Professional Documents
Culture Documents
Euthanasia Dan Hak Asasi Manusia: Rospita A. Siregar )
Euthanasia Dan Hak Asasi Manusia: Rospita A. Siregar )
Euthanasia Dan Hak Asasi Manusia: Rospita A. Siregar )
Rospita A. Siregar *)
Abstract
A patient who is suffering from terminal illness and an incurable condition has the possibility to propose to
end his/ her life by lethal injection or suspending the medical treatment. This practice is known as euthanasia.
Euthanasia is forbidden because it is categorized as homicide and consequently the perpetrator is punishable
by criminal law. This reviewdiscusses (1) How is euthanasia legislation in Indonesian positive laws (2) How
is euthanasia viewed from human rights perspective (3) How euthanasia is eligislated and conducted in some
European countries. To analyze the afore mentioned problems, the writer conducts research by legal normative
approach which is implemented in the thorough study of written regulation, official documents and related
literatures. The writer finds tha Euthanasia is regarded as criminal act in Indonesia because it is a form of
crime against life which stipulated in the Article 344 of the Indonesian Criminal Code (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana/ KUHP):”Anyone who takes life of others which is clearly done with an intention is punishable
by imprisonment for maximum twelve years”. The Declaration of Human Rights has stipulated the “right to
life” which is fundamental and inherent in the nature of human being, universally acknowledge and an eternal
endowment from The God. However, there are no any stipulations on-- the right to die and therefore euthanasia
is a violation of human rights and against the principle of believing in one God. But, the right to die is already
stipulated in some laws of developed countries, such as some countries in Europe
193
Jurnal Hukum tô-râ, Vol. 1 No. 3, Desember 2015
3
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung: Man- 4
Karyadi P.Y, Euthanasia Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia,
dar Maju, 2001, h. 99. Yogyakarta: Media Presindo,2001,h.53
194
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia Rospita A. Siregar
biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil
secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada
sembuh.5 dasarnya adalah euthanasia atas permintaan sendiri.9
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diarti- Euthanasiaditinjaudarisudutcarapelaksanaannya
kan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dapat dibagi menjadi:
dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Su- a. Euthanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif,
etonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati ce- adalah suatu tindakan secara sengaja yang dila-
pat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG kukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya
Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Eu- untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seo-
thanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk ti- rang pasien. Euthanasia agresif dapat dilakukan
dak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup dengan pemberian suatu senyawa yang memati-
seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu un- kan, baik secara oral maupun melalui suntikan.
tuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut
pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepen- adalah tablet sianida.5
tingan pasien itu sendiri”.6 b. Euthanasia non agresif, kadang juga disebut eu-
thanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan
Klasifikasi Euthanasia sebagai euthanasia negatif, yaitu kondisi ketika
Dilihat dari orang yang membuat keputusan, eu- seorang pasien menolak secara tegas dan dengan
thanasia dibagi menjadi 7: Voluntary euthanasia, jika sadar untuk menerima perawatan medis meski-
yang membuat keputusan adalah orang yang sakit pun mengetahui bahwa penolakannya akan mem-
dan Involuntary euthanasia, jika yang membuat ke- perpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan
putusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau tersebut diajukan secara resmi dengan membuat
dokter karena pasien mengalami koma medis.Menu- sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Eu-
rut Veronica Komalawati mengatakan bahwa eutha- thanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu
nasia dapat dibedakan menjadi:8 Euthanasia aktif, praktik euthanasia pasif atas permintaan pasien
yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter yang bersangkutan.5,10
atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau c. Euthanasia pasif dapat juga dikategorikan seba-
mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tab- gai tindakan euthanasia negatif yang tidak meng-
let sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke gunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif un-
tubuh pasien. Euthanasia pasif, yaitu dokter atau te- tuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eut-
naga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) mem- hanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
berikan bantuan medis yang dapat memperpanjang pemberian bantuan medis yang dapat memper-
hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan panjang hidup pasien secara sengaja,contohnya
oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi
pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepa- pasien yang mengalami kesulitan pernapasan,
da penderita pneumonia berat, atau dengan mencabut tidak memberikan antibiotika kepada penderita
peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup. pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi
Autoeuthanasia yaitu seorang pasien menolak yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang
hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang
secara tegas dengan sadar untuk menerima
rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan
perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan
mengakibatkan kematian. Tindakan euthanasia
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
pasif seringkali dilakukan secara terselubung
oleh kebanyakan rumah sakit. Euthanasia pasif
5
Budiyanto A.Ilmu Kedokteran Forensik,Semarang:Fakultas Ke- bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak
dokteran Universitas Indonesia,1997,h.25.
6
keluarga yang menghendaki kematian seseorang,
Wila Chandrawila Supriadi, op. Cit, h. 99.
7
Karyadi, P.Y, op. Cit, h. 60
8
Budiyanto, A, et. all, op. Cit, h. 27 9
Wila Chandrawila Supriadi, op. Cit, h. 102
195
Jurnal Hukum tô-râ, Vol. 1 No. 3, Desember 2015
misalnya keluarga pasien yang tidak mampu Euthanasia ditinjau dari sudut tujuan dilaku-
membayar biaya pengobatan, akan meminta pi- kannya, di bagi atas:
hak rumah sakit untuk membuat “pernyataan pu- a. Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy
lang paksa” situasi ini memicu pasien meninggal killing).
secara alamiah juga sebagai upaya defensif me- b. Euthanasia hewan.
dis.
c. Euthanasia berdasarkan bantuan dokter, ini ada-
Euthanasia ditinjau dari sudut pemberian izin, lah bentuk lain daripada euthanasia agresif secara
dapat digolongkan menjadi:10 sukarela.
a. Euthanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti
tindakan euthanasia yang bertentangan dengan euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:12
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan
a. Euthanasia murni:usaha untukmeringankan ke-
euthanasia semacam ini dapat disamakan dengan
matian seseorang tanpa memperpendek kehidu-
pembunuhan.
pannya, termasuk semua usaha perawatan dan
b. Euthanasia secara tidak sukarela seringkali men- pastoral agar yang bersangkutan dapat mati den-
jadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu gan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan ma-
tindakan yang keliru oleh siapapun juga, terjadi salah apapun.
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau
b. Euthanasia pasif:tidak dipergunakan semua tek-
tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan
nik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk
melakukan dan mengatas nama sebagai wali dari
memperpanjang kehidupan.
si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Terri
c. Euthanasia tidak langsung:usaha memperingan
Schiavo usia 41 tahun meninggal dunia di negara
kematian dengan memanfaatkan efek samping
bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung
obat. Pasien mungkin mati dengan lebih ce-
Amerika memberi izin mencabut pipa makanan
pat.dengan cara pemberian segala macam obat
(feeding tube) yang selama ini memungkinkan
narkotik,hipnotik dan analgetika yang mungkin
pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Kasus
de facto dapat memperpendek kehidupan pasien
ini mula-mula terjadi pada tahun 1990, saat Terri
dengan tidak disengaja.
jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya
d. Euthanasia aktif: proses kematian diperingan
Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung.
dengan memperpendek kehidupan secara terarah
Terri diresusitasi oleh petugas medis ambulans,
dan langsung, disebut sebagai “mercy killing”.
tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, aki-
Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan
batnya ia mengalami kerusakan otak yang berat,
pasien menginginkannya atau tidak.
karena kekurangan oksigen. Menurut kalangan
medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidak-
seimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Ter- Euthanasia dalam Persfektif Medis
ri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
koma, akhirnya pada bulan Mei 1998suaminya di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa
mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para
alat bantu makanan pada istrinya dicabut sehingga dokter dihadapkan pada dilema untuk memberikan
istrinya dapat meninggal dengan tenang.11 bantuan tersebut atau tidak dan jika sudah terlanjur
c. Euthanasia secara sukarela: dilakukan atas per- diberikan apakah boleh untuk dihentikan. Tugas
setujuan si pasien sendiri namun, tindakan ini seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang
masih dianggap kontroversial. pasien, padahal hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan
lagi dan jika hal itu diteruskan, kadang-kadang
10
akan menambah penderitaan pasien. Penghentian
Qomaryah Sanchrowardi, Ferryal Basbeth, Bioetik Isu dan Dile-
ma, Jakartta: Pensil 324, 2011, h. 14
11
J. Guwandi, Medical Error dan Hukum Medis, Jakarta: Balai Pe-
12
nerbit FK UI, 2007, h. 116 Karyadi P.Y, op. Cit, h. 70
196
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia Rospita A. Siregar
pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk satu bentuk euthanasia negatif. Menurut gamba-
euthanasia. ran umum, anak-anak yang menderita penyakit
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu seperti itu tidak berumur panjang, maka meng-
pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga hentikan pengobatan dan mempermudah kema-
jenis: tian secara pasif (euthanasia negatif) itu mence-
gah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit
a. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi
atau kedua orang tuanya.13
karena proses alamiah,
b. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara
tidak wajar Euthanasia dalam Pandangan Hukum dan
c. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan HAM di Indonesia
pertolongan atau tidak dengan pertolongan dok- Prinsip umum Undang-undang Hukum
ter. Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah
jiwa manusia adalah memberikan perlindungan,
Nyonya Agian yang mengalami koma selama
sehingga hak hidup secara wajar sebagaimana
tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat
harkat kemanusiaannya menjadi terjamin, maka
bantu pernafasan, sehingga dia hanya bisa melakukan
berdasarkan hukum di Indonesia euthanasia adalah
pernafasan dengan bantuan alat pernafasan. Jika alat
perbuatan yang melawan hukum.Hal ini dapat dilihat
pernafasan tersebut dicabut otomatis jantungnya
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
akan berhenti memompakan darahnya keseluruh
pada Pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa
tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa
“Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas
hidup, namun, ada yang menganggap bahwa orang
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
sakit seperti ini sebagai “orang mati” yang tidak
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
mampu melakukan aktifitas. Maka memberhentikan
penjara selama-lamanya 12 tahun”.14 demikian juga
alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk
halnya pada pengaturan Pasal 388 KUHP dinyatakan:
memudahkan proses kematiannya.
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa
Hal tersebut di atas adalah contoh euthanasia
orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan
positif yang dilakukan secara aktif oleh medis.
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
Sedangkan euthanasia negatif dalam proses tersebut
Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP
tenaga medis tidak melakukan tindakan secara aktif,
dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja dan
contohnya sebagai berikut;
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang
a. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan
yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
benturan pada bagian kepalanya atau terkena se- selama waktu tertentu paling lama duapuluh tahun”,
macam penyakit pada otak yang tidak ada hara- serta Pasal 345KUHP yang berbunyi “dengan
pan untuk sembuh, atau orang yang terkena se- sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
rangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan
(padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
akan dapat mematikan penderita. selama-lamanya empat tahun”, dan Pasal 359 KUHP,
b. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk ka- yang dinyatakan “Barangsiapa yang karena salahnya
rena menderita kelumpuhan tulang belakang atau telah menyebabkan meninggalnya orang lain.
kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan)
apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis
13
penyakit otak, yang mungkin akan dapat mem- J. Guwandi, Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw, Jakarta: Ba-
dan Penerbit FK UI, 2000, h. 4.
bawa kematian anak tersebut. Dari contoh terse- 14
J. Guwandi, Hospital Law, emerging doctrine & jurisprudence,
but, “penghentian pengobatan” merupakan salah Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2002, h 22.
197
Jurnal Hukum tô-râ, Vol. 1 No. 3, Desember 2015
lima tahun, atau dengan hukuman kurungan selam- atau diminum”17 Selain itu patut juga diperhatikan
lamanya satu tahun”, yang juga dapat dikatakan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya
memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal
euthanasia. Dengan demikian, secara formal hukum 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja
yang berlaku di Indonesia memang tidak mengizinkan menempatkan atau membiarkan seorang dalam
tindakan euthanasia oleh siapa pun juga.15 keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
Munculnya pro dan kontra seputar euthanasia berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib
menjadi beban tersendiri bagi komunitas hokum,yaitu memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
persoalan “legalitas” euthanasia.Kejelasan tentang kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara
sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
akan sangat membantu masyarakat di dalam Dalam Pasal 306 (1) KUHP dinyatakan: Jika
menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di salah satu perbuatan berdasarkan Pasal 304 dan Pasal
tengah masyarakat Indonesia yang menganut faham 305 mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
komuni sehingga menimbulkan pro dan kontra. Patut diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam tahun enam bulan. Sementara Pasal 306 (2) KUHP
hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal menyatakan, “Jika mengakibatkan kematian pidana
satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang penjara paling lama sembilan tahun”. Dua ketentuan
dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks
(voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang
diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak
secara tegas menyatakan, “Barang siapa merampas pidana.atau dengan pengertian lain pasal ini juga
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati sering terjadi di Indonesia.
diancam dengan pidana penjara paling lama dua Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter
belas tahun”. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 Indonesia (IDI) Farid Anfasa Moeloek mengarahkan
KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan di majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 euthanasia
atas permintaan korban sekalipun tetap diancam atau “pembunuhan tanpa penderitaan” hingga saat
pidana bagi pelakunya.16 Dengan demikian, dalam ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma
konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan “Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan
demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum
tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup positif yang masih berlaku yakni KUHP”.18
seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu
sendiri. Perbuatan tersebut tetap digolongkan sebagai
Pandangan Euthanasia di Negara Lain
tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam
dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan Sejauh ini euthanasia diperkenankan di negara
tersebut. Belanda, Belgia, Colombia, Swiss, Spanyol, Jerman,
Denmark dan ditoleransi di negara bagian Oregon
Di luar ketentuan di atas juga terdapat ketentuan
di Amerika. Pada tanggal 10 April 2001 Belanda
lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku
menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP
euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif
yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan
berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan
yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan
17
Rinanto Suryadhimirtha, Hukum Malpraktik Kedoteran, Yogya-
karta: Total Media, 2011, h.110
15
Ibid, h. 24 18
Safitri Haryani, Sengketa Medik, Jakarta: Diadit Media, 2005,
16
Anny Isfandyarie, et al, op. Cit, h. 87 h.69.
198
Euthanasia dan Hak Asasi Manusia Rospita A. Siregar
Belanda menjadi negara pertama di dunia yang forum diskusi. Akan tetapi, pendangan medis,
melegalkan praktik euthanasia. Pasien yang etis, yuridis, agama dan lain sebagainya masih
mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, mengundang pro dan kontra, baik di Indonesia
diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.19 Tetapi maupun di berbagai negara di dunia.
perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana 3. Di Indonesia, belum ada hukum yang mengatur
Belanda secara formal euthanasia dan mengakhiri secara jelas mengenai praktik euthanasia dalam
hidup berbantuan masih dipertahankan sebagai bidang medis. Apabila terjadi praktek euthanasia
perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul “The dapat dijerat dengan pasal pembunuhan, antara
Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam majalah lain Pasal 304, Pasal 306, Pasal 340, Pasal 344,
Human Life International Special Report Nomor 67, Pasal 345, Pasal 359, Pa- sal 356 dan Pasal 388
November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak KUHP.Selain itu, etika kedokteran dan agama di
tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan Indonesia masih menentang pelaksanaan dengan
melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di alasan apapun.Tidak mudah untuk menilai
pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur apakah perbuatan itu bertentangan dengan hukum
yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah (pidana, perdata) Indonesia, jika tidak diketahui
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak dengan jelas kaitan antara hukum (pidana,
harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan perdata) tersebut dengan kriteria yang dipakai
menjawab sekitar 50 pertanyaan. sebagai tolok ukur, bagi sesuatu perbuatan yang
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum menurut ukuran-ukuran medis mungkin lolos dari
mengatur kewajiban para dokter untuk melapor hukum (pidana, perdata). Untuk itu, hendaknya
semua kasus euthanasia dan mengakhiri hidup hukum pidana tetap berpedoman pada asas yang
berbantuan.20 Instansi kehakiman selalu akan menilai berlaku umum yaitu actus non facit reum nisi
betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah mens sit rea atau an act does not innocence,
konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi dipakai dalam mencari kebenaran materil yang
oleh undang-undang Belanda, yaitu seorang dokter dihasilkan melalui pembuktian adanya hubungan
yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu kausal antara perbuatan dan akibat.
tidak akan dihukum.
Saran
1. Perlu dirumuskan kejelasan pengertian euthanasia
Kesimpulan dan pelaksanaannya.
1. Belum terdapat kesepakatan mengenai pengertian 2. Perlu penegasan secara medis, etis serta agama
dan pelaksanaan euthanasia dari para ahli.Dapat dan yuridis, begitu pun pertimbangan hak azasi
disimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu manusia tentang euthanasia.
tindakan medis tertentu yang dengan sengaja 3. Indonesia saatnya memiliki hukum yang mengatur
dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lain euthanasia dengan batasan yang jelas mengenai
untuk mengakhiri atau mempercepat kematian penyakit/keadaan pasien dan latar belakang yang
pasien yang menderita suatu penyakit yang menjadi alasan dilaksanakannya euthanasia.
menurut ilmu kedokteran tidak dapat sembuh,
atas atau tanpa permintaan pasien dan atau
keluarganya sendiri, demi kepentingan pasien
dan atau keluarganya. Daftar Pustaka
2. Masalah euthanasia bukan masalah baru,
Buku
masalah ini sudah sering diangkat dalam berbagai
Anny Isfandyarie et al.Tanggung Jawab Hukum dan
19
Sanksi bagi Dokter, Buku kedua, Jakarta:
J. Guwandi, Hukum Dan Dokter, Jakarta: Balai Sagung Seto,
2008, h.73. Prestasi Pustaka,2006.
20
Ibid, h. 75
199
Jurnal Hukum tô-râ, Vol. 1 No. 3, Desember 2015
Budiyanto, A, et.al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,1997.
Karyadi, P.Y. Euthanasia: Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia. Yogyakarta: Penerbit Media
Pressindo, 2001.
J. Guwandi. Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2000.
, Hospital law: Emerging Doctrines &Jurisprudence. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2002.
, Hukum Medic (Medical Law). Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.
Qomariyah Sachrowardi,Ferryal Basbeth: Bioetik Isu dan Dilema, Jakarta: Penerbit Pensil- 324,2011.
Rinanto Suryadhimirtha. Hukum Malpraktek Kedokteran, Yogyakarta: Penerbit Total Media,2011.
Safitri Hariyani. Sengketa Medik:, Jakarta: Penerbit Diadit Media, 2005.
S, Abraham, et al. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Fo- rensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro. 2009.
Wila Chandrawila Supriadi. Hukum Kedokteran.
Bandung: Mandar Maju, 2001.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia