Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 6

Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2020 1

The Indonesian Association of Forensic Medicine Proceeding Annual Scientific Meeting 2020

Tinjauan Pustaka

Female Genital Mutilation Reviewed from Medicolegal Aspect and


Islamic Sharia-Law
Mohammad Tegar Indrayana1, Dela Oktadiani2
1
Faculty of Medicine, University of Riau
2
Faculty of Medicine, University of Riau

ABSTRACT
Female genital mutilation is still an act of hereditary tradition that is practiced in various countries,
including Indonesia. As a gender issue, female genital mutilation has drawn controversy between religion and
medicolegal law. The Indonesian Ulema Council (MUI) opposes the legalization of the medical ban on female
genital mutilation in a circular letter from the Director General of Community Health. According to islamic sharia-
law, female genital mutilation is not obligatory as male circumcision. The law of female genital mutilation is
makrumah, which is a form of worship that is glorified in Islam. According to the guidelines for the procedure for
female genital mutilation as stated in the MUI fatwa, the part that is circumcised is the clitoral hood or the
membrane covering the clitoris. This is also confirmed in the Minister of Health Regulation 1636 / MENKES / PER /
XII / 2010, that is scratching the skin covering the front of the clitoris without injuring the clitoris. This regulation
was finally revoked by the Minister of Health in 2014 because of a public statement (Amnesty International) in
2012 which stated that the legitimacy of all procedures for female genital mutilation, includes a form of violence
and damage to female genitalia, must be eliminated. In addition, it was also due to pressure from the United
Nations (UN) Commission on Human Rights (HAM), which asked the Indonesian government to revoke the
regulation. The classification of the procedure for female genital mutilation according to the World Health
Organization (WHO) is very different from the MUI guidelines applied in Indonesia. In the end, the Minister of
Health gave the mandate to the Health Advisory Council and Syara'k to publish guidelines for the implementation
of female genital mutilation that guaranteed the safety and health of women and did not mutilate female genitalia
as intended by WHO as stated in Minister of Health Regulation No. 6 of 2014. This paper is aimed at analyzing
female genital mutilation from a religious perspective and medicolegal law in order to straighten out the confused
understanding of legality, religious aspects and procedures for female genital mutilation in Indonesia. The results
of this discussion explain that female genital mutilation according to WHO is very different from the MUI fatwa and
the Minister of Health Regulation in Indonesia.

Keywords: female genital mutilation, islamic sharia-law, medicolegal

Korespondensi : Mohammad Tegar Indrayana and Dela Oktadiani email: tegar.forensik@gmail.com,


delaoktadiani@gmail.com

Pekanbaru, 4-5 Desember 2020


ISBN :
PDFI
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2020 2
The Indonesian Association of Forensic Medicine Proceeding Annual Scientific Meeting 2020

PENDAHULUAN paradigma sunat pada perempuan ditinjau dari


Female genitale mutilation (FGM) atau perspektif agama Islam dan pandangan WHO.
praktik sunat (khitan) pada perempuan yang hingga WHO mengecam praktik sunat pada
saat ini masih menjadi isu atau topik yang perempuan di Indonesia seiring dikeluarkannya
diperdebatkan di kalangan masyarakat dunia. Dunia Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
internasional melalui World Health Organization 1636/MENKES/PER/XII/2010 tentang Sunat
(WHO) mengecam praktik ini karena masih Perempuan. Padahal, Permenkes ini secara prinsip
dilaksanakan di beberapa negara. Sebagian negara dibuat untuk melindungi masyarakat agar bisa
melakukan praktik ini dengan alasan merupakan mendapatkan praktik sunat pada perempuan yang
tradisi turun-temurun dan sebagian lagi melakukan sesuai syari’at sekaligus terlindungi dari aspek
praktik ini dengan alasan menjalankan perintah kesehatan.
agama yang dianutnya, seperti agama islam.
Indonesia merupakan salah satu negara yang PEMBAHASAN

memiliki pemeluk agama islam terbesar di dunia. Hukum syar’i khitan pada perempuan menurut

Selain itu, masih terdapat beberapa negara seperti Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Mesir, Sudan, beberapa negara Arab lainnya serta Hukum secara definisi memiliki banyak

Afrika yang juga masih menerapkan praktik sunat pengertian menurut para ahli. Bahkan terdapat

pada perempuan ini.1,2 adagium Quot homines, tot sententiae, yang artinya

Apapun yang menjadi latar belakang dalam sebanyak jumlah manusia itulah banyaknya

praktik sunat pada perempuan ini, tindakan tersebut pengertian. Namun sebagai sebuah norma atau alat

masih mengundang perdebatan dalam berbagai ukur, islam menjadikan 4 pilar dalam pijakan

aspek. Hal ini dikarenakan, dalam praktik klinisnya hukumnya di dalam kehidupan umatnya, sehingga

ada yang berpendapat bahwa tindakan FGM dapat tidak bisa setiap orang berpendapat sekehendak

mencederai alat reproduksi perempuan tersebut. hatinya terkait permasalahan hukum di dalam

Dalam kacamata budaya, FGM termasuk salah satu agama. Pilar-pilar tersebut terdiri dari firman Allah

bentuk kekerasan yang sengaja dilakukan (wahyu), hadist nabi, ijma’ (kesepakatan) para ulama

dikarenakan tradisi dan tuntutan budaya yang dan ijtihad (penemuan hukum baru terkait masalah-

berkembang di masyarakat. Dalam masalah yang bersifat kontemporer). Kita akan

perkembangannya, FGM dapat mengakibatkan membahas hukum sunat pada perempuan ditinjau

penderitaan fisik, psikis, seksual karena tindakan dari aspek hukum islam.

tersebut termasuk memaksa dan mengurangi Sunat secara medis dikenal dengan istilah

kebebasan atas hak perempuan.1,3 sirkumsisi, dimana kata tersebut berasal dari bahasa

Pendapat-pendapat di atas terkait Latin circum yang berarti memutar dan caedere

ketidaksetujuan beberapa pihak terhadap sunat berarti memotong. Secara internasional, sirkumsisi

pada perempuan karena dianggap bahwa hal dikenal dengan terminologi Female Genital

tersebut merupakan suatu bentuk kekerasan, sejalan Mutilation (FGM) atau Female Genital Cutting (FGC).

dengan paradigma yang dimiliki oleh WHO. Oleh Terminologi ini digunakan untuk menggambarkan

sebab itu, artikel ini ingin menjelaskan perbedaan suatu tindakan terhadap alat kelamin yang dilakukan

Pekanbaru, 4-5 Desember 2020


ISBN :
PDFI
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2020 3
The Indonesian Association of Forensic Medicine Proceeding Annual Scientific Meeting 2020

pada
anak-anak perempuan ataupun gadis-gadis.2 kekerasan terhadap perempuan. Keluarnya surat
Sedangkan secara kaidah agama, sunat atau edaran tersebut yang akhirnya ditentang oleh MUI
sirkumsisi dikenal dengan terminologi khitan. Secara dengan alasan, khitan pada perempuan merupakan
etimologi, sunat dalam bahasa arab disebut al- syi’ar Agama Islam sekaligus bagian dari kegiatan
Khitan, diambil dari kata dasar khatana. Penjelasan ibadah yang akhirnya menyebabkan keluarnya fatwa
kata khitan menurut Ibn Manzur dijelaskan sebagai MUI tersebut.
pemotongan bagian quluf untuk laki-laki dan nawah Ketentuan tentang tata cara sunat pada
untuk perempuan. Quluf merupakan kulit yang perempuan dipertegas kembali dalam Permenkes
menutupi hashafah (alat kelamin laki-laki), Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010 yang
sedangkan nawah adalah kulit yang menyerupai menyatakan bahwa sunat pada perempuan
lembing ayam jantan dan terletak di atas farji (alat dilakukan dengan menggores kulit yang menutupi
kelamin perempuan). Tujuan dari sunat perempuan bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris. Adanya
dalam kaidah agama selain dalam rangka Permenkes ini awalnya dijadikan standart
menjalankan perintah agama, juga berfungsi untuk operational procedure (SOP) bagi tenaga kesehatan
menstabilkan syahwat dan meminimalisir terjadinya apabila ada permintaan dari pasien atau orangtua
3
perbuatan zina. untuk melakukan khitan pada bayi perempuannya.
Secara hukum Islam, hukum khitan pada Sunat pada perempuan hanya dapat dilakukan oleh
laki-laki berbeda dengan perempuan. Khitan pada tenaga kesehatan tertentu, yaitu dokter, bidan dan
laki-laki hukumnya wajib, sedangkan hukum khitan perawat yang telah memiliki surat izin praktik atau
pada perempuan di Indonesia yang tertuang dalam surat izin kerja, dan tenaga kesehatan tertentu
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 9A pada sebagaimana yang dimaksud diatas diutamakan
tahun 2008 yang berbunyi: “Khitan bagi laki-laki berjenis kelamin perempuan.
maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan Setelah disahkannya Peraturan Menteri
syiar Islam. Khitan terhadap perempuan hukumnya Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010
makrûmah yaitu ibadah yang dianjurkan atau tentang Sunat Pada Perempuan, aturan ini lantas
dimuliakan.”. Pada fatwa tersebut dijelaskan mendapatkan reaksi penolakan dari berbagai elemen
pedoman tata cara sunat pada perempuan yang masyarakat. Beberapa lembaga nasional maupun
sesuai dengan kaidah islam, yaitu bagian yang internasional menuntut agar Menteri Kesehatan di
disunat adalah clitoral hood atau selaput yang Indonesia mencabut peraturan tersebut yang
menutupi klitoris. Keluarnya fatwa MUI ini menurut mereka merupakan legitimasi atas segala
dilatarbelakangi adanya surat edaran dari Direktorat prosedur mutilasi kelamin perempuan. Prosedur
Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen tersebut mereka pandang sebagai bentuk kekerasan
Kesehatan dengan Nomor HK 00.07.1.31047a dan perusakan terhadap alat kelamin perempuan
tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan yang harus dihapuskan. Pernyataan ini juga didukung
Medikalisasi Sunat Perempuan yang menyatakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) dari
bahwa tenaga medis tidak boleh membantu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang meminta
melakukan praktik tersebut sebagai upaya agar pemerintah Indonesia mencabut peraturan
mendukung segala usaha untuk menghapus tindak tersebut.

Pekanbaru, 4-5 Desember 2020


ISBN :
PDFI
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2020 4
The Indonesian Association of Forensic Medicine Proceeding Annual Scientific Meeting 2020

P e n o l a k a n
elemen masyarakat baik dari dalam maupun luar Complications from Female Genital Mutation pada
negeri, hal ini didasarkan karena perbedaan cara tahun 2016. Selain itu, United Nation (UN) atau PBB
pandang terkait sunat itu sendiri. MUI melalui telah mengkategorikan tindakan sirkumsisi pada
fatwanya menegaskan bahwa khitan bagi wanita perempuan ke dalam salah satu dari 17 tujuan dari
termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Khitan “The 2030 Agenda for Sustainable Development
terhadap perempuan adalah makrumah (bentuk Goals” untuk membebaskan perempuan dari praktik-
pemuliaan) dan pelaksanaannya sebagai salah satu praktik membahayakan bagi anak, pemaksaan
bentuk ibadah yang dianjurkan. MUI juga menikah usia muda, ataupun sunat perempuan.5.6
menjelaskan bahwa pelarangan khitan terhadap WHO secara tegas menyatakan sunat
perempuan bertentangan dengan ketentuan syariat perempuan merupakan tindakan mutilasi yang
Islam. Dalam fatwanya tersebut, MUI juga telah dilarang atau yang disebut female genital mutilation
menjelaskan batasan atau tata cara khitan pada (FGM), karena melanggar hak asasi manusia.
perempuan. Pelaksanaan khitan terhadap Pelanggaran hak asasi tersebut dijelaskan pada
perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai International Covenant on Economic, Social and
berikut:4 Cultural Rights (ICESCR) pasal 12. Pada pasal
1. Khitan perempuan dilakukan cukup dengan tersebut terdapat penjelasan bahwa setiap orang
hanya menghilangkan selaput berhak untuk menikmati standar tertinggi untuk
(jaldah/colum/preputium) yang menutupi kesehatan fisik dan mentalnya, dan tindakan FGM
klitoris. dengan cara menghilangkan sebagian dari anggota
2. Khitan perempuan tidak boleh dilakukan tubuh perempuan tersebut dapat berdampak
secara berlebihan, seperti memotong atau terhadap kepuasan dan keamanan kehidupan seks.
melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang WHO mengklasifikasikan FGM menjadi empat
mengakibatkan dharar (keburukan). tipe yaitu:1,7,8
1. Klitoridektomi, yaitu pengangkatan
Pandangan World Health Organization (WHO) sebagian atau seluruh klitoris
tentang khitan pada perempuan 2. Eksisi, yaitu menghilangkan klitoris dan labia
Sirkumsisi/sunat/khitan pada perempuan 3. Infibulasi (narrowing the vaginal opening)
oleh sebagian pihak dinilai bukan merupakan suatu yaitu tindakan penyempitan liang senggama
tindakan medis. Penilaian ini timbul karena sunat yang terkadang dilakukan dengan cara
pada perempuan dianggap dapat menimbulkan penjahitan pada lubang vagina.
dampak negatif, baik secara fisik maupun psikis. 4. Tipe lainnya: segala macam bentuk FGM
Sunat pada perempuan tidak bermanfaat ditinjau lainnya yang tidak mengikuti ketiga kaidah
dari aspek kesehatan dan justru dapat menimbulkan sebelumnya seperti pricking (menusuk),
dampak negatif berupa kerusakan pada stretching (diregangkan), scrapping (dikikis) dan
genitalianya.3 diberi cairan asam (acid)
Sunat pada perempuan juga mendapat
Berdasarkan klasifikasi diatas, WHO
perhatian dari WHO dengan dipublikasikannya
berpendapat perempuan yang disunat dapat
Guidelines on the Management of Health
merasakan dampak berkepanjangan seperti

Pekanbaru, 4-5 Desember 2020


ISBN :
PDFI
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2020 5
The Indonesian Association of Forensic Medicine Proceeding Annual Scientific Meeting 2020

kehilangan kepekaan yang berakibat kesakitan and mental health. Hingga pada tahun 2013,
dalam aktivitas seksualnya. Dampak Kesehatan yang dikeluarkanlah List if Issue (LoI) yang dikeluarkan
selama ini ditimbulkan adalah infeksi vagina, oleh Human Rights Committee (HRC) atas laporan
disfungsi seksual, infeksi saluran kencing, sakit pelaksanaan ICCPR (International Covenant on Civil
kronis, kemandulan, kista kulit, kompilasi saat and Political Rights) yang mempertanyakan perihal
7
melahirkan bahkan kematian. sunat perempuan di Indonesia dan meminta negara
Konvensi PBB tentang Elimination of All Indonesia untuk memberikan tanggapan terkait tidak
Forms of Discrimination against Women (CEDAW) adanya undang-undang yang melarang praktik FGM.
dan UN Convention on the Rights of the Child (CRC) Sebagai perbandingan, di Australia pada bulan Mei
merupakan langkah untuk mengakhiri praktik 2014 oleh badan legislatif New South Wales
tersebut. Ketentuan konvensi tersebut menjelaskan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU)
bahwa negara-negara “berkewajiban untuk “Crimes Amandement Bill 2014” mengenai FGM dan
menghormati, memenuhi, dan melindungi” hak-hak menaikkan hukuman menjadi 21 tahun kepada
perempuan dan anak perempuan sehingga PBB seseorang yang bersalah karena telah melakukan
merasa berkewajiban untuk membebaskan anak- FGM pada anak perempuan, gadis atau wanita.9
anak perempuan dan wanita dari praktik yang Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang telah
berbahaya, seperti FGM.5 dijelaskan diatas, akhirnya membuat Pemerintah
Indonesia mengeluarkan Permenkes Nomor 6 Tahun
Hukum khitan pada perempuan menurut hukum 2014 yang mencabut 1636/MENKES/PER/XII/2010
positif di Indonesia tentang Sunat Perempuan. Peraturan ini pada
Berdasarkan penjelasan masing-masing intinya memberi mandat kepada Majelis
pihak terkait paradigma sunat pada perempuan baik Pertimbangan Kesehatan dan Syarak untuk
dari kacamata Fatwa MUI, Permenkes Nomor menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat pada
1636/MENKES/PER/XII/2010 dan WHO, maka kita perempuan yang menjamin keselamatan dan
perlu untuk mencermati bagaimana posisi hukum kesehatan perempuan yang disunat serta tidak
praktik sunat perempuan di Indonesia pada saat ini. melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female
Adanya desakan dunia internasional setelah genital mutilation), yang menurut penulis sudah
Pemerintah Indonesia mengeluarkan permenkes termaktub di dalam permenkes sunat perempuan
terkait sunat pada perempuan, menyebabkan pada yang sudah dicabut sebelumnya. Hingga saat ini pun,
bulan Mei 2012 Komisi HAM PBB dalam sesi pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang
Universal Periodical Review (UPR) meminta terbaru belum dikeluarkan Majelis Pertimbangan
Pemerintah Indonesia untuk mencabut Permenkes Kesehatan dan Syarak Kementerian Kesehatan.
No.1636 Tahun 2010 tentang Sunat Perempuan.
Kemudian pada bulan November 2012, PENUTUP
Pemerintah Indonesia mendapat surat teguran dan Berdasarkan uraian diatas, maka dapat
permohonan informasi terkait sunat perempuan dari disimpulkan bahwa sunat pada perempuan menurut
Special Rapporteur on the Right of everyone to the Fatwa MUI dan Permenkes No.1636 Tahun 2010
enjoyment of highest attaible standart of Physical berbeda dengan mutilasi alat kelamin perempuan

Pekanbaru, 4-5 Desember 2020


ISBN :
PDFI
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2020 6
The Indonesian Association of Forensic Medicine Proceeding Annual Scientific Meeting 2020

Female Genital Mutilation” dalam


menurut WHO. Sunat pada perempuan menurut
www.who.int/reproductivehealth /news/fgm/en/
fatwa MUI dan permenkes menyatakan hanya 7. WHO. Female Genital Mutilation, Geneva: World
menggores sedikit frenulum klitoris atau kulit yang Health Organization, 2001.
8. Bahraen R. Fiqih Kontemporer Kesehatan Wanita.
menutupi klitoris tanpa menyebabkan terpotongnya
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2017. Hal 171-
klitoris, sedangkan yang dikatakan mutilasi alat
178.
kelamin perempuan (female genital mutilation) 9. Pratiwi YD, Widodo H. Pengaturan Sunat Perempuan

menurut WHO adalah apabila terpotongnya dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.


Jurnal Novum, Vol 3 No 2, Tahun 2016
sebagian atau seluruh klitoris, dan bagian kelamin
wanita lainnya seperti bibir kecil kemaluan (labia Copyright @ 2020 Authors. This is an open access article
distributed under the terms of the Creative Commons
minor), bibir besar kemaluan (labia mayor), selaput Attribution-NonCommercial 4.0 International License
(http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/),
dara (hymen), serta vagina. which permits unrestricted non-commercial use,
distribution, and reproduction in any medium, provided
Bagi masyarakat sendiri, dicabutnya the original author and source are properly cited.
permenkes tentang sunat perempuan menyebabkan
perlindungan masyarakat untuk mendapatkan
praktik sunat yang sesuai standar kesehatan menjadi
hilang. Sehingga potensi praktik sunat untuk
perempuan dikerjakan oleh kalangan non-medis
menjadi besar karena permenkes nomor 6 tahun
2014 tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa
sunat pada perempuan merupakan praktik yang
dilarang di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Erwanti MO, Rahayu, Farida E. Kajian Yuridis Female
Genital Mutilation dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia. Diponegoro Law Review. Volume 1 Nomor
4 Tahun 2012.
2. Suraiya R. Sunat Perempuan dalam Perspektif
Sejarah, Medis dan Hukum Islam (Respon terhadap
Pencabutan Aturan Larangan Sunat Perempuan di
Indonesia) CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman
Volume 5, Nomor 1, Juni 2019.
3. Zamzami M. Perempuan dan Narasi Kekerasan:
Analisis Hukum dan Medis Sirkumsisi Perempuan.
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 51, No. 1, Juni
2017.
4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 9A tahun
2008.
5. WHO Guidelines on the Management of Health
Complications from Female Genital Mutilation.
Swiss: WHO Publication, 2016.

6. Sexual and Reproductive Health: New WHO


Guidelines to Improve Care for Millions Living with

Pekanbaru, 4-5 Desember 2020


ISBN :
PDFI

You might also like