Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Kapata Arkeologi, 13(2), 141—150

ISSN (cetak): 1858-4101


ISSN (elektronik): 2503-0876
http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id

KEBIJAKAN PENGELOLAAN WARISAN BUDAYA DITINJAU


DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 (PERIHAL
PEMBERIAN INSENTIF DAN KOMPENSASI)

Heritage Management Policy From Statutory of Cultural Heritage No.


11/2010, (Regarding Granting Incentives and Compensation)

Karyamantha Surbakti
Universitas Indonesia - Indonesia
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Kampus UI, Depok 16424
manthatorong@gmail.com

Naskah diterima: 25/03/2017; direvisi: 17/10—21/11/2017; disetujui: 25/11/2017


Publikasi elektronik: 30/11/2017

Abstract
Several articles of various legal provisions outside Statutory of Cultural Heritage No.
11/2010 concerning cultural heritage have mentioned the issue of incentives and
compensation. The incentives and compensation here is given by the government when the
public has an cultural heritage objects. The government provides relief by not imposing tax
status to the communities that have cultural heritage in the form of sites or buildings. The
purpose of this conceptual framework is to identify and recognize how the government
seeks to pay attention to aspects of participating communities to protect and preserved
cultural heritage. The approached adopted in this study is literature review, using Statutory
of land and bulding tax No.12/1994 and the regulation of Public Works and Public
Housing Republic of Indonesia No.1/PRT/M/2015 as the main source and some articles
related to cultural heritage. The results of the discussion provide an illustration that the
government is pursuing a legal product related to incentives and compensation to people
who have ancient relics as an effort for the preservation of cultural heritage pertaining to
the community.

Keywords: Law on Cultural Heritage, Archeological Remains, Incentives, Compensation

Abstrak
Beberapa pasal dari berbagai ketetapan hukum di luar Undang-undang Nomor 11 Tahun
2010 mengenai cagar budaya, telah menyebutkan dan mencantumkan perihal pemberian
insentif dan kompensasi. Insentif dan kompensasi di sini diberikan oleh pemerintah ketika
masyarakat memiliki suatu peninggalan purbakala. Pemerintah memberikan keringanan
dengan tidak mengenakan status pajak kepada masyarakat yang memiliki warisan
budaya/cagar budaya berupa situs atau bangunan. Tujuan dari kerangka konseptual ini
adalah untuk mengenali bagaimana pemerintah berusaha memperhatikan aspek masyarakat
yang berpartisipasi untuk melindungi dan menjaga cagar budaya. Pengumpulan data
dilakukan melalui telaah pustaka, dengan menggunakan Undang-undang Pajak Bumi
Bangunan Nomor 12 Tahun 1994 serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat RI Nomor 1/PRT/M/2015 sebagai sumber utama dan beberapa tulisan yang
berkaitan dengan cagar budaya. Hasil pembahasan memberikan gambaran bahwa
pemerintah mengupayakan sebuah produk hukum yang berkenaan dengan insentif dan
kompensasi kepada masyarakat yang memiliki peninggalan purbakala sebagai usaha untuk
pelestarian cagar budaya yang bersinggungan dengan masyarakat.

Kata kunci: Undang-undang Cagar Budaya, Peninggalan Purbakala, Insentif, Kompensasi

141
doi: 10.24832/kapata.v13i2.397
© 2017 Kapata Arkeologi – Balai Arkeologi Maluku. Bebas akses di bawah lisensi CC BY-NC-SA.
Nomor Akreditasi: (LIPI) 678/Akred/P2MI-LIPI/07/2015.
PENDAHULUAN dalam masyarakat. Akan tetapi tidak semua
Tulisan ini membahas bagaimana orang mau menaati kaidah-kaidah hukum, dan
perkembangan arkeologi kontemporer sekarang agar sesuatu peraturan hidup kemasyarakatan
ini, dengan melihat beberapa kebijakan (legal benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga
outstanding) yang melibatkan aspek hukum menjadi kaidah hukum, maka peraturan hidup
sebagai pendekatan dalam pembahasannya. kemasyarakatan harus dilengkapi dengan unsur
Arkeologi kontemporer yang dimaksud di sini memaksa. Dengan demikian, hukum itu
menurut Magetsari (1990) adalah kajian yang mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Ia
perkembangannya dituntut oleh masyarakat merupakan peraturan-peraturan hidup
untuk menghasilkan apa yang disebut value- kemasyarakatan yang dapat memaksa orang
committed archaeology. Adapun yang dimaksud supaya menaati tata tertib dalam masyarakat
dengan value-comitted archaeology adalah serta memberikan sanksi yang tegas, yaitu
bagaimana setiap kajian arkeologis yang berupa hukuman terhadap siapa saja, baik
dilakukan oleh pihak yang berotoritas, yaitu individu, kelompok, golongan, dan bahkan
pemerintah harus bisa melihat kemaslahatan korporasi tertentu yang tidak mau patuh
masyarakat (Magetsari, 1990). Setiap kajian menaatinya (Kansil, 2014: 35).
arkeologi dan semua produk hukum yang Mengingat Undang-undang CB Nomor 11
berkenaan, harus bisa peka dengan kebutuhan Tahun 2010 sebagai pokok acuan, merupakan
masyarakat yang dimaksud. Permasalahan sebuah produk hukum yang mengatur secara
mengenai tinggalan arkeologi yang eksplisit seorang individu ataupun kelompok
bersinggungan dengan masyarakat sebagaimana masyarakat agar mematuhi pasal demi pasal yang
halnya museologi (ilmu permuseuman), terkandung di dalamnya. Undang-undang CB
merupakan sebuah ranah kajian CRM (Cultural Nomor 11 Tahun 2010 ini, sebagai acuan untuk
Resources Management) yang bisa dikategorikan melihat Cagar Budaya dalam perspektif
sebagai arkeologi kontemporer dengan penemuan, pencarian, perlindungan,
pembahasan yang bersisian terhadap Undang- pengembangan, pemanfaatan, wewenang,
undang dan stakeholder (pemangku pengawasan, dan penyidikan. Pandangan global
kepentingan). terkait arkeologi publik dan juga heritage studies
Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa di dunia dan juga yang sudah dikenal dan
pasal yang bisa diperbandingkan dari produk diterapkan di Indonesia ditulis oleh seorang
hukum lainnya diluar Undang-undang Cagar sarjana bernama Rodney Harrison. Menurut
Budaya Nomor 11 Tahun 2010, yaitu berkaitan Harrison (2013), bahwa arkeologi publik harus
dengan pemberian insentif dan kompensasi. menyasar banyak hal, sehingga keterlibatan
Perihal pemberian insentif dan kompensasi, publik atau khalayak luas bisa terwujud. Seperti
memang jelas diatur pada pasal 22 di Undang- yang diutarakan demikian:
undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010.
Setiap orang individu ataupun kelompok dalam “Throughout developed three interlinked
masyarakat tertentu, memiliki kewajiban yang themes-connection, materiality and dialogue-
sama jika sudah bersinggungan dengan cagar as ways of thinking about what heritage is
budaya (Undang-undang RI, 2010). Undang- and does in contemporary global societies
undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar future of heritage studies and try to reinforce
Budaya (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat some of the implications of the ‘toolkit of
CB) merupakan sebuah jenis hukum yang concepts’ that I have developed here. In
tergolong hukum yang mengatur masalah publik. doing so, I emphasise the ways in which
Dalam hal ini termasuk aturan tentang insentif critical interdisciplinary approaches to
dan kompensasi, yang berkaitan dengan elemen heritage might have an influence on the
yang terlibat di dalamnya. global practice of heritage, and hence have a
Dalam konteks Undang-undang sebagai lasting impact on important social, political,
produk hukum, maka sebagai pengantar perlu economic and environmental issues in the
dijabarkan terlebih dahulu sifat hukum dan future.” (Harrison, 2013: 227).
beberapa pendekatan yang dikenal di Indonesia.
Secara gamblang dapat kita artikan bahwa Masyarakat harus dapat diakomodir
hukum merupakan sebuah produk tata tertib sedemikian rupa dengan keadaaan dan

142
Kapata Arkeologi Volume 13 Nomor 2, November 2017: 141—150
pendekatan yang beragam, terlebih bila melihat Menurut penjelasan tersebut, bahwa
kondisi masyarakat modern dewasa ini publik memiliki tanggung jawab untuk
(contemporary global societies) sangat heterogen melestarikan warisan budaya (heritage). Konsep
sehingga konsep dialogis antara cagar budaya salvaged (menyelamatkan) dan preservation
(materialitas) dan masyarakat sekarang bisa (memelihara) yang disebutkan, menjadi dasar
terwujud. pelibatan publik yang notabene bersinggungan
Pentingnya juga untuk melihat dampak dengan tinggalan masa lampau yang ada di masa
terhadap cagar budaya dengan perangkat hukum sekarang. Masyarakat mungkin saja memiliki
yang tersedia (baca: ragam pasal dan ayat) harus suatu benda artefaktual atau bangunan bersejarah
selalu bisa disesuaikan dengan (current issues) dikarenakan warisan, hibah, atau sebuah akses
yang akan berkembang di kemudian hari. Masih yang memungkinkan mereka bersisian dengan
menurut Harrison (2013), seperti yang tinggalan masa lalu.
diutarakannya demikian: Terlebih dahulu akan dibahas mengenai
perjalanan atau pun kilas balik pengelolaan
“That heritage is a distinctly modern concern, warisan budaya di Indonesia dan nilai penting
in the sense in which the question of what is dari warisan budaya itu sendiri, serta
‘old’ and what is ‘new’ belongs to a perkembangan dari produk hukum hingga
peculiarly modern sensibility. This sensibility munculnya Undang-undang yang berkenaan
arises from the experience of modernity and dengan warisan budaya atau cagar budaya yang
its relationship to time, ordering and kita kenal sekarang ini. Kesadaran akan
uncertainty (or ‘risk’). These three concepts pentingnya pengelolaan dan pelestarian warisan
are integrally linked-modernity must order budaya kini sudah semakin meninggi. Bahkan,
and classify to deal with uncertainty and risk; banyak diantara para pencinta dan pemerhati
uncertainty derives from a sense of the warisan budaya yang berkeyakinan bahwa
accelerated passage of time; linear time sumber daya budaya itu tidak saja merupakan
provides one of a series of principles of warisan, tetapi lebih-lebih adalah pusaka bagi
ordering and classification to manage bangsa Indonesia. Artinya, sumber daya budaya
uncertainty. Together, they are responsible itu mempunyai kekuatan yang dapat
for the development of our modern dimanfaatkan untuk membantu dan melindungi
conception of heritage as salvage or bangsa ini dalam menapaki jalan ke masa depan.
preservation of that which is distant, old, Sebagai pusaka, warisan budaya itu harus tetap
hidden and hence authentic, as opposed to the dijaga agar kekuatannya tidak hilang dan dapat
notion of heritage as a form of creative diwariskan kepada generasi penerus tanpa
production involving the assembly and berkurang nilainya.
reassembly of things on the surface and in the Namun jika ditelisik lebih teliti,
present, which I have emphasised throughout perkembangan pengelolaan warisan budaya di
the book. The accelerated operation of this Indonesia jelas menunjukkan bahwa minat
modern sensibility, coupled with a series of terhadap warisan budaya di Indonesia dan upaya
factors, including shifting economic and pelestariannya muncul dan berkembang dalam
demographic processes of deindustrialisation alam dan lingkungan kolonial. Terutama atas
and redundancy; the development of the usaha komunitas Eropa pencinta barang seni dan
heritage ‘experience’ as a marketable benda unik-antik. Acapkali G.E. Rumphius,
commodity; the growth of domestic and seorang ahli ilmu alam yang banyak berkarya di
international leisure travel and the Maluku, disebut-sebut sebagai salah satu
accompanying restructuring of the tourist ilmuwan yang memicu minat terhadap warisan
gaze and its economic and social impacts; the budaya di Indonesia. Pada tahun 1705, tokoh
diversification and segmentation of heritage sarjana ini menerbitkan buku berjudul D’
to make it marketable to more varied Amboinsche Rariteitkamer yang beberapa
audiences; and the globalisation of the World bagiannya menguraikan tentang temuan kuno
Heritage concept, have contributed to the seperti kapak batu, kapak perunggu dan nekara
abundance of heritage which I have (sejenis genderang) perunggu serta mitos-mitos
suggested characterises our late-modern yang ada di balik benda-benda itu. Sejak itu,
world.” (Harrison, 2013: 228). banyak peminat benda unik-antik mulai

143
Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
(Perihal Pemberian Insentif dan Kompensasi), Karyamantha Surbakti
melakukan penelitian dan mengoleksi tinggalan- Atas desakan Krom, pada tanggal 14 Juni
tinggalan masa lampau, termasuk batu-batu candi 1913 pemerintah Belanda mendirikan
dan benda-benda dari masa prasejarah. Bahkan, Oudheidkundige Dienst in Nederlandsche-Indie
pada tahun 1778 berdirilah organisasi peminat (Jawatan atau Dinas Purbakala di Nederland-
dan peneliti benda seni dan antik yang diberi Indie). Sejak saat itu, semua urusan yang
nama Koninklijk Bataviaasch Genootschap van berkaitan dengan warisan budaya di negara ini,
Kunsten en Wetenschappen. Badan ini termasuk upaya untuk mengumpulkan,
mendirikan museum yang kini menjadi Museum mendaftar, meneliti, serta melestarikan dan
Nasional di Jakarta (Suleiman et al., 1976; memanfaatkannya menjadi urusan negara. Di
Tanudirjo, 1995). lingkungan arkeologi, pelembagaan urusan
Ketika Sir Thomas S. Raffles berkuasa di warisan budaya (benda-benda arkeologi) seperti
Indonesia (awal abad 19), penelitian terhadap itu disebut sebagai “archaeology in the service
warisan budaya Indonesia meningkat. Sebagian of the state” atau ‘arkeologi pengabdi negara.’
hasilnya diuraikan dalam buku The History of Peran negara menjadi semakin kuat dengan
Java. Setelah Belanda kembali berkuasa kembali ditetapkannya Monumenten Ordonantie (MO)
di Indonesia, benda warisan budaya Indonesia No. 19 tahun 1931 Staatblad 238 (diperbaiki
dianggap akan dapat meningkatkan citra mereka tahun 1934). Ketentuan dalam ordonansi itu
di luar negeri. Karena itu, mereka membentuk menyiratkan begitu besar penguasaan negara atas
komisi khusus yang menangani warisan budaya warisan budaya. Hal ini dapat dipahami karena
di Indonesia pada tahun 1822. Dapat dikatakan, pada dasarnya MO 1931 merupakan upaya
pada saat itulah upaya pengelolaan warisan pemerintah colonial Belanda untuk menjamin
budaya untuk pertama kalinya menjadi urusan akses mereka terhadap warisan budaya milik
lembaga pemerintahan, meskipun kerja komisi bangsa Indonesia. Dengan begitu, para peneliti
itu sebenarnya tidak cukup efektif. Dengan dan peminat benda cagar budaya yang mayoritas
alasan itu pula, pada tahun 1885, maka lahirlah orang Eropa dapat lebih leluasa melakukan
perkumpulan peminat tinggalan sejarah dan eksplorasi sumberdaya budaya itu.
purbakala amatir di Yogyakarta. Salah satu Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan
warisan lembaga ini adalah Museum Sono warisan budaya dilakukan oleh bangsa Indonesia
Budoyo di dekat Kraton Yogyakarta (Tanudirjo, sendiri. Namun, kebijakan pengelolaan tidak
2003: 2). mengalami perubahan berarti. Monumenten
Masih menurut Tanudirjo (2003) pada Ordonantie 1931 tetap menjadi landasannya.
tahun 1900, benda-benda warisan budaya Pada umumnya, mereka memaknai warisan
Indonesia dipamerkan dalam Pameran Kolonial budaya secara ‘formal’ sebagaimana disebut
Internasional di Paris dan mendapat perhatian dalam MO 1931 yang lebih menekankan nilai
yang luar biasa dari khalayak Eropa (Tanudirjo, penting dari segi keilmuan. Padahal, masyarakat
2003: 3). Sukses ini mendorong pemerintah tentu memiliki pemaknaannya sendiri yang lebih
kolonial Belanda untuk menggiatkan lagi komisi beragam dan umumnya bersifat praktis.
yang dulu pernah ada. J.L.A. Brandes ditunjuk Akibatnya, upaya pengelolaan warisan budaya di
menjadi ketua lembaga yang dinamai Commisie Indonesia seringkali diwarnai dengan konflik
in Nederlandsche-Indie voor Oudheidkundige kepentingan antara masyarakat dan pemerintah
Onderzoek op Java en Madoera. Komisi ini (Tanudirjo, 2003: 4).
bekerja aktif cuma hingga tahun 1905 dan Ketika Undang-undang baru tentang benda
kinerjanya merosot setelah ditinggal wafat cagar budaya pengganti MO 1931 dirancang
Brandes tahun itu juga. Penggantinya N.J. Krom, pada awal 1990-an, cara pandang yang lama itu
baru ditunjuk pada tahun 1910. Krom tanpa disadari masih tetap dipakai. Tidak
menganggap pengelolaan warisan budaya di mengherankan, Undang-undang Nomor 5 Tahun
Indonesia tidak mungkin hanya ditangani oleh 1992 tentang Benda Cagar Budaya (UU BCB)
sebuah komisi, karena begitu banyaknya jumlah yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan MO
dan ragam warisan budaya yang ada. Karena itu, 1931. Peranan negara dalam pengelolaan warisan
Krom lalu mengusulkan agar ‘komisi’ tersebut budaya tetap dominan dan cenderung menjadi
ditingkatkan menjadi ‘jawatan’ atau ‘dinas’ bagian dari birokrasi pemerintahan. Sementara
dengan diperkuat oleh para peneliti arkeologi dan itu hak dan partisipatif masyarakat luas belum
sejarah yang handal. dapat diwadahi dengan selayaknya.

144
Kapata Arkeologi Volume 13 Nomor 2, November 2017: 141—150
Disamping itu, harus pula diperhatikan pelestarian cagar budaya dapat dilakukan.
bahwa arti penting setiap warisan budaya juga Pembahasan dalam tulisan ini menjelaskan
berjenjang. Walaupun pada dasarnya warisan bagaimana produk hukum lainnya diluar
budaya di suatu tempat adalah warisan budaya Undang-undang CB Nomor 11 Tahun 2010 dapat
semua orang, pada kenyataannya pemaknaan memberikan gambaran jelas mengenai insentif
setiap warisan budaya tidak sama tingkat lokal, dan kompensasi dalam pelaksanaannya. Undang-
nasional, regional, maupun internasional. Selain undang yang digunakan sebagai komparasi
itu, maraknya euphoria otonomi daerah telah adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994
menambah daftar panjang kasus konflik dalam Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, serta
pengelolaan warisan budaya. Setiap daerah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
merasa memiliki hak terhadap warisan budaya Perumahan Rakyat RI Nomor 1/PRT/M/2015.
tertentu melebihi hak daerah lain maupun Kedua Undang-undang tersebut secara jelas
pemerintah pusat. Karena itu, tidak jarang menyebutkan adanya pemahaman insentif dan
pemerintah daerah menerapkan kebijakannya kompensasi dalam hal kaitannya dengan cagar
sendiri yang seringkali justru memperuncing budaya.
konflik dan malah mengikis nilai-nilai warisan Pertama-tama dapat ditinjau terlebih
budaya sebagai pusaka bangsa. dahulu pasal 22 pada Undang-undang CB Nomor
11 Tahun 2010 yang menyebutkan istilah insentif
METODE dan kompensasi.
Metode pengumpulan data yang Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010
digunakan adalah dengan cara observasi pustaka Pasal 22:
(literatur) yang berkaitan dengan arkeologi 1. Setiap orang yang memiliki dan/atau
publik yang pembahasannya seputar bagaimana menguasai Cagar Budaya berhak
komunikasi yang terjadi antara masyarakat masa memperoleh kompensasi apabila telah
sekarang dengan tinggalan masa lalu. melakukan kewajibannnya melindungi
Komunikasi tersebut bersifat latent (terpendam), Cagar Budaya.
yaitu tinggalan cagar budaya yang merupakan 2. Insentif berupa pengurangan pajak bumi dan
hasil kebudayaan masa lalu, namun masih bangunan dan/atau pajak penghasilan dapat
bertahan di masa sekarang dalam aktivitas diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah
masyarakat. Telaah literatur dan Daerah kepada pemilik Cagar Budaya yeng
mengomparasikan beberapa bunyi peraturan telah melakukan pelindungan Cagar Budaya
perundang-undangan terkait, disini penulis sesuai dengan ketentuan peraturan
menggunakan kumpulan perundang-undangan perundang-undangan.
yang berkaitan dengan Undang-undang CB 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
Nomor 11 Tahun 2010, Undang-undang Nomor kompensasi dan insentif sebagaimana
12 Tahun 1994, tentang Pajak Bumi dan dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
Bangunan serta Peraturan Menteri Pekerjaan (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Umum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 1/PRT/M/2015 berkenaan Keterkaitan dengan:
dengan masalah insentif dan kompensasi. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan disebutkan dalam:
HASIL DAN PEMBAHASAN Pasal 3
Telah dibahas di bagian pendahuluan 1. Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak
berkenaan dengan sebuah perjalanan produk Bumi dan Bangunan adalah objek pajak
hukum dari zaman kolonial Belanda, berupa yang:
Commisie in Nederlandsche-Indie voor a) digunakan semata-mata untuk melayani
Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera kepentingan umum di bidang ibadah,
1905, MO 1931 hingga Undang-undang BCB sosial, kesehatan, pendidikan dan
Nomor 5 Tahun 1992. Undang-undang CB kebudayaan nasional, yang tidak
Nomor 11 Tahun 2010 merupakan sebuah dimaksudkan untuk memperoleh
pembaruan dan penambahan dari perundang- keuntungan;
undangan sebelumnya agar dapat mengakomodir b) digunakan untuk kuburan, peninggalan
setiap partisipasi masyarakat agar upaya purbakala, atau yang sejenis dengan itu;

145
Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
(Perihal Pemberian Insentif dan Kompensasi), Karyamantha Surbakti
c) merupakan hutan lindung, hutan suaka warga negara yang tinggal di kawasan purbakala
alam, hutan wisata, taman nasional, (baca: situs arkeologis). Cakupan individu/
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh perorangan dalam sebuah komunal masyarakat
desa, dan tanah negara yang belum tertentu memiliki kewajiban dalam melaporkan
dibebani suatu hak; dirinya sebagai wajib pajak yang tidak dikenakan
d) digunakan oleh perwakilan diplomatik, objek pajak dikarenakan kondisi khusus yang
konsulat berdasarkan asas perlakuan dimaksud tersebut. Masyarakat juga memiliki
timbal balik; hak untuk melestarikan situs dan peninggalan
e) digunakan oleh badan atau perwakilan purbakala yang ada, dengan keringanan yang
organisasi internasional yang ditentukan diberikan oleh pemerintah berdasarkan peraturan
oleh Menteri Keuangan. perundang-undangan yang berlaku.
Dengan peraturan seperti itu, pemerintah
Disini berdasarkan isi tersebut, didapatkan mengharapkan adanya kesadaran masyarakat
penjelasan bahwa terdapat sebuah keterkaitan untuk melaporkan jika mereka memiliki (jika
antara Undang-undang CB No. 11 Tahun 2010 mengikuti istilah dalam butir b) peninggalan
yang memberikan penekanan masalah purbakala, baik berupa apa pun yang sangat
kompensasi. Menurut Kamus Besar Bahasa bernilai, seperti rumah bersejarah, perhiasan,
Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (Tim ataupun barang unik-antik lainnya. Secara tidak
Penyusun, 2008: 719), bahwa kompensasi adalah langsung hal tersirat yang bisa dilihat disini
imbalan berupa uang atau bukan uang, yang adalah unsur peraturan tersebut mencoba
diberikan kepada perorangan atau sebuah berkomunikasi dengan publik, baik perorangan
organisasi. Pengertian disini menurut kamus maupun masyarakat luas agar tercegahnya
bahasa Indonesia adalah sebuah keringanan pemasaran gelap, penjarahan dan aspek ilegal
untuk memudahkan seseorang yang dalam hal ini lainnya yang mencoba memanfaatkan properti
kepemilikan sebuah warisan budaya tertentu. kultural dengan cara yang tidak bertanggung
Kompensasi juga bisa berarti keringanan untuk jawab. Dalam sistem pemasaran global untuk
setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai sebuah properti kultural, pada beberapa
Cagar Budaya. Keringanan tersebut menurut tingkatan, banyak terjadi penjarahan gelap yang
penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun dilakukan secara individu pada situs arkeologis.
1994 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (pasal Artefak kemudian dipindahkan melalui sebuah
3 ayat b) merupakan sebuah penekanan, bahwa rangkaian saluran legal dan ilegal hingga tiba di
negara menjamin lewat Undang-undang Pajak ruang pemasaran rumah pelelangan untuk dijual
Bumi dan Bangunan akan diberikan keringanan kepada kolektor pribadi, atau museum yang
dan serta-merta tidak diterapkan objek pajak menutup mata dalam mempertanyakan asal
pada bangunan peninggalan purbakala. sumbernya.
Peninggalan purbakala disini merupakan sebuah Studi Morag Kersel (2009), menyebutkan
istilah yang disematkan pada sebuah daerah yang bahwa penelitian multi-sited (banyak situs), dan
terdapat tinggalan arkeologis di dalamnya. penyelidikan etnografi di situs purbakala banyak
Walaupun tidak ada penggantian sejumlah uang didapati peristiwa yang merefleksikan kenyataan
tertentu disini, dikatakan usaha pemerintah semacam adanya penggelapan peninggalan
Indonesia untuk tetap mengkonversinya dengan purbakala (Kersel, 2009: 178). Kebanyakan
tidak memberlakukan tarif objek pajak pada ditemukan di lapangan bahwa masyarakat tidak
sebidang tanah atau bangunan pada umumnya. melaporkan kepada pemerintah walaupun
Penjelasan tersebut di atas butir (b), bahwa kenyataannya mereka memiliki artefak yang
peninggalan purbakala tidak dikenakan objek sangat berharga dan bernilai ekonomis karena
pajak oleh negara. Hal ini memberikan gambaran kekhawatiran sanksi legal yang akan mereka
bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 terima, penyitaan oleh pemerintah, bahkan
tentang Pajak Bumi dan Bangunan dapat menjadi pengenaan pajak. Pencegahan diperlukan untuk
pegangan hukum yang kuat walaupun peraturan menangkal hal semacam tersebut di atas, yang
tersebut dikeluarkan sebelum munculnya bisa saja kemungkinan berasal dari sebuah
Undang-undang Cagar Budaya di tahun 2010 ekskavasi di situs arkeologi dan menghasilkan
atau 16 tahun sesudahnya, namun tetap memiliki perdagangan haram barang-barang purbakala.
kekuatan hukum yang tetap dan mengikat setiap Dalam banyak elemen, disana ada dua sisi dari

146
Kapata Arkeologi Volume 13 Nomor 2, November 2017: 141—150
perdebatan mengenai bagaimana menjual barang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI
purbakala dalam sebuah pasar, yang disokong Nomor 1/PRT/M/2015, pada pasal 28 disebutkan
oleh sistem perdagangan barang purbakala secara jelas mengenai kompensasi, insentif dan
termasuk pedagang, kolektor, museum, dan disinsentif.
beberapa arkeolog. Bahkan perdagangan
internasional sekalipun sangat berhasrat dan Pasal 28
mendukung gagasan yang kebanyakan 1. Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah
mengganggap artefak adalah sesuatu yang Provinsi untuk DKI Jakarta, atau Menteri
pleonastis (benda bernilai lebih), memiliki nilai untuk bangunan gedung cagar budaya dengan
penting yang sangat signifikan dan bernilai fungsi khusus dapat memberikan kompensasi,
penting dalam suatu budaya (diartikan sebagai insentif dan/atau disinsentif kepada pemilik,
bangsa yang kaya jika memiliki banyak tinggalan pengguna dan/atau pengelola bangunan
arkelogis). gedung cagar budaya yang dilestarikan.
Advokasi dan usaha menggugah 2. Pemberian kompensasi, insentif dan/atau
(evocative) masyarakat diperlukan pada posisi disinsentif sebagaimana dimaksud pada
seperti ini, agar tidak memancing orang dan ayat(1), dilakukan untuk mendorong upaya
pihak yang akan menjadikan barang purbakala pelestarian oleh pemilik, pengguna dan/atau
menjadi sebuah komoditi perdagangan yang bisa pengelola bangunan gedung cagar budaya
saja dikirim secara bawah tanah, dijual dengan yang dilestarikan.
harga tinggi dan ketiadaaan kontrol. terdapat
sebuah kemiripan dengan dunia narkoba dan Pasal 29
perdagangan senjata. Dari perspektif ini, sebuah 1. Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam
sanksi legal mengenai penjualan barang Pasal 28 ayat (1) adalah imbalan berupa uang
purbakala akan diletakkan perampok menjadi dan/atau bukan uang dari pemerintah
sebuah bisnis (Merryman, 1995; Shanks, 2001). kabupaten/kota, Pemerintah Provinsi untuk
Walaupun di Indonesia keadaan seperti ini belum DKI Jakarta, atau Menteri untuk bangunan
terlihat terang-terangan dan masih terpendam gedung cagar budaya dengan fungsi khusus.
(laten). Pada sisi lainnya dari perdebatan ini 2. Kompensasi bukan uang sebagaimana
adalah hal yang berlawanan pada suatu dimaksud pada ayat (1) dapat berupa bantuan
perdagangan barang purbakala yaitu masalah tenaga dan/atau bantuan bahan sebagai
legalitas dan ilegalitas. Terdiri atas arkeolog, penggantian sebagian biaya pelestarian
pemerintah nasional, beberapa pekerja museum kepada pemilik, pengguna dan/atau pengelola
dan preservator budaya yang diklaim sebagai bangunan gedung cagar budaya yang
kelompok penyebab adanya penawaran barang dilestarikan.
purbakala dan perampok situs arkeologis dalam 3. Pelaksanaan kompensasi yang bersumber dari
hal penyuplaian. Untuk mereka yang benar-benar pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah
jahat dalam sebuah perdagangan haram barang Provinsi untuk DKI Jakarta, atau Menteri
purbakala tersebut ialah kolektor. Hasilnya untuk bangunan gedung cagar budaya dengan
mereka menyokong sebuah sistem perdagangan fungsi khusus sesuai ketentuan peraturan
barang purbakala yang seharusnya dilindungi perundang-undangan.
dari destruksi. Wacana yang berkembang pada
penjelasan tersebut merupakan sebuah skenario Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
yang dipikirkan oleh pemerintah, sehingga Perumahan Rakyat RI Nomor 1/PRT/M/2015,
dengan adanya keringanan atau pembebasan pada pasal 28 disebutkan secara lugas yaitu
pajak, setidaknya akan mencegah orang untuk mengenai perihal jika sebuah daerah memiliki
berpikir menjadikan barang purbakala sebagai bangunan gedung cagar budaya dengan fungsi
komoditas, yang seharusnya diselamatkan dan khusus (misal bangunan bergaya Indies/ Eropa
dipreservasi, dikarenakan tinggalan arkeologis Kolonial) dapat diberikan kompensasi atau pun
semacam itu sangat bernilai tinggi secara kultural insentif kepada pemilik, pengguna dan/atau
yang bisa memperkuat kecintaan kita terhadap pengelola bangunan gedung cagar budaya yang
tinggalan masa lalu. dilestarikan tersebut. Negara memberikan sebuah
Undang-undang lain yang menyinggung jaminan bahwa tinggalan arkeologis berupa
terkait cagar budaya adalah Peraturan Menteri bangunan tersebut harus mendapatkan porsi dan

147
Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
(Perihal Pemberian Insentif dan Kompensasi), Karyamantha Surbakti
perlakuan khusus dalam upaya pelestarian manusia yang memiliki kemampuan untuk
warisan budaya terutama tinggalan yang memaknai kembali arti penting tinggalan masa
berbentuk bangunan. lalu sebagai sebuah khasanah kebudayaan yang
Pada penjelasan tersebut merupakan bisa dibanggakan pada masa sekarang terlebih
sebuah cuplikan sederhana bagaimana sebuah untuk generasi mendatang.
situs, monumen atau bangunan, dapat dikaitkan Proses komunikasi seperti ini diperlukan
relevansinya dengan produk hukum lainnya untuk memperkuat peran pemerintah dalam
berkenaan dengan insentif dan kompensasi di menerapkan kebijakan untuk menautkan
luar Undang-undang Cagar Budaya Nomor 11 pemahaman bahwa tinggalan budaya
Tahun 2010. Situs atau monumen, agar dapat (materiality) selalu bisa diartikan bernilai
dikaitkan dengan masa sekarang perlu penting dan bisa dikelola secara berkelanjutan
ditambahkan maknanya menjadi warisan, dalam (discursive simultaneously) tanpa mengenal
hal ini tentunya adalah warisan budaya. ruang dan waktu. Kesadaran oleh masyarakat
Penambahan makna sebagai warisan budaya ini berkenaan dengan bagaimana mereka
perlu disampaikan kepada masyarakat masa kini memandang cagar budaya (heritage)-nya harus
agar tergugah rasa kepemilikannya terhadap terlebih dahulu dibangun dari pikiran mereka.
peninggalan masa lampau (Magetsari, 2016: Seperti yang juga pernah dikemukakan oleh
398). Rodney Harrison dalam artikelnya berjudul The
Masih menurut Magetsari (2016), baik Politics of the Past: Conflict in the use of
situs ataupun monumen perlu disajikan sebagai heritage in the modern world dalam buku “The
sebuah warisan yang artinya, tidak disajikan Heritage Reader” (2008), menyatakan bahwa
telanjang secara fisik, melainkan dilengkapi seseorang akan cenderung menjadi peduli
dengan maknanya. Demikian pemaknaan yang dengan cagar budaya jika mereka mengalami
diberikan Pemerintah untuk cagar budaya dan keterikatan secara historis di dalamnya. Tahapan
situs bersejarah, dengan memberikan sebuah yang diutarakan meliputi:
keringanan ataupun kompensasi agar masyarakat
merasa lebih memiliki (sense of belonging). 1. Masyarakat secara metafora merasa mereka
Masyarakat akan lebih sadar untuk melaporkan tidak kehilangan jejak atau ‘runtuh memori
dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kolektif” akan kesejarahan mereka sendiri.
atau pun memelihara setiap tinggalan arkeologis 2. Setelah mereka sadar mendapati diri mereka
yang telah bersinggungan dengan komunal di memiliki memori kolektif, tentu mereka akan
masyarakat yang ada dewasa ini. terhindar dari fase neglect (pengabaian) akan
Cagar budaya secara keabsahannya, tidak tinggalan budaya. Mereka akan cenderung
saja ada dalam peraturan perundang-undangan lebih peduli terhadap tinggalan kesejarahan
seperti telah diuraikan sebelumnya, tetapi lebih mereka.
dari mengusung cita-cita mulia yang terkandung 3. Tahap terakhir ialah masyarakat tidak akan
pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 32 ayat melakukan predatory heritage ataupun
1 yang berbunyi: “Negara memajukan pengrusakan akan nilai kesejarahan itu
kebudayaan nasional Indonesia di tengah sendiri. (Harrison, 2008: 178-179).
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dalam Tahapan di atas merupakan sebuah
mengembangkan nilai-nilai budayanya.” gambaran mengenai manusia secara individu dan
Komunikasi yang dilakukan pemerintah secara kelompok dalam masyarakat akan
melalui produk hukum yang ada, dalam berperilaku terhadap cagar budaya yang ada di
mengatur tentang Cagar Budaya (cultural sekitarnya. Ketika mereka tidak menjadi
property) merupakan suatu hal yang sangat predatory untuk heritage mereka sendiri baik
mendasar. Komunikasi ini diperlukan agar setiap dengan cara perampasan, pencurian,
individu atau perorangan, masyarakat atau penggelapan, tidak melaporkan kepemilikan dan
komunitas yang terintegrasi satu dengan lainnya bahkan pengerusakan, maka itu dianggap suatu
bisa menjaga tinggalan budaya sebagai aset yang hal yang efektif demi kelangsungan kelestarian
harus dilestarikan. Esensi dari komunikasi seperti cagar budaya dimana beberapa regulasi
itu akan sangat memberikan pengaruh, dampak perundang-undangan yang telah dibahas tersebut
dan implikasi pada keseluruhan kehidupan menjadi teraplikasikan. Cara pemerintah tersebut

148
Kapata Arkeologi Volume 13 Nomor 2, November 2017: 141—150
dapat dianggap suatu hal yang diperlukan demi imajinasi tentang masa lampau, serta identitas
komunikasi dialogis yang diharapkan terjadi asal usulnya dapat menjadi dasar pemikiran
(baca: komunikasi masyarakat dengan tinggalan dalam melihat cagar budaya yang tidak melulu
budayanya). dilihat dengan uang atau komoditas tertentu.
Kebijakan pemerintah yang termaktub dalam
KESIMPULAN Undang-undang CB Nomor 11 Tahun 2010,
Negara telah memberikan perhatian setidaknya bisa menggambarkan persoalan
khusus atas cagar budaya, baik produk hukum tersebut.
yang melibatkan masyarakat dan stakeholder Sebagai penutup dari apa yang pernah
yang ada. Peninggalan purbakala mendapatkan dikemukakan oleh Mc. Gimsey yang berkaitan
perhatian yang serius dari pemerintah dengan dengan adanya dialogis antara orang (people)
tidak menetapkan pajak laiknya seperti bangunan and barang (things) dalam bukunya Public
umum lainnya. Pemerintah secara tidak langsung Archaeology:
juga melibatkan masyarakat untuk mau peduli “pada dasarnya arkeologi mengungkapkan
dengan tinggalan arkeologis yang ada. Masalah masyarakat masa lalu melalui benda budaya
pengembangan cagar budaya juga tidak luput (material culture). Benda budaya adalah
dari perhatian pemerintah. Permasalahan di warisan budaya untuk semua orang.
lapangan juga harus menjadi perhatian arkeolog. Karenanya semua orang harus bisa memiliki
Arkeolog dituntut untuk mengerti dan akses dan mendapatkan informasi arkeologi,
memahami secara garis besar teori dan praktik jadi semua orang memiliki hak dan kewajiban
hukum, khususnya hukum tertulis, yang di kolektif terhadap arkeologi.” (Mc. Gimsey,
dalamnya banyak upaya yang bisa dilakukan 1972: 5-6).
guna perlindungan terhadap cagar budaya.
Pemberian kompensasi, insentif serta Ucapan Terima Kasih
pengurangan pajak dilakukan untuk mendorong Penulis berterima kasih kepada seluruh
upaya pelestarian oleh pemilik, pengguna atau pihak yang turut membantu penyusunan
pengelola bangunan gedung cagar budaya yang penelitian kecil ini hingga sampai berwujud
dilestarikan. Kendati kompensasi yang diterima sebuah artikel ilmiah. Penulis juga
pemilik dan pengelola sebagaimana dimaksud mengucapkan terima kasih kepada Kapata
dalam Pasal 28 ayat (1) Peraturan Menteri Arkeologi yang telah mempublikasikan artikel
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI ini. Semoga artikel ini menjadi informasi dan
Nomor 1/PRT/M/2015 dan Undang-undang pengetahuan yang bermanfaat.
Nomor 12 Tahun 1994 mengenai PBB (Pajak
Bumi Bangunan) adalah bukan berupa imbalan
uang, namun pemerintah berusaha memberikan *****
keringanan pajak, dapat berupa bantuan tenaga
dan/atau bantuan bahan sebagai penggantian
sebagian biaya pelestarian kepada pemilik, DAFTAR PUSTAKA
pengguna dan/atau pengelola cagar budaya. Harrison, R. (2008). The Politics of the Past: Conflict
Semua itu berdasarkan sebagai perhatian in the use of heritage in the modern world. In
pemerintah dalam rangka pelestarian cagar Graham, F., Jameson, J., & Scofield, J. (Ed.),
budaya (heritage) baik tingkat Provinsi, The Heritage Reader. New York: Routledge.
Harrison, R. (2013). Heritage Critical Approaches.
Kabupaten, dan Kotamadya.
London: Routledge.
Kebijakan pengelolaan pemerintah seperti Kansil, C. S. T. (2014). Pengantar Ilmu Hukum
ini merupakan usaha yang setidaknya bisa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
menyasar masyarakat yang memiliki warisan Kersel, M. (2009). Walking a Fine Line, Obtaining
budaya/cagar budaya. Masyarakat itu sendiri sensitive Information Using a Valid
merupakan faktor yang sangat penting sebagai Methodology. In Sorensen, M. L. S., & Carman,
rekanan pemerintah dalam melestarikan setiap J. (Ed.), Heritage Studies Methods and
temuan arkeologis yang ada. Persepsi masyarakat Approaches (pp. 178—200). New York:
akan tinggalan budaya yang dimilikinya harus Routledge.
terbangun sedemikian rupa agar masyarakat Magetsari, N. (1990). Masalah Pembidangan Dalam
Arkeologi Indonesia. In Sedyawati, E. (Ed.),
memiliki koneksitas antara pengetahuan,

149
Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
(Perihal Pemberian Insentif dan Kompensasi), Karyamantha Surbakti
Monumen Karya Persembahan Untuk Prof.
Soekmono (pp. 1—6). Depok: Seri Penerbitan
Ilmiah Universitas Indonesia.
Magetsari, N. (2016). Perspektif Arkeologi Masa Kini
Dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Mc. Gimsey, C. (1972). Public Archaeology. New
York: Seminar Press.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat RI. Tentang Bangunan Gedung Cagar
Budaya Yang Dilestarikan, Pub. L.
No.1/PRT/M/2015 (2015).
Shanks, H. (2001). How to Stop Looting. In
Silberman & Frerichs (Ed.), Archaeology and
Society in the 21st Century: The Dead Sea
Scrolls and Other Case Studies. Jerusalem:
Israel Exploration Society.
Suleiman, S. R., Mulia, N. S., Anggraeni, & Supandi,
F. X. (1976). 50 Tahun Lembaga Purbakala dan
Peninggalan Nasional. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Tanudirjo, D. A. (1995). Theoretical Trends in
Indonesian Archaeology. In Ucko, P. (Ed.),
Theory in Archaeology, a World Perspective
(pp. 61—75). London: Routledge.
Tanudirjo, D. A. (2003). Warisan Budaya untuk
Semua, Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan
Budaya Indonesia di Masa Mendatang. In
Makalah Kongres Kebudayaan V. Bukit Tinggi:
Sumatera Barat.
Tanudirjo, D. A. (2010). Undang-undang Cagar
Budaya dalam Perspektif Arkeologi. In Makalah
Diskusi Pembahasan Undang-undang tentang
Cagar Budaya di Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala D.I. Yogyakarta.
Tim Penyusun. (2008). Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Undang-undang RI. Tentang Cagar Budaya, Pub. L.
No. 11 (2010).
Undang-undang RI. Tentang Pajak Bumi dan
Bangunan, Pub. L. No. 12 (1994).
Undang-undang RI. Tentang Pemerintah Daerah, Pub.
L. No. 23 (2004).

150
Kapata Arkeologi Volume 13 Nomor 2, November 2017: 141—150

You might also like