Professional Documents
Culture Documents
Irza Nafiatus S C
Irza Nafiatus S C
Abstract
This research discusses the myth of Jabal Nur which is considered to have developed
around the megalithic sites of Mount Padang, Campaka, Cianjur. These stories are considered to
have a connection between Jabal Nur, which is the place where the revelations of the Prophet
Muhammad and Mount Padang were revealed. The majority of people believe in this myth and
develop as folklore.
Literary and semiotic reception approaches are used to examine the story of this
mountain of the Padang. Data collection was carried out using field and literature techniques.
The literary reception approach was used to analyze public criticism of the Jabal Nur myth that
developed around the Mount Padang megalithic site. The semiotic approach is used to analyze the
function of the Jabal Nur myth for the community based on the reception that has been obtained.
The results of this study indicate that the public's response to the Jabal Nur myth varies.
Society understands based on its emergence because there are similarities in terms of structure,
name and function. On the other hand, it can also affect people's beliefs such as maintaining
tawhid, increasing piety, improving morals, and enriching cultural treasures. Jabal Nur according
to society is a myth that functions not only in mystical terms but in social terms as well as a
means of education and morals as well.
Keywords: Changes, Gunung Padang Site, World History
Abstrak
Penelitian ini membahas tentang mitos Jabal Nur yang dianggap berkembang di sekitar
situs megalitikum Gunung Padang, Campaka, Cianjur. Cerita – cerita tersebut dianggap
adanya keterkaitan antara Jabal Nur yang merupakan tempat diturunkannya wahyu bagi Nabi
Muhammad Saw dengan Gunung Padang. Mayoritas masyarakat mempercayai mitos ini dan
berkembang sebagai folklor.
Pendekatan resepsi sastra dan semiotika digunakan untuk meneliti cerita gunung padang
ini. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik lapangan dan kepustakaan. Pendekatan
resepsi sastra digunakan untuk menganalisis kritik masyarakat terhadap mitos Jabal Nur yang
berkembang di sekitar situs megalitikum Gunung Padang. Pendekatan semiotika digunakan
untuk menganalisis fungsi mitos Jabal Nur tersebut bagi masyarakat berdasarkan resepsi yang
telah didapatkan.
Hasil dari penelitian ini bahwa tanggapan masyarakat mengenai mitos Jabal Nur secara
beragam. Masyarakat memahami berdasarkan kemunculannya karena adanaya persamaan
dalam hal struktur, nama, dan fungsinya. Disisi lainjuga dapat berpengaruh terhadao
kepercayaan masyarakat seperti menjaga tauhid, meningkatkan ketakwaan, memperbaiki
akhlak, dan memperkaya khazanah kebudayaan. Jabal Nur menurut masyarakat adalah mitos
yang berfungsi bukan hanya dalam hal mistis akan tetapi mitos dalam hal sosial dan juga sarana
pendidikan dan moral juga.
Kata Kunci: Perubah, Situs Gunung Padang, Sejarah Dunia
PENDAHULUAN
Sejak diadakannya penelitian oleh Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) pada
tahun 2010-2014, saat ini situs megalitikum Gunung Padang semakin dikenal oleh
luas masyarakat luas dan juga kepopuleran Gunung Padang sebagai cagar budaya
sudah meluas ke ranah internasional. Dengan keilmuwan yang dimiliki oleh para
arkeolog dan geolog, terus melakukan penggalian untuk menemukan temuan
terbaru. Dalam penelitiannya (2014) menyebut bahwa Gunung Padang merupakan
bangunan yang unik dan didapatkan dari warisan para leluhur sebelum masehi.
Gunung Padang sebagai sebuah gejala alam telah ada dan dikenal sejak lama
oleh masyarakat Dusun Gunung padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka,
Kabupaten Cianjur. Salah satu folklor yang berkembang di masyarakat sekitar
Gunung Padang adalahcerita asal-usul nama Gunung Padang yang dikaitkan dengan
Jabal Nur di Mekah, Arab Saudi. Menurut Nanang, juru pelihara Gunung Padang,
sebagaimana dikutip dalam www.liputan6.com, kata padang berarti terang atau
cahaya dalam bahasa Sunda. Nama tersebut berasal dari Nagara Siang Padang. Oleh
karena itu, nama tersebut diasosiasikan dengan Jabal Nur, yang terletak di Arab
Saudi karena kata padang dan nur memiliki makna leksikal yang sama.
Berkaitan dengan hal tersebut, Gunung Padang yang memiliki asal-usul nama
yang sama dengan Jabal Nur diyakini masyarakat sekitar memiliki fungsi yang sama
dengan Jabal Nur. Struktur Gunung Padang terdiri atas punden berundak dengan
tinggi 885 meter di atas permukaan laut. Punden tersebut terbagi menjadi lima teras.
Menurut Nanang, keberadaan lima teras tersebut dianggap memiliki makna
spiritual. Masing masing teras memiliki nama dan fungsinya. Teras yang paling tinggi
merupakan tempat yang dianggap suci dan dipercaya masyarakat sebagai singgasana
Prabu Siliwangi.
Masyarakat sekitar, lanjut Nanang, percaya bahwa tingkat tertinggi yang
dianggap sebagai singgasana Prabu Siliwangi merupakan tempat tersuci di antara
teras-teras Gunung Padang. Tempat yang paling tinggi dari Gunung Padang tersebut
dianggap sebagai tempat berhening setelah melalui empat tingkatan terdahulu. Di
tempat tersebut, orang-orang pada masa lalu menjauhkan diri dari keramaian dan
memohon ketenangan dari Zat yang Maha Agung.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Gunung Padang dan Jabal Nur tidak
hanya memiliki persamaan arti dalam asal-usul namanya. Namun juga, keduanya
memiliki persamaan fungsi, yaitu untuk mengasingkan diri dari keramaian untuk
memperoleh ketenangan. Kata padang dan nur tidak sekadar merujuk pada makna
leksikal, tapi juga memiliki makna semantis yang lebih dalam. Maka dari itu,
masyarakat percaya bahwa Jabal Nur yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai tempat
Muhammad Saw. Menerima wahyu memiliki keterkaitan yang erat dengan
keberadaan Gunung Padang.
Maka, pada penelitian ini, masalah utama yang akan dibahas adalah mitos
Jabal Nur sebagai bagian dari folklor Sunda yang akan dianalisis secara komprehensif
menggunakan beberapa pendekatan ilmu sastra, yaitu resepsi dan semiotika.
Pendekatan resepsi berfokus pada peranan masyarakat sekitar Gunung Padang
dalam membentuk estetika pada pemaknaan mitos Jabal Nur tersebut, sedangkan
makna-makna di balik mitos tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan
semiotika. Makna-makna yang diungkap secara semiotis tersebut kemudian akan
menjawab fungsi mitos tersebut bagi masyarakat sekitar Gunung Padang pada
khususnya dan masyarakat lain pada umumnya.
Penelitian ini berfokus pada resepsi masyarakat sekitar situs megalitikum
Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur,
terhadap mitos Jabal Nur yang dikaitkan dengan keberadaan Gunung Padang.
Setelah resepsi tersebut dijelaskan, penelitian akan mengungkapkan fungsi mitos
tersebut bagi masyarakat sekitar Gunung Padang pada khususnya dan masyarakat
lain pada umumnya.
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, rumusan masalah dalam
penelitian ini terdiri atas beberapa pertanyaan berikut: 1. Bagaimana mitos Jabal
Nur diresepsi oleh masyarakat sekitar Gunung Padang? 2. Apa fungsi mitos Jabal
Nur bagi masyarakat sekitar Gunung Padang pada khususnya dan masyarakat lain
pada umumnya? Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian yang
diajukan dalam rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengungkapkan resepsi masyarakat sekitar Gunung Padang terhadap mitos Jabal
Nur. Menjelaskan fungsi mitos Jabal Nur bagi masyarakat sekitar Gunung Padang
pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya.
Namun, hal tersebut dapat diupayakan dengan terus melakukan penelitian yang kom
prehensif terhadap obat tradisional.
KERANGKA TEORI
• Foklor
Folklor Menurut Dundes, sebagaimana dijelaskan Danandjaya, kata folklor
berasal dari bahasa Inggris, yaitu folklore yang terdiri atas dua kata, yaitu folk dan
lore. Adapun lore adalah tradisi yang dimiliki folk, yaitu kebudayaan yang
diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh gerak isyarat dan
alat pembantu pengingat. Berdasarkan definisi tersebut, maka folklor dapat disebut
sebagai kebudayaan sekelompok masyarakat tertentu yang diwariskan secara turun-
temurun melalui lisan atau perangkat pendukung komunikasi lisan lainnya.
Senada dengan definisi tersebut, Endraswara menambahkan bahwa
folklor disebarkan dengan cara yang khas, yaitu diwariskan dari mulut ke mulut dan
oleh tradisi dan praktik adat istiadat. Dengan cara demikian, folklor akan tetap
bertahan dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat di suatu daerah
tempat folklor tersebut lahir. Hal tersebut yang disebut Danandjaya bahwa folklor
bersifat tradisional karena relatif tetap dan memiliki bentuk yang standar meski telah
penerimanya telah berganti generasi. Namun, meski cenderung tetap, folklor
biasanya memiliki versi yang berbedabeda dari setiap masyarakat penuturnya.
Adapun isi dan bentuk dasar folklor tersebut tetap memiliki
persamaan. 8 Karakteristik folklor lainnya adalah anonimitasnya. Selain, itu folklor
juga bersifa pralogis, yaitu memiliki logika sendiri yang berlainan degan logika
umum yang dikenal masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian,
folklor memiliki kegunaan bagi masyarakat penerimanya, seperti pegangan untuk
bertindak. Anonimitas folklor juga menjadikan folklor menjadi milik kolektif dan
diakui sebagai kekayaan bersama.
Berdasarkan tipenya, Brunvand, sebagaimana dijelaskan Danandjaya,
menyebutkan bahwa folklor dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama,
folklor lisan, yaitu folklor yang murni berbentuk bahasa lisan. Bentuk folklor lisan
antara lain: bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, puisi rakyat, dan prosa
rakyat. Kedua, folklor sebagian lisan, yaitu folklor yang menggabungkan unsur lisan
dengan unsur bukan lisan, seperti gerak isyarat dan adat istiadat. Ketiga, folklor
bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan meski pembuatannya
diajarkan secara lisan, seperti adat istiadat, rumah adat, dan obat tradisional.
Kategorisasi folklor lainnya juga dilakukan oleh Dundes.
Semua jenis folklor tersebut dapat ditemui di dalam masyarakat
Indonesia. Namun demikian, penelitian terhadap folklor belum mencapai titik yang
memuaskan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut Endraswara,
kurangnya penelitian folklor disebabkan folklor belum menjadi program khusus
dalam kajian akademik. Folklor seringkali masih "Menempel" pada bidang ilmu lain.
Hal tersebut menjadikan pemanfaatan keilmuan folklor belum dilakukan secara
optimal. Namun, hal tersebut dapat diupayakan dengan terus melakukan penelitian
yang komprehensif terhadap banyaknya folklor yang ada di Indonesia. Hal
terpenting adalah melakukan penelitian folklor dengan metode dan pendekatan yang
tepat.
Finnegan sebagaimana dijelaskan oleh Endraswara menyebutkan
bahwa penelitian folklor harus bertolak dari folklor sebagai suatu tradisi yang
menurutnya 9 berkarakteristik: verbal, tanpa tulisan, milik kolektif rakyat, memiliki
makna fundamental, dan dapat ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan terhadap folklor-folklor tersebut juga
memiliki langkah-langkah yang berbeda. Endraswara menyebutkan bahwa teknik
penelitian tersebut dibedakan berdasarkan pesan dan nuansa folklor yang menurut
Dorson dikelompokkan menjadi: oral literature, social folk custome, material
culture, dan folk arts. Namun demikian, penelitian terhadap semua genre folklor
tersebut pada intinya dilakukan dengan studi lapangan, arsip, sumber tertulis, dan
pemetaan.
Klasifikasi folklor lainnya yang perlu dibahas dalam penelitian adalah
klasifikasi Jansen. Menurutnya sebagaimana dijelaskan Endraswara, folklor terdiri
atas folklor esoterik dan folklor eksoterik. Folklor esoterik adalah folklor yang
dimengerti oleh sejumlah orang saja, sedangkan folklor eksoterik adalah folklor yang
dimengerti oleh umum dan tidak terbatas pada kolektif tertentu. Suatu masyarakat
memiliki folklor, baik esoterik maupun eksoterik, disebabkan tiga hal. Jika suatu
kelompok sangat berbeda dengan kelompok yang lain, seperti berbeda keyakinan dan
adat istiadat, maka folklor yang dihasilkan pun seringkali berbeda. Semakin suatu
kelompok menutup diri, maka folklor yang dihasilkan pun kian esoterik. Misalnya,
para tukang santet dan ahli tenung biasanya memiliki folklor esoterik yang sulit
dipahami oleh orang-orang awam pada umumnya. Ketiga, adanya kekhususan dalam
pemberian pujian, harapan, dan kegemaraan seseorang biasanya memunculkan
folklor yang khas. Hal tersebut biasanya menjadikan kelompok tersebut menciptakan
cerita mengenai figur secara berlebihan sehingga dapat dikategorikan sebagai folklor.
Berdasarkan teori-teori yang dipaparkan tersebut, penelitian ini akan
dilakukan dengan mengacu pada beberapa konsep penting dari folklor, seperti genre,
karakteristik, dan langkah penelitian yang relevan dengan objek penelitian dalam
penelitian ini. Selanjutnya, akan dibahas teori mengenai mitos sebagai bagian dari
folklor sebagaimana telah disebutkan terdahulu.
• Mitos
• Teori semiotika
Semiotika Barthes merupakan pengembangan dari teori Saussure yang
membagi dua unsur tanda, yaitu signifiant dan signifie. Menurut Barthes, sistem
signifikansi tanda terdiri atas relasi antara tanda dan maknanya. Sistem signifikansi
tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama yang disebut sistem denotatif dan
sistem kedua yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem
metabahasa.
Bagi Barthes, relasi antara tanda dan maknanya terjadi pada kognisi
manusia dalam lebih dari satu tahap. Tahap pertama adalah dasar yang terjadi pada
saat tanda diserap untuk pertama kalinya, yakni adanya relasi pertama antara tanda
pertama dan makna pertama. Inilah yang disebut dengan denotasi, yakni pemaknaan
yang secara umum diterima dalam konvensi dasar sebuah masyarakat. Piliang,
sebagaimana dikutip Christommy, menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat
penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara
tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit,
langsung dan pasti. Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat
konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Namun, pemaknaan tanda tidak pernah
terjadi hanya pada tahap primer. Proses itu akan dilanjutkan dengan
pengembangannya pada sistem sekunder, yakni relasi kedua antara tanda kedua dan
makna kedua. Proses penandaan ini yang disebut dengan penandaan tahap kedua.
Konotasi yang mantap, menurut Barthes, dapat berkembang menjadi
mitos, yaitu makna tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh komunitas. Mitos
yang mantap dapat berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang
mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan
mereka dipengaruhi oleh ideologi tersebut. Sehubungan dengan itu, Piliang,
sebagaimana dikutip Christommy menyebutkan bahwa konotasi adalah tingkat
penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di
dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Konotasi menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan
dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka teori semiotika Barthes relevan
untuk mengungkapkan penciptaan mitos Jabal Nur dan fungsinya bagi masyarakat
pemilik mitos tersebut, yaitu masyarakat Gunungpadang. Pertama, proses
penandaan dilakukan dengan menghubungkan gejala-gejala alam yang ditunjukkan
di situs Gunung Padang dengan resepsi masyarakat terhadap pemaknaan gejala alam
tersebut. Kedua, hubungan antara gejala alam dan resepsi masyarakat yang disebut
sebagai pemaknaan lapis pertama dihubungkan dengan nilai-nilai religius yang dapat
diambil dari mitos tersebut. Dengan demikian, akan diperoleh fungsi mitos tersebut
bagi masyarakat sekitar pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi Penelitian
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif analitik, yaitu dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang
ditemukan di lapangan kemudian menganalisis fakta-fakta tersebut. Fakta tersebut
dianalisis dengan pendekatan yang sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data adalah
pendekatan resepsi dan semiotika yang keduanya telah dijelaskan dalam subbab
Kerangka Berpikir. Berdasarkan pengumpulan datanya, penelitian ini termasuk ke
dalam penelitian kepustakaan dan lapangan.
Penelitian kepustakan dilakukan dengan mengumpulkan data-data
kepustakaan berupa literatur mengenai situs megalitikum Gunung Padang dan
mitos-mitos yang berkembang di masyarakat sekitarnya. Selain itu, dikumpulkan
pula buku-buku teori yang relevan dengan penelitian ini, seperti buku-buku folklor,
penelitian folklor, teoeri sastra, dan buku-buku yang berkaitan dengan nilai-nilai
Islam, khususnya tauhid, untuk dikomparasikan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam mitos yang diteliti dalam penelitian ini. Literatur yang menunjang tersebut
sebagian telah dijelaskan dalam subbab Tinjauan Pustaka.
Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan
pengumpulan data di lapangan. Pengumpulan data berupa pengamatan langsung
dan wawancara. Pengamatan langsung dilakukan di lokasi situs megalitikum
Gunung Padang dan dusundusun sekitar situs tersebut. Pengamatan bertujuan
untuk melihat gambaran umum mengenai lokasi penelitian, kondisi masyarakat, dan
cerita-cerita lisan yang berkembang di sekitar masyarakat tersebut. Wawancara
dilakukan untuk mengetahui secara lebih detail kondisi masyarakat langsung dari
masyarakat sekitar.
Wawancara juga bermaksud untuk mengetahui cerita-cerita lisan yang
mereka percayai seputar Gunung Padang serta tanggapan mereka terhadap mitos
Jabal Nur yang dikaitkan dengan keberadaan Gunung Padang. Wawancara
dilakukan dengan tatap muka di lokasi penelitian terhadap beberapa informan.
Berdasarkan objek kajian yang dipilih, yaitu folklor, penelitian ini memiliki langkah-
langkah tertentu yang relevan.
Sebagaimana disebutkan Soeratno bahwa metode yang dilakukan
dalam penelitian telah diatur agar tepat guna berdasarkan karakteristik objek
penelitiannya. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini
berdasarkan rumusan Danandjaya adalah sebagai berikut: 1. Tahap prapenelitian di
tempat, yaitu memahami objek penelitian sebelum dilakukan pengumpulan data di
lapangan; 2. Tahap penelitian di tempat, yaitu menggali data-data dari informan di
lokasi penelitian; 3. Tahap pembuatan naskah folklor sebagai arsip, yaitu
pengumpulan hasil analisis menjadi sebuah folklor tertulis yang utuh.
Namun demikian, penelitian ini dilakukan hingga tahap kedua, yaitu
penelitian di tempat. Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis sesuai
rumusan masalah yang ditentukan, yaitu resepsi masyarakat sekitar Gunung Padang
terhadap mitos Jabal Nur dan fungsi mitos tersebut dalam kehidupan masyarakat
sekitar. Penelitian ini telah mencakup pembahasan yang luas dan memiliki
signifikansi yang komprehensif sehingga tahapan pengarsipan dapat dilakukan dalam
penelitian khusus lanjutan.
Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah cerita-cerita lisan
yang dikenal masyarakat sekitar situs megalitikum Gunung Padang, termasuk mitos
Jabal Nur yang dipercaya memiliki keterkaitan dengan keberadaan Gunung Padang.
Jenis Data Jenis data penelitian ini adalah mitos Jabal Nur yang
merupakan bagian dari cerita lisan yang dimiliki masyarakat sekitar Gunung Padang,
Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Mitos tersebut dikumpulkan melalui
sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis berupa literatur yang membahas
mitos tersebut Jabal Nur yang relevan dan kompeten dengan penelitian ini. Jenis
data lainnya adalah tanggapan masyarakat terhadap mitos Jabal Nur tersebut.
Teknik Pengumpulan Data Sebagaimana disebutkan sebelumnya
bahwa penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.
Pada penelitian kepustakaan, pengambilan data dilakukan dengan menginvetarisasi
mitos Jabal Nur yang diperoleh dari berbagai literatur, baik berupa buku-buku
mengenai Gunung Padang maupun artikel daring. Artikel daring yang diperoleh di
antaranya berupa berita dan catatan perjalanan yang diunggah di portal berita dan
blog.
Adapun pada penelitian lapangan, pengambilan data dilakukan
dengan menginventarisasi mitos Jabal Nur yang diperoleh dengan cara
mewawancarai beberapa informan yang relevan dan kompeten dalam penelitian ini.
Wawancara dilakukan sebagai tahapan prapenelitian, yaitu mengumpulkan data
sebanyak mungkin mengenai mitos Jabal Nur yang diyakini masyarakat berkaitan
erat dengan keberadaan Gunung Padang serta resepsi terhadap keberadaan mitos
tersebut. Wawancara dilakukan dengan dua teknik, yaitu wawancara langsung dan
wawancara tertulis. Wawancara langsung dilakukan dengan beberapa orang
informan yang tinggal atau berada di sekitar situs Gunung Padang. Adapun
wawancara tertulis melalui surat elektronik dilakukan kepada beberapa informan
yang pernah mengunjungi situs Gunung Padang atau melakukan penelitian di sana.
SITUS GUNUNG PADANG, DIANGGAP SEBAGAI
PERUBAH SEJARAH DUNIA