Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 527

PENGARUH FERMENTASI SPONTAN SELAMA

PERENDAMAN GRITS JAGUNG PUTIH VARIETAS


LOKAL (Zea mays L.) TERHADAP KARAKTERISTIK
FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG YANG
DIHASILKAN

NUR AINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
2

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Fermentasi


Spontan Selama Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays
L.) Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang
Dihasilkan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2009

Nur Aini
NRP. F261040021
3

ABSTRACT

NUR AINI. Effects of Spontaneous Fermentation During Soaking of Local


Variety of White Corn (Zea mays L.) on Physicals, Chemical and Functional
Characteristics of Its Flour. Under direction of PURWIYATNO HARIYADI,
TIEN R. MUCHTADI and NURI ANDARWULAN .

The uses of white corn in food industry in Indonesia are still limited. To
explore the potential uses, evaluation of chemical physical, and functional
properties of white corn flour is needed. The objective of this study was to
evaluate chemical, physical and functional properties of white corn flour, and its
changes as affected by spontaneous fermentation during soaking of white corn
grits. Corn flour was prepared by soaking of white corn grits followed by drying
and grinding. Soaking was done at closed pan and controlled temperature, to
promote spontaneous fermentation. The resulted flour was fractionated using
multiple sieve of 100 mesh (150 µm), 150 mesh (106 µm) and 200 mesh (75µm)
and analyzed for its chemicals, physicals and functional characteristics.
Fermentation process as long as 24 hr will reduce gelatinization temperature (Tg)
of resulted flour from 82oC to 76.2oC; but finally Tg would increase (85.2oC) at
72 hr of fermentation. Fermentation process of corn grits do not affect its peak
viscosity (in the range of 493 -560BU), but will increase only after fermentation
of more than 48-60 hr (648 -573 BU); and further fermentation would reduce the
peak viscosity (550 BU)similar to that of flour resulted from process without
fermentation. Flour resulted from corn grits after fermentation process of 12 hr
has breakdown viscosity of 0 BU. This suggests that heat stability of flour
produced from corn grits after 12 hr fermentation is higher that that of control
flour (breakdown viscosity of 68 BU). The breakdown viscosity was maintained
relatively constant until fermentation process up to 60 hr; and finally decreases to
-60 BU after 72 hr of fermentation. Measured as ratio of cold viscosity/hot
viscosity after 15 minutes of stirring at constant temperature of 95oC ( Vd ),
Vpa15
tendency of retrogradation was reduced by fermentation process for 48 hr ( Vd =
Vpa15
1.87) as compared to that of control ( Vd = 2.97). After 48 fermentation of corn
Vpa15
grits do not affect the tendency of retrogradation of the resulted flour; at which
Vd remain at 2.14. Flour produced using fermentation process of corn grits
Vpa15
exhibit very high gel strength. After 48 hr fermentation of corn grits, the flour
has gel strength of 19.47 gforce, very high as compared to that of control flour of
5.95 gforce. Further fermentation of more than 48 hr only slightly reduced the gel
strength to 14.48 gforce, still very high as compared to that of control flour. The
smaller particle size, the lower fiber content, loose density, packed density,
gelatinization temperature and gel strength o, the higher protein and fat content,
angle of repose, whiteness, water absorption capacity, oil absorption capacity,
peak viscosity, breakdown viscosity, tendency of retrogradation and gel stickiness
4

of the resulted flour. Using correlation and regression analysis several correlation
equations were proposed to be used as a prediction tools of several chemical,
physical and functional properties as affected by extend of fermentation process
and particle size of flour. Several equations proposes were Tg = 0.006t2 - 0.39t +
82.8; Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2
+ 0.6628T + 12.923, where Tg is gelatinization temperature (oC), Vpa15 is hot
viscosity after 15 minutes constant stirring (Brabender Unit; BU), Gsi and Gsii are
gel strength (gforce) of corn flour with particle size of >150-250 µm and >106-
150 µm, respectively, and t is length of fermentation (steeping) of corn grits (hr).
Overall, our results showed that control of length of fermentation of corn grits and
particle size may be used as a mean t control several chemical, physical and
functioal properties of the resulted corn flour.

Key Words: white corn, spontaneous fermentation, particle size, physics,


chemical, functional

.
5

RINGKASAN

NUR AINI. Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits Jagung


Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan
Fungsional Tepung yang Dihasilkan. Dibawah bimbingan PURWIYATNO
HARIYADI, TIEN R. MUCHTADI dan NURI ANDARWULAN.

Jagung putih mempunyai karakter hard endosperm sehingga memiliki


keterbatasan dalam proses penggilingan untuk digunakan sebagai bahan makanan
yang berbasis pati. Salah satu alternatif pengolahan jagung dan sebagai bentuk
diversifikasi pangan adalah pembuatan tepung jagung. Dalam penelitian ini akan
dipelajari pengaruh fermentasi spontan selama perendaman grits jagung putih
terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung yang dihasilkan dan
penentuan waktu fermentasi optimum untuk mendapatkan sifat tepung sesuai
dengan yang diinginkan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari dan melakukan modifikasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung
jagung putih dengan metode fermentasi spontan.
Pada tahap pertama dilakukan pembuatan tepung jagung 60 mesh
menggunakan metode fermentasi spontan dengan cara perendaman grits jagung
putih, dan dilanjutkan dengan analisa sifat fisik, kimia dan fungsionalnya. Pada
tahap ini juga dilakukan fraksinasi tepung jagung 60 mesh menggunakan ayakan
bertingkat 100 mesh (150 µm), 150 mesh (106 µm) dan 200 mesh (75µm)
sehingga didapatkan empat kelompok ukuran partikel tepung, selanjutnya
dilakukan analisa sifat fisik, kimia dan fungsionalnya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa proses fermentasi selama perendaman
grits jagung putih menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula
reduksi, pH, densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak; serta
meningkatkan sudut curah, derajat putih dan kapasitas penyerapan air pada tepung
yang dihasilkan. Proses fermentasi grits jagung putih sampai 24 jam akan
menurunkan suhu gelatinisasi tepung yang dihasilkan, dari 82oC pada tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi menjadi 76.2oC. Fermentasi lanjutan dari 24
jam sampai 48 jam suhu gelatinisasi relatif tetap (76.7oC) dan fermentasi lanjutan
sampai 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi (85.2oC).
Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas
puncak 493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam menghasilkan tepung
jagung dengan viskositas puncak relative tetap (560 BU). Selanjutnya, tepung
jagung yang dihasilkan melalui proses fermentasi selama 48 jam menunjukkan
viskositas puncak meningkat (648 BU), dan bertahan sampai dengan perendaman
grits jagung selama 60 jam (573 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72
jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550
BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi.
Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi jagung selama
12 jam mempunyai breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan
lebih tinggi daripada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU).
Stabilitas ini terus dipertahankan selama fermentasi sampai jam ke 60, dan setelah
72 jam stabilitas pemanasan menurun menjadi -60 BU. Proses fermentasi
menurunkan kecenderungan retrogradasi tepung yang dihasilkan. Hal ini
6

ditunjukkan dengan menurunnya rasio viskositas dingin dibanding viskositas


panas setelah 15 menit pengadukan pada suhu 95oC ( Vd ), yaitu dari 2.97 untuk
Vpa15
tepung yang dibuat tanpa proses fermentasi menjadi 1.87 pada tepung yang
diperoleh dengan proses fermentasi 48 jam. Proses fermentasi lanjutan selama 48
sampai 72 jam tidak mengubah kecenderungan retrogradasi tepung jagung.
Tepung jagung yang dihasilkan dengan perendaman 48 jam mempunyai
kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung yang
dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce), namun kekuatan gel ini akan mengalami
sedikit penurunan (14.48 gforce) jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam.
Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa
sifat kimia, kadar protein paling berpengaruh terhadap sifat fisik dan fungsional
tepung jagung. Semakin rendah kadar protein tepung jagung semakin rendah
loose density, packed density, sudut curah, kapasitas penyerapan minyak dan
retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin tinggi derajat putih, kapasitas
penyerapan air, viskositas puncak dan stabilitas pemanasan.
Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa
sifat fisik, packed density merupakan faktor paling berpengaruh terhadap sifat
fungsional. Semakin besar packed density tepung jagung, semakin besar
kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin kecil
derajat putih, kapasitas penyerapan air, stabilitas pemanasan serta sudut curah.
Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin kecil kadar serat
kasar, loose density, packed density, suhu gelatinisasi dan kekuatan gel
sedangkan kadar protein, kadar lemak, sudut curah, derajat putih, kapasitas
penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, viskositas puncak, breakdown
viscosity, retrogradasi dan kelengketan gel meningkat.
Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi selama 30 jam
meningkatkan kapasitas penyerapan air menjadi 128.9% dari tepung jagung non
fermentasi (115.9 %), dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam akan menurunkan
kembali kapasitas penyerapan air (113.6%); sedangkan fermentasi grits selama
70 jam menurunkan kapasitas penyerapan minyak menjadi 69.3% dari tepung non
fermentasi (82.8%).
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kemungkinan
terjadinya retrogradasi. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits
selama 30 jam menurunkan Vd (2.08) dari tepung non fermentasi (2.80) dan
Vpa15
fermentasi lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd (3.11); sedangkan
Vpa15
pada tepung berukuran partikel >150 – 250µm fermentasi grits selama 45 jam
menurunkan Vd (1.88) dari tepung non fermentasi (2.37) dan fermentasi
Vpa15
lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd (2.40)
Vpa15
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin rendah kekuatan gel. Pada
tepung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan
kekuatan gel (27.9 gforce) dari tepung non fermentasi (18.6 gforce), fermentasi
lanjutan sampai 45 jam tidak mengubah kekuatan gelnya (27.6 gforce), dan waktu
fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (17.6
7

gforce). Pada tepung berukuran partikel >106-150 µm, fermentasi selama 45 jam
meningkatkan kekuatan gel (25.4 gforce) dari tepung non fermentasi (13.2
gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan
kekuatan gel (14 gforce).
Dengan menggunakan analisa korelasi dan regresi, diperoleh beberapa
persamaan yang bisa digunakan untuk memprediksi pengaruh lama proses
fermentasi spontan (perendaman) terhadap beberapa sifat fisik, kimia dan
fungsional. Beberapa persamaan tersebut adalah Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8;
Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2 +
0.6628T + 12.923 dimana Tg adalah suhu gelatinisasi (oC), Vpa15 adalah
viskositas panas 15 menit (BU), Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung jagung
berukuran partikel >150-250 µm dan >106-150 µm dalam g force, dan t adalah
waktu fermentasi grits jagung (jam). Penelitian ini menunjukkan bahwa
pengaturan lama proses fermentasi dan ukuran partikel dapat digunakan untuk
mengendalikan beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih.

Kata kunci: jagung putih, fermentasi spontan, ukuran partikel, fisik, kimia,
fungsional
8

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009


Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
9

PENGARUH FERMENTASI SPONTAN SELAMA


PERENDAMAN GRITS JAGUNG PUTIH VARIETAS
LOKAL (Zea mays L.) TERHADAP KARAKTERISTIK
FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG YANG
DIHASILKAN

NUR AINI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
10

Judul Disertasi : Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits


Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) Terhadap
Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang
Dihasilkan
Nama : Nur Aini
NRP : F261040021

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc


Ketua

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, M.Si Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si
Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana


Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: 24 Maret 2009 Tanggal Lulus: 8 April 2009


11

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan berkahNya
sehingga penulisan disertasi yang berjudul ”Pengaruh Fermentasi Spontan Selama
Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) Terhadap
Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang Dihasilkan” dapat
diselesaikan. Disertasi ini dibuat sebagai salah satu syarat mahasiswa pascasarjana
program S3 untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terimakasih yang sangat tulus dan mendalam kepada Ketua Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc yang telah banyak meluangkan waktu untuk
membimbing, berdiskusi, memberikan arahan dan wawasan ilmu terutama di
bidang rekayasa pangan serta memberikan dorongan moril sehingga penulis dapat
menyelesaikan program S3 ini; anggota Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tien R.
Muchtadi, M.S. dan Dr. Ir. Nuri Andarwulan yang telah meluangkan waktu
dalam membimbing, memberikan saran dan tambahan pengetahuan kepada
penulis.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc sebagai dosen
penguji luar komisi pada ujian tertutup atas saran-saran dan masukannya yang
sangat menambah cakrawala pengetahuan penulis terutama di bidang Ilmu
Pangan, serta demi kesempurnaan Disertasi ini.
Terima kasih kepada Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS dan Dr. Ir. Titi Candra
Sunarti, M.Si sebagai dosen penguji pada ujian terbuka atas saran-saran, diskusi
dan masukannya yang menambah pengetahuan penulis dan demi kesempurnaan
Disertasi ini.
Terima kasih kepada Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc selaku ketua
Program Studi Ilmu Pangan atas saran-saran dan masukannya pada ujian tertutup.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc sebagai
pimpinan sidang pada ujian tertutup, juga atas saran-saran dan masukannya; juga
kepada Dr. Ir. Sam Herodian, MS sebagai Dekan Fakultas Teknologi Pertanian
atas kesediaannya sebagai pimpinan sidang pada Ujian terbuka.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para Staf Pengajar di
lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya pada
Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama
penulis menempuh pendidikan di IPB.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas
Jenderal Soedirman, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Teknologi
Pertanian dan Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menempuh pendidikan di IPB.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (Dikti) yang telah memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS)
untuk penulis mengikuti program Doktor di IPB. Ucapan terimakasih juga
penulis sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(DP2M) Dikti yang telah membantu sebagian dana penelitian melalui program
Hibah Bersaing XIV 2006-2007. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
12

PT Indofood Sukses Makmur Tbk. melalui Program Indofood Riset Nugraha


2008 yang telah membantu sebagian dana penelitian. Terima kasih kepada
Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) atas bantuannya pada penulisan
Disertasi.
Kepada Ayahanda Munawar (almarhum) dan Ibunda Muslihah, penulis
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang mendalam atas didikan, doa
restu, dorongan dan motivasi serta bantuan moril dan materiil sehingga
memberikan dukungan yang luar biasa bagi penulis untuk menyelesaikan
pendidikan hingga ke jenjang tertinggi. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada kakak-kakak, adik-adik dan semua saudara atas doa dan dukungannya
selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Rasa terimakasih yang sangat tulus
penulis sampaikan kepada Ananda Hanif Ainurrizky yang dengan penuh
pengertian dan sabar mendampingi selama penulis mengikuti program S3 ini.
Terima kasih kepada Ir Supadmo dari Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Jawa Tengah di Ungaran yang telah membantu pengadaan
jagung putih. Terima kasih kepada para sahabat di Program Studi Ilmu Pangan
IPB, baik yang telah lulus (Akhyar, M.Si, Dr. Ir. Sussi Astuti, Msi, Dr. Ir.
Yuspihana Fitrial, M.Si) maupun yang masih dalam proses kelulusan, atas
persahabatan yang indah serta kerjasama yang baik selama penulis menempuh
studi S3. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman di Jurusan
Teknologi Pertanian, terutama program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan,
Universitas Jenderal Soedirman atas dukungannya dalam menempuh program S3.
Terima kasih juga kepada staf administrasi dan teknisi, baik di Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan serta Seafast Center IPB atas bantuannya selama
penelitian.
Akhirnya semua budi baik yang diberikan kepada penulis semoga diterima
dan diberi balasan berlipat ganda oleh Allah SWT. Semoga disertasi ini
bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan. Amin.

Bogor, April 2009

Nur Aini
13

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati tanggal 1 Februari 1973 dari Bapak Munawar
dan ibu Muslihah. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian UGM pada tahun 1990 sampai 1995. Pada tahun 1999,
penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Program Pasca
Sarjana UGM dan menyelesaikannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk
melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pangan IPB diperoleh
pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Beasiswa Program Pasca
Sarjana (BPPS) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional.
Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Jendral Soedirman Purwokerto sejak tahun 1997 sampai
sekarang.
Karya ilmiah berjudul Hubungan Sifat Fisikokimia dan Amilografi
Tepung Jagung Putih yang Dipengaruhi Waktu Perendaman Grits Jagung telah
disajikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan (PATPI) di
Palembang pada bulan Oktober 2008. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan
judul Hubungan Sifat Kimia dan Rheologi Tepung Jagung Putih dengan
Fermentasi Spontan Grits Jagung di Forum Pasca Sarjana IPB volume 2 tahun
2009. Artikel-artikel tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis dalam
menyelesaikan program S3.
14

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS


2. Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti, M.Si
15

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN viii

DAFTAR ISTILAH X

1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan penelitian 6
1.3 Manfaat penelitian 6

2. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Komposisi kimia dan anatomi biji jagung 7
2.2 Jagung putih 9
2.3 Tepung jagung 11
2.4 Pati jagung 12
2.4.1 Amilosa 14
2.4.2 Amilopektin 15
2.5 Fermentasi spontan pada proses pengolahan serealia dan 15
umbi-umbian
2.6 Sifat fisik tepung 17
2.6.1 Ukuran partikel 18
2.6.2 Densitas kamba 19
2.6.3 Sifat alir 20
2.7 Sifat fungsional adonan 21
2.7.1 Gelatinisasi dan sifat adonan 21
2.7.2 Sifat rheologi 24

3. BAHAN DAN METODE 25


3.1 Waktu dan tempat penelitian 25
3.2 Bahan dan alat 25
3.3 Metode penelitian 26
3.4 Prosedur analisa 31
3.5 Analisa data 38

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39


4.1 Komposisi kimia bahan baku 39
4.2 Pengaruh waktu fermentasi spontan grits jagung terhadap 40
sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung
4.2.1 Komposisi kimia tepung jagung 40
4.2.2 Ukuran partikel tepung jagung 48
4.2.3 Densitas kamba tepung jagung 49
16

4.2.4 Sudut curah tepung jagung 54


4.2.5 Derajat putih tepung jagung 56
4.2.6 Kapasitas penyerapan air 59
4.2.7 Kapasitas penyerapan minyak 61
4.2.8 Suhu gelatinisasi 62
4.2.9 Viskositas puncak 64
4.2.10 Sifat adonan selama pemanasan 66
4.2.11 Retrogradasi adonan 72
4.2.12 Sifat gel 74
4.3 Validasi model prediktif yang dihasilkan 80
4.3.1 Packed density tepung jagung 80
4.3.2 Loose density tepung jagung 81
4.3.3 Sudut curah tepung jagung 81
4.3.4 Derajat putih tepung jagung 82
4.3.5 Suhu gelatinisasi 83
4.3.6 Viskositas panas saat dipertahankan selama 15 83
menit pada suhu 95oC (Vpa15)
4.3.7 Rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas 84
saat dipertahan selama 15 menit pada suhu 95oC
4.3.8 Kekuatan gel 85
4.4 Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan 86
ukuran partikel tepung terhadap sifat fisikokimia tepung
dan fungsional adonan jagung
4.4.1 Komposisi kimia tepung jagung 87
4.4.2 Densitas kamba tepung jagung 92
4.4.3 Sudut curah tepung jagung 96
4.4.4 Derajat putih tepung jagung 99
4.4.5 Kapasitas penyerapan air 101
4.4.6 Kapasitas penyerapan minyak 102
4.4.7 Suhu gelatinisasi 103
4.4.8 Viskositas puncak 104
4.4.9 Sifat adonan selama pemanasan 109
4.4.10 Retrogradasi adonan 113
4.4.11 Sifat gel 115
4.5 Pembahasan umum 117

5. SIMPULAN DAN SARAN 121


5.1 Simpulan 121
5.2 Saran 123

DAFTAR PUSTAKA 124

LAMPIRAN 133
17

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Beberapa proses fermentasi spontan yang dilakukan pada 5
serealia dan umbi-umbian
2. Distribusi komponen-komponen utama jagung 9
3. Komposisi kimia jagung putih dan kuning 10
4. Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin 14
5. Komposisi kimia jagung putih pipilan, grits jagung dan tepung 40
jagung
6. Komposisi kimia tepung jagung putih yang dihasilkan dengan 40
variasi waktu fermentasi grits jagung
7. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH air 42
perendam
8. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar pati, 46
gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan
9. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar amilosa 48
tepung jagung
10. Loose dan packed density tepung jagung dengan variasi waktu 50
fermentasi grits jagung
11. Sudut curah tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu 55
fermentasi grits jagung
12. Derajat putih tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi 57
waktu fermentasi grits jagung
13. Kapasitas penyerapan air tepung jagung yang dihasilkan dengan 60
variasi waktu fermentasi grits jagung
14. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan 61
dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
15. Suhu gelatinisasi adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi 63
waktu fermentasi grits jagung
16. Viskositas puncak adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi 65
waktu fermentasi grits jagung
17. Sifat-sifat adonan jagung selama pemanasan yang dihasilkan 67
dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
18. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kecenderungan 73
retrogradasi adonan tepung jagung
19. Sifat gel adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu 75
fermentasi grits jagung
18

20. Model prediktif beberapa sifat fisik dan fungsional tepung 79


jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung
21. Hasil pengukuran dan prediksi packed density tepung jagung 80
22. Hasil pengukuran dan prediksi loose density tepung jagung 81
23. Hasil pengukuran dan prediksi sudut curah tepung 82
jagung
24. Hasil pengukuran dan prediksi derajat putih tepung jagung 83
25. Hasil pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi tepung jagung 83
26. Hasil prediksi dan pengukuran Vpa15 84
27. Vd 84
Hasil pengukuran dan prediksi
Vpa15
28. Hasil pengukuran dan prediksi kekuatan gel tepung 85
jagung
29. Model prediktif sifat fisik dan fungsional tepung 86
jagung yang telah divalidasi
30. Komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi 88
waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung jagung
31. Kadar pati, kadar gula reduksi dan pH tepung jagung yang 91
dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi jagung dan ukuran
partikel tepung
19

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Potongan melintang jagung yang menunjukkan lokasi 7
komponen-komponen utama
2. Jagung putih dan kuning 10
3. Struktur internal dan organisasi granula pati 13
4. Ilustrasi kurva sifat-sifat gelatinisasi 23
5. Jagung putih yang digunakan 25
6. Pembuatan tepung jagung putih 27
7. Diagram alir jalannya penelitian tahap 1 dan 2 29
8. Diagram alir jalannya penelitian tahap 3 30
9. Bahan baku yang digunakan (a) jagung putih pipilan (b) grits 39
jagung
10. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar 43
protein tepung jagung
11. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap 44
konduktivitas air perendam
12. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH tepung 46
jagung
13. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar gula 47
reduksi tepung jagung
14. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap distribusi 49
ukuran partikel tepung jagung
15. Pengaruh kadar protein terhadap packed density tepung 51
jagung
16. Pengaruh kadar serat kasar terhadap loose density tepung 52
jagung
17. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap densitas 54
kamba tepung jagung
18. Pengaruh loose density terhadap sudut curah tepung jagung 56
19. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung 57
selama 0, 36 dan 60 jam
20. Pengaruh kadar protein terhadap derajat putih tepung jagung 58
21. Pengaruh packed density terhadap derajat putih tepung jagung 59
22. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap suhu 64
gelatinisasi adonan jagung
20

23. Amilografi tepung jagung yang dihasilkan dengan waktu 67


fermentasi grits jagung
24. Pengaruh kadar protein terhadap viskositas panas 15 menit 69
25. Pengaruh packed density tepung terhadap viskositas panas 15 71
menit
26. Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap Rv ( Vd ) 73
Vpa15

27. Pengaruh pH tepung jagung terhadap kekuatan gel 76


28. Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap 77
kekuatan gel
29. Partikel tepung jagung tanpa fermentasi dilihat menggunakan 87
scanning electron microscope (SEM)
30. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 89
tepung terhadap kadar serat kasar tepung jagung
31. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 90
tepung terhadap kadar protein tepung jagung
32. Pengaruh kadar protein dan ukuran partikel terhadap packed 93
density tepung jagung.
33. Pengaruh kadar serat kasar dan ukuran partikel tepung 93
terhadap packed density tepung jagung
34. Hubungan kadar serat kasar dengan packed density tepung 94
jagung
35. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 95
tepung terhadap loose density tepung jagung.
36. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 96
tepung terhadap packed density tepung jagung.
37. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 97
tepung terhadap sudut curah tepung jagung.
38. Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap 98
sudut curah tepung jagung putih
39. Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap 98
sudut curah tepung jagung putih.
40. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung 99
selama 15 jam
41. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 100
tepung terhadap derajat putih tepung jagung.
42. Pengaruh pH dan ukuran partikel tepung terhadap derajat 100
putih tepung jagung.
21

43. Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap 101
derajat putih tepung jagung.
44. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 102
tepung terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung.
45. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 103
tepung terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung.
46. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 104
tepung terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung.
47. Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung 105
non fermentasi
48. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 106
tepung terhadap viskositas puncak tepung jagung.
49. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap amilografi 106
tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm
50. Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap 107
viskositas puncak adonan jagung.
51. Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap 108
viskositas puncak adonan jagung
52. Pengaruh kadar amilosa dan ukuran partikel tepung terhadap 109
viskositas puncak adonan jagung.
53. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 110
tepung terhadap viskositas panas 15 menit pasta jagung.
54. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 110
tepung terhadap breakdown viscosity pasta jagung.
55. Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap 111
breakdown viscosity pasta jagung.
56. Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap 112
breakdown viscosity pasta jagung.
57. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 114
tepung terhadap viskositas dingin pasta jagung.
58. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 114
Vd
tepung terhadap adonan jagung.
Vpa15
59. Pengaruh ukuran partikel tepung terhadap amilografi tepung 115
jagung fermentasi 70 jam
60. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 116
tepung terhadap kekuatan gel tepung jagung
22

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Partikel tepung jagung fermentasi 45 jam dilihat menggunakan 133
scanning electron microscope (SEM)
2. Korelasi antara loose density dan packed density dengan 134
variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi
waktu fermentasi grits jagung
3. Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik 135
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung
4. Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik 136
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung
5. Korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan variabel 137
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung

6. Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel 138


kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung
7. Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik 139
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung
8. Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan 140
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
grits jagung
9. Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan 141
variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi
waktu fermentasi grits jagung
10. Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia 142
dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung
11. Korelasi antara kekuatan dan kelengketan gel dengan variabel 143
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung
12. Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel 144
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
13. Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik 145
23

tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits


jagung dan ukuran partikel tepung
14. Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik 146
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung
15. Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel 147
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
16. Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik 148
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung
17. Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan 149
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
grits jagung dan ukuran partikel tepung
18. Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan 150
variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi
waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
19. Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia 151
dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
20. Korelasi antara kekuatan gel dengan variabel kimia dan fisik 152
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung
21. Kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi 153
waktu fermentasi butiran jagung dan ukuran partikel tepung
24

DAFTAR ISTILAH

Istilah Arti
Grits jagung Jagung pipilan yang digiling menggunakan pin disc mill
sehingga dihasilkan jagung dengan ukuran partikel ± 4mm
Sifat fungsional Sifat suatu bahan maupun komponen bahan yang dapat
mencirikan fungsinya dalam suatu sistem
Suhu gelatinisasi suhu awal mulai terjadi peningkatan viskositas selama
pemanasan
Viskositas puncak viskositas tertinggi yang dicapai selama pemanasan
(VP)
Viskositas panas viskositas yang dicapai pada suhu 95oC
(Vpa)
Viskositas panas viskositas setelah dipertahankan selama 15 menit pada
15 menit (Vpa15) suhu 95oC
Breakdown Perubahan viskositas yang terjadi ketika suspensi
viscosity dipanaskan pada suhu 95°C selama 15 menit (VP – Vpa15)
Viskositas dingin viskositas yang dicapai pada saat suhu diturunkan ke
(VD) 50oC
Setback viscosity perubahan viskositas yang terjadi ketika suspensi
diturunkan suhunya dari viskositas puncak (VD- VP)
Kekuatan gel gaya yang diberikan pada saat gel mulai pecah
Koefisien korelasi Keeratan hubungan linier antara sepasang peubah x dan
(r) y, yang tidak ditentukan mana variabel bebas dan variabel
tidak bebas
Koefisien Koefisien keragaman; keeratan hubungan antara sepasang
determinasi atau peubah x dan y, yang diketahui variabel bebas dan
koefisien regresi variabel tidak bebas
(R2)
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Usaha penyediaan pangan merupakan masalah utama yang dihadapi
beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Sampai saat ini masalah
pengadaan beras sebagai bahan pangan sumber karbohidrat di Indonesia masih
belum teratasi sepenuhnya. Penyebab keadaan ini antara lain karena 95%
penduduk Indonesia mengutamakan beras sebagai makanan pokok. Saat ini
konsumsi beras nasional per kapita mencapai 139.15 kg/tahun, sedangkan
idealnya adalah 100 kg/tahun (Pusat Teknologi Agroindustri BPPT 2008).
Salah satu alternatif untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi saat ini
adalah melalui diversifikasi pangan untuk mendukung Program Ketahanan
Pangan. Dalam upaya memacu diversifikasi pangan, jagung merupakan salah satu
alternative yang dapat dipilih. Di Indonesia, produksi jagung sebagai bahan
pangan pokok berada di urutan ketiga setelah padi dan ubi kayu. Produksi jagung
nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan peningkatan
sebesar 11.225.243 ton (2004), 12.523.894 ton (2005), 11.609.403 (2006),
13.287.527 ton (2007) dan 15.860.299 ton (2008) (BPS, 2009). Produktivitas
jagung pada tahun 2008 mencapai 40 – 42.3 kuintal/ha dan sasaran pada tahun
2009 naik menjadi 44.12 kuintal/ha, dengan produksi 18 juta ton (Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian 2008).

Berdasarkan warnanya, jagung kering dibedakan menjadi jagung kuning


(90% bijinya berwarna kuning), jagung putih (90% bijinya berwarna putih) dan
jagung campuran yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jagung putih
mempunyai karakter endosperm dan pati yang bersifat spesifik. Dibandingkan
dengan jagung kuning, jagung putih merupakan jenis jagung yang kurang dikenal
luas karena penggunaannya sebagai bahan pangan kurang berkembang. Jagung
putih mempunyai biji berwarna putih dengan susunan dan ukuran biji yang
bervarisi, dan berdensitas tinggi yaitu 1.34 g/cm3, sedikit lebih tinggi
dibandingkan rata-rata jagung lain yaitu 1.3 g/cm3 (Poneleit 2001). Densitas
jagung putih yang lebih tinggi merupakan indikator kekerasan biji jagung yang
2

menyebabkan keterbatasan dalam proses penggilingan untuk digunakan sebagai


bahan makanan yang berbasis pati (Vegrains 2005). Padahal jagung putih
mempunyai keistimewaan yaitu pada budidaya lebih tahan terhadap kekeringan
dan produktivitasnya lebih tinggi daripada jagung kuning. Jagung putih juga
mengandung sejumlah komponen yang mengkilap seperti kaca (tekstur
“glasslike”) pada endosperm yang jumlahnya relative terhadap endosperm yang
bertepung.

Di Indonesia, jagung putih dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai nasi


jagung, selain sebagai bahan baku industri rumah tangga seperti marning dan
emping jagung. Dilihat dari nilai gizi, kandungan protein jagung putih (10.36%),
lebih tinggi dibandingkan dengan jagung kuning (9.5%) (Watson 1987 dan
Asiamaya.com 2009). Kandungan protein jagung ini lebih tinggi daripada beras
giling (6,69 %).

Untuk memenuhi kebutuhan jagung untuk konsumsi langsung, di beberapa


daerah masyarakat membuat tepung jagung dengan peralatan sederhana
(perendaman dan tanpa perendaman). Perendaman dilakukan dengan tujuan
melunakkan endosperm yang bersifat keras (horny endosperm) sehingga lebih
memudahkan pada proses pengolahan. Beberapa pabrik pengolahan jagung
menghasilkan tepung jagung (40 dan 50 mesh) sebagai produk samping (10%)
disamping grits jagung (8, 12, 16, 24 mesh) sebagai produk utama yang
digunakan sebagai bahan baku snack jagung (Pusat Teknologi Agroindustri BPPT
2008). Penelitian tentang sifat-sifat tepung jagung putih dilakukan untuk
mengetahui sifat tepung jagung putih sehingga bermanfaat dalam aplikasi untuk
menentukan produk pangan yang cocok dibuat berdasarkan sifat-sifat tersebut.
Pengendalian sifat fungsional tepung jagung penting untuk mendesain
beberapa produk makanan berbasis tepung jagung, terutama untuk kelompok
orang yang tidak toleran terhadap gluten. Tepung jagung dipilih sebagai langkah
awal diversifikasi pengolahan jagung putih karena beberapa hal. Pertama, tepung
lebih luas penggunaannya untuk berbagai macam bahan makanan. Kedua,
penyimpanan tepung lebih mudah dan umur simpan lebih lama. Ketiga, adanya
3

defisiensi beberapa zat gizi dapat lebih mudah difortifikasi atau disuplementasi
jika dalam bentuk tepung.
Ukuran partikel merupakan salah satu sifat fisik penting karena perannya
dalam unit operasi seperti mixing, pengeringan, ekstrusi dan pneumatic handling.
Selain itu ukuran partikel tepung penting dalam evaluasi kualitas dan sifat tepung
selama pengolahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ukuran dan
distribusi ukuran partikel tepung mempengaruhi sifat fisik, kimia dan fungsional
tepung. Iwuoha dan Nwakanma (1998) menyatakan bahwa semakin besar ukuran
partikel tepung ubi jalar, semakin rendah densitas dan viskositas adonan pada saat
pendinginan. Bedolla dan Rooney (1984) menyatakan bahwa ukuran partikel
tepung jagung ternikstamalisasi berkorelasi positif dengan suhu gelatinisasi,
semakin tinggi ukuran partikel tepung jagung semakin tinggi suhu gelatinisasi.
Meningkatnya ukuran partikel tepung amaranth juga meningkatkan suhu
gelatinisasi (Valdez-Niebla et al.1993). Cadden (1987) menyatakan bahwa ukuran
partikel yang semakin kecil menurunkan daya alir tepung.
Sifat fisik produk yang berbasis tepung sangat dipengaruhi sifat-sifat
fungsional adonan. Viskositas adonan tepung penting dalam penggunaannya
sebagai pengganti gum. Water holding capacity, kelarutan tepung dan viskositas
adonan merupakan parameter penting yang menentukan kualitas bahan sumber
karbohidrat yang digunakan sebagai fat substitutes. Indeks penyerapan air dan
indeks kelarutan air berguna dalam formulasi adonan makanan dan aplikasi
minuman karena sifat alami hidrofobik/hidrofiliknya. Sedangkan indeks
penyerapan lemak dapat menunjukkan interaksi alami antara lemak dengan
komponen tepung.
Salah satu proses pengolahan umbi-umbian dan serealia menjadi tepung
dan adonan adalah metode fermentasi spontan yang dapat dilakukan secara
sederhana yaitu merendam bahan di dalam air selama selang waktu tertentu.
Menurut Sefa-Dedeh dan Cornelius (2000) perendaman biji-bijian dalam air yang
berlebihan akan diikuti pertumbuhan beberapa mikroorganisme yang diinginkan,
seperti bakteri asam laktat, yeast, dan jamur. Menurut Latunde-Dada (2009), pada
proses fermentasi sereal seperti jagung, sorgum dan milet menjadi ogi dan agidi
terdapat peran beberapa mikroorganisme seperti Saccharomyces cereviceae,
4

Lactobacillus sp, Fusarium sp, Candida mycoderma dan Penicillium sp.


Sementara itu Amusa et al. (2005) menemukan adanya Lactobacillus lactis,
Lactobacillus fermenter dan Streptococcus lactis pada ogi. Nago et al. (1998)
menyatakan bahwa mikroorganisme yang dominant pada ogi adalah bakteri asam
laktat (109 CFU/g) dan yeast (107 CFU/g).
Salah satu masalah pada jagung adalah tingginya kadar mikotoksin,
terutama aflatoksin, walaupun masih dibawah nilai ambang batas (30 ppb)
persyaratan untuk dikonsumsi. Pada umumnya kadar aflatoksin pada jagung
petani di Indonesia bervariasi, yaitu kisaran 4,5 ppb – 665 ppb dengan perincian
47,62 % sampel terinfeksi aflatoksin dengan kadar 4,5 ppb – 24 ppb; 52,38 %
sampel terinfeksi dengan kadar 72,0 ppb – 665 ppb. Dari sejumlah sampel
pedagang pengumpul/pengekspor, ditemukan hanya 50% yang mengekspor biji
jagung dengan kadar aflatoksin <30 ppb (Balai Penelitian Tanaman Serealia
2007).
Mikroorganisme yang tumbuh pada proses fermentasi, terutama bakteri,
potensial dalam mendegradasi mikotoksin atau mengurangi bioavailabilitasnya.
Diantara bakteri yang ada, bakteri asam laktat telah diidentifikasi dapat
mengurangi availabilitas aflatoksin secara in vitro (Gratz 2007). Di antara 5 galur
Lactobacillus, L. rhamnosus galur GG dan galur LC705 paling efisien dalam
mengikat aflatoksin B1 dan menghilangkan 80% aflatoksin B1 dari media selama
0 jam inkubasi yang menunjukkan pengikatan tersebut berlangsung sangat cepat
(Haskard et al. 2001). Munimbazi dan Bullerman (1998) menyatakan bahwa
isolat Bacillus pumilus dapat menghambat pertumbuhan jamur penghasil
aflatoksin sebesar 98.2% sampai 99%.
Menurut Achi dan Akomas (2006) fermentasi digunakan secara luas untuk
mengubah dan mengawetkan makanan karena teknologinya mudah dan keperluan
energinya rendah serta produk akhirnya mempunyai kualitas organoleptik yang
unik, salah satunya yaitu mempunyai flavor yang menyenangkan. Pada sereal
yang difermentasi, bakteri asam laktat menghasilkan komponen utama berupa
asam laktat yang merupakan komponen aroma non volatil utama di samping
komponen flavor yang lain yaitu asam karboksilat, ester dan aldehid (Onyango et
al. 2004).
5

Beberapa penelitian mengenai fermentasi pada umbi-umbian dan serealia


telah dilakukan. Proses fermentasi spontan pada sereal dan umbi-umbian
menghasilkan perubahan beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung seperti
terlihat pada Tabel 1.
Proses fermentasi serealia dan umbi-umbian dalam pembuatan tepung dan
pasta memerlukan waktu fermentasi yang bervariasi. Pembuatan ogi, makanan
tradisional dari Nigeria biasanya dipersiapkan dengan cara perendaman biji
jagung selama 1-2 hari, diikuti penggilingan dan fermentasi lanjutan selama 1-3
hari (Nago et al. 1998). Aremu (1993) membuat ogi dengan cara merendam biji
jagung dalam aquadest dengan perbandingan 1:2 selama 48 jam sehingga pHnya
mencapai 4.5. Pembuatan uji, sereal yang difermentasi dilakukan dengan
merendam sereal dalam air dengan perbandingan 1:1 selama 24 jam (Onyango et
al. 2003).

Tabel 1 Beberapa proses fermentai spontan yang dilakukan pada serealia dan
umbi-umbian
Peneliti Bahan baku dan Perubahan sifat produk yang
produk dihasilkan
Subagio Fermentasi ubi kayu • Kadar serat tepung menurun
(2006) selama 12 – 72 jam • Kemampuan pembentukan gel
menghasilkan tepung dan daya rehidrasi meningkat
ubi kayu terfermentasi • Viskositas adonan panas dan
dingin meningkat
Dufour et al. Fermentasi adonan • Viskositas maksimum adonan
(2006) dari ubi kayu menurun
• Daya pengembangan meningkat
Elkhalifa et Fermentasi sorghum • Densitas menurun 10 %
al. (2005) 24 jam menghasilkan
tepung sorghum
Onofiok dan Fermentasi sereal • Densitas dan viskositas adonan
Nnanyelugo menghasilkan menurun
(1998) makanan sapihan
Onyango et Fermentasi sereal • Viskositas menurun
al. (2003) menjadi ogi

Waktu fermentasi bahan dalam pembuatan tepung mempengaruhi sifat


produk yang dihasilkan. Untuk mendapatkan waktu fermentasi yang optimal
6

dapat dilakukan dengan cara pembentukan model hubungan antara waktu


fermentasi dan sifat fisik, kimia dan fungsional tepung. Model adalah suatu
struktur yang dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan hubungan dan
karakteristik beberapa obyek tertentu. Menurut Williams (1991), suatu model
sering membuka hubungan yang mungkin tidak kelihatan pada beberapa
parameter tertentu dan sebagai hasilnya bisa diperoleh pengetahuan yang lebih
besar pada obyek yang dimodel.
1.2 Tujuan penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik, kimia
dan fungsional tepung jagung putih. Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi proses fermentasi spontan grits jagung.
2. Mengetahui adanya interaksi antar sifat fisik, kimia dan fungsional tepung
jagung. Pembentukan model dilakukan untuk interaksi antar variabel yang
teridentifikasi.
3. Mengetahui sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi ukuran partikel tepung dan waktu fermentasi grits jagung.

1.3 Manfaat penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti dan pihak terkait untuk
mempermudah optimalisasi produksi tepung jagung putih dalam aplikasinya pada
produk pangan. Selain itu penelitian ini dapat membantu masyarakat tentang
alternatif pemanfaatan produk pangan dari jagung putih, sesuai dengan sifat fisik,
kimia dan fungsional yang dimilikinya serta meningkatkan nilai ekonomis jagung
putih, sebagai diversifikasi pangan terutama sebagai produk olahan.
7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi kimia dan anatomi biji jagung

Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama, yaitu (a) perikarp, lapisan luar
yang tipis, berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan
kehilangan air; (b) endosperm, sebagai cadangan makanan, mencapai 75% dari
bobot biji yang mengandung 90% pati dan 10% protein, mineral, minyak, dan
lainnya; dan (c) lembaga atau germ, sebagai miniatur tanaman yang terdiri atas
plamule, akar radikal, scutelum, dan koleoptil (Hardman dan Gunsolus 1998).
Bagian-bagian biji jagung ini dapat dilihat pada Gambar 1. Selain itu biji jagung
juga mengandung tip cap yaitu bagian yang menghubungkan biji dengan janggel.

Gambar 1 Potongan melintang jagung yang menunjukkan lokasi komponen-


komponen utama (Shukla dan Cheryan 2001)

Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama


proses pembentukan biji. Pada waktu kariopsis masih muda, sel-selnya kecil dan
tipis, tetapi sel-sel itu berkembang seiring dengan bertambahnya umur biji. Pada
taraf tertentu lapisan ini membentuk membran yang dikenal sebagai kulit biji atau
testa/aleuron yang secara morfologi adalah bagian endosperm. Bobot lapisan
aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji. Perikarp merupakan lapisan luar biji
yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10%
protein (Subekti et al. 2008).
Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85%
yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury
8

endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati endosperm tersusun
dari senyawa anhidroglukosa yang sebagian besar terdiri atas dua molekul, yaitu
amilosa dan amilopektin, dan sebagian kecil bahan antara (White 1994). Namun
pada beberapa jenis jagung terdapat variasi proporsi kandungan amilosa dan
amilopektin.
Protein endosperm jagung terdiri atas beberapa fraksi, yang berdasarkan
kelarutannya diklasifikasikan menjadi albumin (larut dalam air), globumin (larut
dalam garam), zein atau prolamin (larut dalam alkohol konsentrasi tinggi), dan
glutelin (larut dalam alkali). Proporsi masing-masing fraksi protein pada
endosperm adalah 3% albumin, 3% globulin, 60 % zein, dan glutelin 26% (Vasal
1994).
Zein merupakan protein penyimpanan terbesar pada endosperm jagung.
Berdasarkan pada konstanta sedimentasi dan difusi, molekul zein mempunyai
bentuk globula panjang (rasio axial sekitar 15:1). Protein zein mempunyai
komposisi asam amino dengan kadar asam glutamat, prolin, leusin dan alanin
yang tinggi; serta kadar lisin, triptofan, histidin dan metionin yang rendah.
Berdasarkan pada perbedaan kelarutan, ada 2 jenis protein zein yaitu α-zein yang
larut pada etanol 95 % dan ß-zein yang larut pada etanol 60 %. α-zein
mengandung lebih banyak histidin, arginin, prolin dan metionin daripada ß-zein
(Laszity 1986).
Protein glutelin tidak hanya berfungsi sebagai protein penyimpanan, tetapi
juga sebagai protein struktural (protein membran atau protein kompleks, protein
dinding sel). Protein glutelin mempunyai kadar lisin, arginin, histidin dan kadar
triptofan lebih tinggi daripada zein, tetapi mempunyai kadar asam glutamat yang
lebih rendah.
Lembaga merupakan bagian biji jagung dengan porsi yang cukup besar.
Pada biji jagung tipe gigi kuda, lembaga meliputi 11,5% dari bobot keseluruhan
biji. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu scutelum dan poros embrio
(embryonic axis). Lembaga dicirikan oleh tingginya kadar lemak (33.2%), protein
(18.4%), dan mineral (10.5%) (Tabel 2).
9

Tabel 2. Distribusi komponen-komponen utama jagung


Komponen Biji utuh Berat kering komponen (%)
(%) Endosperma Lembaga Perikarp Tip cap
Pati 62 87 8.3 7.3 5.3
Protein 7.8 8 18.4 3.7 9.1
Lemak 3.8 0.8 33.2 1 3.8
Abu 1.2 0.3 10.5 0.8 1.6
Lain-lain* 10.2 3.9 29.6 87.2 80.2
Air 15 - - - -
Keterangan: * By difference: termasuk serat, nitrogen non protein, pentosan, asam fitat,
gula terlarut, xantofil
Sumber: Shukla dan Cheryan (2001)

Analisis kimia biji jagung menunjukkan bahwa masing-masing fraksi


mempunyai sifat yang berbeda (Tabel 2). Proses pengolahan dengan
menghilangkan sebagian dari fraksi biji jagung akan mempengaruhi mutu gizi
produk akhir (Subekti et al. 2008). Informasi komposisi kimia tersebut
bermanfaat bagi industri pangan untuk menentukan jenis bahan dan proses yang
harus dilakukan agar diperoleh mutu produk yang sesuai dengan yang diinginkan.

2.2 Jagung putih


Deskripsi sederhana jagung putih adalah biji jagung tanpa perwarnaan
pigmen kuning. Definisi yang lebih lengkap menyatakan bahwa endosperm biji
jagung putih tidak hanya harus murni putih, tanpa pigmen kuning sama sekali,
tetapi juga tanpa warna merah atau biru yang disebabkan pigmen antosianin dan
coklat atau perubahan warna lain yang diakibatkan komponen flavonoid. Lapisan
aleuron dan kulit juga harus bersih dan terhindar dari antosianin dan komponen
flavonoid yang lain. Jagung putih yang diinginkan mempunyai biji besar dan
seragam, punya atau hanya terdiri dari gigi-gigi yang ringan, mempunyai specific
gravity tinggi, tidak ada yang retak dan bebas dari penyakit busuk terutama yang
dapat menyebabkan akumulasi aflatoksin (Poneleit 2001).
Warna jagung yang umum ada sekarang adalah putih dan kuning (Gambar
2). Namun demikian ada juga jenis jagung dengan warna lain seperti blue corn.
Pada umumnya, dengan harga yang sama, di Afrika bagian timur dan selatan,
jagung putih lebih disukai jika dibandingkan jagung kuning. Menurut Jayne et al.
(1996), jagung putih lebih rendah mutunya untuk konsumsi manusia
10

dibandingkan jagung kuning. Sebagai hasilnya, jagung kuning dikonsumsi hanya


pada musim kering, pada saat jagung putih tidak tersedia.

Gambar 2 Jagung putih dan kuning (Sumber


http://www.swallowtailgardenseeds.com/assets)

Tabel 3 Komposisi kimia jagung putih dan kuning (basis kering)


Komposisi kimia Jagung kuning pipilan a) Jagung putih pipilanb)
Protein (% bk) 9.5 10.36
Lemak (% bk) 4.3 4.9
Serat (% bk) 9.5 11.2
Kalsium (% bk) 0.03 0.008
Besi (mg/100 g) 3 2.16
Karotenoid total (mg/kg) 30 -
Vitamin B1 (mg/100 g) 0.33 0.38
Sumber: a) Watson (1987)
b)
hasil pengolahan data asiamaya.com (2009)

Jagung putih yang murni cocok untuk pengolahan jagung terutama untuk
produk penggilingan kering (Poneleit 2001). Jagung putih juga digunakan dalam
proses pemasakan dengan kapur untuk membuat tortilla, chips jagung dan snack
(Hansen & Van der Sluis 2004). Karena jagung putih umumnya diproses dengan
penggilingan kering, pemasakan dengan basa atau penggilingan basah, faktor
penting yang perlu dipertimbangkan adalah true density. True density jagung
11

putih rata-rata 1.34 g/cm3, sedikit lebih tinggi daripada jenis jagung lain yaitu 1.3
g/cm3. True density yang tinggi merupakan indikator kekerasan dan diinginkan
untuk penggilingan kering dan pemasakan dengan kapur (US Grain Council
2006).

2.3 Tepung jagung


Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi produk pangan diantaranya
tepung jagung, minyak dan pati jagung. Tepung jagung merupakan salah satu
produk jagung yang didapatkan dengan proses penggilingan kering dengan ukuran
partikel kurang dari 0,193 mm (ayakan US no 75) (Serna-Saldivar et al. 2001).
Menurut SNI 01-3727-1995, syarat ukuran partikel tepung jagung adalah minimal
99% lolos ayakan 60 mesh dan minimal 70% lolos ayakan 80 mesh. SNI 01-3727-
1995 juga mensyaratkan kadar air maksimal 10%. Beberapa produk pangan yang
terbuat dari tepung jagung antara lain adalah pancake, muffin, donat, roti,
breading, batter dan makanan bayi (Hansen & Van der Sluis 2004). Tepung
jagung juga digunakan sebagai bahan baku sereal sarapan siap saji, makanan
ringan dan sebagai bahan pengikat dalam pengolahan daging.
Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung adalah proses
pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses
pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung
karena kandungan seratnya tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur
kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa
pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau
bagian pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi
kasar. Partikel tip cap akan terlihat sebagai butir-butir hitam yang merusak warna
tepung. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling
menjadi tepung.
Proses pembuatan tepung jagung biasanya dilakukan dengan cara
penggilingan kering (Yuan & Flores 1996). The North American Millers
Association dalam Hansen dan Van der Sluis (2004) menggolongkan
penggilingan jagung dengan metode kering menjadi tiga metode yaitu proses
degerming tempering, stone-ground process atau proses nondegerming dan proses
12

pemasakan secara alkali (nixtamalization). Ketiga proses tersebut akan


menghasilkan karakter tepung dan nilai gizi yang berbeda. Proses degerming
tempering paling umum dilakukan, dengan cara memisahkan bagian
endospermnya kemudian digiling, dikeringkan, dan diayak. Proses ini
menghasilkan tepung jagung berukuran paling halus.

2.4 Pati jagung


Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama
karena mensuplai kebutuhan energi manusia dengan porsi tinggi. Lebih dari 80%
tanaman pangan terdiri dari biji-bijian dan tanaman sumber pati lainnya. Dalam
bentuk aslinya pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis
pati sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula,
karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum serta
permukaan granulanya (Jobling 2004).
Komponen utama biji jagung adalah pati, yaitu sekitar 72 sampai 73% dari
berat biji. Karbohidrat lain berada sebagai gula sederhana seperti glukosa, sukrosa
dan fruktosa dengan jumlah bervariasi antara 1 sampai 3% dari biji. Pati jagung
terdiri dua polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Pada jagung jenis
endosperm dent atau flint, jumlah amilosa 25 sampai 30%, sedang amilopektin
mencapai 70 sampai 75%. Jumlah amilosa dan amilopektin bervariasi menurut
jenis jagungnya (Sandhu et al. 2004). Pati jagung yang mengandung hampir
100% amilopektin menghasilkan produk dengan tekstur lebih stabil.
Berdasarkan data dan analisa Transmission Electron Microscope (TEM),
telah diajukan beberapa model struktur kristalin pati (Gallant et al. 1997; Ridout
et al. 2002). Dengan mengkombinasikan hasil penelitian beberapa tahun
menggunakan teknik mikroskop, ilmuwan dapat menyusun struktur internal dan
organisasi granula pati seperti terlihat pada Gambar 3. Granula pati (2-100 µm)
terdiri dari bagian semi kristalin (120–500 nm) dan amorf (120–500 nm)
(Vandeputte & Delcour, 2004). Di dalam granula, pati tersusun atas lingkaran
yang menyebar keluar dari pusat ke permukaan granula. Jumlah dan ukuran
lingkaran tergantung asal pati (Ridout et al. 2002). Studi eksperimental
13

menunjukkan bahwa cincin semi kristalin terutama tersusun atas rantai


amilopektin.

Gambar 3 Struktur internal dan organisasi granula pati (Gallant et al. 1997)
2.4.1 Amilosa
Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari
struktur cincin piranosa. Amilosa umumnya dinyatakan sebagai bagian linier dari
pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan β-amilase pada beberapa jenis
14

pati tidak diperoleh hasil hidrolisa yang sempurna. β-amilase menghidrolisa


amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari
ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa.
Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode
ekstraksi yang digunakan. Secara umum amilosa yang diperoleh dari umbi-
umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibanding
amilosa dari pati biji-bijian. Kemampuan amilosa untuk berinteraksi dengan
iodine membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi
adanya pati.
Amilosa dapat terpisah dari granula yang mengembang di atas suhu
gelatinisasi. Fraksi amilosa biasanya dapat diisolasi dengan cara leaching
(Hizukuri 1996), dengan cara dispersi dan presipitasi dan dengan metode
ultrasentrifugasi (Majzoobi et al. 2003). Vorwerg et al. (2002) berhasil
mengisolasi dengan metode kombinasi enzim untuk memecah cabang amilopektin
diikuti pembentukan kompleks 1-butanol pada amilosa. Sifat-sifat umum dan
fungsionalitas amilosa disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin


Sifat Amilosa Amilopektin
Struktur molekul Linear (α-1,4) Cabang (α-1,4; α-1,6)
Berat molekul ~106 dalton ~108 dalton
Derajat polimerisasi 1500 – 6000 3x105 – 3x106
Kompleks helix Kuat Lemah
Pewarnaan iod Biru Merah-ungu
Larutan encer Tidak stabil Stabil
Retrogradasi Cepat Lambat
Sifat pembentuk gel Kaku, tak dapat balik Lunak, reversible
Sifat pembentuk film Kuat Lemah dan mudah patah
Sumber: Chen (2003)

2.4.2 Amilopektin
Amilopektin merupakan komponen utama dari pati dan merupakan
polisakarida terbesar. Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan
α-(1,4) pada rantai lurusnya serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya.
Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5% dari keseluruhan ikatan yang
15

ada pada amilopektin. Amilopektin secara dominan bertanggung jawab terhadap


kristalinitas granula pati (Gallant et al. 1997).
Peranan enzim ß-amilase sangat bermanfaat dalam memberikan informasi
struktur amilopektin. Enzim ini akan mendegradasi amilopektin secara tidak
lengkap, menghasilkan 50-60% maltosa dan dekstrin dengan berat molekul tinggi
yang mengandung semua ikatan antar (interchange linkage) dan bagian dalam
molekul. Untuk mengetahui distribusi panjang rantai amilopektin biasanya
dianalisa menggunakan HPLC (high performance liquid chromatography), SEC
(size exclusion chromatography) dan high performance anion exchange
chromatography (HPAEC). Rata-rata panjang rantai amilopektin adalah 18-24
(Hizukuri 1996).

2.5 Fermentasi spontan pada proses pengolahan serealia dan umbi-umbian


Menurut Steinkraus (2002) makanan terfermentasi adalah substrat
makanan yang ditumbuhi mikroorganisme yang dapat dimakan, terutama amilase,
protease dan lipase yang menghidrolisis polisakarida, protein dan lemak menjadi
produk dengan flavor, aroma dan tekstur menyenangkan dan menarik bagi
konsumen. Makanan terfermentasi mempunyai keunggulan lebih stabil selama
penyimpanan, lebih aman dikonsumsi, serta meningkatnya nilai gizi dan daya
terima pada konsumen. Makanan terfermentasi lebih aman dikonsumsi karena
proses fermentasi dapat menghilangkan zat anti nutrisi dan racun yang biasanya
terdapat pada bahan mentah dan diproduksi selama penyimpanan.
Fermentasi asam laktat pada serealia dan ubi kayu merupakan teknologi
yang berkembang pada skala rumah tangga di negara-negara Afrika. Produk-
produk seperti ogi, mumu, mahewu dan uji merupakan makanan dari sereal yang
diasamkan dan dikonsumsi secara luas baik pada orang dewasa maupun anak-
anak (Nout 1989, Oluwamukomi et al. 2005, Amusa et al. 2005). Di Nigeria,
makanan sapihan pertama biasanya disebut pap (dibuat dari jagung fermentasi)
dan pap juga digunakan sebagai makanan utama pada orang dewasa. Ogi dari
Nigeria terbuat dari jagung, millet atau sorghum yang dicuci dan direndam selama
2 sampai 72 jam sampai terjadi fermentasi asam laktat. Setelah itu biji-bijian
tersebut ditiriskan dan digiling halus serta diayak sehingga menghasilkan slurry
16

yang halus dengan kadar padatan sekitar 8% (Banigo dan Muller 1972). Uji dari
Kenya merupakan produk yang serupa dengan ogi tetapi sebelum dicampur
dengan air dan difermentasi dilakukan penggilingan terlebih dahulu. Slurry awal
terdiri dari 30 % padatan yang kemudian difermentasi spontan selama 2 sampai 5
hari sampai menghasilkan 0.3 sampai 0.5 % asam laktat. Slurry kemudian
diencerkan sehingga kadar padatan menjadi 4 sampai 5% dan ditambahkan 6%
sukrosa untuk dikonsumsi (Gatumbi dan Muriru 1987).
Proses fermentasi spontan dilakukan dengan cara merendam bahan dalam
air pada selang waktu tertentu dengan memanfaatkan mikroorganisme dari
lingkungan. Selama proses perendaman tersebut terjadi perubahan sifat yang
disebabkan adanya aktivitas bakteri antara lain adalah bakteri asam laktat
(Hounhouigan et al. 1993a, Johansson et al. 1995). Menurut Hounhouigan et al.
(1993a), Lactobacillus fermentum dan Lactobacillus brevis merupakan spesies
utama yang ditemukan di mawe, adonan dari jagung yang difermentasi.
Sedangkan Johansson et al. (1995) menyatakan bahwa Lactobacillus plantarum
merupakan mikroorganisme dominan yang berada pada ogi. Nago et al. (1998)
menemukan 65 strain bakteri asam laktat yang diisolasi dari ogi yang berasal dari
Benin, yang pada umumnya adalah lactobacilli yang bersifat heterofermentatif.
Tiga spesies yang utama (sekitar 90%) adalah Lactobacillus fermentum biotype
cellobiosus, Lactobacillus brevis dan Lactobacillus fermentum; sedangkan yang
lain adalah Lactobacillus curvatus dan Lactobacillus buchneri (6%). Sedangkan
Akinrele (1970) mengidentifikasi Lactobacillus plantarum, Corynebacterium sp.
dan Aerobacter cloacae sebagai mikroorganisme yang dominan pada ogi Nigeria.
Selain bakteri juga ditemukan adanya yeast pada proses fermentasi
serealia (Nago et al. 1998, Hounhouigan et al. 1993b, Akinrele 1970). Menurut
Nago et al. (1998) pada ogi dari Benin diisolasi 54 strain yeast, 41% merupakan
spesies Candida, yang meliputi C. humicola dan C. krusei. Sebanyak 26%
diidentifikasi sebagai isolat yeast Geotrichum; sedangkan isolat lain diidentifikasi
sebagai Cryptococcus dan Trichosporan. Hounhouigan et al. (1993b) mengisolasi
Candida krusei dan Candida kefyr dari mawe. Sementara itu Akinrele (1970)
mengisolasi Candida krusei, Rhodotorula spp, Saccharomyces cerevisiae dan
Candida mycoderma dari ogi.
17

Proses fermentasi sereal dan ubi kayu menghasilkan beberapa perubahan


sifat fisik dan fungsional produk yang dihasilkan. Menurut Subagio (2006), pada
fermentasi ubi kayu, mikroorganisme yang tumbuh selama proses fermentasi akan
menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan
dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi pelunakan granula pati.
Proses pelunakan granula pati ini menyebabkan perubahan sifat fisik tepung yang
dihasilkan berupa meningkatnya kemampuan membentuk gel, daya rehidrasi dan
kemudahan melarut pada tepung serta naiknya viskositas adonan. Hounhouigan
et al. (1993b) menyatakan bahwa bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik pada
mawe dapat menurunkan densitas kamba dan viskositas adonan. Nago et al.
(1998) menyatakan bahwa daya cerna protein secara in vitro pada ogi 20% lebih
tinggi daripada tepung jagung biasa karena adanya enzim proteolitik dan atau
dihasilkan oleh bakteri proteolitik. Menurut Lorri (1993) densitas energi adonan
sereal yang difermentasi asam laktat sebesar 1.2 kkal/g, lebih tinggi 3 kali lipat
daripada adonan sereal yang tidak difermentasi asam laktat pada kekentalan yang
sama yaitu 0.4 kkal/g. Daya cerna protein secara in vitro pada sereal dengan
kadar tannin tinggi meningkat dari 32 menjadi 40% sebelum fermentasi menjadi
41 sampai 60% setelah fermentasi asam laktat.

2.6 Sifat fisik tepung


Sifat fisik tepung dapat dipelajari menggunakan pendekatan pada sifat-
sifat produk berbentuk bubuk. Karakterisasi sifat fisik produk berbentuk bubuk
biasanya dilakukan pada dua tingkat, yaitu pada tingkat partikel dan pada tingkat
bulk (Peleg 1983). Sifat-sifat makanan berbentuk bubuk dalam bentuk bulk
dipengaruhi oleh sifat-sifat partikelnya, dan hubungan antara keduanya tidak
sederhana karena ada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya, seperti
sistem geometri serta perlakuan mekanis dan thermal yang diberikan selama
pembuatannya. Dalam banyak hal tidak mungkin untuk memperkirakan sifat-
sifat bulk hanya dari sifat partikelnya saja jika informasi proses mekanis dan
thermal yang diberikan tidak lengkap dan akurat. Pada hal-hal tertentu, sifat-sifat
pada tingkat bulk dapat diperkirakan sebagai sifat partikel meskipun tidak selalu
tepat.
18

Karakterisasi makanan berbentuk bubuk diperlukan untuk aplikasinya


dalam quality assurance, desain proses dan pengembangannya. Penentuan sifat-
sifat bubuk yang tepat dan akurat merupakan aspek penting dalam produksi
bubuk.

2.6.1 Ukuran partikel


Ukuran partikel penting dalam evaluasi kualitas tepung, sifat tepung dalam
pengolahan dan kenampakan produk-produk yang diproses dengan cara
pemanggangan. Menurut Davies (2006) metode analisis ukuran partikel dibagi
menjadi 6 kelompok yaitu (1) metode visual (misalnya dengan mikroskop optik
dan mikroskop elektron); (2) metode pemisahan (misalnya pengayakan); (3)
metode scanning stream; (4) metode scanning field (misalnya dengan fifraksi
laser; (5) metode pengendapan; dan (6) metode permukaan (misalnya
permeabilitas, adsorbsi). Diantara metode-metode tesebut, metode pengayakan
paling sering digunakan untuk mengkarakterisasi ukuran tepung dalam proses
penggilingan. Menurut Hoseney (1998), tepung diayak melewati ayakan dengan
bukaan 136 μm. Sedangkan di Amerika Utara, tepung pada umumnya harus
melewati ayakan dengan ukuran bukaan 112 μm, dressed flour 132 μm dan
tepung kue 93 μm.
Tepung terigu diklasifikasikan ke dalam tiga fraksi yang berbeda menurut
ukuran berbeda: (1) sel endosperm, bagian sel endosperm dan kelompok granula
pati dan protein (diameter > 35 µm) dimana kadar proteinnya sama atau lebih
tinggi daripada tepung itu sendiri; (2) granula pati besar dan kecil, sebagian
mengikat protein (diameter 15 – 35 µm); dan (3) potongan-potongan kecil protein
dan granula pati yang terpisah (diameter < 15 µm). Kadar protein pada fraksi (2)
dan (3) bervariasi 0.5 sampai 2 kali lipat daripada tepung itu sendiri. Oleh karena
itu pembagian ukuran partikel membuat jumlah protein dan pati dalam jumlah
berbeda, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan tepung dengan sifat
bervariasi dari satu tepung itu sendiri.
Distribusi ukuran partikel merupakan satu cara yang bisa mewakili sampel
bubuk atau bahan yang bersifat bulk dalam analisa ukuran partikel. Menurut
Barbosa-Carnovas dan Yan (2003) untuk bahan yang tidak satu ukuran, pada
19

umumnya digunakan dua metode. Pertama, histogram yang menunjukkan %tase


antara ukuran partikel tertentu berdasarkan beratnya, sedangkan kedua yaitu
menggunakan distribusi kumulatif. Metode penentuan ukuran partikel dan
distribusi ukuran partikel sangat luas digunakan dalam industri karena
kombinasinya mempengaruhi sifat fisik lain pada sistem powder seperti daya alir,
bulk density dan kemampatan. Karena tepung sereal pada umumnya mempunyai
ukuran partikel yang beragam, perlu mendeskripsikan distribusi ukuran partikel.
Distribusi ukuran parikel penting dalam analisa proses penanganan, pengolahan
dan fungsionalitas.

2.6.2 Densitas kamba


Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik penting pada tepung
sereal karena memainkan peran dalam penyimpanan, transportasi dan pemasaran
(Barbosa-Carnovas & Yan 2003). Densitas kamba adalah massa partikel satu per
unit volume tempat tertentu yang ditentukan dengan menimbang wadah dengan
volume yang diketahui yaitu dengan membagi berat bersih bubuk dengan volume
wadah. Karena bubuk dapat dimampatkan, densitas kamba juga dapat dinyatakan
sebagai sifat yang spesifik yaitu loose density (pada waktu dituang), packed
density (setelah vibrasi) atau compact density (sesudah dimampatkan).
Hubungan antara densitas kamba (ρb) dan densitas partikel (ρs) diekspresikan
sebagai:
ρb = (1-εp)(1- εb)ρs = (1-ε)ρs (Hoseney 1994)
dimana εp adalah porositas partikel, εb porositas bulk (rasio volume yang kosong
antar partikel pada volume total) dan ε adalah porositas, didefinisikan sebagai
rasio volume kosong (inter dan intra partikel) terhadap volume bubuk total.
Kebanyakan bubuk makanan bersifat kohesif yang berarti gaya antar
partikel bersifat atraktif karena berat partikel yang relatif tinggi. Karena bulk
density bubuk makanan tergantung kepada kombinasi faktor yang saling
tergantung yaitu intensitas gaya antar partikel yang atraktif, ukuran partikel dan
jumlah titik kontak maka perubahan dalam satu sifat bubuk dapat menghasilkan
perubahan yang nyata dalam bulk density bubuk, dimana besarnya tidak dapat
ditentukan.
20

2.6.3 Sifat alir


Sifat mengalir bubuk penting untuk mempelajari tingkah laku tepung
terutama selama proses penanganan dan pengolahan, misalnya pada proses
pencampuran, kompresi, pengemasan dan transportasi. Sifat alir bubuk harus
dipelajari sebagai faktor kualitas bahan mentah yang bisa digunakan untuk
mempertahankan keseragaman produk dan juga untuk menghindari kondisi yang
memungkinkan terjadinya gangguan proses. Salah satu indikator untuk melihat
kemampuan mengalir makanan berbentuk bubuk adalah berdasar sudut curahnya.
Sudut curah merupakan satu parameter curah dalam desain pengolahan
bubuk, penyimpanan dan sistem penyampaian. Sudut curah ini tergantung kepada
cara pembentukan bubuk (seperti pengaruh kecepatan) sehingga nilainya tidak
selalu dapat dibandingkan. Dalam bubuk yang kohesive, pengukuran sudut curah
kadang-kadang sulit karena bentuknya yang tidak beraturan. Sudut curah dapat
digunakan sebagai indikator kemampuan mengalir. Besarnya sudut curah 10
derajat menunjukkan bubuk bersifat aerated, 10 sampai 30 derajat mengalir
sangat baik, 30 sampai 45 derajat menunjukkan bubuk dapat mengalir bebas, 45
sampai 60 derajat hampir mengalir dan lebih dari 60 derajat kohesive dan tidak
mengalir (Barbosa-Canovas &Yan 2003).

2.7 Sifat fungsional adonan


Karakterisasi sifat fungsional adonan diperlukan untuk mendapatkan
informasi tentang potensi penggunaannya pada proses pengolahan komersial.
Menurut Sira (2000) karakterisasi sifat fungsional yang penting dapat dilihat
melalui profil gelatinisasinya. Profil tersebut didefinisikan dengan fenomena
sebagai berikut:
1. Gelatinisasi berarti pemecahan ikatan intermolekuler dengan meningkatnya
suhu, dan sisi yang mengikat H menyerap air lebih banyak sehingga
meningkatkan kekacauan struktur, menurunkan daerah kristalisasi dan
kehilangan birefringence. Pati dengan kadar amilosa tinggi sulit
tergelatinisasi lebih dari 100oC dan dapat membentuk film dan serat dengan
kelarutan lebih tinggi dan pengembangan pada kondisi alkali. Struktur yang
21

heliks dapat memerangkap asam lemak dan menghambat pengembangan


granula.
2. Pembentukan adonan merupakan fenomena yang mengikuti proses
gelatinisasi pada pati yang dilarutkan. Hal ini termasuk pengembangan
granula, keluarnya komponen molekuler dari granula dan pada akhirnya
kekacauan total pada granula.
3. Retrogradasi berhubungan dengan jumlah percabangan. Ikatan H antara
gugus OH pada amilosa dalam pati tergelatinisasi selama pendinginan
menghasilkan retrogradasi. Air keluar dari struktur gel dan pati menjadi tidak
larut. Pati dengan amilopektin tinggi tidak akan teretrogradasi saat
dibekukan.

2.7.1 Gelatinisasi dan sifat adonan


Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya
struktur granula dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa
bahan (terutama amilosa) mulai terpisah dari granula. Komponen-komponen yang
terpisah meningkat dengan meningkatnya berat molekul dan lebih meningkat lagi
dengan meningkatnya suhu (Prentice et al. 1992). Tetapi tidak semua amilosa
terpisah selama gelatinisasi (Ellies et al. 1988). Perubahan morfologis granula
pati selama pengembangan tergantung sifat alami pati. Kemampuan
pembengkakan granula biasanya dihitung sebagai daya pengembangan (berat
pengembangan granula yang tersedimentasi tiap gram pati kering) atau volume
pengembangan (volume granula yang mengembang tiap gram pati kering) pada
suhu tertentu (Konik et al. 2001). Sifat-sifat pengembangan pati tidak hanya
tergantung pada sifat patinya tetapi juga tergantung pada kadar amilosa.
Sifat-sifat adonan pati sangat penting untuk karakterisasi pati dan
aplikasinya. Informasi yang penting seperti suhu gelatinisasi, viskositas puncak
dan viskositas balik dapat ditentukan dengan Brabender amylograph (Chen 2003).
Sifat-sifat adonan ini sangat berguna sebagai indikator pada aplikasi pati.
Beberapa sifat yang didapatkan langsung dari kurva gelatinisasi seperti terlihat
pada Gambar 4 meliputi:
22

(i) Viskositas puncak (VP): viskositas maksimum yang dicapai selama proses
pemanasan
(ii) Viskositas panas (Vpa): viskositas yang dicapai pada suhu 95oC.
(iii) Viskositas panas 15 menit (Vpa15): viskositas yang dicapai pada suhu 95oC
setelah dipertahankan selama 15 menit
(iv) Viskositas dingin (VD): viskositas yang dicapai pada waktu pendinginan
mencapai suhu 50oC
Selain itu ada sifat-sifat lain yang diperoleh dengan cara menghitung dari sifat-
sifat di atas yaitu:
(i) Breakdown (BD) = VP – Vpa15
(ii) Setback (SB) = VD – VP
VD
(iii) Rasio viskositas dingin:viskositas panas 15 =
Vpa15

Selama penyimpanan adonan menjadi keruh dan biasanya menjadi


endapan yang tidak larut. Hal ini disebabkan oleh rekristalinisasi molekul pati,
pada awalnya amilosa membentuk rantai double helix yang diikuti pengumpulan
”helix-helix”. Fenomena ini disebut retrogradasi. Retrogradasi adalah proses
yang terjadi ketika molekul-molekul pati tergelatinisasi mulai bergabung kembali
membentuk suatu struktur tertentu, yang merupakan proses larutnya rantai linier
polisakarida dan mengurangi kelarutan molekul. Fenomena retrogradasi
merupakan hasil ikatan hidrogen antara molekul pati yang punya gugus hidroksil
dan sisi penerima hidrogen. Pada tahap awal, dua atau lebih rantai pati
membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian
secara teratur yang akhirnya membentuk daerah kristalin.
23

Gambar 4 Ilustrasi kurva sifat-sifat gelatinisasi (Sumber: Sowbhagya dan


Bhattacharya 2001)

Amilosa merupakan penyebab utama terjadinya retrogradasi dalam waktu


singkat karena molekul amilosa terdiri dari rantai yang paralel. Retrogradasi
dalam waktu lama ditunjukkan dengan rekristalisasi yang terjadi secara lambat
pada bagian luar amilopektin (Daniel & Weaver 2000). Amilopektin yang
terkristalisasi dalam gel yang teretrogradasi dapat meleleh pada suhu 55oC,
sementara amilosa yang terkristalisasi suhu pelelehannya mencapai 130oC (Zhang
& Jackson 1992).
Kecepatan dan jumlah retrogradasi meningkat dengan meningkatnya
jumlah amilosa. Pada pati yang alami, retrogradasi juga tergantung pada
konsentrasi pati, suhu penyimpanan, pH, suhu proses dan komposisi adonan.
Retrogradasi pada umumnya dipicu oleh konsentrasi pati yang tinggi, suhu
penyimpanan rendah dan pH antara 5 sampai 7. Garam-garam anion dan kation
monovalen dapat memicu retrogradasi pati (Chen 2003).
24

2.7.2 Sifat rheologi


Rheologi merupakan ilmu yang mempelajari deformasi dan aliran bahan.
Sifat rheologi bahan merupakan informasi penting tentang struktur dan sifatnya
selama pengolahan dan dalam penggunaan. Menurut Vergnes et al. (2003)
aplikasi pendekatan rheologi pada produk serealia pada umumnya mengalami
kesulitan karena:
1. Produk sereal mempunyai formulasi sangat kompleks dengan beberapa
komponen (pati, protein, air, gula, lipida) yang dapat berinteraksi dan mudah
membentuk struktur yang lain, pati terdiri dua makromolekul, amilosa yang
linier dan amilopektin bercabang. Hal ini mengakibatkan multifase, bahan
yang secara rheologi komplek.
2. Adonan dari produk sereal mempunyai sifat non-Newtonian tinggi, dengan
tingkat elastisitas tinggi dan sangat sensitif terhadap suhu, kadar air dan
komposisi lain (pati, adanya lipida)
3. Beberapa komponen meskipun dalam jumlah kecil seperti lipida dapat
menyebabkan slip pada dinding dan secara keseluruhan mengubah daya alir.
25

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di laboratorium Souteast Asian Food &
Agriculture Science & Technology (SEAFAST) Center IPB, dan Laboratorium
Departemen Ilmu & Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dari
bulan Mei 2006 sampai Desember 2008.

3.2 Bahan dan alat


Bahan utama penelitian ini adalah jagung putih varietas Lokal (Zea mays
L.) (Gambar 5) dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah di
Ungaran, hasil panen di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah. Bahan-bahan penunjang yang digunakan adalah aquadest, bahan kimia
untuk analisa seperti asam sulfat, natrium hidroksida, dan lain-lain.

Gambar 5 Jagung putih yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu seperangkat alat pembuatan


tepung meliputi pin disc mill dan ayakan 60, 100, 150 dan 200 mesh serta alat-
alat analisa meliputi brabender amilograph, tekstur analyzer, spektrofotometer,
dan lain lain.
26

3.3 Metode penelitian


Penelitian dilakukan dalam 3 tahap utama yaitu:
1. Karakterisasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung, meliputi tahap-tahap sebagai
berikut:
a. Pembuatan tepung jagung secara fermentasi spontan menggunakan
metode Aremu (1993) yang dimodifikasi dengan tahap-tahap sebagai
berikut: (i) penggilingan jagung pipilan menjadi grits jagung dengan
diameter ± 4 mm menggunakan pin disc mill, (ii) penampian
menggunakan tampah, (iii) penghilangan kotoran, perikarp dan bagian-
bagian yang mengapung di air setelah direndam selama 5 menit, (iv)
penirisan selama 30 menit sampai kadar air kurang lebih 40%, (v)
fermentasi spontan grits jagung dalam kontainer plastik tertutup pada
suhu 27oC dengan perbandingan aquadest:jagung 2:1 (6l:3kg) dalam
wadah plastik tertutup volume 16 l), (vi) penirisan selama 30 menit
sampai kadar air kurang lebih 40%, (vii) pengeringan menggunakan
kabinet pengering dengan suhu 50oC selama 3 jam, (viii) penggilingan
menggunakan pin disc mill, dan (ix) pengayakan 60 mesh. Cara
pembuatan tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 6. Pada tahap ini
fermentasi grits jagung dilakukan dengan waktu 0, 12, 24, 36, 48, 60 dan
72 jam.

b. Analisa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dihasilkan pada tahap 1a. Sifat tepung yang dianalisa meliputi: kadar air,
kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar pati, kadar gula
reduksi, kadar amilosa, kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan
minyak, loose density, packed density, sudut curah, derajat putih, suhu
gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas panas, viskositas panas selama
15 menit, viskositas dingin, kekuatan dan kelengketan gel. Analisa data
yang dihasilkan pada tahap 1b. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi untuk mengetahui hubungan keeratan masing-masing
variabel sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel.
27

Apabila ada variabel yang berkorelasi dengan tingkat signifikansi (p) ≤


0,01 dilakukan analisa regresi. Berdasarkan analisa regresi didapatkan
persamaan regresi yang menunjukkan kecenderungan data dan R2 yang
menunjukkan penyebaran data. Persamaan regresi dengan R2 tertinggi
akan diajukan sebagai sebagai model hubungan antar variable tersebut.
Model yang diperoleh merupakan model prediktif sederhana.
Jagung putih pipilan

Penggilingan kasar dan penampian (grits jagung Ø ± 4 mm)

Penghilangan bagian yang terapung setelah


perendaman dalam air selama 10 menit kulit

Penirisan selama 30 menit


sampai kadar air ± 40%

Fermentasi spontan pada wadah tertutup


(jagung:aquadest 3 kg: 6 l) suhu 27oC

Penirisan selama 30 menit


sampai kadar air ± 40%

Pengeringan (kabinet pengering, suhu


50oC, 3 jam)

Penggilingan

Pengayakan 60 mesh

Tepung jagung 60 mesh

Gambar 6 Pembuatan tepung jagung putih

2. Pembuatan tepung jagung 60 mesh dengan waktu fermentasi 15, 30, 45, 57.5
dan 70 jam jagung menggunakan metode seperti pada tahap 1a. Tepung
28

jagung putih yang dihasilkan dianalisa sifat fisik, kimia dan fungsional seperti
pada point 1b. Apabila pada tahap 1 diperoleh model prediktif dengan nilai
R2 yang memadai, maka akan dilakukan pengujian lebih lanjut; sebagai upaya
validasi kemampuan pendugaannya dibandingkan dengan hasil pengukuran
yang sesungguhnya, pada kisaran t yang sesuai. Persamaan akan ditetapkan
sebagai model prediktif apabila standar deviasi yang didapatkan pada tahap
ini kurang dari atau sama dengan 10 %. Alur penelitian pada tahap 1 dan 2
dapat dilihat pada Gambar 7.
3. Karakterisasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi ukuran partikel tepung dan waktu fermentasi grits jagung,
Tepung jagung 60 mesh dengan waktu fermentasi 0, 15, 30, 45, 57.5 dan 70
jam difraksinasi menggunakan ayakan bertingkat 100, 150 dan 200 mesh
sehingga didapatkan empat kelompok ukuran partikel tepung yaitu >150 –
250 µm, >106 – 150 µm, >75 – 106 µm dan ≤75 µm (Earle 1983). Tepung
jagung putih yang dihasilkan dianalisa sifat fisik, kimia tepung dan sifat
fungsional adonan seperti pada point 1b. Alur penelitian pada tahap 3 dapat
dilihat pada Gambar 8.
29

Gambar 7 Diagram alir jalannya penelitian tahap1 dan 2


30

Gambar 8 Diagram alir jalannya penelitian tahap 3


31

3.4 Prosedur analisa

Kadar air dianalisa dengan metode pengeringan (AOAC 1995).


Ditimbang kurang lebih 2 g sampel ke dalam cawan porselen yang telah
diketahui beratnya (a), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC
sampai berat konstan (b). Kadar air dihitung berdasarkan selisih berat cawan
sebelum dan sesudah pengeringan.

( a − b)
Kadar air = x100%
beratsampel

Kadar lemak dianalisa menggunakan Soxhlet (AOAC 1995).


Ditimbang sampel kurang lebih 3 gram dalam saringan timbel kemudian
ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak atau dibungkus kain saring.
Selanjutnya sampel tersebut diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet, kemudian
dipasang alat kondenser diatasnya dan labu lemak di bawahnya yang telah
diketahui beratnya (a). Dituangkan pelarut dietil eter atau petroleum eter ke
dalam labu lemak dan dilakukan refluks selama minimum 5 jam sampai pelarut
yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Distilasi pelarut dalam labu lemak,
kemudian pelarutnya ditampung. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil
ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai
berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu ditimbang beserta lemaknya (b)
sehingga berat lemak dapat dihitung.

b −1 10000
Kadar lemak (% bk) = x
beratsampel 100 − kadarair

Kadar protein dianalisa dengan metode Kjeldahl (AOAC 1995).


Sampel ditimbang sebanyak 200 mg dan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9±0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 3,8 ± 0,1
ml H2SO4. Setelah ditambahkan batu didih maka sampel dididihkan selama 1 –
1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Tabung beserta sampel didinginkan dengan
air dingin. Isi labu dan air bekas pembilasnya dipindahkan ke alat destilasi. Labu
erlenmeyer diisi 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan 4 tetes indicator, kemudian
32

diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam dalam larutan


H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat
destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam
erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan
HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan
perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya didapat jumlah volume (ml)
blanko.
Perhitungan :
mlHCl − mlblanko
Jumlah N (%) = x N HCl x 14,07 x 100
mgsampel
100
Kadar protein (% bk) = jumlah N x faktor konversi (6,25) x
(100 − kadarair )

Kadar serat kasar ditentukan dengan metode gravimetric (AOAC 1995).


Ditimbang sampel kurang lebih 1 g yang telah diekstrak lemaknya (a)
ditaruh dalam Erlenmeyer 600 ml dan ditambah 3 tetes zat anti buih. Selanjutnya
ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 0,255 N mendidih dan ditutup dengan
pendingin balik. Didiamkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-
goyangkan. Disaring suspensi melalui kertas saring. Residu yang tertinggal
dalam erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Residu dicuci dalam kertas saring
sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Kemudian dipindahkan residu dari
kertas saring ke dalam erlenmeyer secara kuantitatif. Sisanya dicuci lagi dengan
200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer.
Didihkan dengan pendingin balik sambil kadang-kadang digoyang-goyangkan
selama 30 menit. Disaring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya
(b) sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci sekali lagi dengan air
mendidih, kemudian dengan alcohol 95% kurang lebih 15 ml. Kertas saring
dikeringkan pada 110oC sampai berat konstan (1-2 jam), didinginkan dalam
desikator dan ditimbang (c).

c−b 10000
Kadar serat kasar (% bk) = x
kadarlemak 100 − kadarair
(ax )+a
100
33

Kadar abu dianalisa dengan metode pengabuan langsung (AOAC 1995).


Ditimbang kurang lebih 2 g sampel dalam cawan yang telah dikeringkan
dann diketahui beratnya (a), kemudian cawan tersebut diletakkan dalam tanur
pengabuan, dibakar sampai berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap. Cawan
didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (b).
b−a 10000
Kadar abu (% bk) = x
beratsampel 100 − kadarair

pH diukur dengan metode potentiometric (AOAC 1995).


Pengukuran pH dilakukan pada air perendam dan tepung jagung. Untuk
sampel yang berupa air, sampel tersebut langsung diukur pHnya, sedang untuk
sampel yang berupa tepung dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sampel
untuk dilakukan dengan menambahkan 20 ml aquades dalam 1 g tepung,
kemudian dikocok dengan stirer dan kemudian ditambah lagi dengan 50 ml
aquades dan dihomogenkan. Sampel dibiarkan selama 1 jam kemudian diukur pH
supernatan.

Kadar pati metode ekstraksi asam perklorat (Apriyantono et al. 1989).


Sebanyak 0,2 g tepung dimasukkan tabung sentrifuse kemudian
ditambahkan 2 tetes etanol 80 % untuk membasahkan sampel, kemudian
ditambahkan 5 ml air dan dicampur merata. Selanjutnya ditambahkan 25 ml
etanol 80 % (v/v) panas, dicampur merata dan dibiarkan selama 5 menit kemudian
disentrifuse. Supernatan didekantasi, supernatannya digunakan untuk analisa gula
setelah etanolnya diuapkan, sedang residunya untuk analisa pati, kemudian
diulang ekstraksi dengan 30 ml etanol 80% dan ditambahkan 5 ml air ke dalam
residu dan 6,5 ml asam perklorat 52% sambil diaduk diatas magnetic stirer selama
5 menit, didiamkan sebentar kemudian diaduk lagi selama 15 menit. Selanjutnya
ditambahkan 20 ml air dan disentrifuse kembali. Supernatan didekantasi,
kemudian dimasukkan labu takar 100 ml. Residu diekstrak seperti sebelumnya,
kemudian supernatan dimasukkan ke labu takar yang berisi hasil dekantasi
pertama. Volume supernatan ditepatkan sampai tanda, kemudian 5 ml filtrat
bagian atas dibuang dan selebihnya disaring. 1 ml filtrat atau hasil
34

pengencerannya dimasukkan tabung reaksi kemudian ditambah 5 ml pereaksi


Anthrone, dicampur merata. Tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air 100oC
selama 12 menit. Setelah didinginkan, dibaca absorbansi pada 630 nm. Hasilnya
diplot pada larutan glukosa standar.
100
Kadar pati (% bk) = % glukosa x 0.9 x
100 − kadarair

Dengan % = glukosa diperoleh dengan memasukkan nilai A 630 pada persamaan


standar
0.9 = faktor konversi

Kadar gula reduksi dianalisa dengan metode Nelson Somogyi (Apriyantono


et al. 1989).
Supernatan yang telah diuapkan etanolnya pada analisa pati diencerkan
sampai volume tertentu kemudian diambil 1 ml ke dalam tabung reaksi.
Kemudian ditambah 1 ml larutan Nelson dan dipanaskan pada 100oC selama 20
menit. Setelah itu didinginkan dan ditambah 1 ml Arsenomolybdat dan 7 ml
aquadest, selanjutnya dibaca absorbansi pada 540 nm. Hasilnya diplot pada
larutan glukosa standar.
absorbansi
Kadar gula reduksi =
beratsampelx(100 − kadarair )

Kadar amilosa dianalisa secara spektrofotometri (Juliano 1971)


Sampel sebanyak 100 mg dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL,
kemudian diberi 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dibiarkan
selama 23 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu
100˚C selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian
diencerkan dengan air suling menjadi 100 mL, dipipet sebanyak 5 mL,
dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL yang berisi 60 mL air, kemudian
ditambahkan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL I2 2% dan diencerkan sampai
volume 100 mL. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian
diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
Kadar amilosa dihitung dengan rumus :
35

A620 xfkx100 x100%


Kadar amilosa (% bk) =
100 − kadarair

1 1000 x 20 1
Dimana fk = x =
abs1 ppm 1000000 abs1 ppmx50
Keterangan :
A620 = absorban sampel
ka = kadar air
20 dan 1000 = faktor pengenceran
fk = faktor konversi

Derajat putih (Whiteness meter)


Derajat putih pati diukur dengan Photoelectric Tube Whiteness meter
electric laboratory C-100-3. Untuk mengukur derajat putih terlebih dahulu
dilakukan standarisasi dengan menggunakan Barium Sulfat yang dianggap
memiliki derajat putih 87 %. Setelah itu sampel-sampel dimasukkan dalam kotak
pengukur untuk mengukur derajat putihnya.

Densitas kamba
Analisa densitas kamba dilakukan menggunakan silinder plastik yang
telah diketahui volume (V) dan beratnya (W1). Bahan dimasukkan ke dalamnya
dengan hati-hati sampai penuh dan kemudian permukaan bubuk pada mulut
silinder diratakan dengan penggaris logam, lalu silinder dan isinya ditimbang
(W2). Selanjutnya bahan dipadatkan dan diisi sampel lagi sampai mampat
kemudian ditimbang (W3). Densitas kamba dihitung sebagai loose density dan
packed density menggunakan rumus:
Loose density (δ1 ) = W 2 − W1
V

Packed density (δ2 ) = W 3 − W1


V

Sifat alir (Donsi dan Ferrari 1990)


Sifat alir ditentukan berdasarkan nilai sudut curah yang ditentukan dengan
100 g tepung dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dituangkan dengan
cepat pada alas datar dan diukur sudut curah yang terbentuk menggunakan jangka
36

sorong dengan mengukur tinggi (t) dan diameter (d) alas curahan. Proyeksi
curahan dianggap membentuk sudut segitiga sama kaki

t
t tg α =
0,5d
d

Kapasitas penyerapan air dianalisa secara gravimetri (Kadan et al. 2003).


Tabung sentrifuse diisi 2 g sampel tepung jagung yang ditimbang berat
tabung dan sampel (a), kemudian ditambah 9 ml aquades dan divortex.
Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama
15 menit dan didekantasi, kemudian ditimbang beratnya (b)
b−a 10000
Kapasitas penyerapan air = x
a (100 − kadarair )

Kapasitas penyerapan minyak dianalisa secara gravimetri (Kadan et al.


2003).
Sebanyak 1 g sampel tepung jagung dimasukkan tabung sentrifuse dan
ditimbang beratnya (a), dicampur dengan 9 ml minyak kemudian divortex selama
1 menit dan ditempatkan dalam waterbath 50oC selama 15 menit. Kemudian
divortex lagi selama 1 menit dan dipanaskan pada waterbath 15 menit.
Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada 1650 x g, dilakukan
dekantasi minyak dann ditimbang beratnya (b).
b−a 10000
Kapasitas penyerapan minyak = x
a (100 − kadarair )

Sifat-sifat adonan dan gelatinisasi menggunakan Brabender amylograph


menurut metode AACC 22-12 (Hung & Morita 2004).
Tepung jagung putih didispersikan dalam 450 ml air terdistilasi dengan 10
% (berat kering) tepung. Kemudian suspensi dipanaskan dari 30 ke 95oC dengan
kecepatan 1,5oC/menit. Pada suhu 95oC adonan dipertahankan selama 15 menit,
kemudian didinginkan sampai 50oC. Viskositas puncak (VP), yaitu viskositas
tertinggi yang dicapai adonan selama proses pemanasan, viskositas panas (VPa)
37

yaitu viskositas yang dicapai pada 95oC, viskositas panas 15 menit (VPa15), yaitu
viskositas pada waktu suhu dipertahankan 97oC selama 15 menit, viskositas
adonan dingin (VD) yaitu viskositas yang dicapai pada suhu 50oC. Suhu
pembentukan adonan didefinisikan sebagai suhu pada waktu viskositas pertama
kali meningkat. Untuk mengetahui stabilitas adonan dihitung nilai breakdown
dan setback viscosity. Breakdown viscosity = VP - HV15, setback viscosity = VD
– VP.
Kekuatan dan kelengketan gel menggunakan texture analyzer.
Suspensi tepung hasil pengukuran amilografi dituangkan dalam wadah
sehingga gel memiliki diameter rata-rata 4,2 cm dan tinggi 5 cm. Pengukuran
kekuatan gel dilakukan menggunakan texture analyzer memakai probe
berdiameter 1 cm dan panjang 2,5 cm. Kecepatan probe 0,2 mm/s; beban 100
gram dan kedalaman 4 mm.

Distribusi ukuran partikel menggunakan metode pengayakan (Earle 1983).


Tepung jagung yang dihasilkan pada tahap pertama penelitian dilakukan
perhitungan distribusi ukuran partikel. 100 g sampel tepung jagung 60 mesh
diayak menggunakan ayakan bertingkat 80, 100, 120, 150, 170 dan 200 mesh.
Berat sampel yang tertahan pada masing-masing ayakan tersebut ditimbang
beratnya sehingga didapat 7 distribusi ukuran yaitu lolos 60 mesh dan tidak lolos
80 mesh (ukuran partikel >180-250 µm), lolos 80 mesh tidak lolos 100 mesh
(ukuran partikel >150-180 µm), lolos 100 mesh tidak lolos 120 mesh (ukuran
partikel >125-150 µm), lolos 120 mesh tidak lolos 150 mesh (ukuran partikel
>106-125 µm), lolos 150 mesh tidak lolos 170 mesh (ukuran partikel >90-106
µm), lolos 170 mesh tidak lolos 200 mesh (ukuran partikel >75-90 µm) dan lolos
200 mesh (ukuran partikel ≤75 µm).

3.5 Analisa data


38

Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap sifat fisik, kimia dan
fungsional tepung jagung.

Untuk mengetahui pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap sifat


fisik, kimia dan fungsional tepung jagung yang dihasilkan dilakukan uji
pembedaan dengan uji lanjut Duncan. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi untuk mengetahui hubungan keeratan masing-masing variabel
sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel. Variabel yang
berkorelasi dengan nilai koefisen korelasi (r) pada tingkat signifikansi ≤ 0,01
dianalisa regresi untuk mengetahui kecenderungan hubungan antar variabel
tersebut sehingga didapatkan persamaan regresi dan R2 (koefisien determinasi)
yang menunjukkan penyebaran data. Persamaan regresi dengan R2 tertinggi akan
diajukan sebagai sebagai model hubungan antar variable tersebut. Model yang
diperoleh merupakan model prediktif sederhana.Tahap validasi

Apabila pada tahap 1 diperoleh model prediktif dengan nilai R2 yang


memadai, maka akan dilakukan pengujian lebih lanjut; sebagai upaya validasi
kemampuan pendugaannya dibandingkan dengan hasil pengukuran yang
sesungguhnya, pada kisaran t yang sesuai. Persamaan akan ditetapkan sebagai
model prediktif apabila standar deviasi yang didapatkan pada tahap ini kurang
dari atau sama dengan 10 %.

Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel


tepung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung adonan jagung.
Untuk mengetahui pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung dilakukan uji pembedaan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap dengan uji lanjut Duncan. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel pada
masing-masing ukuran partikel. Variabel yang berkorelasi dengan nilai koefisen
korelasi (r) pada tingkat signifikansi ≤ 0,01 dianalisa regresi untuk mengetahui
kecenderungan hubungan antar variabel tersebut sehingga didapatkan persamaan
regresi dan R2.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi kimia bahan baku


39

Berdasarkan kadar amilosanya, jagung putih yang digunakan pada


penelitian termasuk kelompok non waxy dengan kadar amilosa 28.49%. Seperti
halnya jenis jagung yang lain, komponen tertinggi jagung putih pipilan yang
digunakan adalah pati (74.3 % bk), protein (11.16% bk), serat kasar (7.36% bk)
dan lemak (4.64 % bk). Jagung pipilan (Gambar 9a) yang digunakan kemudian
digiling menjadi grits jagung menggunakan pin disc mill dengan diameter
saringan 4 mm sehingga grits jagung yang digunakan sebagai bahan pembuatan
tepung jagung mempunyai ukuran partikel ± 4 mm (Gambar 9b). Komposisi
kimia grits jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung jagung
tidak berbeda dengan jagung pipilan, hanya pada serat kasarnya mengalami
perbedaan. Pada jagung pipilan jumlah serat kasar sebesar 7.36%, sedangkan pada
grits jagung menjadi 4.09% seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Pada tahap
penggilingan, bagian-bagian seperti perikarp, pangkal dan aleuron hancur dan
kemudian dipisahkan melalui proses penampian sehingga kandungan serat kasar
grits jagung lebih rendah daripada kandungan serat kasar jagung pipilan.

(a) (b)

Gambar 9 Bahan baku yang digunakan (a) jagung putih pipilan (b) grits
jagung putih.

Tabel 5 Komposisi kimia jagung putih pipilan, grits jagung dan tepung jagung
Komponen Jagung pipilan Grits Tepung
Kadar air (%) 13.36 13.07 10.32
40

Lemak (% bk) 4.64 4.42 4.05


Protein (% bk) 11.16 11.12 10.02
Abu (% bk) 1.48 1.33 1.01
Serat kasar (% bk) 7.36 4.09 2.97
Pati (% bk) 74.3 75.17 77.04
Keterangan: bk = basis kering

4.2 Pengaruh waktu fermentasi spontan grits jagung terhadap sifat fisik,
kimia dan fungsional tepung jagung

4.2.1 Komposisi kimia tepung jagung


Kadar lemak, serat kasar, protein, dan abu tepung jagung yang dihasilkan
dengan variasi waktu fermentasi dapat dilihat pada Tabel 6. Secara umum,
jumlah komponen-komponen kimia tersebut mengalami penurunan dibandingkan
dengan grits jagung yang digunakan (Tabel 5 dan 6).

Tabel 6 Komposisi kimia tepung jagung putih yang dihasilkan dengan variasi
waktu fermentasi grits jagung
Waktu Komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan
fermentasi grits
jagung (jam) Kadar air Protein Lemak Abu Serat
(%) (% bk) (% bk) (% bk) kasar
(% bk)
10.02 1.01d±0.0 2.97b±0.7
0 10.32ab±0.18 c±0.14 4.05d±0.11 6 5
12 10.05ab±0.50 9.24b±0.14 3.78c±0.30 0.78c±0.01 1.28a±0.03
0.55b±0.0
b b c
24 11.66 ±0.54 9.18 ±0.12 3.81 ±0.13 2 1.32a±0.07
0.47ab±0.0
36 10.02a±0.83 8.89a±0.13 3.82c±0.21 6 1.12a±0.03
0.49ab±0.0
48 10.80ab±0.10 8.74a±0.34 3.72bc±0.13 8 1.25a±0.02
0.53b±0.0
60 11.42ab±0.95 8.73a±0.14 3.44a±0.24 4 1.01a±0.16
72 11.32ab±1.63 8.78a±0.14 3.46ab±0.14 0.40a±0.07 1.10a±0.04
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Kadar serat kasar tepung jagung tanpa fermentasi (2.97 %) lebih rendah
daripada kadar serat grits jagung putih yang digunakan (4.09 %). Hal ini
41

disebabkan sebagian besar serat kasar pada jagung terdapat pada bagian perikarp.
Bagian perikarp akan menghasilkan tepung jagung dengan tekstur kasar sehingga
dihilangkan pada proses pembuatan tepung jagung. Hal ini mengakibatkan kadar
serat kasar tepung jagung yang dihasilkan lebih kecil daripada kadar serat kasar
grits jagung.
Fermentasi grits jagung selama 12 jam menurunkan kadar serat kasar
tepung jagung yang dihasilkan (Tabel 6). Serat pada jagung mengalami
penurunan pada 12 jam pertama fermentasi (1.28%), apabila dibandingkan kadar
serat kasar tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (2.97%). Serat merupakan
bagian yang tidak terpisahkan pada struktur alami tanaman yang terdiri dari
beberapa komponen seperti lignin, selulosa, hemiselulosa, substansi pektik, gum,
waxes, dan oligosakarida yang tidak tercerna. Hemiselulosa dan substansi pektik
yang mampu mengikat air dan mengembang disebut serat larut. Sebagian
hemiselulosa, selulosa dan lignin, yang sedikit mengikat air disebut serat tidak
larut atau serat kasar (Kalac dan Míka, 1997). Menurut Burge dan Duensing
(1989) serat jagung terdiri dari 67% hemiselulosa, 23% selulosa dan 0.1 % lignin.
Penurunan kadar serat kasar kemungkinan disebabkan aktivitas mikroorganisme
yang mengubah serat kasar atau serat tidak larut menjadi serat larut. Fermentasi
lanjutan sampai 72 jam relatif tidak mengubah kadar serat kasar (1.1%).
Menurunnya kadar serat tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi
juga seperti yang terjadi pada pembuatan tepung ubi kayu menggunakan proses
fermentasi (Subagio 2006).
Fermentasi grits jagung sampai 36 jam menurunkan kadar protein tepung
jagung yang dihasilkan (8.89 %) apabila dibandingkan kadar protein tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (10.02 %). Penambahan waktu fermentasi
cenderung tidak mengubah kadar proteinnya. Penurunan kadar protein selama
fermentasi grits jagung seperti yang terjadi pada pembuatan ogi. Menurut Nago
et al. (1998) kadar protein ogi yang berasal dari Benin 9% lebih rendah daripada
jagung yang digunakan, sedangkan pada ogi yang berasal dari Gnonli terjadi
kehilangan protein sebesar 38%. Menurut Hounhouigan et al. (1993c) terjadi
penurunan kadar protein sebesar 38% pada pembuatan mawe. Menurunnya kadar
protein disebabkan adanya aktivitas enzim yang bersifat proteolitik.. Menurut
42

Okenhen dan Ikenebomeh (2007) pada ogi terdapat aktivitas enzim proteinase
sebesar 4.8 mg/ml.
Protein pada kernel jagung terdiri dari albumin (8 %), globulin (9 %),
zein atau prolamin (39%) dan glutelin (40%); sedangkan protein pada endosperm
terdiri dari zein (47%), glutelin (39%), albumin (4%) dan globulin (4%) (Laszrity
1986). Perendaman mengakibatkan masuknya air ke dalam grits jagung,
memperlunak kernel dan terjadinya bagian terlarut dari lembaga sehingga protein
albumin yang bersifat larut air mengalami leaching dan terbuang dalam air
perendam yang berakibat menurunnya kadar protein tepung jagung yang
dihasilkan.
Penurunan kadar protein berhubungan juga dengan pHnya. Pada saat
fermentasi 12 sampai 36 jam, pH air perendam jagung berada di luar titik
isoelektrik (Tabel 7) dan beberapa protein mempunyai kelarutan tinggi sehingga
protein terlarut dalam air perendam. Hal ini mengakibatkan penurunan kadar
protein hanya terjadi pada waktu fermentasi 12 sampai 36 jam (Tabel 6). Setelah
48 jam fermentasi, air perendam jagung berada pada titik isoelektrik yaitu pada pH
4.5 – 4.8 (Tabel 7) sehingga kelarutan protein jagung selama proses fermentasi
minimal dan kadar protein tepung jagung yang dihasilkan relatif konstan.

Tabel 7 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH air perendam


Waktu fermentasi (jam) pH
0 6.67e±0.24
12 6.07d±0.54
24 5.63c±0.27
36 5.13c±0.42
48 4.83b±0.33
60 4.60a±0.38
72 4.62a±0.29
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Fermentasi grits jagung sampai 36 jam menurunkan kadar protein tepung


jagung yang dihasilkan (Gambar 10). Berdasarkan hasil tersebut maka kadar
43

protein tepung jagung yang dihasilkan dengan fermentasi grits jagung sampai 36
jam dapat ditentukan menggunakan rumus regresi linier dengan persamaan:
Pr = -0.029t + 9.855 (R2 = 0.7848) (1)
dengan Pr adalah kadar protein tepung jagung dalam % basis kering, t adalah
waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.

12

10
protein (% bk)

6 Pr = -0.029t + 9.855
R2 = 0.7848
4

0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 10 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar protein tepung
jagung.

Fermentasi grits jagung menurunkan kadar abu tepung jagung yang


dihasilkan. Menurunnya kadar abu selama fermentasi disebabkan lepasnya
mineral pada waktu perendaman, yaitu terjadi leaching sebagian mineral pada air
perendam. Sahlin (1999) menyatakan bahwa kadar abu tidak dipengaruhi oleh
fermentasi kecuali jika pada proses fermentasi tersebut ditambahkan beberapa
garam atau terjadi leaching saat bagian yang cair dipisahkan dari makanan yang
difermentasi. Jagung mempunyai mineral-mineral natrium, kalium, fluor, iodine
yang mempunyai tingkat kelarutan tinggi dalam air dan afinitas rendah sehingga
banyak terdapat sebagai ion bebas (Watson 1987). Ion-ion inilah yang mengalami
leaching dalam air perendam sehingga kadar mineral tepung mengalami
penurunan selama fermentasi sampai 36 jam (0.47 %), dibandingkan tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (1.01 %). Fermentasi lanjutan selama 48
sampai 72 jam cenderung tidak mengubah kadar abu. Penurunan kadar abu
44

selama fermentasi jagung juga ditemukan pada pembuatan ogi dari kadar abu
pada jagung sebesar 1.35 – 1.38 menjadi 0.4 – 0.6 pada ogi (Nago et al. 1998).
Selain sebagai ion bebas, mineral pada jagung juga terdapat dalam bentuk
kompleks. Menurut Watson (1987) komponen anorganik yang paling banyak
terdapat pada jagung adalah fosfor, yang sebagian berada sebagai garam kalium-
magnesium asam fitat yang merupakan bentuk ester dari heksafosfat inositol.
Fitin adalah bentuk penyimpanan penting dari fosfor, yang dipecah oleh enzim
fitase pada proses fermentasi. Mineral yang berada dalam bentuk kompleks inilah
yang tidak mengalami leaching dalam air perendam sehingga fermentasi grits
jagung setelah 36 jam tidak mengubah kadar mineralnya.
Larutnya sebagian mineral mengakibatkan meningkatnya konduktivitas
atau daya hantar listrik pada air perendam. Berkebalikan dengan kadar mineral,
daya hantar listrik pada air perendam naik selama fermentasi sampai 36 jam,
kemudian cenderung tetap seperti terlihat pada Gambar 11.

1000

800
konduktivitas (mhos)

600

400

200

0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 11 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap konduktivitas air


perendam.

Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai kadar lemak 4.05
%. Kadar lemak mengalami penurunan selama 12 jam fermentasi menjadi 3.78
%. Fermentasi lanjutan sampai 48 jam cenderung tidak mengubah kadar lemak
tepung (3.72 %), selanjutnya setelah fermentasi selama 60 jam kadar lemak
45

menurun (3.4 %). Penurunan kadar lemak juga terjadi pada pembuatan ogi
sehingga kadar lemak bahan yang semula 3.9 – 4.4 turun menjadi 3 – 3.5 (Nago et
al. 1998, Hounhouigan et al. 1993c). Penurunan kadar lemak disebabkan
aktivitas mikroorganisme yang bersifat lipolitik. Ohenhen dan Ikenebomeh
(2007) menyatakan adanya aktivitas enzim lipase sebesar 1.8 mg/ml pada ogi.
Fermentasi jagung sampai 36 jam menurunkan kadar pati, gula reduksi
dan pH tepung jagung yang dihasilkan seperti terlihat pada Tabel 8. Penurunan
pH terjadi karena aktivitas bakteri asam laktat selama perendaman. Asam laktat
merupakan asam non volatil yang umum terdapat selama fermentasi sereal dan
umbi-umbian yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum. Johansson et al.
(1995) menemukan adanya galur Lactobacillus plantarum yang bersifat amilolitik
sejumlah 14 persen dari total bakteri asam laktat yang diisolasi dari ogi,
sedangkan Hounhouigan et al. (1993a) menemukan Lactobacillus fermentum
yang bersifat amilolitik dari mawe. Keberadaan bakteri asam laktat yang bersifat
amilolitik selama pengolahan jagung meningkatkan kecepatan asidifikasi
sehingga menurunkan pH (Johansson et al. 1995).
Selain asam laktat juga dihasilkan sejumlah besar asam asetat dan
karbondioksida dari heksosa melalui jalur heksosa monofosfat. Adanya
gelembung pada permukaan slurry selama proses perendaman menunjukkan
produksi karbondioksida (Onyango et al. 2003). Asam laktat dan asam asetat
menurunkan pH media sementara karbondioksida mengeluarkan udara dari slurry
selama fermentasi. Fermentasi grits jagung selama 36 jam menurunkan pH
tepung jagung yang dihasilkan dari 5.67 menjadi 4.4, kemudian setelah 48 jam
naik menjadi 4.6 (Tabel 8). Penurunan pH pada proses fermentasi jagung ini
sesuai dengan penelitian Aremu (1993) bahwa perendaman jagung selama 48 jam
mengakibatkan penurunan pH menjadi 4.5, sedangkan menurut Sefa Dedeh
(2001), fermentasi adonan jagung selama 24 jam menurunkan pH dari 6.3 menjadi
4.0. Sedangkan Nago et al. (1998) menyatakan bahwa pembuatan ogi dengan
fermentasi selama 48 jam mengubah pH menjadi 3.3 sampai 3.7.
Apabila digambarkan pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap
pH tepung jagung akan menunjukkan grafik yang bersifat kuadratik seperti
46

terlihat pada Gambar 12. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan
pH tepung jagung dapat dinyatakan dengan persamaan:
Ph = 0.0005t2 - 0.0493t + 5.7861 (R2 = 0.7855) (2)
dengan Ph adalah pH tepung jagung, t adalah waktu fermentasi grits jagung dan
R2 adalah koefisien determinasi.

Tabel 8 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar pati, gula reduksi
dan pH tepung jagung yang dihasilkan
Waktu fermentasi Kadar pati Kadar gula reduksi pH
(jam) (% bk) (% bk)
c
0 77.04 ±0.44 2.70d±0.08 5.67e±0.04
12 76.13bc±0.56 2.21c±0.34 5.47d±0.04
ab b
24 74.01 ±1.38 1.55 ±0.11 4.93c±0.07
36 74.1ab±1.36 1.16a±0.04 4.4a±0.02
a a
48 72.05 ±1.57 1.10 ±0.13 4.6b±0.13
60 72.26a±1.93 1.50b±0.21 4.88c±0.08
a b
72 71.49 ±2.48 1.66 ±0.13 4.7b±0.09
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

7
6
5

4
pH

3 Ph = 0.0005t2 - 0.0493t + 5.7861


2 R2 = 0.7855

1
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 12 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH tepung jagung.

Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai kadar gula


reduksi 2.7 %, dan fermentasi selama 36 jam menurunkan kadar gula reduksi
menjadi 1.16 %. Penurunan kadar gula reduksi disebabkan penggunaan gula
sebagai substrat oleh bakteri asam laktat. Fermentasi lanjutan sampai 72 jam
meningkatkan kadar gula reduksi menjadi 1.66 % yang merupakan akibat dari
47

pemecahan pati menjadi gula reduksi oleh bakteri asam laktat yang bersifat
amilolitik. Bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik berhasil diisolasi dari ogi
yaitu Lactobacillus plantarum (Johansson et al. 1995) dan dari mawe yaitu
Lactobacillus fermentum (Hounhouigan et al. 1993a). Menurut Johansson et al.
(1995) keberadaan bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik selama pengolahan
jagung meningkatkan ketersediaan sumber energi seperti glukosa atau maltosa
dari pati atau bakteri asam laktat lain. Adanya pemecahan pati menjadi gula
reduksi mengakibatkan penurunan kadar pati tepung jagung yang dihasilkan dari
77.04 % pada tepung jagung non fermentasi menjadi 71.49 % pada tepung jagung
yang dihasilkan dari proses fermentasi selama 72 jam (Tabel 8). Menurut Sefa-
Dedeh (2001) pengaruh fermentasi terhadap konsentrasi gula bervariasi.Selama
24 jam fermentasi, konsentrasi fruktosa, glukosa dan galaktosa menurun,
sedangkan xilosa dan maltosa meningkat. Pengaruh waktu fermentasi grits
jagung terhadap kadar gula reduksi tepung jagung dapat digambarkan sebagai
grafik kuadratik seperti terlihat pada Gambar 13. Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung terhadap kadar gula reduksi dapat dinyatakan dalam
persamaan:
Gr = 0.0006t2 - 0.06t + 2.71 (R2 = 0.7676) (3)
dimana Gr adalah kadar gula reduksi tepung jagung dalam % basis kering, t
adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien
determinasi.

3.0

2.5
gula reduksi(%)

2.0

1.5

1.0

0.5 Gr = 0.0006t2 - 0.06t + 2.71


R 2 = 0.7676
0.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)
48

Gambar 13 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar gula reduksi
tepung jagung.

Fermentasi jagung selama 72 jam menurunkan kadar amilosa tepung


jagung yang dihasilkan menjadi 26.81% dari kadar amilosa semula 28.39%. Pada
proses fermentasi terjadi aktivitas mikroorganisme yang bersifat amilolitik (raw
starch digesting amylase). Beberapa mikroorganisme yang bersifat amilolitik
pada proses fermentasi jagung adalah Lactobacillus plantarum (Johansson et al.
1995), Lactobacillus fermentum (Hounhouigan et al. 1993a).

Tabel 9 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar amilosa tepung
jagung
Waktu fermentasi jagung Kadar amilosa tepung jagung
0 28.39c±0.71
12 27.95c±0.67
24 27.83c±2.35
36 27.03ab±0.61
48 27.45bc±1.04
60 26.42a±1.70
72 26.81ab±0.54
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

4.2.2 Distribusi ukuran partikel tepung jagung


Fermentasi grits jagung sampai 36 jam mengakibatkan tepung jagung
mempunyai distribusi ukuran partikel hampir sama seperti terlihat pada Gambar
14. Pada tepung jagung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi 48 jam,
jumlah partikel berukuran paling halus (kurang dari 75 µm) meningkat dan
distribusi partikelnya paling banyak dibanding partikel berukuran lainnya.
Perendaman butiran jagung pada proses fermentasi mengubah bagian yang keras
pada endosperm (horny endosperm) menjadi banyak bagian yang lunak (fluory
endosperm) dan menjadi lebih mudah digiling. Fermentasi melunakkan struktur
jagung sehingga proses penggilingan menjadi lebih mudah sehingga semakin
lama proses fermentasi, tepung jagung lebih banyak terdistribusi pada ukuran
partikel yang kecil.
49

35

0 jam 12 jam 24 jam 36 jam


30 48 jam 60 jam 72 jam

25

distribusi (%)
20

15

10

≤75 µm
>180-250 µm

>150-180 µm

>125-150 µm

>106-125 µm

>90-106 µm

>75-90 µm
ukuran partikel (µm)

Gambar 14 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap distribusi ukuran


partikel tepung jagung.

4.2.3 Densitas kamba tepung jagung


Loose density dan packed density tepung jagung menurun dengan semakin
meningkatnya waktu fermentasi grits jagung seperti terlihat pada Tabel 10. Hasil
ini mirip dengan pembuatan tepung sorghum secara fermentasi yang menurunkan
densitas tepung sebesar 10 % (Elkhalifa et al. 2005). Semakin rendah kadar
protein, lemak, serat kasar dan abu, semakin rendah loose dan packed density
tepung jagung.
Lebih tinggi kadar protein dan pati, lebih tinggi loose dan packed density
tepung jagung. Hal ini sesuai dengan penelitian Pereira et al. (2008), bahwa
jagung dengan kadar protein tinggi mempunyai densitas lebih tinggi. Endosperm
biji jagung terdiri dari dua komponen utama yaitu granula pati dan protein, dan
struktur fisik endosperm tergantung pada interaksi antar dua komponen tersebut.
Menurut Abdelrahman dan Hoseney (1984), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi variasi struktur biji jagung, diantaranya ketebalan matriks protein
yang kontak dengan granula pati dan kekuatan adhesi antara matriks protein dan
50

granula pati. Semakin tinggi ketebalan matriks protein yang kontak dengan
granula pati, semakin tinggi densitas.

Tabel 10 Loose dan packed density tepung jagung yang dihasilkan dengan
variasi waktu fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi grits jagung Loose density Packed density
(jam)
(g/ml) (g/ml)
0 0.504d±0.019 0.72e±0.003
c
12 0.478 ±0.004 0.693d±0.006
24 0.469bc±0.002 0.689cd±0.001
ab
36 0.462 ±0.001 0.685c±0.007
48 0.46ab±0.002 0.664b±0.003
a
60 0.45 ±0.009 0.659b±0.002
72 0.447a±0.007 0.651a±0.002
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Pengaruh kadar protein terhadap densitas kamba tepung jagung juga


terjadi karena strukturnya. Menurut Damodaran (1996), fraksi serta distribusi
residu hidrofobik dan hidrofilik pada struktur primer protein mempengaruhi
beberapa sifat fisikokimia protein. Zein merupakan protein penyimpanan terbesar
pada endosperm jagung dengan komposisi asam amino utama adalah asam
glutamat (21.4 %), leusin (18.7 %), alanin (13.3 %) dan prolin (10.7 %) yang
merupakan protein hidrofobik (Wilson 1987). Berdasarkan pada konstanta
sedimentasi dan difusi, molekul zein mempunyai bentuk globula panjang (rasio
axial sekitar 15:1) (Laszity 1986). Hal ini juga sesuai pernyataan Damodaran
(1996) bahwa apabila sebuah protein sebagian besar terdiri dari asam amino
hidrofobik, maka diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga
meminimalkan rasio area permukaan:volume yang memungkinkan lebih banyak
residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein. Rasio area permukaan
dibanding volume yang kecil pada protein jagung mengakibatkan tepung jagung
mempunyai densitas kamba besar sehingga protein paling berpengaruh terhadap
densitas kamba tepung jagung. Kadar protein mempunyai pengaruh tinggi
terhadap densitas kamba tepung jagung yang dapat dilihat dari nilai koefisien
51

korelasi, yaitu pada loose density (r = 0.84, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
0.932, p ≤ 0.01).
Semakin tinggi kadar protein, semakin tinggi packed density tepung
jagung seperti terlihat pada Gambar 15. Apabila hubungan antara kadar protein
dan packed density digambarkan dalam suatu grafik maka terbentuk garis regresi
linier dengan persamaan:
Dp = 0.0375Pr + 0.3442 (R2=0.8673) (4)
dengan Dp adalah packed density tepung jagung dalam g/ml, Pr adalah kadar
protein tepung jagung dalam % basis kering dan R2 adalah koefisien determinasi.
Apabila persamaan (4) disubstitusi dengan persamaan (1) akan didapatkan
persamaan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan packed density
tepung jagung yaitu:
Dp = -0.0011t + 0.714 (5)
dengan Dp adalah packed density tepung jagung dalam g/ml dan t adalah waktu
fermentasi grits jagung dalam jam.

0.80
packed density (g/ml)

0.75

0.70

0.65 Dp = 0.0375Pr + 0.3442


R 2 = 0.8673

0.60
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5
protein (% bk)

Gambar 15 Pengaruh kadar protein terhadap packed density tepung jagung.

Semakin besar kadar serat kasar, semakin tinggi loose dan packed density
tepung jagung. Serat kasar pada jagung terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Lignin dan hemiselulosa mempunyai kemampuan yang tinggi untuk
menyerap air. Hidrasi serat menyebabkan terbentuknya matriks gel dan
meningkatkan densitas kamba bahan. Adanya hubungan antara serat kasar dengan
52

loose dan packed density sesuai pendapat Rasper (1982) bahwa selulosa,
hemiselulosa dan lignin berperan terhadap densitas sereal. Hal ini mengakibatkan
adanya korelasi antara kadar serat kasar dengan loose density (r = 0.894, p ≤ 0.01)
dan packed density (r = 0.758, p ≤ 0.01). Semakin tinggi kadar serat kasar,
semakin tinggi loose density tepung jagung seperti terlihat pada Gambar 16.
Hubungan antara loose density dengan kadar serat kasar dapat dinyatakan dalam
persamaan:
Dl = 0.026s + 0.43 (R2 = 0.7997) (6)
dengan Dl adalah loose density tepung jagung dalam g/ml, s adalah kadar serat
kasar dalam % basis kering.

0.60
loose density (g/ml)

0.55 Dl = 0.026s + 0.43


R2 = 0.7997

0.50

0.45

0.40
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0
serat kasar (% bk)

Gambar 16 Pengaruh kadar serat kasar terhadap loose density tepung jagung.

Semakin tinggi kadar abu, semakin tinggi loose dan packed density tepung
jagung. Mineral-mineral dalam jagung yaitu natrium, kalium, fluor, dan iodine
banyak terdapat sebagai ion bebas. Menurut Nabrzyski (1997) gugus anionik
mempunyai daya tarik menarik yang kuat yang akan mempengaruhi densitasnya.
Lebih kuat interaksi dengan gugus anionik maka lebih tinggi densitas kamba
tepung jagung. Kadar abu berkorelasi dengan loose density (r = 0.842, p ≤ 0.01)
dan packed density (r = 0.758, p ≤ 0.01).
Semakin tinggi kadar lemak, semakin tinggi loose dan packed density
tepung jagung. Pengaruh lemak terhadap densitas kamba hampir sama dengan
53

protein, yaitu berkaitan dengan hidrofobisitasnya. Lemak yang bersifat hidrofobik


diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga meminimalkan
rasio area permukaan:volume. Rasio area permukaan dibanding volume yang
kecil pada lemak jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas
kamba besar. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kadar lemak dengan
loose density (r = 0.651, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.804, p ≤ 0.01).
Semakin lama waktu fermentasi jagung, semakin rendah densitas kamba
tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini senada dengan Elkhalifa et al. (2005)
bahwa perendaman sorghum selama 24 jam dalam pembuatan tepung sorghum
akan menurunkan densitas tepung sorghum yang dihasilkan sebesar 10%,
sedangkan Onofiok dan Nnanyelugo (1998) menyatakan bahwa fermentasi dapat
menurunkan densitas kamba yang tinggi pada makanan sapihan di Afrika.
Fermentasi telah dilaporkan sebagai suatu metode tradisional dan berguna untuk
preparasi makanan sapihan dengan densitas rendah. Adanya hubungan antara
waktu fermentasi grits jagung dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya yaitu
loose density (r = -0.877, p ≤ 0.01) dan packed density (r = -0.959, p ≤ 0.01).
Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan packed density dan loose
density tepung jagung menghasilkan persamaan regresi linier sebagai berikut:
Dp = -0.0009t + 0.712 (R2 =
0.9188) (7)
Dl = -0.0007t + 0.493
2
(R = 0.7691) (8)
dengan Dp dan Dl adalah packed density dan loose density tepung jagung
dalam g/ml, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah
koefisien determinasi.
Berdasarkan korelasi antara faktor-faktor yang berpengaruh, didapatkan
persamaan 5 dan 7 yang dapat digunakan untuk memprediksi packed density
tepung jagung berdasarkan waktu fermentasi grits jagung. Persamaan 5 dan 7
mempunyai slope dan intersept yang hampir sama sehingga apabila diaplikasikan
akan mendapatkan nilai yang tidak berbeda jauh. Berdasarkan pertimbangan
bahwa persamaan 7 mempunyai koefisien determinasi lebih besar dan packed
density tidak hanya dipengaruhi kadar protein tetapi juga komponen kimia lain
54

seperti pati, serat kasar dan lemak maka persamaan 7 dipilih sebagai model
prediktif untuk dibuktikan pada tahap validasi.
0.80
Dp = -0.0009t + 0.712
R 2 = 0.9188
0.70

densitas kamba (g/ml)


0.60
Dl = -0.0007t + 0.493
R 2 = 0.7691
0.50

0.40
loose density pack ed density
0.30
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 17 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap loose


density dan packed density tepung jagung.

Persamaan 6 dan 8 dapat digunakan untuk memprediksi loose density


tepung jagung. Persamaan 6 digunakan untuk memprediksi loose density tepung
jagung berdasar kadar serat kasar, sedangkan persamaan 8 berdasarkan waktu
fermentasi grits jagung. Persamaan 6 mempunyai koefisien determinasi lebih
tinggi, tetapi serat kasar sulit dikendalikan pada pembuatan tepung jagung secara
fermentasi maka persamaan 8 dipilih sebagai model prediktif loose density tepung
jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung.

4.2.4 Sudut curah tepung jagung


Sudut curah dapat digunakan sebagai indikator kemampuan mengalir.
Fermentasi jagung meningkatkan sudut curah tepung jagung yang dihasilkan atau
menurunkan daya alir tepung seperti dapat dilihat pada Tabel 11. Fermentasi
grits jagung sampai 24 jam meningkatkan sudut curahnya, dan waktu fermentasi
setelah itu cenderung tidak mengubah sudut curah (Tabel 11). Peningkatan sudut
curah berkorelasi dengan penurunan kadar protein, kadar serat kasar, kadar pati,
loose density dan packed density. Dengan demikian semakin tinggi kadar
protein, serat kasar dan pati, semakin tinggi kemampuan bahan mengalir.
55

Tabel 11 Sudut curah tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi


waktu fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi jagung (jam) Sudut curah (o)
0 41.9a±0.1
12 44.4b±1.3
24 47.2cd±0.7
36 48.4d±0.4
48 46.2c±0.9
60 48.3d±1.1
72 48.2d±0.5
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Semakin rendah kadar serat kasar dan protein, semakin tinggi sudut curah
tepung jagung. Kemampuan bahan untuk mengalir dipengaruhi tekstur. Salah
satu komponen serat adalah selulosa yang berperan besar terhadap tekstur
makanan nabati. Fungsi utama selulosa dalam dinding sel dikombinasikan
dengan hemiselulosa, protein, pektin dan lignin memberikan kesatuan struktur
(Aguilera dan Stanley 1999). Dinding sel digambarkan sebagai mikrofibril
selulosa yang melekat pada bagian amorf terutama terdiri dari substansi pektik
dan hemiselulosa. Selulosa berperan memberi struktur yang kuat sehingga
memudahkan bahan mengalir, sebagai akibatnya fermentasi yang mengakibatkan
penurunan kadar serat akan meningkatkan sudut curah atau dengan kata lain akan
menurunkan daya alir tepung jagung. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi
antara sudut curah tepung jagung dengan kadar serat kasar (r = -0.785, p ≤ 0.01)
dan kadar protein (r = -0.73, p ≤ 0.01).
Semakin tinggi densitas kamba, semakin kecil luas permukaan sehingga
bahan lebih mudah mengalir dan sudut curah menurun. Luas permukaan
menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan kohesi sehingga
rasio luas permukaan terhadap volume merupakan indikasi yang baik bagi daya
alir pada sistem bubuk. Lebih tinggi rasio luas permukaan terhadap volume,
56

partikel cenderung lengket dengan partikel yang lain dan mengurangi


kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi sehingga
mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini mengakibatkan adanya
korelasi antara sudut curah tepung jagung dengan loose density (r = -0.853, p ≤
0.01). Semakin besar loose density, semakin kecil sudut curah seperti terlihat
pada Gambar 18. Apabila digambarkan hubungan antara loose density dengan
sudut curah tepung jagung akan menghasilkan persamaan:
Sr = -102.66Dl + 94.32 (R2 = 0.7286) (9)
Apabila persamaan 9 disubstitusi dengan persamaan 8 maka akan didapatkan
hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan sudut curah tepung jagung
dalam persamaan sebagai berikut:
Sr = -0.072t + 43.71 (10)
dimana Sr adalah sudut curah tepung jagung dalam derajat dan t adalah waktu
fermentasi grits jagung dalam jam.

55
sudut curah (o )

50

45

Sr = -102.7Dl + 94.3
40 R 2 = 0.7286

35
0.30 0.40 0.50 0.60
loose density (g/ml)

Gambar 18 Pengaruh loose density terhadap sudut curah tepung jagung.

4.2.5 Derajat putih tepung jagung


Fermentasi meningkatkan derajat putih tepung jagung seperti terlihat pada
Tabel 12 dan Gambar 19. Fermentasi grits jagung selama 48 jam meningkatkan
derajat putih tepung jagung (70.5 %) dibandingkan tepung jagung yang dibuat
tanpa fermentasi (62.8 %). Fermentasi lanjutan sampai 72 jam cenderung tidak
mengubah derajat putih tepung jagung yang dihasilkan (Tabel 12).
57

Semakin tinggi kadar protein dan gula reduksi, derajat putih tepung
semakin rendah. Hal ini disebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis antara
protein dan gula reduksi yang mengakibatkan warna coklat sehingga menurunkan
derajat putih tepung jagung.
Tabel 12 Derajat putih tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi Derajat putih (%)
0 62.8a±0.5
12 64.0a±1.8
24 66.7b±0.9
36 68.1b±2.1
48 70.5c±0.9
60 71.1c±0.6
72 71.5c±1.0
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

(a) (b) (c)


Gambar 19 Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama (a) 0
jam, (b) 36 jam, (c) 60 jam.

Semakin rendah pH, kemungkinan terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis


semakin rendah sehingga derajat putih tepung yang dihasilkan semakin tinggi.
Reaksi pencoklatan non enzimatis ini mengakibatkan adanya korelasi antara
derajat putih tepung jagung dengan kadar gula reduksi (r = -0.696, p ≤ 0.01),
kadar protein (r = -0.875, p ≤ 0.01) dan pH (r = -0.729, p ≤ 0.01). Kadar protein
mempunyai korelasi yang lebih kuat dengan derajat putih tepung jagung, dan
58

hubungannya dapat digambarkan sebagai grafik linier seperti yang terlihat pada
Gambar 20.
Apabila hubungan antara kadar protein dengan derajat putih tepung jagung
digambarkan sebagai grafik linier akan menghasilkan persamaan:
W = -5.367Pr +115.9 (R2 = 0.7658) (11)
Apabila dilakukan substitusi persamaan 11 dengan persamaan 1 akan didapatkan
hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan derajat putih tepung
jagung dalam persamaan:
W = 0.16t + 63 (12)
dengan W adalah derajat putih tepung jagung sedangkan t adalah waktu
fermentasi grits jagung.

75
derajat putih (%)

70

65
W = -5.367Pr + 115.9
R2 = 0.7658

60
7.0 8.0 9.0 10.0 11.0
kadar protein (%bk)

Gambar 20 Pengaruh kadar protein terhadap derajat putih tepung jagung.

Semakin tinggi kadar lemak tepung jagung, semakin rendah derajat putih
tepung karena lemak yang berwarna kuning menurunkan derajat putih tepung
jagung. Derajat putih tepung jagung berkorelasi dengan kadar lemak (r = -0.706,
p ≤ 0.01).
Keberadaan beberapa jenis mineral, terutama zat besi akan menurunkan
derajat putih pada tepung jagung sehingga semakin tinggi jumlah mineral atau
semakin besar kadar abu maka semakin rendah derajat putih tepung jagung. Hal
ini mengakibatkan korelasi antara derajat putih tepung jagung dengan kadar abu
(r = -0.827, p ≤ 0.01).
59

Tepung jagung dengan densitas kamba tinggi mempunyai derajat putih


yang lebih rendah. Hal ini disebabkan semakin tinggi densitas kamba, semakin
kecil luas permukaan bahan dan dengan adanya pemantulan cahaya akan
terbentuk bayangan yang kelihatan lebih gelap. Semakin rendah densitas kamba
berarti luas permukaan bahan semakin tinggi sehingga akan terbentuk bayangan
yang lebih terang. Hal ini terlihat dengan adanya korelasi antara derajat putih
tepung jagung dengan loose density (r = -0.855, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
-0.925, p ≤ 0.01). Hubungan antara packed density dan derajat putih tepung
jagung dapat digambarkan sebagai grafik linier seperti terlihat pada Gambar 21
dengan persamaan:
W = -140.83Dp + 163.6 (R2 = 0.8545) (13).
Apabila persamaan 13 disubstitusi dengan persamaan 7 maka akan didapatkan
hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan derajat putih tepung
jagung dalam persamaan:
W = -0.13t + 63.3 (14)
dengan W adalah derajat putih tepung jagung sedangkan t adalah waktu
fermentasi grits jagung.

75

70
derajat putih (%)

65

60
W = -140.8Dp+ 163.6
R 2 = 0.8545
55

50
0.60 0.65 0.70 0.75

packed density (g/ml)

Gambar 21 Pengaruh packed density terhadap derajat putih tepung jagung.

Persamaan 12 dan 14 dapat digunakan untuk memprediksi derajat putih


tepung jagung, dan kedua persamaan tersebut mempunyai slope dan intersept
hampir sama yaitu W = 0.16t + 63 (12) dan W = 0.13t + 63.3 (14). Persamaan
60

14 diturunkan dari persamaan 13 yang memiliki slope lebih besar sehingga dipilih
sebagai model prediktif untuk dibuktikan pada tahap validasi.

4.2.6 Kapasitas penyerapan air


Kapasitas penyerapan air memberikan gambaran jumlah air yang tersedia
untuk gelatinisasi (Elkhalifa et al. 2005). Fermentasi grits jagung selama 12 jam
meningkatkan kapasitas penyerapan air tepung jagung (104.8 %), dibanding
tepung non fermentasi (101.8 %), sedangkan fermentasi lanjutan sampai 72 jam
cenderung tidak mengubah kapasitas penyerapan air (106.4 %) seperti terlihat
pada Tabel 13. Salah satu produk pangan yang perlu kapasitas penyerapan air
yang lebih tinggi adalah bassang, salah satu makanan pokok khas dari Sulawesi
Selatan dengan bentuk seperti bubur. Dalam proses pembuatan bassang juga
melalui proses perendaman selama 8 – 13 jam dan dilanjutkan dengan pemasakan
selama 4 – 9 jam.

Tabel 13 Kapasitas penyerapan air tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi
waktu fermentasi grits jagung

Waktu fermentasi jagung Kapasitas penyerapan air (%)


0 101.76a±0.65
12 104.82b±0.1
24 105.32b±0.85
36 106.66b±1.01
48 105.96b±1.74
60 105.95b±0.9
72 106.41b±0.83
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Amilosa merupakan rantai lurus yang mempunyai kemampuan menyerap


air lebih rendah dibanding amilopektin yang merupakan rantai bercabang. Hal ini
mengakibatkan semakin tinggi kadar amilosa, semakin rendah kapasitas
penyerapan air pada tepung jagung, demikian juga semakin besar rasio
61

amilosa:amilopektin pada tepung jagung akan menghasilkan kapasitas penyerapan


air yang semakin kecil.
Semakin tinggi kadar protein dan kadar abu, semakin rendah kapasitas
penyerapan air pada tepung jagung. Muatan yang berlawanan pada protein dan
mineral mempengaruhi kecepatan penyerapan air granula pati sehingga protein
dan mineral berkompetisi dengan pati dalam menyerap air. Hal ini
mengakibatkan adanya korelasi negatif antara kapasitas penyerapan air dengan
kadar protein (r = -0.521, p ≤ 0.05) dan kadar abu (r = -0.59, p ≤ 0.01). Menurut
Barbut (1999) faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi sifat mengikat air pada
tepung dengan kadar protein relatif tinggi adalah komposisi asam amino, bentuk
protein, hidrofobisitas/hidrofilik permukaan.
Semakin besar densitas kamba, semakin rendah kemampuan menyerap
air. Hal ini disebabkan tepung jagung dengan densitas kamba besar berarti
mempunyai massa yang besar dan luas permukaan kecil sehingga kemampuan
tepung jagung dalam menyerap air lebih rendah dibandingkan tepung jagung yang
mempunyai densitas kamba kecil. Hal ini dapat dilihat dari adanya korelasi antara
kapasitas penyerapan air tepung jagung dengan loose density (r = -0.462, p ≤
0.05) dan dan packed density (r = -0.54, p ≤ 0.05).

4.2.7 Kapasitas penyerapan minyak


Fermentasi grits jagung sampai 36 jam akan menurunkan kapasitas
penyerapan minyak (60.6 %) dibandingkan tepung non fermentasi, sedangkan
fermentasi lanjutan sampai 72 jam tidak menurunkan secara nyata kapasitas
penyerapan minyak (55.9 %) seperti terlihat pada Tabel 14. Kapasitas
penyerapan minyak yang semakin rendah diperlukan pada produk-produk yang
diproses dengan penggorengan sehingga tidak menyerap minyak dalam jumlah
yang besar. Dengan demikian apabila diinginkan produk hasil gorengan yang
tidak banyak menyerap minyak dapat digunakan tepung yang dihasilkan dengan
proses fermentasi.

Tabel 14 Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan dengan


variasi waktu fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi grits jagung (jam) Kapasitas penyerapan minyak (% bk)
62

0 71.5c±3.9
12 64.8bc±4.7
24 64.9bc±4.9
36 60.6ab±6.6
48 61.3ab±2.3
60 61.4ab±2.8
72 55.9a±4.1
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Kapasitas penyerapan minyak pada tepung jagung terutama berkaitan


dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau protein,
semakin besar kapasitas penyerapan minyak. Hal ini berhubungan dengan
mekanisme kapasitas penyerapan minyak yang disebabkan pemerangkapan
minyak secara fisik dengan gaya kapiler dan peran hidrofobisitas protein
(Voutsinas dan Nakai, 1983). Sirivongpaisal (2006) menyatakan bahwa kapasitas
penyerapan minyak pada tepung bambara groundnut lebih besar daripada pati
bambara groundnut karena kadar protein dan lemak yang lebih tinggi pada
tepung, yang dapat memerangkap lebih banyak minyak. Hal ini mengakibatkan
adanya korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan kadar lemak (r =
0.445, p ≤ 0.05) dan kadar protein (r = 0.68, p ≤ 0.01).

4.2.8 Suhu gelatinisasi


Suhu gelatinisasi menunjukkan suhu awal meningkatnya viskositas pati
saat dipanaskan atau awal terjadinya gelatinisasi. Tabel 15 menunjukkan bahwa
fermentasi grits jagung selama 24 jam menurunkan suhu gelatinisasi tepung
jagung yang dihasilkan. Fermentasi grits jagung selama 24 sampai 48 jam
menghasilkan tepung jagung dengan suhu gelatinisasi tetap, sedangkan fermentasi
grits jagung selama 48 sampai 72 jam menghasilkan tepung jagung dengan suhu
gelatinisasi meningkat. Fermentasi selama 48 jam mengubah suhu gelatinisasi
tepung jagung menjadi 76.7oC. Suhu gelatinisasi ini lebih tinggi daripada suhu
gelatinisasi ogi yang difermentasi selama 48 jam menurunkan suhu gelatinisasi
menjadi 71.6oC (Nago et al. 1998). Semakin rendah suhu gelatinisasi, semakin
63

cepat terjadinya gelatinisasi, dan untuk produk pangan yang memerlukan syarat
ini dapat dicapai dengan fermentasi selama 24 jam.
Keberadaan gula pada pemanasan pati akan menghambat gelatinisasi
karena terhambatnya pembengkakan granula pati oleh gula reduksi yang bersifat
hidrofilik, sehingga semakin banyak jumlah pati dibanding gula akan semakin
cepat terjadinya gelatinisasi yang akan menurunkan suhu gelatinisasi. Pada
aplikasi pembuatan produk pangan, untuk menghindari suhu gelatinisasi yang
terlalu tinggi karena adanya gula, maka penambahan gula dilakukan setelah
terjadinya gelatinisasi. Pengaruh gula terhadap gelatinisasi tergantung jenis gula,
sukrosa mempunyai suhu gelatinisasi tertinggi, dimana peningkatannya
tergantung konsentrasi sukrosa. Gula lain yaitu fruktosa, glukosa, maltosa
mempengaruhi gelatinisasi dengan pola yang sama. Lebih tinggi konsentrasi
substansi mengandung hidroksil yang larut air, lebih besar penghambatan
pengembangan granula (Christianson 1982). Hal ini mengakibatkan adanya
korelasi antara suhu gelatinisasi dengan rasio pati dibanding gula reduksi (r = -
0.463, p ≤ 0.05).

Tabel 15 Suhu gelatinisasi adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi jagung (jam) Suhu gelatinisasi (oC)*
0 82bc±1.5
12 80.8b±2.5
24 76.2a±0.8
36 76.3a±0.9
48 76.7a±1.2
60 82.1bc±2.8
72 85.2c±1.8
Keterangan: * suhu awal gelatinisasi
** merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
*** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%.

Proses fermentasi grits jagung selama 24 jam menurunkan suhu


gelatinisasi tepung jagung yang dihasilkan menjadi 76.2oC dibandingkan tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (82oC). Penurunan suhu gelatinisasi
64

merupakan akibat dari melemahnya struktur granula dan disintegrasi selama


proses perendaman. Gelatinisasi diawali pada bagian yang amorf karena ikatan
hidrogen lebih lemah pada bagian tersebut. Pada perendaman jagung, granula pati
mengalami pengembangan, dan semakin lama perendaman bagian yang amorf
dapat mengalami leaching. Adanya leaching pada sebagian granula yang bersifat
amorf mengakibatkan partikel tepung jagung yang dihasilkan mudah
tergelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi menurun. Fermentasi lanjutan dari 24
jam sampai 48 jam suhu gelatinisasi relatif tetap (76.7oC) dan fermentasi lanjutan
sampai 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi (85.2oC) (Gambar 22).
Meningkatnya suhu gelatinisasi karena pembentukan kompleks inklusi heliks
antara lemak dengan amilosa. Menurut Eliasson dan Gudmunsson (1996) pada
saat amilosa keluar dari granula selama proses gelatinisasi, lemak membentuk
kompleks dengan amilosa tersebut, kemungkinan di permukaan granula dan
menghambat pengembangan sehingga suhu gelatinisasi meningkat. Hubungan
antara suhu gelatinisasi adonan jagung dengan waktu fermentasi grits jagung
dapat dinyatakan dengan model prediktif yang bersifat kuadratik:
Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8 (R2 = 0.7504) (15)
dengan Tg adalah suhu gelatinisasi adonan jagung dalam oC, t adalah waktu
fermentasi grits jagung dalam jam, sedangkan R2 adalah koefisien determinasi.

90
Tg = 0.006t2 - 0.39t+ 82.8
suhu gelatinisasi (o C)

R2 = 0.7504
85

80

75

70
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 22 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap suhu gelatinisasi
adonan jagung
65

4.2.9 Viskositas puncak


Viskositas puncak merupakan titik puncak viskositas adonan pada proses
pemanasan yang merupakan indikator kemudahan jika dimasak dan juga
menunjukkan kekuatan adonan, yang terbentuk dari gelatinisasi selama
pengolahan dalam aplikasi makanan. Pada saat suspensi pati dipanaskan, granula
yang mulai mengembang sejak mencapai suhu gelatinisasi akan terus
mengembang. Selama gelatinisasi, amilosa mengalami leaching dari granula pati
dan bersama dengan amilopektin menjadi sangat terhidrasi. Akibatnya suspensi
menjadi lebih jernih dan viskositasnya meningkat terus sampai mencapai puncak,
dimana granula mengalami hidrasi maksimum.
Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas
puncak 493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam relatif tidak mengubah
viskositas puncaknya (560 BU). Selanjutnya, tepung jagung yang dihasilkan
melalui proses fermentasi selama 48 jam menunjukkan viskositas puncak
meningkat (648 BU), dan bertahan sampai dengan perendaman grits jagung
selama 60 jam (573 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72 jam
menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550 BU),
hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi (Tabel
16). Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Onyango et al. (2003) bahwa pada
fermentasi sereal menjadi ogi akan terjadi penurunan viskositas, juga Dufour et al.
(2006) yang menyatakan bahwa pada adonan ubi kayu yang difermentasi, terjadi
penurunan viskositas maksimum.

Tabel 16 Viskositas puncak adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi jagung (jam) Viskositas puncak (BU)
0 493,3a±27,5
12 513,3ab±41,6
24 510ab±17,3
36 560abc±26,5
48 648,3c±53,5
60 573,3bc±35,1
72
550ab±36,1
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
66

** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda


nyata pada taraf 5%

Semakin tinggi kadar protein tepung jagung, semakin rendah viskositas


adonan jagung. Hal ini berhubungan dengan sifat protein yang hidrofilik akan
bersaing dengan pati untuk mendapatkan air. Kurangnya air yang dapat diserap
oleh pati karena dihambat oleh protein menghambat proses gelatinisasi dan
menurunkan viskositas puncak adonan. Hal ini mengakibatkan adanya interaksi
antara viskositas puncak dengan kadar protein (r = -0.725, p ≤ 0.01) dan rasio
pati:protein (r = 0.731, p ≤ 0.01).
Pengaturan pH menjadi asam mengakibatkan protein menjadi lebih
bermuatan positif dan karbohidrat terdehidrasi menghasilkan gugus karboksil
yang lebih bermuatan negatif. Pada kondisi tersebut terjadi ikatan elektrostatik
antara pati dan protein. Pada pH basa, baik protein dan pati mempunyai muatan
negatif dan sedikit interaksi yang terjadi antar komponen tersebut. Hal ini
mengakibatkan adanya korelasi antara viskositas puncak dengan pH tepung (r = -
0.639, p ≤ 0.01). Semakin tinggi pH, semakin rendah viskositas puncak tepung
jagung. Hal ini senada dengan penelitian Mestres et al. (1996) bahwa viskositas
adonan jagung maksimum turun secara terus menerus dari pH 4 sampai 10.
Semakin tinggi kadar gula reduksi tepung jagung, semakin rendah
viskositas puncak adonan jagung. Gula bersifat hidrofilik yang akan bersaing
dengan pati untuk mendapatkan air. Hal ini mengakibatkan terhambatnya
gelatinisasi dan menurunkan viskositas puncak adonan. Viskositas puncak
adonan jagung berkorelasi dengan kadar gula reduksi (r = -0.543, p ≤ 0.05) dan
rasio pati:gula reduksi (r = 0.543, p ≤ 0.05).
Viskositas puncak tepung sorghum menurun dengan meningkatnya
konsentrasi garam yang diakibatkan peran gaya ionik (Zhang dan Hamaker 2005).
Hruskova et al. (2003) juga menyatakan bahwa viskositas maksimum paling
tinggi terdapat pada sampel tepung dengan kadar abu paling rendah. Hal ini
mengakibatkan semakin tinggi kadar mineral, semakin rendah viskositas puncak
(r = -0.497, p ≤ 0.05).
67

4.2.10 Sifat adonan selama pemanasan


Sifat-sifat adonan selama proses pemanasan dapat dilihat dari nilai
viskositas panas, viskositas panas 15 menit dan breakdown viscosity. Viskositas
panas merupakan indeks kemudahan pemasakan dan merefleksikan kelemahan
granula dalam mengembang. Breakdown viscosity merupakan nilai penurunan
viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah
ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95°C selama 15 menit. Breakdown
viscosity menunjukkan stabilitas adonan selama proses pemasakan. Sifat pasta
yang stabil sangat dikehendaki, slah satunya pada pembuatan mie, khususnya
untuk menjaga keutuhan mie ketika melalui proses pengukusan (steaming).
Proses fermentasi grits jagung selama 24 jam menghasilkan tepung jagung
dengan viskositas panas 495 BU, tidak berbeda nyata dengan viskositas panas
tepung jagung tanpa fermentasi (502 BU). Selanjutnya fermentasi sampai 48 jam
meningkatkan viskositas panas (643 BU), sedangkan proses fermentasi setelah itu
akan menurunkan lagi viskositas panas (543 BU) seperti dapat dilihat pada Tabel
17 dan Gambar 23. Peningkatan viskositas panas selama fermentasi sesuai
penelitian Subagio (2006) bahwa tepung ubi kayu yang dihasilkan melalui proses
fermentasi meningkat viskositas panasnya. Menurut Henshaw et al. (1996), pola
viskositas adonan panas beberapa jenis legume ditentukan oleh dua faktor yaitu
derajat pengembangan granula pati dan resistensi granula yang mengembang
terhadap kelarutan oleh panas atau fragmentasi dengan shear.

Tabel 17 Sifat-sifat adonan jagung selama pemanasan yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi grits Viskositas panas (BU) Viskositas panas 15 Breakdown viscosity
jagung (jam) menit (BU) (BU)

0 502ab±16 425 a±9 68c±18


12 453a±20 513bc±42 0b±0
24 495ab±44 468ab±50 15b±3
36 560c±27 525bcd±50 27b±3
48 643d±33 583de±29 35bc±5
60 573c±35 547cde ± 33 27b±18
72 543bc±25 610e ± 10 -60a±6
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan
tidak beda nyata pada taraf 5%
68

VP
Vpa15

Gambar 23 Amilografi tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi
grits jagung
Keterangan: ____ non fermentasi, ____ fermentasi 12 jam,
____ fermentasi 24 jam, ____ fermentasi 36 jam
____ fermentasi 48 jam, ____ fermentasi 60 jam
____ fermentasi 72 jam

Stabilitas pemanasan dapat dilihat dari nilai breakdown viscosity, dimana


breakdown viscosity 0 BU atau mendekati 0 BU menunjukkan stabilitas pemanasan yang
baik. Proses fermentasi jagung selama 12 jam menghasilkan tepung jagung dengan
breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan lebih tinggi daripada tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 12
sampai 60 jam menghasilkan tepung jagung dengan stabilitas pemanasan relatif tetap, dan
setelah 72 jam stabilitas pemanasan menurun (-60 BU) seperti terlihat pada Tabel 17.
Menurut Oluwamukomi et al. (2005), keberadaan dan interaksi protein dengan
pati menurunkan viskositas, senada dengan pernyataan Hamaker dan Griffin (1993)
bahwa pati deproteinasi mempunyai viskositas lebih tinggi karena pengembangan lebih
besar yang disebabkan protein mempunyai pengaruh menghambat pengembangan pati
dan pengerasan selama pemanasan. Penghilangan protein dari larutan pati menyebabkan
pati mempunyai viskositas lebih besar karena granula tanpa protein lebih mudah pecah
dan jumlah air yang masuk ke granula lebih banyak mengakibatkan peningkatan
pengembangan granula sehingga semakin kecil kadar protein, semakin besar
pengembangan granula yang meningkatkan viskositas panas dan viskositas panas 15
menit. Hal ini mengakibatkan adanya interaksi antara kadar protein tepung jagung
dengan viskositas panas (r = -0.659, p ≤ 0.01) dan viskositas panas 15 menit (r = -0.827,
p ≤ 0.01).
69

Semakin besar kadar protein tepung jagung, semakin rendah Vpa15 (Gambar 24).
Korelasi antara kadar protein tepung jagung dengan viskositas panas 15 menit adonan
jagung dapat dinyatakan sebagai persamaan linier:
Vpa15 = 96.601Pr + 1394.8 (R2 = 0.7635) (16)
dengan Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung putih dalam BU, Pr adalah
kadar protein tepung jagung dalam jam sedangkan R2 adalah koefisien determinasi.
Apabila dilakukan substitusi persamaan 16 dengan persamaan 1 maka akan didapatkan
persamaan linier antara waktu fermentasi grits jagung dengan viskositas panas 15 menit :
Vpa15 = 2.78t + 443.1 (17)
dengan Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung putih dalam BU dan t
adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam.

800

600
Vpa 15 (BU)

400
Vpa15 = -96.601Pr + 1394.8
R 2 = 0.7635
200

0
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5
kadar protein (% bk)

Gambar 24 Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap viskositas panas 15 menit.

Semakin tinggi kadar lemak, semakin rendah stabilitas adonan selama pemanasan
sehingga menurunkan viskositas panas 15 menit yang berarti semakin lemah
pengembangan granula pati. Helstad (2006) menyatakan bahwa pada pati serealia,
biasanya lipid menghambat hidrasi granula dan pengembangan terutama akibat jumlah
amilopektin tinggi. Menurut Singh et al. (2006) pembentukan kompleks amilosa-lipid
akan menghambat pengembangan granula pati. Pada saat gelatinisasi, amilosa keluar
dari granula pati dan membentuk kompleks inklusi amilosa-lemak. Pembentukan
kompleks ini mengurangi kecenderungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan
teretrogradasi sehingga menghambat kecepatan pengerasan selama pemanasan. Hal ini
70

mengakibatkan adanya korelasi antara kadar lemak tepung jagung dengan viskositas
panas 15 menit (r = -0.642, p ≤ 0.01).
Menurut Fredriksson et al. (1998) sifat pati selama gelatinisasi dipengaruhi rasio
amilosa:amilopektin. Amilopektin berperan terhadap pengembangan dan sifat adonan
pati, sedangkan amilosa menghambat pengembangan. Granula pati dengan kadar
amilopektin tinggi menghasilkan granula yang lebih mengembang dan viskositas tinggi
sementara rantai linier amilosa keluar dari granula dan membuat fase kontinyu di luar
granula bersama lipid sehingga menghambat pengembangan dan menghasilkan viskositas
adonan yang rendah.
Semakin besar kapasitas penyerapan air pada suatu bahan, semakin kuat
mengikat air dan hal ini juga mengakibatkan adonan lebih stabil selama pemanasan.
Kapasitas penyerapan air berkorelasi dengan viskositas panas 15 menit (r = 0.684, p ≤
0.01). Hal ini sesuai dengan penelitian Henshaw et al. (1996) bahwa perbedaan
viskositas merupakan variasi penyerapan air.
Pada pH rendah, ikatan hidrogen dalam granula pati akan terpecah lebih cepat
sehingga meningkatkan kecepatan pengembangan granula. Semakin tinggi pH tepung
jagung, semakin rendah indeks kemudahan pemasakan dan semakin lemah
pengembangan granula pati. Hal ini didukung dengan adanya korelasi antara pH dengan
viskositas panas (r = -0.679, p ≤ 0.01) dan viskositas panas 15 menit (r = -0.584, p ≤
0.01).
Mineral yang berada dalam adonan pati selama pemanasan mudah mengalami
leaching. Semakin banyak mineral yang berada dalam bahan, semakin tinggi
kemungkinan bahan tersebut mengalami leaching sehingga kestabilan adonan selama
pemanasan menurun. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya viskositas selama pemanasan
yang didukung dengan adanya korelasi antara kadar abu dengan viskositas panas 15
menit (r = -0.676, p ≤ 0.01).
Stabilitas selama pemanasan berkorelasi dengan densitas tepung. Hal ini
berhubungan juga dengan pengaruh hidrofobisitas protein jagung terhadap densitas
protein. Protein jagung sebagian besar terdiri dari asam amino hidrofobik yang
diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga meminimalkan rasio area
permukaan dibanding volume (Damodaran 1996). Rasio area permukaan:volume yang
kecil pada protein jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas besar
sehingga pengembangan granula, peningkatan viskositas dan stabilitas adonan menjadi
rendah. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi viskositas panas 15 menit adonan jagung
dengan loose density (r =  0.717, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.849, p ≤ 0.01).
71

Semakin besar packed density tepung jagung, semakin kecil viskositas panas 15
menit adonan jagung (Gambar 25). Korelasi antara packed density dengan viskositas
panas 15 menit dapat digambarkan sebagai grafik linier dengan persamaan:
Vpa15 = -2409.2Dp + 2167.9 (R2 = 0.7696) (18)
Apabila persamaan 18 disubstitusi dengan persamaan 7 maka akan didapatkan
persamaan hubungan antara viskositas panas 15 menit dengan waktu fermentasi grits
jagung sebagai berikut:
Vpa15 = 2.17t + 452.3 (19)
dimana Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung dalam BU dan t adalah
waktu fermentasi grits jagung dalam jam.

800

600
Vpa 15 (BU)

400
Vpa15 = -2409.2Dp + 2167.9
200 R2 = 0.7696

0
0.64 0.66 0.68 0.70 0.72 0.74

packed density (g/ml)

Gambar 25 Pengaruh packed density tepung terhadap viskositas panas 15 menit.

Persamaan 17 dan 19 menggambarkan hubungan antara waktu fermentasi grits


jagung dengan viskositas panas 15 menit. Persamaan 19 merupakan hasil substitusi
persamaan 18 yang mempunyai koefisien determinasi sedikit lebih besar dibandingkan
persamaan 17. Persamaan 19 dipilih sebagai model prediktif viskositas panas selama 15
menit pada suhu 95oC dan akan dibuktikan ketepatannya pada tahap validasi.

4.2.11 Retrogradasi adonan


Kecenderungan retrogradasi dapat dilihat dari viskositas dingin, setback viscosity
atau rasio viskositas dingin dibandingkan dengan viskositas panas setelah dipertahankan
72

Vd
Vpao
selama 15 menit pada suhu 95 C ( 15 ). Selama pendinginan, berkumpulnya kembali
antar molekul pati terutama amilosa akan menghasilkan pembentukan struktur gel dan
viskositas akan meningkat ke viskositas akhir. Peningkatan viskositas saat pendinginan
menentukan kecenderungan berkumpul kembali pati yang merefleksikan kecenderungan
produk untuk teretrogradasi (Hagenimana et al. 2006). Namun apabila kecenderungan
untuk berkumpul kembali tersebut lemah, ikatan hidrogen akan terbentuk secara lambat,
molekul air akan sempat keluar dan yang terbentuk bukan gel akan tetapi endapamm.
Peristiwa keluarnya air dari perangkap hidrogen pasta ini disebut sineresis.
Fermentasi jagung selama 36 jam meningkatkan viskositas dingin tepung jagung
dari 1260 BU pada tepung yang dibuat tanpa fermentasi menjadi 1430 BU pada tepung
yang dibuat dengan fermentasi selama 36 jam. Selanjutnya fermentasi sampai 48 jam
menurunkan viskositas dingin (1045 BU) dan fermentasi lanjutan sampai 72 jam
meningkatkan lagi viskositas dinginnya menjadi 1308 BU seperi terlihat pada Tabel 18.
Peningkatan viskositas pada saat pendinginan sesuai dengan penelitian Subagio (2006)
yang menyatakan bahwa tepung ubi kayu yang dibuat melalui proses fermentasi akan
meningkat viskositas dinginnya.
Vd
Lebih tinggi Vpa15 , lebih besar retrogradasi yang terjadi. Menurut Sowbhagya
Vd
dan Bhattacharya (2001), Vpa15 lebih menggambarkan retrogradasi selama pendinginan
dibandingkan parameter lain seperti viskositas dingin atau setback viscosity. Tepung
Vd
jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai Vpa15 2.97 dan perendaman sampai 48
Vd
jam akan menurunkan Vpa15 (1.87). Fermentasi lanjutan sampai 72 jam cenderung tidak
Vd
mengubah Vpa15 (2.14).
Tabel 18 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kecenderungan retrogradasi
adonan tepung jagung
Waktu fermentasi Viskositas dingin Setback viscosity Vd
grits jagung (jam) (BU) (BU) Vpa15

0 1260bcd±66 767cd±39 2.97d±0.17


12 1223bc±31 710bc±40 2.39bc±0.17
24 1323de±47 813cd±31 2.68cd±0.06
36 1403e±49 843d±68 2.64cd±0.26
48 1045a±18 427a±70 1.87a±0.18
60 1203b±64 630b±97 2.21b±0.24
73

72 1308cd±54 758cd±20 2.14ab±0.06


Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan
tidak beda nyata pada taraf 5%

Lebih tinggi kadar protein, lebih tinggi kecenderungan terjadinya retrogradasi.


Peningkatan retrogradasi kemungkinan karena peningkatan ikatan hidrogen selama
pendinginan yang disebabkan perlakuan hidrothermal dan interaksi antara polisakarida
dan protein (Oluwamukomi et al. 2005). Hal ini meningkatkan pertumbuhan daerah
micellar gel dan meningkatkan indeks retrogradasi matriks sehingga lebih banyak air
Vd
yang terperangkap. Korelasi antara kadar protein dengan Vpa15 dapat digambarkan
sebagai grafik linier seperti terlihat pada Gambar 26. Peningkatan ikatan hidrogen
mempengaruhi pH, sehingga pH juga berkorelasi dengan retrogradasi. Semakin rendah
pH tepung jagung, kecenderungan terjadinya retrogradasi semakin tinggi.

3
Rv

2
Rv = 0.553Pr - 2.542
R 2 = 0.6638

1
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5

kadar protein (% bk)

Vd
Vpa
Gambar 26 Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap Rv ( 15 )
Vd
Semakin tinggi kadar protein, semakin besar Vpa15 . Hubungan antara kadar

Vd
protein dengan Vpa15 dapat digambarkan sebagai grafik linier dengan persamaan:
Rv = 0.553Pr– 2.542 (R2 = 0.6638) (20)
Apabila persamaan 20 disubstitusi dengan persamaan 1 maka akan didapatkan persamaan
:
Rv = -0.02t + 2.9 (21)
74

Vd
dengan Rv adalah Vpa15 dan t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam). Persamaan Rv
Vd
= -0.02t + 2.9 selanjutnya digunakan sebagai model prediktif Vpa15 yang masih harus
dibuktikan ketepatannya pada tahap validasi.
Semakin besar loose dan packed density, semakin besar kecenderungan
Vd
terjadinya retrogradasi. Mekanisme pengaruh densitas kamba terhadap Vpa15 hampir
sama dengan mekanisme pengaruh densitas kamba terhadap adonan jagung selama
pemanasan. Pengaruh densitas kamba terhadap retrogradasi dapat dilihat dengan adanya
Vd
korelasi antara Vpa15 dengan loose density (r = 0.67, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
0.802, p ≤ 0.01).
Kemudahan adonan saat dimasak juga mempengaruhi tingkat retrogradasi tepung
jagung. Semakin mudah pemasakan dan semakin stabil selama pemanasan, maka
semakin rendah kecenderungan produk teretrogradasi.

4.2.12 Sifat gel


Kekuatan gel menunjukkan besarnya beban yang diberikan pada saat gel mulai
pecah. Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi selama 48 jam
mempunyai kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung
yang dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce). Hal ini disebabkan menurunnya beberapa
komponen kimia seperti serat kasar, protein, gula reduksi, abu dan pH yang berkorelasi
dengan kekuatan gel. Kekuatan gel ini akan mengalami sedikit penurunan (14.48 gforce)
jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam seperti dapat dilihat pada Tabel 19. Hal ini
disebabkan meningkatnya kadar gula reduksi serta pH tepung jagung; sedangkan kadar
serat kasar, kadar protein dan kadar abu menurun.

Tabel 19 Sifat gel adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits
jagung
Waktu fermentasi grits Kekuatan gel (g force) Kelengketan gel
jagung (jam)
0 5.95a±0.6 -4.48c±0.38
b
12 9.11 ±0.88 -4.18c±0.5
24 13.9cd±0.24 -5.28c±0.78
d
36 15.39 ±1.04 -5.02c±0.76
e
48 19.47 ±1.15 -4.7c±0.78
d
60 14.48 ±0.93 -7.02b±0.63
c
72 12.86 ±0.85 -8.33a±0.99
75

Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada
taraf 5%

Semakin tinggi pH tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung
seperti terlihat pada Gambar 27. Pada pH rendah, pati lebih cepat tergelatinisasi dan akan
menghasilkan gel yang semakin kuat. Pada pH rendah yang sangat ekstrim menyebabkan
hidrolisis pati, dimana bagian amorf granula pati akan dipecah terlebih dahulu sedangkan
bagian kristalin dihidrolisis pada kecepatan lebih rendah. Pada penelitian ini tepung
jagung yang digunakan mempunyai range pH 4,4 sampai 5.7 sehingga belum terjadi
hidrolisis pati. Hal ini mengakibatkan gel yang dihasilkan makin kuat dengan
menurunnya pH (r = -0.867, p ≤ 0.01). Gel paling lemah terbentuk pada pH asam yang
ekstrem (pH 1-2) dan sangat basa (pH>10), sedangkan pada pH 12 tidak terbentuk gel
(Kilara 2006).
Semakin tinggi pH tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel. Hubungan
antara pH tepung jagung dengan kekuatan gel dapat dinyatakan sebagai persamaan:
Gs = -8.19Ph + 53.8 (R2 = 0.7516) (22)
2
dengan Gs adalah kekuatan gel dalam g force, Ph adalah pH tepung jagung dan R adalah
koefisien determinasi.
Apabila persamaan 22 disubstitusi dengan persamaan 2 maka akan didapatkan
persamaan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan kekuatan gel adonan
jagung sebagai berikut:
Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.4 (23)
dengan Gs adalah kekuatan gel dalam g force, dan t adalah waktu fermentasi grits jagung
dalam jam.

25
kekuatan gel (force)

20

15

10

Gs = -8.19Ph + 53.8
5
R2 = 0.7516

0
4.0 4.5 5.0 5.5 6.0

pH
76

Gambar 27 Pengaruh pH tepung jagung terhadap kekuatan gel.

Semakin tinggi kadar gula reduksi tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel
yang dihasilkan seperti dapat dilihat pada Gambar 28. Gula bersifat hidrofilik sehingga
dapat menghambat pengikatan air pada pati. Kadar gula reduksi yang semakin rendah
akan menurunkan suhu gelatinisasi dan sebagai konsekuensinya meningkatkan viskositas
dan kekuatan gel yang terbentuk. Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap
kekuatan gel adonan jagung dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi yaitu r = -0.901, p ≤
0.01. .
Semakin besar kadar gula reduksi, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung
dan hubungan ini dapat dinyatakan dengan persamaan:
Gs = -6.98Gr + 25.185 (R2 = 0.8113) (24)
dengan Gs adalah kekuatan gel adonan jagung dalam g force, Gr adalah kadar gula
reduksi tepung jagung dalam % berat kering dan R2 adalah koefisien determinasi. Apabila
persamaan 24 disubstitusi dengan persamaan 3 akan didapatkan hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dengan kekuatan gel tepung jagung dengan persamaan:
Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 (25)

25
Kekuatan gel (gforce)

20

15

10

Gs = -6.98Gr + 25.2
5
R 2 = 0.8113
0
0.0 1.0 2.0 3.0
gula reduksi (%)

Gambar 28 Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap kekuatan gel.

Semakin tinggi kadar protein tepung jagung atau semakin rendah rasio pati
dibanding protein, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung yang terbentuk. Tanpa
adanya panas, mekanisme interaksi protein-pati merupakan interaksi antar muatan, yang
sangat tergantung pH dan titik isoelektrik protein. Pemanasan meningkatkan
kompleksitas reaksi antara pati dan protein. Perubahan thermal dalam protein
77

berhubungan dengan denaturasi yang dipacu dengan keberadaan air. Denaturasi protein
sereal berhubungan dengan reaksi disulfida-sulfhidril yang menghasilkan ikatan silang
protein, misalnya interaksi protein-protein. Pati menjadi kehilangan kristalinitas,
pengembangan granula dan leaching amilosa meninggalkan amilopektin. Granula pecah
dan matriks amilosa membentuk jaringan gel. Pada saat terjadi kontak protein dan pati,
terbentuk matriks pati-protein yang stabil melalui ikatan hidrogen, kovalen dan ionik.
Matrik pati-protein yang terbentuk menentukan kekuatan gel. Hal ini didukung dengan
adanya korelasi antara kekuatan gel dengan kadar protein (r = -0.832, p ≤ 0.01) dan rasio
pati dibanding protein (r = 0.74, p ≤ 0.01).
Tepung yang lebih cepat mengalami gelatinisasi atau suhu gelatinisasinya rendah,
akan menghasilkan granula yang lebih mengembang, lebih tahan terhadap pemasakan
sehingga meningkatkan kekuatan gel yang dihasilkan. Retrogradasi adonan jagung
menurunkan kekuatan gel. Hal ini dapat dilihat dari adanya korelasi antara kekuatan gel
dengan suhu gelatinisasi (r = -0.467, p ≤ 0.05), viskositas puncak (r = 0.715, p ≤ 0.01),
viskositas panas (r = 0.74, p ≤ 0.01), dan viskositas panas 15 menit (r = 0.578, p ≤ 0.01)
Vd
dan Vpa15 (r = -0.638, p ≤ 0.01).
Berdasarkan variabel yang berkorelasi didapatkan persamaan 23 dan 25 untuk
memprediksi kekuatan gel. Kedua persamaan tersebut sedikit berbeda hanya di
intersepnya, yaitu 6.4 dan 6.3. Persamaan 25 diturunkan dari persamaan 24 yang
mempunyai koefisien determinasi lebih besar sehingga persamaan ini (Gs = -0.004t2 +
0.4t + 6.3) ditetapkan sebagai model prediktif yang akan dibuktikan pada tahap
berikutnya.
Fermentasi grits jagung selama 48 jam menghasilkan tepung jagung dengan
kelengketan gel -4.7, tidak berbeda nyata dengan tepung jagung non fermentasi (-4.48),
selanjutnya fermentasi sampai 72 jam meningkatkan kelengketan gel (-8.33) seperti
terlihat pada Tabel 19. Nilai yang semakin negatif pada kelengketan gel menunjukkan
kelengketan gel yang semakin besar.
Kelengketan gel terutama berkaitan dengan kadar amilosa dan kadar lemak.
Selama pengembangan, amilosa cenderung larut dan lepas ke dalam media air, mengalami
reasosiasi di antara ikatan hidrogennya dan menghasilkan gel. Adonan menjadi keruh dan
buram saat didinginkan dan akhirnya akan mengeluarkan air membentuk konsistensi
elastis. Eliasson dan Gudmundsson (1996) menyatakan bahwa rasio amilosa/amilopektin
mempunyai pengaruh besar terhadap sifat rheologi adonan dan gel. Kompleks inklusi
amilosa-lemak yang terbentuk dipermukaan granula menghambat pengembangan dan
78

meningkatkan kelengketan gel. Kompleks inklusi lemak-amilosa ini mempengaruhi pula


viskositas dan breakdown viscosity yang mencerminkan stabilitas adonan. Hal ini juga
yang mengakibatkan viskositas panas 15 menit dan breakdown viscosity berkorelasi
dengan kelengketan gel. Ada tiga kemungkinan kompleks inklusi amilosa-lemak,
pertama kompleks utuh yang mengganggu kristalisasi amilopektin dan menghambat
retrogradasi; kedua kompleks amilosa-lemak dapat mengubah atau memperlambat
distribusi air dan retrogradasi; dan ketiga kristalisasi bersama amilosa dan amilopektin ke
tingkat yang lebih luas, dan substansi kompleks tersebut mengurangi peran amilosa pada
proses kristalisasi kembali. Sedangkan interaksi amilopektin dan lemak berarti bahwa
lemak langsung berinteraksi dengan fraksi amilopektin pada tingkat yang lebih kecil dan
menghambat retrogradasi melalui kompleks amilopektin-lemak. Semakin stabil adonan
yang terbentuk, kelengketan gel semakin berkurang.
Semakin tinggi kadar mineral dalam bahan, semakin rendah kelengketan gel.
Mineral menghambat leaching amilosa dari granula pati sehingga semakin sedikit
kemungkinan terjadinya leaching mineral, kelengketan gel lebih rendah. Hal ini dapat
dilihat dari adanya korelasi antara kelengketan gel adonan jagung dengan kadar abu
tepung jagung (r = 0.536, p ≤ 0.05).
Semakin banyak air yang terdapat di dalam bahan memungkinkan ikatan antar
partikel. Sebagai akibatnya, bahan menjadi sulit mengalir dan meningkatkan
kelengketan. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kelengketan gel dengan
kadar air (r = -0.517, p ≤ 0.05) dan sudut curah (r = -0.603, p ≤ 0.01).
Pada tahap pertama penelitian ini didapat beberapa model prediktif dalam bentuk
persamaan regresi untuk mengendalikan sifat fisik dan fungsional tepung jagung
berdasar korelasi dengan variabel yang lain. Persamaan-persamaan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 20.

Tabel 20 Model prediktif beberapa sifat fisik dan fungsional tepung jagung berdasar
waktu fermentasi grits jagung
No Persamaan Variabel terikat
1. Dp = -0.0009t + 0.712 Packed density
2. Dl = -0.0007t + 0.493 Loose density
3. Sr = -0.072t + 43.7 Sudut curah
4. W = 0.13t + 63.3 Derajat putih
5. Tg = 0.006t2 – 0.39t + 82.8 Suhu gelatinisasi
6. Vpa15 = 2.17t + 452.3 Viskositas panas 15 menit
7. Rv = -0.02t + 2.9 Vd
Vpa15
2
8. Gs = -0.004t + 0.4t + 6.3 Kekuatan gel
79

4.3 Validasi model prediktif yang dihasilkan


Berdasarkan hasil karakterisasi pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap
sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih didapatkan beberapa model prediktif
untuk mengendalikan sifat fungsional dan fisik tepung jagung (Tabel 20). Validasi
dilakukan untuk mengetahui ketepatan model tersebut sehingga nantinya dapat digunakan
untuk aplikasi lebih lanjut. Model yang divalidasi adalah beberapa model yang
menggambarkan korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat fisik dan
fungsional adonan jagung. Validasi dilakukan pada 5 titik yaitu 15, 30, 45, 57.5 dan 70
jam.

4.3.1 Packed density tepung jagung


Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisik dan kimia tepung jagung dipilih
persamaan yang menggambarkan korelasi antara waktu fermentasi grits jagung
dan packed density tepung jagung yaitu Dp = -0.0009t + 0.712 dengan Dp adalah
packed density tepung jagung 60 mesh dalam g/ml, dan t adalah waktu fermentasi
grits jagung dalam jam. Berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan pada
tahap ini didapatkan nilai packed density seperti terlihat pada Tabel 21. Tabel 21
menunjukkan bahwa prediksi packed density mendekati nilai pengukuran yang
didapatkan dengan standar deviasi kurang dari 10 %. Persamaan untuk
memprediksi packed density diperoleh dari korelasi langsung antara waktu
fermentasi grits jagung dengan packed density sehingga adanya beberapa variabel
yang berkorelasi sudah termasuk di dalamnya.

Tabel 21 Hasil pengukuran dan prediksi packed density tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran packed Prediksi packed density Standar deviasi
grits jagung (jam) density (g/ml) (g/ml) (%)
15 0.703 0.699 0.6
30 0.673 0.685 -1.8
45 0.656 0.672 -2.4
57.5 0.624 0.660 -5.8
70 0.605 0.649 -7.3
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
Persamaan Dp = -0.0009t + 0.712 dapat digunakan untuk memprediksi
packed density tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi
grits jagung. Persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk tepung jagung yang
80

dihasilkan dari grits jagung dengan waktu fermentasi 0 sampai 72 jam, dan
penggunaan di luar waktu tersebut perlu penelitian lebih lanjut.

4.3.2 Loose density tepung jagung


Persamaaan Dl = -0.0007t + 0.493 diperoleh pada tahap karakterisasi
tepung jagung untuk memprediksi loose density tepung jagung berdasar waktu
fermentasi grits jagung. Tabel 22 menunjukkan bahwa prediksi loose density
mendekati nilai pengukuran yang didapatkan dengan standar deviasi kurang dari
10 %. Persamaan untuk memprediksi loose density diperoleh dari korelasi
langsung antara waktu fermentasi grits jagung dengan loose density sehingga
adanya beberapa variabel yang berkorelasi sudah diperhitungkan di dalamnya.
Dengan demikian persamaan Dl = -0.0007t + 0.493 dapat digunakan untuk
memprediksi loose density tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam.

Tabel 22 Hasil pengukuran dan prediksi loose density tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi loose Standar
grits jagung loose density (g/ml) density (g/ml) deviasi (%)
(jam)
15 0.465 0.483 -3.8
30 0.448 0.472 -5.4
45 0.438 0.462 -5.4
57.5 0.437 0.453 -3.7
70 0.426 0.444 -4.3
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.3 Sudut curah tepung jagung


Sudut curah yang merupakan indikator daya alir bahan dapat diprediksi
berdasar waktu fermentasi jagung menggunakan persamaan Sr = -0.072t + 43.7.
Tabel 23 menunjukkan prediksi sudut curah dan hasil pengukuran sampai 30 jam
masih tepat (standar deviasi kurang dari 10 %), tetapi setelah waktu 45 jam,
perbedaan antara nilai prediksi dengan hasil pengukuran mempunyai standar
deviasi lebih dari 10 %. Persamaan Sr = -0.072t + 43.7 merupakan hasil substitusi
korelasi antara sudut curah dengan loose density. Sudut curah tepung jagung
81

tidak hanya dipengaruhi loose density, tetapi juga kadar protein, kadar serat
kasar, kadar pati dan packed density sehingga hasil pengukuran sudut curah
mempunyai standar deviasi yang tinggi dibandingkan hasil pengukuran. Dengan
demikian persamaan tersebut hanya tepat digunakan untuk memprediksi sudut
curah berdasar waktu fermentasi grits jagung selama 0 sampai 30 jam. .

Tabel 23 Hasil pengukuran dan prediksi sudut curah tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi sudut curah Standar
o o
grits jagung sudut curah ( ) () deviasi (%)
(jam)
15 43.7 42.62 2.4
30 46.0 41.54 9.7
45 46.8 40.46 13.5
57.5 47.2 39.56 16.1
70 47.0 38.66 17.7
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.4 Derajat putih tepung jagung


Berdasarkan hasil karakterisasi didapatkan persamaan untuk memprediksi
derajat putih tepung jagung putih yaitu W = 0.13t + 63.3. Hasil pengukuran dan
prediksi derajat putih tepung jagung masih berada pada kisaran nilai prediksi
dengan standar deviasi 10% seperti terllihat pada Tabel 24. Berdasarkan hasil
tersebut maka persamaan W = 0.13t + 63.3 dapat digunakan untuk memprediksi
derajat putih tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung, dengan W
adalah derajat putih tepung jagung (%) dan t adalah waktu fermentasi grits jagung
(jam).

Tabel 24 Hasil pengukuran dan prediksi derajat putih tepung jagung


82

Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi derajat Standar


grits jagung derajat putih (%) putih (%) deviasi (%)
(jam)
15 65.5 65.25 0.4
30 68.4 67.2 1.8
45 70.7 69.15 2.1
57.5 69.4 70.775 -2.0
70 71.7 72.4 -0.9
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.5 Suhu gelatinisasi


Korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dan suhu gelatinisasi dapat
dinyatakan dengan persamaan kuadratik Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8. Hasil
pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi masih berada pada kisaran nilai
prediksi dengan standar deviasi 10% seperti terllihat pada Tabel 25. Berdasarkan
hasil tersebut maka persamaan Tg = 0.006t2 - 0.3934t + 82.847 dapat digunakan
untuk memprediksi suhu gelatinisasi, dengan Tg adalah suhu gelatinisasi (oC ) dan
t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam).

Tabel 25 Hasil pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi suhu Standar
grits jagung suhu gelatinisasi (oC) gelatinisasi (oC) deviasi (%)
(jam)
15 81.0 78.3 3.3
30 75.3 76.5 -1.5
45 75.8 77.4 -2.1
57.5 77.8 80.2 -3.1
70 80.7 84.9 -5.2
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.6 Viskositas panas saat dipertahankan selama 15 menit pada suhu 95oC
(Vpa15)

Salah satu parameter untuk mengetahui stabilitas adonan selama


pemanasan dilihat berdasarkan Vpa15. Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisik,
kimia dan fungsional tepung jagung didapatkan persamaan korelasi antara waktu
fermentasi grits jagung dan viskositas panas 15 menit. Tabel 26 menunjukkan
83

bahwa viskositas panas 15 menit dapat diprediksi menggunakan persamaan Vpa15


= 2.17t + 452.3 dengan standar deviasi kurang dari 10%.

Tabel 26 Hasil pengukuran dan prediksi Vpa15


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi Vpa15 (BU) Standar
grits jagung Vpa15 (BU) deviasi (%)
(jam)
15 483 485 -0.3
30 566 517 8.6
45 533 550 -3.1
57.5 599 577 3.7
70 593 604 -2.0
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.7 Rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas saat dipertahan


selama 15 menit pada suhu 95oC ( Vd )
Vpa15

Kecenderungan bahan untuk teretrogradasi dapat dilihat berdasarkan Vd


Vpa15

yang dapat diprediksi berdasarkan waktu fermentasi jagung menggunakan

persamaan Rv = -0.02t + 2.9 dengan Rv adalah Vd dalam BU dan t adalah


Vpa15

waktu fermentasi dalam jam. Tabel 27 menunjukkan bahwa persamaan tersebut


dapat digunakan untuk memprediksikan Vd sampai waktu fermentasi 30 jam
Vpa15

karena setelah itu menghasilkan nilai Vd dengan standar deviasi antara nilai
Vpa15

yang diprediksi dan nilai pengukuran lebih dari 10 %.

Tabel 27 Hasil pengukuran dan prediksi Vd


Vpa15

Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi Vd Standar


grits jagung Vd Vpa15 deviasi (%)
(jam) Vpa15
15 2.53 2.6 -2.8
30 2.27 2.30 -1.2
45 2.37 2.0 15.7
57.5 2.11 1.75 17.1
70 2.30 1.5 34.9
84

Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa


4.3.8 Kekuatan gel
Berdasarkan hasil analisa korelasi kekuatan gel dengan variabel lain,
didapatkan korelasi antara kekuatan gel dengan waktu fermentasi grits jagung.
Korelasi itu dapat dirumuskan menjadi persamaan Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3
dimana Gs adalah kekuatan gel tepung jagung (g force), dan t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam). Tabel 28 memperlihatkan prediksi kekuatan gel
yang diperoleh dan hasil pengukuran kekuatan gel. Pada fermentasi selama 45
jam, persamaan tersebut kurang tepat diaplikasikan karena standar deviasi yang
diperoleh lebih dari 10%. Persamaan Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 dapat digunakan
untuk memprediksikan kekuatan gel dengan waktu fermentasi 0 sampai 72 jam,
kecuali pada fermentasi 45 jam, dimana hasil pengukurannya memiliki standar
deviasi lebih dari 10 % dari nilai prediksi.

Tabel 28 Hasil pengukuran dan prediksi kekuatan gel tepung jagung.


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi kekuatan Standar
grits jagung kekuatan gel (gforce) gel (gforce) deviasi (%)
(jam)
15 11.369 11.40 -0.3
30 16.224 14.70 9.4
45 20.319 16.20 20.3
57.5 17.528 16.08 8.3
70 15.321 14.70 4.1
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

Pada tahap kedua penelitian ini didapat beberapa model dalam bentuk
persamaan matematika yang telah divalidasi untuk menguji kelayakannya (Tabel
29). Model matematika ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk mengendalikan
sifat fisik dan fungsional tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung.
85

Tabel 29 Model prediktif sifat fisik dan fungsional tepung jagung yang telah
divalidasi

No Persamaan Variabel terikat waktu fermentasi


(jam)
1. Dp = -0.0009t + 0.712 Packed density 0 – 72
2. Dl = -0.0007t + 0.493 Loose density 0 – 72
3. Sr = -0.072t + 43.7 Sudut curah 0 – 30
4. W = 0.13t + 63.3 Derajat putih 0 – 72
5. Tg = 0.006t2 – 0.39t + 82.8 Suhu gelatinisasi 0 – 72
6. Vpa15 = 2.17t + 452.3 Viskositas panas 15 0 – 72
menit
7. Rv = -0.02t + 2.9 Vd 0 – 30
Vpa15
8. Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 Kekuatan gel 0 – 30; 57.5 - 70

4.4 Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel
tepung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung

Gambar 29 menunjukkan tepung jagung non fermentasi dengan ukuran


partikel yang berbeda. Gambar 29a menunjukkan tepung jagung 60 mesh sebelum
difraksinasi, sedangkan Gambar 29b, 29c, 29d dan 29e menunjukkan hasil
fraksinasi tepung jagung dari yang berukuran paling besar sampai paling kecil.
Tepung jagung 60 mesh mempunyai ukuran partikel kurang dari 250 µm.
Gambar 29b menunjukkan tepung jagung berukuran paling besar dengan ukuran
partikel >150- 250 µm. Gambar 29c menunjukkan tepung jagung berukuran
>106-150 µm. Gambar 29d menunjukkan tepung jagung berukuran partikel >75 -
106 µm. Gambar 29e menunjukkan tepung jagung dengan ukuran partikel paling
kecil dengan ukuran ≤ 75 µm. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits
jagung selama 45 jam menunjukkan ukuran partikel yang hampir sama (Lampiran
1).
86

(a)

(b) (c)

(d) (e)
Gambar 29 Partikel tepung jagung tanpa fermentasi dilihat menggunakan
scanning electron microscope (SEM) (perbesaran 50 kali) (a) 60 mesh (b) >150 -
250 µm c) >106 – 150 µm, (d) >75 – 106 µm, (e) ≤ 75 µm.

4.4.1 Komposisi kimia tepung jagung


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung jagung
berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar tepung jagung, tetapi interaksi
keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran partikel tepung,
semakin kecil kadar serat kasar serta semakin besar kadar protein dan kadar
tepung jagung (Tabel 30).
88

Serat kasar terdapat pada bagian-bagian perikarp, lembaga dan endosperm


masing-masing 86.7, 8.8 dan 2.7 % (Lubin 1992). Penggilingan akan
menghaluskan sebagian besar endosperm, yang hanya mengandung serat kasar
dalam jumlah kecil sehingga kadar serat kasar pada tepung jagung berukuran
partikel kecil lebih sedikit daripada tepung berukuran partikel besar. Perikarp
yang banyak mengandung serat kasar dibuang pada pencucian, dan sebagian yang
tersisa sulit dihaluskan sehingga tidak lolos pada ayakan yang lebih kecil,
demikian juga bagian lembaga. Hal ini mengakibatkan tepung jagung dengan
ukuran partikel lebih kecil mempunyai kadar serat kasar lebih rendah daripada
tepung dengan ukuran partikel lebih besar. Waktu fermentasi grits jagung
menurunkan kadar serat kasar tepung jagung dengan tingkat penurunan yang
hampir sama sehingga menghasilkan grafik seperti pada Gambar 30. Pada tepung
jagung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi 70 jam menurunkan kadar
serat kasar (1.67 %), dibandingkan tepung non fermentasi (2.58 %), demikian
juga pada tepung berukuran partikel ≤ 70 µm kadar serat kasar turun dari 1.82 %
(non fermentasi) menjadi 0.97 % (fermentasi 70 jam).

3.0

2.5
serat kasar (% bk)

2.0

1.5

1.0

0.5 > 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 30 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kadar serat kasar tepung jagung
89

Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kadar protein tepung
jagung. Hal ini mirip dengan sifat pada tepung gandum yaitu tepung dengan
ukuran partikel lebih kecil mempunyai kadar protein lebih besar (Barbosa-
Canovas dan Yan 2003). Pada tepung jagung berukuran ≤ 75 µm, waktu
fermentasi selama 70 jam menurunkan kadar protein menjadi 8.96%
dibandingkan tepung jagung berukuran ≤ 75 µm tanpa fermentasi (11.03 %).
Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm, kadar protein tepung setelah
fermentasi 70 jam (7.21%) relatif tidak berubah dari kadar protein tepung tanpa
fermentasi (7.85%). Perubahan kadar protein tepung jagung pada masing-masing
ukuran partikel ini dapat dilihat pada Gambar 31.

12.0

11.0

10.0
protein (%bk)

9.0

8.0

7.0

> 150-250µm >106 - 150 µm


6.0
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
5.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 31 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kadar protein tepung jagung

Waktu fermentasi grits jagung berpengaruh nyata terhadap kadar pati


tepung jagung, sedangkan ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh. Pati jagung mempunyai ukuran partikel 1 sampai 7 μm untuk
partikel berukuran kecil dan 15 sampai 20 μm untuk partikel berukuran besar.
Ukuran partikel tepung jagung paling kecil pada penelitian ini adalah ≤ 75 μm
sehingga semua pati lolos pada ayakan yang paling kecil. Hal ini mengakibatkan
90

tidak ada perbedaan kadar pati antara ukuran partikel tepung yang berbeda.
Sebagian besar pati (87,6%) berada pada bagian endosperm yang dapat menjadi
halus pada proses penggilingan dan terdistribusi hampir merata pada semua
ukuran partikel tepung jagung.

Tabel 31 Kadar pati, kadar gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan
dengan variasi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel
tepung
Waktu Ukuran Kadar pati Kadar gula pH
fermentasi partikel (% bk) reduksi (% bk)
jagung (jam)
0 60 mesh 77.0±0,4 2.70±0.08 5.67±0.04
>150-250 µm 74.1 ± 0.6 2.04±0.07 5.66±0.05
>106-150 µm 76. ± 1.2 2.15±0.03 5.73±0.1
>75-106 µm 75.7 ± 0.3 2.21±0.11 5.69±0.04
≤75 µm 76.3 ± 0.8 2.57±0.03 5.67±0.06
15 60 mesh 76.5±2.4 1.37±0.12 4.8±0.12
>150-250 µm 75.0 ± 2.5 1.37±0,133 4.69±0.12
>106-150 µm 74.4 ± 1.5 1.31±0.07 4.71±0.8
>75-106 µm 74.6±1.3 1.52±0.10 4.78±0.07
≤75 µm 75.3±2.0 1.32±0.18 4.84±0.03
30 60 mesh 76.6±1.7 1.33±0.23 4.72±0.11
>150-250 µm 72.0 ± 2.2 1.23±0.16 4.72±0.1
>106-150 µm 72.5±3.4 1.28±0.11 4.69±0.05
>75-106 µm 73.2±4.2 1.36±0.09 4.69±0.06
≤75 µm 72.6±2.7 1.43±0.22 4.63±0.09
45 60 mesh 73.7±0.8 1.72±0.19 4.57±0.28
>150-250 µm 71.9±2.3 1.46±0.15 4.34±0.08
>106-150 µm 72.6±2.8 1.54±0.09 4.33±0.1
>75-106 µm 72.2± 4 1.26±0.11 4.35±0.11
≤75 µm 71.8±2.4 1.48±0.13 4.19±0.03
57.5 60 mesh 74.6±3.1 1.25±0.25 4.42±0.02
>150-250 µm 72.2±2.8 1.32±0.13 4.33±0.06
>106-150 µm 70.6±2.2 1.50±0.05 4.4±0.08
>75-106 µm 71.4 ± 3.8 1.28±0.19 4.39±0.05
≤75 µm 71.6±2.6 1.25±0.32 4.39±0.02
70 60 mesh 71.6±2.3 1.48±0.33 4.34±0.12
>150-250 µm 69.7±1.6 1.33±0.06 4.67±0.09
>106-150 µm 72.2 ± 2.6 1.47±0.05 4.61±0.03
>75-106 µm 69.4 ± 2.5 1.57±0.06 4.66±0.1
≤75 µm 69.0 ± 2.6 1.37±0.04 4.67±0.05
Keterangan: angka dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 0.05
91

4.4.2 Densitas kamba tepung jagung


Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung serta interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap loose dan packed density tepung jagung.
Semakin kecil ukuran partikel tepung, loose dan packed density tepung jagung
semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin kecil ukuran partikel, semakin besar
luas permukaan dan semakin besar pula volume sehingga densitas semakin kecil.
Densitas tepung jagung yang berbeda ukuran partikelnya mempunyai
korelasi dengan kadar protein, serat kasar, lemak, abu, pati, amilosa dan waktu
fermentasi jagung (Lampiran 12). Protein utama pada jagung adalah zein dengan
berat molekul sekitar 22 sampai 24 kilodalton (Laszity 1986). Berdasarkan gaya
sedimentasi dan difusi, molekul zein berbentuk globula sehingga lebih banyak
residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein, sehingga protein memiliki
densitas besar. Pada tepung jagung berukuran besar, sedikit peningkatan kadar
protein akan meningkatkan densitas. Sedangkan tepung jagung berukuran kecil
mempunyai luas area permukaan dibanding volume yang besar yang
memungkinkan lebih banyak residu hidrofobik pada bagian luar. Hal ini
mengakibatkan penurunan densitas.
Pada tepung jagung berukuran partikel kecil, perubahan kadar protein ini
cenderung tidak mengubah packed density seperti terlihat pada Gambar 32. Pada
tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, perubahan kadar protein dari
7.08 % menjadi 7.85 % meningkatkan packed density dari 0.669 g/ml menjadi
0.748 g/ml; sedangkan pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm peningkatan
kadar protein dari 8.96 % menjadi 11.03 % mengubah packed density dari 0.585
g/ml menjadi 0.635 g/ml.
92

0.800

packed density (g/ml)


0.700

0.600

0.500
>150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤75 µm
0.400
5.0 7.0 9.0 11.0 13.0
protein (%bk)

Gambar 32 Pengaruh kadar protein dan ukuran partikel terhadap packed density
tepung jagung.

Semakin tinggi kadar serat kasar dan semakin besar ukuran partikel,
semakin tinggi packed density tepung jagung (Gambar 33). Apabila dibuat suatu
grafik hubungan antara kadar serat kasar dan packed density tepung jagung akan
didapatkan garis regresi linier seperti dapat dilihat pada Gambar 34. Berdasarkan
hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa kadar serat kasar mempunyai pengaruh
terhadap packed density tanpa dipengaruhi ukuran partikel tepung.

0.80
packed density (g/ml)

0.70

0.60

0.50
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.40
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0

serat kasar (% bk)

Gambar 33 Pengaruh kadar serat kasar dan ukuran partikel tepung terhadap
packed density tepung jagung
93

0.80

packed density (g/ml)


0.70

0.60

Dp = 0.0764s + 0.5148
0.50
R 2 = 0.7386

0.40
0.0 1.0 2.0 3.0
serat kasar (% bk)

Gambar 34 Hubungan kadar serat kasar dan packed density tepung jagung.

Pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi grits


jagung selama 70 jam menurunkan loose density tepung jagung menjadi 0.463
g/ml dibandingkan tepung jagung yang tidak difermentasi (0.535 g/ml).
Sedangkan pada tepung berukuran ≤ 75 µm, loose density relatif tidak berubah
dengan meningkatnya waktu fermentasi selama 70 jam dari 0.395 g/ml menjadi
0.368 g/ml (Gambar 35). Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan
loose density tepung jagung berukuran > 150 - 250 µm dan >106 – 150 µm dapat
dinyatakan dalam bentuk grafik linier dengan persamaan:
Dli = -0.001t + 0.532 (R2 = 0.801)
Dlii = -0.001t+ 0.508 (R2 = 0.8272)
dimana Dli dan Dlii adalah loose density tepung jagung berukuran > 150 - 250 µm
dan >106 – 150 µm dalam g/ml, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam
jam dan R2 adalah koefisien determinasi.
94

0.60
Dlii= -0.001t + 0.508
Dli = -0.001x + 0.532
R 2 = 0.8272

loose density (g/ml)


R2 = 0.801
0.50

0.40

0.30
> 150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.20
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 35 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap loose density tepung jagung.

Peningkatan waktu fermentasi grits jagung juga menghasilkan grafik


cenderung mendatar pada packed density tepung jagung berukuran paling kecil (≤
75 µm) seperti terlihat pada Gambar 36. Pada tepung berukuran ≤ 75 µm, waktu
fermentasi selama 70 jam sedikit menurunkan packed density (dari 0.635 g/ml
menjadi 0.585 g/ml); sedangkan pada tepung berukuran partikel >150 – 250 µm,
fermentasi grits jagung selama 70 jam menurunkan packed density (0.639 g/ml)
dari tepung non fermentasi (0.748 g/ml). Hubungan antara waktu fermentasi grits
jagung dengan packed density tepung jagung berukuran >150 - 250 µm, >106 –
150 µm dan >75 – 106 µm dapat dinyatakan dalam bentuk grafik linier dengan
persamaan-persamaan:
Dpi = -0.0016t + 0.744 (R2 = 0.9215);
Dpii = -0.0012t + 0.702 (R2 = 0.7921);
Dpiii = -0.0011t + 0.678 (R2 = 0.8555),
Dengan Dpi, Dpii dan Dpiii adalah packed density tepung jagung berukuran >150 -
250 µm, >106 – 150 µm dan >75 – 106 µm dalam g/ml, t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam) dan R2 adalah koefisien determinasi.
95

0.80
Dpii= -0.0012t + 0.702

packed density (g/ml)


R2 = 0.7921 Dpi = -0.0016t + 0.744
0.70 R 2 = 0.9215

0.60
Dpiii = -0.0011t + 0.678
0.50 R 2 = 0.8555

0.40
> 150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.30
0 20 40 60 80

waktu (jam)
Gambar 36 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap packed density tepung jagung.

4.4.3 Sudut curah tepung jagung


Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap sudut curah tepung jagung. Semakin kecil
ukuran partikel tepung jagung semakin besar sudut curah tepung jagung, yang
berarti daya alir semakin rendah. Menurut Cadden (1987) ukuran partikel yang
semakin kecil menurunkan daya alir tepung. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Domian dan Poszytek (2005) yang menyatakan bahwa perubahan ukuran partikel
dapat mempengaruhi daya alir tepung. Semakin kecil ukuran partikel, rasio luas
permukaan terhadap massa meningkat. Menurut Fitzpatrick et al. (2004), luas
permukaan menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan
kohesi sehingga rasio luas permukaan terhadap volume merupakan indikasi yang
baik bagi daya alir pada sistem bubuk. Lebih tinggi rasio luas permukaan
terhadap volume, partikel cenderung lengket dengan partikel yang lain dan hal ini
mengurangi kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi
sehingga mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini juga sesuai
dengan pernyataan Stasiak dan Molenda (2004) bahwa penurunan ukuran partikel
cenderung menurunkan daya alir karena luas permukaan partikel meningkatkan
gaya kohesiv. Partikel tepung jagung berukuran kecil cenderung tidak mengalami
perubahan daya alir dengan meningkatnya waktu fermentasi grits jagung seperti
96

terlihat pada Gambar 37. Pada tepung jagung berukuran ≤ 75 µm , sudut curah
tidak berubah dengan bertambahnya waktu fermentasi; sedangkan pada tepung
jagung berukuran > 150-250 µm fermentasi 70 jam meningkatkan sudut curah
menjadi 47.6o, dari tepung non fermentasi (29.4o).

60

50
sudut curah ( )
o

40

30
Sri = 0.225t + 31.53
20 R2 = 0.8579

10 > 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 37 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap sudut curah tepung jagung.

Semakin kecil ukuran partikel, perubahan kadar protein, lemak, serat kasar
dan abu cenderung tidak mengubah sudut curah tepung jagung (Lampiran 13).
Pada tepung jagung berukuran partikel kecil, kadar lemak cenderung tidak
mempengaruhi daya alirnya sehingga menghasilkan grafik mendatar seperti pada
Gambar 38. Hal ini sesuai dengan penelitian Fitzpatrick et al. (2004) bahwa pada
susu bubuk berukuran partikel kecil mempunyai daya alir relatif tidak berubah
dengan meningkatnya kadar lemak; sedangkan pada susu bubuk berukuran
partikel besar, daya alirnya meningkat dengan menurunnya kadar lemak. Hal ini
disebabkan pengaruh gaya kohesiveness akibat kadar lemak yang tinggi lebih
dominan daripada ukuran partikel pada susu bubuk berukuran partikel kecil .
97

60

50

sudut curah ( )
o
40

30
Sri = -24.48l + 106.2
20 R2 = 0.7084

10 > 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
kadar lemak (% bk)

Gambar 38 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung


terhadap sudut curah tepung jagung putih

Semakin tinggi densitas dan semakin besar ukuran partikel, semakin kecil
sudut curah. Semakin tinggi densitas, semakin kecil luas permukaan, demikian
juga semakin besar ukuran partikel. Gaya permukaan antarpartikel seperti gaya
gesekan dan kohesi ditentukan oleh luas permukaan dan masa yang proporsional
terhadap volume, merupakan indikasi yang baik bagi daya alir pada sistem bubuk.
Semakin besar ukuran partikel tepung, semakin kecil luas permukaan sehingga
tepung lebih mudah mengalir atau sudut curah semakin kecil. Pada tepung jagung
dengan ukuran partikel kecil, perubahan packed density cenderung tidak
mempengaruhi daya alir tepung seperti dapat dilihat pada Gambar 39.

60

50
sudut curah (o )

40

30
Sri = -130.48Dp + 129.2
R2 = 0.7999
20

10 > 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0.50 0.60 0.70 0.80

packed density (g/ml)

Gambar 39 Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap sudut
curah tepung jagung putih.
98

Peningkatan waktu fermentasi grits jagung menurunkan sudut curah


tepung jagung berukuran partikel >150 – 250 µm. Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dengan sudut curah tepung jagung dengan ukuran partikel
150 – 249.9 µm dapat dinyatakan sebagai persamaan linier
Sri = 0.2252t + 31.528 (R2 = 0.8579)
dengan Sri adalah sudut curah tepung jagung dengan ukuran partikel 150 – 249.9
µm dalam o, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah
koefisien determinasi.

4.4.4 Derajat putih tepung jagung


Semakin kecil ukuran partikel, semakin tinggi derajat putih tepung
(Gambar 40 dan 41). Hal ini disebabkan tepung dengan ukuran partikel kecil
mempunyai luas permukaan besar sehingga akan terbentuk bayangan yang lebih
cerah. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap derajat putih tepung
jagung menghasilkan grafik linier dengan kemiringan hampir sama pada semua
ukuran partikel tepung jagung seperti dapat dilihat pada Gambar 41. Pada tepung
jagung berukuran partikel >150-250 µm, tepung jagung yang dibuat tanpa
fermentasi mempunyai derajat putih 60.7 % dan fermentasi 70 jam meningkatkan
derajat putihnya (68.7 %). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi 70
jam meningkatkan derajat putih (79.6%) dibandingkan tepung yang dibuat tanpa
fermentasi (74.9%).

(a) (b) (c) (d)


Gambar 40 Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama 15
jam dengan ukuran partikel (a) > 150-250 µm; (b) >106-150 µm, (c) >75-106
µm; (d) ≤75 µm
99

90
Wiii = 0.087t + 69.4
Wiv = 0.068t + 74.7
2 R 2 = 0.7195

derajat putih (%)


R = 0.8413
80

70

Wi = 0.097t + 63.3
Wii = 0.042t + 68.4
60 2 R2 = 0.6422
R = 0.5498
> 150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
50
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 41 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap derajat putih tepung jagung.

Derajat putih tepung jagung berkorelasi dengan kadar protein, gula reduksi
dan pH pada hampir semua ukuran (Lampiran 14). Hubungan antara kadar
protein dan gula reduksi dengan derajat putih berkorelasi dengan reaksi
pencoklatan non enzimatis, yang didukung dengan korelasi antara derajat putih
dengan pH pada tepung jagung semua ukuran. Tepung jagung berukuran partikel
≤75 µm mempunyai kisaran derajat putih lebih tinggi (74.9 – 79.6 %) pada pH
antara 4.2 sampai 5.7 dibanding tepung berukuran partikel >150-250 µm (60.7 -
68.7 %) pada kisaran pH yang hampir sama (4.3 sampai 5.7) seperti dapat dilihat
pada Gambar 42.
90

80
derajat putih (%)

70

60
Wi = -6.042Ph + 95.4
R2 = 0.873
50

40
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
30
4.0 4.5 5.0 5.5 6.0
pH

Gambar 42 Pengaruh pH dan ukuran partikel tepung terhadap derajat putih


tepung jagung.
100

Semakin tinggi packed density, semakin kecil luas permukaan bahan dan
dengan adanya pemantulan cahaya akan terbentuk bayangan yang kelihatan lebih
gelap. Hubungan densitas dengan derajat putih tepung jagung berhubungan juga
dengan luas permukaan. Pada tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm,
peningkatan packed density dari 0.639 g/ml menjadi 0.748 g/ml menurunkan
derajat putih (dari 68.7 % menjadi 60.7 %); demikian juga pada tepung berukuran
partikel >150-250 µm peningkatan packed density (dari 0.585 g/ml menjadi 0.635
g/ml) akan menurunkan derajat putih (dari 79.6 % menjadi 74.9 %) seperti dapat
dilihat pada Gambar 43.

90

80
derajat putih (%)

70

60
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
50
0.50 0.60 0.70 0.80

packed density (g/ml)

Gambar 43 Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap derajat
putih tepung jagung.

4.4.5 Kapasitas penyerapan air


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh
nyata terhadap kapasitas penyerapan air tepung yang dihasilkan, sedangkan
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran partikel, luas
permukaan semakin besar sehingga kemampuan bahan dalam menyerap air lebih
besar (Gambar 44). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi selama
30 jam meningkatkan kapasitas penyerapan air menjadi 128.9% dari tepung
jagung non fermentasi (115.9 %), dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam akan
menurunkan kembali kapasitas penyerapan air (113.6%). Sedangkan pada tepung
101

berukuran partikel >150 – 250 µm, fermentasi cenderung tidak mengubah


kapasitas penyerapan air tepung yang dihasilkan seperti terlihat pada Gambar 44.
Dengan demikian apabila diinginkan produk-produk yang perlu tingkat rehidrasi
tinggi dapat digunakan tepung hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran
partikel ≤ 75 µm.

140
kapasitas penyerapan air(%)

120

100

> 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
80
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 44 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung.

4.4.6. Kapasitas penyerapan minyak


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh
nyata terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan,
sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran
partikel tepung, semakin besar kapasitas penyerapan minyak karena semakin kecil
ukuran partikel, luas permukaan semakin besar sehingga kemampuan bahan dalam
menyerap minyak semakin besar. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm,
fermentasi grits selama 70 jam menurunkan kapasitas penyerapan minyak menjadi
69.3% dari tepung non fermentasi (82.8%).
Pada tepung berukuran partikel >150 – 250, kapasitas penyerapan minyak
relatif tidak berubah dengan fermentasi seperti terlihat pada Gambar 45. Dengan
demikian apabila diinginkan produk dengan kapasitas penyerapan minyak kecil
maka digunakan tepung dengan ukuran partikel yang lebih besar. Sebagai contoh
102

adalah untuk melapisi (coating) produk-produk yang digoreng, pelapisan


menggunakan tepung berukuran partikel besar lebih menguntungkan karena lebih
sedikit menyerap air.

100
kapasitas penyerapan minyak (%) Kpm iv = -0.205t + 83
R 2 = 0.7258
80

60

40

20 > 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm

0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 45 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung.

Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kapasitas penyerapan


minyak tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm menghasilkan grafik regresi
linier yang menurun. Hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan:
Kpmiv = 0.2048t + 83 (R2 = 0.7258)
dengan Kpmiv adalah kapasitas penyerapan minyak tepung jagung berukuran
partikel ≤ 75 µm dalam % berat kering, t adalah waktu fermentasi grits jagung
(jam) dan R2 adalah koefisien determinasi.

4.4.7 Suhu gelatinisasi


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh
nyata terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung tetapi interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata. Lebih kecil ukuran partikel tepung, lebih rendah suhu
gelatinisasi karena luas permukaan lebih besar sehingga lebih cepat menyerap air.
Semakin cepat bahan menyerap air akan semakin cepat pula terjadinya gelatinisasi
sehingga suhu gelatinisasi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian
103

Bedolla dan Rooney (1984) bahwa semakin tinggi ukuran partikel tepung jagung
ternikstamalisasi, semakin tinggi suhu gelatinisasi. Valdez-Niebla et al. (1993)
juga menyatakan bahwa pada tepung amaranth, meningkatnya ukuran partikel
tepung akan meningkatkan suhu gelatinisasi. Hubungan antara waktu fermentasi
grits jagung terhadap suhu gelatinisasi pada semua ukuran partikel tepung
menunjukkan grafik seperti terlihat pada Gambar 46.

90

85
suhu gelatinisasi (o C)

80

75

70

65
> 150 - 250µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
60
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 46 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung.

4.4.8 Viskositas puncak


Waktu fermentasi jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh nyata
terhadap viskositas puncak tepung jagung yang dihasilkan, demikian juga
interaksi keduanya. Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar
viskositas puncak tepung jagung. Hal ini hampir mirip dengan keadaan pada
tepung gandum bahwa tepung yang lebih halus viskositasnya lebih besar (Rasper
1982). Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin besar luas
permukaan sehingga penyerapan airnya semakin besar sehingga viskositas puncak
tepung jagung meningkat. Tepung jagung non fermentasi berukuran partikel
>150-250 µm mempunyai viskositas puncak 328 BU, ukuran partikel yang lebih
kecil (>106-150 µm) meningkatkan viskositas puncak (524 BU) dan ukuran
partikel yang lebih kecil (>75 – 106 µm) juga meningkatkan viskositas puncak
104

(629 BU) hampir sama dengan viskositas puncak tepung berukuran partikel ≤ 75
µm ( 665 BU) seperti dapat dilihat pada Gambar 47.

VP

Gambar 47 Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung non


fermentasi (___>150 – 250 µm, ___ >106 – 150 µm, ___ >75 – 106 µm,
____ ≤ 75 µm).

Waktu fermentasi grits jagung selama 70 jam meningkatkan viskositas


puncak pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm menjadi 565 BU
dibandingkan tepung non fermentasi (328 BU). Pada tepung berukuran partikel ≤
75 µm, fermentasi grits jagung selama 70 jam cenderung tidak mengubah
viskositas puncak (698 BU) dari tepung non fermentasi (665 BU) seperti terlihat
pada Gambar 48 dan 49. Hal ini disebabkan kemampuan tepung tersebut dalam
menyerap air sudah maksimal sehingga peningkatan luas permukaannya tidak lagi
meningkatkan kapasitas penyerapan air dan viskositas cenderung tetap.
105

800

viskositas puncak (BU)


600

400
Vp i = 3.17t + 370.9
R2 = 0.7957

200

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 48 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap viskositas puncak tepung jagung.

VP

Gambar 49 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap amilografi tepung


jagung berukuran partikel ≤ 75 µm (____ fermentasi 0 jam, ____ fermentasi 45
jam, ____ fermentasi 70 jam).

Viskositas puncak tepung jagung berkorelasi dengan rasio pati:protein,


kadar serat kasar, kadar lemak, rasio pati:gula reduksi, pH, kadar abu, kadar
amilosa, loose density, packed density, dan sudut curah pada tepung jagung
berukuran besar (Lampiran 17). Pada tepung jagung berukuran partikel lebih
kecil, meningkatnya kadar protein, lemak dan serat kasar cenderung tidak
106

mempengaruhi densitas dan sudut curah sehingga pada tepung jagung dengan
ukuran partikel kecil, variabel-variabel tersebut tidak mempengaruhi viskositas
puncak. Pada tepung dengan ukuran partikel besar, peningkatan kadar protein,
serat kasar dan lemak akan meningkatkan densitas dan menurunkan sudut curah
sehingga menurunkan viskositas puncak. Semakin mudah bahan mengalir atau
semakin rendah sudut curah, semakin rendah viskositas puncak. Pada tepung
berukuran partikel >150-250 µm, meningkatnya sudut curah (dari 29.4o menjadi
47.6o) akan meningkatkan viskositas puncak (dari 328 BU menjadi 587 BU)
seperti terlihat pada Gambar 50. Sedangkan tepung berukuran partikel ≤ 75 µm
mempunyai kisaran sudut curah yang kecil (45.7–47.7o) sehingga viskositas
puncak hampir sama (665–698 BU), mirip dengan tepung berukuran partikel > 75
– 106 µm (sudut curah 45 – 47.2o dan viskositas puncak 585-662 BU).

800
Viskositas puncak (BU)

600

400
Vpi = 13.002Sr - 30
R 2 = 0.7888
200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
25 30 35 40 45 50

o
sudut curah ( )
Gambar 50 Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap
viskositas puncak adonan jagung.

Viskositas puncak tepung jagung berkorelasi dengan kadar lemak pada dan
amilosa pada tepung jagung berukuran partikel besar (108-149 µm dan 150-249
µm) (Gambar 51 dan 52). Pengaruh lemak dan amilosa berhubungan dengan
pembentukan kompleks amilosa-lemak yang akan menghambat pengembangan
granula pati. Pada tepung dengan ukuran partikel kecil (75-105.9 µm dan 0.1-74.9
107

µm), tidak terjadi penghambatan pengembangan kompleks amilosa-lemak yang


terbentuk di permukaan granula kemungkinan karena partikel yang kecil
mempunyai luas permukaan besar sehingga masih bisa terjadi pengembangan
granula di sisi yang lain. Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm,
penurunan kadar lemak (3.18%) menjadi 2.45% mengakibatkan peningkatan
viskositas puncak (327 BU menjadi 587 BU); sedangkan pada tepung berukuran
≤ 75 µm, penurunan kadar lemak cenderung tidak mengubah viskositas puncak
seperti dapat dilihat pada Gambar 51. Pada tepung berukuran partikel >150-250
µm, peningkatan kadar amilosa dari 26.% menjadi 28.4 % mengakibatkan
penurunan viskositas puncak (327 BU menjadi 587 BU); sedangkan pada tepung
berukuran ≤ 75 µm, perubahan kadar amilosa cenderung tidak mengubah
viskositas puncak seperti dapat dilihat pada Gambar 52.

800
Viskositas puncak (BU)

600

400
Vpi = -357.83l + 1457.7
R2 = 0.7064
200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
kadar lemak (% bk)

Gambar 51 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap


viskositas puncak adonan jagung.
108

800

Viskositas puncak (BU)


600

400

200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
25 26 27 28 29 30

kadar amilosa (% bk)

Gambar 52 Pengaruh kadar amilosa dan ukuran partikel tepung terhadap


viskositas puncak adonan jagung.

Fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam meningkatkan viskositas


puncak tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm. Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dan viskositas puncak dapat dinyatakan dalam bentuk
regresi linier dengan persamaan:
Vpi = 3.18t + 371 (R2 = 0.7957)
dengan Vpi adalah viskositas puncak adonan jagung berukuran partikel >150-250
µm dalam Brabender Unit (BU), t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam) dan
R2 adalah koefisien determinasi.

4.4.9 Sifat adonan selama pemanasan


Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap sifat adonan selama pemanasan yaitu
viskositas adonan panas, viskositas panas 15 menit (Vpa15) dan breakdown
viscosity tepung jagung. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin
besar luas permukaan sehingga penyerapan airnya semakin besar. Hal ini akan
meningkatkan Vpa15 dan breakdown viscosity. Pada tepung berukuran partikel
>150 -250 µm, fermentasi selama 70 jam akan meningkatkan Vpa15 menjadi 530
BU dari tepung non fermentasi (416 BU). Breakdown viscosity akan meningkat
menjadi 35 BU pada tepung yang dibuat dengan fermentasi 70 jam dibandingkan
109

tepung non fermentasi (-88 BU). Pada tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm,
fermentasi relatif tidak mengubah viskositas panas selama 15 menit (Vpa15) dan
breakdown viscosity (Gambar 53 dan 54).

800

600
VPa15 (BU)

400

200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 53 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap viskositas panas 15 menit tepung jagung.

200
breakdown viscosity (BU)

100

0
0 20 40 60 80
waktu (jam) Bdi = 1.48x - 77
-100 R2 = 0.8102

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
-200

Gambar 54 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap breakdown viscosity tepung jagung.

Seperti halnya viskositas puncak, sebagian besar parameter yang


berkorelasi dengan sifat adonan selama pemanasan juga hanya berkorelasi pada
tepung jagung yang berukuran besar yaitu >150-250 µm dan >106-150 µm
110

(Lampiran 18). Penjelasan perubahan stabilitas adonan selama pemanasan pada


tepung jagung berukuran partikel besar sama dengan perubahan viskositas puncak
adonan jagung.
Pada tepung dengan ukuran partikel besar, peningkatan kadar lemak akan
meningkatkan densitas dan menurunkan sudut curah sehingga menurunkan
breakdown viscosity (Gambar 55). Tepung jagung berukuran besar mempunyai
rasio area permukaan:volume kecil sehingga adanya sedikit perubahan akan
berdampak pada parameter yang lain, misalnya menurunnya kadar lemak akan
membuat pengembangan granula dan peningkatan viskositas menjadi lebih besar
dengan volume yang kecil, dan ini lebih terlihat nyata dibanding tepung berukuran
kecil. Pada tepung berukuran partikel > 150 – 250 µm, peningkatan kadar lemak
dari 2.45 % menjadi 2.99 % akan mengubah breakdown viscosity dari -88 BU
menjadi 25 BU, sedangkan pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, peningkatan
kadar lemak dari 3.28 menjadi 3.72 % relatif tidak mengubah breakdown
viscosity.

200
breakdown viscosity (BU)

100

0
1.0 2.0 3.0 4.0 5.0
kadar lemak (% bk)
-100

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
-200

Gambar 55 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap


breakdown viscosity tepung jagung.

Kadar protein, lemak, serat kasar, abu dan amilosa mempengaruhi sudut
curah pada tepung jagung dengan ukuran partikel besar. Sudut curah tepung
jagung mempengaruhi sifat-sifat tepung jagung dengan ukuran partikel besar
selama proses pemanasan, salah satunya adalah breakdown viscosity (Gambar 56).
111

Peningkatan sudut curah (dari 29.4o menjadi 47.6o) pada partikel tepung
berukuran >150 – 250 µm akan mengubah breakdown viscosity dari -88 BU
menjadi 35 BU. Tepung berukuran partikel kecil mempunyai kisaran sudut curah
kecil (47 - 47.7o) sehingga breakdown viscosity relatif tidak terpengaruh seperti
terlihat pada Gambar 56.

150
breakdown viscosity BU)

100

50

0
25 30 35 40 45 50 55
-50 o
sudut curah ( )

-100 > 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
-150

Gambar 56 Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap breakdown
viscosity tepung jagung.

Kapasitas penyerapan air berkorelasi dengan viskositas panas 15 menit


dan breakdown viscosity pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm. Korelasi
breakdown viscosity dengan kapasitas penyerapan air terjadi pada tepung
berukuran kecil karena luas permukaan yang lebih besar lebih banyak menyerap
air. Semakin besar kapasitas penyerapan air pada suatu bahan, maka akan
semakin kuat bahan tersebut menahan air selama proses pemasakan dan hal ini
mengakibatkan adonan lebih stabil selama pemanasan.
Fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam meningkatkan viskositas
panas dan breakdown viscosity tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm.
Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan viskositas panas serta
breakdown viscosity dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi linier:
Vpai = 3.1815t + 360.23 (R2 = 0.7208);
Bdi = 1.4797t + 76.974 (R2 = 0.8102)
dimana Vpai adalah viskositas panas adonan jagung berukuran partikel >150-250
112

µm dalam Brabender Unit (BU), Bdi adalah breakdown viscosity adonan jagung
berukuran partikel >150-250 µm dalam Brabender Unit (BU), t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam).

4.4.10 Retrogradasi adonan


Waktu fermentasi jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya

berpengaruh nyata terhadap viskositas dingin, setback viscosity dan Vd .


Vpa15

Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kemungkinan terjadinya


retrogradasi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai viskositas dingin atau Vd
Vpa15

(Gambar 57 dan 58). Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin luas
permukaan sehingga lebih besar kemungkinan terjadinya leaching amilosa dari
granula pati. Semakin banyak terjadinya leaching meningkatkan retrogradasi
adonan jagung. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits selama
30 jam menurunkan viskositas dingin (1120 BU) dari tepung non fermentasi (1642
BU) dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi viskositas dingin
(1950 BU). Pada tepung berukuran partikel > 150 – 250 µm, peningkatan waktu
fermentasi selama 70 jam meningkatkan viskositas dingin tepung (1263 BU) dari
tepung non fermentasi (983 BU) (Gambar 57).
Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits selama 30 jam

menurunkan Vd (2.08) dari tepung non fermentasi (2.80) dan fermentasi


Vpa15

lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd (3.11). Sedangkan pada tepung


Vpa15

berukuran partikel >150 – 250µm fermentasi grits selama 45 jam menurunkan


Vd
(1.88) dari tepung non fermentasi (2.37) dan fermentasi lanjutan sampai 70
Vpa15

jam meningkatkan lagi Vd (2.40) seperti dapat dilihat pada Gambar 58.
Vpa15
113

2500

viskositas dingin (BU)


2000

1500

1000

500
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 57 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap viskositas dingin adonan jagung.

4.0

3.0

2.0

1.0
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)
Gambar 58 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
Vd
terhadap adonan jagung.
Vpa15

Semakin besar ukuran partikel tepung jagung, semakin rendah viskositas


dingin adonan jagung. Tepung jagung yang dibuat melalui proses fermentasi grits
jagung selama 70 jam dengan ukuran partikel >150 – 250 µm mempunyai
viskositas dingin 1263 BU, lebih kecil daripada tepung berukuran partikel <106 –
150 µm (1420 BU), >75 – 106 µm (1705 BU) dan ≤ 75 µm (1950 BU) seperti
114

terlihat pada Gambar 59. Hal ini sesuai dengan penelitian Iwuoha dan Nwakanma
(1998) pada tepung ubi jalar, bahwa semakin besar ukuran partikel ubi jalar,
semakin rendah viskositas adonan saat pendinginan.

VD

Gambar 59 Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung yang


dibuat dengan fermentasi grits jagung selama 70 jam (___>150 – 250 µm, ___
>106 – 150 µm, ___ >75 – 106 µm, ____ ≤ 75 µm

Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar kemungkinan terjadinya


retrogradasi adonan, tetapi pada tepung jagung yang dibuat dari proses fermentasi
selama 30 jam, kecenderungan tererogradasi tersebut hampir sama pada tepung
dengan ukuran partikel <106 – 150 µm, >75 – 106 µm dan ≤ 75 µm (Gambar 57
dan 58. Semakin besar kemungkinan teretrogradasi, semakin besar kemungkinan
terjadinya pengerasan produk selama proses pendinginan. Pada produk-produk
bakery, hal tersebut tidak diinginkan karena dapat mengakibatkan terjadinya
staling. Untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut, dapat digunakan tepung
hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran partikel <106 – 150 µm, >75 – 106
µm atau ≤ 75 µm.

4.4.11 Sifat gel


Semakin besar ukuran partikel, semakin tinggi kekuatan gel karena semakin
kecil ukuran partikel tepung, semakin besar luas permukaan bahan sehingga
115

semakin besar terjadinya leaching amilosa dari granula pati yang akan
menurunkan kekuatan gel dan meningkatkan kelengketan gel. Pada tepung
berukuran partikel ≤ 75 µm, kekuatan gel relatif tidak berubah dengan
meningkatnya waktu fermentasi (Gambar 60). Pada tepung berukuran partikel
>150-250 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan kekuatan gel (27.9 gforce)
dari tepung non fermentasi (18.6 gforce), fermentasi lanjutan sampai 45 jam tidak
mengubah kekuatan gelnya (27.6 gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya
sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (17.6 gforce). Pada tepung
berukuran partikel >106-150 µm, fermentasi selama 45 jam meningkatkan
kekuatan gel (25.4 gforce) dari tepung non fermentasi (13.2 gforce), dan waktu
fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (14 gforce).

35
Gs i = -0.008t2 + 0.57t + 18.7
30 R 2 = 0.9363
kekuatan gel (g force)

25

20 y
Gs ii = -0.009t2 + 0.663t+ 12.9
15 R2 = 0.9221

10

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


5
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 60 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kekuatan gel tepung jagung

Tepung jagung dengan ukuran partikel ≤ 75 µm mempunyai kekuatan gel


yang lebih kecil dibanding tepung berukutan lain. Hal ini berhubungan dengan
tingkat sineresisnya, dimana pada tepung berukuran kecil kemungkinan terjadi
sineresis lebih besar sehingga gel yang dihasilkan lebih lemah.
Tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm yang dibuat dengan
fermentasi grits jagung selama 30 jam mempunyai kekuatan gel tertinggi yaitu
sebesar 27.9 gforce. Kekuatan gel tepung jagung ini sedikit lebih tinggi
116

dibandingkan kekuatan gel pati jagung varietas sama yang dimodifikasi secara
oksidasi, yaitu sebesar 25.5 gforce (Nur Aini dan Hariyadi 2007).
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kekuatan gel
menunjukkan grafik yang bersifat kuadratik seperti terlihat pada Gambar 65.
Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan kekuatan gel pada tepung
jagung dapat dinyatakan dengan persamaan:
Gsi = -0.008t2 + 0.57t + 18.7 (R2 = 0.9363)
Gsii = -0.009t2 + 0.66t + 12.9 (R2 = 0.9221)
dimana Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung jagung berukuran partikel 150-
249.9 µm dan 106-149.9 µm dalam g force, t adalah waktu fermentasi grits
jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.

4.5 Pembahasan umum


Beberapa sifat fungsional tepung jagung yang dibuat dari tepung jagung
terfermentasi dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia. Diantara sifat kimia yang
berkorelasi, kadar protein dan lemak tepung jagung sangat menentukan sifat fisik
dan fungsional tepung. Kadar protein tepung jagung berkorelasi dengan densitas
dan sudut curah tepung jagung serta sifat-sifat gelatinisasi dan kekuatan gel pasta
jagung. Hal ini dipengaruhi struktur biji jagung, terutama pada bagian
endosperm, seperti yang dinyatakan oleh Abdelrahman dan Hoseney (1984).
Endosperm biji jagung terdiri dari dua komponen utama yaitu granula pati dan
protein, dan struktur fisik endosperm tergantung pada interaksi antar dua
komponen tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi variasi struktur biji
jagung, diantaranya ketebalan matriks protein yang kontak dengan granula pati
dan kekuatan adhesi antara matriks protein dan granula pati. Adanya dominasi
pengaruh protein terhadap struktur biji jagung ini mempengaruhi pula sifat fisik
tepung jagung.
Korelasi yang tinggi antara kadar protein dengan densitas tepung jagung
terjadi juga karena komposisi fraksi dan distribusi residu hidrofobik dan hidrofilik
pada protein. Kandungan asam amino terbesar pada protein jagung adalah asam
amino yang bersifat hidrofobik yang diasumsikan berbentuk globular sehingga
117

meminimalkan rasio antara area permukaan dengan volume yang memungkinkan


lebih banyak residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein. Rasio antara
area permukaan dengan volume yang kecil pada protein jagung mengakibatkan
tepung jagung mempunyai densitas yang besar dengan meningkatnya kadar
protein (Damodaran 1996). Pengaruh kadar protein terhadap densitas ini
mempengaruhi juga sudut curah atau sifat alir tepung jagung.
Protein yang bersifat hidrofilik akan bersaing dengan pati untuk
mendapatkan air. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Oluwamukomi et al.
(2005) dan Hamaker dan Griffin (1993) bahwa keberadaan dan interaksi protein
dengan pati menurunkan viskositas. Kurangnya air yang dapat diserap oleh pati
karena adanya protein akan menghambat proses gelatinisasi dan menurunkan
viskositas puncak pasta. Semakin tinggi kadar protein membuat rasio antara pati
dengan protein semakin rendah yang mengakibatkan menurunnya viskositas
pasta. Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap parameter gelatinisasi dan
sifat gel pasta jagung dipengaruhi juga oleh pH. Pengaturan pH menjadi asam
mengakibatkan protein menjadi lebih bermuatan positif dan karbohidrat akan
terdehidrasi menghasilkan gugus karboksil yang lebih bermuatan negatif. Pada
kondisi tersebut terjadi ikatan elektrostatik antara pati dan protein yang akan
meningkatkan viskositas pasta dan pada akhirnya akan terbentuk gel yang kuat.
Pada pH basa, baik protein dan pati mempunyai muatan negatif dan sedikit
interaksi yang terjadi antar komponen tersebut sehingga viskositas menjadi
rendah dan gel yang terbentuk menjadi lemah.
Mekanisme pengaruh lemak terhadap sifat fungsional terjadi karena
pembentukan kompleks amilosa-lemak di permukaan granula yang kemudian
menghambat pengembangan sehingga suhu gelatinisasi meningkat. Hal ini sesuai
dengan penelitian Singh et al. (2006) dan Eliasson dan Gudmunsson (1996)
bahwa lemak dapat membentuk kompleks inklusi heliks dengan molekul amilosa,
antara rantai hidrokarbon lemak dan heliks pada amilosa, yang memungkinkan
terjadi annealing (proses peningkatan kristalinitas). Peristiwa ini akan
menghasilkan derajat kristalin lebih tinggi sehingga jika terjadi gelatinisasi, suhu
gelatinisasi akan meningkat dan viskositas menurun. Kompleks inklusi amilosa-
lemak yang menghambat gelatinisasi kemungkinan ada tiga bentuk, pertama
118

kompleks utuh yang mengganggu kristalisasi amilopektin dan menghambat


retrogradasi; kedua kompleks amilosa-lemak dapat memperlambat distribusi air
dan retrogradasi; dan ketiga kristalisasi bersama amilosa dan amilopektin ke
tingkat yang lebih luas, dan substansi kompleks tersebut mengurangi peran
amilosa pada proses kristalisasi kembali (Eliasson dan Gudmunsson 1996).
Peran protein dan lemak terhadap sifat fisik dan fungsional tepung jagung
seperti yang dinyatakan oleh Zhang dan Hamaker (2005) bahwa pati, protein dan
lemak adalah 3 komponen utama pada makanan dan fungsionalitasnya tidak
hanya menentukan nilai produk, tetapi juga sifat tekstural dan umur simpan.
Kompleks lemak-amilosa yang terbentuk dari interaksi antara pati dan lemak juga
mempengaruhi fungsionalitas pati, yaitu menurunkan retrogradasi, dan
mempengaruhi sifat termal dan mekanis pada pati.
Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas permukaan dan semakin
besar pula volume sehingga densitas semakin kecil dan daya alir semakin turun.
Hal ini sesuai dengan pendapat Fitzpatrick et al. (2004) bahwa luas permukaan
menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan kohesi sehingga
lebih tinggi rasio luas permukaan terhadap volume akan mengurangi
kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi sehingga
mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan Stasiak dan Molenda (2004) bahwa penurunan ukuran partikel
cenderung menurunkan daya alir karena luas permukaan partikel meningkatkan
gaya kohesiv.
Lebih kecil ukuran partikel tepung, luas permukaan lebih besar sehingga
lebih cepat menyerap air dan semakin cepat pula terjadinya gelatinisasi sehingga
suhu gelatinisasi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Bedolla dan
Rooney (1984) dan Valdez-Niebla et al. (1993) bahwa semakin kecil ukuran
partikel, semakin rendah suhu gelatinisasi. Tepung jagung berukuran kecil lebih
rendah suhu gelatinisasinya sehingga viskositas puncak, viskositas panas dan
viskositas dingin lebih besar. Hal ini hampir mirip dengan keadaan pada tepung
gandum bahwa tepung yang lebih halus viskositasnya lebih besar (Rasper 1982).
Sementara itu Iwuoha dan Nwakanma (1998) menyatakan bahwa pada tepung ubi
119

jalar, semakin besar ukuran partikel ubi jalar, semakin rendah viskositas adonan
saat pendinginan.
Fermentasi grits jagung selama 48 jam menghasilkan tepung jagung
dengan kekuatan gel 19.47 gforce, hampir sama dengan kekuatan gel pati jagung
varietas Srikandi yang dimodifikasi secara oksidasi asetilasi, yaitu sebesar 19.23
gforce (Nur-Aini dan Hariyadi 2007). Sedangkan tepung jagung berukuran >150
– 250 µm yang dibuat dengan waktu perendaman grits jagung selama 30 jam
mempunyai kekuatan gel tertinggi yaitu sebesar 27.9 gforce. Kekuatan gel tepung
jagung ini sedikit lebih tinggi dibandingkan kekuatan gel pati jagung varietas
sama yang dimodifikasi secara oksidasi, yaitu sebesar 25.5 gforce (Nur Aini dan
Hariyadi 2007). Pati jagung tersebut dapat digunakan sebagai pengganti gelatin
pada pembuatan marshmallow ceam, sehingga tepung jagung dengan kekuatan
gel hampir sama juga dapat digunakan sebagai pengganti gelatin sebagai gelling
agent.
Pada produk-produk bakery, terjadinya retrogradasi tidak diinginkan
karena dapat mengakibatkan terjadinya staling (pengerasan) produk selama
penyimpanan. Untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut, dapat digunakan
tepung hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran partikel <106 – 150 µm,
>75 – 106 µm atau ≤ 75 µm.
123

[AACC] American Association of Cereal Chemists. 2000. Approved methods of


the AACC, 10th ed. Methods 22-12, 46-12, 54-10, 54-21, 76-30A. St Paul
MN: The Association.
Abdelrahman AA, Hoseney RC. 1984. Basics for hardness in pearl millet, grain
sorghum and corn. Cereal Chemistry 61:232-235
Achi OK, Akomas NS. 2006. Comparative assessment of fermentation
techniques in the processing of fufu, a traditional fermented cassava
product. Pakistan Journal of Nutrition 5:224-229.
Aguilera JS, Stanley DW. 1999. Microstructural Principles of Food Processing
and Engineering, 2nd ed. Gaithenrsburg: Aspen Publishers.
Akinrele IA. 1970. Fermentation studies on maize during the preparation of a
traditional African starch-cake food. Journal of the Science of Food and
Agriculture. 21:619-625.
Amusa NA, Ashaye OA, Oladapo MO. 2005. Microbiological quality of ogi and
soy-ogi (a Nigerian fermented cereal porridge) widely consumed and
notable weaning food in southern Nigeria. Journal of Food, Agriculture &
Environment 3: 81-83.
AOAC. 1995. Official methods of analysis. Washington DC: Association of
Official Analytical Chemist.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Analisa Pangan. Bogor: IPB Press.
Aremu CY. 1993. Nutrient composition of corn OGI prepared by a slightly
modified traditional technique. Food Chemistry 46:231-233.
Asiamaya.com. 2009. Jagung putih manis mentah.
http://www.asiamaya.com/nutrients/jagung putih-htm.
Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-3727-1995. Tepung
Jagung.
Balai Penelitian Tanaman Sereal. 2007. Proses pasca panen jagung.
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id.htm. Diakses 2 April 2009.
Banigo EOI, Muller HG. 1972. Manufacture of ogi (a Nigerian fermented cereal
porridge): Comparative evaluation of corn, sorghum and millet. Canada
International Food Science Technology 5:217-221.
Barbosa-Canovas GV, Yan H. 2003. Powder characteristics of preprocessed
cereal flours. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer KJ, editor.
Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis and
Applications. New York: Marcel Dekker. hlm 173-208.
Barbut S. 1999. Determining water and fat holding. Di dalam Hall GM, editor:
Methods of testing protein functionality. New York: Blackie Academic
and Professional. hlm 186-225.
Badan Pusat Statistik. 2009. www.bps.go.id (5 Januari 2009).
124

Bedolla S, Rooney LW. 1984. Characteristics of US and Mexican instant maize


flours for tortilla and snack preparation. Cereal Foods World 29:732-736.
Boyer CD, Shannon JC. 1987. Carbohydrates of the kernel. Di dalam Watson
SA, Ramstad PE, editor. Corn: Chemistry and Technology.. St Paul:
American Association of Cereal Chemists. hlm 253-272
Burge RM. Duensing WJ. 1989. Processing and dietary fiber ingredient
applications of combran. Cereal Foods World 34:535-538.
Cadden A-M. 1987. Comparative effects of particle size reduction on physical
structure and water binding properties of several plant fibers. Journal of
Food Science 52:1595-1599.
Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their
application in noodle products. [Disertasi]. Belanda: Wageningen
University.
Cherry JP. 1982. Protein-polysaccharide interactions. Di dalam Lineback DR,
Inglett GE, editor. Food Carbohydrates. Westport: AVI. hlm 375-398.
Christianson DD 1982. Hydrocolloid interactions with starches. Di dalam
Lineback DR, Inglett GE, editor. Food Carbohydrates. Westport: AVI.
hlm 399-419.
Czuchajowska Z, Klamczynski A, Paszezynska B, Bail BK. 1998. Structure and
functionality of barley starches. Cereal Chemistry 75: 747-754.
Daniel JR, Weaver CM. 2000. Carbohydrates: functional properties. Di dalam:
Christen GL, Smith JS, editor. Food Chemistry: Principles and
Applications. California: Science technology system. hlm 63-66.
Damodaran S. 1996. Amino acids, peptides and protein. Di dalam Fennema OR,
editor. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker. hlm 321-429.
Davies R. 2006. Size measurement. Di dalam Masuda H, Higashitani K,
Yoshida H, editor. Powder Technology Handbook. 3rd edition. New
York:CRC. hlm 13-52.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian. 2008. Kebijakan
peningkatan produksi jagung di Indonesia. Makalah Seminar
Pengembangan Agroindustri Tepung Jagung dalam Mendukung
Ketahanan Pangan. Jakarta: 24 November 2008.
Donsi G, Ferrari G. 1990. Flow and mixing behaviour of Food Powders. Di
dalam: Spiess WEL, Schubert H. Physical Properties and Control.
London and New York: Elsevier Applied Science.
Dufour D, Larsonneur S, Alarcon F, Brabet C, Chuzel G. 2006. Improving the
bread-making potential of cassave sour starch. Di dalam Cassava Flour
and Starch: Progress in Research and Development.
http://www.ciat.cgiar.org/agroempresas/pdf/cassava_flour/pdf. (30 Maret
2005).
Earle RL. 1983. Unit Operations in Food Engineering. 2nd ed. New York:
Pergamon Press.
125

Elkhalifa AEO, Schiffler B, Bernhardt R. 2005. Effect of fermentation on the


functional properties of sorghum flour. Food Cemistry 92:1-5.
Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional
aspects. Di dalam Eliasson AC, editor. Carbohydrates in Food. New
York: Marcel Dekker.
Ellies HS, Ring SG, Whittam MA. 1988. Time-dependent changes in the size and
volume of gelatinized starch granules on storage. Food Hydrocolloids
2:321-328.
Fredriksson H, Silverio J, Andersson R, Eliason AC, Aman P. 1998. The influence
of amylase and amylopectin characteristics on gelatinization amd
retrogradation properties of different starches. Carbohydrate Polymers
35:119-134.
Fitzpatrick JJ, Iqbal T, Delaney C, Twomey T, Keogh MK. 2004. Effect of
food powder properties and storage conditions on the flowability of milk
powders with different fat contents. Journal of Food Engineering
64:435-444.
Gallant DJ, Bouchet B, Baldwi PM. 1997. Microscopy of starch: evidence of a
new level of granule organization. Carbohydrate Polymers 32:177-191.
Gatumbi RW, Muriru N. 1983. Kenyan uji. Di dalam Steinkraus KH, editor.
Handbook of Indigenous Fermented Foods. New York: Marcel Dekker.
hlm 198-203.
Gratz S. 2007. Aflatoxin binding by probiotics: experimental studies on intestinal
aflatoxin transport, metabolism and toxicity. Disertasi. Finlandia:
Universitas Kuopio.
Hagenimana A, Ding X, Fang T. 2006. Evaluation of rice flour modified by
extrusion cooking. Journal of Cereal Science 43:38-46.
Hamaker BR, Griffin VK. 1993. Effect of disulfide bond-containing protein on
rice starch gelatinization and pasting. Cereal Chemistry 70:377-380.
Hansen T, Van-der-Sluis E. 2004. Corn-based food production in South Dakota:
a preliminary study. South Dakota State University.
Hardman and Gunsolus. 1998. Corn growth and development. Extension Service.
University of Minesota.
Haskard CA, El Nezami HS, Kankaanpää PE, Salminen S, Ahokas JT. 2001.
Surface binding of aflatoxin B1 by lactic acid bacteria. Appl Environ
Microbiol 67:3086-3091.
Hassan AB et al. 2006. Effect of processing treatments followed by fermentation
on protein content and digestibility of pearl millet (Pennisetum
typhoideum) cultivars. Pakistan Journal of Nutrition 5:86-89.
Helstad S. 2006. Ingredient interactions: sweeteners. Di dalam Gaonkar AG,
McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect on food quality. .
New York: CRC. Hlm 167-194.
126

Henshaw FO, McWatters KH, Oguntunde AO, Phillips RD. 1996. Pasting
properties of cowpea flour: Effects of soaking and decortication method.
J. Agric. Food Chemistry 44:1864-1870.
Hizukuri S. 1996. Starch: Analytical aspects. Di dalam Eliasson A. editor.
Carbohydrates in food. New York: Marcel Dekker. hlm 363-403.
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993a.
Characterization and frequency distribution of species of lactic acid
bacteria involved in the processing of mawe, a fermented maize dough
from Benin. International Journal of Food Microbiology. 18:279-287.
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993b.
Composition of microbial and physical attributes of mawe, a fermented
maize dough from Benin. International Journal of Food Science and
Technology. 28:513-517.
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993c.
Changes in the physico-chemical properties of maize during natural
fermentation of mawe. Journal of Cereal Science. 17:291-300.
Hoseney RC. 1994. Principles of cereal science and technology. 2nd ed. St. Paul
MN: American Association of Cereal Chemists. hlm 125 – 146.
Hruskova M, Svec I, Kucerova I. 2003. Effect of malt flour addition on the
rheological properties of wheat fermented dough. Czechnia. Journal Food
Science 21:210-218.
Hung PV, Morita N. 2004. Dough properties and bread quality of flours
supplemented with cross-linked cornstarches. Food Research
International 37:461-467.
Ingbian EK, Akpapunam MA. 2005. Appraisal of traditional technologies in the
processing and utilization of mumu; a cereal based local food product.
African Journal of Food and Nutritional Sciences 5(2)
http://www.ajfand.net. (7 Juli 2006).
Ipteknet. 2009. Teknologi tepat guna tentang pengolahan pangan: tanaman
penghasil pati. http://www.iptek.net.id/warintek/htm. Diakses 27 Februari
2009.

Iwuoha CI, Nwakanma MI. 1998. Density and viscosity of cold flour pastes of
cassava (Manihot esculenta Grantz), sweet potato (Ipomoea batatas L.
Lam) and white yam (Dioscorea rotundata Poir) tubers as affected by
concentration and particle size. Carbohydrate Polymers 37: 91-101.
Jayne TS et al. 1996. Effects of market reform on access to food by low-income
households: Evidence from four countries in Eastern and Southern Africa.
Technical Paper No. 25. Bureau for Africa/USAID.
Jobling, S. 2004. Improving starch for food and industrial application. Current
opinion in Plant Biology 7: 210-218.
Johansson ML, Sanni A, Lonner C, Mollin G. 1995. Phenotypic based taxonomy
using API 50 CH of lactobacilli from Nigerian ogi, and the occurrence of
127

starch fermenting strains. International Journal of Food Microbiology.


25:159-168.
Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylosa. Cereal Science
Today 16:334-360.
Kadan RS, Bryant RJ, Pepperman AB. 2003. Functional properties of extruded
rice flours. Journal of Food Science. 68:1669-1672.
Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan
perilaku fisik bahan pakan local: Sudut tumpukan, daya ambang dan factor
higroskopis. Media Peternakan 1:1-11.
Kilara A. 2006. Interactions of Ingredients in Food Systems: An Introduction. Di
dalam Gaonkar AG, McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect
on Food Quality. New York: CRC. hlm 1-20.
Konik CM et al. 2001. Evaluation of the 40 mg swelling test for measuring starch
functionality. Starch/Stärke 53:14-20.
Latunde-Dada GO. 2009. Fermented foods and cottage industries in Nigeria.
http://www.unu.edu/unupress/food?v184c/ch3.htm. Diakses 27 Februari
2009.
Laszrity R. 1986. Maize proteins. Di dalam The Chemistry of Cereal Protein.
USA: CRC Press.
Lorri WSM. 1993. Nutritional and microbiological evaluation of fermented cereal
weaning foods. [Disertasi]. Swedia: Department of Food Science,
University of Technology.Goteborg.
Lubin D. 1992. Maize in human nutrition. FAO. Roma, Italy. http://www.fao.org
/documents/shows_cdr_files (30 Desember 2005).
Majzoobi M, Rowe AJ, Connock M, Hill SE, Harding SE. 2003. Partial
fractionation of wheat starch amylose and amylopectin using zonal
ultracentrifugation. Carbohydrate Polymers 52:269-274.
Mestres C, Boungou O, Akissoe N, Zakhia N. 1996. Comparison of the
expansion ability of fermented maize flour and cassava starch during
baking. J. Science Food Agriculture 80:665-672.
Morikawa K, Nishinari K. 2002. Effects of granula size and size distribution on
rheological behavior of chemically modified potato starch. Journal of
Food Science 67:1388-1392.
Munimbazi C, Bullerman LB. 1998. Inhibition of aflatoxin production of
Aspergillus parasiticus NRRL 2999 by Bacillus pumilus. Mycopathology.
140: 163-169.
Nabrzyski M. 1997. Mineral Components. Di dalam Sikorski ZE, editor.
Chemical and functional properties of food components. Lancaster:
Technomic Publishing. hlm 35-64.
Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998.
Characterization of the Beninese traditional ogi, a fermented maize slurry:
128

physicochemical and microbiological aspects. International Journal of


Food Science and Technology 33:307-315.
Nelles EM, Dewar J, Bason ML, Taylor JRN. .2000. Maize Starch Biphasic
Pasting Curves. Journal of Cereal Science 31:287–294.
Nout MJR, Rombouts FM, Hautvast GJ. 1989. Accelerated natural lactic
fermentation of infant food formulations. Food and Nutrition Bulletin.
11(1). http://www.unu.edu/unupress/food/htm. (30 Juni 2006).
Nur-Aini, Hariyadi P. 2007. Pasta pati jagung putih waxy dan non-waxy yang
dimodifikasi secara oksidasi dan asetilasi-oksidasi. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia 12:1-7.
Ohenhen RE, Ikenebomeh MJ. 2007. Shelf stability and enzyme activity studies
of ogi: a corn meal fermented product. Journal of American Sciences. 3:
38-42.
Oluwamukomi MO, Eleyinmi AF, Enujiugha VN. 2005. Effect of soy
supplementation and its stage of inclusion on the quality of ogi – a
fermented maize meal. Food Chemistry. 91:651-657.
Onyango C, Okoth MW, Mbugua SK. 2003. The pasting behaviour of lactic-
fermented and dried uji (an East African sour porridge). J. Science Food
Agriculture. 83:1412-1418.
Onyango C, Bley T, Raddatz H, Henle T. 2004. Flavour compounds in backslop
fermented uji (an East African sour porridge). European Food Research
Technology 218: 579-583.
Onofiok NO, Nnanyelugo DO. 1998. Weaning foods in West Africa: nutritional
problems and possible solutions. Food and Nutrition Bulletin 19:27-33.
Peleg M. 1983. Physical characteristics of food powders. Di dalam Peleg M,
Bagley EB, editor. Physical properties of foods. Westport, Connecticut:
AVI Publishing Company.
Peplinski AJ, Paulsen MR, Bouzaher A. 1992. Physical, chemical and dry
milling properties of corn of varying density and breakage susceptibility.
Cereal Chemistry 69:397-400.
Pereira RC, et al. 2008. Relationship between structural and biochemical
characteristics and texture of corn grains. Genetics and Molecular
Research. 7:498-508.
Perez OE, Haros M, Suarez C, Rosess CM. 2003. Effect of steeping time on the
starch properties from ground whole corn. Journal of Food Engineering
60:281-287.
Poneleit CG. 2001. Breeding white endosperm corn. Di dalam Hallauer, AR
editor. Specialty corns. Washington: CRC. hlm 235-272.
Prentice RDM, Stark JR, Gidley MJ. 1992. Granule residues and 'ghosts'
remaining after heating A-type barley-starch granules in water.
Carbohydrat Research 227:121-130.
129

Pusat Teknologi Agroindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2008.


Tepung Jagung Teknologi dan Tantangan Pengembangannya. Makalah
Seminar Pengembangan Agroindustri Tepung Jagung dalam Mendukung
Ketahanan Pangan. Jakarta 24 November 2008.
Ragae S, El-Sayed M. Abdel-Aal. 2006. Pasting properties of starch and protein
in selected cereals and quality of their food products. Food Chemistry
95:9-18.
Rasper VF. 1982. Effect of preparative procedure on the evaluation of in vitro
indigestible residue (dietary fiber). Di dalam Lineback DR, Inglett GE,
editor. Food Carbohydrates. Westport, Connecticut: AVI. hlm 333-355.
Ridout MJ, Gunning AP, Parker ML, Wilson RH, Morris VJ. 2002. Using AFM
to image the internal structure of starch granules. Carbohydrate Polymers
50: 123-132.
Sahlin P. 1999. Fermentation as a method of food processing production of
organic acids, pH-development and microbial growth in fermenting
cereals. [Tesis]. Lund Institute of Technology. Lund University.
Sandhu KS, Singh N, Kaur M. 2004. Characteristics of the different corn types
and their grain fractions: physicochemical, thermal, morphological and
rheological properties of starch. Journal of Food Engineering 64: 119-
127.
Sefa-Dedeh S, Cornelius B. 2000. The microflora of fermented nixtamalized
corn. Pertemuan tahunan Institute of Food Technologists. Dallas, Texas
20-25 Juni 2000.
Sefa-Dedeh S, Kluvitse Y, Afoakwa EO. 2001. Influence of fermentation and
cowpea steaming on some quality characteristics of maize-cowpea blends.
African Journal of Science and Technology 2:71-80.
Serna-Saldivar SO, Gomez MH, Rooney LW. 2001. Food uses of regular and
specialty corns and their dry-milled fractions. Di dalam Hallauer AR,
editor. Specialty Corns. Washington: CRC Press. hlm 303-337.
Shukla, R., & Cheryan, M. (2001). Zein: the industrial protein from corn.
Industrial Crops and Products 13: 171–192.
Singh N, Kaur L, Sandhu KS, Kaur J, Nishinari K. 2006. Relationships between
physicochemical, morphological, thermal, rheological properties of rice
starches Food Hydrocolloids 20:532-542
Sira EEP. 2000. Determination of the correlation between amylose and
phosphorus content and gelatinization profile of starches and flours
obtained from edible tropical tubers using differential scanning
calorimetry and atomic absorption spectroscopy. [Tesis]. Wisconsin:
University of Wisconsin-Stout.
Sirivongpaisal P. 2008. Structure and functional properties of starch and flour
from bambarra groundnut. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30 (Suppl.1),
51-56. http://www.sjst.psu.ac.th. (28 Desember 2008).
130

Sowbhagya CM, Bhattacharya KR. 2001. Change in pasting behavior of rice


during aging. J Cereal Science 34:115-124.
Stasiak M, Molenda M. 2004. Direct shear testing of flowability of food powders.
Res. Agr. Eng. 50:6-10.
Steinkraus KH. 2002. Fermentations in world food processing. Comprehensive
Reviews in Food Science and Food Safety 1:23-32.
Subagio A. 2006. Ubi kayu substitusi berbagai tepung-tepungan. Food Review
1(3):18-21.
Subekti NA, Syafruddin, Efendi R, Sunarti S. 2008. Morfologi tanaman dan fase
pertumbuhan jagung. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id. (8 Januari
2008).
Svanberg U, Sjogren E, Lorri W, Svennerholm. A-M, Kaijser B. 1992. Inhibited
growth of common enteropathogenic bacteria in lactic-fermented cereal
gruels. World J of Micro and Biotech. 8: 601-606.
Valdez-Niebla JA, Paredes-Lopez O, Vargas-Lopez JM, Hernadez-Lopez D.
1993. Moisture sorption isotherms and other physicochemical properties
of nixtamalized amaranth flour. Food Chemistry 46:19-23.
Vandeputte GE, Delcour JA. 2004. From sucrose to starch granule to starch
physical behaviour: a focus on rice starch. Carbohydrate Polymers 58:
245–266.
Vasal, S.K. 1994. High quality protein corn. Di dalam Halleuer AR, editor.
Specialty Corns. USA: CRC.
Vegrains. 2005. Value enhanced grains products: white corn.
http://www.vegrains.org (30 Maret 2005).
Vergnes B, Valle GD, Colonna P. 2003. Rheological properties of biopolymers
and applications to cereal processing. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer
KJ, editor. Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis
and Applications. New York: Marcel Dekker. hlm 209-266.
Vorwerg W, Radosta S, Leibnitz, E. 2002. Study of a preparative-scale process
for the production of amylose. Carbohydrate Polymers 47:181-189
Watson SA. 1987. Stucture and Composition. Di dalam Watson SA, Ramstad
PE, editor. Corn: Chemistry and Technology. St Paul, Minnesota:
American Association of Cereal Chemists. hlm 53-82.
White PJ. 1994. Properties of corn strach. Di dalam: Halleuer AR, editor.
Specialty Corns. USA: CRC Press. hlm 34-62.
Williams HP. 1991. Model building in mathemathical programming. London:
John Wiley & Sons.
Wilson CM. 1987. Proteins of the Kernel. Dalam Watson SA, Ramstad PE,
editor. Corn: Chemistry and Technology. St.Paul Minnesota: American
Association of Cereal Chemists. hlm 273-310.
131

Yuan J, Flores RA. 1996. Laboratory dry milling performance of white corn:
effect of physical and chemical corn characteristics. Cereal Chemistry
73:574-578.
Zhang W, Jackson DS. 1992. Retrogradation behavior of wheat starch gels with
differing molecular profiles. J. of Food Science 57:1428-1432.
Zhang G, Hamaker BR. 2005. Sorghum (Shorgum bicolor L. Moench) flour
pasting properties influenced by free fatty acids and protein. Cereal
Chemistry 82:534-540.
132

Lampiran 1 Partikel tepung jagung fermentasi 45 jam dilihat menggunakan


scanning electron microscope (SEM) (perbesaran 50 kali)

(a)

(b) (c)

(d) (e)
Keterangan : (a) tepung jagung 60 mesh
(b) tepung jagung berukuran partikel 150 – 249.9 µm
(c) tepung jagung berukuran partikel 106 – 149.9 µm,
(d) tepung jagung berukuran partikel 75 – 105.9 µm,
(e) tepung jagung berukuran partikel 0.1 – 74.9 µm.
133

Lampiran 2 Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi butiran jagung

Variabel yang berkorelasi Koefisien korelasi


Loose density Packed density
Kadar protein 0.84** 0.932**
Kadar lemak 0.651** 0.804**
Kadar serat kasar 0.894** 0.758**
Kadar abu 0.842** 0.839**
Kadar pati 0.672** 0.79**
Kadar amilosa 0.674** 0.664**
Waktu fermentasi butiran jagung -0.877** -0.959**
Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0,01
134

Lampiran 3 Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung

Variabel Koefisien korelasi


Protein -0.73**
Serat kasar -0.785**
Pati -0.739**
Loose density -0.853**
Packed density -0.745**
Waktu fermentasi butiran jagung 0.777**

Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01


135

Lampiran 4 Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung

Variabel Koefisien korelasi


Kadar protein -0.875**
Kadar gula reduksi -0.696**
PH -0.729**
Kadar lemak -0.706**
Kadar serat kasar -0.633**
Kadar pati -0.743**
Kadar amilosa -0.72**
Kadar abu -0.827**
Loose density -0.855**
Packed density -0.925**
Waktu fermentasi butiran jagung 0.934**

Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01


136

Lampiran 5 Korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan variabel kimia dan
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran
jagung
Variabel Koefisien korelasi
Kadar amilosa -0.442*
Rasio amilosa:amilopektin -0.46*
Kadar protein -0.521*
Kadar serat kasar -0.75**
Kadar abu -0.59**
Loose density -0.462*
Packed density -0.54*
Waktu fermentasi butiran jagung 0.606**

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
137

Lampiran 6 Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia


dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
butiran jagung

Variabel Koefisien korelasi


Kadar lemak 0.445*
Kadar protein 0.68**
Kadar serat 0.654**
Kadar abu 0.633**
Kadar pati 0.62**
Loose density 0.743**
Packed density 0.751**
pH 0.609**
Kapasitas penyerapan air -0.581**
Waktu fermentasi butiran jagung -0.712**

Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01


138

Lampiran 7 Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran
jagung

Variabel Koefisien korelasi


Rasio pati:gula reduksi -0.502*

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


139

Lampiran 8 Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran
jagung

Variabel Koefisien korelasi


Kadar protein -0.725**
Rasio pati:protein 0.731**
pH -0.639**
Kadar gula reduksi -0.543*
Rasio pati:gula reduksi 0.543*
Kadar abu -0.497*
Waktu fermentasi butiran jagung 0.573**

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
140

Lampiran 9 Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan


variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi butiran jagung

Koefisien korelasi
Variabel Viskositas Viskositas panas Breakdown
panas 15 menit viscosity
Kadar protein -0.659** -0.827** 0.435*
pH -0.679** -0.584** -
Kadar gula reduksi -0.575** -0.478* -
Kadar serat kasar - -0.618** 0.601**
Kadar lemak - -0.642** -
Kadar abu -0.494* -0.676** 0.535*
Kadar amilosa - -0.486* -
Loose density - -0.717** 0.631**
Packed density -0.568** -0.849** 0.596**
Kapasitas penyerapan air 0.439* 0.684** -0.482*
Viskositas puncak 0.876** 0.735** -
Waktu fermentasi grits 0.587** 0.799** -0.557**
jagung

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
141

Lampiran 10 Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung

Koefisien korelasi
Variabel Viskositas Setback Rasio VD:VPa15
dingin
viscosity
Rasio pati:gula reduksi -0.484* -0.588** -0.577**
Kadar protein - 0.496* 0.815**
Kadar lemak - - 0.645**
Kadar serat kasar - - 0.614**
Kadar abu - - 0.55**
Kadar gula reduksi - - 0.584**
Loose density - - 0.67**
Packed density - - 0.802**
pH - - 0.434*
Kapasitas penyerapan air - - -0.542*
Viskositas puncak - -0.664** -0.745**
Viskositas panas - -0.645** -0.627**
Waktu fermentasi grits - - -0.691**
jagung

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
142

Lampiran 11 Korelasi antara kekuatan dan kelengketan gel dengan variabel kimia
dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
grits jagung

Koefisien korelasi
Variabel Kekuatan gel Kelengketan gel
Kadar protein -0.832** 0.463*
Rasio pati:protein 0.74** -0.443*
Kadar gula reduksi -0.901** -
pH -0.867** -
Kadar abu -0.801** 0.536*
Kadar serat kasar -0.666** -
Kadar air - -0.517*
Kadar lemak - 0.658**
Kadar amilosa - 0.636**
Packed density -0.685** 0.687**
Kapasitas penyerapan air 0.669** -
Sudut curah 0.685** -0.603**
Suhu gelatinisasi -0.467* -0.554**
Viskositas puncak 0.715** -
Viskositas panas 0.74** -
Viskositas panas 15 menit 0.578** -0.544*
Breakdown viscosity - 0.583**
Rasio VD:VPa15 -0.638** -
Waktu fermentasi grits jagung 0.642** -0.777*
Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05
** = korelasi nyata pada taraf 0.01
143

Lampiran 12 Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel Ukuran partikel Koefisien korelasi


(µm) Loose density Packed
density
Kadar protein 150-249.9 0.581* 0.621**
106-149.9 0.658** 0.643**
75-105.9 0.767** 0.688**
0.1-74.9 0.592** 0.708**
Kadar serat kasar 150-249.9 0.650** 0.772**
106-149.9 0.857** 0.749**
75-105.9 0.712** 0.863**
0.1-74.9 - 0.722**
Kadar lemak 150-249.9 0.806** 0.891**
106-149.9 0.83** 0.858**
75-105.9 0.658** 0.907**
0.1-74.9 0.617** -
Kadar abu 150-249.9 0.698** 0.798**
106-149.9 0.788** 0.614**
75-105.9 0.789** 0.748**
0.1-74.9 0.735** 0.473*
Kadar pati 150-249.9 0.469* 0.507*
106-149.9 0.484* 0.576*
75-105.9 0.563* 0.66**
0.1-74.9 0.634** 0.578*
Kadar amilosa 150-249.9 0.628** 0.718**
106-149.9 0.724** 0.668**
75-105.9 0.634** 0.765**
0.1-74.9 0.762** 0.605**
Waktu fermentasi grits 150-249.9 -0.893** -0.96**
jagung 106-149.9 -0.91** -0.89**
75-105.9 -0.729** -0.925**
0.1-74.9 -0.819** -0.693**

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
144

Lampiran 13 Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung

Variabel yang berkorelasi Ukuran partikel (µm) Koefisien korelasi


Kadar protein 150-249.9 -0.555*
106-149.9 -0.533*
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.787**
106-149.9 -0.75**
75-105.9 0.565*
Kadar lemak 150-249.9 -0.884**
106-149.9 -0.707**
75-105.9 -0.556*
Kadar abu 150-249.9 -0.653**
106-149.9 -0.65**
75-105.9 -0.569*
Loose density 150-249.9 -0.85**
106-149.9 -0.904**
75-105.9 -0.578*
Packed density 150-249.9 -0.894**
106-149.9 -0.781**
75-105.9 -0.52*

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
145

Lampiran 14 Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran partikel Koefisien korelasi


berkorelasi (µm)
Kadar protein 150-249.9 -0.63**
106-149.9 -0.518*
75-105.9 -0.731**
0.1-74.9 -0.711**
Kadar gula reduksi 150-249.9 -0.84**
75-105.9 -0.657**
0.1-74.9 -0.513*
pH 150-249.9 -0.934**
106-149.9 -0.709**
75-105.9 -0.794**
0.1-74.9 -0.657**
Kadar lemak 150-249.9 -0.778**
106-149.9 -0.746**
75-105.9 -0.802**
0.1-74.9 -0.611**
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.609**
106-149.9 -0.525*
75-105.9 -0.869**
0.1-74.9 -0.629**
Kadar abu 150-249.9 -0.668**
106-149.9 -0.692**
75-105.9 -0.72**
0.1-74.9 -0.836**
Packed density 150-249.9 -0.813**
106-149.9 -0.611**
75-105.9 -0.805**
0.1-74.9 -0.655**
Loose density 150-249.9 -0.758**
106-149.9 -0.718**
75-105.9 -0.675**
0.1-74.9 -0.802**

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
146

Lampiran 15 Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia


dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel yang berkorelasi Ukuran partikel (µm) Koefisien korelasi


Kadar protein 106-149.9 0.605**
0.1-74.9 0.613**
Kadar lemak 106-149.9 0.7**
75-105.9 0.559*
0.1-74.9 0.698**
Kadar serat kasar 106-149.9 0.673**
75-105.9 0.601**
0.1-74.9 0.687**
Kadar abu 106-149.9 0.645**
75-105.9 0.573*
0.1-74.9 0.718**
Loose density 106-149.9 0.693**
0.1-74.9 0.678**
Packed density 106-149.9 0.569*
75-105.9 0.492*
0.1-74.9 0.541*
pH 106-149.9 0.601**
0.1-74.9 0.63**
Sudut repose 106-149.9 -0.633**

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
147

Lampiran 16 Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran partikel Koefisien korelasi


berkorelasi (µm)
Rasio pati:gula reduksi 106-149.9 -0.613**
Rasio pati:gula reduksi 0.1-74.9 -0.511*

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
148

Lampiran 17 Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran partikel Koefisien korelasi


berkorelasi (µm)
Rasio pati:protein 150-249.9 0.643**
Rasio pati: gula reduksi 150-249.9 0.547*
Kadar lemak 150-249.9 -0.886**
Kadar lemak 106-149.9 -0.536*
PH 150-249.9 -0.762**
Kadar abu 150-249.9 -0.731**
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.776**
Kadar serat kasar 106-149.9 -0.574*
Kadar amilosa 150-249.9 -0.764**
Kadar amilosa 106-149.9 -0.614**
Loose density 150-249.9 -0.785**
Loose density 106-149.9 -0.566*
Packed density 150-249.9 -0.865**
Packed density 106-149.9 -0.627
Sudut curah 150-249.9 0.918**

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
149

Lampiran 18 Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan


variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran Koefisien korelasi


berkorelasi partikel Viskositas Viskositas Breakdown
(µm) panas panas 15 viscosity
(BU) menit (BU) (BU)
Rasio pati:protein 150-249.9 0.569** 0.615** 0.598**
106-149.9 - - 0.542*
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.796** -0.759** -0.701**
106-149.9 - - -0.762**
Kadar lemak 150-249.9 -0.818** -0.783** -0.909**
106-149.9 - - -0.65**
Kadar abu 150-249.9 -0.675** -0.771** -
106-149.9 - - -0.54*
Kadar gula reduksi 150-249.9 -0.771** -0.714** -0.645**
Kadar amilosa 150-249.9 -0.706** -0.73** -0.709**
106-149.9 - - -0.631**
0.1-74.9 -0.517* - -
pH 150-249.9 -0.801** -0.777** -0.646**
Loose density 150-249.9 -0.748** -0.676** -0.828**
106-149.9 - - -0.773**
Packed density 150-249.9 -0.852** -0.78** -0.869**
106-149.9 - - -0.774**
Sudut curah 150-249.9 0.874** 0.839** 0.906**
106-149.9 - - 0.781**
Kapasitas penyerapan 75-105.9 - - -0.674**
air 0.1-74.9 - -0.569* -
Viskositas puncak 150-249.9 0.933** 0.959** 0.927**
106-149.9 0.623** 0.699** 0.781**
75-105.9 0.954** 0.652** 0.714**
0.1-74.9 0.882** 0.768** -

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
150

Lampiran 19 Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran Koefisien korelasi


berkorelasi partikel Viskositas Setback Rasio
(µm) dingin viscosity VD:HV15
(BU) (BU)
Rasio pati:gula reduksi 106-149.9 -0.591** -0.55* -
Rasio pati:gula reduksi 75-105.9 -0.488* -0.516* -0.554*
pH 150-249.9 0.492* 0.841** 0.516*
106-149.9 - 0.681** -
75-105.9 - - 0.475*
Loose density 150-249.9 - 0.586* -
Packed density 150-249.9 - 0.567* -
Kapasitas penyerapan 0.1-74.9 -0.775** -0.761** -0.683**
air
Viskositas puncak 150-249 -0.659** -
75-105.9 0.601** - -
0.1-74.9 0.651** 0.579* -
Suhu gelatinisasi 106-149.9 - 0.527* -
75-105.9 0.718** 0.716** 0.717**
Breakdown viscosity 150-249.9 - -0.569* -
106-149.9 - - 0.489*
75-105.9 0.624** 0.545* 0.665**
Viskositas panas 150-249.9 - -0.611** -
106-149.9 0.52* - -
75-105.9 0.552* - -
0.1-74.9 0.667** 0.619** -
Viskositas panas 15 150-249.9 - -0.664 -
menit 0.1-74.9 0.55* 0.487* -

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
151

Lampiran 20 Korelasi antara kekuatan gel dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung

Variabel yang berkorelasi Ukuran partikel Koefisien korelasi


(µm)
Kadar gula reduksi 106-149.9 -0.571*
75-105.9 -0.488*
0.1-74.9 -0.706**
Kadar protein 0.1-74.9 -0.528**
Kadar serat kasar 0.1-74.9 -0.633**
pH 106-149.9 -0.667**
0.1-74.9 -0.691**
Viskositas dingin 150-249.9 -0.618**
106-149.9 -0.662**
75-105.9 -0.594**
Viskositas puncak 75-105.9 -0.624**
Breakdown viscosity 75-105.9 -0.616**
Setback viscosity 106-149.9 -0.625**
75-105.9 -0.53*

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
152

Lampiran 21 Kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung

Waktu fermentasi jagung Ukuran partikel Kadar amilosa


(jam) (% bk)
0 60 mesh 27,9±0,3
150-249.9 µm 28.4±0.3
106-149.9 µm 28±0.4
75-105.9 µm 28±0.2
0.1-74.9 µm 28.2±0.3
15 60 mesh 29.1±0.7
150-249.9 µm 27.2±0.7
106-149.9 µm 27.4±0.6
75-105.9 µm 27.7±0.6
0.1-74.9 µm 27.5±0.6
30 60 mesh 28.5±0.7
150-249.9 µm 27.1±0.7
106-149.9 µm 27.1±0.7
75-105.9 µm 27.4±0.8
0.1-74.9 µm 27.3±0.9
45 60 mesh 28.1±0.8
150-249.9 µm 26.7±0.7
106-149.9 µm 26.7±0.7
75-105.9 µm 26.8±0.7
0.1-74.9 µm 26.7±0.8
57.5 60 mesh 27.1±0.9
150-249.9 µm 26.5±0.4
106-149.9 µm 26.5±0.6
75-105.9 µm 26.7±0.9
0.1-74.9 µm 26.4±0.8
70 60 mesh 26.8±1.2
150-249.9 µm 26.6±0.5
106-149.9 µm 26.4±0.5
75-105.9 µm 26.4±0.6
0.1-74.9 µm 26±0.7
120

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung jagung.
1. Fermentasi grits jagung putih menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar,
abu, pati, gula reduksi, pH, densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak
pada tepung yang dihasilkan; sedangkan sudut curah, derajat putih dan
kapasitas penyerapan air meningkat.
2. Proses fermentasi grits jagung putih selama 24 jam menurunkan suhu
gelatinisasi tepung jagung (76.2oC) dibandingkan tepung jagung yang dibuat
tanpa fermentasi (82oC) karena adanya leaching pada sebagian granula yang
bersifat amorf mengakibatkan partikel tepung jagung yang dihasilkan mudah
tergelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi menurun. Fermentasi grits selama
perendaman 24 sampai 48 jam relatif tidak mengubah suhu gelatinisasi tepung
jagung, sedangkan proses fermentasi selama perendaman 72 jam
meningkatkan suhu gelatinisasi tepung jagung (85.2oC).
3. Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas puncak
493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam menghasilkan tepung jagung
dengan viskositas puncak relative tetap (560 BU). Selanjutnya proses
fermentasi selama 48 jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas
puncak meningkat (648 BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung
jagung yang dihasilkan dengan perendaman grits jagung selama 60 jam (573
BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72 jam menghasilkan tepung
jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550 BU), hampir sama
dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi.
4. Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi jagung selama 12
jam mempunyai breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan
lebih tinggi daripada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU).
Stabilitas ini terus dipertahankan selama fermentasi sampai jam ke 60, dan
setelah 72 jam stabilitas pemanasan menurun menjadi -60 BU.
121

5. Proses fermentasi menurunkan kecenderungan retrogradasi tepung yang


dihasilkan. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya rasio viskositas dingin
dibanding viskositas panas setelah 15 menit pengadukan pada suhu 95oC
Vd
( Vpa15 ), yaitu dari 2.97 untuk tepung yang dibuat tanpa proses fermentasi
menjadi 1.87 pada tepung yang diperoleh dengan proses fermentasi 48 jam.
Proses fermentasi lanjutan selama 48 sampai 72 jam tidak mengubah
kecenderungan retrogradasi tepung jagung.
6. Tepung jagung yang dihasilkan dengan perendaman 48 jam mempunyai
kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung
yang dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce). Kekuatan gel ini akan mengalami
sedikit penurunan (14.48 gforce) jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam.
7. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat
kimia, kadar protein paling berpengaruh terhadap sifat fisik dan fungsional
tepung jagung. Semakin rendah kadar protein tepung jagung semakin rendah
loose density, packed density, sudut curah, kapasitas penyerapan minyak dan
retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin tinggi derajat putih, kapasitas
penyerapan air, viskositas puncak dan stabilitas pemanasan.
8. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat
fisik, packed density merupakan faktor paling berpengaruh terhadap sifat
fungsional. Semakin besar packed density tepung jagung, semakin besar
kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin
kecil derajat putih, kapasitas penyerapan air, stabilitas pemanasan serta sudut
curah.
9. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin kecil kadar serat kasar,
loose density, packed density, suhu gelatinisasi dan kekuatan gel sedangkan
kadar protein, kadar lemak, sudut curah, derajat putih, kapasitas penyerapan
air, kapasitas penyerapan minyak, viskositas puncak, breakdown viscosity,
retrogradasi dan kelengketan gel meningkat.
10. Dengan menggunakan analisa korelasi dan regresi, diperoleh beberapa
persamaan yang bisa digunakan untuk memprediksi pengaruh lama proses
fermentasi spontan (perendaman) terhadap beberapa sifat fisik, kimia dan
122

fungsional. Beberapa persamaan tersebut adalah Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8;


Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2 +
0.6628T + 12.923 dimana Tg adalah suhu gelatinisasi (oC), Vpa15 adalah
viskositas panas 15 menit (BU), Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung
jagung berukuran partikel >150 µm dan >106-150 µm dalam g force, dan t
adalah waktu fermentasi grits jagung (jam).

5.2 Saran

1. Fermentasi grits jagung pada pembuatan tepung jagung meningkatkan


stabilitas pemanasan pada adonan jagung dan menurunkan kecenderungan
produk untuk teretrogradasi sehingga tepung jagung yang dihasilkan melalui
proses fermentasi jagung dapat diaplikasikan pada produk pangan yang
memerlukan sifat tersebut, misalnya pada produk bakery yang perlu
kecenderungan retrogradasi rendah.
2. Agar proses fermentasi dapat dikontrol maka fermentasi harus dilakukan pada
kondisi yang sama yaitu pada wadah tertutup, suhu 27oC, air yang digunakan
adalah aquadest dengan perbandingan aquadest dan grits jagung adalah 6 l: 3
kg.
3. Beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional bisa dikendalikan melalui waktu
fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses bisa dikontrol dan untuk itu
perlu penelitian mengenai jenis-jenis mikroorganisme yang tumbuh dominan
pada proses fermentasi jagung secara spontan sehingga pertumbuhan
mikroorganisme tersebut dapat dikendalikan.
4. Fermentasi spontan grits jagung sampai 48 jam dan ukuran partikel yang
semakin besar meningkatkan kekuatan gel sehingga dapat diaplikasikan
sebagai gelling agent pada produk pangan, contohnya sebagai pengganti
gelatin.

DAFTAR PUSTAKA
PENGARUH FERMENTASI SPONTAN SELAMA
PERENDAMAN GRITS JAGUNG PUTIH VARIETAS
LOKAL (Zea mays L.) TERHADAP KARAKTERISTIK
FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG YANG
DIHASILKAN

NUR AINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
2

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Fermentasi


Spontan Selama Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays
L.) Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang
Dihasilkan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2009

Nur Aini
NRP. F261040021
3

ABSTRACT

NUR AINI. Effects of Spontaneous Fermentation During Soaking of Local


Variety of White Corn (Zea mays L.) on Physicals, Chemical and Functional
Characteristics of Its Flour. Under direction of PURWIYATNO HARIYADI,
TIEN R. MUCHTADI and NURI ANDARWULAN .

The uses of white corn in food industry in Indonesia are still limited. To
explore the potential uses, evaluation of chemical physical, and functional
properties of white corn flour is needed. The objective of this study was to
evaluate chemical, physical and functional properties of white corn flour, and its
changes as affected by spontaneous fermentation during soaking of white corn
grits. Corn flour was prepared by soaking of white corn grits followed by drying
and grinding. Soaking was done at closed pan and controlled temperature, to
promote spontaneous fermentation. The resulted flour was fractionated using
multiple sieve of 100 mesh (150 µm), 150 mesh (106 µm) and 200 mesh (75µm)
and analyzed for its chemicals, physicals and functional characteristics.
Fermentation process as long as 24 hr will reduce gelatinization temperature (Tg)
of resulted flour from 82oC to 76.2oC; but finally Tg would increase (85.2oC) at
72 hr of fermentation. Fermentation process of corn grits do not affect its peak
viscosity (in the range of 493 -560BU), but will increase only after fermentation
of more than 48-60 hr (648 -573 BU); and further fermentation would reduce the
peak viscosity (550 BU)similar to that of flour resulted from process without
fermentation. Flour resulted from corn grits after fermentation process of 12 hr
has breakdown viscosity of 0 BU. This suggests that heat stability of flour
produced from corn grits after 12 hr fermentation is higher that that of control
flour (breakdown viscosity of 68 BU). The breakdown viscosity was maintained
relatively constant until fermentation process up to 60 hr; and finally decreases to
-60 BU after 72 hr of fermentation. Measured as ratio of cold viscosity/hot
viscosity after 15 minutes of stirring at constant temperature of 95oC ( Vd ),
Vpa15
tendency of retrogradation was reduced by fermentation process for 48 hr ( Vd =
Vpa15
1.87) as compared to that of control ( Vd = 2.97). After 48 fermentation of corn
Vpa15
grits do not affect the tendency of retrogradation of the resulted flour; at which
Vd remain at 2.14. Flour produced using fermentation process of corn grits
Vpa15
exhibit very high gel strength. After 48 hr fermentation of corn grits, the flour
has gel strength of 19.47 gforce, very high as compared to that of control flour of
5.95 gforce. Further fermentation of more than 48 hr only slightly reduced the gel
strength to 14.48 gforce, still very high as compared to that of control flour. The
smaller particle size, the lower fiber content, loose density, packed density,
gelatinization temperature and gel strength o, the higher protein and fat content,
angle of repose, whiteness, water absorption capacity, oil absorption capacity,
peak viscosity, breakdown viscosity, tendency of retrogradation and gel stickiness
4

of the resulted flour. Using correlation and regression analysis several correlation
equations were proposed to be used as a prediction tools of several chemical,
physical and functional properties as affected by extend of fermentation process
and particle size of flour. Several equations proposes were Tg = 0.006t2 - 0.39t +
82.8; Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2
+ 0.6628T + 12.923, where Tg is gelatinization temperature (oC), Vpa15 is hot
viscosity after 15 minutes constant stirring (Brabender Unit; BU), Gsi and Gsii are
gel strength (gforce) of corn flour with particle size of >150-250 µm and >106-
150 µm, respectively, and t is length of fermentation (steeping) of corn grits (hr).
Overall, our results showed that control of length of fermentation of corn grits and
particle size may be used as a mean t control several chemical, physical and
functioal properties of the resulted corn flour.

Key Words: white corn, spontaneous fermentation, particle size, physics,


chemical, functional

.
5

RINGKASAN

NUR AINI. Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits Jagung


Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan
Fungsional Tepung yang Dihasilkan. Dibawah bimbingan PURWIYATNO
HARIYADI, TIEN R. MUCHTADI dan NURI ANDARWULAN.

Jagung putih mempunyai karakter hard endosperm sehingga memiliki


keterbatasan dalam proses penggilingan untuk digunakan sebagai bahan makanan
yang berbasis pati. Salah satu alternatif pengolahan jagung dan sebagai bentuk
diversifikasi pangan adalah pembuatan tepung jagung. Dalam penelitian ini akan
dipelajari pengaruh fermentasi spontan selama perendaman grits jagung putih
terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung yang dihasilkan dan
penentuan waktu fermentasi optimum untuk mendapatkan sifat tepung sesuai
dengan yang diinginkan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari dan melakukan modifikasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung
jagung putih dengan metode fermentasi spontan.
Pada tahap pertama dilakukan pembuatan tepung jagung 60 mesh
menggunakan metode fermentasi spontan dengan cara perendaman grits jagung
putih, dan dilanjutkan dengan analisa sifat fisik, kimia dan fungsionalnya. Pada
tahap ini juga dilakukan fraksinasi tepung jagung 60 mesh menggunakan ayakan
bertingkat 100 mesh (150 µm), 150 mesh (106 µm) dan 200 mesh (75µm)
sehingga didapatkan empat kelompok ukuran partikel tepung, selanjutnya
dilakukan analisa sifat fisik, kimia dan fungsionalnya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa proses fermentasi selama perendaman
grits jagung putih menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula
reduksi, pH, densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak; serta
meningkatkan sudut curah, derajat putih dan kapasitas penyerapan air pada tepung
yang dihasilkan. Proses fermentasi grits jagung putih sampai 24 jam akan
menurunkan suhu gelatinisasi tepung yang dihasilkan, dari 82oC pada tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi menjadi 76.2oC. Fermentasi lanjutan dari 24
jam sampai 48 jam suhu gelatinisasi relatif tetap (76.7oC) dan fermentasi lanjutan
sampai 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi (85.2oC).
Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas
puncak 493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam menghasilkan tepung
jagung dengan viskositas puncak relative tetap (560 BU). Selanjutnya, tepung
jagung yang dihasilkan melalui proses fermentasi selama 48 jam menunjukkan
viskositas puncak meningkat (648 BU), dan bertahan sampai dengan perendaman
grits jagung selama 60 jam (573 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72
jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550
BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi.
Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi jagung selama
12 jam mempunyai breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan
lebih tinggi daripada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU).
Stabilitas ini terus dipertahankan selama fermentasi sampai jam ke 60, dan setelah
72 jam stabilitas pemanasan menurun menjadi -60 BU. Proses fermentasi
menurunkan kecenderungan retrogradasi tepung yang dihasilkan. Hal ini
6

ditunjukkan dengan menurunnya rasio viskositas dingin dibanding viskositas


panas setelah 15 menit pengadukan pada suhu 95oC ( Vd ), yaitu dari 2.97 untuk
Vpa15
tepung yang dibuat tanpa proses fermentasi menjadi 1.87 pada tepung yang
diperoleh dengan proses fermentasi 48 jam. Proses fermentasi lanjutan selama 48
sampai 72 jam tidak mengubah kecenderungan retrogradasi tepung jagung.
Tepung jagung yang dihasilkan dengan perendaman 48 jam mempunyai
kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung yang
dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce), namun kekuatan gel ini akan mengalami
sedikit penurunan (14.48 gforce) jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam.
Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa
sifat kimia, kadar protein paling berpengaruh terhadap sifat fisik dan fungsional
tepung jagung. Semakin rendah kadar protein tepung jagung semakin rendah
loose density, packed density, sudut curah, kapasitas penyerapan minyak dan
retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin tinggi derajat putih, kapasitas
penyerapan air, viskositas puncak dan stabilitas pemanasan.
Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa
sifat fisik, packed density merupakan faktor paling berpengaruh terhadap sifat
fungsional. Semakin besar packed density tepung jagung, semakin besar
kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin kecil
derajat putih, kapasitas penyerapan air, stabilitas pemanasan serta sudut curah.
Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin kecil kadar serat
kasar, loose density, packed density, suhu gelatinisasi dan kekuatan gel
sedangkan kadar protein, kadar lemak, sudut curah, derajat putih, kapasitas
penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, viskositas puncak, breakdown
viscosity, retrogradasi dan kelengketan gel meningkat.
Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi selama 30 jam
meningkatkan kapasitas penyerapan air menjadi 128.9% dari tepung jagung non
fermentasi (115.9 %), dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam akan menurunkan
kembali kapasitas penyerapan air (113.6%); sedangkan fermentasi grits selama
70 jam menurunkan kapasitas penyerapan minyak menjadi 69.3% dari tepung non
fermentasi (82.8%).
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kemungkinan
terjadinya retrogradasi. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits
selama 30 jam menurunkan Vd (2.08) dari tepung non fermentasi (2.80) dan
Vpa15
fermentasi lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd (3.11); sedangkan
Vpa15
pada tepung berukuran partikel >150 – 250µm fermentasi grits selama 45 jam
menurunkan Vd (1.88) dari tepung non fermentasi (2.37) dan fermentasi
Vpa15
lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd (2.40)
Vpa15
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin rendah kekuatan gel. Pada
tepung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan
kekuatan gel (27.9 gforce) dari tepung non fermentasi (18.6 gforce), fermentasi
lanjutan sampai 45 jam tidak mengubah kekuatan gelnya (27.6 gforce), dan waktu
fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (17.6
7

gforce). Pada tepung berukuran partikel >106-150 µm, fermentasi selama 45 jam
meningkatkan kekuatan gel (25.4 gforce) dari tepung non fermentasi (13.2
gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan
kekuatan gel (14 gforce).
Dengan menggunakan analisa korelasi dan regresi, diperoleh beberapa
persamaan yang bisa digunakan untuk memprediksi pengaruh lama proses
fermentasi spontan (perendaman) terhadap beberapa sifat fisik, kimia dan
fungsional. Beberapa persamaan tersebut adalah Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8;
Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2 +
0.6628T + 12.923 dimana Tg adalah suhu gelatinisasi (oC), Vpa15 adalah
viskositas panas 15 menit (BU), Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung jagung
berukuran partikel >150-250 µm dan >106-150 µm dalam g force, dan t adalah
waktu fermentasi grits jagung (jam). Penelitian ini menunjukkan bahwa
pengaturan lama proses fermentasi dan ukuran partikel dapat digunakan untuk
mengendalikan beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih.

Kata kunci: jagung putih, fermentasi spontan, ukuran partikel, fisik, kimia,
fungsional
8

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009


Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
9

PENGARUH FERMENTASI SPONTAN SELAMA


PERENDAMAN GRITS JAGUNG PUTIH VARIETAS
LOKAL (Zea mays L.) TERHADAP KARAKTERISTIK
FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG YANG
DIHASILKAN

NUR AINI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
10

Judul Disertasi : Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits


Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) Terhadap
Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang
Dihasilkan
Nama : Nur Aini
NRP : F261040021

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc


Ketua

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, M.Si Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si
Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana


Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: 24 Maret 2009 Tanggal Lulus: 8 April 2009


11

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan berkahNya
sehingga penulisan disertasi yang berjudul ”Pengaruh Fermentasi Spontan Selama
Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) Terhadap
Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang Dihasilkan” dapat
diselesaikan. Disertasi ini dibuat sebagai salah satu syarat mahasiswa pascasarjana
program S3 untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terimakasih yang sangat tulus dan mendalam kepada Ketua Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc yang telah banyak meluangkan waktu untuk
membimbing, berdiskusi, memberikan arahan dan wawasan ilmu terutama di
bidang rekayasa pangan serta memberikan dorongan moril sehingga penulis dapat
menyelesaikan program S3 ini; anggota Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tien R.
Muchtadi, M.S. dan Dr. Ir. Nuri Andarwulan yang telah meluangkan waktu
dalam membimbing, memberikan saran dan tambahan pengetahuan kepada
penulis.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc sebagai dosen
penguji luar komisi pada ujian tertutup atas saran-saran dan masukannya yang
sangat menambah cakrawala pengetahuan penulis terutama di bidang Ilmu
Pangan, serta demi kesempurnaan Disertasi ini.
Terima kasih kepada Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS dan Dr. Ir. Titi Candra
Sunarti, M.Si sebagai dosen penguji pada ujian terbuka atas saran-saran, diskusi
dan masukannya yang menambah pengetahuan penulis dan demi kesempurnaan
Disertasi ini.
Terima kasih kepada Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc selaku ketua
Program Studi Ilmu Pangan atas saran-saran dan masukannya pada ujian tertutup.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc sebagai
pimpinan sidang pada ujian tertutup, juga atas saran-saran dan masukannya; juga
kepada Dr. Ir. Sam Herodian, MS sebagai Dekan Fakultas Teknologi Pertanian
atas kesediaannya sebagai pimpinan sidang pada Ujian terbuka.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para Staf Pengajar di
lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya pada
Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama
penulis menempuh pendidikan di IPB.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas
Jenderal Soedirman, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Teknologi
Pertanian dan Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menempuh pendidikan di IPB.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (Dikti) yang telah memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS)
untuk penulis mengikuti program Doktor di IPB. Ucapan terimakasih juga
penulis sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(DP2M) Dikti yang telah membantu sebagian dana penelitian melalui program
Hibah Bersaing XIV 2006-2007. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
12

PT Indofood Sukses Makmur Tbk. melalui Program Indofood Riset Nugraha


2008 yang telah membantu sebagian dana penelitian. Terima kasih kepada
Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) atas bantuannya pada penulisan
Disertasi.
Kepada Ayahanda Munawar (almarhum) dan Ibunda Muslihah, penulis
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang mendalam atas didikan, doa
restu, dorongan dan motivasi serta bantuan moril dan materiil sehingga
memberikan dukungan yang luar biasa bagi penulis untuk menyelesaikan
pendidikan hingga ke jenjang tertinggi. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada kakak-kakak, adik-adik dan semua saudara atas doa dan dukungannya
selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Rasa terimakasih yang sangat tulus
penulis sampaikan kepada Ananda Hanif Ainurrizky yang dengan penuh
pengertian dan sabar mendampingi selama penulis mengikuti program S3 ini.
Terima kasih kepada Ir Supadmo dari Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Jawa Tengah di Ungaran yang telah membantu pengadaan
jagung putih. Terima kasih kepada para sahabat di Program Studi Ilmu Pangan
IPB, baik yang telah lulus (Akhyar, M.Si, Dr. Ir. Sussi Astuti, Msi, Dr. Ir.
Yuspihana Fitrial, M.Si) maupun yang masih dalam proses kelulusan, atas
persahabatan yang indah serta kerjasama yang baik selama penulis menempuh
studi S3. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman di Jurusan
Teknologi Pertanian, terutama program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan,
Universitas Jenderal Soedirman atas dukungannya dalam menempuh program S3.
Terima kasih juga kepada staf administrasi dan teknisi, baik di Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan serta Seafast Center IPB atas bantuannya selama
penelitian.
Akhirnya semua budi baik yang diberikan kepada penulis semoga diterima
dan diberi balasan berlipat ganda oleh Allah SWT. Semoga disertasi ini
bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan. Amin.

Bogor, April 2009

Nur Aini
13

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati tanggal 1 Februari 1973 dari Bapak Munawar
dan ibu Muslihah. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian UGM pada tahun 1990 sampai 1995. Pada tahun 1999,
penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Program Pasca
Sarjana UGM dan menyelesaikannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk
melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pangan IPB diperoleh
pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Beasiswa Program Pasca
Sarjana (BPPS) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional.
Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Jendral Soedirman Purwokerto sejak tahun 1997 sampai
sekarang.
Karya ilmiah berjudul Hubungan Sifat Fisikokimia dan Amilografi
Tepung Jagung Putih yang Dipengaruhi Waktu Perendaman Grits Jagung telah
disajikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan (PATPI) di
Palembang pada bulan Oktober 2008. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan
judul Hubungan Sifat Kimia dan Rheologi Tepung Jagung Putih dengan
Fermentasi Spontan Grits Jagung di Forum Pasca Sarjana IPB volume 2 tahun
2009. Artikel-artikel tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis dalam
menyelesaikan program S3.
14

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS


2. Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti, M.Si
15

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN viii

DAFTAR ISTILAH X

1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan penelitian 6
1.3 Manfaat penelitian 6

2. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Komposisi kimia dan anatomi biji jagung 7
2.2 Jagung putih 9
2.3 Tepung jagung 11
2.4 Pati jagung 12
2.4.1 Amilosa 14
2.4.2 Amilopektin 15
2.5 Fermentasi spontan pada proses pengolahan serealia dan 15
umbi-umbian
2.6 Sifat fisik tepung 17
2.6.1 Ukuran partikel 18
2.6.2 Densitas kamba 19
2.6.3 Sifat alir 20
2.7 Sifat fungsional adonan 21
2.7.1 Gelatinisasi dan sifat adonan 21
2.7.2 Sifat rheologi 24

3. BAHAN DAN METODE 25


3.1 Waktu dan tempat penelitian 25
3.2 Bahan dan alat 25
3.3 Metode penelitian 26
3.4 Prosedur analisa 31
3.5 Analisa data 38

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39


4.1 Komposisi kimia bahan baku 39
4.2 Pengaruh waktu fermentasi spontan grits jagung terhadap 40
sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung
4.2.1 Komposisi kimia tepung jagung 40
4.2.2 Ukuran partikel tepung jagung 48
4.2.3 Densitas kamba tepung jagung 49
16

4.2.4 Sudut curah tepung jagung 54


4.2.5 Derajat putih tepung jagung 56
4.2.6 Kapasitas penyerapan air 59
4.2.7 Kapasitas penyerapan minyak 61
4.2.8 Suhu gelatinisasi 62
4.2.9 Viskositas puncak 64
4.2.10 Sifat adonan selama pemanasan 66
4.2.11 Retrogradasi adonan 72
4.2.12 Sifat gel 74
4.3 Validasi model prediktif yang dihasilkan 80
4.3.1 Packed density tepung jagung 80
4.3.2 Loose density tepung jagung 81
4.3.3 Sudut curah tepung jagung 81
4.3.4 Derajat putih tepung jagung 82
4.3.5 Suhu gelatinisasi 83
4.3.6 Viskositas panas saat dipertahankan selama 15 83
menit pada suhu 95oC (Vpa15)
4.3.7 Rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas 84
saat dipertahan selama 15 menit pada suhu 95oC
4.3.8 Kekuatan gel 85
4.4 Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan 86
ukuran partikel tepung terhadap sifat fisikokimia tepung
dan fungsional adonan jagung
4.4.1 Komposisi kimia tepung jagung 87
4.4.2 Densitas kamba tepung jagung 92
4.4.3 Sudut curah tepung jagung 96
4.4.4 Derajat putih tepung jagung 99
4.4.5 Kapasitas penyerapan air 101
4.4.6 Kapasitas penyerapan minyak 102
4.4.7 Suhu gelatinisasi 103
4.4.8 Viskositas puncak 104
4.4.9 Sifat adonan selama pemanasan 109
4.4.10 Retrogradasi adonan 113
4.4.11 Sifat gel 115
4.5 Pembahasan umum 117

5. SIMPULAN DAN SARAN 121


5.1 Simpulan 121
5.2 Saran 123

DAFTAR PUSTAKA 124

LAMPIRAN 133
17

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Beberapa proses fermentasi spontan yang dilakukan pada 5
serealia dan umbi-umbian
2. Distribusi komponen-komponen utama jagung 9
3. Komposisi kimia jagung putih dan kuning 10
4. Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin 14
5. Komposisi kimia jagung putih pipilan, grits jagung dan tepung 40
jagung
6. Komposisi kimia tepung jagung putih yang dihasilkan dengan 40
variasi waktu fermentasi grits jagung
7. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH air 42
perendam
8. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar pati, 46
gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan
9. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar amilosa 48
tepung jagung
10. Loose dan packed density tepung jagung dengan variasi waktu 50
fermentasi grits jagung
11. Sudut curah tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu 55
fermentasi grits jagung
12. Derajat putih tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi 57
waktu fermentasi grits jagung
13. Kapasitas penyerapan air tepung jagung yang dihasilkan dengan 60
variasi waktu fermentasi grits jagung
14. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan 61
dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
15. Suhu gelatinisasi adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi 63
waktu fermentasi grits jagung
16. Viskositas puncak adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi 65
waktu fermentasi grits jagung
17. Sifat-sifat adonan jagung selama pemanasan yang dihasilkan 67
dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
18. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kecenderungan 73
retrogradasi adonan tepung jagung
19. Sifat gel adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu 75
fermentasi grits jagung
18

20. Model prediktif beberapa sifat fisik dan fungsional tepung 79


jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung
21. Hasil pengukuran dan prediksi packed density tepung jagung 80
22. Hasil pengukuran dan prediksi loose density tepung jagung 81
23. Hasil pengukuran dan prediksi sudut curah tepung 82
jagung
24. Hasil pengukuran dan prediksi derajat putih tepung jagung 83
25. Hasil pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi tepung jagung 83
26. Hasil prediksi dan pengukuran Vpa15 84
27. Vd 84
Hasil pengukuran dan prediksi
Vpa15
28. Hasil pengukuran dan prediksi kekuatan gel tepung 85
jagung
29. Model prediktif sifat fisik dan fungsional tepung 86
jagung yang telah divalidasi
30. Komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi 88
waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung jagung
31. Kadar pati, kadar gula reduksi dan pH tepung jagung yang 91
dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi jagung dan ukuran
partikel tepung
19

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Potongan melintang jagung yang menunjukkan lokasi 7
komponen-komponen utama
2. Jagung putih dan kuning 10
3. Struktur internal dan organisasi granula pati 13
4. Ilustrasi kurva sifat-sifat gelatinisasi 23
5. Jagung putih yang digunakan 25
6. Pembuatan tepung jagung putih 27
7. Diagram alir jalannya penelitian tahap 1 dan 2 29
8. Diagram alir jalannya penelitian tahap 3 30
9. Bahan baku yang digunakan (a) jagung putih pipilan (b) grits 39
jagung
10. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar 43
protein tepung jagung
11. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap 44
konduktivitas air perendam
12. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH tepung 46
jagung
13. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar gula 47
reduksi tepung jagung
14. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap distribusi 49
ukuran partikel tepung jagung
15. Pengaruh kadar protein terhadap packed density tepung 51
jagung
16. Pengaruh kadar serat kasar terhadap loose density tepung 52
jagung
17. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap densitas 54
kamba tepung jagung
18. Pengaruh loose density terhadap sudut curah tepung jagung 56
19. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung 57
selama 0, 36 dan 60 jam
20. Pengaruh kadar protein terhadap derajat putih tepung jagung 58
21. Pengaruh packed density terhadap derajat putih tepung jagung 59
22. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap suhu 64
gelatinisasi adonan jagung
20

23. Amilografi tepung jagung yang dihasilkan dengan waktu 67


fermentasi grits jagung
24. Pengaruh kadar protein terhadap viskositas panas 15 menit 69
25. Pengaruh packed density tepung terhadap viskositas panas 15 71
menit
26. Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap Rv ( Vd ) 73
Vpa15

27. Pengaruh pH tepung jagung terhadap kekuatan gel 76


28. Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap 77
kekuatan gel
29. Partikel tepung jagung tanpa fermentasi dilihat menggunakan 87
scanning electron microscope (SEM)
30. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 89
tepung terhadap kadar serat kasar tepung jagung
31. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 90
tepung terhadap kadar protein tepung jagung
32. Pengaruh kadar protein dan ukuran partikel terhadap packed 93
density tepung jagung.
33. Pengaruh kadar serat kasar dan ukuran partikel tepung 93
terhadap packed density tepung jagung
34. Hubungan kadar serat kasar dengan packed density tepung 94
jagung
35. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 95
tepung terhadap loose density tepung jagung.
36. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 96
tepung terhadap packed density tepung jagung.
37. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 97
tepung terhadap sudut curah tepung jagung.
38. Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap 98
sudut curah tepung jagung putih
39. Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap 98
sudut curah tepung jagung putih.
40. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung 99
selama 15 jam
41. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 100
tepung terhadap derajat putih tepung jagung.
42. Pengaruh pH dan ukuran partikel tepung terhadap derajat 100
putih tepung jagung.
21

43. Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap 101
derajat putih tepung jagung.
44. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 102
tepung terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung.
45. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 103
tepung terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung.
46. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 104
tepung terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung.
47. Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung 105
non fermentasi
48. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 106
tepung terhadap viskositas puncak tepung jagung.
49. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap amilografi 106
tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm
50. Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap 107
viskositas puncak adonan jagung.
51. Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap 108
viskositas puncak adonan jagung
52. Pengaruh kadar amilosa dan ukuran partikel tepung terhadap 109
viskositas puncak adonan jagung.
53. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 110
tepung terhadap viskositas panas 15 menit pasta jagung.
54. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 110
tepung terhadap breakdown viscosity pasta jagung.
55. Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap 111
breakdown viscosity pasta jagung.
56. Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap 112
breakdown viscosity pasta jagung.
57. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 114
tepung terhadap viskositas dingin pasta jagung.
58. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 114
Vd
tepung terhadap adonan jagung.
Vpa15
59. Pengaruh ukuran partikel tepung terhadap amilografi tepung 115
jagung fermentasi 70 jam
60. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 116
tepung terhadap kekuatan gel tepung jagung
22

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Partikel tepung jagung fermentasi 45 jam dilihat menggunakan 133
scanning electron microscope (SEM)
2. Korelasi antara loose density dan packed density dengan 134
variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi
waktu fermentasi grits jagung
3. Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik 135
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung
4. Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik 136
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung
5. Korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan variabel 137
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung

6. Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel 138


kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung
7. Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik 139
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung
8. Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan 140
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
grits jagung
9. Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan 141
variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi
waktu fermentasi grits jagung
10. Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia 142
dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung
11. Korelasi antara kekuatan dan kelengketan gel dengan variabel 143
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung
12. Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel 144
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
13. Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik 145
23

tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits


jagung dan ukuran partikel tepung
14. Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik 146
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung
15. Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel 147
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
16. Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik 148
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung
17. Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan 149
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
grits jagung dan ukuran partikel tepung
18. Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan 150
variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi
waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
19. Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia 151
dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
20. Korelasi antara kekuatan gel dengan variabel kimia dan fisik 152
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung
21. Kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi 153
waktu fermentasi butiran jagung dan ukuran partikel tepung
24

DAFTAR ISTILAH

Istilah Arti
Grits jagung Jagung pipilan yang digiling menggunakan pin disc mill
sehingga dihasilkan jagung dengan ukuran partikel ± 4mm
Sifat fungsional Sifat suatu bahan maupun komponen bahan yang dapat
mencirikan fungsinya dalam suatu sistem
Suhu gelatinisasi suhu awal mulai terjadi peningkatan viskositas selama
pemanasan
Viskositas puncak viskositas tertinggi yang dicapai selama pemanasan
(VP)
Viskositas panas viskositas yang dicapai pada suhu 95oC
(Vpa)
Viskositas panas viskositas setelah dipertahankan selama 15 menit pada
15 menit (Vpa15) suhu 95oC
Breakdown Perubahan viskositas yang terjadi ketika suspensi
viscosity dipanaskan pada suhu 95°C selama 15 menit (VP – Vpa15)
Viskositas dingin viskositas yang dicapai pada saat suhu diturunkan ke
(VD) 50oC
Setback viscosity perubahan viskositas yang terjadi ketika suspensi
diturunkan suhunya dari viskositas puncak (VD- VP)
Kekuatan gel gaya yang diberikan pada saat gel mulai pecah
Koefisien korelasi Keeratan hubungan linier antara sepasang peubah x dan
(r) y, yang tidak ditentukan mana variabel bebas dan variabel
tidak bebas
Koefisien Koefisien keragaman; keeratan hubungan antara sepasang
determinasi atau peubah x dan y, yang diketahui variabel bebas dan
koefisien regresi variabel tidak bebas
(R2)
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Usaha penyediaan pangan merupakan masalah utama yang dihadapi
beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Sampai saat ini masalah
pengadaan beras sebagai bahan pangan sumber karbohidrat di Indonesia masih
belum teratasi sepenuhnya. Penyebab keadaan ini antara lain karena 95%
penduduk Indonesia mengutamakan beras sebagai makanan pokok. Saat ini
konsumsi beras nasional per kapita mencapai 139.15 kg/tahun, sedangkan
idealnya adalah 100 kg/tahun (Pusat Teknologi Agroindustri BPPT 2008).
Salah satu alternatif untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi saat ini
adalah melalui diversifikasi pangan untuk mendukung Program Ketahanan
Pangan. Dalam upaya memacu diversifikasi pangan, jagung merupakan salah satu
alternative yang dapat dipilih. Di Indonesia, produksi jagung sebagai bahan
pangan pokok berada di urutan ketiga setelah padi dan ubi kayu. Produksi jagung
nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan peningkatan
sebesar 11.225.243 ton (2004), 12.523.894 ton (2005), 11.609.403 (2006),
13.287.527 ton (2007) dan 15.860.299 ton (2008) (BPS, 2009). Produktivitas
jagung pada tahun 2008 mencapai 40 – 42.3 kuintal/ha dan sasaran pada tahun
2009 naik menjadi 44.12 kuintal/ha, dengan produksi 18 juta ton (Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian 2008).

Berdasarkan warnanya, jagung kering dibedakan menjadi jagung kuning


(90% bijinya berwarna kuning), jagung putih (90% bijinya berwarna putih) dan
jagung campuran yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jagung putih
mempunyai karakter endosperm dan pati yang bersifat spesifik. Dibandingkan
dengan jagung kuning, jagung putih merupakan jenis jagung yang kurang dikenal
luas karena penggunaannya sebagai bahan pangan kurang berkembang. Jagung
putih mempunyai biji berwarna putih dengan susunan dan ukuran biji yang
bervarisi, dan berdensitas tinggi yaitu 1.34 g/cm3, sedikit lebih tinggi
dibandingkan rata-rata jagung lain yaitu 1.3 g/cm3 (Poneleit 2001). Densitas
jagung putih yang lebih tinggi merupakan indikator kekerasan biji jagung yang
2

menyebabkan keterbatasan dalam proses penggilingan untuk digunakan sebagai


bahan makanan yang berbasis pati (Vegrains 2005). Padahal jagung putih
mempunyai keistimewaan yaitu pada budidaya lebih tahan terhadap kekeringan
dan produktivitasnya lebih tinggi daripada jagung kuning. Jagung putih juga
mengandung sejumlah komponen yang mengkilap seperti kaca (tekstur
“glasslike”) pada endosperm yang jumlahnya relative terhadap endosperm yang
bertepung.

Di Indonesia, jagung putih dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai nasi


jagung, selain sebagai bahan baku industri rumah tangga seperti marning dan
emping jagung. Dilihat dari nilai gizi, kandungan protein jagung putih (10.36%),
lebih tinggi dibandingkan dengan jagung kuning (9.5%) (Watson 1987 dan
Asiamaya.com 2009). Kandungan protein jagung ini lebih tinggi daripada beras
giling (6,69 %).

Untuk memenuhi kebutuhan jagung untuk konsumsi langsung, di beberapa


daerah masyarakat membuat tepung jagung dengan peralatan sederhana
(perendaman dan tanpa perendaman). Perendaman dilakukan dengan tujuan
melunakkan endosperm yang bersifat keras (horny endosperm) sehingga lebih
memudahkan pada proses pengolahan. Beberapa pabrik pengolahan jagung
menghasilkan tepung jagung (40 dan 50 mesh) sebagai produk samping (10%)
disamping grits jagung (8, 12, 16, 24 mesh) sebagai produk utama yang
digunakan sebagai bahan baku snack jagung (Pusat Teknologi Agroindustri BPPT
2008). Penelitian tentang sifat-sifat tepung jagung putih dilakukan untuk
mengetahui sifat tepung jagung putih sehingga bermanfaat dalam aplikasi untuk
menentukan produk pangan yang cocok dibuat berdasarkan sifat-sifat tersebut.
Pengendalian sifat fungsional tepung jagung penting untuk mendesain
beberapa produk makanan berbasis tepung jagung, terutama untuk kelompok
orang yang tidak toleran terhadap gluten. Tepung jagung dipilih sebagai langkah
awal diversifikasi pengolahan jagung putih karena beberapa hal. Pertama, tepung
lebih luas penggunaannya untuk berbagai macam bahan makanan. Kedua,
penyimpanan tepung lebih mudah dan umur simpan lebih lama. Ketiga, adanya
3

defisiensi beberapa zat gizi dapat lebih mudah difortifikasi atau disuplementasi
jika dalam bentuk tepung.
Ukuran partikel merupakan salah satu sifat fisik penting karena perannya
dalam unit operasi seperti mixing, pengeringan, ekstrusi dan pneumatic handling.
Selain itu ukuran partikel tepung penting dalam evaluasi kualitas dan sifat tepung
selama pengolahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ukuran dan
distribusi ukuran partikel tepung mempengaruhi sifat fisik, kimia dan fungsional
tepung. Iwuoha dan Nwakanma (1998) menyatakan bahwa semakin besar ukuran
partikel tepung ubi jalar, semakin rendah densitas dan viskositas adonan pada saat
pendinginan. Bedolla dan Rooney (1984) menyatakan bahwa ukuran partikel
tepung jagung ternikstamalisasi berkorelasi positif dengan suhu gelatinisasi,
semakin tinggi ukuran partikel tepung jagung semakin tinggi suhu gelatinisasi.
Meningkatnya ukuran partikel tepung amaranth juga meningkatkan suhu
gelatinisasi (Valdez-Niebla et al.1993). Cadden (1987) menyatakan bahwa ukuran
partikel yang semakin kecil menurunkan daya alir tepung.
Sifat fisik produk yang berbasis tepung sangat dipengaruhi sifat-sifat
fungsional adonan. Viskositas adonan tepung penting dalam penggunaannya
sebagai pengganti gum. Water holding capacity, kelarutan tepung dan viskositas
adonan merupakan parameter penting yang menentukan kualitas bahan sumber
karbohidrat yang digunakan sebagai fat substitutes. Indeks penyerapan air dan
indeks kelarutan air berguna dalam formulasi adonan makanan dan aplikasi
minuman karena sifat alami hidrofobik/hidrofiliknya. Sedangkan indeks
penyerapan lemak dapat menunjukkan interaksi alami antara lemak dengan
komponen tepung.
Salah satu proses pengolahan umbi-umbian dan serealia menjadi tepung
dan adonan adalah metode fermentasi spontan yang dapat dilakukan secara
sederhana yaitu merendam bahan di dalam air selama selang waktu tertentu.
Menurut Sefa-Dedeh dan Cornelius (2000) perendaman biji-bijian dalam air yang
berlebihan akan diikuti pertumbuhan beberapa mikroorganisme yang diinginkan,
seperti bakteri asam laktat, yeast, dan jamur. Menurut Latunde-Dada (2009), pada
proses fermentasi sereal seperti jagung, sorgum dan milet menjadi ogi dan agidi
terdapat peran beberapa mikroorganisme seperti Saccharomyces cereviceae,
4

Lactobacillus sp, Fusarium sp, Candida mycoderma dan Penicillium sp.


Sementara itu Amusa et al. (2005) menemukan adanya Lactobacillus lactis,
Lactobacillus fermenter dan Streptococcus lactis pada ogi. Nago et al. (1998)
menyatakan bahwa mikroorganisme yang dominant pada ogi adalah bakteri asam
laktat (109 CFU/g) dan yeast (107 CFU/g).
Salah satu masalah pada jagung adalah tingginya kadar mikotoksin,
terutama aflatoksin, walaupun masih dibawah nilai ambang batas (30 ppb)
persyaratan untuk dikonsumsi. Pada umumnya kadar aflatoksin pada jagung
petani di Indonesia bervariasi, yaitu kisaran 4,5 ppb – 665 ppb dengan perincian
47,62 % sampel terinfeksi aflatoksin dengan kadar 4,5 ppb – 24 ppb; 52,38 %
sampel terinfeksi dengan kadar 72,0 ppb – 665 ppb. Dari sejumlah sampel
pedagang pengumpul/pengekspor, ditemukan hanya 50% yang mengekspor biji
jagung dengan kadar aflatoksin <30 ppb (Balai Penelitian Tanaman Serealia
2007).
Mikroorganisme yang tumbuh pada proses fermentasi, terutama bakteri,
potensial dalam mendegradasi mikotoksin atau mengurangi bioavailabilitasnya.
Diantara bakteri yang ada, bakteri asam laktat telah diidentifikasi dapat
mengurangi availabilitas aflatoksin secara in vitro (Gratz 2007). Di antara 5 galur
Lactobacillus, L. rhamnosus galur GG dan galur LC705 paling efisien dalam
mengikat aflatoksin B1 dan menghilangkan 80% aflatoksin B1 dari media selama
0 jam inkubasi yang menunjukkan pengikatan tersebut berlangsung sangat cepat
(Haskard et al. 2001). Munimbazi dan Bullerman (1998) menyatakan bahwa
isolat Bacillus pumilus dapat menghambat pertumbuhan jamur penghasil
aflatoksin sebesar 98.2% sampai 99%.
Menurut Achi dan Akomas (2006) fermentasi digunakan secara luas untuk
mengubah dan mengawetkan makanan karena teknologinya mudah dan keperluan
energinya rendah serta produk akhirnya mempunyai kualitas organoleptik yang
unik, salah satunya yaitu mempunyai flavor yang menyenangkan. Pada sereal
yang difermentasi, bakteri asam laktat menghasilkan komponen utama berupa
asam laktat yang merupakan komponen aroma non volatil utama di samping
komponen flavor yang lain yaitu asam karboksilat, ester dan aldehid (Onyango et
al. 2004).
5

Beberapa penelitian mengenai fermentasi pada umbi-umbian dan serealia


telah dilakukan. Proses fermentasi spontan pada sereal dan umbi-umbian
menghasilkan perubahan beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung seperti
terlihat pada Tabel 1.
Proses fermentasi serealia dan umbi-umbian dalam pembuatan tepung dan
pasta memerlukan waktu fermentasi yang bervariasi. Pembuatan ogi, makanan
tradisional dari Nigeria biasanya dipersiapkan dengan cara perendaman biji
jagung selama 1-2 hari, diikuti penggilingan dan fermentasi lanjutan selama 1-3
hari (Nago et al. 1998). Aremu (1993) membuat ogi dengan cara merendam biji
jagung dalam aquadest dengan perbandingan 1:2 selama 48 jam sehingga pHnya
mencapai 4.5. Pembuatan uji, sereal yang difermentasi dilakukan dengan
merendam sereal dalam air dengan perbandingan 1:1 selama 24 jam (Onyango et
al. 2003).

Tabel 1 Beberapa proses fermentai spontan yang dilakukan pada serealia dan
umbi-umbian
Peneliti Bahan baku dan Perubahan sifat produk yang
produk dihasilkan
Subagio Fermentasi ubi kayu • Kadar serat tepung menurun
(2006) selama 12 – 72 jam • Kemampuan pembentukan gel
menghasilkan tepung dan daya rehidrasi meningkat
ubi kayu terfermentasi • Viskositas adonan panas dan
dingin meningkat
Dufour et al. Fermentasi adonan • Viskositas maksimum adonan
(2006) dari ubi kayu menurun
• Daya pengembangan meningkat
Elkhalifa et Fermentasi sorghum • Densitas menurun 10 %
al. (2005) 24 jam menghasilkan
tepung sorghum
Onofiok dan Fermentasi sereal • Densitas dan viskositas adonan
Nnanyelugo menghasilkan menurun
(1998) makanan sapihan
Onyango et Fermentasi sereal • Viskositas menurun
al. (2003) menjadi ogi

Waktu fermentasi bahan dalam pembuatan tepung mempengaruhi sifat


produk yang dihasilkan. Untuk mendapatkan waktu fermentasi yang optimal
6

dapat dilakukan dengan cara pembentukan model hubungan antara waktu


fermentasi dan sifat fisik, kimia dan fungsional tepung. Model adalah suatu
struktur yang dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan hubungan dan
karakteristik beberapa obyek tertentu. Menurut Williams (1991), suatu model
sering membuka hubungan yang mungkin tidak kelihatan pada beberapa
parameter tertentu dan sebagai hasilnya bisa diperoleh pengetahuan yang lebih
besar pada obyek yang dimodel.
1.2 Tujuan penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik, kimia
dan fungsional tepung jagung putih. Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi proses fermentasi spontan grits jagung.
2. Mengetahui adanya interaksi antar sifat fisik, kimia dan fungsional tepung
jagung. Pembentukan model dilakukan untuk interaksi antar variabel yang
teridentifikasi.
3. Mengetahui sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi ukuran partikel tepung dan waktu fermentasi grits jagung.

1.3 Manfaat penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti dan pihak terkait untuk
mempermudah optimalisasi produksi tepung jagung putih dalam aplikasinya pada
produk pangan. Selain itu penelitian ini dapat membantu masyarakat tentang
alternatif pemanfaatan produk pangan dari jagung putih, sesuai dengan sifat fisik,
kimia dan fungsional yang dimilikinya serta meningkatkan nilai ekonomis jagung
putih, sebagai diversifikasi pangan terutama sebagai produk olahan.
7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi kimia dan anatomi biji jagung

Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama, yaitu (a) perikarp, lapisan luar
yang tipis, berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan
kehilangan air; (b) endosperm, sebagai cadangan makanan, mencapai 75% dari
bobot biji yang mengandung 90% pati dan 10% protein, mineral, minyak, dan
lainnya; dan (c) lembaga atau germ, sebagai miniatur tanaman yang terdiri atas
plamule, akar radikal, scutelum, dan koleoptil (Hardman dan Gunsolus 1998).
Bagian-bagian biji jagung ini dapat dilihat pada Gambar 1. Selain itu biji jagung
juga mengandung tip cap yaitu bagian yang menghubungkan biji dengan janggel.

Gambar 1 Potongan melintang jagung yang menunjukkan lokasi komponen-


komponen utama (Shukla dan Cheryan 2001)

Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama


proses pembentukan biji. Pada waktu kariopsis masih muda, sel-selnya kecil dan
tipis, tetapi sel-sel itu berkembang seiring dengan bertambahnya umur biji. Pada
taraf tertentu lapisan ini membentuk membran yang dikenal sebagai kulit biji atau
testa/aleuron yang secara morfologi adalah bagian endosperm. Bobot lapisan
aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji. Perikarp merupakan lapisan luar biji
yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10%
protein (Subekti et al. 2008).
Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85%
yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury
8

endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati endosperm tersusun
dari senyawa anhidroglukosa yang sebagian besar terdiri atas dua molekul, yaitu
amilosa dan amilopektin, dan sebagian kecil bahan antara (White 1994). Namun
pada beberapa jenis jagung terdapat variasi proporsi kandungan amilosa dan
amilopektin.
Protein endosperm jagung terdiri atas beberapa fraksi, yang berdasarkan
kelarutannya diklasifikasikan menjadi albumin (larut dalam air), globumin (larut
dalam garam), zein atau prolamin (larut dalam alkohol konsentrasi tinggi), dan
glutelin (larut dalam alkali). Proporsi masing-masing fraksi protein pada
endosperm adalah 3% albumin, 3% globulin, 60 % zein, dan glutelin 26% (Vasal
1994).
Zein merupakan protein penyimpanan terbesar pada endosperm jagung.
Berdasarkan pada konstanta sedimentasi dan difusi, molekul zein mempunyai
bentuk globula panjang (rasio axial sekitar 15:1). Protein zein mempunyai
komposisi asam amino dengan kadar asam glutamat, prolin, leusin dan alanin
yang tinggi; serta kadar lisin, triptofan, histidin dan metionin yang rendah.
Berdasarkan pada perbedaan kelarutan, ada 2 jenis protein zein yaitu α-zein yang
larut pada etanol 95 % dan ß-zein yang larut pada etanol 60 %. α-zein
mengandung lebih banyak histidin, arginin, prolin dan metionin daripada ß-zein
(Laszity 1986).
Protein glutelin tidak hanya berfungsi sebagai protein penyimpanan, tetapi
juga sebagai protein struktural (protein membran atau protein kompleks, protein
dinding sel). Protein glutelin mempunyai kadar lisin, arginin, histidin dan kadar
triptofan lebih tinggi daripada zein, tetapi mempunyai kadar asam glutamat yang
lebih rendah.
Lembaga merupakan bagian biji jagung dengan porsi yang cukup besar.
Pada biji jagung tipe gigi kuda, lembaga meliputi 11,5% dari bobot keseluruhan
biji. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu scutelum dan poros embrio
(embryonic axis). Lembaga dicirikan oleh tingginya kadar lemak (33.2%), protein
(18.4%), dan mineral (10.5%) (Tabel 2).
9

Tabel 2. Distribusi komponen-komponen utama jagung


Komponen Biji utuh Berat kering komponen (%)
(%) Endosperma Lembaga Perikarp Tip cap
Pati 62 87 8.3 7.3 5.3
Protein 7.8 8 18.4 3.7 9.1
Lemak 3.8 0.8 33.2 1 3.8
Abu 1.2 0.3 10.5 0.8 1.6
Lain-lain* 10.2 3.9 29.6 87.2 80.2
Air 15 - - - -
Keterangan: * By difference: termasuk serat, nitrogen non protein, pentosan, asam fitat,
gula terlarut, xantofil
Sumber: Shukla dan Cheryan (2001)

Analisis kimia biji jagung menunjukkan bahwa masing-masing fraksi


mempunyai sifat yang berbeda (Tabel 2). Proses pengolahan dengan
menghilangkan sebagian dari fraksi biji jagung akan mempengaruhi mutu gizi
produk akhir (Subekti et al. 2008). Informasi komposisi kimia tersebut
bermanfaat bagi industri pangan untuk menentukan jenis bahan dan proses yang
harus dilakukan agar diperoleh mutu produk yang sesuai dengan yang diinginkan.

2.2 Jagung putih


Deskripsi sederhana jagung putih adalah biji jagung tanpa perwarnaan
pigmen kuning. Definisi yang lebih lengkap menyatakan bahwa endosperm biji
jagung putih tidak hanya harus murni putih, tanpa pigmen kuning sama sekali,
tetapi juga tanpa warna merah atau biru yang disebabkan pigmen antosianin dan
coklat atau perubahan warna lain yang diakibatkan komponen flavonoid. Lapisan
aleuron dan kulit juga harus bersih dan terhindar dari antosianin dan komponen
flavonoid yang lain. Jagung putih yang diinginkan mempunyai biji besar dan
seragam, punya atau hanya terdiri dari gigi-gigi yang ringan, mempunyai specific
gravity tinggi, tidak ada yang retak dan bebas dari penyakit busuk terutama yang
dapat menyebabkan akumulasi aflatoksin (Poneleit 2001).
Warna jagung yang umum ada sekarang adalah putih dan kuning (Gambar
2). Namun demikian ada juga jenis jagung dengan warna lain seperti blue corn.
Pada umumnya, dengan harga yang sama, di Afrika bagian timur dan selatan,
jagung putih lebih disukai jika dibandingkan jagung kuning. Menurut Jayne et al.
(1996), jagung putih lebih rendah mutunya untuk konsumsi manusia
10

dibandingkan jagung kuning. Sebagai hasilnya, jagung kuning dikonsumsi hanya


pada musim kering, pada saat jagung putih tidak tersedia.

Gambar 2 Jagung putih dan kuning (Sumber


http://www.swallowtailgardenseeds.com/assets)

Tabel 3 Komposisi kimia jagung putih dan kuning (basis kering)


Komposisi kimia Jagung kuning pipilan a) Jagung putih pipilanb)
Protein (% bk) 9.5 10.36
Lemak (% bk) 4.3 4.9
Serat (% bk) 9.5 11.2
Kalsium (% bk) 0.03 0.008
Besi (mg/100 g) 3 2.16
Karotenoid total (mg/kg) 30 -
Vitamin B1 (mg/100 g) 0.33 0.38
Sumber: a) Watson (1987)
b)
hasil pengolahan data asiamaya.com (2009)

Jagung putih yang murni cocok untuk pengolahan jagung terutama untuk
produk penggilingan kering (Poneleit 2001). Jagung putih juga digunakan dalam
proses pemasakan dengan kapur untuk membuat tortilla, chips jagung dan snack
(Hansen & Van der Sluis 2004). Karena jagung putih umumnya diproses dengan
penggilingan kering, pemasakan dengan basa atau penggilingan basah, faktor
penting yang perlu dipertimbangkan adalah true density. True density jagung
11

putih rata-rata 1.34 g/cm3, sedikit lebih tinggi daripada jenis jagung lain yaitu 1.3
g/cm3. True density yang tinggi merupakan indikator kekerasan dan diinginkan
untuk penggilingan kering dan pemasakan dengan kapur (US Grain Council
2006).

2.3 Tepung jagung


Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi produk pangan diantaranya
tepung jagung, minyak dan pati jagung. Tepung jagung merupakan salah satu
produk jagung yang didapatkan dengan proses penggilingan kering dengan ukuran
partikel kurang dari 0,193 mm (ayakan US no 75) (Serna-Saldivar et al. 2001).
Menurut SNI 01-3727-1995, syarat ukuran partikel tepung jagung adalah minimal
99% lolos ayakan 60 mesh dan minimal 70% lolos ayakan 80 mesh. SNI 01-3727-
1995 juga mensyaratkan kadar air maksimal 10%. Beberapa produk pangan yang
terbuat dari tepung jagung antara lain adalah pancake, muffin, donat, roti,
breading, batter dan makanan bayi (Hansen & Van der Sluis 2004). Tepung
jagung juga digunakan sebagai bahan baku sereal sarapan siap saji, makanan
ringan dan sebagai bahan pengikat dalam pengolahan daging.
Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung adalah proses
pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses
pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung
karena kandungan seratnya tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur
kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa
pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau
bagian pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi
kasar. Partikel tip cap akan terlihat sebagai butir-butir hitam yang merusak warna
tepung. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling
menjadi tepung.
Proses pembuatan tepung jagung biasanya dilakukan dengan cara
penggilingan kering (Yuan & Flores 1996). The North American Millers
Association dalam Hansen dan Van der Sluis (2004) menggolongkan
penggilingan jagung dengan metode kering menjadi tiga metode yaitu proses
degerming tempering, stone-ground process atau proses nondegerming dan proses
12

pemasakan secara alkali (nixtamalization). Ketiga proses tersebut akan


menghasilkan karakter tepung dan nilai gizi yang berbeda. Proses degerming
tempering paling umum dilakukan, dengan cara memisahkan bagian
endospermnya kemudian digiling, dikeringkan, dan diayak. Proses ini
menghasilkan tepung jagung berukuran paling halus.

2.4 Pati jagung


Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama
karena mensuplai kebutuhan energi manusia dengan porsi tinggi. Lebih dari 80%
tanaman pangan terdiri dari biji-bijian dan tanaman sumber pati lainnya. Dalam
bentuk aslinya pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis
pati sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula,
karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum serta
permukaan granulanya (Jobling 2004).
Komponen utama biji jagung adalah pati, yaitu sekitar 72 sampai 73% dari
berat biji. Karbohidrat lain berada sebagai gula sederhana seperti glukosa, sukrosa
dan fruktosa dengan jumlah bervariasi antara 1 sampai 3% dari biji. Pati jagung
terdiri dua polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Pada jagung jenis
endosperm dent atau flint, jumlah amilosa 25 sampai 30%, sedang amilopektin
mencapai 70 sampai 75%. Jumlah amilosa dan amilopektin bervariasi menurut
jenis jagungnya (Sandhu et al. 2004). Pati jagung yang mengandung hampir
100% amilopektin menghasilkan produk dengan tekstur lebih stabil.
Berdasarkan data dan analisa Transmission Electron Microscope (TEM),
telah diajukan beberapa model struktur kristalin pati (Gallant et al. 1997; Ridout
et al. 2002). Dengan mengkombinasikan hasil penelitian beberapa tahun
menggunakan teknik mikroskop, ilmuwan dapat menyusun struktur internal dan
organisasi granula pati seperti terlihat pada Gambar 3. Granula pati (2-100 µm)
terdiri dari bagian semi kristalin (120–500 nm) dan amorf (120–500 nm)
(Vandeputte & Delcour, 2004). Di dalam granula, pati tersusun atas lingkaran
yang menyebar keluar dari pusat ke permukaan granula. Jumlah dan ukuran
lingkaran tergantung asal pati (Ridout et al. 2002). Studi eksperimental
13

menunjukkan bahwa cincin semi kristalin terutama tersusun atas rantai


amilopektin.

Gambar 3 Struktur internal dan organisasi granula pati (Gallant et al. 1997)
2.4.1 Amilosa
Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari
struktur cincin piranosa. Amilosa umumnya dinyatakan sebagai bagian linier dari
pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan β-amilase pada beberapa jenis
14

pati tidak diperoleh hasil hidrolisa yang sempurna. β-amilase menghidrolisa


amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari
ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa.
Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode
ekstraksi yang digunakan. Secara umum amilosa yang diperoleh dari umbi-
umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibanding
amilosa dari pati biji-bijian. Kemampuan amilosa untuk berinteraksi dengan
iodine membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi
adanya pati.
Amilosa dapat terpisah dari granula yang mengembang di atas suhu
gelatinisasi. Fraksi amilosa biasanya dapat diisolasi dengan cara leaching
(Hizukuri 1996), dengan cara dispersi dan presipitasi dan dengan metode
ultrasentrifugasi (Majzoobi et al. 2003). Vorwerg et al. (2002) berhasil
mengisolasi dengan metode kombinasi enzim untuk memecah cabang amilopektin
diikuti pembentukan kompleks 1-butanol pada amilosa. Sifat-sifat umum dan
fungsionalitas amilosa disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin


Sifat Amilosa Amilopektin
Struktur molekul Linear (α-1,4) Cabang (α-1,4; α-1,6)
Berat molekul ~106 dalton ~108 dalton
Derajat polimerisasi 1500 – 6000 3x105 – 3x106
Kompleks helix Kuat Lemah
Pewarnaan iod Biru Merah-ungu
Larutan encer Tidak stabil Stabil
Retrogradasi Cepat Lambat
Sifat pembentuk gel Kaku, tak dapat balik Lunak, reversible
Sifat pembentuk film Kuat Lemah dan mudah patah
Sumber: Chen (2003)

2.4.2 Amilopektin
Amilopektin merupakan komponen utama dari pati dan merupakan
polisakarida terbesar. Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan
α-(1,4) pada rantai lurusnya serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya.
Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5% dari keseluruhan ikatan yang
15

ada pada amilopektin. Amilopektin secara dominan bertanggung jawab terhadap


kristalinitas granula pati (Gallant et al. 1997).
Peranan enzim ß-amilase sangat bermanfaat dalam memberikan informasi
struktur amilopektin. Enzim ini akan mendegradasi amilopektin secara tidak
lengkap, menghasilkan 50-60% maltosa dan dekstrin dengan berat molekul tinggi
yang mengandung semua ikatan antar (interchange linkage) dan bagian dalam
molekul. Untuk mengetahui distribusi panjang rantai amilopektin biasanya
dianalisa menggunakan HPLC (high performance liquid chromatography), SEC
(size exclusion chromatography) dan high performance anion exchange
chromatography (HPAEC). Rata-rata panjang rantai amilopektin adalah 18-24
(Hizukuri 1996).

2.5 Fermentasi spontan pada proses pengolahan serealia dan umbi-umbian


Menurut Steinkraus (2002) makanan terfermentasi adalah substrat
makanan yang ditumbuhi mikroorganisme yang dapat dimakan, terutama amilase,
protease dan lipase yang menghidrolisis polisakarida, protein dan lemak menjadi
produk dengan flavor, aroma dan tekstur menyenangkan dan menarik bagi
konsumen. Makanan terfermentasi mempunyai keunggulan lebih stabil selama
penyimpanan, lebih aman dikonsumsi, serta meningkatnya nilai gizi dan daya
terima pada konsumen. Makanan terfermentasi lebih aman dikonsumsi karena
proses fermentasi dapat menghilangkan zat anti nutrisi dan racun yang biasanya
terdapat pada bahan mentah dan diproduksi selama penyimpanan.
Fermentasi asam laktat pada serealia dan ubi kayu merupakan teknologi
yang berkembang pada skala rumah tangga di negara-negara Afrika. Produk-
produk seperti ogi, mumu, mahewu dan uji merupakan makanan dari sereal yang
diasamkan dan dikonsumsi secara luas baik pada orang dewasa maupun anak-
anak (Nout 1989, Oluwamukomi et al. 2005, Amusa et al. 2005). Di Nigeria,
makanan sapihan pertama biasanya disebut pap (dibuat dari jagung fermentasi)
dan pap juga digunakan sebagai makanan utama pada orang dewasa. Ogi dari
Nigeria terbuat dari jagung, millet atau sorghum yang dicuci dan direndam selama
2 sampai 72 jam sampai terjadi fermentasi asam laktat. Setelah itu biji-bijian
tersebut ditiriskan dan digiling halus serta diayak sehingga menghasilkan slurry
16

yang halus dengan kadar padatan sekitar 8% (Banigo dan Muller 1972). Uji dari
Kenya merupakan produk yang serupa dengan ogi tetapi sebelum dicampur
dengan air dan difermentasi dilakukan penggilingan terlebih dahulu. Slurry awal
terdiri dari 30 % padatan yang kemudian difermentasi spontan selama 2 sampai 5
hari sampai menghasilkan 0.3 sampai 0.5 % asam laktat. Slurry kemudian
diencerkan sehingga kadar padatan menjadi 4 sampai 5% dan ditambahkan 6%
sukrosa untuk dikonsumsi (Gatumbi dan Muriru 1987).
Proses fermentasi spontan dilakukan dengan cara merendam bahan dalam
air pada selang waktu tertentu dengan memanfaatkan mikroorganisme dari
lingkungan. Selama proses perendaman tersebut terjadi perubahan sifat yang
disebabkan adanya aktivitas bakteri antara lain adalah bakteri asam laktat
(Hounhouigan et al. 1993a, Johansson et al. 1995). Menurut Hounhouigan et al.
(1993a), Lactobacillus fermentum dan Lactobacillus brevis merupakan spesies
utama yang ditemukan di mawe, adonan dari jagung yang difermentasi.
Sedangkan Johansson et al. (1995) menyatakan bahwa Lactobacillus plantarum
merupakan mikroorganisme dominan yang berada pada ogi. Nago et al. (1998)
menemukan 65 strain bakteri asam laktat yang diisolasi dari ogi yang berasal dari
Benin, yang pada umumnya adalah lactobacilli yang bersifat heterofermentatif.
Tiga spesies yang utama (sekitar 90%) adalah Lactobacillus fermentum biotype
cellobiosus, Lactobacillus brevis dan Lactobacillus fermentum; sedangkan yang
lain adalah Lactobacillus curvatus dan Lactobacillus buchneri (6%). Sedangkan
Akinrele (1970) mengidentifikasi Lactobacillus plantarum, Corynebacterium sp.
dan Aerobacter cloacae sebagai mikroorganisme yang dominan pada ogi Nigeria.
Selain bakteri juga ditemukan adanya yeast pada proses fermentasi
serealia (Nago et al. 1998, Hounhouigan et al. 1993b, Akinrele 1970). Menurut
Nago et al. (1998) pada ogi dari Benin diisolasi 54 strain yeast, 41% merupakan
spesies Candida, yang meliputi C. humicola dan C. krusei. Sebanyak 26%
diidentifikasi sebagai isolat yeast Geotrichum; sedangkan isolat lain diidentifikasi
sebagai Cryptococcus dan Trichosporan. Hounhouigan et al. (1993b) mengisolasi
Candida krusei dan Candida kefyr dari mawe. Sementara itu Akinrele (1970)
mengisolasi Candida krusei, Rhodotorula spp, Saccharomyces cerevisiae dan
Candida mycoderma dari ogi.
17

Proses fermentasi sereal dan ubi kayu menghasilkan beberapa perubahan


sifat fisik dan fungsional produk yang dihasilkan. Menurut Subagio (2006), pada
fermentasi ubi kayu, mikroorganisme yang tumbuh selama proses fermentasi akan
menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan
dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi pelunakan granula pati.
Proses pelunakan granula pati ini menyebabkan perubahan sifat fisik tepung yang
dihasilkan berupa meningkatnya kemampuan membentuk gel, daya rehidrasi dan
kemudahan melarut pada tepung serta naiknya viskositas adonan. Hounhouigan
et al. (1993b) menyatakan bahwa bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik pada
mawe dapat menurunkan densitas kamba dan viskositas adonan. Nago et al.
(1998) menyatakan bahwa daya cerna protein secara in vitro pada ogi 20% lebih
tinggi daripada tepung jagung biasa karena adanya enzim proteolitik dan atau
dihasilkan oleh bakteri proteolitik. Menurut Lorri (1993) densitas energi adonan
sereal yang difermentasi asam laktat sebesar 1.2 kkal/g, lebih tinggi 3 kali lipat
daripada adonan sereal yang tidak difermentasi asam laktat pada kekentalan yang
sama yaitu 0.4 kkal/g. Daya cerna protein secara in vitro pada sereal dengan
kadar tannin tinggi meningkat dari 32 menjadi 40% sebelum fermentasi menjadi
41 sampai 60% setelah fermentasi asam laktat.

2.6 Sifat fisik tepung


Sifat fisik tepung dapat dipelajari menggunakan pendekatan pada sifat-
sifat produk berbentuk bubuk. Karakterisasi sifat fisik produk berbentuk bubuk
biasanya dilakukan pada dua tingkat, yaitu pada tingkat partikel dan pada tingkat
bulk (Peleg 1983). Sifat-sifat makanan berbentuk bubuk dalam bentuk bulk
dipengaruhi oleh sifat-sifat partikelnya, dan hubungan antara keduanya tidak
sederhana karena ada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya, seperti
sistem geometri serta perlakuan mekanis dan thermal yang diberikan selama
pembuatannya. Dalam banyak hal tidak mungkin untuk memperkirakan sifat-
sifat bulk hanya dari sifat partikelnya saja jika informasi proses mekanis dan
thermal yang diberikan tidak lengkap dan akurat. Pada hal-hal tertentu, sifat-sifat
pada tingkat bulk dapat diperkirakan sebagai sifat partikel meskipun tidak selalu
tepat.
18

Karakterisasi makanan berbentuk bubuk diperlukan untuk aplikasinya


dalam quality assurance, desain proses dan pengembangannya. Penentuan sifat-
sifat bubuk yang tepat dan akurat merupakan aspek penting dalam produksi
bubuk.

2.6.1 Ukuran partikel


Ukuran partikel penting dalam evaluasi kualitas tepung, sifat tepung dalam
pengolahan dan kenampakan produk-produk yang diproses dengan cara
pemanggangan. Menurut Davies (2006) metode analisis ukuran partikel dibagi
menjadi 6 kelompok yaitu (1) metode visual (misalnya dengan mikroskop optik
dan mikroskop elektron); (2) metode pemisahan (misalnya pengayakan); (3)
metode scanning stream; (4) metode scanning field (misalnya dengan fifraksi
laser; (5) metode pengendapan; dan (6) metode permukaan (misalnya
permeabilitas, adsorbsi). Diantara metode-metode tesebut, metode pengayakan
paling sering digunakan untuk mengkarakterisasi ukuran tepung dalam proses
penggilingan. Menurut Hoseney (1998), tepung diayak melewati ayakan dengan
bukaan 136 μm. Sedangkan di Amerika Utara, tepung pada umumnya harus
melewati ayakan dengan ukuran bukaan 112 μm, dressed flour 132 μm dan
tepung kue 93 μm.
Tepung terigu diklasifikasikan ke dalam tiga fraksi yang berbeda menurut
ukuran berbeda: (1) sel endosperm, bagian sel endosperm dan kelompok granula
pati dan protein (diameter > 35 µm) dimana kadar proteinnya sama atau lebih
tinggi daripada tepung itu sendiri; (2) granula pati besar dan kecil, sebagian
mengikat protein (diameter 15 – 35 µm); dan (3) potongan-potongan kecil protein
dan granula pati yang terpisah (diameter < 15 µm). Kadar protein pada fraksi (2)
dan (3) bervariasi 0.5 sampai 2 kali lipat daripada tepung itu sendiri. Oleh karena
itu pembagian ukuran partikel membuat jumlah protein dan pati dalam jumlah
berbeda, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan tepung dengan sifat
bervariasi dari satu tepung itu sendiri.
Distribusi ukuran partikel merupakan satu cara yang bisa mewakili sampel
bubuk atau bahan yang bersifat bulk dalam analisa ukuran partikel. Menurut
Barbosa-Carnovas dan Yan (2003) untuk bahan yang tidak satu ukuran, pada
19

umumnya digunakan dua metode. Pertama, histogram yang menunjukkan %tase


antara ukuran partikel tertentu berdasarkan beratnya, sedangkan kedua yaitu
menggunakan distribusi kumulatif. Metode penentuan ukuran partikel dan
distribusi ukuran partikel sangat luas digunakan dalam industri karena
kombinasinya mempengaruhi sifat fisik lain pada sistem powder seperti daya alir,
bulk density dan kemampatan. Karena tepung sereal pada umumnya mempunyai
ukuran partikel yang beragam, perlu mendeskripsikan distribusi ukuran partikel.
Distribusi ukuran parikel penting dalam analisa proses penanganan, pengolahan
dan fungsionalitas.

2.6.2 Densitas kamba


Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik penting pada tepung
sereal karena memainkan peran dalam penyimpanan, transportasi dan pemasaran
(Barbosa-Carnovas & Yan 2003). Densitas kamba adalah massa partikel satu per
unit volume tempat tertentu yang ditentukan dengan menimbang wadah dengan
volume yang diketahui yaitu dengan membagi berat bersih bubuk dengan volume
wadah. Karena bubuk dapat dimampatkan, densitas kamba juga dapat dinyatakan
sebagai sifat yang spesifik yaitu loose density (pada waktu dituang), packed
density (setelah vibrasi) atau compact density (sesudah dimampatkan).
Hubungan antara densitas kamba (ρb) dan densitas partikel (ρs) diekspresikan
sebagai:
ρb = (1-εp)(1- εb)ρs = (1-ε)ρs (Hoseney 1994)
dimana εp adalah porositas partikel, εb porositas bulk (rasio volume yang kosong
antar partikel pada volume total) dan ε adalah porositas, didefinisikan sebagai
rasio volume kosong (inter dan intra partikel) terhadap volume bubuk total.
Kebanyakan bubuk makanan bersifat kohesif yang berarti gaya antar
partikel bersifat atraktif karena berat partikel yang relatif tinggi. Karena bulk
density bubuk makanan tergantung kepada kombinasi faktor yang saling
tergantung yaitu intensitas gaya antar partikel yang atraktif, ukuran partikel dan
jumlah titik kontak maka perubahan dalam satu sifat bubuk dapat menghasilkan
perubahan yang nyata dalam bulk density bubuk, dimana besarnya tidak dapat
ditentukan.
20

2.6.3 Sifat alir


Sifat mengalir bubuk penting untuk mempelajari tingkah laku tepung
terutama selama proses penanganan dan pengolahan, misalnya pada proses
pencampuran, kompresi, pengemasan dan transportasi. Sifat alir bubuk harus
dipelajari sebagai faktor kualitas bahan mentah yang bisa digunakan untuk
mempertahankan keseragaman produk dan juga untuk menghindari kondisi yang
memungkinkan terjadinya gangguan proses. Salah satu indikator untuk melihat
kemampuan mengalir makanan berbentuk bubuk adalah berdasar sudut curahnya.
Sudut curah merupakan satu parameter curah dalam desain pengolahan
bubuk, penyimpanan dan sistem penyampaian. Sudut curah ini tergantung kepada
cara pembentukan bubuk (seperti pengaruh kecepatan) sehingga nilainya tidak
selalu dapat dibandingkan. Dalam bubuk yang kohesive, pengukuran sudut curah
kadang-kadang sulit karena bentuknya yang tidak beraturan. Sudut curah dapat
digunakan sebagai indikator kemampuan mengalir. Besarnya sudut curah 10
derajat menunjukkan bubuk bersifat aerated, 10 sampai 30 derajat mengalir
sangat baik, 30 sampai 45 derajat menunjukkan bubuk dapat mengalir bebas, 45
sampai 60 derajat hampir mengalir dan lebih dari 60 derajat kohesive dan tidak
mengalir (Barbosa-Canovas &Yan 2003).

2.7 Sifat fungsional adonan


Karakterisasi sifat fungsional adonan diperlukan untuk mendapatkan
informasi tentang potensi penggunaannya pada proses pengolahan komersial.
Menurut Sira (2000) karakterisasi sifat fungsional yang penting dapat dilihat
melalui profil gelatinisasinya. Profil tersebut didefinisikan dengan fenomena
sebagai berikut:
1. Gelatinisasi berarti pemecahan ikatan intermolekuler dengan meningkatnya
suhu, dan sisi yang mengikat H menyerap air lebih banyak sehingga
meningkatkan kekacauan struktur, menurunkan daerah kristalisasi dan
kehilangan birefringence. Pati dengan kadar amilosa tinggi sulit
tergelatinisasi lebih dari 100oC dan dapat membentuk film dan serat dengan
kelarutan lebih tinggi dan pengembangan pada kondisi alkali. Struktur yang
21

heliks dapat memerangkap asam lemak dan menghambat pengembangan


granula.
2. Pembentukan adonan merupakan fenomena yang mengikuti proses
gelatinisasi pada pati yang dilarutkan. Hal ini termasuk pengembangan
granula, keluarnya komponen molekuler dari granula dan pada akhirnya
kekacauan total pada granula.
3. Retrogradasi berhubungan dengan jumlah percabangan. Ikatan H antara
gugus OH pada amilosa dalam pati tergelatinisasi selama pendinginan
menghasilkan retrogradasi. Air keluar dari struktur gel dan pati menjadi tidak
larut. Pati dengan amilopektin tinggi tidak akan teretrogradasi saat
dibekukan.

2.7.1 Gelatinisasi dan sifat adonan


Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya
struktur granula dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa
bahan (terutama amilosa) mulai terpisah dari granula. Komponen-komponen yang
terpisah meningkat dengan meningkatnya berat molekul dan lebih meningkat lagi
dengan meningkatnya suhu (Prentice et al. 1992). Tetapi tidak semua amilosa
terpisah selama gelatinisasi (Ellies et al. 1988). Perubahan morfologis granula
pati selama pengembangan tergantung sifat alami pati. Kemampuan
pembengkakan granula biasanya dihitung sebagai daya pengembangan (berat
pengembangan granula yang tersedimentasi tiap gram pati kering) atau volume
pengembangan (volume granula yang mengembang tiap gram pati kering) pada
suhu tertentu (Konik et al. 2001). Sifat-sifat pengembangan pati tidak hanya
tergantung pada sifat patinya tetapi juga tergantung pada kadar amilosa.
Sifat-sifat adonan pati sangat penting untuk karakterisasi pati dan
aplikasinya. Informasi yang penting seperti suhu gelatinisasi, viskositas puncak
dan viskositas balik dapat ditentukan dengan Brabender amylograph (Chen 2003).
Sifat-sifat adonan ini sangat berguna sebagai indikator pada aplikasi pati.
Beberapa sifat yang didapatkan langsung dari kurva gelatinisasi seperti terlihat
pada Gambar 4 meliputi:
22

(i) Viskositas puncak (VP): viskositas maksimum yang dicapai selama proses
pemanasan
(ii) Viskositas panas (Vpa): viskositas yang dicapai pada suhu 95oC.
(iii) Viskositas panas 15 menit (Vpa15): viskositas yang dicapai pada suhu 95oC
setelah dipertahankan selama 15 menit
(iv) Viskositas dingin (VD): viskositas yang dicapai pada waktu pendinginan
mencapai suhu 50oC
Selain itu ada sifat-sifat lain yang diperoleh dengan cara menghitung dari sifat-
sifat di atas yaitu:
(i) Breakdown (BD) = VP – Vpa15
(ii) Setback (SB) = VD – VP
VD
(iii) Rasio viskositas dingin:viskositas panas 15 =
Vpa15

Selama penyimpanan adonan menjadi keruh dan biasanya menjadi


endapan yang tidak larut. Hal ini disebabkan oleh rekristalinisasi molekul pati,
pada awalnya amilosa membentuk rantai double helix yang diikuti pengumpulan
”helix-helix”. Fenomena ini disebut retrogradasi. Retrogradasi adalah proses
yang terjadi ketika molekul-molekul pati tergelatinisasi mulai bergabung kembali
membentuk suatu struktur tertentu, yang merupakan proses larutnya rantai linier
polisakarida dan mengurangi kelarutan molekul. Fenomena retrogradasi
merupakan hasil ikatan hidrogen antara molekul pati yang punya gugus hidroksil
dan sisi penerima hidrogen. Pada tahap awal, dua atau lebih rantai pati
membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian
secara teratur yang akhirnya membentuk daerah kristalin.
23

Gambar 4 Ilustrasi kurva sifat-sifat gelatinisasi (Sumber: Sowbhagya dan


Bhattacharya 2001)

Amilosa merupakan penyebab utama terjadinya retrogradasi dalam waktu


singkat karena molekul amilosa terdiri dari rantai yang paralel. Retrogradasi
dalam waktu lama ditunjukkan dengan rekristalisasi yang terjadi secara lambat
pada bagian luar amilopektin (Daniel & Weaver 2000). Amilopektin yang
terkristalisasi dalam gel yang teretrogradasi dapat meleleh pada suhu 55oC,
sementara amilosa yang terkristalisasi suhu pelelehannya mencapai 130oC (Zhang
& Jackson 1992).
Kecepatan dan jumlah retrogradasi meningkat dengan meningkatnya
jumlah amilosa. Pada pati yang alami, retrogradasi juga tergantung pada
konsentrasi pati, suhu penyimpanan, pH, suhu proses dan komposisi adonan.
Retrogradasi pada umumnya dipicu oleh konsentrasi pati yang tinggi, suhu
penyimpanan rendah dan pH antara 5 sampai 7. Garam-garam anion dan kation
monovalen dapat memicu retrogradasi pati (Chen 2003).
24

2.7.2 Sifat rheologi


Rheologi merupakan ilmu yang mempelajari deformasi dan aliran bahan.
Sifat rheologi bahan merupakan informasi penting tentang struktur dan sifatnya
selama pengolahan dan dalam penggunaan. Menurut Vergnes et al. (2003)
aplikasi pendekatan rheologi pada produk serealia pada umumnya mengalami
kesulitan karena:
1. Produk sereal mempunyai formulasi sangat kompleks dengan beberapa
komponen (pati, protein, air, gula, lipida) yang dapat berinteraksi dan mudah
membentuk struktur yang lain, pati terdiri dua makromolekul, amilosa yang
linier dan amilopektin bercabang. Hal ini mengakibatkan multifase, bahan
yang secara rheologi komplek.
2. Adonan dari produk sereal mempunyai sifat non-Newtonian tinggi, dengan
tingkat elastisitas tinggi dan sangat sensitif terhadap suhu, kadar air dan
komposisi lain (pati, adanya lipida)
3. Beberapa komponen meskipun dalam jumlah kecil seperti lipida dapat
menyebabkan slip pada dinding dan secara keseluruhan mengubah daya alir.
25

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di laboratorium Souteast Asian Food &
Agriculture Science & Technology (SEAFAST) Center IPB, dan Laboratorium
Departemen Ilmu & Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dari
bulan Mei 2006 sampai Desember 2008.

3.2 Bahan dan alat


Bahan utama penelitian ini adalah jagung putih varietas Lokal (Zea mays
L.) (Gambar 5) dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah di
Ungaran, hasil panen di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah. Bahan-bahan penunjang yang digunakan adalah aquadest, bahan kimia
untuk analisa seperti asam sulfat, natrium hidroksida, dan lain-lain.

Gambar 5 Jagung putih yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu seperangkat alat pembuatan


tepung meliputi pin disc mill dan ayakan 60, 100, 150 dan 200 mesh serta alat-
alat analisa meliputi brabender amilograph, tekstur analyzer, spektrofotometer,
dan lain lain.
26

3.3 Metode penelitian


Penelitian dilakukan dalam 3 tahap utama yaitu:
1. Karakterisasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung, meliputi tahap-tahap sebagai
berikut:
a. Pembuatan tepung jagung secara fermentasi spontan menggunakan
metode Aremu (1993) yang dimodifikasi dengan tahap-tahap sebagai
berikut: (i) penggilingan jagung pipilan menjadi grits jagung dengan
diameter ± 4 mm menggunakan pin disc mill, (ii) penampian
menggunakan tampah, (iii) penghilangan kotoran, perikarp dan bagian-
bagian yang mengapung di air setelah direndam selama 5 menit, (iv)
penirisan selama 30 menit sampai kadar air kurang lebih 40%, (v)
fermentasi spontan grits jagung dalam kontainer plastik tertutup pada
suhu 27oC dengan perbandingan aquadest:jagung 2:1 (6l:3kg) dalam
wadah plastik tertutup volume 16 l), (vi) penirisan selama 30 menit
sampai kadar air kurang lebih 40%, (vii) pengeringan menggunakan
kabinet pengering dengan suhu 50oC selama 3 jam, (viii) penggilingan
menggunakan pin disc mill, dan (ix) pengayakan 60 mesh. Cara
pembuatan tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 6. Pada tahap ini
fermentasi grits jagung dilakukan dengan waktu 0, 12, 24, 36, 48, 60 dan
72 jam.

b. Analisa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dihasilkan pada tahap 1a. Sifat tepung yang dianalisa meliputi: kadar air,
kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar pati, kadar gula
reduksi, kadar amilosa, kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan
minyak, loose density, packed density, sudut curah, derajat putih, suhu
gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas panas, viskositas panas selama
15 menit, viskositas dingin, kekuatan dan kelengketan gel. Analisa data
yang dihasilkan pada tahap 1b. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi untuk mengetahui hubungan keeratan masing-masing
variabel sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel.
27

Apabila ada variabel yang berkorelasi dengan tingkat signifikansi (p) ≤


0,01 dilakukan analisa regresi. Berdasarkan analisa regresi didapatkan
persamaan regresi yang menunjukkan kecenderungan data dan R2 yang
menunjukkan penyebaran data. Persamaan regresi dengan R2 tertinggi
akan diajukan sebagai sebagai model hubungan antar variable tersebut.
Model yang diperoleh merupakan model prediktif sederhana.
Jagung putih pipilan

Penggilingan kasar dan penampian (grits jagung Ø ± 4 mm)

Penghilangan bagian yang terapung setelah


perendaman dalam air selama 10 menit kulit

Penirisan selama 30 menit


sampai kadar air ± 40%

Fermentasi spontan pada wadah tertutup


(jagung:aquadest 3 kg: 6 l) suhu 27oC

Penirisan selama 30 menit


sampai kadar air ± 40%

Pengeringan (kabinet pengering, suhu


50oC, 3 jam)

Penggilingan

Pengayakan 60 mesh

Tepung jagung 60 mesh

Gambar 6 Pembuatan tepung jagung putih

2. Pembuatan tepung jagung 60 mesh dengan waktu fermentasi 15, 30, 45, 57.5
dan 70 jam jagung menggunakan metode seperti pada tahap 1a. Tepung
28

jagung putih yang dihasilkan dianalisa sifat fisik, kimia dan fungsional seperti
pada point 1b. Apabila pada tahap 1 diperoleh model prediktif dengan nilai
R2 yang memadai, maka akan dilakukan pengujian lebih lanjut; sebagai upaya
validasi kemampuan pendugaannya dibandingkan dengan hasil pengukuran
yang sesungguhnya, pada kisaran t yang sesuai. Persamaan akan ditetapkan
sebagai model prediktif apabila standar deviasi yang didapatkan pada tahap
ini kurang dari atau sama dengan 10 %. Alur penelitian pada tahap 1 dan 2
dapat dilihat pada Gambar 7.
3. Karakterisasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi ukuran partikel tepung dan waktu fermentasi grits jagung,
Tepung jagung 60 mesh dengan waktu fermentasi 0, 15, 30, 45, 57.5 dan 70
jam difraksinasi menggunakan ayakan bertingkat 100, 150 dan 200 mesh
sehingga didapatkan empat kelompok ukuran partikel tepung yaitu >150 –
250 µm, >106 – 150 µm, >75 – 106 µm dan ≤75 µm (Earle 1983). Tepung
jagung putih yang dihasilkan dianalisa sifat fisik, kimia tepung dan sifat
fungsional adonan seperti pada point 1b. Alur penelitian pada tahap 3 dapat
dilihat pada Gambar 8.
29

Gambar 7 Diagram alir jalannya penelitian tahap1 dan 2


30

Gambar 8 Diagram alir jalannya penelitian tahap 3


31

3.4 Prosedur analisa

Kadar air dianalisa dengan metode pengeringan (AOAC 1995).


Ditimbang kurang lebih 2 g sampel ke dalam cawan porselen yang telah
diketahui beratnya (a), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC
sampai berat konstan (b). Kadar air dihitung berdasarkan selisih berat cawan
sebelum dan sesudah pengeringan.

( a − b)
Kadar air = x100%
beratsampel

Kadar lemak dianalisa menggunakan Soxhlet (AOAC 1995).


Ditimbang sampel kurang lebih 3 gram dalam saringan timbel kemudian
ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak atau dibungkus kain saring.
Selanjutnya sampel tersebut diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet, kemudian
dipasang alat kondenser diatasnya dan labu lemak di bawahnya yang telah
diketahui beratnya (a). Dituangkan pelarut dietil eter atau petroleum eter ke
dalam labu lemak dan dilakukan refluks selama minimum 5 jam sampai pelarut
yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Distilasi pelarut dalam labu lemak,
kemudian pelarutnya ditampung. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil
ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai
berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu ditimbang beserta lemaknya (b)
sehingga berat lemak dapat dihitung.

b −1 10000
Kadar lemak (% bk) = x
beratsampel 100 − kadarair

Kadar protein dianalisa dengan metode Kjeldahl (AOAC 1995).


Sampel ditimbang sebanyak 200 mg dan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9±0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 3,8 ± 0,1
ml H2SO4. Setelah ditambahkan batu didih maka sampel dididihkan selama 1 –
1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Tabung beserta sampel didinginkan dengan
air dingin. Isi labu dan air bekas pembilasnya dipindahkan ke alat destilasi. Labu
erlenmeyer diisi 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan 4 tetes indicator, kemudian
32

diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam dalam larutan


H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat
destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam
erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan
HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan
perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya didapat jumlah volume (ml)
blanko.
Perhitungan :
mlHCl − mlblanko
Jumlah N (%) = x N HCl x 14,07 x 100
mgsampel
100
Kadar protein (% bk) = jumlah N x faktor konversi (6,25) x
(100 − kadarair )

Kadar serat kasar ditentukan dengan metode gravimetric (AOAC 1995).


Ditimbang sampel kurang lebih 1 g yang telah diekstrak lemaknya (a)
ditaruh dalam Erlenmeyer 600 ml dan ditambah 3 tetes zat anti buih. Selanjutnya
ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 0,255 N mendidih dan ditutup dengan
pendingin balik. Didiamkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-
goyangkan. Disaring suspensi melalui kertas saring. Residu yang tertinggal
dalam erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Residu dicuci dalam kertas saring
sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Kemudian dipindahkan residu dari
kertas saring ke dalam erlenmeyer secara kuantitatif. Sisanya dicuci lagi dengan
200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer.
Didihkan dengan pendingin balik sambil kadang-kadang digoyang-goyangkan
selama 30 menit. Disaring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya
(b) sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci sekali lagi dengan air
mendidih, kemudian dengan alcohol 95% kurang lebih 15 ml. Kertas saring
dikeringkan pada 110oC sampai berat konstan (1-2 jam), didinginkan dalam
desikator dan ditimbang (c).

c−b 10000
Kadar serat kasar (% bk) = x
kadarlemak 100 − kadarair
(ax )+a
100
33

Kadar abu dianalisa dengan metode pengabuan langsung (AOAC 1995).


Ditimbang kurang lebih 2 g sampel dalam cawan yang telah dikeringkan
dann diketahui beratnya (a), kemudian cawan tersebut diletakkan dalam tanur
pengabuan, dibakar sampai berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap. Cawan
didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (b).
b−a 10000
Kadar abu (% bk) = x
beratsampel 100 − kadarair

pH diukur dengan metode potentiometric (AOAC 1995).


Pengukuran pH dilakukan pada air perendam dan tepung jagung. Untuk
sampel yang berupa air, sampel tersebut langsung diukur pHnya, sedang untuk
sampel yang berupa tepung dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sampel
untuk dilakukan dengan menambahkan 20 ml aquades dalam 1 g tepung,
kemudian dikocok dengan stirer dan kemudian ditambah lagi dengan 50 ml
aquades dan dihomogenkan. Sampel dibiarkan selama 1 jam kemudian diukur pH
supernatan.

Kadar pati metode ekstraksi asam perklorat (Apriyantono et al. 1989).


Sebanyak 0,2 g tepung dimasukkan tabung sentrifuse kemudian
ditambahkan 2 tetes etanol 80 % untuk membasahkan sampel, kemudian
ditambahkan 5 ml air dan dicampur merata. Selanjutnya ditambahkan 25 ml
etanol 80 % (v/v) panas, dicampur merata dan dibiarkan selama 5 menit kemudian
disentrifuse. Supernatan didekantasi, supernatannya digunakan untuk analisa gula
setelah etanolnya diuapkan, sedang residunya untuk analisa pati, kemudian
diulang ekstraksi dengan 30 ml etanol 80% dan ditambahkan 5 ml air ke dalam
residu dan 6,5 ml asam perklorat 52% sambil diaduk diatas magnetic stirer selama
5 menit, didiamkan sebentar kemudian diaduk lagi selama 15 menit. Selanjutnya
ditambahkan 20 ml air dan disentrifuse kembali. Supernatan didekantasi,
kemudian dimasukkan labu takar 100 ml. Residu diekstrak seperti sebelumnya,
kemudian supernatan dimasukkan ke labu takar yang berisi hasil dekantasi
pertama. Volume supernatan ditepatkan sampai tanda, kemudian 5 ml filtrat
bagian atas dibuang dan selebihnya disaring. 1 ml filtrat atau hasil
34

pengencerannya dimasukkan tabung reaksi kemudian ditambah 5 ml pereaksi


Anthrone, dicampur merata. Tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air 100oC
selama 12 menit. Setelah didinginkan, dibaca absorbansi pada 630 nm. Hasilnya
diplot pada larutan glukosa standar.
100
Kadar pati (% bk) = % glukosa x 0.9 x
100 − kadarair

Dengan % = glukosa diperoleh dengan memasukkan nilai A 630 pada persamaan


standar
0.9 = faktor konversi

Kadar gula reduksi dianalisa dengan metode Nelson Somogyi (Apriyantono


et al. 1989).
Supernatan yang telah diuapkan etanolnya pada analisa pati diencerkan
sampai volume tertentu kemudian diambil 1 ml ke dalam tabung reaksi.
Kemudian ditambah 1 ml larutan Nelson dan dipanaskan pada 100oC selama 20
menit. Setelah itu didinginkan dan ditambah 1 ml Arsenomolybdat dan 7 ml
aquadest, selanjutnya dibaca absorbansi pada 540 nm. Hasilnya diplot pada
larutan glukosa standar.
absorbansi
Kadar gula reduksi =
beratsampelx(100 − kadarair )

Kadar amilosa dianalisa secara spektrofotometri (Juliano 1971)


Sampel sebanyak 100 mg dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL,
kemudian diberi 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dibiarkan
selama 23 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu
100˚C selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian
diencerkan dengan air suling menjadi 100 mL, dipipet sebanyak 5 mL,
dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL yang berisi 60 mL air, kemudian
ditambahkan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL I2 2% dan diencerkan sampai
volume 100 mL. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian
diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
Kadar amilosa dihitung dengan rumus :
35

A620 xfkx100 x100%


Kadar amilosa (% bk) =
100 − kadarair

1 1000 x 20 1
Dimana fk = x =
abs1 ppm 1000000 abs1 ppmx50
Keterangan :
A620 = absorban sampel
ka = kadar air
20 dan 1000 = faktor pengenceran
fk = faktor konversi

Derajat putih (Whiteness meter)


Derajat putih pati diukur dengan Photoelectric Tube Whiteness meter
electric laboratory C-100-3. Untuk mengukur derajat putih terlebih dahulu
dilakukan standarisasi dengan menggunakan Barium Sulfat yang dianggap
memiliki derajat putih 87 %. Setelah itu sampel-sampel dimasukkan dalam kotak
pengukur untuk mengukur derajat putihnya.

Densitas kamba
Analisa densitas kamba dilakukan menggunakan silinder plastik yang
telah diketahui volume (V) dan beratnya (W1). Bahan dimasukkan ke dalamnya
dengan hati-hati sampai penuh dan kemudian permukaan bubuk pada mulut
silinder diratakan dengan penggaris logam, lalu silinder dan isinya ditimbang
(W2). Selanjutnya bahan dipadatkan dan diisi sampel lagi sampai mampat
kemudian ditimbang (W3). Densitas kamba dihitung sebagai loose density dan
packed density menggunakan rumus:
Loose density (δ1 ) = W 2 − W1
V

Packed density (δ2 ) = W 3 − W1


V

Sifat alir (Donsi dan Ferrari 1990)


Sifat alir ditentukan berdasarkan nilai sudut curah yang ditentukan dengan
100 g tepung dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dituangkan dengan
cepat pada alas datar dan diukur sudut curah yang terbentuk menggunakan jangka
36

sorong dengan mengukur tinggi (t) dan diameter (d) alas curahan. Proyeksi
curahan dianggap membentuk sudut segitiga sama kaki

t
t tg α =
0,5d
d

Kapasitas penyerapan air dianalisa secara gravimetri (Kadan et al. 2003).


Tabung sentrifuse diisi 2 g sampel tepung jagung yang ditimbang berat
tabung dan sampel (a), kemudian ditambah 9 ml aquades dan divortex.
Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama
15 menit dan didekantasi, kemudian ditimbang beratnya (b)
b−a 10000
Kapasitas penyerapan air = x
a (100 − kadarair )

Kapasitas penyerapan minyak dianalisa secara gravimetri (Kadan et al.


2003).
Sebanyak 1 g sampel tepung jagung dimasukkan tabung sentrifuse dan
ditimbang beratnya (a), dicampur dengan 9 ml minyak kemudian divortex selama
1 menit dan ditempatkan dalam waterbath 50oC selama 15 menit. Kemudian
divortex lagi selama 1 menit dan dipanaskan pada waterbath 15 menit.
Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada 1650 x g, dilakukan
dekantasi minyak dann ditimbang beratnya (b).
b−a 10000
Kapasitas penyerapan minyak = x
a (100 − kadarair )

Sifat-sifat adonan dan gelatinisasi menggunakan Brabender amylograph


menurut metode AACC 22-12 (Hung & Morita 2004).
Tepung jagung putih didispersikan dalam 450 ml air terdistilasi dengan 10
% (berat kering) tepung. Kemudian suspensi dipanaskan dari 30 ke 95oC dengan
kecepatan 1,5oC/menit. Pada suhu 95oC adonan dipertahankan selama 15 menit,
kemudian didinginkan sampai 50oC. Viskositas puncak (VP), yaitu viskositas
tertinggi yang dicapai adonan selama proses pemanasan, viskositas panas (VPa)
37

yaitu viskositas yang dicapai pada 95oC, viskositas panas 15 menit (VPa15), yaitu
viskositas pada waktu suhu dipertahankan 97oC selama 15 menit, viskositas
adonan dingin (VD) yaitu viskositas yang dicapai pada suhu 50oC. Suhu
pembentukan adonan didefinisikan sebagai suhu pada waktu viskositas pertama
kali meningkat. Untuk mengetahui stabilitas adonan dihitung nilai breakdown
dan setback viscosity. Breakdown viscosity = VP - HV15, setback viscosity = VD
– VP.
Kekuatan dan kelengketan gel menggunakan texture analyzer.
Suspensi tepung hasil pengukuran amilografi dituangkan dalam wadah
sehingga gel memiliki diameter rata-rata 4,2 cm dan tinggi 5 cm. Pengukuran
kekuatan gel dilakukan menggunakan texture analyzer memakai probe
berdiameter 1 cm dan panjang 2,5 cm. Kecepatan probe 0,2 mm/s; beban 100
gram dan kedalaman 4 mm.

Distribusi ukuran partikel menggunakan metode pengayakan (Earle 1983).


Tepung jagung yang dihasilkan pada tahap pertama penelitian dilakukan
perhitungan distribusi ukuran partikel. 100 g sampel tepung jagung 60 mesh
diayak menggunakan ayakan bertingkat 80, 100, 120, 150, 170 dan 200 mesh.
Berat sampel yang tertahan pada masing-masing ayakan tersebut ditimbang
beratnya sehingga didapat 7 distribusi ukuran yaitu lolos 60 mesh dan tidak lolos
80 mesh (ukuran partikel >180-250 µm), lolos 80 mesh tidak lolos 100 mesh
(ukuran partikel >150-180 µm), lolos 100 mesh tidak lolos 120 mesh (ukuran
partikel >125-150 µm), lolos 120 mesh tidak lolos 150 mesh (ukuran partikel
>106-125 µm), lolos 150 mesh tidak lolos 170 mesh (ukuran partikel >90-106
µm), lolos 170 mesh tidak lolos 200 mesh (ukuran partikel >75-90 µm) dan lolos
200 mesh (ukuran partikel ≤75 µm).

3.5 Analisa data


38

Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap sifat fisik, kimia dan
fungsional tepung jagung.

Untuk mengetahui pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap sifat


fisik, kimia dan fungsional tepung jagung yang dihasilkan dilakukan uji
pembedaan dengan uji lanjut Duncan. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi untuk mengetahui hubungan keeratan masing-masing variabel
sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel. Variabel yang
berkorelasi dengan nilai koefisen korelasi (r) pada tingkat signifikansi ≤ 0,01
dianalisa regresi untuk mengetahui kecenderungan hubungan antar variabel
tersebut sehingga didapatkan persamaan regresi dan R2 (koefisien determinasi)
yang menunjukkan penyebaran data. Persamaan regresi dengan R2 tertinggi akan
diajukan sebagai sebagai model hubungan antar variable tersebut. Model yang
diperoleh merupakan model prediktif sederhana.Tahap validasi

Apabila pada tahap 1 diperoleh model prediktif dengan nilai R2 yang


memadai, maka akan dilakukan pengujian lebih lanjut; sebagai upaya validasi
kemampuan pendugaannya dibandingkan dengan hasil pengukuran yang
sesungguhnya, pada kisaran t yang sesuai. Persamaan akan ditetapkan sebagai
model prediktif apabila standar deviasi yang didapatkan pada tahap ini kurang
dari atau sama dengan 10 %.

Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel


tepung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung adonan jagung.
Untuk mengetahui pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung dilakukan uji pembedaan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap dengan uji lanjut Duncan. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel pada
masing-masing ukuran partikel. Variabel yang berkorelasi dengan nilai koefisen
korelasi (r) pada tingkat signifikansi ≤ 0,01 dianalisa regresi untuk mengetahui
kecenderungan hubungan antar variabel tersebut sehingga didapatkan persamaan
regresi dan R2.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi kimia bahan baku


39

Berdasarkan kadar amilosanya, jagung putih yang digunakan pada


penelitian termasuk kelompok non waxy dengan kadar amilosa 28.49%. Seperti
halnya jenis jagung yang lain, komponen tertinggi jagung putih pipilan yang
digunakan adalah pati (74.3 % bk), protein (11.16% bk), serat kasar (7.36% bk)
dan lemak (4.64 % bk). Jagung pipilan (Gambar 9a) yang digunakan kemudian
digiling menjadi grits jagung menggunakan pin disc mill dengan diameter
saringan 4 mm sehingga grits jagung yang digunakan sebagai bahan pembuatan
tepung jagung mempunyai ukuran partikel ± 4 mm (Gambar 9b). Komposisi
kimia grits jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung jagung
tidak berbeda dengan jagung pipilan, hanya pada serat kasarnya mengalami
perbedaan. Pada jagung pipilan jumlah serat kasar sebesar 7.36%, sedangkan pada
grits jagung menjadi 4.09% seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Pada tahap
penggilingan, bagian-bagian seperti perikarp, pangkal dan aleuron hancur dan
kemudian dipisahkan melalui proses penampian sehingga kandungan serat kasar
grits jagung lebih rendah daripada kandungan serat kasar jagung pipilan.

(a) (b)

Gambar 9 Bahan baku yang digunakan (a) jagung putih pipilan (b) grits
jagung putih.

Tabel 5 Komposisi kimia jagung putih pipilan, grits jagung dan tepung jagung
Komponen Jagung pipilan Grits Tepung
Kadar air (%) 13.36 13.07 10.32
40

Lemak (% bk) 4.64 4.42 4.05


Protein (% bk) 11.16 11.12 10.02
Abu (% bk) 1.48 1.33 1.01
Serat kasar (% bk) 7.36 4.09 2.97
Pati (% bk) 74.3 75.17 77.04
Keterangan: bk = basis kering

4.2 Pengaruh waktu fermentasi spontan grits jagung terhadap sifat fisik,
kimia dan fungsional tepung jagung

4.2.1 Komposisi kimia tepung jagung


Kadar lemak, serat kasar, protein, dan abu tepung jagung yang dihasilkan
dengan variasi waktu fermentasi dapat dilihat pada Tabel 6. Secara umum,
jumlah komponen-komponen kimia tersebut mengalami penurunan dibandingkan
dengan grits jagung yang digunakan (Tabel 5 dan 6).

Tabel 6 Komposisi kimia tepung jagung putih yang dihasilkan dengan variasi
waktu fermentasi grits jagung
Waktu Komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan
fermentasi grits
jagung (jam) Kadar air Protein Lemak Abu Serat
(%) (% bk) (% bk) (% bk) kasar
(% bk)
10.02 1.01d±0.0 2.97b±0.7
0 10.32ab±0.18 c±0.14 4.05d±0.11 6 5
12 10.05ab±0.50 9.24b±0.14 3.78c±0.30 0.78c±0.01 1.28a±0.03
0.55b±0.0
b b c
24 11.66 ±0.54 9.18 ±0.12 3.81 ±0.13 2 1.32a±0.07
0.47ab±0.0
36 10.02a±0.83 8.89a±0.13 3.82c±0.21 6 1.12a±0.03
0.49ab±0.0
48 10.80ab±0.10 8.74a±0.34 3.72bc±0.13 8 1.25a±0.02
0.53b±0.0
60 11.42ab±0.95 8.73a±0.14 3.44a±0.24 4 1.01a±0.16
72 11.32ab±1.63 8.78a±0.14 3.46ab±0.14 0.40a±0.07 1.10a±0.04
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Kadar serat kasar tepung jagung tanpa fermentasi (2.97 %) lebih rendah
daripada kadar serat grits jagung putih yang digunakan (4.09 %). Hal ini
41

disebabkan sebagian besar serat kasar pada jagung terdapat pada bagian perikarp.
Bagian perikarp akan menghasilkan tepung jagung dengan tekstur kasar sehingga
dihilangkan pada proses pembuatan tepung jagung. Hal ini mengakibatkan kadar
serat kasar tepung jagung yang dihasilkan lebih kecil daripada kadar serat kasar
grits jagung.
Fermentasi grits jagung selama 12 jam menurunkan kadar serat kasar
tepung jagung yang dihasilkan (Tabel 6). Serat pada jagung mengalami
penurunan pada 12 jam pertama fermentasi (1.28%), apabila dibandingkan kadar
serat kasar tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (2.97%). Serat merupakan
bagian yang tidak terpisahkan pada struktur alami tanaman yang terdiri dari
beberapa komponen seperti lignin, selulosa, hemiselulosa, substansi pektik, gum,
waxes, dan oligosakarida yang tidak tercerna. Hemiselulosa dan substansi pektik
yang mampu mengikat air dan mengembang disebut serat larut. Sebagian
hemiselulosa, selulosa dan lignin, yang sedikit mengikat air disebut serat tidak
larut atau serat kasar (Kalac dan Míka, 1997). Menurut Burge dan Duensing
(1989) serat jagung terdiri dari 67% hemiselulosa, 23% selulosa dan 0.1 % lignin.
Penurunan kadar serat kasar kemungkinan disebabkan aktivitas mikroorganisme
yang mengubah serat kasar atau serat tidak larut menjadi serat larut. Fermentasi
lanjutan sampai 72 jam relatif tidak mengubah kadar serat kasar (1.1%).
Menurunnya kadar serat tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi
juga seperti yang terjadi pada pembuatan tepung ubi kayu menggunakan proses
fermentasi (Subagio 2006).
Fermentasi grits jagung sampai 36 jam menurunkan kadar protein tepung
jagung yang dihasilkan (8.89 %) apabila dibandingkan kadar protein tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (10.02 %). Penambahan waktu fermentasi
cenderung tidak mengubah kadar proteinnya. Penurunan kadar protein selama
fermentasi grits jagung seperti yang terjadi pada pembuatan ogi. Menurut Nago
et al. (1998) kadar protein ogi yang berasal dari Benin 9% lebih rendah daripada
jagung yang digunakan, sedangkan pada ogi yang berasal dari Gnonli terjadi
kehilangan protein sebesar 38%. Menurut Hounhouigan et al. (1993c) terjadi
penurunan kadar protein sebesar 38% pada pembuatan mawe. Menurunnya kadar
protein disebabkan adanya aktivitas enzim yang bersifat proteolitik.. Menurut
42

Okenhen dan Ikenebomeh (2007) pada ogi terdapat aktivitas enzim proteinase
sebesar 4.8 mg/ml.
Protein pada kernel jagung terdiri dari albumin (8 %), globulin (9 %),
zein atau prolamin (39%) dan glutelin (40%); sedangkan protein pada endosperm
terdiri dari zein (47%), glutelin (39%), albumin (4%) dan globulin (4%) (Laszrity
1986). Perendaman mengakibatkan masuknya air ke dalam grits jagung,
memperlunak kernel dan terjadinya bagian terlarut dari lembaga sehingga protein
albumin yang bersifat larut air mengalami leaching dan terbuang dalam air
perendam yang berakibat menurunnya kadar protein tepung jagung yang
dihasilkan.
Penurunan kadar protein berhubungan juga dengan pHnya. Pada saat
fermentasi 12 sampai 36 jam, pH air perendam jagung berada di luar titik
isoelektrik (Tabel 7) dan beberapa protein mempunyai kelarutan tinggi sehingga
protein terlarut dalam air perendam. Hal ini mengakibatkan penurunan kadar
protein hanya terjadi pada waktu fermentasi 12 sampai 36 jam (Tabel 6). Setelah
48 jam fermentasi, air perendam jagung berada pada titik isoelektrik yaitu pada pH
4.5 – 4.8 (Tabel 7) sehingga kelarutan protein jagung selama proses fermentasi
minimal dan kadar protein tepung jagung yang dihasilkan relatif konstan.

Tabel 7 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH air perendam


Waktu fermentasi (jam) pH
0 6.67e±0.24
12 6.07d±0.54
24 5.63c±0.27
36 5.13c±0.42
48 4.83b±0.33
60 4.60a±0.38
72 4.62a±0.29
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Fermentasi grits jagung sampai 36 jam menurunkan kadar protein tepung


jagung yang dihasilkan (Gambar 10). Berdasarkan hasil tersebut maka kadar
43

protein tepung jagung yang dihasilkan dengan fermentasi grits jagung sampai 36
jam dapat ditentukan menggunakan rumus regresi linier dengan persamaan:
Pr = -0.029t + 9.855 (R2 = 0.7848) (1)
dengan Pr adalah kadar protein tepung jagung dalam % basis kering, t adalah
waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.

12

10
protein (% bk)

6 Pr = -0.029t + 9.855
R2 = 0.7848
4

0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 10 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar protein tepung
jagung.

Fermentasi grits jagung menurunkan kadar abu tepung jagung yang


dihasilkan. Menurunnya kadar abu selama fermentasi disebabkan lepasnya
mineral pada waktu perendaman, yaitu terjadi leaching sebagian mineral pada air
perendam. Sahlin (1999) menyatakan bahwa kadar abu tidak dipengaruhi oleh
fermentasi kecuali jika pada proses fermentasi tersebut ditambahkan beberapa
garam atau terjadi leaching saat bagian yang cair dipisahkan dari makanan yang
difermentasi. Jagung mempunyai mineral-mineral natrium, kalium, fluor, iodine
yang mempunyai tingkat kelarutan tinggi dalam air dan afinitas rendah sehingga
banyak terdapat sebagai ion bebas (Watson 1987). Ion-ion inilah yang mengalami
leaching dalam air perendam sehingga kadar mineral tepung mengalami
penurunan selama fermentasi sampai 36 jam (0.47 %), dibandingkan tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (1.01 %). Fermentasi lanjutan selama 48
sampai 72 jam cenderung tidak mengubah kadar abu. Penurunan kadar abu
44

selama fermentasi jagung juga ditemukan pada pembuatan ogi dari kadar abu
pada jagung sebesar 1.35 – 1.38 menjadi 0.4 – 0.6 pada ogi (Nago et al. 1998).
Selain sebagai ion bebas, mineral pada jagung juga terdapat dalam bentuk
kompleks. Menurut Watson (1987) komponen anorganik yang paling banyak
terdapat pada jagung adalah fosfor, yang sebagian berada sebagai garam kalium-
magnesium asam fitat yang merupakan bentuk ester dari heksafosfat inositol.
Fitin adalah bentuk penyimpanan penting dari fosfor, yang dipecah oleh enzim
fitase pada proses fermentasi. Mineral yang berada dalam bentuk kompleks inilah
yang tidak mengalami leaching dalam air perendam sehingga fermentasi grits
jagung setelah 36 jam tidak mengubah kadar mineralnya.
Larutnya sebagian mineral mengakibatkan meningkatnya konduktivitas
atau daya hantar listrik pada air perendam. Berkebalikan dengan kadar mineral,
daya hantar listrik pada air perendam naik selama fermentasi sampai 36 jam,
kemudian cenderung tetap seperti terlihat pada Gambar 11.

1000

800
konduktivitas (mhos)

600

400

200

0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 11 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap konduktivitas air


perendam.

Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai kadar lemak 4.05
%. Kadar lemak mengalami penurunan selama 12 jam fermentasi menjadi 3.78
%. Fermentasi lanjutan sampai 48 jam cenderung tidak mengubah kadar lemak
tepung (3.72 %), selanjutnya setelah fermentasi selama 60 jam kadar lemak
45

menurun (3.4 %). Penurunan kadar lemak juga terjadi pada pembuatan ogi
sehingga kadar lemak bahan yang semula 3.9 – 4.4 turun menjadi 3 – 3.5 (Nago et
al. 1998, Hounhouigan et al. 1993c). Penurunan kadar lemak disebabkan
aktivitas mikroorganisme yang bersifat lipolitik. Ohenhen dan Ikenebomeh
(2007) menyatakan adanya aktivitas enzim lipase sebesar 1.8 mg/ml pada ogi.
Fermentasi jagung sampai 36 jam menurunkan kadar pati, gula reduksi
dan pH tepung jagung yang dihasilkan seperti terlihat pada Tabel 8. Penurunan
pH terjadi karena aktivitas bakteri asam laktat selama perendaman. Asam laktat
merupakan asam non volatil yang umum terdapat selama fermentasi sereal dan
umbi-umbian yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum. Johansson et al.
(1995) menemukan adanya galur Lactobacillus plantarum yang bersifat amilolitik
sejumlah 14 persen dari total bakteri asam laktat yang diisolasi dari ogi,
sedangkan Hounhouigan et al. (1993a) menemukan Lactobacillus fermentum
yang bersifat amilolitik dari mawe. Keberadaan bakteri asam laktat yang bersifat
amilolitik selama pengolahan jagung meningkatkan kecepatan asidifikasi
sehingga menurunkan pH (Johansson et al. 1995).
Selain asam laktat juga dihasilkan sejumlah besar asam asetat dan
karbondioksida dari heksosa melalui jalur heksosa monofosfat. Adanya
gelembung pada permukaan slurry selama proses perendaman menunjukkan
produksi karbondioksida (Onyango et al. 2003). Asam laktat dan asam asetat
menurunkan pH media sementara karbondioksida mengeluarkan udara dari slurry
selama fermentasi. Fermentasi grits jagung selama 36 jam menurunkan pH
tepung jagung yang dihasilkan dari 5.67 menjadi 4.4, kemudian setelah 48 jam
naik menjadi 4.6 (Tabel 8). Penurunan pH pada proses fermentasi jagung ini
sesuai dengan penelitian Aremu (1993) bahwa perendaman jagung selama 48 jam
mengakibatkan penurunan pH menjadi 4.5, sedangkan menurut Sefa Dedeh
(2001), fermentasi adonan jagung selama 24 jam menurunkan pH dari 6.3 menjadi
4.0. Sedangkan Nago et al. (1998) menyatakan bahwa pembuatan ogi dengan
fermentasi selama 48 jam mengubah pH menjadi 3.3 sampai 3.7.
Apabila digambarkan pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap
pH tepung jagung akan menunjukkan grafik yang bersifat kuadratik seperti
46

terlihat pada Gambar 12. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan
pH tepung jagung dapat dinyatakan dengan persamaan:
Ph = 0.0005t2 - 0.0493t + 5.7861 (R2 = 0.7855) (2)
dengan Ph adalah pH tepung jagung, t adalah waktu fermentasi grits jagung dan
R2 adalah koefisien determinasi.

Tabel 8 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar pati, gula reduksi
dan pH tepung jagung yang dihasilkan
Waktu fermentasi Kadar pati Kadar gula reduksi pH
(jam) (% bk) (% bk)
c
0 77.04 ±0.44 2.70d±0.08 5.67e±0.04
12 76.13bc±0.56 2.21c±0.34 5.47d±0.04
ab b
24 74.01 ±1.38 1.55 ±0.11 4.93c±0.07
36 74.1ab±1.36 1.16a±0.04 4.4a±0.02
a a
48 72.05 ±1.57 1.10 ±0.13 4.6b±0.13
60 72.26a±1.93 1.50b±0.21 4.88c±0.08
a b
72 71.49 ±2.48 1.66 ±0.13 4.7b±0.09
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

7
6
5

4
pH

3 Ph = 0.0005t2 - 0.0493t + 5.7861


2 R2 = 0.7855

1
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 12 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH tepung jagung.

Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai kadar gula


reduksi 2.7 %, dan fermentasi selama 36 jam menurunkan kadar gula reduksi
menjadi 1.16 %. Penurunan kadar gula reduksi disebabkan penggunaan gula
sebagai substrat oleh bakteri asam laktat. Fermentasi lanjutan sampai 72 jam
meningkatkan kadar gula reduksi menjadi 1.66 % yang merupakan akibat dari
47

pemecahan pati menjadi gula reduksi oleh bakteri asam laktat yang bersifat
amilolitik. Bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik berhasil diisolasi dari ogi
yaitu Lactobacillus plantarum (Johansson et al. 1995) dan dari mawe yaitu
Lactobacillus fermentum (Hounhouigan et al. 1993a). Menurut Johansson et al.
(1995) keberadaan bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik selama pengolahan
jagung meningkatkan ketersediaan sumber energi seperti glukosa atau maltosa
dari pati atau bakteri asam laktat lain. Adanya pemecahan pati menjadi gula
reduksi mengakibatkan penurunan kadar pati tepung jagung yang dihasilkan dari
77.04 % pada tepung jagung non fermentasi menjadi 71.49 % pada tepung jagung
yang dihasilkan dari proses fermentasi selama 72 jam (Tabel 8). Menurut Sefa-
Dedeh (2001) pengaruh fermentasi terhadap konsentrasi gula bervariasi.Selama
24 jam fermentasi, konsentrasi fruktosa, glukosa dan galaktosa menurun,
sedangkan xilosa dan maltosa meningkat. Pengaruh waktu fermentasi grits
jagung terhadap kadar gula reduksi tepung jagung dapat digambarkan sebagai
grafik kuadratik seperti terlihat pada Gambar 13. Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung terhadap kadar gula reduksi dapat dinyatakan dalam
persamaan:
Gr = 0.0006t2 - 0.06t + 2.71 (R2 = 0.7676) (3)
dimana Gr adalah kadar gula reduksi tepung jagung dalam % basis kering, t
adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien
determinasi.

3.0

2.5
gula reduksi(%)

2.0

1.5

1.0

0.5 Gr = 0.0006t2 - 0.06t + 2.71


R 2 = 0.7676
0.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)
48

Gambar 13 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar gula reduksi
tepung jagung.

Fermentasi jagung selama 72 jam menurunkan kadar amilosa tepung


jagung yang dihasilkan menjadi 26.81% dari kadar amilosa semula 28.39%. Pada
proses fermentasi terjadi aktivitas mikroorganisme yang bersifat amilolitik (raw
starch digesting amylase). Beberapa mikroorganisme yang bersifat amilolitik
pada proses fermentasi jagung adalah Lactobacillus plantarum (Johansson et al.
1995), Lactobacillus fermentum (Hounhouigan et al. 1993a).

Tabel 9 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar amilosa tepung
jagung
Waktu fermentasi jagung Kadar amilosa tepung jagung
0 28.39c±0.71
12 27.95c±0.67
24 27.83c±2.35
36 27.03ab±0.61
48 27.45bc±1.04
60 26.42a±1.70
72 26.81ab±0.54
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

4.2.2 Distribusi ukuran partikel tepung jagung


Fermentasi grits jagung sampai 36 jam mengakibatkan tepung jagung
mempunyai distribusi ukuran partikel hampir sama seperti terlihat pada Gambar
14. Pada tepung jagung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi 48 jam,
jumlah partikel berukuran paling halus (kurang dari 75 µm) meningkat dan
distribusi partikelnya paling banyak dibanding partikel berukuran lainnya.
Perendaman butiran jagung pada proses fermentasi mengubah bagian yang keras
pada endosperm (horny endosperm) menjadi banyak bagian yang lunak (fluory
endosperm) dan menjadi lebih mudah digiling. Fermentasi melunakkan struktur
jagung sehingga proses penggilingan menjadi lebih mudah sehingga semakin
lama proses fermentasi, tepung jagung lebih banyak terdistribusi pada ukuran
partikel yang kecil.
49

35

0 jam 12 jam 24 jam 36 jam


30 48 jam 60 jam 72 jam

25

distribusi (%)
20

15

10

≤75 µm
>180-250 µm

>150-180 µm

>125-150 µm

>106-125 µm

>90-106 µm

>75-90 µm
ukuran partikel (µm)

Gambar 14 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap distribusi ukuran


partikel tepung jagung.

4.2.3 Densitas kamba tepung jagung


Loose density dan packed density tepung jagung menurun dengan semakin
meningkatnya waktu fermentasi grits jagung seperti terlihat pada Tabel 10. Hasil
ini mirip dengan pembuatan tepung sorghum secara fermentasi yang menurunkan
densitas tepung sebesar 10 % (Elkhalifa et al. 2005). Semakin rendah kadar
protein, lemak, serat kasar dan abu, semakin rendah loose dan packed density
tepung jagung.
Lebih tinggi kadar protein dan pati, lebih tinggi loose dan packed density
tepung jagung. Hal ini sesuai dengan penelitian Pereira et al. (2008), bahwa
jagung dengan kadar protein tinggi mempunyai densitas lebih tinggi. Endosperm
biji jagung terdiri dari dua komponen utama yaitu granula pati dan protein, dan
struktur fisik endosperm tergantung pada interaksi antar dua komponen tersebut.
Menurut Abdelrahman dan Hoseney (1984), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi variasi struktur biji jagung, diantaranya ketebalan matriks protein
yang kontak dengan granula pati dan kekuatan adhesi antara matriks protein dan
50

granula pati. Semakin tinggi ketebalan matriks protein yang kontak dengan
granula pati, semakin tinggi densitas.

Tabel 10 Loose dan packed density tepung jagung yang dihasilkan dengan
variasi waktu fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi grits jagung Loose density Packed density
(jam)
(g/ml) (g/ml)
0 0.504d±0.019 0.72e±0.003
c
12 0.478 ±0.004 0.693d±0.006
24 0.469bc±0.002 0.689cd±0.001
ab
36 0.462 ±0.001 0.685c±0.007
48 0.46ab±0.002 0.664b±0.003
a
60 0.45 ±0.009 0.659b±0.002
72 0.447a±0.007 0.651a±0.002
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Pengaruh kadar protein terhadap densitas kamba tepung jagung juga


terjadi karena strukturnya. Menurut Damodaran (1996), fraksi serta distribusi
residu hidrofobik dan hidrofilik pada struktur primer protein mempengaruhi
beberapa sifat fisikokimia protein. Zein merupakan protein penyimpanan terbesar
pada endosperm jagung dengan komposisi asam amino utama adalah asam
glutamat (21.4 %), leusin (18.7 %), alanin (13.3 %) dan prolin (10.7 %) yang
merupakan protein hidrofobik (Wilson 1987). Berdasarkan pada konstanta
sedimentasi dan difusi, molekul zein mempunyai bentuk globula panjang (rasio
axial sekitar 15:1) (Laszity 1986). Hal ini juga sesuai pernyataan Damodaran
(1996) bahwa apabila sebuah protein sebagian besar terdiri dari asam amino
hidrofobik, maka diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga
meminimalkan rasio area permukaan:volume yang memungkinkan lebih banyak
residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein. Rasio area permukaan
dibanding volume yang kecil pada protein jagung mengakibatkan tepung jagung
mempunyai densitas kamba besar sehingga protein paling berpengaruh terhadap
densitas kamba tepung jagung. Kadar protein mempunyai pengaruh tinggi
terhadap densitas kamba tepung jagung yang dapat dilihat dari nilai koefisien
51

korelasi, yaitu pada loose density (r = 0.84, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
0.932, p ≤ 0.01).
Semakin tinggi kadar protein, semakin tinggi packed density tepung
jagung seperti terlihat pada Gambar 15. Apabila hubungan antara kadar protein
dan packed density digambarkan dalam suatu grafik maka terbentuk garis regresi
linier dengan persamaan:
Dp = 0.0375Pr + 0.3442 (R2=0.8673) (4)
dengan Dp adalah packed density tepung jagung dalam g/ml, Pr adalah kadar
protein tepung jagung dalam % basis kering dan R2 adalah koefisien determinasi.
Apabila persamaan (4) disubstitusi dengan persamaan (1) akan didapatkan
persamaan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan packed density
tepung jagung yaitu:
Dp = -0.0011t + 0.714 (5)
dengan Dp adalah packed density tepung jagung dalam g/ml dan t adalah waktu
fermentasi grits jagung dalam jam.

0.80
packed density (g/ml)

0.75

0.70

0.65 Dp = 0.0375Pr + 0.3442


R 2 = 0.8673

0.60
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5
protein (% bk)

Gambar 15 Pengaruh kadar protein terhadap packed density tepung jagung.

Semakin besar kadar serat kasar, semakin tinggi loose dan packed density
tepung jagung. Serat kasar pada jagung terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Lignin dan hemiselulosa mempunyai kemampuan yang tinggi untuk
menyerap air. Hidrasi serat menyebabkan terbentuknya matriks gel dan
meningkatkan densitas kamba bahan. Adanya hubungan antara serat kasar dengan
52

loose dan packed density sesuai pendapat Rasper (1982) bahwa selulosa,
hemiselulosa dan lignin berperan terhadap densitas sereal. Hal ini mengakibatkan
adanya korelasi antara kadar serat kasar dengan loose density (r = 0.894, p ≤ 0.01)
dan packed density (r = 0.758, p ≤ 0.01). Semakin tinggi kadar serat kasar,
semakin tinggi loose density tepung jagung seperti terlihat pada Gambar 16.
Hubungan antara loose density dengan kadar serat kasar dapat dinyatakan dalam
persamaan:
Dl = 0.026s + 0.43 (R2 = 0.7997) (6)
dengan Dl adalah loose density tepung jagung dalam g/ml, s adalah kadar serat
kasar dalam % basis kering.

0.60
loose density (g/ml)

0.55 Dl = 0.026s + 0.43


R2 = 0.7997

0.50

0.45

0.40
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0
serat kasar (% bk)

Gambar 16 Pengaruh kadar serat kasar terhadap loose density tepung jagung.

Semakin tinggi kadar abu, semakin tinggi loose dan packed density tepung
jagung. Mineral-mineral dalam jagung yaitu natrium, kalium, fluor, dan iodine
banyak terdapat sebagai ion bebas. Menurut Nabrzyski (1997) gugus anionik
mempunyai daya tarik menarik yang kuat yang akan mempengaruhi densitasnya.
Lebih kuat interaksi dengan gugus anionik maka lebih tinggi densitas kamba
tepung jagung. Kadar abu berkorelasi dengan loose density (r = 0.842, p ≤ 0.01)
dan packed density (r = 0.758, p ≤ 0.01).
Semakin tinggi kadar lemak, semakin tinggi loose dan packed density
tepung jagung. Pengaruh lemak terhadap densitas kamba hampir sama dengan
53

protein, yaitu berkaitan dengan hidrofobisitasnya. Lemak yang bersifat hidrofobik


diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga meminimalkan
rasio area permukaan:volume. Rasio area permukaan dibanding volume yang
kecil pada lemak jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas
kamba besar. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kadar lemak dengan
loose density (r = 0.651, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.804, p ≤ 0.01).
Semakin lama waktu fermentasi jagung, semakin rendah densitas kamba
tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini senada dengan Elkhalifa et al. (2005)
bahwa perendaman sorghum selama 24 jam dalam pembuatan tepung sorghum
akan menurunkan densitas tepung sorghum yang dihasilkan sebesar 10%,
sedangkan Onofiok dan Nnanyelugo (1998) menyatakan bahwa fermentasi dapat
menurunkan densitas kamba yang tinggi pada makanan sapihan di Afrika.
Fermentasi telah dilaporkan sebagai suatu metode tradisional dan berguna untuk
preparasi makanan sapihan dengan densitas rendah. Adanya hubungan antara
waktu fermentasi grits jagung dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya yaitu
loose density (r = -0.877, p ≤ 0.01) dan packed density (r = -0.959, p ≤ 0.01).
Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan packed density dan loose
density tepung jagung menghasilkan persamaan regresi linier sebagai berikut:
Dp = -0.0009t + 0.712 (R2 =
0.9188) (7)
Dl = -0.0007t + 0.493
2
(R = 0.7691) (8)
dengan Dp dan Dl adalah packed density dan loose density tepung jagung
dalam g/ml, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah
koefisien determinasi.
Berdasarkan korelasi antara faktor-faktor yang berpengaruh, didapatkan
persamaan 5 dan 7 yang dapat digunakan untuk memprediksi packed density
tepung jagung berdasarkan waktu fermentasi grits jagung. Persamaan 5 dan 7
mempunyai slope dan intersept yang hampir sama sehingga apabila diaplikasikan
akan mendapatkan nilai yang tidak berbeda jauh. Berdasarkan pertimbangan
bahwa persamaan 7 mempunyai koefisien determinasi lebih besar dan packed
density tidak hanya dipengaruhi kadar protein tetapi juga komponen kimia lain
54

seperti pati, serat kasar dan lemak maka persamaan 7 dipilih sebagai model
prediktif untuk dibuktikan pada tahap validasi.
0.80
Dp = -0.0009t + 0.712
R 2 = 0.9188
0.70

densitas kamba (g/ml)


0.60
Dl = -0.0007t + 0.493
R 2 = 0.7691
0.50

0.40
loose density pack ed density
0.30
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 17 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap loose


density dan packed density tepung jagung.

Persamaan 6 dan 8 dapat digunakan untuk memprediksi loose density


tepung jagung. Persamaan 6 digunakan untuk memprediksi loose density tepung
jagung berdasar kadar serat kasar, sedangkan persamaan 8 berdasarkan waktu
fermentasi grits jagung. Persamaan 6 mempunyai koefisien determinasi lebih
tinggi, tetapi serat kasar sulit dikendalikan pada pembuatan tepung jagung secara
fermentasi maka persamaan 8 dipilih sebagai model prediktif loose density tepung
jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung.

4.2.4 Sudut curah tepung jagung


Sudut curah dapat digunakan sebagai indikator kemampuan mengalir.
Fermentasi jagung meningkatkan sudut curah tepung jagung yang dihasilkan atau
menurunkan daya alir tepung seperti dapat dilihat pada Tabel 11. Fermentasi
grits jagung sampai 24 jam meningkatkan sudut curahnya, dan waktu fermentasi
setelah itu cenderung tidak mengubah sudut curah (Tabel 11). Peningkatan sudut
curah berkorelasi dengan penurunan kadar protein, kadar serat kasar, kadar pati,
loose density dan packed density. Dengan demikian semakin tinggi kadar
protein, serat kasar dan pati, semakin tinggi kemampuan bahan mengalir.
55

Tabel 11 Sudut curah tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi


waktu fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi jagung (jam) Sudut curah (o)
0 41.9a±0.1
12 44.4b±1.3
24 47.2cd±0.7
36 48.4d±0.4
48 46.2c±0.9
60 48.3d±1.1
72 48.2d±0.5
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Semakin rendah kadar serat kasar dan protein, semakin tinggi sudut curah
tepung jagung. Kemampuan bahan untuk mengalir dipengaruhi tekstur. Salah
satu komponen serat adalah selulosa yang berperan besar terhadap tekstur
makanan nabati. Fungsi utama selulosa dalam dinding sel dikombinasikan
dengan hemiselulosa, protein, pektin dan lignin memberikan kesatuan struktur
(Aguilera dan Stanley 1999). Dinding sel digambarkan sebagai mikrofibril
selulosa yang melekat pada bagian amorf terutama terdiri dari substansi pektik
dan hemiselulosa. Selulosa berperan memberi struktur yang kuat sehingga
memudahkan bahan mengalir, sebagai akibatnya fermentasi yang mengakibatkan
penurunan kadar serat akan meningkatkan sudut curah atau dengan kata lain akan
menurunkan daya alir tepung jagung. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi
antara sudut curah tepung jagung dengan kadar serat kasar (r = -0.785, p ≤ 0.01)
dan kadar protein (r = -0.73, p ≤ 0.01).
Semakin tinggi densitas kamba, semakin kecil luas permukaan sehingga
bahan lebih mudah mengalir dan sudut curah menurun. Luas permukaan
menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan kohesi sehingga
rasio luas permukaan terhadap volume merupakan indikasi yang baik bagi daya
alir pada sistem bubuk. Lebih tinggi rasio luas permukaan terhadap volume,
56

partikel cenderung lengket dengan partikel yang lain dan mengurangi


kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi sehingga
mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini mengakibatkan adanya
korelasi antara sudut curah tepung jagung dengan loose density (r = -0.853, p ≤
0.01). Semakin besar loose density, semakin kecil sudut curah seperti terlihat
pada Gambar 18. Apabila digambarkan hubungan antara loose density dengan
sudut curah tepung jagung akan menghasilkan persamaan:
Sr = -102.66Dl + 94.32 (R2 = 0.7286) (9)
Apabila persamaan 9 disubstitusi dengan persamaan 8 maka akan didapatkan
hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan sudut curah tepung jagung
dalam persamaan sebagai berikut:
Sr = -0.072t + 43.71 (10)
dimana Sr adalah sudut curah tepung jagung dalam derajat dan t adalah waktu
fermentasi grits jagung dalam jam.

55
sudut curah (o )

50

45

Sr = -102.7Dl + 94.3
40 R 2 = 0.7286

35
0.30 0.40 0.50 0.60
loose density (g/ml)

Gambar 18 Pengaruh loose density terhadap sudut curah tepung jagung.

4.2.5 Derajat putih tepung jagung


Fermentasi meningkatkan derajat putih tepung jagung seperti terlihat pada
Tabel 12 dan Gambar 19. Fermentasi grits jagung selama 48 jam meningkatkan
derajat putih tepung jagung (70.5 %) dibandingkan tepung jagung yang dibuat
tanpa fermentasi (62.8 %). Fermentasi lanjutan sampai 72 jam cenderung tidak
mengubah derajat putih tepung jagung yang dihasilkan (Tabel 12).
57

Semakin tinggi kadar protein dan gula reduksi, derajat putih tepung
semakin rendah. Hal ini disebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis antara
protein dan gula reduksi yang mengakibatkan warna coklat sehingga menurunkan
derajat putih tepung jagung.
Tabel 12 Derajat putih tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi Derajat putih (%)
0 62.8a±0.5
12 64.0a±1.8
24 66.7b±0.9
36 68.1b±2.1
48 70.5c±0.9
60 71.1c±0.6
72 71.5c±1.0
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

(a) (b) (c)


Gambar 19 Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama (a) 0
jam, (b) 36 jam, (c) 60 jam.

Semakin rendah pH, kemungkinan terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis


semakin rendah sehingga derajat putih tepung yang dihasilkan semakin tinggi.
Reaksi pencoklatan non enzimatis ini mengakibatkan adanya korelasi antara
derajat putih tepung jagung dengan kadar gula reduksi (r = -0.696, p ≤ 0.01),
kadar protein (r = -0.875, p ≤ 0.01) dan pH (r = -0.729, p ≤ 0.01). Kadar protein
mempunyai korelasi yang lebih kuat dengan derajat putih tepung jagung, dan
58

hubungannya dapat digambarkan sebagai grafik linier seperti yang terlihat pada
Gambar 20.
Apabila hubungan antara kadar protein dengan derajat putih tepung jagung
digambarkan sebagai grafik linier akan menghasilkan persamaan:
W = -5.367Pr +115.9 (R2 = 0.7658) (11)
Apabila dilakukan substitusi persamaan 11 dengan persamaan 1 akan didapatkan
hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan derajat putih tepung
jagung dalam persamaan:
W = 0.16t + 63 (12)
dengan W adalah derajat putih tepung jagung sedangkan t adalah waktu
fermentasi grits jagung.

75
derajat putih (%)

70

65
W = -5.367Pr + 115.9
R2 = 0.7658

60
7.0 8.0 9.0 10.0 11.0
kadar protein (%bk)

Gambar 20 Pengaruh kadar protein terhadap derajat putih tepung jagung.

Semakin tinggi kadar lemak tepung jagung, semakin rendah derajat putih
tepung karena lemak yang berwarna kuning menurunkan derajat putih tepung
jagung. Derajat putih tepung jagung berkorelasi dengan kadar lemak (r = -0.706,
p ≤ 0.01).
Keberadaan beberapa jenis mineral, terutama zat besi akan menurunkan
derajat putih pada tepung jagung sehingga semakin tinggi jumlah mineral atau
semakin besar kadar abu maka semakin rendah derajat putih tepung jagung. Hal
ini mengakibatkan korelasi antara derajat putih tepung jagung dengan kadar abu
(r = -0.827, p ≤ 0.01).
59

Tepung jagung dengan densitas kamba tinggi mempunyai derajat putih


yang lebih rendah. Hal ini disebabkan semakin tinggi densitas kamba, semakin
kecil luas permukaan bahan dan dengan adanya pemantulan cahaya akan
terbentuk bayangan yang kelihatan lebih gelap. Semakin rendah densitas kamba
berarti luas permukaan bahan semakin tinggi sehingga akan terbentuk bayangan
yang lebih terang. Hal ini terlihat dengan adanya korelasi antara derajat putih
tepung jagung dengan loose density (r = -0.855, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
-0.925, p ≤ 0.01). Hubungan antara packed density dan derajat putih tepung
jagung dapat digambarkan sebagai grafik linier seperti terlihat pada Gambar 21
dengan persamaan:
W = -140.83Dp + 163.6 (R2 = 0.8545) (13).
Apabila persamaan 13 disubstitusi dengan persamaan 7 maka akan didapatkan
hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan derajat putih tepung
jagung dalam persamaan:
W = -0.13t + 63.3 (14)
dengan W adalah derajat putih tepung jagung sedangkan t adalah waktu
fermentasi grits jagung.

75

70
derajat putih (%)

65

60
W = -140.8Dp+ 163.6
R 2 = 0.8545
55

50
0.60 0.65 0.70 0.75

packed density (g/ml)

Gambar 21 Pengaruh packed density terhadap derajat putih tepung jagung.

Persamaan 12 dan 14 dapat digunakan untuk memprediksi derajat putih


tepung jagung, dan kedua persamaan tersebut mempunyai slope dan intersept
hampir sama yaitu W = 0.16t + 63 (12) dan W = 0.13t + 63.3 (14). Persamaan
60

14 diturunkan dari persamaan 13 yang memiliki slope lebih besar sehingga dipilih
sebagai model prediktif untuk dibuktikan pada tahap validasi.

4.2.6 Kapasitas penyerapan air


Kapasitas penyerapan air memberikan gambaran jumlah air yang tersedia
untuk gelatinisasi (Elkhalifa et al. 2005). Fermentasi grits jagung selama 12 jam
meningkatkan kapasitas penyerapan air tepung jagung (104.8 %), dibanding
tepung non fermentasi (101.8 %), sedangkan fermentasi lanjutan sampai 72 jam
cenderung tidak mengubah kapasitas penyerapan air (106.4 %) seperti terlihat
pada Tabel 13. Salah satu produk pangan yang perlu kapasitas penyerapan air
yang lebih tinggi adalah bassang, salah satu makanan pokok khas dari Sulawesi
Selatan dengan bentuk seperti bubur. Dalam proses pembuatan bassang juga
melalui proses perendaman selama 8 – 13 jam dan dilanjutkan dengan pemasakan
selama 4 – 9 jam.

Tabel 13 Kapasitas penyerapan air tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi
waktu fermentasi grits jagung

Waktu fermentasi jagung Kapasitas penyerapan air (%)


0 101.76a±0.65
12 104.82b±0.1
24 105.32b±0.85
36 106.66b±1.01
48 105.96b±1.74
60 105.95b±0.9
72 106.41b±0.83
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Amilosa merupakan rantai lurus yang mempunyai kemampuan menyerap


air lebih rendah dibanding amilopektin yang merupakan rantai bercabang. Hal ini
mengakibatkan semakin tinggi kadar amilosa, semakin rendah kapasitas
penyerapan air pada tepung jagung, demikian juga semakin besar rasio
61

amilosa:amilopektin pada tepung jagung akan menghasilkan kapasitas penyerapan


air yang semakin kecil.
Semakin tinggi kadar protein dan kadar abu, semakin rendah kapasitas
penyerapan air pada tepung jagung. Muatan yang berlawanan pada protein dan
mineral mempengaruhi kecepatan penyerapan air granula pati sehingga protein
dan mineral berkompetisi dengan pati dalam menyerap air. Hal ini
mengakibatkan adanya korelasi negatif antara kapasitas penyerapan air dengan
kadar protein (r = -0.521, p ≤ 0.05) dan kadar abu (r = -0.59, p ≤ 0.01). Menurut
Barbut (1999) faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi sifat mengikat air pada
tepung dengan kadar protein relatif tinggi adalah komposisi asam amino, bentuk
protein, hidrofobisitas/hidrofilik permukaan.
Semakin besar densitas kamba, semakin rendah kemampuan menyerap
air. Hal ini disebabkan tepung jagung dengan densitas kamba besar berarti
mempunyai massa yang besar dan luas permukaan kecil sehingga kemampuan
tepung jagung dalam menyerap air lebih rendah dibandingkan tepung jagung yang
mempunyai densitas kamba kecil. Hal ini dapat dilihat dari adanya korelasi antara
kapasitas penyerapan air tepung jagung dengan loose density (r = -0.462, p ≤
0.05) dan dan packed density (r = -0.54, p ≤ 0.05).

4.2.7 Kapasitas penyerapan minyak


Fermentasi grits jagung sampai 36 jam akan menurunkan kapasitas
penyerapan minyak (60.6 %) dibandingkan tepung non fermentasi, sedangkan
fermentasi lanjutan sampai 72 jam tidak menurunkan secara nyata kapasitas
penyerapan minyak (55.9 %) seperti terlihat pada Tabel 14. Kapasitas
penyerapan minyak yang semakin rendah diperlukan pada produk-produk yang
diproses dengan penggorengan sehingga tidak menyerap minyak dalam jumlah
yang besar. Dengan demikian apabila diinginkan produk hasil gorengan yang
tidak banyak menyerap minyak dapat digunakan tepung yang dihasilkan dengan
proses fermentasi.

Tabel 14 Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan dengan


variasi waktu fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi grits jagung (jam) Kapasitas penyerapan minyak (% bk)
62

0 71.5c±3.9
12 64.8bc±4.7
24 64.9bc±4.9
36 60.6ab±6.6
48 61.3ab±2.3
60 61.4ab±2.8
72 55.9a±4.1
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Kapasitas penyerapan minyak pada tepung jagung terutama berkaitan


dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau protein,
semakin besar kapasitas penyerapan minyak. Hal ini berhubungan dengan
mekanisme kapasitas penyerapan minyak yang disebabkan pemerangkapan
minyak secara fisik dengan gaya kapiler dan peran hidrofobisitas protein
(Voutsinas dan Nakai, 1983). Sirivongpaisal (2006) menyatakan bahwa kapasitas
penyerapan minyak pada tepung bambara groundnut lebih besar daripada pati
bambara groundnut karena kadar protein dan lemak yang lebih tinggi pada
tepung, yang dapat memerangkap lebih banyak minyak. Hal ini mengakibatkan
adanya korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan kadar lemak (r =
0.445, p ≤ 0.05) dan kadar protein (r = 0.68, p ≤ 0.01).

4.2.8 Suhu gelatinisasi


Suhu gelatinisasi menunjukkan suhu awal meningkatnya viskositas pati
saat dipanaskan atau awal terjadinya gelatinisasi. Tabel 15 menunjukkan bahwa
fermentasi grits jagung selama 24 jam menurunkan suhu gelatinisasi tepung
jagung yang dihasilkan. Fermentasi grits jagung selama 24 sampai 48 jam
menghasilkan tepung jagung dengan suhu gelatinisasi tetap, sedangkan fermentasi
grits jagung selama 48 sampai 72 jam menghasilkan tepung jagung dengan suhu
gelatinisasi meningkat. Fermentasi selama 48 jam mengubah suhu gelatinisasi
tepung jagung menjadi 76.7oC. Suhu gelatinisasi ini lebih tinggi daripada suhu
gelatinisasi ogi yang difermentasi selama 48 jam menurunkan suhu gelatinisasi
menjadi 71.6oC (Nago et al. 1998). Semakin rendah suhu gelatinisasi, semakin
63

cepat terjadinya gelatinisasi, dan untuk produk pangan yang memerlukan syarat
ini dapat dicapai dengan fermentasi selama 24 jam.
Keberadaan gula pada pemanasan pati akan menghambat gelatinisasi
karena terhambatnya pembengkakan granula pati oleh gula reduksi yang bersifat
hidrofilik, sehingga semakin banyak jumlah pati dibanding gula akan semakin
cepat terjadinya gelatinisasi yang akan menurunkan suhu gelatinisasi. Pada
aplikasi pembuatan produk pangan, untuk menghindari suhu gelatinisasi yang
terlalu tinggi karena adanya gula, maka penambahan gula dilakukan setelah
terjadinya gelatinisasi. Pengaruh gula terhadap gelatinisasi tergantung jenis gula,
sukrosa mempunyai suhu gelatinisasi tertinggi, dimana peningkatannya
tergantung konsentrasi sukrosa. Gula lain yaitu fruktosa, glukosa, maltosa
mempengaruhi gelatinisasi dengan pola yang sama. Lebih tinggi konsentrasi
substansi mengandung hidroksil yang larut air, lebih besar penghambatan
pengembangan granula (Christianson 1982). Hal ini mengakibatkan adanya
korelasi antara suhu gelatinisasi dengan rasio pati dibanding gula reduksi (r = -
0.463, p ≤ 0.05).

Tabel 15 Suhu gelatinisasi adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi jagung (jam) Suhu gelatinisasi (oC)*
0 82bc±1.5
12 80.8b±2.5
24 76.2a±0.8
36 76.3a±0.9
48 76.7a±1.2
60 82.1bc±2.8
72 85.2c±1.8
Keterangan: * suhu awal gelatinisasi
** merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
*** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%.

Proses fermentasi grits jagung selama 24 jam menurunkan suhu


gelatinisasi tepung jagung yang dihasilkan menjadi 76.2oC dibandingkan tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (82oC). Penurunan suhu gelatinisasi
64

merupakan akibat dari melemahnya struktur granula dan disintegrasi selama


proses perendaman. Gelatinisasi diawali pada bagian yang amorf karena ikatan
hidrogen lebih lemah pada bagian tersebut. Pada perendaman jagung, granula pati
mengalami pengembangan, dan semakin lama perendaman bagian yang amorf
dapat mengalami leaching. Adanya leaching pada sebagian granula yang bersifat
amorf mengakibatkan partikel tepung jagung yang dihasilkan mudah
tergelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi menurun. Fermentasi lanjutan dari 24
jam sampai 48 jam suhu gelatinisasi relatif tetap (76.7oC) dan fermentasi lanjutan
sampai 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi (85.2oC) (Gambar 22).
Meningkatnya suhu gelatinisasi karena pembentukan kompleks inklusi heliks
antara lemak dengan amilosa. Menurut Eliasson dan Gudmunsson (1996) pada
saat amilosa keluar dari granula selama proses gelatinisasi, lemak membentuk
kompleks dengan amilosa tersebut, kemungkinan di permukaan granula dan
menghambat pengembangan sehingga suhu gelatinisasi meningkat. Hubungan
antara suhu gelatinisasi adonan jagung dengan waktu fermentasi grits jagung
dapat dinyatakan dengan model prediktif yang bersifat kuadratik:
Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8 (R2 = 0.7504) (15)
dengan Tg adalah suhu gelatinisasi adonan jagung dalam oC, t adalah waktu
fermentasi grits jagung dalam jam, sedangkan R2 adalah koefisien determinasi.

90
Tg = 0.006t2 - 0.39t+ 82.8
suhu gelatinisasi (o C)

R2 = 0.7504
85

80

75

70
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 22 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap suhu gelatinisasi
adonan jagung
65

4.2.9 Viskositas puncak


Viskositas puncak merupakan titik puncak viskositas adonan pada proses
pemanasan yang merupakan indikator kemudahan jika dimasak dan juga
menunjukkan kekuatan adonan, yang terbentuk dari gelatinisasi selama
pengolahan dalam aplikasi makanan. Pada saat suspensi pati dipanaskan, granula
yang mulai mengembang sejak mencapai suhu gelatinisasi akan terus
mengembang. Selama gelatinisasi, amilosa mengalami leaching dari granula pati
dan bersama dengan amilopektin menjadi sangat terhidrasi. Akibatnya suspensi
menjadi lebih jernih dan viskositasnya meningkat terus sampai mencapai puncak,
dimana granula mengalami hidrasi maksimum.
Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas
puncak 493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam relatif tidak mengubah
viskositas puncaknya (560 BU). Selanjutnya, tepung jagung yang dihasilkan
melalui proses fermentasi selama 48 jam menunjukkan viskositas puncak
meningkat (648 BU), dan bertahan sampai dengan perendaman grits jagung
selama 60 jam (573 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72 jam
menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550 BU),
hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi (Tabel
16). Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Onyango et al. (2003) bahwa pada
fermentasi sereal menjadi ogi akan terjadi penurunan viskositas, juga Dufour et al.
(2006) yang menyatakan bahwa pada adonan ubi kayu yang difermentasi, terjadi
penurunan viskositas maksimum.

Tabel 16 Viskositas puncak adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi jagung (jam) Viskositas puncak (BU)
0 493,3a±27,5
12 513,3ab±41,6
24 510ab±17,3
36 560abc±26,5
48 648,3c±53,5
60 573,3bc±35,1
72
550ab±36,1
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
66

** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda


nyata pada taraf 5%

Semakin tinggi kadar protein tepung jagung, semakin rendah viskositas


adonan jagung. Hal ini berhubungan dengan sifat protein yang hidrofilik akan
bersaing dengan pati untuk mendapatkan air. Kurangnya air yang dapat diserap
oleh pati karena dihambat oleh protein menghambat proses gelatinisasi dan
menurunkan viskositas puncak adonan. Hal ini mengakibatkan adanya interaksi
antara viskositas puncak dengan kadar protein (r = -0.725, p ≤ 0.01) dan rasio
pati:protein (r = 0.731, p ≤ 0.01).
Pengaturan pH menjadi asam mengakibatkan protein menjadi lebih
bermuatan positif dan karbohidrat terdehidrasi menghasilkan gugus karboksil
yang lebih bermuatan negatif. Pada kondisi tersebut terjadi ikatan elektrostatik
antara pati dan protein. Pada pH basa, baik protein dan pati mempunyai muatan
negatif dan sedikit interaksi yang terjadi antar komponen tersebut. Hal ini
mengakibatkan adanya korelasi antara viskositas puncak dengan pH tepung (r = -
0.639, p ≤ 0.01). Semakin tinggi pH, semakin rendah viskositas puncak tepung
jagung. Hal ini senada dengan penelitian Mestres et al. (1996) bahwa viskositas
adonan jagung maksimum turun secara terus menerus dari pH 4 sampai 10.
Semakin tinggi kadar gula reduksi tepung jagung, semakin rendah
viskositas puncak adonan jagung. Gula bersifat hidrofilik yang akan bersaing
dengan pati untuk mendapatkan air. Hal ini mengakibatkan terhambatnya
gelatinisasi dan menurunkan viskositas puncak adonan. Viskositas puncak
adonan jagung berkorelasi dengan kadar gula reduksi (r = -0.543, p ≤ 0.05) dan
rasio pati:gula reduksi (r = 0.543, p ≤ 0.05).
Viskositas puncak tepung sorghum menurun dengan meningkatnya
konsentrasi garam yang diakibatkan peran gaya ionik (Zhang dan Hamaker 2005).
Hruskova et al. (2003) juga menyatakan bahwa viskositas maksimum paling
tinggi terdapat pada sampel tepung dengan kadar abu paling rendah. Hal ini
mengakibatkan semakin tinggi kadar mineral, semakin rendah viskositas puncak
(r = -0.497, p ≤ 0.05).
67

4.2.10 Sifat adonan selama pemanasan


Sifat-sifat adonan selama proses pemanasan dapat dilihat dari nilai
viskositas panas, viskositas panas 15 menit dan breakdown viscosity. Viskositas
panas merupakan indeks kemudahan pemasakan dan merefleksikan kelemahan
granula dalam mengembang. Breakdown viscosity merupakan nilai penurunan
viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah
ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95°C selama 15 menit. Breakdown
viscosity menunjukkan stabilitas adonan selama proses pemasakan. Sifat pasta
yang stabil sangat dikehendaki, slah satunya pada pembuatan mie, khususnya
untuk menjaga keutuhan mie ketika melalui proses pengukusan (steaming).
Proses fermentasi grits jagung selama 24 jam menghasilkan tepung jagung
dengan viskositas panas 495 BU, tidak berbeda nyata dengan viskositas panas
tepung jagung tanpa fermentasi (502 BU). Selanjutnya fermentasi sampai 48 jam
meningkatkan viskositas panas (643 BU), sedangkan proses fermentasi setelah itu
akan menurunkan lagi viskositas panas (543 BU) seperti dapat dilihat pada Tabel
17 dan Gambar 23. Peningkatan viskositas panas selama fermentasi sesuai
penelitian Subagio (2006) bahwa tepung ubi kayu yang dihasilkan melalui proses
fermentasi meningkat viskositas panasnya. Menurut Henshaw et al. (1996), pola
viskositas adonan panas beberapa jenis legume ditentukan oleh dua faktor yaitu
derajat pengembangan granula pati dan resistensi granula yang mengembang
terhadap kelarutan oleh panas atau fragmentasi dengan shear.

Tabel 17 Sifat-sifat adonan jagung selama pemanasan yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi grits Viskositas panas (BU) Viskositas panas 15 Breakdown viscosity
jagung (jam) menit (BU) (BU)

0 502ab±16 425 a±9 68c±18


12 453a±20 513bc±42 0b±0
24 495ab±44 468ab±50 15b±3
36 560c±27 525bcd±50 27b±3
48 643d±33 583de±29 35bc±5
60 573c±35 547cde ± 33 27b±18
72 543bc±25 610e ± 10 -60a±6
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan
tidak beda nyata pada taraf 5%
68

VP
Vpa15

Gambar 23 Amilografi tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi
grits jagung
Keterangan: ____ non fermentasi, ____ fermentasi 12 jam,
____ fermentasi 24 jam, ____ fermentasi 36 jam
____ fermentasi 48 jam, ____ fermentasi 60 jam
____ fermentasi 72 jam

Stabilitas pemanasan dapat dilihat dari nilai breakdown viscosity, dimana


breakdown viscosity 0 BU atau mendekati 0 BU menunjukkan stabilitas pemanasan yang
baik. Proses fermentasi jagung selama 12 jam menghasilkan tepung jagung dengan
breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan lebih tinggi daripada tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 12
sampai 60 jam menghasilkan tepung jagung dengan stabilitas pemanasan relatif tetap, dan
setelah 72 jam stabilitas pemanasan menurun (-60 BU) seperti terlihat pada Tabel 17.
Menurut Oluwamukomi et al. (2005), keberadaan dan interaksi protein dengan
pati menurunkan viskositas, senada dengan pernyataan Hamaker dan Griffin (1993)
bahwa pati deproteinasi mempunyai viskositas lebih tinggi karena pengembangan lebih
besar yang disebabkan protein mempunyai pengaruh menghambat pengembangan pati
dan pengerasan selama pemanasan. Penghilangan protein dari larutan pati menyebabkan
pati mempunyai viskositas lebih besar karena granula tanpa protein lebih mudah pecah
dan jumlah air yang masuk ke granula lebih banyak mengakibatkan peningkatan
pengembangan granula sehingga semakin kecil kadar protein, semakin besar
pengembangan granula yang meningkatkan viskositas panas dan viskositas panas 15
menit. Hal ini mengakibatkan adanya interaksi antara kadar protein tepung jagung
dengan viskositas panas (r = -0.659, p ≤ 0.01) dan viskositas panas 15 menit (r = -0.827,
p ≤ 0.01).
69

Semakin besar kadar protein tepung jagung, semakin rendah Vpa15 (Gambar 24).
Korelasi antara kadar protein tepung jagung dengan viskositas panas 15 menit adonan
jagung dapat dinyatakan sebagai persamaan linier:
Vpa15 = 96.601Pr + 1394.8 (R2 = 0.7635) (16)
dengan Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung putih dalam BU, Pr adalah
kadar protein tepung jagung dalam jam sedangkan R2 adalah koefisien determinasi.
Apabila dilakukan substitusi persamaan 16 dengan persamaan 1 maka akan didapatkan
persamaan linier antara waktu fermentasi grits jagung dengan viskositas panas 15 menit :
Vpa15 = 2.78t + 443.1 (17)
dengan Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung putih dalam BU dan t
adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam.

800

600
Vpa 15 (BU)

400
Vpa15 = -96.601Pr + 1394.8
R 2 = 0.7635
200

0
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5
kadar protein (% bk)

Gambar 24 Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap viskositas panas 15 menit.

Semakin tinggi kadar lemak, semakin rendah stabilitas adonan selama pemanasan
sehingga menurunkan viskositas panas 15 menit yang berarti semakin lemah
pengembangan granula pati. Helstad (2006) menyatakan bahwa pada pati serealia,
biasanya lipid menghambat hidrasi granula dan pengembangan terutama akibat jumlah
amilopektin tinggi. Menurut Singh et al. (2006) pembentukan kompleks amilosa-lipid
akan menghambat pengembangan granula pati. Pada saat gelatinisasi, amilosa keluar
dari granula pati dan membentuk kompleks inklusi amilosa-lemak. Pembentukan
kompleks ini mengurangi kecenderungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan
teretrogradasi sehingga menghambat kecepatan pengerasan selama pemanasan. Hal ini
70

mengakibatkan adanya korelasi antara kadar lemak tepung jagung dengan viskositas
panas 15 menit (r = -0.642, p ≤ 0.01).
Menurut Fredriksson et al. (1998) sifat pati selama gelatinisasi dipengaruhi rasio
amilosa:amilopektin. Amilopektin berperan terhadap pengembangan dan sifat adonan
pati, sedangkan amilosa menghambat pengembangan. Granula pati dengan kadar
amilopektin tinggi menghasilkan granula yang lebih mengembang dan viskositas tinggi
sementara rantai linier amilosa keluar dari granula dan membuat fase kontinyu di luar
granula bersama lipid sehingga menghambat pengembangan dan menghasilkan viskositas
adonan yang rendah.
Semakin besar kapasitas penyerapan air pada suatu bahan, semakin kuat
mengikat air dan hal ini juga mengakibatkan adonan lebih stabil selama pemanasan.
Kapasitas penyerapan air berkorelasi dengan viskositas panas 15 menit (r = 0.684, p ≤
0.01). Hal ini sesuai dengan penelitian Henshaw et al. (1996) bahwa perbedaan
viskositas merupakan variasi penyerapan air.
Pada pH rendah, ikatan hidrogen dalam granula pati akan terpecah lebih cepat
sehingga meningkatkan kecepatan pengembangan granula. Semakin tinggi pH tepung
jagung, semakin rendah indeks kemudahan pemasakan dan semakin lemah
pengembangan granula pati. Hal ini didukung dengan adanya korelasi antara pH dengan
viskositas panas (r = -0.679, p ≤ 0.01) dan viskositas panas 15 menit (r = -0.584, p ≤
0.01).
Mineral yang berada dalam adonan pati selama pemanasan mudah mengalami
leaching. Semakin banyak mineral yang berada dalam bahan, semakin tinggi
kemungkinan bahan tersebut mengalami leaching sehingga kestabilan adonan selama
pemanasan menurun. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya viskositas selama pemanasan
yang didukung dengan adanya korelasi antara kadar abu dengan viskositas panas 15
menit (r = -0.676, p ≤ 0.01).
Stabilitas selama pemanasan berkorelasi dengan densitas tepung. Hal ini
berhubungan juga dengan pengaruh hidrofobisitas protein jagung terhadap densitas
protein. Protein jagung sebagian besar terdiri dari asam amino hidrofobik yang
diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga meminimalkan rasio area
permukaan dibanding volume (Damodaran 1996). Rasio area permukaan:volume yang
kecil pada protein jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas besar
sehingga pengembangan granula, peningkatan viskositas dan stabilitas adonan menjadi
rendah. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi viskositas panas 15 menit adonan jagung
dengan loose density (r =  0.717, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.849, p ≤ 0.01).
71

Semakin besar packed density tepung jagung, semakin kecil viskositas panas 15
menit adonan jagung (Gambar 25). Korelasi antara packed density dengan viskositas
panas 15 menit dapat digambarkan sebagai grafik linier dengan persamaan:
Vpa15 = -2409.2Dp + 2167.9 (R2 = 0.7696) (18)
Apabila persamaan 18 disubstitusi dengan persamaan 7 maka akan didapatkan
persamaan hubungan antara viskositas panas 15 menit dengan waktu fermentasi grits
jagung sebagai berikut:
Vpa15 = 2.17t + 452.3 (19)
dimana Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung dalam BU dan t adalah
waktu fermentasi grits jagung dalam jam.

800

600
Vpa 15 (BU)

400
Vpa15 = -2409.2Dp + 2167.9
200 R2 = 0.7696

0
0.64 0.66 0.68 0.70 0.72 0.74

packed density (g/ml)

Gambar 25 Pengaruh packed density tepung terhadap viskositas panas 15 menit.

Persamaan 17 dan 19 menggambarkan hubungan antara waktu fermentasi grits


jagung dengan viskositas panas 15 menit. Persamaan 19 merupakan hasil substitusi
persamaan 18 yang mempunyai koefisien determinasi sedikit lebih besar dibandingkan
persamaan 17. Persamaan 19 dipilih sebagai model prediktif viskositas panas selama 15
menit pada suhu 95oC dan akan dibuktikan ketepatannya pada tahap validasi.

4.2.11 Retrogradasi adonan


Kecenderungan retrogradasi dapat dilihat dari viskositas dingin, setback viscosity
atau rasio viskositas dingin dibandingkan dengan viskositas panas setelah dipertahankan
72

Vd
Vpao
selama 15 menit pada suhu 95 C ( 15 ). Selama pendinginan, berkumpulnya kembali
antar molekul pati terutama amilosa akan menghasilkan pembentukan struktur gel dan
viskositas akan meningkat ke viskositas akhir. Peningkatan viskositas saat pendinginan
menentukan kecenderungan berkumpul kembali pati yang merefleksikan kecenderungan
produk untuk teretrogradasi (Hagenimana et al. 2006). Namun apabila kecenderungan
untuk berkumpul kembali tersebut lemah, ikatan hidrogen akan terbentuk secara lambat,
molekul air akan sempat keluar dan yang terbentuk bukan gel akan tetapi endapamm.
Peristiwa keluarnya air dari perangkap hidrogen pasta ini disebut sineresis.
Fermentasi jagung selama 36 jam meningkatkan viskositas dingin tepung jagung
dari 1260 BU pada tepung yang dibuat tanpa fermentasi menjadi 1430 BU pada tepung
yang dibuat dengan fermentasi selama 36 jam. Selanjutnya fermentasi sampai 48 jam
menurunkan viskositas dingin (1045 BU) dan fermentasi lanjutan sampai 72 jam
meningkatkan lagi viskositas dinginnya menjadi 1308 BU seperi terlihat pada Tabel 18.
Peningkatan viskositas pada saat pendinginan sesuai dengan penelitian Subagio (2006)
yang menyatakan bahwa tepung ubi kayu yang dibuat melalui proses fermentasi akan
meningkat viskositas dinginnya.
Vd
Lebih tinggi Vpa15 , lebih besar retrogradasi yang terjadi. Menurut Sowbhagya
Vd
dan Bhattacharya (2001), Vpa15 lebih menggambarkan retrogradasi selama pendinginan
dibandingkan parameter lain seperti viskositas dingin atau setback viscosity. Tepung
Vd
jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai Vpa15 2.97 dan perendaman sampai 48
Vd
jam akan menurunkan Vpa15 (1.87). Fermentasi lanjutan sampai 72 jam cenderung tidak
Vd
mengubah Vpa15 (2.14).
Tabel 18 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kecenderungan retrogradasi
adonan tepung jagung
Waktu fermentasi Viskositas dingin Setback viscosity Vd
grits jagung (jam) (BU) (BU) Vpa15

0 1260bcd±66 767cd±39 2.97d±0.17


12 1223bc±31 710bc±40 2.39bc±0.17
24 1323de±47 813cd±31 2.68cd±0.06
36 1403e±49 843d±68 2.64cd±0.26
48 1045a±18 427a±70 1.87a±0.18
60 1203b±64 630b±97 2.21b±0.24
73

72 1308cd±54 758cd±20 2.14ab±0.06


Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan
tidak beda nyata pada taraf 5%

Lebih tinggi kadar protein, lebih tinggi kecenderungan terjadinya retrogradasi.


Peningkatan retrogradasi kemungkinan karena peningkatan ikatan hidrogen selama
pendinginan yang disebabkan perlakuan hidrothermal dan interaksi antara polisakarida
dan protein (Oluwamukomi et al. 2005). Hal ini meningkatkan pertumbuhan daerah
micellar gel dan meningkatkan indeks retrogradasi matriks sehingga lebih banyak air
Vd
yang terperangkap. Korelasi antara kadar protein dengan Vpa15 dapat digambarkan
sebagai grafik linier seperti terlihat pada Gambar 26. Peningkatan ikatan hidrogen
mempengaruhi pH, sehingga pH juga berkorelasi dengan retrogradasi. Semakin rendah
pH tepung jagung, kecenderungan terjadinya retrogradasi semakin tinggi.

3
Rv

2
Rv = 0.553Pr - 2.542
R 2 = 0.6638

1
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5

kadar protein (% bk)

Vd
Vpa
Gambar 26 Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap Rv ( 15 )
Vd
Semakin tinggi kadar protein, semakin besar Vpa15 . Hubungan antara kadar

Vd
protein dengan Vpa15 dapat digambarkan sebagai grafik linier dengan persamaan:
Rv = 0.553Pr– 2.542 (R2 = 0.6638) (20)
Apabila persamaan 20 disubstitusi dengan persamaan 1 maka akan didapatkan persamaan
:
Rv = -0.02t + 2.9 (21)
74

Vd
dengan Rv adalah Vpa15 dan t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam). Persamaan Rv
Vd
= -0.02t + 2.9 selanjutnya digunakan sebagai model prediktif Vpa15 yang masih harus
dibuktikan ketepatannya pada tahap validasi.
Semakin besar loose dan packed density, semakin besar kecenderungan
Vd
terjadinya retrogradasi. Mekanisme pengaruh densitas kamba terhadap Vpa15 hampir
sama dengan mekanisme pengaruh densitas kamba terhadap adonan jagung selama
pemanasan. Pengaruh densitas kamba terhadap retrogradasi dapat dilihat dengan adanya
Vd
korelasi antara Vpa15 dengan loose density (r = 0.67, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
0.802, p ≤ 0.01).
Kemudahan adonan saat dimasak juga mempengaruhi tingkat retrogradasi tepung
jagung. Semakin mudah pemasakan dan semakin stabil selama pemanasan, maka
semakin rendah kecenderungan produk teretrogradasi.

4.2.12 Sifat gel


Kekuatan gel menunjukkan besarnya beban yang diberikan pada saat gel mulai
pecah. Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi selama 48 jam
mempunyai kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung
yang dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce). Hal ini disebabkan menurunnya beberapa
komponen kimia seperti serat kasar, protein, gula reduksi, abu dan pH yang berkorelasi
dengan kekuatan gel. Kekuatan gel ini akan mengalami sedikit penurunan (14.48 gforce)
jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam seperti dapat dilihat pada Tabel 19. Hal ini
disebabkan meningkatnya kadar gula reduksi serta pH tepung jagung; sedangkan kadar
serat kasar, kadar protein dan kadar abu menurun.

Tabel 19 Sifat gel adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits
jagung
Waktu fermentasi grits Kekuatan gel (g force) Kelengketan gel
jagung (jam)
0 5.95a±0.6 -4.48c±0.38
b
12 9.11 ±0.88 -4.18c±0.5
24 13.9cd±0.24 -5.28c±0.78
d
36 15.39 ±1.04 -5.02c±0.76
e
48 19.47 ±1.15 -4.7c±0.78
d
60 14.48 ±0.93 -7.02b±0.63
c
72 12.86 ±0.85 -8.33a±0.99
75

Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada
taraf 5%

Semakin tinggi pH tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung
seperti terlihat pada Gambar 27. Pada pH rendah, pati lebih cepat tergelatinisasi dan akan
menghasilkan gel yang semakin kuat. Pada pH rendah yang sangat ekstrim menyebabkan
hidrolisis pati, dimana bagian amorf granula pati akan dipecah terlebih dahulu sedangkan
bagian kristalin dihidrolisis pada kecepatan lebih rendah. Pada penelitian ini tepung
jagung yang digunakan mempunyai range pH 4,4 sampai 5.7 sehingga belum terjadi
hidrolisis pati. Hal ini mengakibatkan gel yang dihasilkan makin kuat dengan
menurunnya pH (r = -0.867, p ≤ 0.01). Gel paling lemah terbentuk pada pH asam yang
ekstrem (pH 1-2) dan sangat basa (pH>10), sedangkan pada pH 12 tidak terbentuk gel
(Kilara 2006).
Semakin tinggi pH tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel. Hubungan
antara pH tepung jagung dengan kekuatan gel dapat dinyatakan sebagai persamaan:
Gs = -8.19Ph + 53.8 (R2 = 0.7516) (22)
2
dengan Gs adalah kekuatan gel dalam g force, Ph adalah pH tepung jagung dan R adalah
koefisien determinasi.
Apabila persamaan 22 disubstitusi dengan persamaan 2 maka akan didapatkan
persamaan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan kekuatan gel adonan
jagung sebagai berikut:
Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.4 (23)
dengan Gs adalah kekuatan gel dalam g force, dan t adalah waktu fermentasi grits jagung
dalam jam.

25
kekuatan gel (force)

20

15

10

Gs = -8.19Ph + 53.8
5
R2 = 0.7516

0
4.0 4.5 5.0 5.5 6.0

pH
76

Gambar 27 Pengaruh pH tepung jagung terhadap kekuatan gel.

Semakin tinggi kadar gula reduksi tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel
yang dihasilkan seperti dapat dilihat pada Gambar 28. Gula bersifat hidrofilik sehingga
dapat menghambat pengikatan air pada pati. Kadar gula reduksi yang semakin rendah
akan menurunkan suhu gelatinisasi dan sebagai konsekuensinya meningkatkan viskositas
dan kekuatan gel yang terbentuk. Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap
kekuatan gel adonan jagung dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi yaitu r = -0.901, p ≤
0.01. .
Semakin besar kadar gula reduksi, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung
dan hubungan ini dapat dinyatakan dengan persamaan:
Gs = -6.98Gr + 25.185 (R2 = 0.8113) (24)
dengan Gs adalah kekuatan gel adonan jagung dalam g force, Gr adalah kadar gula
reduksi tepung jagung dalam % berat kering dan R2 adalah koefisien determinasi. Apabila
persamaan 24 disubstitusi dengan persamaan 3 akan didapatkan hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dengan kekuatan gel tepung jagung dengan persamaan:
Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 (25)

25
Kekuatan gel (gforce)

20

15

10

Gs = -6.98Gr + 25.2
5
R 2 = 0.8113
0
0.0 1.0 2.0 3.0
gula reduksi (%)

Gambar 28 Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap kekuatan gel.

Semakin tinggi kadar protein tepung jagung atau semakin rendah rasio pati
dibanding protein, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung yang terbentuk. Tanpa
adanya panas, mekanisme interaksi protein-pati merupakan interaksi antar muatan, yang
sangat tergantung pH dan titik isoelektrik protein. Pemanasan meningkatkan
kompleksitas reaksi antara pati dan protein. Perubahan thermal dalam protein
77

berhubungan dengan denaturasi yang dipacu dengan keberadaan air. Denaturasi protein
sereal berhubungan dengan reaksi disulfida-sulfhidril yang menghasilkan ikatan silang
protein, misalnya interaksi protein-protein. Pati menjadi kehilangan kristalinitas,
pengembangan granula dan leaching amilosa meninggalkan amilopektin. Granula pecah
dan matriks amilosa membentuk jaringan gel. Pada saat terjadi kontak protein dan pati,
terbentuk matriks pati-protein yang stabil melalui ikatan hidrogen, kovalen dan ionik.
Matrik pati-protein yang terbentuk menentukan kekuatan gel. Hal ini didukung dengan
adanya korelasi antara kekuatan gel dengan kadar protein (r = -0.832, p ≤ 0.01) dan rasio
pati dibanding protein (r = 0.74, p ≤ 0.01).
Tepung yang lebih cepat mengalami gelatinisasi atau suhu gelatinisasinya rendah,
akan menghasilkan granula yang lebih mengembang, lebih tahan terhadap pemasakan
sehingga meningkatkan kekuatan gel yang dihasilkan. Retrogradasi adonan jagung
menurunkan kekuatan gel. Hal ini dapat dilihat dari adanya korelasi antara kekuatan gel
dengan suhu gelatinisasi (r = -0.467, p ≤ 0.05), viskositas puncak (r = 0.715, p ≤ 0.01),
viskositas panas (r = 0.74, p ≤ 0.01), dan viskositas panas 15 menit (r = 0.578, p ≤ 0.01)
Vd
dan Vpa15 (r = -0.638, p ≤ 0.01).
Berdasarkan variabel yang berkorelasi didapatkan persamaan 23 dan 25 untuk
memprediksi kekuatan gel. Kedua persamaan tersebut sedikit berbeda hanya di
intersepnya, yaitu 6.4 dan 6.3. Persamaan 25 diturunkan dari persamaan 24 yang
mempunyai koefisien determinasi lebih besar sehingga persamaan ini (Gs = -0.004t2 +
0.4t + 6.3) ditetapkan sebagai model prediktif yang akan dibuktikan pada tahap
berikutnya.
Fermentasi grits jagung selama 48 jam menghasilkan tepung jagung dengan
kelengketan gel -4.7, tidak berbeda nyata dengan tepung jagung non fermentasi (-4.48),
selanjutnya fermentasi sampai 72 jam meningkatkan kelengketan gel (-8.33) seperti
terlihat pada Tabel 19. Nilai yang semakin negatif pada kelengketan gel menunjukkan
kelengketan gel yang semakin besar.
Kelengketan gel terutama berkaitan dengan kadar amilosa dan kadar lemak.
Selama pengembangan, amilosa cenderung larut dan lepas ke dalam media air, mengalami
reasosiasi di antara ikatan hidrogennya dan menghasilkan gel. Adonan menjadi keruh dan
buram saat didinginkan dan akhirnya akan mengeluarkan air membentuk konsistensi
elastis. Eliasson dan Gudmundsson (1996) menyatakan bahwa rasio amilosa/amilopektin
mempunyai pengaruh besar terhadap sifat rheologi adonan dan gel. Kompleks inklusi
amilosa-lemak yang terbentuk dipermukaan granula menghambat pengembangan dan
78

meningkatkan kelengketan gel. Kompleks inklusi lemak-amilosa ini mempengaruhi pula


viskositas dan breakdown viscosity yang mencerminkan stabilitas adonan. Hal ini juga
yang mengakibatkan viskositas panas 15 menit dan breakdown viscosity berkorelasi
dengan kelengketan gel. Ada tiga kemungkinan kompleks inklusi amilosa-lemak,
pertama kompleks utuh yang mengganggu kristalisasi amilopektin dan menghambat
retrogradasi; kedua kompleks amilosa-lemak dapat mengubah atau memperlambat
distribusi air dan retrogradasi; dan ketiga kristalisasi bersama amilosa dan amilopektin ke
tingkat yang lebih luas, dan substansi kompleks tersebut mengurangi peran amilosa pada
proses kristalisasi kembali. Sedangkan interaksi amilopektin dan lemak berarti bahwa
lemak langsung berinteraksi dengan fraksi amilopektin pada tingkat yang lebih kecil dan
menghambat retrogradasi melalui kompleks amilopektin-lemak. Semakin stabil adonan
yang terbentuk, kelengketan gel semakin berkurang.
Semakin tinggi kadar mineral dalam bahan, semakin rendah kelengketan gel.
Mineral menghambat leaching amilosa dari granula pati sehingga semakin sedikit
kemungkinan terjadinya leaching mineral, kelengketan gel lebih rendah. Hal ini dapat
dilihat dari adanya korelasi antara kelengketan gel adonan jagung dengan kadar abu
tepung jagung (r = 0.536, p ≤ 0.05).
Semakin banyak air yang terdapat di dalam bahan memungkinkan ikatan antar
partikel. Sebagai akibatnya, bahan menjadi sulit mengalir dan meningkatkan
kelengketan. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kelengketan gel dengan
kadar air (r = -0.517, p ≤ 0.05) dan sudut curah (r = -0.603, p ≤ 0.01).
Pada tahap pertama penelitian ini didapat beberapa model prediktif dalam bentuk
persamaan regresi untuk mengendalikan sifat fisik dan fungsional tepung jagung
berdasar korelasi dengan variabel yang lain. Persamaan-persamaan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 20.

Tabel 20 Model prediktif beberapa sifat fisik dan fungsional tepung jagung berdasar
waktu fermentasi grits jagung
No Persamaan Variabel terikat
1. Dp = -0.0009t + 0.712 Packed density
2. Dl = -0.0007t + 0.493 Loose density
3. Sr = -0.072t + 43.7 Sudut curah
4. W = 0.13t + 63.3 Derajat putih
5. Tg = 0.006t2 – 0.39t + 82.8 Suhu gelatinisasi
6. Vpa15 = 2.17t + 452.3 Viskositas panas 15 menit
7. Rv = -0.02t + 2.9 Vd
Vpa15
2
8. Gs = -0.004t + 0.4t + 6.3 Kekuatan gel
79

4.3 Validasi model prediktif yang dihasilkan


Berdasarkan hasil karakterisasi pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap
sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih didapatkan beberapa model prediktif
untuk mengendalikan sifat fungsional dan fisik tepung jagung (Tabel 20). Validasi
dilakukan untuk mengetahui ketepatan model tersebut sehingga nantinya dapat digunakan
untuk aplikasi lebih lanjut. Model yang divalidasi adalah beberapa model yang
menggambarkan korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat fisik dan
fungsional adonan jagung. Validasi dilakukan pada 5 titik yaitu 15, 30, 45, 57.5 dan 70
jam.

4.3.1 Packed density tepung jagung


Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisik dan kimia tepung jagung dipilih
persamaan yang menggambarkan korelasi antara waktu fermentasi grits jagung
dan packed density tepung jagung yaitu Dp = -0.0009t + 0.712 dengan Dp adalah
packed density tepung jagung 60 mesh dalam g/ml, dan t adalah waktu fermentasi
grits jagung dalam jam. Berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan pada
tahap ini didapatkan nilai packed density seperti terlihat pada Tabel 21. Tabel 21
menunjukkan bahwa prediksi packed density mendekati nilai pengukuran yang
didapatkan dengan standar deviasi kurang dari 10 %. Persamaan untuk
memprediksi packed density diperoleh dari korelasi langsung antara waktu
fermentasi grits jagung dengan packed density sehingga adanya beberapa variabel
yang berkorelasi sudah termasuk di dalamnya.

Tabel 21 Hasil pengukuran dan prediksi packed density tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran packed Prediksi packed density Standar deviasi
grits jagung (jam) density (g/ml) (g/ml) (%)
15 0.703 0.699 0.6
30 0.673 0.685 -1.8
45 0.656 0.672 -2.4
57.5 0.624 0.660 -5.8
70 0.605 0.649 -7.3
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
Persamaan Dp = -0.0009t + 0.712 dapat digunakan untuk memprediksi
packed density tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi
grits jagung. Persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk tepung jagung yang
80

dihasilkan dari grits jagung dengan waktu fermentasi 0 sampai 72 jam, dan
penggunaan di luar waktu tersebut perlu penelitian lebih lanjut.

4.3.2 Loose density tepung jagung


Persamaaan Dl = -0.0007t + 0.493 diperoleh pada tahap karakterisasi
tepung jagung untuk memprediksi loose density tepung jagung berdasar waktu
fermentasi grits jagung. Tabel 22 menunjukkan bahwa prediksi loose density
mendekati nilai pengukuran yang didapatkan dengan standar deviasi kurang dari
10 %. Persamaan untuk memprediksi loose density diperoleh dari korelasi
langsung antara waktu fermentasi grits jagung dengan loose density sehingga
adanya beberapa variabel yang berkorelasi sudah diperhitungkan di dalamnya.
Dengan demikian persamaan Dl = -0.0007t + 0.493 dapat digunakan untuk
memprediksi loose density tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam.

Tabel 22 Hasil pengukuran dan prediksi loose density tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi loose Standar
grits jagung loose density (g/ml) density (g/ml) deviasi (%)
(jam)
15 0.465 0.483 -3.8
30 0.448 0.472 -5.4
45 0.438 0.462 -5.4
57.5 0.437 0.453 -3.7
70 0.426 0.444 -4.3
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.3 Sudut curah tepung jagung


Sudut curah yang merupakan indikator daya alir bahan dapat diprediksi
berdasar waktu fermentasi jagung menggunakan persamaan Sr = -0.072t + 43.7.
Tabel 23 menunjukkan prediksi sudut curah dan hasil pengukuran sampai 30 jam
masih tepat (standar deviasi kurang dari 10 %), tetapi setelah waktu 45 jam,
perbedaan antara nilai prediksi dengan hasil pengukuran mempunyai standar
deviasi lebih dari 10 %. Persamaan Sr = -0.072t + 43.7 merupakan hasil substitusi
korelasi antara sudut curah dengan loose density. Sudut curah tepung jagung
81

tidak hanya dipengaruhi loose density, tetapi juga kadar protein, kadar serat
kasar, kadar pati dan packed density sehingga hasil pengukuran sudut curah
mempunyai standar deviasi yang tinggi dibandingkan hasil pengukuran. Dengan
demikian persamaan tersebut hanya tepat digunakan untuk memprediksi sudut
curah berdasar waktu fermentasi grits jagung selama 0 sampai 30 jam. .

Tabel 23 Hasil pengukuran dan prediksi sudut curah tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi sudut curah Standar
o o
grits jagung sudut curah ( ) () deviasi (%)
(jam)
15 43.7 42.62 2.4
30 46.0 41.54 9.7
45 46.8 40.46 13.5
57.5 47.2 39.56 16.1
70 47.0 38.66 17.7
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.4 Derajat putih tepung jagung


Berdasarkan hasil karakterisasi didapatkan persamaan untuk memprediksi
derajat putih tepung jagung putih yaitu W = 0.13t + 63.3. Hasil pengukuran dan
prediksi derajat putih tepung jagung masih berada pada kisaran nilai prediksi
dengan standar deviasi 10% seperti terllihat pada Tabel 24. Berdasarkan hasil
tersebut maka persamaan W = 0.13t + 63.3 dapat digunakan untuk memprediksi
derajat putih tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung, dengan W
adalah derajat putih tepung jagung (%) dan t adalah waktu fermentasi grits jagung
(jam).

Tabel 24 Hasil pengukuran dan prediksi derajat putih tepung jagung


82

Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi derajat Standar


grits jagung derajat putih (%) putih (%) deviasi (%)
(jam)
15 65.5 65.25 0.4
30 68.4 67.2 1.8
45 70.7 69.15 2.1
57.5 69.4 70.775 -2.0
70 71.7 72.4 -0.9
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.5 Suhu gelatinisasi


Korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dan suhu gelatinisasi dapat
dinyatakan dengan persamaan kuadratik Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8. Hasil
pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi masih berada pada kisaran nilai
prediksi dengan standar deviasi 10% seperti terllihat pada Tabel 25. Berdasarkan
hasil tersebut maka persamaan Tg = 0.006t2 - 0.3934t + 82.847 dapat digunakan
untuk memprediksi suhu gelatinisasi, dengan Tg adalah suhu gelatinisasi (oC ) dan
t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam).

Tabel 25 Hasil pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi suhu Standar
grits jagung suhu gelatinisasi (oC) gelatinisasi (oC) deviasi (%)
(jam)
15 81.0 78.3 3.3
30 75.3 76.5 -1.5
45 75.8 77.4 -2.1
57.5 77.8 80.2 -3.1
70 80.7 84.9 -5.2
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.6 Viskositas panas saat dipertahankan selama 15 menit pada suhu 95oC
(Vpa15)

Salah satu parameter untuk mengetahui stabilitas adonan selama


pemanasan dilihat berdasarkan Vpa15. Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisik,
kimia dan fungsional tepung jagung didapatkan persamaan korelasi antara waktu
fermentasi grits jagung dan viskositas panas 15 menit. Tabel 26 menunjukkan
83

bahwa viskositas panas 15 menit dapat diprediksi menggunakan persamaan Vpa15


= 2.17t + 452.3 dengan standar deviasi kurang dari 10%.

Tabel 26 Hasil pengukuran dan prediksi Vpa15


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi Vpa15 (BU) Standar
grits jagung Vpa15 (BU) deviasi (%)
(jam)
15 483 485 -0.3
30 566 517 8.6
45 533 550 -3.1
57.5 599 577 3.7
70 593 604 -2.0
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.7 Rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas saat dipertahan


selama 15 menit pada suhu 95oC ( Vd )
Vpa15

Kecenderungan bahan untuk teretrogradasi dapat dilihat berdasarkan Vd


Vpa15

yang dapat diprediksi berdasarkan waktu fermentasi jagung menggunakan

persamaan Rv = -0.02t + 2.9 dengan Rv adalah Vd dalam BU dan t adalah


Vpa15

waktu fermentasi dalam jam. Tabel 27 menunjukkan bahwa persamaan tersebut


dapat digunakan untuk memprediksikan Vd sampai waktu fermentasi 30 jam
Vpa15

karena setelah itu menghasilkan nilai Vd dengan standar deviasi antara nilai
Vpa15

yang diprediksi dan nilai pengukuran lebih dari 10 %.

Tabel 27 Hasil pengukuran dan prediksi Vd


Vpa15

Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi Vd Standar


grits jagung Vd Vpa15 deviasi (%)
(jam) Vpa15
15 2.53 2.6 -2.8
30 2.27 2.30 -1.2
45 2.37 2.0 15.7
57.5 2.11 1.75 17.1
70 2.30 1.5 34.9
84

Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa


4.3.8 Kekuatan gel
Berdasarkan hasil analisa korelasi kekuatan gel dengan variabel lain,
didapatkan korelasi antara kekuatan gel dengan waktu fermentasi grits jagung.
Korelasi itu dapat dirumuskan menjadi persamaan Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3
dimana Gs adalah kekuatan gel tepung jagung (g force), dan t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam). Tabel 28 memperlihatkan prediksi kekuatan gel
yang diperoleh dan hasil pengukuran kekuatan gel. Pada fermentasi selama 45
jam, persamaan tersebut kurang tepat diaplikasikan karena standar deviasi yang
diperoleh lebih dari 10%. Persamaan Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 dapat digunakan
untuk memprediksikan kekuatan gel dengan waktu fermentasi 0 sampai 72 jam,
kecuali pada fermentasi 45 jam, dimana hasil pengukurannya memiliki standar
deviasi lebih dari 10 % dari nilai prediksi.

Tabel 28 Hasil pengukuran dan prediksi kekuatan gel tepung jagung.


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi kekuatan Standar
grits jagung kekuatan gel (gforce) gel (gforce) deviasi (%)
(jam)
15 11.369 11.40 -0.3
30 16.224 14.70 9.4
45 20.319 16.20 20.3
57.5 17.528 16.08 8.3
70 15.321 14.70 4.1
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

Pada tahap kedua penelitian ini didapat beberapa model dalam bentuk
persamaan matematika yang telah divalidasi untuk menguji kelayakannya (Tabel
29). Model matematika ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk mengendalikan
sifat fisik dan fungsional tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung.
85

Tabel 29 Model prediktif sifat fisik dan fungsional tepung jagung yang telah
divalidasi

No Persamaan Variabel terikat waktu fermentasi


(jam)
1. Dp = -0.0009t + 0.712 Packed density 0 – 72
2. Dl = -0.0007t + 0.493 Loose density 0 – 72
3. Sr = -0.072t + 43.7 Sudut curah 0 – 30
4. W = 0.13t + 63.3 Derajat putih 0 – 72
5. Tg = 0.006t2 – 0.39t + 82.8 Suhu gelatinisasi 0 – 72
6. Vpa15 = 2.17t + 452.3 Viskositas panas 15 0 – 72
menit
7. Rv = -0.02t + 2.9 Vd 0 – 30
Vpa15
8. Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 Kekuatan gel 0 – 30; 57.5 - 70

4.4 Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel
tepung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung

Gambar 29 menunjukkan tepung jagung non fermentasi dengan ukuran


partikel yang berbeda. Gambar 29a menunjukkan tepung jagung 60 mesh sebelum
difraksinasi, sedangkan Gambar 29b, 29c, 29d dan 29e menunjukkan hasil
fraksinasi tepung jagung dari yang berukuran paling besar sampai paling kecil.
Tepung jagung 60 mesh mempunyai ukuran partikel kurang dari 250 µm.
Gambar 29b menunjukkan tepung jagung berukuran paling besar dengan ukuran
partikel >150- 250 µm. Gambar 29c menunjukkan tepung jagung berukuran
>106-150 µm. Gambar 29d menunjukkan tepung jagung berukuran partikel >75 -
106 µm. Gambar 29e menunjukkan tepung jagung dengan ukuran partikel paling
kecil dengan ukuran ≤ 75 µm. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits
jagung selama 45 jam menunjukkan ukuran partikel yang hampir sama (Lampiran
1).
86

(a)

(b) (c)

(d) (e)
Gambar 29 Partikel tepung jagung tanpa fermentasi dilihat menggunakan
scanning electron microscope (SEM) (perbesaran 50 kali) (a) 60 mesh (b) >150 -
250 µm c) >106 – 150 µm, (d) >75 – 106 µm, (e) ≤ 75 µm.

4.4.1 Komposisi kimia tepung jagung


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung jagung
berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar tepung jagung, tetapi interaksi
keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran partikel tepung,
semakin kecil kadar serat kasar serta semakin besar kadar protein dan kadar
tepung jagung (Tabel 30).
88

Serat kasar terdapat pada bagian-bagian perikarp, lembaga dan endosperm


masing-masing 86.7, 8.8 dan 2.7 % (Lubin 1992). Penggilingan akan
menghaluskan sebagian besar endosperm, yang hanya mengandung serat kasar
dalam jumlah kecil sehingga kadar serat kasar pada tepung jagung berukuran
partikel kecil lebih sedikit daripada tepung berukuran partikel besar. Perikarp
yang banyak mengandung serat kasar dibuang pada pencucian, dan sebagian yang
tersisa sulit dihaluskan sehingga tidak lolos pada ayakan yang lebih kecil,
demikian juga bagian lembaga. Hal ini mengakibatkan tepung jagung dengan
ukuran partikel lebih kecil mempunyai kadar serat kasar lebih rendah daripada
tepung dengan ukuran partikel lebih besar. Waktu fermentasi grits jagung
menurunkan kadar serat kasar tepung jagung dengan tingkat penurunan yang
hampir sama sehingga menghasilkan grafik seperti pada Gambar 30. Pada tepung
jagung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi 70 jam menurunkan kadar
serat kasar (1.67 %), dibandingkan tepung non fermentasi (2.58 %), demikian
juga pada tepung berukuran partikel ≤ 70 µm kadar serat kasar turun dari 1.82 %
(non fermentasi) menjadi 0.97 % (fermentasi 70 jam).

3.0

2.5
serat kasar (% bk)

2.0

1.5

1.0

0.5 > 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 30 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kadar serat kasar tepung jagung
89

Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kadar protein tepung
jagung. Hal ini mirip dengan sifat pada tepung gandum yaitu tepung dengan
ukuran partikel lebih kecil mempunyai kadar protein lebih besar (Barbosa-
Canovas dan Yan 2003). Pada tepung jagung berukuran ≤ 75 µm, waktu
fermentasi selama 70 jam menurunkan kadar protein menjadi 8.96%
dibandingkan tepung jagung berukuran ≤ 75 µm tanpa fermentasi (11.03 %).
Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm, kadar protein tepung setelah
fermentasi 70 jam (7.21%) relatif tidak berubah dari kadar protein tepung tanpa
fermentasi (7.85%). Perubahan kadar protein tepung jagung pada masing-masing
ukuran partikel ini dapat dilihat pada Gambar 31.

12.0

11.0

10.0
protein (%bk)

9.0

8.0

7.0

> 150-250µm >106 - 150 µm


6.0
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
5.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 31 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kadar protein tepung jagung

Waktu fermentasi grits jagung berpengaruh nyata terhadap kadar pati


tepung jagung, sedangkan ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh. Pati jagung mempunyai ukuran partikel 1 sampai 7 μm untuk
partikel berukuran kecil dan 15 sampai 20 μm untuk partikel berukuran besar.
Ukuran partikel tepung jagung paling kecil pada penelitian ini adalah ≤ 75 μm
sehingga semua pati lolos pada ayakan yang paling kecil. Hal ini mengakibatkan
90

tidak ada perbedaan kadar pati antara ukuran partikel tepung yang berbeda.
Sebagian besar pati (87,6%) berada pada bagian endosperm yang dapat menjadi
halus pada proses penggilingan dan terdistribusi hampir merata pada semua
ukuran partikel tepung jagung.

Tabel 31 Kadar pati, kadar gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan
dengan variasi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel
tepung
Waktu Ukuran Kadar pati Kadar gula pH
fermentasi partikel (% bk) reduksi (% bk)
jagung (jam)
0 60 mesh 77.0±0,4 2.70±0.08 5.67±0.04
>150-250 µm 74.1 ± 0.6 2.04±0.07 5.66±0.05
>106-150 µm 76. ± 1.2 2.15±0.03 5.73±0.1
>75-106 µm 75.7 ± 0.3 2.21±0.11 5.69±0.04
≤75 µm 76.3 ± 0.8 2.57±0.03 5.67±0.06
15 60 mesh 76.5±2.4 1.37±0.12 4.8±0.12
>150-250 µm 75.0 ± 2.5 1.37±0,133 4.69±0.12
>106-150 µm 74.4 ± 1.5 1.31±0.07 4.71±0.8
>75-106 µm 74.6±1.3 1.52±0.10 4.78±0.07
≤75 µm 75.3±2.0 1.32±0.18 4.84±0.03
30 60 mesh 76.6±1.7 1.33±0.23 4.72±0.11
>150-250 µm 72.0 ± 2.2 1.23±0.16 4.72±0.1
>106-150 µm 72.5±3.4 1.28±0.11 4.69±0.05
>75-106 µm 73.2±4.2 1.36±0.09 4.69±0.06
≤75 µm 72.6±2.7 1.43±0.22 4.63±0.09
45 60 mesh 73.7±0.8 1.72±0.19 4.57±0.28
>150-250 µm 71.9±2.3 1.46±0.15 4.34±0.08
>106-150 µm 72.6±2.8 1.54±0.09 4.33±0.1
>75-106 µm 72.2± 4 1.26±0.11 4.35±0.11
≤75 µm 71.8±2.4 1.48±0.13 4.19±0.03
57.5 60 mesh 74.6±3.1 1.25±0.25 4.42±0.02
>150-250 µm 72.2±2.8 1.32±0.13 4.33±0.06
>106-150 µm 70.6±2.2 1.50±0.05 4.4±0.08
>75-106 µm 71.4 ± 3.8 1.28±0.19 4.39±0.05
≤75 µm 71.6±2.6 1.25±0.32 4.39±0.02
70 60 mesh 71.6±2.3 1.48±0.33 4.34±0.12
>150-250 µm 69.7±1.6 1.33±0.06 4.67±0.09
>106-150 µm 72.2 ± 2.6 1.47±0.05 4.61±0.03
>75-106 µm 69.4 ± 2.5 1.57±0.06 4.66±0.1
≤75 µm 69.0 ± 2.6 1.37±0.04 4.67±0.05
Keterangan: angka dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 0.05
91

4.4.2 Densitas kamba tepung jagung


Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung serta interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap loose dan packed density tepung jagung.
Semakin kecil ukuran partikel tepung, loose dan packed density tepung jagung
semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin kecil ukuran partikel, semakin besar
luas permukaan dan semakin besar pula volume sehingga densitas semakin kecil.
Densitas tepung jagung yang berbeda ukuran partikelnya mempunyai
korelasi dengan kadar protein, serat kasar, lemak, abu, pati, amilosa dan waktu
fermentasi jagung (Lampiran 12). Protein utama pada jagung adalah zein dengan
berat molekul sekitar 22 sampai 24 kilodalton (Laszity 1986). Berdasarkan gaya
sedimentasi dan difusi, molekul zein berbentuk globula sehingga lebih banyak
residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein, sehingga protein memiliki
densitas besar. Pada tepung jagung berukuran besar, sedikit peningkatan kadar
protein akan meningkatkan densitas. Sedangkan tepung jagung berukuran kecil
mempunyai luas area permukaan dibanding volume yang besar yang
memungkinkan lebih banyak residu hidrofobik pada bagian luar. Hal ini
mengakibatkan penurunan densitas.
Pada tepung jagung berukuran partikel kecil, perubahan kadar protein ini
cenderung tidak mengubah packed density seperti terlihat pada Gambar 32. Pada
tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, perubahan kadar protein dari
7.08 % menjadi 7.85 % meningkatkan packed density dari 0.669 g/ml menjadi
0.748 g/ml; sedangkan pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm peningkatan
kadar protein dari 8.96 % menjadi 11.03 % mengubah packed density dari 0.585
g/ml menjadi 0.635 g/ml.
92

0.800

packed density (g/ml)


0.700

0.600

0.500
>150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤75 µm
0.400
5.0 7.0 9.0 11.0 13.0
protein (%bk)

Gambar 32 Pengaruh kadar protein dan ukuran partikel terhadap packed density
tepung jagung.

Semakin tinggi kadar serat kasar dan semakin besar ukuran partikel,
semakin tinggi packed density tepung jagung (Gambar 33). Apabila dibuat suatu
grafik hubungan antara kadar serat kasar dan packed density tepung jagung akan
didapatkan garis regresi linier seperti dapat dilihat pada Gambar 34. Berdasarkan
hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa kadar serat kasar mempunyai pengaruh
terhadap packed density tanpa dipengaruhi ukuran partikel tepung.

0.80
packed density (g/ml)

0.70

0.60

0.50
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.40
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0

serat kasar (% bk)

Gambar 33 Pengaruh kadar serat kasar dan ukuran partikel tepung terhadap
packed density tepung jagung
93

0.80

packed density (g/ml)


0.70

0.60

Dp = 0.0764s + 0.5148
0.50
R 2 = 0.7386

0.40
0.0 1.0 2.0 3.0
serat kasar (% bk)

Gambar 34 Hubungan kadar serat kasar dan packed density tepung jagung.

Pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi grits


jagung selama 70 jam menurunkan loose density tepung jagung menjadi 0.463
g/ml dibandingkan tepung jagung yang tidak difermentasi (0.535 g/ml).
Sedangkan pada tepung berukuran ≤ 75 µm, loose density relatif tidak berubah
dengan meningkatnya waktu fermentasi selama 70 jam dari 0.395 g/ml menjadi
0.368 g/ml (Gambar 35). Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan
loose density tepung jagung berukuran > 150 - 250 µm dan >106 – 150 µm dapat
dinyatakan dalam bentuk grafik linier dengan persamaan:
Dli = -0.001t + 0.532 (R2 = 0.801)
Dlii = -0.001t+ 0.508 (R2 = 0.8272)
dimana Dli dan Dlii adalah loose density tepung jagung berukuran > 150 - 250 µm
dan >106 – 150 µm dalam g/ml, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam
jam dan R2 adalah koefisien determinasi.
94

0.60
Dlii= -0.001t + 0.508
Dli = -0.001x + 0.532
R 2 = 0.8272

loose density (g/ml)


R2 = 0.801
0.50

0.40

0.30
> 150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.20
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 35 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap loose density tepung jagung.

Peningkatan waktu fermentasi grits jagung juga menghasilkan grafik


cenderung mendatar pada packed density tepung jagung berukuran paling kecil (≤
75 µm) seperti terlihat pada Gambar 36. Pada tepung berukuran ≤ 75 µm, waktu
fermentasi selama 70 jam sedikit menurunkan packed density (dari 0.635 g/ml
menjadi 0.585 g/ml); sedangkan pada tepung berukuran partikel >150 – 250 µm,
fermentasi grits jagung selama 70 jam menurunkan packed density (0.639 g/ml)
dari tepung non fermentasi (0.748 g/ml). Hubungan antara waktu fermentasi grits
jagung dengan packed density tepung jagung berukuran >150 - 250 µm, >106 –
150 µm dan >75 – 106 µm dapat dinyatakan dalam bentuk grafik linier dengan
persamaan-persamaan:
Dpi = -0.0016t + 0.744 (R2 = 0.9215);
Dpii = -0.0012t + 0.702 (R2 = 0.7921);
Dpiii = -0.0011t + 0.678 (R2 = 0.8555),
Dengan Dpi, Dpii dan Dpiii adalah packed density tepung jagung berukuran >150 -
250 µm, >106 – 150 µm dan >75 – 106 µm dalam g/ml, t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam) dan R2 adalah koefisien determinasi.
95

0.80
Dpii= -0.0012t + 0.702

packed density (g/ml)


R2 = 0.7921 Dpi = -0.0016t + 0.744
0.70 R 2 = 0.9215

0.60
Dpiii = -0.0011t + 0.678
0.50 R 2 = 0.8555

0.40
> 150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.30
0 20 40 60 80

waktu (jam)
Gambar 36 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap packed density tepung jagung.

4.4.3 Sudut curah tepung jagung


Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap sudut curah tepung jagung. Semakin kecil
ukuran partikel tepung jagung semakin besar sudut curah tepung jagung, yang
berarti daya alir semakin rendah. Menurut Cadden (1987) ukuran partikel yang
semakin kecil menurunkan daya alir tepung. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Domian dan Poszytek (2005) yang menyatakan bahwa perubahan ukuran partikel
dapat mempengaruhi daya alir tepung. Semakin kecil ukuran partikel, rasio luas
permukaan terhadap massa meningkat. Menurut Fitzpatrick et al. (2004), luas
permukaan menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan
kohesi sehingga rasio luas permukaan terhadap volume merupakan indikasi yang
baik bagi daya alir pada sistem bubuk. Lebih tinggi rasio luas permukaan
terhadap volume, partikel cenderung lengket dengan partikel yang lain dan hal ini
mengurangi kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi
sehingga mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini juga sesuai
dengan pernyataan Stasiak dan Molenda (2004) bahwa penurunan ukuran partikel
cenderung menurunkan daya alir karena luas permukaan partikel meningkatkan
gaya kohesiv. Partikel tepung jagung berukuran kecil cenderung tidak mengalami
perubahan daya alir dengan meningkatnya waktu fermentasi grits jagung seperti
96

terlihat pada Gambar 37. Pada tepung jagung berukuran ≤ 75 µm , sudut curah
tidak berubah dengan bertambahnya waktu fermentasi; sedangkan pada tepung
jagung berukuran > 150-250 µm fermentasi 70 jam meningkatkan sudut curah
menjadi 47.6o, dari tepung non fermentasi (29.4o).

60

50
sudut curah ( )
o

40

30
Sri = 0.225t + 31.53
20 R2 = 0.8579

10 > 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 37 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap sudut curah tepung jagung.

Semakin kecil ukuran partikel, perubahan kadar protein, lemak, serat kasar
dan abu cenderung tidak mengubah sudut curah tepung jagung (Lampiran 13).
Pada tepung jagung berukuran partikel kecil, kadar lemak cenderung tidak
mempengaruhi daya alirnya sehingga menghasilkan grafik mendatar seperti pada
Gambar 38. Hal ini sesuai dengan penelitian Fitzpatrick et al. (2004) bahwa pada
susu bubuk berukuran partikel kecil mempunyai daya alir relatif tidak berubah
dengan meningkatnya kadar lemak; sedangkan pada susu bubuk berukuran
partikel besar, daya alirnya meningkat dengan menurunnya kadar lemak. Hal ini
disebabkan pengaruh gaya kohesiveness akibat kadar lemak yang tinggi lebih
dominan daripada ukuran partikel pada susu bubuk berukuran partikel kecil .
97

60

50

sudut curah ( )
o
40

30
Sri = -24.48l + 106.2
20 R2 = 0.7084

10 > 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
kadar lemak (% bk)

Gambar 38 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung


terhadap sudut curah tepung jagung putih

Semakin tinggi densitas dan semakin besar ukuran partikel, semakin kecil
sudut curah. Semakin tinggi densitas, semakin kecil luas permukaan, demikian
juga semakin besar ukuran partikel. Gaya permukaan antarpartikel seperti gaya
gesekan dan kohesi ditentukan oleh luas permukaan dan masa yang proporsional
terhadap volume, merupakan indikasi yang baik bagi daya alir pada sistem bubuk.
Semakin besar ukuran partikel tepung, semakin kecil luas permukaan sehingga
tepung lebih mudah mengalir atau sudut curah semakin kecil. Pada tepung jagung
dengan ukuran partikel kecil, perubahan packed density cenderung tidak
mempengaruhi daya alir tepung seperti dapat dilihat pada Gambar 39.

60

50
sudut curah (o )

40

30
Sri = -130.48Dp + 129.2
R2 = 0.7999
20

10 > 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0.50 0.60 0.70 0.80

packed density (g/ml)

Gambar 39 Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap sudut
curah tepung jagung putih.
98

Peningkatan waktu fermentasi grits jagung menurunkan sudut curah


tepung jagung berukuran partikel >150 – 250 µm. Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dengan sudut curah tepung jagung dengan ukuran partikel
150 – 249.9 µm dapat dinyatakan sebagai persamaan linier
Sri = 0.2252t + 31.528 (R2 = 0.8579)
dengan Sri adalah sudut curah tepung jagung dengan ukuran partikel 150 – 249.9
µm dalam o, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah
koefisien determinasi.

4.4.4 Derajat putih tepung jagung


Semakin kecil ukuran partikel, semakin tinggi derajat putih tepung
(Gambar 40 dan 41). Hal ini disebabkan tepung dengan ukuran partikel kecil
mempunyai luas permukaan besar sehingga akan terbentuk bayangan yang lebih
cerah. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap derajat putih tepung
jagung menghasilkan grafik linier dengan kemiringan hampir sama pada semua
ukuran partikel tepung jagung seperti dapat dilihat pada Gambar 41. Pada tepung
jagung berukuran partikel >150-250 µm, tepung jagung yang dibuat tanpa
fermentasi mempunyai derajat putih 60.7 % dan fermentasi 70 jam meningkatkan
derajat putihnya (68.7 %). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi 70
jam meningkatkan derajat putih (79.6%) dibandingkan tepung yang dibuat tanpa
fermentasi (74.9%).

(a) (b) (c) (d)


Gambar 40 Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama 15
jam dengan ukuran partikel (a) > 150-250 µm; (b) >106-150 µm, (c) >75-106
µm; (d) ≤75 µm
99

90
Wiii = 0.087t + 69.4
Wiv = 0.068t + 74.7
2 R 2 = 0.7195

derajat putih (%)


R = 0.8413
80

70

Wi = 0.097t + 63.3
Wii = 0.042t + 68.4
60 2 R2 = 0.6422
R = 0.5498
> 150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
50
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 41 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap derajat putih tepung jagung.

Derajat putih tepung jagung berkorelasi dengan kadar protein, gula reduksi
dan pH pada hampir semua ukuran (Lampiran 14). Hubungan antara kadar
protein dan gula reduksi dengan derajat putih berkorelasi dengan reaksi
pencoklatan non enzimatis, yang didukung dengan korelasi antara derajat putih
dengan pH pada tepung jagung semua ukuran. Tepung jagung berukuran partikel
≤75 µm mempunyai kisaran derajat putih lebih tinggi (74.9 – 79.6 %) pada pH
antara 4.2 sampai 5.7 dibanding tepung berukuran partikel >150-250 µm (60.7 -
68.7 %) pada kisaran pH yang hampir sama (4.3 sampai 5.7) seperti dapat dilihat
pada Gambar 42.
90

80
derajat putih (%)

70

60
Wi = -6.042Ph + 95.4
R2 = 0.873
50

40
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
30
4.0 4.5 5.0 5.5 6.0
pH

Gambar 42 Pengaruh pH dan ukuran partikel tepung terhadap derajat putih


tepung jagung.
100

Semakin tinggi packed density, semakin kecil luas permukaan bahan dan
dengan adanya pemantulan cahaya akan terbentuk bayangan yang kelihatan lebih
gelap. Hubungan densitas dengan derajat putih tepung jagung berhubungan juga
dengan luas permukaan. Pada tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm,
peningkatan packed density dari 0.639 g/ml menjadi 0.748 g/ml menurunkan
derajat putih (dari 68.7 % menjadi 60.7 %); demikian juga pada tepung berukuran
partikel >150-250 µm peningkatan packed density (dari 0.585 g/ml menjadi 0.635
g/ml) akan menurunkan derajat putih (dari 79.6 % menjadi 74.9 %) seperti dapat
dilihat pada Gambar 43.

90

80
derajat putih (%)

70

60
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
50
0.50 0.60 0.70 0.80

packed density (g/ml)

Gambar 43 Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap derajat
putih tepung jagung.

4.4.5 Kapasitas penyerapan air


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh
nyata terhadap kapasitas penyerapan air tepung yang dihasilkan, sedangkan
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran partikel, luas
permukaan semakin besar sehingga kemampuan bahan dalam menyerap air lebih
besar (Gambar 44). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi selama
30 jam meningkatkan kapasitas penyerapan air menjadi 128.9% dari tepung
jagung non fermentasi (115.9 %), dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam akan
menurunkan kembali kapasitas penyerapan air (113.6%). Sedangkan pada tepung
101

berukuran partikel >150 – 250 µm, fermentasi cenderung tidak mengubah


kapasitas penyerapan air tepung yang dihasilkan seperti terlihat pada Gambar 44.
Dengan demikian apabila diinginkan produk-produk yang perlu tingkat rehidrasi
tinggi dapat digunakan tepung hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran
partikel ≤ 75 µm.

140
kapasitas penyerapan air(%)

120

100

> 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
80
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 44 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung.

4.4.6. Kapasitas penyerapan minyak


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh
nyata terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan,
sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran
partikel tepung, semakin besar kapasitas penyerapan minyak karena semakin kecil
ukuran partikel, luas permukaan semakin besar sehingga kemampuan bahan dalam
menyerap minyak semakin besar. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm,
fermentasi grits selama 70 jam menurunkan kapasitas penyerapan minyak menjadi
69.3% dari tepung non fermentasi (82.8%).
Pada tepung berukuran partikel >150 – 250, kapasitas penyerapan minyak
relatif tidak berubah dengan fermentasi seperti terlihat pada Gambar 45. Dengan
demikian apabila diinginkan produk dengan kapasitas penyerapan minyak kecil
maka digunakan tepung dengan ukuran partikel yang lebih besar. Sebagai contoh
102

adalah untuk melapisi (coating) produk-produk yang digoreng, pelapisan


menggunakan tepung berukuran partikel besar lebih menguntungkan karena lebih
sedikit menyerap air.

100
kapasitas penyerapan minyak (%) Kpm iv = -0.205t + 83
R 2 = 0.7258
80

60

40

20 > 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm

0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 45 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung.

Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kapasitas penyerapan


minyak tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm menghasilkan grafik regresi
linier yang menurun. Hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan:
Kpmiv = 0.2048t + 83 (R2 = 0.7258)
dengan Kpmiv adalah kapasitas penyerapan minyak tepung jagung berukuran
partikel ≤ 75 µm dalam % berat kering, t adalah waktu fermentasi grits jagung
(jam) dan R2 adalah koefisien determinasi.

4.4.7 Suhu gelatinisasi


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh
nyata terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung tetapi interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata. Lebih kecil ukuran partikel tepung, lebih rendah suhu
gelatinisasi karena luas permukaan lebih besar sehingga lebih cepat menyerap air.
Semakin cepat bahan menyerap air akan semakin cepat pula terjadinya gelatinisasi
sehingga suhu gelatinisasi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian
103

Bedolla dan Rooney (1984) bahwa semakin tinggi ukuran partikel tepung jagung
ternikstamalisasi, semakin tinggi suhu gelatinisasi. Valdez-Niebla et al. (1993)
juga menyatakan bahwa pada tepung amaranth, meningkatnya ukuran partikel
tepung akan meningkatkan suhu gelatinisasi. Hubungan antara waktu fermentasi
grits jagung terhadap suhu gelatinisasi pada semua ukuran partikel tepung
menunjukkan grafik seperti terlihat pada Gambar 46.

90

85
suhu gelatinisasi (o C)

80

75

70

65
> 150 - 250µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
60
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 46 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung.

4.4.8 Viskositas puncak


Waktu fermentasi jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh nyata
terhadap viskositas puncak tepung jagung yang dihasilkan, demikian juga
interaksi keduanya. Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar
viskositas puncak tepung jagung. Hal ini hampir mirip dengan keadaan pada
tepung gandum bahwa tepung yang lebih halus viskositasnya lebih besar (Rasper
1982). Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin besar luas
permukaan sehingga penyerapan airnya semakin besar sehingga viskositas puncak
tepung jagung meningkat. Tepung jagung non fermentasi berukuran partikel
>150-250 µm mempunyai viskositas puncak 328 BU, ukuran partikel yang lebih
kecil (>106-150 µm) meningkatkan viskositas puncak (524 BU) dan ukuran
partikel yang lebih kecil (>75 – 106 µm) juga meningkatkan viskositas puncak
104

(629 BU) hampir sama dengan viskositas puncak tepung berukuran partikel ≤ 75
µm ( 665 BU) seperti dapat dilihat pada Gambar 47.

VP

Gambar 47 Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung non


fermentasi (___>150 – 250 µm, ___ >106 – 150 µm, ___ >75 – 106 µm,
____ ≤ 75 µm).

Waktu fermentasi grits jagung selama 70 jam meningkatkan viskositas


puncak pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm menjadi 565 BU
dibandingkan tepung non fermentasi (328 BU). Pada tepung berukuran partikel ≤
75 µm, fermentasi grits jagung selama 70 jam cenderung tidak mengubah
viskositas puncak (698 BU) dari tepung non fermentasi (665 BU) seperti terlihat
pada Gambar 48 dan 49. Hal ini disebabkan kemampuan tepung tersebut dalam
menyerap air sudah maksimal sehingga peningkatan luas permukaannya tidak lagi
meningkatkan kapasitas penyerapan air dan viskositas cenderung tetap.
105

800

viskositas puncak (BU)


600

400
Vp i = 3.17t + 370.9
R2 = 0.7957

200

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 48 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap viskositas puncak tepung jagung.

VP

Gambar 49 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap amilografi tepung


jagung berukuran partikel ≤ 75 µm (____ fermentasi 0 jam, ____ fermentasi 45
jam, ____ fermentasi 70 jam).

Viskositas puncak tepung jagung berkorelasi dengan rasio pati:protein,


kadar serat kasar, kadar lemak, rasio pati:gula reduksi, pH, kadar abu, kadar
amilosa, loose density, packed density, dan sudut curah pada tepung jagung
berukuran besar (Lampiran 17). Pada tepung jagung berukuran partikel lebih
kecil, meningkatnya kadar protein, lemak dan serat kasar cenderung tidak
106

mempengaruhi densitas dan sudut curah sehingga pada tepung jagung dengan
ukuran partikel kecil, variabel-variabel tersebut tidak mempengaruhi viskositas
puncak. Pada tepung dengan ukuran partikel besar, peningkatan kadar protein,
serat kasar dan lemak akan meningkatkan densitas dan menurunkan sudut curah
sehingga menurunkan viskositas puncak. Semakin mudah bahan mengalir atau
semakin rendah sudut curah, semakin rendah viskositas puncak. Pada tepung
berukuran partikel >150-250 µm, meningkatnya sudut curah (dari 29.4o menjadi
47.6o) akan meningkatkan viskositas puncak (dari 328 BU menjadi 587 BU)
seperti terlihat pada Gambar 50. Sedangkan tepung berukuran partikel ≤ 75 µm
mempunyai kisaran sudut curah yang kecil (45.7–47.7o) sehingga viskositas
puncak hampir sama (665–698 BU), mirip dengan tepung berukuran partikel > 75
– 106 µm (sudut curah 45 – 47.2o dan viskositas puncak 585-662 BU).

800
Viskositas puncak (BU)

600

400
Vpi = 13.002Sr - 30
R 2 = 0.7888
200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
25 30 35 40 45 50

o
sudut curah ( )
Gambar 50 Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap
viskositas puncak adonan jagung.

Viskositas puncak tepung jagung berkorelasi dengan kadar lemak pada dan
amilosa pada tepung jagung berukuran partikel besar (108-149 µm dan 150-249
µm) (Gambar 51 dan 52). Pengaruh lemak dan amilosa berhubungan dengan
pembentukan kompleks amilosa-lemak yang akan menghambat pengembangan
granula pati. Pada tepung dengan ukuran partikel kecil (75-105.9 µm dan 0.1-74.9
107

µm), tidak terjadi penghambatan pengembangan kompleks amilosa-lemak yang


terbentuk di permukaan granula kemungkinan karena partikel yang kecil
mempunyai luas permukaan besar sehingga masih bisa terjadi pengembangan
granula di sisi yang lain. Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm,
penurunan kadar lemak (3.18%) menjadi 2.45% mengakibatkan peningkatan
viskositas puncak (327 BU menjadi 587 BU); sedangkan pada tepung berukuran
≤ 75 µm, penurunan kadar lemak cenderung tidak mengubah viskositas puncak
seperti dapat dilihat pada Gambar 51. Pada tepung berukuran partikel >150-250
µm, peningkatan kadar amilosa dari 26.% menjadi 28.4 % mengakibatkan
penurunan viskositas puncak (327 BU menjadi 587 BU); sedangkan pada tepung
berukuran ≤ 75 µm, perubahan kadar amilosa cenderung tidak mengubah
viskositas puncak seperti dapat dilihat pada Gambar 52.

800
Viskositas puncak (BU)

600

400
Vpi = -357.83l + 1457.7
R2 = 0.7064
200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
kadar lemak (% bk)

Gambar 51 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap


viskositas puncak adonan jagung.
108

800

Viskositas puncak (BU)


600

400

200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
25 26 27 28 29 30

kadar amilosa (% bk)

Gambar 52 Pengaruh kadar amilosa dan ukuran partikel tepung terhadap


viskositas puncak adonan jagung.

Fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam meningkatkan viskositas


puncak tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm. Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dan viskositas puncak dapat dinyatakan dalam bentuk
regresi linier dengan persamaan:
Vpi = 3.18t + 371 (R2 = 0.7957)
dengan Vpi adalah viskositas puncak adonan jagung berukuran partikel >150-250
µm dalam Brabender Unit (BU), t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam) dan
R2 adalah koefisien determinasi.

4.4.9 Sifat adonan selama pemanasan


Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap sifat adonan selama pemanasan yaitu
viskositas adonan panas, viskositas panas 15 menit (Vpa15) dan breakdown
viscosity tepung jagung. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin
besar luas permukaan sehingga penyerapan airnya semakin besar. Hal ini akan
meningkatkan Vpa15 dan breakdown viscosity. Pada tepung berukuran partikel
>150 -250 µm, fermentasi selama 70 jam akan meningkatkan Vpa15 menjadi 530
BU dari tepung non fermentasi (416 BU). Breakdown viscosity akan meningkat
menjadi 35 BU pada tepung yang dibuat dengan fermentasi 70 jam dibandingkan
109

tepung non fermentasi (-88 BU). Pada tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm,
fermentasi relatif tidak mengubah viskositas panas selama 15 menit (Vpa15) dan
breakdown viscosity (Gambar 53 dan 54).

800

600
VPa15 (BU)

400

200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 53 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap viskositas panas 15 menit tepung jagung.

200
breakdown viscosity (BU)

100

0
0 20 40 60 80
waktu (jam) Bdi = 1.48x - 77
-100 R2 = 0.8102

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
-200

Gambar 54 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap breakdown viscosity tepung jagung.

Seperti halnya viskositas puncak, sebagian besar parameter yang


berkorelasi dengan sifat adonan selama pemanasan juga hanya berkorelasi pada
tepung jagung yang berukuran besar yaitu >150-250 µm dan >106-150 µm
110

(Lampiran 18). Penjelasan perubahan stabilitas adonan selama pemanasan pada


tepung jagung berukuran partikel besar sama dengan perubahan viskositas puncak
adonan jagung.
Pada tepung dengan ukuran partikel besar, peningkatan kadar lemak akan
meningkatkan densitas dan menurunkan sudut curah sehingga menurunkan
breakdown viscosity (Gambar 55). Tepung jagung berukuran besar mempunyai
rasio area permukaan:volume kecil sehingga adanya sedikit perubahan akan
berdampak pada parameter yang lain, misalnya menurunnya kadar lemak akan
membuat pengembangan granula dan peningkatan viskositas menjadi lebih besar
dengan volume yang kecil, dan ini lebih terlihat nyata dibanding tepung berukuran
kecil. Pada tepung berukuran partikel > 150 – 250 µm, peningkatan kadar lemak
dari 2.45 % menjadi 2.99 % akan mengubah breakdown viscosity dari -88 BU
menjadi 25 BU, sedangkan pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, peningkatan
kadar lemak dari 3.28 menjadi 3.72 % relatif tidak mengubah breakdown
viscosity.

200
breakdown viscosity (BU)

100

0
1.0 2.0 3.0 4.0 5.0
kadar lemak (% bk)
-100

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
-200

Gambar 55 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap


breakdown viscosity tepung jagung.

Kadar protein, lemak, serat kasar, abu dan amilosa mempengaruhi sudut
curah pada tepung jagung dengan ukuran partikel besar. Sudut curah tepung
jagung mempengaruhi sifat-sifat tepung jagung dengan ukuran partikel besar
selama proses pemanasan, salah satunya adalah breakdown viscosity (Gambar 56).
111

Peningkatan sudut curah (dari 29.4o menjadi 47.6o) pada partikel tepung
berukuran >150 – 250 µm akan mengubah breakdown viscosity dari -88 BU
menjadi 35 BU. Tepung berukuran partikel kecil mempunyai kisaran sudut curah
kecil (47 - 47.7o) sehingga breakdown viscosity relatif tidak terpengaruh seperti
terlihat pada Gambar 56.

150
breakdown viscosity BU)

100

50

0
25 30 35 40 45 50 55
-50 o
sudut curah ( )

-100 > 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
-150

Gambar 56 Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap breakdown
viscosity tepung jagung.

Kapasitas penyerapan air berkorelasi dengan viskositas panas 15 menit


dan breakdown viscosity pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm. Korelasi
breakdown viscosity dengan kapasitas penyerapan air terjadi pada tepung
berukuran kecil karena luas permukaan yang lebih besar lebih banyak menyerap
air. Semakin besar kapasitas penyerapan air pada suatu bahan, maka akan
semakin kuat bahan tersebut menahan air selama proses pemasakan dan hal ini
mengakibatkan adonan lebih stabil selama pemanasan.
Fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam meningkatkan viskositas
panas dan breakdown viscosity tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm.
Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan viskositas panas serta
breakdown viscosity dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi linier:
Vpai = 3.1815t + 360.23 (R2 = 0.7208);
Bdi = 1.4797t + 76.974 (R2 = 0.8102)
dimana Vpai adalah viskositas panas adonan jagung berukuran partikel >150-250
112

µm dalam Brabender Unit (BU), Bdi adalah breakdown viscosity adonan jagung
berukuran partikel >150-250 µm dalam Brabender Unit (BU), t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam).

4.4.10 Retrogradasi adonan


Waktu fermentasi jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya

berpengaruh nyata terhadap viskositas dingin, setback viscosity dan Vd .


Vpa15

Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kemungkinan terjadinya


retrogradasi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai viskositas dingin atau Vd
Vpa15

(Gambar 57 dan 58). Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin luas
permukaan sehingga lebih besar kemungkinan terjadinya leaching amilosa dari
granula pati. Semakin banyak terjadinya leaching meningkatkan retrogradasi
adonan jagung. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits selama
30 jam menurunkan viskositas dingin (1120 BU) dari tepung non fermentasi (1642
BU) dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi viskositas dingin
(1950 BU). Pada tepung berukuran partikel > 150 – 250 µm, peningkatan waktu
fermentasi selama 70 jam meningkatkan viskositas dingin tepung (1263 BU) dari
tepung non fermentasi (983 BU) (Gambar 57).
Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits selama 30 jam

menurunkan Vd (2.08) dari tepung non fermentasi (2.80) dan fermentasi


Vpa15

lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd (3.11). Sedangkan pada tepung


Vpa15

berukuran partikel >150 – 250µm fermentasi grits selama 45 jam menurunkan


Vd
(1.88) dari tepung non fermentasi (2.37) dan fermentasi lanjutan sampai 70
Vpa15

jam meningkatkan lagi Vd (2.40) seperti dapat dilihat pada Gambar 58.
Vpa15
113

2500

viskositas dingin (BU)


2000

1500

1000

500
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 57 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap viskositas dingin adonan jagung.

4.0

3.0

2.0

1.0
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)
Gambar 58 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
Vd
terhadap adonan jagung.
Vpa15

Semakin besar ukuran partikel tepung jagung, semakin rendah viskositas


dingin adonan jagung. Tepung jagung yang dibuat melalui proses fermentasi grits
jagung selama 70 jam dengan ukuran partikel >150 – 250 µm mempunyai
viskositas dingin 1263 BU, lebih kecil daripada tepung berukuran partikel <106 –
150 µm (1420 BU), >75 – 106 µm (1705 BU) dan ≤ 75 µm (1950 BU) seperti
114

terlihat pada Gambar 59. Hal ini sesuai dengan penelitian Iwuoha dan Nwakanma
(1998) pada tepung ubi jalar, bahwa semakin besar ukuran partikel ubi jalar,
semakin rendah viskositas adonan saat pendinginan.

VD

Gambar 59 Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung yang


dibuat dengan fermentasi grits jagung selama 70 jam (___>150 – 250 µm, ___
>106 – 150 µm, ___ >75 – 106 µm, ____ ≤ 75 µm

Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar kemungkinan terjadinya


retrogradasi adonan, tetapi pada tepung jagung yang dibuat dari proses fermentasi
selama 30 jam, kecenderungan tererogradasi tersebut hampir sama pada tepung
dengan ukuran partikel <106 – 150 µm, >75 – 106 µm dan ≤ 75 µm (Gambar 57
dan 58. Semakin besar kemungkinan teretrogradasi, semakin besar kemungkinan
terjadinya pengerasan produk selama proses pendinginan. Pada produk-produk
bakery, hal tersebut tidak diinginkan karena dapat mengakibatkan terjadinya
staling. Untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut, dapat digunakan tepung
hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran partikel <106 – 150 µm, >75 – 106
µm atau ≤ 75 µm.

4.4.11 Sifat gel


Semakin besar ukuran partikel, semakin tinggi kekuatan gel karena semakin
kecil ukuran partikel tepung, semakin besar luas permukaan bahan sehingga
115

semakin besar terjadinya leaching amilosa dari granula pati yang akan
menurunkan kekuatan gel dan meningkatkan kelengketan gel. Pada tepung
berukuran partikel ≤ 75 µm, kekuatan gel relatif tidak berubah dengan
meningkatnya waktu fermentasi (Gambar 60). Pada tepung berukuran partikel
>150-250 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan kekuatan gel (27.9 gforce)
dari tepung non fermentasi (18.6 gforce), fermentasi lanjutan sampai 45 jam tidak
mengubah kekuatan gelnya (27.6 gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya
sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (17.6 gforce). Pada tepung
berukuran partikel >106-150 µm, fermentasi selama 45 jam meningkatkan
kekuatan gel (25.4 gforce) dari tepung non fermentasi (13.2 gforce), dan waktu
fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (14 gforce).

35
Gs i = -0.008t2 + 0.57t + 18.7
30 R 2 = 0.9363
kekuatan gel (g force)

25

20 y
Gs ii = -0.009t2 + 0.663t+ 12.9
15 R2 = 0.9221

10

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


5
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 60 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kekuatan gel tepung jagung

Tepung jagung dengan ukuran partikel ≤ 75 µm mempunyai kekuatan gel


yang lebih kecil dibanding tepung berukutan lain. Hal ini berhubungan dengan
tingkat sineresisnya, dimana pada tepung berukuran kecil kemungkinan terjadi
sineresis lebih besar sehingga gel yang dihasilkan lebih lemah.
Tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm yang dibuat dengan
fermentasi grits jagung selama 30 jam mempunyai kekuatan gel tertinggi yaitu
sebesar 27.9 gforce. Kekuatan gel tepung jagung ini sedikit lebih tinggi
116

dibandingkan kekuatan gel pati jagung varietas sama yang dimodifikasi secara
oksidasi, yaitu sebesar 25.5 gforce (Nur Aini dan Hariyadi 2007).
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kekuatan gel
menunjukkan grafik yang bersifat kuadratik seperti terlihat pada Gambar 65.
Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan kekuatan gel pada tepung
jagung dapat dinyatakan dengan persamaan:
Gsi = -0.008t2 + 0.57t + 18.7 (R2 = 0.9363)
Gsii = -0.009t2 + 0.66t + 12.9 (R2 = 0.9221)
dimana Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung jagung berukuran partikel 150-
249.9 µm dan 106-149.9 µm dalam g force, t adalah waktu fermentasi grits
jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.

4.5 Pembahasan umum


Beberapa sifat fungsional tepung jagung yang dibuat dari tepung jagung
terfermentasi dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia. Diantara sifat kimia yang
berkorelasi, kadar protein dan lemak tepung jagung sangat menentukan sifat fisik
dan fungsional tepung. Kadar protein tepung jagung berkorelasi dengan densitas
dan sudut curah tepung jagung serta sifat-sifat gelatinisasi dan kekuatan gel pasta
jagung. Hal ini dipengaruhi struktur biji jagung, terutama pada bagian
endosperm, seperti yang dinyatakan oleh Abdelrahman dan Hoseney (1984).
Endosperm biji jagung terdiri dari dua komponen utama yaitu granula pati dan
protein, dan struktur fisik endosperm tergantung pada interaksi antar dua
komponen tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi variasi struktur biji
jagung, diantaranya ketebalan matriks protein yang kontak dengan granula pati
dan kekuatan adhesi antara matriks protein dan granula pati. Adanya dominasi
pengaruh protein terhadap struktur biji jagung ini mempengaruhi pula sifat fisik
tepung jagung.
Korelasi yang tinggi antara kadar protein dengan densitas tepung jagung
terjadi juga karena komposisi fraksi dan distribusi residu hidrofobik dan hidrofilik
pada protein. Kandungan asam amino terbesar pada protein jagung adalah asam
amino yang bersifat hidrofobik yang diasumsikan berbentuk globular sehingga
117

meminimalkan rasio antara area permukaan dengan volume yang memungkinkan


lebih banyak residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein. Rasio antara
area permukaan dengan volume yang kecil pada protein jagung mengakibatkan
tepung jagung mempunyai densitas yang besar dengan meningkatnya kadar
protein (Damodaran 1996). Pengaruh kadar protein terhadap densitas ini
mempengaruhi juga sudut curah atau sifat alir tepung jagung.
Protein yang bersifat hidrofilik akan bersaing dengan pati untuk
mendapatkan air. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Oluwamukomi et al.
(2005) dan Hamaker dan Griffin (1993) bahwa keberadaan dan interaksi protein
dengan pati menurunkan viskositas. Kurangnya air yang dapat diserap oleh pati
karena adanya protein akan menghambat proses gelatinisasi dan menurunkan
viskositas puncak pasta. Semakin tinggi kadar protein membuat rasio antara pati
dengan protein semakin rendah yang mengakibatkan menurunnya viskositas
pasta. Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap parameter gelatinisasi dan
sifat gel pasta jagung dipengaruhi juga oleh pH. Pengaturan pH menjadi asam
mengakibatkan protein menjadi lebih bermuatan positif dan karbohidrat akan
terdehidrasi menghasilkan gugus karboksil yang lebih bermuatan negatif. Pada
kondisi tersebut terjadi ikatan elektrostatik antara pati dan protein yang akan
meningkatkan viskositas pasta dan pada akhirnya akan terbentuk gel yang kuat.
Pada pH basa, baik protein dan pati mempunyai muatan negatif dan sedikit
interaksi yang terjadi antar komponen tersebut sehingga viskositas menjadi
rendah dan gel yang terbentuk menjadi lemah.
Mekanisme pengaruh lemak terhadap sifat fungsional terjadi karena
pembentukan kompleks amilosa-lemak di permukaan granula yang kemudian
menghambat pengembangan sehingga suhu gelatinisasi meningkat. Hal ini sesuai
dengan penelitian Singh et al. (2006) dan Eliasson dan Gudmunsson (1996)
bahwa lemak dapat membentuk kompleks inklusi heliks dengan molekul amilosa,
antara rantai hidrokarbon lemak dan heliks pada amilosa, yang memungkinkan
terjadi annealing (proses peningkatan kristalinitas). Peristiwa ini akan
menghasilkan derajat kristalin lebih tinggi sehingga jika terjadi gelatinisasi, suhu
gelatinisasi akan meningkat dan viskositas menurun. Kompleks inklusi amilosa-
lemak yang menghambat gelatinisasi kemungkinan ada tiga bentuk, pertama
118

kompleks utuh yang mengganggu kristalisasi amilopektin dan menghambat


retrogradasi; kedua kompleks amilosa-lemak dapat memperlambat distribusi air
dan retrogradasi; dan ketiga kristalisasi bersama amilosa dan amilopektin ke
tingkat yang lebih luas, dan substansi kompleks tersebut mengurangi peran
amilosa pada proses kristalisasi kembali (Eliasson dan Gudmunsson 1996).
Peran protein dan lemak terhadap sifat fisik dan fungsional tepung jagung
seperti yang dinyatakan oleh Zhang dan Hamaker (2005) bahwa pati, protein dan
lemak adalah 3 komponen utama pada makanan dan fungsionalitasnya tidak
hanya menentukan nilai produk, tetapi juga sifat tekstural dan umur simpan.
Kompleks lemak-amilosa yang terbentuk dari interaksi antara pati dan lemak juga
mempengaruhi fungsionalitas pati, yaitu menurunkan retrogradasi, dan
mempengaruhi sifat termal dan mekanis pada pati.
Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas permukaan dan semakin
besar pula volume sehingga densitas semakin kecil dan daya alir semakin turun.
Hal ini sesuai dengan pendapat Fitzpatrick et al. (2004) bahwa luas permukaan
menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan kohesi sehingga
lebih tinggi rasio luas permukaan terhadap volume akan mengurangi
kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi sehingga
mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan Stasiak dan Molenda (2004) bahwa penurunan ukuran partikel
cenderung menurunkan daya alir karena luas permukaan partikel meningkatkan
gaya kohesiv.
Lebih kecil ukuran partikel tepung, luas permukaan lebih besar sehingga
lebih cepat menyerap air dan semakin cepat pula terjadinya gelatinisasi sehingga
suhu gelatinisasi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Bedolla dan
Rooney (1984) dan Valdez-Niebla et al. (1993) bahwa semakin kecil ukuran
partikel, semakin rendah suhu gelatinisasi. Tepung jagung berukuran kecil lebih
rendah suhu gelatinisasinya sehingga viskositas puncak, viskositas panas dan
viskositas dingin lebih besar. Hal ini hampir mirip dengan keadaan pada tepung
gandum bahwa tepung yang lebih halus viskositasnya lebih besar (Rasper 1982).
Sementara itu Iwuoha dan Nwakanma (1998) menyatakan bahwa pada tepung ubi
119

jalar, semakin besar ukuran partikel ubi jalar, semakin rendah viskositas adonan
saat pendinginan.
Fermentasi grits jagung selama 48 jam menghasilkan tepung jagung
dengan kekuatan gel 19.47 gforce, hampir sama dengan kekuatan gel pati jagung
varietas Srikandi yang dimodifikasi secara oksidasi asetilasi, yaitu sebesar 19.23
gforce (Nur-Aini dan Hariyadi 2007). Sedangkan tepung jagung berukuran >150
– 250 µm yang dibuat dengan waktu perendaman grits jagung selama 30 jam
mempunyai kekuatan gel tertinggi yaitu sebesar 27.9 gforce. Kekuatan gel tepung
jagung ini sedikit lebih tinggi dibandingkan kekuatan gel pati jagung varietas
sama yang dimodifikasi secara oksidasi, yaitu sebesar 25.5 gforce (Nur Aini dan
Hariyadi 2007). Pati jagung tersebut dapat digunakan sebagai pengganti gelatin
pada pembuatan marshmallow ceam, sehingga tepung jagung dengan kekuatan
gel hampir sama juga dapat digunakan sebagai pengganti gelatin sebagai gelling
agent.
Pada produk-produk bakery, terjadinya retrogradasi tidak diinginkan
karena dapat mengakibatkan terjadinya staling (pengerasan) produk selama
penyimpanan. Untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut, dapat digunakan
tepung hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran partikel <106 – 150 µm,
>75 – 106 µm atau ≤ 75 µm.
120

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung jagung.
1. Fermentasi grits jagung putih menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar,
abu, pati, gula reduksi, pH, densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak
pada tepung yang dihasilkan; sedangkan sudut curah, derajat putih dan
kapasitas penyerapan air meningkat.
2. Proses fermentasi grits jagung putih selama 24 jam menurunkan suhu
gelatinisasi tepung jagung (76.2oC) dibandingkan tepung jagung yang dibuat
tanpa fermentasi (82oC) karena adanya leaching pada sebagian granula yang
bersifat amorf mengakibatkan partikel tepung jagung yang dihasilkan mudah
tergelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi menurun. Fermentasi grits selama
perendaman 24 sampai 48 jam relatif tidak mengubah suhu gelatinisasi tepung
jagung, sedangkan proses fermentasi selama perendaman 72 jam
meningkatkan suhu gelatinisasi tepung jagung (85.2oC).
3. Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas puncak
493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam menghasilkan tepung jagung
dengan viskositas puncak relative tetap (560 BU). Selanjutnya proses
fermentasi selama 48 jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas
puncak meningkat (648 BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung
jagung yang dihasilkan dengan perendaman grits jagung selama 60 jam (573
BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72 jam menghasilkan tepung
jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550 BU), hampir sama
dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi.
4. Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi jagung selama 12
jam mempunyai breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan
lebih tinggi daripada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU).
Stabilitas ini terus dipertahankan selama fermentasi sampai jam ke 60, dan
setelah 72 jam stabilitas pemanasan menurun menjadi -60 BU.
121

5. Proses fermentasi menurunkan kecenderungan retrogradasi tepung yang


dihasilkan. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya rasio viskositas dingin
dibanding viskositas panas setelah 15 menit pengadukan pada suhu 95oC
Vd
( Vpa15 ), yaitu dari 2.97 untuk tepung yang dibuat tanpa proses fermentasi
menjadi 1.87 pada tepung yang diperoleh dengan proses fermentasi 48 jam.
Proses fermentasi lanjutan selama 48 sampai 72 jam tidak mengubah
kecenderungan retrogradasi tepung jagung.
6. Tepung jagung yang dihasilkan dengan perendaman 48 jam mempunyai
kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung
yang dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce). Kekuatan gel ini akan mengalami
sedikit penurunan (14.48 gforce) jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam.
7. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat
kimia, kadar protein paling berpengaruh terhadap sifat fisik dan fungsional
tepung jagung. Semakin rendah kadar protein tepung jagung semakin rendah
loose density, packed density, sudut curah, kapasitas penyerapan minyak dan
retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin tinggi derajat putih, kapasitas
penyerapan air, viskositas puncak dan stabilitas pemanasan.
8. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat
fisik, packed density merupakan faktor paling berpengaruh terhadap sifat
fungsional. Semakin besar packed density tepung jagung, semakin besar
kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin
kecil derajat putih, kapasitas penyerapan air, stabilitas pemanasan serta sudut
curah.
9. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin kecil kadar serat kasar,
loose density, packed density, suhu gelatinisasi dan kekuatan gel sedangkan
kadar protein, kadar lemak, sudut curah, derajat putih, kapasitas penyerapan
air, kapasitas penyerapan minyak, viskositas puncak, breakdown viscosity,
retrogradasi dan kelengketan gel meningkat.
10. Dengan menggunakan analisa korelasi dan regresi, diperoleh beberapa
persamaan yang bisa digunakan untuk memprediksi pengaruh lama proses
fermentasi spontan (perendaman) terhadap beberapa sifat fisik, kimia dan
122

fungsional. Beberapa persamaan tersebut adalah Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8;


Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2 +
0.6628T + 12.923 dimana Tg adalah suhu gelatinisasi (oC), Vpa15 adalah
viskositas panas 15 menit (BU), Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung
jagung berukuran partikel >150 µm dan >106-150 µm dalam g force, dan t
adalah waktu fermentasi grits jagung (jam).

5.2 Saran

1. Fermentasi grits jagung pada pembuatan tepung jagung meningkatkan


stabilitas pemanasan pada adonan jagung dan menurunkan kecenderungan
produk untuk teretrogradasi sehingga tepung jagung yang dihasilkan melalui
proses fermentasi jagung dapat diaplikasikan pada produk pangan yang
memerlukan sifat tersebut, misalnya pada produk bakery yang perlu
kecenderungan retrogradasi rendah.
2. Agar proses fermentasi dapat dikontrol maka fermentasi harus dilakukan pada
kondisi yang sama yaitu pada wadah tertutup, suhu 27oC, air yang digunakan
adalah aquadest dengan perbandingan aquadest dan grits jagung adalah 6 l: 3
kg.
3. Beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional bisa dikendalikan melalui waktu
fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses bisa dikontrol dan untuk itu
perlu penelitian mengenai jenis-jenis mikroorganisme yang tumbuh dominan
pada proses fermentasi jagung secara spontan sehingga pertumbuhan
mikroorganisme tersebut dapat dikendalikan.
4. Fermentasi spontan grits jagung sampai 48 jam dan ukuran partikel yang
semakin besar meningkatkan kekuatan gel sehingga dapat diaplikasikan
sebagai gelling agent pada produk pangan, contohnya sebagai pengganti
gelatin.

DAFTAR PUSTAKA
123

[AACC] American Association of Cereal Chemists. 2000. Approved methods of


the AACC, 10th ed. Methods 22-12, 46-12, 54-10, 54-21, 76-30A. St Paul
MN: The Association.
Abdelrahman AA, Hoseney RC. 1984. Basics for hardness in pearl millet, grain
sorghum and corn. Cereal Chemistry 61:232-235
Achi OK, Akomas NS. 2006. Comparative assessment of fermentation
techniques in the processing of fufu, a traditional fermented cassava
product. Pakistan Journal of Nutrition 5:224-229.
Aguilera JS, Stanley DW. 1999. Microstructural Principles of Food Processing
and Engineering, 2nd ed. Gaithenrsburg: Aspen Publishers.
Akinrele IA. 1970. Fermentation studies on maize during the preparation of a
traditional African starch-cake food. Journal of the Science of Food and
Agriculture. 21:619-625.
Amusa NA, Ashaye OA, Oladapo MO. 2005. Microbiological quality of ogi and
soy-ogi (a Nigerian fermented cereal porridge) widely consumed and
notable weaning food in southern Nigeria. Journal of Food, Agriculture &
Environment 3: 81-83.
AOAC. 1995. Official methods of analysis. Washington DC: Association of
Official Analytical Chemist.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Analisa Pangan. Bogor: IPB Press.
Aremu CY. 1993. Nutrient composition of corn OGI prepared by a slightly
modified traditional technique. Food Chemistry 46:231-233.
Asiamaya.com. 2009. Jagung putih manis mentah.
http://www.asiamaya.com/nutrients/jagung putih-htm.
Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-3727-1995. Tepung
Jagung.
Balai Penelitian Tanaman Sereal. 2007. Proses pasca panen jagung.
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id.htm. Diakses 2 April 2009.
Banigo EOI, Muller HG. 1972. Manufacture of ogi (a Nigerian fermented cereal
porridge): Comparative evaluation of corn, sorghum and millet. Canada
International Food Science Technology 5:217-221.
Barbosa-Canovas GV, Yan H. 2003. Powder characteristics of preprocessed
cereal flours. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer KJ, editor.
Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis and
Applications. New York: Marcel Dekker. hlm 173-208.
Barbut S. 1999. Determining water and fat holding. Di dalam Hall GM, editor:
Methods of testing protein functionality. New York: Blackie Academic
and Professional. hlm 186-225.
Badan Pusat Statistik. 2009. www.bps.go.id (5 Januari 2009).
124

Bedolla S, Rooney LW. 1984. Characteristics of US and Mexican instant maize


flours for tortilla and snack preparation. Cereal Foods World 29:732-736.
Boyer CD, Shannon JC. 1987. Carbohydrates of the kernel. Di dalam Watson
SA, Ramstad PE, editor. Corn: Chemistry and Technology.. St Paul:
American Association of Cereal Chemists. hlm 253-272
Burge RM. Duensing WJ. 1989. Processing and dietary fiber ingredient
applications of combran. Cereal Foods World 34:535-538.
Cadden A-M. 1987. Comparative effects of particle size reduction on physical
structure and water binding properties of several plant fibers. Journal of
Food Science 52:1595-1599.
Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their
application in noodle products. [Disertasi]. Belanda: Wageningen
University.
Cherry JP. 1982. Protein-polysaccharide interactions. Di dalam Lineback DR,
Inglett GE, editor. Food Carbohydrates. Westport: AVI. hlm 375-398.
Christianson DD 1982. Hydrocolloid interactions with starches. Di dalam
Lineback DR, Inglett GE, editor. Food Carbohydrates. Westport: AVI.
hlm 399-419.
Czuchajowska Z, Klamczynski A, Paszezynska B, Bail BK. 1998. Structure and
functionality of barley starches. Cereal Chemistry 75: 747-754.
Daniel JR, Weaver CM. 2000. Carbohydrates: functional properties. Di dalam:
Christen GL, Smith JS, editor. Food Chemistry: Principles and
Applications. California: Science technology system. hlm 63-66.
Damodaran S. 1996. Amino acids, peptides and protein. Di dalam Fennema OR,
editor. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker. hlm 321-429.
Davies R. 2006. Size measurement. Di dalam Masuda H, Higashitani K,
Yoshida H, editor. Powder Technology Handbook. 3rd edition. New
York:CRC. hlm 13-52.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian. 2008. Kebijakan
peningkatan produksi jagung di Indonesia. Makalah Seminar
Pengembangan Agroindustri Tepung Jagung dalam Mendukung
Ketahanan Pangan. Jakarta: 24 November 2008.
Donsi G, Ferrari G. 1990. Flow and mixing behaviour of Food Powders. Di
dalam: Spiess WEL, Schubert H. Physical Properties and Control.
London and New York: Elsevier Applied Science.
Dufour D, Larsonneur S, Alarcon F, Brabet C, Chuzel G. 2006. Improving the
bread-making potential of cassave sour starch. Di dalam Cassava Flour
and Starch: Progress in Research and Development.
http://www.ciat.cgiar.org/agroempresas/pdf/cassava_flour/pdf. (30 Maret
2005).
Earle RL. 1983. Unit Operations in Food Engineering. 2nd ed. New York:
Pergamon Press.
125

Elkhalifa AEO, Schiffler B, Bernhardt R. 2005. Effect of fermentation on the


functional properties of sorghum flour. Food Cemistry 92:1-5.
Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional
aspects. Di dalam Eliasson AC, editor. Carbohydrates in Food. New
York: Marcel Dekker.
Ellies HS, Ring SG, Whittam MA. 1988. Time-dependent changes in the size and
volume of gelatinized starch granules on storage. Food Hydrocolloids
2:321-328.
Fredriksson H, Silverio J, Andersson R, Eliason AC, Aman P. 1998. The influence
of amylase and amylopectin characteristics on gelatinization amd
retrogradation properties of different starches. Carbohydrate Polymers
35:119-134.
Fitzpatrick JJ, Iqbal T, Delaney C, Twomey T, Keogh MK. 2004. Effect of
food powder properties and storage conditions on the flowability of milk
powders with different fat contents. Journal of Food Engineering
64:435-444.
Gallant DJ, Bouchet B, Baldwi PM. 1997. Microscopy of starch: evidence of a
new level of granule organization. Carbohydrate Polymers 32:177-191.
Gatumbi RW, Muriru N. 1983. Kenyan uji. Di dalam Steinkraus KH, editor.
Handbook of Indigenous Fermented Foods. New York: Marcel Dekker.
hlm 198-203.
Gratz S. 2007. Aflatoxin binding by probiotics: experimental studies on intestinal
aflatoxin transport, metabolism and toxicity. Disertasi. Finlandia:
Universitas Kuopio.
Hagenimana A, Ding X, Fang T. 2006. Evaluation of rice flour modified by
extrusion cooking. Journal of Cereal Science 43:38-46.
Hamaker BR, Griffin VK. 1993. Effect of disulfide bond-containing protein on
rice starch gelatinization and pasting. Cereal Chemistry 70:377-380.
Hansen T, Van-der-Sluis E. 2004. Corn-based food production in South Dakota:
a preliminary study. South Dakota State University.
Hardman and Gunsolus. 1998. Corn growth and development. Extension Service.
University of Minesota.
Haskard CA, El Nezami HS, Kankaanpää PE, Salminen S, Ahokas JT. 2001.
Surface binding of aflatoxin B1 by lactic acid bacteria. Appl Environ
Microbiol 67:3086-3091.
Hassan AB et al. 2006. Effect of processing treatments followed by fermentation
on protein content and digestibility of pearl millet (Pennisetum
typhoideum) cultivars. Pakistan Journal of Nutrition 5:86-89.
Helstad S. 2006. Ingredient interactions: sweeteners. Di dalam Gaonkar AG,
McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect on food quality. .
New York: CRC. Hlm 167-194.
126

Henshaw FO, McWatters KH, Oguntunde AO, Phillips RD. 1996. Pasting
properties of cowpea flour: Effects of soaking and decortication method.
J. Agric. Food Chemistry 44:1864-1870.
Hizukuri S. 1996. Starch: Analytical aspects. Di dalam Eliasson A. editor.
Carbohydrates in food. New York: Marcel Dekker. hlm 363-403.
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993a.
Characterization and frequency distribution of species of lactic acid
bacteria involved in the processing of mawe, a fermented maize dough
from Benin. International Journal of Food Microbiology. 18:279-287.
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993b.
Composition of microbial and physical attributes of mawe, a fermented
maize dough from Benin. International Journal of Food Science and
Technology. 28:513-517.
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993c.
Changes in the physico-chemical properties of maize during natural
fermentation of mawe. Journal of Cereal Science. 17:291-300.
Hoseney RC. 1994. Principles of cereal science and technology. 2nd ed. St. Paul
MN: American Association of Cereal Chemists. hlm 125 – 146.
Hruskova M, Svec I, Kucerova I. 2003. Effect of malt flour addition on the
rheological properties of wheat fermented dough. Czechnia. Journal Food
Science 21:210-218.
Hung PV, Morita N. 2004. Dough properties and bread quality of flours
supplemented with cross-linked cornstarches. Food Research
International 37:461-467.
Ingbian EK, Akpapunam MA. 2005. Appraisal of traditional technologies in the
processing and utilization of mumu; a cereal based local food product.
African Journal of Food and Nutritional Sciences 5(2)
http://www.ajfand.net. (7 Juli 2006).
Ipteknet. 2009. Teknologi tepat guna tentang pengolahan pangan: tanaman
penghasil pati. http://www.iptek.net.id/warintek/htm. Diakses 27 Februari
2009.

Iwuoha CI, Nwakanma MI. 1998. Density and viscosity of cold flour pastes of
cassava (Manihot esculenta Grantz), sweet potato (Ipomoea batatas L.
Lam) and white yam (Dioscorea rotundata Poir) tubers as affected by
concentration and particle size. Carbohydrate Polymers 37: 91-101.
Jayne TS et al. 1996. Effects of market reform on access to food by low-income
households: Evidence from four countries in Eastern and Southern Africa.
Technical Paper No. 25. Bureau for Africa/USAID.
Jobling, S. 2004. Improving starch for food and industrial application. Current
opinion in Plant Biology 7: 210-218.
Johansson ML, Sanni A, Lonner C, Mollin G. 1995. Phenotypic based taxonomy
using API 50 CH of lactobacilli from Nigerian ogi, and the occurrence of
127

starch fermenting strains. International Journal of Food Microbiology.


25:159-168.
Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylosa. Cereal Science
Today 16:334-360.
Kadan RS, Bryant RJ, Pepperman AB. 2003. Functional properties of extruded
rice flours. Journal of Food Science. 68:1669-1672.
Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan
perilaku fisik bahan pakan local: Sudut tumpukan, daya ambang dan factor
higroskopis. Media Peternakan 1:1-11.
Kilara A. 2006. Interactions of Ingredients in Food Systems: An Introduction. Di
dalam Gaonkar AG, McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect
on Food Quality. New York: CRC. hlm 1-20.
Konik CM et al. 2001. Evaluation of the 40 mg swelling test for measuring starch
functionality. Starch/Stärke 53:14-20.
Latunde-Dada GO. 2009. Fermented foods and cottage industries in Nigeria.
http://www.unu.edu/unupress/food?v184c/ch3.htm. Diakses 27 Februari
2009.
Laszrity R. 1986. Maize proteins. Di dalam The Chemistry of Cereal Protein.
USA: CRC Press.
Lorri WSM. 1993. Nutritional and microbiological evaluation of fermented cereal
weaning foods. [Disertasi]. Swedia: Department of Food Science,
University of Technology.Goteborg.
Lubin D. 1992. Maize in human nutrition. FAO. Roma, Italy. http://www.fao.org
/documents/shows_cdr_files (30 Desember 2005).
Majzoobi M, Rowe AJ, Connock M, Hill SE, Harding SE. 2003. Partial
fractionation of wheat starch amylose and amylopectin using zonal
ultracentrifugation. Carbohydrate Polymers 52:269-274.
Mestres C, Boungou O, Akissoe N, Zakhia N. 1996. Comparison of the
expansion ability of fermented maize flour and cassava starch during
baking. J. Science Food Agriculture 80:665-672.
Morikawa K, Nishinari K. 2002. Effects of granula size and size distribution on
rheological behavior of chemically modified potato starch. Journal of
Food Science 67:1388-1392.
Munimbazi C, Bullerman LB. 1998. Inhibition of aflatoxin production of
Aspergillus parasiticus NRRL 2999 by Bacillus pumilus. Mycopathology.
140: 163-169.
Nabrzyski M. 1997. Mineral Components. Di dalam Sikorski ZE, editor.
Chemical and functional properties of food components. Lancaster:
Technomic Publishing. hlm 35-64.
Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998.
Characterization of the Beninese traditional ogi, a fermented maize slurry:
128

physicochemical and microbiological aspects. International Journal of


Food Science and Technology 33:307-315.
Nelles EM, Dewar J, Bason ML, Taylor JRN. .2000. Maize Starch Biphasic
Pasting Curves. Journal of Cereal Science 31:287–294.
Nout MJR, Rombouts FM, Hautvast GJ. 1989. Accelerated natural lactic
fermentation of infant food formulations. Food and Nutrition Bulletin.
11(1). http://www.unu.edu/unupress/food/htm. (30 Juni 2006).
Nur-Aini, Hariyadi P. 2007. Pasta pati jagung putih waxy dan non-waxy yang
dimodifikasi secara oksidasi dan asetilasi-oksidasi. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia 12:1-7.
Ohenhen RE, Ikenebomeh MJ. 2007. Shelf stability and enzyme activity studies
of ogi: a corn meal fermented product. Journal of American Sciences. 3:
38-42.
Oluwamukomi MO, Eleyinmi AF, Enujiugha VN. 2005. Effect of soy
supplementation and its stage of inclusion on the quality of ogi – a
fermented maize meal. Food Chemistry. 91:651-657.
Onyango C, Okoth MW, Mbugua SK. 2003. The pasting behaviour of lactic-
fermented and dried uji (an East African sour porridge). J. Science Food
Agriculture. 83:1412-1418.
Onyango C, Bley T, Raddatz H, Henle T. 2004. Flavour compounds in backslop
fermented uji (an East African sour porridge). European Food Research
Technology 218: 579-583.
Onofiok NO, Nnanyelugo DO. 1998. Weaning foods in West Africa: nutritional
problems and possible solutions. Food and Nutrition Bulletin 19:27-33.
Peleg M. 1983. Physical characteristics of food powders. Di dalam Peleg M,
Bagley EB, editor. Physical properties of foods. Westport, Connecticut:
AVI Publishing Company.
Peplinski AJ, Paulsen MR, Bouzaher A. 1992. Physical, chemical and dry
milling properties of corn of varying density and breakage susceptibility.
Cereal Chemistry 69:397-400.
Pereira RC, et al. 2008. Relationship between structural and biochemical
characteristics and texture of corn grains. Genetics and Molecular
Research. 7:498-508.
Perez OE, Haros M, Suarez C, Rosess CM. 2003. Effect of steeping time on the
starch properties from ground whole corn. Journal of Food Engineering
60:281-287.
Poneleit CG. 2001. Breeding white endosperm corn. Di dalam Hallauer, AR
editor. Specialty corns. Washington: CRC. hlm 235-272.
Prentice RDM, Stark JR, Gidley MJ. 1992. Granule residues and 'ghosts'
remaining after heating A-type barley-starch granules in water.
Carbohydrat Research 227:121-130.
129

Pusat Teknologi Agroindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2008.


Tepung Jagung Teknologi dan Tantangan Pengembangannya. Makalah
Seminar Pengembangan Agroindustri Tepung Jagung dalam Mendukung
Ketahanan Pangan. Jakarta 24 November 2008.
Ragae S, El-Sayed M. Abdel-Aal. 2006. Pasting properties of starch and protein
in selected cereals and quality of their food products. Food Chemistry
95:9-18.
Rasper VF. 1982. Effect of preparative procedure on the evaluation of in vitro
indigestible residue (dietary fiber). Di dalam Lineback DR, Inglett GE,
editor. Food Carbohydrates. Westport, Connecticut: AVI. hlm 333-355.
Ridout MJ, Gunning AP, Parker ML, Wilson RH, Morris VJ. 2002. Using AFM
to image the internal structure of starch granules. Carbohydrate Polymers
50: 123-132.
Sahlin P. 1999. Fermentation as a method of food processing production of
organic acids, pH-development and microbial growth in fermenting
cereals. [Tesis]. Lund Institute of Technology. Lund University.
Sandhu KS, Singh N, Kaur M. 2004. Characteristics of the different corn types
and their grain fractions: physicochemical, thermal, morphological and
rheological properties of starch. Journal of Food Engineering 64: 119-
127.
Sefa-Dedeh S, Cornelius B. 2000. The microflora of fermented nixtamalized
corn. Pertemuan tahunan Institute of Food Technologists. Dallas, Texas
20-25 Juni 2000.
Sefa-Dedeh S, Kluvitse Y, Afoakwa EO. 2001. Influence of fermentation and
cowpea steaming on some quality characteristics of maize-cowpea blends.
African Journal of Science and Technology 2:71-80.
Serna-Saldivar SO, Gomez MH, Rooney LW. 2001. Food uses of regular and
specialty corns and their dry-milled fractions. Di dalam Hallauer AR,
editor. Specialty Corns. Washington: CRC Press. hlm 303-337.
Shukla, R., & Cheryan, M. (2001). Zein: the industrial protein from corn.
Industrial Crops and Products 13: 171–192.
Singh N, Kaur L, Sandhu KS, Kaur J, Nishinari K. 2006. Relationships between
physicochemical, morphological, thermal, rheological properties of rice
starches Food Hydrocolloids 20:532-542
Sira EEP. 2000. Determination of the correlation between amylose and
phosphorus content and gelatinization profile of starches and flours
obtained from edible tropical tubers using differential scanning
calorimetry and atomic absorption spectroscopy. [Tesis]. Wisconsin:
University of Wisconsin-Stout.
Sirivongpaisal P. 2008. Structure and functional properties of starch and flour
from bambarra groundnut. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30 (Suppl.1),
51-56. http://www.sjst.psu.ac.th. (28 Desember 2008).
130

Sowbhagya CM, Bhattacharya KR. 2001. Change in pasting behavior of rice


during aging. J Cereal Science 34:115-124.
Stasiak M, Molenda M. 2004. Direct shear testing of flowability of food powders.
Res. Agr. Eng. 50:6-10.
Steinkraus KH. 2002. Fermentations in world food processing. Comprehensive
Reviews in Food Science and Food Safety 1:23-32.
Subagio A. 2006. Ubi kayu substitusi berbagai tepung-tepungan. Food Review
1(3):18-21.
Subekti NA, Syafruddin, Efendi R, Sunarti S. 2008. Morfologi tanaman dan fase
pertumbuhan jagung. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id. (8 Januari
2008).
Svanberg U, Sjogren E, Lorri W, Svennerholm. A-M, Kaijser B. 1992. Inhibited
growth of common enteropathogenic bacteria in lactic-fermented cereal
gruels. World J of Micro and Biotech. 8: 601-606.
Valdez-Niebla JA, Paredes-Lopez O, Vargas-Lopez JM, Hernadez-Lopez D.
1993. Moisture sorption isotherms and other physicochemical properties
of nixtamalized amaranth flour. Food Chemistry 46:19-23.
Vandeputte GE, Delcour JA. 2004. From sucrose to starch granule to starch
physical behaviour: a focus on rice starch. Carbohydrate Polymers 58:
245–266.
Vasal, S.K. 1994. High quality protein corn. Di dalam Halleuer AR, editor.
Specialty Corns. USA: CRC.
Vegrains. 2005. Value enhanced grains products: white corn.
http://www.vegrains.org (30 Maret 2005).
Vergnes B, Valle GD, Colonna P. 2003. Rheological properties of biopolymers
and applications to cereal processing. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer
KJ, editor. Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis
and Applications. New York: Marcel Dekker. hlm 209-266.
Vorwerg W, Radosta S, Leibnitz, E. 2002. Study of a preparative-scale process
for the production of amylose. Carbohydrate Polymers 47:181-189
Watson SA. 1987. Stucture and Composition. Di dalam Watson SA, Ramstad
PE, editor. Corn: Chemistry and Technology. St Paul, Minnesota:
American Association of Cereal Chemists. hlm 53-82.
White PJ. 1994. Properties of corn strach. Di dalam: Halleuer AR, editor.
Specialty Corns. USA: CRC Press. hlm 34-62.
Williams HP. 1991. Model building in mathemathical programming. London:
John Wiley & Sons.
Wilson CM. 1987. Proteins of the Kernel. Dalam Watson SA, Ramstad PE,
editor. Corn: Chemistry and Technology. St.Paul Minnesota: American
Association of Cereal Chemists. hlm 273-310.
131

Yuan J, Flores RA. 1996. Laboratory dry milling performance of white corn:
effect of physical and chemical corn characteristics. Cereal Chemistry
73:574-578.
Zhang W, Jackson DS. 1992. Retrogradation behavior of wheat starch gels with
differing molecular profiles. J. of Food Science 57:1428-1432.
Zhang G, Hamaker BR. 2005. Sorghum (Shorgum bicolor L. Moench) flour
pasting properties influenced by free fatty acids and protein. Cereal
Chemistry 82:534-540.
132

Lampiran 1 Partikel tepung jagung fermentasi 45 jam dilihat menggunakan


scanning electron microscope (SEM) (perbesaran 50 kali)

(a)

(b) (c)

(d) (e)
Keterangan : (a) tepung jagung 60 mesh
(b) tepung jagung berukuran partikel 150 – 249.9 µm
(c) tepung jagung berukuran partikel 106 – 149.9 µm,
(d) tepung jagung berukuran partikel 75 – 105.9 µm,
(e) tepung jagung berukuran partikel 0.1 – 74.9 µm.
133

Lampiran 2 Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi butiran jagung

Variabel yang berkorelasi Koefisien korelasi


Loose density Packed density
Kadar protein 0.84** 0.932**
Kadar lemak 0.651** 0.804**
Kadar serat kasar 0.894** 0.758**
Kadar abu 0.842** 0.839**
Kadar pati 0.672** 0.79**
Kadar amilosa 0.674** 0.664**
Waktu fermentasi butiran jagung -0.877** -0.959**
Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0,01
134

Lampiran 3 Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung

Variabel Koefisien korelasi


Protein -0.73**
Serat kasar -0.785**
Pati -0.739**
Loose density -0.853**
Packed density -0.745**
Waktu fermentasi butiran jagung 0.777**

Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01


135

Lampiran 4 Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung

Variabel Koefisien korelasi


Kadar protein -0.875**
Kadar gula reduksi -0.696**
PH -0.729**
Kadar lemak -0.706**
Kadar serat kasar -0.633**
Kadar pati -0.743**
Kadar amilosa -0.72**
Kadar abu -0.827**
Loose density -0.855**
Packed density -0.925**
Waktu fermentasi butiran jagung 0.934**

Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01


136

Lampiran 5 Korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan variabel kimia dan
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran
jagung
Variabel Koefisien korelasi
Kadar amilosa -0.442*
Rasio amilosa:amilopektin -0.46*
Kadar protein -0.521*
Kadar serat kasar -0.75**
Kadar abu -0.59**
Loose density -0.462*
Packed density -0.54*
Waktu fermentasi butiran jagung 0.606**

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
137

Lampiran 6 Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia


dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
butiran jagung

Variabel Koefisien korelasi


Kadar lemak 0.445*
Kadar protein 0.68**
Kadar serat 0.654**
Kadar abu 0.633**
Kadar pati 0.62**
Loose density 0.743**
Packed density 0.751**
pH 0.609**
Kapasitas penyerapan air -0.581**
Waktu fermentasi butiran jagung -0.712**

Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01


138

Lampiran 7 Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran
jagung

Variabel Koefisien korelasi


Rasio pati:gula reduksi -0.502*

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


139

Lampiran 8 Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran
jagung

Variabel Koefisien korelasi


Kadar protein -0.725**
Rasio pati:protein 0.731**
pH -0.639**
Kadar gula reduksi -0.543*
Rasio pati:gula reduksi 0.543*
Kadar abu -0.497*
Waktu fermentasi butiran jagung 0.573**

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
140

Lampiran 9 Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan


variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi butiran jagung

Koefisien korelasi
Variabel Viskositas Viskositas panas Breakdown
panas 15 menit viscosity
Kadar protein -0.659** -0.827** 0.435*
pH -0.679** -0.584** -
Kadar gula reduksi -0.575** -0.478* -
Kadar serat kasar - -0.618** 0.601**
Kadar lemak - -0.642** -
Kadar abu -0.494* -0.676** 0.535*
Kadar amilosa - -0.486* -
Loose density - -0.717** 0.631**
Packed density -0.568** -0.849** 0.596**
Kapasitas penyerapan air 0.439* 0.684** -0.482*
Viskositas puncak 0.876** 0.735** -
Waktu fermentasi grits 0.587** 0.799** -0.557**
jagung

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
141

Lampiran 10 Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung

Koefisien korelasi
Variabel Viskositas Setback Rasio VD:VPa15
dingin
viscosity
Rasio pati:gula reduksi -0.484* -0.588** -0.577**
Kadar protein - 0.496* 0.815**
Kadar lemak - - 0.645**
Kadar serat kasar - - 0.614**
Kadar abu - - 0.55**
Kadar gula reduksi - - 0.584**
Loose density - - 0.67**
Packed density - - 0.802**
pH - - 0.434*
Kapasitas penyerapan air - - -0.542*
Viskositas puncak - -0.664** -0.745**
Viskositas panas - -0.645** -0.627**
Waktu fermentasi grits - - -0.691**
jagung

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
142

Lampiran 11 Korelasi antara kekuatan dan kelengketan gel dengan variabel kimia
dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
grits jagung

Koefisien korelasi
Variabel Kekuatan gel Kelengketan gel
Kadar protein -0.832** 0.463*
Rasio pati:protein 0.74** -0.443*
Kadar gula reduksi -0.901** -
pH -0.867** -
Kadar abu -0.801** 0.536*
Kadar serat kasar -0.666** -
Kadar air - -0.517*
Kadar lemak - 0.658**
Kadar amilosa - 0.636**
Packed density -0.685** 0.687**
Kapasitas penyerapan air 0.669** -
Sudut curah 0.685** -0.603**
Suhu gelatinisasi -0.467* -0.554**
Viskositas puncak 0.715** -
Viskositas panas 0.74** -
Viskositas panas 15 menit 0.578** -0.544*
Breakdown viscosity - 0.583**
Rasio VD:VPa15 -0.638** -
Waktu fermentasi grits jagung 0.642** -0.777*
Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05
** = korelasi nyata pada taraf 0.01
143

Lampiran 12 Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel Ukuran partikel Koefisien korelasi


(µm) Loose density Packed
density
Kadar protein 150-249.9 0.581* 0.621**
106-149.9 0.658** 0.643**
75-105.9 0.767** 0.688**
0.1-74.9 0.592** 0.708**
Kadar serat kasar 150-249.9 0.650** 0.772**
106-149.9 0.857** 0.749**
75-105.9 0.712** 0.863**
0.1-74.9 - 0.722**
Kadar lemak 150-249.9 0.806** 0.891**
106-149.9 0.83** 0.858**
75-105.9 0.658** 0.907**
0.1-74.9 0.617** -
Kadar abu 150-249.9 0.698** 0.798**
106-149.9 0.788** 0.614**
75-105.9 0.789** 0.748**
0.1-74.9 0.735** 0.473*
Kadar pati 150-249.9 0.469* 0.507*
106-149.9 0.484* 0.576*
75-105.9 0.563* 0.66**
0.1-74.9 0.634** 0.578*
Kadar amilosa 150-249.9 0.628** 0.718**
106-149.9 0.724** 0.668**
75-105.9 0.634** 0.765**
0.1-74.9 0.762** 0.605**
Waktu fermentasi grits 150-249.9 -0.893** -0.96**
jagung 106-149.9 -0.91** -0.89**
75-105.9 -0.729** -0.925**
0.1-74.9 -0.819** -0.693**

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
144

Lampiran 13 Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung

Variabel yang berkorelasi Ukuran partikel (µm) Koefisien korelasi


Kadar protein 150-249.9 -0.555*
106-149.9 -0.533*
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.787**
106-149.9 -0.75**
75-105.9 0.565*
Kadar lemak 150-249.9 -0.884**
106-149.9 -0.707**
75-105.9 -0.556*
Kadar abu 150-249.9 -0.653**
106-149.9 -0.65**
75-105.9 -0.569*
Loose density 150-249.9 -0.85**
106-149.9 -0.904**
75-105.9 -0.578*
Packed density 150-249.9 -0.894**
106-149.9 -0.781**
75-105.9 -0.52*

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
145

Lampiran 14 Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran partikel Koefisien korelasi


berkorelasi (µm)
Kadar protein 150-249.9 -0.63**
106-149.9 -0.518*
75-105.9 -0.731**
0.1-74.9 -0.711**
Kadar gula reduksi 150-249.9 -0.84**
75-105.9 -0.657**
0.1-74.9 -0.513*
pH 150-249.9 -0.934**
106-149.9 -0.709**
75-105.9 -0.794**
0.1-74.9 -0.657**
Kadar lemak 150-249.9 -0.778**
106-149.9 -0.746**
75-105.9 -0.802**
0.1-74.9 -0.611**
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.609**
106-149.9 -0.525*
75-105.9 -0.869**
0.1-74.9 -0.629**
Kadar abu 150-249.9 -0.668**
106-149.9 -0.692**
75-105.9 -0.72**
0.1-74.9 -0.836**
Packed density 150-249.9 -0.813**
106-149.9 -0.611**
75-105.9 -0.805**
0.1-74.9 -0.655**
Loose density 150-249.9 -0.758**
106-149.9 -0.718**
75-105.9 -0.675**
0.1-74.9 -0.802**

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
146

Lampiran 15 Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia


dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel yang berkorelasi Ukuran partikel (µm) Koefisien korelasi


Kadar protein 106-149.9 0.605**
0.1-74.9 0.613**
Kadar lemak 106-149.9 0.7**
75-105.9 0.559*
0.1-74.9 0.698**
Kadar serat kasar 106-149.9 0.673**
75-105.9 0.601**
0.1-74.9 0.687**
Kadar abu 106-149.9 0.645**
75-105.9 0.573*
0.1-74.9 0.718**
Loose density 106-149.9 0.693**
0.1-74.9 0.678**
Packed density 106-149.9 0.569*
75-105.9 0.492*
0.1-74.9 0.541*
pH 106-149.9 0.601**
0.1-74.9 0.63**
Sudut repose 106-149.9 -0.633**

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
147

Lampiran 16 Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran partikel Koefisien korelasi


berkorelasi (µm)
Rasio pati:gula reduksi 106-149.9 -0.613**
Rasio pati:gula reduksi 0.1-74.9 -0.511*

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
148

Lampiran 17 Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran partikel Koefisien korelasi


berkorelasi (µm)
Rasio pati:protein 150-249.9 0.643**
Rasio pati: gula reduksi 150-249.9 0.547*
Kadar lemak 150-249.9 -0.886**
Kadar lemak 106-149.9 -0.536*
PH 150-249.9 -0.762**
Kadar abu 150-249.9 -0.731**
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.776**
Kadar serat kasar 106-149.9 -0.574*
Kadar amilosa 150-249.9 -0.764**
Kadar amilosa 106-149.9 -0.614**
Loose density 150-249.9 -0.785**
Loose density 106-149.9 -0.566*
Packed density 150-249.9 -0.865**
Packed density 106-149.9 -0.627
Sudut curah 150-249.9 0.918**

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
149

Lampiran 18 Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan


variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran Koefisien korelasi


berkorelasi partikel Viskositas Viskositas Breakdown
(µm) panas panas 15 viscosity
(BU) menit (BU) (BU)
Rasio pati:protein 150-249.9 0.569** 0.615** 0.598**
106-149.9 - - 0.542*
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.796** -0.759** -0.701**
106-149.9 - - -0.762**
Kadar lemak 150-249.9 -0.818** -0.783** -0.909**
106-149.9 - - -0.65**
Kadar abu 150-249.9 -0.675** -0.771** -
106-149.9 - - -0.54*
Kadar gula reduksi 150-249.9 -0.771** -0.714** -0.645**
Kadar amilosa 150-249.9 -0.706** -0.73** -0.709**
106-149.9 - - -0.631**
0.1-74.9 -0.517* - -
pH 150-249.9 -0.801** -0.777** -0.646**
Loose density 150-249.9 -0.748** -0.676** -0.828**
106-149.9 - - -0.773**
Packed density 150-249.9 -0.852** -0.78** -0.869**
106-149.9 - - -0.774**
Sudut curah 150-249.9 0.874** 0.839** 0.906**
106-149.9 - - 0.781**
Kapasitas penyerapan 75-105.9 - - -0.674**
air 0.1-74.9 - -0.569* -
Viskositas puncak 150-249.9 0.933** 0.959** 0.927**
106-149.9 0.623** 0.699** 0.781**
75-105.9 0.954** 0.652** 0.714**
0.1-74.9 0.882** 0.768** -

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
150

Lampiran 19 Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran Koefisien korelasi


berkorelasi partikel Viskositas Setback Rasio
(µm) dingin viscosity VD:HV15
(BU) (BU)
Rasio pati:gula reduksi 106-149.9 -0.591** -0.55* -
Rasio pati:gula reduksi 75-105.9 -0.488* -0.516* -0.554*
pH 150-249.9 0.492* 0.841** 0.516*
106-149.9 - 0.681** -
75-105.9 - - 0.475*
Loose density 150-249.9 - 0.586* -
Packed density 150-249.9 - 0.567* -
Kapasitas penyerapan 0.1-74.9 -0.775** -0.761** -0.683**
air
Viskositas puncak 150-249 -0.659** -
75-105.9 0.601** - -
0.1-74.9 0.651** 0.579* -
Suhu gelatinisasi 106-149.9 - 0.527* -
75-105.9 0.718** 0.716** 0.717**
Breakdown viscosity 150-249.9 - -0.569* -
106-149.9 - - 0.489*
75-105.9 0.624** 0.545* 0.665**
Viskositas panas 150-249.9 - -0.611** -
106-149.9 0.52* - -
75-105.9 0.552* - -
0.1-74.9 0.667** 0.619** -
Viskositas panas 15 150-249.9 - -0.664 -
menit 0.1-74.9 0.55* 0.487* -

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
151

Lampiran 20 Korelasi antara kekuatan gel dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung

Variabel yang berkorelasi Ukuran partikel Koefisien korelasi


(µm)
Kadar gula reduksi 106-149.9 -0.571*
75-105.9 -0.488*
0.1-74.9 -0.706**
Kadar protein 0.1-74.9 -0.528**
Kadar serat kasar 0.1-74.9 -0.633**
pH 106-149.9 -0.667**
0.1-74.9 -0.691**
Viskositas dingin 150-249.9 -0.618**
106-149.9 -0.662**
75-105.9 -0.594**
Viskositas puncak 75-105.9 -0.624**
Breakdown viscosity 75-105.9 -0.616**
Setback viscosity 106-149.9 -0.625**
75-105.9 -0.53*

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
152

Lampiran 21 Kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung

Waktu fermentasi jagung Ukuran partikel Kadar amilosa


(jam) (% bk)
0 60 mesh 27,9±0,3
150-249.9 µm 28.4±0.3
106-149.9 µm 28±0.4
75-105.9 µm 28±0.2
0.1-74.9 µm 28.2±0.3
15 60 mesh 29.1±0.7
150-249.9 µm 27.2±0.7
106-149.9 µm 27.4±0.6
75-105.9 µm 27.7±0.6
0.1-74.9 µm 27.5±0.6
30 60 mesh 28.5±0.7
150-249.9 µm 27.1±0.7
106-149.9 µm 27.1±0.7
75-105.9 µm 27.4±0.8
0.1-74.9 µm 27.3±0.9
45 60 mesh 28.1±0.8
150-249.9 µm 26.7±0.7
106-149.9 µm 26.7±0.7
75-105.9 µm 26.8±0.7
0.1-74.9 µm 26.7±0.8
57.5 60 mesh 27.1±0.9
150-249.9 µm 26.5±0.4
106-149.9 µm 26.5±0.6
75-105.9 µm 26.7±0.9
0.1-74.9 µm 26.4±0.8
70 60 mesh 26.8±1.2
150-249.9 µm 26.6±0.5
106-149.9 µm 26.4±0.5
75-105.9 µm 26.4±0.6
0.1-74.9 µm 26±0.7
PENGARUH FERMENTASI SPONTAN SELAMA
PERENDAMAN GRITS JAGUNG PUTIH VARIETAS
LOKAL (Zea mays L.) TERHADAP KARAKTERISTIK
FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG YANG
DIHASILKAN

NUR AINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
2

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Fermentasi


Spontan Selama Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays
L.) Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang
Dihasilkan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2009

Nur Aini
NRP. F261040021
3

ABSTRACT

NUR AINI. Effects of Spontaneous Fermentation During Soaking of Local


Variety of White Corn (Zea mays L.) on Physicals, Chemical and Functional
Characteristics of Its Flour. Under direction of PURWIYATNO HARIYADI,
TIEN R. MUCHTADI and NURI ANDARWULAN .

The uses of white corn in food industry in Indonesia are still limited. To
explore the potential uses, evaluation of chemical physical, and functional
properties of white corn flour is needed. The objective of this study was to
evaluate chemical, physical and functional properties of white corn flour, and its
changes as affected by spontaneous fermentation during soaking of white corn
grits. Corn flour was prepared by soaking of white corn grits followed by drying
and grinding. Soaking was done at closed pan and controlled temperature, to
promote spontaneous fermentation. The resulted flour was fractionated using
multiple sieve of 100 mesh (150 µm), 150 mesh (106 µm) and 200 mesh (75µm)
and analyzed for its chemicals, physicals and functional characteristics.
Fermentation process as long as 24 hr will reduce gelatinization temperature (Tg)
of resulted flour from 82oC to 76.2oC; but finally Tg would increase (85.2oC) at
72 hr of fermentation. Fermentation process of corn grits do not affect its peak
viscosity (in the range of 493 -560BU), but will increase only after fermentation
of more than 48-60 hr (648 -573 BU); and further fermentation would reduce the
peak viscosity (550 BU)similar to that of flour resulted from process without
fermentation. Flour resulted from corn grits after fermentation process of 12 hr
has breakdown viscosity of 0 BU. This suggests that heat stability of flour
produced from corn grits after 12 hr fermentation is higher that that of control
flour (breakdown viscosity of 68 BU). The breakdown viscosity was maintained
relatively constant until fermentation process up to 60 hr; and finally decreases to
-60 BU after 72 hr of fermentation. Measured as ratio of cold viscosity/hot
viscosity after 15 minutes of stirring at constant temperature of 95oC ( Vd ),
Vpa15
tendency of retrogradation was reduced by fermentation process for 48 hr ( Vd =
Vpa15
1.87) as compared to that of control ( Vd = 2.97). After 48 fermentation of corn
Vpa15
grits do not affect the tendency of retrogradation of the resulted flour; at which
Vd remain at 2.14. Flour produced using fermentation process of corn grits
Vpa15
exhibit very high gel strength. After 48 hr fermentation of corn grits, the flour
has gel strength of 19.47 gforce, very high as compared to that of control flour of
5.95 gforce. Further fermentation of more than 48 hr only slightly reduced the gel
strength to 14.48 gforce, still very high as compared to that of control flour. The
smaller particle size, the lower fiber content, loose density, packed density,
gelatinization temperature and gel strength o, the higher protein and fat content,
angle of repose, whiteness, water absorption capacity, oil absorption capacity,
peak viscosity, breakdown viscosity, tendency of retrogradation and gel stickiness
4

of the resulted flour. Using correlation and regression analysis several correlation
equations were proposed to be used as a prediction tools of several chemical,
physical and functional properties as affected by extend of fermentation process
and particle size of flour. Several equations proposes were Tg = 0.006t2 - 0.39t +
82.8; Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2
+ 0.6628T + 12.923, where Tg is gelatinization temperature (oC), Vpa15 is hot
viscosity after 15 minutes constant stirring (Brabender Unit; BU), Gsi and Gsii are
gel strength (gforce) of corn flour with particle size of >150-250 µm and >106-
150 µm, respectively, and t is length of fermentation (steeping) of corn grits (hr).
Overall, our results showed that control of length of fermentation of corn grits and
particle size may be used as a mean t control several chemical, physical and
functioal properties of the resulted corn flour.

Key Words: white corn, spontaneous fermentation, particle size, physics,


chemical, functional

.
5

RINGKASAN

NUR AINI. Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits Jagung


Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan
Fungsional Tepung yang Dihasilkan. Dibawah bimbingan PURWIYATNO
HARIYADI, TIEN R. MUCHTADI dan NURI ANDARWULAN.

Jagung putih mempunyai karakter hard endosperm sehingga memiliki


keterbatasan dalam proses penggilingan untuk digunakan sebagai bahan makanan
yang berbasis pati. Salah satu alternatif pengolahan jagung dan sebagai bentuk
diversifikasi pangan adalah pembuatan tepung jagung. Dalam penelitian ini akan
dipelajari pengaruh fermentasi spontan selama perendaman grits jagung putih
terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung yang dihasilkan dan
penentuan waktu fermentasi optimum untuk mendapatkan sifat tepung sesuai
dengan yang diinginkan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari dan melakukan modifikasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung
jagung putih dengan metode fermentasi spontan.
Pada tahap pertama dilakukan pembuatan tepung jagung 60 mesh
menggunakan metode fermentasi spontan dengan cara perendaman grits jagung
putih, dan dilanjutkan dengan analisa sifat fisik, kimia dan fungsionalnya. Pada
tahap ini juga dilakukan fraksinasi tepung jagung 60 mesh menggunakan ayakan
bertingkat 100 mesh (150 µm), 150 mesh (106 µm) dan 200 mesh (75µm)
sehingga didapatkan empat kelompok ukuran partikel tepung, selanjutnya
dilakukan analisa sifat fisik, kimia dan fungsionalnya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa proses fermentasi selama perendaman
grits jagung putih menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula
reduksi, pH, densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak; serta
meningkatkan sudut curah, derajat putih dan kapasitas penyerapan air pada tepung
yang dihasilkan. Proses fermentasi grits jagung putih sampai 24 jam akan
menurunkan suhu gelatinisasi tepung yang dihasilkan, dari 82oC pada tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi menjadi 76.2oC. Fermentasi lanjutan dari 24
jam sampai 48 jam suhu gelatinisasi relatif tetap (76.7oC) dan fermentasi lanjutan
sampai 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi (85.2oC).
Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas
puncak 493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam menghasilkan tepung
jagung dengan viskositas puncak relative tetap (560 BU). Selanjutnya, tepung
jagung yang dihasilkan melalui proses fermentasi selama 48 jam menunjukkan
viskositas puncak meningkat (648 BU), dan bertahan sampai dengan perendaman
grits jagung selama 60 jam (573 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72
jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550
BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi.
Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi jagung selama
12 jam mempunyai breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan
lebih tinggi daripada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU).
Stabilitas ini terus dipertahankan selama fermentasi sampai jam ke 60, dan setelah
72 jam stabilitas pemanasan menurun menjadi -60 BU. Proses fermentasi
menurunkan kecenderungan retrogradasi tepung yang dihasilkan. Hal ini
6

ditunjukkan dengan menurunnya rasio viskositas dingin dibanding viskositas


panas setelah 15 menit pengadukan pada suhu 95oC ( Vd ), yaitu dari 2.97 untuk
Vpa15
tepung yang dibuat tanpa proses fermentasi menjadi 1.87 pada tepung yang
diperoleh dengan proses fermentasi 48 jam. Proses fermentasi lanjutan selama 48
sampai 72 jam tidak mengubah kecenderungan retrogradasi tepung jagung.
Tepung jagung yang dihasilkan dengan perendaman 48 jam mempunyai
kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung yang
dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce), namun kekuatan gel ini akan mengalami
sedikit penurunan (14.48 gforce) jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam.
Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa
sifat kimia, kadar protein paling berpengaruh terhadap sifat fisik dan fungsional
tepung jagung. Semakin rendah kadar protein tepung jagung semakin rendah
loose density, packed density, sudut curah, kapasitas penyerapan minyak dan
retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin tinggi derajat putih, kapasitas
penyerapan air, viskositas puncak dan stabilitas pemanasan.
Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa
sifat fisik, packed density merupakan faktor paling berpengaruh terhadap sifat
fungsional. Semakin besar packed density tepung jagung, semakin besar
kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin kecil
derajat putih, kapasitas penyerapan air, stabilitas pemanasan serta sudut curah.
Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin kecil kadar serat
kasar, loose density, packed density, suhu gelatinisasi dan kekuatan gel
sedangkan kadar protein, kadar lemak, sudut curah, derajat putih, kapasitas
penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, viskositas puncak, breakdown
viscosity, retrogradasi dan kelengketan gel meningkat.
Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi selama 30 jam
meningkatkan kapasitas penyerapan air menjadi 128.9% dari tepung jagung non
fermentasi (115.9 %), dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam akan menurunkan
kembali kapasitas penyerapan air (113.6%); sedangkan fermentasi grits selama
70 jam menurunkan kapasitas penyerapan minyak menjadi 69.3% dari tepung non
fermentasi (82.8%).
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kemungkinan
terjadinya retrogradasi. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits
selama 30 jam menurunkan Vd (2.08) dari tepung non fermentasi (2.80) dan
Vpa15
fermentasi lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd (3.11); sedangkan
Vpa15
pada tepung berukuran partikel >150 – 250µm fermentasi grits selama 45 jam
menurunkan Vd (1.88) dari tepung non fermentasi (2.37) dan fermentasi
Vpa15
lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd (2.40)
Vpa15
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin rendah kekuatan gel. Pada
tepung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan
kekuatan gel (27.9 gforce) dari tepung non fermentasi (18.6 gforce), fermentasi
lanjutan sampai 45 jam tidak mengubah kekuatan gelnya (27.6 gforce), dan waktu
fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (17.6
7

gforce). Pada tepung berukuran partikel >106-150 µm, fermentasi selama 45 jam
meningkatkan kekuatan gel (25.4 gforce) dari tepung non fermentasi (13.2
gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan
kekuatan gel (14 gforce).
Dengan menggunakan analisa korelasi dan regresi, diperoleh beberapa
persamaan yang bisa digunakan untuk memprediksi pengaruh lama proses
fermentasi spontan (perendaman) terhadap beberapa sifat fisik, kimia dan
fungsional. Beberapa persamaan tersebut adalah Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8;
Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2 +
0.6628T + 12.923 dimana Tg adalah suhu gelatinisasi (oC), Vpa15 adalah
viskositas panas 15 menit (BU), Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung jagung
berukuran partikel >150-250 µm dan >106-150 µm dalam g force, dan t adalah
waktu fermentasi grits jagung (jam). Penelitian ini menunjukkan bahwa
pengaturan lama proses fermentasi dan ukuran partikel dapat digunakan untuk
mengendalikan beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih.

Kata kunci: jagung putih, fermentasi spontan, ukuran partikel, fisik, kimia,
fungsional
8

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009


Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
9

PENGARUH FERMENTASI SPONTAN SELAMA


PERENDAMAN GRITS JAGUNG PUTIH VARIETAS
LOKAL (Zea mays L.) TERHADAP KARAKTERISTIK
FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG YANG
DIHASILKAN

NUR AINI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
10

Judul Disertasi : Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits


Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) Terhadap
Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang
Dihasilkan
Nama : Nur Aini
NRP : F261040021

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc


Ketua

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, M.Si Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si
Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana


Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: 24 Maret 2009 Tanggal Lulus: 8 April 2009


11

PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan berkahNya
sehingga penulisan disertasi yang berjudul ”Pengaruh Fermentasi Spontan Selama
Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) Terhadap
Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang Dihasilkan” dapat
diselesaikan. Disertasi ini dibuat sebagai salah satu syarat mahasiswa pascasarjana
program S3 untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terimakasih yang sangat tulus dan mendalam kepada Ketua Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc yang telah banyak meluangkan waktu untuk
membimbing, berdiskusi, memberikan arahan dan wawasan ilmu terutama di
bidang rekayasa pangan serta memberikan dorongan moril sehingga penulis dapat
menyelesaikan program S3 ini; anggota Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tien R.
Muchtadi, M.S. dan Dr. Ir. Nuri Andarwulan yang telah meluangkan waktu
dalam membimbing, memberikan saran dan tambahan pengetahuan kepada
penulis.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc sebagai dosen
penguji luar komisi pada ujian tertutup atas saran-saran dan masukannya yang
sangat menambah cakrawala pengetahuan penulis terutama di bidang Ilmu
Pangan, serta demi kesempurnaan Disertasi ini.
Terima kasih kepada Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS dan Dr. Ir. Titi Candra
Sunarti, M.Si sebagai dosen penguji pada ujian terbuka atas saran-saran, diskusi
dan masukannya yang menambah pengetahuan penulis dan demi kesempurnaan
Disertasi ini.
Terima kasih kepada Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc selaku ketua
Program Studi Ilmu Pangan atas saran-saran dan masukannya pada ujian tertutup.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc sebagai
pimpinan sidang pada ujian tertutup, juga atas saran-saran dan masukannya; juga
kepada Dr. Ir. Sam Herodian, MS sebagai Dekan Fakultas Teknologi Pertanian
atas kesediaannya sebagai pimpinan sidang pada Ujian terbuka.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para Staf Pengajar di
lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya pada
Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama
penulis menempuh pendidikan di IPB.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas
Jenderal Soedirman, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Teknologi
Pertanian dan Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menempuh pendidikan di IPB.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (Dikti) yang telah memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS)
untuk penulis mengikuti program Doktor di IPB. Ucapan terimakasih juga
penulis sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(DP2M) Dikti yang telah membantu sebagian dana penelitian melalui program
Hibah Bersaing XIV 2006-2007. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
12

PT Indofood Sukses Makmur Tbk. melalui Program Indofood Riset Nugraha


2008 yang telah membantu sebagian dana penelitian. Terima kasih kepada
Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) atas bantuannya pada penulisan
Disertasi.
Kepada Ayahanda Munawar (almarhum) dan Ibunda Muslihah, penulis
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang mendalam atas didikan, doa
restu, dorongan dan motivasi serta bantuan moril dan materiil sehingga
memberikan dukungan yang luar biasa bagi penulis untuk menyelesaikan
pendidikan hingga ke jenjang tertinggi. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada kakak-kakak, adik-adik dan semua saudara atas doa dan dukungannya
selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Rasa terimakasih yang sangat tulus
penulis sampaikan kepada Ananda Hanif Ainurrizky yang dengan penuh
pengertian dan sabar mendampingi selama penulis mengikuti program S3 ini.
Terima kasih kepada Ir Supadmo dari Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Jawa Tengah di Ungaran yang telah membantu pengadaan
jagung putih. Terima kasih kepada para sahabat di Program Studi Ilmu Pangan
IPB, baik yang telah lulus (Akhyar, M.Si, Dr. Ir. Sussi Astuti, Msi, Dr. Ir.
Yuspihana Fitrial, M.Si) maupun yang masih dalam proses kelulusan, atas
persahabatan yang indah serta kerjasama yang baik selama penulis menempuh
studi S3. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman di Jurusan
Teknologi Pertanian, terutama program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan,
Universitas Jenderal Soedirman atas dukungannya dalam menempuh program S3.
Terima kasih juga kepada staf administrasi dan teknisi, baik di Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan serta Seafast Center IPB atas bantuannya selama
penelitian.
Akhirnya semua budi baik yang diberikan kepada penulis semoga diterima
dan diberi balasan berlipat ganda oleh Allah SWT. Semoga disertasi ini
bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan. Amin.

Bogor, April 2009

Nur Aini
13

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati tanggal 1 Februari 1973 dari Bapak Munawar
dan ibu Muslihah. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian UGM pada tahun 1990 sampai 1995. Pada tahun 1999,
penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Program Pasca
Sarjana UGM dan menyelesaikannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk
melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pangan IPB diperoleh
pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Beasiswa Program Pasca
Sarjana (BPPS) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional.
Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Jendral Soedirman Purwokerto sejak tahun 1997 sampai
sekarang.
Karya ilmiah berjudul Hubungan Sifat Fisikokimia dan Amilografi
Tepung Jagung Putih yang Dipengaruhi Waktu Perendaman Grits Jagung telah
disajikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan (PATPI) di
Palembang pada bulan Oktober 2008. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan
judul Hubungan Sifat Kimia dan Rheologi Tepung Jagung Putih dengan
Fermentasi Spontan Grits Jagung di Forum Pasca Sarjana IPB volume 2 tahun
2009. Artikel-artikel tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis dalam
menyelesaikan program S3.
14

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS


2. Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti, M.Si
15

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN viii

DAFTAR ISTILAH X

1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan penelitian 6
1.3 Manfaat penelitian 6

2. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Komposisi kimia dan anatomi biji jagung 7
2.2 Jagung putih 9
2.3 Tepung jagung 11
2.4 Pati jagung 12
2.4.1 Amilosa 14
2.4.2 Amilopektin 15
2.5 Fermentasi spontan pada proses pengolahan serealia dan 15
umbi-umbian
2.6 Sifat fisik tepung 17
2.6.1 Ukuran partikel 18
2.6.2 Densitas kamba 19
2.6.3 Sifat alir 20
2.7 Sifat fungsional adonan 21
2.7.1 Gelatinisasi dan sifat adonan 21
2.7.2 Sifat rheologi 24

3. BAHAN DAN METODE 25


3.1 Waktu dan tempat penelitian 25
3.2 Bahan dan alat 25
3.3 Metode penelitian 26
3.4 Prosedur analisa 31
3.5 Analisa data 38

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39


4.1 Komposisi kimia bahan baku 39
4.2 Pengaruh waktu fermentasi spontan grits jagung terhadap 40
sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung
4.2.1 Komposisi kimia tepung jagung 40
4.2.2 Ukuran partikel tepung jagung 48
4.2.3 Densitas kamba tepung jagung 49
16

4.2.4 Sudut curah tepung jagung 54


4.2.5 Derajat putih tepung jagung 56
4.2.6 Kapasitas penyerapan air 59
4.2.7 Kapasitas penyerapan minyak 61
4.2.8 Suhu gelatinisasi 62
4.2.9 Viskositas puncak 64
4.2.10 Sifat adonan selama pemanasan 66
4.2.11 Retrogradasi adonan 72
4.2.12 Sifat gel 74
4.3 Validasi model prediktif yang dihasilkan 80
4.3.1 Packed density tepung jagung 80
4.3.2 Loose density tepung jagung 81
4.3.3 Sudut curah tepung jagung 81
4.3.4 Derajat putih tepung jagung 82
4.3.5 Suhu gelatinisasi 83
4.3.6 Viskositas panas saat dipertahankan selama 15 83
menit pada suhu 95oC (Vpa15)
4.3.7 Rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas 84
saat dipertahan selama 15 menit pada suhu 95oC
4.3.8 Kekuatan gel 85
4.4 Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan 86
ukuran partikel tepung terhadap sifat fisikokimia tepung
dan fungsional adonan jagung
4.4.1 Komposisi kimia tepung jagung 87
4.4.2 Densitas kamba tepung jagung 92
4.4.3 Sudut curah tepung jagung 96
4.4.4 Derajat putih tepung jagung 99
4.4.5 Kapasitas penyerapan air 101
4.4.6 Kapasitas penyerapan minyak 102
4.4.7 Suhu gelatinisasi 103
4.4.8 Viskositas puncak 104
4.4.9 Sifat adonan selama pemanasan 109
4.4.10 Retrogradasi adonan 113
4.4.11 Sifat gel 115
4.5 Pembahasan umum 117

5. SIMPULAN DAN SARAN 121


5.1 Simpulan 121
5.2 Saran 123

DAFTAR PUSTAKA 124

LAMPIRAN 133
17

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Beberapa proses fermentasi spontan yang dilakukan pada 5
serealia dan umbi-umbian
2. Distribusi komponen-komponen utama jagung 9
3. Komposisi kimia jagung putih dan kuning 10
4. Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin 14
5. Komposisi kimia jagung putih pipilan, grits jagung dan tepung 40
jagung
6. Komposisi kimia tepung jagung putih yang dihasilkan dengan 40
variasi waktu fermentasi grits jagung
7. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH air 42
perendam
8. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar pati, 46
gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan
9. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar amilosa 48
tepung jagung
10. Loose dan packed density tepung jagung dengan variasi waktu 50
fermentasi grits jagung
11. Sudut curah tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu 55
fermentasi grits jagung
12. Derajat putih tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi 57
waktu fermentasi grits jagung
13. Kapasitas penyerapan air tepung jagung yang dihasilkan dengan 60
variasi waktu fermentasi grits jagung
14. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan 61
dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
15. Suhu gelatinisasi adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi 63
waktu fermentasi grits jagung
16. Viskositas puncak adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi 65
waktu fermentasi grits jagung
17. Sifat-sifat adonan jagung selama pemanasan yang dihasilkan 67
dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
18. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kecenderungan 73
retrogradasi adonan tepung jagung
19. Sifat gel adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu 75
fermentasi grits jagung
18

20. Model prediktif beberapa sifat fisik dan fungsional tepung 79


jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung
21. Hasil pengukuran dan prediksi packed density tepung jagung 80
22. Hasil pengukuran dan prediksi loose density tepung jagung 81
23. Hasil pengukuran dan prediksi sudut curah tepung 82
jagung
24. Hasil pengukuran dan prediksi derajat putih tepung jagung 83
25. Hasil pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi tepung jagung 83
26. Hasil prediksi dan pengukuran Vpa15 84
27. Vd 84
Hasil pengukuran dan prediksi
Vpa15
28. Hasil pengukuran dan prediksi kekuatan gel tepung 85
jagung
29. Model prediktif sifat fisik dan fungsional tepung 86
jagung yang telah divalidasi
30. Komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi 88
waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung jagung
31. Kadar pati, kadar gula reduksi dan pH tepung jagung yang 91
dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi jagung dan ukuran
partikel tepung
19

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Potongan melintang jagung yang menunjukkan lokasi 7
komponen-komponen utama
2. Jagung putih dan kuning 10
3. Struktur internal dan organisasi granula pati 13
4. Ilustrasi kurva sifat-sifat gelatinisasi 23
5. Jagung putih yang digunakan 25
6. Pembuatan tepung jagung putih 27
7. Diagram alir jalannya penelitian tahap 1 dan 2 29
8. Diagram alir jalannya penelitian tahap 3 30
9. Bahan baku yang digunakan (a) jagung putih pipilan (b) grits 39
jagung
10. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar 43
protein tepung jagung
11. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap 44
konduktivitas air perendam
12. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH tepung 46
jagung
13. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar gula 47
reduksi tepung jagung
14. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap distribusi 49
ukuran partikel tepung jagung
15. Pengaruh kadar protein terhadap packed density tepung 51
jagung
16. Pengaruh kadar serat kasar terhadap loose density tepung 52
jagung
17. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap densitas 54
kamba tepung jagung
18. Pengaruh loose density terhadap sudut curah tepung jagung 56
19. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung 57
selama 0, 36 dan 60 jam
20. Pengaruh kadar protein terhadap derajat putih tepung jagung 58
21. Pengaruh packed density terhadap derajat putih tepung jagung 59
22. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap suhu 64
gelatinisasi adonan jagung
20

23. Amilografi tepung jagung yang dihasilkan dengan waktu 67


fermentasi grits jagung
24. Pengaruh kadar protein terhadap viskositas panas 15 menit 69
25. Pengaruh packed density tepung terhadap viskositas panas 15 71
menit
26. Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap Rv ( Vd ) 73
Vpa15

27. Pengaruh pH tepung jagung terhadap kekuatan gel 76


28. Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap 77
kekuatan gel
29. Partikel tepung jagung tanpa fermentasi dilihat menggunakan 87
scanning electron microscope (SEM)
30. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 89
tepung terhadap kadar serat kasar tepung jagung
31. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 90
tepung terhadap kadar protein tepung jagung
32. Pengaruh kadar protein dan ukuran partikel terhadap packed 93
density tepung jagung.
33. Pengaruh kadar serat kasar dan ukuran partikel tepung 93
terhadap packed density tepung jagung
34. Hubungan kadar serat kasar dengan packed density tepung 94
jagung
35. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 95
tepung terhadap loose density tepung jagung.
36. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 96
tepung terhadap packed density tepung jagung.
37. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 97
tepung terhadap sudut curah tepung jagung.
38. Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap 98
sudut curah tepung jagung putih
39. Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap 98
sudut curah tepung jagung putih.
40. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung 99
selama 15 jam
41. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 100
tepung terhadap derajat putih tepung jagung.
42. Pengaruh pH dan ukuran partikel tepung terhadap derajat 100
putih tepung jagung.
21

43. Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap 101
derajat putih tepung jagung.
44. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 102
tepung terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung.
45. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 103
tepung terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung.
46. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 104
tepung terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung.
47. Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung 105
non fermentasi
48. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 106
tepung terhadap viskositas puncak tepung jagung.
49. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap amilografi 106
tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm
50. Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap 107
viskositas puncak adonan jagung.
51. Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap 108
viskositas puncak adonan jagung
52. Pengaruh kadar amilosa dan ukuran partikel tepung terhadap 109
viskositas puncak adonan jagung.
53. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 110
tepung terhadap viskositas panas 15 menit pasta jagung.
54. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 110
tepung terhadap breakdown viscosity pasta jagung.
55. Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap 111
breakdown viscosity pasta jagung.
56. Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap 112
breakdown viscosity pasta jagung.
57. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 114
tepung terhadap viskositas dingin pasta jagung.
58. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 114
Vd
tepung terhadap adonan jagung.
Vpa15
59. Pengaruh ukuran partikel tepung terhadap amilografi tepung 115
jagung fermentasi 70 jam
60. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel 116
tepung terhadap kekuatan gel tepung jagung
22

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Partikel tepung jagung fermentasi 45 jam dilihat menggunakan 133
scanning electron microscope (SEM)
2. Korelasi antara loose density dan packed density dengan 134
variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi
waktu fermentasi grits jagung
3. Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik 135
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung
4. Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik 136
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung
5. Korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan variabel 137
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung

6. Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel 138


kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung
7. Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik 139
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung
8. Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan 140
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
grits jagung
9. Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan 141
variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi
waktu fermentasi grits jagung
10. Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia 142
dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung
11. Korelasi antara kekuatan dan kelengketan gel dengan variabel 143
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung
12. Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel 144
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
13. Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik 145
23

tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits


jagung dan ukuran partikel tepung
14. Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik 146
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung
15. Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel 147
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
16. Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik 148
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung
17. Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan 149
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
grits jagung dan ukuran partikel tepung
18. Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan 150
variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi
waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
19. Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia 151
dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
20. Korelasi antara kekuatan gel dengan variabel kimia dan fisik 152
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung
21. Kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi 153
waktu fermentasi butiran jagung dan ukuran partikel tepung
24

DAFTAR ISTILAH

Istilah Arti
Grits jagung Jagung pipilan yang digiling menggunakan pin disc mill
sehingga dihasilkan jagung dengan ukuran partikel ± 4mm
Sifat fungsional Sifat suatu bahan maupun komponen bahan yang dapat
mencirikan fungsinya dalam suatu sistem
Suhu gelatinisasi suhu awal mulai terjadi peningkatan viskositas selama
pemanasan
Viskositas puncak viskositas tertinggi yang dicapai selama pemanasan
(VP)
Viskositas panas viskositas yang dicapai pada suhu 95oC
(Vpa)
Viskositas panas viskositas setelah dipertahankan selama 15 menit pada
15 menit (Vpa15) suhu 95oC
Breakdown Perubahan viskositas yang terjadi ketika suspensi
viscosity dipanaskan pada suhu 95°C selama 15 menit (VP – Vpa15)
Viskositas dingin viskositas yang dicapai pada saat suhu diturunkan ke
(VD) 50oC
Setback viscosity perubahan viskositas yang terjadi ketika suspensi
diturunkan suhunya dari viskositas puncak (VD- VP)
Kekuatan gel gaya yang diberikan pada saat gel mulai pecah
Koefisien korelasi Keeratan hubungan linier antara sepasang peubah x dan
(r) y, yang tidak ditentukan mana variabel bebas dan variabel
tidak bebas
Koefisien Koefisien keragaman; keeratan hubungan antara sepasang
determinasi atau peubah x dan y, yang diketahui variabel bebas dan
koefisien regresi variabel tidak bebas
(R2)
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Usaha penyediaan pangan merupakan masalah utama yang dihadapi
beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Sampai saat ini masalah
pengadaan beras sebagai bahan pangan sumber karbohidrat di Indonesia masih
belum teratasi sepenuhnya. Penyebab keadaan ini antara lain karena 95%
penduduk Indonesia mengutamakan beras sebagai makanan pokok. Saat ini
konsumsi beras nasional per kapita mencapai 139.15 kg/tahun, sedangkan
idealnya adalah 100 kg/tahun (Pusat Teknologi Agroindustri BPPT 2008).
Salah satu alternatif untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi saat ini
adalah melalui diversifikasi pangan untuk mendukung Program Ketahanan
Pangan. Dalam upaya memacu diversifikasi pangan, jagung merupakan salah satu
alternative yang dapat dipilih. Di Indonesia, produksi jagung sebagai bahan
pangan pokok berada di urutan ketiga setelah padi dan ubi kayu. Produksi jagung
nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan peningkatan
sebesar 11.225.243 ton (2004), 12.523.894 ton (2005), 11.609.403 (2006),
13.287.527 ton (2007) dan 15.860.299 ton (2008) (BPS, 2009). Produktivitas
jagung pada tahun 2008 mencapai 40 – 42.3 kuintal/ha dan sasaran pada tahun
2009 naik menjadi 44.12 kuintal/ha, dengan produksi 18 juta ton (Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian 2008).

Berdasarkan warnanya, jagung kering dibedakan menjadi jagung kuning


(90% bijinya berwarna kuning), jagung putih (90% bijinya berwarna putih) dan
jagung campuran yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jagung putih
mempunyai karakter endosperm dan pati yang bersifat spesifik. Dibandingkan
dengan jagung kuning, jagung putih merupakan jenis jagung yang kurang dikenal
luas karena penggunaannya sebagai bahan pangan kurang berkembang. Jagung
putih mempunyai biji berwarna putih dengan susunan dan ukuran biji yang
bervarisi, dan berdensitas tinggi yaitu 1.34 g/cm3, sedikit lebih tinggi
dibandingkan rata-rata jagung lain yaitu 1.3 g/cm3 (Poneleit 2001). Densitas
jagung putih yang lebih tinggi merupakan indikator kekerasan biji jagung yang
2

menyebabkan keterbatasan dalam proses penggilingan untuk digunakan sebagai


bahan makanan yang berbasis pati (Vegrains 2005). Padahal jagung putih
mempunyai keistimewaan yaitu pada budidaya lebih tahan terhadap kekeringan
dan produktivitasnya lebih tinggi daripada jagung kuning. Jagung putih juga
mengandung sejumlah komponen yang mengkilap seperti kaca (tekstur
“glasslike”) pada endosperm yang jumlahnya relative terhadap endosperm yang
bertepung.

Di Indonesia, jagung putih dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai nasi


jagung, selain sebagai bahan baku industri rumah tangga seperti marning dan
emping jagung. Dilihat dari nilai gizi, kandungan protein jagung putih (10.36%),
lebih tinggi dibandingkan dengan jagung kuning (9.5%) (Watson 1987 dan
Asiamaya.com 2009). Kandungan protein jagung ini lebih tinggi daripada beras
giling (6,69 %).

Untuk memenuhi kebutuhan jagung untuk konsumsi langsung, di beberapa


daerah masyarakat membuat tepung jagung dengan peralatan sederhana
(perendaman dan tanpa perendaman). Perendaman dilakukan dengan tujuan
melunakkan endosperm yang bersifat keras (horny endosperm) sehingga lebih
memudahkan pada proses pengolahan. Beberapa pabrik pengolahan jagung
menghasilkan tepung jagung (40 dan 50 mesh) sebagai produk samping (10%)
disamping grits jagung (8, 12, 16, 24 mesh) sebagai produk utama yang
digunakan sebagai bahan baku snack jagung (Pusat Teknologi Agroindustri BPPT
2008). Penelitian tentang sifat-sifat tepung jagung putih dilakukan untuk
mengetahui sifat tepung jagung putih sehingga bermanfaat dalam aplikasi untuk
menentukan produk pangan yang cocok dibuat berdasarkan sifat-sifat tersebut.
Pengendalian sifat fungsional tepung jagung penting untuk mendesain
beberapa produk makanan berbasis tepung jagung, terutama untuk kelompok
orang yang tidak toleran terhadap gluten. Tepung jagung dipilih sebagai langkah
awal diversifikasi pengolahan jagung putih karena beberapa hal. Pertama, tepung
lebih luas penggunaannya untuk berbagai macam bahan makanan. Kedua,
penyimpanan tepung lebih mudah dan umur simpan lebih lama. Ketiga, adanya
3

defisiensi beberapa zat gizi dapat lebih mudah difortifikasi atau disuplementasi
jika dalam bentuk tepung.
Ukuran partikel merupakan salah satu sifat fisik penting karena perannya
dalam unit operasi seperti mixing, pengeringan, ekstrusi dan pneumatic handling.
Selain itu ukuran partikel tepung penting dalam evaluasi kualitas dan sifat tepung
selama pengolahan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ukuran dan
distribusi ukuran partikel tepung mempengaruhi sifat fisik, kimia dan fungsional
tepung. Iwuoha dan Nwakanma (1998) menyatakan bahwa semakin besar ukuran
partikel tepung ubi jalar, semakin rendah densitas dan viskositas adonan pada saat
pendinginan. Bedolla dan Rooney (1984) menyatakan bahwa ukuran partikel
tepung jagung ternikstamalisasi berkorelasi positif dengan suhu gelatinisasi,
semakin tinggi ukuran partikel tepung jagung semakin tinggi suhu gelatinisasi.
Meningkatnya ukuran partikel tepung amaranth juga meningkatkan suhu
gelatinisasi (Valdez-Niebla et al.1993). Cadden (1987) menyatakan bahwa ukuran
partikel yang semakin kecil menurunkan daya alir tepung.
Sifat fisik produk yang berbasis tepung sangat dipengaruhi sifat-sifat
fungsional adonan. Viskositas adonan tepung penting dalam penggunaannya
sebagai pengganti gum. Water holding capacity, kelarutan tepung dan viskositas
adonan merupakan parameter penting yang menentukan kualitas bahan sumber
karbohidrat yang digunakan sebagai fat substitutes. Indeks penyerapan air dan
indeks kelarutan air berguna dalam formulasi adonan makanan dan aplikasi
minuman karena sifat alami hidrofobik/hidrofiliknya. Sedangkan indeks
penyerapan lemak dapat menunjukkan interaksi alami antara lemak dengan
komponen tepung.
Salah satu proses pengolahan umbi-umbian dan serealia menjadi tepung
dan adonan adalah metode fermentasi spontan yang dapat dilakukan secara
sederhana yaitu merendam bahan di dalam air selama selang waktu tertentu.
Menurut Sefa-Dedeh dan Cornelius (2000) perendaman biji-bijian dalam air yang
berlebihan akan diikuti pertumbuhan beberapa mikroorganisme yang diinginkan,
seperti bakteri asam laktat, yeast, dan jamur. Menurut Latunde-Dada (2009), pada
proses fermentasi sereal seperti jagung, sorgum dan milet menjadi ogi dan agidi
terdapat peran beberapa mikroorganisme seperti Saccharomyces cereviceae,
4

Lactobacillus sp, Fusarium sp, Candida mycoderma dan Penicillium sp.


Sementara itu Amusa et al. (2005) menemukan adanya Lactobacillus lactis,
Lactobacillus fermenter dan Streptococcus lactis pada ogi. Nago et al. (1998)
menyatakan bahwa mikroorganisme yang dominant pada ogi adalah bakteri asam
laktat (109 CFU/g) dan yeast (107 CFU/g).
Salah satu masalah pada jagung adalah tingginya kadar mikotoksin,
terutama aflatoksin, walaupun masih dibawah nilai ambang batas (30 ppb)
persyaratan untuk dikonsumsi. Pada umumnya kadar aflatoksin pada jagung
petani di Indonesia bervariasi, yaitu kisaran 4,5 ppb – 665 ppb dengan perincian
47,62 % sampel terinfeksi aflatoksin dengan kadar 4,5 ppb – 24 ppb; 52,38 %
sampel terinfeksi dengan kadar 72,0 ppb – 665 ppb. Dari sejumlah sampel
pedagang pengumpul/pengekspor, ditemukan hanya 50% yang mengekspor biji
jagung dengan kadar aflatoksin <30 ppb (Balai Penelitian Tanaman Serealia
2007).
Mikroorganisme yang tumbuh pada proses fermentasi, terutama bakteri,
potensial dalam mendegradasi mikotoksin atau mengurangi bioavailabilitasnya.
Diantara bakteri yang ada, bakteri asam laktat telah diidentifikasi dapat
mengurangi availabilitas aflatoksin secara in vitro (Gratz 2007). Di antara 5 galur
Lactobacillus, L. rhamnosus galur GG dan galur LC705 paling efisien dalam
mengikat aflatoksin B1 dan menghilangkan 80% aflatoksin B1 dari media selama
0 jam inkubasi yang menunjukkan pengikatan tersebut berlangsung sangat cepat
(Haskard et al. 2001). Munimbazi dan Bullerman (1998) menyatakan bahwa
isolat Bacillus pumilus dapat menghambat pertumbuhan jamur penghasil
aflatoksin sebesar 98.2% sampai 99%.
Menurut Achi dan Akomas (2006) fermentasi digunakan secara luas untuk
mengubah dan mengawetkan makanan karena teknologinya mudah dan keperluan
energinya rendah serta produk akhirnya mempunyai kualitas organoleptik yang
unik, salah satunya yaitu mempunyai flavor yang menyenangkan. Pada sereal
yang difermentasi, bakteri asam laktat menghasilkan komponen utama berupa
asam laktat yang merupakan komponen aroma non volatil utama di samping
komponen flavor yang lain yaitu asam karboksilat, ester dan aldehid (Onyango et
al. 2004).
5

Beberapa penelitian mengenai fermentasi pada umbi-umbian dan serealia


telah dilakukan. Proses fermentasi spontan pada sereal dan umbi-umbian
menghasilkan perubahan beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung seperti
terlihat pada Tabel 1.
Proses fermentasi serealia dan umbi-umbian dalam pembuatan tepung dan
pasta memerlukan waktu fermentasi yang bervariasi. Pembuatan ogi, makanan
tradisional dari Nigeria biasanya dipersiapkan dengan cara perendaman biji
jagung selama 1-2 hari, diikuti penggilingan dan fermentasi lanjutan selama 1-3
hari (Nago et al. 1998). Aremu (1993) membuat ogi dengan cara merendam biji
jagung dalam aquadest dengan perbandingan 1:2 selama 48 jam sehingga pHnya
mencapai 4.5. Pembuatan uji, sereal yang difermentasi dilakukan dengan
merendam sereal dalam air dengan perbandingan 1:1 selama 24 jam (Onyango et
al. 2003).

Tabel 1 Beberapa proses fermentai spontan yang dilakukan pada serealia dan
umbi-umbian
Peneliti Bahan baku dan Perubahan sifat produk yang
produk dihasilkan
Subagio Fermentasi ubi kayu • Kadar serat tepung menurun
(2006) selama 12 – 72 jam • Kemampuan pembentukan gel
menghasilkan tepung dan daya rehidrasi meningkat
ubi kayu terfermentasi • Viskositas adonan panas dan
dingin meningkat
Dufour et al. Fermentasi adonan • Viskositas maksimum adonan
(2006) dari ubi kayu menurun
• Daya pengembangan meningkat
Elkhalifa et Fermentasi sorghum • Densitas menurun 10 %
al. (2005) 24 jam menghasilkan
tepung sorghum
Onofiok dan Fermentasi sereal • Densitas dan viskositas adonan
Nnanyelugo menghasilkan menurun
(1998) makanan sapihan
Onyango et Fermentasi sereal • Viskositas menurun
al. (2003) menjadi ogi

Waktu fermentasi bahan dalam pembuatan tepung mempengaruhi sifat


produk yang dihasilkan. Untuk mendapatkan waktu fermentasi yang optimal
6

dapat dilakukan dengan cara pembentukan model hubungan antara waktu


fermentasi dan sifat fisik, kimia dan fungsional tepung. Model adalah suatu
struktur yang dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan hubungan dan
karakteristik beberapa obyek tertentu. Menurut Williams (1991), suatu model
sering membuka hubungan yang mungkin tidak kelihatan pada beberapa
parameter tertentu dan sebagai hasilnya bisa diperoleh pengetahuan yang lebih
besar pada obyek yang dimodel.
1.2 Tujuan penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik, kimia
dan fungsional tepung jagung putih. Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi proses fermentasi spontan grits jagung.
2. Mengetahui adanya interaksi antar sifat fisik, kimia dan fungsional tepung
jagung. Pembentukan model dilakukan untuk interaksi antar variabel yang
teridentifikasi.
3. Mengetahui sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi ukuran partikel tepung dan waktu fermentasi grits jagung.

1.3 Manfaat penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti dan pihak terkait untuk
mempermudah optimalisasi produksi tepung jagung putih dalam aplikasinya pada
produk pangan. Selain itu penelitian ini dapat membantu masyarakat tentang
alternatif pemanfaatan produk pangan dari jagung putih, sesuai dengan sifat fisik,
kimia dan fungsional yang dimilikinya serta meningkatkan nilai ekonomis jagung
putih, sebagai diversifikasi pangan terutama sebagai produk olahan.
7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi kimia dan anatomi biji jagung

Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama, yaitu (a) perikarp, lapisan luar
yang tipis, berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan
kehilangan air; (b) endosperm, sebagai cadangan makanan, mencapai 75% dari
bobot biji yang mengandung 90% pati dan 10% protein, mineral, minyak, dan
lainnya; dan (c) lembaga atau germ, sebagai miniatur tanaman yang terdiri atas
plamule, akar radikal, scutelum, dan koleoptil (Hardman dan Gunsolus 1998).
Bagian-bagian biji jagung ini dapat dilihat pada Gambar 1. Selain itu biji jagung
juga mengandung tip cap yaitu bagian yang menghubungkan biji dengan janggel.

Gambar 1 Potongan melintang jagung yang menunjukkan lokasi komponen-


komponen utama (Shukla dan Cheryan 2001)

Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama


proses pembentukan biji. Pada waktu kariopsis masih muda, sel-selnya kecil dan
tipis, tetapi sel-sel itu berkembang seiring dengan bertambahnya umur biji. Pada
taraf tertentu lapisan ini membentuk membran yang dikenal sebagai kulit biji atau
testa/aleuron yang secara morfologi adalah bagian endosperm. Bobot lapisan
aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji. Perikarp merupakan lapisan luar biji
yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10%
protein (Subekti et al. 2008).
Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85%
yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury
8

endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati endosperm tersusun
dari senyawa anhidroglukosa yang sebagian besar terdiri atas dua molekul, yaitu
amilosa dan amilopektin, dan sebagian kecil bahan antara (White 1994). Namun
pada beberapa jenis jagung terdapat variasi proporsi kandungan amilosa dan
amilopektin.
Protein endosperm jagung terdiri atas beberapa fraksi, yang berdasarkan
kelarutannya diklasifikasikan menjadi albumin (larut dalam air), globumin (larut
dalam garam), zein atau prolamin (larut dalam alkohol konsentrasi tinggi), dan
glutelin (larut dalam alkali). Proporsi masing-masing fraksi protein pada
endosperm adalah 3% albumin, 3% globulin, 60 % zein, dan glutelin 26% (Vasal
1994).
Zein merupakan protein penyimpanan terbesar pada endosperm jagung.
Berdasarkan pada konstanta sedimentasi dan difusi, molekul zein mempunyai
bentuk globula panjang (rasio axial sekitar 15:1). Protein zein mempunyai
komposisi asam amino dengan kadar asam glutamat, prolin, leusin dan alanin
yang tinggi; serta kadar lisin, triptofan, histidin dan metionin yang rendah.
Berdasarkan pada perbedaan kelarutan, ada 2 jenis protein zein yaitu α-zein yang
larut pada etanol 95 % dan ß-zein yang larut pada etanol 60 %. α-zein
mengandung lebih banyak histidin, arginin, prolin dan metionin daripada ß-zein
(Laszity 1986).
Protein glutelin tidak hanya berfungsi sebagai protein penyimpanan, tetapi
juga sebagai protein struktural (protein membran atau protein kompleks, protein
dinding sel). Protein glutelin mempunyai kadar lisin, arginin, histidin dan kadar
triptofan lebih tinggi daripada zein, tetapi mempunyai kadar asam glutamat yang
lebih rendah.
Lembaga merupakan bagian biji jagung dengan porsi yang cukup besar.
Pada biji jagung tipe gigi kuda, lembaga meliputi 11,5% dari bobot keseluruhan
biji. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu scutelum dan poros embrio
(embryonic axis). Lembaga dicirikan oleh tingginya kadar lemak (33.2%), protein
(18.4%), dan mineral (10.5%) (Tabel 2).
9

Tabel 2. Distribusi komponen-komponen utama jagung


Komponen Biji utuh Berat kering komponen (%)
(%) Endosperma Lembaga Perikarp Tip cap
Pati 62 87 8.3 7.3 5.3
Protein 7.8 8 18.4 3.7 9.1
Lemak 3.8 0.8 33.2 1 3.8
Abu 1.2 0.3 10.5 0.8 1.6
Lain-lain* 10.2 3.9 29.6 87.2 80.2
Air 15 - - - -
Keterangan: * By difference: termasuk serat, nitrogen non protein, pentosan, asam fitat,
gula terlarut, xantofil
Sumber: Shukla dan Cheryan (2001)

Analisis kimia biji jagung menunjukkan bahwa masing-masing fraksi


mempunyai sifat yang berbeda (Tabel 2). Proses pengolahan dengan
menghilangkan sebagian dari fraksi biji jagung akan mempengaruhi mutu gizi
produk akhir (Subekti et al. 2008). Informasi komposisi kimia tersebut
bermanfaat bagi industri pangan untuk menentukan jenis bahan dan proses yang
harus dilakukan agar diperoleh mutu produk yang sesuai dengan yang diinginkan.

2.2 Jagung putih


Deskripsi sederhana jagung putih adalah biji jagung tanpa perwarnaan
pigmen kuning. Definisi yang lebih lengkap menyatakan bahwa endosperm biji
jagung putih tidak hanya harus murni putih, tanpa pigmen kuning sama sekali,
tetapi juga tanpa warna merah atau biru yang disebabkan pigmen antosianin dan
coklat atau perubahan warna lain yang diakibatkan komponen flavonoid. Lapisan
aleuron dan kulit juga harus bersih dan terhindar dari antosianin dan komponen
flavonoid yang lain. Jagung putih yang diinginkan mempunyai biji besar dan
seragam, punya atau hanya terdiri dari gigi-gigi yang ringan, mempunyai specific
gravity tinggi, tidak ada yang retak dan bebas dari penyakit busuk terutama yang
dapat menyebabkan akumulasi aflatoksin (Poneleit 2001).
Warna jagung yang umum ada sekarang adalah putih dan kuning (Gambar
2). Namun demikian ada juga jenis jagung dengan warna lain seperti blue corn.
Pada umumnya, dengan harga yang sama, di Afrika bagian timur dan selatan,
jagung putih lebih disukai jika dibandingkan jagung kuning. Menurut Jayne et al.
(1996), jagung putih lebih rendah mutunya untuk konsumsi manusia
10

dibandingkan jagung kuning. Sebagai hasilnya, jagung kuning dikonsumsi hanya


pada musim kering, pada saat jagung putih tidak tersedia.

Gambar 2 Jagung putih dan kuning (Sumber


http://www.swallowtailgardenseeds.com/assets)

Tabel 3 Komposisi kimia jagung putih dan kuning (basis kering)


Komposisi kimia Jagung kuning pipilan a) Jagung putih pipilanb)
Protein (% bk) 9.5 10.36
Lemak (% bk) 4.3 4.9
Serat (% bk) 9.5 11.2
Kalsium (% bk) 0.03 0.008
Besi (mg/100 g) 3 2.16
Karotenoid total (mg/kg) 30 -
Vitamin B1 (mg/100 g) 0.33 0.38
Sumber: a) Watson (1987)
b)
hasil pengolahan data asiamaya.com (2009)

Jagung putih yang murni cocok untuk pengolahan jagung terutama untuk
produk penggilingan kering (Poneleit 2001). Jagung putih juga digunakan dalam
proses pemasakan dengan kapur untuk membuat tortilla, chips jagung dan snack
(Hansen & Van der Sluis 2004). Karena jagung putih umumnya diproses dengan
penggilingan kering, pemasakan dengan basa atau penggilingan basah, faktor
penting yang perlu dipertimbangkan adalah true density. True density jagung
11

putih rata-rata 1.34 g/cm3, sedikit lebih tinggi daripada jenis jagung lain yaitu 1.3
g/cm3. True density yang tinggi merupakan indikator kekerasan dan diinginkan
untuk penggilingan kering dan pemasakan dengan kapur (US Grain Council
2006).

2.3 Tepung jagung


Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi produk pangan diantaranya
tepung jagung, minyak dan pati jagung. Tepung jagung merupakan salah satu
produk jagung yang didapatkan dengan proses penggilingan kering dengan ukuran
partikel kurang dari 0,193 mm (ayakan US no 75) (Serna-Saldivar et al. 2001).
Menurut SNI 01-3727-1995, syarat ukuran partikel tepung jagung adalah minimal
99% lolos ayakan 60 mesh dan minimal 70% lolos ayakan 80 mesh. SNI 01-3727-
1995 juga mensyaratkan kadar air maksimal 10%. Beberapa produk pangan yang
terbuat dari tepung jagung antara lain adalah pancake, muffin, donat, roti,
breading, batter dan makanan bayi (Hansen & Van der Sluis 2004). Tepung
jagung juga digunakan sebagai bahan baku sereal sarapan siap saji, makanan
ringan dan sebagai bahan pengikat dalam pengolahan daging.
Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung adalah proses
pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses
pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung
karena kandungan seratnya tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur
kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa
pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau
bagian pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi
kasar. Partikel tip cap akan terlihat sebagai butir-butir hitam yang merusak warna
tepung. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling
menjadi tepung.
Proses pembuatan tepung jagung biasanya dilakukan dengan cara
penggilingan kering (Yuan & Flores 1996). The North American Millers
Association dalam Hansen dan Van der Sluis (2004) menggolongkan
penggilingan jagung dengan metode kering menjadi tiga metode yaitu proses
degerming tempering, stone-ground process atau proses nondegerming dan proses
12

pemasakan secara alkali (nixtamalization). Ketiga proses tersebut akan


menghasilkan karakter tepung dan nilai gizi yang berbeda. Proses degerming
tempering paling umum dilakukan, dengan cara memisahkan bagian
endospermnya kemudian digiling, dikeringkan, dan diayak. Proses ini
menghasilkan tepung jagung berukuran paling halus.

2.4 Pati jagung


Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama
karena mensuplai kebutuhan energi manusia dengan porsi tinggi. Lebih dari 80%
tanaman pangan terdiri dari biji-bijian dan tanaman sumber pati lainnya. Dalam
bentuk aslinya pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis
pati sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula,
karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum serta
permukaan granulanya (Jobling 2004).
Komponen utama biji jagung adalah pati, yaitu sekitar 72 sampai 73% dari
berat biji. Karbohidrat lain berada sebagai gula sederhana seperti glukosa, sukrosa
dan fruktosa dengan jumlah bervariasi antara 1 sampai 3% dari biji. Pati jagung
terdiri dua polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Pada jagung jenis
endosperm dent atau flint, jumlah amilosa 25 sampai 30%, sedang amilopektin
mencapai 70 sampai 75%. Jumlah amilosa dan amilopektin bervariasi menurut
jenis jagungnya (Sandhu et al. 2004). Pati jagung yang mengandung hampir
100% amilopektin menghasilkan produk dengan tekstur lebih stabil.
Berdasarkan data dan analisa Transmission Electron Microscope (TEM),
telah diajukan beberapa model struktur kristalin pati (Gallant et al. 1997; Ridout
et al. 2002). Dengan mengkombinasikan hasil penelitian beberapa tahun
menggunakan teknik mikroskop, ilmuwan dapat menyusun struktur internal dan
organisasi granula pati seperti terlihat pada Gambar 3. Granula pati (2-100 µm)
terdiri dari bagian semi kristalin (120–500 nm) dan amorf (120–500 nm)
(Vandeputte & Delcour, 2004). Di dalam granula, pati tersusun atas lingkaran
yang menyebar keluar dari pusat ke permukaan granula. Jumlah dan ukuran
lingkaran tergantung asal pati (Ridout et al. 2002). Studi eksperimental
13

menunjukkan bahwa cincin semi kristalin terutama tersusun atas rantai


amilopektin.

Gambar 3 Struktur internal dan organisasi granula pati (Gallant et al. 1997)
2.4.1 Amilosa
Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari
struktur cincin piranosa. Amilosa umumnya dinyatakan sebagai bagian linier dari
pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan β-amilase pada beberapa jenis
14

pati tidak diperoleh hasil hidrolisa yang sempurna. β-amilase menghidrolisa


amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari
ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa.
Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode
ekstraksi yang digunakan. Secara umum amilosa yang diperoleh dari umbi-
umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibanding
amilosa dari pati biji-bijian. Kemampuan amilosa untuk berinteraksi dengan
iodine membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi
adanya pati.
Amilosa dapat terpisah dari granula yang mengembang di atas suhu
gelatinisasi. Fraksi amilosa biasanya dapat diisolasi dengan cara leaching
(Hizukuri 1996), dengan cara dispersi dan presipitasi dan dengan metode
ultrasentrifugasi (Majzoobi et al. 2003). Vorwerg et al. (2002) berhasil
mengisolasi dengan metode kombinasi enzim untuk memecah cabang amilopektin
diikuti pembentukan kompleks 1-butanol pada amilosa. Sifat-sifat umum dan
fungsionalitas amilosa disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin


Sifat Amilosa Amilopektin
Struktur molekul Linear (α-1,4) Cabang (α-1,4; α-1,6)
Berat molekul ~106 dalton ~108 dalton
Derajat polimerisasi 1500 – 6000 3x105 – 3x106
Kompleks helix Kuat Lemah
Pewarnaan iod Biru Merah-ungu
Larutan encer Tidak stabil Stabil
Retrogradasi Cepat Lambat
Sifat pembentuk gel Kaku, tak dapat balik Lunak, reversible
Sifat pembentuk film Kuat Lemah dan mudah patah
Sumber: Chen (2003)

2.4.2 Amilopektin
Amilopektin merupakan komponen utama dari pati dan merupakan
polisakarida terbesar. Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan
α-(1,4) pada rantai lurusnya serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya.
Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5% dari keseluruhan ikatan yang
15

ada pada amilopektin. Amilopektin secara dominan bertanggung jawab terhadap


kristalinitas granula pati (Gallant et al. 1997).
Peranan enzim ß-amilase sangat bermanfaat dalam memberikan informasi
struktur amilopektin. Enzim ini akan mendegradasi amilopektin secara tidak
lengkap, menghasilkan 50-60% maltosa dan dekstrin dengan berat molekul tinggi
yang mengandung semua ikatan antar (interchange linkage) dan bagian dalam
molekul. Untuk mengetahui distribusi panjang rantai amilopektin biasanya
dianalisa menggunakan HPLC (high performance liquid chromatography), SEC
(size exclusion chromatography) dan high performance anion exchange
chromatography (HPAEC). Rata-rata panjang rantai amilopektin adalah 18-24
(Hizukuri 1996).

2.5 Fermentasi spontan pada proses pengolahan serealia dan umbi-umbian


Menurut Steinkraus (2002) makanan terfermentasi adalah substrat
makanan yang ditumbuhi mikroorganisme yang dapat dimakan, terutama amilase,
protease dan lipase yang menghidrolisis polisakarida, protein dan lemak menjadi
produk dengan flavor, aroma dan tekstur menyenangkan dan menarik bagi
konsumen. Makanan terfermentasi mempunyai keunggulan lebih stabil selama
penyimpanan, lebih aman dikonsumsi, serta meningkatnya nilai gizi dan daya
terima pada konsumen. Makanan terfermentasi lebih aman dikonsumsi karena
proses fermentasi dapat menghilangkan zat anti nutrisi dan racun yang biasanya
terdapat pada bahan mentah dan diproduksi selama penyimpanan.
Fermentasi asam laktat pada serealia dan ubi kayu merupakan teknologi
yang berkembang pada skala rumah tangga di negara-negara Afrika. Produk-
produk seperti ogi, mumu, mahewu dan uji merupakan makanan dari sereal yang
diasamkan dan dikonsumsi secara luas baik pada orang dewasa maupun anak-
anak (Nout 1989, Oluwamukomi et al. 2005, Amusa et al. 2005). Di Nigeria,
makanan sapihan pertama biasanya disebut pap (dibuat dari jagung fermentasi)
dan pap juga digunakan sebagai makanan utama pada orang dewasa. Ogi dari
Nigeria terbuat dari jagung, millet atau sorghum yang dicuci dan direndam selama
2 sampai 72 jam sampai terjadi fermentasi asam laktat. Setelah itu biji-bijian
tersebut ditiriskan dan digiling halus serta diayak sehingga menghasilkan slurry
16

yang halus dengan kadar padatan sekitar 8% (Banigo dan Muller 1972). Uji dari
Kenya merupakan produk yang serupa dengan ogi tetapi sebelum dicampur
dengan air dan difermentasi dilakukan penggilingan terlebih dahulu. Slurry awal
terdiri dari 30 % padatan yang kemudian difermentasi spontan selama 2 sampai 5
hari sampai menghasilkan 0.3 sampai 0.5 % asam laktat. Slurry kemudian
diencerkan sehingga kadar padatan menjadi 4 sampai 5% dan ditambahkan 6%
sukrosa untuk dikonsumsi (Gatumbi dan Muriru 1987).
Proses fermentasi spontan dilakukan dengan cara merendam bahan dalam
air pada selang waktu tertentu dengan memanfaatkan mikroorganisme dari
lingkungan. Selama proses perendaman tersebut terjadi perubahan sifat yang
disebabkan adanya aktivitas bakteri antara lain adalah bakteri asam laktat
(Hounhouigan et al. 1993a, Johansson et al. 1995). Menurut Hounhouigan et al.
(1993a), Lactobacillus fermentum dan Lactobacillus brevis merupakan spesies
utama yang ditemukan di mawe, adonan dari jagung yang difermentasi.
Sedangkan Johansson et al. (1995) menyatakan bahwa Lactobacillus plantarum
merupakan mikroorganisme dominan yang berada pada ogi. Nago et al. (1998)
menemukan 65 strain bakteri asam laktat yang diisolasi dari ogi yang berasal dari
Benin, yang pada umumnya adalah lactobacilli yang bersifat heterofermentatif.
Tiga spesies yang utama (sekitar 90%) adalah Lactobacillus fermentum biotype
cellobiosus, Lactobacillus brevis dan Lactobacillus fermentum; sedangkan yang
lain adalah Lactobacillus curvatus dan Lactobacillus buchneri (6%). Sedangkan
Akinrele (1970) mengidentifikasi Lactobacillus plantarum, Corynebacterium sp.
dan Aerobacter cloacae sebagai mikroorganisme yang dominan pada ogi Nigeria.
Selain bakteri juga ditemukan adanya yeast pada proses fermentasi
serealia (Nago et al. 1998, Hounhouigan et al. 1993b, Akinrele 1970). Menurut
Nago et al. (1998) pada ogi dari Benin diisolasi 54 strain yeast, 41% merupakan
spesies Candida, yang meliputi C. humicola dan C. krusei. Sebanyak 26%
diidentifikasi sebagai isolat yeast Geotrichum; sedangkan isolat lain diidentifikasi
sebagai Cryptococcus dan Trichosporan. Hounhouigan et al. (1993b) mengisolasi
Candida krusei dan Candida kefyr dari mawe. Sementara itu Akinrele (1970)
mengisolasi Candida krusei, Rhodotorula spp, Saccharomyces cerevisiae dan
Candida mycoderma dari ogi.
17

Proses fermentasi sereal dan ubi kayu menghasilkan beberapa perubahan


sifat fisik dan fungsional produk yang dihasilkan. Menurut Subagio (2006), pada
fermentasi ubi kayu, mikroorganisme yang tumbuh selama proses fermentasi akan
menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan
dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi pelunakan granula pati.
Proses pelunakan granula pati ini menyebabkan perubahan sifat fisik tepung yang
dihasilkan berupa meningkatnya kemampuan membentuk gel, daya rehidrasi dan
kemudahan melarut pada tepung serta naiknya viskositas adonan. Hounhouigan
et al. (1993b) menyatakan bahwa bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik pada
mawe dapat menurunkan densitas kamba dan viskositas adonan. Nago et al.
(1998) menyatakan bahwa daya cerna protein secara in vitro pada ogi 20% lebih
tinggi daripada tepung jagung biasa karena adanya enzim proteolitik dan atau
dihasilkan oleh bakteri proteolitik. Menurut Lorri (1993) densitas energi adonan
sereal yang difermentasi asam laktat sebesar 1.2 kkal/g, lebih tinggi 3 kali lipat
daripada adonan sereal yang tidak difermentasi asam laktat pada kekentalan yang
sama yaitu 0.4 kkal/g. Daya cerna protein secara in vitro pada sereal dengan
kadar tannin tinggi meningkat dari 32 menjadi 40% sebelum fermentasi menjadi
41 sampai 60% setelah fermentasi asam laktat.

2.6 Sifat fisik tepung


Sifat fisik tepung dapat dipelajari menggunakan pendekatan pada sifat-
sifat produk berbentuk bubuk. Karakterisasi sifat fisik produk berbentuk bubuk
biasanya dilakukan pada dua tingkat, yaitu pada tingkat partikel dan pada tingkat
bulk (Peleg 1983). Sifat-sifat makanan berbentuk bubuk dalam bentuk bulk
dipengaruhi oleh sifat-sifat partikelnya, dan hubungan antara keduanya tidak
sederhana karena ada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya, seperti
sistem geometri serta perlakuan mekanis dan thermal yang diberikan selama
pembuatannya. Dalam banyak hal tidak mungkin untuk memperkirakan sifat-
sifat bulk hanya dari sifat partikelnya saja jika informasi proses mekanis dan
thermal yang diberikan tidak lengkap dan akurat. Pada hal-hal tertentu, sifat-sifat
pada tingkat bulk dapat diperkirakan sebagai sifat partikel meskipun tidak selalu
tepat.
18

Karakterisasi makanan berbentuk bubuk diperlukan untuk aplikasinya


dalam quality assurance, desain proses dan pengembangannya. Penentuan sifat-
sifat bubuk yang tepat dan akurat merupakan aspek penting dalam produksi
bubuk.

2.6.1 Ukuran partikel


Ukuran partikel penting dalam evaluasi kualitas tepung, sifat tepung dalam
pengolahan dan kenampakan produk-produk yang diproses dengan cara
pemanggangan. Menurut Davies (2006) metode analisis ukuran partikel dibagi
menjadi 6 kelompok yaitu (1) metode visual (misalnya dengan mikroskop optik
dan mikroskop elektron); (2) metode pemisahan (misalnya pengayakan); (3)
metode scanning stream; (4) metode scanning field (misalnya dengan fifraksi
laser; (5) metode pengendapan; dan (6) metode permukaan (misalnya
permeabilitas, adsorbsi). Diantara metode-metode tesebut, metode pengayakan
paling sering digunakan untuk mengkarakterisasi ukuran tepung dalam proses
penggilingan. Menurut Hoseney (1998), tepung diayak melewati ayakan dengan
bukaan 136 μm. Sedangkan di Amerika Utara, tepung pada umumnya harus
melewati ayakan dengan ukuran bukaan 112 μm, dressed flour 132 μm dan
tepung kue 93 μm.
Tepung terigu diklasifikasikan ke dalam tiga fraksi yang berbeda menurut
ukuran berbeda: (1) sel endosperm, bagian sel endosperm dan kelompok granula
pati dan protein (diameter > 35 µm) dimana kadar proteinnya sama atau lebih
tinggi daripada tepung itu sendiri; (2) granula pati besar dan kecil, sebagian
mengikat protein (diameter 15 – 35 µm); dan (3) potongan-potongan kecil protein
dan granula pati yang terpisah (diameter < 15 µm). Kadar protein pada fraksi (2)
dan (3) bervariasi 0.5 sampai 2 kali lipat daripada tepung itu sendiri. Oleh karena
itu pembagian ukuran partikel membuat jumlah protein dan pati dalam jumlah
berbeda, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan tepung dengan sifat
bervariasi dari satu tepung itu sendiri.
Distribusi ukuran partikel merupakan satu cara yang bisa mewakili sampel
bubuk atau bahan yang bersifat bulk dalam analisa ukuran partikel. Menurut
Barbosa-Carnovas dan Yan (2003) untuk bahan yang tidak satu ukuran, pada
19

umumnya digunakan dua metode. Pertama, histogram yang menunjukkan %tase


antara ukuran partikel tertentu berdasarkan beratnya, sedangkan kedua yaitu
menggunakan distribusi kumulatif. Metode penentuan ukuran partikel dan
distribusi ukuran partikel sangat luas digunakan dalam industri karena
kombinasinya mempengaruhi sifat fisik lain pada sistem powder seperti daya alir,
bulk density dan kemampatan. Karena tepung sereal pada umumnya mempunyai
ukuran partikel yang beragam, perlu mendeskripsikan distribusi ukuran partikel.
Distribusi ukuran parikel penting dalam analisa proses penanganan, pengolahan
dan fungsionalitas.

2.6.2 Densitas kamba


Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik penting pada tepung
sereal karena memainkan peran dalam penyimpanan, transportasi dan pemasaran
(Barbosa-Carnovas & Yan 2003). Densitas kamba adalah massa partikel satu per
unit volume tempat tertentu yang ditentukan dengan menimbang wadah dengan
volume yang diketahui yaitu dengan membagi berat bersih bubuk dengan volume
wadah. Karena bubuk dapat dimampatkan, densitas kamba juga dapat dinyatakan
sebagai sifat yang spesifik yaitu loose density (pada waktu dituang), packed
density (setelah vibrasi) atau compact density (sesudah dimampatkan).
Hubungan antara densitas kamba (ρb) dan densitas partikel (ρs) diekspresikan
sebagai:
ρb = (1-εp)(1- εb)ρs = (1-ε)ρs (Hoseney 1994)
dimana εp adalah porositas partikel, εb porositas bulk (rasio volume yang kosong
antar partikel pada volume total) dan ε adalah porositas, didefinisikan sebagai
rasio volume kosong (inter dan intra partikel) terhadap volume bubuk total.
Kebanyakan bubuk makanan bersifat kohesif yang berarti gaya antar
partikel bersifat atraktif karena berat partikel yang relatif tinggi. Karena bulk
density bubuk makanan tergantung kepada kombinasi faktor yang saling
tergantung yaitu intensitas gaya antar partikel yang atraktif, ukuran partikel dan
jumlah titik kontak maka perubahan dalam satu sifat bubuk dapat menghasilkan
perubahan yang nyata dalam bulk density bubuk, dimana besarnya tidak dapat
ditentukan.
20

2.6.3 Sifat alir


Sifat mengalir bubuk penting untuk mempelajari tingkah laku tepung
terutama selama proses penanganan dan pengolahan, misalnya pada proses
pencampuran, kompresi, pengemasan dan transportasi. Sifat alir bubuk harus
dipelajari sebagai faktor kualitas bahan mentah yang bisa digunakan untuk
mempertahankan keseragaman produk dan juga untuk menghindari kondisi yang
memungkinkan terjadinya gangguan proses. Salah satu indikator untuk melihat
kemampuan mengalir makanan berbentuk bubuk adalah berdasar sudut curahnya.
Sudut curah merupakan satu parameter curah dalam desain pengolahan
bubuk, penyimpanan dan sistem penyampaian. Sudut curah ini tergantung kepada
cara pembentukan bubuk (seperti pengaruh kecepatan) sehingga nilainya tidak
selalu dapat dibandingkan. Dalam bubuk yang kohesive, pengukuran sudut curah
kadang-kadang sulit karena bentuknya yang tidak beraturan. Sudut curah dapat
digunakan sebagai indikator kemampuan mengalir. Besarnya sudut curah 10
derajat menunjukkan bubuk bersifat aerated, 10 sampai 30 derajat mengalir
sangat baik, 30 sampai 45 derajat menunjukkan bubuk dapat mengalir bebas, 45
sampai 60 derajat hampir mengalir dan lebih dari 60 derajat kohesive dan tidak
mengalir (Barbosa-Canovas &Yan 2003).

2.7 Sifat fungsional adonan


Karakterisasi sifat fungsional adonan diperlukan untuk mendapatkan
informasi tentang potensi penggunaannya pada proses pengolahan komersial.
Menurut Sira (2000) karakterisasi sifat fungsional yang penting dapat dilihat
melalui profil gelatinisasinya. Profil tersebut didefinisikan dengan fenomena
sebagai berikut:
1. Gelatinisasi berarti pemecahan ikatan intermolekuler dengan meningkatnya
suhu, dan sisi yang mengikat H menyerap air lebih banyak sehingga
meningkatkan kekacauan struktur, menurunkan daerah kristalisasi dan
kehilangan birefringence. Pati dengan kadar amilosa tinggi sulit
tergelatinisasi lebih dari 100oC dan dapat membentuk film dan serat dengan
kelarutan lebih tinggi dan pengembangan pada kondisi alkali. Struktur yang
21

heliks dapat memerangkap asam lemak dan menghambat pengembangan


granula.
2. Pembentukan adonan merupakan fenomena yang mengikuti proses
gelatinisasi pada pati yang dilarutkan. Hal ini termasuk pengembangan
granula, keluarnya komponen molekuler dari granula dan pada akhirnya
kekacauan total pada granula.
3. Retrogradasi berhubungan dengan jumlah percabangan. Ikatan H antara
gugus OH pada amilosa dalam pati tergelatinisasi selama pendinginan
menghasilkan retrogradasi. Air keluar dari struktur gel dan pati menjadi tidak
larut. Pati dengan amilopektin tinggi tidak akan teretrogradasi saat
dibekukan.

2.7.1 Gelatinisasi dan sifat adonan


Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya
struktur granula dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa
bahan (terutama amilosa) mulai terpisah dari granula. Komponen-komponen yang
terpisah meningkat dengan meningkatnya berat molekul dan lebih meningkat lagi
dengan meningkatnya suhu (Prentice et al. 1992). Tetapi tidak semua amilosa
terpisah selama gelatinisasi (Ellies et al. 1988). Perubahan morfologis granula
pati selama pengembangan tergantung sifat alami pati. Kemampuan
pembengkakan granula biasanya dihitung sebagai daya pengembangan (berat
pengembangan granula yang tersedimentasi tiap gram pati kering) atau volume
pengembangan (volume granula yang mengembang tiap gram pati kering) pada
suhu tertentu (Konik et al. 2001). Sifat-sifat pengembangan pati tidak hanya
tergantung pada sifat patinya tetapi juga tergantung pada kadar amilosa.
Sifat-sifat adonan pati sangat penting untuk karakterisasi pati dan
aplikasinya. Informasi yang penting seperti suhu gelatinisasi, viskositas puncak
dan viskositas balik dapat ditentukan dengan Brabender amylograph (Chen 2003).
Sifat-sifat adonan ini sangat berguna sebagai indikator pada aplikasi pati.
Beberapa sifat yang didapatkan langsung dari kurva gelatinisasi seperti terlihat
pada Gambar 4 meliputi:
22

(i) Viskositas puncak (VP): viskositas maksimum yang dicapai selama proses
pemanasan
(ii) Viskositas panas (Vpa): viskositas yang dicapai pada suhu 95oC.
(iii) Viskositas panas 15 menit (Vpa15): viskositas yang dicapai pada suhu 95oC
setelah dipertahankan selama 15 menit
(iv) Viskositas dingin (VD): viskositas yang dicapai pada waktu pendinginan
mencapai suhu 50oC
Selain itu ada sifat-sifat lain yang diperoleh dengan cara menghitung dari sifat-
sifat di atas yaitu:
(i) Breakdown (BD) = VP – Vpa15
(ii) Setback (SB) = VD – VP
VD
(iii) Rasio viskositas dingin:viskositas panas 15 =
Vpa15

Selama penyimpanan adonan menjadi keruh dan biasanya menjadi


endapan yang tidak larut. Hal ini disebabkan oleh rekristalinisasi molekul pati,
pada awalnya amilosa membentuk rantai double helix yang diikuti pengumpulan
”helix-helix”. Fenomena ini disebut retrogradasi. Retrogradasi adalah proses
yang terjadi ketika molekul-molekul pati tergelatinisasi mulai bergabung kembali
membentuk suatu struktur tertentu, yang merupakan proses larutnya rantai linier
polisakarida dan mengurangi kelarutan molekul. Fenomena retrogradasi
merupakan hasil ikatan hidrogen antara molekul pati yang punya gugus hidroksil
dan sisi penerima hidrogen. Pada tahap awal, dua atau lebih rantai pati
membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian
secara teratur yang akhirnya membentuk daerah kristalin.
23

Gambar 4 Ilustrasi kurva sifat-sifat gelatinisasi (Sumber: Sowbhagya dan


Bhattacharya 2001)

Amilosa merupakan penyebab utama terjadinya retrogradasi dalam waktu


singkat karena molekul amilosa terdiri dari rantai yang paralel. Retrogradasi
dalam waktu lama ditunjukkan dengan rekristalisasi yang terjadi secara lambat
pada bagian luar amilopektin (Daniel & Weaver 2000). Amilopektin yang
terkristalisasi dalam gel yang teretrogradasi dapat meleleh pada suhu 55oC,
sementara amilosa yang terkristalisasi suhu pelelehannya mencapai 130oC (Zhang
& Jackson 1992).
Kecepatan dan jumlah retrogradasi meningkat dengan meningkatnya
jumlah amilosa. Pada pati yang alami, retrogradasi juga tergantung pada
konsentrasi pati, suhu penyimpanan, pH, suhu proses dan komposisi adonan.
Retrogradasi pada umumnya dipicu oleh konsentrasi pati yang tinggi, suhu
penyimpanan rendah dan pH antara 5 sampai 7. Garam-garam anion dan kation
monovalen dapat memicu retrogradasi pati (Chen 2003).
24

2.7.2 Sifat rheologi


Rheologi merupakan ilmu yang mempelajari deformasi dan aliran bahan.
Sifat rheologi bahan merupakan informasi penting tentang struktur dan sifatnya
selama pengolahan dan dalam penggunaan. Menurut Vergnes et al. (2003)
aplikasi pendekatan rheologi pada produk serealia pada umumnya mengalami
kesulitan karena:
1. Produk sereal mempunyai formulasi sangat kompleks dengan beberapa
komponen (pati, protein, air, gula, lipida) yang dapat berinteraksi dan mudah
membentuk struktur yang lain, pati terdiri dua makromolekul, amilosa yang
linier dan amilopektin bercabang. Hal ini mengakibatkan multifase, bahan
yang secara rheologi komplek.
2. Adonan dari produk sereal mempunyai sifat non-Newtonian tinggi, dengan
tingkat elastisitas tinggi dan sangat sensitif terhadap suhu, kadar air dan
komposisi lain (pati, adanya lipida)
3. Beberapa komponen meskipun dalam jumlah kecil seperti lipida dapat
menyebabkan slip pada dinding dan secara keseluruhan mengubah daya alir.
25

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di laboratorium Souteast Asian Food &
Agriculture Science & Technology (SEAFAST) Center IPB, dan Laboratorium
Departemen Ilmu & Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dari
bulan Mei 2006 sampai Desember 2008.

3.2 Bahan dan alat


Bahan utama penelitian ini adalah jagung putih varietas Lokal (Zea mays
L.) (Gambar 5) dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah di
Ungaran, hasil panen di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah. Bahan-bahan penunjang yang digunakan adalah aquadest, bahan kimia
untuk analisa seperti asam sulfat, natrium hidroksida, dan lain-lain.

Gambar 5 Jagung putih yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu seperangkat alat pembuatan


tepung meliputi pin disc mill dan ayakan 60, 100, 150 dan 200 mesh serta alat-
alat analisa meliputi brabender amilograph, tekstur analyzer, spektrofotometer,
dan lain lain.
26

3.3 Metode penelitian


Penelitian dilakukan dalam 3 tahap utama yaitu:
1. Karakterisasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung, meliputi tahap-tahap sebagai
berikut:
a. Pembuatan tepung jagung secara fermentasi spontan menggunakan
metode Aremu (1993) yang dimodifikasi dengan tahap-tahap sebagai
berikut: (i) penggilingan jagung pipilan menjadi grits jagung dengan
diameter ± 4 mm menggunakan pin disc mill, (ii) penampian
menggunakan tampah, (iii) penghilangan kotoran, perikarp dan bagian-
bagian yang mengapung di air setelah direndam selama 5 menit, (iv)
penirisan selama 30 menit sampai kadar air kurang lebih 40%, (v)
fermentasi spontan grits jagung dalam kontainer plastik tertutup pada
suhu 27oC dengan perbandingan aquadest:jagung 2:1 (6l:3kg) dalam
wadah plastik tertutup volume 16 l), (vi) penirisan selama 30 menit
sampai kadar air kurang lebih 40%, (vii) pengeringan menggunakan
kabinet pengering dengan suhu 50oC selama 3 jam, (viii) penggilingan
menggunakan pin disc mill, dan (ix) pengayakan 60 mesh. Cara
pembuatan tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 6. Pada tahap ini
fermentasi grits jagung dilakukan dengan waktu 0, 12, 24, 36, 48, 60 dan
72 jam.

b. Analisa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dihasilkan pada tahap 1a. Sifat tepung yang dianalisa meliputi: kadar air,
kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar pati, kadar gula
reduksi, kadar amilosa, kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan
minyak, loose density, packed density, sudut curah, derajat putih, suhu
gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas panas, viskositas panas selama
15 menit, viskositas dingin, kekuatan dan kelengketan gel. Analisa data
yang dihasilkan pada tahap 1b. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi untuk mengetahui hubungan keeratan masing-masing
variabel sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel.
27

Apabila ada variabel yang berkorelasi dengan tingkat signifikansi (p) ≤


0,01 dilakukan analisa regresi. Berdasarkan analisa regresi didapatkan
persamaan regresi yang menunjukkan kecenderungan data dan R2 yang
menunjukkan penyebaran data. Persamaan regresi dengan R2 tertinggi
akan diajukan sebagai sebagai model hubungan antar variable tersebut.
Model yang diperoleh merupakan model prediktif sederhana.
Jagung putih pipilan

Penggilingan kasar dan penampian (grits jagung Ø ± 4 mm)

Penghilangan bagian yang terapung setelah


perendaman dalam air selama 10 menit kulit

Penirisan selama 30 menit


sampai kadar air ± 40%

Fermentasi spontan pada wadah tertutup


(jagung:aquadest 3 kg: 6 l) suhu 27oC

Penirisan selama 30 menit


sampai kadar air ± 40%

Pengeringan (kabinet pengering, suhu


50oC, 3 jam)

Penggilingan

Pengayakan 60 mesh

Tepung jagung 60 mesh

Gambar 6 Pembuatan tepung jagung putih

2. Pembuatan tepung jagung 60 mesh dengan waktu fermentasi 15, 30, 45, 57.5
dan 70 jam jagung menggunakan metode seperti pada tahap 1a. Tepung
28

jagung putih yang dihasilkan dianalisa sifat fisik, kimia dan fungsional seperti
pada point 1b. Apabila pada tahap 1 diperoleh model prediktif dengan nilai
R2 yang memadai, maka akan dilakukan pengujian lebih lanjut; sebagai upaya
validasi kemampuan pendugaannya dibandingkan dengan hasil pengukuran
yang sesungguhnya, pada kisaran t yang sesuai. Persamaan akan ditetapkan
sebagai model prediktif apabila standar deviasi yang didapatkan pada tahap
ini kurang dari atau sama dengan 10 %. Alur penelitian pada tahap 1 dan 2
dapat dilihat pada Gambar 7.
3. Karakterisasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang
dipengaruhi ukuran partikel tepung dan waktu fermentasi grits jagung,
Tepung jagung 60 mesh dengan waktu fermentasi 0, 15, 30, 45, 57.5 dan 70
jam difraksinasi menggunakan ayakan bertingkat 100, 150 dan 200 mesh
sehingga didapatkan empat kelompok ukuran partikel tepung yaitu >150 –
250 µm, >106 – 150 µm, >75 – 106 µm dan ≤75 µm (Earle 1983). Tepung
jagung putih yang dihasilkan dianalisa sifat fisik, kimia tepung dan sifat
fungsional adonan seperti pada point 1b. Alur penelitian pada tahap 3 dapat
dilihat pada Gambar 8.
29

Gambar 7 Diagram alir jalannya penelitian tahap1 dan 2


30

Gambar 8 Diagram alir jalannya penelitian tahap 3


31

3.4 Prosedur analisa

Kadar air dianalisa dengan metode pengeringan (AOAC 1995).


Ditimbang kurang lebih 2 g sampel ke dalam cawan porselen yang telah
diketahui beratnya (a), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC
sampai berat konstan (b). Kadar air dihitung berdasarkan selisih berat cawan
sebelum dan sesudah pengeringan.

( a − b)
Kadar air = x100%
beratsampel

Kadar lemak dianalisa menggunakan Soxhlet (AOAC 1995).


Ditimbang sampel kurang lebih 3 gram dalam saringan timbel kemudian
ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak atau dibungkus kain saring.
Selanjutnya sampel tersebut diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet, kemudian
dipasang alat kondenser diatasnya dan labu lemak di bawahnya yang telah
diketahui beratnya (a). Dituangkan pelarut dietil eter atau petroleum eter ke
dalam labu lemak dan dilakukan refluks selama minimum 5 jam sampai pelarut
yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Distilasi pelarut dalam labu lemak,
kemudian pelarutnya ditampung. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil
ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai
berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu ditimbang beserta lemaknya (b)
sehingga berat lemak dapat dihitung.

b −1 10000
Kadar lemak (% bk) = x
beratsampel 100 − kadarair

Kadar protein dianalisa dengan metode Kjeldahl (AOAC 1995).


Sampel ditimbang sebanyak 200 mg dan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9±0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 3,8 ± 0,1
ml H2SO4. Setelah ditambahkan batu didih maka sampel dididihkan selama 1 –
1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Tabung beserta sampel didinginkan dengan
air dingin. Isi labu dan air bekas pembilasnya dipindahkan ke alat destilasi. Labu
erlenmeyer diisi 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan 4 tetes indicator, kemudian
32

diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam dalam larutan


H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat
destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam
erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan
HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan
perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya didapat jumlah volume (ml)
blanko.
Perhitungan :
mlHCl − mlblanko
Jumlah N (%) = x N HCl x 14,07 x 100
mgsampel
100
Kadar protein (% bk) = jumlah N x faktor konversi (6,25) x
(100 − kadarair )

Kadar serat kasar ditentukan dengan metode gravimetric (AOAC 1995).


Ditimbang sampel kurang lebih 1 g yang telah diekstrak lemaknya (a)
ditaruh dalam Erlenmeyer 600 ml dan ditambah 3 tetes zat anti buih. Selanjutnya
ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 0,255 N mendidih dan ditutup dengan
pendingin balik. Didiamkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-
goyangkan. Disaring suspensi melalui kertas saring. Residu yang tertinggal
dalam erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Residu dicuci dalam kertas saring
sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Kemudian dipindahkan residu dari
kertas saring ke dalam erlenmeyer secara kuantitatif. Sisanya dicuci lagi dengan
200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer.
Didihkan dengan pendingin balik sambil kadang-kadang digoyang-goyangkan
selama 30 menit. Disaring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya
(b) sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci sekali lagi dengan air
mendidih, kemudian dengan alcohol 95% kurang lebih 15 ml. Kertas saring
dikeringkan pada 110oC sampai berat konstan (1-2 jam), didinginkan dalam
desikator dan ditimbang (c).

c−b 10000
Kadar serat kasar (% bk) = x
kadarlemak 100 − kadarair
(ax )+a
100
33

Kadar abu dianalisa dengan metode pengabuan langsung (AOAC 1995).


Ditimbang kurang lebih 2 g sampel dalam cawan yang telah dikeringkan
dann diketahui beratnya (a), kemudian cawan tersebut diletakkan dalam tanur
pengabuan, dibakar sampai berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap. Cawan
didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (b).
b−a 10000
Kadar abu (% bk) = x
beratsampel 100 − kadarair

pH diukur dengan metode potentiometric (AOAC 1995).


Pengukuran pH dilakukan pada air perendam dan tepung jagung. Untuk
sampel yang berupa air, sampel tersebut langsung diukur pHnya, sedang untuk
sampel yang berupa tepung dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sampel
untuk dilakukan dengan menambahkan 20 ml aquades dalam 1 g tepung,
kemudian dikocok dengan stirer dan kemudian ditambah lagi dengan 50 ml
aquades dan dihomogenkan. Sampel dibiarkan selama 1 jam kemudian diukur pH
supernatan.

Kadar pati metode ekstraksi asam perklorat (Apriyantono et al. 1989).


Sebanyak 0,2 g tepung dimasukkan tabung sentrifuse kemudian
ditambahkan 2 tetes etanol 80 % untuk membasahkan sampel, kemudian
ditambahkan 5 ml air dan dicampur merata. Selanjutnya ditambahkan 25 ml
etanol 80 % (v/v) panas, dicampur merata dan dibiarkan selama 5 menit kemudian
disentrifuse. Supernatan didekantasi, supernatannya digunakan untuk analisa gula
setelah etanolnya diuapkan, sedang residunya untuk analisa pati, kemudian
diulang ekstraksi dengan 30 ml etanol 80% dan ditambahkan 5 ml air ke dalam
residu dan 6,5 ml asam perklorat 52% sambil diaduk diatas magnetic stirer selama
5 menit, didiamkan sebentar kemudian diaduk lagi selama 15 menit. Selanjutnya
ditambahkan 20 ml air dan disentrifuse kembali. Supernatan didekantasi,
kemudian dimasukkan labu takar 100 ml. Residu diekstrak seperti sebelumnya,
kemudian supernatan dimasukkan ke labu takar yang berisi hasil dekantasi
pertama. Volume supernatan ditepatkan sampai tanda, kemudian 5 ml filtrat
bagian atas dibuang dan selebihnya disaring. 1 ml filtrat atau hasil
34

pengencerannya dimasukkan tabung reaksi kemudian ditambah 5 ml pereaksi


Anthrone, dicampur merata. Tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air 100oC
selama 12 menit. Setelah didinginkan, dibaca absorbansi pada 630 nm. Hasilnya
diplot pada larutan glukosa standar.
100
Kadar pati (% bk) = % glukosa x 0.9 x
100 − kadarair

Dengan % = glukosa diperoleh dengan memasukkan nilai A 630 pada persamaan


standar
0.9 = faktor konversi

Kadar gula reduksi dianalisa dengan metode Nelson Somogyi (Apriyantono


et al. 1989).
Supernatan yang telah diuapkan etanolnya pada analisa pati diencerkan
sampai volume tertentu kemudian diambil 1 ml ke dalam tabung reaksi.
Kemudian ditambah 1 ml larutan Nelson dan dipanaskan pada 100oC selama 20
menit. Setelah itu didinginkan dan ditambah 1 ml Arsenomolybdat dan 7 ml
aquadest, selanjutnya dibaca absorbansi pada 540 nm. Hasilnya diplot pada
larutan glukosa standar.
absorbansi
Kadar gula reduksi =
beratsampelx(100 − kadarair )

Kadar amilosa dianalisa secara spektrofotometri (Juliano 1971)


Sampel sebanyak 100 mg dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL,
kemudian diberi 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dibiarkan
selama 23 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu
100˚C selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian
diencerkan dengan air suling menjadi 100 mL, dipipet sebanyak 5 mL,
dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL yang berisi 60 mL air, kemudian
ditambahkan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL I2 2% dan diencerkan sampai
volume 100 mL. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian
diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
Kadar amilosa dihitung dengan rumus :
35

A620 xfkx100 x100%


Kadar amilosa (% bk) =
100 − kadarair

1 1000 x 20 1
Dimana fk = x =
abs1 ppm 1000000 abs1 ppmx50
Keterangan :
A620 = absorban sampel
ka = kadar air
20 dan 1000 = faktor pengenceran
fk = faktor konversi

Derajat putih (Whiteness meter)


Derajat putih pati diukur dengan Photoelectric Tube Whiteness meter
electric laboratory C-100-3. Untuk mengukur derajat putih terlebih dahulu
dilakukan standarisasi dengan menggunakan Barium Sulfat yang dianggap
memiliki derajat putih 87 %. Setelah itu sampel-sampel dimasukkan dalam kotak
pengukur untuk mengukur derajat putihnya.

Densitas kamba
Analisa densitas kamba dilakukan menggunakan silinder plastik yang
telah diketahui volume (V) dan beratnya (W1). Bahan dimasukkan ke dalamnya
dengan hati-hati sampai penuh dan kemudian permukaan bubuk pada mulut
silinder diratakan dengan penggaris logam, lalu silinder dan isinya ditimbang
(W2). Selanjutnya bahan dipadatkan dan diisi sampel lagi sampai mampat
kemudian ditimbang (W3). Densitas kamba dihitung sebagai loose density dan
packed density menggunakan rumus:
Loose density (δ1 ) = W 2 − W1
V

Packed density (δ2 ) = W 3 − W1


V

Sifat alir (Donsi dan Ferrari 1990)


Sifat alir ditentukan berdasarkan nilai sudut curah yang ditentukan dengan
100 g tepung dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dituangkan dengan
cepat pada alas datar dan diukur sudut curah yang terbentuk menggunakan jangka
36

sorong dengan mengukur tinggi (t) dan diameter (d) alas curahan. Proyeksi
curahan dianggap membentuk sudut segitiga sama kaki

t
t tg α =
0,5d
d

Kapasitas penyerapan air dianalisa secara gravimetri (Kadan et al. 2003).


Tabung sentrifuse diisi 2 g sampel tepung jagung yang ditimbang berat
tabung dan sampel (a), kemudian ditambah 9 ml aquades dan divortex.
Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama
15 menit dan didekantasi, kemudian ditimbang beratnya (b)
b−a 10000
Kapasitas penyerapan air = x
a (100 − kadarair )

Kapasitas penyerapan minyak dianalisa secara gravimetri (Kadan et al.


2003).
Sebanyak 1 g sampel tepung jagung dimasukkan tabung sentrifuse dan
ditimbang beratnya (a), dicampur dengan 9 ml minyak kemudian divortex selama
1 menit dan ditempatkan dalam waterbath 50oC selama 15 menit. Kemudian
divortex lagi selama 1 menit dan dipanaskan pada waterbath 15 menit.
Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada 1650 x g, dilakukan
dekantasi minyak dann ditimbang beratnya (b).
b−a 10000
Kapasitas penyerapan minyak = x
a (100 − kadarair )

Sifat-sifat adonan dan gelatinisasi menggunakan Brabender amylograph


menurut metode AACC 22-12 (Hung & Morita 2004).
Tepung jagung putih didispersikan dalam 450 ml air terdistilasi dengan 10
% (berat kering) tepung. Kemudian suspensi dipanaskan dari 30 ke 95oC dengan
kecepatan 1,5oC/menit. Pada suhu 95oC adonan dipertahankan selama 15 menit,
kemudian didinginkan sampai 50oC. Viskositas puncak (VP), yaitu viskositas
tertinggi yang dicapai adonan selama proses pemanasan, viskositas panas (VPa)
37

yaitu viskositas yang dicapai pada 95oC, viskositas panas 15 menit (VPa15), yaitu
viskositas pada waktu suhu dipertahankan 97oC selama 15 menit, viskositas
adonan dingin (VD) yaitu viskositas yang dicapai pada suhu 50oC. Suhu
pembentukan adonan didefinisikan sebagai suhu pada waktu viskositas pertama
kali meningkat. Untuk mengetahui stabilitas adonan dihitung nilai breakdown
dan setback viscosity. Breakdown viscosity = VP - HV15, setback viscosity = VD
– VP.
Kekuatan dan kelengketan gel menggunakan texture analyzer.
Suspensi tepung hasil pengukuran amilografi dituangkan dalam wadah
sehingga gel memiliki diameter rata-rata 4,2 cm dan tinggi 5 cm. Pengukuran
kekuatan gel dilakukan menggunakan texture analyzer memakai probe
berdiameter 1 cm dan panjang 2,5 cm. Kecepatan probe 0,2 mm/s; beban 100
gram dan kedalaman 4 mm.

Distribusi ukuran partikel menggunakan metode pengayakan (Earle 1983).


Tepung jagung yang dihasilkan pada tahap pertama penelitian dilakukan
perhitungan distribusi ukuran partikel. 100 g sampel tepung jagung 60 mesh
diayak menggunakan ayakan bertingkat 80, 100, 120, 150, 170 dan 200 mesh.
Berat sampel yang tertahan pada masing-masing ayakan tersebut ditimbang
beratnya sehingga didapat 7 distribusi ukuran yaitu lolos 60 mesh dan tidak lolos
80 mesh (ukuran partikel >180-250 µm), lolos 80 mesh tidak lolos 100 mesh
(ukuran partikel >150-180 µm), lolos 100 mesh tidak lolos 120 mesh (ukuran
partikel >125-150 µm), lolos 120 mesh tidak lolos 150 mesh (ukuran partikel
>106-125 µm), lolos 150 mesh tidak lolos 170 mesh (ukuran partikel >90-106
µm), lolos 170 mesh tidak lolos 200 mesh (ukuran partikel >75-90 µm) dan lolos
200 mesh (ukuran partikel ≤75 µm).

3.5 Analisa data


38

Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap sifat fisik, kimia dan
fungsional tepung jagung.

Untuk mengetahui pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap sifat


fisik, kimia dan fungsional tepung jagung yang dihasilkan dilakukan uji
pembedaan dengan uji lanjut Duncan. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi untuk mengetahui hubungan keeratan masing-masing variabel
sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel. Variabel yang
berkorelasi dengan nilai koefisen korelasi (r) pada tingkat signifikansi ≤ 0,01
dianalisa regresi untuk mengetahui kecenderungan hubungan antar variabel
tersebut sehingga didapatkan persamaan regresi dan R2 (koefisien determinasi)
yang menunjukkan penyebaran data. Persamaan regresi dengan R2 tertinggi akan
diajukan sebagai sebagai model hubungan antar variable tersebut. Model yang
diperoleh merupakan model prediktif sederhana.Tahap validasi

Apabila pada tahap 1 diperoleh model prediktif dengan nilai R2 yang


memadai, maka akan dilakukan pengujian lebih lanjut; sebagai upaya validasi
kemampuan pendugaannya dibandingkan dengan hasil pengukuran yang
sesungguhnya, pada kisaran t yang sesuai. Persamaan akan ditetapkan sebagai
model prediktif apabila standar deviasi yang didapatkan pada tahap ini kurang
dari atau sama dengan 10 %.

Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel


tepung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung adonan jagung.
Untuk mengetahui pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung dilakukan uji pembedaan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap dengan uji lanjut Duncan. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel pada
masing-masing ukuran partikel. Variabel yang berkorelasi dengan nilai koefisen
korelasi (r) pada tingkat signifikansi ≤ 0,01 dianalisa regresi untuk mengetahui
kecenderungan hubungan antar variabel tersebut sehingga didapatkan persamaan
regresi dan R2.4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi kimia bahan baku


39

Berdasarkan kadar amilosanya, jagung putih yang digunakan pada


penelitian termasuk kelompok non waxy dengan kadar amilosa 28.49%. Seperti
halnya jenis jagung yang lain, komponen tertinggi jagung putih pipilan yang
digunakan adalah pati (74.3 % bk), protein (11.16% bk), serat kasar (7.36% bk)
dan lemak (4.64 % bk). Jagung pipilan (Gambar 9a) yang digunakan kemudian
digiling menjadi grits jagung menggunakan pin disc mill dengan diameter
saringan 4 mm sehingga grits jagung yang digunakan sebagai bahan pembuatan
tepung jagung mempunyai ukuran partikel ± 4 mm (Gambar 9b). Komposisi
kimia grits jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung jagung
tidak berbeda dengan jagung pipilan, hanya pada serat kasarnya mengalami
perbedaan. Pada jagung pipilan jumlah serat kasar sebesar 7.36%, sedangkan pada
grits jagung menjadi 4.09% seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Pada tahap
penggilingan, bagian-bagian seperti perikarp, pangkal dan aleuron hancur dan
kemudian dipisahkan melalui proses penampian sehingga kandungan serat kasar
grits jagung lebih rendah daripada kandungan serat kasar jagung pipilan.

(a) (b)

Gambar 9 Bahan baku yang digunakan (a) jagung putih pipilan (b) grits
jagung putih.

Tabel 5 Komposisi kimia jagung putih pipilan, grits jagung dan tepung jagung
Komponen Jagung pipilan Grits Tepung
Kadar air (%) 13.36 13.07 10.32
40

Lemak (% bk) 4.64 4.42 4.05


Protein (% bk) 11.16 11.12 10.02
Abu (% bk) 1.48 1.33 1.01
Serat kasar (% bk) 7.36 4.09 2.97
Pati (% bk) 74.3 75.17 77.04
Keterangan: bk = basis kering

4.2 Pengaruh waktu fermentasi spontan grits jagung terhadap sifat fisik,
kimia dan fungsional tepung jagung

4.2.1 Komposisi kimia tepung jagung


Kadar lemak, serat kasar, protein, dan abu tepung jagung yang dihasilkan
dengan variasi waktu fermentasi dapat dilihat pada Tabel 6. Secara umum,
jumlah komponen-komponen kimia tersebut mengalami penurunan dibandingkan
dengan grits jagung yang digunakan (Tabel 5 dan 6).

Tabel 6 Komposisi kimia tepung jagung putih yang dihasilkan dengan variasi
waktu fermentasi grits jagung
Waktu Komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan
fermentasi grits
jagung (jam) Kadar air Protein Lemak Abu Serat
(%) (% bk) (% bk) (% bk) kasar
(% bk)
10.02 1.01d±0.0 2.97b±0.7
0 10.32ab±0.18 c±0.14 4.05d±0.11 6 5
12 10.05ab±0.50 9.24b±0.14 3.78c±0.30 0.78c±0.01 1.28a±0.03
0.55b±0.0
b b c
24 11.66 ±0.54 9.18 ±0.12 3.81 ±0.13 2 1.32a±0.07
0.47ab±0.0
36 10.02a±0.83 8.89a±0.13 3.82c±0.21 6 1.12a±0.03
0.49ab±0.0
48 10.80ab±0.10 8.74a±0.34 3.72bc±0.13 8 1.25a±0.02
0.53b±0.0
60 11.42ab±0.95 8.73a±0.14 3.44a±0.24 4 1.01a±0.16
72 11.32ab±1.63 8.78a±0.14 3.46ab±0.14 0.40a±0.07 1.10a±0.04
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Kadar serat kasar tepung jagung tanpa fermentasi (2.97 %) lebih rendah
daripada kadar serat grits jagung putih yang digunakan (4.09 %). Hal ini
41

disebabkan sebagian besar serat kasar pada jagung terdapat pada bagian perikarp.
Bagian perikarp akan menghasilkan tepung jagung dengan tekstur kasar sehingga
dihilangkan pada proses pembuatan tepung jagung. Hal ini mengakibatkan kadar
serat kasar tepung jagung yang dihasilkan lebih kecil daripada kadar serat kasar
grits jagung.
Fermentasi grits jagung selama 12 jam menurunkan kadar serat kasar
tepung jagung yang dihasilkan (Tabel 6). Serat pada jagung mengalami
penurunan pada 12 jam pertama fermentasi (1.28%), apabila dibandingkan kadar
serat kasar tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (2.97%). Serat merupakan
bagian yang tidak terpisahkan pada struktur alami tanaman yang terdiri dari
beberapa komponen seperti lignin, selulosa, hemiselulosa, substansi pektik, gum,
waxes, dan oligosakarida yang tidak tercerna. Hemiselulosa dan substansi pektik
yang mampu mengikat air dan mengembang disebut serat larut. Sebagian
hemiselulosa, selulosa dan lignin, yang sedikit mengikat air disebut serat tidak
larut atau serat kasar (Kalac dan Míka, 1997). Menurut Burge dan Duensing
(1989) serat jagung terdiri dari 67% hemiselulosa, 23% selulosa dan 0.1 % lignin.
Penurunan kadar serat kasar kemungkinan disebabkan aktivitas mikroorganisme
yang mengubah serat kasar atau serat tidak larut menjadi serat larut. Fermentasi
lanjutan sampai 72 jam relatif tidak mengubah kadar serat kasar (1.1%).
Menurunnya kadar serat tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi
juga seperti yang terjadi pada pembuatan tepung ubi kayu menggunakan proses
fermentasi (Subagio 2006).
Fermentasi grits jagung sampai 36 jam menurunkan kadar protein tepung
jagung yang dihasilkan (8.89 %) apabila dibandingkan kadar protein tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (10.02 %). Penambahan waktu fermentasi
cenderung tidak mengubah kadar proteinnya. Penurunan kadar protein selama
fermentasi grits jagung seperti yang terjadi pada pembuatan ogi. Menurut Nago
et al. (1998) kadar protein ogi yang berasal dari Benin 9% lebih rendah daripada
jagung yang digunakan, sedangkan pada ogi yang berasal dari Gnonli terjadi
kehilangan protein sebesar 38%. Menurut Hounhouigan et al. (1993c) terjadi
penurunan kadar protein sebesar 38% pada pembuatan mawe. Menurunnya kadar
protein disebabkan adanya aktivitas enzim yang bersifat proteolitik.. Menurut
42

Okenhen dan Ikenebomeh (2007) pada ogi terdapat aktivitas enzim proteinase
sebesar 4.8 mg/ml.
Protein pada kernel jagung terdiri dari albumin (8 %), globulin (9 %),
zein atau prolamin (39%) dan glutelin (40%); sedangkan protein pada endosperm
terdiri dari zein (47%), glutelin (39%), albumin (4%) dan globulin (4%) (Laszrity
1986). Perendaman mengakibatkan masuknya air ke dalam grits jagung,
memperlunak kernel dan terjadinya bagian terlarut dari lembaga sehingga protein
albumin yang bersifat larut air mengalami leaching dan terbuang dalam air
perendam yang berakibat menurunnya kadar protein tepung jagung yang
dihasilkan.
Penurunan kadar protein berhubungan juga dengan pHnya. Pada saat
fermentasi 12 sampai 36 jam, pH air perendam jagung berada di luar titik
isoelektrik (Tabel 7) dan beberapa protein mempunyai kelarutan tinggi sehingga
protein terlarut dalam air perendam. Hal ini mengakibatkan penurunan kadar
protein hanya terjadi pada waktu fermentasi 12 sampai 36 jam (Tabel 6). Setelah
48 jam fermentasi, air perendam jagung berada pada titik isoelektrik yaitu pada pH
4.5 – 4.8 (Tabel 7) sehingga kelarutan protein jagung selama proses fermentasi
minimal dan kadar protein tepung jagung yang dihasilkan relatif konstan.

Tabel 7 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH air perendam


Waktu fermentasi (jam) pH
0 6.67e±0.24
12 6.07d±0.54
24 5.63c±0.27
36 5.13c±0.42
48 4.83b±0.33
60 4.60a±0.38
72 4.62a±0.29
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Fermentasi grits jagung sampai 36 jam menurunkan kadar protein tepung


jagung yang dihasilkan (Gambar 10). Berdasarkan hasil tersebut maka kadar
43

protein tepung jagung yang dihasilkan dengan fermentasi grits jagung sampai 36
jam dapat ditentukan menggunakan rumus regresi linier dengan persamaan:
Pr = -0.029t + 9.855 (R2 = 0.7848) (1)
dengan Pr adalah kadar protein tepung jagung dalam % basis kering, t adalah
waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.

12

10
protein (% bk)

6 Pr = -0.029t + 9.855
R2 = 0.7848
4

0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 10 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar protein tepung
jagung.

Fermentasi grits jagung menurunkan kadar abu tepung jagung yang


dihasilkan. Menurunnya kadar abu selama fermentasi disebabkan lepasnya
mineral pada waktu perendaman, yaitu terjadi leaching sebagian mineral pada air
perendam. Sahlin (1999) menyatakan bahwa kadar abu tidak dipengaruhi oleh
fermentasi kecuali jika pada proses fermentasi tersebut ditambahkan beberapa
garam atau terjadi leaching saat bagian yang cair dipisahkan dari makanan yang
difermentasi. Jagung mempunyai mineral-mineral natrium, kalium, fluor, iodine
yang mempunyai tingkat kelarutan tinggi dalam air dan afinitas rendah sehingga
banyak terdapat sebagai ion bebas (Watson 1987). Ion-ion inilah yang mengalami
leaching dalam air perendam sehingga kadar mineral tepung mengalami
penurunan selama fermentasi sampai 36 jam (0.47 %), dibandingkan tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (1.01 %). Fermentasi lanjutan selama 48
sampai 72 jam cenderung tidak mengubah kadar abu. Penurunan kadar abu
44

selama fermentasi jagung juga ditemukan pada pembuatan ogi dari kadar abu
pada jagung sebesar 1.35 – 1.38 menjadi 0.4 – 0.6 pada ogi (Nago et al. 1998).
Selain sebagai ion bebas, mineral pada jagung juga terdapat dalam bentuk
kompleks. Menurut Watson (1987) komponen anorganik yang paling banyak
terdapat pada jagung adalah fosfor, yang sebagian berada sebagai garam kalium-
magnesium asam fitat yang merupakan bentuk ester dari heksafosfat inositol.
Fitin adalah bentuk penyimpanan penting dari fosfor, yang dipecah oleh enzim
fitase pada proses fermentasi. Mineral yang berada dalam bentuk kompleks inilah
yang tidak mengalami leaching dalam air perendam sehingga fermentasi grits
jagung setelah 36 jam tidak mengubah kadar mineralnya.
Larutnya sebagian mineral mengakibatkan meningkatnya konduktivitas
atau daya hantar listrik pada air perendam. Berkebalikan dengan kadar mineral,
daya hantar listrik pada air perendam naik selama fermentasi sampai 36 jam,
kemudian cenderung tetap seperti terlihat pada Gambar 11.

1000

800
konduktivitas (mhos)

600

400

200

0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 11 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap konduktivitas air


perendam.

Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai kadar lemak 4.05
%. Kadar lemak mengalami penurunan selama 12 jam fermentasi menjadi 3.78
%. Fermentasi lanjutan sampai 48 jam cenderung tidak mengubah kadar lemak
tepung (3.72 %), selanjutnya setelah fermentasi selama 60 jam kadar lemak
45

menurun (3.4 %). Penurunan kadar lemak juga terjadi pada pembuatan ogi
sehingga kadar lemak bahan yang semula 3.9 – 4.4 turun menjadi 3 – 3.5 (Nago et
al. 1998, Hounhouigan et al. 1993c). Penurunan kadar lemak disebabkan
aktivitas mikroorganisme yang bersifat lipolitik. Ohenhen dan Ikenebomeh
(2007) menyatakan adanya aktivitas enzim lipase sebesar 1.8 mg/ml pada ogi.
Fermentasi jagung sampai 36 jam menurunkan kadar pati, gula reduksi
dan pH tepung jagung yang dihasilkan seperti terlihat pada Tabel 8. Penurunan
pH terjadi karena aktivitas bakteri asam laktat selama perendaman. Asam laktat
merupakan asam non volatil yang umum terdapat selama fermentasi sereal dan
umbi-umbian yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum. Johansson et al.
(1995) menemukan adanya galur Lactobacillus plantarum yang bersifat amilolitik
sejumlah 14 persen dari total bakteri asam laktat yang diisolasi dari ogi,
sedangkan Hounhouigan et al. (1993a) menemukan Lactobacillus fermentum
yang bersifat amilolitik dari mawe. Keberadaan bakteri asam laktat yang bersifat
amilolitik selama pengolahan jagung meningkatkan kecepatan asidifikasi
sehingga menurunkan pH (Johansson et al. 1995).
Selain asam laktat juga dihasilkan sejumlah besar asam asetat dan
karbondioksida dari heksosa melalui jalur heksosa monofosfat. Adanya
gelembung pada permukaan slurry selama proses perendaman menunjukkan
produksi karbondioksida (Onyango et al. 2003). Asam laktat dan asam asetat
menurunkan pH media sementara karbondioksida mengeluarkan udara dari slurry
selama fermentasi. Fermentasi grits jagung selama 36 jam menurunkan pH
tepung jagung yang dihasilkan dari 5.67 menjadi 4.4, kemudian setelah 48 jam
naik menjadi 4.6 (Tabel 8). Penurunan pH pada proses fermentasi jagung ini
sesuai dengan penelitian Aremu (1993) bahwa perendaman jagung selama 48 jam
mengakibatkan penurunan pH menjadi 4.5, sedangkan menurut Sefa Dedeh
(2001), fermentasi adonan jagung selama 24 jam menurunkan pH dari 6.3 menjadi
4.0. Sedangkan Nago et al. (1998) menyatakan bahwa pembuatan ogi dengan
fermentasi selama 48 jam mengubah pH menjadi 3.3 sampai 3.7.
Apabila digambarkan pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap
pH tepung jagung akan menunjukkan grafik yang bersifat kuadratik seperti
46

terlihat pada Gambar 12. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan
pH tepung jagung dapat dinyatakan dengan persamaan:
Ph = 0.0005t2 - 0.0493t + 5.7861 (R2 = 0.7855) (2)
dengan Ph adalah pH tepung jagung, t adalah waktu fermentasi grits jagung dan
R2 adalah koefisien determinasi.

Tabel 8 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar pati, gula reduksi
dan pH tepung jagung yang dihasilkan
Waktu fermentasi Kadar pati Kadar gula reduksi pH
(jam) (% bk) (% bk)
c
0 77.04 ±0.44 2.70d±0.08 5.67e±0.04
12 76.13bc±0.56 2.21c±0.34 5.47d±0.04
ab b
24 74.01 ±1.38 1.55 ±0.11 4.93c±0.07
36 74.1ab±1.36 1.16a±0.04 4.4a±0.02
a a
48 72.05 ±1.57 1.10 ±0.13 4.6b±0.13
60 72.26a±1.93 1.50b±0.21 4.88c±0.08
a b
72 71.49 ±2.48 1.66 ±0.13 4.7b±0.09
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

7
6
5

4
pH

3 Ph = 0.0005t2 - 0.0493t + 5.7861


2 R2 = 0.7855

1
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 12 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH tepung jagung.

Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai kadar gula


reduksi 2.7 %, dan fermentasi selama 36 jam menurunkan kadar gula reduksi
menjadi 1.16 %. Penurunan kadar gula reduksi disebabkan penggunaan gula
sebagai substrat oleh bakteri asam laktat. Fermentasi lanjutan sampai 72 jam
meningkatkan kadar gula reduksi menjadi 1.66 % yang merupakan akibat dari
47

pemecahan pati menjadi gula reduksi oleh bakteri asam laktat yang bersifat
amilolitik. Bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik berhasil diisolasi dari ogi
yaitu Lactobacillus plantarum (Johansson et al. 1995) dan dari mawe yaitu
Lactobacillus fermentum (Hounhouigan et al. 1993a). Menurut Johansson et al.
(1995) keberadaan bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik selama pengolahan
jagung meningkatkan ketersediaan sumber energi seperti glukosa atau maltosa
dari pati atau bakteri asam laktat lain. Adanya pemecahan pati menjadi gula
reduksi mengakibatkan penurunan kadar pati tepung jagung yang dihasilkan dari
77.04 % pada tepung jagung non fermentasi menjadi 71.49 % pada tepung jagung
yang dihasilkan dari proses fermentasi selama 72 jam (Tabel 8). Menurut Sefa-
Dedeh (2001) pengaruh fermentasi terhadap konsentrasi gula bervariasi.Selama
24 jam fermentasi, konsentrasi fruktosa, glukosa dan galaktosa menurun,
sedangkan xilosa dan maltosa meningkat. Pengaruh waktu fermentasi grits
jagung terhadap kadar gula reduksi tepung jagung dapat digambarkan sebagai
grafik kuadratik seperti terlihat pada Gambar 13. Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung terhadap kadar gula reduksi dapat dinyatakan dalam
persamaan:
Gr = 0.0006t2 - 0.06t + 2.71 (R2 = 0.7676) (3)
dimana Gr adalah kadar gula reduksi tepung jagung dalam % basis kering, t
adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien
determinasi.

3.0

2.5
gula reduksi(%)

2.0

1.5

1.0

0.5 Gr = 0.0006t2 - 0.06t + 2.71


R 2 = 0.7676
0.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)
48

Gambar 13 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar gula reduksi
tepung jagung.

Fermentasi jagung selama 72 jam menurunkan kadar amilosa tepung


jagung yang dihasilkan menjadi 26.81% dari kadar amilosa semula 28.39%. Pada
proses fermentasi terjadi aktivitas mikroorganisme yang bersifat amilolitik (raw
starch digesting amylase). Beberapa mikroorganisme yang bersifat amilolitik
pada proses fermentasi jagung adalah Lactobacillus plantarum (Johansson et al.
1995), Lactobacillus fermentum (Hounhouigan et al. 1993a).

Tabel 9 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar amilosa tepung
jagung
Waktu fermentasi jagung Kadar amilosa tepung jagung
0 28.39c±0.71
12 27.95c±0.67
24 27.83c±2.35
36 27.03ab±0.61
48 27.45bc±1.04
60 26.42a±1.70
72 26.81ab±0.54
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

4.2.2 Distribusi ukuran partikel tepung jagung


Fermentasi grits jagung sampai 36 jam mengakibatkan tepung jagung
mempunyai distribusi ukuran partikel hampir sama seperti terlihat pada Gambar
14. Pada tepung jagung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi 48 jam,
jumlah partikel berukuran paling halus (kurang dari 75 µm) meningkat dan
distribusi partikelnya paling banyak dibanding partikel berukuran lainnya.
Perendaman butiran jagung pada proses fermentasi mengubah bagian yang keras
pada endosperm (horny endosperm) menjadi banyak bagian yang lunak (fluory
endosperm) dan menjadi lebih mudah digiling. Fermentasi melunakkan struktur
jagung sehingga proses penggilingan menjadi lebih mudah sehingga semakin
lama proses fermentasi, tepung jagung lebih banyak terdistribusi pada ukuran
partikel yang kecil.
49

35

0 jam 12 jam 24 jam 36 jam


30 48 jam 60 jam 72 jam

25

distribusi (%)
20

15

10

≤75 µm
>180-250 µm

>150-180 µm

>125-150 µm

>106-125 µm

>90-106 µm

>75-90 µm
ukuran partikel (µm)

Gambar 14 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap distribusi ukuran


partikel tepung jagung.

4.2.3 Densitas kamba tepung jagung


Loose density dan packed density tepung jagung menurun dengan semakin
meningkatnya waktu fermentasi grits jagung seperti terlihat pada Tabel 10. Hasil
ini mirip dengan pembuatan tepung sorghum secara fermentasi yang menurunkan
densitas tepung sebesar 10 % (Elkhalifa et al. 2005). Semakin rendah kadar
protein, lemak, serat kasar dan abu, semakin rendah loose dan packed density
tepung jagung.
Lebih tinggi kadar protein dan pati, lebih tinggi loose dan packed density
tepung jagung. Hal ini sesuai dengan penelitian Pereira et al. (2008), bahwa
jagung dengan kadar protein tinggi mempunyai densitas lebih tinggi. Endosperm
biji jagung terdiri dari dua komponen utama yaitu granula pati dan protein, dan
struktur fisik endosperm tergantung pada interaksi antar dua komponen tersebut.
Menurut Abdelrahman dan Hoseney (1984), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi variasi struktur biji jagung, diantaranya ketebalan matriks protein
yang kontak dengan granula pati dan kekuatan adhesi antara matriks protein dan
50

granula pati. Semakin tinggi ketebalan matriks protein yang kontak dengan
granula pati, semakin tinggi densitas.

Tabel 10 Loose dan packed density tepung jagung yang dihasilkan dengan
variasi waktu fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi grits jagung Loose density Packed density
(jam)
(g/ml) (g/ml)
0 0.504d±0.019 0.72e±0.003
c
12 0.478 ±0.004 0.693d±0.006
24 0.469bc±0.002 0.689cd±0.001
ab
36 0.462 ±0.001 0.685c±0.007
48 0.46ab±0.002 0.664b±0.003
a
60 0.45 ±0.009 0.659b±0.002
72 0.447a±0.007 0.651a±0.002
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Pengaruh kadar protein terhadap densitas kamba tepung jagung juga


terjadi karena strukturnya. Menurut Damodaran (1996), fraksi serta distribusi
residu hidrofobik dan hidrofilik pada struktur primer protein mempengaruhi
beberapa sifat fisikokimia protein. Zein merupakan protein penyimpanan terbesar
pada endosperm jagung dengan komposisi asam amino utama adalah asam
glutamat (21.4 %), leusin (18.7 %), alanin (13.3 %) dan prolin (10.7 %) yang
merupakan protein hidrofobik (Wilson 1987). Berdasarkan pada konstanta
sedimentasi dan difusi, molekul zein mempunyai bentuk globula panjang (rasio
axial sekitar 15:1) (Laszity 1986). Hal ini juga sesuai pernyataan Damodaran
(1996) bahwa apabila sebuah protein sebagian besar terdiri dari asam amino
hidrofobik, maka diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga
meminimalkan rasio area permukaan:volume yang memungkinkan lebih banyak
residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein. Rasio area permukaan
dibanding volume yang kecil pada protein jagung mengakibatkan tepung jagung
mempunyai densitas kamba besar sehingga protein paling berpengaruh terhadap
densitas kamba tepung jagung. Kadar protein mempunyai pengaruh tinggi
terhadap densitas kamba tepung jagung yang dapat dilihat dari nilai koefisien
51

korelasi, yaitu pada loose density (r = 0.84, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
0.932, p ≤ 0.01).
Semakin tinggi kadar protein, semakin tinggi packed density tepung
jagung seperti terlihat pada Gambar 15. Apabila hubungan antara kadar protein
dan packed density digambarkan dalam suatu grafik maka terbentuk garis regresi
linier dengan persamaan:
Dp = 0.0375Pr + 0.3442 (R2=0.8673) (4)
dengan Dp adalah packed density tepung jagung dalam g/ml, Pr adalah kadar
protein tepung jagung dalam % basis kering dan R2 adalah koefisien determinasi.
Apabila persamaan (4) disubstitusi dengan persamaan (1) akan didapatkan
persamaan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan packed density
tepung jagung yaitu:
Dp = -0.0011t + 0.714 (5)
dengan Dp adalah packed density tepung jagung dalam g/ml dan t adalah waktu
fermentasi grits jagung dalam jam.

0.80
packed density (g/ml)

0.75

0.70

0.65 Dp = 0.0375Pr + 0.3442


R 2 = 0.8673

0.60
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5
protein (% bk)

Gambar 15 Pengaruh kadar protein terhadap packed density tepung jagung.

Semakin besar kadar serat kasar, semakin tinggi loose dan packed density
tepung jagung. Serat kasar pada jagung terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Lignin dan hemiselulosa mempunyai kemampuan yang tinggi untuk
menyerap air. Hidrasi serat menyebabkan terbentuknya matriks gel dan
meningkatkan densitas kamba bahan. Adanya hubungan antara serat kasar dengan
52

loose dan packed density sesuai pendapat Rasper (1982) bahwa selulosa,
hemiselulosa dan lignin berperan terhadap densitas sereal. Hal ini mengakibatkan
adanya korelasi antara kadar serat kasar dengan loose density (r = 0.894, p ≤ 0.01)
dan packed density (r = 0.758, p ≤ 0.01). Semakin tinggi kadar serat kasar,
semakin tinggi loose density tepung jagung seperti terlihat pada Gambar 16.
Hubungan antara loose density dengan kadar serat kasar dapat dinyatakan dalam
persamaan:
Dl = 0.026s + 0.43 (R2 = 0.7997) (6)
dengan Dl adalah loose density tepung jagung dalam g/ml, s adalah kadar serat
kasar dalam % basis kering.

0.60
loose density (g/ml)

0.55 Dl = 0.026s + 0.43


R2 = 0.7997

0.50

0.45

0.40
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0
serat kasar (% bk)

Gambar 16 Pengaruh kadar serat kasar terhadap loose density tepung jagung.

Semakin tinggi kadar abu, semakin tinggi loose dan packed density tepung
jagung. Mineral-mineral dalam jagung yaitu natrium, kalium, fluor, dan iodine
banyak terdapat sebagai ion bebas. Menurut Nabrzyski (1997) gugus anionik
mempunyai daya tarik menarik yang kuat yang akan mempengaruhi densitasnya.
Lebih kuat interaksi dengan gugus anionik maka lebih tinggi densitas kamba
tepung jagung. Kadar abu berkorelasi dengan loose density (r = 0.842, p ≤ 0.01)
dan packed density (r = 0.758, p ≤ 0.01).
Semakin tinggi kadar lemak, semakin tinggi loose dan packed density
tepung jagung. Pengaruh lemak terhadap densitas kamba hampir sama dengan
53

protein, yaitu berkaitan dengan hidrofobisitasnya. Lemak yang bersifat hidrofobik


diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga meminimalkan
rasio area permukaan:volume. Rasio area permukaan dibanding volume yang
kecil pada lemak jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas
kamba besar. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kadar lemak dengan
loose density (r = 0.651, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.804, p ≤ 0.01).
Semakin lama waktu fermentasi jagung, semakin rendah densitas kamba
tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini senada dengan Elkhalifa et al. (2005)
bahwa perendaman sorghum selama 24 jam dalam pembuatan tepung sorghum
akan menurunkan densitas tepung sorghum yang dihasilkan sebesar 10%,
sedangkan Onofiok dan Nnanyelugo (1998) menyatakan bahwa fermentasi dapat
menurunkan densitas kamba yang tinggi pada makanan sapihan di Afrika.
Fermentasi telah dilaporkan sebagai suatu metode tradisional dan berguna untuk
preparasi makanan sapihan dengan densitas rendah. Adanya hubungan antara
waktu fermentasi grits jagung dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya yaitu
loose density (r = -0.877, p ≤ 0.01) dan packed density (r = -0.959, p ≤ 0.01).
Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan packed density dan loose
density tepung jagung menghasilkan persamaan regresi linier sebagai berikut:
Dp = -0.0009t + 0.712 (R2 =
0.9188) (7)
Dl = -0.0007t + 0.493
2
(R = 0.7691) (8)
dengan Dp dan Dl adalah packed density dan loose density tepung jagung
dalam g/ml, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah
koefisien determinasi.
Berdasarkan korelasi antara faktor-faktor yang berpengaruh, didapatkan
persamaan 5 dan 7 yang dapat digunakan untuk memprediksi packed density
tepung jagung berdasarkan waktu fermentasi grits jagung. Persamaan 5 dan 7
mempunyai slope dan intersept yang hampir sama sehingga apabila diaplikasikan
akan mendapatkan nilai yang tidak berbeda jauh. Berdasarkan pertimbangan
bahwa persamaan 7 mempunyai koefisien determinasi lebih besar dan packed
density tidak hanya dipengaruhi kadar protein tetapi juga komponen kimia lain
54

seperti pati, serat kasar dan lemak maka persamaan 7 dipilih sebagai model
prediktif untuk dibuktikan pada tahap validasi.
0.80
Dp = -0.0009t + 0.712
R 2 = 0.9188
0.70

densitas kamba (g/ml)


0.60
Dl = -0.0007t + 0.493
R 2 = 0.7691
0.50

0.40
loose density pack ed density
0.30
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 17 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap loose


density dan packed density tepung jagung.

Persamaan 6 dan 8 dapat digunakan untuk memprediksi loose density


tepung jagung. Persamaan 6 digunakan untuk memprediksi loose density tepung
jagung berdasar kadar serat kasar, sedangkan persamaan 8 berdasarkan waktu
fermentasi grits jagung. Persamaan 6 mempunyai koefisien determinasi lebih
tinggi, tetapi serat kasar sulit dikendalikan pada pembuatan tepung jagung secara
fermentasi maka persamaan 8 dipilih sebagai model prediktif loose density tepung
jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung.

4.2.4 Sudut curah tepung jagung


Sudut curah dapat digunakan sebagai indikator kemampuan mengalir.
Fermentasi jagung meningkatkan sudut curah tepung jagung yang dihasilkan atau
menurunkan daya alir tepung seperti dapat dilihat pada Tabel 11. Fermentasi
grits jagung sampai 24 jam meningkatkan sudut curahnya, dan waktu fermentasi
setelah itu cenderung tidak mengubah sudut curah (Tabel 11). Peningkatan sudut
curah berkorelasi dengan penurunan kadar protein, kadar serat kasar, kadar pati,
loose density dan packed density. Dengan demikian semakin tinggi kadar
protein, serat kasar dan pati, semakin tinggi kemampuan bahan mengalir.
55

Tabel 11 Sudut curah tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi


waktu fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi jagung (jam) Sudut curah (o)
0 41.9a±0.1
12 44.4b±1.3
24 47.2cd±0.7
36 48.4d±0.4
48 46.2c±0.9
60 48.3d±1.1
72 48.2d±0.5
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Semakin rendah kadar serat kasar dan protein, semakin tinggi sudut curah
tepung jagung. Kemampuan bahan untuk mengalir dipengaruhi tekstur. Salah
satu komponen serat adalah selulosa yang berperan besar terhadap tekstur
makanan nabati. Fungsi utama selulosa dalam dinding sel dikombinasikan
dengan hemiselulosa, protein, pektin dan lignin memberikan kesatuan struktur
(Aguilera dan Stanley 1999). Dinding sel digambarkan sebagai mikrofibril
selulosa yang melekat pada bagian amorf terutama terdiri dari substansi pektik
dan hemiselulosa. Selulosa berperan memberi struktur yang kuat sehingga
memudahkan bahan mengalir, sebagai akibatnya fermentasi yang mengakibatkan
penurunan kadar serat akan meningkatkan sudut curah atau dengan kata lain akan
menurunkan daya alir tepung jagung. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi
antara sudut curah tepung jagung dengan kadar serat kasar (r = -0.785, p ≤ 0.01)
dan kadar protein (r = -0.73, p ≤ 0.01).
Semakin tinggi densitas kamba, semakin kecil luas permukaan sehingga
bahan lebih mudah mengalir dan sudut curah menurun. Luas permukaan
menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan kohesi sehingga
rasio luas permukaan terhadap volume merupakan indikasi yang baik bagi daya
alir pada sistem bubuk. Lebih tinggi rasio luas permukaan terhadap volume,
56

partikel cenderung lengket dengan partikel yang lain dan mengurangi


kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi sehingga
mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini mengakibatkan adanya
korelasi antara sudut curah tepung jagung dengan loose density (r = -0.853, p ≤
0.01). Semakin besar loose density, semakin kecil sudut curah seperti terlihat
pada Gambar 18. Apabila digambarkan hubungan antara loose density dengan
sudut curah tepung jagung akan menghasilkan persamaan:
Sr = -102.66Dl + 94.32 (R2 = 0.7286) (9)
Apabila persamaan 9 disubstitusi dengan persamaan 8 maka akan didapatkan
hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan sudut curah tepung jagung
dalam persamaan sebagai berikut:
Sr = -0.072t + 43.71 (10)
dimana Sr adalah sudut curah tepung jagung dalam derajat dan t adalah waktu
fermentasi grits jagung dalam jam.

55
sudut curah (o )

50

45

Sr = -102.7Dl + 94.3
40 R 2 = 0.7286

35
0.30 0.40 0.50 0.60
loose density (g/ml)

Gambar 18 Pengaruh loose density terhadap sudut curah tepung jagung.

4.2.5 Derajat putih tepung jagung


Fermentasi meningkatkan derajat putih tepung jagung seperti terlihat pada
Tabel 12 dan Gambar 19. Fermentasi grits jagung selama 48 jam meningkatkan
derajat putih tepung jagung (70.5 %) dibandingkan tepung jagung yang dibuat
tanpa fermentasi (62.8 %). Fermentasi lanjutan sampai 72 jam cenderung tidak
mengubah derajat putih tepung jagung yang dihasilkan (Tabel 12).
57

Semakin tinggi kadar protein dan gula reduksi, derajat putih tepung
semakin rendah. Hal ini disebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis antara
protein dan gula reduksi yang mengakibatkan warna coklat sehingga menurunkan
derajat putih tepung jagung.
Tabel 12 Derajat putih tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi Derajat putih (%)
0 62.8a±0.5
12 64.0a±1.8
24 66.7b±0.9
36 68.1b±2.1
48 70.5c±0.9
60 71.1c±0.6
72 71.5c±1.0
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

(a) (b) (c)


Gambar 19 Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama (a) 0
jam, (b) 36 jam, (c) 60 jam.

Semakin rendah pH, kemungkinan terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis


semakin rendah sehingga derajat putih tepung yang dihasilkan semakin tinggi.
Reaksi pencoklatan non enzimatis ini mengakibatkan adanya korelasi antara
derajat putih tepung jagung dengan kadar gula reduksi (r = -0.696, p ≤ 0.01),
kadar protein (r = -0.875, p ≤ 0.01) dan pH (r = -0.729, p ≤ 0.01). Kadar protein
mempunyai korelasi yang lebih kuat dengan derajat putih tepung jagung, dan
58

hubungannya dapat digambarkan sebagai grafik linier seperti yang terlihat pada
Gambar 20.
Apabila hubungan antara kadar protein dengan derajat putih tepung jagung
digambarkan sebagai grafik linier akan menghasilkan persamaan:
W = -5.367Pr +115.9 (R2 = 0.7658) (11)
Apabila dilakukan substitusi persamaan 11 dengan persamaan 1 akan didapatkan
hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan derajat putih tepung
jagung dalam persamaan:
W = 0.16t + 63 (12)
dengan W adalah derajat putih tepung jagung sedangkan t adalah waktu
fermentasi grits jagung.

75
derajat putih (%)

70

65
W = -5.367Pr + 115.9
R2 = 0.7658

60
7.0 8.0 9.0 10.0 11.0
kadar protein (%bk)

Gambar 20 Pengaruh kadar protein terhadap derajat putih tepung jagung.

Semakin tinggi kadar lemak tepung jagung, semakin rendah derajat putih
tepung karena lemak yang berwarna kuning menurunkan derajat putih tepung
jagung. Derajat putih tepung jagung berkorelasi dengan kadar lemak (r = -0.706,
p ≤ 0.01).
Keberadaan beberapa jenis mineral, terutama zat besi akan menurunkan
derajat putih pada tepung jagung sehingga semakin tinggi jumlah mineral atau
semakin besar kadar abu maka semakin rendah derajat putih tepung jagung. Hal
ini mengakibatkan korelasi antara derajat putih tepung jagung dengan kadar abu
(r = -0.827, p ≤ 0.01).
59

Tepung jagung dengan densitas kamba tinggi mempunyai derajat putih


yang lebih rendah. Hal ini disebabkan semakin tinggi densitas kamba, semakin
kecil luas permukaan bahan dan dengan adanya pemantulan cahaya akan
terbentuk bayangan yang kelihatan lebih gelap. Semakin rendah densitas kamba
berarti luas permukaan bahan semakin tinggi sehingga akan terbentuk bayangan
yang lebih terang. Hal ini terlihat dengan adanya korelasi antara derajat putih
tepung jagung dengan loose density (r = -0.855, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
-0.925, p ≤ 0.01). Hubungan antara packed density dan derajat putih tepung
jagung dapat digambarkan sebagai grafik linier seperti terlihat pada Gambar 21
dengan persamaan:
W = -140.83Dp + 163.6 (R2 = 0.8545) (13).
Apabila persamaan 13 disubstitusi dengan persamaan 7 maka akan didapatkan
hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan derajat putih tepung
jagung dalam persamaan:
W = -0.13t + 63.3 (14)
dengan W adalah derajat putih tepung jagung sedangkan t adalah waktu
fermentasi grits jagung.

75

70
derajat putih (%)

65

60
W = -140.8Dp+ 163.6
R 2 = 0.8545
55

50
0.60 0.65 0.70 0.75

packed density (g/ml)

Gambar 21 Pengaruh packed density terhadap derajat putih tepung jagung.

Persamaan 12 dan 14 dapat digunakan untuk memprediksi derajat putih


tepung jagung, dan kedua persamaan tersebut mempunyai slope dan intersept
hampir sama yaitu W = 0.16t + 63 (12) dan W = 0.13t + 63.3 (14). Persamaan
60

14 diturunkan dari persamaan 13 yang memiliki slope lebih besar sehingga dipilih
sebagai model prediktif untuk dibuktikan pada tahap validasi.

4.2.6 Kapasitas penyerapan air


Kapasitas penyerapan air memberikan gambaran jumlah air yang tersedia
untuk gelatinisasi (Elkhalifa et al. 2005). Fermentasi grits jagung selama 12 jam
meningkatkan kapasitas penyerapan air tepung jagung (104.8 %), dibanding
tepung non fermentasi (101.8 %), sedangkan fermentasi lanjutan sampai 72 jam
cenderung tidak mengubah kapasitas penyerapan air (106.4 %) seperti terlihat
pada Tabel 13. Salah satu produk pangan yang perlu kapasitas penyerapan air
yang lebih tinggi adalah bassang, salah satu makanan pokok khas dari Sulawesi
Selatan dengan bentuk seperti bubur. Dalam proses pembuatan bassang juga
melalui proses perendaman selama 8 – 13 jam dan dilanjutkan dengan pemasakan
selama 4 – 9 jam.

Tabel 13 Kapasitas penyerapan air tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi
waktu fermentasi grits jagung

Waktu fermentasi jagung Kapasitas penyerapan air (%)


0 101.76a±0.65
12 104.82b±0.1
24 105.32b±0.85
36 106.66b±1.01
48 105.96b±1.74
60 105.95b±0.9
72 106.41b±0.83
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Amilosa merupakan rantai lurus yang mempunyai kemampuan menyerap


air lebih rendah dibanding amilopektin yang merupakan rantai bercabang. Hal ini
mengakibatkan semakin tinggi kadar amilosa, semakin rendah kapasitas
penyerapan air pada tepung jagung, demikian juga semakin besar rasio
61

amilosa:amilopektin pada tepung jagung akan menghasilkan kapasitas penyerapan


air yang semakin kecil.
Semakin tinggi kadar protein dan kadar abu, semakin rendah kapasitas
penyerapan air pada tepung jagung. Muatan yang berlawanan pada protein dan
mineral mempengaruhi kecepatan penyerapan air granula pati sehingga protein
dan mineral berkompetisi dengan pati dalam menyerap air. Hal ini
mengakibatkan adanya korelasi negatif antara kapasitas penyerapan air dengan
kadar protein (r = -0.521, p ≤ 0.05) dan kadar abu (r = -0.59, p ≤ 0.01). Menurut
Barbut (1999) faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi sifat mengikat air pada
tepung dengan kadar protein relatif tinggi adalah komposisi asam amino, bentuk
protein, hidrofobisitas/hidrofilik permukaan.
Semakin besar densitas kamba, semakin rendah kemampuan menyerap
air. Hal ini disebabkan tepung jagung dengan densitas kamba besar berarti
mempunyai massa yang besar dan luas permukaan kecil sehingga kemampuan
tepung jagung dalam menyerap air lebih rendah dibandingkan tepung jagung yang
mempunyai densitas kamba kecil. Hal ini dapat dilihat dari adanya korelasi antara
kapasitas penyerapan air tepung jagung dengan loose density (r = -0.462, p ≤
0.05) dan dan packed density (r = -0.54, p ≤ 0.05).

4.2.7 Kapasitas penyerapan minyak


Fermentasi grits jagung sampai 36 jam akan menurunkan kapasitas
penyerapan minyak (60.6 %) dibandingkan tepung non fermentasi, sedangkan
fermentasi lanjutan sampai 72 jam tidak menurunkan secara nyata kapasitas
penyerapan minyak (55.9 %) seperti terlihat pada Tabel 14. Kapasitas
penyerapan minyak yang semakin rendah diperlukan pada produk-produk yang
diproses dengan penggorengan sehingga tidak menyerap minyak dalam jumlah
yang besar. Dengan demikian apabila diinginkan produk hasil gorengan yang
tidak banyak menyerap minyak dapat digunakan tepung yang dihasilkan dengan
proses fermentasi.

Tabel 14 Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan dengan


variasi waktu fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi grits jagung (jam) Kapasitas penyerapan minyak (% bk)
62

0 71.5c±3.9
12 64.8bc±4.7
24 64.9bc±4.9
36 60.6ab±6.6
48 61.3ab±2.3
60 61.4ab±2.8
72 55.9a±4.1
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Kapasitas penyerapan minyak pada tepung jagung terutama berkaitan


dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau protein,
semakin besar kapasitas penyerapan minyak. Hal ini berhubungan dengan
mekanisme kapasitas penyerapan minyak yang disebabkan pemerangkapan
minyak secara fisik dengan gaya kapiler dan peran hidrofobisitas protein
(Voutsinas dan Nakai, 1983). Sirivongpaisal (2006) menyatakan bahwa kapasitas
penyerapan minyak pada tepung bambara groundnut lebih besar daripada pati
bambara groundnut karena kadar protein dan lemak yang lebih tinggi pada
tepung, yang dapat memerangkap lebih banyak minyak. Hal ini mengakibatkan
adanya korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan kadar lemak (r =
0.445, p ≤ 0.05) dan kadar protein (r = 0.68, p ≤ 0.01).

4.2.8 Suhu gelatinisasi


Suhu gelatinisasi menunjukkan suhu awal meningkatnya viskositas pati
saat dipanaskan atau awal terjadinya gelatinisasi. Tabel 15 menunjukkan bahwa
fermentasi grits jagung selama 24 jam menurunkan suhu gelatinisasi tepung
jagung yang dihasilkan. Fermentasi grits jagung selama 24 sampai 48 jam
menghasilkan tepung jagung dengan suhu gelatinisasi tetap, sedangkan fermentasi
grits jagung selama 48 sampai 72 jam menghasilkan tepung jagung dengan suhu
gelatinisasi meningkat. Fermentasi selama 48 jam mengubah suhu gelatinisasi
tepung jagung menjadi 76.7oC. Suhu gelatinisasi ini lebih tinggi daripada suhu
gelatinisasi ogi yang difermentasi selama 48 jam menurunkan suhu gelatinisasi
menjadi 71.6oC (Nago et al. 1998). Semakin rendah suhu gelatinisasi, semakin
63

cepat terjadinya gelatinisasi, dan untuk produk pangan yang memerlukan syarat
ini dapat dicapai dengan fermentasi selama 24 jam.
Keberadaan gula pada pemanasan pati akan menghambat gelatinisasi
karena terhambatnya pembengkakan granula pati oleh gula reduksi yang bersifat
hidrofilik, sehingga semakin banyak jumlah pati dibanding gula akan semakin
cepat terjadinya gelatinisasi yang akan menurunkan suhu gelatinisasi. Pada
aplikasi pembuatan produk pangan, untuk menghindari suhu gelatinisasi yang
terlalu tinggi karena adanya gula, maka penambahan gula dilakukan setelah
terjadinya gelatinisasi. Pengaruh gula terhadap gelatinisasi tergantung jenis gula,
sukrosa mempunyai suhu gelatinisasi tertinggi, dimana peningkatannya
tergantung konsentrasi sukrosa. Gula lain yaitu fruktosa, glukosa, maltosa
mempengaruhi gelatinisasi dengan pola yang sama. Lebih tinggi konsentrasi
substansi mengandung hidroksil yang larut air, lebih besar penghambatan
pengembangan granula (Christianson 1982). Hal ini mengakibatkan adanya
korelasi antara suhu gelatinisasi dengan rasio pati dibanding gula reduksi (r = -
0.463, p ≤ 0.05).

Tabel 15 Suhu gelatinisasi adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi jagung (jam) Suhu gelatinisasi (oC)*
0 82bc±1.5
12 80.8b±2.5
24 76.2a±0.8
36 76.3a±0.9
48 76.7a±1.2
60 82.1bc±2.8
72 85.2c±1.8
Keterangan: * suhu awal gelatinisasi
** merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
*** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%.

Proses fermentasi grits jagung selama 24 jam menurunkan suhu


gelatinisasi tepung jagung yang dihasilkan menjadi 76.2oC dibandingkan tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (82oC). Penurunan suhu gelatinisasi
64

merupakan akibat dari melemahnya struktur granula dan disintegrasi selama


proses perendaman. Gelatinisasi diawali pada bagian yang amorf karena ikatan
hidrogen lebih lemah pada bagian tersebut. Pada perendaman jagung, granula pati
mengalami pengembangan, dan semakin lama perendaman bagian yang amorf
dapat mengalami leaching. Adanya leaching pada sebagian granula yang bersifat
amorf mengakibatkan partikel tepung jagung yang dihasilkan mudah
tergelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi menurun. Fermentasi lanjutan dari 24
jam sampai 48 jam suhu gelatinisasi relatif tetap (76.7oC) dan fermentasi lanjutan
sampai 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi (85.2oC) (Gambar 22).
Meningkatnya suhu gelatinisasi karena pembentukan kompleks inklusi heliks
antara lemak dengan amilosa. Menurut Eliasson dan Gudmunsson (1996) pada
saat amilosa keluar dari granula selama proses gelatinisasi, lemak membentuk
kompleks dengan amilosa tersebut, kemungkinan di permukaan granula dan
menghambat pengembangan sehingga suhu gelatinisasi meningkat. Hubungan
antara suhu gelatinisasi adonan jagung dengan waktu fermentasi grits jagung
dapat dinyatakan dengan model prediktif yang bersifat kuadratik:
Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8 (R2 = 0.7504) (15)
dengan Tg adalah suhu gelatinisasi adonan jagung dalam oC, t adalah waktu
fermentasi grits jagung dalam jam, sedangkan R2 adalah koefisien determinasi.

90
Tg = 0.006t2 - 0.39t+ 82.8
suhu gelatinisasi (o C)

R2 = 0.7504
85

80

75

70
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 22 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap suhu gelatinisasi
adonan jagung
65

4.2.9 Viskositas puncak


Viskositas puncak merupakan titik puncak viskositas adonan pada proses
pemanasan yang merupakan indikator kemudahan jika dimasak dan juga
menunjukkan kekuatan adonan, yang terbentuk dari gelatinisasi selama
pengolahan dalam aplikasi makanan. Pada saat suspensi pati dipanaskan, granula
yang mulai mengembang sejak mencapai suhu gelatinisasi akan terus
mengembang. Selama gelatinisasi, amilosa mengalami leaching dari granula pati
dan bersama dengan amilopektin menjadi sangat terhidrasi. Akibatnya suspensi
menjadi lebih jernih dan viskositasnya meningkat terus sampai mencapai puncak,
dimana granula mengalami hidrasi maksimum.
Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas
puncak 493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam relatif tidak mengubah
viskositas puncaknya (560 BU). Selanjutnya, tepung jagung yang dihasilkan
melalui proses fermentasi selama 48 jam menunjukkan viskositas puncak
meningkat (648 BU), dan bertahan sampai dengan perendaman grits jagung
selama 60 jam (573 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72 jam
menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550 BU),
hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi (Tabel
16). Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Onyango et al. (2003) bahwa pada
fermentasi sereal menjadi ogi akan terjadi penurunan viskositas, juga Dufour et al.
(2006) yang menyatakan bahwa pada adonan ubi kayu yang difermentasi, terjadi
penurunan viskositas maksimum.

Tabel 16 Viskositas puncak adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi jagung (jam) Viskositas puncak (BU)
0 493,3a±27,5
12 513,3ab±41,6
24 510ab±17,3
36 560abc±26,5
48 648,3c±53,5
60 573,3bc±35,1
72
550ab±36,1
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
66

** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda


nyata pada taraf 5%

Semakin tinggi kadar protein tepung jagung, semakin rendah viskositas


adonan jagung. Hal ini berhubungan dengan sifat protein yang hidrofilik akan
bersaing dengan pati untuk mendapatkan air. Kurangnya air yang dapat diserap
oleh pati karena dihambat oleh protein menghambat proses gelatinisasi dan
menurunkan viskositas puncak adonan. Hal ini mengakibatkan adanya interaksi
antara viskositas puncak dengan kadar protein (r = -0.725, p ≤ 0.01) dan rasio
pati:protein (r = 0.731, p ≤ 0.01).
Pengaturan pH menjadi asam mengakibatkan protein menjadi lebih
bermuatan positif dan karbohidrat terdehidrasi menghasilkan gugus karboksil
yang lebih bermuatan negatif. Pada kondisi tersebut terjadi ikatan elektrostatik
antara pati dan protein. Pada pH basa, baik protein dan pati mempunyai muatan
negatif dan sedikit interaksi yang terjadi antar komponen tersebut. Hal ini
mengakibatkan adanya korelasi antara viskositas puncak dengan pH tepung (r = -
0.639, p ≤ 0.01). Semakin tinggi pH, semakin rendah viskositas puncak tepung
jagung. Hal ini senada dengan penelitian Mestres et al. (1996) bahwa viskositas
adonan jagung maksimum turun secara terus menerus dari pH 4 sampai 10.
Semakin tinggi kadar gula reduksi tepung jagung, semakin rendah
viskositas puncak adonan jagung. Gula bersifat hidrofilik yang akan bersaing
dengan pati untuk mendapatkan air. Hal ini mengakibatkan terhambatnya
gelatinisasi dan menurunkan viskositas puncak adonan. Viskositas puncak
adonan jagung berkorelasi dengan kadar gula reduksi (r = -0.543, p ≤ 0.05) dan
rasio pati:gula reduksi (r = 0.543, p ≤ 0.05).
Viskositas puncak tepung sorghum menurun dengan meningkatnya
konsentrasi garam yang diakibatkan peran gaya ionik (Zhang dan Hamaker 2005).
Hruskova et al. (2003) juga menyatakan bahwa viskositas maksimum paling
tinggi terdapat pada sampel tepung dengan kadar abu paling rendah. Hal ini
mengakibatkan semakin tinggi kadar mineral, semakin rendah viskositas puncak
(r = -0.497, p ≤ 0.05).
67

4.2.10 Sifat adonan selama pemanasan


Sifat-sifat adonan selama proses pemanasan dapat dilihat dari nilai
viskositas panas, viskositas panas 15 menit dan breakdown viscosity. Viskositas
panas merupakan indeks kemudahan pemasakan dan merefleksikan kelemahan
granula dalam mengembang. Breakdown viscosity merupakan nilai penurunan
viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah
ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95°C selama 15 menit. Breakdown
viscosity menunjukkan stabilitas adonan selama proses pemasakan. Sifat pasta
yang stabil sangat dikehendaki, slah satunya pada pembuatan mie, khususnya
untuk menjaga keutuhan mie ketika melalui proses pengukusan (steaming).
Proses fermentasi grits jagung selama 24 jam menghasilkan tepung jagung
dengan viskositas panas 495 BU, tidak berbeda nyata dengan viskositas panas
tepung jagung tanpa fermentasi (502 BU). Selanjutnya fermentasi sampai 48 jam
meningkatkan viskositas panas (643 BU), sedangkan proses fermentasi setelah itu
akan menurunkan lagi viskositas panas (543 BU) seperti dapat dilihat pada Tabel
17 dan Gambar 23. Peningkatan viskositas panas selama fermentasi sesuai
penelitian Subagio (2006) bahwa tepung ubi kayu yang dihasilkan melalui proses
fermentasi meningkat viskositas panasnya. Menurut Henshaw et al. (1996), pola
viskositas adonan panas beberapa jenis legume ditentukan oleh dua faktor yaitu
derajat pengembangan granula pati dan resistensi granula yang mengembang
terhadap kelarutan oleh panas atau fragmentasi dengan shear.

Tabel 17 Sifat-sifat adonan jagung selama pemanasan yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung
Waktu fermentasi grits Viskositas panas (BU) Viskositas panas 15 Breakdown viscosity
jagung (jam) menit (BU) (BU)

0 502ab±16 425 a±9 68c±18


12 453a±20 513bc±42 0b±0
24 495ab±44 468ab±50 15b±3
36 560c±27 525bcd±50 27b±3
48 643d±33 583de±29 35bc±5
60 573c±35 547cde ± 33 27b±18
72 543bc±25 610e ± 10 -60a±6
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan
tidak beda nyata pada taraf 5%
68

VP
Vpa15

Gambar 23 Amilografi tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi
grits jagung
Keterangan: ____ non fermentasi, ____ fermentasi 12 jam,
____ fermentasi 24 jam, ____ fermentasi 36 jam
____ fermentasi 48 jam, ____ fermentasi 60 jam
____ fermentasi 72 jam

Stabilitas pemanasan dapat dilihat dari nilai breakdown viscosity, dimana


breakdown viscosity 0 BU atau mendekati 0 BU menunjukkan stabilitas pemanasan yang
baik. Proses fermentasi jagung selama 12 jam menghasilkan tepung jagung dengan
breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan lebih tinggi daripada tepung
jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 12
sampai 60 jam menghasilkan tepung jagung dengan stabilitas pemanasan relatif tetap, dan
setelah 72 jam stabilitas pemanasan menurun (-60 BU) seperti terlihat pada Tabel 17.
Menurut Oluwamukomi et al. (2005), keberadaan dan interaksi protein dengan
pati menurunkan viskositas, senada dengan pernyataan Hamaker dan Griffin (1993)
bahwa pati deproteinasi mempunyai viskositas lebih tinggi karena pengembangan lebih
besar yang disebabkan protein mempunyai pengaruh menghambat pengembangan pati
dan pengerasan selama pemanasan. Penghilangan protein dari larutan pati menyebabkan
pati mempunyai viskositas lebih besar karena granula tanpa protein lebih mudah pecah
dan jumlah air yang masuk ke granula lebih banyak mengakibatkan peningkatan
pengembangan granula sehingga semakin kecil kadar protein, semakin besar
pengembangan granula yang meningkatkan viskositas panas dan viskositas panas 15
menit. Hal ini mengakibatkan adanya interaksi antara kadar protein tepung jagung
dengan viskositas panas (r = -0.659, p ≤ 0.01) dan viskositas panas 15 menit (r = -0.827,
p ≤ 0.01).
69

Semakin besar kadar protein tepung jagung, semakin rendah Vpa15 (Gambar 24).
Korelasi antara kadar protein tepung jagung dengan viskositas panas 15 menit adonan
jagung dapat dinyatakan sebagai persamaan linier:
Vpa15 = 96.601Pr + 1394.8 (R2 = 0.7635) (16)
dengan Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung putih dalam BU, Pr adalah
kadar protein tepung jagung dalam jam sedangkan R2 adalah koefisien determinasi.
Apabila dilakukan substitusi persamaan 16 dengan persamaan 1 maka akan didapatkan
persamaan linier antara waktu fermentasi grits jagung dengan viskositas panas 15 menit :
Vpa15 = 2.78t + 443.1 (17)
dengan Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung putih dalam BU dan t
adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam.

800

600
Vpa 15 (BU)

400
Vpa15 = -96.601Pr + 1394.8
R 2 = 0.7635
200

0
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5
kadar protein (% bk)

Gambar 24 Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap viskositas panas 15 menit.

Semakin tinggi kadar lemak, semakin rendah stabilitas adonan selama pemanasan
sehingga menurunkan viskositas panas 15 menit yang berarti semakin lemah
pengembangan granula pati. Helstad (2006) menyatakan bahwa pada pati serealia,
biasanya lipid menghambat hidrasi granula dan pengembangan terutama akibat jumlah
amilopektin tinggi. Menurut Singh et al. (2006) pembentukan kompleks amilosa-lipid
akan menghambat pengembangan granula pati. Pada saat gelatinisasi, amilosa keluar
dari granula pati dan membentuk kompleks inklusi amilosa-lemak. Pembentukan
kompleks ini mengurangi kecenderungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan
teretrogradasi sehingga menghambat kecepatan pengerasan selama pemanasan. Hal ini
70

mengakibatkan adanya korelasi antara kadar lemak tepung jagung dengan viskositas
panas 15 menit (r = -0.642, p ≤ 0.01).
Menurut Fredriksson et al. (1998) sifat pati selama gelatinisasi dipengaruhi rasio
amilosa:amilopektin. Amilopektin berperan terhadap pengembangan dan sifat adonan
pati, sedangkan amilosa menghambat pengembangan. Granula pati dengan kadar
amilopektin tinggi menghasilkan granula yang lebih mengembang dan viskositas tinggi
sementara rantai linier amilosa keluar dari granula dan membuat fase kontinyu di luar
granula bersama lipid sehingga menghambat pengembangan dan menghasilkan viskositas
adonan yang rendah.
Semakin besar kapasitas penyerapan air pada suatu bahan, semakin kuat
mengikat air dan hal ini juga mengakibatkan adonan lebih stabil selama pemanasan.
Kapasitas penyerapan air berkorelasi dengan viskositas panas 15 menit (r = 0.684, p ≤
0.01). Hal ini sesuai dengan penelitian Henshaw et al. (1996) bahwa perbedaan
viskositas merupakan variasi penyerapan air.
Pada pH rendah, ikatan hidrogen dalam granula pati akan terpecah lebih cepat
sehingga meningkatkan kecepatan pengembangan granula. Semakin tinggi pH tepung
jagung, semakin rendah indeks kemudahan pemasakan dan semakin lemah
pengembangan granula pati. Hal ini didukung dengan adanya korelasi antara pH dengan
viskositas panas (r = -0.679, p ≤ 0.01) dan viskositas panas 15 menit (r = -0.584, p ≤
0.01).
Mineral yang berada dalam adonan pati selama pemanasan mudah mengalami
leaching. Semakin banyak mineral yang berada dalam bahan, semakin tinggi
kemungkinan bahan tersebut mengalami leaching sehingga kestabilan adonan selama
pemanasan menurun. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya viskositas selama pemanasan
yang didukung dengan adanya korelasi antara kadar abu dengan viskositas panas 15
menit (r = -0.676, p ≤ 0.01).
Stabilitas selama pemanasan berkorelasi dengan densitas tepung. Hal ini
berhubungan juga dengan pengaruh hidrofobisitas protein jagung terhadap densitas
protein. Protein jagung sebagian besar terdiri dari asam amino hidrofobik yang
diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga meminimalkan rasio area
permukaan dibanding volume (Damodaran 1996). Rasio area permukaan:volume yang
kecil pada protein jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas besar
sehingga pengembangan granula, peningkatan viskositas dan stabilitas adonan menjadi
rendah. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi viskositas panas 15 menit adonan jagung
dengan loose density (r =  0.717, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.849, p ≤ 0.01).
71

Semakin besar packed density tepung jagung, semakin kecil viskositas panas 15
menit adonan jagung (Gambar 25). Korelasi antara packed density dengan viskositas
panas 15 menit dapat digambarkan sebagai grafik linier dengan persamaan:
Vpa15 = -2409.2Dp + 2167.9 (R2 = 0.7696) (18)
Apabila persamaan 18 disubstitusi dengan persamaan 7 maka akan didapatkan
persamaan hubungan antara viskositas panas 15 menit dengan waktu fermentasi grits
jagung sebagai berikut:
Vpa15 = 2.17t + 452.3 (19)
dimana Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung dalam BU dan t adalah
waktu fermentasi grits jagung dalam jam.

800

600
Vpa 15 (BU)

400
Vpa15 = -2409.2Dp + 2167.9
200 R2 = 0.7696

0
0.64 0.66 0.68 0.70 0.72 0.74

packed density (g/ml)

Gambar 25 Pengaruh packed density tepung terhadap viskositas panas 15 menit.

Persamaan 17 dan 19 menggambarkan hubungan antara waktu fermentasi grits


jagung dengan viskositas panas 15 menit. Persamaan 19 merupakan hasil substitusi
persamaan 18 yang mempunyai koefisien determinasi sedikit lebih besar dibandingkan
persamaan 17. Persamaan 19 dipilih sebagai model prediktif viskositas panas selama 15
menit pada suhu 95oC dan akan dibuktikan ketepatannya pada tahap validasi.

4.2.11 Retrogradasi adonan


Kecenderungan retrogradasi dapat dilihat dari viskositas dingin, setback viscosity
atau rasio viskositas dingin dibandingkan dengan viskositas panas setelah dipertahankan
72

Vd
Vpao
selama 15 menit pada suhu 95 C ( 15 ). Selama pendinginan, berkumpulnya kembali
antar molekul pati terutama amilosa akan menghasilkan pembentukan struktur gel dan
viskositas akan meningkat ke viskositas akhir. Peningkatan viskositas saat pendinginan
menentukan kecenderungan berkumpul kembali pati yang merefleksikan kecenderungan
produk untuk teretrogradasi (Hagenimana et al. 2006). Namun apabila kecenderungan
untuk berkumpul kembali tersebut lemah, ikatan hidrogen akan terbentuk secara lambat,
molekul air akan sempat keluar dan yang terbentuk bukan gel akan tetapi endapamm.
Peristiwa keluarnya air dari perangkap hidrogen pasta ini disebut sineresis.
Fermentasi jagung selama 36 jam meningkatkan viskositas dingin tepung jagung
dari 1260 BU pada tepung yang dibuat tanpa fermentasi menjadi 1430 BU pada tepung
yang dibuat dengan fermentasi selama 36 jam. Selanjutnya fermentasi sampai 48 jam
menurunkan viskositas dingin (1045 BU) dan fermentasi lanjutan sampai 72 jam
meningkatkan lagi viskositas dinginnya menjadi 1308 BU seperi terlihat pada Tabel 18.
Peningkatan viskositas pada saat pendinginan sesuai dengan penelitian Subagio (2006)
yang menyatakan bahwa tepung ubi kayu yang dibuat melalui proses fermentasi akan
meningkat viskositas dinginnya.
Vd
Lebih tinggi Vpa15 , lebih besar retrogradasi yang terjadi. Menurut Sowbhagya
Vd
dan Bhattacharya (2001), Vpa15 lebih menggambarkan retrogradasi selama pendinginan
dibandingkan parameter lain seperti viskositas dingin atau setback viscosity. Tepung
Vd
jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai Vpa15 2.97 dan perendaman sampai 48
Vd
jam akan menurunkan Vpa15 (1.87). Fermentasi lanjutan sampai 72 jam cenderung tidak
Vd
mengubah Vpa15 (2.14).
Tabel 18 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kecenderungan retrogradasi
adonan tepung jagung
Waktu fermentasi Viskositas dingin Setback viscosity Vd
grits jagung (jam) (BU) (BU) Vpa15

0 1260bcd±66 767cd±39 2.97d±0.17


12 1223bc±31 710bc±40 2.39bc±0.17
24 1323de±47 813cd±31 2.68cd±0.06
36 1403e±49 843d±68 2.64cd±0.26
48 1045a±18 427a±70 1.87a±0.18
60 1203b±64 630b±97 2.21b±0.24
73

72 1308cd±54 758cd±20 2.14ab±0.06


Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan
tidak beda nyata pada taraf 5%

Lebih tinggi kadar protein, lebih tinggi kecenderungan terjadinya retrogradasi.


Peningkatan retrogradasi kemungkinan karena peningkatan ikatan hidrogen selama
pendinginan yang disebabkan perlakuan hidrothermal dan interaksi antara polisakarida
dan protein (Oluwamukomi et al. 2005). Hal ini meningkatkan pertumbuhan daerah
micellar gel dan meningkatkan indeks retrogradasi matriks sehingga lebih banyak air
Vd
yang terperangkap. Korelasi antara kadar protein dengan Vpa15 dapat digambarkan
sebagai grafik linier seperti terlihat pada Gambar 26. Peningkatan ikatan hidrogen
mempengaruhi pH, sehingga pH juga berkorelasi dengan retrogradasi. Semakin rendah
pH tepung jagung, kecenderungan terjadinya retrogradasi semakin tinggi.

3
Rv

2
Rv = 0.553Pr - 2.542
R 2 = 0.6638

1
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5

kadar protein (% bk)

Vd
Vpa
Gambar 26 Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap Rv ( 15 )
Vd
Semakin tinggi kadar protein, semakin besar Vpa15 . Hubungan antara kadar

Vd
protein dengan Vpa15 dapat digambarkan sebagai grafik linier dengan persamaan:
Rv = 0.553Pr– 2.542 (R2 = 0.6638) (20)
Apabila persamaan 20 disubstitusi dengan persamaan 1 maka akan didapatkan persamaan
:
Rv = -0.02t + 2.9 (21)
74

Vd
dengan Rv adalah Vpa15 dan t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam). Persamaan Rv
Vd
= -0.02t + 2.9 selanjutnya digunakan sebagai model prediktif Vpa15 yang masih harus
dibuktikan ketepatannya pada tahap validasi.
Semakin besar loose dan packed density, semakin besar kecenderungan
Vd
terjadinya retrogradasi. Mekanisme pengaruh densitas kamba terhadap Vpa15 hampir
sama dengan mekanisme pengaruh densitas kamba terhadap adonan jagung selama
pemanasan. Pengaruh densitas kamba terhadap retrogradasi dapat dilihat dengan adanya
Vd
korelasi antara Vpa15 dengan loose density (r = 0.67, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
0.802, p ≤ 0.01).
Kemudahan adonan saat dimasak juga mempengaruhi tingkat retrogradasi tepung
jagung. Semakin mudah pemasakan dan semakin stabil selama pemanasan, maka
semakin rendah kecenderungan produk teretrogradasi.

4.2.12 Sifat gel


Kekuatan gel menunjukkan besarnya beban yang diberikan pada saat gel mulai
pecah. Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi selama 48 jam
mempunyai kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung
yang dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce). Hal ini disebabkan menurunnya beberapa
komponen kimia seperti serat kasar, protein, gula reduksi, abu dan pH yang berkorelasi
dengan kekuatan gel. Kekuatan gel ini akan mengalami sedikit penurunan (14.48 gforce)
jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam seperti dapat dilihat pada Tabel 19. Hal ini
disebabkan meningkatnya kadar gula reduksi serta pH tepung jagung; sedangkan kadar
serat kasar, kadar protein dan kadar abu menurun.

Tabel 19 Sifat gel adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits
jagung
Waktu fermentasi grits Kekuatan gel (g force) Kelengketan gel
jagung (jam)
0 5.95a±0.6 -4.48c±0.38
b
12 9.11 ±0.88 -4.18c±0.5
24 13.9cd±0.24 -5.28c±0.78
d
36 15.39 ±1.04 -5.02c±0.76
e
48 19.47 ±1.15 -4.7c±0.78
d
60 14.48 ±0.93 -7.02b±0.63
c
72 12.86 ±0.85 -8.33a±0.99
75

Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada
taraf 5%

Semakin tinggi pH tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung
seperti terlihat pada Gambar 27. Pada pH rendah, pati lebih cepat tergelatinisasi dan akan
menghasilkan gel yang semakin kuat. Pada pH rendah yang sangat ekstrim menyebabkan
hidrolisis pati, dimana bagian amorf granula pati akan dipecah terlebih dahulu sedangkan
bagian kristalin dihidrolisis pada kecepatan lebih rendah. Pada penelitian ini tepung
jagung yang digunakan mempunyai range pH 4,4 sampai 5.7 sehingga belum terjadi
hidrolisis pati. Hal ini mengakibatkan gel yang dihasilkan makin kuat dengan
menurunnya pH (r = -0.867, p ≤ 0.01). Gel paling lemah terbentuk pada pH asam yang
ekstrem (pH 1-2) dan sangat basa (pH>10), sedangkan pada pH 12 tidak terbentuk gel
(Kilara 2006).
Semakin tinggi pH tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel. Hubungan
antara pH tepung jagung dengan kekuatan gel dapat dinyatakan sebagai persamaan:
Gs = -8.19Ph + 53.8 (R2 = 0.7516) (22)
2
dengan Gs adalah kekuatan gel dalam g force, Ph adalah pH tepung jagung dan R adalah
koefisien determinasi.
Apabila persamaan 22 disubstitusi dengan persamaan 2 maka akan didapatkan
persamaan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan kekuatan gel adonan
jagung sebagai berikut:
Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.4 (23)
dengan Gs adalah kekuatan gel dalam g force, dan t adalah waktu fermentasi grits jagung
dalam jam.

25
kekuatan gel (force)

20

15

10

Gs = -8.19Ph + 53.8
5
R2 = 0.7516

0
4.0 4.5 5.0 5.5 6.0

pH
76

Gambar 27 Pengaruh pH tepung jagung terhadap kekuatan gel.

Semakin tinggi kadar gula reduksi tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel
yang dihasilkan seperti dapat dilihat pada Gambar 28. Gula bersifat hidrofilik sehingga
dapat menghambat pengikatan air pada pati. Kadar gula reduksi yang semakin rendah
akan menurunkan suhu gelatinisasi dan sebagai konsekuensinya meningkatkan viskositas
dan kekuatan gel yang terbentuk. Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap
kekuatan gel adonan jagung dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi yaitu r = -0.901, p ≤
0.01. .
Semakin besar kadar gula reduksi, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung
dan hubungan ini dapat dinyatakan dengan persamaan:
Gs = -6.98Gr + 25.185 (R2 = 0.8113) (24)
dengan Gs adalah kekuatan gel adonan jagung dalam g force, Gr adalah kadar gula
reduksi tepung jagung dalam % berat kering dan R2 adalah koefisien determinasi. Apabila
persamaan 24 disubstitusi dengan persamaan 3 akan didapatkan hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dengan kekuatan gel tepung jagung dengan persamaan:
Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 (25)

25
Kekuatan gel (gforce)

20

15

10

Gs = -6.98Gr + 25.2
5
R 2 = 0.8113
0
0.0 1.0 2.0 3.0
gula reduksi (%)

Gambar 28 Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap kekuatan gel.

Semakin tinggi kadar protein tepung jagung atau semakin rendah rasio pati
dibanding protein, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung yang terbentuk. Tanpa
adanya panas, mekanisme interaksi protein-pati merupakan interaksi antar muatan, yang
sangat tergantung pH dan titik isoelektrik protein. Pemanasan meningkatkan
kompleksitas reaksi antara pati dan protein. Perubahan thermal dalam protein
77

berhubungan dengan denaturasi yang dipacu dengan keberadaan air. Denaturasi protein
sereal berhubungan dengan reaksi disulfida-sulfhidril yang menghasilkan ikatan silang
protein, misalnya interaksi protein-protein. Pati menjadi kehilangan kristalinitas,
pengembangan granula dan leaching amilosa meninggalkan amilopektin. Granula pecah
dan matriks amilosa membentuk jaringan gel. Pada saat terjadi kontak protein dan pati,
terbentuk matriks pati-protein yang stabil melalui ikatan hidrogen, kovalen dan ionik.
Matrik pati-protein yang terbentuk menentukan kekuatan gel. Hal ini didukung dengan
adanya korelasi antara kekuatan gel dengan kadar protein (r = -0.832, p ≤ 0.01) dan rasio
pati dibanding protein (r = 0.74, p ≤ 0.01).
Tepung yang lebih cepat mengalami gelatinisasi atau suhu gelatinisasinya rendah,
akan menghasilkan granula yang lebih mengembang, lebih tahan terhadap pemasakan
sehingga meningkatkan kekuatan gel yang dihasilkan. Retrogradasi adonan jagung
menurunkan kekuatan gel. Hal ini dapat dilihat dari adanya korelasi antara kekuatan gel
dengan suhu gelatinisasi (r = -0.467, p ≤ 0.05), viskositas puncak (r = 0.715, p ≤ 0.01),
viskositas panas (r = 0.74, p ≤ 0.01), dan viskositas panas 15 menit (r = 0.578, p ≤ 0.01)
Vd
dan Vpa15 (r = -0.638, p ≤ 0.01).
Berdasarkan variabel yang berkorelasi didapatkan persamaan 23 dan 25 untuk
memprediksi kekuatan gel. Kedua persamaan tersebut sedikit berbeda hanya di
intersepnya, yaitu 6.4 dan 6.3. Persamaan 25 diturunkan dari persamaan 24 yang
mempunyai koefisien determinasi lebih besar sehingga persamaan ini (Gs = -0.004t2 +
0.4t + 6.3) ditetapkan sebagai model prediktif yang akan dibuktikan pada tahap
berikutnya.
Fermentasi grits jagung selama 48 jam menghasilkan tepung jagung dengan
kelengketan gel -4.7, tidak berbeda nyata dengan tepung jagung non fermentasi (-4.48),
selanjutnya fermentasi sampai 72 jam meningkatkan kelengketan gel (-8.33) seperti
terlihat pada Tabel 19. Nilai yang semakin negatif pada kelengketan gel menunjukkan
kelengketan gel yang semakin besar.
Kelengketan gel terutama berkaitan dengan kadar amilosa dan kadar lemak.
Selama pengembangan, amilosa cenderung larut dan lepas ke dalam media air, mengalami
reasosiasi di antara ikatan hidrogennya dan menghasilkan gel. Adonan menjadi keruh dan
buram saat didinginkan dan akhirnya akan mengeluarkan air membentuk konsistensi
elastis. Eliasson dan Gudmundsson (1996) menyatakan bahwa rasio amilosa/amilopektin
mempunyai pengaruh besar terhadap sifat rheologi adonan dan gel. Kompleks inklusi
amilosa-lemak yang terbentuk dipermukaan granula menghambat pengembangan dan
78

meningkatkan kelengketan gel. Kompleks inklusi lemak-amilosa ini mempengaruhi pula


viskositas dan breakdown viscosity yang mencerminkan stabilitas adonan. Hal ini juga
yang mengakibatkan viskositas panas 15 menit dan breakdown viscosity berkorelasi
dengan kelengketan gel. Ada tiga kemungkinan kompleks inklusi amilosa-lemak,
pertama kompleks utuh yang mengganggu kristalisasi amilopektin dan menghambat
retrogradasi; kedua kompleks amilosa-lemak dapat mengubah atau memperlambat
distribusi air dan retrogradasi; dan ketiga kristalisasi bersama amilosa dan amilopektin ke
tingkat yang lebih luas, dan substansi kompleks tersebut mengurangi peran amilosa pada
proses kristalisasi kembali. Sedangkan interaksi amilopektin dan lemak berarti bahwa
lemak langsung berinteraksi dengan fraksi amilopektin pada tingkat yang lebih kecil dan
menghambat retrogradasi melalui kompleks amilopektin-lemak. Semakin stabil adonan
yang terbentuk, kelengketan gel semakin berkurang.
Semakin tinggi kadar mineral dalam bahan, semakin rendah kelengketan gel.
Mineral menghambat leaching amilosa dari granula pati sehingga semakin sedikit
kemungkinan terjadinya leaching mineral, kelengketan gel lebih rendah. Hal ini dapat
dilihat dari adanya korelasi antara kelengketan gel adonan jagung dengan kadar abu
tepung jagung (r = 0.536, p ≤ 0.05).
Semakin banyak air yang terdapat di dalam bahan memungkinkan ikatan antar
partikel. Sebagai akibatnya, bahan menjadi sulit mengalir dan meningkatkan
kelengketan. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kelengketan gel dengan
kadar air (r = -0.517, p ≤ 0.05) dan sudut curah (r = -0.603, p ≤ 0.01).
Pada tahap pertama penelitian ini didapat beberapa model prediktif dalam bentuk
persamaan regresi untuk mengendalikan sifat fisik dan fungsional tepung jagung
berdasar korelasi dengan variabel yang lain. Persamaan-persamaan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 20.

Tabel 20 Model prediktif beberapa sifat fisik dan fungsional tepung jagung berdasar
waktu fermentasi grits jagung
No Persamaan Variabel terikat
1. Dp = -0.0009t + 0.712 Packed density
2. Dl = -0.0007t + 0.493 Loose density
3. Sr = -0.072t + 43.7 Sudut curah
4. W = 0.13t + 63.3 Derajat putih
5. Tg = 0.006t2 – 0.39t + 82.8 Suhu gelatinisasi
6. Vpa15 = 2.17t + 452.3 Viskositas panas 15 menit
7. Rv = -0.02t + 2.9 Vd
Vpa15
2
8. Gs = -0.004t + 0.4t + 6.3 Kekuatan gel
79

4.3 Validasi model prediktif yang dihasilkan


Berdasarkan hasil karakterisasi pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap
sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih didapatkan beberapa model prediktif
untuk mengendalikan sifat fungsional dan fisik tepung jagung (Tabel 20). Validasi
dilakukan untuk mengetahui ketepatan model tersebut sehingga nantinya dapat digunakan
untuk aplikasi lebih lanjut. Model yang divalidasi adalah beberapa model yang
menggambarkan korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat fisik dan
fungsional adonan jagung. Validasi dilakukan pada 5 titik yaitu 15, 30, 45, 57.5 dan 70
jam.

4.3.1 Packed density tepung jagung


Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisik dan kimia tepung jagung dipilih
persamaan yang menggambarkan korelasi antara waktu fermentasi grits jagung
dan packed density tepung jagung yaitu Dp = -0.0009t + 0.712 dengan Dp adalah
packed density tepung jagung 60 mesh dalam g/ml, dan t adalah waktu fermentasi
grits jagung dalam jam. Berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan pada
tahap ini didapatkan nilai packed density seperti terlihat pada Tabel 21. Tabel 21
menunjukkan bahwa prediksi packed density mendekati nilai pengukuran yang
didapatkan dengan standar deviasi kurang dari 10 %. Persamaan untuk
memprediksi packed density diperoleh dari korelasi langsung antara waktu
fermentasi grits jagung dengan packed density sehingga adanya beberapa variabel
yang berkorelasi sudah termasuk di dalamnya.

Tabel 21 Hasil pengukuran dan prediksi packed density tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran packed Prediksi packed density Standar deviasi
grits jagung (jam) density (g/ml) (g/ml) (%)
15 0.703 0.699 0.6
30 0.673 0.685 -1.8
45 0.656 0.672 -2.4
57.5 0.624 0.660 -5.8
70 0.605 0.649 -7.3
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
Persamaan Dp = -0.0009t + 0.712 dapat digunakan untuk memprediksi
packed density tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi
grits jagung. Persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk tepung jagung yang
80

dihasilkan dari grits jagung dengan waktu fermentasi 0 sampai 72 jam, dan
penggunaan di luar waktu tersebut perlu penelitian lebih lanjut.

4.3.2 Loose density tepung jagung


Persamaaan Dl = -0.0007t + 0.493 diperoleh pada tahap karakterisasi
tepung jagung untuk memprediksi loose density tepung jagung berdasar waktu
fermentasi grits jagung. Tabel 22 menunjukkan bahwa prediksi loose density
mendekati nilai pengukuran yang didapatkan dengan standar deviasi kurang dari
10 %. Persamaan untuk memprediksi loose density diperoleh dari korelasi
langsung antara waktu fermentasi grits jagung dengan loose density sehingga
adanya beberapa variabel yang berkorelasi sudah diperhitungkan di dalamnya.
Dengan demikian persamaan Dl = -0.0007t + 0.493 dapat digunakan untuk
memprediksi loose density tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam.

Tabel 22 Hasil pengukuran dan prediksi loose density tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi loose Standar
grits jagung loose density (g/ml) density (g/ml) deviasi (%)
(jam)
15 0.465 0.483 -3.8
30 0.448 0.472 -5.4
45 0.438 0.462 -5.4
57.5 0.437 0.453 -3.7
70 0.426 0.444 -4.3
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.3 Sudut curah tepung jagung


Sudut curah yang merupakan indikator daya alir bahan dapat diprediksi
berdasar waktu fermentasi jagung menggunakan persamaan Sr = -0.072t + 43.7.
Tabel 23 menunjukkan prediksi sudut curah dan hasil pengukuran sampai 30 jam
masih tepat (standar deviasi kurang dari 10 %), tetapi setelah waktu 45 jam,
perbedaan antara nilai prediksi dengan hasil pengukuran mempunyai standar
deviasi lebih dari 10 %. Persamaan Sr = -0.072t + 43.7 merupakan hasil substitusi
korelasi antara sudut curah dengan loose density. Sudut curah tepung jagung
81

tidak hanya dipengaruhi loose density, tetapi juga kadar protein, kadar serat
kasar, kadar pati dan packed density sehingga hasil pengukuran sudut curah
mempunyai standar deviasi yang tinggi dibandingkan hasil pengukuran. Dengan
demikian persamaan tersebut hanya tepat digunakan untuk memprediksi sudut
curah berdasar waktu fermentasi grits jagung selama 0 sampai 30 jam. .

Tabel 23 Hasil pengukuran dan prediksi sudut curah tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi sudut curah Standar
o o
grits jagung sudut curah ( ) () deviasi (%)
(jam)
15 43.7 42.62 2.4
30 46.0 41.54 9.7
45 46.8 40.46 13.5
57.5 47.2 39.56 16.1
70 47.0 38.66 17.7
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.4 Derajat putih tepung jagung


Berdasarkan hasil karakterisasi didapatkan persamaan untuk memprediksi
derajat putih tepung jagung putih yaitu W = 0.13t + 63.3. Hasil pengukuran dan
prediksi derajat putih tepung jagung masih berada pada kisaran nilai prediksi
dengan standar deviasi 10% seperti terllihat pada Tabel 24. Berdasarkan hasil
tersebut maka persamaan W = 0.13t + 63.3 dapat digunakan untuk memprediksi
derajat putih tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung, dengan W
adalah derajat putih tepung jagung (%) dan t adalah waktu fermentasi grits jagung
(jam).

Tabel 24 Hasil pengukuran dan prediksi derajat putih tepung jagung


82

Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi derajat Standar


grits jagung derajat putih (%) putih (%) deviasi (%)
(jam)
15 65.5 65.25 0.4
30 68.4 67.2 1.8
45 70.7 69.15 2.1
57.5 69.4 70.775 -2.0
70 71.7 72.4 -0.9
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.5 Suhu gelatinisasi


Korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dan suhu gelatinisasi dapat
dinyatakan dengan persamaan kuadratik Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8. Hasil
pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi masih berada pada kisaran nilai
prediksi dengan standar deviasi 10% seperti terllihat pada Tabel 25. Berdasarkan
hasil tersebut maka persamaan Tg = 0.006t2 - 0.3934t + 82.847 dapat digunakan
untuk memprediksi suhu gelatinisasi, dengan Tg adalah suhu gelatinisasi (oC ) dan
t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam).

Tabel 25 Hasil pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi tepung jagung


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi suhu Standar
grits jagung suhu gelatinisasi (oC) gelatinisasi (oC) deviasi (%)
(jam)
15 81.0 78.3 3.3
30 75.3 76.5 -1.5
45 75.8 77.4 -2.1
57.5 77.8 80.2 -3.1
70 80.7 84.9 -5.2
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.6 Viskositas panas saat dipertahankan selama 15 menit pada suhu 95oC
(Vpa15)

Salah satu parameter untuk mengetahui stabilitas adonan selama


pemanasan dilihat berdasarkan Vpa15. Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisik,
kimia dan fungsional tepung jagung didapatkan persamaan korelasi antara waktu
fermentasi grits jagung dan viskositas panas 15 menit. Tabel 26 menunjukkan
83

bahwa viskositas panas 15 menit dapat diprediksi menggunakan persamaan Vpa15


= 2.17t + 452.3 dengan standar deviasi kurang dari 10%.

Tabel 26 Hasil pengukuran dan prediksi Vpa15


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi Vpa15 (BU) Standar
grits jagung Vpa15 (BU) deviasi (%)
(jam)
15 483 485 -0.3
30 566 517 8.6
45 533 550 -3.1
57.5 599 577 3.7
70 593 604 -2.0
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

4.3.7 Rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas saat dipertahan


selama 15 menit pada suhu 95oC ( Vd )
Vpa15

Kecenderungan bahan untuk teretrogradasi dapat dilihat berdasarkan Vd


Vpa15

yang dapat diprediksi berdasarkan waktu fermentasi jagung menggunakan

persamaan Rv = -0.02t + 2.9 dengan Rv adalah Vd dalam BU dan t adalah


Vpa15

waktu fermentasi dalam jam. Tabel 27 menunjukkan bahwa persamaan tersebut


dapat digunakan untuk memprediksikan Vd sampai waktu fermentasi 30 jam
Vpa15

karena setelah itu menghasilkan nilai Vd dengan standar deviasi antara nilai
Vpa15

yang diprediksi dan nilai pengukuran lebih dari 10 %.

Tabel 27 Hasil pengukuran dan prediksi Vd


Vpa15

Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi Vd Standar


grits jagung Vd Vpa15 deviasi (%)
(jam) Vpa15
15 2.53 2.6 -2.8
30 2.27 2.30 -1.2
45 2.37 2.0 15.7
57.5 2.11 1.75 17.1
70 2.30 1.5 34.9
84

Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa


4.3.8 Kekuatan gel
Berdasarkan hasil analisa korelasi kekuatan gel dengan variabel lain,
didapatkan korelasi antara kekuatan gel dengan waktu fermentasi grits jagung.
Korelasi itu dapat dirumuskan menjadi persamaan Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3
dimana Gs adalah kekuatan gel tepung jagung (g force), dan t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam). Tabel 28 memperlihatkan prediksi kekuatan gel
yang diperoleh dan hasil pengukuran kekuatan gel. Pada fermentasi selama 45
jam, persamaan tersebut kurang tepat diaplikasikan karena standar deviasi yang
diperoleh lebih dari 10%. Persamaan Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 dapat digunakan
untuk memprediksikan kekuatan gel dengan waktu fermentasi 0 sampai 72 jam,
kecuali pada fermentasi 45 jam, dimana hasil pengukurannya memiliki standar
deviasi lebih dari 10 % dari nilai prediksi.

Tabel 28 Hasil pengukuran dan prediksi kekuatan gel tepung jagung.


Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi kekuatan Standar
grits jagung kekuatan gel (gforce) gel (gforce) deviasi (%)
(jam)
15 11.369 11.40 -0.3
30 16.224 14.70 9.4
45 20.319 16.20 20.3
57.5 17.528 16.08 8.3
70 15.321 14.70 4.1
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa

Pada tahap kedua penelitian ini didapat beberapa model dalam bentuk
persamaan matematika yang telah divalidasi untuk menguji kelayakannya (Tabel
29). Model matematika ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk mengendalikan
sifat fisik dan fungsional tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung.
85

Tabel 29 Model prediktif sifat fisik dan fungsional tepung jagung yang telah
divalidasi

No Persamaan Variabel terikat waktu fermentasi


(jam)
1. Dp = -0.0009t + 0.712 Packed density 0 – 72
2. Dl = -0.0007t + 0.493 Loose density 0 – 72
3. Sr = -0.072t + 43.7 Sudut curah 0 – 30
4. W = 0.13t + 63.3 Derajat putih 0 – 72
5. Tg = 0.006t2 – 0.39t + 82.8 Suhu gelatinisasi 0 – 72
6. Vpa15 = 2.17t + 452.3 Viskositas panas 15 0 – 72
menit
7. Rv = -0.02t + 2.9 Vd 0 – 30
Vpa15
8. Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 Kekuatan gel 0 – 30; 57.5 - 70

4.4 Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel
tepung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung

Gambar 29 menunjukkan tepung jagung non fermentasi dengan ukuran


partikel yang berbeda. Gambar 29a menunjukkan tepung jagung 60 mesh sebelum
difraksinasi, sedangkan Gambar 29b, 29c, 29d dan 29e menunjukkan hasil
fraksinasi tepung jagung dari yang berukuran paling besar sampai paling kecil.
Tepung jagung 60 mesh mempunyai ukuran partikel kurang dari 250 µm.
Gambar 29b menunjukkan tepung jagung berukuran paling besar dengan ukuran
partikel >150- 250 µm. Gambar 29c menunjukkan tepung jagung berukuran
>106-150 µm. Gambar 29d menunjukkan tepung jagung berukuran partikel >75 -
106 µm. Gambar 29e menunjukkan tepung jagung dengan ukuran partikel paling
kecil dengan ukuran ≤ 75 µm. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits
jagung selama 45 jam menunjukkan ukuran partikel yang hampir sama (Lampiran
1).
86

(a)

(b) (c)

(d) (e)
Gambar 29 Partikel tepung jagung tanpa fermentasi dilihat menggunakan
scanning electron microscope (SEM) (perbesaran 50 kali) (a) 60 mesh (b) >150 -
250 µm c) >106 – 150 µm, (d) >75 – 106 µm, (e) ≤ 75 µm.

4.4.1 Komposisi kimia tepung jagung


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung jagung
berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar tepung jagung, tetapi interaksi
keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran partikel tepung,
semakin kecil kadar serat kasar serta semakin besar kadar protein dan kadar
tepung jagung (Tabel 30).
88

Serat kasar terdapat pada bagian-bagian perikarp, lembaga dan endosperm


masing-masing 86.7, 8.8 dan 2.7 % (Lubin 1992). Penggilingan akan
menghaluskan sebagian besar endosperm, yang hanya mengandung serat kasar
dalam jumlah kecil sehingga kadar serat kasar pada tepung jagung berukuran
partikel kecil lebih sedikit daripada tepung berukuran partikel besar. Perikarp
yang banyak mengandung serat kasar dibuang pada pencucian, dan sebagian yang
tersisa sulit dihaluskan sehingga tidak lolos pada ayakan yang lebih kecil,
demikian juga bagian lembaga. Hal ini mengakibatkan tepung jagung dengan
ukuran partikel lebih kecil mempunyai kadar serat kasar lebih rendah daripada
tepung dengan ukuran partikel lebih besar. Waktu fermentasi grits jagung
menurunkan kadar serat kasar tepung jagung dengan tingkat penurunan yang
hampir sama sehingga menghasilkan grafik seperti pada Gambar 30. Pada tepung
jagung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi 70 jam menurunkan kadar
serat kasar (1.67 %), dibandingkan tepung non fermentasi (2.58 %), demikian
juga pada tepung berukuran partikel ≤ 70 µm kadar serat kasar turun dari 1.82 %
(non fermentasi) menjadi 0.97 % (fermentasi 70 jam).

3.0

2.5
serat kasar (% bk)

2.0

1.5

1.0

0.5 > 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 30 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kadar serat kasar tepung jagung
89

Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kadar protein tepung
jagung. Hal ini mirip dengan sifat pada tepung gandum yaitu tepung dengan
ukuran partikel lebih kecil mempunyai kadar protein lebih besar (Barbosa-
Canovas dan Yan 2003). Pada tepung jagung berukuran ≤ 75 µm, waktu
fermentasi selama 70 jam menurunkan kadar protein menjadi 8.96%
dibandingkan tepung jagung berukuran ≤ 75 µm tanpa fermentasi (11.03 %).
Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm, kadar protein tepung setelah
fermentasi 70 jam (7.21%) relatif tidak berubah dari kadar protein tepung tanpa
fermentasi (7.85%). Perubahan kadar protein tepung jagung pada masing-masing
ukuran partikel ini dapat dilihat pada Gambar 31.

12.0

11.0

10.0
protein (%bk)

9.0

8.0

7.0

> 150-250µm >106 - 150 µm


6.0
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
5.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 31 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kadar protein tepung jagung

Waktu fermentasi grits jagung berpengaruh nyata terhadap kadar pati


tepung jagung, sedangkan ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh. Pati jagung mempunyai ukuran partikel 1 sampai 7 μm untuk
partikel berukuran kecil dan 15 sampai 20 μm untuk partikel berukuran besar.
Ukuran partikel tepung jagung paling kecil pada penelitian ini adalah ≤ 75 μm
sehingga semua pati lolos pada ayakan yang paling kecil. Hal ini mengakibatkan
90

tidak ada perbedaan kadar pati antara ukuran partikel tepung yang berbeda.
Sebagian besar pati (87,6%) berada pada bagian endosperm yang dapat menjadi
halus pada proses penggilingan dan terdistribusi hampir merata pada semua
ukuran partikel tepung jagung.

Tabel 31 Kadar pati, kadar gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan
dengan variasi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel
tepung
Waktu Ukuran Kadar pati Kadar gula pH
fermentasi partikel (% bk) reduksi (% bk)
jagung (jam)
0 60 mesh 77.0±0,4 2.70±0.08 5.67±0.04
>150-250 µm 74.1 ± 0.6 2.04±0.07 5.66±0.05
>106-150 µm 76. ± 1.2 2.15±0.03 5.73±0.1
>75-106 µm 75.7 ± 0.3 2.21±0.11 5.69±0.04
≤75 µm 76.3 ± 0.8 2.57±0.03 5.67±0.06
15 60 mesh 76.5±2.4 1.37±0.12 4.8±0.12
>150-250 µm 75.0 ± 2.5 1.37±0,133 4.69±0.12
>106-150 µm 74.4 ± 1.5 1.31±0.07 4.71±0.8
>75-106 µm 74.6±1.3 1.52±0.10 4.78±0.07
≤75 µm 75.3±2.0 1.32±0.18 4.84±0.03
30 60 mesh 76.6±1.7 1.33±0.23 4.72±0.11
>150-250 µm 72.0 ± 2.2 1.23±0.16 4.72±0.1
>106-150 µm 72.5±3.4 1.28±0.11 4.69±0.05
>75-106 µm 73.2±4.2 1.36±0.09 4.69±0.06
≤75 µm 72.6±2.7 1.43±0.22 4.63±0.09
45 60 mesh 73.7±0.8 1.72±0.19 4.57±0.28
>150-250 µm 71.9±2.3 1.46±0.15 4.34±0.08
>106-150 µm 72.6±2.8 1.54±0.09 4.33±0.1
>75-106 µm 72.2± 4 1.26±0.11 4.35±0.11
≤75 µm 71.8±2.4 1.48±0.13 4.19±0.03
57.5 60 mesh 74.6±3.1 1.25±0.25 4.42±0.02
>150-250 µm 72.2±2.8 1.32±0.13 4.33±0.06
>106-150 µm 70.6±2.2 1.50±0.05 4.4±0.08
>75-106 µm 71.4 ± 3.8 1.28±0.19 4.39±0.05
≤75 µm 71.6±2.6 1.25±0.32 4.39±0.02
70 60 mesh 71.6±2.3 1.48±0.33 4.34±0.12
>150-250 µm 69.7±1.6 1.33±0.06 4.67±0.09
>106-150 µm 72.2 ± 2.6 1.47±0.05 4.61±0.03
>75-106 µm 69.4 ± 2.5 1.57±0.06 4.66±0.1
≤75 µm 69.0 ± 2.6 1.37±0.04 4.67±0.05
Keterangan: angka dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 0.05
91

4.4.2 Densitas kamba tepung jagung


Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung serta interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap loose dan packed density tepung jagung.
Semakin kecil ukuran partikel tepung, loose dan packed density tepung jagung
semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin kecil ukuran partikel, semakin besar
luas permukaan dan semakin besar pula volume sehingga densitas semakin kecil.
Densitas tepung jagung yang berbeda ukuran partikelnya mempunyai
korelasi dengan kadar protein, serat kasar, lemak, abu, pati, amilosa dan waktu
fermentasi jagung (Lampiran 12). Protein utama pada jagung adalah zein dengan
berat molekul sekitar 22 sampai 24 kilodalton (Laszity 1986). Berdasarkan gaya
sedimentasi dan difusi, molekul zein berbentuk globula sehingga lebih banyak
residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein, sehingga protein memiliki
densitas besar. Pada tepung jagung berukuran besar, sedikit peningkatan kadar
protein akan meningkatkan densitas. Sedangkan tepung jagung berukuran kecil
mempunyai luas area permukaan dibanding volume yang besar yang
memungkinkan lebih banyak residu hidrofobik pada bagian luar. Hal ini
mengakibatkan penurunan densitas.
Pada tepung jagung berukuran partikel kecil, perubahan kadar protein ini
cenderung tidak mengubah packed density seperti terlihat pada Gambar 32. Pada
tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, perubahan kadar protein dari
7.08 % menjadi 7.85 % meningkatkan packed density dari 0.669 g/ml menjadi
0.748 g/ml; sedangkan pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm peningkatan
kadar protein dari 8.96 % menjadi 11.03 % mengubah packed density dari 0.585
g/ml menjadi 0.635 g/ml.
92

0.800

packed density (g/ml)


0.700

0.600

0.500
>150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤75 µm
0.400
5.0 7.0 9.0 11.0 13.0
protein (%bk)

Gambar 32 Pengaruh kadar protein dan ukuran partikel terhadap packed density
tepung jagung.

Semakin tinggi kadar serat kasar dan semakin besar ukuran partikel,
semakin tinggi packed density tepung jagung (Gambar 33). Apabila dibuat suatu
grafik hubungan antara kadar serat kasar dan packed density tepung jagung akan
didapatkan garis regresi linier seperti dapat dilihat pada Gambar 34. Berdasarkan
hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa kadar serat kasar mempunyai pengaruh
terhadap packed density tanpa dipengaruhi ukuran partikel tepung.

0.80
packed density (g/ml)

0.70

0.60

0.50
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.40
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0

serat kasar (% bk)

Gambar 33 Pengaruh kadar serat kasar dan ukuran partikel tepung terhadap
packed density tepung jagung
93

0.80

packed density (g/ml)


0.70

0.60

Dp = 0.0764s + 0.5148
0.50
R 2 = 0.7386

0.40
0.0 1.0 2.0 3.0
serat kasar (% bk)

Gambar 34 Hubungan kadar serat kasar dan packed density tepung jagung.

Pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi grits


jagung selama 70 jam menurunkan loose density tepung jagung menjadi 0.463
g/ml dibandingkan tepung jagung yang tidak difermentasi (0.535 g/ml).
Sedangkan pada tepung berukuran ≤ 75 µm, loose density relatif tidak berubah
dengan meningkatnya waktu fermentasi selama 70 jam dari 0.395 g/ml menjadi
0.368 g/ml (Gambar 35). Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan
loose density tepung jagung berukuran > 150 - 250 µm dan >106 – 150 µm dapat
dinyatakan dalam bentuk grafik linier dengan persamaan:
Dli = -0.001t + 0.532 (R2 = 0.801)
Dlii = -0.001t+ 0.508 (R2 = 0.8272)
dimana Dli dan Dlii adalah loose density tepung jagung berukuran > 150 - 250 µm
dan >106 – 150 µm dalam g/ml, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam
jam dan R2 adalah koefisien determinasi.
94

0.60
Dlii= -0.001t + 0.508
Dli = -0.001x + 0.532
R 2 = 0.8272

loose density (g/ml)


R2 = 0.801
0.50

0.40

0.30
> 150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.20
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 35 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap loose density tepung jagung.

Peningkatan waktu fermentasi grits jagung juga menghasilkan grafik


cenderung mendatar pada packed density tepung jagung berukuran paling kecil (≤
75 µm) seperti terlihat pada Gambar 36. Pada tepung berukuran ≤ 75 µm, waktu
fermentasi selama 70 jam sedikit menurunkan packed density (dari 0.635 g/ml
menjadi 0.585 g/ml); sedangkan pada tepung berukuran partikel >150 – 250 µm,
fermentasi grits jagung selama 70 jam menurunkan packed density (0.639 g/ml)
dari tepung non fermentasi (0.748 g/ml). Hubungan antara waktu fermentasi grits
jagung dengan packed density tepung jagung berukuran >150 - 250 µm, >106 –
150 µm dan >75 – 106 µm dapat dinyatakan dalam bentuk grafik linier dengan
persamaan-persamaan:
Dpi = -0.0016t + 0.744 (R2 = 0.9215);
Dpii = -0.0012t + 0.702 (R2 = 0.7921);
Dpiii = -0.0011t + 0.678 (R2 = 0.8555),
Dengan Dpi, Dpii dan Dpiii adalah packed density tepung jagung berukuran >150 -
250 µm, >106 – 150 µm dan >75 – 106 µm dalam g/ml, t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam) dan R2 adalah koefisien determinasi.
95

0.80
Dpii= -0.0012t + 0.702

packed density (g/ml)


R2 = 0.7921 Dpi = -0.0016t + 0.744
0.70 R 2 = 0.9215

0.60
Dpiii = -0.0011t + 0.678
0.50 R 2 = 0.8555

0.40
> 150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.30
0 20 40 60 80

waktu (jam)
Gambar 36 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap packed density tepung jagung.

4.4.3 Sudut curah tepung jagung


Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap sudut curah tepung jagung. Semakin kecil
ukuran partikel tepung jagung semakin besar sudut curah tepung jagung, yang
berarti daya alir semakin rendah. Menurut Cadden (1987) ukuran partikel yang
semakin kecil menurunkan daya alir tepung. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Domian dan Poszytek (2005) yang menyatakan bahwa perubahan ukuran partikel
dapat mempengaruhi daya alir tepung. Semakin kecil ukuran partikel, rasio luas
permukaan terhadap massa meningkat. Menurut Fitzpatrick et al. (2004), luas
permukaan menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan
kohesi sehingga rasio luas permukaan terhadap volume merupakan indikasi yang
baik bagi daya alir pada sistem bubuk. Lebih tinggi rasio luas permukaan
terhadap volume, partikel cenderung lengket dengan partikel yang lain dan hal ini
mengurangi kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi
sehingga mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini juga sesuai
dengan pernyataan Stasiak dan Molenda (2004) bahwa penurunan ukuran partikel
cenderung menurunkan daya alir karena luas permukaan partikel meningkatkan
gaya kohesiv. Partikel tepung jagung berukuran kecil cenderung tidak mengalami
perubahan daya alir dengan meningkatnya waktu fermentasi grits jagung seperti
96

terlihat pada Gambar 37. Pada tepung jagung berukuran ≤ 75 µm , sudut curah
tidak berubah dengan bertambahnya waktu fermentasi; sedangkan pada tepung
jagung berukuran > 150-250 µm fermentasi 70 jam meningkatkan sudut curah
menjadi 47.6o, dari tepung non fermentasi (29.4o).

60

50
sudut curah ( )
o

40

30
Sri = 0.225t + 31.53
20 R2 = 0.8579

10 > 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 37 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap sudut curah tepung jagung.

Semakin kecil ukuran partikel, perubahan kadar protein, lemak, serat kasar
dan abu cenderung tidak mengubah sudut curah tepung jagung (Lampiran 13).
Pada tepung jagung berukuran partikel kecil, kadar lemak cenderung tidak
mempengaruhi daya alirnya sehingga menghasilkan grafik mendatar seperti pada
Gambar 38. Hal ini sesuai dengan penelitian Fitzpatrick et al. (2004) bahwa pada
susu bubuk berukuran partikel kecil mempunyai daya alir relatif tidak berubah
dengan meningkatnya kadar lemak; sedangkan pada susu bubuk berukuran
partikel besar, daya alirnya meningkat dengan menurunnya kadar lemak. Hal ini
disebabkan pengaruh gaya kohesiveness akibat kadar lemak yang tinggi lebih
dominan daripada ukuran partikel pada susu bubuk berukuran partikel kecil .
97

60

50

sudut curah ( )
o
40

30
Sri = -24.48l + 106.2
20 R2 = 0.7084

10 > 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
kadar lemak (% bk)

Gambar 38 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung


terhadap sudut curah tepung jagung putih

Semakin tinggi densitas dan semakin besar ukuran partikel, semakin kecil
sudut curah. Semakin tinggi densitas, semakin kecil luas permukaan, demikian
juga semakin besar ukuran partikel. Gaya permukaan antarpartikel seperti gaya
gesekan dan kohesi ditentukan oleh luas permukaan dan masa yang proporsional
terhadap volume, merupakan indikasi yang baik bagi daya alir pada sistem bubuk.
Semakin besar ukuran partikel tepung, semakin kecil luas permukaan sehingga
tepung lebih mudah mengalir atau sudut curah semakin kecil. Pada tepung jagung
dengan ukuran partikel kecil, perubahan packed density cenderung tidak
mempengaruhi daya alir tepung seperti dapat dilihat pada Gambar 39.

60

50
sudut curah (o )

40

30
Sri = -130.48Dp + 129.2
R2 = 0.7999
20

10 > 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0.50 0.60 0.70 0.80

packed density (g/ml)

Gambar 39 Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap sudut
curah tepung jagung putih.
98

Peningkatan waktu fermentasi grits jagung menurunkan sudut curah


tepung jagung berukuran partikel >150 – 250 µm. Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dengan sudut curah tepung jagung dengan ukuran partikel
150 – 249.9 µm dapat dinyatakan sebagai persamaan linier
Sri = 0.2252t + 31.528 (R2 = 0.8579)
dengan Sri adalah sudut curah tepung jagung dengan ukuran partikel 150 – 249.9
µm dalam o, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah
koefisien determinasi.

4.4.4 Derajat putih tepung jagung


Semakin kecil ukuran partikel, semakin tinggi derajat putih tepung
(Gambar 40 dan 41). Hal ini disebabkan tepung dengan ukuran partikel kecil
mempunyai luas permukaan besar sehingga akan terbentuk bayangan yang lebih
cerah. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap derajat putih tepung
jagung menghasilkan grafik linier dengan kemiringan hampir sama pada semua
ukuran partikel tepung jagung seperti dapat dilihat pada Gambar 41. Pada tepung
jagung berukuran partikel >150-250 µm, tepung jagung yang dibuat tanpa
fermentasi mempunyai derajat putih 60.7 % dan fermentasi 70 jam meningkatkan
derajat putihnya (68.7 %). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi 70
jam meningkatkan derajat putih (79.6%) dibandingkan tepung yang dibuat tanpa
fermentasi (74.9%).

(a) (b) (c) (d)


Gambar 40 Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama 15
jam dengan ukuran partikel (a) > 150-250 µm; (b) >106-150 µm, (c) >75-106
µm; (d) ≤75 µm
99

90
Wiii = 0.087t + 69.4
Wiv = 0.068t + 74.7
2 R 2 = 0.7195

derajat putih (%)


R = 0.8413
80

70

Wi = 0.097t + 63.3
Wii = 0.042t + 68.4
60 2 R2 = 0.6422
R = 0.5498
> 150-250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
50
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 41 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap derajat putih tepung jagung.

Derajat putih tepung jagung berkorelasi dengan kadar protein, gula reduksi
dan pH pada hampir semua ukuran (Lampiran 14). Hubungan antara kadar
protein dan gula reduksi dengan derajat putih berkorelasi dengan reaksi
pencoklatan non enzimatis, yang didukung dengan korelasi antara derajat putih
dengan pH pada tepung jagung semua ukuran. Tepung jagung berukuran partikel
≤75 µm mempunyai kisaran derajat putih lebih tinggi (74.9 – 79.6 %) pada pH
antara 4.2 sampai 5.7 dibanding tepung berukuran partikel >150-250 µm (60.7 -
68.7 %) pada kisaran pH yang hampir sama (4.3 sampai 5.7) seperti dapat dilihat
pada Gambar 42.
90

80
derajat putih (%)

70

60
Wi = -6.042Ph + 95.4
R2 = 0.873
50

40
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
30
4.0 4.5 5.0 5.5 6.0
pH

Gambar 42 Pengaruh pH dan ukuran partikel tepung terhadap derajat putih


tepung jagung.
100

Semakin tinggi packed density, semakin kecil luas permukaan bahan dan
dengan adanya pemantulan cahaya akan terbentuk bayangan yang kelihatan lebih
gelap. Hubungan densitas dengan derajat putih tepung jagung berhubungan juga
dengan luas permukaan. Pada tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm,
peningkatan packed density dari 0.639 g/ml menjadi 0.748 g/ml menurunkan
derajat putih (dari 68.7 % menjadi 60.7 %); demikian juga pada tepung berukuran
partikel >150-250 µm peningkatan packed density (dari 0.585 g/ml menjadi 0.635
g/ml) akan menurunkan derajat putih (dari 79.6 % menjadi 74.9 %) seperti dapat
dilihat pada Gambar 43.

90

80
derajat putih (%)

70

60
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
50
0.50 0.60 0.70 0.80

packed density (g/ml)

Gambar 43 Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap derajat
putih tepung jagung.

4.4.5 Kapasitas penyerapan air


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh
nyata terhadap kapasitas penyerapan air tepung yang dihasilkan, sedangkan
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran partikel, luas
permukaan semakin besar sehingga kemampuan bahan dalam menyerap air lebih
besar (Gambar 44). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi selama
30 jam meningkatkan kapasitas penyerapan air menjadi 128.9% dari tepung
jagung non fermentasi (115.9 %), dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam akan
menurunkan kembali kapasitas penyerapan air (113.6%). Sedangkan pada tepung
101

berukuran partikel >150 – 250 µm, fermentasi cenderung tidak mengubah


kapasitas penyerapan air tepung yang dihasilkan seperti terlihat pada Gambar 44.
Dengan demikian apabila diinginkan produk-produk yang perlu tingkat rehidrasi
tinggi dapat digunakan tepung hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran
partikel ≤ 75 µm.

140
kapasitas penyerapan air(%)

120

100

> 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
80
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 44 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung.

4.4.6. Kapasitas penyerapan minyak


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh
nyata terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan,
sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran
partikel tepung, semakin besar kapasitas penyerapan minyak karena semakin kecil
ukuran partikel, luas permukaan semakin besar sehingga kemampuan bahan dalam
menyerap minyak semakin besar. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm,
fermentasi grits selama 70 jam menurunkan kapasitas penyerapan minyak menjadi
69.3% dari tepung non fermentasi (82.8%).
Pada tepung berukuran partikel >150 – 250, kapasitas penyerapan minyak
relatif tidak berubah dengan fermentasi seperti terlihat pada Gambar 45. Dengan
demikian apabila diinginkan produk dengan kapasitas penyerapan minyak kecil
maka digunakan tepung dengan ukuran partikel yang lebih besar. Sebagai contoh
102

adalah untuk melapisi (coating) produk-produk yang digoreng, pelapisan


menggunakan tepung berukuran partikel besar lebih menguntungkan karena lebih
sedikit menyerap air.

100
kapasitas penyerapan minyak (%) Kpm iv = -0.205t + 83
R 2 = 0.7258
80

60

40

20 > 150-250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm

0
0 20 40 60 80

waktu (jam)

Gambar 45 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung.

Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kapasitas penyerapan


minyak tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm menghasilkan grafik regresi
linier yang menurun. Hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan:
Kpmiv = 0.2048t + 83 (R2 = 0.7258)
dengan Kpmiv adalah kapasitas penyerapan minyak tepung jagung berukuran
partikel ≤ 75 µm dalam % berat kering, t adalah waktu fermentasi grits jagung
(jam) dan R2 adalah koefisien determinasi.

4.4.7 Suhu gelatinisasi


Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh
nyata terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung tetapi interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata. Lebih kecil ukuran partikel tepung, lebih rendah suhu
gelatinisasi karena luas permukaan lebih besar sehingga lebih cepat menyerap air.
Semakin cepat bahan menyerap air akan semakin cepat pula terjadinya gelatinisasi
sehingga suhu gelatinisasi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian
103

Bedolla dan Rooney (1984) bahwa semakin tinggi ukuran partikel tepung jagung
ternikstamalisasi, semakin tinggi suhu gelatinisasi. Valdez-Niebla et al. (1993)
juga menyatakan bahwa pada tepung amaranth, meningkatnya ukuran partikel
tepung akan meningkatkan suhu gelatinisasi. Hubungan antara waktu fermentasi
grits jagung terhadap suhu gelatinisasi pada semua ukuran partikel tepung
menunjukkan grafik seperti terlihat pada Gambar 46.

90

85
suhu gelatinisasi (o C)

80

75

70

65
> 150 - 250µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
60
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 46 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung.

4.4.8 Viskositas puncak


Waktu fermentasi jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh nyata
terhadap viskositas puncak tepung jagung yang dihasilkan, demikian juga
interaksi keduanya. Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar
viskositas puncak tepung jagung. Hal ini hampir mirip dengan keadaan pada
tepung gandum bahwa tepung yang lebih halus viskositasnya lebih besar (Rasper
1982). Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin besar luas
permukaan sehingga penyerapan airnya semakin besar sehingga viskositas puncak
tepung jagung meningkat. Tepung jagung non fermentasi berukuran partikel
>150-250 µm mempunyai viskositas puncak 328 BU, ukuran partikel yang lebih
kecil (>106-150 µm) meningkatkan viskositas puncak (524 BU) dan ukuran
partikel yang lebih kecil (>75 – 106 µm) juga meningkatkan viskositas puncak
104

(629 BU) hampir sama dengan viskositas puncak tepung berukuran partikel ≤ 75
µm ( 665 BU) seperti dapat dilihat pada Gambar 47.

VP

Gambar 47 Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung non


fermentasi (___>150 – 250 µm, ___ >106 – 150 µm, ___ >75 – 106 µm,
____ ≤ 75 µm).

Waktu fermentasi grits jagung selama 70 jam meningkatkan viskositas


puncak pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm menjadi 565 BU
dibandingkan tepung non fermentasi (328 BU). Pada tepung berukuran partikel ≤
75 µm, fermentasi grits jagung selama 70 jam cenderung tidak mengubah
viskositas puncak (698 BU) dari tepung non fermentasi (665 BU) seperti terlihat
pada Gambar 48 dan 49. Hal ini disebabkan kemampuan tepung tersebut dalam
menyerap air sudah maksimal sehingga peningkatan luas permukaannya tidak lagi
meningkatkan kapasitas penyerapan air dan viskositas cenderung tetap.
105

800

viskositas puncak (BU)


600

400
Vp i = 3.17t + 370.9
R2 = 0.7957

200

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)
Gambar 48 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap viskositas puncak tepung jagung.

VP

Gambar 49 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap amilografi tepung


jagung berukuran partikel ≤ 75 µm (____ fermentasi 0 jam, ____ fermentasi 45
jam, ____ fermentasi 70 jam).

Viskositas puncak tepung jagung berkorelasi dengan rasio pati:protein,


kadar serat kasar, kadar lemak, rasio pati:gula reduksi, pH, kadar abu, kadar
amilosa, loose density, packed density, dan sudut curah pada tepung jagung
berukuran besar (Lampiran 17). Pada tepung jagung berukuran partikel lebih
kecil, meningkatnya kadar protein, lemak dan serat kasar cenderung tidak
106

mempengaruhi densitas dan sudut curah sehingga pada tepung jagung dengan
ukuran partikel kecil, variabel-variabel tersebut tidak mempengaruhi viskositas
puncak. Pada tepung dengan ukuran partikel besar, peningkatan kadar protein,
serat kasar dan lemak akan meningkatkan densitas dan menurunkan sudut curah
sehingga menurunkan viskositas puncak. Semakin mudah bahan mengalir atau
semakin rendah sudut curah, semakin rendah viskositas puncak. Pada tepung
berukuran partikel >150-250 µm, meningkatnya sudut curah (dari 29.4o menjadi
47.6o) akan meningkatkan viskositas puncak (dari 328 BU menjadi 587 BU)
seperti terlihat pada Gambar 50. Sedangkan tepung berukuran partikel ≤ 75 µm
mempunyai kisaran sudut curah yang kecil (45.7–47.7o) sehingga viskositas
puncak hampir sama (665–698 BU), mirip dengan tepung berukuran partikel > 75
– 106 µm (sudut curah 45 – 47.2o dan viskositas puncak 585-662 BU).

800
Viskositas puncak (BU)

600

400
Vpi = 13.002Sr - 30
R 2 = 0.7888
200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
25 30 35 40 45 50

o
sudut curah ( )
Gambar 50 Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap
viskositas puncak adonan jagung.

Viskositas puncak tepung jagung berkorelasi dengan kadar lemak pada dan
amilosa pada tepung jagung berukuran partikel besar (108-149 µm dan 150-249
µm) (Gambar 51 dan 52). Pengaruh lemak dan amilosa berhubungan dengan
pembentukan kompleks amilosa-lemak yang akan menghambat pengembangan
granula pati. Pada tepung dengan ukuran partikel kecil (75-105.9 µm dan 0.1-74.9
107

µm), tidak terjadi penghambatan pengembangan kompleks amilosa-lemak yang


terbentuk di permukaan granula kemungkinan karena partikel yang kecil
mempunyai luas permukaan besar sehingga masih bisa terjadi pengembangan
granula di sisi yang lain. Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm,
penurunan kadar lemak (3.18%) menjadi 2.45% mengakibatkan peningkatan
viskositas puncak (327 BU menjadi 587 BU); sedangkan pada tepung berukuran
≤ 75 µm, penurunan kadar lemak cenderung tidak mengubah viskositas puncak
seperti dapat dilihat pada Gambar 51. Pada tepung berukuran partikel >150-250
µm, peningkatan kadar amilosa dari 26.% menjadi 28.4 % mengakibatkan
penurunan viskositas puncak (327 BU menjadi 587 BU); sedangkan pada tepung
berukuran ≤ 75 µm, perubahan kadar amilosa cenderung tidak mengubah
viskositas puncak seperti dapat dilihat pada Gambar 52.

800
Viskositas puncak (BU)

600

400
Vpi = -357.83l + 1457.7
R2 = 0.7064
200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
kadar lemak (% bk)

Gambar 51 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap


viskositas puncak adonan jagung.
108

800

Viskositas puncak (BU)


600

400

200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
25 26 27 28 29 30

kadar amilosa (% bk)

Gambar 52 Pengaruh kadar amilosa dan ukuran partikel tepung terhadap


viskositas puncak adonan jagung.

Fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam meningkatkan viskositas


puncak tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm. Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dan viskositas puncak dapat dinyatakan dalam bentuk
regresi linier dengan persamaan:
Vpi = 3.18t + 371 (R2 = 0.7957)
dengan Vpi adalah viskositas puncak adonan jagung berukuran partikel >150-250
µm dalam Brabender Unit (BU), t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam) dan
R2 adalah koefisien determinasi.

4.4.9 Sifat adonan selama pemanasan


Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap sifat adonan selama pemanasan yaitu
viskositas adonan panas, viskositas panas 15 menit (Vpa15) dan breakdown
viscosity tepung jagung. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin
besar luas permukaan sehingga penyerapan airnya semakin besar. Hal ini akan
meningkatkan Vpa15 dan breakdown viscosity. Pada tepung berukuran partikel
>150 -250 µm, fermentasi selama 70 jam akan meningkatkan Vpa15 menjadi 530
BU dari tepung non fermentasi (416 BU). Breakdown viscosity akan meningkat
menjadi 35 BU pada tepung yang dibuat dengan fermentasi 70 jam dibandingkan
109

tepung non fermentasi (-88 BU). Pada tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm,
fermentasi relatif tidak mengubah viskositas panas selama 15 menit (Vpa15) dan
breakdown viscosity (Gambar 53 dan 54).

800

600
VPa15 (BU)

400

200
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 53 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap viskositas panas 15 menit tepung jagung.

200
breakdown viscosity (BU)

100

0
0 20 40 60 80
waktu (jam) Bdi = 1.48x - 77
-100 R2 = 0.8102

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
-200

Gambar 54 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap breakdown viscosity tepung jagung.

Seperti halnya viskositas puncak, sebagian besar parameter yang


berkorelasi dengan sifat adonan selama pemanasan juga hanya berkorelasi pada
tepung jagung yang berukuran besar yaitu >150-250 µm dan >106-150 µm
110

(Lampiran 18). Penjelasan perubahan stabilitas adonan selama pemanasan pada


tepung jagung berukuran partikel besar sama dengan perubahan viskositas puncak
adonan jagung.
Pada tepung dengan ukuran partikel besar, peningkatan kadar lemak akan
meningkatkan densitas dan menurunkan sudut curah sehingga menurunkan
breakdown viscosity (Gambar 55). Tepung jagung berukuran besar mempunyai
rasio area permukaan:volume kecil sehingga adanya sedikit perubahan akan
berdampak pada parameter yang lain, misalnya menurunnya kadar lemak akan
membuat pengembangan granula dan peningkatan viskositas menjadi lebih besar
dengan volume yang kecil, dan ini lebih terlihat nyata dibanding tepung berukuran
kecil. Pada tepung berukuran partikel > 150 – 250 µm, peningkatan kadar lemak
dari 2.45 % menjadi 2.99 % akan mengubah breakdown viscosity dari -88 BU
menjadi 25 BU, sedangkan pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, peningkatan
kadar lemak dari 3.28 menjadi 3.72 % relatif tidak mengubah breakdown
viscosity.

200
breakdown viscosity (BU)

100

0
1.0 2.0 3.0 4.0 5.0
kadar lemak (% bk)
-100

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
-200

Gambar 55 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap


breakdown viscosity tepung jagung.

Kadar protein, lemak, serat kasar, abu dan amilosa mempengaruhi sudut
curah pada tepung jagung dengan ukuran partikel besar. Sudut curah tepung
jagung mempengaruhi sifat-sifat tepung jagung dengan ukuran partikel besar
selama proses pemanasan, salah satunya adalah breakdown viscosity (Gambar 56).
111

Peningkatan sudut curah (dari 29.4o menjadi 47.6o) pada partikel tepung
berukuran >150 – 250 µm akan mengubah breakdown viscosity dari -88 BU
menjadi 35 BU. Tepung berukuran partikel kecil mempunyai kisaran sudut curah
kecil (47 - 47.7o) sehingga breakdown viscosity relatif tidak terpengaruh seperti
terlihat pada Gambar 56.

150
breakdown viscosity BU)

100

50

0
25 30 35 40 45 50 55
-50 o
sudut curah ( )

-100 > 150 - 250 µm >106 - 150 µm


>75 – 106 µm ≤ 75 µm
-150

Gambar 56 Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap breakdown
viscosity tepung jagung.

Kapasitas penyerapan air berkorelasi dengan viskositas panas 15 menit


dan breakdown viscosity pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm. Korelasi
breakdown viscosity dengan kapasitas penyerapan air terjadi pada tepung
berukuran kecil karena luas permukaan yang lebih besar lebih banyak menyerap
air. Semakin besar kapasitas penyerapan air pada suatu bahan, maka akan
semakin kuat bahan tersebut menahan air selama proses pemasakan dan hal ini
mengakibatkan adonan lebih stabil selama pemanasan.
Fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam meningkatkan viskositas
panas dan breakdown viscosity tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm.
Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan viskositas panas serta
breakdown viscosity dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi linier:
Vpai = 3.1815t + 360.23 (R2 = 0.7208);
Bdi = 1.4797t + 76.974 (R2 = 0.8102)
dimana Vpai adalah viskositas panas adonan jagung berukuran partikel >150-250
112

µm dalam Brabender Unit (BU), Bdi adalah breakdown viscosity adonan jagung
berukuran partikel >150-250 µm dalam Brabender Unit (BU), t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam).

4.4.10 Retrogradasi adonan


Waktu fermentasi jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya

berpengaruh nyata terhadap viskositas dingin, setback viscosity dan Vd .


Vpa15

Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kemungkinan terjadinya


retrogradasi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai viskositas dingin atau Vd
Vpa15

(Gambar 57 dan 58). Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin luas
permukaan sehingga lebih besar kemungkinan terjadinya leaching amilosa dari
granula pati. Semakin banyak terjadinya leaching meningkatkan retrogradasi
adonan jagung. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits selama
30 jam menurunkan viskositas dingin (1120 BU) dari tepung non fermentasi (1642
BU) dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi viskositas dingin
(1950 BU). Pada tepung berukuran partikel > 150 – 250 µm, peningkatan waktu
fermentasi selama 70 jam meningkatkan viskositas dingin tepung (1263 BU) dari
tepung non fermentasi (983 BU) (Gambar 57).
Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits selama 30 jam

menurunkan Vd (2.08) dari tepung non fermentasi (2.80) dan fermentasi


Vpa15

lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd (3.11). Sedangkan pada tepung


Vpa15

berukuran partikel >150 – 250µm fermentasi grits selama 45 jam menurunkan


Vd
(1.88) dari tepung non fermentasi (2.37) dan fermentasi lanjutan sampai 70
Vpa15

jam meningkatkan lagi Vd (2.40) seperti dapat dilihat pada Gambar 58.
Vpa15
113

2500

viskositas dingin (BU)


2000

1500

1000

500
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 57 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap viskositas dingin adonan jagung.

4.0

3.0

2.0

1.0
> 150 - 250 µm >106 - 150 µm
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0.0
0 20 40 60 80

waktu (jam)
Gambar 58 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
Vd
terhadap adonan jagung.
Vpa15

Semakin besar ukuran partikel tepung jagung, semakin rendah viskositas


dingin adonan jagung. Tepung jagung yang dibuat melalui proses fermentasi grits
jagung selama 70 jam dengan ukuran partikel >150 – 250 µm mempunyai
viskositas dingin 1263 BU, lebih kecil daripada tepung berukuran partikel <106 –
150 µm (1420 BU), >75 – 106 µm (1705 BU) dan ≤ 75 µm (1950 BU) seperti
114

terlihat pada Gambar 59. Hal ini sesuai dengan penelitian Iwuoha dan Nwakanma
(1998) pada tepung ubi jalar, bahwa semakin besar ukuran partikel ubi jalar,
semakin rendah viskositas adonan saat pendinginan.

VD

Gambar 59 Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung yang


dibuat dengan fermentasi grits jagung selama 70 jam (___>150 – 250 µm, ___
>106 – 150 µm, ___ >75 – 106 µm, ____ ≤ 75 µm

Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar kemungkinan terjadinya


retrogradasi adonan, tetapi pada tepung jagung yang dibuat dari proses fermentasi
selama 30 jam, kecenderungan tererogradasi tersebut hampir sama pada tepung
dengan ukuran partikel <106 – 150 µm, >75 – 106 µm dan ≤ 75 µm (Gambar 57
dan 58. Semakin besar kemungkinan teretrogradasi, semakin besar kemungkinan
terjadinya pengerasan produk selama proses pendinginan. Pada produk-produk
bakery, hal tersebut tidak diinginkan karena dapat mengakibatkan terjadinya
staling. Untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut, dapat digunakan tepung
hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran partikel <106 – 150 µm, >75 – 106
µm atau ≤ 75 µm.

4.4.11 Sifat gel


Semakin besar ukuran partikel, semakin tinggi kekuatan gel karena semakin
kecil ukuran partikel tepung, semakin besar luas permukaan bahan sehingga
115

semakin besar terjadinya leaching amilosa dari granula pati yang akan
menurunkan kekuatan gel dan meningkatkan kelengketan gel. Pada tepung
berukuran partikel ≤ 75 µm, kekuatan gel relatif tidak berubah dengan
meningkatnya waktu fermentasi (Gambar 60). Pada tepung berukuran partikel
>150-250 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan kekuatan gel (27.9 gforce)
dari tepung non fermentasi (18.6 gforce), fermentasi lanjutan sampai 45 jam tidak
mengubah kekuatan gelnya (27.6 gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya
sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (17.6 gforce). Pada tepung
berukuran partikel >106-150 µm, fermentasi selama 45 jam meningkatkan
kekuatan gel (25.4 gforce) dari tepung non fermentasi (13.2 gforce), dan waktu
fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (14 gforce).

35
Gs i = -0.008t2 + 0.57t + 18.7
30 R 2 = 0.9363
kekuatan gel (g force)

25

20 y
Gs ii = -0.009t2 + 0.663t+ 12.9
15 R2 = 0.9221

10

> 150 - 250 µm >106 - 150 µm


5
>75 – 106 µm ≤ 75 µm
0
0 20 40 60 80
waktu (jam)

Gambar 60 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
terhadap kekuatan gel tepung jagung

Tepung jagung dengan ukuran partikel ≤ 75 µm mempunyai kekuatan gel


yang lebih kecil dibanding tepung berukutan lain. Hal ini berhubungan dengan
tingkat sineresisnya, dimana pada tepung berukuran kecil kemungkinan terjadi
sineresis lebih besar sehingga gel yang dihasilkan lebih lemah.
Tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm yang dibuat dengan
fermentasi grits jagung selama 30 jam mempunyai kekuatan gel tertinggi yaitu
sebesar 27.9 gforce. Kekuatan gel tepung jagung ini sedikit lebih tinggi
116

dibandingkan kekuatan gel pati jagung varietas sama yang dimodifikasi secara
oksidasi, yaitu sebesar 25.5 gforce (Nur Aini dan Hariyadi 2007).
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kekuatan gel
menunjukkan grafik yang bersifat kuadratik seperti terlihat pada Gambar 65.
Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan kekuatan gel pada tepung
jagung dapat dinyatakan dengan persamaan:
Gsi = -0.008t2 + 0.57t + 18.7 (R2 = 0.9363)
Gsii = -0.009t2 + 0.66t + 12.9 (R2 = 0.9221)
dimana Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung jagung berukuran partikel 150-
249.9 µm dan 106-149.9 µm dalam g force, t adalah waktu fermentasi grits
jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.

4.5 Pembahasan umum


Beberapa sifat fungsional tepung jagung yang dibuat dari tepung jagung
terfermentasi dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia. Diantara sifat kimia yang
berkorelasi, kadar protein dan lemak tepung jagung sangat menentukan sifat fisik
dan fungsional tepung. Kadar protein tepung jagung berkorelasi dengan densitas
dan sudut curah tepung jagung serta sifat-sifat gelatinisasi dan kekuatan gel pasta
jagung. Hal ini dipengaruhi struktur biji jagung, terutama pada bagian
endosperm, seperti yang dinyatakan oleh Abdelrahman dan Hoseney (1984).
Endosperm biji jagung terdiri dari dua komponen utama yaitu granula pati dan
protein, dan struktur fisik endosperm tergantung pada interaksi antar dua
komponen tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi variasi struktur biji
jagung, diantaranya ketebalan matriks protein yang kontak dengan granula pati
dan kekuatan adhesi antara matriks protein dan granula pati. Adanya dominasi
pengaruh protein terhadap struktur biji jagung ini mempengaruhi pula sifat fisik
tepung jagung.
Korelasi yang tinggi antara kadar protein dengan densitas tepung jagung
terjadi juga karena komposisi fraksi dan distribusi residu hidrofobik dan hidrofilik
pada protein. Kandungan asam amino terbesar pada protein jagung adalah asam
amino yang bersifat hidrofobik yang diasumsikan berbentuk globular sehingga
117

meminimalkan rasio antara area permukaan dengan volume yang memungkinkan


lebih banyak residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein. Rasio antara
area permukaan dengan volume yang kecil pada protein jagung mengakibatkan
tepung jagung mempunyai densitas yang besar dengan meningkatnya kadar
protein (Damodaran 1996). Pengaruh kadar protein terhadap densitas ini
mempengaruhi juga sudut curah atau sifat alir tepung jagung.
Protein yang bersifat hidrofilik akan bersaing dengan pati untuk
mendapatkan air. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Oluwamukomi et al.
(2005) dan Hamaker dan Griffin (1993) bahwa keberadaan dan interaksi protein
dengan pati menurunkan viskositas. Kurangnya air yang dapat diserap oleh pati
karena adanya protein akan menghambat proses gelatinisasi dan menurunkan
viskositas puncak pasta. Semakin tinggi kadar protein membuat rasio antara pati
dengan protein semakin rendah yang mengakibatkan menurunnya viskositas
pasta. Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap parameter gelatinisasi dan
sifat gel pasta jagung dipengaruhi juga oleh pH. Pengaturan pH menjadi asam
mengakibatkan protein menjadi lebih bermuatan positif dan karbohidrat akan
terdehidrasi menghasilkan gugus karboksil yang lebih bermuatan negatif. Pada
kondisi tersebut terjadi ikatan elektrostatik antara pati dan protein yang akan
meningkatkan viskositas pasta dan pada akhirnya akan terbentuk gel yang kuat.
Pada pH basa, baik protein dan pati mempunyai muatan negatif dan sedikit
interaksi yang terjadi antar komponen tersebut sehingga viskositas menjadi
rendah dan gel yang terbentuk menjadi lemah.
Mekanisme pengaruh lemak terhadap sifat fungsional terjadi karena
pembentukan kompleks amilosa-lemak di permukaan granula yang kemudian
menghambat pengembangan sehingga suhu gelatinisasi meningkat. Hal ini sesuai
dengan penelitian Singh et al. (2006) dan Eliasson dan Gudmunsson (1996)
bahwa lemak dapat membentuk kompleks inklusi heliks dengan molekul amilosa,
antara rantai hidrokarbon lemak dan heliks pada amilosa, yang memungkinkan
terjadi annealing (proses peningkatan kristalinitas). Peristiwa ini akan
menghasilkan derajat kristalin lebih tinggi sehingga jika terjadi gelatinisasi, suhu
gelatinisasi akan meningkat dan viskositas menurun. Kompleks inklusi amilosa-
lemak yang menghambat gelatinisasi kemungkinan ada tiga bentuk, pertama
118

kompleks utuh yang mengganggu kristalisasi amilopektin dan menghambat


retrogradasi; kedua kompleks amilosa-lemak dapat memperlambat distribusi air
dan retrogradasi; dan ketiga kristalisasi bersama amilosa dan amilopektin ke
tingkat yang lebih luas, dan substansi kompleks tersebut mengurangi peran
amilosa pada proses kristalisasi kembali (Eliasson dan Gudmunsson 1996).
Peran protein dan lemak terhadap sifat fisik dan fungsional tepung jagung
seperti yang dinyatakan oleh Zhang dan Hamaker (2005) bahwa pati, protein dan
lemak adalah 3 komponen utama pada makanan dan fungsionalitasnya tidak
hanya menentukan nilai produk, tetapi juga sifat tekstural dan umur simpan.
Kompleks lemak-amilosa yang terbentuk dari interaksi antara pati dan lemak juga
mempengaruhi fungsionalitas pati, yaitu menurunkan retrogradasi, dan
mempengaruhi sifat termal dan mekanis pada pati.
Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas permukaan dan semakin
besar pula volume sehingga densitas semakin kecil dan daya alir semakin turun.
Hal ini sesuai dengan pendapat Fitzpatrick et al. (2004) bahwa luas permukaan
menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan kohesi sehingga
lebih tinggi rasio luas permukaan terhadap volume akan mengurangi
kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi sehingga
mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan Stasiak dan Molenda (2004) bahwa penurunan ukuran partikel
cenderung menurunkan daya alir karena luas permukaan partikel meningkatkan
gaya kohesiv.
Lebih kecil ukuran partikel tepung, luas permukaan lebih besar sehingga
lebih cepat menyerap air dan semakin cepat pula terjadinya gelatinisasi sehingga
suhu gelatinisasi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Bedolla dan
Rooney (1984) dan Valdez-Niebla et al. (1993) bahwa semakin kecil ukuran
partikel, semakin rendah suhu gelatinisasi. Tepung jagung berukuran kecil lebih
rendah suhu gelatinisasinya sehingga viskositas puncak, viskositas panas dan
viskositas dingin lebih besar. Hal ini hampir mirip dengan keadaan pada tepung
gandum bahwa tepung yang lebih halus viskositasnya lebih besar (Rasper 1982).
Sementara itu Iwuoha dan Nwakanma (1998) menyatakan bahwa pada tepung ubi
119

jalar, semakin besar ukuran partikel ubi jalar, semakin rendah viskositas adonan
saat pendinginan.
Fermentasi grits jagung selama 48 jam menghasilkan tepung jagung
dengan kekuatan gel 19.47 gforce, hampir sama dengan kekuatan gel pati jagung
varietas Srikandi yang dimodifikasi secara oksidasi asetilasi, yaitu sebesar 19.23
gforce (Nur-Aini dan Hariyadi 2007). Sedangkan tepung jagung berukuran >150
– 250 µm yang dibuat dengan waktu perendaman grits jagung selama 30 jam
mempunyai kekuatan gel tertinggi yaitu sebesar 27.9 gforce. Kekuatan gel tepung
jagung ini sedikit lebih tinggi dibandingkan kekuatan gel pati jagung varietas
sama yang dimodifikasi secara oksidasi, yaitu sebesar 25.5 gforce (Nur Aini dan
Hariyadi 2007). Pati jagung tersebut dapat digunakan sebagai pengganti gelatin
pada pembuatan marshmallow ceam, sehingga tepung jagung dengan kekuatan
gel hampir sama juga dapat digunakan sebagai pengganti gelatin sebagai gelling
agent.
Pada produk-produk bakery, terjadinya retrogradasi tidak diinginkan
karena dapat mengakibatkan terjadinya staling (pengerasan) produk selama
penyimpanan. Untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut, dapat digunakan
tepung hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran partikel <106 – 150 µm,
>75 – 106 µm atau ≤ 75 µm.
120

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung jagung.
1. Fermentasi grits jagung putih menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar,
abu, pati, gula reduksi, pH, densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak
pada tepung yang dihasilkan; sedangkan sudut curah, derajat putih dan
kapasitas penyerapan air meningkat.
2. Proses fermentasi grits jagung putih selama 24 jam menurunkan suhu
gelatinisasi tepung jagung (76.2oC) dibandingkan tepung jagung yang dibuat
tanpa fermentasi (82oC) karena adanya leaching pada sebagian granula yang
bersifat amorf mengakibatkan partikel tepung jagung yang dihasilkan mudah
tergelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi menurun. Fermentasi grits selama
perendaman 24 sampai 48 jam relatif tidak mengubah suhu gelatinisasi tepung
jagung, sedangkan proses fermentasi selama perendaman 72 jam
meningkatkan suhu gelatinisasi tepung jagung (85.2oC).
3. Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas puncak
493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam menghasilkan tepung jagung
dengan viskositas puncak relative tetap (560 BU). Selanjutnya proses
fermentasi selama 48 jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas
puncak meningkat (648 BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung
jagung yang dihasilkan dengan perendaman grits jagung selama 60 jam (573
BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72 jam menghasilkan tepung
jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550 BU), hampir sama
dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi.
4. Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi jagung selama 12
jam mempunyai breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan
lebih tinggi daripada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU).
Stabilitas ini terus dipertahankan selama fermentasi sampai jam ke 60, dan
setelah 72 jam stabilitas pemanasan menurun menjadi -60 BU.
121

5. Proses fermentasi menurunkan kecenderungan retrogradasi tepung yang


dihasilkan. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya rasio viskositas dingin
dibanding viskositas panas setelah 15 menit pengadukan pada suhu 95oC
Vd
( Vpa15 ), yaitu dari 2.97 untuk tepung yang dibuat tanpa proses fermentasi
menjadi 1.87 pada tepung yang diperoleh dengan proses fermentasi 48 jam.
Proses fermentasi lanjutan selama 48 sampai 72 jam tidak mengubah
kecenderungan retrogradasi tepung jagung.
6. Tepung jagung yang dihasilkan dengan perendaman 48 jam mempunyai
kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung
yang dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce). Kekuatan gel ini akan mengalami
sedikit penurunan (14.48 gforce) jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam.
7. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat
kimia, kadar protein paling berpengaruh terhadap sifat fisik dan fungsional
tepung jagung. Semakin rendah kadar protein tepung jagung semakin rendah
loose density, packed density, sudut curah, kapasitas penyerapan minyak dan
retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin tinggi derajat putih, kapasitas
penyerapan air, viskositas puncak dan stabilitas pemanasan.
8. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat
fisik, packed density merupakan faktor paling berpengaruh terhadap sifat
fungsional. Semakin besar packed density tepung jagung, semakin besar
kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin
kecil derajat putih, kapasitas penyerapan air, stabilitas pemanasan serta sudut
curah.
9. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin kecil kadar serat kasar,
loose density, packed density, suhu gelatinisasi dan kekuatan gel sedangkan
kadar protein, kadar lemak, sudut curah, derajat putih, kapasitas penyerapan
air, kapasitas penyerapan minyak, viskositas puncak, breakdown viscosity,
retrogradasi dan kelengketan gel meningkat.
10. Dengan menggunakan analisa korelasi dan regresi, diperoleh beberapa
persamaan yang bisa digunakan untuk memprediksi pengaruh lama proses
fermentasi spontan (perendaman) terhadap beberapa sifat fisik, kimia dan
122

fungsional. Beberapa persamaan tersebut adalah Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8;


Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2 +
0.6628T + 12.923 dimana Tg adalah suhu gelatinisasi (oC), Vpa15 adalah
viskositas panas 15 menit (BU), Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung
jagung berukuran partikel >150 µm dan >106-150 µm dalam g force, dan t
adalah waktu fermentasi grits jagung (jam).

5.2 Saran

1. Fermentasi grits jagung pada pembuatan tepung jagung meningkatkan


stabilitas pemanasan pada adonan jagung dan menurunkan kecenderungan
produk untuk teretrogradasi sehingga tepung jagung yang dihasilkan melalui
proses fermentasi jagung dapat diaplikasikan pada produk pangan yang
memerlukan sifat tersebut, misalnya pada produk bakery yang perlu
kecenderungan retrogradasi rendah.
2. Agar proses fermentasi dapat dikontrol maka fermentasi harus dilakukan pada
kondisi yang sama yaitu pada wadah tertutup, suhu 27oC, air yang digunakan
adalah aquadest dengan perbandingan aquadest dan grits jagung adalah 6 l: 3
kg.
3. Beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional bisa dikendalikan melalui waktu
fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses bisa dikontrol dan untuk itu
perlu penelitian mengenai jenis-jenis mikroorganisme yang tumbuh dominan
pada proses fermentasi jagung secara spontan sehingga pertumbuhan
mikroorganisme tersebut dapat dikendalikan.
4. Fermentasi spontan grits jagung sampai 48 jam dan ukuran partikel yang
semakin besar meningkatkan kekuatan gel sehingga dapat diaplikasikan
sebagai gelling agent pada produk pangan, contohnya sebagai pengganti
gelatin.

DAFTAR PUSTAKA
123

[AACC] American Association of Cereal Chemists. 2000. Approved methods of


the AACC, 10th ed. Methods 22-12, 46-12, 54-10, 54-21, 76-30A. St Paul
MN: The Association.
Abdelrahman AA, Hoseney RC. 1984. Basics for hardness in pearl millet, grain
sorghum and corn. Cereal Chemistry 61:232-235
Achi OK, Akomas NS. 2006. Comparative assessment of fermentation
techniques in the processing of fufu, a traditional fermented cassava
product. Pakistan Journal of Nutrition 5:224-229.
Aguilera JS, Stanley DW. 1999. Microstructural Principles of Food Processing
and Engineering, 2nd ed. Gaithenrsburg: Aspen Publishers.
Akinrele IA. 1970. Fermentation studies on maize during the preparation of a
traditional African starch-cake food. Journal of the Science of Food and
Agriculture. 21:619-625.
Amusa NA, Ashaye OA, Oladapo MO. 2005. Microbiological quality of ogi and
soy-ogi (a Nigerian fermented cereal porridge) widely consumed and
notable weaning food in southern Nigeria. Journal of Food, Agriculture &
Environment 3: 81-83.
AOAC. 1995. Official methods of analysis. Washington DC: Association of
Official Analytical Chemist.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Analisa Pangan. Bogor: IPB Press.
Aremu CY. 1993. Nutrient composition of corn OGI prepared by a slightly
modified traditional technique. Food Chemistry 46:231-233.
Asiamaya.com. 2009. Jagung putih manis mentah.
http://www.asiamaya.com/nutrients/jagung putih-htm.
Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-3727-1995. Tepung
Jagung.
Balai Penelitian Tanaman Sereal. 2007. Proses pasca panen jagung.
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id.htm. Diakses 2 April 2009.
Banigo EOI, Muller HG. 1972. Manufacture of ogi (a Nigerian fermented cereal
porridge): Comparative evaluation of corn, sorghum and millet. Canada
International Food Science Technology 5:217-221.
Barbosa-Canovas GV, Yan H. 2003. Powder characteristics of preprocessed
cereal flours. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer KJ, editor.
Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis and
Applications. New York: Marcel Dekker. hlm 173-208.
Barbut S. 1999. Determining water and fat holding. Di dalam Hall GM, editor:
Methods of testing protein functionality. New York: Blackie Academic
and Professional. hlm 186-225.
Badan Pusat Statistik. 2009. www.bps.go.id (5 Januari 2009).
124

Bedolla S, Rooney LW. 1984. Characteristics of US and Mexican instant maize


flours for tortilla and snack preparation. Cereal Foods World 29:732-736.
Boyer CD, Shannon JC. 1987. Carbohydrates of the kernel. Di dalam Watson
SA, Ramstad PE, editor. Corn: Chemistry and Technology.. St Paul:
American Association of Cereal Chemists. hlm 253-272
Burge RM. Duensing WJ. 1989. Processing and dietary fiber ingredient
applications of combran. Cereal Foods World 34:535-538.
Cadden A-M. 1987. Comparative effects of particle size reduction on physical
structure and water binding properties of several plant fibers. Journal of
Food Science 52:1595-1599.
Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their
application in noodle products. [Disertasi]. Belanda: Wageningen
University.
Cherry JP. 1982. Protein-polysaccharide interactions. Di dalam Lineback DR,
Inglett GE, editor. Food Carbohydrates. Westport: AVI. hlm 375-398.
Christianson DD 1982. Hydrocolloid interactions with starches. Di dalam
Lineback DR, Inglett GE, editor. Food Carbohydrates. Westport: AVI.
hlm 399-419.
Czuchajowska Z, Klamczynski A, Paszezynska B, Bail BK. 1998. Structure and
functionality of barley starches. Cereal Chemistry 75: 747-754.
Daniel JR, Weaver CM. 2000. Carbohydrates: functional properties. Di dalam:
Christen GL, Smith JS, editor. Food Chemistry: Principles and
Applications. California: Science technology system. hlm 63-66.
Damodaran S. 1996. Amino acids, peptides and protein. Di dalam Fennema OR,
editor. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker. hlm 321-429.
Davies R. 2006. Size measurement. Di dalam Masuda H, Higashitani K,
Yoshida H, editor. Powder Technology Handbook. 3rd edition. New
York:CRC. hlm 13-52.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian. 2008. Kebijakan
peningkatan produksi jagung di Indonesia. Makalah Seminar
Pengembangan Agroindustri Tepung Jagung dalam Mendukung
Ketahanan Pangan. Jakarta: 24 November 2008.
Donsi G, Ferrari G. 1990. Flow and mixing behaviour of Food Powders. Di
dalam: Spiess WEL, Schubert H. Physical Properties and Control.
London and New York: Elsevier Applied Science.
Dufour D, Larsonneur S, Alarcon F, Brabet C, Chuzel G. 2006. Improving the
bread-making potential of cassave sour starch. Di dalam Cassava Flour
and Starch: Progress in Research and Development.
http://www.ciat.cgiar.org/agroempresas/pdf/cassava_flour/pdf. (30 Maret
2005).
Earle RL. 1983. Unit Operations in Food Engineering. 2nd ed. New York:
Pergamon Press.
125

Elkhalifa AEO, Schiffler B, Bernhardt R. 2005. Effect of fermentation on the


functional properties of sorghum flour. Food Cemistry 92:1-5.
Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional
aspects. Di dalam Eliasson AC, editor. Carbohydrates in Food. New
York: Marcel Dekker.
Ellies HS, Ring SG, Whittam MA. 1988. Time-dependent changes in the size and
volume of gelatinized starch granules on storage. Food Hydrocolloids
2:321-328.
Fredriksson H, Silverio J, Andersson R, Eliason AC, Aman P. 1998. The influence
of amylase and amylopectin characteristics on gelatinization amd
retrogradation properties of different starches. Carbohydrate Polymers
35:119-134.
Fitzpatrick JJ, Iqbal T, Delaney C, Twomey T, Keogh MK. 2004. Effect of
food powder properties and storage conditions on the flowability of milk
powders with different fat contents. Journal of Food Engineering
64:435-444.
Gallant DJ, Bouchet B, Baldwi PM. 1997. Microscopy of starch: evidence of a
new level of granule organization. Carbohydrate Polymers 32:177-191.
Gatumbi RW, Muriru N. 1983. Kenyan uji. Di dalam Steinkraus KH, editor.
Handbook of Indigenous Fermented Foods. New York: Marcel Dekker.
hlm 198-203.
Gratz S. 2007. Aflatoxin binding by probiotics: experimental studies on intestinal
aflatoxin transport, metabolism and toxicity. Disertasi. Finlandia:
Universitas Kuopio.
Hagenimana A, Ding X, Fang T. 2006. Evaluation of rice flour modified by
extrusion cooking. Journal of Cereal Science 43:38-46.
Hamaker BR, Griffin VK. 1993. Effect of disulfide bond-containing protein on
rice starch gelatinization and pasting. Cereal Chemistry 70:377-380.
Hansen T, Van-der-Sluis E. 2004. Corn-based food production in South Dakota:
a preliminary study. South Dakota State University.
Hardman and Gunsolus. 1998. Corn growth and development. Extension Service.
University of Minesota.
Haskard CA, El Nezami HS, Kankaanpää PE, Salminen S, Ahokas JT. 2001.
Surface binding of aflatoxin B1 by lactic acid bacteria. Appl Environ
Microbiol 67:3086-3091.
Hassan AB et al. 2006. Effect of processing treatments followed by fermentation
on protein content and digestibility of pearl millet (Pennisetum
typhoideum) cultivars. Pakistan Journal of Nutrition 5:86-89.
Helstad S. 2006. Ingredient interactions: sweeteners. Di dalam Gaonkar AG,
McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect on food quality. .
New York: CRC. Hlm 167-194.
126

Henshaw FO, McWatters KH, Oguntunde AO, Phillips RD. 1996. Pasting
properties of cowpea flour: Effects of soaking and decortication method.
J. Agric. Food Chemistry 44:1864-1870.
Hizukuri S. 1996. Starch: Analytical aspects. Di dalam Eliasson A. editor.
Carbohydrates in food. New York: Marcel Dekker. hlm 363-403.
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993a.
Characterization and frequency distribution of species of lactic acid
bacteria involved in the processing of mawe, a fermented maize dough
from Benin. International Journal of Food Microbiology. 18:279-287.
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993b.
Composition of microbial and physical attributes of mawe, a fermented
maize dough from Benin. International Journal of Food Science and
Technology. 28:513-517.
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993c.
Changes in the physico-chemical properties of maize during natural
fermentation of mawe. Journal of Cereal Science. 17:291-300.
Hoseney RC. 1994. Principles of cereal science and technology. 2nd ed. St. Paul
MN: American Association of Cereal Chemists. hlm 125 – 146.
Hruskova M, Svec I, Kucerova I. 2003. Effect of malt flour addition on the
rheological properties of wheat fermented dough. Czechnia. Journal Food
Science 21:210-218.
Hung PV, Morita N. 2004. Dough properties and bread quality of flours
supplemented with cross-linked cornstarches. Food Research
International 37:461-467.
Ingbian EK, Akpapunam MA. 2005. Appraisal of traditional technologies in the
processing and utilization of mumu; a cereal based local food product.
African Journal of Food and Nutritional Sciences 5(2)
http://www.ajfand.net. (7 Juli 2006).
Ipteknet. 2009. Teknologi tepat guna tentang pengolahan pangan: tanaman
penghasil pati. http://www.iptek.net.id/warintek/htm. Diakses 27 Februari
2009.

Iwuoha CI, Nwakanma MI. 1998. Density and viscosity of cold flour pastes of
cassava (Manihot esculenta Grantz), sweet potato (Ipomoea batatas L.
Lam) and white yam (Dioscorea rotundata Poir) tubers as affected by
concentration and particle size. Carbohydrate Polymers 37: 91-101.
Jayne TS et al. 1996. Effects of market reform on access to food by low-income
households: Evidence from four countries in Eastern and Southern Africa.
Technical Paper No. 25. Bureau for Africa/USAID.
Jobling, S. 2004. Improving starch for food and industrial application. Current
opinion in Plant Biology 7: 210-218.
Johansson ML, Sanni A, Lonner C, Mollin G. 1995. Phenotypic based taxonomy
using API 50 CH of lactobacilli from Nigerian ogi, and the occurrence of
127

starch fermenting strains. International Journal of Food Microbiology.


25:159-168.
Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylosa. Cereal Science
Today 16:334-360.
Kadan RS, Bryant RJ, Pepperman AB. 2003. Functional properties of extruded
rice flours. Journal of Food Science. 68:1669-1672.
Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan
perilaku fisik bahan pakan local: Sudut tumpukan, daya ambang dan factor
higroskopis. Media Peternakan 1:1-11.
Kilara A. 2006. Interactions of Ingredients in Food Systems: An Introduction. Di
dalam Gaonkar AG, McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect
on Food Quality. New York: CRC. hlm 1-20.
Konik CM et al. 2001. Evaluation of the 40 mg swelling test for measuring starch
functionality. Starch/Stärke 53:14-20.
Latunde-Dada GO. 2009. Fermented foods and cottage industries in Nigeria.
http://www.unu.edu/unupress/food?v184c/ch3.htm. Diakses 27 Februari
2009.
Laszrity R. 1986. Maize proteins. Di dalam The Chemistry of Cereal Protein.
USA: CRC Press.
Lorri WSM. 1993. Nutritional and microbiological evaluation of fermented cereal
weaning foods. [Disertasi]. Swedia: Department of Food Science,
University of Technology.Goteborg.
Lubin D. 1992. Maize in human nutrition. FAO. Roma, Italy. http://www.fao.org
/documents/shows_cdr_files (30 Desember 2005).
Majzoobi M, Rowe AJ, Connock M, Hill SE, Harding SE. 2003. Partial
fractionation of wheat starch amylose and amylopectin using zonal
ultracentrifugation. Carbohydrate Polymers 52:269-274.
Mestres C, Boungou O, Akissoe N, Zakhia N. 1996. Comparison of the
expansion ability of fermented maize flour and cassava starch during
baking. J. Science Food Agriculture 80:665-672.
Morikawa K, Nishinari K. 2002. Effects of granula size and size distribution on
rheological behavior of chemically modified potato starch. Journal of
Food Science 67:1388-1392.
Munimbazi C, Bullerman LB. 1998. Inhibition of aflatoxin production of
Aspergillus parasiticus NRRL 2999 by Bacillus pumilus. Mycopathology.
140: 163-169.
Nabrzyski M. 1997. Mineral Components. Di dalam Sikorski ZE, editor.
Chemical and functional properties of food components. Lancaster:
Technomic Publishing. hlm 35-64.
Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998.
Characterization of the Beninese traditional ogi, a fermented maize slurry:
128

physicochemical and microbiological aspects. International Journal of


Food Science and Technology 33:307-315.
Nelles EM, Dewar J, Bason ML, Taylor JRN. .2000. Maize Starch Biphasic
Pasting Curves. Journal of Cereal Science 31:287–294.
Nout MJR, Rombouts FM, Hautvast GJ. 1989. Accelerated natural lactic
fermentation of infant food formulations. Food and Nutrition Bulletin.
11(1). http://www.unu.edu/unupress/food/htm. (30 Juni 2006).
Nur-Aini, Hariyadi P. 2007. Pasta pati jagung putih waxy dan non-waxy yang
dimodifikasi secara oksidasi dan asetilasi-oksidasi. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia 12:1-7.
Ohenhen RE, Ikenebomeh MJ. 2007. Shelf stability and enzyme activity studies
of ogi: a corn meal fermented product. Journal of American Sciences. 3:
38-42.
Oluwamukomi MO, Eleyinmi AF, Enujiugha VN. 2005. Effect of soy
supplementation and its stage of inclusion on the quality of ogi – a
fermented maize meal. Food Chemistry. 91:651-657.
Onyango C, Okoth MW, Mbugua SK. 2003. The pasting behaviour of lactic-
fermented and dried uji (an East African sour porridge). J. Science Food
Agriculture. 83:1412-1418.
Onyango C, Bley T, Raddatz H, Henle T. 2004. Flavour compounds in backslop
fermented uji (an East African sour porridge). European Food Research
Technology 218: 579-583.
Onofiok NO, Nnanyelugo DO. 1998. Weaning foods in West Africa: nutritional
problems and possible solutions. Food and Nutrition Bulletin 19:27-33.
Peleg M. 1983. Physical characteristics of food powders. Di dalam Peleg M,
Bagley EB, editor. Physical properties of foods. Westport, Connecticut:
AVI Publishing Company.
Peplinski AJ, Paulsen MR, Bouzaher A. 1992. Physical, chemical and dry
milling properties of corn of varying density and breakage susceptibility.
Cereal Chemistry 69:397-400.
Pereira RC, et al. 2008. Relationship between structural and biochemical
characteristics and texture of corn grains. Genetics and Molecular
Research. 7:498-508.
Perez OE, Haros M, Suarez C, Rosess CM. 2003. Effect of steeping time on the
starch properties from ground whole corn. Journal of Food Engineering
60:281-287.
Poneleit CG. 2001. Breeding white endosperm corn. Di dalam Hallauer, AR
editor. Specialty corns. Washington: CRC. hlm 235-272.
Prentice RDM, Stark JR, Gidley MJ. 1992. Granule residues and 'ghosts'
remaining after heating A-type barley-starch granules in water.
Carbohydrat Research 227:121-130.
129

Pusat Teknologi Agroindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2008.


Tepung Jagung Teknologi dan Tantangan Pengembangannya. Makalah
Seminar Pengembangan Agroindustri Tepung Jagung dalam Mendukung
Ketahanan Pangan. Jakarta 24 November 2008.
Ragae S, El-Sayed M. Abdel-Aal. 2006. Pasting properties of starch and protein
in selected cereals and quality of their food products. Food Chemistry
95:9-18.
Rasper VF. 1982. Effect of preparative procedure on the evaluation of in vitro
indigestible residue (dietary fiber). Di dalam Lineback DR, Inglett GE,
editor. Food Carbohydrates. Westport, Connecticut: AVI. hlm 333-355.
Ridout MJ, Gunning AP, Parker ML, Wilson RH, Morris VJ. 2002. Using AFM
to image the internal structure of starch granules. Carbohydrate Polymers
50: 123-132.
Sahlin P. 1999. Fermentation as a method of food processing production of
organic acids, pH-development and microbial growth in fermenting
cereals. [Tesis]. Lund Institute of Technology. Lund University.
Sandhu KS, Singh N, Kaur M. 2004. Characteristics of the different corn types
and their grain fractions: physicochemical, thermal, morphological and
rheological properties of starch. Journal of Food Engineering 64: 119-
127.
Sefa-Dedeh S, Cornelius B. 2000. The microflora of fermented nixtamalized
corn. Pertemuan tahunan Institute of Food Technologists. Dallas, Texas
20-25 Juni 2000.
Sefa-Dedeh S, Kluvitse Y, Afoakwa EO. 2001. Influence of fermentation and
cowpea steaming on some quality characteristics of maize-cowpea blends.
African Journal of Science and Technology 2:71-80.
Serna-Saldivar SO, Gomez MH, Rooney LW. 2001. Food uses of regular and
specialty corns and their dry-milled fractions. Di dalam Hallauer AR,
editor. Specialty Corns. Washington: CRC Press. hlm 303-337.
Shukla, R., & Cheryan, M. (2001). Zein: the industrial protein from corn.
Industrial Crops and Products 13: 171–192.
Singh N, Kaur L, Sandhu KS, Kaur J, Nishinari K. 2006. Relationships between
physicochemical, morphological, thermal, rheological properties of rice
starches Food Hydrocolloids 20:532-542
Sira EEP. 2000. Determination of the correlation between amylose and
phosphorus content and gelatinization profile of starches and flours
obtained from edible tropical tubers using differential scanning
calorimetry and atomic absorption spectroscopy. [Tesis]. Wisconsin:
University of Wisconsin-Stout.
Sirivongpaisal P. 2008. Structure and functional properties of starch and flour
from bambarra groundnut. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30 (Suppl.1),
51-56. http://www.sjst.psu.ac.th. (28 Desember 2008).
130

Sowbhagya CM, Bhattacharya KR. 2001. Change in pasting behavior of rice


during aging. J Cereal Science 34:115-124.
Stasiak M, Molenda M. 2004. Direct shear testing of flowability of food powders.
Res. Agr. Eng. 50:6-10.
Steinkraus KH. 2002. Fermentations in world food processing. Comprehensive
Reviews in Food Science and Food Safety 1:23-32.
Subagio A. 2006. Ubi kayu substitusi berbagai tepung-tepungan. Food Review
1(3):18-21.
Subekti NA, Syafruddin, Efendi R, Sunarti S. 2008. Morfologi tanaman dan fase
pertumbuhan jagung. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id. (8 Januari
2008).
Svanberg U, Sjogren E, Lorri W, Svennerholm. A-M, Kaijser B. 1992. Inhibited
growth of common enteropathogenic bacteria in lactic-fermented cereal
gruels. World J of Micro and Biotech. 8: 601-606.
Valdez-Niebla JA, Paredes-Lopez O, Vargas-Lopez JM, Hernadez-Lopez D.
1993. Moisture sorption isotherms and other physicochemical properties
of nixtamalized amaranth flour. Food Chemistry 46:19-23.
Vandeputte GE, Delcour JA. 2004. From sucrose to starch granule to starch
physical behaviour: a focus on rice starch. Carbohydrate Polymers 58:
245–266.
Vasal, S.K. 1994. High quality protein corn. Di dalam Halleuer AR, editor.
Specialty Corns. USA: CRC.
Vegrains. 2005. Value enhanced grains products: white corn.
http://www.vegrains.org (30 Maret 2005).
Vergnes B, Valle GD, Colonna P. 2003. Rheological properties of biopolymers
and applications to cereal processing. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer
KJ, editor. Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis
and Applications. New York: Marcel Dekker. hlm 209-266.
Vorwerg W, Radosta S, Leibnitz, E. 2002. Study of a preparative-scale process
for the production of amylose. Carbohydrate Polymers 47:181-189
Watson SA. 1987. Stucture and Composition. Di dalam Watson SA, Ramstad
PE, editor. Corn: Chemistry and Technology. St Paul, Minnesota:
American Association of Cereal Chemists. hlm 53-82.
White PJ. 1994. Properties of corn strach. Di dalam: Halleuer AR, editor.
Specialty Corns. USA: CRC Press. hlm 34-62.
Williams HP. 1991. Model building in mathemathical programming. London:
John Wiley & Sons.
Wilson CM. 1987. Proteins of the Kernel. Dalam Watson SA, Ramstad PE,
editor. Corn: Chemistry and Technology. St.Paul Minnesota: American
Association of Cereal Chemists. hlm 273-310.
131

Yuan J, Flores RA. 1996. Laboratory dry milling performance of white corn:
effect of physical and chemical corn characteristics. Cereal Chemistry
73:574-578.
Zhang W, Jackson DS. 1992. Retrogradation behavior of wheat starch gels with
differing molecular profiles. J. of Food Science 57:1428-1432.
Zhang G, Hamaker BR. 2005. Sorghum (Shorgum bicolor L. Moench) flour
pasting properties influenced by free fatty acids and protein. Cereal
Chemistry 82:534-540.
132

Lampiran 1 Partikel tepung jagung fermentasi 45 jam dilihat menggunakan


scanning electron microscope (SEM) (perbesaran 50 kali)

(a)

(b) (c)

(d) (e)
Keterangan : (a) tepung jagung 60 mesh
(b) tepung jagung berukuran partikel 150 – 249.9 µm
(c) tepung jagung berukuran partikel 106 – 149.9 µm,
(d) tepung jagung berukuran partikel 75 – 105.9 µm,
(e) tepung jagung berukuran partikel 0.1 – 74.9 µm.
133

Lampiran 2 Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi butiran jagung

Variabel yang berkorelasi Koefisien korelasi


Loose density Packed density
Kadar protein 0.84** 0.932**
Kadar lemak 0.651** 0.804**
Kadar serat kasar 0.894** 0.758**
Kadar abu 0.842** 0.839**
Kadar pati 0.672** 0.79**
Kadar amilosa 0.674** 0.664**
Waktu fermentasi butiran jagung -0.877** -0.959**
Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0,01
134

Lampiran 3 Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung

Variabel Koefisien korelasi


Protein -0.73**
Serat kasar -0.785**
Pati -0.739**
Loose density -0.853**
Packed density -0.745**
Waktu fermentasi butiran jagung 0.777**

Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01


135

Lampiran 4 Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung

Variabel Koefisien korelasi


Kadar protein -0.875**
Kadar gula reduksi -0.696**
PH -0.729**
Kadar lemak -0.706**
Kadar serat kasar -0.633**
Kadar pati -0.743**
Kadar amilosa -0.72**
Kadar abu -0.827**
Loose density -0.855**
Packed density -0.925**
Waktu fermentasi butiran jagung 0.934**

Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01


136

Lampiran 5 Korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan variabel kimia dan
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran
jagung
Variabel Koefisien korelasi
Kadar amilosa -0.442*
Rasio amilosa:amilopektin -0.46*
Kadar protein -0.521*
Kadar serat kasar -0.75**
Kadar abu -0.59**
Loose density -0.462*
Packed density -0.54*
Waktu fermentasi butiran jagung 0.606**

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
137

Lampiran 6 Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia


dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
butiran jagung

Variabel Koefisien korelasi


Kadar lemak 0.445*
Kadar protein 0.68**
Kadar serat 0.654**
Kadar abu 0.633**
Kadar pati 0.62**
Loose density 0.743**
Packed density 0.751**
pH 0.609**
Kapasitas penyerapan air -0.581**
Waktu fermentasi butiran jagung -0.712**

Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01


138

Lampiran 7 Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran
jagung

Variabel Koefisien korelasi


Rasio pati:gula reduksi -0.502*

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


139

Lampiran 8 Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran
jagung

Variabel Koefisien korelasi


Kadar protein -0.725**
Rasio pati:protein 0.731**
pH -0.639**
Kadar gula reduksi -0.543*
Rasio pati:gula reduksi 0.543*
Kadar abu -0.497*
Waktu fermentasi butiran jagung 0.573**

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
140

Lampiran 9 Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan


variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi butiran jagung

Koefisien korelasi
Variabel Viskositas Viskositas panas Breakdown
panas 15 menit viscosity
Kadar protein -0.659** -0.827** 0.435*
pH -0.679** -0.584** -
Kadar gula reduksi -0.575** -0.478* -
Kadar serat kasar - -0.618** 0.601**
Kadar lemak - -0.642** -
Kadar abu -0.494* -0.676** 0.535*
Kadar amilosa - -0.486* -
Loose density - -0.717** 0.631**
Packed density -0.568** -0.849** 0.596**
Kapasitas penyerapan air 0.439* 0.684** -0.482*
Viskositas puncak 0.876** 0.735** -
Waktu fermentasi grits 0.587** 0.799** -0.557**
jagung

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
141

Lampiran 10 Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung

Koefisien korelasi
Variabel Viskositas Setback Rasio VD:VPa15
dingin
viscosity
Rasio pati:gula reduksi -0.484* -0.588** -0.577**
Kadar protein - 0.496* 0.815**
Kadar lemak - - 0.645**
Kadar serat kasar - - 0.614**
Kadar abu - - 0.55**
Kadar gula reduksi - - 0.584**
Loose density - - 0.67**
Packed density - - 0.802**
pH - - 0.434*
Kapasitas penyerapan air - - -0.542*
Viskositas puncak - -0.664** -0.745**
Viskositas panas - -0.645** -0.627**
Waktu fermentasi grits - - -0.691**
jagung

Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05


** = korelasi nyata pada taraf 0.01
142

Lampiran 11 Korelasi antara kekuatan dan kelengketan gel dengan variabel kimia
dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi
grits jagung

Koefisien korelasi
Variabel Kekuatan gel Kelengketan gel
Kadar protein -0.832** 0.463*
Rasio pati:protein 0.74** -0.443*
Kadar gula reduksi -0.901** -
pH -0.867** -
Kadar abu -0.801** 0.536*
Kadar serat kasar -0.666** -
Kadar air - -0.517*
Kadar lemak - 0.658**
Kadar amilosa - 0.636**
Packed density -0.685** 0.687**
Kapasitas penyerapan air 0.669** -
Sudut curah 0.685** -0.603**
Suhu gelatinisasi -0.467* -0.554**
Viskositas puncak 0.715** -
Viskositas panas 0.74** -
Viskositas panas 15 menit 0.578** -0.544*
Breakdown viscosity - 0.583**
Rasio VD:VPa15 -0.638** -
Waktu fermentasi grits jagung 0.642** -0.777*
Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05
** = korelasi nyata pada taraf 0.01
143

Lampiran 12 Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel Ukuran partikel Koefisien korelasi


(µm) Loose density Packed
density
Kadar protein 150-249.9 0.581* 0.621**
106-149.9 0.658** 0.643**
75-105.9 0.767** 0.688**
0.1-74.9 0.592** 0.708**
Kadar serat kasar 150-249.9 0.650** 0.772**
106-149.9 0.857** 0.749**
75-105.9 0.712** 0.863**
0.1-74.9 - 0.722**
Kadar lemak 150-249.9 0.806** 0.891**
106-149.9 0.83** 0.858**
75-105.9 0.658** 0.907**
0.1-74.9 0.617** -
Kadar abu 150-249.9 0.698** 0.798**
106-149.9 0.788** 0.614**
75-105.9 0.789** 0.748**
0.1-74.9 0.735** 0.473*
Kadar pati 150-249.9 0.469* 0.507*
106-149.9 0.484* 0.576*
75-105.9 0.563* 0.66**
0.1-74.9 0.634** 0.578*
Kadar amilosa 150-249.9 0.628** 0.718**
106-149.9 0.724** 0.668**
75-105.9 0.634** 0.765**
0.1-74.9 0.762** 0.605**
Waktu fermentasi grits 150-249.9 -0.893** -0.96**
jagung 106-149.9 -0.91** -0.89**
75-105.9 -0.729** -0.925**
0.1-74.9 -0.819** -0.693**

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
144

Lampiran 13 Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung

Variabel yang berkorelasi Ukuran partikel (µm) Koefisien korelasi


Kadar protein 150-249.9 -0.555*
106-149.9 -0.533*
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.787**
106-149.9 -0.75**
75-105.9 0.565*
Kadar lemak 150-249.9 -0.884**
106-149.9 -0.707**
75-105.9 -0.556*
Kadar abu 150-249.9 -0.653**
106-149.9 -0.65**
75-105.9 -0.569*
Loose density 150-249.9 -0.85**
106-149.9 -0.904**
75-105.9 -0.578*
Packed density 150-249.9 -0.894**
106-149.9 -0.781**
75-105.9 -0.52*

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
145

Lampiran 14 Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran partikel Koefisien korelasi


berkorelasi (µm)
Kadar protein 150-249.9 -0.63**
106-149.9 -0.518*
75-105.9 -0.731**
0.1-74.9 -0.711**
Kadar gula reduksi 150-249.9 -0.84**
75-105.9 -0.657**
0.1-74.9 -0.513*
pH 150-249.9 -0.934**
106-149.9 -0.709**
75-105.9 -0.794**
0.1-74.9 -0.657**
Kadar lemak 150-249.9 -0.778**
106-149.9 -0.746**
75-105.9 -0.802**
0.1-74.9 -0.611**
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.609**
106-149.9 -0.525*
75-105.9 -0.869**
0.1-74.9 -0.629**
Kadar abu 150-249.9 -0.668**
106-149.9 -0.692**
75-105.9 -0.72**
0.1-74.9 -0.836**
Packed density 150-249.9 -0.813**
106-149.9 -0.611**
75-105.9 -0.805**
0.1-74.9 -0.655**
Loose density 150-249.9 -0.758**
106-149.9 -0.718**
75-105.9 -0.675**
0.1-74.9 -0.802**

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
146

Lampiran 15 Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia


dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel yang berkorelasi Ukuran partikel (µm) Koefisien korelasi


Kadar protein 106-149.9 0.605**
0.1-74.9 0.613**
Kadar lemak 106-149.9 0.7**
75-105.9 0.559*
0.1-74.9 0.698**
Kadar serat kasar 106-149.9 0.673**
75-105.9 0.601**
0.1-74.9 0.687**
Kadar abu 106-149.9 0.645**
75-105.9 0.573*
0.1-74.9 0.718**
Loose density 106-149.9 0.693**
0.1-74.9 0.678**
Packed density 106-149.9 0.569*
75-105.9 0.492*
0.1-74.9 0.541*
pH 106-149.9 0.601**
0.1-74.9 0.63**
Sudut repose 106-149.9 -0.633**

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
147

Lampiran 16 Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran partikel Koefisien korelasi


berkorelasi (µm)
Rasio pati:gula reduksi 106-149.9 -0.613**
Rasio pati:gula reduksi 0.1-74.9 -0.511*

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
148

Lampiran 17 Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik
tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran partikel Koefisien korelasi


berkorelasi (µm)
Rasio pati:protein 150-249.9 0.643**
Rasio pati: gula reduksi 150-249.9 0.547*
Kadar lemak 150-249.9 -0.886**
Kadar lemak 106-149.9 -0.536*
PH 150-249.9 -0.762**
Kadar abu 150-249.9 -0.731**
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.776**
Kadar serat kasar 106-149.9 -0.574*
Kadar amilosa 150-249.9 -0.764**
Kadar amilosa 106-149.9 -0.614**
Loose density 150-249.9 -0.785**
Loose density 106-149.9 -0.566*
Packed density 150-249.9 -0.865**
Packed density 106-149.9 -0.627
Sudut curah 150-249.9 0.918**

Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05


** : korelasi nyata pada taraf 0.01
149

Lampiran 18 Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan


variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran Koefisien korelasi


berkorelasi partikel Viskositas Viskositas Breakdown
(µm) panas panas 15 viscosity
(BU) menit (BU) (BU)
Rasio pati:protein 150-249.9 0.569** 0.615** 0.598**
106-149.9 - - 0.542*
Kadar serat kasar 150-249.9 -0.796** -0.759** -0.701**
106-149.9 - - -0.762**
Kadar lemak 150-249.9 -0.818** -0.783** -0.909**
106-149.9 - - -0.65**
Kadar abu 150-249.9 -0.675** -0.771** -
106-149.9 - - -0.54*
Kadar gula reduksi 150-249.9 -0.771** -0.714** -0.645**
Kadar amilosa 150-249.9 -0.706** -0.73** -0.709**
106-149.9 - - -0.631**
0.1-74.9 -0.517* - -
pH 150-249.9 -0.801** -0.777** -0.646**
Loose density 150-249.9 -0.748** -0.676** -0.828**
106-149.9 - - -0.773**
Packed density 150-249.9 -0.852** -0.78** -0.869**
106-149.9 - - -0.774**
Sudut curah 150-249.9 0.874** 0.839** 0.906**
106-149.9 - - 0.781**
Kapasitas penyerapan 75-105.9 - - -0.674**
air 0.1-74.9 - -0.569* -
Viskositas puncak 150-249.9 0.933** 0.959** 0.927**
106-149.9 0.623** 0.699** 0.781**
75-105.9 0.954** 0.652** 0.714**
0.1-74.9 0.882** 0.768** -

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
150

Lampiran 19 Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan
fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits
jagung dan ukuran partikel tepung

Variabel yang Ukuran Koefisien korelasi


berkorelasi partikel Viskositas Setback Rasio
(µm) dingin viscosity VD:HV15
(BU) (BU)
Rasio pati:gula reduksi 106-149.9 -0.591** -0.55* -
Rasio pati:gula reduksi 75-105.9 -0.488* -0.516* -0.554*
pH 150-249.9 0.492* 0.841** 0.516*
106-149.9 - 0.681** -
75-105.9 - - 0.475*
Loose density 150-249.9 - 0.586* -
Packed density 150-249.9 - 0.567* -
Kapasitas penyerapan 0.1-74.9 -0.775** -0.761** -0.683**
air
Viskositas puncak 150-249 -0.659** -
75-105.9 0.601** - -
0.1-74.9 0.651** 0.579* -
Suhu gelatinisasi 106-149.9 - 0.527* -
75-105.9 0.718** 0.716** 0.717**
Breakdown viscosity 150-249.9 - -0.569* -
106-149.9 - - 0.489*
75-105.9 0.624** 0.545* 0.665**
Viskositas panas 150-249.9 - -0.611** -
106-149.9 0.52* - -
75-105.9 0.552* - -
0.1-74.9 0.667** 0.619** -
Viskositas panas 15 150-249.9 - -0.664 -
menit 0.1-74.9 0.55* 0.487* -

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
151

Lampiran 20 Korelasi antara kekuatan gel dengan variabel kimia dan fisik tepung
jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan
ukuran partikel tepung

Variabel yang berkorelasi Ukuran partikel Koefisien korelasi


(µm)
Kadar gula reduksi 106-149.9 -0.571*
75-105.9 -0.488*
0.1-74.9 -0.706**
Kadar protein 0.1-74.9 -0.528**
Kadar serat kasar 0.1-74.9 -0.633**
pH 106-149.9 -0.667**
0.1-74.9 -0.691**
Viskositas dingin 150-249.9 -0.618**
106-149.9 -0.662**
75-105.9 -0.594**
Viskositas puncak 75-105.9 -0.624**
Breakdown viscosity 75-105.9 -0.616**
Setback viscosity 106-149.9 -0.625**
75-105.9 -0.53*

Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05


** : korelasi pada taraf 0.01
152

Lampiran 21 Kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu
fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung

Waktu fermentasi jagung Ukuran partikel Kadar amilosa


(jam) (% bk)
0 60 mesh 27,9±0,3
150-249.9 µm 28.4±0.3
106-149.9 µm 28±0.4
75-105.9 µm 28±0.2
0.1-74.9 µm 28.2±0.3
15 60 mesh 29.1±0.7
150-249.9 µm 27.2±0.7
106-149.9 µm 27.4±0.6
75-105.9 µm 27.7±0.6
0.1-74.9 µm 27.5±0.6
30 60 mesh 28.5±0.7
150-249.9 µm 27.1±0.7
106-149.9 µm 27.1±0.7
75-105.9 µm 27.4±0.8
0.1-74.9 µm 27.3±0.9
45 60 mesh 28.1±0.8
150-249.9 µm 26.7±0.7
106-149.9 µm 26.7±0.7
75-105.9 µm 26.8±0.7
0.1-74.9 µm 26.7±0.8
57.5 60 mesh 27.1±0.9
150-249.9 µm 26.5±0.4
106-149.9 µm 26.5±0.6
75-105.9 µm 26.7±0.9
0.1-74.9 µm 26.4±0.8
70 60 mesh 26.8±1.2
150-249.9 µm 26.6±0.5
106-149.9 µm 26.4±0.5
75-105.9 µm 26.4±0.6
0.1-74.9 µm 26±0.7
3

ABSTRACT

NUR AINI. Effects of Spontaneous Fermentation During Soaking of Local


Variety of White Corn (Zea mays L.) on Physicals, Chemical and Functional
Characteristics of Its Flour. Under direction of PURWIYATNO HARIYADI,
TIEN R. MUCHTADI and NURI ANDARWULAN .

The uses of white corn in food industry in Indonesia are still limited. To
explore the potential uses, evaluation of chemical physical, and functional
properties of white corn flour is needed. The objective of this study was to
evaluate chemical, physical and functional properties of white corn flour, and its
changes as affected by spontaneous fermentation during soaking of white corn
grits. Corn flour was prepared by soaking of white corn grits followed by drying
and grinding. Soaking was done at closed pan and controlled temperature, to
promote spontaneous fermentation. The resulted flour was fractionated using
multiple sieve of 100 mesh (150 µm), 150 mesh (106 µm) and 200 mesh (75µm)
and analyzed for its chemicals, physicals and functional characteristics.
Fermentation process as long as 24 hr will reduce gelatinization temperature (Tg)
of resulted flour from 82oC to 76.2oC; but finally Tg would increase (85.2oC) at
72 hr of fermentation. Fermentation process of corn grits do not affect its peak
viscosity (in the range of 493 -560BU), but will increase only after fermentation
of more than 48-60 hr (648 -573 BU); and further fermentation would reduce the
peak viscosity (550 BU)similar to that of flour resulted from process without
fermentation. Flour resulted from corn grits after fermentation process of 12 hr
has breakdown viscosity of 0 BU. This suggests that heat stability of flour
produced from corn grits after 12 hr fermentation is higher that that of control
flour (breakdown viscosity of 68 BU). The breakdown viscosity was maintained
relatively constant until fermentation process up to 60 hr; and finally decreases to
-60 BU after 72 hr of fermentation. Measured as ratio of cold viscosity/hot
viscosity after 15 minutes of stirring at constant temperature of 95oC ( Vd ),
Vpa15
tendency of retrogradation was reduced by fermentation process for 48 hr ( Vd =
Vpa15
1.87) as compared to that of control ( Vd = 2.97). After 48 fermentation of corn
Vpa15
grits do not affect the tendency of retrogradation of the resulted flour; at which
Vd remain at 2.14. Flour produced using fermentation process of corn grits
Vpa15
exhibit very high gel strength. After 48 hr fermentation of corn grits, the flour
has gel strength of 19.47 gforce, very high as compared to that of control flour of
5.95 gforce. Further fermentation of more than 48 hr only slightly reduced the gel
strength to 14.48 gforce, still very high as compared to that of control flour. The
smaller particle size, the lower fiber content, loose density, packed density,
gelatinization temperature and gel strength o, the higher protein and fat content,
angle of repose, whiteness, water absorption capacity, oil absorption capacity,
peak viscosity, breakdown viscosity, tendency of retrogradation and gel stickiness
4

of the resulted flour. Using correlation and regression analysis several correlation
equations were proposed to be used as a prediction tools of several chemical,
physical and functional properties as affected by extend of fermentation process
and particle size of flour. Several equations proposes were Tg = 0.006t2 - 0.39t +
82.8; Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2
+ 0.6628T + 12.923, where Tg is gelatinization temperature (oC), Vpa15 is hot
viscosity after 15 minutes constant stirring (Brabender Unit; BU), Gsi and Gsii are
gel strength (gforce) of corn flour with particle size of >150-250 µm and >106-
150 µm, respectively, and t is length of fermentation (steeping) of corn grits (hr).
Overall, our results showed that control of length of fermentation of corn grits and
particle size may be used as a mean t control several chemical, physical and
functioal properties of the resulted corn flour.

Key Words: white corn, spontaneous fermentation, particle size, physics,


chemical, functional

You might also like