Professional Documents
Culture Documents
583-Article Text-1756-1-10-20190925
583-Article Text-1756-1-10-20190925
583-Article Text-1756-1-10-20190925
Faustine Herisman
Penny Handayani
Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
penny.handayani@atmajaya.ac.id
ABSTRACT
The increasing number of people with disabilities in Indonesia who are at work and
still perceived as a burden on companies affect disability to work. There are obstacles
from the lack of formal education, skills, and limitation from the environment for
disability. This study focuses on participant who has physical disabilities because
people with physical disability are the second most in Indonesia and their conditions
of disability that can be seen directly, and cause psychological problems. As
individuals, people with physical disabilities need to live independently, one of the
ways to fulfill it by working. Physical disabilities will be in new environments and
new situations. This requires adjustment so that eventually they can work
productively. This research is using qualitative method using one on one interview in
order to explore people with physical disabilities adjustment in workplace. Three
participants have attended training in BBRVBD Cibinong. This study use stage
passed and the factors that influence their adjustment in the workplace. The results of
this study indicate that the three participants experienced an emerging stage of stress
at the beginning of work, defense mechanism, resolving problems, and after eight to
ten months in the workplace, they are already in the adjustment stage. Three
participants were influenced by five adjustment factors from Schneiders (1964).
There are other factors that affect their adjustment, namely the perspective that
physical disabilities has equal rights and opportunities at work. The desire to be
independent, and prove to others who have to insult their physical condition.
Keywords: adjustment, physical disabilities, workplace, BBRVBD Cibinong
PENDAHULUAN
Disabilitas menurut World Health Organization (WHO) (t.th), adalah istilah payung
yang meliputi kecacatan (masalah dalam fungsi tubuh atau struktur), keterbatasan
aktivitas), dan keterbatasan partisipasi. Disabilitas tidak hanya berkaitan dengan
masalah kesehatan, namun juga berkaitan antara kondisi fisik tubuh dengan
lingkungan sosial yang mana individu tinggal menyebabkan seseorang dengan
disabilitas mengalami keterbatasan untuk berkontribusi di dalam masyarakat.
Berdasarkan data dari survei Pusat Demografi Universitas Indonesia diperoleh hasil
bahwa seorang dengan disabilitas ringan hanya memiliki kesempatan bekerja 65%,
dibanding rekannya yang tidak mengalami disabilitas dan penyandang disabilitas
berat hanya mempunyai kesempatan 10%.
Hal ini masih jauh dari harapan Konvensi PBB mengenai Hak-hak Orang
dengan Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
melalui UU No. 19 Tahun 2011 yang mewajibkan negara menjamin hak bekerja
dari semua orang dengan disabilitas (Adeline, Handayani, & Irwanto, 2015).
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai tenaga kerja disabilitas dalam UU
No. 4 tahun 1997 kemudian melakukan revisi menjadi UU No. 8 tahun 2016 yang
menyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,
dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2%
penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Perusahaan Swasta
wajib mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah
pegawai atau pekerja (Undang-Undang Republik Indonesia, 2016).
Adanya penelitian yang sudah dilakukan oleh Rahaning (2015) bahwa
terdapat perbedaan antara kondisi ideal dengan kenyataannya. Effendi (dalam
Irwanto, 2003) mengungkapkan bahwa salah satu alasan belum banyaknya
penyandang disabilitas yang bekerja karena pihak perusahaan memiliki kesadaran
rendah terhadap potensi penyandang disabilitas. Berpikir bahwa penyandang
disabilitas jika bekerja akan menjadi beban bagi perusahaan karena harus
menambah hal-hal operasional, dan penyandang disabilitas tidak memiliki
keahlian dalam bekerja. Hal-hal ini yang menjadi pertimbangan perusahaan untuk
mempekerjakan penyandang disabilitas dan penyandang disabilitas ragu untuk
bekerja (Rahaning, 2015).
Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan PUSDATIN dari
Kementerian Sosial pada 2010 (dalam ILO, t.th) adalah 11.580.117 orang.
Terbagi menjadi lima golongan, yaitu penyandang disabilitas penglihatan
sebanyak 3.474.035 orang, disabilitas fisik sebanyak 3.010.830 orang, disabilitas
pendengaran sebanyak 2.547.626 orang, disabilitas mental 1.389.614 orang, dan
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif, hal ini digunakan dengan
mempertimbangkan bahwa penyesuaian diri merupakan variabel yang sifatnya
personal. Setiap individu memiliki pengalaman tersendiri dalam penyesuaian dirinya
di tempat kerja. Pada akhirnya diharapakan setiap partisipan dapat menceritakan
pengalamannya secara mendalam dan terperinci (Patton, 2002).
Teknik pemilihan partisipan homogeneous sampling dan memenuhi kriteria
yang sudah ditentukan, yaitu penyandang tunadaksa sejak lahir atau sebelum usia
tujuh tahun. Menurut penelitian yang dilakukan Piran, Yuliawar, dan Kaarayeno
(2017) bahwa individu dengan kondisi tunadaksa sejak lahir akan lebih mudah
menyesuaikan diri karena sudah menerima kondisi fisiknya. Santrock (2013)
menyatakan bahwa seorang anak setelah tujuh tahun memiliki memori jangka
panjang relatif permanen dan sudah mampu mengingat peristiwa dalam hidupnya.
Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada penyesuaian diri di tempat kerja, sehingga
memilih partisipan yang sudah terbiasa dengan kondisi fisiknya. Selain itu, kriteria
lainnya adalah penyandang tunadaksa yang memiliki kategori ringan, karena semakin
berat tingkat keparahan penyandang tunadaksa, semakin membutuhkan orang lain
untuk beraktivitas. Berusia 18-64 tahun, mengikuti program pelatihan di BBRVBD
Cibinong, dapat berkomunikasi secara lisan, dan sudah bekerja.
yang dimiliki partisipan selama proses pengambilan data. Instrumen lain yang
digunakan adalah alat perekam secara audio yang akan membantu peneliti untuk
proses verbatim yang pada akhirnya membantu proses analisis data.
Metode pengumpulan informasi menggunakan one on one interview, yaitu
peneliti memberikan pertanyaan dan direkam pada satu narasumber di satu waktu.
Cara ini merupakan cara ideal agar partisipan tidak ragu untuk bercerita kepada
peneliti. Peneliti menggunakan probes, yaitu sub pertanyaan yang dibuat untuk
mendapatkan informasi lebih mendalam dan digunakan untuk mengklarifikasi
jawaban dari partisipan (Creswell, 2012).
Penelitian ini menggunakan panduan wawancara yang disusun berdasarkan
penurunan dari tahap penyesuaian diri dari Lazarus (1961) dan faktor yang
memengaruhi penyesuaian diri dari Schneiders (1964). Teori diturunkan menjadi
indikator, kemudian diturunkan menjadi domain, dan diturunkan menjadi pertanyaan.
Tujuan dibuatnya panduan wawancara ini adalah menghindari menanyakan hal-hal
menyimpang atau di luar dari tujuan penelitian, dan pada akhirnya dapat
mempermudah kategorisasi jawaban partisipan dalam menganalisis data. Panduan
wawancara akan melewati proses uji keterbacaan dari ahli untuk melihat relavansi
penurunan teori hingga menjadi panduan wawancara. Namun pertanyaan wawancara
dapat berubah menyesuaikan keadaan partisipan (Patton, 2002). Ketika wawancara
sudah selesai, maka peneliti akan dilakukan coding (Moleong, 2009).
akan belajar dari rekan kerja, dan akan mencoba menyelesaikannya sendiri. Salah
satu partisipan ketika tidak berhasil melewati beberapa cara sebelumnya, maka
pekerjaan akan diberikan kepada rekan kerja yang lainnya.
Adjustment
Pada tahap ini, ketiga partisipan memiliki kesamaan bahwa saat ini sudah merasa
nyaman dan bahagia dapat bekerja di tempat saat ini. Ketiga partisipan sudah
memahami pekerjaan yang dilakukan, bagaimana cara menangani masalah di
tempat kerja, terutama terkait dengan nasabah. Selain itu perasaan senang muncul
ketika ketiga partisipan mendapatkan penghasilan berupa gaji dan dapat
mengirimkan kepada orangtua. Ketiga partisipan meminta kepada rekan kerja dan
atasan untuk tidak memberikan perlakuan khusus atau berbeda dengan rekan
kerja lainnya. Fasilitas kantor membantu ketiga partisipan dalam beraktivitas di
kantor.
Ketiga partisipan memiliki memiliki keyakinan di dalam diri bahwa dirinya
mampu menjalani tuntutan pekerjaan yang ada. Selama kurang lebih delapan
hingga sepuluh bulan bekerja, ketiga partisipan sudah memiliki hubungan yang
lebih baik dengan rekan kerjanya dan atasan, ditandai dengan saling bercanda dan
mampu menyampaikan pendapat dengan perasaan yang tidak terlalu gugup dan
takut. Adanya keinginan dari dua partisipan untuk kontrak kerja diperpanjang.
Faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Diri
Fisik dan Genetik
Ketiga partisipan pada awal bekerja merasa terbebani dan tidak nyaman ketika
rekan kerja atau atasan memberikan perlakuan berbeda karena kondisi disabilitas.
Ketiga partisipan memiliki kemiripan dengan orangtuanya, terutama ayah.
Menurut ketiga partisipan, ada kemiripan yang diturunkan maupun secara tidak
langsung memengaruhi partisipan. Kondisi fisik masing-masing partisipan
menjadi hambatan untuk beraktivitas, namun tidak mengurangi semangat dalam
bekerja. Ketiga partisipan membutuhkan waktu dan usaha lebih untuk
beraktivitas dan mobilisasi.
Perkembangan dan Kematangan (Kedewasaan)
Faktor perkembangan dan kematangan (kedewasaan) yang memengaruhi ketiga
partisipan adalah adanya perkembangan menjalin relasi dengan orang lain yaitu
dengan atasan dan rekan kerja di tempat kerja. Relasi lain yang mengalami
perkembangan dari ketiga partisipan adalah ketika berhadapan dengan nasabah.
Berkembangnya relasi ini merupakan proses belajar yang dijalani ketiga
partisipan selama bekerja, dan menerapkan apa yang sudah diperoleh.
Psikologis
Adanya pelatihan yang sudah diikuti ketiga partisipan dari Balai dan juga di
tempat kerja membantu ketiga partisipan berkembang ketika menjalani pekerjaan.
Kemudian didukung oleh adanya pengalaman sebelumnya di tempat magang atau
di kampung halaman membantu ketiga partisipan menyesuaikan diri di tempat
kerja dari segi menjalin hubungan dengan orang lain. Selama di Balai, ketiga
partisipan mendapatkan banyak ilmu yang mendukung pesertanya masuk dalam
dunia kerja, terutama mengenai persiapan memasuki dunia kerja.
Walaupun keterampilan yang di pelajari selama di Balai tidak sepenuhnya
terpakai dalam bekerja, namun ada hal-hal lain yang membantu ketiga partisipan
mempersiapkan diri untuk bergabung di dunia kerja. Nilai-nilai yang diajarkan,
pembekalan, dan informasi seputar rangkaian persiapan seleksi bekerja yang
diberikan Balai membantu mempersiapkan diri ketiga partisipan. Ketiga
partisipan memiliki pengalaman positif dan negatif yang sudah dialami selama
hidupnya dan juga selama bekerja. Ketiga partisipan menyampaikan bahwa
dirinya membutuhkan pengakuan, dihargai, dan diterima oleh orang lain
walaupun kondisi fisiknya tidak sempurna.
Lingkungan
Faktor lingkungan yang paling berpengaruh dari ketiga partisipan berasal dari
orang tua dan keluarga. Adanya pesan yang diberikan orang tua kepada ketiga
partisipan membuatnya tetap kuat dan bertahan di tempat kerja. Ketiga partisipan
diberikan kebebasan untuk melakukan hal-hal baru, diberi dukungan, dan tidak
ada perbedaan dalam pola asuh dengan saudara kandung lainnya. Ketiga
partisipan memiliki saudara kandung, dan memiliki hubungan yang dekat. Orang
tua ketiga partisipan memiliki harapan dan keyakinan bahwa anaknya dapat maju
dan sukses.
Selain itu, orang tua ketiga partisipan dapat dijadikan model ideal bagi
anak-anaknya dalam berperilaku dan menjalani hidup. Kondisi ekonomi yang
rendah dan keinginan untuk bisa hidup mandiri tanpa bergantung kepada orang
lain berpengaruh kepada ketiga partisipan untuk menyesuaikan diri di tempat
kerja.
Budaya dan Agama
Ketiga partisipan memeluk agama Islam, dan nilai-nilai agama membantu ketiga
partisipan untuk lebih kuat ketika mengalami masalah dan menjadi pedoman
untuk partisipan berperilaku. Terutama dalam hal bersyukur dengan hal-hal yang
sedang terjadi, dan diajarkan untuk berserah kepada Tuhan mengenai hal yang
kurang berkenan terjadi kepada masing-masing partisipan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan beberapa hal menarik yaitu
ketiga partisipan mengalami empat tahap penyesuaian diri yang dikemukakan
oleh Lazarus (1961) saat masuk bekerja hingga saat ini. Mereka menyadari
bahwa pada awal bekerja mengalami beberapa hambatan sehingga memengaruhi
perasaan dan kemampuan dalam bekerja. Relasi dengan orang lain dibutuhkan
selama bekerja, walaupun ada perasaan minder atau malu ketika awal bekerja
terutama relasi dengan atasan dan rekan kerja. Setelah delapan sampai sepuluh
bulan bekerja, saat ini ketiga partisipan sudah lebih memahami pekerjaan yang
perlu dilakukan, bagaimana ketika mengatasi masalah, dan menjalin relasi
dengan orang lain. Saat ada masalah pekerjaan, ketiga partisipan mau bertanya
dan belajar langsung dengan atasan karena merasa sudah memiliki banyak
pengalaman dalam bekerja, dan pada akhirnya partisipan dapat bekerja secara
maksimal dan memperoleh target.
Partisipan ketiga masih belum terlalu dapat menerima kondisi fisiknya yang
berakibat munculnya perasaan minder. Hal ini sejalan dengan teori yang
diungkapkan Schneiders (1964) bahwa kondisi fisik dapat memengaruhi
penyesuaian diri. Saat ini, partisipan ketiga merasa pekerjaan yang dijalani
terkadang terasa jenuh sehingga dirinya membantu pekerjaan orang lain. Namun
partisipan ketiga merasa nyaman dengan lingkungan kerja, dan berharap agar
kontrak kerjanya diperpanjang, dan memiliki harapan untuk melanjutkan
pendidikan.
Pada awal hingga saat ini berada di tempat kerja terdapat faktor yang
memengaruhi ketiga partisipan untuk menyesuaikan diri dari Schneiders (1964).
Faktor kondisi fisik dan genetik pada ketiga partisipan adalah meminta kepada
rekan kerja dan atasan untuk tidak memerlakukan dirinya berbeda dari karyawan
lain karena kondisi tunadaksanya. Adanya perbedaan perlakuan ini didukung oleh
Bruyere, Mitra, Looy, Shakespeare, & Zeitzer (2011) bahwa akan menghambat
karyawan tunadaksa bekerja maksimal. Kondisi fisik partisipan tidak membatasi
semangat dan kemauan untuk berusaha di tempat kerja. Sistem tubuh yang
dimiliki ketiga partisipan memiliki pengaruh terhadap penyesuaian dirinya, yaitu
pekerjaan disesuaikan dengan keterbatasannya, membutuhkan usaha lebih dan
waktu lebih untuk beraktivitas, dan merasa lelah ketika harus duduk dalam waktu
yang lama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Schneiders (1964) bahwa
kondisi fisik memengaruhi seseorang dalam beraktivitas.
Faktor perkembangan dan kematangan (kedewasaan) ketiga partisipan
memiliki kemampuan masing-masing dalam menyikapi permasalahan dan
menyalurkan emosi yang dirasakan. Perkembangan yang terjadi pada ketiga
partisipan ini sesuai dengan pendapat Schneiders (1964) bahwa setiap individu
memiliki standar berbeda dalam menyikapi dan menyalurkan emosi dan pada
akhirnya memengaruhi penyesuaian diri seseorang. Adanya perkembangan dalam
menjalin relasi dengan rekan kerja dan atasan sejalan dengan Schneiders (1964)
terkait perkembangan dalam bersosialisasi yaitu pada awal bekerja masih merasa
malu dan sekarang sudah merasa semakin baik. Adanya karyawan disabilitas
sebelumnya yang sudah bekerja di perusahaan membantu karyawan lain
berinteraksi dan menerima karyawan penyandang disabilitas yang pada akhirnya
sudah terbiasa dan dapat memengaruhi penyesuaian diri karyawan tunadaksa.
Adanya perasaan minder pada partisipan ketiga disebabkan oleh mantan
pacar dengan kondisi disabilitas sehingga berakibat timbulnya keraguan apakah
ada laki-laki yang mencintainya dengan kondisi tunadaksa. Perkataan ibu mantan
pacar partisipan ketiga yang memiliki kondisi non-disabilitas memertanyakan
keyakinan anaknya berpacaran dengan penyandang tunadaksa. Hal ini
memengaruhi secara tidak langsung mengenai kepercayaan diri partisipan ketiga
dan berakibat pada penyesuaian diri. Kejadian ini termasuk dalam faktor
psikologis dari Schneiders (1964) yang menjadikan pengalaman traumatis dan
berdampak kepada penyesuaian diri seseorang. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Hikmawati & Rusmiyati (2011) dikatakan bahwa penyandang
disabilitas membutuhkan pengakuan, dihargai, dan diterima oleh orang lain.
Sehingga saat partisipan ketiga mendapat penolakan, hal ini memengaruhi
munculnya perasaan negatif.
Ketiga partisipan mau belajar dari atasan, rekan kerja, dan dari pengalaman
orang lain dan mencoba mencari cara penyelesaian masalahnya sendiri
merupakan bagian dari faktor psikologis Schneiders (1964) yang termasuk trial
and error. Ketiga partisipan mencoba menemukan penyelesaian terbaik yang bisa
dilakukan sesuai dengan konteks masalah yang terjadi. Permasalahan yang
diselesaikan ini pada akhirnya memiliki tujuan agar ketiga partisipan dapat
bekerja secara optimal dan memeroleh tujuan mendapatkan kompensasi berupa
gaji, hal ini termasuk dalam rational learning. Pelatihan yang diikuti di Balai
sesuai dengan faktor dari Schneiders (1964) yaitu berpengaruh terhadap
penyesuaian diri karena individu mendapatkan keterampilan untuk bisa berfungsi
pada hidupnya dan memenuhi tuntutan hidup. Tidak hanya keterampilan untuk
bekerja saja namun juga nilai-nilai kehidupan, motivasi, dan gambaran dunia
kerja dan hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja membantu
ketiga partisipan menyesuaikan diri di tempat kerja.
Pada faktor psikologis, terutama dalam sub domain self determination dari
Schneiders (1964) mengatakan bahwa kondisi ekonomi dapat memerburuk
penyesuaian diri. Namun peneliti menemukan bahwa kondisi ekonomi partisipan
pertama dirasa rendah dan berpengaruh kepada kondisi keluarga yang kekurangan
meningkatkan kinerja partisipan untuk bekerja dan secara tidak langsung
memengaruhi penyesuaian diri di tempat kerja. Menurut peneliti, hal ini
disebabkan oleh ayah partisipan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga
sudah meninggal. Sehingga partisipan pertama sebagai anak sulung laki-laki
bertanggung jawab membiayai kehidupan keluarga. Selama bekerja, partisipan
pertama memeroleh bonus dan dapat dikirimkan kepada orang tua dan membiayai
pendidikan adiknya.
Berdasarkan hierarki kebutuhan dari Maslow (Aamodt, 2010) hal ini
termasuk dalam safety needs, yaitu kondisi kesejahteraan keluarga menjadi hal
penting dan memotivasi seseorang di tempat kerja. Kondisi ekonomi
memengaruhi partisipan dalam bekerja ini juga memiliki hubungan dengan
makna bekerja, karena menurut Somavia (dalam ILO, 2013) bekerja merupakan
kegiatan penting bagi diri sendiri, kesejahteraan keluarga, dan individu
memeroleh pengakuan dan identitas diri.
Faktor lingkungan, terutama dukungan keluarga memengaruhi ketiga
partisipan untuk bekerja dan menyesuaikan diri. Adanya penerimaan dari
lingkungan keluarga terhadap partisipan memengaruhi penyesuaian dirinya yang
sesuai dengan Schneiders (1964) yaitu acceptance yang berpengaruh terhadap
stabilitas mental yang baik. Harapan orang tua agar ketiga partisipan agar dapat
mandiri dan bertanggung jawab terhadap hidupnya sesuai dengan Schneiders
(1964) dalam hal social roles within the family. Schneiders (1964) berpendapat
bahwa group membership memengaruhi penyesuaian diri seseorang. Peneliti
menemukan bahwa partisipan pertama tidak tergabung dalam suatu kelompok
tertentu, namun merasa sudah mampu menyesuaikan diri di tempat kerja.
Partisipan ketiga tergabung dalam kelompok yang dikategorikan anak
berandal, sehingga saat di tempat kerja ia lebih membatasi diri untuk berbicara
karena takut adanya kesalahan bicara dengan rekan kerja atau atasan yang
usianya jauh di atas partisipan. Tidak bergabungnya ke dalam suatu kelompok
tidak berpengaruh kepada penyesuaian diri partisipan pertama kemungkinan
besar disebabkan oleh lebih besarnya faktor lain seperti nilai dan pola asuh
orangtua, motivasi bekerja yang dapat memengaruhi sesorang menyesuaikan diri
di tempat kerja.
Peneliti menemukan hal yang sejalan dengan faktor kebudayaan dan agama
dari penyesuaian diri Schneiders (1964), yaitu mengenai nilai atau hal yang
dipegang dalam keluarga dan perlu dijalani dalam hidup dan nilai-nilai agama
Islam yang dianut ketiga partisipan membantu untuk bersyukur dan berserah
kepada Tuhan dan tetap menjalani kehidupan. Bruyere, Mitra, Looy,
tunadaksa sejak lahir dengan tunadaksa akibat kecelakaan. Hasil penelitian ini
diperoleh bahwa adanya faktor dari dalam dan luar diri yang memengaruhi
penyesuaian diri di tempat kerja, oleh sebab itu diharapkan hasil penelitian ini dapat
menjadi pertimbangan untuk orangtua dan masyarakat yang memiliki orang terdekat
dengan kondisi disabilitas untuk mendukung dan meyakinkan bahwa penyandang
disabilitas memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama di tempat kerja. Bagi
pihak pemberi kerja, diharapkan dapat memberikan kesempatan dan hak yang sama
untuk penyandang disabilitas khususnya tunadaksa dalam bekerja, karena
penyandang tunadaksa memiliki semangat untuk mengikuti rangkaian proses untuk
bisa bekerja. Saran untuk penyandang tunadaksa, akan lebih baik membekali dirinya
dengan ketermapilan tertentu sesuai dengan kemampuan agar dapat bekerja dengan
maksimal.
PUSTAKA ACUAN
Aamodt, M. G. (2010). Industrial/organizational psychology: An applied approach
(6th. ed). California: Wadsworth Cengage Learning.
Adeline, Handayani, P., & Irwanto. (2015). Hubungan konsep diri dan efikasi karir
pada remaja akhir laki-laki penyandang disabilitas. Http://ijds.ub.ac.id. Diakses
13 September 2017.
Bruyere. S., Mitra. S., Looy, S.V., Shakespeare. T., & Zeitzer., I. (2011). World
report on disability, chapter 8: Work and Employment. New York: Cornell
University, World Health Organization, World Bank.
Creswell, J. W. (2012). Educational research: planning, conducting, and evaluation
quantitative and qualitative research (4th. ed). Boston: Pearson Education.
Gates, L.B. (1993). The role of the supervisor in successful adjustment to work with a
disabling condition: Issues for disability policy and practice. Journal of
Occupational Rehabilitation, Vol. 3, No. 4.
Hikmawati, E., & Rusmiyati, C. (2011). Kebutuhan pelayanan sosial penyandang
cacat. Sosio Informa. Http://www.puslit.kemsos.go.id. Diakses 27 Oktober 2018.
International Labour Organization. (2013). Inklusi penyandang disabilitas di
Indonesia. Http://www.ilo.org. Diakses pada 21 Agustus 2017.
International Labour Organization. (2013). Pedoman ILO tentang : Pengelolaan
penyandang disabilitas di tempat kerja. Http://www.ilo.org. Diakses 21
Februari 2018.
International Labour Organization. (2013). Hak atas pekerjaan yang layak bagi
penyandang disabilitas. Http:// www.ilo.org. Diakses 23 Februari 2018.
Irwanto., Shinantya,G., Widyawati. Y., Pandia. W.S.S., & Irwan.A.Y.S., (2010).
Laporan akhir: Desk review anak berkebutuhan khusus di Indonesia.
BIODATA SINGKAT
Nama Lengkap : Penny Handayani, M.Psi., Faustine Herisman, S.Psi.
Psikolog
Pekerjaan : Dosen Tetap
Institusi : Unika Atma Jaya, Jakarta
Riwayat Pendidikan
Program Magister (S2) : Universitas Indonesia
Program Sarjana (S1) : Universitas Indonesia Unika Atma Jaya, Jakarta
Minat Penelitian : Pendidikan Psikologi Industri
Anak Berkebutuhan Pendidikan
Khusus Anak Berkebutuhan
Khusus