Professional Documents
Culture Documents
Rekonstruksi Paradigma CLS UI
Rekonstruksi Paradigma CLS UI
Rekonstruksi Paradigma CLS UI
1 (2020): 230-244
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Abstract
Citizen Lawsuit is an alternative law enforcement mechanism for citizens. Every
citizen has the same right to file a Citizen Lawsuit in the court. However, the problems
are that there is no definite regulation regarding the authority to adjudicate Citizen
Lawsuit, and its contact with the “Judicial Review” which is the constitutional
authority of the Supreme Court. In addition there are also problems related to
discretionary authority where there is a prohibition for judges to judge the good and
bad of the government's discretionary actions. This paper tries to answer these
problems through normative and theoretical approaches. The contact between
Judicial Review and Citizen Lawsuit is that if the object is an existing regulation.
Prohibition for judges from assessing the good and bad of the government's
discretionary action can be ruled out as long as the assessment is made regarding
purposes of discretionary actions ruled under Law No. 30 of 2014 concerning
Government Administration. The character of Citizen Lawsuit is administrative, not
civil, so it should be the authority of the State Administrative Court and not the
General Court to adjudicate.
Keywords: Citizen Lawsuit, Administrative Dispute, Administrative Court.
Abstrak
Citizen Lawsuit merupakan suatu mekanisme penegakkan hukum alternatif bagi warga
Negara. Setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk mengajukan gugatan
Citizen Lawsuit di muka pengadilan. Akan tetapi permasalahannya adalah belum ada
pengaturan yang pasti mengenai kewenangan mengadili dari Citizen Lawsuit dan
singgungannya dengan Hak Uji Materil (HUM) yang merupakan kewenangan
konstitusional Mahkamah Agung. Selain itu ada pula permasalahan terkait dengan
kewenangan diskresioner yang mana terdapat larangan bagi hakim untuk menilai baik
dan buruknya tindakan diskresioner pemerintah. Tulisan ini mencoba menjawab
persoalan-persoalan tersebut melalui pendekatan normatif dan teoretis. Titik singgung
antara HUM dan Citizen Lawsuit adalah ketika yang diuji merupakan peraturan
perundangan tertulis yang sudah ada. Untuk larangan hakim menilai baik dan
buruknya tindakan diskresioner pemerintah dapat dikesampingkan sepanjang penilaian
dilakukan atas tujuan diskresi dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan. Karakter Citizen Lawsuit adalah sengketa administrasi,
bukan keperdataan sehingga seharusnya menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha
Negara dan bukan Peradilan Umum.
Kata Kunci: Citizen Lawsuit, Sengketa Administrasi, Peradilan Tata Usaha Negara.
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara hukum (rechtstaat) sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Pasal 1 ayat (3) hasil amandemen. UUD 1945 pun menjamin hak-hak warga Negara
agar setiap warga Negara mendapat perlindungan dari pemerintahan Negara. Oleh
karena itu dibutuhkan mekanisme untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga
negara tersebut, yang salah satunya dijalankan melalui penyelesaian di pengadilan.
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam hal ini mengatur bahwa Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Lembaga Peradilan dalam hal ini menjadi salah satu garda
pengawal keadilan bagi para pencari keadilan. Kekuasaan kehakiman menjadi tempat
terakhir bagi rakyat pencari keadilan untuk mencari keadilan. Oleh karena itu
penguatan lembaga peradilan semestinya menjadi suatu keniscayaan demi tegaknya
hak-hak setiap orang.
Mengutip kalimat dari Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg Acton)
yang terkenal bahwa: “Power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutly”
(terjemah penulis: Kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan yang mutlak
pasti cenderung untuk korup), maka semestinya gugatan melalui pengadilan dapat
menjadi alternatif mekanisme penegakan hak-hak warga Negara melalui sistem check
and balances.
Perumusan Masalah
Dalam beberapa dekade terakhir, di dunia peradilan Indonesia muncul beberapa
model gugatan yang sebelumnya tidak dikenal dalam proses beracara dalam
lingkungan peradilan di Indonesia yang merupakan adopsi dari sistem hukum lain. Di
antara model gugatan baru tersebut adalah Gugatan “Citizen Lawsuit” atau dalam
terminologi hukum Indonesia saat ini diterjemahkan sebagai “Gugatan Warga
Negara”. Kemudian timbullah pertanyaan bahwa yang menjadi pokok objek gugatan
dalam gugatan ini adalah mengenai sikap tindak pemerintah (Negara) dalam
menjalankan urusan pemerintahan (bestuurzorg) yang mana semestinya hal ini
merupakan ranah hukum publik. Lalu mengapa gugatan Citizen Lawsuit di Indonesia
diadili oleh hakim perdata? Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Citizen Lawsuit
sebagai mekanisme dalam memperjuangkan hak-hak warga negara, karakteristik
sengketanya, serta tinjauan mengenai kompetensi absolut mengadilinya dari segi
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
3
Moch. Iqbal, Aspek Hukum Class Action dan Citizen Lawsuit serta Perkembangannya di
Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1 No. 1 Maret 2012, hlm. 106.
4
Op.Cit. hlm. 22.
5
Lebih lengkap baca: Muhammad Adiguna Bimasakti, Anomali Kompetensi Absolut Atas
Gugatan Citizen Lawsuit Dalam Hukum Acara Indonesia, http://www.ptun-
banjarmasin.go.id/artikel/anomali-kompetensi-absolut-atas-gugatan-citizen-lawsuit-dalam-hukum-
acara-indonesia.html.
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 233
Dari praktik yang ada selama ini dan berdasarkan yurisprudensi-yurisprudensi yang
diterima sebagai dasar hukum, maka Citizen Lawsuit dapat digunakan sebagai
mekanisme gugatan warga Negara kepada Negara (pemerintahan) agar negara
memenuhi hak-hak warga negara melalui tindakan tertentu berupa pembentukan
kebijakan atau peraturan tertentu.
Kemudian timbul masalah di mana dalam hal ini hakim pada gugatan Citizen
Lawsuit akan menilai tindakan dari Negara untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
terhadap tidak dipenuhinya hak warga Negara. Maksudnya adalah jika Penggugat
memohon kepada hakim agar Negara mengubah suatu peraturan tertentu agar
peraturan tersebut sesuai dengan dan memenuhi hak warga negara maka ia akan
bersinggungan dengan Hak Uji Materiil atas peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang yang mana hal ini merupakan kewenangan Mahkamah Agung.
Kemudian jika memang peraturan atau kebijakan yang diminta melalui Citizen
Lawsuit ini belum dibuat sebelumnya, maka apakah bisa seorang hakim menilai sikap
“diam” nya pemerintah ini dalam hal baik atau buruknya? Bukankah hal yang
demikian itu sama saja dengan hakim duduk di atas kursi pemerintah dalam hal
menentukan kebijaksanaan melalui peraturan kebijakan / beleidsregel yang notabene
merupakan kewenangan diskresioner / freies ermessen? Keduanya akan dibahas pada
pembahasan berikutnya.
6
J.B.J.M. Ten Berge, dan A.Q.C. Tak, Hoofdlijnen van het Nederlands Administratief
Processrecht, Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, 1987, hlm. 65.
234 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Hal ini jelas berbeda dengan hukum acara perdata yang mana berlaku asas Point
d’interet Point d’action (akan dibahas dalam bagian selanjutnya) yakni berarti pihak
yang berkepentingan adalah pihak yang berhak menggugat7. Secara harafiah point
d’Interét point d’action ini berarti “Titik Kepentingan, titik aksi”. Dalam gugatan
Citizen Lawsuit ini hal yang dibawa oleh penggugat bukanlah hanya kepentingannya
pribadi namun seluruh orang yang nantinya akan terikat pada produk yang menjadi
objek sengketa. Bahkan penggugat dalam Citizen Lawsuit tidak perlu membuktikan
adanya kerugian riil sebagaimana gugatan perdata pada umumnya8.
Unsur primer dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menjadi dalil PMH dalam
class action adalah adanya kerugian serta kewajiban ganti kerugian bagi pelaku PMH.
Hal ini berbeda dengan Gugatan Citizen Lawsuit yang misalnya dalam Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI (SK KMA) No. 36/KMA/SK/II/2013 Tahun
2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup
melarang meminta ganti rugi dalam Petitum Citizen Lawsuit, melainkan hanya
permintaan agar Tergugat mengeluarkan kebijakan/peraturan tertentu saja (lihat
halaman 22 SK KMA tersebut).
Hal tersebutlah yang membedakan antara gugatan Citizen Lawsuit dengan
Gugatan Class Action (Groep Actie – Gugatan Perwakilan Kelompok) yang mana
berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 Gugatan Perwakilan Kelompok ini harus
dapat diidentifikasi siapa saja yang termasuk anggota kelompok yang menjadi
penggugat 9 serta harus dibuktikan pula bahwa perwakilan kelompok memiliki
kepentingan yang sama dengan para anggota kelompok yang diwakilinya. Hal ini
berbeda dengan Citizen Lawsuit yang mana Penggugat tidak dapat
mengindividualisasi anggota kelompok yang diwakilinya karena sifatnya terlalu umum
dan bisa mencapai lingkup satu negara10 jika objek yang digugat berbentuk peraturan
di tingkat nasional /pemerintah pusat.
Berdasarkan hal-hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa Citizen Lawsuit
tidak sama dengan Gugatan Perwakilan Kelompok dalam hukum acara perdata yang
dikenal di Indonesia sebagaimana diatur PERMA No. 1 Tahun 2002. Oleh karenanya
semestinya gugatan Citizen Lawsuit tidak disamakan dengan proses gugatan Class
Action dalam PERMA tersebut dan tidak menggunakan PERMA tersebut sebagai
hukum acara bagi Citizen Lawsuit.
7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2006,
hlm. 53.
8
Moch. Iqbal, Aspek Hukum Class Action dan Citizen Lawsuit serta Perkembangannya di
Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1 No. 1 Maret 2012, hlm. 106.
9
Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Gugatan Perwakilan Kelompok,
PERMA No. 1 Tahun 2002, Pasal 3 huruf b.
10
Lebih lengkap baca: Muhammad Adiguna Bimasakti, Anomali Kompetensi Absolut Atas
Gugatan Citizen Lawsuit Dalam Hukum Acara Indonesia, http://www.ptun-
banjarmasin.go.id/artikel/anomali-kompetensi-absolut-atas-gugatan-citizen-lawsuit-dalam-hukum-
acara-indonesia.html.
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 235
adalah Mahkamah Agung saja dengan mekanisme Hak Uji Materil (selanjutnya
disebut HUM) yang saat ini diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.
1 Tahun 2011. Batu uji dari Hak Uji Materil atas Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang (vide Pasal 9 ayat (2) UU No.
12 Tahun 2011). Hakim pada Mahkamah Agung (Kamar Tata Usaha Negara) diberi
wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang bertentangan atau tidak dengan undang-undang. Terkadang dapat
dilihat bahwa ada persinggungan manakala objek gugatan Citizen Lawsuit yang
diminta sebenarnya sudah ada namun tidak sesuai dengan hak warga Negara sehingga
harus digantikan dengan yang baru. Maka dalam hal ini ada persinggungan antara
kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang
merupakan kewenangan konstitusional Mahkamah Agung (mekanisme HUM) dengan
mekanisme gugatan Citizen Lawsuit.
Sedikit membahas mengenai peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang, sebenarnya ada beberapa permasalahan terkait dengan jenis dan hierarkhi
peraturan perundang-undangan di Indonesia yakni pada Pasal 7 dan 8 UU No. 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 7
menyebutkan hierarkhi peraturan perundang-undangan dari yang paling tinggi sampai
yang paling rendah adalah dari UUD 1945 (selaku konstitusi), Undang-Undang
(selaku formelle gezet) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan
Daerah Kota/Kabupaten. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah di manakah
posisi peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dijelaskan pada Pasal 8
UU tersebut dalam hierarkhisme peraturan perundang-undangan (Peraturan Kepala
Daerah misalnya)? Bagaimana dengan peraturan kebijakan (beleidsregel) yang dibuat
dengan dasar kewenangan diskresioner karena belum diatur atau tidak diamanatkan
dalam undang-undang, apakah ia juga bisa diuji melalui HUM? Terkait dengan titik
singgung antara HUM dengan Citizen Lawsuit ini Penulis akan membahasnya melalui
pendekatan tugas dan fungsi administrasi pemerintahan yakni “mengatur” dalam
konteks sejauh apa hakim dalam Citizen Lawsuit dapat menguji peraturan yang sudah
ada agar jangan sampai melanggar kewenangan Mahkamah Agung dalam permohonan
HUM berkenaan dengan kewenangan diskresioner pemerintahan dan hierarkhisme
perundang-undangan di atas.
Dalam hukum administrasi Negara, tugas pemerintah “mengatur” dapat dibagi
menjadi dua konteks yakni pemerintah menjalankan fungsi legislatif dan fungsi
eksekutif. Kapankah dikatakan pemerintah menjalankan fungsi legislatif dan kapankah
dikatakan ia menjalankan fungsi eksekutif dalam konteks pembentukan perundang-
undangan?
Pemerintah bertindak sebagai legislatif mana kala undang-undang memberikan
kewenangan baik secara delegasi (menunjuk jenis peraturan di bawahnya) maupun
secara atribusi (menunjuk organ pemerintah tertentu) untuk membuat peraturan
pelaksanaan dari suatu norma tertentu dalam undang-undang. Indroharto menyebut hal
ini sebagai “sikap mundur (terugtred) dari pembuat undang-undang” 11 . Artinya
pembuat undang-undang menyerahkan kepada pemerintah untuk mengatur materi
muatan undang-undang tersebut agar lebih rinci karena dianggap pemerintahlah yang
mengetahui situasi konkret. Sehingga materi-materi yang dimuat dalam peraturan
pelaksana tersebut sesungguhnya juga merupakan materi undang-undang karena ia
11
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm.
154.
236 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
dibuat berdasarkan kewenangan delegasi atau atribusi (wet in materiele zin)12. Dalam
hal ini maka menurut hemat penulis Mahkamah Agung berwenang untuk menguji
apakah ia bertentangan dengan undang-undang formilnya (undang-undang sebagai wet
in formele zin)13.
Terkait dengan pemerintah bertindak selaku eksekutif, maka dalam hal ini
melihat pada kewenangan diskresioner yang dimilikinya selaku pelaksana kekuasaan
administrasi. Maka dalam konteks ini semestinya menurut hemat penulis hakim
melalui mekanisme gugatan Citizen Lawsuit juga berwenang menguji tindakan berupa
perundang-undangan di bawah undang-undang yang dibentuk berdasarkan
kewenangan diskresioner tersebut karena ia merupakan produk dari pemerintah selaku
eksekutif. Lalu bagaimana dengan jabatan administrasi di bawah presiden? Secara
teoretis sebetulnya sama saja, yakni karena ia memiliki kewenangan diskresioner
maka ia pun berwenang mengambil tindakan yang sama secara diskresioner dengan
syarat tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene
beginselen van behoorlijk bestuur), Detournement de Pouvoir (Penyalahgunaan
Wewenang), dan tidak melakukan Willekeur (sewenang-wenang), serta Tujuan
Diskresi dalam Pasal 22 UU Administrasi Pemerintahan. Setidaknya ada tiga sebab
mengapa administrasi pemerintahan diberi kewenangan diskresioner ini14:
a. Karena keseluruhan hukum administrasi pemerintahan itu sangat luas dan
tidak mungkin diatur seluruhnya dalam Undang-Undang formil;
b. Norma-norma yang ada harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang
aktual;
c. Akan lebih cepat membuat peraturan detail melalui kewenangan
pemerintahan ketimbang proses legislasi.
Maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sepanjang sumber kewenangannya adalah
diskresi, maka hakim peradilan di bawah Mahkamah Agung dapat mengadili gugatan
Citizen Lawsuit dengan menguji apakah norma yang ada telah sesuai dengan undang-
undang tanpa membatalkan norma tersebut. Ia hanya menilai apakah norma tersebut
sesuai atau tidak dengan hak-hak warga Negara yang harus dilindungi dan dijamin.
Jika tidak sesuai atau tidak menjamin hak warga negara maka hakim dapat
memerintahkan Negara untuk mengeluarkan norma baru yang menjamin hak warga
negara tersebut melalui gugatan Citizen Lawsuit. Hal ini dapat ditarik dari beberapa
yurisprudensi terkait Citizen Lawsuit seperti dalam kasus gugatan Ujian Nasional oleh
Sofia Latjuba dkk di atas yang pada dasarnya hakim menilai peraturan yang telah ada
tidak sesuai dengan hak warga Negara atas pendidikan, sehingga ia memerintahkan
agar meninjau kembali kebijakan ujian nasional dan menyiapkan segala hal agar mutu
pendidikan nasional lebih baik. Sedangkan jika ia merupakan peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang yang dibentuk atas kewenangan delegasi atau
atribusi dari undang-undang maka ia tidak bisa diajukan gugatan Citizen Lawsuit tanpa
melalui proses HUM terlebih dahulu di MA.
12
Wet in Materiele Zin adalah Undang-Undang dalam arti materil, yakni secara materi konten
dari aturan tersebut berisi konten undang-undang tetapi bentuk peraturannya bisa jadi “undang-undang”
atau bisa jadi bukan undang-undang (PERPPU atau Peraturan lainnya yang di bawah undang-undang).
Terkadang disebut sebagai Algemeen Verbinden Voorschrift (Peraturan tertulis yang mengikat umum).
13
Wet in Formele Zin adalah Undang-Undang dalam arti formil, yakni secara nomenklatur,
bentuk, dan tata cara Pembuatannya aturan tersebut adalah dengan cara pembentukan undang-undang
(legislasi), yang mana ia mengikat secara umum karena sifatnya sebagai undang-undang. Lihat Pasal 42
Grondwet (UUD) Belanda.
14
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm.
154.
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 237
18
Muhammad Adiguna Bimasakti, “Batasan Tindakan Dalam Hukum Administrasi
Pemerintahan dan Perbuatan Dalam Hukum Perdata Oleh Pemerintah”, http://ptun-
makassar.go.id/batasan-tindakan-dalam-hukum-administrasi-pemerintahan-dan-perbuatan-dalam-
hukum-perdata-oleh-pemerintah/
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 239
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pula bahwa yang dapat diuji oleh hakim
administrasi dalam konteks Citizen Lawsuit hanyalah peraturan perundangan yang
bersifat beleidsregel atau peraturan kebijakan, sedangkan yang selain itu merupakan
murni kewenangan Mahkamah Agung melalui Hak Uji Materiil sebagaimana diatur
Pasal 24A UUD 1945 Jo. UU Mahkamah Agung Jo. PERMA No. 1 Tahun 2011.
Karena peraturan perundangan selain dari beleidsregel dibuat dalam rangka
menjalankan kewenangan atribusi atau delegasi dari undang-undang, sehingga bukan
merupakan fungsi pemerintahan melainkan fungsi legislatif. Yang merupakan fungsi
pemerintahan adalah pembuatan peraturan perundangan secara diskresioner berupa
beleidsregel. Kecuali jika sebelumnya memang belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur hal yang dimintakan, maka hakim berwenang
mengadili objek gugatan Citizen Lawsuit yang diminta.
Pembagian Tindakan Administrasi yang disebut di atas sebetulnya adalah untuk
memudahkan klasifikasi dalam rangka perlindungan hukum bagi warga Negara,
maupun bagi jabatan administrasi. Karena dalam sistem hukum yang dianut oleh
Indonesia keduanya memiliki perbedaan yang signifikan yang mana hukum
keperdataan lebih menonjolkan segi kesepakatan 22 , sedangkan segi hukum publik
lebih menekankan kepastian hukum.
Dalam hal objek gugatan pada Citizen Lawsuit ini sudah tentu tunduk kepada
hukum publik karena ia jelas-jelas merupakan kewenangan administrasi pemerintahan
19
Hadjon menggunakan kecakapan (bekwaamheid) ketimbang hak. Lihat: Philipus M. Hadjon,
et.,al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2008, hlm.
135.
20
Mengenai segi tindakan administrasi ini dapat dilihat di Safri Nugraha, Et.Al., Hukum
Administrasi Negara, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007, hlm. 85.
dan juga di Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara:
Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004,
hlm 145.
21
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: N.V. Penerbitan Dan Balai Buku
Indonesia, 1953, hlm. 245, dengan penyesuaian ejaan.
22
Bahkan para pihak dapat melakukan pilihan hukum dan memilih hukum asing untuk
diberlakukan dalam perjanjian, sehingga akhirnya sengketanya menjadi sengketa hukum perdata
Internasional karena adanya titik pertalian primer berupa Pilihan Hukum. Lihat Sudargo Gautama,
Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian 4 Buku Ke-5, Bandung: Alumni, 1998, hlm 5.
240 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
untuk membuat peraturan atau kebijakan. Oleh karenanya sengketa dalam Citizen
Lawsuit ini jelas merupakan sengketa administrasi.
Citizen Lawsuit ini adalah adanya perbuatan melawan hukum oleh penguasa
(Onrechtmatig Overheidsdaad) dengan dalil Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek / KUH
Perdata sebagai berikut:
Artikel 1365
Elke onregtmatige daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt,
stelt dengene door wiens schuld die schade veroorzaakt is in de verplichting om
dezelve te vergoeden.24
Terjemah:
Pasal 1365
Tiap perbuatan yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk menggantikan kerugian tersebut.
24
Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia sama dengan Pasal 1401 BW Belanda. Lihat Pasal 1401
BW Belanda yang lama di: C. W. Opzoomer, Het Burgerlijk Wetboek Verklaard door MR. C. W.
Opzoomer, Zesde Deel, Artikel 1349-1416, Amsterdam: J. H. Gebhard en Comp., 1879, hlm. 306.
25
Muhammad Adiguna Bimasakti, Onrechtmatig Overheidsdaad Oleh Pemerintah Dari Sudut
Pandang Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Jurnal Hukum Peratun Vol. 1 No. 2, Agustus
2018, hlm. 275.
26
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1992, hlm. 60.
242 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
III. KESIMPULAN
27
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun
2004, terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009.
Peran dan Fungsi Notaris, Muhammad Adiguna Bimasakti 243
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Basah, Sjahran. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara.
Bandung: Alumni, 1992.
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian 4 Buku
Ke-5. Bandung: Alumni, 1998.
Hadjon, Philipus M., et.,al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta:
Gadja Mada University Press, 2008.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Isrok dan Rizki Emil Birham. Citizen Lawsuit: Penegakan Hukum Alternatif Warga
Negara. Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Liberty, 2006.
Muchsan. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1992.
Nugraha, Safri et.al. Hukum Administrasi Negara. Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2007.
Opzoomer, C. W. Het Burgerlijk Wetboek Verklaard door MR. C. W. Opzoomer,
Zesde Deel, Artikel 1349-1416. Amsterdam: J. H. Gebhard en Comp., 1879.
Ten Berge, J.B.J.M. dan A.Q.C. Tak. Hoofdlijnen van het Nederlands Administratief
Processrecht. Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, 1987.
Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: N.V. Penerbitan dan Balai
Buku Indonesia.
Artikel Jurnal
Bimasakti, Muhammad Adiguna. Onrechtmatig Overheidsdaad Oleh Pemerintah Dari
Sudut Pandang Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Jurnal Hukum
Peratun Vol. 1 No. 2, Agustus 2018.
Iqbal, Moch. Aspek Hukum Class Action dan Citizen Lawsuit serta Perkembangannya
di Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 1 No. 1 Maret 2012.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 5 Tahun
1986. LN No. 77 Tahun 1986. TLN No. 3344.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999. LN No. 75
Tahun 1999. TLN No. 3851.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 9 Tahun 2004. LN No. 35
Tahun 2004. TLN No. 4380.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Lingkungan Hidup. UU No. 32 Tahun 2009, LN
No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 51 Tahun 2009.
LN No. 160 Tahun 2009. TLN No. 5079.
Indonesia. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. UU No. 30 Tahun 2014. LN
No. 292 Tahun 2014. TLN No. 5601.
244 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Internet
Bimasakti, Muhammad Adiguna. Anomali Kompetensi Absolut Atas Gugatan Citizen
Lawsuit Dalam Hukum Acara Indonesia, http://www.ptun-
banjarmasin.go.id/artikel/anomali-kompetensi-absolut-atas-gugatan-citizen-
lawsuit-dalam-hukum-acara-indonesia.html
. Batasan Tindakan Dalam Hukum Administrasi Pemerintahan
dan Perbuatan Dalam Hukum Perdata Oleh
Pemerintah, http://ptun- makassar.go.id/batasan-tindakan-dalam-
hukum-administrasi-pemerintahan-dan- perbuatan-dalam-hukum-perdata-oleh-
pemerintah/ .