
Administrasi Pemerintahan. Untuk pengaturan tertulis mengenai AAUPB lihat UU No. 28 Tahun 1999
dan UU Administrasi Pemerintahan.
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 241

Citizen Lawsuit ini adalah adanya perbuatan melawan hukum oleh penguasa
(Onrechtmatig Overheidsdaad) dengan dalil Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek / KUH
Perdata sebagai berikut:

Artikel 1365
Elke onregtmatige daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt,
stelt dengene door wiens schuld die schade veroorzaakt is in de verplichting om
dezelve te vergoeden.24
Terjemah:
Pasal 1365
Tiap perbuatan yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk menggantikan kerugian tersebut.

Secara umum sebenarnya jika diperhatikan pola pikir dalam membagi


kewenangan mengadili secara absolut pada badan peradilan di bawah Mahkamah
Agung RI adalah berdasarkan pola pikir residu (residual rechtspraak)25, yakni segala
sengketa dapat diadili oleh Peradilan Umum kecuali ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan sebagai kewenangan absolut badan peradilan lain. Sebagai
contoh pola pikir residual ini adalah pendapat Muchsan, SH yang menyatakan KTUN
tidak tertulis dapat diadili peradilan umum karena PTUN hanya berwenang mengadili
KTUN tertulis saja26. Akan tetapi setelah mempelajari hal-hal di atas apakah demikian
adanya? Padahal jelas-jelas dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 2 Tahun 1986
Tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa kewenangan peradilan umum hanya
seputar perkara perdata dan pidana saja.
Jika melihat kepada karakteristik Citizen Lawsuit sebagai Sengketa
Administrasi, seharusnya apabila konsisten dengan ketentuan dalam Undang-Undang
No. 30 Tahun 2014 terutama Pasal 1 angka 18 Jo. Pasal 85 maka ia menjadi
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Berikut adalah pengaturan dalam Pasal 1
angka 18 Jo. Pasal 85 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan:
Pasal 1
18. Pengadilan Adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 85
(1) Pengajuan Gugatan Sengketa Administrasi Pemerintahan Yang Sudah
Didaftarkan Pada Pengadilan Umum Tetapi Belum Diperiksa, Dengan
Berlakunya Undang-Undang Ini Dialihkan Dan Diselesaikan Oleh
Pengadilan.
(2) Pengajuan Gugatan Sengketa Administrasi Pemerintahan Yang Sudah
Didaftarkan Pada Pengadilan Umum Dan Sudah Diperiksa, Dengan

24
Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia sama dengan Pasal 1401 BW Belanda. Lihat Pasal 1401
BW Belanda yang lama di: C. W. Opzoomer, Het Burgerlijk Wetboek Verklaard door MR. C. W.
Opzoomer, Zesde Deel, Artikel 1349-1416, Amsterdam: J. H. Gebhard en Comp., 1879, hlm. 306.
25
Muhammad Adiguna Bimasakti, Onrechtmatig Overheidsdaad Oleh Pemerintah Dari Sudut
Pandang Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Jurnal Hukum Peratun Vol. 1 No. 2, Agustus
2018, hlm. 275.
26
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1992, hlm. 60.
242 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

Berlakunya Undang-Undang Ini Tetap Diselesaikan Dan Diputus Oleh


Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum.
Namun lagi-lagi hal ini terhambat dengan terbatasnya kewenangan absolut
Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN) 27 serta terbatasnya perluasan yang diberikan oleh Pasal 87 UU
Administrasi Pemerintahan. Oleh karena itu sampai saat ini harus tetap diterima
dengan pendekatan residual rechtspraak sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
karena PERATUN tidak berwenang memeriksa dan mengadili Citizen Lawsuit maka
sementara ini kewenangannya ada pada Peradilan Umum. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan di masa depan bahwa kewenangan PERATUN akan dipertegas dan
diperluas sehingga memasukkan Citizen Lawsuit sebagai kewenangan absolut
PERATUN.

III. KESIMPULAN

Citizen Lawsuit sebagai Mekanisme Perlindungan Hak Warga Negara melalui


pengadilan agar Negara memenuhi hak warganegara. Perbedaan Citizen Lawsuit dan
Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) dalam praktik beracara di Indonesia
adalah bahwa dalam Citizen Lawsuit penggugat tidak harus membuktikan ada
kerugian riil, dan ia dapat bertindak mewakili warga Negara lainnya meskipun tidak
memiliki kepentingan. Sedangkan dalam class action, sang wakil kelas harus ada
kerugian riil dan kepentingan yang sama dengan anggota kelas/kelompoknya yang
diwakili sesuai asas point d’interet point d’action.
Titik Singgung antara Citizen Lawsuit dan Hak Uji Materil adalah bahwa apabila
objek yang diminta dalam Citizen Lawsuit sebetulnya sudah berwujud peraturan
tertulis maka seolah-olah hakim akan mengujinya seperti Mahkamah Agung menguji
melalui mekanisme Hak Uji Materil. Oleh karenanya perbedaannya adalah hakim
dalam Citizen Lawsuit hanya berwenang secara mutlak mengadili objek beleidsregel
(kebijakan), sedangkan jika objeknya adalah regeling yang sudah ada sebelumnya
tetap harus diuji lewat HUM terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan Citizen
Lawsuit apabila tidak ada tindak lanjut atas putusan HUM nya.
Larangan Bagi Hakim Untuk “Duduk di Atas Kursi Pemerintah” dalam menilai
baik buruknya materi dalam keputusan diskresi tidak relevan sepanjang produk
keputusan diskresi itu tidak sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana diatur Pasal 22
UU Administrasi Pemerintahan. Hakim juga dapat menguji diskresi tersebut melalui
batu uji AAUPB, larangan Detournement de pouvoir dan Willekeur.
Berdasarkan karakter sengketanya, maka Citizen Lawsuit adalah sengketa
administrasi karena objek gugatannya adalah peraturan (regeling) atau kebijakan
(beleidsregel). Semestinya karena Citizen Lawsuit ini diidentifikasi sebagai sengketa
administrasi maka kewenangan absolut mengadilinya ada pada Peradilan TUN.
Karena saat ini hukum acara PERATUN membatasi sehingga ia tidak bisa diadili di
PERATUN dan untuk sementara diadili oleh Peradilan Umum. Namun tidak menutup
kemungkinan di masa depan kewenangan PERATUN dipertegas dan diperluas salah
satunya berwenang mengadili Citizen Lawsuit.

27
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun
2004, terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009.
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 243

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Basah, Sjahran. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara.
Bandung: Alumni, 1992.
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian 4 Buku
Ke-5. Bandung: Alumni, 1998.
Hadjon, Philipus M., et.,al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta:
Gadja Mada University Press, 2008.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Isrok dan Rizki Emil Birham. Citizen Lawsuit: Penegakan Hukum Alternatif Warga
Negara. Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Liberty, 2006.
Muchsan. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1992.
Nugraha, Safri et.al. Hukum Administrasi Negara. Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2007.
Opzoomer, C. W. Het Burgerlijk Wetboek Verklaard door MR. C. W. Opzoomer,
Zesde Deel, Artikel 1349-1416. Amsterdam: J. H. Gebhard en Comp., 1879.
Ten Berge, J.B.J.M. dan A.Q.C. Tak. Hoofdlijnen van het Nederlands Administratief
Processrecht. Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, 1987.
Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: N.V. Penerbitan dan Balai
Buku Indonesia.

Artikel Jurnal
Bimasakti, Muhammad Adiguna. Onrechtmatig Overheidsdaad Oleh Pemerintah Dari
Sudut Pandang Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Jurnal Hukum
Peratun Vol. 1 No. 2, Agustus 2018.
Iqbal, Moch. Aspek Hukum Class Action dan Citizen Lawsuit serta Perkembangannya
di Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1 No. 1 Maret 2012.

Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 5 Tahun
1986. LN No. 77 Tahun 1986. TLN No. 3344.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999. LN No. 75
Tahun 1999. TLN No. 3851.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 9 Tahun 2004. LN No. 35
Tahun 2004. TLN No. 4380.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Lingkungan Hidup. UU No. 32 Tahun 2009, LN
No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 51 Tahun 2009.
LN No. 160 Tahun 2009. TLN No. 5079.
Indonesia. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. UU No. 30 Tahun 2014. LN
No. 292 Tahun 2014. TLN No. 5601.
244 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

RIB/HIR dengan Penjelasan (Het Herzeine Inlandsch Reglement). Diterjemahkan oleh


R. Soesilo. Bogor: 1995, Politeia.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Balai Pustaka, 2004.
Mahkamah Agung RI. Peraturan Mahkamah Agung Tentang Gugatan Perwakilan
Kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002.
Mahkamah Agung RI. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI (SK KMA) No.
36/KMA/SK/II/2013 Tahun 2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan
Perkara Lingkungan Hidup.

Internet
Bimasakti, Muhammad Adiguna. Anomali Kompetensi Absolut Atas Gugatan Citizen
Lawsuit Dalam Hukum Acara Indonesia, http://www.ptun-
banjarmasin.go.id/artikel/anomali-kompetensi-absolut-atas-gugatan-citizen-
lawsuit-dalam-hukum-acara-indonesia.html
. Batasan Tindakan Dalam Hukum Administrasi Pemerintahan
dan Perbuatan Dalam Hukum Perdata Oleh
Pemerintah, http://ptun- makassar.go.id/batasan-tindakan-dalam-
hukum-administrasi-pemerintahan-dan- perbuatan-dalam-hukum-perdata-oleh-
pemerintah/ .

You might also like