Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.

Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu


Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

PEMBAGIAN ILMU MENURUT AL-GHAZALI


(Tela’ah Kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din)

Yuri Indri Yani


STAIN Bengkalis Riau
yuriindriyani250@gmail.com

Hakmi Wahyudi
UIN Sultan Syarif Kasim Riau
midarelhakim1983@uin-suska.ac.id

Mhd. Rafi’i Ma’arif Tarigan


STIT HASIBA Barus
rafiimagister8@gmail.com

Abstract
This study was initiated by the sharing of knowledge found in Islamic religious education
such as the presence of fardhu 'ain and fardhu kifayah, which influence the education
system in Indonesia. This study aims to investigate the classification of knowledge
according to Al-Ghazali's perspective in his book entitled Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Therefore,
this study was written under the title of “The Classification of Knowledge by Al-Ghazali (A
Study of Ihya’ ‘Ulum ad-Din Book).” Judging from the title, this scientific work is library
research in which data collection technique used was documentation. Data were
collected through written legacy such as writings, pictures, archives, and books about
theoretical opinions, arguments, and laws related to research problems. The sharing of
knowledge is something that has long been happening in the world of Islamic education
where many experts or scholars classify knowledge based on different perspectives. In
Islam, knowledge is the basis for worship. Thus, knowing the meaning, object, and source
of knowledge is indispensable in an education. In the book of Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Al-
Ghazali classified knowledge into two types, namely fardhu’ain knowledge and fardhu
kifayah knowledge. Fardhu'ain knowledge is a science or knowledge that is required to be
studied by every human being, while fardhu kifayah knowledge is a science that if there is
at least someone or a group of people who studies it, the obligation to study will fall on
the communities in that area. The results showed that in the book of Ihya' 'Ulum ad-Din,
Al-Ghazali classified knowledge into two, fardhu'ain knowledge and fardhu kifayah
knowledge. Muamalah knowledge such as aqidah (things to do and not to) and
mukasyafah knowledge are included in fardhu'ain knowledge. Meanwhile, knowledge of
shari'ah and knowledge of non-shari'ah matters (praiseworthy knowledge, disgraceful
knowledge, and allowed knowledge) are included in the fardhu kifayah knowledge.

Keywords: Classification, Knowledge, Al-Ghazali

Pendahuluan yang integral yang tidak dapat


Ilmu pengetahuan dan dipisahkan satu dengan yang
agama merupakan satu totalitas lainnya. Sesungguhnya Allah-lah

12
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (12 – 30)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

yang menciptakan akal bagi Ghazali memang membagi ilmu


manusia untuk mengkaji dan menjadi dua bagian yakni ilmu
menganalisis apa yang ada terpuji dan tercela, beliau juga
dalam alam ini sebagai pelajaran menjelaskan bagian-bagian dan
dan bimbingan bagi manusia hukum-hukum mempeajarinya. Di
dalam menjalankan dalamnya terkandung penjelasan
kehidupannya di dunia. Secara tentang kedudukan dan sesuatu
normatif, Islam sangat yang fardhu kifayah, penjelasan
menghargai tentang penguasaan tentang Ilmu Kalam dan Ilmu
ilmu pengetahuan. Sehingga, Fiqih dalam Ilmu Agama sampai
ilmu dalam Islam dipandang batas mana, dan penjelasan
secara utuh dan universal, tidak tentang keutamaan ilmu akhirat
ada istilah pembagian ilmu. (al-Ghazali, 1995:7).
Namun dalam perspektif Melihat fenomena yang
fakta sejarah dan dari beberapa terjadi seperti yang telah
sumber lain yang penulis baca, dijabarkan diatas, dan untuk
banyak diantara tokoh yang mengetahui lebih jauh mengenai
merujuk pada pendapat Al- pembagian ilmu yang terjadi
Ghazali. Bahkan diantara mereka dalam dunia pendidikan saat ini,
banyak yang menyebutkan dalam maka penulis tertarik untuk
tulisannya, bahwa akar mula dari melakukan kajian pustaka
pembagian ilmu ini adalah ketika tentang “Pembagian Ilmu
al-Ghazali memandang sebagai Menurut al-Ghazali (Tela’ah
fardhu ain untuk menuntut “ilmu Buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din)”.
agama” dan fardhu kifayah untuk Kajian Teori
“ilmu-ilmu non agama’ yang telah Dalam muqaddimah buku
menimbulkan ketimpangan yang Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali
nyata antara dua klasifikasi ilmu memperkenalkan dua kelompok
(Hamdi, 2001:174). besar ilmu, yaitu ilmu praktik
Dalam bukunya yang keagamaan (‘ilm mu’amalah) dan
berjudul “Ihya’ Ulum ad-Din”, al- ilmu pengungkapan ruhiyah (‘ilm

13
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

mukasyafah). ‘Ilm mu’amalah kepada orang orang yang


berurusan dengan prasyarat memang pantas untuk
memperoleh ilmu yang kedua. mendapatkan dan memikulnya,
‘Ilm mukashafah merupakan apa seperti para Nabi dan para
yang dibicarakan oleh nabi pewaris Nabi.
secara tersirat dan singkat Dalam bab kedua buku
melalui lambang dan kiasan Ihya’ Ulum ad-Din al-Ghazali
(Fajari, 2016:308). mengelompokkan ilmu menjadi
Ilmu Mu’amalah terbagi fardu ‘ain dan fardu kifayah.
menjadi dua. Pertama,ilmu dzahir Fardu ‘ain menunjukkan ilmu-ilmu
yakni ilmu mengenai amal yang terkait dengan perintah dan
perbuatan anggota badan. Ilmu larangan agama. Fardu kifayah
ini menyangkut adat kebiasaan mencakup ilmu-ilmu yang
dan ibadah.Ilmu Bathin, yakni penguasaannya wajib bagi suatu
ilmu mengenai amal perbuatan masyarakat Muslim tapi tidak
hati melalui anggota badan. Ilmu mengikat bagi tiap individu. Ilmu
ini menyangkut hal ihwal hati dan fardu kifayah terbagi menjadi
budi pekerti jiwa baik yang terpuji dua, yaitu ilmu-ilmu agama
maupun yang tercela (shar’iyyah), yang diambil dan
(Baharuddin, 2011:99). berkisar tentang wahyu Allah dan
Dari paparan di atas dapat Sunnah Rasulullah, seperti ilmu
disimpulkan bahwa Al-Ghazali tafsir, hadith, fiqh, usul al-fiqh,
mengklasifiksikan ilmu menjadi dan lain-lain, serta ilmu non
dua bagian yakni Ilmu Mu’amalah agama (ghayru syar’iyyah) yang
dan Ilmu Mukasyafah dimana berasal dari hasil penalaran akal
Ilmu Mu’amalah adalah alat untuk manusia, pengalaman, dan
mencapai Ilmu Mukasyafah. Ilmu percobaan, seperti kedokteran,
Mukasyafah sendiri tidak dapat di matematika, ekonomi, astronomi,
ajarkan kepada orang lain dan lain (Fajari, 2016:308).
melainkan ilmu itu di dapat
langsung dengan rahmat Allah

14
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (12 – 30)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

Ilmu yang Fardhu’ain agar mendapatkan kebahagiaan


Ilmu yang fardhu’ain di akhirat (Soleh, 2014:145). Ilmu
adalah ilmu yang merujuk pada Mu’amalah terbagi menjadi tiga
kewajiban agama yang mengikat bagian yakni Aqidah, Berbuat dan
setiap muslim dan muslimah. Tidak Berbuat.
kategori fardu ‘ain, yaitu ilmu-ilmu Pertama, aqidah berkaitan
yang harus dimiliki oleh setiap dengan kepercayaan atau bisikan
orang Islam, tidak bisa ditawar, hati. Jika dalam pengalaman
demi kebaikan dan suatu ilmu itu masih mengandung
keselamatannya di kehidupan keraguan di dalam hati, maka
akhirat. Ilmu yang masuk dalam hendaklah seseorang itu segera
kategori ini mengacu pada ilmu- menghilangkan keraguan
ilmu yang mengarah pada jalan tersebut dari hatinya.
menuju pada keselamatan hidup Contohnya, seorang
sesudah mati (‘ilm tariq hamba telah bersyahadat, namun
alakhirah). Walaupun demikian, dalam hatinya masih terdapat
pelaksanaan tugas mencari ilmu keraguan terhadap kalam Allah
fardu ‘ain ini harus disesuaikan Swt. Jika hamba itu meninggal
dengan tingkat kebutuhan baik dan masih dalam keraguan
jangka panjang maupun pendek tersebut maka dia meninggal
dan kemampuan masing-masing tidak dalam keadaan Islam.
individu (Soleh, 2014:144). Ilmu Namun jika sebaliknya, sebelum
yang fardhu’ain sendiri terbagi hamba tersebut meninggal dia
menjadi dua, yakni Ilmu telah mempercayai sepenuh hati
Mu’amalah dan Ilmu Mukasyafah. serta beri’tikad bahwa kalam
Ilmu Mu’amalah adalah Allah itu qadim maka hamba
ilmu yang mempunyai otoritas tersebut meninggal dalam
dalam praktik-praktik ibadah. Di keadaan Islam.
dalamnya terdapat korelasi Oleh karena itu, sangatlah
antara doktrin dan praktik. penting bagi seorang hamba
Tujuannya menyelamatkan jiwa tersebut mempelajari ilmu-ilmu

15
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

yang dapat menambah keyakinan Jika dia hidup sampai bulan


serta iman dan taqwanya kepada Ramadhan, maka wajiblah
Allah Swt. agar hilang keraguan baginya untuk mempelajari
tersebut dari hatinya. Namun jika puasa, yakni mengetahui kapan
dalam hatinya tidak ada keraguan waktu mulai dan berakhirnya
tentang hal tersebut maka puasa serta syarat dan hal-
tidaklah wajib baginya untuk halyang dibolehkan serta dilarang
mempelajari hal yang demikian. selama berpuasa. Dan begitu pun
Akan tetapi alangkah lebih seterusnya sampai akhir hayat
baaiknya jikalau pun dia tidak seorang hamba tersebut.
ragu namun dia tetap Contoh lainnya adalah
mempelajarinya. pada saat peperangan, apabila
Kedua,berbuat dalam hal musuh sudah mendekat maka
ini berkaitan dengan kegiatan dan wajiblah baginya untuk
aktivitas yang dilakukan dalam mengeluarkan pedangnya dan
waktu tertentu dan sebab tertentu melawan musuh tersebut karena
yang mengharuskan seorang jika tidak maka dia bisa dibunuh
hamba tersebut berbuat hal yang oleh musuh. Namun jika
demikian (al-Ghazali, 1995:57). seandainya musuh masih jauh
Misalnya, seorang hamba namun dia telah mengeluarkan
hidup terus dari pagi hingga pedangnya maka hal itu boleh-
masuk waktu Dhuhur. Maka boleh saja untuk senantiasa
sebelum masuk waktu Dhuhur bersiaga terhadap musuh.
dia wajib mempelajari tata cara Dengan kata lain ilmu itu
bersuci dan shalat. Bahkan menjadi wajib ketika sudah
wajiblah pelajaran itu di dahului datang keadaan-keadaan yang
dengan belajar tentang tanda- mewajibkannya. Jika belum
tanda masuknya waktu shalat, datang keadaan yang
tentang syarat dan rukun sah mewajibkan namun dia telah
shalat serta amalan Sunnah belajar hal demikian maka itu
sebelum dan sesudah shalat. lebih bagus baginya akan tetapi

16
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (12 – 30)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

masih belum ada kewajiban memakai pakaian yang terbuat


atasnya atas ilmu tersebut. dari sutera ketika shalat. Maka
Ketiga, tidak berbuat yang laki-laki muallaf tadi wajib
dimaksudkan disini adalah suatu meninggalkan hal demikian dan
ilmu yang hanya dipelajari mengganti pakainnya dengan
menurut perkembangan keadaan bahan yang lain. Maka keadaan
tertentu dan sebab tertentu saja. ini dinamakan dengan keadaan
Jika tidak termasuk ke dalam yang mewajibkan dia untuk tidak
keadaan tersebut maka tidak ada berbuat.
kewajiban baginya untuk Selain hal-hal yang
mempelajari hal tersebut (al- tersebut diatas, terdapat ilmu
Ghazali, 1995:58). fardhu’ain lainnya yakni ilmu
Contohnya, bagi orang tentang sifat-sifat mahmudah dan
yang bisu tidaklah wajib baginya mazmumah (al-Ghazali:
mempelajari kata-kata yang 1995:69). Ilmu ini menjadi wajib
diharamkan sebab dia sendiri karena saban hari manusia tidak
tidak bisa berbicara. Demikian akan pernah telapas akan hal ini.
juga dengan orang buta tidaklah Setiap manusia punya
wajib baginya mempelajari apa kecendrungan untuk berbuat dan
yang diharamkan untuk dilihat bebuat jahat atau sifat
karena dia sendiri tidak bisa mahmudah (terpuji) dan
melihat apa pun. mazmumah (tercela).
Contoh lainnya adalah ada Oleh karena itu ilmu ini
seorang lelaki muallaf yang baru menjadi fardhu’ain bagi setiap
masuk agama Islam. Suatu hari muslim untuk mempelajarinya
kita melihatnya shalat dengan agar senantiasa terjaga iman dan
memakai pakaian yang terbuat taqwanya kepada Allah Swt.
dari sutera, maka kewajiban kita barangsiapa yang tidak mengenal
adalah memberitahu saudara kita sesuatu maka dia tidak akan tahu
yang muallaf adi bahwa dalam bagaimana cara mendapatkan
Islam seorang laki-laki tidak boleh sesuatu itu, bagaimana menjaga

17
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

sesuatu itu serta ancaman apa Arifin (ahli Ilmu Ma’rifah yaitu ilmu
saja yang dapat mengancam menganal Allah Ta’ala)
sesuatu tersebut. Maka kita harus mengatakan bahwa,
mengenali lawan supaya kita “Orang yang tidak
mempunyai bahagian dari
tahu bagaimana cara
ilmu Mukasyafah ini, aku
melawannya. Kita harus takut akan buruk
kesudahannya (tidak
mengenal sifat mazmumah agar
memperoleh husnul
kita tahu bagaimana cara khatimah). Sekurang-kurang
bahagian dari padanya, ialah
mengatasinya dalam diri kita.
membenarkan ilmu itu dan
tunduk kepada ahlinya”.
Ilmu Mukasyafah atau Ilmu
Ilmu Mukasyafah ibarat
Ladunni
sebuah cahaya yang lahir dari
Ilmu Mukasyafah atau Ilmu
dalam hati ketika pengucian dan
Ladunni adalah ilmu yang
pembersihannya terbebas dari
diperoleh seorang hamba berupa
sifat-sifat yang tercela. Dari
anugerah yang langsung
cahaya itu tersingkaplah hal-hal
biberikan oleh Allah. Bisa saja
yang tadinya masih belum terurai
didapat dengan sebab dan
dan tidak jelas dan tersembunyi
potensi dasar yang sudah ada,
menjadi jelas dan terbuka.
maupun tanpa sebab dan potensi
Seperti mengetahui makna
prasyarat yang dibutuhkan.
kenabian, makna wahyu,
Dalam konteks ini termasuk di
malaikat, mizan, sirat,
dalamnya adalah intuisi atau
permusuhan setan dan malaikat
ilham-ilham yang dianugerahkan
dan seterusnya.
kepada manusia, yang mungkin
Hati manusia itu layaknya
dirasakan seolah hanya hasil pikir
sebuah cermin yang dapat
dan terlintas begitu saja
menerima cahaya (ilham). Jika
(Baharuddin et.all., 2011:100).
saja cermin itu tidak berkarat atau
Ilmu Mukasyafah adalah
kotor akibat kotoran dunia atau
ilmu bathin dan merupakan
peyakit hati lainnya, maka
kesudahan dari segala ilmu. Para
tentulah cermin tersebut dapat

18
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (12 – 30)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

menerima cahaya yang dikirim hal-hal yang merupakan perintah


padanya. Ilmu menuju akhirat Ilahi yang bersifat mengikat
(ilmu mukasyafah) ini layaknya komunitas (kelompok orang)
sebuah ilmu mengenai cara muslim dan muslimat sebagai
menggosok cermin tersebut agar satu kesatuan. Dengan kata lain
bersih dan bisa menerima cahaya ilmu fardhu kifayah dapat
kembali sehingga dengan didefinisikan sebagai kewajiban
demikian terbukalah dinding atau kemasyarakatan, namun jka
hijab antara cermin (hati) tadi sudah ada sekelompok orang
dengan Allah Ta’ala. Dan salah yang melakukannya, yang lain
satu cara untuk membersihkan terbebas dari kewajiban
cermin (hati) tersebut adalah mengerjakan fardhu kifayah
dengan mencegah diri dari tersebut (Ali, 2010: 392). Ilmu
menuruti hawa nafsu dan yang fardlu kifayah terbagi
berpengan teguh dalam segala menjadi dua, yakni Ilmu Syari’ah
hal kepada ajaran Nabi-Nabi as. dan Ilmu Bukan Syariah.
Ilmu Mukasyafah tidak Ilmu Syari’ah
dituliskan dalam kitab-kitab dan Ilmu syari’ah adalah ilmu
orang yang dianugerahi oleh agama yang diperoleh dari Nabi-
Allah ilmu ini juga tidak Nabi as. Dan tidak ditujukan
mengatakannya kepada orang untuk akal manusia seperti Ilmu
lain selain kepada sesame Berhitung, Ilmu Kedokteran atau
mereka yang juga dianugerahi Pendengaran maupun Ilmu
oleh Allah ilmu ini (Ilmu Bahasa (Al-Ghazali, 1995:62).
Mukasyafah). Yakni dengan Ilmu syari’ah adalah ilmu yang
bermusyawarah bersama dan semuanya terpuji. Akan tetapi
saling bertukar pikiran secara terkadang tercampur dengan apa
rahasia. yang disangkakan syari’ah
Ilmu yang Fardhu Kifayah padahal itu adalah ilmu tercela.
Ilmu yang fardhu kifayah Ilmu syari’ah terbagi menjadi dua,
adalah ilmu yang merujuk kepada yaitu ilmu terpuji dan ilmu tercela.

19
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

Adapun ilmu Syari’ah yang dipahami oleh akal pikiran serta


terpujiterbagi menjadi empat untuk memperluas pemahaman
bagian yakni: pokok, cabang tentang suatu hal sehingga dari
(Furu’), ilmu pengantar pemahaman itu dapat pula
(muqaddimah) dan ilmu dipahami yang lainnya (al-
pelengkap. Ghazali, 1995:64).
Pokok (Ushul) Cabang (furu') yaitu
Yang termasuk kedalam sesuatu yang difahami dari
Pokok (Ushul) ada empat, yakni: pokok-pokok ini, bukan dengan
Kitabullah ‘Azza wa Jalla, Sunnah kepastian lafal-lafalnya tetapi
Rasul Saw., Ijma’ Ummat dan dengan pengertian-pengertian
peninggalan-peninggalan yang diketahui oleh akal. Oleh
sahabat (al-Ghazali, 1995:62). sebab itu meluaslah pemahaman
Ijma' itu pokok dari segi bahwa itu itu sehingga dari lafal itu difahami
menunjuk atas sunnah. Ijma’ oleh apa yang dilafalkan oleh
adalah pokok dalam tingkatan lainnya. Ini terbagi menjadi tiga
ketiga. Demikian juga atsar, maka macam, yaitu: Pertama, berkaitan
itu juga menunjuk atas sunnah dengan kemaslahatan-
karena para sahabat itu kemaslahatan dunia dan itu
menyaksikan wahyu dan termuat dalam kitab fikih dan
penurunannya, dengan keadaan yang bertanggung jawab adalah
dapat mengetahui apa yang gaib para fuqaha. Mereka itulah ulama
(tidak diketahui) oleh selain dunia. Kedua, sesuatu yang
mereka. Barang kali kalimat berkaitan dengan kemaslahatan
tersebut tidak cukup untuk kemaslahatan akhirat. Yaitu ilmu
mengungkapkan apa yang mengenai keadaan hati dan
diketahui (Akbar, 2017:63). akhlak yang terpuji dan tercela,
Cabang (Furu’) sesuatu yangdiridhai di sisi Allah
Ilmu Furu’ adalah ilmu dan sesuatu yang dibencinya.
yang memperjelas dari bagian- Ketiga, muqaddimah yaitu ilmu-
bagian pokok (ushul) agar bisa ilmu yang berlaku sebagai alat

20
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (12 – 30)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

seperti ilmu bahasa dan tata dengan kepentingan akhirat.


bahasa karena keduanya itu Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi
merupakan alat bagi ilmu (al- pekerti terpuji dan tercela, hal-
Qur’an) dan sunnah Nabi saw. ihwal yang dilerai dan yang
Bahasa dan tata bahasa itu dibenci Allah (Al-Ghazali, 1102:
bukanlah termasuk ke dalam 64).
golongan ilmu-ilmu syari'at itu Ilmu Pengantar (Muqaddimah)
sendiri, tetapi mendalami Ilmu pengantar adalah
keduanya disebabkan syara' ilmuyang merupakan alat seperti
karena syari'at ini datang dengan ilmu Bahasa dan tata Bahasa.
bahasa Arab. Setiap syari'at tidak Keduamya merupakan alat untuk
jelas kecuali dengan bahasa, mengetahui isi Kitabullah dan
maka menjadilah bahasa itu Sunnah Rasu Saw. Bahasa dan
sebagai alat (Akbar, 2017: 64). Tata Bahasa itu bukan lah Ilmu
Contohnya adalah hadist Syari’ah. tapi harus dipelajari
riwayat Bukhari dan Muslim disebabkan karena Agama.
Artinya: “Hakim (Qadhi) itu Karena Syari’ah (Agama Islam)
tidak mengadili perkara ketika ini datangnya dengan Bahasa
sedang marah”. Keadaan ini juga Arab. Dan semua agama tidak
diqiyaskan bahwa seorang hakim lahir selain dengan suatu
tersebut juga tidak mengadili Bahasa. Maka jadilah
ketika mau buang air, lapar atau mempelajari Bahasa itu sebagai
merasa sakit. alat (Al-Ghazali, 1995: 65).
Ilmu Furu’ itu terbagi Ilmu Penyempurnaan
menjadi dua: pertama Ilmu penyempurnaan
menyangkut dengan kepentingan adalah ilmu untuk menyempurkan
duniawi. Ilmu-ilmu furu’ termuat pemahaman megenai pokok.
dalam kitab-kitab fiqih. Yang Contoh mengani Al-Qur’an, ilmu
bertanggung jawab terhadapnya penyempurna Al-Qur’an yang
para ulama Fiqih dan termasuk berkaitan dengan kata-katanya
ulama dunia. Kedua menyangkut seperti mempelajari Qira’ah (cara

21
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

membaca) dan bunyi hurufnya. syari’ah adalah ilmu murni yang


Dan yang berhubungan dengan bersumber langsung dariNabi-
pengertiannya, seperti tafsir, nabi as. dimana semua ilmu yang
karena pengertian itu tergantung menacngkup dalam kategori ilmu
kepada naqal (keadaan disekitar ini adalah sesuatu yang sudah
ayat itu, baik sebab turunnya dan mutlak hukum maupun
suasananya yang diperoleh ketentuannya berdasarkan Al-
dalam sejarah tiap-tiap kitab Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Atsar.
suci). Dan yang berhubungan Ilmu ini digolongkan kedalam ilmu
dengan hukumnya, seperti yang bersifat fardhu kifayah
mengetahui nasikh dan mansukh, karena apabia ilmu ini sudah
yang umum dan yang khusus, dipelajari oleh sebagian orang
yang nash dan dhahir dan cara maka gugurlah kewajiban bagi
mengqiyaskan antara ayat satu yang lainnya. Selain itu
dengan yang lain yaitu ilmu yang mengingat kemampuan dari
disebut dengan Ushulul-Fiqh. setiap manusia itu berbeda-beda
Adapun ilmu penyempurna dalam keahlian maupun
pada hadist Nabi dan atsar yaitu kemampuannya, maka ilmu-ilmu
mengenai perawi-perawi hadist, terrtentu yang bagi sebagian
namanya, keturunannya, nama- manusia bisa dan mampu
nama sahabat, kepribadiannya dipelajari olehnya terkadang
dan ilmu mengenai kejujuran belum atau bahkan belum
perawi-perawi dan keadaan mampu dipelajari oleh sebagian
mereka dalam meriwayatkan manusia lainnya.
hadist. Dan mengetahui umur Contohnya, sebagian
mereka supaya dapat orang ada yang ahli dalam ilmu
membedakan antara hadist mural Al-Qur’an dan senantiasa
dan hadist musnad (Al-Ghazali, mendalami ilmu tersebut.
1995: 65). sebagian orang lainnya ahli
Dari penjelasan di atas dalam Hadist dan senantiasa
dapat disimpulkan bahwa ilmu mempelajarinya. Dengan kata

22
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (12 – 30)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

lain, kewajiban mempelajari ilmu menegakkannya, niscaya


Al-Qur’an sudah bisa dianggap berdosalah penduduk negeri itu.
gugur bagi orang yang Akan tetapi apabila ada satu
mempelajari ilmu Hadist dan orang saja diantara mereka yang
begitu pun sebalikya, kewajiban menegakkan ilmu tersebut, maka
mempelajari ilmu Hadist sudah itu telah mencukupi dan
bisa dianggap gugur bagi yang terlepasnya yang lain dari
mempelajari ilmu Al-Qur’an. kewajiban tersebut.
Sehingga terciptalah kerjasama Contohnya adalah ilmu
ilmiah dari kedua golongan ahli bekam. Jikalau kosonglah negeri
tersebut. dari tukang bekam maka
Ilmu Bukan Syari’ah segeralah datang kebinasaan
Ilmu bukan Syari’ah sendiri kepada manusia. Maka
terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu sesungguhnya Dialah yang
yang terpuji, ilmu yang tercela menurunkan penyakit, Dia
dan ilmu yang dibolehkan. pulalah yang yang menurunkan
Pertama, ilmu yang terpuji obat dan memberi petunjuk cara
adalah ilmu-ilmu yang baik dan memakainya serta menyediakan
bermanfaat untuk kemaslahatan sebab-sebab untuk merawatinya.
masyarakat banyak dan dalam Maka tidak dibolehkan membawa
menegakkan urusan duniawi. diri sendiri kepada suatu
Jika ilmu tidak dipelajari maka kebinasaan dengan menyia-
akan berdampak pada nyiakan obat itu.
kelangsungan hidup manusia di Adapun ilmu yang
dunia. Seperti ilmu kedokteran, terhitung utama namun tidak
ilmu berhitung, ilmu pertanian, fardlu adalah ilmu mendalami hal-
pertenunan, siasat perang, hal halus dan lebih mendalam
pembekaman, penjahitan dan tentang ilmu kedokteran, ilmu
lain-lain. Inilah ilmu yang jikalau berhitung dan lain-lainnya yang
suatu negeri kosong dari pada termasuk tidak begitu diperlukan
orang-orang yang namun begitu penting dan

23
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

memiliki manfaat dalam adalah geometri, astronomi, dan


menambah khazanah-khazanah musik (Bakar, 1997:241).
ilmu pengetahuan. Dari paparan diatas,
Kedua, ilmu tercela adalah bahwa Al-Ghazali membagi ilmu
ilmu-ilmu yang tidak baik dan yang bisa menghantarkan
haram untuk dipelajari. Adapun manusia kepada kebahagiaan
ilmu yang termasuk ilmu tercela hari akhir menjadi dua, yaitu ilm
adalah ilmu sihir, mantera- al-mu’amalah (ilmu-ilmu praktis)
mantera ilmu tenung dan ilmu dan ‘ilm al-mukashafah (ilmu-ilmu
balik mata (ilmu sulap). spiritual). Sebuah ilmu yang
Ketiga, ilmu yang termasuk dalam kategori ilmu
dibolehkan, diantara ilmu yang jenis pertama adalah ilmu- ilmu
dibolehkan adalah ilmu tentang yang terkait dengan keyakinan
pantun-pantun yang tak cabul, dan ibadah, seperti bagaimana
berita-berita sejarah dan tata cara shalat, puasa, zakat,
sebagainya (Al-Ghazali, 1995: dan juga bagaimana menentukan
62).Ilmu mubah termasuk tentang mana yang benar dan
pengetahuan dalam kategori salah, mana yang baik dan buruk,
netral, tidak dilarang (mubah). dan lain-lain. Sedangkan ilmu
Ilmu menggubah syair-syair, jenis kedua, yaitu ilmu-ilmu
misalnya, sepanjang tidak spiritual, berbeda dengan jenis
menggunakan kata-kata vulgar ilmu yang pertama. Ilmu jenis
atau tidak senonoh, kedua ini adalah ‘ilm al-khafi wal-
diperbolehkan untuk dipelajari. bathin (ilmu rahasia dan ada di
Demikian pula, ilmu sejarah yang dalam) yang menjadi tujuan akhir
mencatat peristiwa-peristiwa dari segala macam ilmu yang
penting dan sejenisnya (Al- lain. Ilmu yang kedua hanya bisa
Ghazali, 1995: 29). Ilmu lain yang dicapai oleh orang yang jiwanya
termasuk dalam kategori ilmu siap menerima, dan Tuhanpun
yang diperbolehkan (mubah) berkenan memberikannya.

24
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (12 – 30)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

Oleh karena itu, ilmu jenis dengan analisis inilah, data yang
ini tidak bisa diperoleh lewat rasio ada akan tampak manfaatnya
dan panca indra, akan tetapi dalam memecahkannya dan
lewat penyucian jiwa. Namun al- mencapai tujuan akhir penelitian
Ghazali menempatkan kedua (Arikunto, 1991:3). Oleh sebab itu
ilmu tersebut tidak sebagai analisis data yang peneliti
sesuatu yang berlawanan lakukan adalah berupa analisa
melainkan sesuatu yang konsep-konsep pembagian ilmu
berhubungan erat. Ilmu yang yang digambarkan oleh Imam
pertama adalah sangat penting Ghazali dalam kitab “Ihya ulum
untuk mencapai ilmu yang kedua. ad-Din”.
Metode Penelitian Pembahasan
Jenis penelitian ini adalah Berdasarkan pandangan
Library Research yang berarti al-Ghazali, dapat diambil
riset kepustakaan atau kesimpulan bahwa ada dua
kepustakaan murni. Penelitian ini sistem di mana ilmu itu dapat
akan menggali konsep diperoleh, yaitu usaha nyata dan
pembagian ilmu dalam kitab Ihya’ inspirasi Tuhan; usaha akal dan
‘Ulum ad-Din karya al-Ghazali badan di satu sisi dan Nur Ilahi di
tentang pembagian ilmu. sisi yang lain. Dua pendekatan ini
Penelitian pustaka atau riset sejalan dengan dua macam ilmu
pustaka adalah serangkaian di atas, dan di sinilah mystik al-
kegiatan yang berkenaan dengan Ghazali masuk dalam ranah
metode pengumpulan data pendidikan lebih kuat dari pada
pustaka, membaca dan mencatat kemampuan akal manusia.
serta mengolah bahan koleksi Namun ini tidak berarti al-Ghazali
perpustakaan saja tanpa menolak peran akal di dalamnya,
memerlukan riset lapangan ia hanyalah menempatkannya
(Mestika, 2004:3). Analisis data pada posisi kedua setelah “nur”
dalam penelitian ini menjadi hal Tuhan. Dengan kata lain,
yang sangat penting, karena meskipun al-Ghazali menolak

25
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

keilmuan yang berbasis logika dan (4) dan pelengkap


spekulatif dan lebih memilih (mutammimat), yang mencakup
keilmuan yang menggunakan ilmu-ilmu yang berhubungan
pendekatan wahyu dan mystik, dengan al-qur’an dan al-hadits
tapi ia masih memberikan ruang (Al-Ghazali, 1995:63).
bagi peran akal, yaitu lewat Sedangkan ilmu-ilmu yang
deduksi dan pengamatan empiris. termasuk dalam kategori kedua,
Sikap al-Ghazali terhadap yaitu ilmu-ilmu non-agama, al-
beragam ilmu pengatahuan yang Ghazali membaginya ke dalam
berkembang pada saat itu dapat tiga kelompok.
dilihat juga dari klasifikasi ilmu Yaitu; pertama, ilmu-ilmu
pengetahuan yang ia susun. Di yang terpuji (al-’ulum al-
dalam kitab Ihya’ ‘ulum al-Din, mahmudah) di mana hukum
secara tegas al-Ghazali mempelajarinya adalah fardhu
membedakan antara ilmu-ilmu kifayah seperti kedokteran, dan
agama (al- ‘ulum al-shar’iya) dan ilmu hisab. Kedokteran
ilmu-ilmu non agama (al- ‘ulum bermanfaat bagi keselamatan
ghair al-shar’iya). Ilmu-ilmu tubuh manusia, sedang ilmu
agama adalah ilmu-ilmu yang hisab menunjang kehidupan
mulia dan hukumnya wajib ‘ain muamalah manusia seperti dalam
bagi setiap Muslim untuk hal pembagian warisan.Kedua,
mempelajarinya. Al-Ghazali ilmu-ilmu yang diperbolehkan (al-
membagi ilmu-ilmu agama ini ‘ulum al-mubahah) seperti syair
dalam empat macam, yaitu: (1) dan sejarah, dan Ketiga, ilmu-
pokok (ushul), yang terdiri dari al- ilmu yang tercela (al-‘ulum al-
qur’an, al-sunna, al-ijma’, dan madhmumah), yaitu ilmu-ilmu
atsar sahabat, (2) cabang (furu’), yang tidak ada manfaatnya,
yang terdiri dari ilmu fiqih dan seperti ilmu sihir, ilmu nujum, dan
ilmu tentang hal-ikhwal hati; (3) ilmu ramalan. Al-Ghazali
pengantar (muqaddimat), yaitu melarang mempelajari ilmu-ilmu
ilmu bahasa dan tata bahasa; tersebut karena dapat

26
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (12 – 30)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

menimbulkan kesusahan bagi mereka yang mempelajarinya


pemiliknya atau bagi orang lain. maka gururlah kewajiban bagi
Termasuk dalam kategori ini, yang lain dan terselamatkanlah
alGhazali juga melarang negeri itu dari dosa tadi.
mempelajari ilmu-ilmu yang Contoh dari kasus di atas
membawa manusia ke arah adalah: “disuatu negeri tidak ada
kekufuran, seperti mempelajari seorang pun yang mempunyai
bagian-bagian rumit dari suatu atau pun menguasai ilmu
nhilmu sebelum memahami kedokteran baik karena alasan
bagian-bagiannya yang jelas atau tidak ada yang mampu atau pun
mempelajari tentang rahasia ada yang mampu namun tidak
ilahiyyat, seperti metafisika yang mempelajari ilmu tersebut. Dalam
menjadi bagian dari ilmu filsafat kasus ini, ilmu kedokteran yang
(Al-Ghazali, 1995:36). merupakan fardhu kifayah tadi
Berkaitan dengan ilmu bisa berubah hukumnya menjadi
yang yang menjadi fardhu kifayah fardhu’ain bagi seluruh penduduk
apabila dalam suatu negeri tidak di daerah tersebut terutama bagi
ada orang yang mempelajari ilmu orang yang mampu secara
tersebut, maka berdosalah mental atau pun materi untuk
seluruh penduduk negeri itu jika mempelajarinya. Jika hal
tidak segera mengutus orang demikian tidak dilaksanakan
untuk mempelajari ilmu tersebut. maka berdosalah seluruh negeri
Dan ilmu yang fadhu kifayah ini tersebut karena telah
bisa berubah hukumnya menjadi menjerumuskan diri mereka ke
fardlu’ain bagi orang yang dalam kebinasaan.
mampu untuk mempelajarinya. Kasus lainnya seperti
Karena jika tidak maka dalam suatu pemerintahan,
berdosalah ia dan seluruh apabila tidak ada penduduk atau
penduduk negeri tersebut apabila masyarakat dalam pemerintahan
tidak melakasanakannya. Namun yang mempelajari ilmu tersebut,
jika telah ada salah satu di antara maka pemerintah wajib untuk

27
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

mengarahkan serta membiayai Namun berbeda dengan al-


masyarakatnya yang dikira Ghazali, al-Zarnuji tidak
mampu dan bisa mempelajari menempatkan sufisme sebagai
ilmu tersebut. maka ilmu yang paling tinggi dan
terselamatkanlah negeri itu dari bahkan tidak memasukkan
dosa dan kebinasaan. Sufisme ke dalam klasifikasi
Dilihat dari klasifikasi ilmu keilmuannya. Ia menempatkan
di atas, terlihat bahwa al-Ghazali fiqh, satu cabang ilmu yang dinilai
secara tegas membedakan oleh al-Ghazali sebagai ilmu
antara ilmu-ilmu agama dengan sekunder, justru sebagai ilmu
ilmu-ilmu non-agama. Namun yang paling utama karena
demikian, al-Ghazali tidak berkaitan dengan kehidupan
menempatkan kedua keilmuan keagamaan orang Islam setiap
tersebut pada posisi “konflik” atau harinya. Oleh karena itu, al-
bertentangan, tapi lebih pada Zarnuji dalam karyanya ta’lim al-
posisi “independen” satu dengan muta’allim sering membicarakan
lainnya. Hal ini terlihat pada ilmu bersama-sama dengan fiqh.
keputusan-keputusan al-Ghazali Al-Zarnuji memandang
tentang “hukum” mempelajari ilmu sebagai sarana untuk
masing-masing cabang ilmu mencapai derajat yang tinggi
pengetahuan dalam klasifikasinya dihadapan Tuhan. Terkait dengan
di atas, di mana ia sangat masalah ini, al-Zarnuji
mempertimbangkan aspek menggunakan istilah taqwa,
kemanfaatan dalam seperti yang nampak dalam
mempelajarinya. kutipan berikut: “belajar ilmu itu
Konsep-konsep al-Ghazali adalah mulia sebab ia dapat
di atas dalam kadar tertentu menghantarkan manusia ke
berpengaruh terhadap konsep- derajat taqwa yang
konsep Al-Zarnuji. Nuansa menjadikannya menerima pahala
sufistik terlihat jelas pada Tuhan dan kebahagiaan yang
pemikiran-pemikiran al-Zarnuji. abadi” (Al-Zarnuji, 1984:40).

28
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.19,No.2, Juli – Desember,2020 (12 – 30)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

Hanya dengan ilmu seseorang akal atau rasio. Sebagaimana


dapat menjalankan setiap tampak dalam kutipan berikut:
kewajiban agama di satu sisi, dan “…dan hendaknya (seorang
di sisi lainnya dapat menghindari murid) beriman kepada Allah atas
setiap larangan-larangan yang dasar akal. Sebab imannya
ditetapkan oleh agama. Dua hal seorang muqallid, meskipun
ini, yaitu menjalankan perintah benar menurut pandangan kita,
agama dan menjauhi akan dinilai sebagai dosa selama
laranganlarangannya, adalah dua tidak dipertimbangkan melalui
faktor penting dalam konsep akal”(Al-Zarnuji, 1984:40).
taqwa. Dan untuk dapat sampai Dari sini tampak bahwa
ke derajat taqwa ini, seseorang pengembangan intelektual dan
memerlukan ilmu pengetahuan kesadaran intelektualitas, dalam
yang dapat memfasilitasinya pandangan al-Zarnuji, adalah
untuk melaksanakan ajaran- sangat penting untuk
ajaran agama. Di sinilah mendekatkan diri kepada Tuhan.
kemudian bisa dipahami Di sini nampak bahwa ada
mengapa al-Zarnuji menjadikan kesamaan pendekatan keilmuan
fiqh dalam posisi tinggi dan mulia. antara al-Ghazali dan al-Zarnuji,
Aktifitas belajar, agar namun al-Zarnuji sebagai
dapat menghantarkan manusia ke seorang ulama Hanafiyah
derajat taqwa, menurut al-Zarnuji memberikan ruang yang lebih
yang bermazhab hanafiyah, tidak luas bagi peran akal di dalamnya
hanya mengedepankan dibandingkan dengan al-Ghazali
pendekatan spirtitual belaka, yang bermazhab Shafi’iyah.
tetapi juga pendekatan intelektual Secara singkat dari
atau rasio. Dengan kata lain, pembagian ilmu di atas dapat
aktifitas belajar tidak menjadikan dikatakan bahwa konsep
manusia menerima begitu saja keilmuan al-Zarnuji terpengaruh
ajaran-ajaran agama (taqlid), tapi kuat oleh perkembangan ilmu
juga memerlukan pertimbangan pengetahuan pada masanya yang

29
Yuri Indri Yani, Hakmi Wahyudi, Mhd.Rafi’I Ma’arif Tarigan: Pembagian Ilmu
Menurut al-Ghazali (Telaah Kitab Ihya ‘Ulum ad-Din)
DOI:1024014/af.v19.i2.11338.

didominasi oleh ilmu-ilmu agama Hamdi, A. Z.2001. Epistemologi


dalam Konstruksi Filsafat Al-
yang sudah “menyatu” dengan
Ghazali. Jurnal Al-Tahrir.
tasawuf. Namun sebagai ulama Ismail, Y. 1979. Terjemah Ihya’
’ulumuddin (Jilid 1).
Hanafiyah, al-Zarnuji terlihat
Semarang: CV. Fauzan.
memberikan porsi yang lebih Mestika, Z. 2004. Metode
Penelitian Kepustakaan.
besar pada peran akal dalam
Jakarta: Yayasan Bogor
pengembangan ilmu Indonesia.
Soleh, A. K. 2014. Filsafat Islam
pengetahuan.
dari Klasik hingga
Kontemporer. Jogjakrta: Ar-
DAFTAR PUSTAKA Ruz Media.
Al-Ghazali, I. 2015. Ihya’
’Ulumiddin. Terjemahan
oleh Zuhri Mohammad.
Semarang: CV. Asy Syifa’.
Al-Ghazali, A. H. M. 1995. Ihya’
Ulum al-Din, juz I. Beirut:
Badawi Thaba’ah.
Al-Zarnuji. 1984. Ta’lim al-
Muta’allim thariq al-ta’allum.
Beirut: Daar Ibn Kathir.
Arikunto, S. 1991. Prosedur
Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta.
Baharuddin, Umiarso, Minarti, S.
2011.Dikotomi Pendidikan
Islam, Historisitas dan
Implikasi pada Masyarakat
Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Bakar, O. 1992. Hierarki Ilmu:
Membangun Rangka-Pikir
Islamisasi Ilmu. Terjemahan
Oleh Purwanto. 1997.
Bandung: Mizan.
Bakar. O. 1997. Tauhid dan
Sains, terj. Yuliani Lipoto,
Bandung : Mizan.
Daud, M. A. 2015.Pendidikan
Agama Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Parsada.

30

You might also like