Penyakit Periodontal Yang Berhubungan Dengan Penyakit Saluran Pernafasan

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 35

Penyakit Periodontal yang Berhubungan dengan

Penyakit Saluran Pernafasan

Refleksi Kasus Periodontik

Disusun Oleh:
Rani Wulan Sari
1995004

Pembimbing:
drg. Henry Y Mandalas, Sp. Perio., M.H.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2021
Penyakit Periodontal yang Berhubungan dengan Penyakit Saluran
Pernafasan
Rani Wulan Sari1, Henry Y Mandalas2
1
Program Profesi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Kristen Maranatha,
Bandung, 40164, Indonesia
2
Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Kristen Maranatha,
Bandung, 40164, Indonesia

ABSTRACT
Respiratory diseases are responsible for a significant number of deaths and
considerable suffering in humans. Accumulating evidence suggests that oral
disorders, particularly periodontal disease, may influence the course of respiratory
infections like bacterial pneumonia and chronic obstructive pulmonary disease
(COPD). Oral periodontopathic bacteria can be aspirated into the lung causing
aspiration pneumonia. The teeth may also serve as a reservoir for respiratory
pathogen colonization and subsequent nosocomial pneumonia. The overreaction of
the inflammatory process that leads to the destruction of the connective tissue is
present in both periodontal disease and emphysema. This overreaction may explain
the association between periodontal disease and chronic obstructive pulmonary
disease. The mechanisms of infection could be the aspiration into the lung of oral
pathogens capable of causing pneumonia, colonization of dental plaque by
respiratory pathogens followed by aspiration, or facilitation of colonization of the
upper airway by pulmonary pathogens by periodontal pathogens. Diferent drugs
used to treat asthma, such as beta 2 agonists and inhaled steroids, may promote a
higher risk of caries, dental erosion, periodontal disease and oral candidiasis. This
article reviews the evidences of mechanisms involved in oral diseases in patients
afected by asthma. The main mechanism involved is the reduction of salivary fow.
Other mechanisms include: acid pH in oral cavity induced by inhaled drugs
(particularly dry powder inhaled), lifestyle (bad oral hygiene and higher
consumption of sweet and acidic drinks), gastroesophageal refux, and the
impairment of local immunity. In conclusion asthma is involved in the genesis of oral
pathologies both directly and indirectly due to the efect of the drugs used to treat
them. Other cofactors such as poor oral hygiene increase the risk of developing oral
diseases in these patients. Preventive oral measures, therefore, should be part of a
global care for patients sufering from asthma.
Keywords: Asthma, Corticosteroid inhalers, Dental caries, Oral candidiasis,
Periodontal disease, Saliva

1
2

ABSTRAK
Penyakit saluran pernapasan terlibat dalam sejumlah besar kematian. Bukti
menunjukkan bahwa gangguan dalam rongga mulut, terutama penyakit periodontal,
dapat mempengaruhi perjalanan infeksi pernapasan seperti pneumonia bakteri dan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Bakteri periodontopatik oral dapat diaspirasi
ke dalam paru-paru menyebabkan pneumonia aspirasi. Gigi juga dapat berfungsi
sebagai reservoir untuk kolonisasi patogen pernapasan dan pneumonia nosokomial
berikutnya. Reaksi berlebihan dari proses inflamasi yang mengarah pada kerusakan
jaringan ikat terdapat pada penyakit periodontal dan emfisema. Reaksi berlebihan ini
dapat menjelaskan hubungan antara penyakit periodontal dan penyakit paru obstruktif
kronik. Mekanisme infeksi dapat berupa aspirasi patogen rongga mulut ke dalam paru
yang dapat menyebabkan pneumonia, kolonisasi plak gigi oleh patogen respiratorik
yang diikuti aspirasi, atau fasilitasi kolonisasi jalan napas atas oleh patogen paru oleh
patogen periodontal. Berbagai obat yang digunakan untuk mengobati asma, seperti
agonis beta 2 dan steroid inhalasi, dapat meningkatkan risiko karies, erosi gigi,
penyakit periodontal, dan kandidiasis oral. Mekanisme utama yang terlibat adalah
berkurangnya aliran saliva. Mekanisme lain termasuk: pH asam dalam rongga mulut
yang disebabkan oleh obat-obatan yang dihirup (terutama bubuk kering yang
dihirup), gaya hidup (kebersihan mulut yang buruk dan konsumsi minuman manis
dan asam yang lebih tinggi), refluks gastroesofageal, dan penurunan kekebalan tubuh.
Kesimpulannya asma terlibat dalam patologi mulut baik secara langsung maupun
tidak langsung karena efek obat yang digunakan dalam perawatannya. Kofaktor lain
seperti kebersihan mulut yang buruk meningkatkan risiko perkembangan penyakit
mulut pada pasien ini. Oleh karena itu, tindakan pencegahan pada rongga mulut harus
menjadi bagian dari seluruh perawatan pasien yang menderita asma.
Kata kunci: Asma, Inhaler Kortikosteroid, Karies Gigi, Kandidiasis Oral, Penyakit
Periodontal, Saliva

Pendahuluan

Asma adalah penyakit inflamasi kronis yang ditandai dengan peningkatan respon

saluran pernafasan terhadap berbagai pemicu dari lingkungan dan dengan gejala

seperti mengi, batuk, sesak dada, dan dispnea. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

evaluasi klinis dan fungsional dari obstruksi jalan napas yang reversibel, baik secara

spontan maupun setelah perawatan medis. Mekanisme inflamasi yang berbeda terlibat

dalam patogenesis, yang mengarah ke fenotipe penyakit yang heterogen. Ini termasuk
3

jalur T Helper 2 (TH2) di mana eosinofil berperan penting (kelompok ini termasuk

asma alergi tetapi juga non alergi), dan jalur non TH2 dengan infiltrasi neutrofilik,

campuran atau pauciseluler

Asma adalah masalah kesehatan yang berkembang yang mempengaruhi lebih dari

300 juta orang di seluruh dunia. Laporan dari Global Strategy for Asthma

Management and Prevention baru-baru ini menunjukkan bahwa 15% anak-anak di

Italia menderita mengi dan 11,6% menderita asma seumur hidup. Untuk orang

dewasa, persentase ini menurun menjadi 6% dan 10% masing-masing dan wanita

lebih banyak terkena dampak mengi dibandingkan pria: 6,64% berbanding 5,49%.

Wanita juga memiliki prevalensi puncak antara usia 45 dan 55 tahun. Jika tidak,

penyakit cenderung menurun di usia tua.

Tujuan pengobatan asma yaitu untuk mengurangi inflamasi saluran pernafasan dan

untuk menginduksi bronkodilatasi untuk mengontrol gejala dan mencegah

perkembangan penyakit serta timbulnya eksaserbasi. Perawatan dipilih berdasarkan

tingkat keparahan penyakit. Pilihannya meliputi terutama bronkodilator kerja pendek

(ini tidak digunakan sendiri tetapi dengan kombinasi obat antiinflamasi), agen

antiinflamasi seperti CSI (atau CS oral yang digunakan hanya pada pasien dengan

kasus yang parah), bronkodilator kerja panjang, dan pengubah leukotrien. Hanya

asma berat yang harus diobati dengan obat-obatan biologis.

Banyak obat-obatan inhalasi yang digunakan untuk mengobati asma memiliki efek

sistemik.
4

Efek sistemik kortikosteroid inhalasi berdampak pada aksis hipotalamus-hipofisis-

adrenal (HPA), serta pada tulang, kulit, mata, pertumbuhan dan sistem kekebalan.

Efek sistemik terkait dosis dan relevansinya tergantung pada kerentanan pasien

terlepas dari jenis steroid. Namun molekul yang berbeda dikaitkan dengan efek

samping yang berbeda, budesonide berperan atas beberapa efek sistemik, sementara

futikason memiliki resiko lebih tinggi terutama pada dosis di atas 400 mcg/hari. Pada

asma banyak penelitian menunjukkan bahwa ICS memiliki tingkat keamanan yang

sangat baik pada dosis rendah yang biasanya diperlukan, karena efek samping

sebagian besar muncul pada dosis yang lebih tinggi.

Inhalasi beta2-agonis pada dosis tinggi juga menyebabkan efek samping termasuk

tremor, takikardia, hipokalemia dan terkait dengan gejala sisa elektrokardiografi,

yang dimediasi oleh reseptor ekstrapulmoner. Penyerapan sistemik terutama terjadi di

pembuluh darah paru-paru dan karenanya senyawa yang lebih lipofilik, seperti

fenoterol, diserap dalam tingkat yang lebih besar.

Antikolinergik inhalasi (misalnya tiotropium) dapat menyebabkan efek samping

sistemik pada jantung seperti takikardia dan keterlibatan gastrointestinal seperti

konstipasi, serta retensi urin dan infeksi saluran kemih. Mengenai tiotropium (satu-

satunya obat antikolinergik yang disetujui pada asma berat) telah dilaporkan memiliki

efek samping sistemik yang rendah atau tidak ada pada orang dewasa dan pada anak-

anak penderita asma.

Pada saat yang sama, obat ini dapat memiliki efek lokal yang terlibat dalam

penyakit mulut melalui jalur yang berbeda, meningkatkan risiko karies, erosi gigi,
5

kehilangan gigi, penyakit periodontal dan kandidiasis mulut. Selanjutnya, pasien

asma, terlepas dari penggunaan obat, juga dapat menunjukkan perubahan komponen

saliva - seperti penurunan total protein, amilase, heksosamin, peroksidase saliva,

lisozim dan IgA sekretori – dan selanjutnya xerostomia yang diinduksi obat. Selain

itu terdapat bukti bahwa asma bronkial dapat dianggap sebagai faktor risiko

peningkatan inflamasi gingiva dan erosi gigi dan bahwa tingkat keparahannya secara

langsung berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi untuk karies gigi dan

berpengaruh terhadap gingiva. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk menganalisis

mekanisme yang terlibat dalam pengembangan lesi oral dan patologi pada pasien

asma.

Asma dan kesehatan mulut

Asma dan lingkungan mulut: efek pada aliran saliva dan mukosa mulut

Saliva terdiri dari air dan berbagai komponen anorganik dan organik, yang

memungkinkan perlindungan mulut dari mikroorganisme, pelumasan untuk

pengunyahan, dan perlindungan untuk struktur gigi.

Fungsi fisiologis saliva adalah untuk menyediakan nutrisi bagi mikrobiota rongga

mulut, membawa faktor antimikroba, dan membantu dalam pemeliharaan

homeostasis mikroba.

Lebih dari 700 spesies bakteri yang berbeda ditemukan dalam mikrobiota rongga

mulut. Firmicutes merupakan filum bakteri yang paling sering ditemukan dalam

saliva manusia.
6

Aliran dan komposisi saliva memiliki peran penting dalam kesehatan mulut,

dengan mekanisme pertahanan yang dapat terganggu pada kondisi asma karena obat

yang digunakan dan kebiasaan atau gaya hidup.

Saliva terlibat dalam mempertahankan pH netral di rongga mulut yang kadang-

kadang mencapai nilai hingga 7,67 tergantung pada berbagai jenis sistem buffer

seperti bikarbonat, fosfat, urea, dan amino peptida. Aliran saliva memungkinkan

pembersihan mekanis terhadap sisa makanan atau agen mikroba, dan pembersihan

rongga mulut berhubungan dengan kecepatan sekresi. Kondisi ini terganggu pada

penderita asma karena beta 2 agonis menunjukkan efek negatif pada tingkat produksi

saliva dan banyak inhaler memiliki pH rendah.

Tiga penelitian yang dilakukan antara tahun 1991 dan 1998 tentang efek beta 2

agonis short acting, yang digunakan dalam 7 hari, melaporkan tidak ada penurunan

aliran saliva. Sebuah penelitian terhadap 15 pasien dengan asma persisten sedang

yang diobati dengan salmeterol 50 mcg ditambah futikason propionat 100 mcg dua

kali sehari, selama 1 bulan, menunjukkan penurunan laju aliran saliva yang terkait

dengan peningkatan indeks plak gigi dan tidak ada modifikasi pada IgA saliva. Dalam

penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2001, 30 pasien dengan asma sedang

sampai berat dirawat selama 6 minggu dengan hanya salmeterol atau dikombinasi

dengan beklometason. Ini menunjukkan bahwa kedua perawatan menginduksi cedera

pada mukosa mulut tanpa perubahan aliran saliva, menunjukkan bahwa hal tersebut

bukan satu-satunya faktor pelindung untuk gingivitis.


7

Baru-baru ini, tiotropium (obat inhalasi antikolinergik long-acting -LABA) telah

disetujui sebagai obat pengontrol tambahan pada pasien dengan asma berat.

Xerostomia adalah efek samping khas dari kelas terapi antikolinergik, dan telah

diselidiki dalam analisis keamanan gabungan dari 3474 orang dewasa dengan asma

simtomatik dari tujuh uji klinis fase II dan III. Xerostomia dilaporkan oleh 1% pasien

pada kelompok tiotropium 5 g dan 0,5% pasien pada kelompok plasebo. Hasil serupa

ditemukan untuk kelompok gabungan tiotropium 2,5 g versus plasebo (0,4% dan

0,5% pasien, masing-masing). Akhirnya xerostomia tidak dianggap relevan dan tidak

menyebabkan penghentian pengobatan pada pasien manapun. Pada remaja dan anak-

anak, percobaan Cano-TinAasthma® melaporkan bahwa tidak ada bukti xerostomia

pada pasien yang diobati dengan LABA. Kesimpulannya, xerostomia rendah atau

tidak ada sama sekali pada semua kelompok umur yang diobati dengan tiotropium

sehingga merupakan pilihan terapi tambahan yang dapat ditoleransi dengan baik dan

efektif untuk pengobatan asma berat yang tidak terkontrol dengan baik.

Aliran saliva yang berkurang dapat mengakibatkan perlindungan antimikroba yang

lebih rendah dan dehidrasi rongga mulut pada mukosa sehingga untuk mencegah

xerostomia pasien ini mengonsumsi sejumlah besar produk yang dapat bersifat

kariogenik. Faktanya, peningkatan konsumsi minuman yang memiliki pH rendah

tercatat dan dapat menyebabkan lesi erosif. Pilihan gaya hidup anak-anak penderita

asma, dengan sering mengonsumsi makanan manis, juga dapat meningkatkan lesi

oral.
8

Selain itu, terapi inhalasi sering dilakukan pada malam hari sebelum tidur tanpa

kebersihan mulut dan kurangnya gerakan pengunyahan dapat meningkatkan

kerusakan pada lingkungan mulut karena obat itu sendiri.

Asma dan kandidiasis

Steroid inhalasi berperan penting dalam pengobatan asma karena efek anti-

inflamasi dan dapat mengurangi resiko kematian penderita asma.

Kandidiasis orofaringeal sering terjadi pada orang yang menggunakan

kortikosteroid nebulisasi, dengan korelasi langsung antara dosis tinggi dan waktu

paparan. Kandidiasis oral biasanya mencakup gejala seperti rasa tidak nyaman di

tenggorokan dan faringodynia. Ketidaknyamanan ini dapat menyebabkan

penghentian terapi. Kandidiasis oral terutama disebabkan oleh efek imunosupresif

ICS dan penurunan IgA dan histatin saliva. Bukti telah menunjukkan bahwa hanya

sekitar 20% dari dosis yang dihirup yang benar-benar mencapai paru-paru, dengan

sebagian besar tersisa di orofaring. Selain itu, banyak inhaler serbuk kering (DPI)

mengandung laktosa monohidrat sebagai pembawa yang dapat memperburuk

penyakit ini. Beta 2 agonis juga dapat berkontribusi pada kejadian kandidiasis yang

lebih tinggi dengan mengurangi tingkat saliva (Tabel 1).

Tabel 1: Kemungkinan penyebab kandidadiasis pada rongga mulut


Laktosa yang terkandung dalam bubuk inhaler kering yang dapat mendorong

pertumbuhan dan proliferasi candida


Laju aliran saliva rendah karena beta 2 agonis
Efek imunosupresif dan anti-inflamasi dari steroid
9

Penurunan kadar IgA

Penelitian yang dilakukan di Jepang pada tahun 2003 melibatkan 143 penderita

asma yang sedang dalam pengobatan dengan steroid inhalasi (96 dengan fluticasone

propionate Diskhaler pada 50, 100, atau 200 g per dosis dan 47 sisanya dengan

beclomethasone dipropionate 100 g per dosis), 11 pasien penderita asma yang tidak

diobati dengan CSI dan 86 kontrol dalam keadaan sehat. Data menegaskan bahwa

jumlah yang lebih besar dari organisme Candida spp. terdeteksi pada pasien asma

yang diobati dengan CSI (p <0,001). Tujuan dari penelitian ini juga untuk

mengevaluasi kejadian kandidiasis oral pada pasien yang diobati dengan fluticasone

propionate melalui inhaler bubuk kering daripada pada pasien yang diobati dengan

beclomethasone dipropionate yang diberikan menggunakan inhaler dosis terukur

bertekanan dengan spacer. Candida terdeteksi pada 26% penderita asma yang diobati

dengan flutikason dan 10% dari mereka yang diobati dengan beklometason (p =

0,02). Dosis flutikason yang dihirup adalah sekitar 50% dari beklometason dan baik

tingkat deteksi maupun jumlah candida secara signifikan lebih tinggi pada pasien

yang diobati dengan flutikason. Disimpulkan bahwa penggunaan beklometason tidak

berkorelasi dengan jumlah kandida sedangkan ada hubungan langsung antara jumlah

kandida dengan dosis flutikason. Penjelasannya mungkin bahwa flutikason, meskipun

memiliki efek anti-inflamasi utama yang memerlukan dosis rendah untuk mencapai

efek terapeutik, dapat mengganggu kekebalan karena kelarutan utama, penghambatan

kuat migrasi dan proliferasi sel T, dan gangguan viabilitas eosinofil yang diinduksi
10

pengaktifan IL 5. Selain itu, laju aliran tampaknya berdampak pada kerentanan

kandidiasis oral.

Temuan ini dikonfirmasi dalam studi selanjutnya yang mengevaluasi penggunaan

Fluticasone Propionate (FP) sebagai inhaler bubuk kering. Dalam penelitian ini,

empat kelompok pasien terdaftar: 62 pasien asma yang memakai 200 g/hari FP, 122

penderita asma yang memakai FP 500 g/hari, 50 pasien asma yang belum menjalani

pengobatan kortikosteroid inhalasi (ICS). dan 40 subjek non-asma. Frekuensi swab

positif kolonisasi Candida lebih tinggi pada kelompok FP 500 g/hari dibandingkan

pada penderita asma tanpa ICS (p<0,05) dan juga lebih tinggi dari kontrol normal

(p<0,05), sedangkan tidak ada perbedaan antara kelompok FP 200 g/hari dan kontrol.

Pada tahun 2007 sebuah penelitian dilakukan untuk mengevaluasi risiko

kandidiasis orofaringeal dan esofagus pada 40 pasien asma di atas usia 18 tahun

dibandingkan dengan kontrol. Para pasien diobati dengan steroid inhalasi (400 mcg

sampai 1600 mcg budesonide atau futicasone) selama minimal 1 bulan. Penelitian ini

membedakan antara infeksi (gejala klinis ditambah kultur positif) dan kolonisasi

(hanya kultur positif). Hasil penelitian menunjukkan kandidiasis esofagus dan

kandidiasis orofaring masing-masing pada 2,5% dan 5% pasien asma, sementara

tidak ada perbedaan yang terdeteksi pada kolonisasi kandida di kedua lokasi antara

kelompok asma dan kelompok kontrol. Temuan ini belum konklusif.

Untuk meminimalisir kejadian kandidiasis oral, banyak tindakan pencegahan yang

dapat dilakukan, seperti berkumur dan menggunakan spacer, pemberian antimikotik

topikal (misalnya nistatin), penggunaan obat sialogogue pada pasien dengan laju
11

aliran saliva rendah, dan mengunyah permen karet bebas gula. Selain itu, berkumur

dengan larutan amfoterisin yang diencerkan 1:50 dapat mengurangi jumlah kandida

dan memperbaiki gejala daripada hanya berkumur dengan air.

Ringkasnya, penyebab utama kandidiasis oral dapat berasal dari steroid inhalasi

(jenis dan dosis). Hal tersebut dapat dicegah dengan berkumur yang benar dan

menggunakan dosis ICS terendah untuk mengendalikan penyakit.

Asma dan erosi gigi

Erosi gigi ditandai dengan hilangnya enamel dan dentin akibat aksi asam. Ambang

pH untuk demineralisasi enamel gigi di bawah 5,5. Prevalensi pada populasi umum

adalah 30,4% sebagaimana didokumentasikan oleh tinjauan sistematis yang dilakukan

pada tahun 2015.

Obat asma dapat menyebabkan resiko erosi gigi yang lebih tinggi dengan

mengurangi perlindungan saliva terhadap asam dari faktor ekstrinsik (seperti

minuman ringan, jus buah, dan suplemen makanan,) dan asam intrinsik (seperti asam

lambung pada penyakit reflux gastroesofageal-GERD).

Selanjutnya, obat asma utama, terutama yang berbentuk bubuk, menciptakan pH

kurang dari 5,5, yang merupakan tingkat kritis untuk pelarutan hidroksiapatit (Tabel

2).

Tabel 2: Kemungkinan penyebab erosi gigi


Pengurangan laju aliran saliva karena beta 2 agonis
12

Peningkatan paparan asam pada gigi


Sumber ekstrinsik: minuman ringan asam, keasaman obat (inhaler, khususnya bubuk

kering)
Sumber intrinsik: refluks gastroesofageal

Kesimpulan tentang hubungan antara erosi gigi dan asma masih kontroversial.

Sebuah penelitian di Inggris yang dilakukan pada tahun 2000 bertujuan untuk menilai

tingkat erosi gigi pada sampel acak dari 418 subjek (14 tahun), 15,8% di antaranya

penderita asma. Disimpulkan bahwa tingkat erosi gigi lebih tinggi pada anak

penderita asma dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat (30% memiliki nilai 2

vs 24% memiliki nilai 2 menggunakan Tooth Wear Index.)

Penelitian lain yang dilakukan kemudian di Inggris (2003) termasuk lebih dari

1300 (12 tahun) anak penderita asma dan non-asma, yang diperiksa kembali 2 tahun

kemudian, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam prevalensi erosi

antara kedua kelompok. Hasil ini dapat disebabkan oleh fakta bahwa meskipun 88%

pasien dalam kelompok asma memiliki obat yang diresepkan, mereka menunjukkan

pH di atas tingkat kritis 5,5. Data ini menggarisbawahi pentingnya kofaktor lain

selain terapi obat dalam perkembangan erosi gigi. Bahkan pada tahun 1998 O’

Sallivan menemukan berbagai faktor risiko lain yang berhubungan dengan erosi gigi

yang meliputi: mulut kering akibat efek bronkodilator dan pernafasan melalui mulut,

konsumsi minuman dengan pH rendah, dan keasaman tinggi dan gastroesophageal

refux (GOR).
13

Hubungan antara refluks gastroesofageal dan erosi gigi telah terbukti dan

hubungan antara asma dan GERD sekarang tercatat dengan baik. Sebuah penelitian

cross sectional, yang dilakukan pada tahun 2017 pada sampel dari 1869 subjek (18

tahun), mendeteksi erosi pada 42,3% di antaranya melalui penilaian klinis

menggunakan Basic Erosive Wear Examination (BEWE). Di antara komorbiditas

diselidiki, asma, alergi, gangguan makan dan GOR ditemukan masing-masing 2,7%,

8,5%, 1,4% dan 1,3%. Analisis statistik menunjukkan bahwa prevalensi erosi di

daerah anterior berhubungan dengan refluks gastroesofageal, gangguan makan, dan

asma dengan tingkat signifikansi p<0,05.

Gejala GOR lebih banyak terjadi pada pasien asma (sekitar 75%) dibandingkan

dengan kontrol dan rata-rata prevalensi erosi gigi pada pasien dewasa yang terkena

GOR adalah 32,5%. Diasumsikan bahwa obat antiasma yang diberikan dengan DPI

(yang menunjukkan pH lebih rendah dibandingkan saat diberikan dengan MDI),

dikaitkan dengan lebih banyak erosi gigi. Tidak ada perbedaan yang jelas,

bagaimanapun, dalam tingkat erosi gigi yang terlihat dengan menggunakan dua cara

pemberian obat yang berbeda. Ini dapat menunjukkan pentingnya GOR dan faktor

lain yang menyertainya termasuk gaya hidup dan kebersihan mulut dalam

menentukan erosi gigi.

Sebuah studi cross sectional pada tahun 2019 yang melibatkan 400 anak berusia 6

hingga 14 tahun, mengevaluasi hubungan antara erosi gigi dan faktor etiologi.

Tingkat risiko pasien untuk mengalami erosi gigi diperoleh dari indeks BEWE.

Sebuah hubungan yang signifikan secara statistik (p = 0,05) antara asupan minuman
14

berkarbonasi, minuman isotonik dan jus buah dan BEWE yang lebih tinggi terdeteksi.

Selanjutnya, mengenai penggunaan obat-obatan yang berpotensi erosif, korelasi yang

signifikan secara statistik (p=0,006) ditunjukkan dengan indeks BEWE pada pasien

yang menggunakan inhaler (5,3% dari keseluruhan).

Intervensi seperti berkumur dengan natrium bikarbonat atau menggunakan obat

kumur natrium fluorida netral setelah menggunakan inhaler, menggunakan spacer,

dan mengobati gejala GOR, dapat membantu dalam mengobati dan mencegah erosi

gigi.

Singkatnya, erosi gigi dapat dikaitkan dengan penggunaan agonis beta 2, terlepas

dari jenis inhaler, tetapi kofaktor seperti gaya hidup, obat-obatan terkait, atau GERD

dapat meningkatkan risiko. Jadi, berkumur dan mengendalikan kofaktor merupakan

hal yang wajib dilakukan.

Asma dan penyakit periodontal (gingivitis dan sensitivitas dentin)

Jaringan periodontal terdiri dari gingiva, sementum, tulang alveolar, dan ligamen

periodontal. Bentuk awal penyakit periodontal adalah peradangan pada gingiva

(gingivitis) yang menjadi bengkak, mengkilat, dan mudah berdarah. Kesehatan

periodontal sangat terkait dengan aliran saliva yang tepat. Periodontitis dengan

kehilangan perlekatan yang parah pada beberapa gigi merupakan hal yang lazim di

antara sekitar 0,2-0,5% dari anak-anak dan dewasa muda.

Beberapa penelitian melaporkan jumlah yang signifikan dari akumulasi plak dan

inflamasi gingiva pada penderita asma. Pada awal tahun 1998, sebuah penelitian yang
15

dilakukan pada 100 anak penderita asma mengungkapkan bahwa populasi penderita

asma secara signifikan memiliki lebih banyak plak, gingivitis dan kalkulus dan lebih

banyak kehilangan permukaan gigi dibandingkan dengan kontrol yang sehat.

Selain itu, sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2017 menunjukkan bahwa

peradangan gingiva (mengingat Gingival Index-GI) lebih umum pada anak-anak

penderita asma daripada kontrol yang sesuai dan meningkat dengan tingkat keparahan

asma.

Tinjauan sistematis yang dilakukan pada tahun 2018, termasuk 21 penelitian yang

diterbitkan antara tahun 1979 dan 2017, menunjukkan hubungan yang kuat antara

asma dan penyakit periodontal.

Studi lain yang diterbitkan 1 tahun kemudian, termasuk tinjauan sistematis dari 11

penelitian dan meta-analisis enam parameter (indeks plak, indeks gingiva, bleeding

on probing, indeks perdarahan papiler, indeks kalkulus, clinical attachment loss),

mengkonfirmasi kemungkinan hubungan asma dengan penyakit periodontal pada

orang dewasa, terutama mengenai gingivitis (dibandingkan dengan individu yang

sehat). Namun, penulis menguraikan bahwa penelitian lebih lanjut dengan metode

serupa diperlukan untuk mengevaluasi interaksi antara penyakit ini. Sebuah studi

komparatif cross sectional yang dilakukan pada tahun 2016 di antara 40 pasien asma

(18-60 tahun) menunjukkan tingkat sensitivitas dentin yang lebih tinggi (35,13%)

dibandingkan dengan kontrol (14,3%) (p=0,00). Namun hasil ini tidak dikonfirmasi

dalam penelitian lain di mana tidak ada perbedaan yang ditemukan antara kedua

kelompok. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan penggunaan pasta gigi
16

dengan bahan desensitisasi atau tidak dengan jenis keausan gigi lain yang memiliki

efek protektif terhadap hipersensitivitas dentin.

Keterlibatan periodontal pada asma dapat disebabkan oleh proses imun dan

inflamasi, efek samping obat asma, atau keduanya. Penyebab utama kerusakan

jaringan periodontal mungkin adalah berkurangnya efek protektif saliva selama mulut

kering. Hal ini dapat disebabkan oleh bernafas melalui mulut, perubahan komposisi

saliva, atau pengurangan aliran saliva. Fenomena ini dapat meningkatkan interaksi

antara faktor bakteri dan imunologi, termasuk konsentrasi IgA saliva yang lebih

rendah. Peningkatan konsentrasi IgE di jaringan gingiva dan insiden kalsium serta

fosfor yang lebih tinggi dengan prevalensi kalkulus yang lebih tinggi dalam saliva,

juga dapat terlibat dalam kesehatan periodontal yang buruk.

Selanjutnya, ICS dapat mengurangi kepadatan mineral tulang, termasuk pada

mandibula. Penggunaan jangka panjang ICS pada orang dewasa dapat menyebabkan

meningkatnya resiko fraktur tulang, terutama pada pasien yang menerima dosis

sedang hingga tinggi. Hal ini dapat terjadi bahkan jika bioavailabilitas obat sistemik

minimal. Untuk alasan ini, ICS mungkin berdampak pada timbulnya dan

perkembangan penyakit periodontal dan kepadatan mineral tulang mandibula harus

diperiksa secara teratur jika berhubungan dengan faktor risiko lain untuk

osteoporosis. Oleh karena itu, pengendalian penyakit menggunakan dosis ICS

terendah adalah salah satu hal terpenting dalam terapi asma (tabel 3).

Tabel 3: Kemungkinan penyebab penyakit periodontal


17

Dehidrasi mukosa alveolus akibat pernapasan mulut


Perubahan respon imun dengan peningkatan konsentrasi IgE dan pengurangan sekresi

IgA
Pengurangan aliran saliva karena beta 2 agonis
Pembentukan kalkulus yang lebih tinggi karena peningkatan kadar kalsium dan fosfor

dalam saliva
Penurunan kepadatan mineral tulang karena steroid inhalasi

Sebuah studi retrospektif yang melibatkan sampel 19.206 penderita asma,

menemukan bahwa bahaya pengembangan penyakit periodontal meningkat untuk

pasien dengan bentuk asma yang lebih parah (beberapa kali kunjungan ke unit gawat

darurat atau dirawat di rumah sakit). Hubungan antara perawatan ICS dan risiko

penyakit periodontal yang lebih tinggi terdeteksi. Namun, penelitian ini memiliki

beberapa keterbatasan dalam mendefinisikan asma dan periodontitis dengan benar:

kurangnya informasi tentang tingkat keparahan penyakit, dosis steroid kumulatif yang

dihirup, dan periode kontrol yang singkat (sekitar 6 tahun sementara penyakit

periodontal berkembang perlahan).

Tidak hanya asma, tetapi juga rinitis alergi dan penyakit pernapasan lainnya yang

memicu pernapasan mulut dapat berperan penting dalam mengembangkan penyakit

periodontal. Misalnya, obstructive sleep apnea (OSA), hipertrofi adenoid dan tonsil,

serta gangguan neuromuskular dapat mempengaruhi anak-anak.

Asma dan karies / decay


18

Karies gigi merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering terjadi pada

anak dan telah terbukti mempengaruhi kesehatan sistemik dan status gizi, dengan

prevalensi 60-90% pada anak sekolah. Patogenesisnya adalah multifaktorial,

komprehensif dari faktor lingkungan, perilaku, dan genetik, dan melibatkan proses

yang kompleks dari pelarutan enamel dan remineralisasi oleh asam organik yang

dihasilkan oleh mikroorganisme dalam plak gigi.

Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan yang kuat antara asma dan

karies gigi, terutama pada anak-anak, meskipun beberapa penelitian lain tidak dapat

membuktikan hubungan ini. Perbedaan antar penelitian yaitu paparan fuoride yang

berbeda, penggunaan obat, dan alat yang digunakan (bubuk kering, spacer).

Penelitian juga menunjukkan bahwa prevalensi karies meningkat dengan tingkat

keparahan asma dan durasi pengobatan. Pada awal tahun 1987, beberapa penulis tidak

mengkonfirmasi temuan ini, dan pada tahun 2004 sebuah penelitian yang dilakukan

pada 140 pasien asma (7 hingga 17 tahun) menunjukkan bahwa baik periode penyakit

maupun penggunaan obat-obatan maupun tingkat keparahan asma tidak memiliki

pengaruh yang signifikan pada risiko karies dan gingivitis. Kebersihan mulut (79%

anak melaporkan kebersihan mulut yang baik) dan pola makan tidak dapat

menjelaskan kurangnya korelasi ini.

Di sisi lain, tinjauan sistematis dan meta-analisis yang dilakukan pada tahun 2010

mengevaluasi efek asma pada gigi sulung (11 artikel) dan gigi permanen (14 artikel)

serta menyarankan bahwa asma meningkatkan risiko karies pada gigi sulung dan gigi

permanen.
19

Penelitian lain yang dilakukan pada populasi yang berusia lebih tua (dua puluh

pasien berusia 18-24 tahun) dengan durasi asma jangka panjang (13,5 tahun),

menunjukkan insiden karies awal yang lebih tinggi (6 vs 1,3) dan tingkat sekresi

saliva yang lebih rendah daripada kontrol tanpa asma.

Data terbaru datang dari penelitian yang dilakukan di Korea pada tahun 2018.

Sampel sebanyak 44.203 subjek termasuk 1.264 pasien asma, dibagi menjadi

beberapa kelompok berdasarkan usia diagnosis asma (0 hingga 64 tahun). Diagnosis

asma pada pasien yang lebih muda dari 12 tahun menunjukkan korelasi yang

signifikan dengan kehilangan gigi karena karies daripada subjek dengan diagnosis

yang tertunda. Mekanisme yang berbeda terlibat dalam peningkatan prevalensi karies

pada pasien asma (Tabel 4).

Tabel 4: Kemungkinan penyebab karies gigi


Penurunan laju aliran saliva yang diinduksi oleh beta 2 agonis
Peningkatan bakteri Lactobacilli dan Streptococcus mutan dalam saliva
Penurunan pH saliva karena penggunaan inhaler
Karbohidrat yang dapat difermentasi hadir dalam obat antiasma
Perbanyak konsumsi makanan dan minuman manis

Ryberg dkk. menemukan bahwa risiko karies pada anak penderita asma terkait

dengan penggunaan beta 2 agonis dan akibatnya aliran saliva yang lebih rendah

meningkatkan jumlah Lactobacilli dan Streptococcus mutans. Selain itu, obat beta 2
20

yang dihirup berhubungan dengan penurunan yang signifikan pada pH saliva dan

plak. Beberapa obat bubuk kering mengandung gula (seperti laktosa monohidrat),

yang berhubungan dengan penurunan aliran saliva, dapat berkontribusi dalam

perkembangan karies. Juga, seperti yang disebutkan sebelumnya, peningkatan

konsumsi makanan kariogenik (seperti minuman manis, atau manis) pada populasi

penderita asma, merupakan hal biasa.

Milano dkk. melakukan penelitian pada 179 anak penderita asma untuk meneliti

hubungan antara jenis obat, frekuensi penggunaan, dan waktu pemberian dosis

terhadap karies gigi. Mereka memperhatikan bahwa anak-anak yang menggunakan

obat lebih dari dua kali sehari mengalami lebih banyak karies pada gigi sulung dan

campuran dan juga melaporkan hubungan antara waktu pengobatan dan peningkatan

kejadian karies pada gigi sulung. Ini terutama terjadi pada anak-anak yang memiliki

waktu pemberian dosis sebelum tidur tanpa membersihkan atau membilas mulut

mereka.

Dua penelitian lain menguraikan persentase karies yang lebih tinggi pada

penderita asma dengan gigi permanen. Pertama, karies terdeteksi pada 83% pasien

dengan gigi permanen dibandingkan dengan gigi sulung (70%) atau campuran (78%).

Studi kedua membuktikan tidak ada peningkatan risiko karies pada gigi sulung

sementara risiko relatif pada gigi permanen diperkirakan 1,45 (95% CI), terutama

pada anak-anak yang menggunakan agonis beta 2 dan steroid inhalasi.

Sebuah penelitian cross sectional yang dilakukan pada tahun 2016 pada lebih dari

40 pasien asma antara usia 18 dan 65 tahun, mengevaluasi status gigi menggunakan
21

indeks DMFT (gigi berlubang, missing, dan restorasi gigi). Nilai yang lebih tinggi

dari skor ini ditemukan pada penderita asma dibandingkan dengan kontrol, tetapi

perbedaannya tidak signifikan secara statistik (p=0,199). Untuk gigi yang karies dan

hilang menunjukkan insiden karies yang lebih tinggi, perbedaan antara kedua

kelompok berbeda secara statistik (p<0,001). Ekstraksi merupakan perawatan yang

paling umum dipilih untuk karies pada populasi yang diteliti, karena subjek yang

dievaluasi telah menderita penyakit ini selama sekitar 5 sampai 10 tahun dan mereka

tidak melakukan perawatan gigi preventif (sebagian karena kurangnya informasi

tentang efek samping obat).

Penting untuk digarisbawahi bahwa tidak hanya asma saja dan pengobatan asma,

tetapi juga rinitis yang terjadi bersamaan, dapat mempengaruhi kejadian karies.

Rhinitis, seperti yang dicatat dalam pedoman ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact

on Asthma), terdapat pada hampir 80% pasien asma dan dapat menjadi faktor perancu

dalam patogenesis penyakit mulut pada penderita asma, dan hal ini belum diteliti.

Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan pada 9038 anak, diamati selama 9

tahun sejak lahir, menganalisis korelasi antara asma, rinitis dan karies dan pengaruh

obat AR dalam kondisi ini. Penulis menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara

karies gigi dan asma dan bahwa kunjungan klinis untuk karies meningkat 13-25%

pada pasien AR (p<0,001). Obat AR juga dapat berperan dalam pembentukan karies

dengan menurunkan laju aliran saliva. Antihistamin generasi kedua umumnya

memiliki efek antikolinergik yang lebih sedikit dibandingkan generasi pertama, tetapi

dalam penelitian ini kedua obat tersebut digunakan. Selanjutnya, nasal steroid topikal
22

dapat dihubungkan, tidak hanya dengan mengurangi aliran saliva, tetapi juga dengan

mengubah flora rongga mulut. Bahkan jika tidak dalam perawatan khusus, pasien AR

dapat mengalami peningkatan kadar bakteri kariogenik dan bernafas melalui mulut,

yang merupakan faktor risiko yang diketahui untuk pembentukan karies.

Kesimpulannya, untuk mengurangi kejadian gigi berlubang pada penderita asma

disarankan untuk menggunakan obat bebas gula dan produk berfluoride untuk

berkumur. Obat-obatan dengan gula dan penggunaan fluoride yang tidak teratur

berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah karies. Membilas rongga mulut dan

berkumur, menggunakan spacer, dan mencoba mengurangi dosis dan frekuensi ICS

juga dianjurkan.

Peran potensial infeksi periodontal pada penyakit pernapasan – ulasan.

ABSTRAK

Penyakit saluran pernapasan terlibat dalam sejumlah besar kematian. Bukti


menunjukkan bahwa gangguan dalam rongga mulut, terutama penyakit periodontal,
dapat mempengaruhi perjalanan infeksi pernapasan seperti pneumonia bakteri dan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Bakteri periodontopatik oral dapat diaspirasi
ke dalam paru-paru menyebabkan pneumonia aspirasi. Gigi juga dapat berfungsi
sebagai reservoir untuk kolonisasi patogen pernapasan dan pneumonia nosokomial
berikutnya. Reaksi berlebihan dari proses inflamasi yang mengarah pada kerusakan
jaringan ikat terdapat pada penyakit periodontal dan emfisema. Reaksi berlebihan ini
dapat menjelaskan hubungan antara penyakit periodontal dan penyakit paru obstruktif
kronik. Mekanisme infeksi dapat berupa aspirasi patogen rongga mulut ke dalam paru
yang dapat menyebabkan pneumonia, kolonisasi plak gigi oleh patogen respiratorik
yang diikuti aspirasi, atau fasilitasi kolonisasi jalan napas atas oleh patogen paru oleh
23

patogen periodontal. Artikel ini mengulas secara singkat bukti epidemiologis & peran
periodontopatogen dalam menyebabkan infeksi saluran pernapasan.
Kata kunci: Periodontitis, Pneumonia, bakteremia, interleukin

Pendahuluan

Penyakit periodontal adalah infeksi bakteri yang berhubungan dengan bakteremia,

peradangan, dan respon imun yang kuat. Patogen oral dan mediator inflamasi seperti

interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) dari lesi periodontal

mencapai aliran darah yang menginduksi reaktan inflamasi sistemik seperti protein

fase akut, dan efektor imun termasuk antibodi sistemik terhadap bakteri periodontal.

Penelitian terbaru menetapkan bahwa infeksi periodontal merupakan faktor risiko

yang mungkin untuk penyakit kardiovaskular, termasuk aterosklerosis, infark

miokard, stroke, diabetes, hasil kehamilan yang merugikan & gangguan pernapasan.

Baru-baru ini, para ilmuwan dan klinisi telah mulai memberikan bukti ilmiah yang

semakin banyak yang menunjukkan bahwa periodontitis moderate yang tidak diobati

dapat mempengaruhi individu secara sistemik, dan dapat berkontribusi pada penyakit

kardiovaskular, diabetes, dan berat badan lahir rendah prematur.

Diantara interaksi tersebut adalah antara infeksi rongga mulut seperti periodontitis

dan penyakit saluran pernafasan. Penyakit saluran pernapasan bertanggung jawab atas

morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada populasi manusia. Penyakit-penyakit

ini tersebar luas dan mengakibatkan banyak korban pada kesehatan manusia dan

biaya perawatan kesehatan. Sebuah laporan terbaru menempatkan infeksi saluran

pernapasan bawah sebagai penyebab kematian paling umum ketiga di seluruh dunia
24

pada tahun 1990 (menyebabkan 4,3 juta kematian), dan penyakit paru obstruktif

kronik sebagai penyebab utama kematian keenam (2,2 juta kematian). Kontinuitas

anatomis antara paru-paru dan rongga mulut membuat rongga mulut menjadi

reservoir potensial patogen pernapasan. Namun agen infektif harus mengalahkan

mekanisme pertahanan imunologis dan mekanis untuk mencapai saluran pernapasan

bagian bawah. Mekanisme pertahanannya sangat efisien sehingga, pada pasien sehat,

saluran napas distal dan parenkim paru-paru steril, meskipun terdapat banyak bakteri

(106 bakteri aerob dan 107 bakteri anaerob per mililiter) ditemukan di saluran napas

atas. Infeksi terjadi ketika pertahanan host terganggu, patogen sangat virulen atau

inokulum berlebihan. Mikroorganisme dapat masuk ke paru-paru melalui inhalasi,

tetapi rute infeksi yang paling umum adalah aspirasi dari sekret orofaringeal. Oleh

karena itu, mikroorganisme mulut dapat menginfeksi saluran pernapasan. Namun,

hanya baru-baru ini peran flora mulut dalam patogenesis infeksi pernapasan telah

diperiksa secara dekat.

Makalah ini akan menjelaskan secara singkat bukti epidemiologi dan mekanisme

yang mendukung peran bakteri rongga mulut dalam proses infeksi saluran

pernapasan.

Pneumonia bakteri

Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai agen

infeksi, termasuk bakteri, mikoplasma, jamur, parasit, dan virus. Munculnya bakteri

resisten antibiotik (misalnya, Pneumokokus yang resisten penisilin) menunjukkan


25

bahwa pneumonia bakteri akan semakin penting di tahun-tahun mendatang.

Pneumonia dapat secara luas diklasifikasikan menjadi dua jenis, sehubungan dengan

agen penyebabnya:

• Diperoleh dari masyarakat

• Diperoleh dari rumah sakit (nosokomial)

Pneumonia bakterial yang didapat masyarakat biasanya disebabkan oleh patogen

yang berada di mukosa orofaringeal seperti Streptococcus pneumonia dan

Haemophilus influenza, Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia, Legionella

pneumophila, Candida albicans dan spesies anaerob.

Pneumonia nosokomial sering disebabkan oleh bakteri yang biasanya bukan

penghuni orofaring tetapi masuk ke lingkungan ini dari lingkungan. Ini termasuk

basil Gram-negatif (enterik seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Serratia

sps, Enterobacter sps.), Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan Emfisema

Ini adalah suatu kondisi yang ditandai dengan obstruksi kronis aliran udara dengan

produksi sputum yang berlebihan akibat bronkitis kronis (CB) dan/atau emfisema.

Bronkitis kronis adalah hasil dari iritasi saluran napas bronkial, yang

menyebabkan perluasan proporsi sel-sel yang mensekresi lendir di dalam epitel

saluran napas.

Emfisema didefinisikan sebagai distensi ruang udara distal bronkiolus terminal

dengan kerusakan septa alveolar.


26

Faktor Risiko PPOK:

Termasuk riwayat merokok berkepanjangan dan kondisi genetik seperti adanya

gen 1-antitrypsin yang rusak, varian 1-antichymotrypsin, 2-macroglobulin, protein

pengikat vitamin D, dan gen antigen golongan darah. Faktor risiko lingkungan

lainnya termasuk paparan kronis terhadap polutan atmosfer beracun (mis., Perokok

pasif).

Patogenesis Infeksi Bakteri Saluran Pernapasan

Paru-paru terdiri dari banyak unit yang dibentuk oleh percabangan progresif dari

saluran udara. Jalan napas dari setiap unit pernapasan terminal (bronkiolus, duktus

alveolar, kantung alveolar, dan alveoli) dilapisi oleh sel-sel epitel yang berdekatan

pada aspek basalnya dengan kapiler, yang memungkinkan pertukaran gas secara

efisien. Saluran udara bagian bawah biasanya steril, meskipun sekresi saluran udara

bagian atas sangat terkontaminasi dengan mikroorganisme yang berasal dari

permukaan mulut dan hidung. Sterilitas saluran napas bagian bawah dipertahankan

oleh refleks batuk, aksi sekresi trakeobronkial dan transportasi mukosiliar

mikroorganisme yang dihirup dan material tertentu dari saluran pernapasan bagian

bawah ke orofaring, serta faktor pertahanan imun dan non imun (imunitas yang

diperantarai sel, imunitas humoral, dan leukosit polimorfonuklear). Faktor pertahanan

terkandung dalam sekresi yang melapisi epitel paru. Sekresinya mengandung

surfaktan, protein lain seperti fibronektin, komplemen dan imunoglobulin. Paru-paru


27

juga mengandung sistem sel fagositik yang kaya, yang menghilangkan

mikroorganisme dan sisa-sisa debris.

Menurut Scannapieco dan Mylotte mikroorganisme dapat mencemari saluran

udara bagian bawah kemungkinan melalui empat rute:

1) Aspirasi isi orofaringeal,

2) Menghirup aerosol infeksius,

3) Penyebaran infeksi dari tempat yang berdekatan, dan

4) Penyebaran hematogen dari tempat infeksi ekstrapulmoner (misalnya,

translokasi dari saluran pencernaan).

Peran bakteri mulut dalam patogenesis infeksi saluran pernapasan

Spesies bakteri mulut yang terlibat dalam menyebabkan pneumonia dan abses paru

adalah Actinobacillus actinomycetemcomitans, Actinomyces israelii, spesies

Capnocytophaga, Eikenella corrodens, Prevotella intermedia, Porphyromonas

gingivalis dan Streptococcus constellatus.

Scannapieco telah mengusulkan beberapa mekanisme untuk menjelaskan peran

potensial bakteri mulut dalam patogenesis infeksi pernapasan:

• Aspirasi patogen rongga mulut (seperti Porphyromonas gingivalis,

Actinobacillus actinomycetemcomitans, dll.) ke dalam paru-paru

menyebabkan infeksi,
28

• Enzim terkait penyakit periodontal dalam saliva dapat memodifikasi

permukaan mukosa untuk meningkatkan adhesi dan kolonisasi oleh patogen

pernapasan, yang kemudian dihirup ke paru-paru,

• Enzim terkait penyakit periodontal dalam saliva dapat merusak pelikel saliva

pada bakteri patogen untuk menghalangi pembersihannya dari permukaan

mukosa

• Sitokin yang berasal dari jaringan periodontal dapat mengubah epitel

pernapasan untuk meningkatkan infeksi oleh patogen pernapasan

Aspirasi patogen rongga mulut

Rongga mulut merupakan reservoir penting bakteri patogen penyebab penyakit

paru-paru. Terpening dkk. menyatakan bahwa insiden kolonisasi patogen pernapasan

orofaringeal oleh patogen pernapasan tampaknya lebih sering terjadi pada pasien

dengan gigi atau gigi palsu dibandingkan pada pasien edentulous yang tidak memakai

gigi palsu. Saliva yang berkurang dan pH saliva dapat meningkatkan kolonisasi oleh

patogen pernapasan; kondisi ini terjadi pada pasien yang sakit dan mereka yang

menerima berbagai obat (gambar 1).


29

Gambar 1: Aspirasi patogen rongga mulut

Kolonisasi oral oleh patogen pernapasan sering terjadi pada pasien yang dirawat di

rumah sakit, terutama mereka yang dirawat di ICU rumah sakit dan pada orang tua

yang lemah atau dirawat di rumah sakit.

Modifikasi permukaan mukosa oleh enzim terkait penyakit periodontal dalam

saliva

Woods dkk. melaporkan bahwa patogen pernapasan seperti P. aeruginosa

mungkin menempel lebih baik ke sel epitel mulut yang diperoleh dari pasien yang

dikolonisasi oleh patogen pernapasan daripada sel yang diambil dari pasien yang

tidak dikolonisasi. Pengobatan tripsin sel epitel dari pasien non-kolonisasi in vitro

mengakibatkan peningkatan adhesi patogen pernapasan. Ini menunjukkan bahwa

perubahan mukosa mendorong peningkatan adhesi bakteri. Perubahan ini mungkin

hilangnya fibronektin (oleh paparan protease) dari permukaan sel epitel, yang dapat

membuka reseptor permukaan mukosa untuk adhesi patogen pernapasan (Gbr. 2).
30

Gambar 2: Patogen menghasilkan enzim yang mengubah reseptor adhesi permukaan


mukosa untuk patogen saluran pernapasan

Penghancuran pelikel saliva pelindung oleh bakteri mulut

Subyek dengan kebersihan mulut yang buruk mungkin memiliki peningkatan

kadar enzim hidrolitik (misalnya sialidase) dalam saliva mereka. Enzim-enzim ini

dapat memproses musin untuk mengurangi kemampuannya mengikat dan

membersihkan patogen seperti H. influenza (Gbr. 3). Sebaliknya, enzim dapat

memproses epitel pernapasan untuk memodulasi adhesi patogen tersebut ke

permukaan mukosa (Gbr. 4)


31

Gambar 3: Enzim mendegradasi pelikel pada patogen oral, yang mencegahnya


menempel pada permukaan mukosa

Gambar 4: Enzim mendegradasi pelikel saliva pada permukaan mukosa sehingga


mengekspos reseptor adhesi untuk patogen saluran pernapasan

Perubahan pada epitel pernapasan oleh sitokin

Wilson dkk. menyatakan bahwa patogen oral terus menerus merangsang sel-sel

periodonsium (sel epitel, sel endotel, fibroblas, makrofag, dan sel darah putih) untuk

melepaskan berbagai macam sitokin dan molekul biologis aktif lainnya yaitu

interleukin (IL)-1α, IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α.

Bakteri mulut dalam sekret bertemu dengan permukaan epitel pernapasan dan

dapat menempel pada permukaan mukosa. Bakteri mulut yang terikat ini dapat

merangsang produksi sitokin oleh epitel mukosa. Sitokin yang berasal dari jaringan

mulut, yang keluar dari sulkus gingiva untuk bercampur dengan seluruh saliva, dapat

mengkontaminasi epitel respiratori distal untuk merangsang sel epitel respiratorik.

Sel-sel yang dirangsang ini kemudian dapat melepaskan sitokin lain yang membawa

sel-sel inflamasi ke tempat tersebut. Sel-sel inflamasi ini dapat melepaskan enzim
32

hidrolitik dan molekul pengubah lainnya, mengakibatkan epitel yang rusak yang

mungkin lebih rentan terhadap kolonisasi oleh patogen pernapasan (Gambar 5).

Gambar 5: Sitokin meningkatkan ekspresi reseptor adhesi pada permukaan mukosa


untuk mendorong kolonisasi patogen saluran pernapasan

Scannapieco & Ho menyarankan bahwa kesehatan mulut yang buruk mungkin

didukung dengan faktor-faktor lain, seperti terus merokok, polusi lingkungan, infeksi

virus, alergi dan/atau faktor genetik yang mendorong perkembangan dan/atau

eksaserbasi penyakit paru. Subyek dengan rata-rata attachment loss (MAL) 3,0 mm

memiliki risiko PPOK yang lebih tinggi dibandingkan yang memiliki MAL < 3,0

mm. Fungsi paru tampak berkurang dengan meningkatnya kehilangan perlekatan

periodontal.

Kesimpulan

Bukti di atas menunjukkan bahwa meningkatkan kebersihan mulut dapat

mengurangi risiko infeksi pernapasan di antara subjek yang berisiko. Intervensi yang

lebih cepat adalah penggunaan disinfektan oral, tetapi studi tentang penggunaan obat
33

jangka panjang masih kurang. Perawatan penyakit periodontal (baik dengan resep

antibiotik berulang atau dengan intervensi klinis) mungkin merupakan cara lain untuk

mengurangi kejadian infeksi pernapasan. Tinjauan literatur ini menggarisbawahi

perlunya kontrol berkala pasien "berisiko" dan pelatihan mengenai kebersihan mulut

khusus untuk pengasuh di lembaga perawatan jangka panjang. Meskipun demikian,

hubungan kausal belum terbukti, dan studi lebih lanjut, khususnya studi intervensi,

diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
34

1. Bansal M, Khatri M, Taneja V. Potential role of periodontal infection in


respiratory diseases - a review. J Med Life. 2013 Sep 15;6(3):244-8. Epub
2013 Sep 25. PMID: 24155782; PMCID: PMC3786481.
2. Gani, F., Caminati, M., Bellavia, F. et al. Oral health in asthmatic patients: a
review. Clin Mol Allergy 18, 22 (2020). https://doi.org/10.1186/s12948-020-
00137-2

You might also like