Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

JURNAL

KONSTRUKSI FEMINISME DALAM MEDIA SOSIAL


(Analisis Wacana Kritis Tentang Feminisme Pada Akun @magdaleneid di
Instagram)

Disusun oleh:
NILA PUSPITORUKMI
D1217035

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Ilmu Komunikasi

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019
KONSTRUKSI FEMINISME DALAM MEDIA SOSIAL
(Analisis Wacana Kritis Tentang Feminisme Pada Akun @magdaleneid
di Instagram)

Nila Puspitorukmi
Ch. Heny Dwi Suwarti

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik


Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract
Instagram is one of the social media that is considered very influential in
empowering women, making people aware, helping to build greater participation,
so that it leads to transformative actions. On the other hand, the ease of creating
content in new media raises multiple perceptions in the user reception process. The
large amount of media content related to the women's movement obscures the
definition of feminism that is developing in society. Therefore, @magdaleneid is a
feminist account that tries to justify the stigma of society that is still vague and
wrong in interpreting feminism. The @magdaleneid account emphasizes that
feminism is about equality not about elevating women. This research aims to
determine the issue of how feminism is constructed on social media, in this case the
@magdaleneid account on Instagram is a research object.
This research was conducted by reviewing the data taken by purposive sampling
technique. Furthermore, the sample was examined using the critical discourse
analysis approach of the Sara Mills model. This model was chosen because it
emphasizes how women are displayed in the text. Sara Mills divides her discourse
analysis into two core concepts, namely the subject-object position and the position
of the reader.
The results of this study reveal that the @magdaleneid account has built a positive
feminism construction through its upload on Instagram. The construction of
feminism displayed by @magdaleneid has criteria according to the basis of Liberal
Feminism, which is based on freedom and equality of rationality. Where the ability
of women is the same as men. So it must be given the same rights as men.

Keyword: Construction, Feminism, Social Media, Instagram, @magdaleneid,


Sara Mills

1
Pendahuluan
Pada era modern seperti saat ini, teknologi new media tidak dapat
dipisahkan oleh masyarakat global. Semua masyarakat membutuhkan teknologi
khususnya di bidang informasi dan komunikasi, smartphone adalah salah satu
bentuk nyata dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Orang yang
memiliki dan menggunakan smartphone secara teknis mereka telah menggenggam
informasi dunia, apapun yang diinginkan informasinya sudah tersedia di alat
komunikasi tersebut (Arifianto, 2018:9). Dari data survey dailysocial.id tahun 2016
memperlihatkan pengguna smartphone di Indonesia tidak memberikan batasan
umur bagi penggunanya. Survey menunjukkan pengguna smartphone
menghabiskan banyak waktunya untuk sekedar bermain tanpa kepentingan yang
penting atau mendesak. Bahkan dari riset tersebut menunjukkan media sosial adalah
yang paling sering diakses melalui smartphone mereka.
Media sosial adalah medium di internet yang memungkinkan pengguna
merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi,
berkomunikasi dengan pengguna lain dan membentuk ikatan sosial secara virtual.
Kehadiran media sosial membawa dampak yang signifikan pada berbagai sisi
kehidupan masyarakat sekaligus menambah efektifitas dalam bidang komunikasi.
Dewasa ini, salah satu media sosial yang paling digemari dan digunakan hampir
semua kalangan adalah Instagram. Berdasarkan riset We Are Social dan Hootsuite
pada Januari 2019, media sosial Instagram berhasil menjadi aplikasi media sosial
ke-empat yang paling sering digunakan di Indonesia setelah YouTube, WhatsApp,
dan Facebook dengan presentase 80%.
Keberadaan Instagram hampir diterima oleh semua kalangan disebabkan
oleh tersedianya berbagai fitur menarik, kemudian fitur-fitur yang ini terus
berinovasi sehingga membuat penggunanya tidak merasa jenuh dalam
penggunaannya. Seiring berjalannya waktu Instagram mulai berkembang yang pada
awalnya hanya sebatas media untuk saling berkomunikasi kini telah menjadi salah
satu media yang menyediakan berbagai informasi baik itu ilmu pengetahuan umum
hingga sampai kepada kejadian yang sedang viral (Maulhayat, 2018).

2
Keberadaan Instagram sebagai platform gratis dan mudah diakses ini
membuat masyarakat lebih leluasa untuk berpendapat dan mengaktualisasi isu-isu
sensitif seperti politik, hukum, agama, hingga yang jarang diangkat dalam
pemberitaan pada media yaitu isu kaum minoritas dan isu gender.
Seperti yang kita ketahui isu gender telah ada sejak lama. Permasalahan
gender tidak dapat dipisahkan dari persoalan ideologi, struktur, dan kultur.
Ketiganya saling terkait dan mengukuhkan situasi yang sangat tidak
menguntungkan bagi kaum perempuan. Saat ini feminisme dan kesetaraan gender
sudah marak diperbincangkan dalam buku, jurnal ilmiah, hingga akun-akun media
sosial. Masyarakat dipermudah aksesnya menuju pemahaman tentang perempuan,
tentang laki-laki, tentang peran dan status sosial, serta tentang kesetaraan.
Persoalan perempuan berkaitan dengan masalah kesetaraan gender ini
memang dapat mengundang rasa simpati yang cukup besar, hal ini karena
permasalahan gender sering dikaitkan dengan persoalan keadilan sosial dalam arti
yang lebih luas (Nugroho, 2008:28). Ketidakadilan gender ini telah mengakar mulai
dari keyakinan di masing-masing orang, keluarga, hingga ke tingkat negara yang
bersifat global (Nugroho, 2008:17).
Penindasan dan ketimpangan hak yang dirasakan oleh perempuan dari segi
kultural, sosial, maupun politik memicu adanya gerakan dari kaum feminis. Secara
umum para feminis menginginkan kesetaraan gender yang sama rata antara laki-
laki dan perempuan dari segala aspek kehidupan, baik lingkungan keluarga maupun
masyarakat. Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme merupakan
gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki dalam upaya melawan pranata
sosial yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha
pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodratnya. Dengan kesalahpahaman
seperti ini, maka feminisme tidak saja kurang mendapat tempat di kalangan umum
perempuan, bahkan secara umum ditolak masyarakat (Nugroho, 2008:30).
Berkaitan dengan hal tersebut, kini Instagram telah dimanfaatkan oleh para
feminis untuk menyuarakan aspirasi serta memberikan informasi seperti isu
feminisme dan isu sosial lainnya. Hal ini karena Instagram telah menjadi salah satu
media sosial yang dianggap sangat berpengaruh dalam pemberdayaan perempuan,

3
menyadarkan seseorang, membantu membangun partisipasi yang lebih besar,
hingga mengarah pada tindakan transformatif (Rassi, 2016:12). Hal ini diwujudkan
seperti munculnya berbagai akun-akun feminis antara lain @magdaleneid (19,5K),
@jakartafeminist (9,1K), @mubaadalah (7,7K), @yesido.indonesia (368),
@xpedisifeminis (363). Motif isi akun-akun tersebut kurang lebih sama yaitu
mengaktualisasi isu gender dan feminisme dengan memberikan pengetahuan
berupa unggahan yang informatif. Perbedaan motif isi unggahan dari akun-akun
tersebut mayoritas adalah cara pembahasan isu dari berbagai perbedaan perspektif.
Pergerakan feminisme dalam media online tidak berhenti dalam tataran
reproduksi konten saja, beberapa feminis mendirikan media independen yang
menyajikan berita dan informasi alternatif mengenai feminisme dan urgensinya
dalam masyarakat (Theda, 2014). Salah satu contohnya adalah akun feminis
@magdaleneid di Instagram. Akun ini merupakan salah satu platform dari sebuah
media online yang format utamanya berupa majalah online atau web magazine
bernama Magdalene. Selain web magazine, Magdalene juga menggunakan platform
lain seperti Twitter, Facebook, YouTube, dan Instagram. Instagram @magdaleneid
dipilih untuk diteliti karena Instagram merupakan media sosial yang paling dekat
dengan kehidupan khalayak dari berbagai kalangan. Akun @magdaleneid memiliki
pengikut terbanyak dibanding akun yang lain serta konsisten berfokus pada isu-isu
perempuan yang mendorong kesetaraan, pemberdayaan, pluralisme dan toleransi
sejak tahun 2013.
Di sisi lain, kemudahan menciptakan konten dalam media baru
menimbulkan multi persepsi dalam proses resepsi pengguna. Banyaknya konten
media yang berkaitan dengan pergerakan perempuan, mengaburkan definisi
feminisme yang berkembang dalam masyarakat. Tidak jarang konten media yang
ditujukan untuk mendukung feminisme sangat radikal, mengesankan jika
pergerakan feminisme bukan bertujuan untuk menyetarakan gender, melainkan
menjadikan perempuan sebagai peran superior dan menyebarkan kebencian
terhadap kaum laki-laki (Theda, 2014). Oleh karena itu, @magdaleneid merupakan
salah satu akun feminis yang berusaha membenarkan stigma masyarakat yang
masih kabur dan salah dalam memaknai feminisme. Akun @magdaleneid

4
menegaskan bahwa feminisme adalah tentang kesetaraan bukan tentang
meninggikan kaum perempuan.

Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah yang dipaparkan maka
terdapat rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana Konstruksi Feminisme
Dalam Media Sosial Instagram Pada Akun @magdaleneid Dengan Analisis
Wacana Kritis?

Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Komunikasi
Carl I. Hovland (Soenarjo, 1995:143) mendefinisikan komunikasi adalah
suatu proses di mana seseorang memindahkan perangsang yang biasanya berupa
lambang kata-kata untuk mengubah perilaku orang lain. Jadi, dengan demikian
komunikasi itu adalah persamaan pendapat dan untuk kepentingan itu maka orang
harus mempengaruhi orang lain dahulu sebelum orang lain itu berpendapat,
bersikap, bertingkah laku yang sama dengan kita. (Widjaja, 2000: 26)
Harold D. Lasswell (Effendy, 2003:10) menyebutkan bahwa cara yang tepat
untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “Siapa
yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa, dan
apa pengaruhnya”.
B. Komunikasi Massa
Maletzke dalam Sumadiria (2014:19) menjelaskan komunikasi massa
adalah setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka
melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik
yang tersebar.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa
diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang
tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan
yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Artinya, komunikasi massa
adalah komunikasi yang dilakukan dengan memanfaatkan media massa.

5
C. New Media
Media baru atau new media adalah media yang berbasis internet dengan
menggunakan komputer maupun telepon genggam yang canggih. Terdapat dua
kekuatan perubahan awalnya adalah komunikasi satelit dan pemanfaatan komputer.
Kekuatan komputer sebagai sebuah mesin komunikasi kuncinya terletak pada
proses digitalisasi yang memungkinkan segala bentuk informasi dibawa dengan
efisien dan saling berbaur (McQuail, 2011: 43).
D. Media Sosial
Media sosial merupakan salah satu platform yang muncul dalam media
siber. Sehingga, karakteristik media sosial tidak jauh berbeda dengan media siber
pada umumnya. Meskipun karakteristik media siber bisa dilihat melalui media
sosial, namun di sisi lain media sosial memiliki karakteristik khusus yang tidak
dimiliki oleh beberapa jenis media siber lainnya. Karakteristik media sosial sebagai
diantaranya yaitu a) jaringan (network), b) informasi (information), c) arsip
(archive), d) interaksi (interactivity), e) simulasi sosial dan terakhir, f) konten oleh
pengguna (user generated content) (Nasrullah, 2016:16).
E. Instagram
Berdasarkan sumber wikipedia.com Instagram (juga disebut IG atau Insta)
adalah sebuah aplikasi berbagi foto dan video yang memungkinkan pengguna
mengambil foto, mengambil video, menerapkan filter digital, dan membagikannya
ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik Instagram sendiri. Instagram
berasal dari pengertian dari keseluruhan fungsi aplikasi ini. Kata "insta" berasal dari
kata "instan". Instagram juga dapat menampilkan foto-foto secara instan, seperti
Polaroid di dalam tampilannya. Sedangkan untuk kata "gram" berasal dari kata
"telegram" yang cara kerjanya untuk mengirimkan informasi kepada orang lain
dengan cepat.
F. Feminisme
Secara etimologis, feminisme berasal dari bahasa latin, femina yang berarti
seseorang memiliki sifat kewanitaan. Kemudian, dalam bahasa Inggris
diterjemahkan menjadi feminine, artinya memiliki sifat seperti perempuan. Lalu,

6
kata tersebut ditambahkan “ism” menjadi feminism, yang berarti hal-hal tentang
perempuan atau paham mengenai perempuan (Amalia, 2003:86).
Gerakan kaum perempuan pada hakikatnya adalah gerakan transformasi dan
bukanlah gerakan membalas dendam kepada kaum laki- laki. Namun, kaum feminis
menolak pandangan bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat
alamiah dan tidak terelakkan. Dengan demikian, dapat dikatakan gerakan
tranformasi perempuan adalah suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan
antar sesama manusia yang lebih baik, tanpa memandang status gender (Nugroho,
2008:61).
G. Feminisme Liberal
Menurut Tong (2009: 15), akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan
kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama
dengan laki-laki. Sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Oleh
karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapatkan
pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak
sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan
mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial,
ekonomi maupun personal.
H. Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills
Sara Mills lebih menitikberatkan teori wacananya pada wacana mengenai
feminisme, yaitu bagaimana wanita ditampilkan dalam teks, baik dalam novel,
gambar, foto, ataupun berita. Titik perhatian dalam perspektif ini adalah
menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan wanita. Dalam teks, wanita
cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah dan marjinal dibanding laki-laki.
Ketidakadilan dan penggambaran buruk mengenai wanita ini yang menjadi sasaran
utama tulisan Mills.
Sara Mills membagi analisis wacananya ke dalam dua konsep inti, yaitu
posisi subjek-objek dan posisi pembaca. Konsep pertama menekankan pada
bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa
ditempatkan dalam teks. Konsep kedua mengenai bagaimana posisi pembaca
ditampilkan dalam teks. Bagi Mills, teks merupakan suatu hasil negosiasi antara

7
penulis dan pembaca. Pembaca tidak dianggap sebagai pihak yang menerima teks
saja, tetapi ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat di dalam teks
(Eriyanto, 2001:199-203).

Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Metode
penelitian kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada
generalisasi (Sugiyono, 2011:9).
Sedangkan deskriptif dipilih karena bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun
rekayasa manusia, yang lebih memperhatikan mengenai karakteristik, kualitas,
keterkaitan antar kegiatan (Syaodih, 2011:73). Deskriptif dalam penelitian ini
adalah menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam teks pada gambar
unggahan akun @magdaleneid di Instagram.
Kemudian, penelitian ini menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis
Model Sara Mills. Model ini melihat posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks,
posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan yang menjadi
objek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna
diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain posisi subjek-objek, Sara Mills
juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan
dalam teks. Mills menganggap pembaca merupakan bagian penting yang
mempengaruhi teks. Pembaca tidak dianggap sebagai yang hanya menerima teks,
tetapi juga ikut melaksanakan transaksi sebagaimana terlihat dalam teks.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan sampel
dengan purposive sampling, adalah teknik sampling yang digunakan peneliti jika
peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan
sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Riduwan, 2008:63). Maka
dari itu, sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah unggahan pada akun

8
@magdaleneid pada rentang waktu 1 Februari 2019 hingga 31 Juli 2019 di
Instagram yang mengandung isu feminisme guna mengetahui bagaimana
konstruksi feminisme yang ditampilkan oleh akun @magdaleneid.

Sajian dan Analisis Data


a. Posisi Subjek-Objek

(1) (2)
Gambar 1. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 18 Februari 2019

Pada gambar tersebut memperlihatkan unggahan @magdaleneid yang


berupa screenshot sebuah berita online dari situs detik.com yang mengangkat topik
tentang seorang moderator debat capres 2019, Anisha Dasuki. Namun, pemberitaan
ini hanya membahas tentang penampilannya saja. Maka dari itu, berita ini
memperlihatkan bahwa wanita masih dijadikan sebuah ‘hiasan’, tanpa melihat
segudang prestasi yang dimiliki oleh perempuan tersebut yang akan lebih menarik
diberitakan daripada sekedar membahas soal penampilan perempuan.

9
(1) (2)

(3)
Gambar 2. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 18 Februari 2019

Dalam unggahan tersebut, @magdaleneid memperlihatkan screenshot


berita online dari situs detik.com bagaimana wanita dijadikan objek seks dalam
pemberitaan media demi sebuah rating berita. Faktanya, berita ini sempat menjadi
trending yang berarti telah dibaca oleh banyak orang dalam waktu singkat.
Persoalan seksual adalah urusan individu yang bersifat personal. Namun, situs
berita ini dengan jelas memberitakan topik seksual yang mengandung unsur
pornografi serta menjadikan seorang nenek sebagai objek beritanya. Berita ini tak
ubahnya seperti cerita porno dan tidak layak dikonsumsi oleh masyarakat.

10
(1) (2) (3)
Gambar 3. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 24 Maret 2019

Unggahan @magdaleneid di atas memperlihatkan bagaimana media


memberitakan kasus pembunuhan terhadap wanita namun yang disoroti tetap
tentang apa yang menjadi kebutuhan perempuan, yaitu nampak dari penggunaan
kata ‘Wanita Berjilbab’. Hal ini menjadikan wanita yang terbunuh terkesan masih
dijadikan objek pemberitaan dan seolah tidak punya nama kecuali ‘Wanita
Berjilbab’.

(1) (2)
Gambar 4. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 26 Juni 2019

Unggahan @magdaleneid di atas memperlihatkan berita online dari media


viva.co.id yang masih mengobjektifikasi wanita. Dimana media berfokus pada fisik

11
dan penampilan wanita bahkan dalam pemberitaan kecelakaan seperti ini. Hal ini
terlihat dari penggunaan kata ‘Cantik’ pada headline ‘PPSU Cantik Ditabrak Saat
Tugas Di Lampu Merah’. Dalam berita ini, kecelakaan seolah-olah terjadi karena
kecantikan seseorang. Padahal kecelakaan adalah musibah dan kecantikan bukanlah
penyebab sebuah kecelakaan. Seharusnya media berfokus pada bagaimana
kecelakaan bisa terjadi bukan menjadikan wanita yang sedang mengalami
kecelakaan sebagai objek pemberitaan.

(1) (2) (3)


Gambar 5. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 26 Juli 2019
Unggahan @magdaleneid di atas (Gambar 5) memperlihatkan berita dari
situs media online berbeda yaitu jppn.com, suryamalang.com, dan
radarsurabaya.com. Ketiga media online tersebut membahas topik yang sama yaitu
mengenai banyaknya janda di Gresik dalam waktu 6 bulan terakhir. Sedangkan,
dalam isi berita disebutkan faktor pernikahan usia muda, masalah ekonomi, KDRT
menjadi penyebab perceraian. Namun, judulnya selalu fokus kepada wanita yang
menjadi ‘janda’ akibat perceraian. Lagi-lagi wanita menjadi objektifikasi media
dalam pemberitaan. Hal ini mengisyaratkan menjadi janda adalah suatu hal yang
sangat buruk di mata masyarakat

12
b. Posisi Pembaca

(1) (2)

(3)
Gambar 6. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 3 Mei 2019
Unggahan @magdaleneid di atas (Gambar 6) merupakan infografis yang
memberikan pengetahuan bagi pembaca tentang peran gender. Dimana gender
adalah hasil konstruksi sosial yang dibangun masyarakat. Jane L. Pietra, psikolog
dari Yayasan Pulih, pada gambar pertama mengatakan bahwa peran gender sendiri
sebenarnya adalah konstruksi sosial yang seharusnya bersifat cair, dapat berubah,
dipersilangkan ataupun dipertukarkan. Seharusnya tidak ada pembagian kaku
antara peran gender laki-laki dan perempuan. Namun budaya patriarki melahirkan
nilai-nilai yang menempatkan posisi laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan
sebagai subordinasi laki-laki

13
Gambar 7. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 1 Februari 2019

Dalam unggahan @magdaleneid di atas menunjukkan bahwa posisi


pembaca terlihat dari adanya negosiasi antara penulis-pembaca, dan penggunaan
kata penyebutan untuk pembaca seperti ‘Kamu’. Tujuan @magdaleneid
mengunggah ini adalah agar khalayak mengerti bahwa mereka (pembaca) yang
mengalami masalah dalam hubungan percintaan seperti kekerasan fisik, posesif,
kerap diintimidasi, dan kekerasan seksual itu tidak sendirian. Oleh karena itu,
@magdaleneid sebagai penulis bernegosiasi dengan pembaca, yaitu mengajak
untuk berbagi kisah dan pengalaman mereka tentang masalah pada hubungan yang
tidak sehat dalam bentuk voice note yang akan disertakan ke dalam podcast
Magdalene’s Mind dengan topik tentang #pacarantoxic.

(1) (2)
14
(3) (4)

(5) (6)
Gambar 8. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 6 Maret 2019

Pada unggahan @magdaleneid di atas memiliki tujuan untuk mengedukasi


pembaca mengenai bentuk-bentuk pelecehan seksual yang sering terjadi di
lingkungan masyarakat baik yang sering disadari atau tidak. Sekaligus mengajak
pembaca untuk berbagi kisah pengalaman mengenai pelecehan seksual. Korban
pelecehan juga didominasi oleh perempuan sebesar 76,6% dan sisanya laki-laki.
Sayangnya, masih banyak korban yang tidak ingin membagikan pengalaman
pelecehan tersebut dikarenakan banyak faktor seperti malu untuk mengakui dan
takut dihakimi oleh lingkungan sosial. Maka, @magdaleneid mengajak khalayak
pembaca untuk berani bersuara membagikan pengalaman mereka, agar lebih
banyak yang sadar dan tidak bertambah lagi korban pelecehan seksual di
masyarakat.

15
Gambar 9. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 2 Juli 2019

Unggahan @magdaleneid di atas merupakan sebuah kutipan motivasi yang


ditulis oleh @magdaleneid tentang kesetaraan gender dimana terkadang situasi
memaksa kita untuk melakukan peran di luar gender, dan sebaiknya kita harus
menerima hal itu sebagai hal yang normal serta merangkul kesetaraan gender dalam
keadaan apapun. Unggahan ini mencerminkan betapa pentingnya bagi pembaca
memahami dan mendukung konsep kesetaraan gender, dimana laki-laki dan
perempuan sama, dan bebas untuk menafsirkan peran mereka dalam masyarakat
terlepas dari konstruksi sosial apapun yang mengikat mereka. Perempuan
membutuhkan akses dan kesempatan yang sama untuk berkembang seperti halnya
laki-laki. @magdaleneid melalui unggahan ini mengajak pembaca untuk
mempromosikan bahwa representasi dan kesetaraan gender penting dimanapun kita
berada.

16
Gambar 10. Screenshot unggahan akun @magdaleneid di Instagram
tanggal 10 Juli 2019

Unggahan di atas merupakan quotes yang ditulis @magdaleneid yang


ditujukan untuk pembaca khususnya perempuan yang berarti menjadi perempuan
bukan berarti tidak bisa melakukan hal banyak seperti laki-laki. Hal inilah yang
selama ini diperjuangkan kaum feminis yaitu kesetaraan gender. Bukan berarti
perempuan ingin menjadi laki-laki, namun perempuan ingin mendapat kesempatan
dan hak yang sama dengan laki-laki misalnya seperti akses pendidikan dan
informasi.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis mengenai konstruksi feminisme dengan teori
feminisme liberal dalam akun Instagram @magdaleneid yang dilihat berdasarkan
posisi subjek-objek, dan pembaca pada bab sebelumnya, maka penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa perempuan masih jarang diposisikan sebagai subjek dalam
pemberitaan di media. Perempuan lebih sering diposisikan sebagai objek dan hiasan
terutama dalam headline pemberitaan di berbagai media online Indonesia demi
sebuah rating berita. Hal ini ditampilkan pada unggahan @magdaleneid dengan
tema #WTFMedia yaitu ditunjukan pada analisis Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3,
Gambar 4, Gambar 3.5, dimana maksud tema unggahan ini adalah menyadarkan
media-media online untuk lebih bertanggung jawab serta tidak mengeksploitasi

17
perempuan sebagai objek hiasan dan objek seksualitas dalam penulisan berita.
Karena perempuan adalah makhluk rasional dan kemampuannya bisa sama dengan
laki-laki, maka harus diberikan hak dan kesempatan yang sama dan bukan dijadikan
objek atau hiasan dalam pemberitaan. Perempuan dapat berdiri sendiri dalam
pemberitaan tanpa perlu disertai embel-embel apa yang menjadi kebutuhan
perempuan seperti ‘cantik’, ‘berhijab’, ‘berambut merah’, ‘bahasa tubuh’, dan lain
sebagainya.
Kemudian visi dan misi Magdalene dilakukan melalui akun @magdalaneid
di Instagram dengan mengunggah berbagai teks pada gambar yang menempatkan
follower atau khalayak sebagai posisi pembaca. Sesuai dengan pandangan Sara
Mills dalam suatu teks posisi pembaca sangatlah penting dan haruslah
diperhitungkan dalam teks. Menurut Mills, bahwa teks merupakan suatu hasil
negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu pembaca disini tidaklah
dianggap semata sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga ikut melakukan
transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks.

Daftar Pustaka
Amalia, Euis Dkk. (2003). Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Kajian
Wanita. Syarif Hidayatullah.
Arifianto, S. (2018). Praktik Budaya Media Digital dan Pengaruhnya. Yogyakarta:
Aswaja Pressindo.
Effendy, O. U. (2003). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKiS.
Maulhayat, F., Andi, I., & H. Amiruddin. (2018). Peran Instagram di Kalangan
Mahasiswa Angkatan 2015. Program Studi Pendidikan Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar, Makassar.
McQuail, D. (2011). Teori Komunikasi Massa, Edisi 6 Buku 1. Jakarta: Salemba
Humanika.
Nasrullah, R. (2016). Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia). Jakarta: Kencana
Prenada Media.

18
Nugroho, R. (2008). Gender dan Strategi Pengarus Utamanya di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rassi, N. (2016). Empowerment, Control & The Female Body: Is Instagram
Platform for Change?. Research Project. Faculty of Social Science:
University of Ottawa, Canada.
Riduwan. (2008). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfa Beta
Soenarjo. (1995). Seri Ilmu Komunikasi-1 Himpunan Istilah Komunikasi Edisi
Ketiga. Yogyakarta: Liberty.
Sumadiria, A.S. (2014). Sosiologi Komunikasi Massa. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.
Syaodih, S. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Theda, F. (2014). Representasi Perempuan dan Pergerakan Feminisme Dalam
Media. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia.
Depok.
Tong, R. P. (2009). Feminist Thought; Pengantar Paling Komprehensif Kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.
Widjaja, A.W. (2000). Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi
Aksara.
https://dailysocial.id/post/memahami-tren-penggunaan-smartphone-di-indonesia-
berdasarkan-usia, diakses 09 Mei 2019.
https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2019/, diakses
09 Mei 2019.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Instagram, diakses 24 Juni 2019.

19

You might also like